Ceritasilat Novel Online

Siluman Penghisap Darah 1

Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah Bagian 1


SILUMAN PENCHISAP DARAH
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Siluman Penghisap Darah
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Siang itu udara terasa sangat panas. Seorang wanita muda berbaju kumal penuh tambalan
berjalan perlahan-lahan di bawah teriknya sinar
matahari yang berada tepat di atas kepala. Jalan
yang dilaluinya penuh dengan batu kerikil, seakan-akan ingin memanggang kakinya yang telanjang. Tapi, tidak dipedulikannya batu-batu yang
mulai membara terbakar sinar matahari yang begitu terik itu. Kakinya terus melangkah perlahanlahan. Tatapan mata wanita muda itu terlihat begitu tajam memandang lurus ke depan. Di ujung
jalan yang sedang dilaluinya, tampak sebuah perkampungan yang begitu sunyi, bagai tidak berpenduduk. Terlihat satu dua orang sempat melintas di jalan itu, tapi kemudian menghilang lagi ke dalam rumah.
Wanita berpakaian seperti gembel itu
menghentikan ayunan kakinya. Dilihatnya seorang
wanita separuh baya yang bertubuh gemuk tengah
duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan sinar matahari. "Mau apa kau di situ, Gembel Busuk!" Pergi sana...!" bentak wanita gemuk
itu begitu melihat didekatnya telah berdiri seorang perempuan mu-da. Tubuhnya
kotor, dan pakaiannya kumal penuh
tambalan. "Hsss...!"
Wanita berpakaian kumal itu hanya mendesis seperti ular. Matanya yang semakin tajam
dan memerah terus menatap perempuan gemuk
itu. Perlahan bibirnya bergerak terbuka dan menyeringai. Tampak dua buah taring
menyembul ke luar, sehingga wajahnya yang kotor penuh lumpur
semakin kelihatan menyeramkan.
"Akh...!" pekik perempuan gemuk itu ketakutan. Tapi, belum sempat dia berbuat
sesuatu, tiba-tiba wanita berbaju kumal penuh tambalan
itu sudah melompat cepat seperti harimau yang
menerkam mangsa. Begitu cepat gerakannya, tahu-tahu sudah dicengkeramnya perempuan separuh baya bertubuh gemuk itu.
"Ghraaaugkh...!"
"Aaa..!!"
Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Kesunyian pun terpecah di
siang hari yang panas menyengat itu. Tampak wanita berpakaian gembel itu menghunjamkan giginya yang bertaring ke leher berdaging gemuk itu.
Darah pun seketika muncrat keluar. Dan, wanita gemuk itu berkelojotan meregang
nyawa. "Ghraaagkh...!"
Sambil menggerung bagai binatang buas,
wanita berpakaian kumal penuh tambalan itu
mengoyak leher dan dada korbannya dengan buas
sekali. Lalu, seperti seorang pengelana yang kehausan, dihirupnya darah segar yang berhamburan keluar dari dada dan leher yang terkoyak lebar itu. Sedangkan si wanita
gemuk sudah diam tak
bergerak lagi. Jeritan yang begitu panjang dan melengking tadi rupanya terdengar oleh penduduk desa
yang berada tidak jauh dari tempat itu. Seketika, orang-orang pun bermunculan
dari dalam rumah.
Mereka berlarian menuju ke arah datangnya jeritan tadi, sambil menggenggam berbagai bentuk
senjata. Namun, para penduduk desa itu tersentak
kaget begitu melihat seorang wanita berbaju penuh tambalan tengah mencabik-cabik tubuh seorang wanita gemuk. Wajah mereka langsung memucat "Ghrrr..!"
Setelah tidak ada lagi darah yang tersisa,
wanita kumal yang buas itu segera bangkit berdiri.
Matanya yang memerah dan menyorot tajam langsung menatap pada kerumunan orang banyak. Dia
mendesis dan meraung kecil. Lalu....
Wusss...! Tiba-tiba wanita aneh itu melesat cepat bagai kilat, sehingga dalam sekejap mata sudah lenyap dari penglihatan. Dan para penduduk yang
tadi berdatangan itu masih tertegun kaku seperti
mimpi. *** Kegemparan menyelimuti Desa Gedangan.
Semua orang membicarakan peristiwa berdarah
yang begitu mengerikan dan baru pertama kali terjadi itu. Terlebih lagi, hampir semua orang di desa ini melihat dengan mata
kepala sendiri, bagaimana buasnya wanita aneh itu mencabik serta menghirup darah
penduduk yang menjadi korbannya.
Tak ada seorang pun yang tidak membicarakan peristiwa aneh dan mengerikan itu. Semua orang larut membicarakannya,
tidak terkecuali Ki
Legik. Kepala Desa Gedangan ini tidak habishabisnya memikirkan peristiwa mengerikan yang
baru pertama kali terjadi di desanya ini. Siang itu juga dia mengumpulkan para
pemuka desa, yang
seluruhnya berjumlah empat orang. Mereka adalah Ki Murad, Ki Rasak, Ki Bulang, dan Cantraka
yang paling muda di antara para pemuka desa
lainnya. Juga usianya masih sekitar tiga puluh li-ma tahun.
"Aku tidak akan memanggil kalian ke sini
kalau tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya. Hampir semua penduduk Desa Gedangan
ini melihat-nya...," kata Ki Legik memulai pembicaraan. "Memang sungguh
mengerikan Ki. Aku
sendiri jelas melihatnya," selak Ki Murad. "Aku tidak tahu, dia itu manusia atau
binatang. Begitu
buas dan liar."
"Hm..., apakah kau mengenali wajahnya?"
tanya Ki Legik seraya menatap cukup dalam pada
wajah Ki Murad.
"Sulit untuk mengenalinya, Ki. Sosoknya
menyeramkan dan kotor sekali. Pakaiannya seperti
gembel, penuh tambalan dan compang-camping.
Tapi...," Ki Murad menghentikan kata-katanya.
'Tapi kenapa, Ki Murad?" tanya Cantraka
minta diteruskan.
"Tampaknya dia seorang wanita, Cantraka."
"Wanita..."!"
Semua orang yang berada di ruangan depan rumah kepala desa itu terlongong-longong.
Seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mereka berpandangan satu sama lain.
Memang, di antara mereka berlima, hanya
Ki Murad yang melihat langsung peristiwa mengerikan itu. Sedangkan yang lain, bahkan Kepala
Desa Gedangan sendiri, hanya mendengar ceritanya. Semua mata kini tertuju pada Ki Murad,
seakan-akan meminta keterangan lebih banyak lagi dari laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna biru ini.
"Dari bentuk tubuhnya, aku yakin kalau
dia wanita. Tapi suaranya seperti raungan harimau," lanjut Ki Murad.
"Hm...."
Ki Legik menggumam perlahan. Keningnya
yang sudah banyak kerutannya semakin dalam lagi berkerut. Janggutnya yang panjang dan sudah
memutih semua dielus-elusnya. Laki-laki tua yang
mengenakan baju berwarna putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Sungguh dia tidak menyangka kalau makhluk buas dan mengerikan itu
ternyata seorang wanita. Dan yang lebih tidak dimengerti lagi, tidak ada darah setetes pun yang
tersisa pada korban yang seluruh tubuhnya tercabik itu. Bahkan lehernya berlubang sangat besar,
hampir buntung. Dadanya pun berlubang, sampai
menampakkan seluruh isinya.
Siapa pun yang melihat keadaan korban
hasil keganasan wanita liar itu pasti akan bergidik ngeri. Dan kalau tak melihat
langsung kejadian
yang menggemparkan itu, siapa pun pasti akan
menyangka bahwa itu adalah perbuatan seekor
binatang buas yang keluar dari dalam hutan. Tapi
peristiwa itu disaksikan oleh hampir seluruh penduduk Desa Gedangan ini Maka, tak ada alasan
lagi untuk tak mempercayainya.
"Apa kau juga perhatikan, ke mana dia
pergi?" tanya Ki Legik setelah cukup lama mere-nung. "Tampaknya dia pergi ke
Hutan Cengkir,"
sahut Ki Murad lagi.
"Hm...," gumam Ki Legik lagi.
"Apa tidak sebaiknya kita kejar saja ke sana sebelum dia kembali lagi dan mengambil korban?" selak Ki Bulang, yang sejak tadi diam saja.
"Benar, Ki. Lebih baik kita mendahului daripada nanti jatuh korban lebih banyak lagi," sambung Ki Rasak menyetujui usul
Ki Bulang. "Hutan itu terlalu luas dan lebat. Juga banyak binatang buasnya. Terlalu berbahaya jika kita harus mengejar masuk ke sana," kata Ki Legik, yang tampaknya tidak menyetujui
usul itu. "Ada kemungkinan juga, dia hanya lewat
dan tidak kembali lagi ke sini," kata Ki Murad, yang bisa mengerti akan
keberatan kepala desa
itu. "Kepercayaan penduduk bisa hilang kalau
kita diam saja, Ki," desak Ki Bulang.
"Hm..., lalu siapa yang akan pergi ke sana?" tanya Ki Legik.
"Aku dan semua muridku," sahut Ki Bulang mantap. "Aku akan menjaga di sekitar tepian hutan," sambung Ki Rasak.
"Kalau Ki Legik mengizinkan, aku akan ke
sana sekarang juga," sambung Ki Bulang, berse-mangat sekali.
"Hhh...!"
Ki Legik menarik napas dalam-dalam. Terasa berat sekali tarikannya. Sebentar dia terdiam, kemudian menganggukkan
kepalanya sedikit.
Ki Bulang dan Ki Rasak bergegas berdiri.
Setelah membungkukkan tubuh memberi hormat,
kedua laki-laki tua itu bergegas meninggalkan rumah Kepala Desa Gedangan ini. Sedangkan Ki Legik, Ki Murad, dan Cantraka masih tetap duduk di
kursinya masing-masing. Mereka masih tetap terdiam, walaupun Ki Bulang dan Ki Rasak sudah tidak terlihat lagi.
