Ceritasilat Novel Online

Prahara Darah Biru 2

Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru Bagian 2


berlari-lari cepat menghampiri Ratu Batu Ampar itu.
"Ada apa..." Kudengar ada suara ledakan di sini," tanya si Cambuk Setan begitu
dekat di depan Lanjani.
"Dewi Selendang Maut. Dia datang lagi ke sini," sahut Lanjani, masih agak
mendengus suaranya.
"Oh...! Lalu...?" selak Iblis Pedang Perak.
"Kabur," jawab Lanjani pendek.
"Akan kukejar dia." ujar Iblis Pedang Perak Lanjani tidak sempat lagi mencegah.
Iblis Pedang Perak sudah melompat cepat ke atas atap bangunan istana ini.
Lalu, bayangan tubuhnya menghilang begitu melesat untuk yang kedua kalinya.
"Dia pasti belum jauh dari sini, Lanjani. Akan kukerah-kan orang-orangku untuk
mengejarnya," tegas si Cambuk Setan.
"Terserah kau, Paman. Aku ingin si keparat itu mampus!"
dengus Lanjani seraya berbalik dan melangkah pergi.
*** 5 Sementara itu, tidak jauh dari Kota Kerajaan Batu Ampar, tampak seorang wanita
berbaju kuning gading tengah berlari-lari cepat menuju Gunung Haling. Gerakannya
begitu lincah dan ringan, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
tinggi. Dia terus berlari cepat sambil sesekali membetulkan kerudung yang
menutupi wajahnya.
Seakan-akan, wajahnya tidak ingin diketahui orang lain.
"Berhenti..!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar dan mengejutkan. Wanita
berbaju kuning gading itu
seketika menghentikan larinya. Kedua bola matanya yang indah dan bening
bercahaya, jadi terbeliak begitu tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang
laki-laki berusia muda.
Pedangnya tampak tersampir di punggung. Ujung gagang pedang itu berbentuk kepala
tengkorak berwarna putih keperakan.
"Iblis Pedang Perak...," wanita berbaju kuning gading itu mendesis, mengenali
laki-laki muda yang menyandang pedang perak di punggungnya.
"Kau tidak bisa lari dariku, Nisanak," dengus Iblis Pedang Perak dingin
menggetarkan. Wanita berbaju kuning gading itu menggumam kecil.
Bola matanya terlihat begitu tajam, merayapi wajah Iblis Pedang Perak. Perlahan
kakinya bergeser ke kanan.
Gerakan tangannya juga begitu perlahan saat melepaskan sehelai kain berwarna
kuning keemasan yang melilit pinggangnya. Dipegangnya kedua ujung selendang
kuning keemasan itu. Sorot matanya masih tetap tajam, seakan sedang mengukur
tingkat kepandaian laki-laki muda di depannya ini.
"Aku tahu, kau bukan Dewi Selendang Maut. Siapa kau sebenarnya"! Dan, mengapa
berani mengacau ketenangan Kanjeng Ratu Lanjani"!" dengus Iblis Pedang Perak
lagi. "Bagus, kalau kau menyangka begitu. Tapi, akan kau rasakan selendang mautku ini
terlebih dahulu," desis Dewi Selendang Maut dingin.
Setelah berkata demikian. Dewi Selendang Maut
langsung memutar-mutar selendang emasnya di atas
kepala. Kakinya bergerak perlahan menyusur tanah ke kanan dan ke kiri. Iblis
Pedang Perak jadi ternganga melihat gerakan-gerakan jurus 'Selendang Ekor Naga'
yang diperlihatkan wanita berbaju kuning gading itu. Dia tahu, jurus itu sangat
dahsyat. Bahkan merupakan salah satu jurus andalan Dewi Selendang Maut. Dan, tak
ada seorang pun yang memiliki jurus itu, selain Dewi Selendang Maut sendiri.
"Oh. Dia benar-benar Dewi Selendang Maut ..." desah Iblis Pedang Perak dalam
hati. "Bersiaplah, Iblis Pedang Perak. Tunjukkan kebolehan pedang rongsokanmu," desis
Dewi Selendang Maut dingin.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Selendang Maut mengebutkan
senjata andalannya yang begitu terkenal akan kedah-syatannya. Selendang berwarna
kuning keemasan itu
meluruk deras ke arah Iblis Pedang Perak yang masih terlongong, begitu melihat
jurus 'Selendang Ekor Naga'.
"Uts! Hait...!"
Tapi begitu tersadar, Iblis Pedang Perak cepat-cepat melompat ke kanan.
Sehingga, ujung selendang kuning keemasan itu. Tidak sampai mengenai tubuhnya.
Namun selendang itu sudah meliuk seperti seekor ular naga, mangejar Iblis Pedang
Perak. Terpaksa laki-laki muda itu harus berjumpalitan, dan bergulingan di tanah
menghindarinya.
Selendang kuning keemasan itu meliuk-liuk indah,
namun mengandung ancaman maut yang tak bisa dianggap main-main. Selendang itu bagai memiliki mata saja. Bergerak cepat
mengejar ke mana saja Iblis Pedang Perak bergerak menghindar. Sedangkan Dewi
Selendang Maut ikut berlompatan, berusaha memperpendek jarak.
Sambil berlompatan, diputarinya Iblis Pedang Perak disertai kebutan selendangnya
yang cepat dan lincah.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja Iblis Pedang Perak melentingkan tubuhnya ke udara, begitu ujung
selendang kuning keemasan
meluruk deras mengincar kakinya. Dan sambi berputaran di udara, pedangnya cepatcepat dicabut. Pedang berwarna keperakan yang berkilat tertimpa cahaya bulan itu
kini sudah tergenggam di tangan Iblis Pedang Perak.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Iblis Pedang Perak meluruk deras ke arah
selendang kuning keemasan yang merentang lebar dan kaku. Lalu, cepat sekali
pedangnya dikebutkan, tepat di bagian tengah selendang kuning keemasan itu.
Bret! "Heh..."!"
Dewi Selendang Maut jadi terkejut setengah mati begitu selendangnya terpotong
jadi dua bagian. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan matanya
terbeliak, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikan.
Sementara Iblis Pedang Perak sudah menjejakkan kakinya di potongan selendang
yang tergeletak di tanah
"Hup! Yeaaah...!"
"Hei! Jangan lari kau..!"
Iblis Pedang Perak langsung melompat mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
begitu tiba-tiba saja Dewi Selendang Maut melesat begitu cepat hendak
meninggalkan pertarungan. Tapi belum juga Dewi Selendang Maut berlari jauh,
tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam berkelebat cepat memotong arah larinya.
Untung saja wanita berbaju kuning gading itu cepat-cepat melentingkan tubuh,
berputar ke belakang. Sehingga dia tidak sampai ber-tabrakan dengan bayangan
hitam yang berkelebat begitu cepat memotong arah laritnya tadi.
"Satan...!" dengus Dewi Selendang Maut begitu kakinya menjejak tanah
Ctar! *** Suara lecutan cambuk terdengar keras memecah
kesunyian malam. Dewi Selendang Maut jadi semakin
terbeliak begitu tiba-tiba di depannya sudah berdiri seorang laki-laki separuh
baya, mengenakan baju hitam pekat.
Seutas cambuk hitam berbulu halus tampak tergenggam di tangan kanannya. Pada
saat itu, Iblis Pedang Perak sudah sampai. Langsung didekatinya laki-laki
separuh baya yang memegang cambuk hitam itu.
"Rupanya hanya tikus kecil yang ingin coba-coba menggerogoti lumbung Kanjeng
Ratu Lanjani," desis laki-laki berbaju hitam yang ternyata adalah si Cambuk
Setan, dingin menggetarkan.
"Kita serang saja, Paman. Tidak perlu banyak bicara menghadapi tikus betina
ini." dengus Iblis Pedang Perak yang masih penasaran dengan pertarungannya tadi.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Iblis Pedang Perak
langsung melompat cepat menyerang Dewi Selendang
Maut. Secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke arah leher wanita berbaju
kuning gading itu.
Wuk! "Uts!"
Dewi Selendang Maut cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang, sehingga hanya
sedikit saja ujung pedang pemuda itu lewat di depan tenggorokannya. Belum lagi
wanita berbaju kuning gading itu bisa menarik kepalanya kembali ke depan, tibatiba saja si Cambuk Setan sudah cepat mengebutkan cambuknya ke arah dada.
Ctar! "Hup!"
Dewi Selendang Maut segera melentingkan tubuhnya,
berputaran ke belakang menghindari sengatan cambuk hitam berbulu halus itu.
Beberapa kali dia berputaran di udara sebelum kakinya menjejak tanah. Namun baru
saja wanita itu menjejak tanah, Iblis Pedang Perak sudah kembali menyerang cepat
luar biasa. Pedangnya berkelebatan cepat, sehingga yang terlihat hanya kilatan
cahaya keperakan yang mengurung di sekitar tubuh Dewi Selendang Maut.
Wanita yang tidak kelihatan wajahnya itu, semakin
kewalahan saja menghadapi serangan si Cambuk Setan yang membantu Iblis Pedang
Perak. Menghadapi dua
serangan yang begitu dahsyat, tentu saja Dewi Selendang Maut semakin kelihatan
kewalahan. Dia terus terdesak semakin hebat. Bahkan tak mampu lagi memberi
serangan balasan. Wanita berbaju kuning gading itu hanya bisa berlompatan,
berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun itu.
"Hiyaaa..!"
Tiba-tiba saja, si Cambuk Setan melepaskan satu
pukulan tangan kiri yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
itu dilakukan tepat di saat Iblis Pedang Perak melakukan serangan ke arah kaki
Dewi Selendang Maut. Menghadapi serangan yang begitu bersamaan, Dewi Selendang
Maut tak mampu lagi berkelit dari pukulan si Cambuk Setan. Sehingga...
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Dewi Selendang Maut terpental deras ke
belakang, begitu pukulan yang dilepaskan si Cambuk Satan telak menghantam
tengah-tengah dadanya. Keras sekali pukulan itu, sehingga Dewi Selendang Maut
terbanting ke tanah begitu keras disertai pekik kaget tertahan.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Pada saat tubuh Dewi Selendang Maut telentang di
tanah. Ibis Pedang Perak sudah melompat cepat disertai ancaman ujung pedangnya
yang tertuju lurus ke arah dada.
