Ceritasilat Novel Online

Prahara Darah Biru 1

Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru Bagian 1


1 Trang! Dua bilah pedang beradu keras di udara, hingga menimbulkan percikan bunga
api yang menyebar ke segala arah. Tampak dua orang laki-laki yang sama-sama
memegang pedang, sama-sama melompat mundur.
Mereka yang kelihatan sama-sama masih berusia muda, tampak berdiri saling
berhadapan. Tatapan mata mereka begitu tajam, menusuk ke bola mata masingmasing. Pedang di tangan kanan, sama-sama menyilang di depan dada.
"Kakang, awas...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring seorang wanita.
Pemuda yang mengenakan baju warna putih cepat berpaling ke arah teriakan tadi. Tapi mendadak saja, terlihat seutas cambuk hitam
berduri halus meluncur deras ke arahnya.
Ctar! "Akh...!" pemuda berbaju putih itu terpekik.
Tubuh pemuda berbaju putih itu langsung terhuyunghuyung begitu ujung cambuk yang berduri halus mendarat tepat di dada sebelah
kiri. Kulit dadanya seketika sobek, sehingga darah merembes keluar. Pemuda itu
meringis merasakan pedih pada dadanya yang sobek cukup panjang akibat tersengat
cambuk hitam berduri halus.
"Curang...!" geram pemuda berbaju putih sambil menatap seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun yang berdiri tegak memegang cambuk hitam tergulung di
tangan kanannya.
"Bunuh dia...!" perintah laki-laki berbaju hitam yang memegang cambuk itu,
lantang. "Hiyaaat..!"
Sebelum perintah itu menghilang dari pendengaran,
seketika itu juga pemuda berbaju kuning yang tadi bertarung melawan pemuda
berbaju putih itu langsung melompat cepat sambil mengebutkan pedang yang
berkilatan ke arah leher.
Wuk! "Hih...!"
Pemuda berbaju putih itu cepat mengangkat pedangnya, menangkis tebasan pedang
pemuda berbaju kuning, Dan tepat di saat dua pedang beradu, laki-laki setengah
baya berbaju hitam itu cepat bagai kilat mengebutkan cambuknya kembali.
Ctar! "Akh...!"
Pemuda berbaju putih itu langsung jatuh terguling ketika cambuk hitam berbulu
halus menghantam kaki kanannya.
Sementara, pemuda berbaju kuning sudah gencar sekali menusukkan pedangnya
beberapa kali. Akibatnya, pemuda berbaju putih itu harus bergulingan
menghindarinya.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu memiliki kesempatan, cepat pemuda berbaju
putih itu melompat bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah,
kembali cambuk hitam itu meliuk cepat ke arahnya. Tapi, kali ini dia bisa
berkelit dengan memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat yang bersamaan, pemuda
berbaju kuning sudah melompat sambil menusukkan
pedang ke arah perut.
"Hiyaaat..!"
Begitu cepat serangan yang dilakukan, sehingga
pemuda berbaju putih itu tidak sempat lagi menghindar.
Bresss" Kedua bola mata pemuda berbaju putih itu jadi terbelalak. Tubuhnya kontan agak terbungkuk. Sinar matanya seakan-akan menyiratkan
ketidakpercayaan kalau perutnya sudah tertancap sebilah pedang. Dan begitu
pedang yang menembus perutnya ditarik ke luar, seketika itu juga tubuhnya jatuh
terguling ke tanah. Darah mengucur deras dari perutnya yang robek tertembus
pedang tadi. "Kakang...!"
Seorang wanita berwajah cukup cantik berlari cepat memburu pemuda berbaju putih
yang sudah tergeletak tak bergerak lagi di tanah berumput basah oleh embun.
Sedangkan laki-laki separuh baya berbaju hitam dan pemuda berbaju kuning malah
tertawa terbahak-bahak.
Suara tawa mereka disambut tawa sekitar tiga puluh orang laki-laki bertampang
kasar yang mengelilingi tempat pertarungan tadi.
Sementara wanita muda yang mengenakan baju warna
hijau muda hanya menangis sambil memeluk tubuh
pemuda berbaju putih yang sudah tak bergerak lagi. Tiba-tiba saja, laki-laki
separuh baya yang bersenjatakan cambuk di tangan kiri itu merenggut tangan gadis
itu. Lalu, ditariknya hingga berdiri.
"Auwh...!" wanita itu terpekik kaget
"Ha ha ha...!"
"Lepaskan, Bajingan...!" bentak wanita itu berang.
"Kau semakin cantik kalau marah, Dewani. Ha ha ha...!"
"Lepaskan..!"
Wanita muda itu terus memberontak, mencoba melepaskan cekalan tangan laki-laki setengah baya itu pada pergelangan tangannya.
Tapi, usahanya hanya sia-sia saja.
Tenaganya tidak mampu melepaskan cekalan tangan
berotot kuat itu. Sedangkan laki-laki separuh baya ini semakin keras tawanya.
"Hup!"
"Auwh...!"
Tiba-tiba saja gadis itu dipeluk pinggangnya, lalu cepat sekali laki-laki
setengah baya itu melompat ke arah kuda hitam yang tidak jauh darinya. Wanita
muda yang tadi dipanggil Dewani hanya menjerit-jerit, dan berusaha melepaskan
diri. Tapi laki-laki separuh baya itu sudah cepat menggebah kudanya. Sedangkan
pemuda berbaju kuning hanya tertawa saja, lalu melompat naik ke punggung
kudanya. Kemudian, tiga puluh orang yang juga berada di sana bergegas
mengikutinya. Dan kini mereka sudah memacu cepat kudanya meninggalkan padang rumput yang tidak seberapa luas itu.
Sesekali masih juga terdengar jeritan Dewani, dibarengi tawa terbahak-bahak.
Setelah tak terdengar lagi derap kaki kuda, dan tak terlihat lagi orang-orang
itu, pemuda berbaju putih yang tergeletak dengan perut sobek tampak bergerak
perlahan. Dia merintih lirih dan mencoba bangkit. Tapi belum juga tubuhnya
terangkat sempurna, sudah ambruk lagi menggelimpang di tanah.
"Ohhh.... Aku tidak boleh mati di sini," desah pemuda itu lirih.
Pemuda itu mendekap perutnya yang masih mengucurkan darah. Pandangannya begitu nanar, ke arah debu yang mengepul di kejauhan
sana. Perlahan-lahan dia merayap, berusaha mendekati seekor kuda yang tertinggal
di tempat itu. "Putih..., kemarilah," ujar pemuda itu perlahan.
Kuda putih itu meringkik, dan mendengus-dengus.
Kepalanya mendongak sedikit ke atas, lalu melangkah perlahan menghampiri pemuda
itu. Seakan-akan binatang itu bisa mengerti panggilan tadi. Kepalanya
ditundukkan, menyentuh kepala pemuda itu. Perlahan-lahan pemuda berbaju putih
ini mencoba bangkit. Bibirnya masih meringis menahan rasa sakit pada perutnya
yang masih terus
mengucurkan darah.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia merayap naik ke punggung kudanya.
Kakinya menghentak sedikit, maka kuda putih itu melangkah perlahan. Tak ada lagi
tenaga yang tersisa. Dan pemuda itu tertelungkup di punggung kudanya yang terus
melangkah semakin cepat saja.
*** Dewani menangis tertelungkup di atas sebuah balaibalai bambu, di dalam sebuah kamar berukuran kecil.
Hanya ada sebuah jendela kecil berjeruji besi. Seluruh dindingnya terbuat dari
batu yang cukup tebal. Sedangkan pintu kamar itu terbuat dari besi baja yang
kuat dan sangat kokoh. Entah sudah berapa lama gadis itu menangis
menguras air matanya. Beberapa kali bibirnya merintih lirih, menyebut nama
seseorang yang tidak begitu jelas.
Tangisannya berhenti ketika tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka. Suara derit
pintu yang terkuak, membuat Dewani bergegas bangkit. Wanita yang masih berusia
cukup muda itu beringsut ke sudut balai-balai bambu ini.
Tampak seorang gadis mengenakan baju yang begitu ketat berwarna merah menyala
tengah melangkah masuk ke
dalam kamar ini. Gadis itu cukup cantik wajahnya.
Seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit agak hitam, tampak menutup lagi
pintu itu. Dia berjaga-jaga di luar pintu yang sudah tertutup rapat kembali.
Sedangkan gadis cantik berbaju merah tadi sudah melangkah menghampiri Dewani.
Dengan senyum manis terulas di bibir, dia duduk di tepi balai-balai bambu yang
hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Sedangkan Dewani hanya diam saja sambil
menyusut air matanya.
"Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, Dewani. Aku benar-benar menyesalkan
kejadian yang tidak menyenang-kan ini," keluh gadis cantik itu, lembut suaranya.
"Jangan bermanis-manis di depanku, Lanjani! Lakukan saja apa yang ingin kau
lakukan padaku!" dengus Dewani, ketus.
Gadis cantik berbaju merah yang dipanggil Lanjani itu hanya tersenyum saja.
Begitu manis senyumnya. Sama sekali hatinya tidak terlihat tersinggung mendapat
ucapan yang begitu ketus tadi. Namun, Dewani malah mem-berengut. Bahkan
menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian.
"Tentunya tidak enak berada dalam penjara seperti ini.
Terkurung, dan tidak punya kebebasan sama sekali...,"
kata Lanjani seraya bangkit berdiri.
Nada suaranya terdengar begitu ringan. Dia melangkah anggun mendekati jendela
kecil yang berjeruji besi.
Sedangkan Dewani hanya diam saja. Sorot matanya
masih tetap tajam, bersinar penuh kebencian pada wanita cantik berbaju merah
menyala itu. "Aku memang bisa berbuat apa saja padamu, Dewani.
Bahkan bisa mudah membunuhmu. Tapi aku tidak ingin melakukan hal itu," kata
Lanjani lagi. Dewani hanya mendengus sinis.
"Seharusnya aku marah, karena kau telah mengecewakan harapanku. Kau yang
kupercaya penuh melebihi
kepercayaanku pada yang lain, ternyata begitu tega meng-khianatiku. Tapi aku
tidak seburuk yang kau sangka, Dewani. Aku masih bisa memberi pengampunan
padamu," lanjut Lanjani. Masih tetap terdengar lembut nada suaranya.
Dewani masih tetap diam membisu. Bibirnya menyunggingkan senyum yang terasa begitu getir. Air matanya kini benar-benar kering,
seakan-akan tak ada lagi yang tersisa.
Sorot matanya masih memancarkan kebencian yang amat sangat pada wanita cantik
berbaju merah itu.
Perlahan Lanjani melangkah lagi, dan kembali duduk di tepi balai-balai bambu.
Sinar matanya terlihat begitu lembut, bagai bola mata bayi tanpa dosa sedikit
pun. Tapi di mata Dewani, justru bagaikan sepasang mata iblis. Dan senyuman yang
manis itu, bagaikan seringai serigala kelaparan melihat seekor ayam betina
gemuk. "Aku masih memberi kesempatan padamu, Dewani. Dan kuharap kau tidak menyianyiakan kesempatan yang
kuberikan kali ini." ujar Lanjani lagi, masih tetap lembut suaranya. Tapi kali
ini nadanya mengandung tekanan yang begitu penuh arti.