"Seharusnya kau tidak membiarkan mereka pergi ke Hutan Cengkir. Terlalu berbahaya...
Apalagi kita belum tahu betul, siapa pembunuh
itu," kata Ki Murad agak mendesah. Tampak sekali dia tidak menyetujui kepergian
Ki Bulang dan Ki
Rasak. "Mereka akan tetap pergi, walaupun aku tidak mengizinkan," sahut Ki
Legik, yang mengetahui betul watak kedua orang pemuka desa yang
bersikeras mengejar wanita aneh itu.
"Konyol!" dengus Ki Murad.
"Sudahlah, Ki. Sebaiknya kau kerahkan saja murid-muridmu untuk berjaga-jaga. Mungkin
saja wanita itu akan kembali lagi ke sini," kata Ki Legik. "Semua muridku sudah
kuperintahkan untuk waspada, Ki. Bahkan aku sudah menyebar sebagian muridku ke setiap pelosok desa ini," sahut Ki Murad.
"Kau selalu saja bertindak cepat," puji Ki Legik. 'Terima kasih, Ki. Tapi aku
tetap mengkhawatirkan mereka. Tidak selayaknya mereka pergi ke Hutan Cengkir."
Ki Legik hanya tersenyum. Dia bisa mengerti kekhawatiran laki-laki tua berjubah panjang biru ini. Ki Murad, Ki Bulang,
dan Ki Rasak memang masih memiliki satu darah persaudaraan,
meskipun cukup jauh. Berkat mereka bertigalah
keadaan Desa Gedangan begitu aman, tenteram,
dan damai. Mereka masing-masing juga memiliki
sejumlah murid, walaupun tidak mendirikan padepokan. Mereka selalu bekerjasama dalam membangun dan menjaga keamanan Desa Gedangan.
Di antara para pemuka desa itu, hanya
Cantraka yang tidak mempunyai murid seorang
pun. Bahkan dia tak memiliki satu pun pengikut.
Cantraka selalu senang bekerja sendiri. Tapi, tingkat kepandaian yang
dimilikinya tidak kalah dibandingkan pemuka desa lainnya. Bahkan bisa
dikatakan, tingkat kepandaian Cantraka lebih
tinggi satu tingkat dibandingkan mereka, yang
jauh lebih tua darinya.


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau ke mana, Cantraka?" tegur Ki Legik, begitu melihat Cantraka bangkit dari
kursinya. "Ke luar, Ki," sahut Cantraka sambil terus saja melangkah meninggalkan ruangan
yang berukuran cukup besar itu.
Tinggal Ki Legik serta Ki Murad yang masih
berada di dalam ruangan itu. Mereka sama-sama
terdiam, tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Akhirnya, Ki Murad juga berpamitan. Ki Legik
mengantarkannya sampai di beranda. Beberapa
saat lamanya, Ki Legik berdiri mematung di beranda rumahnya yang cukup luas dan terangbenderang oleh cahaya lampu pelita yang tergantung di tengah-tengahnya.
Baru saja Ki Legik memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengar jeritan panjang melengking ting-gi, yang membuatnya tersentak
kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke luar beranda.
Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu kakinya menjejak tanah yang berumput cukup tebal di halaman depan yang cukup luas itu.
"Heh.... Apa itu..."!"
Hampir saja Ki Legik tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya. Laki-laki tua itu tertegun, dengan kelopak mata terbuka
lebar dan mulut
ternganga. Sedangkan jeritan panjang yang melengking tinggi tadi tidak terdengar lagi. Kini keadaan begitu sunyi, seperti
suasana kuburan pada
malam hari. *** "Hey...!" seru Ki Legik lantang. "Hup!"
Cepat Ki Legik melompat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Beberapa kali lompatan
saja, laki-laki tua itu sudah sampai di sudut halaman rumahnya yang cukup gelap ini. Tampak di
bawah sebatang pohon besar, seseorang berpakaian kumal dan kotor penuh tambalan dengan
rakus tengah mengoyak dan menghirup darah seorang pemuda yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Darah berceceran di sekitarnya.
Bentakan Ki Legik tadi membuat wanita
berpakaian kumal itu terperanjat
"Ghrrr...!"
"Oh..."!"
Ki Legik terkesiap begitu wanita bertubuh
kotor dan mengenakan pakaian lusuh penuh tambalan itu memalingkan wajahnya. Sosok wanita
itu mengerikan sekali. Bibir dan seluruh rongga
mulutnya berwarna merah akibat darah yang melekat. Pakaiannya pun bernoda darah yang sudah
mengering. Sedangkan pemuda yang berada di depannya tampak tergeletak dengan seluruh tubuh
tercabik, serta leher dan dada terkoyak lebar.
"Dewata Yang Agung..., makhluk apa ini..?"
desah Ki Legik serasa bermimpi.
"Ghraaagkh...!"
Tiba-tiba wanita aneh bagai binatang liar
itu melompat cepat bagai kilat sambil meraung keras menggetarkan jantung. Sesaat Ki Legik terkesiap. Namun, bergegas tubuhnya dibanting ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dihindarinya terjangan wanita aneh itu.
"Hup!"
Ki Legik bergegas bangkit begitu berhasil
lepas dari incaran maut wanita aneh itu. Namun,
baru saja kakinya menjejak tanah, kembali dia harus melompat ke samping. Wanita aneh itu telah
menerjang lagi dengan kecepatan bagai kilat. Beberapa kali Ki Legik berjumpalitan di udara. Kemudian, dengan manis sekali kakinya. dijejakkan
di tanah. Pada saat itu, terlihat beberapa orang berlarian menghampiri. Tiga orang di antaranya
membawa obor yang menyala cukup besar, sehingga malam yang pekat ini menjadi terang. Mereka semua terkesiap dan berdiri kaku begitu melihat sosok wanita bertubuh kotor bagai baru keluar dari lumpur sawah tengah berdiri tegak berhadapan dengan Kepala Desa Gedangan. Wajah
wanita itu mengerikan sekali. Dua buah taring
menyembul keluar bagai hendak mengoyak bibirnya yang merah oleh darah korbannya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba wanita itu tertawa mengikik. Semua orang yang berada di halaman depan rumah
Kepala Desa Gedangan ini pun bergidik ngeri. Dan
sebelum ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba wanita aneh itu melesat cepat bagai kilat. Saat itu juga....
Wusss! Bret! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar menyayat dan memecah kesunyian
malam. Dan pada saat wanita itu lenyap, tampak
seseorang ambruk menggelimpang di tanah sambil
mengerang dan berkelojotan meregang nyawa. Lehernya tampak terkoyak sangat lebar. Darah ber-hamburan ke luar tak terbendung
lagi. Semua yang berada di halaman rumah Kepala Desa Gedangan itu kembali terperanjat setengah mati.
Sungguh cepat gerakan wanita itu. Tanpa
dapat dilihat dengan pandangan mata biasa, tahutahu dia sudah melesat sambil menyambar salah
seorang dari mereka hingga tewas berkelojotan.
Cukup lama mereka terpaku dan tak mampu berbuat apa pun, hingga tampak kemudian teman
mereka telah menggeletak tak bernyawa dengan
leher terkoyak lebar dan berlumuran darah.
Sementara itu, Ki Legik masih berdiri kaku
dengan sinar mata memancar kosong ke depan.
Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang
baru dilihatnya tadi. Semuanya seperti mimpi buruk yang mengerikan sekali. Seorang wanita yang
begitu buas dan liar telah membunuh dua orang di
halaman rumahnya dalam waktu yang amat singkat. Gerakannya pun begitu cepat seperti siluman.
"Hm...,siapa dia sebenarnya...?" gumam Ki Legik bertanya-tanya sendiri.
Sementara itu beberapa pembantu Ki Legik
segera mengurus kedua mayat yang menggeletak
di tanah tanpa diperintah lagi. Laki-laki tua ini pun mengayunkan kakinya
perlahan menuju ke
rumahnya. Kini tak ada seorang pun yang berbicara,
terlebih-lebih Ki Legik. Laki-laki tua itu masih belum bisa memahami sepenuhnya
kejadian mengerikan dan mengejutkan yang baru dialaminya.
*** 2 Kegemparan semakin melanda Desa Gedangan. Semua orang membicarakan peristiwa
mengerikan yang terjadi malam ini di halaman depan rumah kepala desa. Mereka selalu bertanyatanya, siapa sebenarnya perempuan siluman
penghisap darah itu..." Namun, pertanyaan itu
hanyalah tinggal pertanyaan. Tak ada seorang pun
yang bisa menjawabnya. Mereka hanya bisa berharap agar perempuan siluman itu tidak menemui
dan menjadikan mereka sebagai korban berikutnya. Sementara itu tidak jauh dari Desa Gedangan, tepatnya di tepi Hutan Cengkir, tampak seorang wanita muda tengah duduk memeluk lutut di
bawah naungan sebatang pohon yang cukup rindang. Wajah dan tubuhnya kotor. Sedangkan baju
hitam yang dikenakannya tampak kumal dan
compang-camping penuh tambalan. Pandangan
wanita itu tertuju lurus ke arah Desa Gedangan.
Entah sudah berapa lama dia duduk diam menyendiri di sana. Dan saat matahari tepat berada
di atas kepala, dia baru bangkit berdiri.
Terdengar tarikan napasnya yang panjang
dan berat sekali. Perlahan kakinya melangkah
mendekati sebuah sungai kecil yang berada tidak
jauh dari tempatnya duduk tadi. Dia berhenti setelah berada di tepi sungai itu.
Perlahan dia berlutut Dan memandangi wajahnya yang terpantul oleh
air sungai yang begitu jernih.
"Mungkin kalau tubuhku lebih bersih lagi,
aku bisa lebih bebas bergerak. Hhh..., aku tidak
boleh mengecewakannya. Aku harus mendapatkan
mereka sebelum orang lain tahu siapa aku,' gumam wanita itu, berbicara pada dirinya sendiri.
