Ceritasilat Novel Online

Penyamaran Raden Sanjaya 2

Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya Bagian 2


mendengar kalau saat ini ada seorang pendekar pilih tanding yang sangat digdaya.
Aku mencari keterangan lebih jelas. Dan ternyata pendekar itu adalah kau
sendiri, Rangga," lanjut Badil.
"Lantas, apa yang harus kukerjakan?" tanya Rangga. "Membantu kami membebaskan Gusti Prabu," sahut Sadiah. Rangga mengerutkan keningnya. Pendekar Rajawali
Sakti semakin tidak mengerti saja dengan semua yang dialaminya saat ini. Semua
yang diketahui, semakin membuatnya bingung dan bertanya-tanya. Belum begitu
jelas, apa sebenarnya yang terjadi. Dan, siapa sebenarnya Badil, Sadiah, dan
Risman" "Bisa kalian ceritakan lebih jelas?" pinta Rangga.
"Sebenarnya, Risman adalah putra mahkota Kerajaan Bantar. Namanya pun bukan Risman, tapi Raden
Sanjaya. Dan aku sendiri seorang panglima, namaku
Panglima Gadalarang. Sedangkan Sadiah, aslinya bernama Putri Kencana Wungu,
kakak putra mahkota
Raden Sanjaya." Badil menjelaskan siapa sebenarnya mereka bertiga.
"Dulu, Desa Mayang ini sebenarnya sebuah kerajaan kecil bernama Kerajaan Bantar. Makanya, keadaannya tidak seperti sebuah
desa biasa. Bahkan lebih daripada kadipaten," sambung Sadiah atau Putri Kencana
Wungu. "Kenapa bisa jadi seperti sekarang ini?" tanya Rang-ga mulai sedikit mengerti.
"Kira-kira tiga tahun yang lalu, segerombolan pemberontak mengacau Kerajaan Bantar ini. Mereka merampas istana, dan menggulingkan Gusti Prabu Bantar Kencana. Mereka menduduki
singgasana sampai sekarang. Sebenarnya, kami sudah berusaha merebut
kembali, tapi Gagak Item terlalu tangguh. Belum lagi, para pengawalnya yang
rata-rata memiliki tingkatan tidak rendah. Akhirnya kami tinggal bertiga dan
memutuskan untuk mencari bantuan dari para pendekar
beraliran putih. Yaaah..., seperti yang kau lihat Usaha kami masih belum
berhasil. Sudah banyak para pendekar dan tokoh sakti golongan putih yang mencoba
membantu. Tapi, semuanya tidak ada yang berhasil,"
Badil, yang sebenarnya Panglima Gadalarang, menceritakan awal mulanya.
"Kakang Sanjaya kemudian memutuskan untuk
bergabung dengan Gagak Item. Dia menyamar sebagai
seorang pengembara beraliran hitam, dan memakai
nama Risman, sedangkan aku jadi Sadiah. Dengan begini, kami masih bisa bertahan hidup sampai sekarang sambil menyusun kekuatan
baru," sambung Putri Kencana Wungu.
"Aku tidak tahu, mungkin penyamaran Risman sudah terbongkar. Dan ini bisa mencelakakan kita semua. Rencana yang telah kami susun selama satu tahun bisa berantakan," Panglima Gadalarang sedikit
mengeluh. Rangga mengangguk-anggukkan kepala, mulai mengerti semuanya. Pantas, mereka bertiga seperti me-nyimpan sesuatu yang sangat
dirahasiakan. Dan keadaan desa ini begitu aneh. Tidak mencerminkan sebuah desa, tapi lebih mirip sebuah kadipaten atau kerajaan kecil. Rangga jadi
ingat kata-kata Risman. Putra mahkota yang sebenarnya bernama Raden Sanjaya itu
pernah keterlepasan bicara. Dan itu mendapat sorotan mata tajam dari Panglima
Gadalarang dan Putri Kencana Wungu.
Kini Pendekar Rajawali Sakti mulai mengerti segalanya. Rupanya, Risman saat itu
memang ingin melepaskan diri dari Gerombolan Gagak Item. Namun nasibnya malang, karena mendapat cidera ketika berusaha membantu rakyat desa yang diamuk Gerombolan
Gagak Item. Memang Raden Sanjaya tidak tega rakyatnya dibasmi seperti binatang.
Syukur dia masih bisa melarikan diri, dan diselamatkan Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, kini entah bagaimana nasibnya.
"Apakah selama itu Gerombolan Gagak Item tidak
mengenali kalian?" tanya Rangga masih tanda tanya
juga. "Tidak! Tidak seorang pun yang bisa mengenali, kecuali rakyat kami sendiri. Dan selama ini, rakyat kami tutup mulut. Bahkan
banyak membantu memberi keterangan. Beberapa di antaranya yang masih mudamuda, rela mengangkat senjata membentuk barisan,"
jelas Panglima Gadalarang.
"Bagaimana mungkin tidak ada yang mengenali kalian?" "Saat peristiwa pemberontakan berlangsung, aku,
Raden Sanjaya, dan Putri Kencana Wungu tengah
mengunjungi ayahanda Prabu Bantar Kencana di Kerajaan Magada. Kami sendiri baru tahu dari salah seorang punggawa yang berhasil
lolos sampai ke Magada,"
jelas Panglima Gadalarang lagi.
"Hm.... Apa ada orang kerajaan yang terlibat dalam pemberontakan ini?" tanya
Rangga lagi. "Ada, namanya Patih Batang Kati. Dia memang sangat berminat untuk menjadi raja," sahut Putri Kencana Wungu.
"Tidak masuk akal kalau dia tidak mengenali kalian," gumam Rangga pelan.
"Patih Batang Kati tewas dibunuh Gagak Item," tegas Putri Kencana Wungu.
"Oh!" Rangga terkejut.
"Patih Batang Kati hanya diperalat. Dan setelah Kerajaan Bantar runtuh, dia
tidak dipakai lagi dan dibunuh. Kini yang menguasai seluruh Kerajaan Bantar si
Gagak Item. Kemudian, kerajaan ini diganti namanya jadi Desa Mayang," jelas
Panglima Gadalarang.
"Hm...," Rangga menggumam seraya menganggukanggukkan kepala.
"Sekarang kami baru punya kekuatan sekitar dua
ratus orang pemuda sukarela. Mereka kini tengah
menjalani gemblengan ilmu keprajuritan di Gunung
Panggang, di bawah bimbingan Panglima Bagar Lintang dan beberapa punggawa Kerajaan Magada," Panglima Gadalarang menjelaskan lagi.
"Berapa kekuatan Gerombolan Gagak Item?" tanya
Rangga. "Lebih dari seratus orang," sahut Panglima Gadalarang. "Ah! Kekuatanmu sudah lebih dari cukup!" seru
Rangga. "Memang, kalau mereka semua para prajurit. Tapi
mereka bukan prajurit, dan hanya pemuda biasa yang merasa terinjak dan setia
pada Gusti Prabu Bantar
Kencana. Mereka tidak mengerti sama sekali tata keprajuritan. Kekuatan lima
ratus orang juga tidak akan mampu menandingi seratus orang anak buah Gagak
Item yang rata-rata memiliki kepandaian tidak rendah, dan sudah berpengalaman
dalam medan pertempuran," kata Panglima Gadalarang.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala lagi. Katakata Panglima Gadalarang memang benar. Tidak
mungkin pemuda desa digembleng ilmu keprajuritan
dalam waktu singkat. Bahkan untuk menandingi mereka yang sudah berpengalaman dalam medan pertempuran. Satu pekerjaan bunuh diri, kalau hal ini dipaksakan. Mereka terus berbicara panjang lebar, dan Rangga
lebih banyak bertanya, yang kemudian dijawab Panglima Gadalarang bergantian bersama Putri Kencana
Wungu. Mereka baru berhenti, setelah hari menjelang senja. Rangga sudah banyak
mendapat penjelasan,
dan kini sudah benar-benar mengerti permasalahannya. *** 4 Sementara itu di sebuah bangunan megah yang dikelilingi tembok besar dan tinggi bagai sebuah benteng, tampak seorang laki-laki
bertangan buntung duduk di kursi bertahtakan manik-manik indah, berlapiskan emas murni. Laki-laki itu sudah berumur, tapi masih kelihatan gagah.