"Terima kasih," ucap Dewani sinis.
Lanjani kembali bangkit berdiri, kemudian melangkah mendekati pintu. Sebentar
ditatapnya Dewani yang masih tetap duduk di sudut balai-balai bambu.
"Pengawal...!" seru Lanjani tidak begitu keras.
Krieeet...! Pintu kamar tahanan itu terbuka perlahan. Tak lama, muncul seorang laki-laki
bertubuh tegap. Kulitnya agak gelap dan otot-ototnya bersembulan menampakkan kejantanannya. Tubuhnya terbungkuk sedikit, sambil meletak-kan tangan kanan di
depan dada. "Pindahkan Dewani ke kamarnya, dan berikan emban yang baik. Dia bukan lagi
tawanan di sini," Lanjani memberi perintah.
"Hamba. Kanjeng Ratu," sahut pengawal itu sambil memberi hormat kembali.
Setelah berkata demikian, Lanjani melangkah keluar dari ruangan tahanan ini.
Kemudian, pengawal bertubuh tegap dan agak hitam itu melangkah masuk. Seorang
pengawal lagi ikut melangkah masuk. Mereka kemudian membungkuk memberi hormat
pada Dewani. "Kami diperintahkan membawa Kanjeng Nini ke kamar yang sudah disiapkan," kata
pengawal itu penuh rasa hormat.
Dewani beranjak bangkit dari balai-balai bambu itu.
Bibirnya tersenyum sinis, memandangi dua orang laki-laki yang mengenakan baju
bercorak sama itu. Kemudian kakinya melangkah perlahan keluar dari kamar tahanan
ini. Dua orang laki-laki pengawal itu mengikuti dari belakang.
"Kenapa kalian masih saja patuh pada ratu iblis itu...?"
dengus Dewani ketus, sambil terus melangkah menyusuri lorong yang cukup panjang
dan lembab ini.
"Kanjeng Nini... Sebaiknya Kanjeng Nini Dewani tidak berkata seperti itu.
Kanjeng Ratu Lanjani sudah cukup baik, tidak memberi hukuman," sergah pengawal
berkulit agak gelap itu, dengan sikap penuh rasa hormat.
"Aku lebih senang kalau ratu iblis itu memberi hukuman padaku. Biar semua rakyat
Batu Ampar tahu, siapa dia sebenarnya!" dengus Dewani masih bernada ketus.
Sedangkan kedua pengawal itu tidak berkata-kata lagi.
Mereka terus berjalan mengikuti Dewani yang menuju keluar lorong ini. Mereka
kemudian berbelok ke kanan, setelah melewati pintu yang dijaga dua orang
pengawal bersenjata tombak panjang.
*** Dewani mengayunkan kakinya perlahan-lahan mengelilingi bangunan istana yang sangat besar dan megah ini.
Dalam hati, dia menggerutu melihat penjagaan di sekeliling istana ini begitu
ketat. Sudah dua hari berada di dalam istana Batu Ampar ini, dan selama itu
dicobanya mencari celah untuk bisa keluar tanpa diketahui. Tapi kesempatan yang
diinginkan, sama sekali tidak nampak. Dan hatinya semakin kesal meskipun semua
kebutuhannya bisa ter-penuhi di sini.
Dua orang pengawal dan seorang emban, selalu siap
melayani keperluannya.
Tapi semua itu sama sekali tidak membuat hati Dewani terhibur. Gadis itu masih
memikirkan nasib pemuda berbaju putih yang entah sudah mati, atau masih hidup
sekarang ini. Dan selama dua hari ini, Dewani tidak pernah lagi bertemu Lanjani
yang menjadi ratu dan penguasa penuh di Kerajaan Batu Ampar.
"Cambuk Setan...," desis Dewani tiba-tiba.
Ayunan kaki Dewani terhenti ketika melihat seorang laki-laki separuh baya
berbaju hitam pekat tengah berjalan dari arah depan, ke arahnya. Di tangan
kirinya tergenggam seutas cambuk hitam berbulu halus. Laki-laki separuh baya itu
tersenyum-senyum begitu dekat dengan Dewani. Dan dia berhenti setelah berjarak
sekitar tiga langkah lagi di depan gadis itu.
"Kenapa berhenti di sini" Teruskan saja jalanmu, Cambuk Setan," dengus Dewani
ketus. Sorot mata gadis itu begitu tajam penuh kebencian.
Terbayang di matanya peristiwa di padang rumput beberapa hari lalu. Bayangan itu
membuat Dewani semakin muak melihat tampang laki-laki separuh baya yang berjuluk
si Cambuk Setan ini.
"He he he.... Kau tampak cantik sekali pagi ini, Dewani,"
puji si Cambuk Setan terkekeh, tidak mempedulikan
keketusan Dewani padanya.
"Terima kasih. Aku tidak memerlukan pujianmu!" dengus Dewani tetap ketus.
"He he he.... Hm, aku tahu. Kau masih memikirkan Rapanca, kekasihmu itu,
bukan..." Sudahlah, Dewani.
Tidak perlu memikirkan anak muda gembel tidak tahu diri itu. Dia sekarang sudah
jadi santapan cacing-cacing tanah." bujuk si Cambuk Setan diiringi tawanya yang
terkekeh. "Huh!" Dewani hanya mendengus ketus
Gadis itu cepat-cepat melangkah meninggalkan, tapi si Cambuk Setan malah
mengikuti. Bahkan mensejajarkan ayunan langkahnya di samping Dewani. Sehingga
membuat gadis itu semakin bertambah muak saja. Kembali dia teringat pada
Rapanca, pemuda yang dicintainya. Tapi, Rapanca kini tidak ketahuan lagi
nasibnya sekarang setelah dikeroyok si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak di


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padang rumput dekat hutan beberapa hari lalu.
"Setiap hari, kulihat kau selalu berjalan-jalan mengelilingi istana ini. Aku
tahu, apa yang ada dalam pikiranmu, Dewani." kata si Cambuk Setan.
Dewani hanya diam saja. Kakinya terus terayun melangkah cepat-cepat. Tapi, si Cambuk Setan terus di sampingnya.
"Kalau mau, aku bisa membantumu keluar dari istana ini." kata si Cambuk Setan
lagi. Dewani langsung menghentikan langkah kakinya. Dia
begitu terkejut mendengar kata-kata si Cambuk Setan barusan. Sungguh tidak
disangka kalau yang dilakukannya selama dua hari ini bisa diketahui begitu
cepat. Dan ini benar-benar mengejutkan.
"Kau benar-benar ingin keluar dari istana ini, Dewani...?"
tanya si Cambuk Setan seperti ingin meyakinkan dirinya.
"Hm...," Dewani hanya menggumam saja perlahan.
"Aku bisa secara mudah membantumu. Asal kau bersedia menemaniku ma... "
Plak! "Binatang...!"
Dewani langsung berlari cepat meninggalkan si Cambuk Setan yang jadi terlongong
seraya meraba pipinya. Sama sekali tidak disangka kalau Dewani akan bertindak
begitu. Padahal, tadi kata-katanya belum selesai. Tamparan Dewani begitu pedas terasa di
pipinya. Tapi si Cambuk Setan merasakan hatinya lebih pedas dari tamparan gadis
itu. "Perempuan setan...! Awas kau...!" dengus si Cambuk Setan menggeram marah.
Sementara Dewani sudah jauh berlari, dan mengilang begitu masuk ke dalam
bangunan istana dari pintu
samping. Sedangkan si Cambuk Setan masih berdiri mematung sambil meraba-raba
pipinya yang ditampar Dewani tadi. Begitu kerasnya, sehingga di pipi kiri si
Cambuk Setan jadi memerah, bergambar telapak tangan.
*** 2 Hidup di dalam sebuah istana yang megah dan serba ada, memang tidak selamanya
membuat orang bisa bahagia.
Hal ini dirasakan betul oleh Dewani. Meskipun segala kebutuhannya bisa
tercukupi, tapi rasanya seperti hidup dalam penjara. Dan kehidupan yang
dijalaninya di dalam Istana Batu Ampar, lebih menyakitkan daripada hidup di
dalam penjara. Baginya, penjara lebih baik daripada berada dalam sangkar emas.
Sudah lebih dari dua purnama Dewani terpaksa menjalani kehidupan seperti itu. Dan selama itu pula, segala godaan sangat berat
harus dihadapinya. Godaan itu bukan hanya datang dari si Cambuk Setan saja, tapi
juga dari si Iblis Pedang Perak dan beberapa jago Istana Batu Ampar yang menjadi
kaki tangan Lanjani, ratu di Kerajaan Batu Ampar.
"Aku akan berbuat nekat jika orang-orangmu masih juga menggangguku, Lanjani,"
desis Dewani mengancam, saat punya kesempatan bertemu wanita cantik penguasa
Kerajaan Batu Ampar.
"Mereka hanya tertarik pada kecantikanmu saja, Dewani," Lanjani menanggapi
begitu ringan, seakan-akan tidak mempedulikan pengaduan gadis ini.
"Kau seperti tidak peduli terhadap diriku, Lanjani...,"
desis Dewani menatap penuh curiga.
"Kalau aku tidak peduli, tentu kau tidak bisa bebas sekarang ini, Dewani," masih
terdengar ringan nada suara Lanjani.
"Siapa bilang aku bebas..." Kau sudah merampas ke-bebasanku! Kau sudah membatasi
ruang gerakku. Hhh...!
Aku merasa lebih baik kalau aku ditempatkan dalam
penjara, Lanjani," dengus Dewani begitu ketus suaranya.
"Tidak ada yang merampas kebebasanmu, Dewani. Dan aku juga tidak membatasi ruang
gerakmu. Kau boleh berbuat apa saja di istana ini. Tapi, kau memang tidak diberi
izin untuk keluar istana. Aku tidak mau kau mencuri kesempatan untuk lari lagi,
seperti yang kau lakukan bersama si gembel Rapanca!" kali ini nada suara Lanjani
terdengar tajam sekali.
"Kau pikir, aku akan terus menerima dan berdiam diri begitu saja, Lanjani.."
Hhh...!" sinis sekali suara Dewani.
"Dengar, Dewani. Ini yang terakhir kali kau kuberi pengampunan. Jika kau ulangi
lagi kebodohan yang sama, aku akan lepas tangan. Dan jangan harap aku bisa
melindungi-mu lagi," desis Lanjani setengah mengancam.
"Gertakanmu tidak akan menggoyahkan hatiku, Lanjani,"
desis Dewani dingin.
"Kali ini kau tidak akan punya kesempatan, Dewani. Dan kuminta kau tidak lagilagi mencoba lari dari kerajaan ini.
Tidak ada gunanya berbuat bodoh seperti itu."