Beberapa saat dia masih diam memandangi
wajah dan seluruh tubuhnya yang terpantul oleh
jernihnya air sungai. Kemudian tangannya mulai
menyentuh air. Lalu dibersihkannya kotoran yang
melekat di lengan. Bibirnya menyunggingkan senyuman begitu melihat kulit tangannya yang tampak putih halus setelah tersapu air sungai dari segala debu dan kotoran yang
melekat. Byurrr! Tiba-tiba dia melompat ke dalam sungai
itu. Tawanya langsung pecah berderai. Segala debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya langsung lenyap oleh air sungai yang bening dan jernih ini. Wanita itu bermain-main
di sungai sepuasnya, seakan-akan dia tidak akan bertemu air lagi se-panjang
hidupnya. . Setelah puas bermain-main dan membersihkan diri di dalam sungai, barulah dia beranjak naik. Tapi, sesaat kemudian
wajahnya kembali terlihat murung memandangi pakaiannya yang masih
lusuh, compang-camping, dan penuh tambalan.
Walaupun kini wajah dan tubuhnya sudah bersih
dan kelihatan cantik, namun pakaiannya tetap
membuat dia belum merasa senang.
"Aku harus mencari pakaian yang lebih
pantas. Tapi di mana..." Hhh...!"
Pandangannya langsung tertuju lurus pada
Desa Gedangan. Bibirnya yang merah, bergerak
perlahan menyunggingkan senyum yang semakin
lebar. Dan sepasang bola matanya berbinar cerah,
secerah sinar mentari yang bersorot terik siang ini.
Tiba-tiba.... "Hup!"
Bagaikan kilat, wanita itu melompat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Entah
ke mana perginya. Tak ada seorang pun yang melihatnya di tempat yang begitu sunyi dan tidak
pernah dilalui orang ini.
*** Tidak seperti hari-hari yang lalu, Desa Gedangan kali ini terasa begitu sunyi. Peristiwa pembunuhan yang begitu mengerikan dalam beberapa
hari ini tampaknya benar-benar mencekam seluruh penduduk. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh
seorang wanita yang mereka juluki Siluman Penghisap Darah. Memang tepat sekali julukan itu. Karena meskipun korban-korban yang jatuh semuanya dalam keadaan tercabik, tak ada darah setetes pun yang terlihat. Bahkan
tidak sedikit yang melihat wanita aneh itu beraksi. Pembunuhannya
dengan cara yang sangat brutal dan liar. Dia
menghirup darah korbannya hingga habis tak bersisa, seperti binatang liar yang kehausan.
Hampir semua orang di desa itu tidak berani lagi meninggalkan rumahnya. Bahkan kini
tak ada seorang pun yang berani lagi membicarakannya. Karena Siluman Penghisap Darah seperti
memiliki seribu telinga. Siapa saja yang membicarakannya, keesokan harinya pasti kedapatan mati
dengan tubuh terkoyak dan darah habis diisap.
Keadaan seperti ini tentu saja sangat merugikan pemilik-pemilik kedai yang biasanya ramai dikunjungi orang. Tak satu pun
kedai yang kelihatan dikunjungi selama beberapa hari ini. Hanya
kedai Ki Biran yang tampak dikunjungi tamu hari
ini. Tapi, tamu itu pun hanya dua orang. Dan
tampaknya mereka pengembara. Atau, bisa juga
dikatakan kaum pendekar dari rimba persilatan.
Tamu yang satu adalah seorang pemuda berwajah
tampan, mengenakan baju rompi putih dengan
pedang bergagang kepala burung bertengger di
punggungnya. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang gadis cantik berbaju biru muda agak
ketat, yang selalu memain-mainkan sebuah kipas
di depan dadanya. Dan sebilah pedang bergagang
kepala naga berwarna hitam tampak tersampir di
punggungnya. Dari pakaian dan senjata yang tersandang, bisa diketahui kalau mereka adalah
Rangga dan Pandan Wangi, yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut. "Tampaknya tujuan kita ke sini tidak salah,
Kakang," bisik Pandan Wangi, perlahan.
"Hm...," gumam Rangga, menanggapi.
"Sepi sekali di sini," ujar Pandan Wangi la-gi, seraya mengedarkan pandangannya
ke luar melalui pintu kedai yang terbuka lebar.
Pada saat yang sama, pemilik kedai yang
dikenal dengan panggilan Ki Biran itu muncul dari ruangan belakang. Di tangannya
tergenggam sebuah baki kayu berisi seguci arak. Dengan sikap
yang hormat dan sopan, laki-laki tua itu menaruh
guci yang dibawanya ke meja yang ditempati kedua pendekar muda ini.


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebentar, Ki..," cegah Pandan Wangi, saat Ki Biran hendak berlalu.
"Ada apa, Nisanak?" tanya Ki Biran dengan tubuh agak sedikit terbungkuk.
"Kau tahu, kenapa desa ini sepi sekali, Ki?"
tanya Pandan Wangi langsung.
"Oh..., eh...."
Ki Biran tampak kelabakan mendapat pertanyaan yang begitu langsung dari gadis cantik ini.
Wajahnya memucat dan tubuhnya bergetar bersimbah keringat. Perubahan yang begitu mendadak itu membuat kening Pandan Wangi berkerut.
Bahkan, Rangga sampai memandanginya dalamdalam. Mendapat pandangan yang begitu dalam
dari dua orang tamunya ini, Ki Biran semakin kelihatan gelisah ketakutan.
"Ada apa, Ki" Kenapa kau begitu ketakutan...?" tanya Pandan Wangi lagi
"Maaf, Nisanak. Maaf, aku..., aku...," suara Ki Biran terdengar tergagap.
"Ada sesuatu yang terjadi di desa ini, Ki?"
tanya Rangga, masih dengan tatapan mata yang
dalam. Ki Biran semakin gelisah. Dia melirik ke
kanan dan kiri, tampak takut kalau-kalau ada
orang lain yang mendengar pembicaraannya. Tapi,
memang tak ada seorang pun selain mereka bertiga. Dengan tangan bergetar, Ki Biran menarik
kursi kayu ke dekat meja, lalu duduk di sana
sambil memeluk baki kayunya. Beberapa kali dia
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan dirinya. "Memang telah terjadi sesuatu yang mengerikan. Itulah sebabnya, desa ini
menjadi sepi. Bahkan beberapa hari ini tidak ada pengunjung
yang datang ke kedaiku ini," kata Ki Biran dengan suara yang berbisik perlahan.
Begitu pelannya suara Ki Biran, sehingga
hampir-hampir tidak terdengar. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi semakin mengerutkan kening. Sesaat mereka melemparkan pandangan, kemudian kembali menatap Ki Biran dengan kening
masih berkerut. Dan untuk beberapa saat, mereka
terdiam tanpa ada yang berbicara lagi.
"Kejadian apa, Ki?" tanya Pandan Wangi
kemudian, memecah kesunyian.
"Beberapa hari ini, muncul seorang perempuan siluman...," sahut Ki Biran masih dengan suara yang pelan sekali.
"Perempuan siluman...?"
Pandan Wangi langsung menatap pada
Rangga, yang sejak tadi diam saja. Dan pandangan
si Kipas Maut itu langsung bertemu dengan tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti ini. Mereka kemudian kembali sama-sama memandang Ki Biran.
"Sudah beberapa hari ini perempuan siluman itu muncul. Dan sudah banyak juga yang
menjadi korbannya. Semua korbannya dibunuh
dan seluruh tubuh mereka dicabik-cabik. Bahkan
darah mereka dihirup sampai habis. Hihhh...,
mengerikan sekali."
Ki Biran bergidik, tidak sanggup membayangkannya. "Apa ada yang pernah melihatnya, Ki?"
tanya Rangga. "Ya, hampir semua penduduk desa ini sudah melihatnya. Dia selalu muncul tanpa takut
dipergoki penduduk. Tadinya dia muncul seperti
gembel yang baru keluar dari hutan. Tubuhnya
kotor dan pakaiannya kumal penuh tambalan. Tapi belakangan ini, perempuan itu muncul dengan
tubuh yang bersih. Dia seperti seorang putri bang-sawan. Wajahnya cantik sekali.
Tapi, dia sangat
buas dan liar kalau sudah mengambil korban untuk diisap darahnya sampai habis. Kami semua
selalu menyebutnya si Siluman Penghisap Darah,"
jelas Ki Biran lagi.
"Dia pasti Inten, Kakang," ujar Pandan
Wangi, langsung bisa menebak.
"Hm...," Rangga hanya menggumam.
"Kalian mengenalnya...?" tanya Ki Biran agak terperanjat.
"Mungkin, Ki. Karena kami berdua memang
sedang mengejar orang yang begitu mirip dengan
perempuan yang kau ceritakan tadi," sahut Pandan Wangi.
"Oh, benarkah...?"
Rangga dan Pandan Wangi sama-sama
menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak pergi saja ke rumah Ki Legik" Kalian pasti akan mendapat
banyak keterangan mengenai Siluman Penghisap
Darah itu. Ki Legik pernah bertarung dengannya.
Bahkan beberapa orang pembantunya sudah menjadi korban."
"Siapa itu Ki Legik?" tanya Rangga.
"Kepala Desa Gedangan ini," sahut Ki Biran. Rangga menatap Pandan Wangi yang
saat itu juga tengah memandangnya. Sesaat mereka
saling melemparkan pandangan, kemudian samasama berdiri dari kursinya masing-masing. Ki Biran pun ikut berdiri.
"Memang sebaiknya kita pergi ke rumah
kepala desa, Kakang," kata Pandan Wangi.
"Hm..., ayolah," ajak Rangga.
"Tunggu dulu...!" cegah Ki Biran
"Ada apa lagi, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Aku ikut. Aku tidak mau tinggal di sini
sendirian. Dia pasti datang padaku, karena aku telah bercerita banyak pada
kalian," kata Ki Biran.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak. Setelah Ki Biran membereskan kedainya,
mereka segera berangkat ke rumah Ki Legik. Maka, tiga ekor kuda pun bergerak tidak begitu cepat melintasi jalan tanah berdebu
yang sepi dan lengang. Tak ada seorang pun yang terlihat di sepanjang jalan ini. Suasananya begitu sunyi, bagai sebuah desa mati yang tidak
berpenghuni lagi.