Sinar matanya tajam menatap seorang pemuda berpakaian koyak dan kotor berdebu. Bercak-bercak darah kering masih melekat di tubuhnya. Dari raut wajahnya yang kotor penuh bercak
darah, dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Risman, yang sebenarnya Raden
Sanjaya. "Memalukan! Benar-benar memalukan!" geram lakilaki bertangan buntung itu. Dialah Wiratma yang sekarang memakai nama Gagak
Item, dan juga bergelar
Gusti Pragala. Perlahan-lahan kepala Raden Sanjaya terangkat.
Sinar matanya sangat tajam, menerobos langsung ke
bola mata Gagak Item.
"Rapi sekali cara kerjamu. Sehingga, begitu lama
aku sampai tidak tahu siapa kau sebenarnya. Raden
Sanjaya..., Putra Mahkota Kerajaan Bantar yang perkasa, cerdik, dan lihai
menyamarkan diri. Sayang..., sayang sekali kau harus berhadapan dengan Gagak
Item!" "Kau pikir aku takut" Phuih!" Raden Sanjaya menyemburkan ludahnya sengit.
"Ha ha ha..., tikus kecil yang malang," Gagak Item menggeleng-gelengkan kepala.
Suara tawa lepas berde-rai, memenuhi ruangan besar yang indah ini.
Raden Sanjaya berdiri tegak, meskipun kedua tangannya terikat ke belakang. Tatapan matanya masih tajam, dan raut wajahnya
menegang memancarkan kebencian yang sangat. Gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Raden Sanjaya merasakan rongga dadanya jadi sesak, menahan rasa marah yang bergolak.
"Setan Jubah Merah!" panggil Gagak Item keras.
Setan Jubah Merah melangkah maju beberapa tindak ke depan. Badannya dibungkukkan sedikit untuk
memberi hormat.
"Pergi ke rumah petani Badil! Seret dia ke sini sekarang juga!" perintah Gagak
Item. "Jangan!" sentak Raden Sanjaya cepat. "Dia tidak
bersalah! Jangan ganggu dia!"
"Kerjakan perintahku, cepat!" bentak Gagak Item.
Setan Jubah Merah berlalu setelah memberi hormat. Raden Sanjaya ingin mencegah, tapi empat orang bersenjata tombak sudah
menghadang, dan menempelkan ujung mata tombak di tubuhnya. Raden Sanjaya menggereng murka, namun tidak dapat berbuat
apa-apa. Hanya matanya saja yang menatap tajam,
penuh amarah pada Gagak Item.
"Kubunuh kau, Gagak Item!" geram Raden Sanjaya
menggereng bagai kerbau terluka.
"Ha ha ha...!"
Gagak Item hanya tertawa saja mendengar ancaman
Raden Sanjaya. Ancaman itu dianggapnya hanya di
mulut saja. Mana mungkin Raden Sanjaya bisa melakukan, sedang sekarang dalam keadaan tangan terikat dan ditodong empat batang
tombak. Gagak Item menjentikkan jemarinya. Maka, empat
orang yang menghunus tombak panjang ke tubuh Raden Sanjaya langsung menggiringnya keluar dari ruangan agung Istana Bantar ini.
Sementara suara tawa
Gagak Item terus terdengar bersamaan dengan tergiringnya Raden Sanjaya. Anak muda itu menyumpah
serapah tanpa mampu berbuat apa-apa.
Raden Sanjaya digiring terus ke bagian belakang istana megah ini. Dia tahu,
jalan ini menuju ke dalam tahanan bawah tanah. Di sepanjang jalan, para penjaga
berseragam serba hitam berdiri berjajar dengan
tombak terhunus di tangan. Raden Sanjaya mengamati wajah-wajah para penjaga itu.
Beberapa di antaranya, dikenali sebagai prajurit Kerajaan Bantar dulu. Dan yang
mengenal Raden Sanjaya, hanya bisa menundukkan muka saja.
Pintu tahanan terbuka, menimbulkan suara bergernyit mengilukan hati. Udara lembab dan pengap langsung menyergap begitu kaki
Raden Sanjaya menginjak lantai tahanan ini. Dia terus digiring, melewati lorong
gelap yang hanya diterangi obor kecil yang menancap di dinding.
"Akh!" Raden Sanjaya memekik kaget ketika tibatiba salah seorang yang berjalan di belakangnya mendorong keras.
Belum lagi Raden Sanjaya bisa berbuat sesuatu,
terdengar suara pintu dari besi baja tebal ditutup rapat. Seketika, ruangan itu
jadi gelap. Hanya bias cahaya obor dari luar pintu saja yang menerangi samarsamar. Raden Sanjaya berusaha bangun berdiri, dan
menggerak-gerakkan tangannya yang sudah terlepas
dari ikatan. Pergelangan dan jari-jari tangannya terasa pegal dan kesemutan.
Sebentar matanya menerawang membiasakan diri
dalam keadaan gelap begini. Beberapa saat diamatinya sekitar ruangan yang pengap
dan lembab ini. Dua ekor tikus berebut sesuatu di pojok ruangan. Raden Sanjaya
terkejut begitu melihat seorang lelaki tua tergolek di lantai ruangan. Bergegas
dihampirinya laki-laki itu.
"Paman...!"
Raden Sanjaya memekik tertahan begitu mengenali
laki-laki tua yang kini sudah berada dalam pelukannya. Dua ekor tikus lari
terbirit-birit meninggalkan suara ribut yang menyakitkan telinga.
Raden Sanjaya memeriksa denyut nadi dan aliran
darah lelaki itu. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya begitu mengetahui
kalau lelaki tua ini masih hidup.
Hanya saja denyut nadinya lemah, dan hampir tak terasa. Sejenak lelaki tua itu
menggeleng-gelengkan kepala, lalu kelopak matanya mulai terbuka perlahan.
"Ra... de... nnn...," lemah sekali suaranya. Namun ada seulas senyuman di bibir
yang kering pecah-pecah.
"Paman..., Paman Nara Soma.... Oh! Syukur, Paman
masih hidup," Raden Sanjaya gembira melihat abdi setia penasihat Gusti Prabu
Bantar Kencana ternyata
masih hidup. Raden Sanjaya menggotong tubuh tua kurus itu, lalu meletakkannya di atas dipan kayu yang sudah
reyot, bunyi deritnya terdengar. Putra Mahkota Kerajaan Bantar membuka ikat
kepalanya, dan membersihkan luka-luka di tubuh Paman Nara Soma. Tampak
satu jari kelingkingnya putus digerogoti tikus.
Sebentar Raden Sanjaya mengamati setiap sudut
ruangan. Tak ada satu celah pun yang dapat menghubungkan dengan luar. Ruangan ini biasanya memang digunakan untuk menahan penjahat kelas berat
yang siap dihukum mati. Tidak ada jalan sedikit pun untuk meloloskan diri. Dan
ketika dia melangkah ke sudut, ada tetes-tetes air mengucur kecil dari langitlangit. Raden Sanjaya melepas sabuk kulitnya yang besar,
untuk dibuat corong. Ditadahinya titik-titik air yang jatuh dari tempat itu,
dengan cepat dibawanya ke Paman Nara Soma. Seteguk demi seteguk tenggorokan
laki-laki tua itu dialiri air. Beberapa kali Raden Sanjaya menuangkan air ke
mulut yang kering pecah-pecah
dan membiru itu, sampai Paman Nara Soma menolak
air yang diberikan pemuda ini.