Dewani hanya tersenyum sinis saja. Sementara, Lanjani bangkit berdiri dari
duduknya di bangku taman kaputren yang letaknya di bagian belakang Istana Batu
Ampar ini. Sebentar matanya menatap tajam pada Dewani yang
masih tetap duduk diam sambil membalas tatapan
penguasa Kerajaan Batu Ampar. Sesaat mereka saling menatap tajam sekali.
Kemudian, Lanjani memutar tubuhnya berbalik. Lalu, dia melangkah cepat meninggalkan gadis itu.
Sementara Dewani masih tetap duduk di bangku taman kaputren itu. Matanya masih
tetap menatap tajam pada Lanjani yang semakin jauh meninggalkannya. Kemudian,
penguasa Kerajaan Batu Ampar itu menghilang di balik pintu taman kaputren ini.
Dewani menarik napas dalam-dalam. Pandangannya kini beredar ke sekeliling,
merayapi sekitar taman kaputren yang begitu indah dihiasi bunga-bunga bermekaran
menyebarkan aroma harum menusuk
hidung. "Edan...! Sampai-sampai kaputren dijaga ketat begini.
Hhh..., Lanjani benar-benar sudah keterlaluan. Istana ini dijadikan seperti
benteng yang akan diserang musuh saja,"
desis Dewani dalam hati.
Memang, di sekitar taman kaputren ini terlihat beberapa orang berseragam
prajurit pengawal yang berjaga-jaga bersenjata lengkap.
"Hhh.... Kalau saja aku bisa keluar dari sini...," desah Dewani lagi dalam hati.
Wajah gadis itu jadi berubah mendung. Sinar matanya begitu kosong, merayapi
tanaman bunga yang bermekaran begitu indah. Tapi di mata Dewani, keindahan itu
tidak bisa lagi dinikmati. Semua bunga yang ada dalam taman
kaputren ini seakan hanya bunga bangkai yang berbau busuk. Tak ada lagi
keindahan. Tak ada lagi keharuman dan semerbak wangi bunga-bunga. Yang ada hanya
kemesuman bagai berada dalam neraka.
"Apa pun akibatnya, aku harus bisa keluar dari sini..,"
desis Dewani bertekad.
*** Malam sudah begitu larut, tapi Dewani belum juga bisa memejamkan matanya. Entah,
sudah berapa kali dia berjalan memutari kamarnya. Dan sudah beberapa kali pula
matanya merayapi keluar, dari jendela kamar yang dibuka lebar. Keningnya
terlihat berkerut begitu dalam, mencari cara untuk bisa keluar dari istana ini.
Tapi sampai saat ini, belum juga bisa ditemukan cara yang terbaik.
"Huh! Siang malam istana ini selalu dijaga ketat. Bagaimana aku bisa keluar...?"
dengus Dewani kesal dalam hati.
Tatapan matanya begitu tajam, merayapi para prajurit yang tidak berapa jauh dari
jendela kamarnya. Ada sekitar enam orang prajurit yang menyandang senjata
lengkap, bagai hendak menghadapi peperangan. Belum lagi se-kelompok prajurit
yang selalu meronda mengelilingi sekitar istana ini secara bergantian. Dewani
benar-benar tidak lagi memiliki kesempatan. Tapi begitu menatap ke arah tembok
benteng sebelah Timur, mendadak saja matanya jadi terbeliak lebar.
"Heh..."!"
Hampir Dewani tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas tembok yang cukup
gelap dan agak terlindung oleh pohon beringin, terlihat seseorang bertubuh
ramping. Bajunya berwarna kuning gading yang begitu ketat. Belum juga Dewani
bisa melihat jelas, tiba-tiba saja sosok tubuh berbaju kuning itu sudah melesat
cepat. Begitu cepatnya gerakan sosok tubuh berbaju kuning itu, sehingga Dewani tidak
bisa lagi melihat jelas. Tahu-tahu, terdengar suara-suara mengeluh pendek yang
saling susul. Kembali bola mata gadis itu terbeliak, begitu melihat enam orang
prajurit yang berjaga tidak jauh dari jendela kamarnya sudah tergeletak di
tanah. Dan sebelum Dewani bisa menyadari apa yang baru saja dilihatnya, tibatiba saja sosok tubuh berbaju kuning itu sudah melesat ke arahnya.
Kecepatannya begitu cepat luar biasa.
"Heh..."!"
Dewani jadi tersentak kaget begitu tiba-tiba merasakan hembusan angin yang
begitu keras. Gadis itu semakin terbeliak lebar begitu menyadari kalau di dalam
kamarnya, tahu-tahu sudah ada seseorang berbaju kuning gading.
Bajunya juga begitu ketat sehingga membentuk tubuhnya yang ramping. Sukar bagi
Dewani untuk bisa mengenali, karena orang ini mengenakan sebuah caping lebar.
Sehingga, seluruh wajahnya hampir tertutupi. Hanya bagian dagu dan sedikit
bibirnya saja yang terlihat samar-samar.
"Siapa kau...?" tanya Dewani, agak bergetar suaranya.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Sebaiknya ber-siap-siaplah keluar dari sini.
Sementara aku akan menarik perhatian para penjaga, kau keluar melewati benteng
sebelah Timur," ujar sosok tubuh berbaju kuning gading itu datar. Dari nada
suaranya, jelas kalau dia seorang wanita.
"Kau bisa melompati tembok itu, bukan...?"
Dewani berpaling sebentar, menatap tembok benteng
yang tingginya lebih dari dua batang tombak. Sedikitnya, dia memang pernah
mempelajari ilmu olah kanuragan, dan ilmu meringankan tubuh. Tapi, gadis itu
tidak yakin bisa melompati tembok benteng yang begitu tinggi. Jangankan mencoba,
memikirkannya pun tidak pernah terlintas dalam benaknya. Dewani kembali menatap
wanita aneh berbaju kuning gading itu.
"Aku tidak yakin bisa melakukannya. Aku belum pernah melompat setinggi itu,"
keluh Dewani, agak lirih nada suaranya.
"Kalau begitu, aku akan melemparkanmu ke sana," ujar wanita berbaju kuning
gading itu. "Heh..."!" Dewani jadi terkejut setengah mati.
"Kau tidak perlu khawatir, Dewani. Ada temanku yang akan menyambutmu di luar
sana," jelas wanita aneh itu lagi.
Dan sebelum Dewani bisa berkata apa-apa lagi, tiba-tiba saja wanita aneh berbaju
kuning gading itu sudah melompat cepat sambil menyambar tubuh Dewani. Gadis itu
sampai terpekik kaget, tapi tidak bisa lagi melakukan sesuatu. Bahkan juga belum
sempat disadarinya, begitu wanita berbaju kuning gading yang tidak ketahuan
siapa sebenarnya, tiba-tiba sudah berada di dekat tembok benteng sebelah Timur.
Pada saat itu, serombongan
prajurit yang sedang meronda lewat di sana.
"Hei..!" bentak salah seorang prajurit itu ketika melihat mereka.
"Hup...!"
Tanpa bicara sedikit pun, wanita aneh berbaju serba kuning yang begitu ketat itu
melemparkan Dewani ke atas.
Tubuh gadis itu melayang deras ke udara, seperti segumpal kapas yang tertiup
angin. Gadis itu sampai menjerit ngeri begitu tubuhnya melayang ke udara, hingga
melewati tembok benteng yang cukup tinggi.
Tepat di saat tubuh Dewani meluruk deras keluar
benteng. sekitar dua puluh prajurit yang memergoki sudah berlarian ke arah
wanita berbaju kuning gading itu. Tapi sebelum para prajurit penjaga mendekat,
tiba-tiba saja wanita aneh berbaju kuning itu melepaskan selembar selendang
berwarna kuning keemasan yang membelit
pinggangnya. "Hiyaaa...!"
Wukkk! Cepat sekali wanita berbaju kuning gading itu mengebutkan senjatanya ke depan.
Selendang kuning keemasan yang panjangnya lebih dari tiga batang tombak itu
meluncur deras, menghajar tiga orang prajurit sekaligus yang berada paling
depan. Ketiga prajurit itu menjerit melengking tinggi. Tubuh mereka langsung
terpental ke belakang, menabrak beberapa prajurit yang berlari-lari cepat di
belakang. Dan sebelum prajurit-prajurit yang lain bisa bertindak, wanita aneh berbaju
kuning gading itu sudah melompat ke depan sambil mengebutkan cepat selendangnya.
Selendang kuning keemasan itu meluncur deras. Bahkan meliuk-liuk bagai seekor
ular naga mengamuk, menghajar para prajurit itu. Jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi terdengar seketika saling susul. Tampak beberapa prajurit
kembali berpentalan, dan langsung ambruk tak mampu bangun lagi. Darah langsung
mengucur dari tubuh-tubuh yang tersambar ujung selendang kuning keemasan itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Wanita berbaju kuning itu terus berlompatan sambil mengebutkan cepat
selendangnya. Hingga, tak ada seorang prajurit pun yang mampu bertahan lagi.
Beberapa orang prajurit yang memiliki kepandaian cukup, masih sempat berlompatan
menghindar. Tapi mereka juga tidak bisa bertahan lebih lama lagi, karena
serangan-serangan yang dilancarkan wanita aneh berbaju kuning gading itu
demikian gencar dan cepat luar biasa. Hingga dalam waktu yang tidak berapa lama
saja, dua puluh orang prajurit sudah bergelimpangan bersimbah darah tak bernyawa
lagi. "Phuih...!"
Wanita aneh yang memakai caping besar hingga
menutupi hampir seluruh wajahnya itu mendengus berat, saat melihat puluhan
prajurit berlarian menuju ke arahnya.
Jeritan-jeritan dua puluh prajurit itu rupanya terdengar ke seluruh bagian
istana ini. Sehingga, para prajurit yang bertugas jaga malam langsung
berdatangan ke bagian Timur Istana Batu Ampar ini.
"Mustahil aku bisa menghadapi mereka semua...," desis wanita aneh itu menggumam
perlahan. Menyadari kalau tidak akan mungkin bisa menghadapi puluhan prajurit bersenjata
lengkap, maka cepat sekali wanita aneh itu melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu,
manis sekali dia hinggap di atas tembok benteng yang tingginya lebih dari dua
batang tombak. Dan tiba-tiba saja, tangan kanannya berkelebat cepat ke depan.
"Yeaaah...!"
Saat itu juga, dari telapak tangannya meluncur beberapa buah benda bulat sebesar
mata kucing berwarna kuning keemasan. Benda-benda bulat itu meluncur deras dan
langsung menghantam tanah, tepat di depan para prajurit yang sedang berlarian ke
arahnya. Glarrr...! Ledakan-ledakan keras menggelegar seketika itu juga terdengar dahsyat begitu
benda-benda bulat berwarna kuning keemasan menghantam tanah. Beberapa prajurit
yang berada di depan menjerit melengking tinggi, bahkan berpentalan ke belakang.
Sedangkan prajurit-prajurit lain jadi terlongong melihat sekitar sepuluh
prajurit seketika tewas. Tubuh mereka melepuh seperti terbakar, terkena ledakan
dahsyat dari benda-benda kecil berwarna kuning keemasan yang dilepaskan wanita
aneh bercaping dan berbaju kuning gading.