Sedangkan Dewi Selendang Maut hanya bisa terbeliak. Tak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghlndar. Pukulan yang mendarat di dadanya tadi, membuat jalan
napasnya jadi tersumbat. Sedangkan dadanya terasa begitu nyeri.
"Oh, mati aku..." desah Dewi Selendang Maut. Dewi Selendang Maut memejamkan
matanya, saat ujung
pedang berwarna keperakan semakin dekat ke arah
dadanya. Dan begitu ujung pedang itu hampir saja
menembus dadanya, mendadak saja....
Trang! "Ikh..."!"
Iblis Pedang Perak jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba sebuah bayangan
putih berkelebat menyentil pedangnya yang hampir saja menembus dada Dewi
Selendang Maut. Lebih terkejut lagi, karena tangannya yang menggenggam pedang
terasa jadi bergetar
kesemutan. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, sambil memindahkan
pedangnya ke tangan kiti.
Sementara Dewi Selendang Maut sudah membuka
matanya. Dia jadi tertegun melihat Iblis Pedang Perak berada sekitar satu
setengah tombak darinya. Bahkan kedua bola matanya jadi terbeliak begitu di
samping tubuhnya yang terbaring menelentang, berdiri seorang pemuda tampan.
Bajunya rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di
punggungnya. Pada saat itu muncul seorang gadis cantik berbaju biru muda dari balik sebatang
pohon yang cukup besar. Gadis itu langsung menghampiri Dewi Selendang Maut.
Dibantunya wanita berbaju kuning gading ini berdiri. Sementara, pemuda tampan
berbaju rompi putih melangkah ke depan beberapa tindak. Sedangkan si Cambuk
Setan sudah berdiri di samping Iblis Pedang Perak.
"Siapa kalian?" tanya Dewi Selendang Maut, setelah bisa berdiri, dia masih
dipapah gadis cantik yang baru muncul tadi.
"Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Kita harus segera menyingkir dari sini."
sahut gadis cantik berbaju biru itu.
"Cepat bawa dia pergi, Pandan." selak pemuda berbaju rompi putih tanpa berpaling
sedekitpun. "Baik, Kakang." sahut gadis cantik itu yang ternyata memang Pandan Wangi. "Ayo..."
Pandan Wangi memapah Dewi Selendang Maut
menyingkir dari tempat pertarungan itu. Sementara, pemuda berbaju rompi putih
yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti, masih berdiri tegak menghadapi si
Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak. Dari sudut ekor matanya.
Rangga melihat Pandan Wangi sudah cukup jauh membawa Dewi Selendang Maut menyingkir.
"Berani benar kau mencampuri urusanku, Anak Muda.
Siapa kau sebenarnya..."!" desis si Cambuk Setan dingin menggetarkan.
Rangga tidak menjawab pertanyaan itu. Pada saat itu, terdengar ringkik kuda yang
disusul derap kaki kuda yang dipacu cepat. Dan kini, suara-suara itu terdengar
semakin menjauh. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai
kilat. "Hey....!"
Tak ada kesempatan lagi bagi si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak untuk
mengejar, karena lesatan Rangga begitu cepat Sehingga dalam waktu sekejap mata
saja, Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.
"Keparat...! Siapa mereka..."!" geram Iblis Pedang Perak seperti bicara pada diri
sendiri. "Ayo kita kejar mereka, Paman," ajak Iblis Pedang Perak.
"Untuk apa"! Percuma saja kita mengejar. Mereka pasti sudah terlalu jauh dari
sini." dengus si Cambuk Setan.
Iblis Pedang Perak jadi terdiam. Memang tidak ada
gunanya lagi mengejar. Mereka pasti sudah jauh, dan lagi tidak tahu ke mana arah
kepergiannya. "Aku yakin, dia tidak akan bisa bertahan lama dengan pukulanku tadi," duga
Cambuk Setan setengah menggumam nada suaranya.
"Kalau kedua orang itu menolongnya?"
"Hanya mereka yang memiliki tenaga dalam sempuma saja yang bisa melenyapkan
hasil pukulanku, Pedang Perak. Karena, pukulanku tadi mengandung aji 'Guntur
Geni'. Luka itu hanya bisa disembuhkan dengan hawa murni yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan."
"Kalau begitu, sebaiknya kita kembali saja ke istana, Paman," ajak Ibis Pedang
Perak. "Ayolah. Tidak ada gunanya lama-lama di sini. Toh dia pasti mampus oleh aji
'Guntur Geni'."
*** Sementara itu di dalam hutan Lereng Gunung Haling,
Pandan Wangi menghentikan lari kudanya. Gadis itu cepat melompat turun dari
punggung kuda putihnya. Lalu,
dibantunya Dewi Selendang Maut turun dari kuda putih itu juga. Pandan Wangi
memapah wanita berbaju kuning
gading itu, mendekati sebatang pohon yang cukup besar.
Kemudian dibaringkannya wanita ini di bawah pohon.
Sebentar diperiksanya keadaan Dewi Selendang Maut yang tampak payah. Baru juga
dia selesai memeriksa. Rangga muncul dari kegelapan dan kepekatan malam di dalam
hutan yang tidak begitu lebat ini. Pandan Wangi cepat berpaling begitu Rangga
sudah berada di sampingnya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Rangga.
"Lukanya cukup parah," sahut Pandan Wangi.
Rangga memeriksa luka menghitam di dada Dewi
Selendang Maut. Keningnya jadi berkerut, lalu menggumam perlahan. Kemudian,
Pendekar Rajawal Sakti
melepaskan kain selubung yang menutupi wajah wanita ini.
Tampak di balik kain selubung berwarna kuning gading itu tersembunyi seraut
wajah cantik yang tampak memucat.
Kelopak matanya terpejam, dan tarikan napasnya begitu lemah, agak tersendat.
"Dia benar-benar Dewi Selendang Maut, Pandan?" tanya Rangga seraya menatap


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi yang tengah
merayapi wajah cantik yang tergolek di depannya.
"Aku..., aku tidak tahu. Aku belum pernah bertemu dengannya," sahut Pandan
Wangi, jadi ragu-ragu nada suaranya.
"Hm...," gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memandangi wajah cantik
yang memucat itu,
kemudian beralih menatap Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu jadi kelihatan raguragu begitu mendapati wanita berbaju kuning gading yang mengaku berjuluk Dewi
Selendang Maut ternyata masih muda. Bahkan mungkin usianya tidak terpaut jauh
dengannya. "Tidak mungkin Bibi Dewi Selendang Maut masih muda, Kakang. Paling tidak,
usianya sudah lima puluh tahun,"
tegas Pandan Wangi seperti pada diri sendiri.
"Tapi, tadi kau dengar sendiri, Pandan. Dia menyebut dirinya sebagai Dewi
Selendang Maut pada Iblis Pedang Perak," sanggah Rangga, Juga perlahan suaranya.
"Benar. Tapi..." masih terdengar ragu-ragu nada suara Pandan Wangi.
"Barangkali ini muridnya. Pandan..." tebak Rangga.
'"Tidak.... Bibi Dewi Selendang Maut tidak pernah mempunyai murid sampai
pertarungannya dengan Paman Pendekar Bayangan Dewa. Setelah itu dia langsung
menghilang begitu saja," bantah Pandan Wangi.
"Pertarungan itu telah berlangsung sepuluh tahun yang lalu, Pandan. Dan tak ada
seorang pun yang menyaksi-kannya. Apalagi mengetahui hasil pertarungan itu.
Mereka langsung menghilang, setelah kabar pertarungan mereka terdengar orang
lain. Hm.... Apa betul mereka bertarung, Pandan?" kata Rangga jadi punya pikiran
lain. "Aku tidak tahu pasti, Kakang. Tapi memang itulah keterangan yang kuperoleh.
Bahkan hampir semua orang mengetahui hal itu." sahut Pandan Wangi. "Kakang,
sebaiknya kita selamatkan dia dulu. Nanti kita tanyakan dari mana jurus-jurus
Dewi Selendang Maut didapatkan."
"Ya..., memang itu yang akan kulakukan. Rasanya tidak terlalu sulit. Dia hanya
mendapat luka akibat pukulan tenaga dalam, meskipun cukup parah juga." desah
Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengangkat tubuh
Dewi Selendang Maut, hingga dalam keadaan duduk
bersila Pandan Wangi memegangi dari belakang agar
wanita berbaju kuning gading ini tidak jatuh. Sedangkan Rangga sudah duduk
berada di depan Dewi Selendang
Maut. Kelopak mata wanita itu masih juga terpejam. Dan tarikan napasnya
terdengar semakin begitu kemah dan perlahan sekali.
Rangga membuka baju bagian dada wanita ini,
kemudian memejamkan matanya. Lalu, dilakukannya
gerakan-gerakan dengan kedua tangannya. Setelah
menarik napas dalam-dalam, kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada yang
sudah terbuka i.tu Sementara, Pandan Wangi tetap duduk memegangi pundak wanita
yang tidak sadarkan diri ini.
"Lepaskan, Pandan," ujar Rangga agak mendesis.
Pandan Wangi melepaskan pegangannya pada pundak
Dewi Selendang Maut, kemudian menggeser duduknya ke samping. Sementara Rangga
terus menyalurkan hawa
murni ke dalam dada wanita ini. Pandan Wangi memalingkan muka, karena tak sanggup melihat kedua
tangan Rangga menempel rapat di dada yang putih itu.
Rangga terus berusaha menyembuhkan luka di dada Dewi Selendang Maut lewat
pengerahan hawa murni dari pusat tubuhnya. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti
terlihat bergetar. Sedangkan keringat terus semakin deras
mengucur membasahi tubuhnya. Sementara itu, Pandan Wangi diam-diam menyingkir
agak menjauh. Gadis itu kemudian membuat api unggun dari ranting yang banyak
berserakan, untuk menghangatkan tubuhnya. Memang,
udara malam ini terasa begitu dingin.
Cukup lama juga Rangga berusaha menyembuhkan
wanita itu. Dan ketika tangannya dilepaskan dari dada yang terbuka lebar,
seketika itu juga wanita yang mengaku bernama Dewi Selendang Maut jatuh tergulir
ke tanah. Rangga cepat-cepat membetulkan keadaannya, dan
menutup kembali dada yang terbuka lebar. Noda hitam di dada itu kini sudah tidak
terlihat lagi. Dengan sehelai kain bekas penutup kepala Dewi Selendang Maut,
disekanya darah di mulut wanita ini. Saat itu, Pandan Wangi sudah kembali duduk
di samping Rangga yang telah menyelesaikan pekerjaannya.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ktta tunggu saja sampai besok pagi, Pandan. Parah sekali luka yang dideritanya.