"Cukup, Raden. Terima kasih," masih lemah suara
Paman Nara Soma.
Raden Sanjaya menempatkan bokongnya di pinggir
dipan kayu ini. Bunyi bergerit terdengar begitu menerima berat tubuh Raden


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanjaya. Sepertinya dipan
kayu lapuk ini begitu menderita menerima beban begi-tu berat dari dua orang
laki-laki malang.
"Bagaimana kau bisa masuk sini?" tanya Paman
Nara Soma dengan suara bergetar lirih.
"Ceritanya panjang, Paman," sahut Raden Sanjaya
tertunduk. "Ceritakanlah," pinta Paman Nara Soma.
Tanpa diminta dua kali, Raden Sanjaya menceritakan semuanya hingga sampai masuk tahanan. Juga
diceritakannya tentang Panglima Gadalarang dan Putri Kencana Wungu yang kini
mungkin menunggunya di
rumah bersama Pendekar Rajawali Sakti. Sampai di si-tu, ceritanya dihentikan.
Paman Nara Soma diam merenung begitu Raden
Sanjaya menuntaskan ceritanya. Lama mereka hanya
diam membisu. Suara desahan berat terdengar menghembus dari hidung Paman Nara Soma.
"Mudah-mudahan mereka selamat," gumam Paman
Nara Soma lirih.
"Ya, mudah-mudahan," desah Raden Sanjaya.
*** Matahari merayap perlahan menuju peraduannya.
Sinar kuning kemerahan memancar lembut seolah ingin mengucapkan selamat datang pada sang Dewi Malam. Sementara itu, Rangga tengah membelah kayu di samping rumah kecil yang
terpencil dari rumah lainnya. Keringat tampak mengucur membasahi wajah dan
lehernya. Otot-otot tangannya bersembulan saat kapaknya terayun.
Rangga menghentikan ayunan kapaknya ketika
mendengar langkah kaki ringan di belakang. Diturunkannya kapak yang sudah
terangkat, lalu menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat Putri Kencana Wungu sudah berdiri di belakangnya membawa baki berisi kendi dan gelas dari bahan tanah liat.
"Istirahat dulu," kata Kencana Wungu lembut. Senyumnya begitu menawan merekah merah.
Rangga kemudian duduk di atas tumpukan kayu
bakar. Kapak besar masih tergenggam di tangan kirinya. Sedangkan Kencana Wungu
menghampiri dan
menyodorkan baki pada pendekar muda dan digdaya
itu. Rangga mengambil gelasnya, dan Putri Kencana
Wungu menuangkan air dari dalam kendi.
Rangga tidak jadi meneguk air di dalam gelas yang
sudah terangkat mendekati bibirnya. Kepalanya mendongak, dan menoleh ke kiri dan kanan. Telinganya
yang tajam mendengar langkah-langkah kaki ringan,
mendekati rumah ini. Segera dia bangkit dan melangkah tiga tindak ke depan.
Kapak besar pembelah kayu masih tergenggam di tangannya. Putri Kencana Wungu
menghampiri dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti. Wanita itu tampak
keheranan melihat sikap
yang aneh pada diri Rangga.
"Ada apa?" tanya Kencana Wungu.
"Di mana Panglima Gadalarang?" Rangga malah balik bertanya. "Aku di sini," terdengar sahutan dari samping kanan. Rangga menoleh. Sementara panglima muda itu
menghampiri, lalu berdiri di samping Putri Kencana Wungu. Rangga memiringkan
kepalanya, ketika suara
langkah kaki itu semakin jelas terdengar dari segala arah. Tangan kanannya
terentang memberi isyarat
agar Putri Kencana Wungu dan Panglima Gadalarang
diam di tempat.
"Ambilkan pedangku," kata Rangga, berbisik.
Panglima Gadalarang melangkah mundur, seraya
mengulurkan tangannya untuk menjumput Pedang
Rajawali Sakti dari tumpukan kayu bakar. Kemudian
diserahkannya pedang itu pada Pendekar Rajawali
Sakti. Segera Rangga mengenakan kembali di punggungnya, sedangkan tangan kanannya kembali memegang gagang kapak besar pembelah kayu.
"Kita kedatangan tamu," kata Rangga pelan.
"Siapa?" tanya Putri Kencana Wungu agak bergetar
suaranya. Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba muncul
sekitar dua puluh orang bersenjata tombak panjang
dari balik pepohonan. Di antaranya tampak ada seorang mengenakan baju serba merah. Mereka langsung
mengepung dengan sikap jelas tidak bermaksud baik.
Rangga memandangi para pengepungnya yang semuanya mengenakan pakaian hitam bersulamkan
gambar burung gagak dari benang emas di bagian dada. Sedangkan yang mengenakan jubah merah menggenggam sebatang tongkat berwarna merah juga. Pendekar Rajawali Sakti bisa memastikan kalau orang ini memiliki kepandaian yang
tidak rendah. "Hati-hati. Orang itulah yang bernama Setan Jubah
Merah," bisik Panglima Gadalarang.
"Hm...," Rangga hanya bergumam.
"Siapa di antara kalian yang bernama Badil?" tanya si Setan Jubah Merah.
Suaranya besar dan lantang.
"Aku!" Rangga cepat menyahut.
Panglima Gadalarang melongo hanya diam, karena
Rangga sudah memberi isyarat dengan kerlingan mata.
"Ketua Agung Gagak Item memerintahkan agar kau
ikut ke istana!" kata Setan Jubah Merah congkak.
"Kenapa bukan dia saja yang ke sini?"
"Kurang ajar! Kuperintahkan, letakkan senjata sebelum kugunakan cara kasar!" geram Setan Jubah Merah. "Kata-katamu sudah cukup kasar. Dan orang-orang
yang mengepung itu, kurasa pertanda satu tantangan.
Bukankah begitu?" kata-kata Rangga terdengar tenang dan lembut, tapi sangat
menyakitkan telinga.
"Monyet busuk! Rupanya, kau ingin cara kasar,
heh"!" dengus Setan Jubah Merah menggeram.
"Aku juga bisa bertindak kasar," tantang Rangga.
Trek! Setan Jubah Merah menjentikkan jemarinya. Seketika, empat orang langsung menyerang dengan menyodokkan tombak ke arah Rangga. Hanya dengan
memiringkan tubuhnya, pendekar Rajawali Sakti menangkap satu tombak dari arah depan. Sedangkan kaki kanannya melayang menyepak tombak satunya lagi.
Sementara jari tangan kirinya menjentik ujung tombak yang datang dari arah kiri.
Dan satunya lagi berhasil dielakkan melewati atas kepala.
Rangga cepat memutar tubuhnya. Kaki kanannya
cepat melayang bersamaan dengan berputarnya tubuh.
Maka empat orang itu kontan mengeluh pendek. Mereka terdorong mundur dan terjungkal deras. Di dada mereka tampak tergambar
tapak kaki yang merah. Sebentar mereka mampu bertahan, untuk kemudian ambruk dan tidak bangun-bangun lagi. Mereka memang
bukan lawan Pendekar Rajawali Sakti. Maka hanya
dengan sekali gebrakan, empat orang langsung roboh terkena tendangan maut dari
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
"Bedebah!" geram Setan Jubah Merah melihat empat anak buahnya tewas dalam sekejap.
Kembali Setan Jubah Merah menjentikkan jemarinya. Kini sepuluh orang berlompatan ke depan.
Rangga melirik Panglima Gadalarang dan Putri Kenca-na Wungu sambil mengegoskan
kepala ke arah bayangan merah. Kini, Rangga tidak perlu lagi khawatir.
