Ceritasilat Novel Online

Darah Di Bukit Serigala 1

Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala Bagian 1


DARAH DI BUKIT SRIGALA
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 109:
Darah di Bukit Serigala
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Senja sebentar lagi jatuh di mayapada ini. Matahari sudah tak terasa lagi
sengatannya di kulit Di bawah siraman cahaya senja yang merah jingga, tampak
sebuah rombongan pedati yang berjumlah tujuh buah sudah mulai memasuki sebuah
kawanan perbukitan yang lengang. Nampaknya, keadaannya amat indah.
Apalagi, jauh di depan mata terlihat hamparan rumput bak permadani luas
terbentang, yang dilatarbelakangi oleh beberapa bukit yang memiliki ketinggian
beragam. Beberapa buah bukit tampak berdiri sendiri-sendiri. Namun, ada juga
yang saling bersambungan seperti barisan benteng kokoh.
Entah sejak kapan daerah ini disebut Bukit Serigala. Tapi banyak di antara
mereka yang pernah melewati tempat itu melihat dari bawah ujung bukit-bukit itu
runcing-runcing, mirip taring serigala. Atau mungkin saja, karena di bukit-bukit
itu pernah dijumpai kawanan serigala yang mendiami daerah selatan. Bahkan tak
jarang kawanan serigala itu berada di tempat yang sering dilalui para pedagang.
Maka semakin kuatlah dugaan, kalau nama barisan bukit itu diambil dari banyaknya
serigala yang mendiami kawasan sekitamya.
Tak heran bila setiap pedagang yang lewat melalui jalan ini harus mempersiapkan
segala keamanannya secara seksama. Mereka harus menyewa tukang-tukang pukul yang
berkepandaian tinggi. atau menyiapkan banyak obor menyala untuk mengusir
serigala-serigala itu. Namun, tak jarang banyak pula pedagang yang harus merugi
karena keganasan kawanan serigala yang buas itu.
Sebenarnya, bukan hanya kawanan serigala itu saja yang menjadi ancaman para
pedagang atau orang yang akan melewati tempat ini. Konon, di daerah Bukit
Serigala itu bercokol perampok-perampok yang keganasannya tak kalah dibanding
kawanan serigala itu. Namun, para pedagang itu tak mempunyai pilihan lain. Bukit
Serigala memang jalan pintas yang tercepat bagi mereka yang hendak bepergian
dari barat ke timur. Demikian pula sebaliknya. Jalan itu diambil, karena
biasanya para pedagang memang harus cepat mendapat
keuntungan. Sehingga, mereka hampir tak pernah mempedulikan keselamatannya
sendiri. Kalaupun para pedagang ingin mencari jalan lain yang aman, maka harus mengitari
beberapa buah gunung dan daerah-daerah curam. Dan waktu yang ditempuh akan lama
sekali, sehingga dagangan mereka pasti tidak laku setelah sampai di tujuan.
Maka tak jarang rombongan pedagang yang akan berpergian seperti mempertaruhkan
nyawa, ketika melewati Bukit Serigala itu. Kalau toh mereka selamat pasti
jumlahnya tinggal sedikit sekali.
Demikian pula rombongan pedagang yang kini melewati Bukit Serigala ini. Tampak
dua orang penunggang kuda yang membawa golok panjang, berada di depan mengawasi
dari kanan dan kiri iring-iringan ketujuh pedati yang penuh berisi barang-barang
dagangan. Rombongan itu sendiri bergerak perlahan-lahan seolah bersikap waspada.
Masing-masing kusir yang duduk di atas pedati menatap ke sekeliling dengan sorot
mata tajam. Sementara,
empat penunggang kuda lain masing-masing berada di tengah dan di belakang
rombongan. Kusir pedati yang berada paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar
empat puluh tahun.
Tubuhnya yang besar terbungkus kulit hitam dengan otot-otot yang menonjol.