Aku tidak tahu, ajian apa yang digunakan lawannya di dalam pukulan itu," sahut
Rangga, agak mendesah suaranya.
"Apa dia punya kesempatan untuk hidup, Kakang?"
tanya Pandan Wangi lagi.
"Dia seperti mempunyai kekuatan aneh pada dirinya.
Seperti satu kekuatan yang tercipta di luar kewajaran.
Kalau kekuatan yang dimilikinya bisa bertahan, mungkin ada kesempatan untuk bisa
hidup, Pandan"
"Aku tidak mengerti, kekuatan apa yang dimilikinya, Kakang?"
"Seperti ramuan yang berguna untuk mempercepat mengeluarkan hawa murni dan
kekuatan tenaga dalam.
Aku tidak tahu, ramuan apa itu. Tapi yang jelas,
sebelumnya dia tidak memiliki apa-apa. Bahkan hawa murni dan kekuatan tenaga
dalam alami yang dimilikinya begitu kecil sekali," Rangga mencoba menjelaskan,
meskipun masih belum begitu yakin akan pendapatnya.
Pandan Wangi terdiam tidak bicara lagi. Dan mereka memang tidak ada yang membuka
suara lagi, sambil
duduk diam menunggui wanita yang masih belum juga
sadarkan diri. Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan udara di dalam
hutan Lereng Gunung Haling ini semakin terasa dingin. Sehingga Rangga harus
menambah-kan ranting ke dalam api unggun untuk mengusir udara yang semakin
dingin. *** 6 Lanjani memandangi potongan selendang kuning
keemasan yang sempat dibawa Iblis Pedang Perak.
Selendang itu memang terpotong oleh tebasan pedangnya.
Ratu Kerajaan Batu Ampar itu kemudian memberikan
polongan selendang kuning itu pada Iblis Pedang Perak lagi, lalu melangkah
mendekati jendela. Dia kini berdiri di sana memandang matahari yang baru saja
menyembul dari peraduannya.
"Kau yakin kalau itu bukan milik Dewi Selendang Maut, Pedang Perak?" tanya
Lanjani seraya memutar tubuhnya membelakangi jendela.
"Kabarnya Selendang Maut sukar ditandingi senjata apa pun juga. Rasanya tidak
mungkin kalau pedangku ini mampu memotongnya. Apalagi, tanpa pengerahan tenaga
dalam penuh," jelas Iblis Pedang Perak. "Jelas kalau ini hanya selendang biasa
yang bentuknya dibuat mirip
dengan Selendang Maut"
"Jadi...?" Lanjani meminta penjelasan lagi.
"Aku berani bersumpah kalau dia bukan Dewi Selendang Maut yang asli." tegas
Iblis Pedang Perak.
"Tapi, sewaktu bertarung dia memakai jurus-jurus Dewi Selendang Maut Pedang
Perak, " selak si Cambuk Setan yang juga sempat bertarung dengan wanita yang
mengaku berjuluk Dewi Selendang Maut itu.
"Itulah yang membuatku sampai sekarang jadi bertanya-tanya, Paman," desah Iblis
Pedang Perak lagi.
"Apa tidak mungkin dia muridnya...?" gumam Lanjani seperti bertanya pada diri
sendiri. "Kemungkinan itu jelas ada. Sepuluh tahun Dewi Selendang Maut menghilang. Dan
selama sepuluh tahun itu, bisa saja diisinya dengan menggembleng seorang murid.
Meskipun, kepandaiannya tidak mungkin bisa
menyamai dalam waktu sepuluh tahun," Iblis Pedang Perak menyambuti lagi.
Lanjani terdiam dengan kening sedikit berkerut. Dia teringat kata-kata Dewi
Selendang Maut semalam. Bahkan menghubungkan dengan larinya Dewani yang sampai
saat ini belum juga bisa diketahui rimbanya. Dewani lari berkat ditolong seorang
wanita yang sama dengan yang muncul semalam.
Hal ini bukan hanya menambah beban pikirannya, tapi juga menimbulkan kecemasan.
Karena, kedudukannya
sebagai ratu di Kerajaan Batu Ampar ini benar-benar ter-ancam. Di samping itu,
dia juga jadi penasaran. Yang jelas, rahasia di balik Selendang Maut ingin
segera diungkapnya.
Karena, sudah dua kali orang yang mengaku Dewi
Selendang Maut muncul di Istana Batu Ampar ini.
*** Sementara itu di dalam hutan Lereng Gunung Haling,
wanita berbaju kuning gading yang ditolong Rangga dan Pandan Wangi semalam sudah
mulai siuman. Dia merintih lirih sambil menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan
kelopak matanya terbuka. Dia tampak terkejut begitu malihat Rangga dan Pandan
Wangi duduk bersama di
dekatnya. Wanita berbaju kuning gading itu bergegas bangkit, dan duduk di depan
kedua pendekar muda itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Rangga lembut disertai senyuman di bibir.
Wanita itu tidak segera menjawab. Dipandanginya
Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Dia langsung ingat peristiwa yang terjadi
semalam, saat maut sudah begitu dekat menghampirinya. Untunglah, pemuda tampan
berbaju rompi putih ini telah menyelamatkannya dari ujung pedang si Iblis Pedang
Perak. Dan gadis cantik berbaju biru ini yang membawanya pergi dari tempat
pertarungan semalam. "Terima kasih atas pertolongan kalian yang telah menyelamatkan nyawaku," ucap
wanita itu perlahan.
"Sudah selayaknya sesama makhluk hidup saling tolong menolong. Tidak perlu kau
ucapkan itu, Nisanak," sahut Rangga, tetap lembut nada suaranya.
Wanita itu kembali memandangi Rangga dan Pandan
Wangi bergantian. Keningnya jadi berkerut, karena merasa belum pernah mengenal
kedua pendekar muda yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut semalam.
"Oh, ya Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi... ," Rangga terlebih dulu
memperkenalkan diri, seakan-akan bisa membaca jalan pikiran wanita itu.
"Kenapa kalian menolongku?" wanita itu malah bertanya, tanpa memperkenalkan
dirinya. "Karena kau mengaku sebagai Dewi Selendang Maut pada mereka," kali ini Pandan
Wangi yang cepat menyahuti. "Tapi, aku yakin. Kau bukanlah Dewi Selendang Maut."
"Aku..., aku memang bukan Dewi Selendang Maut,"
pelan sekali suara wanita itu.
"Sudah kuduga..." desis Pandan Wangi pelan sekali, seperti untuk dirinya sendiri
"Lalu, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dewani," sahut wanita itu menyebutkan namanya.
"Dewani.."!"
Kening Rangga jadi berkerut mendengar nama wanita
ini. Dipandanginya wanita itu tajam-tajam, seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti
ingin meyakinkan kalau wanita yang ditolongnya semalam ini benar-benar Dewani
seperti pengakuannya tadi.
"Kau kenal, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak berbisik, melihat Rangga seperti
terkejut, dan tidak percaya kalau wanita itu bernama Dewani.
"Pernah kudengar kalau mendiang Prabu Jaya Permana hanya mempunyai seorang putri
yang bernama Dewani,"
ujar Rangga perlahan, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri. "Apakah kau
putri Prabu Jaya Permana...?"
"Benar. Aku putri tunggal Ayahanda Prabu Jaya Permana." sahut Dewani membenarkan
dugaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...," Rangga mendesah panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi
Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tidak mangerti. Sementara, Dewani
hanya diam saja merayapi Rangga dan Pandan Wangi secara bergantian. Untuk
beberapa saat, mereka hanya terdiam.
Mereka jadi sibuk dengan pikiran masing-masing yang bergelut dalam kepala. Entah
apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini.
"Kau putri seorang raja yang sudah mangkat, dan seharusnya sekarang menggantikan
ayahmu menduduki
takhta Kerajaan Batu Ampar ini. Tapi, kenapa malah berkeliaran menggunakan nama
Dewi Selendang Maut?"
Rangga kembali membuka suara seperti berbicara untuk dirinya sendiri.
"Sulit diceritakan. Dan aku tidak mungkin bisa menduduki takhta selama...,"
Dewani tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau punya masalah?" desak Rangga. Dewani hanya tersenyum saja.
"Kami memang orang-orang luar, dan bukan rakyat Batu Ampar. Tapi jika kau mau
menceritakan persoalan yang ada, mungkin aku dan Pandan Wangi bisa membantu
menyelesaikannya," kata Rangga lagi.
"Tidak ada yang bisa membantu menyelesaikan per-soalanku. Bahkan kedua guruku
juga tak mungkin bisa membantu. Terlalu sulit, karena seluruh rakyat Batu Ampar
seperti tidak peduli dengan keadaan dalam Istana. Mereka kini seakan-akan tidak
lagi mengenalku. Hal ini sudah terjadi sejak aku masih kecil. Sedangkan aku
sendiri tidak kuasa menolaknya. Sudah beberapa kali kucoba, tapi selalu
kegagalan yang kualami semalam pun, aku sudah mencoba. Kenyataannya, hampir saja
aku tewas jika kalian tidak cepat menolongku." jelas Dewani seakan-akan mengeluh
"Boleh kutahu, siapa kedua gurumu?" tanya Pandan Wangi menyelak.
Dewani tidak segera menjawab pertanyaan itu, dan
malah memandangi si Kipas Maut dengan sinar mata yang sukar diartikan. Sedangkan
Pandan Wangi membalas
pandangan itu sambil menunggu jawaban atas pertanyaannya. Tapi tampaknya Dewani
enggan menjawab pertanyaan si Kipas Maut barusan.
"Terus terang, sebenarnya aku dan Kakang Rangga sudah mengamati saat kau masuk
ke dalam Istana Batu Ampar secara diam-diam. Dan kami tahu semua apa yang
terjadi pada dirimu, termasuk pertarunganmu dengan Iblis Pedang Perak. Itu
sebabnya, aku dan Kakang Rangga tidak ingin kau tewas di tangan mereka, karena
julukan Dewi Selendang Maut kau gunakan. Dan aku sendiri sebenarnya tengah
mencari orang yang julukannya kau gunakan." kata Pandan Wangi menjelaskan maksud
pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Dan yang terpenting, kau menggunakan jurus-jurus yang dimiliki Dewi Selendang
Maut, meskipun belum
menggunakan secara sempurna," sambung Rangga, bisa mengerti maksud Pandan Wangi
yang ingin mengorek
keterangan untuk mengetahui paman dan bibinya itu.