Perhatiannya juga dipusatkan pada pengeroyoknya.
Tapi, pengamatannya dari dua orang yang kini sudah berdiri dekat tumpukan kayu
bakar tidak lepas.
Sambil berteriak nyaring, sepuluh orang itu merangsek secara bersamaan dan bergelombang. Rangga
yang sudah jemu dan muak melihat tingkah mereka,
langsung mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Kapak besar di tangannya terayun
cepat, seirama gerakan
kaki dan tubuhnya.
Jeritan dan pekik kesakitan terdengar saling sambung, disusul berjatuhannya tubuh-tubuh manusia
dengan dada robek dan kepala hampir putus terbabat mata kapak yang besar dan
tajam. Maka dalam satu
gebrakan saja, tidak kurang dari enam orang sudah
tewas berlumuran darah.
"Mundur!" teriak Setan Jubah Merah menggeram
marah. Empat orang yang selamat, segera melompat mundur bersamaan. Sementara itu Setan Jubah Merah
langsung mencelat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus tongkat
mautnya. Rangga segera
melayani hanya dengan kapak pembelah kayu di tangan. Maka terjadilah pertarungan alot, cepat, dan mematikan. Begitu cepatnya
mereka bertarung, hingga sulit diikuti penglihatan mata biasa. Yang tampak
hanyalah kelebatan-kelebatan bayangan merah dan putih saling menerjang dan
bertahan. Dalam waktu tidak berapa lama, Setan Jubah Merah sudah menghabiskan sepuluh jurus. Sedangkan,
Rangga baru mengeluarkan dua jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Dan kini, Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'. Maka,
seketika kedua tangannya berubah jadi merah membara bagai terbakar. Setiap lontaran pukulannya, mengandung hawa panas luar biasa yang menyengat kulit. "Gila! Ilmu apa yang dipakai?" dengus Setan Jubah Merah terkejut.
Buru-buru laki-laki berpakaian merah itu melompat
mundur. Matanya tajam menatap Rangga yang berdiri
tegak dengan tangan menjuntai di samping tubuhnya.
Kapak Pendekar Rajawali Sakti juga telah menggeletak di ujung kakinya. Kini
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Setan Jubah Merah memutar tongkatnya dengan
cepat. Sambil berteriak keras diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang
diterjang pun tidak bergeming. Dan ketika ujung tongkat Setan Jubah Merah hampir
menyodok dadanya, cepat Pendekar Rajawali
Sakti menangkapnya.
Tap! Jepitan kedua telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti bagai sebuah penjepit baja yang amat kuat. Setan Jubah Merah makin
terkejut, karena tongkatnya
terasa bagaikan menancap pada sebongkah batu cadas yang amat keras. Sedikit pun
tongkat itu tidak bergeming, meskipun kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan penuh.
Setan Jubah Merah segera menggunakan akal licik.
Dikerahkannya racun melalui tongkat merahnya. Dan
begitu racun itu menyentuh telapak tangan, seketika tubuh Pendekar Rajawali
Sakti bergetar. Langsung disadari kalau lawannya menyalurkan racun yang dahsyat dan mematikan lewat tongkatnya.
"Aji Cakra Buana Sukma...!" teriak Rangga tiba-tiba.
Seketika, tangan yang semula berwarna merah menyala berubah biru terang berkilau. Tentu saja peru-bahan yang cepat itu sangat
mengejutkan Setan Jubah Merah. Tongkatnya berusaha ditarik, tapi malah semakin
terjepit di telapak tangan Rangga. Setan Jubah Merah berusaha melepaskan
tangannya dari tongkat
itu, tapi malah jadi kaget setengah mati. Kedua tangannya seperti terpatri pada
tongkatnya sendiri!
"Akh!" Setan Jubah Merah memekik tertahan.
Cahaya biru yang keluar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti mulai merayap menyelimuti tongkat merah itu. Bahkan semakin lama
semakin mendekati tangan
Setan Jubah Merah. Laki-laki berpakaian serba merah itu akan menendang, tapi
kedua kakinya terasa begitu
berat, bagai terpaku di tanah saja.
"Gila!" dengus Setan Jubah Merah kehilangan akal.
Segala cara sudah ditempuh, tapi tidak satu pun
yang berhasil. Keringat telah membanjiri wajah dan lehernya. Paras mukanya jadi
berubah-ubah. Sebentar
pucat, sebentar kemudian memerah bagai kepiting rebus. Dia benar-benar putus
asa. Jiwanya kacau, otaknya tak mampu lagi diajak berpikir. Bahkan seluruh
aliran darahnya jadi terbalik arah.
Cahaya biru merayap menyelimuti seluruh tubuh
Setan Jubah Merah. Juga dirasakan kalau seluruh tenaga tersedot. Setan Jubah
Merah benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan aji 'Cakra Buana Suka'.
"Akh! Aaakh...!" Setan Jubah Merah menjerit melengking. Tubuh laki-laki berpakaian serba merah itu menggeliat-geliat bagai dirubung jutaan semut merah. Kemudian tubuhnya menegang
meregang nyawa. Mati!
Rangga segera menarik kembali ajiannya. Kemudian,
ditatapnya sebentar tubuh Setan Jubah Merah itu.
Semua orang yang ada di tempat itu melongo keheranan. Beberapa orang yang tadi mengepung, langsung melarikan diri. Hanya
sekitar lima orang yang langsung membuang senjatanya dan berlutut menyerahkan diri. *** 5 Brak! Gagak Item menggebrak meja keras-keras. Wajahnya merah padam menahan amarah. Hampir tidak dipercayanya kalau Setan Jubah Merah kalah oleh orang
yang konon hanyalah petani dusun. Padahal Setan
Jubah Merah adalah salah seorang yang paling diandalkan. Sementara, lima orang yang kembali membawa berita kematian Setan Jubah
Merah hanya menunduk.
Pandangan Gagak Item beralih pada tiga orang yang
berdiri di belakang. Mereka bertubuh tegap, dengan wajah mencerminkan kekasaran
dan kekejaman. Mereka dikenal berjuluk Tiga Golok Iblis. Di pinggang mereka
masing-masing terselip sebilah golok besar yang salah satu matanya bergerigi.
"Kalian bertiga, seret petani dungu itu ke sini!" perintah Gagak Item.
Tiga Golok Iblis membungkukkan badan. Dan tanpa
banyak bicara, mereka segera meninggalkan ruangan.
Gagak Item atau Gusti Pragala memerintahkan lima
orang yang masih duduk bersimpuh ikut serta. Walau hatinya seperti diliputi rasa
kegentaran, mereka beranjak pergi.
"Aku tidak yakin kalau dia hanya petani biasa," terdengar suara lembut dari
belakang. Gagak Item menoleh, dan menghampiri seorang wanita cantik mengenakan pakaian ketat berwarna merah muda yang telah berdiri di ambang pintu. Bibir merahnya menyunggingkan
senyum menggoda. Gagak


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Item meletakkan tangannya yang hanya sebelah di ba-hu wanita itu.
Mereka kemudian melangkah masuk. Dengan tumit
kaki kiri, Gagak Item menutup pintu. Wanita itu terus melangkah mundur dan duduk
di tepi pembaringan
yang beralaskan kain sutra biru muda yang halus dan tipis. Dengan gerakan lembut
menggoda, dilepaskan-nya baju Gagak Item, dan dilemparkannya begitu saja ke
lantai. "Lupakan dulu persoalanmu, Kakang Gagak Item.
Biarkan mereka yang mengurusi tikus itu," lembut sekali suara wanita itu.
"He he he.... Kau selalu bisa membuatku terangsang, Nini Bawuk," rayu Gagak Item terkekeh.
Wanita yang dipanggil Nini Bawuk itu hanya tersenyum. Direbahkan dirinya di pembaringan. Perlahan-lahan jari-jari tangannya yang lentik halus melepaskan pakaiannya sendiri.