"Hup...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, wanita berbaju
kuning gading itu cepat melompat turun dari atas tembok benteng ini. Gerakannya
begitu ringan, sehingga tak ada suara sedikit pun yang terdengar saat kedua
kakinya mendarat di luar tembok benteng. Kakinya mendarat tepat di depan Dewani
yang kini sudah ditemani seorang laki-laki berjubah putih bersih. Sebatang
tongkat tak beraturan bentuknya tampak tergenggam di tangan kanan. Dia juga
mengenakan caping bambu berukuran lebar, seperti yang dikenakan wanita aneh
berbaju kuning gading.
"Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini," ajak wanita aneh berbaju kuning gading.
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka bergegas
berlompatan naik ke atas punggung kuda. Memang ada tiga ekor kuda yang sudah
menunggu di luar benteng sebelah Timur ini. Tak berapa lama kemudian, tiga ekor
kuda sudah berpacu cepat meninggalkan benteng Istana Batu Ampar sebelah Timur.
*** Lanjani begitu berang menerima laporan kalau Dewani
berhasil meloloskan diri, dibantu seseorang yang tidak diketahui siapa adanya.
Bahkan lebih dari tiga puluh orang prajuritnya tewas. Begitu berangnya, sehingga
jago-jago Istana Batu Ampar ini diperintahkan untuk mengejar malam itu juga.
Bahkan hampir seluruh prajurit dikerahkan untuk mengejar Dewani.
"Sudah kuperingatkan, tidak ada gunanya memper-tahankan gadis itu tetap hidup,
Lanjani. Bahkan bisa-bisa membahayakan kedudukanmu sebagai ratu yang berkuasa di
Kerajaan Batu Ampar ini," kata si Cambuk Setan.
Lanjani hanya diam saja. Wajahnya tampak memerah,
menahan kemarahan yang amat sangat dalam dadanya.
Dia berdiri mematung di depan jendela, memandang lurus ke dalam kegelapan yang
begitu pekat malam ini. Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berat penguasa Kerajaan Batu Ampar itu memutar tubuhnya
berbalik. Pandangannya langsung tertuju pada Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak
yang berdiri berdampingan tidak berapa jauh darinya. Di dalam ruangan yang
berukuran sangat luas dan megah ini, hanya ada mereka bertiga.
"Ini sudah ketiga kalinya Dewani membuat kesulitan buat kita." tegas Cambuk
Setan, namun agak mendesah nada suaranya.
"Tapi aku tidak mungkin melenyapkannya begitu saja, Paman Cambuk Setan," tukas
Lanjani pelan. Begitu pelannya, hampir tak terdengar. Tapi dari nada suaranya, begitu jelas
terasa kalau hatinya memendam kemarahan yang tak bisa lagi ditutupi. Tapi,
kemarahannya itu juga mengandung suatu kecemasan.
"Kenapa tidak, Lanjani.." Kejadian yang sudah ber-ulangkali ini sudah memberi
satu alasan kuat bagimu untuk menyingkirkan Dewani selama-lamanya. Dan
kedudukanmu akan semakin kokoh, tanpa harus dihantui bayang-bayang gadis itu
lagi," selak Iblis Pedang Perak yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Lanjani. Dengan lenyapnya Dewani, itu berarti tidak ada lagi yang bisa
mengungkit dan memaksamu
turun takhta. Kau akan semakin kuat bahkan bisa
mengambil kerajaan-kerajaan kecil yang bertetangga dengan kita," sambung Cambuk
Setan, begitu ber-semangat. "Dengan adanya aku dan Iblis Pedang Perak tak ada
satu kerajaan pun yang akan sanggup menandingi kekuatan Batu Ampar, Lanjani.
Bahkan kau bisa menarik jago-jago rimba persilatan dengan kekayaanmu yang
belimpah. Terlebih lagi, jika sudah bisa menguasai kerajaan-kerajaan lain. Akan
semakin banyak upeti yang mengalir kepadamu."
Lanjani hanya diam saja seperti berpikir menyimak kata-kata yang diucapkan si
Cambuk Setan barusan.
"Kau harus ingat cita-cita dan tujuanmu semula, Lanjani.
Hanya kau satu-satunya yang bisa diharapkan untuk
menjadi penerus cita-cita besar kami semua," bujuk Cambuk Setan lagi. "Bukan
begitu, Pedang Perak..?"
"Benar," sahut Iblis Pedang Perak seraya menganggukkan kepala.
"Dan ini merupakan satu kesempatan besar yang tidak boleh disia-siakan begitu
saja," kata Cambuk Setan lagi.
Sementara Lanjani masih tetap diam membisu.
Sedangkan Cambuk Setan sudah membuka mulutnya,
hendak bicara lagi Tapi belum juga suaranya keluar, tiba-tiba saja....
"Awas...!" seru Iblis Pedang Perak. "Hup...!"
"Uts...!"
Lanjani cepat memiringkan tubuh ke kanan, begitu tiba-tiba si Iblis Pedang Perak
melompat ke depannya. Dan cepat sekali, tangan Iblis Pedang Perak bergerak di
samping wajah Lanjani. Wanita berwajah cantik, bertubuh sintal dan padat berisi
itu jadi terbeliak begitu dalam genggaman tangan Iblis Pedang Perak tardapat
sebatang anak panah berwarna kuning keemasan.
"Ada suratnya. Lanjani...." jelas Iblis Pedang Perak seraya menyerahkan anak
panah yang tadi meluncur deras dari jendela, dan berhasil ditangkapnya.
Lanjani cepat mengambil anak panah itu. Memang,
pada bagian tengah batang anak panah berwarna kuning keemasan itu terdapat
selembar daun lontar yang terikat pita berwarna merah darah. Lanjani cepat-cepat
melepaskan ikatan pita merah itu, dan membuka daun lontar yang tergulung pada
batang anak panah.
"Setan...!" desks Lanjani, begitu membaca sebaris tulisan yang tertera di atas
daun lontar itu.
"Ada apa, Lanjani?" tanya Cambuk Setan.
"Kau baca ini, Paman," ujar Lanjani seraya menyerahkan daun lontar itu.
Cambuk Setan segera mengambil lembaran daun lontar itu. Keningnya jadi berkerut
begitu membaca sebaris tulisan yang begitu rapi, dan seperti ditulis menggunakan
darah. Sementara, Iblis Pedang Perak yang juga melihat tulisan di dalam lembaran
daun lontar itu menggumam membaca sebaris kalimat yang tertera di sana.
"Jangan bermimpi terlalu muluk. Kau tak berhak atas takhta Batu Ampar!" kata
Iblis Pedang Perak mengulangi tulisan surat itu.
"Keparat...! Siapa yang berani berbuat edan seperti ini, heh..."!" Geram Cambuk
Setan sambil meremas lembaran daun lontar itu.
"Siapa pun orangnya, sudah jelas surat itu ditujukan padaku, Paman," kata
Lanjani, agak ditekan nada suaranya.
Cambuk Setan bergegas melangkah mendekati jendela.
Pandangannya langsung diedarkan merayapi keadaan di luar jendela itu. Tapi yang
ada di depan matanya hanya kegelapan saja. Hanya pohon-pohon yang menghitam,
tanpa sedikit pun mendapat cahaya rembulan yang bersembunyi di balik awan hitam
nan tebal. "Kau lihat, siapa yang mengirim surat edan itu, Pedang Perak?" tanya Cambuk
Setan seraya memutar tubuh, dan langsung menatap si Iblis Pedang Perak.
"Aku tidak sempat memperhatikan," sahut Iblis Pedang Perak.
"Hm... Aku merasa persoalan ini akan berbuntut panjang," gumam Cambuk Setan
perlahan sambil memandangi anak panah berwarna kuning keemasan yang
kini sudah berada dalam genggaman tangannya.
Laki-laki berusia setengah baya mengenakan baju warna hitam pekat itu, menatap
cukup dalam pada Lanjani.
Kemudian pandangannya beralih pada Iblis Pedang Perak yang juga tengah memandang
ke arahnya. "Kau kenali anak panah itu...?" tanya Cambuk Setan seraya menatap Iblis Pedang
Perak dan Lanjani bergantian.
Mereka hanya menggeleng kepala saja.
"Pemilik panah ini pasti orang yang sama dengan yang membantu Dewani keluar dari
istana ini," duga Cambuk Setan setengah menggumam.
"Bagaimana kau bisa memastikan, Paman Cambuk
Setan?" tanya Iblis Pedang Perak.
"Kau ingat, apa yang dilaporkan para prajurit" Orang yang membantu Dewani
menggunakan senjata selendang warna kuning emas. Bahkan saat meloloskan diri pun
melepaskan beberapa buah senjata peledak yang
berwarna kuning emas juga. Dan sekarang anak panah ini, juga berwarna kuning
emas," Jelas Cambuk Setan.
"Hm..., benar juga," gumam Ibfa Pedang Perak.
"Tapi, siapa dia sebenarnya, Paman?" tanya Lanjani ingin tahu.
"Aku pernah mendengar ada seorang tokoh kosen yang selalu menggunakan senjata
berwarna kuning emas.
Tapi..." jawaban Cambuk Setan terputus.
"Tapi kenapa, Paman?" desak Lanjani.
"Aku tidak percaya kalau dia sampai ikut campur dalam persoalan ini," desah
Cambuk Setan perlahan.
"Kau tahu, siapa dia, Paman?" desak Lanjani lagi semakin ingin tahu.
"Di kalangan rimba persilatan, memang tidak ada lagi yang selalu menggunakan
senjata berwarna kuning emas.
Dan orang itu berjuluk Dewi Selendang Maut," jelas Cambuk Setan, hampir tak
terdengar suaranya.
"Siapa..."!" sentak Iblis Pedang Perak hampir tak percaya dengan apa yang baru
saja didengarnya.
"Dewi Selendang Maut," ulang Cambuk Setan.
*** 3 Memang sukar di percaya. Mereka semua tahu, Dewi
Selendang Maut sudah lebih dari sepuluh tahun tidak lagi terdengar namanya.
Bahkan semua orang di kalangan
rimba persilatan sudah menduga kalau tokoh wanita tua yang memiliki kepandaian
tinggi dan sukar dicari
tandingannya itu sudah meninggal dunia. Atau paling tidak, sudah meninggalkan
keganasan rimba persilatan.
Hal inilah yang membuat si Cambuk Setan dan Ibis
Pedang Perak jadi terdiam membisu, tak berkata-kata lagi.
Sedangkan Lanjani yang belum pernah mendengar tokoh wanita kosen itu hanya bisa
memandangi dua orang jago andalannya. Dan untuk beberapa waktu tamanya, mereka
tak ada yang berbicara sedikit pun. Semua terdiam seperti tersirep, hingga tak
mampu lagi membuka suara sedikit pun.
"Bisa kalian jelaskan, siapa Dewi Selendang Maut itu...?"
Lanjani tidak bisa juga menahan rasa keingintahuannya.
Baik si Cambuk Setan maupun Iblis Pedang Perak tidak ada yang menjawab. Mereka
saling berpandangan beberapa saat, lalu sama-sama melepaskan napas panjang yang
terasa begitu berat. Kemudian, mereka sama-sama memandang Lanjani yang juga
tengah memandangi kedua laki-laki jago andalannya ini.