Sedangkan Dewani masih tetap diam, memandangi
Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Namun, sinar
matanya mengandung kecurigaan. Dia jadi ingat, kalau kedua pendekar muda ini
yang menyusup masuk ke dalam taman tempat tinggal kedua gurunya. Gadis itu
bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun.
"Maaf, aku harus kembali," ucap Dewani langsung saja melangkah pergi.
Pandan Wangi bergegas bangkit berdiri. Dan baru saja hendak mengejar gadis itu,
Rangga sudah keburu men-cekal tangan si Klpas Maut ini. Mereka membiarkan
Dewani melangkah cepat meninggalkannya. Gadis itu terus berjalan tanpa berpaling
lagi, semakin masuk ke dalam hutan Lereng Gunung Haling ini. Sedangkan Rangga
dan Pandan Wangi hanya memandanginya saja sampai lenyap tak terlihat lagi.
"Kenapa kau membiarkannya pergi, Kakang?" tanya Pandan Wangi bernada tidak puas.
"Kau tidak mungkin bisa memaksanya, Pandan. Sebaiknya kita ikuti saja secara
diam-diam. Dia pasti kembali pada kedua orang gurunya yang dirahasiakan," sahut
Rangga. "Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi, ingin lebih jelas lagi.
Rangga tidak menjawab. Kepalanya didongakkan ke
atas, lalu menarik napas dalam-dalam. Sebentar kemudian terdengar suara siulan
yang panjang dan bernada aneh.
Pandan Wangi tahu, Rangga tengah memanggil Rajawali Putih. Seekor burung
rajawali raksasa tunggangannya, selain kuda hitam Dewa Bayu.
*** Dari ketinggian di atas awan, Rangga dan Pandan Wangi bisa leluasa memperhatikan
Dewani yang berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Kening Pendekar
Rajawali Sakti jadi berkerut, saat mengetahui Dewani memasuki sebuah bangunan
batu berbentuk candi yang merupakan gerbang pembatas. Bangunan batu itu pernah
dilewatinya bersama Pandan Wangi, ketika mereka secara tidak sengaja memasuki
sebuah taman.

Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewani memang tidak terlihat lagi setelah masuk ke dalam gerbang berbentuk candi
kecil itu. Sementara Rangga meminta Rajawali Putih menyusuri bagian Lereng
Gunung Haling ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat ketika keluar dari taman
itu diantar empat orang berpakaian seragam seperti prajurit. Mereka melalui
sebuah lorong yang cukup panjang dan berliku-liku, seperti sebuah lorong di
dalam tanah. Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau tidak akan bisa memasuki taman
itu lagi, kccuali lewat gua di Puncak Gunung Haling atau dari gerbang candi itu.
"Kakang, ada lembah di depan sana...!" seru Pandan Wangi seraya menunjuk
Rangga langsung mengarahkan pandangan ke arah
yang ditunjuk Pandan Wangi. Matanya jadi menyipit, begitu melihat sebuah lembah
yang dikelilingi tumpukan batu-batu melingkar, seperti membentuk sebuah cincin
raksasa. Dan mereka jadi terkejut, karena di dalam lembah itu terdapat sebuah taman yang
sangat indah. Keindahannya seperti taman Swargaloka tempat bersemayam para
Dewata di Kahyangan. Dan taman itulah yang mereka
masuki secara tidak sengaja beberapa waktu yang lalu.
"Rajawali Putih, kita turun di luar taman itu," perintah Rangga.
"Khraaaghk..!"
Rajawali Putih segera meluruk turun ke arah yang
diinginkan Rangga. Kedua pendekar muda itu segera berlompatan turun, begitu
Rajawali Putih mendarat tepat di dekat tumpukan batu yang melingkar membentuk
cincin raksasa.
"Kau tunggu saja di sini, Rajawali Putih," kata Rangga berpesan.
"Khrrr...!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya, seraya mengkirik kecil.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melompat
menaiki tumpukan batu-batu itu. Gerakannya sungguh ringan dan lincah. Pandan
Wangi juga bergegas mengikuti, berlompatan mendaki tumpukan batu-batu yang
begitu tinggi seperti sebuah bukit. Sementara Rajawali Putih mendekam diam,
memperhatikan kedua pendekar muda
yang terus berlompatan semakin tinggi.
"Hup!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di puncak
tumpukan batu itu. Kemudian tubuhnya dirundukkan,
begitu melihat ke bagian dalam lembah yang dikelilingi tumpukan batu. Pada saat
itu, Pandan Wangi sudah
sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Juga langsung diperhatikannya tanah
di lembah itu. "Itu Dewani, Kakang," desis Pandan Wangi seraya menunjuk.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
Mereka melihat Dewani duduk bersila di depan dua
orang tua yang juga duduk bersila berdampingan, di atas batu yang cukup besar
dan pipih permukaannya. Tampak jelas sekali kalau mereka sedang membicarakan
sesuatu. "Kau bisa mendengar pembicaraan mereka, Kakang?"
tanya Pandan Wangi
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti menggunakan ilmu
'Pembeda Gerak dan Suara'. Maka, tentu saja semua
percakapan Dewani dengan dua orang tua yang duduk
bersila di atas batu itu bisa terdengar. Sementara Pandan Wangi hanya bisa
memperhatikan saja, karena tidak
memiliki ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara' seperti Rangga.
Dalam jarak yang jauh begitu, memang tidak mungkin bagi Pandan Wangi untuk bisa
mendengar percakapan itu.
*** "Seharusnya kebodohan itu tidak pertu kau lakukan, Dewani. Ramuan itu belum
cukup kuat untuk menghadapi mereka. Paling tidak masih perlu satu tahun lagi,
jika kau rajin menggunakannya. Bahkan bukannya tidak mungkin, kepandalan yang
kau miliki melebihi dari yang kami miliki berdua saat ini," jelas wanita berbaju
kuning gading yang duduk di atas batu pipih itu. "Aku tidak mau lagi terulang
peristiwa yang dialami Rapanca.... "
"Maafkan aku, Bibi," ucap Dewani lirih dengan kepala tertunduk menekuri
rerumputan di depannya.
Dewani jadi ingat dengan pemuda berbaju putih yang hampir membawanya lari dari
Istana Batu Ampar. Tapi nasib memang menentukan lain. Rapanca tewas
kehabisan darah setelah sampai di tempat ini. Dewani benar-benar menyesali
peristiwa itu. Terlebih lagi, sebenarnya dia sudah mulai menyukainya. Dan baru
beberapa hari yang lalu Dewani baru tahu, kalau Rapanca ternyata salah seorang
murid kedua tokoh kosen itu.
"Sudahlah. Yang penting, sekarang kau masih tetap hidup," ujar wanita separuh
baya itu, tetap lembut suaranya.
"Dewani, siapa yang menolongmu semalam?" selak laki-laki tua berjubah putih. Dia
duduk di samping wanita separuh baya berbaju kuning gading yang sama persis
dengan yang dipakai Dewani.
"Aku tidak kenal, Paman. Tapi mereka pernah datang ke sini waktu itu. Kalau
tidak salah, namanya Rangga dan Pandan Wangi," sahut Dewani seraya mengangkat
kepala. "Siapa tadi...?" selak wanita separuh baya, tampak agak terkejut.
"Rangga...," sahut Dewani
"Lalu yang seorang lagi?"
"Pandan Wangi"
Wanita separuh baya berbaju kuning gading itu tertegun mendengar jawaban Dewani
yang begitu polos dan tugas.
Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal hatinya.
Terlebih lagi, Dewani sudah menceritakan kalau Rangga dan Pandan Wangi sengaja
mencari mereka. Bahkan
menganggap mereka masih ada hubungan persaudaraan.
Pandan Wangi menganggap mereka adalah paman dan
bibinya yang sudah lama tidak bertemu, karena terlalu sibuk mengembara
menjelajahi rimba persilatan
"Ada apa, Rayi Selendang Maut?" tanya laki-laki tua berjubah putih itu seraya
berpaling menatapnya.
"Tldak... tidak ada apa-apa," sahut wanita separuh baya itu seraya menggelengkan
kepala beberapa kali.
Mereka jadi terdiam. Laki-laki tua berjubah putih
panjang menatap Dewani yang masih tetap duduk bersila di depannya. Sedangkan
wanita separuh baya yang
mengenakan baju kuning gading itu beberapa kali menarik napas panjang, dan
menghembuskannya kuat-kuat.
"Kau pergi dulu, Dewani," ujar laki-laki berjubah putih.
"Baik, Paman," sahut Dewani.
Gadis itu bangkit berdiri. Setelah menjura memberi hormat, kakinya melangkah
meninggalkan kedua orang tua ini. Mereka masih tetap diam sampai Dewani tidak
terlihat lagi di taman itu. Dewani menghilang, setelah masuk ke dalam sebuah
rumah yang berukuran cukup besar, dan terletak merapat dengan tumpukan batu di
sebelah kanan taman ini.
"Aku tahu, apa yang kau pikirkan saat ini, Rayi Dewi.
Mereka juga sudah memperkenalkan namanya padaku
waktu itu," ungkap laki-laki tua berjubah putih itu, agak perlahan suaranya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku, Kakang Bayangan Dewa," sentak wanita
separuh baya itu tampak terkejut.
Wanita itu ternyata memang Dewi Selendang Maut.
Sedangkan laki-laki berjubah putih itu tak lain dari Pendekar Bayangan Dewa. Dua
tokoh kosen rimba
persilatan yang selama sepuluh tahun lebih telah
menghilang, hingga tak ada seorang pun yang tahu
rimbanya. Sementara itu Rangga yang mendengarkan
semua percakapan jadi tertegun, setelah mengetahui kedua orang tua di dalam
taman itu. Sungguh tidak dikira kalau mereka adalah Pendekar Bayangan Dewa dan
Dewi Selendang Maut yang selama ini dicari Pandan Wangi.
"Aku tidak ingin mengatakannya padamu, karena belum yakin kalau dia keponakan
kita. Rayi Selendang Maut. Aku ingin menyelidikinya lebih dulu, tapi setelah
urusan kita di sini sudah selesai," jelas Pendekar Bayangan Dewa.
"Tinggal dia satu-satunya keluarga kita yang ada, Kakang. Kau tahu, aku sendiri
sebenarnya sudah lama mencari. Aku ingin mewariskan seluruh ilmuku padanya.