Sebentar bajunya diputar-putar dilemparkannya sembarangan.
"He he he...!" Gagak Item terkekeh.
Nini Bawuk menggeser tubuhnya yang polos tanpa
sehelai benang pun. Tubuhnya yang indah, terbalut
kulit halus putih menggiurkan. Gagak Item duduk di tepi pembaringan. Tangannya
diletakkan di paha wanita itu. Dia masih terkekeh dengan mata liar, merayapi
wajah dan tubuh yang tergolek menantang di pembaringan.
"Aaa...," Nini Bawuk mengeluh lirih. Tubuhnya
menggeliat, membuat gerakan-gerakan membangkitkan gairah. Sepasang tangan yang halus lembut itu menggamit
leher Gagak Item, dan menariknya kuat-kuat. Akibatnya, Gagak Item langsung jatuh
menyuruk. Seketika
itu juga, bibir mereka menyatu rapat. Liar dan buas sekali Gagak Item melumat
bibir yang berdecak-decak membangkitkan gairah. Jari-jari tangan Gagak Item
bagaikan bermata saja, menjelajahi bagian-bagian tubuh Nini Bawuk yang paling
peka. Wanita itu mengerang lirih. Tubuhnya menggeliat-geliat di bawah him-pitan tubuh yang besar
berlengan satu.
Keringat mulai mengalir membasahi seluruh tubuh
mereka. Tidak ada lagi kata-kata yang terucapkan.
Semua berganti desahan dan rintihan lirih, mengikuti irama gerakan tubuh yang
menyatu rapat. Untuk sesaat mereka larut, dan melupakan semua kekalutan
yang sedang terjadi. Mereka sama-sama menempuh
puncak kenikmatan dunia.
"Kakang..., ah!" Nini Bawuk memekik tertahan.
Sebentar tubuh wanita itu mengejang, lalu terkulai lemah bersimbah keringat.
Gagak Item meringis, dan mendesah panjang. Tubuhnya bergulir dari atas tubuh
Nini Bawuk. Wanita itu menarik kain sutra biru yang tadi tercampakkan. Segera
ditutupinya tubuhnya dan tubuh Gagak Item yang tergolek di sampingnya. Gerak
dada Gagak Item semakin teratur. Keringat masih
mengalir di dadanya yang bidang berbulu lebat.
"Kakang...," Nini Bawuk mendesah lirih. Diletakkannya kepalanya di dada Gagak
Item. "Kau hebat, Nini Bawuk," desah Gagak Item di selasela dengus napasnya yang belum teratur penuh.
"Kau juga perkasa," balas Nini Bawuk.
Gagak Item memejamkan matanya rapat-rapat,
membayangkan peristiwa yang baru dialaminya. Peristiwa yang membuat detak
jantungnya jadi berdebar lebih cepat dari biasa. Peristiwa yang membuatnya
mabuk, dan melupakan semua yang tengah melanda di
sekitarnya. Nini Bawuk benar-benar seorang wanita
hebat. Hebat dalam menaklukkan laki-laki di atas ranjang, juga hebat dalam
pertarungan. Nini Bawuk bisa lembut menggairahkan di atas ranjang, tapi bisa buas dan liar bagai seekor singa betina dalam pertarungan. Nini
Bawuk tidak akan pernah
puas hanya oleh satu laki-laki saja. Dan dia memang seperti ular, tidak peduli
dengan siapa dan berada di mana. Yang penting, gairahnya bisa terpuaskan. Lebihlebih, kalau mendapatkan pemuda tampan dan gagah.
Dia tidak akan puas kalau belum menundukkan di
atas ranjang. Keadaan di dalam kamar yang indah ini sunyi. Gagak Item mendengkur kelelahan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh kepuasan. Perlahan-lahan Nini Bawuk bangkit berdiri.
Sebentar dipandanginya Gagak Item yang sudah pulas mendengkur. Kemudian
pakaiannya dikenakannya lagi. Nini Bawuk lalu melangkah perlahan-lahan, keluar
dan pergi entah ke mana. Sementara, Gagak Item masih tetap lelap dalam buaian
mimpi indah bersama wanita-wanita cantik yang me-ngelilinginya.
*** Sementara itu, di dalam tahanan bawah tanah, Paman Nara Soma sudah kelihatan segar. Meskipun,
keadaan tubuhnya masih lemah. Dia sudah bisa duduk bersandar di atas dipan kayu yang reyot. Sedang Raden Sanjaya duduk melonjor
di lantai. "Paman tahu, di mana mereka menyembunyikan
Ayahanda Prabu?" tanya Raden Sanjaya setelah agak
lama berdiam diri.
"Aku tidak tahu, Raden. Entah bagaimana nasibnya, apakah Gusti Prabu sudah mati atau masih hidup. Sejak peristiwa itu, aku dimasukkan ke dalam
penjara ini sampai sekarang," Paman Nara Soma berkata pelan. Ada nada kesenduan dari suaranya.
"Ibu?" tanya Raden Sanjaya lagi.
"Ibunda Permaisuri berhasil menyelamatkan diri
bersama beberapa pengawal, dayang dan juga beberapa mentri," sahut Paman Nara Soma menjelaskan.
"Apakah beliau tidak ke Magada?"
Raden Sanjaya menggelengkan kepala. Sejak mendengar berita runtuhnya Kerajaan Bantar, dia tidak pernah lagi bertemu ayah dan
ibunya. Saat itu juga, dia masih memikirkan keselamatan kakaknya. Putri
Kencana Wungu yang kini mungkin masih berada di
rumah kecil di pinggir batas Kerajaan Bantar yang kini menjadi Desa Mayang.
"Raden...," suara Paman Nara Soma terputus di kerongkongan. Bersamaan dengan itu, pintu kamar tahanan ini
terkuak perlahan. Di ambang pintu, tampak berdiri
seorang wanita berpakaian ketat warna merah muda.
Sehingga, membentuk lekuk tubuhnya yang indah
menggairahkan. Di belakangnya berdiri dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap
berwajah kasar, menyandang pedang di punggung.
Wanita cantik itu melangkah masuk, sementara dua
orang laki-laki yang mengawalnya menjaga di depan
pintu. Wanita yang tidak lain adalah Nini Bawuk ini menutup pintu yang terbuat
dari baja tebal dan kuat.
Dengan tersenyum dipandangnya Raden Sanjaya. Gairahnya meletup-letup mendapatkan ketampanan dan
kegagahan Raden Sanjaya.
"Mau apa kau ke sini?" sinis suara Raden Sanjaya.
"Kenapa kau selalu bersikap begitu padaku, Sanjaya" Aku datang bermaksud baik padamu," Nini Bawuk tersenyum manis.
"Heh! Sedikit pun aku tidak pernah percaya pada
kata-kata manismu."
"Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi, kau harus
percaya kalau aku sudah melihat ayahmu!"
Raden Sanjaya bangkit berdiri. Matanya nyalang
menatap tajam Nini Bawuk. Dia melangkah mendekat,
dan mencekal erat-erat tangan wanita cantik itu. Nini Bawuk tidak bergeming
sedikit pun, dan malah tersenyum manis meskipun pergelangan tangannya terasa
sakit. "Di mana ayahku?" tanya Raden Sanjaya dingin.
"Ada! Dia sehat," sahut Nini Bawuk kalem.
Dengan halus Nini Bawuk melepaskan cengkeraman tangan itu. Tubuhnya segera berbalik dan mendekati pintu. Dari lubang persegi, matanya mengawasi dua orang yang menjaga di
depan pintu. Perlahan-lahan tangannya membuka pintu. Dua orang itu menoleh, tapi.... Des, des! Kedua orang itu hanya bisa mengeluh sebentar. Begitu cepatnya Nini Bawuk melancarkan pukulan telak ke dada mereka. Seketika dua
orang bertubuh tinggi besar ambruk dengan dada merah bergambar lima jari tangan.