"Paman Cambuk Setan.... siapa Dewi Selendang Maut itu?" tanya Lanjani lagi,
meminta penjelasan setelah melihat kedua jago andalannya kelihatan begitu cemas.
"Aku sendiri belum yakin kalau dia muncul lagi, dan mencampuri urusan ini...,"
ungkap si Cambuk Setan, agak mendesah nada suaranya.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Paman?" desak Lanjani semakin penasaran.
"Karena sudah lebih dari sepuluh tahun dia tidak pernah kelihatan lagi. Bahkan
kabar beritanya pun tidak pernah terdengar lagi. Semua orang memastikan kalau
Dewi Selendang Maut sudah meninggal. Paling tidak, sudah meninggalkan dunia
persilatan." kata si Cambuk Setan mencoba menjelaskan.
"Kalau memang sudah tidak ada lagi, kenapa kalian jadi kelihatan begitu cemas?"
"Lanjani.... Jika Dewi Selendang Maut benar-benar muncul lagi, tak ada seorang pun
yang mampu meng-hadapinya. Bahkan aku sendiri sudah pasti tidak mampu
menandinginya. Kepandaiannya begitu tinggi, dan sukar dicari tandingannya."
jelas si Cambuk Setan, bernada mengeluh.
"Dewi Selendang Maut menghilang sepuluh tahun lalu, karena tidak ada lagi yang
bisa menandinginya." sambung Iblis Pedang Perak.
Meskipun Iblis Pedang Perak masih berusia sekitar tiga puluh lima tahun, tapi
pengetahuannya tentang tokoh-tokoh tua berkepandaian tinggi cukup luas juga.
Malah bukan hanya tokoh-tokoh kosen yang menghilang baru sepuluh tahun. Yang
hidup di atas seratus tahun lalu pun, diketahuinya juga. Bahkan dipelajarinya
dengan seksama.
Bukan hanya tingkatan kepandaiannya saja, tapi segala kepribadian golongannya
pun dipelajari.
"Dewi Selendang Maut menghilang dari rimba persilatan setelah bertarung melawan
Pendekar Bayangan Dewa.
Hanya pendekar itu saja yang mampu menandingi
kesaktiannya. Dalam pertarungan itu, tak ada yang tahu hasilnya. Dan mereka
sama-sama tidak terdengar lagi namanya setelah pertarungan itu," jelas Ibis
Pedang Perak lagi.
"Hm... Dari golongan apa dia?" tanya Lanjani.
"Sama seperti kami," sahut Iblis Pedang Perak.
"Kau tahu, di mana pertarungan itu terjadi?" tanya Lanjani begitu ingin tahu.
"Di Puncak Gunung Haling." sahut Iblis Pedang Perak lagi.
"Dan di sana pula mereka menghilang?" tanya Lanjani lagi. "Kabarnya memang
begitu," sahut Iblis Pedang Perak.
Lanjani tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepala. Tubuhnya berputar berbalik, lalu melangkah perlahan menuju pintu yang
sejak tadi tertutup rapat.
Sementara itu, rona merah mulai membias di ufuk Timur.
Memang, sudah sejak tadi telah terdengar suara kokok ayam jantan di kejauhan.
Kicauan burung pun sudah
begitu ramai terdengar. Pagi memang sudah datang. Dan itu berarti mereka
semalaman penuh tidak memejamkan mata sedikit pun.
"Siapkan kuda kalian. Kita berangkat ke Gunung Haling,"
ujar Lanjani seraya membuka pintu.
"Eh..."!"
Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak jadi terperangah.
Tapi sebelum mereka bisa berkata sesuatu, Lanjani sudah menghilang di balik
pintu yang kembali tertutup rapat.
Kedua orang jago dari Kerajaan Batu Ampar itu hanya bisa saling berpandangan.
Mereka benar-benar tidak mengerti terhadap keputusan yang begitu tiba-tiba dari
junjungan mereka.
"Apa maksudnya dia ingin ke sana...?" tanya Iblis Pedang Perak seperti bertanya
pada diri sendrri.
"Entahlah," sahut si Cambuk Setan mendesah. "Sebaiknya ikuti saja keinginannya."
"Hhh...! Sukar sekali untuk bisa mengerti kepribadian-nya," desah Iblis Pedang
Perak. Mereka tidak berkata-kata lagi, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu dengan
hati terus bertanya-tanya.
Keputusan yang begitu mendadak dan tiba-tiba tadi, membuat mereka benar-benar
tidak bisa memahami maksud dan kepribadian Ratu Lanjani yang menguasai Kerajaan
Batu Ampar ini.
*** Siang itu udara terasa begitu panas. Matahari bersinar teramat terik, seakanakan ingin membakar semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Panasnya udara
yang begitu menyengat, sangat terasa di Puncak Gunung Haling yang tampak
gersang, penuh bebatuan. Hanya sedikit saja pepohonan yang tumbuh di sana.
Di puncak gunung yang gersang itu terlihat dua orang yang tengah menjalankan
kudanya perlahan-lahan. Yang menunggang kuda berwarna hitam pekat dan berkilat,
seorang pemuda berwajah tampan dengan tubuh tegap
berotot. Bajunya rompi putih dengan sebuah gagang
pedang berbentuk kepala burung menyembul di balik
punggungnya. Sedangkan seorang lagi yang menunggang kuda putih, adalah seorang gadis cantik
berbaju biru. Sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga berwarna hitam,
menyembul dari balik punggungnya. Tampak di balik ikat pinggangnya yang berwarna
kuning keemasan, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan. Bagian ujungnya
berbentuk runcing, seperti mata anak panah berukuran kecil.
Melihat dari pakaian dan senjata yang disandang, sudah dapat dipastikan kalau
mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Di kalangan orang-orang persilatan,
mereka lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Kedua pendekar muda itu menghentikan
langkah kaki kudanya, tepat di tengah-tengah Puncak Gunung Haling yang gersang
ini. "Ternyata tidak terlalu sulit mencapai puncak gunung ini, Kakang." ujar Pandan
Wangi seraya turun dari punggung kudanya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja. Dengan
gerakan ringan dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari
punggung kudanya. Mereka kemudian melangkah mendekati sebatang pohon beringin
yang cukup rindang. Hanya pohon ini satu-satunya yang ada di tengah-tengah Puncak
Gunung Haling yang gersang ini.
Sedangkan pohon-pohon lainnya jauh dari sini. Memang sepanjang mata memandang,
puncak gunung ini seperti sebuah gunung batu. Begitu banyaknya batu yang
berserakan di sini, sehingga membuat udara jadi begitu panas menyengat.
"Kau yakin di sini tempatnya, Pandan?" tanya Rangga setelah berada di bawah
naungan rindangnya pohon
beringin, sehingga melindungi kedua pendekar muda itu dari sengatan sinar
matahari yang begitu terik.
"Begitulah keterangan yang kuperoleh." sahut Pandan Wangi.
"Aku tidak melihat ada tanda-tanda orang pernah datang ke sini, Pandan," kata
Rangga lagi seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
"Tempat ini memang hanya dijadikan ajang adu
kesaktian." jelas Pandan Wangi, seperti tahu betul akan tempat gersang ini. "Dan
terakhir kali orang datang ke sini pada waktu sepuluh tahun yang lalu, ketika
terjadi pertarungan antara Bibi Dewi Selendang Maut melawan Paman Pendekar
Bayangan Dewa. Dan setelah itu, tidak ada lagi orang yang datang ke sini sampai
sekarang."
"Jadi baru kita berdua saja yang datang ke sini selama sepuluh tahun ini,
Pandan?" nada suara Rangga seperti bertanya.
"Sudah lebih dari sepuluh tahun, Kakang. Tapi, aku tidak tahu pasti tepatnya.
Soalnya, ada juga orang yang
mengatakan sudah lima belas tahun. Juga ada yang
mengatakan sudah dua belas tahun."
Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
Kembali pandangannya beredar ke sekeliling. Bola
matanya jadi pedih, karena matahari yang memancar siang ini memang begitu terik.
Sehingga, sekitar mereka seperti terdapat rintik-rintik air bagai berada di
lautan lepas yang begitu luas tak bertepi. Angin yang berhembus kencang pun
seakan-akan tidak mampu mengurangi sengatan
matahari yang terus membakar apa saja.


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu, apa sebenarnya tujuanmu ke sini, Pandan?" tanya Rangga yang memang belum
diberi tahu tujuan gadis itu membawanya ke Puncak Gunung Haling.
"Aku hanya ingin mendapatkan kepastian saja," sahut Pandan Wangi.
"Maksudmu?"
"Kau tahu, Kakang, Antara Bibi Dewi Selendang Maut dan Paman Pendekar Bayangan
Dewa masih ada hubungan darah persaudaraan. Dan dari keterangan yang kuperoleh, tinggal aku
sendiri salah satu keponakannya yang masih hidup. Sedangkan kau tahu sendiri,
tidak ada lagi sanak keluargaku yang masih ada," jelas Pandan Wangi tentang
maksudnya datang ke Puncak Gunung
Haling ini. Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Bisa dimengerti kalau Pandan Wangi memang
selalu ingin mencari tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Dan gadis itu memang
sudah terpisah dari sanak keluarganya sejak masih bayi.
Jadi, tidak mustahil jika keraguan akan dirinya masih begitu membayanginya.
Bahkan sampai sekarang, gadis itu masih terus mencari di mana saja orang-orang
yang masih terikat tali persaudaraan dengannya. Tapi, kebanyakan dari mereka
memang sudah tidak ada lagi di dunla ini.
Itulah sebabnya, mengapa Pandan Wangi selalu memburu siapa saja jika memperoleh keterangan tentang keluarganya. Si Kipas Maut
ini baru merasa puas jika sudah mendapatkan keterangan yang pasti dan jelas,
meskipun setiap kali apa yang diperolehnya selalu
mengecewakan. "Mereka bersaudara, tapi kenapa sampai bertarung, Pandan?" tanya Rangga setelah
cukup lama berdiam diri.
"Waktu itu tidak ada lagi lawan yang bisa diperoleh, Kakang. Dan lagi, jalan
yang ditempuh satu sama lain memang sangat berlawanan. Dari yang kudengar, Paman
Pendekar Bayangan Dewa memang sudah lama mencari
Bibi Dewi Selendang Maut. Dan Paman Pendekar
Bayangan Dewa sudah bertekad hendak menghentikan
sepak terjang Bibi Dewi Selendang Maut yang selalu merugikan dan menyengsarakan
orang banyak. Aku rasa, memang tidak aneh jika mereka terus bertentangan.
Hingga mereka akhirnya terpaksa bertarung di Puncak Gunung Haling ini. Dalam
kehidupan rimba persilatan memang jarang sekali ditemui tali persaudaraan,
Kakang. Dan itu seringkali kudengar dari kakek yang mengurusku sejak kecil. Meskipun,
kenyataannya dia bukanlah kakekku yang sebenarnya," Jelas Pandan Wangi lagi.