Hanya keponakan kita yang berhak menerima warisan
ilmuku, Kakang," tegas Dewi Selendang Maut
"Aku juga berkeinginan sama denganmu, Rayi Dewi. Itu sebabnya, kenapa aku
mengajakmu berdamai, dan mem-bangun tempat ini untuk menggembleng keponakan kita
itu. Mudah-mudahan kita berhasil menemukannya nanti,"
kata Pendekar Bayangan Dewa lagi.
"Lalu, bagaimana dengan Dewani?" tanya Dewi Selendang Maut
"Kita hanya menjalankan kewajiban dan janji saja. Dan itu harus dilaksanakan
sampai selesai." sahut Pendekar Bayangan Dewa.
"Ya, aku tahu. Kita memang terikat janji. Dan lagi, Dewani memang bukan orang
lain buat kita, Kakang.
Baiklah, kita selesaikan dulu persoalan di sini, baru mencari Pandan Wangi
bersama-sama." Dewi Selendang Maut mengambil keputusan.
"Itu lebih bagus, Rayi."
"Tapi kita harus ingat Kakang, Dewani hanya kita bekali saja dengan ilmu-ilmu
olah kanuragan dan kesaktian.
Sedikit pun kita tidak boleh mencampuri urusannya dengan Lanjani. Biar mereka
berdua saja yang menyelesaikannya.
Itu urusan pribadi, dan kita tidak berhak mencampurinya."
tandas Dewi Selendang Maut.
"Tentu saja. Aku juga tidak ingin mengotori tanganku dengan segala macam urusan
kerajaan. Pengabdianku
pada Prabu Jaya Permana sudah cukup. Dan sekarang, tinggal menuntaskan janjiku
padanya untuk membekali putri tunggalnya dengan ilmu kedigdayaan," sambut
Pendekar Bayangan Dewa.
"Hhh...! Kalau saja Prabu Jaya Permana tidak menikah dengan adik misanku, sudah
pasti aku tidak akan melakukan ini, Kakang. Sayangnya, aku sudah berjanji pada
adikku." desah Dewi Selendang Maut.
"Bagaimanapun juga, dia tetap keponakanmu, Rayi"
"Keponakanmu juga, Kakang."
"Tapi keponakan kita yang sebenarnya justru tidak ada."
"Itulah yang membuatku terus berpikir, Kakang. Sementara aku semakin tua, aku
khawatir tidak punya
kesempatan lagi."
"Aku rasa, sebaiknya kita curahkan saja seluruh perhatian pada Dewani. Dia cukup
berbakat. Sehingga nanti tidak perlu lagi menggunakan ramuan. Biarkan masalahnya dengan Lanjani diselesaikan dulu. Lalu, dia kita gembleng secara alami,
tanpa harus menggunakan ramuan yang bisa membuatnya menguasai segala ilmu dalam
waktu singkat."
"Kau khawatir ramuanku akan membuatnya kecanduan, Kakang?"
"Semua ramuan obat selalu mengandung sampingan, Rayi. Kau lihat saja sendiri.
Belum lama di sini, dia sudah berani menantang Lanjani yang kepandaiannya jauh
lebih tinggi."
"Kau menginginkan aku menghentikan ramuan itu sekarang, Kakang?"
"Kalau kau setuju."
"Baiklah. Aku tidak akan menggunakannya lagi."
Pendekar Bayangan Dewa tersenyum. Memang sejak
semula dia tidak setuju terhadap cara Dewi Selendang Maut yang menggunakan
ramuan obat agar kekuatan
orang bisa berlipat ganda. Bahkan bisa menyerap ilmu-ilmu kedigdayaan dalam
waktu singkat, tanpa harus mem-pelajarinya bertahun-tahun. Tapi, tentu saja
tidak bisa bertahan lama. Apa pun jenisnya, ramuan obat tidak bisa abadi.
Hal itu terbukti pada Dewani. Kekuatannya langsung sirna begitu pengaruh ramuan
obat yang diberikan Dewi Selendang Maut hilang dalam dirinya. Dan ini yang
sebenarnya tidak diinginkan Pendekar Bayangan Dewa.
Tapi, hal itu tidak ingin dikatakannya terus terang pada Dewi Selendang Maut.
Karena, baru sepuluh tahun ini mereka bisa hidup berdampingan secara damai. Dan
itu semua berkat Prabu Jaya Permana yang bisa mendamai-kan mereka, sehingga
tidak terjadi pertarungan maut di Puncak Gunung Haling sepuluh tahun yang lalu.
Tentu saja hal itu dilakukan secara rahasia. Hanya Prabu Jaya Permana yang tahu,
selain mereka berdua. Jadi, sebenarnya pertarungan itu tidak ada.
*** 7 "Kau tunggu di sini," ujar Rangga sambil mcnepuk pundak Pandan Wangi.
"Kakang mau ke mana?" tanya Pandan Wangi. Rangga tidak menjawab. Cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari atas tumpukan batu-batu ini.
Gerakannya begitu ringan dan cepat, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai tingkat sempuma. Sementara Pandan Wangi tetap diam memperhatikan,
meskipun jadi penasaran dan bertanya-tanya dalam hati.
Hanya beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mencapai
tanah. Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba itu, tentu saja membuat Pendekar
Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut jadi terkejut.
Mereka cepat berlompatan menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Hanya dua kali
melompat, maka mereka
mendarat tepat sekitar lima langkah di depan Rangga yang baru saja menjejakkan
kaki di tanah berumput taman ini.
"Tunggu...!" sentak Rangga berseru cepat begitu melihat dua tokoh tua itu hendak
menyerangnya. "Apa maksudmu datang lagi ke sini?" tanya Pendekar Bayangan Dewa langsung.
"Mari kita bicarakan ini secara baik-baik," jelas Rangga mencoba bersikap
bersahabat. "Apa yang ingin kau bicarakan" Aku tidak kenal siapa dirimu, Anak Muda." desis
Dewi Selendang Maut, agak dingin nada suaranya.
"Memang di antara kita belum ada yang saling
mengenal. Tapi aku yakin, Paman dan Bibi mengenali temanku," duga Rangga, masih
tetap kalem dan sopan nada suaranya.
Dewi Selendang Maut dan Pendekar Bayangan Dewa
jadi saling berpandangan. Mereka baru saja membicarakan hal ini, dan sekarang
pemuda yang dibicarakan muncul begitu tiba-tiba. Tentu saja hal ini membuat
mereka tadi sempat terkejut.
"Siapa temanmu itu?" tanya Dewi Selendang Maut agak tertahan nada suaranya.
"Pandan Wangi." sahut Rangga.
"Lalu...?"
Pertanyaan Dewi Selendang Maut terhenti ketika
melihat Dewani datang menghampiri. Gadis itu sudah mangganti pakaiannya. Dan
kini bajunya agak ketat dan berwarna merah muda. Begitu cocok dengan warna
kulitnya yang putih dan halus. Dia tampak terkejut juga melihat Rangga. Tapi
kakinya terus terayun, dan berhenti di samping Dewi Selendang Maut.
"Anak muda, sebaiknya tunda dulu pembicaraan ini.
Malam nanti aku akan menemuimu," ujar Pendekar Bayangan Dewa.
"Di manapun kau berada di Gunung Haling ini aku pasti bisa menemukanmu, Anak
Muda," sahut Pendekar
Bayangan Dewa. Rangga menatap Dewani sebentar, kemudian mengangguk. Setelah menjura memberi hormat, Pendekar
Rajawali Sakti langsung melesat cepat menaiki tumpukan batu yang mengelilingi
taman ini. Gerakannya sungguh ringan dan cepat. Sehingga dalam beberapa lompatan
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di puncak tumpukan batu. Sebentar
kepalanya berpaling ke bawah, melihat Pendekar Bayangan Dewa, Dewi Selendang
Maut, dan Dewani yang masih memandanginya di bawah.
Rangga bergegas menghampiri Pandan Wangi yang
masih menunggunya. Kemudian diajaknya gadis itu pergi, tanpa menghiraukan
pertanyaan Pandan Wangi yang
begitu beruntun ingin mengetahui pembicaraan Rangga dengan dua orang tua di
dalam taman itu. Pandan Wangi terpaksa mengikuti setelah Rangga berjanji akan
menceritakannya nanti. Mereka kemudian meninggalkan
tempat itu, menunggang Rajawali Putih.
"Benarkah mereka itu paman dan bibiku, Kakang?"
tanya Pandan Wangi tidak sabaran lagi, begitu mereka sudah mengangkasa bersama
Rajawali Putih Seekor
burung Rajawali raksasa, tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu pasti, Pandan. Tapi mereka memang benar berjuluk Pendekar
Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut," sahut Rangga.
"Oh! Syukurlah kalau mereka masih hidup. Tadinya aku tidak yakin kalau mereka


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih hidup," desah Pandan Wangi gembira.
"Jangan terlulu gembira dulu, Pandan. Mereka memang mengharapkan kehadiran
keponakannya yang hllang. Tapi, itu bukan berarti hanya kau saja keponakannya,
Pandan," sergah Rangga. "Apa.... apa maksudmu berkata begitu. Kakang?" tanya Pandan Wangi jadi berkerut
keningnya. "Tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin, agar kau nanti bisa menghadapi
kenyataan bila ternyata kau bukan keponakan mereka, Pandan," kata Rangga tanpa
ber-maksud menyinggung dan mematahkan semangat gadis
ini. "Kau harus ingat yang sudah-sudah, Pandan."
"Aku tahu, Kakang. Seandainya mereka memang bukan paman dan bibiku, aku tidak
akan merasa apa-apa.
Percayalah. Segala macam kenyataan bisa kuhadapi.
Sudah seringkali hal-hal seperti ini kuhadapi," tegas Pandan Wangi sambil
memberi senyuman, seraya berpaling menatap Rangga yang berada di belakangnya.
Rangga juga tersenyum di dalam hati, Rangga semakin bangga terhadap gadis ini,
yang selalu tabah dalam menghadapi segala macam cobaan hidup. Dan ini memang
bukan yang pertama kali Pandan Wangi mencoba mencari keterangan tentang asalusulnya yang belum jelas. Gadis itu begitu gigih ingin mengetahui tentang
dirinya. Hal ini sangat diperlukan agar kehadirannya di Karang Setra bisa
diterima, meskipun selama ini semua orang di Karang Setra tidak lagi
mempertanyakan asal-usul dirinya. Tapi, Pandan Wangi tetap ingin asal-usulnya
diketahui. Dan Rangga bisa memaklumi hal itu, sehingga selalu setia menemani.