Kumisnya tebal dan sorot matanya tajam. Bisa ditebak kalau laki-laki itu seorang
pemberani dan tak kenal takut. Sementara di sebelahnya terlihat seorang pemuda
tanggung berusia sekitar empat belas tahun. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian
abu-abu yang lusuh. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah, seperti takut akan
menghadapi sesuatu.
"Apakah mereka akan menyerang kita, Ayah?"
tanya pemuda tanggung itu dengan suara nyaris tak terdengar.
Laki-laki setengah baya di sampingnya menoleh, kemudian terlihat tersenyum
pahit. "Kau takut, Puger?" tanya laki-laki setengah baya itu.
Pemuda yang dipanggil Puger itu tak menyahut.
Hanya pandangannya yang dialihkan ke depan.
Suasana masih terus mencekam. Sedangkan
suasana di perbukitan itu terasa lengang sekali.
"Kalau mereka tak kita hadapi, Ayah tak punya pekerjaan, Ger. Hanya inilah satusatunya yang bisa kukerjakan. Mengawal para pedagang dan barang-barangnya ke
tempat tujuan..."
"Ya! Ayah juga pernah bercerita kalau pekerjaan ini baik dan tak merugikan orang
lain. Tapi...," sahut Puger, terputus.
"Tapi kenapa, Ger?" desak laki-laki setengah baya yang ternyata ayah dari pemuda
bernama Puger. "Kenapa ada orang yang mencari pekerjaan
dengan cara merampok harta benda orang lain"
Bukankah hal itu merugikan?" tanya Puger sedikit kesal.
Laki-laki setengah baya itu terdiam sebentar.
Kemudian, terdengar helaan napasnya yang berat.
"Tak perlu heran, Puger. Di dunia ini banyak orang yang mencari jalan termudah
untuk mencapai keinginannya. Termasuk perampok. Mereka tak peduli, apakah
korbannya akan rugi atau men-derita...," jelas laki-laki bertubuh besar itu
lagi. Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar teriakan seseorang dari
ujung depan sana.
"Berhentiii...!"
*** Laki-laki yang menjadi kusir pedati paling depan langsung menarik tali
kekangnya, kemudian lompat dari tempat duduknya. Sedangkan salah seorang
penunggang kuda dengan pakaian ketat warna merah dan berada di depan, juga
menghampiri. Wajahnya tampak cemas, melihat beberapa orang telah menghalang
perjalanan. "Kita dihadang, Kang?"
Laki-laki setengah baya itu mengangguk, kemudian melangkah perlahan-lahan ke
depan. Tak begitu jauh di depan mereka, telah berdiri tegak tiga sosok tubuh
berwajah seram sorot mata tajam menusuk. Yang seorang memakai pakaian hitam
dengan selempang kain warna kuning tua. Rambutnya panjang
bergelombang berwarna kuning keemasan. Tubuhnya tak terlalu besar, namun
memiliki kuku-kuku yang runcing dan panjang. Tangan kanannya tampak menggenggam
sebuah cambuk berwarna keemasan.
Berdiri di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh
delapan tahun. Rambutnya juga panjang. Tangan kirinya tampak disambung dengan
besi yang berbentur cakar serigala sampai sebatas siku. Sedangkan tangan
kanannya memegang senjata berbentuk arit. Sementara orang yang terakhir berusia hampir
sama dengan orang yang tangan kirinya terbuat dari besi. Hanya saja, tubuhnya
sedikit lebih kurus. Mata kirinya tampak tertutup kain hitam. Senjatanya berupa
tombak bermata tiga.
"Kisanak! Aku Suriareja yang memimpin rombongan ini. Dan aku mohon pada kalian
agar diizinkan lewat" ucap laki-laki bertubuh besar dan berusia setengah baya
dengan nada sopan, setelah memperkenalkan diri. Ternyata, namanya Suriareja.
"Aku Ki Lodaya, di sebelah kiriku adalah muridku.
Namanya, Gumarang. Dan sebelah kananku muridku juga. Namanya, Rajendra," sahut
laki-laki yang mengaku bernama Ki Lodaya.