*** Semula Ki Legik tampak keheranan ketika
menerima kedatangan Rangga dan Pandan Wangi
malam-malam begini. Terlebih lagi, dia tidak kenal
dengan kedua orang muda itu. Tapi, setelah Rangga menjelaskan perihal kedatangannya ke Desa
Gedangan ini, Ki Legik mengangguk-angguk mengerti. "Aku sendiri tidak yakin, dia itu manusia atau bukan...," gumam Ki Legik,
seakan-akan tidak percaya dengan perkataannya sendiri.
"Dia memang bukan manusia, Ki," kata
Rangga. "Apa maksudmu, Kisanak...?" tanya Ki Legik tidak mengerti.
"Panggil saja aku Rangga, Ki. Dan ini Pandan Wangi," pinta Rangga seraya tersenyum.
"Baiklah, Rangga....Tapi, kenapa kau katakan dia bukan lagi manusia?"
"Karena dia sebenarnya sudah mati. Dia
dihidupkan kembali untuk mencari empat orang
yang memperkosa dan membunuhnya. Dan dia
akan tetap hidup selama masih bisa mendapatkan
darah untuk kehidupan dan kekuatannya," jelas Rangga.
"Benar, Ki," sambung Pandan Wangi. "Dia berasal dari Desa Mungkit. Kami sudah
berhasil membunuh orang yang membangkitkan kematiannya. Tapi itu belum cukup, selama perempuan
siluman itu masih terus berkeliaran. Bahkan
seandainya dia berhasil mendapatkan keempat
orang pembunuhnya pun, dia tetap akan terus
berkeliaran sambil membunuh setiap orang yang
ditemuinya untuk mendapatkan darah."
"Semakin banyak dia mendapatkan darah
manusia, semakin sempurna saja kehidupannya.
Dan aku khawatir, tidak akan ada seorang pun lagi yang bisa menghentikannya. Karena dia memang bukan lagi manusia," sambung Rangga.
"Oh...," desah Ki Legik tidak menyangka.
"Tapi, kenapa dia datang ke desa ini...?"
"Dia akan datang dan pergi ke mana saja
dengan membawa kehancuran bagi manusia. Dia
tidak akan memilih lagi korbannya. Siapa saja
yang ditemui, akan menjadi korbannya," jelas Rangga lagi.
Ki Legik terlongong-longong, tidak tahu lagi
apa yang akan dikatakannya. Sungguh dia tidak
mengira kalau desanya benar-benar telah kedatangan seorang perempuan siluman yang haus darah. Dan, akan me-landa Desa Gedangan ini kalau
saja Siluman Penghisap Darah itu tidak segera dihentikan. Dan yang pasti lagi, siluman itu tidak
akan pergi sebelum seluruh penduduk desa ini
habis menjadi korbannya. Tapi, yang lebih mengerikan, semakin banyak dia mendapatkan darah,
semakin sempurnalah kehidupan dan kekuatannya. Di saat mereka semua terdiam, tiba-tiba....
"Aaa...!"
"Heh..."!"
"Oh,.."!"
Mereka terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Rangga dan Pandan Wangi langsung melesat keluar dari rumah Kepala Desa Gedangan ini. Dan Ki Legik
sendiri pun turut bergegas ke luar dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya.
Rangga dan Pandan Wangi terus berlompatan sambil mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Bahkan, ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna. Sehingga, dalam waktu yang begitu singkat, dia sudah berada
di tempat berasalnya jeritan panjang melengking
tinggi tadi. Sedangkan Pandan Wangi tampak tertinggal cukup jauh.
"Inten...!" seru Rangga lantang menggelegar. Rangga benar-benar tersentak kaget
setengah mati begitu melihat seorang wanita muda berwajah cantik tengah mengoyak-ngoyak tubuh seorang pemuda yang sudah tergeletak tak bernyawa.
Dan dari leher yang terkoyak cukup lebar, wanita
itu menghirup darah yang bercucuran dengan rakus sekali, seperti seorang pengembara yang sudah berhari-hari tidak menemukan air di padang
yang sangat gersang.
"Ghrrr...!"
Bentakan Rangga yang begitu keras dan
menggelegar tadi membuat wanita itu terkejut. Dia cepat berpaling, sambil
memperdengarkan gerun-gannya yang menyerupai suara seekor binatang
buas. Sepasang bola matanya merah menyala bagai bola api. Sedangkan seluruh bibir dan rongga mulutnya tampak merah berlumur
darah pemuda korbannya itu. Rangga sempat terkesiap saat menyaksikan
kekejaman di depan matanya ini. Bulu kuduknya
sampai meremang. Dan kelopak matanya terbuka
lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang
sedang disaksikannya. Memang sungguh sukar
dipercaya, seorang wanita berwajah cantik, dengan bentuk tubuh yang kelihatan
lemah itu, mampu
melakukan perbuatan keji seperti binatang buas.
"Apa yang kau lakukan, Inten...?" sentak Rangga, yang masih agak terpana.
"Siapa kau" Dari mana kau tahu namaku...?" Wanita yang selama ini dijuluki Siluman Penghisap Darah itu malah balik
bertanya dengan
suaranya yang begitu datar dan kering. Tapi tibatiba dia tertegun. Ditatapnya Pendekar Rajawali
Sakti dengan sinar mata yang tajam, seolah-olah
sedang terlintas di dalam ingatannya kalau mereka pernah bertemu, bahkan pernah bertarung menyabung nyawa. "Hik hik hik..!"
Siluman Penghisap Darah yang sebenarnya
bernama Inten itu mendadak tertawa mengikik.
Tawanya terdengar sangat mengerikan.
"Hentikan semua ini, Inten. Kau tidak bisa
membunuh semua orang kau temui," kata Rangga, dengan nada suara agak dalam.
"Hik hik hik...! Kau tidak bisa menghentikan aku, Rangga. Aku tidak akan berhenti sebelum mereka kulumat habis!" sahut Inten, dengan suara agak mendesis dan dingin.
Pada saat itu pula Pandan Wangi datang,
yang disusul kemudian oleh Ki Legik dan empat
orang pemuka Desa Gedangan bersama muridmurid mereka yang rata-rata masih berusia muda.
Dan sebentar saja, sekeliling tempat ini sudah terkepung. Beberapa orang di
antara mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Pandan
Wangi dan Ki Legik bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri mengapit di samping kanan dan kirinya.
"Sebaiknya kau ikut denganku kembali ke
Desa Mungkit, Inten," kata Rangga mencoba
membujuk. "Sudah kukatakan, jangan coba-coba
menghentikan ku, Rangga!" sentak Inten agak keras.
Siluman Penghisap Darah itu tiba-tiba melompat meninggalkan tubuh korbannya yang
menggeletak berlumuran darah itu. Ringan sekali
gerakannya. Dan tahu-tahu dia sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan Pendekar
Rajawali Sakti. Bajunya yang agak longgar dan
berwarna merah menyala sedikit berkibar dipermainkan angin. Wanita ini memang sudah mengganti pakaiannya yang kumal dan penuh tambalan


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pakaian yang cukup bersih, walaupun
tampak kebesaran untuk ukuran tubuhnya.
"Ghrrr...!"
Siluman Penghisap Darah menggerung kecil sambil menyeringai. Diperlihatkannya barisbaris giginya yang runcing dan bertaring.
Sementara itu Rangga merentangkan kedua tangannya sedikit ke samping. Sedangkan
Pandan Wangi dan Ki Legik langsung bergerak ke
belakang menjauhinya. Mereka kini bergabung
dengan empat orang pemuka Desa Gedangan.
Tempat ini sudah terkepung semakin rapat. Tidak kurang dari lima puluh pemuda, yang
semuanya menghunus senjata masing-masing,
mengepung rapat tempat ini.
"Ghraaaughk...!"
Sambil meraung keras menggelegar, tibatiba Inten melompat secepat kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya,
sehingga Rangga terkesiap sejenak. Tapi, dengan
cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke
samping kanan. Dihindarinya terkaman perempuan siluman itu.
"Hap!"
Setelah melakukan beberapa kali putaran,
dengan manis sekali Rangga menjejakkan kembali
kakinya di tanah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Inten berhasil memutar tubuhnya dan langsung melompat seraya melepaskan
satu tendangan keras menggeledek ke arah lambung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait..!"
Dengan gerakan tubuh yang indah, Rangga
kembali berhasil menghindari serangan Siluman
Penghisap Darah. Dan secepat itu pula kaki kanannya dihentakkan dengan tubuh agak terbungkuk dan sedikit berputar ke samping.
"Hiyaaa...!"
" Hih!"
*** 3 Ternyata tanpa diduga sama sekali, Inten
tidak berusaha menghindar sedikit pun. Bahkan
dengan cepat sekali tangan kanannya dihentakkan, menyambut tendangan Pendekar Rajawali
Sakti. Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki mereka beradu keras, tepat di depan perut perempuan siluman itu.
Plak! "Ufs..."
Rangga cepat-cepat menarik kembali kakinya. Lalu, tubuhnya langsung dilentingkan ke
belakang, berputar beberapa kali sebelum menjejakkan kembali kakinya di tanah.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya. Dan begitu tangan kanannya menjulur ke depan, tampak jari-jari tangannya mengembang lebar dan meregang kaku bagai sepasang cakar burung rajawali yang siap mencengkeram mangsanya. Rangga memang bersiap mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali' pada tingkatan yang terakhir.
Pendekar Rajawali Sakti rupanya sudah tidak mau
tanggung-tanggung lagi menghadapi Siluman
Penghisap Darah ini.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tepat ketika Inten melompat cepat sambil
berteriak menggelegar, Rangga segera mengebutkan kedua tangannya dengan cepat sekali.