"Oh ya, Pandan. Malam nanti Pendekar Bayangan Dewa akan menemui kita," kata
Rangga memberi tahu.
"Oh, ya..." Di mana...?" tanya Pandan Wangi, begitu gembira nada suaranya.
"Di mana saja kita berada, asal masih tetap di Gunung Haling ini," sahut Rangga.
"Ah.. , senang sekali bila bisa cepat menyelesaikan semua ini," desah Pandan
Wangi berharap.
Rangga bangkit berdiri begitu telinganya mendengar suara langkah kaki di
kegelapan menuju ke arahnya.
Pandan Wangi yang duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti tadi, juga ikut
berdiri. Malam ini memang begitu pekat. Dan udara pun terasa begitu dingin.
Sehingga api unggun yang mereka buat, seperti tidak mampu mengusir kepekatan dan
dinginnya udara malam ini.
Suara langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Tak berapa lama kemudian,
terlihat seorang laki-laki dan seorang perempuan berjalan agak cepat menghampiri
kedua pendekar muda itu. Rangga segera menjura memberi penghormatan setelah dua
orang tua itu berada dekat di depannya. Pandan Wangi mengikuti, membungkukkan
tubuhnya sedikit memberi penghormatan.
"Ini temanmu yang bernama Pandan Wangi itu?" laki-laki tua berjubah putih yang
tak lain adalah Pendekar
Bayangan Dewa, langsung bertanya. Memang agak tajam nada suaranya. Dan kini
matanya menatap lurus pada Pandan Wangi.
"Benar." sahut Rangga.
"Kenapa kau mencari kami?" selak Dewi Selendang Maut bertanya langsung pada
Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tapi malah
menatap Rangga yang saat itu berpaling memandangnya.
Memang pertanyaan Dewi Selendang Maut begitu
langsung, dan seperti tidak suka kalau Pandan Wangi sedang mencarinya.
"Temanku ini mencari paman dan bibinya yang sudah lama menghilang tidak ketahuan
kabar beritanya. Dan kami mendapat keterangan, mereka selalu malang-melintang
dalam rimba persilatan dengan nama Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi Selendang
Maut," jelas Rangga, mewakili Pandan Wangi yang tampaknya jadi sulit berbicara.
Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi Selendang Maut
saling berpandangan, mendengar penjelasan Rangga
barusan. Memang mereka berdualah yang dijuluki Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut. Dan
mereka memang sedang mencari keponakannya yang
hilang. Tapi mereka belum mau mengakui Pandan Wangi sebagai keponakan mereka
begitu saja. "Siapa namamu?" tanya Dewi Selendang Maut kembali menatap Pandan Wangi.
'Pandan Wangi," sahut Pandan Wangi memperkenalkan cart
"Lalu, siapa nama ayah dan ibumu?" tanya Dewi Selendang Maut lagi.
"Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi.
"Nama orang tuamu saja tidak tahu, bagaimana
mungkin kau bisa mengakui kami sebagai sanak keluarga-mu..." Dari mana kau
dapatkan semua keterangan itu?"
"Banyak orang yang mengatakannya begitu padaku."
sahut Pandan Wangi, tetap tegas suaranya.
"Dan kau percaya begitu saja?"
Kali ini Pandan Wangi tidak menyahut. Matanya melirik Rangga yang hanya
memandanginya saja, dengan sinar mata sukar diartikan. Kemudian kembali
ditatapnya Dewi Selendang Maut dan Pendekar Bayangan Dewa bergantian.
"Aku memang tidak tahu, siapa kedua orang tuaku. Aku terpisah sejak lahir.
Sedangkan orang yang merawat dan membesarkanku tidak pernah menceritakannya,
sampai meninggal dunia. Tapi, dia sempat mengatakan kalau aku masih memiliki
sanak keluarga yang saling berpencar. Dan katanya lagi, keluargaku keturunan
kaum pendekar yang hidup mengembara tanpa jelas tempat tinggalnya," tutur Pandan
Wangi mencoba menceritakan tentang kehidupan-nya.
"Kisah hidupmu memang sangat mirip keponakan kami yang hilang.'" kata Pendekar
Bayangan Dewa. "Tapi, kami memerlukan bukti yang banyak sebelum mengakuimu
sebagai keponakan kami. Kalau benar-benar yakin dan tidak punya maksud tertentu,
kau harus bisa mencari bukti-bukti itu terlebih dahulu."
"Memang terus terang, kami juga tidak tahu banyak tentang keponakan kami yang
hilang..." sambung Dewi Selendang Maut. "Dan kami tidak mau gegabah. Karena,
sudah tiga orang gadis yang mengaku keponakanku.
Seperti juga kau ini. Nisanak."
"Aku mengerti," desah Pandan Wangi perlahan.
"Maaf, kami tidak bisa lama lama berada di sini," ujar Pendekar Bayangan Dewa.
"Tunggu dulu..." cegah Pandan Wangi cepat.
"Ada yang ingin kau ketahui lagi?" tanya Dewi Selendang Maut.
"Boleh kutahu, siapa nama keponakan kalian yang hilang...?"
"Seperti kisahmu sendiri, Nisanak. Kami juga tidak tahu siapa namanya. Karena,
sudah terpisah sejak dilahirkan.
Kami hanya tahu kalau dia masih hidup, tapi entah berada di mana sekarang ini,"
sahut Pendekar Bayangan Dewa.
Pandan Wangi terdiam Rangga juga tidak membuka
suara lagi. "Semoga kau mendapatkan bukti-bukti kuat. Kami berdua akan senang bila kau
memang keponakan kami
yang hilang," ujar Pendekar Bayangan Dewa
Mereka kemudian berpamitan. Kali ini Pandan Wangi
maupun Rangga tidak mencegah lagi. Pandan Wangi langsung menghempaskan tubuhnya
di dekat api unggun
sambil menghembuskan napas panjang. Sementara,
Rangga masih berdiri mematung memandangi dua orang tua yang semakin jauh pergi,
dan menghilang di kegelapan malam. Rangga baru duduk di samping Pandan Wangi
setelah kedua orang tua itu tidak terlihat lagi.
"Kenapa mereka tidak mau mengakui, Kakang" Padahal mereka mengatakan kalau
kejadiannya sama persis
dengan yang kualami," keluh Pandan Wangi.
"Kau kecewa, Pandan...?" lembut sekali suara Rangga.
"Entahlah...," desah Pandan Wangi.
Rangga melingkarkan tangannya ke pundak gadis ini, dan merengkuhnya ke dalam
pelukan. Pandan Wangi
menenggelamkan kepalanya di dalam dada Pendekar
Rajawali Sakti yang bidang dan hangat. Untuk beberapa saat mereka jadi terdiam,
tidak bicara lagi
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Pandan. Kalau boleh kusarankan, sebaiknya kau
tidak perlu lagi bersusah-susah mencari keterangan tentang asal-usulmu. Aku sama
sekali tidak peduli pada semua itu. Aku hanya mempedulikan dirimu," hibur
Rangga, lembut suaranya.
"Kau memang tidak peduli dengan asal-usulku. Kakang, Aku senang mendengarnya.
Tapi, apa seperti itu yang diinginkan orang lain..." Terutama yang ada di Istana
Karang Setra, dan seluruh rakyat Karang Setra. Mereka pasti ingin tahu, siapa
aku sebenarnya. Dan dari mana aku berasal, serta keluarga dan sanak keluargaku.
Mereka tidak akan menerimaku begitu saja, tanpa mengetahui asal-usulku, Kakang,"
tandas Pandan Wangi seraya melepaskan diri dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Peduli setan dengan mereka semua, Pandan. Yang kuinginkan hanya dirimu, dan
cintamu. Aku tidak peduli dengan omongan orang lain. Mereka tidak berhak mengatur hidupku. Aku bebas menentukan langkah hidupku sendiri, Pandan," tegas
Rangga. "Percayalah padaku, Pandan. Siapa pun kau, dan dari mana kau berasal,
cintaku padamu tidak akan pernah luntur. Hanya kaulah gadis satu-satunya yang
ada di hatiku "
"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi terharu.
Pandan Wangi tak mampu lagi menahan keharuannya
mendengar kata-kata Rangga yang begitu tegas dan sangat menyentuh relung
hatinya. Gadis itu langsung menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Rangga. Kembali
mereka tidak berbicara, dan saling berpelukan, merasakan cinta yang begitu besar
berkobar dalam dada.
Lama juga mereka terdiam tanpa bicara lagi. Perlahan Pandan Wangi melepaskan
pelukannya. Mereka kini saling berpandangan dengan cinta terpancar lewat sinar
mata. Begitu besarnya pancaran yang ada, sehingga tak ada satu pun penghalang yang
bisa memisahkan mereka berdua.
"Kau dengar, Pandan ?" desis Rangga tiba-tiba. Suaranya begitu pelan sekali.
Belum juga Pandan Wangi bisa membuka mulutnya,
tiba-tiba saja Rangga sudah melompat cepat bagaikan kilat Pendekar Rajawali
Sakti langsung menembus ke dalam semak berukar. Tapi mendadak saja.....
"Jangan..!"
"Heh..."!"
*** 8 "Dewani...!" desis Rangga terkejut.
Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti menghantamkan
pukulannya. Untung saja, gadis yang diam-diam menyelinap itu langsung menjerit.
Rangga cepat melompat keluar dari dalam semak belukar sambil menarik tangan
Dewani. Sehingga. gadis itu juga ikut keluar dari dalam semak.
Pada saat itu, Pandan Wangi sudah menghampiri dan berdiri di samping Rangga.
Sedangkan Dewani kini sudah berada di depan kedua pendekar muda ini.
"Apa yang kau lakukan di sini, Dewani?" tanya Rangga.
"Maaf, aku telah mengejutkan kalian. Tapi aku tidak ber-maksud jahat. Aku justru
ingin minta tolong pada kalian berdua." kata Dewani.
"Minta tolong...." Rangga jadi bcrkerut keningnya.
"Ya! Aku tidak tahu harus minta bantuan pada siapa lagi.
Sedangkan persoalan ini harus diselesaikan secepatnya.
Aku tidak ingin terus berlarut-larut, sementara seluruh rakyat Batu Ampar sudah
mulai mempertanyakan tentang diriku." jelas Dewani
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan.