Nini Bawuk melancarkan ilmu 'Tapak Wisa'
yang sangat mematikan. Tak seorang pun sanggup
menandinginya. Raden Sanjaya terkejut melihat Nini Bawuk merobohkan dua orang penjaga hanya sekali pukul saja.
Dia tidak mengerti terhadap sikap wanita jalang ini.
Sanjaya tahu betul, siapa Nini Bawuk. Tokoh wanita yang sangat tinggi ilmunya
memang sangat kejam, dan selalu bertingkah aneh. Kalangan rimba persilatan
bingung untuk menentukan golongannya. Dia bisa kejam melebihi tokoh sakti beraliran hitam manapun, ta-pi kadang kala juga
membantu pihak yang lemah.
Hanya satu yang tidak bisa dihilangkan dalam diri
Nini Bawuk. Kegemarannya bermain asmara dengan
setiap laki-laki yang diinginkannya tidak pernah bisa hilang. Setiap kali
menolong, selalu ada pamrihnya.
Dan Raden Sanjaya menyadari itu. Dia tahu, wanita
itu pasti menginginkan dirinya untuk bergumul di atas ranjang.
"Ikuti aku!" kata Nini Bawuk menoleh.
Raden Sanjaya mendekati Paman Nara Soma, dan
membantunya berdiri. Mereka keluar dari kamar tahanan. Bukan main terkejutnya Raden Sanjaya ketika
Nini Bawuk menyerahkan sebilah pedang yang tergantung di pinggangnya. Raden Sanjaya ragu-ragu menerimanya. Dia tahu, pedang ini hanya senjata biasa yang sering digunakan
prajurit. "Kau butuh senjata. Penjagaan di sini sangat ketat,"
kata Nini Bawuk setengah memaksa.
Raden Sanjaya menerima pedang itu dan mengikat
di pinggangnya. Paman Nara Soma mengambil pedang
yang berada di punggung salah seorang penjaga. Laki-laki tua itu menolak uluran
tangan Raden Sanjaya
yang ingin membantunya berjalan. Kini dia sudah merasa mampu dan sehat untuk
bertindak sendiri.
Mereka kembali berjalan, tapi tidak menuju keluar.
Raden Sanjaya tahu, Nini Bawuk akan membawanya
pada ruang penjara yang berada paling ujung. Mungkin, di situ ayahnya dikurung.
"Raden, hati-hati," bisik Paman Nara Soma pelan.
"Ya," sahut Raden Sanjaya juga berbisik.
Tak seorang penjaga pun yang ada di sepanjang lorong penjara. Mereka bisa leluasa melangkah hingga sampai ke ujung. Nini Bawuk
berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi baja kasar dan kokoh.
Dibukanya kunci pintu dan dikuakkannya perlahan-lahan. Bunyi berderit terdengar menggema saat
pintu terbuka. Tampak satu ruangan yang cukup indah terpampang.
"Ayah...!" seru Raden Sanjaya begitu melihat seorang laki-laki tua dengan rambut dan jenggot putih semua.
Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya. Sinar matanya langsung berbinar begitu melihat Raden Sanjaya melangkah masuk dan
mendekati. Sebentar mereka
hanya saling pandang, lalu berpelukan penuh kerinduan. "Ayah...," Raden Sanjaya melepaskan pelukannya.
Kedua bola matanya berkaca-kaca menatap lurus mata tua yang juga berkaca-kaca.
Namun, sinar mata itu
memancarkan satu pengharapan.
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Prabu
Bantar Kencana terbata-bata.
"Ceritanya panjang, Ayah," sahut Raden Sanjaya.
Prabu Bantar Kencana menatap Paman Nara Soma
yang berdiri di ambang pintu di samping Nini Bawuk.
Saat matanya menatap wanita cantik itu, raut wajahnya langsung berubah kecut.
"Dialah yang menolongku. Dan sekarang, kita harus
keluar dari tempat ini," buru-buru Raden Sanjaya
menjelaskan. "Hm.... Kau tahu siapa perempuan itu?" ketus suara Prabu Bantar Kencana. Matanya tetap menatap tajam pada Nini Bawuk.
"Aku tahu, Ayah," sahut Raden Sanjaya. Kemudian
dibisikkannya sesuatu di depan telinga ayahnya.
Kini Prabu Bantar Kencana mengangguk-anggukkan kepala. "Kita akan punya banyak waktu," kata Nini Bawuk
tiba-tiba. "Mari, Ayah," ajak Raden Sanjaya.
Prabu Bantar Kencana berdiri. Sebentar matanya
masih menatap tajam pada Nini Bawuk yang sudah
melangkah keluar. Kemudian laki-laki tua itu berjalan tegap didampingi Raden
Sanjaya dan Paman Nara So-ma. Mereka meninggalkan kamar tahanan yang cukup
indah. Nini Bawuk tidak mengajak keluar, tapi malah terus masuk ke dalam lorong
ini. Semakin dalam mereka berjalan, semakin sempit keadaan lorong bawah tanah
ini. Tidak ada penerangan sama sekali, sehingga
mereka harus merayap merapat ke dinding.
"Hm..., rupanya dia sudah tahu rahasia lorong ini,"
gumam Prabu Bantar Kencana dalam hati.
*** Ujung lorong tahanan bawah tanah merupakan sebuah jalan rahasia. Letaknya di dalam hutan, dan
agak keluar dari Kerajaan Bantar atau kini Desa
Mayang. Lorong itu berakhir pada mulut gua yang tertutup batu besar. Tapi, Nini
Bawuk dengan mudah
menggeser batu yang beratnya mungkin lima puluh
kali lipat dari berat tubuhnya.
Sepotong bulan langsung menyambut mereka dengan cahayanya yang lembut keemasan. Angin malam
mengusap bagai hendak mengucapkan selamat datang
di dunia bebas. Prabu Bantar Kencana menarik napas dalam-dalam, menghirup udara
sebanyak-banyaknya.
"Sekarang tugasku sudah selesai. Kalian bisa berjalan terus ke arah timur. Di
sana, akan kalian temui sebuah pondok kecil tempat Gusti Permaisuri tinggal
bersama beberapa dayang dan pengawal," jelas Nini
Bawuk. "Tunggu!" cegah Raden Sanjaya begitu Nini Bawuk
membalikkan tubuh hendak berlalu.
"Aku hanya bisa menolong kalian sampai di sini,"
kata Nini Bawuk tanpa berbalik lagi.
"Kenapa kau menolong kami?" tanya Raden Sanjaya. "Kau akan tahu nanti," jawab Nini Bawuk, terus
melangkah masuk ke dalam lorong bawah tanah.
Prabu Bantar Kencana menahan tangan putranya


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hendak mencegah Nini Bawuk pergi. Wanita itu
kembali menutup batu penyumpal mulut gua kecil
yang langsung berhubungan dengan lorong bawah tanah. Raden Sanjaya memandangi wajah ayahnya, kemudian beralih menatap Paman Nara Soma.
Sikap Nini Bawuk memang membuat pikiran Raden
Sanjaya tidak tenang. Rasanya tidak mungkin kalau
wanita ini menolong tanpa pamrih apa-apa. Hampir
semua orang tahu dia seorang tokoh wanita yang sangat licik dan kejam. Beberapa saat lamanya ketiga orang itu masih berdiri tanpa
berkata sedikit pun.
"Aku tidak mengerti, kenapa Nini Bawuk menolong
kita?" Raden Sanjaya seperti bertanya pada diri sendiri. "Sudahlah, Sanjaya.
Kita akan mengetahuinya nan-ti. Yang penting sekarang, kita harus percaya katakatanya dulu. Mari kita berangkat," ajak Prabu Bantar Kencana.