Disambutnya serangan yang dilancarkan wanita
berbaju merah menyala itu. Tapi beberapa kali kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu masih
berhasil dihindari Inten, walaupun agak kewalahan. "Hiyaaa...!"
Kembali Rangga mengebutkan tangannya
hendak menyambar kaki perempuan siluman itu.
Tapi, tanpa diduga sama sekali, Siluman Penghisap Darah justru melentingkan tubuhnya ke udara. "Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat ke udara. Dikejarnya perempuan
siluman itu. Dan, langsung saja jurusnya diubah
begitu dia berada di udara. Kedua tangannya merentang lebar, dengan jari-jari menyatu rapat.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengebutkan
tangannya beberapa kali ke arah tubuh Siluman
Penghisap Darah.
"Hait..!"
Tapi dengan gerakan-gerakan tubuh yang
begitu indah, Inten berkelit menghindari semua
kebutan tangan Rangga yang menggunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' itu. Sehingga, tak satu pun serangan yang
dilakukan Rangga bisa
mengenai sasaran dengan tepat. Bahkan beberapa
kali Inten memberikan serangan balasan, yang
membuat Rangga agak kelabakan menghindarinya, apalagi sekarang ini mereka bertarung cukup jauh dari tanah.
"Hap! Yeaaah...!"
Sambil memutar tubuhnya, Rangga meluncur ke bawah. Dan dengan manis sekali Pendekar
Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu Siluman Penghisap Darah juga
sudah kembali berpijak di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Inten melepaskan satu tendangan keras menggeledek ketika Rangga masih
berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Begitu cepatnya tendangan itu dilepaskan, sehingga
Rangga tidak sempat lagi menghindar. Hingga....
Desss! "Akh...!" Rangga terpekik keras agak tertahan. Tendangan yang dilepaskan Siluman
Peng- hisap Darah tepat menghantam dada Rangga. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi
terpental sejauh dua batang tombak. Tubuh pemuda berbaju putih itu terbanting keras di tanah.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan, lalu melompat bangkit berdiri.
Tampak setetes darah kental mengalir dari
sudut bibirnya.
"Kakang...," desis Pandan Wangi, cemas.
Bergegas gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu
berlari menghampiri Rangga. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti segera merentangkan tangannya ke
depan, sehingga Pandan Wangi tidak jadi menghampirinya. Gadis itu hanya bisa memandang
dengan sinar mata memancarkan kekhawatiran
yang begitu mendalam.
"Hik hik hik..." Kau harus mati sekarang juga, Pendekar Rajawali Sakti!" desis
Inten dingin menggetarkan, sambil tertawa terkikik mengerikan. "Kau yang harus
mampus, Keparat!
Hiyaaat..!"
"Pandan, jangan...!"
Tapi teriakan Rangga tidak lagi didengar.
Pandan Wangi sudah melompat cepat sekali. Diterjangnya Siluman Penghisap Darah itu sambil
mencabut senjata kipasnya. Dan kipas itu langsung dikebutkannya beberapa kali dengan kecepatan yang luar biasa. Begitu cepatnya kebutan itu
sehingga yang terlihat hanyalah kilatan-kilatan
cahaya keperakan yang berkelebatan di sekitar tubuh perempuan siluman itu.
*** Serangan-serangan yang dilakukan Pandan
Wangi memang sungguh dahsyat. Namun, gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan Siluman
Penghisap Darah juga indah dan cepat sekali. Sehingga, sampai lima jurus pertarungan itu berlangsung, belum juga Pandan Wangi bisa mendesaknya. Dan tak satu pun dari serangannya yang
mengenai sasaran.
"Setan keparat! Hiyaaa...!"
Wuk! Pandan Wangi semakin meningkatkan serangannya. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus
maut andalannya. Begitu cepat gerakan-gerakan
yang dilakukan si Kipas Maut itu, sehingga yang
tampak hanyalah bayangan-bayangan biru, merah, dan keperakan yang berkelebatan saling sambar. Rangga pun tidak menyangka kalau kemajuan yang dicapai wanita ini ternyata telah begitu pesat. "Akh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan keras agak tertahan. Tampak sebuah bayangan merah terpental
dari kancah pertarungan itu. Dan terlihat Pandan
Wangi berdiri kokoh dengan kedua kaki tertekuk
dan tangan kiri menjulur lurus ke depan, dengan
kipas mautnya terbuka di depan dada.
Saat itu terlihat Siluman Penghisap Darah
jatuh bergelimpangan beberapa kali di tanah. Namun dia cepat melompat bangkit. Tubuhnya agak
limbung begitu dia bisa berdiri. Tangan kirinya
memegangi dada. Tampaknya Pandan Wangi berhasil memasukkan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke dada wanita siluman itu.
"Ghrr...!"
Siluman Penghisap Darah menggerung perlahan. Sorot matanya yang sangat tajam menusuk
langsung ke bola mata Pandan Wangi, yang kini
sudah berdiri tegak sambil mengebut-ngebutkan
kipasnya di depan dada. Tatapan mata Pandan
Wangi juga tidak kalah tajamnya membalas sorot
mata Siluman Penghisap Darah itu.
Hup...!" Tiba-tiba Inten melesat bagai kilat ke arah
kanan. Begitu cepat lesatannya, sehingga tak ada
seorang pun yang sempat menyadari. Dan seketika
itu juga.... "Akh!"
"Aaa...!"
Dua jeritan yang melengking tinggi tibatiba terdengar saling susul, bersamaan dengan lenyapnya tubuh Siluman Penghisap Darah.
"Hup" Hiyaaa...!"
Seketika itu juga, Pandan Wangi segera
melenting sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah hampir mencapai
taraf kesempurnaan. Pandan Wangi benar-benar
tidak mau lagi melepaskan wanita yang seharusnya sudah mati Itu.
"Pandan, tunggu...!"seru Rangga, keras.
Tapi Pandan Wangi sudah menghilang begitu cepat, mengejar perempuan siluman yang
buas itu. "Hup! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu, Rangga
segera melesat mengejar Pandan Wangi. Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap Pendekar Rajawali
Sakti sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara di tempat itu, tampak dua orang lagi sudah
menggeletak tak bernyawa, dengan leher koyak
bercucuran darah.
Kepergian Inten dan dua pendekar muda
yang begitu cepat itu membuat semua orang yang
berada di sekitar tempat pertarungan tadi terpana beberapa saat. Bahkan, Ki
Legik sendiri ikut terdiam seperti bermimpi. Beberapa hari belakangan
ini, tak henti-hentinya dia dihadapkan pada peristiwa yang sangat membingungkan
dan mengeri- kan. "Dewata Yang Agung..., peristiwa apa lagi yang akan terjadi di desa ini...?"
desah Ki Legik begitu tersadar dari keterpanaannya.
Sementara itu, empat orang pemuka Desa
Gedangan yang berada dekat dengannya saling
berpandangan satu sama lain. Mereka pun masih
belum bisa mengerti dan seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru disaksikan ini. Meskipun rata-rata memiliki kepandaian tinggi, mereka
bukanlah orang-orang rimba persilatan, sehingga
jarang sekali melihat kejadian-kejadian aneh dan
menakjubkan seperti ini.
"Siapa dua orang anak muda tadi, Ki?"
tanya Ki Murad memecah kebisuan yang terjadi di
antara mereka. Saat itu Ki Rasak sudah memerintahkan
murid-muridnya untuk mengurus ketiga mayat
yang ditinggalkan Siluman Penghisap Darah.
Tampak beberapa jendela rumah yang berada dekat dengan tempat itu terkuak sedikit. Dan, tersembullah kepala-kepala yang ingin mengetahui
kejadian barusan. Tapi yang mereka lihat kini hanyalah kepala desa dan empat orang pemuka Desa
Gedangan serta puluhan pemuda yang tengah
mengurus ketiga mayat tadi.
"Aku belum kenal banyak. Mereka baru saja datang tadi," sahut Ki Legik perlahan.
"Tampaknya mereka pendekar yang berke

Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandaian tinggi," ujar Ki Murad lagi, agak menggumam.
"Siapa pun kedua orang itu, yang jelas mereka berada di pihak kita," selak Ki Rasak.
"Mereka memang sedang memburu perempuan siluman itu," kata Ki Legik.
"Hm..., jadi mereka tahu siapa perempuan
iblis itu, Ki..?" ujar Ki Murad.
"Ya, tapi mereka belum bercerita banyak....
"Apakah mereka akan kembali lagi ke sini,
Ki?" tanya Cantraka.
"Aku harap begitu."
Kembali mereka terdiam beberapa saat.
Sebaiknya kita tunggu saja di rumahku.
Kuda-kuda mereka masih ada di sana. Aku yakin,
mereka akan kembali lagi," kata Ki Legik kemudian. Tak ada yang menolak ajakan
itu. Mereka segera melangkah menuju rumah Kepala Desa Gedangan. Hanya Ki Rasak yang tetap tinggal di situ, karena harus membereskan
tempat itu dulu
serta harus mengatur kembali murid-muridnya
untuk tetap berjaga-jaga di seluruh wilayah Desa
Gedangan ini. *** Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi
tampak kebingungan ketika sampai di tepi Hutan
Cengkir, yang berbatasan langsung dengan Desa
Gedangan. Mereka tak menemukan lagi jejak-jejak
Siluman Penghisap Darah. Jejak-jejaknya benarbenar menghilang di tepi hutan ini
"Hm..., apa mungkin dia masuk ke dalam
hutan ini..?" gumam Pandan Wangi, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mungkin juga, Pandan," sahut Rangga.
"Kau ingin terus mengejarnya, Kakang?"
Rangga tidak langsung menjawab. Ditatapnya matahari yang sudah condong ke arah Barat.
Sebentar lagi malam akan datang menyelimuti wilayah Desa Gedangan dan Hutan Cengkir. Dan terlalu berbahaya tentunya menjelajahi hutan yang
sangat lebat ini di malam hari.