Lak-laki bernama Suriareja mencoba tersenyum.
"Apakah itu berarti kami boleh lewat?" tanya Suriareja.
"Tentu saja. Tapi, setelah semua barang bawaan itu kalian tinggalkan!" sahut Ki
Lodaya tegas. Suriareja tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Kisanaki Kami hanya rombongan pedagang kecil yang mengadu nasib untuk sekadar
sesuap nasi buat makan anak istri. Harap sudilah kau mengerti," sahut Suriareja
merendah. "Aku tak peduli dengan alasan kalian. Yang jelas ingin selamat, pergi, dan
tinggalkanlah harta benda yang kalian bawa dalam pedati itu!" lanjut Ki Lodaya
dengan suara semakin keras.
Orang-orang yang berada dalam ketujuh pedati itu tampak cemas. Mereka sama-sama
melongokkan kepala, melihat ketiga sosok tubuh di depan dengan sikap menghadang.
Wajah mereka kelihatan sama sekali tak bersahabat. Meski begitu, masih terbersit
harapan di benak mereka. Karena, mereka yakin kalau Suriareja yang dipercaya
untuk mengawal rombongan ini beserta sepuluh orang anak buahnya pasti mampu
membereskan ketiga begal ini.
Sementara itu tampak kesepuluh anak buah
Suriareja telah berada di belakang dengan sikap bersiaga, sambil menggenggam
senjata masing-masing. Melihat itu Ki Lodaya dan kedua muridnya hanya tersenyum
sinis. "Kuhitung sampai tiga Dan kau harus menentukan pilihan!" ancam Ki Lodaya memberi
peringatan. "Ki Lodaya! Aku...,'' Suriareja bermaksud memberikan alasannya lagi, namun Ki
Lodaya seperti tak mempedulikannya.
"Satu!"
"Ki Lodaya! Cobalah sedikit bermurah hati, dan jangan terlalu memaksa kami?"
"Dua!" teriak Ki Lodaya sambil menggerakkan cambuk di tangannya.
"Ki Lodaya..."
"Hancurkan mereka!" teriak Ki Lodaya memberi perintah pada dua orang muridnya
yang ber-nama Gumarang dan Rajendra.
Tanpa diperintah dua kali, kedua murid Ki Lodaya langsung melompat dan
mengayunkan senjatanya.
Gumarang menyerang Suriareja, sementara Rajendra mengamuk menghadapi kesepuluh
anak buah Suriareja yang sejak tadi telah siap menanti
serangan. "Yeaaa...!"
"Kau tak memberi pilihan lain kepada kami, Ki Lodaya. Maaf! Kalau itu maumu,
kami berhak mempertahankan diri!" sahut Suriareja sambil mencabut golok yang
terselip di pinggang, siap memapak serangan Gumarang.
Ki Lodaya sama sekali tak menyahuti ucapan Suriareja. Laki-laki berpakaian hitam
dengan selempang kuning itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula,
sambil memperhatikan dengan seksama.
Suriareja sebenarnya bukanlah orang sembarangan. Dulu, laki-laki itu pernah berguru pada salah satu padepokan terkenal
di daerah selatan.
Bahkan sempat berkelana ke mana-mana,
mengabdikan kepandaiannya. Kemudian setelah kawin, Suriareja berhenti berkelana
dan menetap di suatu tempat. Namun pekerjaaan lain baginya amat sulit, karena
kepandaian yang dimiliki hanya bermain silat. Sehingga, akhirnya dia bersedia
mengawal rombongan pedagang yang merasa harta bendanya terancam, seperti
sekarang ini! Tapi yang dihadapi Suriareja ini bukanlah orang sembarangan. Hal itu semakin
terbukti ketika berhadapan dengan Gumarang yang mampu bergerak cepat dan ganas.