"Ayah masih kuat berjalan?" Raden Sanjaya mencemaskan keadaan ayahnya.
"Aku tidak apa-apa. Bagaimana dengan Paman Nara
Soma?" "Jangan cemaskan aku," tegas Paman Nara Soma.
Mereka kemudian bergerak mengikuti petunjuk Nini
Bawuk. Hutan ini tidak terlalu lebat, sehingga tidak begitu sulit untuk dilalui.
Apalagi ditambah penerangan dari sinar bulan yang memancar penuh. Sepanjang perjalanan, mereka membisu.
Lain halnya Raden Sanjaya. Kepalanya masih dipenuhi tanda tanya oleh sikap Nini Bawuk yang aneh.
Dia tidak percaya kalau wanita jalang itu menolongnya tanpa mengharapkan balas
jasa. Dari pancaran sinar matanya, bisa diartikan kalau dirinyalah yang akan
menebus semua pertolongan ini. Ya! Nini Bawuk tidak akan mengharapkan apa-apa,
selain seorang pemuda
tampan dan gagah sebagai imbalannya. Bergidik juga Raden Sanjaya membayangkan
kalau harus melayani
Nini Bawuk di atas ranjang.
Tanpa terasa, mereka sudah jauh berjalan. Dan hutan yang dilalui semakin rapat saja. Raden Sanjaya terpaksa menggunakan pedang
untuk membuka jalan.
Mereka berhenti ketika di depan menghadang sebuah
danau kecil. Raden Sanjaya mengedarkan pandangannya berkeliling. Matanya nanar begitu melihat sebuah pondok kecil berdiri di
tepi danau, agak tersembunyi letaknya. Tampak beberapa orang bersenjata berjagajaga di sekitar pondok itu.
"Itu pasti pondok yang ditunjukkan Nini Bawuk,"
gumam Raden Sanjaya.
"Ya! Mereka adalah para pengawal istana," sambung
Prabu Bantar Kencana.
"Tunggu!" Paman Nara Soma mencegah begitu Raden Sanjaya dan ayahnya akan mendekati pondok.
Tapi terlambat. Ternyata orang-orang bersenjata itu sudah keburu melihat. Mereka
serentak berlompatan
mengurung tiga orang ini sambil menghunus tombak
dan pedang, dengan sikap penuh kecurigaan. Prabu
Bantar Kencana maju dua tindak ke depan. Dia bisa
mengenali pakaian yang dikenakan orang-orang ini.
Pakaian prajurit pengawal Istana Kerajaan Bantar.
"Kalian lihat baik-baik, siapa aku!" suara Prabu
Bantar Kencana terdengar berwibawa.
"Gus... Gusti Prabu...."
Salah seorang yang mungkin pemimpinnya, langsung menjatuhkan diri berlutut. Mereka yang juga bisa mengenali orang-orang yang
kini berdiri, langsung
menjatuhkan diri berlutut. Prabu Bantar Kencana tersenyum melihat para prajurit
pengawal istananya masih setia dan bisa mengenali, meskipun sudah tiga tahun
tidak bertemu. "Bangunlah kalian," ujar Prabu Bantar Kencana.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu," ucap salah seorang
yang berlutut persis di depan Prabu Bantar Kencana.
Dari pakaian yang dikenakannya, sudah jelas kalau
dia seorang punggawa tinggi.
"Di mana permaisuriku?" tanya Prabu Bantar Kencana. "Di dalam pondok."
Prabu Bantar Kencana mengayunkan langkahnya
mendekati pondok, diikuti Raden Sanjaya dan Paman
Nara Soma. Prajurit pengawal yang jumlahnya tidak
kurang dari lima belas orang mengikuti dari belakang.
Mereka tidak lagi menghunus senjata. Sementara, Pra-bu Bantar Kencana berdiri
sebentar di depan pintu
pondok sebelum membukanya.
"Dinda...," agak bergetar suara laki-laki tua itu begitu melihat seorang wanita
duduk di pembaringan dikelilingi enam dayang-dayang.
"Kanda...!"
Raden Sanjaya memalingkan muka, tidak sanggup
menyaksikan pertemuan yang begitu mengharukan.
Prabu Bantar Kencana memeluk istrinya erat-erat. Tidak terasa, setitik air
bening menggulir di pipinya yang mulai keriput. Lama mereka berpelukan
melepaskan rindu. Para dayang dan prajurit pengawal yang menyaksikan, hanya menundukkan kepala. Di antaranya
malah ada yang menitikkan air mata haru.
"Lihat, siapa yang bersamaku," kata Prabu Bantar
Kencana setelah melepaskan pelukannya.
"Sanjaya..., anakku...," desah Gusti Permaisuri.
"Ibu...!"
Raden Sanjaya tidak dapat lagi menahan air matanya yang memang sejak tadi akan bobol tumpah. Pemuda itu menangis dalam pelukan ibunya. Beberapa
prajurit langsung keluar dan berjaga-jaga di luar. Sedangkan Prabu Bantar Kencana meminta para dayang
meninggalkan ruangan. Tinggal Paman Nara Soma
yang masih berdiri di depan pintu yang sudah tertutup rapat.
Setelah agak lama melepaskan pelukan pada ibunya, Raden Sanjaya duduk di samping wanita setengah baya yang masih kelihatan
cantik ini. Prabu Bantar Kencana juga duduk di sampingnya. Sementara Paman
Nara Soma tetap berdiri di tempatnya.
"Di mana kakakmu?" tanya Gusti Permaisuri pada
Raden Sanjaya. "Ada. Dia selamat," sahut Raden Sanjaya menekan
suaranya. Sengaja dia berkata begitu untuk menenangkan hati ibunya.
"Kenapa tidak kau bawa saja sekalian?"
"Dia sedang membangun kekuatan untuk merebut
kembali tahta ayah, Bu."
"Dengan siapa?" tanya Prabu Bantar Kencana yang
baru mempunyai kesempatan bertanya.
"Panglima Gadalarang, dibantu seorang pendekar
pilih tanding," sahut Raden Sanjaya. Tanpa diminta, diceritakannya semua yang
dilakukannya selama ini.
Semua yang diceritakan sama dengan apa yang dikatakan pada Paman Nara Soma waktu di dalam kamar tahanan di bawah tanah. Ada sinar kebanggaan
terpancar di mata Prabu Bantar Kencana mendengar
cerita Raden Sanjaya. Sedangkan wanita setengah
baya yang duduk di sampingnya terus menitik air ma-ta. "Besok aku akan menjemput
mereka semua, dan
mengirim utusan ke Magada untuk meminta bantuan
prajurit," kata Raden Sanjaya setelah selesai bercerita.
"Bagus!" sambut Prabu Bantar Kencana langsung.
"Paman bisa ikut denganku besok," pinta Raden
Sanjaya. "Hamba selalu siap, Raden," sahut Paman Nara Soma. "Nah! Kalau begitu, sekarang istirahatlah. Sebelum matahari terbit, kalian sudah
bisa melaksanakan pekerjaan yang berat ini," kata Prabu Bantar Kencana.
Paman Nara Soma memberi hormat, lalu berbalik.
Dibukanya pintu pondok sebelum melangkah keluar.
Raden Sanjaya mengikutinya, tapi langkahnya tertahan karena ibunya memanggil.
"Kau tidur di dalam sini, Sanjaya."
"Aku ingin menghitung kekuatan yang ada di sini,"
sahut Raden Sanjaya terus saja melangkah keluar.
"Biarkan, Dinda. Aku bangga memiliki putra gagah
seperti dia," ujar Prabu Bantar Kencana.
Sesaat kemudian, di dalam pondok itu sunyi sepi.