"Sebaiknya kita kembali dulu ke rumah Ki
Legik," saran Rangga.
"Yaaah..., hari memang sudah senja," desah Pandan Wangi seraya mengangkat
bahunya sedikit. Mereka pun kemudian melangkah ke Desa
Gedangan, yang masih tampak sunyi seperti sebuah desa mati yang ditinggalkan penduduknya.
Dan cukup lama mereka berjalan tanpa berbicara
sedikit pun. "Aku jadi tidak mengerti, kenapa kau sepertinya tidak mampu menghadapinya, Kakang...?" tanya Pandan Wangi, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Kau ingat apa kata Nyai Labur sebelum
meninggal..?"
Pandan Wangi terdiam.
"Nyai Labur bilang, Inten sengaja dibangkitkan dengan ilmu warisan leluhurnya. Dan dia
juga dipersiapkan untuk berhadapan dengan lakilaki. Nyai Labur juga bilang bahwa Inten sesungguhnya belum sempurna. Meskipun tidak akan
kalah oleh laki-laki, dia tidak akan berdaya bila berhadapan dengan sesama
wanita," jelas Rangga (Untuk lebih jelas, silakan baca serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah 'Perempuan Siluman").
'Tapi tampaknya dia lebih tangguh dibanding di Desa Mungkit dulu, Kakang."
"Itu sudah pasti, Pandan. Selama ini dia
pasti sudah mendapatkan banyak korban untuk
diambil darahnya. Dan semakin banyak dia mendapatkan darah, maka kehidupan dan kekuatannya semakin sempurna."
"Hm..., apa itu berarti dia tidak akan
mungkin bisa dihentikan lagi, Kakang?"
"Entahlah, Pandan. Sebaiknya kita tetap
terus berusaha," sahut Rangga, agak mendesah.
Mereka terus berjalan perlahan-lahan dan
mulai memasuki jalan di Desa Gedangan. Desa ini
kelihatan masih sunyi sekali. Hanya beberapa
orang saja terlihat berada di luar rumah. Dan itu pun orang-orang yang
ditugaskan untuk berjaga-jaga bila Siluman Penghisap Darah muncul kembali. "Mereka semua benar-benar dicekam ketakutan, Kakang, Kasihan...," desah
Pandan Wangi sambil mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Rangga diam saja. Keadaan seperti ini memang kerap kali dijumpai dalam pengembaraannya. Keadaan desa yang dicekam oleh ketakutan
dari ketidakberdayaan terhadap kejahatan orangorang kuat telah berulang kali mereka temui.
Desa Gedangan ini sekarang harus menghadapi orang yang semestinya sudah terbaring di
dalam kubur. Adapun siluman yang masih berkeliaran itu adalah hasil perbuatan sesat seorang perempuan tua yang terlalu
mencintai anaknya.
Anak yang terlalu dicintai itu telah mengalami kematian secara tidak wajar. Dan
perempuan tua itu
tidak dapat menerimanya dengan hati lapang.
Dia bertekad mencari keempat orang pembunuh anaknya. Namun hal itu tidak mungkin bisa dilaksanakannya, karena anaknya sendiri tidak
bisa mengenali keempat orang itu. Pada saat kejadian itu, mereka mengenakan topeng yang menutupi seluruh wajah. Maka hingga kini Siluman
Penghisap Darah terus berkeliaran mencari para
pembunuhnya sambil menyebar maut. Korbankorban pun berjatuhan untuk diisap darahnya
hingga habis tak bersisa.
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi
telah sampai di depan kedai milik Ki Biran. Mereka menghentikan langkah di situ.
"Apa Ki Biran sudah kembali, Kakang?"
tanya Pandan Wangi sambil merayapi kedai yang
tetap tertutup itu.
"Aku rasa, dia masih berada di rumah Ki
Legik. Tidak mungkin dia berani lagi ke sini," sahut Rangga.
"Hhh..., kasihan dia," desah Pandan Wangi.
Kembali mereka terdiam.
"Aku rasa, ada baiknya kita tinggal di sini,
Kakang. Biar lebih leluasa dan bebas," saran Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum.
"Biar Ki Biran bisa pulang," sambung Pandan Wangi.
Mereka kembali mengayunkan kaki perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang
masih tetap lengang itu. Tak seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah.
Namun, dari beberapa
jendela yang terbuka sedikit, tampak kepalakepala menyembul. Rupa-rupanya beberapa penduduk mengintip dan memperhatikan kedua pendekar muda itu. Pendekar Rajawali Sakti sendiri
tidak lagi peduli. Kakinya terus saja melangkah di samping Pandan Wangi.
Sementara itu, matahari semakin condong
ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti ta-di, bahkan kini terasa
begitu lembut menyapu kulit. Rangga dan Pandan Wangi sudah sampai di
depan pintu halaman rumah Ki Legik, yang terbuat dari bambu. Mereka kemudian melangkah
melintasi halaman yang berukuran cukup luas itu.
Di beranda depan, Ki Legik dan empat orang pemuka Desa Gedangan tampak sedang duduk menanti kedatangan mereka.
Ki Legik segera menyambut, kedua pendekar muda ini, dan segera memperkenalkan mereka
kepada keempat orang pemuka desa itu. Mereka
kemudian duduk melingkari meja di beranda rumah itu dan langsung terlibat dalam pembicaraan
yang serius mengenai Siluman Penghisap Darah.
*** 4 Malam sudah cukup larut. Di beranda depan rumah Ki Biran yang juga dijadikan kedai itu, tampak Pandan Wangi masih
duduk di balai-balai
bambu yang berada di dekat pintu. Suasana malam di Desa Gedangan sunyi sekali. Hanya desiran
angin dan suara binatang malam yang terdengar.
Sejak matahari tenggelam tadi, tak seorang pun
terlihat melintasi jalan di depan sana. Benar-benar sunyi dan mencekam
keadaannya. "Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang
yang terasa berat, Pandan Wangi turun dari balaibalai bambu itu. Perlahan kakinya terayun ke luar beranda. Sedikit dia melirik
ke arah jendela sebuah kamar yang tampak terang oleh nyala lampu
pelita. Dia tahu, Rangga dan Ki Biran masih berbincang-bincang di dalam kamar itu. Entah apa
yang mereka perbincangkan. Pandan Wangi terus
mengayunkan kakinya melintasi halaman rumah.
"Pandan..."
"Heh..."!"
Pandan Wangi agak tersentak kaget ketika
tiba-tiba telinganya mendengar suara pelan yang memanggil namanya. Sesaat
pandangannya diedarkan ke sekeliling. Tapi, tak terlihat seorang pun di
sekitarnya. Hanya kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya.
"Pandan, ke sini...."
"Hm...."
Pandan Wangi menggumam saat berpaling
ke arah kanan. Di balik sebatang pohon yang ada
di seberang jalan, terlihat seseorang seperti sedang bersembunyi. Kelopak mata
gadis itu sedikit menyipit. Ketika melihat tangan orang itu melambai memanggilnya. Pandan Wangi agak
ragu-ragu ju-ga. Setelah melirik sedikit ke arah jendela kamar yang masih
terbuka lebar dan kelihatan terang-benderang itu, bergegas kakinya melangkah menyeberangi jalan tanah yang berdebu dan sedikit
berbatu ini. Orang yang bersembunyi di balik pohon beringin itu langsung keluar begitu Pandan Wangi
sudah mendekat. Hampir saja Pandan Wangi tidak
percaya dengan pandangannya sendiri. Sungguh
dia tidak mengira, orang yang bersembunyi di balik pohon dan memanggilnya tadi ternyata adalah
Darkan, menantu Kepala Desa Mungkit, yang istrinya kini menjadi perempuan siluman setelah dibangkitkan kembali dari kubur oleh ibunya (Untuk
jelasnya, silakan baca serial Pendekar Rajawali
Sakti dalam kisah "Perempuan Siluman").
"Darkan..., mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi agak berbisik.
"Menemuimu," sahut Darkan, langsung.
"Edan...! Apa-apaan kau, heh..."!" sentak Pandan Wangi, melirik kaget mendengar
jawaban yang begitu langsung dari laki-laki muda ini.
"Pandan, sejak aku melihatmu, aku tidak
bisa lagi melupakanmu. Aku...!"
"Cukup, Darkan..!" sentak Pandan Wangi
cepat, memutuskan ucapan laki-laki berwajah cukup tampan ini.
Pandan Wangi melirik ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau-kalau ada orang lain yang melihat dan mendengarkan
pembicaraan ini. Kemudian dia menatap sebentar ke arah jendela rumah
Ki Biran, yang masih juga terbuka lebar dan terang benderang. Bergegas gadis itu menjauhi jalan ini.
Darkan segera mengikuti gadis itu dari belakang. Sedangkan Pandan Wangi terus berjalan
menembus sebuah kebun yang hampir tidak terawat lagi. Semak-semak sudah meranggas memenuhi kebun ini. Pandan Wangi baru berhenti melangkah setelah sampai di pinggir sungai kecil
yang membelah kebun ini menjadi dua bagian.
Perlahan dia berbalik, dan langsung menatap Darkan yang kini berada dekat sekali di depannya.
"Kau keterlaluan, Darkan. Tidak seharusnya kau berada di sini," desis Pandan Wangi dengan nada tidak senang atas
kehadiran laki-laki
muda ini. "Ke manapun kau pergi, aku selalu mengikutimu, Pandan. Rasanya aku tidak bisa lagi hidup tanpamu. Percayalah, Pandan.... Aku akan
membahagiakan mu," kata Darkan, tidak peduli dengan sikap Pandan Wangi.
"Kau gila, Darkan. Kau tahu..., aku sudah
bertunangan. Dan tunanganku ada di sini. Jangan
berbuat bodoh begitu, Darkan. Kau belum lama
kehilangan istrimu. Dan sekarang, istrimu itu jadi manusia siluman penyebar
maut!" "Aku tidak peduli, Pandan. Aku mencintaimu. Dan aku ingin kau jadi istriku."