"Kalau begitu, sebaiknya kita tidak terlalu lama berteduh di sini, Pandan. Lebih
cepat mengetahui tempat pertarungan itu, aku rasa akan lebih baik lagi," kata
Rangga seraya bangkit berdiri.
"Ya! Aku Juga sudah tidak sabar lagi. Kakang." sambut Pandan Wangi.
Rangga mengulurkan tangannya yang langsung disambut Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti membantu gadis ini bangkit. Mereka
kemudian melangkah sambil menuntun tali kekang kuda masing-masing. Kedua
pendekar muda itu berjalan perlahan-lahan sambil meneliti setiap jengkal
bebatuan yang dilewati dengan penuh seksama.
"Kakang...."
Pandan Wangi mencolek lengan Rangga, lalu menunjuk ke arah lereng gunung sebelah
Selatan. Rangga segera mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi.
Tampak di lereng gunung yang jarang ditumbuhi pepohonan, terlihat tiga orang
penunggang kuda tengah mendaki lereng Gunung Haling ini. Lereng yang penuh
bebatuan itu memang tidak mudah didaki. Terlebih lagi dengan menunggang kuda.
Mereka harus hati-hati agar tidak tergelincir.
"Apa maksudnya mereka datang ke sini...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya
pada diri sendtri.
"Kau kenali mereka, Pandan?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi. "Tapi dari pakaiannya..., mereka seperti orangorang dari Kerajaan Batu Ampar, Kakang"
Rangga sedikit menyipitkan matanya. Diam-diam,
dikerahkannya aji 'Tatar Netra' untuk melihat lebih jelas lagi ketiga penunggang
kuda itu. Dua orang laki-laki dan seorang wanita yang mengenakan pakaian seperti
layaknya rakyat Kerajaan Baru Ampar. Persis seperti yang dikatakan Pandan Wangi.
Setiap kerajaan memang mempunyai ciri tersendiri dalam berpakaian. Dan mereka
tahu, pakaian yang seperti itu biasanya dkenakan orang-orang Kerajaan Batu
Ampar. Karena sebelum berada di sini, Rangga dan Pandan Wangi sempat singgah di
sana. "Sebaiknya kita menyingkir dulu dari sini, Kakang.
Sebelum mereka melihat" usul Pandan Wangi.
"Kita ke gua itu," ajak Rangga sambil menunjuk sebuah mulut gua yang tidak
begitu besar ukurarrnya.
"Mereka pasti akan ke sana jika melihatnya, Kakang."
"Tidak, kalau ditutupi batu"
Tanpa bicara lagi, mereka segera melangkah menuju
gua batu yang berlumut dan tidak begitu besar itu Dan sudah barang tentu, kudakuda mereka tidak bisa masuk ke dalam sana. Sehingga, Rangga meme-rintahkan kuda
hitamnya yang bernama Dewa Bayu untuk membawa pergi kuda putih milik Pandan
Wangi. Kedua kuda itu berpacu cepat meninggalkan Puncak Gunung Haling ini,
melalui jalan Utara. Sehingga, alur jalan yang dilalui kedua kuda itu berlawanan
dengan jalan yang dilalui ketiga orang yang dilihat Rangga dan Pandan Wangi.
Setelah berada di dalam gua batu, Rangga segera
menutupinya dengan bebatuan yang banyak berserakan di sekitarnya. Sehingga,
mulut gua itu benar-benar tertutup, dan hanya ada sedikit celah untuk mengintip
ke luar. Sementara tiga orang penunggang kuda itu semakin
mendekati Puncak Gunung Haling ini.
Ketiga penunggang kuda itu ternyata tak lain dari Ratu Lanjani, Iblis Pedang
Perak dan si Cambuk Setan. Mereka langsung berlompatan turun dari punggung kuda
masing-masing begitu sampai di bawah pohon beringin, di tengah-tengah Puncak
Gunung Haling ini. Di bawah pohon itu, Rangga dan Pandan Wangi tadi sempat
melepas lelah. Dan sekarang ketiga orang itu juga melepas lelah di sana, setelah
melakukan perjalanan yang cukup berat mendaki Gunung Haling yang gersang dan
penuh bebatuan ini.
"Di mana pertarungan itu berlangsung, Pedang Perak?"
tanya Lanjani, seakan-akan tidak sabar lagi ingin tahu.
"Di sini. Pohon beringin ini satu-satunya yang dijadikan tanda untuk pertemuan
itu," sahut Iblis Pedang Perak begitu yakin.
"Lebih dari sepuluh tahun. Tapi, pohon ini masih tetap saja hidup di tempat yang
sangat gersang begini," desah Lanjani setengah menggumam.
"Jangan heran, Lanjani. Pohon beringin bisa hidup lebih dari seratus tahun,"
selak si Cambuk Setan.
"Aku tahu... Tapi, sama sekali di tempat ini tidak terlihat adanya tanda-tanda
pernah dijadikan ajang pertarungan."
sergah Lanjani.
"Pertarungan itu sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sudah barang
tentu, bekas-bekasnya juga hilang ditelan zaman," sahut si Cambuk Setan lagi.
"Sebenarnya, apa tujuanmu, Lanjani?" tanya si Cambuk Setan masih belum juga
mengetahui tujuan yang sebenarnya dari keinglnan Lanjani yang terasa aneh itu.
"Dewi Selendang Maut," sahut Lanjani kalem, diiringi senyuman manis.
"Maksudmu...?"
"Pertarungan itu berakhir tanpa ada seorang pun yang mengetahul hasilnya. Dan di
dalam pertarungan, hanya ada dua kemungkinan. Salah satu tewas, atau keduanya
yang tewas. Sedangkan setelah pertarungan itu, mereka sama-sama menghilang tak
jelas lagi kabar beritanya. Hal itu membuatku jadi berpikir, kalau keduanya
lelah tewas. Atau paling tidak, sama-sama terluka parah yang tak mungkin bisa terobati lagi,"
Lanjani mengemukakan pendapatnya.
"Lalu..?" si Cambuk Setan masih belum juga mengerti.
"Kau kan tahu, aku cukup mahir menggunakan
selendang sebagai senjata, Paman..." kata Lanjani, masih terdengar kalem nada
suaranya. "O... Jadi, maksudmu sebenarnya ingin mendapatkan Selendang Maut..?" si Cambuk
Setan mulai bisa mengerti.
"Tepat, Paman. Dengan Selendang Maut, aku bisa mem-perdalam jurus-jurus
permainan selendangku. Dan bukannya tidak mustahil kalau tingkat kepandaianku
semakin bertambah berkat Selendang Maut itu"
"Sungguh, aku tidak pernah berpikir sampai ke situ," aku si Cambuk Setan tidak
menyangka kalau Lanjani punya pikiran seperti itu.
"Itulah sebabnya, kenapa kuminta kalian menemaniku ke sini. Terutama kau, Pedang
Perak. Kau yang lebih tahu tentang kejadian itu. Aku ingin kau membantuku
mendapatkan Selendang Maut untukku," pinta Lanjani seraya menatap tajam pada
Iblis Pedang Perak.
"Aku tidak bisa janji. Apalagi memastikan bisa mem-perolehnya, Lanjani. Tapi aku
akan berusaha mencari Selendang Maut itu," tegas Iblis Pedang Perak mantap.
"Bagus. Memang itu yang kuharapkan, Pedang Perak"
Setelah berkata demikian, Lanjani kembali melompat naik ke punggung kudanya.
Kemudian kudanya digebah sehingga berjalan perlahan-lahan menuju kembali ke arah
kedatangannya semula tadi. Si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak bergegas
mengikuti wanita cantik itu.
"Kita kembali dulu. Besok, baru kita mulai pencarian ini,"
ujar Lanjani setelah kedua jago andalannya berada di samping kanan dan kirinya.
Sementara tanpa diketahui. Rangga dan Pandan Wangi yang berada di tempat
persembunyiannya. Dan jelas
mendengar percakapan itu. Bahkan mereka terus memperhatikan sampai ketiga orang itu kembali menuruni Lereng Gunung Haling.
Kedua pendekar muda itu baru keluar dari tempat
persembunyiannya setelah ketiga orang itu sudah cukup jauh menuruni Lereng
Gunung Haling ini. Mereka berdiri tegak di depan mulut gua, memandangi Lanjani
dan dua orang jago andalannya yang selalu setia mendampingi.
"Aku tahu, siapa wanita itu...," ungkap Rangga, agak menggumam nada suaranya.
"Siapa, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali
Sakti. "Lanjani... Dia Ratu Batu Ampar." sahut Rangga, masih terdengar menggumam
suaranya. "Eh..."! Sejak kapan Batu Ampar dipimpin seorang ratu, Kakang?" tanya Pandan
Wanoj terkejut.
"Sejak Prabu Jaya Permana meninggal karena sakit yang berkepanjangan. Tapi
seharusnya bukan Lanjani yang menjadi ratu di sana. Masih ada orang lain yang
lebih berhak. Tapi entah kenapa, justru Lanjani yang menduduki takhta. Dan kedua
orang pengawalnya itu, hm.... Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan dari golongan
hitam. Mereka akan menjilat siapa saja untuk kepentingan dan kekayaan diri
sendiri," jelas Rangga, masih terdengar perlahan nada suaranya.
"Sebenarnya, siapa yang berhak menduduki takhta Batu Ampar, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. "Raden Kumala. Tapi, namanya menghilang begitu saja pada saat Prabu Jaya Permana
wafat. Sedangkan yang tinggal hanya adiknya saja. Tapi, adiknya itu tidak punya
hak untuk menduduki takhta selama Raden Kumaia belum jelas nasib dan rimbanya.
Kalau keadaan Raden Kumaia sudah jelas, maka yang berhak menduduki takhta adalah
adik perempuannya," kata Rangga menjelaskan.
"Rumit...," desah Pandan Wangi.
"Memang sulit dipahami cara dan tata kepemerintahan, Pandan."
"Tapi, kenapa justru Lanjani yang sekarang menduduki takhta" Apakah dia putri
tertua Prabu Jaya Permana, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi ingin tahu.
"Bukan," sahut Rangga.
"Bukan..." Lalu, siapa dia?"
*** 4 Inilah sulitnya tata kepemerintahan. Tidak semua orang bisa mudah memahaminya.
Itulah sebabnya, para putra mahkota yang dipersiapkan menggantikan ayahnya,
sudah dibekali ilmu-ilmu tata kepemerintahan sejak masih berusia muda. Di
samping juga, dibekali ilmu-ilmu
keprajuritan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dan tentu saja harus lebih tinggi daripada
para panglimanya. Tapi memang, tidak semua putra mahkota memiliki keinginan
mempelajari ilmu keprajuritan dan kesaktian. Bahkan tidak banyak yang justru
menggemari pola kepemimpinan atau ilmu-ilmu sastra.
Hal itu dijelaskan Rangga secara gamblang, sehingga membuat kepala Pandan Wangi
terasa begitu pening.
Gadis itu memang sulit memahami ilmu-ilmu keprajuritan.