"Kalian pasti sudah tahu, siapa aku sebenarnya," kata Dewani lagi.
Rangga memang sudah tahu, siapa Dewani sebenarnya.
Apalagi setelah mendengar semua pembicaraan Pendekar Bayangan Dewa dan Dewi
Selendang Maut. Dan Pendekar Rajawali Sakti juga tahu, persoalan apa yang sedang
dihadapi gadis ini. Haknya sebagai pewaris tunggal Kerajaan Batu Ampar telah
terampas Lanjani, salah seorang anak dari selir ayahnya. Tentu saja Lanjani
tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Batu Ampar.
Rangga jadi sukar menentukan pilihannya. Sementara, pemuda itu juga harus
menjaga perasaan Pandan Wangi yang saat ini sedang menghadapi suatu kekecewaan
terhadap kenyataan pahit yang dihadapinya saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin
mengecewakan harapan Dewani yang
terang-terangan meminta bantuannya untuk merebut
kembali takhta yang kini dikuasai Lanjani secara tidak sah.
Maka tidak mudah bagi Rangga untuk menentukan salah satu dari dua pilihan yang
begitu sulit. "Sebentar...." ujar Rangga pada Dewani.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan
Pandan Wangi, dan membawanya menjauhi Dewani.
Pandan Wangi mengikuti saja tanpa bertanya sedikit pun.
Sedangkan Dewani tetap menunggu sambil memperhatikan Rangga yang sudah langsung berbicara pada Pandan Wangi. Pendekar Rajawali
Sakti mengatakan persoalan yang sedang dihadapi Dewani saat ini, dan meminta
pendapat Pandan Wangi dalam hal ini. Karena, memang sulit menentukan pilihan,
mengingat keadaan Pandan Wangi yang tidak sedikit membutuhkan perhatiannya.
"Terima kasih atas perhatianmu yang begitu besar, Kakang," ucap Pandan Wangi
setelah Rangga selesai menceritakan keadaan Dewani saat ini, hingga meminta
bantuan pada mereka untuk mengembalikan takhta padanya. "Tapi, kau seorang
pendekar, Kakang. Dan kau harus bisa menentukan pilihan yang tepat"
"Tapi..."
"Jangan lupakan kewajiban seorang pendekar, Kakang.
Dan aku sendiri tidak peduli terhadap pribadiku sendiri.
Bagiku, masalah pribadi bukan hambatan yang berarti untuk menjalankan tugas
sebagai pendekar," tandas Pandan Wangi, cepat memutuskan ucapan Rangga.
Rangga jadi terdiam.
"Katakan pada Dewani, kau juga bersedia mambantunya. Tapi harus kau yakinkan
dulu. Dan dia juga harus minta izin gurunya untuk meminta bantuan padamu,
Kakang," usul Pandan Wangi.
"Mereka tidak akan mencampuri urusan ini, Pandan.
Dewani memang mereka gemblehg. Tapi untuk persoalan yang menyangkut kerajaan,
mereka tidak mau ukut
campur," jelas Rangga.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
"Aku dengar sendiri yang mereka katakan siang tadi."
"Kalau begitu, apa salahnya jika kita membantunya, Kakang...?"
"Kau benar-benar memiliki hati emas, Pandan," puji Rangga tulus.
"Simpan dulu pujianmu, Kakang. Sekarang katakan pada Dewani, kita bersedia
membantunya," kata Pandan Wangi tidak ingin mendapat pujian.
Rangga tersenyum, lalu bergegas menghampiri Dewani yang menunggu di dekat api
unggun. Sementara Pandan Wangi melangkah ringan menghampiri Rangga yang
langsung berbicara pada Dewani. Betapa gembiranya gadis itu mendengar kesediaan
Rangga membantu menyelesaikan persoalannya, untuk merebut kembali takhta yang
sekarang diduduki Lanjani secara tidak sah. Mereka kemudian duduk menghadapi api
unggun. "Sejak semula aku memang sudah yakin, kalian bersedia membantuku," kata Dewani
dengan sinar mata yang berbinar.
"Oh, ya..." Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Pandan Wangi.
"Dari cara kalian menolongku dari tangan Iblis Pedang Perak dan si Cambuk
Setan," sahut Dewani.
"Aku rasa, itu hanya kebetulan saja," ujar Rangga merendah.
"Tidak. Dari caranya saja sudah menunjukkan kalau kalian adalah pendekarpendekar tangguh dan digdaya.
Aku yakin, kalian pasti memiliki kepandalan tinggi, dan mampu menghadapi Lanjani
dan kedua orang kepercaya-annya itu. Juga, dari cara kau masuk dan keluar dari
tempat tinggal Paman Pendekar Bayangan Dewa."
Rangga hanya tersenyum saja. Hatinya benar-benar
kagum pada pengamatan Dewani yang begitu tajam dan jeli. Sehingga gadis itu bisa
begitu yakin, walau hanya dengan pengamatan yang tidak begitu jauh. Tidak heran
jika dua orang tokoh kosen yang sudah menghilang dari rimba persilatan menyukai
gadis ini. Bahkan menurunkan ilmu-ilmunya, meskipun belum seberapa. Tapi, itu
sudah menjadikan suatu perubahan besar pada diri Dewani.
Meskipun, sebagian besar karena pengaruh ramuan obat yang dibuat Dewi Selendang
Maut. "Sebaiknya, kalian tidur malam ini. Besok pagi akan kucoba dengan cara
musyawarah. Mudah-mudahan tidak terjadi pertumpahan darah," ujar Rangga.
"Kalaupun terjadi, aku yakin kalian mampu menghadapi mereka," kata Dewani.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk


Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Timur, Dewani, Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai di depan bangunan Istana
Batu Ampar yang besar dan megah. Semua prajurit penjaga terkejut melihat kedatangan
Dewani. Tapi, tak seorang pun yang berani menghampiri. Apa lagi menegurnya.
"Pengawal...!" panggil Dewani pada salah seorang prajurit penjaga.
Prajurit itu bergegas menghampiri, dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat begitu sampai di depan Dewani.
"Beri tahu Kanda Lanjani. Aku menunggunya di sini,"
perintah Dewani dengan suara lantang dan anggun.
"Hamba Kanjeng Nini...." sahut prajurit itu hormat.
Seselah menjura memberi hormat pengawal itu bergegas berlari-lari menaiki tangga istana. Tapi baru saja sampai di tengah-tengah
tangga, dari dalam istana itu sudah muncul dua orang laki-laki. Prajurit itu
jadi berhenti, dan segera membungkuk memberi hormat. Kedua laki-laki yang
ternyata si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak melangkah menuruni anak-anak
tangga. "Minggir...! Hih" sentak Iblis Pedang Perak pada prajurit yang masih berdiri di
tengah tangga. Cepat sekali tangan Iblis Pedang Perak mengibas. Dan tahu-tahu, prajurit itu
sudah terpental jatuh dari tangga.
Tubuhnya bergulingan di tanah, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu
kerasnya kibasan tangan Iblis Pedang Perak, sehingga kepala prajurit itu remuk.
"Biadab...!" desis Pandan Wangi jadi geram melihat tindakan kejam Iblis Pedang
Perak barusan. Sementara itu Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak
sudah sampai di ujung bawah tangga. Mereka terus
melangkah menghampiri Dewani yang didampingi Rangga dan Pandan Wangi. Mereka
baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi di depan
gadis itu. "Seharusnya kau tidak pertu datang lagi ke sini, Dewani.
Kau hanya mengantarkan nyawa saja..." desis si Cambuk Setan dingin.
"Aku sudah ada di sini. Dan kuminta kalian tinggalkan negeri ini!" tegas Dewani
lantang. "Ha ha ha...! Kau tidak bisa mengusir mereka begitu saja, Dewani...!"
Dewani, Rangga, dan Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke pintu istana, begitu mendengar suara lantang dan
menggelegar. Tampak di ambang pintu.
berdiri Lanjani dengan sikap angkuh. Di belakangnya tampak berdiri berjajar enam
orang laki-laki berperawakan kasar.
"Hup...!"
Ringan sekali gerakan Lanjani saat melompat. Tubuhnya berputaran beberapa kali
di udara dengan manis sekali.
Lalu tanpa menumbulkan suara sedikut pun, Lanjani
mendarat tepat di depan si Cambuk Setan dan Iblis Pedang Perak. Sementara enam
orang laki-laki yang men-dampinginya, bergegas menuruni anak tangga istana.
Mereka kemudian berdiri berjajar di belakang si Cambuk Setan dan Iblis Pedang
Perak. "Aku sudah terlalu banyak bermurah hati padamu, Dewani. Tapi, kau selalu saja
membuat kesulitan bagi dirimu sendiri. Sekarang, aku tidak akan bermurah hati
lagi padamu," ancam Lanjani dingin.
"Aku hargai kemurahan harimu, Lanjani. Tapi, aku tetap menginginkan agar kau
angkat kaki dari sini. Bawalah semua begundal-begundal tengikmu itu!" dengus
Dewani tidak kalah dinginnya.
"Kau semakin kurang ajar saja, Dewani!" geram Lanjani, langsung memerah mukanya.
"Tangkap dia! Gantung di tengah alun-alun...!"
Belum lagi perintah Lanjani menghilang dari pendengaran, enam orang yang semuanya bersenjata golok berukuran besar langsung
berlompatan ke depan. Salah seorang seketika mengibaskan goloknya ke arah dada
Dewani. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga sudah menarik tangan Dewani sambil
mengebutkan tangan
kirinya untuk menyambut golok berukuran besar itu.
Tap! "Hih!"
Hanya sekali sentakan saja, golok yang berhasil
ditangkap itu terpental ke udara. Dan sebelum pemilik golok itu bisa menyadari,
Rangga sudah mengirimkan satu tendangan keras yang langsung mendarat telak di
dada orang itu.
Desss! "Akh...!"
Laki-laki bertubuh besar dan kekar itu langsung terpental ke belakang sambil
memekik keras agak tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti yang menginginkan bicara baik-baik, langsung menyadari
kalau hal itu tidak mungkin dilakukan. Dan sebelum lima orang lainnya bisa
berbuat lebih jauh, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti sudah berlompatan cepat
mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya berkelebat
cepat menyambar lima orang laki-laki bersenjata golok itu.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pekikan-pekikan keras tertahan terdengar saling susul, diikuti berpentalannya
lima tubuh kekar. Rupanya, sam-baran tangan Rangga begitu cepat, dan sukar
diikuti pandangan mata biasa. Hanya menggunakan satu jurus saja, enam orang itu
sudah bergelimpangan tak bergerak-gerak lagi.