"Edan...!" desis Pandan Wangi, yang jadi serba salah.
Baru kali ini dia menghadapi seorang lakilaki yang begitu mencintainya hingga tidak mau
peduli dengan keadaan sekeliling, Darkan begitu
gigih ingin mendapatkan cintanya. Dan hal itu sudah pernah diutarakan laki-laki itu ketika berada di Desa Mungkit dulu. Pandan
Wangi sendiri tidak
mengerti, baru dua hari mereka kenal, Darkan
langsung saja menyatakan cintanya. Bahkan lakilaki itu terus mengejar dan mendesaknya, walaupun Pandan Wangi sudah tegas menolak. Bahkan,
dikatakan juga oleh Pandan Wangi bahwa dia adalah tunangan Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.
Diingatkan pula bahwa istri Darkan yang sudah
meninggal sekarang bangkit lagi menjadi Siluman
Penghisap Darah. Tapi, Darkan tetap tidak peduli.
Tiba-tiba Darkan meraih tangan Pandan
Wangi dan menggenggamnya kuat-kuat. Lalu cepat sekali dia menyentaknya, sehingga Pandan


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wangi terpekik kaget dan kehilangan keseimbangan. Darkan langsung menyambut tubuh ramping
gadis itu dan memeluknya erat-erat.
"Jangan! Gila kau, Darkan. Lepaskan...!"
sentak Pandan Wangi, yang langsung memerah
wajahnya. "Tidak.... Sebelum kau menerima cintaku,
Pandan," sahut Darkan dengan napas yang tersengal memburu.
"Edan...!"
Plak! Tiba-tiba tangan Pandan Wangi melayang
cepat dan mendarat di wajah laki-laki muda itu.
Seketika itu pula pelukan Darkan terlepas. Pandan Wangi cepat-cepat menjauhkan diri. Sebentar
dia menatap tajam, lalu bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan pemuda ini.
"Pandan, tunggu...!"
Darkan bergegas mengejar. Dan dihadangnya si Kipas Maut itu dari depan. Pandan Wangi
pun terpaksa menghentikan langkahnya. Kedua
bola matanya yang bersorot tajam menusuk langsung ke bola mata Darkan, yang juga balas menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. Tampak di kegelapan malam, pipi kiri pemuda itu memerah
bergambar lima jari tangan Pandan Wangi yang
sempat mendarat tadi.
"Ikutlah bersamaku, Pandan. Aku benarbenar mencintaimu," ujar Darkan, agak merengek.
Pandan Wangi diam saja. Tatapan matanya
masih menusuk langsung ke bola mata pemuda di
depannya ini Dan, tiba-tiba...
"Hup!"
"Pandan...!"
Tapi Pandan Wangi sudah melesat cepat
bagai kilat. Sehingga, sebelum Darkan bisa mengejar, gadis itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Dia menghilang tertelan oleh
gelapnya malam yang pekat ini. Darkan hanya bisa berdiri mematung. Dipandanginya arah kepergian Pandan Wangi.
"Huh! Dia harus jatuh ke tanganku...!"
dengus Darkan. Beberapa saat pemuda itu masih tetap berdiri mematung di tengah-tengah kebun yang cukup lebat pepohonannya. Sementara itu malam terus merayap, semakin bertambah larut.
"Pandan Wangi... Hhh...! Dia cantik sekali.
Apa pun caranya, dia harus jatuh ke dalam pelukanku. Harus...!" desis Darkan lagi.
Cepat dia memutar tubuhnya berbalik. Tapi pada saat itu, tiba-tiba sebuah bayangan merah berkelebat cepat tidak jauh di
depannya. Darkan
tersentak kaget.
"Hey...!"
Namun bayangan merah itu sudah menghilang begitu cepat, secepat dia berkelebat tadi.
Darkan penasaran. Bergegas dia melesat mengejar
bayangan merah itu. Gerakannya cepat dan ringan
sekali, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkatan yang
cukup tinggi. Sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan tempat itu. Ditembusnya malam yang
begitu pekat tanpa cahaya bulan sedikit pun.
'Hup! Hiyaaa...!"
Darkan terus berlari cepat menerobos lebatnya pepohonan di kebun yang cukup luas ini.
Sesekali dia masih sempat melihat bayangan merah itu berkelebat begitu cepat di depannya.
"Berhenti..!" seru Darkan keras, sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Teriakan Darkan yang begitu keras membuat sosok berbaju merah muda yang berkelebat
cepat bagai kilat itu seketika berhenti. Dan, Darkan sendiri pun langsung
menghentikan larinya.
Jaraknya tinggal sekitar dua batang tombak dari
sosok berbaju merah muda yang membelakanginya itu. "Nisanak, siapa kau...?" tanya Darkan dengan suara agak tertahan.
Wanita berbaju merah itu tidak menjawab.
Perlahan tubuhnya berputar. Seketika itu juga,
Darkan terpekik dengan mata terbeliak lebar dan
mulut ternganga. Hampir-hampir dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Wanita
yang berdiri di depannya ini sangat cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan
indah menggiurkan. Tapi, bukan itu yang membuat Darkan jadi
terlongong-longong seperti patung batu. Wajah
wanita yang ternyata dikenalnya itulah yang
membuatnya tidak bisa lagi berkata-kata.
"Inten...," desis Darkan, hampir tidak terdengar. "Siapa kau?" tanya wanita
cantik berbaju merah muda itu, terdengar begitu datar dan dingin. Tak ada
tekanan sedikit pun pada nada suara
itu. Darkan sedikit terkesiap dengan istrinya,
yang sebenarnya sudah meninggal tapi bangkit lagi dalam bentuk siluman. Tentu saja Inten tidak
mengenalinya lagi.
"Kau..., kau sudah lupa padaku, Inten..."
Aku Darkan, suamimu...."
Entah apa yang terlintas di dalam benak
Darkan sekarang ini. Yang jelas, tidak ada lagi ra-sa takut di dalam dirinya.
Bahkan, dicobanya untuk mengembalikan ingatan wanita itu pada dirinya. Perlahan Darkan melangkah mendekati. Sedangkan Inten yang kini dikenal dengan julukan
Siluman Penghisap Darah itu masih tetap saja
berdiri tegak dengan pandangan kosong, bagai tak
memiliki kehidupan sama sekali. "Suamiku...?"
"Benar, Inten. Aku suamimu. Sudah lama
aku mencarimu. Kau menghilang begitu saja tanpa memberi kabar apa pun padaku."
Inten merayapi Darkan dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Beberapa saat lamanya dia
terdiam. Sedangkan Darkan sudah semakin dekat.
Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di
depan Siluman Penghisap Darah.
"Kau tentu ingat dengan Nek Paring, bukan...?" Darkan terus mencoba mempengaruhi jalan pikiran wanita ini.
"Nek Paring...?" kening Inten langsung berkerut "Oh...! Bagaimana dia...?"
"Dia sudah tewas," sahut Darkan.
"Keparat..! Siapa yang membunuhnya?"
Wajah Inten langsung memerah begitu
mendengar Nek Paring sudah tewas. Hanya perempuan tua itulah yang bisa dikenalnya, karena
Nek Paring sebenarnya adalah ibunya sendiri. Dan
perempuan tua itulah yang telah membangkitkan
kematiannya dengan ilmu warisan leluhur keluarganya. "Rangga.... Dia dikenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Sakti. Dia yang membunuh Nek
Paring, nenek kita berdua, Inten. Kau tentu sangat mencintai Nek Paring. Aku
juga mencintainya, Inten. Itu sebabnya aku mencarimu untuk membalas kematiannya."
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Inten, dengan nada suara yang dingin sekali.
"Benar, Inten. Dia yang membunuh Nek
Paring. Dan sekarang dia juga sedang mengejarmu," kata Darkan, terus menjejali Siluman Penghisap Darah dengan kata-kata
bernada menghasut. Inten terdiam. Kembali dia memandangi
pemuda di depannya ini dalam-dalam.
"Siapa kau sebenarnya" Kenapa kau mengaku suamiku?" tanya Inten tiba-tiba, masih dengan nada suara yang dingin.
"Aku memang suamimu, Inten. Nek Paring
yang menikahkan dan merestui kita," sahut Darkan. 'Tapi..."
"Aku tahu, kau pasti lupa. Terlalu banyak
beban persoalan yang kau hadapi, sehingga kau
lupa tentang perkawinan kita," selak Darkan cepat.
"Benarkah kau suamiku...?"
"Aku berani bersumpah, Inten. Aku tidak
akan ada di sini mencarimu kalau kau bukan istriku," kata Darkan meyakinkan.
Inten kelihatan masih ragu-ragu. Sedangkan Darkan sudah semakin dekat Perlahan-lahan
pemuda itu mengulurkan tangannya, dan meraih
tangan wanita cantik ini, lalu digenggamnya eraterat. Agak terkesiap juga dia begitu merasakan
tangan wanita ini dingin sekali, seperti batu di
puncak gunung yang tinggi dan berselimut kabut.
Sedikit pun tidak dirasakan adanya kehangatan darah pada tangan yang putih dan terlihat
pucat ini Tapi, Darkan tidak lagi peduli. Dia terus menggenggam tangan yang
dingin ini dengan erat
sekali. Karena, di dalam benaknya, dia sudah
mempunyai suatu rencana yang hanya diketahuinya sendiri. Yaitu memanfaatkan Siluman
Penghisap Darah ini untuk menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti, yang dianggapnya sebagai penghalang besar dalam upaya memperoleh cinta Pandan
Wangi. "Sudah lama kita tidak bertemu, Inten. Aku rindu sekali padamu," desah
Darkan selembut mungkin.
"Kau benar-benar suamiku...?" Inten masih kelihatan ragu-ragu.
"Kenapa kau bertanya begitu, Inten" Aku
sungguh-sungguh suamimu. Nek Paringlah yang
merestuinya," ujar Darkan kembali, berusaha
meyakinkan. "Aku akan melakukan apa saja demi kau, Inten. Percayalah, aku sangat
mencintaimu."