Apalagi ilmu tata kepemerintahan. Dia sudah terbiasa mempelajari ilmu olah
kanuragan dan kesaktian. Dan itu sudah didapatkan sejak masih kecil .Tanpa
terasa, mereka terus berbicara sambil berjalan menuruni Lereng Gunung Haling
ini. Dengan demikian mereka semakin jauh
meninggalkan puncak gunung itu.
"Kakang..." desis Pandan Wangi tiba-tiba. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu
mendadak menghentikan
ayunan kakinya. Dan Rangga yang berjalan di sampingnya jadi ikut berhenti.
Langsung ditatapnya Pandan Wangi dalam-dalam.
"Ada apa, Pandan?" tanya Rangga melihat Pandan Wangi hanya diam saja
memandanginya. "Kita sudah menjelajahi seluruh Gunung Haling dari bawah sampai ke puncaknya.
Dan di puncak gunung ini, tidak ada yang bisa ditemukan selain...," Pandan Wangi
menghentikan ucapannya.
"Selain apa, Pandan?" tanya Rangga ingin tahu.
"Hanya ada satu gua di puncak gunung itu. Dan letaknya tidak terlalu jauh dari
tempat pertempuran Bibi Dewi Selendang Maut dan Paman Pendekar Bayangan Dewa,"
jelas Pandan Wangi, begitu sungguh-sungguh suaranya.
"Maksudmu...?"
"Apa tidak mungkin mereka, atau salah satu dari mereka, ada di dalam gua itu.
Kakang," kata Pandan Wangi mengemukakan jalan pikirannya yang tiba-tiba saja
muncul. "Kau benar, Pandan...," desis Rangga agak tersentak.
seperti baru diingatkan.
"Kita kembali lagi ke sana, Kakang," ujar Pandan Wangi.
"Ayolah," ajak Rangga.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua pendekar
muda itu berlari cepat ke Puncak Gunung Haling. Mereka mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi
tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga yang terlihat hanyalah
dua bayangan berkelebatan di antara pohon pohon dan bebatuan.
Begitu tingginya tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua pendekar
muda itu, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah tiba di Puncak Gunung Haling.
Terlebih lagi Pendekar Rajawali Sakti, Ilmu meringankan tubuhnya memang sudah
mencapai ringkat sempurna. Jadi tak heran kalau Rangga lebih dahulu sampai di
depan mulut gua itu daripada si Kipas Maut.
Rangga berdiri tegak memandangi bagian dalam gua
yang begitu pekat, sehingga cukup sulit menembus dengan pandangan mata biasa.
Sementara Pandan Wangi sudah sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya
juga memandangi ke dalam gua yang gelap gulita.
"Kita masuk, Kakang..." ajak Pandan Wangi.
"Kau jangan jauh-jauh di belakangku," kata Rangga.
berpesan. Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan
Rangga sudah mulai melangkah memasuki goa yang tidak begitu besar itu. Atap gua
ini memang cukup rendah, sehingga Rangga dan Pandan Wangi harus merunduk.
Mereka terus melangkah perlahan-lahan menyusuri lorong gua yang gelap dan pekat
ini. "Hm.... Sulit juga menembus kegelapan di sini. Aku harus menggunakan aji 'Tatar
Netra'," gumam Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti memang menggunakan aji
'Tatar Netra', sehingga bisa melihat jelas dan terang di dalam kegelapan yang
begitu pekat ini. Rangga tertenyum saat berpaling ke belakang. Rupanya, Pandan
Wangi tetap tidak jauh berada di belakangnya. Lorong gua ini semakin sempit dan
kecil saja. Sehingga, mereka terpaksa harus merayap menyusurinya.
Rangga baru berhenti merayap ketika melihat ada titik cahaya tidak jauh di
depannya. Kemudian bergegas dia merayap maju lagi, dan kembali berhenti begitu
tiba di sebuah relung gua yang sangat besar dan terang
benderang. Kedua pendekar muda itu baru bisa berdiri setelah berada di relung
gua yang seperti sebuah ruangan.
"Kakang...," desis Pandan Wangi seraya mencolek lengan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga berpaling menatap Pandan Wangi yang
menunjuk ke kanan. Kelopak mata Pendekar Rajawali


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti jadi menyipit ketika melihat sebuah pintu yang terbuat dari besi hitam
yang tampak begitu kokoh. Bergegas kakinya melangkah menghampiri, lalu berdiri
tegak merayapi pintu besi itu. Sedangkan Pandan Wangi terus mendampingi di sampingnya.
*** Krieeet...! Perlahan-lahan Rangga membuka pintu besi itu. Suara berderit terdengar begitu
tajam, menggelitik gendang telinga. Kelopak mata pemuda berbaju rompi putih ini
kembali menyipit begitu mendapati di balik pintu ini ternyata terdapat sebuah
taman yang begitu indah. Perlahan Rangga melangkah melewati pintu besi itu,
diikuti Pandan Wangi yang juga jadi terlongong memandangi taman yang begitu
indah. Perlahan-lahan kaki mereka terayun memasuki taman
itu. Segar sekali udara di dalam taman ini, membuat hati terasa begitu damai.
Tapi kedamaian ini tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba saja langkah Rangga
berhenti. Kepalanya bergerak perlahan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu, kelopak matanya
jadi menyipit. Terdengar suara menggumam kecil yang agak mendengus dari hidung.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Pandan Wangi. Belum juga Rangga menjawab pertanyaan
si Kipas Maut, tiba-tiba saja di sekitar mereka berkelebat beberapa tubuh yang
langsung mengepung. Sebentar saja di sekeliling mereka sudah mengepung tidak
kurang dari tiga puluh orang laki-laki berpakaian seragam kuning gading. Mereka
semua menggenggam tombak panjang dan sebuah perisai
berbentuk bulat seperti tudung. Tampaknya mereka seperti para prajurit sebuah
kerajaan. "Jangan...." cegah Rangga cepat ketika Pandan Wangi hendak mencabut senjata
kipasnya. Dua orang yang berada paling depan, bergerak
menyingkir seperti membuka jalan. Dan dari belakang mereka tadi, terlihat
seorang laki-laki tua berjubah putih.
Kepalanya memakai caping berukuran besar, sehingga hampir menutupi seluruh
wajahnya. Hanya bagian dagu dan sedikit bibir bawahnya saja yang terlihat. Orang
itu melangkah mendekati Rangga dan Pandan Wangi,
kemudian berhenti setelah berjarak sekitar lima langkah lagi. Di tangan kanannya
tampak tergenggam sebatang tongkat yang tidak beraturan bentuknya.
"Kenapa kalian berada di sini" Dan apa maksud kalian masuk ke sini dari lorong
rahasia?" tanya laki-laki berjubah putih itu, dingin nada suaranya.
"Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi. Kami tersesat, dan tidak tahu kalau gua itu
merupakan lorong rahasia.
Maafkan, jika kehadiran kami dianggap mengganggu,"
ucap Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit,
memberi penghormatan.
"Sikapmu cukup sopan, Anak Muda. Tapi aku sudah cukup berpengalaman dalam
menghadapi segala macam
sikap dan tingkah seperti ini," terasa begitu sinis ucapan laki-laki berjubah
putih itu. Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan dengan kening berkerut. Mereka
kemudian kembali memandangi laki-laki berjubah putih yang wajahnya tidak jelas
terlihat, karena tertutup caping bambu lebar. Dari tubuh dan nada suaranya,
serta rambut yang sudah memutih, memang
sudah bisa dipastikan kalau laki-laki ini sudah berumur lanjut.
"Kuminta kalian menjawab jujur, dan jangan membuat persoalan denganku di sini,"
ujar laki-laki berjubah putih itu dingin dan tegas. "Siapa yang mengirim kalian
ke sini untuk memata-matai?"
"Sudah kukatakan dengan jujur. Kami hanya tersesat dan tidak tahu kalau gua itu
merupakan...."
"Cukup!" bentak laki-laki tua berjubah putih itu memutuskan kata-kata Rangga.
Rangga jadi terdiam mendengar bentakan bernada
ketus begitu. Kembali ditatapnya Pandan Wangi. Sedangkan gadis itu sudah
menggenggam senjata kipas maut, meskipun belum tercabut dari balik sabuk
berwarna kuning emas yang melilit pinggangnya.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, Anak Muda! Apakah kau dikirim ratu iblis
itu...?" semakin dingin nada suara laki-laki tua berjubah putih ini.
"Ratu iblis..." Aku tidak mengenalnya," kening Rangga semakin dalam berkerut.
"Jangan berpura-pura. Anak Muda! Kedatanganmu ke sini sudah membuatku curiga.
Dan sekarang kau berbelit-belit menjawab semua pertanyaanku. Aku tidak ingin
menjatuhkan tangan kasar pada kalian berdua. Pergilah, sebelum pikiranku
berubah," desis laki-laki tua berjubah putih itu, semakin dingin nada suaranya.
"Baiklah. Kami akan pergi dari sini." kata Rangga seraya mengangkat bahunya
sedikit. "Bagus! Kalian akan diantar keluar sampai gerbang."
Laki-laki tua berjubah putih itu menggerakkan tangan kirinya sedikit. Maka empat
orang berseragam bagai prajurit itu bergerak mendekati Rangga dan Pandan Wangi.
Mereka kemudian menggiring kedua pendekar muda itu.
Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja mengalah, dan tidak ingin membuat sesuatu
yang tidak dinginkan.
Sementara laki-laki tua itu memandangi sampai kedua pendekar muda itu jauh
meninggalkan taman ini.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi yang diringi empat orang berseragam bagai
prajurit tidak terlihat lagi, laki-laki tua berjubah putih itu baru memutar
tubuhnya dan melangkah. Sedangkan semua orang berpakaian bagai
prajurit yang tadi mengepung Rangga dan Pandan Wangi, sudah meninggalkan taman
itu sejak tadi. Ayunan langkah laki-laki tua berjubah pulih itu terhenti, ketika
melihat seorang gadis cantik berlari-lari kecil menghampirinya. Dia diikuti
seorang wanita berbaju kuning gading yang
mengenakan caping bambu berukuran besar. Sama persis dengan yang dikenakan lakilaki tua berjubah putih ini.
"Siapa mereka itu tadi, Paman?" tanya gadis cantik itu, begitu manja sikapnya.
"Hanya dua tikus yang coba-coba menyusup ke sini,"
sahut laki-laki tua berjubah putih seraya membuka caping yang menutupi
kepalanya. Di balik caping besar itu ternyata tersembunyi seraut wajah tua yang begitu
bersih dan bercahaya. Sinar
matanya sangat tajam, tapi memancarkan satu keteduhan yang begitu damai. Seluruh
rambutnya sudah memutih.
Bahkan alis, kumis, dan jenggotnya juga sudah putih semua.
Wanita berbaju kuning gading di belakang gadis itu juga membuka capingnya. Dia
ternyata sudah cukup berusia lanjut. Mungkin usianya sudah mencapai lima puluh
tahun, atau bahkan sudah lebih. Namun garis-garis kecantikan, masih terlihat
jelas pada wajahnya yang sudah mulai keriput. Meskipun bentuk tubuhnya masih
cukup padat berisi, bagai gadis berusia dua puluh tahun.