Beberapa prajurit masih tetap berdiri di depan pintu dan sekitar pondok. Sedang
Raden Sanjaya duduk
menghadap api unggun bersama Paman Nara Soma.
Dia bicara mengenai semua yang sudah direncanakan
bersama Panglima Gadalarang dan kakaknya, Putri
Kencana Wungu. *** 6 Raden Sanjaya terkejut melihat rumah kecil yang
selama ini jadi tempat tinggalnya, ternyata tinggal puing-puing. Asap dari bara
api masih mengepul, pertanda rumah kecil itu baru saja habis terbakar. Tak
seorang pun terlihat di sekitar tempat ini. Hanya beberapa mayat berpakaian
hitam bergelimpangan tak ten-tu arah. Bahkan ada yang tertimbun puing yang masih
membara merah. Pandangan mata Raden Sanjaya tertumbuk pada
seorang yang duduk di atas batu membelakanginya.
Meskipun membelakangi, Raden Sanjaya bisa mengenalinya. Orang itu mengenakan baju rompi putih, dengan pedang berkepala burung
di punggung. "Rangga...!" seru Raden Sanjaya memanggil.
Orang yang duduk di atas batu memang Pendekar
Rajawali Sakti. Rangga langsung berbalik tanpa merubah sikap duduknya. Saat
melihat Raden Sanjaya berdiri didampingi seorang laki-laki tua berjubah putih,
Rangga langsung melayang. Kemudian mendarat ringan di depan Raden Sanjaya.
"Apa yang terjadi di sini" Di mana Panglima Gadalarang dan Putri Kencana Wungu?"
tanya Raden Sanjaya memberondong.
Rangga tidak segera menjawab. Tatapan matanya
tertuju pada Paman Nara Soma yang berdiri di samping Raden Sanjaya. Kemudian, pandangannya beralih pada pemuda di depannya.
"Oh! Aku lupa mengenalkan. Dia Paman Nara Soma.
Penasihat dan kepercayaan Ayahanda Prabu," Raden
Sanjaya mengerti arti pandangan Rangga. "Paman, ini Pendekar Rajawali Sakti yang
kuceritakan."
Paman Nara Soma mengangguk kecil. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh persahabatan. Rangga
membalas anggukan pula.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Raden Sanjaya
mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab.
"Mereka datang semalam, dan membakar rumah
ini," sahut Rangga kalem.
"Lantas....?"
"Panglima Gadalarang dan kakakmu selamat. Mereka kini ada di tempat latihan prajurit."
Raden Sanjaya menarik napas. Dadanya terasa lega
mendengar kakaknya selamat. Sejak kemarin dalam
tahanan, dia sudah mengkhawatirkan keselamatan
mereka semua. Kini, perasaannya benar-benar lega.
"Aku sengaja menunggu di sini untuk memberitahumu," lanjut Rangga.
"Kau tahu aku akan ke sini?" tanya Raden Sanjaya
heran. "Seseorang memberi tahu dengan ini."
Rangga menyerahkan sepucuk surat yang terikat
pada sebatang anak panah. Raden Sanjaya menerima
benda itu, dan membaca isi suratnya. Bibirnya menyunggingkan senyum setelah mengetahui isinya.
"Kau tahu, siapa yang mengirimkan ini?" tanya Raden Sanjaya. "Tidak," sahut Rangga.
"Dia pasti Nini Bawuk," Raden Sanjaya sedikit bergumam. Rangga mengerutkan keningnya sedikit. Raden Sanjaya bercerita sedikit mengenai Nini Bawuk dan pengalamannya selama ini, sampai bisa keluar dari kamar tahanan bersama Paman Nara
Soma dan ayahnya.
Juga diceritakan tentang tempat tinggal ibunya yang sekarang tanpa ada yang
ditutupi. Raden Sanjaya percaya penuh kalau Rangga berada di pihaknya.
Saat mereka berbicara, mendadak terdengar suara
riuh dibarengi langkah-langkah kaki mendekati. Tampak dari arah timur, terlihat
serombongan manusia
berpakaian seragam bagai prajurit berjalan berbaris mengikuti empat orang
penunggang kuda. Dua di antara penunggang kuda itu adalah Putri Kencana Wungu dan Panglima Gadalarang. Sedangkan dua orang
lagi patih dari Kerajaan Magada.
Seragam yang dikenakan orang-orang di belakangnya juga berbeda, terpisah jadi dua kelompok. Sudah dapat dipastikan kalau yang
satu pasti prajurit Kerajaan Bantar, sedangkan lainnya dari Magada. Raden
Sanjaya tersenyum lebar melihat kekuatan prajurit
yang jumlahnya hampir mencapai seribu orang itu.
Tak lama kemudian mereka tiba di tempat Raden Sanjaya, Rangga, dan Paman Nara Soma menunggu.
"Kenapa ayah tidak ikut?" Putri Kencana Wungu
langsung bertanya begitu sampai.
"Dari mana kau tahu tentang ayah?" tanya Raden
Sanjaya sambil menduga-duga.
"Seseorang yang tidak kuketahui memberikan surat
melalui panah padaku," sahut Putri Kencan Wungu.
"Hm..., lagi-lagi dia. Apa maksudnya?" gumam Raden Sanjaya perlahan. Dugaannya sudah jelas kalau
semua ini seperti diatur Nini Bawuk.
"Siapa dia?" tanya Putri Kencana Wungu.
"Aku baru menduga," sahut Raden Sanjaya tak berterus terang. Tiga orang prajurit datang menuntun tiga ekor kuda. Masing-masing diserahkan pada Rangga, Raden
Sanjaya, dan Paman Nara Soma. Kini ada tujuh orang menunggang kuda. Yang
dipimpin langsung Raden
Sanjaya. Rombongan yang cukup besar itu langsung
bergerak, begitu Raden Sanjaya memberi aba-aba.
*** Pagi-pagi sekali, setelah beristirahat semalaman di
tepi danau tempat tinggal Prabu Bantar Kencana dan permaisurinya, prajuritprajurit yang dipimpin Raden Sanjaya bergerak menuju ke Kerajaan Bantar yang
diubah namanya oleh Gagak Item menjadi Desa Mayang.
Dan kini, pagi itu di setiap pelosok terjadi pertempuran sengit. Raden Sanjaya
bertarung bagai banteng
luka, mengamuk dan membabat orang-orang Gagak


Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Item. Maka tak heran kalau sedikit demi sedikit para prajurit yang dipimpin
langsung putra mahkota Kerajaan Bantar itu mendekati benteng istana. Di sini
mereka terhalang tembok benteng yang tebal dan tinggi.
Bahkan prajurit-prajurit Gagak Item menghujani mereka dengan anak-anak panah dari atas tembok benteng. Raden Sanjaya terpaksa menghentikan perlawanan dan mencari siasat untuk menembus benteng itu.
Sementara itu, Prabu Bantar Kencana yang selalu
didampingi permaisuri dan putrinya, Putri Kencana
Wungu, tersenyum bangga melihat rakyatnya memanggul senjata apa saja yang dimiliki untuk membantu perjuangan. Mereka bertekad merebut kembali
tahta kerajaan yang selama tiga tahun diduduki Gagak Ireng alias Wiratma.
"Bagaimana, Ayah" Mungkinkah kita menembus
benteng itu?" Raden Sanjaya meminta pendapat Prabu Bantar Kencana.
Prabu Bantar Kencana tidak langsung menjawab.
Matanya tajam menatap ke arah pintu gerbang yang
tertutup rapat. Sementara, para prajurit sudah berbaur dengan rakyat yang masih
setia pada rajanya,
berjaga-jaga menunggu perintah.
"Hm.... Sebaiknya, kita melalui jalan rahasia saja,"
usul Paman Nara Soma teringat lorong tahanan bawah tanah.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 2 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Kisah Si Rase Terbang 15

Cari Blog Ini