"Hup! Yeaaah...!"
Baru saja Rangga bisa menarik napas panjang, Iblis Pedang Perak sudah melompat
cepat menyerangnya. Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu,
tiba-tiba saja Pandan Wangi sudah melentingkan tubuhnya begitu cepat untuk
menyambut Iblis Pedang Perak. Si Kipas Maut segera mencabut senjata kipas maut
andalannya, dan langsung dikebutkan ke arah dada Iblis Pedang Perak.
"Uts...!"
Buru-buru Iblis Pedang Perak mengegoskan tubuhnya, menghmdari serangan mendadak
yang dilancarkan
Pandan Wangi. Dan begitu kakinya menjejak tanah,
pedangnya cepat dicabut. Saat itu, Pandan Wangi juga sudah mendarat di tanah
beberapa langkah di depan Iblis Pedang Perak.
Sret! "Yeaaah...!"
Bet! Cepat sekali Iblis Pedang Perak mengebutkan pedangnya ke arah dada Pandan Wangi,
Tapi dengan gerakan cepat dan indah, si Kipas Maut mengebutkan kipas baja
putihnya. Langsung ditangkisnya tebasan padang berwarna keperakan yang
berkelebat di depan dadanya.
Trang! "Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi cepat
melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu sambil meluruk deras, dilepaskannya satu
pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke tubuh Iblis Pedang Perak. Begitu cepat
serangannya, sehingga Iblis Pedang Perak jadi terpaku tak dapat lagi menghindar.
Desss! "Akh...!"
Iblis Pedang Perak terpental beberapa langkah ke
belakang. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah.
Sementara itu, Pandan Wangi tidak mau membuang-buang waktu lagi. Cepat sekali
diburunya Iblis Pedang Perak yang bergulingan di tanah. Tapi begitu kipas Pandan
Wangi mengebut ke arah dada Iblis Pedang Perak, tiba-tiba....
Ctar...! "Ikh...!"
Pandan Wangi jadi terkejut. Maka cepat-cepat tangannya ditarik begitu terlihat
seutas cambuk hitam meng-geletar hendak menyambar tangannya yang memegang
kipas. Pada saat Pandan Wangi melompat ke belakang, Iblis Pedang Perak cepatcepat melompat bangkit berdiri.
Langsung pedangnya dikebutkan ke arah kaki si Kipas Maut itu.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
*** Manis sekali gerakan Pandan Wangi saat melenting
menghindari tebasan pedang keperakan itu. Beberapa kali si Kipas Maut berputaran
di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah. Namun baru
saja kakinya menyentuh tanah, kembali si Cambuk Setan
mengebutkan cambuk hitamnya ke arah gadis itu.
Ctar! Tapi "Heh...!"
Bukan main terkejutnya si Cambuk Setan. Karena tanpa diduga sama sekali, tibatiba Rangga melesat cepat.
Langsung ditangkapnya ujung cambuk yang hampir saja merobek kulit tubuh Pandan
Wangi. "Cukup sudah kecuranganmu, Orang Tua...!" desis Rangga. "Hih...!"
Cambuk Setan jadi tersentak setengah mati, begitu tiba-tiba saja Rangga
menghentakkan tangannya yang menggenggam ujung cambuk itu ke atas. Seketika itu
juga, tubuh si Cambuk Setan terlempar ke udara, tak sanggup menahan sentakan
berkekuatan tenaga dalam sempuma
itu. "Hiyaaat..!"
Cepat sekali Rangga melesat ke udara mengejar si
Cambuk Setan yang terlempar tanpa dapat mengendalikan keseimbangan tubuh.
Sehingga ketika Rangga melepaskan satu pukulan begitu keras dan menggeledek dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', si Cambuk Setan tidak mampu lagi menghindar.
"Yeaaah...!"
Begkh! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak si
Cambuk Setan terpental deras.
Tubuhnya keras sekali terbanting di tanah. Dari mulutnya kontan menyemburkan
darah kental. Si Cambuk Setan
mencoba bangkit berdiri, tapi langsung menggelimpang dan menggelepar mengejang.
Kemudian, dia diam tak bergerak lagi. Tampak dadanya melesak masuk ke dalam
akibat terkena pukulan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' yang dilepaskan Rangga.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah kembali bertarung melawan Iblis Pedang Perak.
Kali ini Pandan Wangi benar-benar menguasai jalannya pertarungan tanpa campur
tangan si Cambuk Setan yang sudah dibereskan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan
Rangga sendiri sudah
melangkah menghampiri Lanjani. Ratu Kerajaan Batu
Ampar itu wajahnya kini jadi memucat melihat orang-orang andalannya bisa
dibereskan begitu mudah oleh pendekar-pendekar muda itu. Lain halnya dengan
Dewani. Gadis itu tersenyum-senyum penuh kemenangan melihat ketang-guhan Rangga
dan Pandan Wangi.
Tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Rupanya Iblis Pedang
Perak tengah terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang bercucuran darah.
Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat cepat
sambil mengebutkan kipas mautnya yang terbuat dari baja putih tipis berkilatan
ke arah dada. "Hiyaaat...!"
Bet! "Hup...!"
Pandan Wangi cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara,
Iblis Pedang Perak tampak berdiri kaku dengan kedua mata terbeliak lebar.
Sebentar kemudian, tubuh laki-laki itu jatuh menggelimpang di tanah dengan
tangan masih mendekap dada yang masih ber-lumuran darah.
Saat itu, tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai begitu riuh dan gegap gempita.
Tampak para prajurit yang sejak tadi memperhatikan pertarungan, berjingkrakan
sambil mengangkat senjata tinggi-tlnggi ke udara. Mereka bersorak sorai,
menyambut kemenangan kedua pendekar itu menandingi orang-orangnya Lanjani yang
sudah terkenal ke-kejamannya.
Melihat hal itu semua, Lanjani semakin pucat wajahnya.
Ratu Kerajaan Batu Ampar itu mencoba melarikan diri.
Tapi, Rangga sudah lebih dulu melompat, dan menghadang di depannya. Lanjani
mencoba berlari, tapi Pandan Wangi juga sudah menghadangnya dari arah lain. Pada
saat itu, para prajurit yang selama ini merasa tertekan dan di-kungkung
ketakutan, sudah bergerak maju mengepung.
Demikian pula Dewani yang melangkah anggun menghampiri Lanjani. Ratu itu memang sudah tidak memiliki kekuatan dan daya lagi
setelah orang-orangnya dihabisi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Halaman depan istana yang luas itu kini jadi padat oleh para prajurit yang
semakin banyak berdatangan. Bahkan terlihat di beranda depan istana, para
pembesar kerajaan yang memang tidak menyukai Lanjani berdiri berjajar
memperhatikan. Mereka selama ini memang tidak bisa bertindak apa-apa, karena
orang orang di sekeliling Lanjani begitu kuat. Sehingga, tak seorang pun yang
bisa memberontak. Sudah tidak terhitung pembesar yang mencoba memberontak,
langsung dihukum mati di tempat itu juga.
"Dewani.. Biarkan aku pergi. Aku janji tidak akan kembali lagi ke sini...."
rintih Lanjani memohon.
"Sejarahmu sudah tamat, Lanjani. Kau harus memper-tanggungjawabkan semua
perbuatanmu di depan pengadilan kerajaan nanti." tegas Dewani, namun tetap anggun.
"Oh..."
"Tangkap dia!" perintah Dewani
Dua orang prajurit segera melangkah maju, dan mering-kus Lanjani yang sudah
tidak punya daya lagi. Sementara itu, diam-diam Rangga dan Pandan Wangi
menyingkir menjauhi kerumunan para prajurit yang menggiring Lanjani ke dalam
tahanan. "Sebaiknya kita pergi dari sini, Kakang," ajak Pandan Wangi.
"Kau tidak ingin mencari bukti lagi, Pandan?" tanya Rangga.
"Untuk apa" Ketidakpedulianmu pada asal-usulku sudah membuatku bahagia. Aku
tidak ingin lagi mencari keterangan tentang diriku. Bagiku yang terpenting
adalah mendapatkan cintamu," sahut Pandan Wangi tegas.
Kalau saja tidak banyak orang di sini, pasti Rangga sudah memeluk gadis ini. Dan
dia hanya menggenggam hangat tangan Pandan Wangi, penuh rasa cinta. Sepasang
pendekar itu kemudian meninggalkan halaman istana.
Sementara Dewani jadi celingukan mencari-cari kedua pendekar muda yang telah
membantunya mengembalikan kerajaan ini padanya, tanpa harus menumpahkan darah
dan nyawa, kecuali nyawa begundal-begundal Lanjani.
"Kakang Rangga...! Kak Pandan..!" sem Dewani begitu melihat Rangga dan Pandan
Wangi sudah sampai di pintu gerbang.
Dewani bergegas berlari menghampiri kedua pendekar muda itu. Sementara Rangga
dan Pandan Wangi terpaksa menghentikan langkahnya. Mereka berbalik menanti
Dewani yang terus berlari menghampiri. Gadis itu terengah-engah begitu sampai di
depan kedua pendekar muda yang telah menolongnya.
"Kalian mau ke mana?" tanya Dewani dengan napas masih tersengal.
"Kami harus melanjutkan perjalanan." sahut Rangga.
"Aku mohon kalian sudi tinggal di sini beberapa hari.
Kalian menjadi tamu kehormatanku yang pertama," pinta Dewani berharap.
"Terima kasih. Tapi, kami harus segera pergi. Masih banyak yang harus
dikerjakan," tolak Rangga halus.
Dewani tampak kecewa mendapat penolakan dari
tawarannya, meskipun secara halus. Dan kekecewaan ini cepat diketahui Pandan
Wangi. "Baiklah, Dewani. Tapi hanya dua hari saja." kata Pandan Wangi tidak ingin
mengecewakan gadis ini.
"Oh, terima kasih...," ucap Dewani, langsung cerah wajahnya.
SELESAI Created ebook by
fujidenkikagawa & syauqy_arr
Document Outline
*** *** *** *** *** ***

Pendekar Rajawali Sakti 63 Prahara Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** *** Neraka Gunung Dieng 1 Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Para Ksatria Penjaga Majapahit 21

Cari Blog Ini