"Bagaimana" Apakah kau sudah siap menerima
pelajaran, Dewani?" tanya laki-laki tua berjubah putih itu sambil menepuk pundak
gadis cantik yang ternyata
memang Dewani. "Aku siap, Paman," sahut Dewani mantap.
"Bagus. Aku dan Bibi Dewi akan menjadikanmu seorang pendekar wanita yang
tangguh, dan tak ada tandingannya."
"Terima kasih, Paman."
"Ayo, kita ke tempat latihan "
*** Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi sudah cukup
jauh meninggalkan gerbang yang berbentuk sebuah candi kecil dari batu. Mereka
memandangi gerbang berbentuk candi itu. Empat orang laki-laki berseragam seperti
prajurit yang tadi mengantarkan mereka, masih terlihat di situ.
Sedangkan Rangga terus mengajak Pandan Wangi pergi.
Dan mereka baru berhenti setelah gerbang candi tidak terlihat lagi.
"Kau tahu di mana ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi seraya mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
"Di bagian Barat Gunung Haling." sahut Rangga. Juga mengedarkan pandangan ke
sekeliling. "Tidak kusangka, ternyata Gunung Haling tidak seluruhnya gersang," desah Pandan
Wangi setengah menggumam.
Rangga hanya diam membisu saja. Pandangannya
terarah lurus ke kaki gunung ini. Terlihat jelas, kalau di kaki gunung sebelah Barat ini terdapat sebuah
perkampungan yang tampaknya tidak besar. Meskipun, kelihatannya rumah-rumah yang
berdri di sana cukup padat juga.
"Apakah itu yang dinamakan Desa Haling, Kakang?"
tanya Pandan Wangi. Rupanya dia juga melihat ke arah perkampungan itu.
"Benar itu memang Desa Haling," sahut Rangga. "Kita ke sana, Kakang. Siapa tahu
bisa diperoleh keterangan lebih banyak lagi tentang Paman Pendekar Bayangan Dewa
dan Bibi Dewi Selendang Maut," ajak Pandan Wangi.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja. Tapi belum
juga mereka melangkah, tiba-tiba saja terdengar ringkik kuda, yang disusul
terdengarnya derap langkah kaki kuda dari arah sebelah kanan. Tak berapa lama
kemudian, muncul seekor kuda hitam yang disusul seekor kuda putih bersih
berpelana sangat indah. Rangga dan Pandan Wangi tersenyum melihat kuda-kuda
mereka datang, tepat di saat tengah diperlukan
"Hup!"
"Hap!"
Rangga dan Pandan Wangi langsung melompat ke
punggung kuda, begitu dekat. Sebentar mereka saling berpandangan dan melempar
senyum, kemudian sama-sama menggebah kuda menuju Desa Haling yang berada di kaki
Gunung Haling ini. Mereka bisa cepat berpacu, karena lereng gunung ini begitu
landai. Sedangkan pepohonan yang tumbuh pun tidak terlalu lebat.
*** Waktu terus berjalan sesuai peredaran sang mentari
yang mengelilingi mayapada ini. Waktu terus mengiringi langkah polah kehidupan
yang ada di atas permukaan bumi ini. Waktu memang berjalan seakan-akan begitu
cepat. Sementara Pandan Wangi yang harus mencari
keterangan tentang paman dan bibinya, masih belum juga mendapat hasil yang
diinginkan. Sementara itu di lain tempat yang sangat rahasia
letaknya. Dewani terus digembleng dengan berbagai
macam ilmu olah kanuragan dan kesaktian dari dua orang tua aneh yang belum jelas
jati diri mereka.
Di pihak lain, Lanjani juga belum putus asa untuk
mendapatkan Selendang Maut dari Puncak Gunung Haling.
Kini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh
Kerajaan Batu Ampar. Lanjani masih belum bisa memejamkan matanya. Pikirannya
masih terus dibebani suatu peristiwa yang terjadi semalam di Istana Baru Ampar.
Istana yang megah itu kedatangan seorang tamu yang tak diundang. Kedatangannya
bukan untuk suatu per-sahabatan. Tapi, justru meminta Lanjani untuk turun dari
takhta, dan meninggalkan Kerajaan Batu Ampar ini.
Bahkan semalam saja orang aneh itu sudah membunuh
tidak kurang dari sepuluh prajurit ditambah dua orang jago istana, pengikut
setia penguasa Kerajaan Batu Ampar.
Bukan hanya kedatangan orang aneh itu yang membuat Lanjani jadi tidak bisa
tenang malam ini. Tapi, karena orang itu menyebut dirinya Dewi Selendang Maut.
Dan memang, dia menggunakan senjata berupa selendang
berwarna kuning keemasan. Inilah yang membuat Lanjani jadi bertanya tanya
sendiri. Apa mungkin Dewi Selendang Maut masih hidup" Kalau pun memang masih
hidup, untuk apa mencampuri urusan kerajaan ini" Bahkan meminta Lanjani turun
takhta, dan menyerahkannya pada Dewani.
Sedangkan sampai sekarang ini, Lanjani tidak tahu lagi di mana Dewani berada.
"Jangan-jangan, dia Dewani. Tapi.., ah! Tidak mungkin.
Dewani tidak memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Jangankan mengalahkan dua orang jagoku. Menghadapi prajurit rendahan saja, tidak
akan mampu," desah Lanjani bicara sendiri.
Lanjani melangkah mendekati jendela. Perlahan-lahan dibukanya jendela kamar itu
lebar-lebar. Tapi baru saja melepaskan tangannya dari jendela, mendadak saja....
Wuk! "Eh..."! Uts!"
Lanjani jadi terkejut setengah mati. Cepat-cepat
tubuhnya ditarik ke kiri, dan melompat menjauhi jendela itu. Memang, tiba-tiba
saja sebuah benda tipis panjang berwarna kuning keemasan, melesat masuk dari
jendela dan hampir saja menyambarnya. Dua kali Lanjani
melakukan putaran, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di lantai kamar ini.
Pada saat itu, melesat sebuah bayangan masuk ke dalam kamar ini melalui jendela
yang kini sudah terbuka lebar.
"Dewi Selendang Maut..." desis Lanjani dengan bola mata terbeliak lebar.
Memang, di depan Lanjani kini sudah berdiri seorang wanita berbaju kuning
gading. Tampak selembar selendang berwarna kuning keemasan tergulung di tangan
kanannya. Sukar mengenalinya, karena seluruh kepalanya tertutup caping bambu berukuran
cukup besar. Dari bentuk tubuh ramping dan rambutnya yang panjang, bisa
dipastikan kalau orang bercaping bambu itu adalah wanita.
"Keparat...! Berani benar kau menyelinap masuk ke kamar pribadiku...!" desis
Lanjani berang.
"Begitu mudahnya kau mengatakan ini kamar pribadi-mu, Lanjani. Padahal, kau sama
sekali tidak berhak tinggal di istana ini. Apalagi menguasalnya, dan menduduki
takhta." kata orang berbaju kuning gading yang semalam muncul mengenalkan diri
bernama Dewi Selendang Maut.
"Lancang sekali bicaramu! Siapa kau sebenarnya.."!"
dengus Lanjani dengan sinar mata yang begitu dingin dan tajam.
"Aku Dewi Selendang Maut. Kedatanganku untuk meng-gulingkanmu dari takhta yang
memang bukan hakmu!"
sahut wanita bercaping itu tidak kalah dinginnya.
"Setan keparat..!" desis Lanjani semakin berang.
"Kau kuberi waktu sampai besok. Jika tidak segera angkat kaki dari sini, semua
begundal-begundal busukmu akan menghuni lubang kubur. Bahkan kau juga, Lanjani,"
desis Dewi Selendang Maut mengancam.
"Edan...!" desis Lanjani geram "Mampus kau! Hiyaaat...!"
Lanjani tidak bisa lagi menahan amarahnya yang
menggelegak dalam dada. Tiba-tiba saja Ratu Batu Ampar itu melompat menerjang
dengan kecepatan luar biasa.
Secepat itu pula, dilontarkannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. "Hup!"
Tapi Dewi Selendang Maut sudah lebih cepat lagi
bertindak. Begitu Lanjani menyerang cepat, Dewi
Selendang Maut melesat keluar melompati jendela yang terbuka lebar. Sehingga,
pukulan yang dilepaskan Lanjani hanya menghantam dinding kamar ini hingga jebol
berantakan. "Jangan lari kau, Setan...!" geram Lanjani menjerit.
"Hiyaaat..!"
Cepat sekali Lanjani melompat ke luar, mengejar wanita bercaping bambu itu. Dan
begitu kakinya menjejak tanah di luar kamar, secepat kilat dilepaskannya satu
pukulan ke arah Dewi Selendang Maut yang juga baru saja menjejakkan kakinya di
tanah. "Uts!"
Cepat-cepat Dewi Selendang Maut menarik tubuhnya ke kiri, menghindari pukulan
yang dilepaskan Ratu Batu Ampar. Lalu cepat sekali tubuhnya berputar, sambil
melepaskan satu tendangan balasan menggeledek.
"Hait...!"
Lanjani bergegas melompat ke belakang sejauh dua
langkah, sehingga tendangan berputar yang dilakukan Dewi Selendang Maut tidak
sampai menghantam
tubuhnya. Lanjani yang benar-benar sudah meluap
amarahnya, tidak mau lagi memberi kesempatan Dewi
Selendang Maut untuk meloloskan diri. Maka begitu
terlepas dari serangan wanita bercaping bambu itu, cepat sekali tubuhnya
melenting ke udara, dan melakukan salto beberapa kali. Lalu, dia meluruk deras
ke arah kepala yang tertutup caping bambu itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam,
Lanjani cepat memberi satu pukulan lurus ke arah kepala yang tertutup caping
bambu. Tapi tanpa diduga sama sekali, Dewi Selendang Maut bertindak di luar
perhitungan Lanjani. Wanita berbaju kuning gading itu cepat melepaskan


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

capingnya. Lalu, secepat kilat dilemparkannya ke udara, menyambut Lanjani yang
meluruk deras di atas kepalanya.
Wuk! "Heh..."!"
Lanjani jadi terbeliak setengah mati. Bahkan tidak punya kesempatan lagi untuk
menarik serangannya. Dan seketika itu juga, pukulannya langsung menghantam
caping bambu itu. Begitu keras dan dahsyat luar biasa!
Glarrr...! Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu
dahsyat, saat pukulan Lanjani yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam
caping bambu itu. Lanjani
terpaksa harus melentingkan tubuhnya, dan berputaran beberapa kali di udara.
Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah.
"Setan...!"
Lanjani jadi geram setengah mati begitu menyadari
wanita yang mengaku Dewi Selendang Maut sudah tidak ada lagi di tempat ini.
Pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Tapi yang didapati hanya kegelapan
malam saja. Tak ada seorang pun yang terlihat. Pada saat itu, terlihat beberapa orang
prajurit berdatangan. Bahkan si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak juga
Mencari Jejak Pembunuh 3 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 1

Cari Blog Ini