"Kau mau melakukan apa pun untukku?"
"Ya, demi cintaku padamu."
"Tapi, aku ini..."
"Aku tahu, Inten. Aku tahu.... Aku akan
membantumu dan menggantikan kedudukan Nek
Paring. Percayalah, aku akan mencarikan darah
untukmu," kata Darkan lagi, kelihatan bersungguh-sungguh.
"Oh, benarkah itu...?"
"Tentu, Inten. Malam ini juga aku akan
mencarikan darah untukmu. Dan kau tidak perlu
lagi keluar masuk desa untuk mencari darah. Persiapkan saja dirimu untuk menghadapi Pendekar
Rajawali Sakti. Kita berdua akan membalas kematian Nek Paring," kata Darkan setengah berbisik di dekat telinga wanita ini.
"Aku senang mendengarnya." "Marilah, kita cari tempat yang aman," ajak Darkan,
'Tapi, kau akan mencarikan darah untukku
malam ini, bukan?"
'Ya," sahut Darkan mantap.
"Pergilah kau. Aku tunggu di sini. Nanti baru kita cari tempat tinggal yang aman," kata Inten lagi. "Kau menguji
kesetiaanku, Inten...?"
Siluman Penghisap Darah tidak menjawab
sedikit pun. Dia hanya menatap dengan sinar mata yang cukup dalam dan tertuju lurus pada bola
mata pemuda di depannya ini.
"Baiklah, Inten. Malam ini kau tunggu di
sini. Aku akan segera kembali untuk memenuhi
permintaanmu," kata Darkan.
"Pergilah. Aku menunggumu di sini."
Sebentar Darkan memandangi wajah yang
putih dan kelihatan pucat itu. Kemudian kakinya
melangkah mundur beberapa tindak dan segera
melesat pergi dengan cepat sekali. Sedangkan Inten masih tetap berdiri mematung seperti arca batu. Dipandanginya arah kepergian pemuda itu.
*** Malam ini angin bertiup kencang. Awan hitam menggumpal bergulung-gulung di langit yang
kelam, membuat sang rembulan tidak sanggup
menembus cahayanya untuk menerangi mayapada
ini. Di dalam pekatnya malam, tampak sesosok
tubuh bergerak mengendap-endap di antara dinding-dinding rumah. Sosok tubuh tinggi tegap itu
mengenakan baju berwarna biru gelap yang hampir hitam, sehingga keberadaannya sulit diketahui.
"Hup!"
Tiba-tiba dia melesat ringan ke atas atap
sebuah rumah. Sebentar tubuhnya dirapatkan di
atas atap itu. Lalu, tangannya mulai membongkar
atap. Sejenak dia melirik ke kanan dan kiri. Dirayapinya keadaan sekitar. Dan tampaknya tak
ada seorang pun yang terlihat. Begitu sunyi keadaan di Desa Gedangan ini.
Brusss! Tiba-tiba orang itu sudah lenyap ke dalam
rumah yang atapnya sudah dibongkar cukup lebar
olehnya tadi. Tak lama kemudian, kembali dia terlihat melesat ke atas atap, dengan membawa sesosok tubuh yang tampaknya tidak sadarkan diri.
Sejenak pandangannya diedarkan, merayapi keadaan sekitarnya. Lalu bagaikan kilat, laki-laki bertubuh tinggi tegap itu
melesat turun dari atas
atap. Tapi, baru saja kakinya menjejak tanah, tiba-tiba.... "Berhenti...! Siapa kau?"
"Heh..."!"
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu terkejut
setengah mati begitu tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menggelegar. Belum
lagi hilang rasa
terkejutnya, tiba-tiba melesat sebuah bayangan
kuning. Dan tahu-tahu di depan laki-laki muda
berbaju biru gelap itu sudah berdiri seorang laki-laki tua yang mengenakan jubah
berwarna kuning.
Dialah salah seorang pemuka Desa Gedangan,
yang bernama Ki Bulang.
"Phuih! Belum apa-apa sudah ada penghalang!" dengus pemuda tampan berbaju biru gelap itu dalam hati.


Pendekar Rajawali Sakti 74 Siluman Penghisap Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kau" Apa yang kau lakukan malammalam begini?" tanya Ki Bulang tegas.
Namun pemuda tampan bertubuh tegap
yang tak lain dari Darkan itu tidak menjawab.
Dan, mendadak....
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Darkan melompat sambil
mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Dan
secepat itu pula goloknya dibabatkan ke arah kepala orang tua berjubah kuning ini.
Wuk! 'Uts...!" Untung Ki Bulang segera merundukkan
kepalanya, sehingga tebasan golok itu hanya lewat di atas kepalanya. Tapi, belum
juga Ki Bulang bisa menarik kepalanya tegak kembali, mendadak Darkan sudah
melepaskan satu tendangan keras
sambil memutar tubuhnya di udara.
"Hiyaaa...!"
Desss! Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Darkan, sehingga Ki Bulang tidak sempat
lagi berkelit menghindar. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini tepat
menghantam punggung laki-laki tua berjubah
kuning itu. Tak pelak lagi, tubuh Ki Bulang terje-rembab jatuh mencium tanah.
"Mampus kau, Orang Tua Keparat!
Hiyaaat..!"
Sambil berteriak menggelegar, Darkan meluruk deras sambil mengayunkan goloknya dengan
cepat sekali ke arah laki-laki tua berjubah kuning yang baru saja bisa bangkit
berdiri itu. Tak ada la-gi kesempatan bagi Ki Bulang untuk menghindari
serangan yang begitu cepat ini. Dan....
"Hih!"
Tap! "Yeaaah...!"
Diegkh! "Akh...!"
Sungguh sukar dipercaya! Begitu Ki Bulang
berhasil menjepit golok itu dengan kedua belah
tangannya, mendadak Darkan memutar tubuhnya
sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah dada laki-laki tua berjubah kuning
ini. Begitu cepat dan kerasnya tendangan itu. sehingga tubuh Ki Bulang terpental jauh sambil
memekik keras agak tertahan.
"Hiyaaat..!"
Darkan rupanya tidak mau lagi membuang-buang waktu. Bagaikan kilat, pemuda itu
meluruk deras. Dikejarnya tubuh Ki Bulang yang
meluncur deras akibat terkena tendangan keras
bertenaga dalam tinggi yang dilepaskannya tadi.
Bet! Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, Darkan mengebutkan goloknya dan mengarahkan langsung ke leher laki-laki tua berjubah kuning itu. Begitu cepat
serangan yang dilakukan
Darkan, sehingga Ki Bulang benar-benar tidak dapat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat ini keseimbangan tubuhnya memang
belum bisa dikuasai. Hingga akhirnya....
Cras! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang yang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Kesunyian malam
pun ter-pecah. Tampak Ki Bulang jatuh menggelepar di tanah dengan leher terbabat hampir putus.
Darah bercucuran deras dari luka yang menganga
lebar di leher laki-laki tua berjubah kuning ini.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Darkan segera melesat meninggalkan Ki Bulang yang
masih menggelepar meregang nyawa. Cepat sekali
gerakan yang dilakukan Darkan, sehingga dalam
sekejap pemuda itu sudah lenyap sambil membawa seseorang yang diambilnya dari dalam rumah
tadi. Seorang penduduk Desa Gedangan akan dipersembahkannya untuk Siluman Penghisap Darah. Sementara itu, jeritan melengking tinggi
dan menyayat tadi telah membuat orang-orang
yang tengah terlelap dari buaian mimpi seketika
terjaga. Dan, lampu di rumah-rumah yang ada di
sekitar jalan itu langsung menyala. Tampak dari
ujung jalan, beberapa orang berlari-lari ke arah
tubuh Ki Bulang, yang sudah menggeletak tak
bernyawa lagi dengan leher hampir putus terbabat
golok. Diantara mereka yang berdatangan, tampak Rangga dan Pandan Wangi, yang disusul oleh
Ki Legik, Cantraka, Ki Murad, dan Ki Rasak. Mereka terperanjat setengah mati begitu melihat dari
dekat tubuh Ki Bulang yang sudah menggeletak
tak bernyawa itu. Leher pemuka desa ini hampir
putus. Dan darah masih bercucuran dari lehernya
yang menganga lebar itu.
"Iblis...!" desis Pandan Wangi, yang wajahnya langsung memerah.
*** 5 Kegemparan dan ketakutan semakin melanda Desa Gedangan. Sekarang bukan hanya Siluman Penghisap Darah yang muncul mencari
korban. Tapi, kini muncul juga seorang laki-laki
muda dengan wajah tampan dan tubuh tinggi tegap berotot, yang menculik penduduk desa. Beberapa orang peronda sempat memergoki dan bertarung dengannya. Tapi, Tampaknya pemuda itu lebih tangguh dari mereka. Bahkan, Ki Bulang pun
berhasil dibunuhnya. Padahal laki-laki tua itu
adalah salah seorang pemuka Desa Gedangan.
Semua orang yang diculik pemuda itu pasti
ditemukan mati dengan tubuh tercabik dan darah
tak tersisa sedikit pun. Kenyataan ini membuat
Rangga menduga bahwa Siluman Penghisap Darah
sekarang dibantu oleh orang lain yang memiliki
kepandaian cukup tinggi.
Entah sudah berapa orang yang menjadi
korban iblis itu. Dan hal ini membuat seluruh
penduduk Desa Gedangan semakin dicekam perasaan takut. Bahkan, mereka tidak lagi merasa
aman, walaupun berada di dalam rumahnya sendiri. "Keadaan ini tidak bisa didiamkan terus-menerus, Kakang. Kita harus segera
mendapatkan iblis-iblis itu sebelum semua penduduk desa ini
habis jadi korban kebiadaban mereka!' desis Pandan Wangi geram.
"Mereka benar-benar siluman Pandan. Mereka datang dan menghilang seperti setan," kata Rangga, dengan suara perlahan.
Walet Emas Perak 15 Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Pahlawan Dan Kaisar 21

Cari Blog Ini