Bahkan boleh dibilang tak kenal ampun. Tangan kirinya yang terbuat dari besi dan
membentuk cakar, beberapa kali mengancam
keselamatan Suriareja. Belum lagi sambaran senjata arit di tangan kanan yang
mengancam seluruh bagian tubuh seperti tiada henti. Beberapa kali sambaran itu
ditangkisnya dengan golok yang tergenggam, namun Suriareja jadi tersentak
sendiri. Tangannya jadi
bergetar hebat. Dan rasanya, golok itu nyaris terlepas dari genggaman saking
hebatnya tenaga dalam yang dimilik Gumarang.
"Yeaaa...!"
Suriareja kembali tersentak kaget ketika tubuh lawan bergerak cepat dari arah
atas. Tampak Gumarang menukik sambil mengayunkan arit di tangannya. Maka buruburu Suriareja menundukkan kepalanya sambil bergerak ke samping. Namun....
Brettt! "Uhhh...!"
Cakar kiri Gumarang tiba-tiba saja menyambar punggung Suriareja. Dia kontan
mengeluh kesakitan.
Dan belum lagi Suriareja mengambil napas, satu tendangan kembali diluncurkan
lawan. Untung Suriareja masih sempat membuang diri ke tanah bergulingan beberapa
kali. Dan begitu tubuhnya telah bangkit berdiri, goloknya langsung bergerak
menyambar. Namun, tubuh Gumarang telah melenting ke atas sambil membuat gerakan
jungkir balik. Begitu mendarat di tanah, bagai serigala menerkam, tubuh Gumarang
melayang menyambar lawan yang tengah terpaku setelah serangannya gagal.
"Graungrrr...!" Gumarang menggeram buas. Bola matanya tajam berkilat bagai nyala
api yang sedang berkobar-kobar.
Suriareja sempat bergidik nyalinya melihat roman muka lawannya yang buas seperti
binatang liar. Apalagi, ketika terdengar raungan keras, sehingga sempat membuat jantungnya
berdebar-debar.
"Hiiih...!"
Cakar kiri Gumarang menyambar wajah Suriareja.
Namun, laki-laki setengah baya itu cepat ber-gulingan
ke samping untuk menghindari serangan. Bahkan sempat mengayunkan kakinya untuk
menyambar pinggang lawan. Tapi, tubuh Gumarang sudah bisa membaca gerakan lawan.
Hanya diikutinya saja gerakan itu, hingga tendangan Suriareja hanya mengenai
tempat kosong. Dan tentu saja hal itu amat mempengaruhi keadaan Suriareja.
Apalagi tendangannya demikian keras, sehingga membuat ke-seimbangannya jadi
goyah. Melihat kesempatan ini, Gumarang tak mau
menyia-nyiakannya. Senjatanya langsung menyambar ke arah perut lawan. Dan
Suriareja sendiri memang tak punya pilihan lain, selain menangkis. Meskipun, dia
tahu kalau hal itu bakal berakibat buruk baginya.
Bettt Trakkk! Benar saja! Ketika senjata mereka beradu, golok di tangan Suriareja terlepas.
Sementara, senjata berbentuk arit milik Gumarang terus bergerak merobek
perutnya. Crasss! "Aaakh...!"
Suriareja kontan terpekik kesakitan, begitu sambaran arit Gumarang menyambar
perutnya. Tangannya langsung memegang perutnya yang terluka dengan darah mengalir deras.
Dan belum lagi menyadari lebih jauh, hantaman tangan kiri Gumarang yang terbuat
dari besi langsung
menembus jantungnya.
Brosss! "Aaa...!"
Suriareja langsung terjajar disertai pekikan memilukan. Dia terhuyung-huyung
sebentar, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian
tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah terus mengalir membasahi tubuhnya.
Kematian Suriareja tentu saja amat mengagetkan anak buahnya serta para pedagang
yang berada dalam pedati. Semangat mereka mulai mengendur.
Dan kecemasan pun mulai tumbuh perlahan-lahan dalam hati para pedagang itu.
Apalagi, ketika melihat kesepuluh anak buah Suriareja tak seorang pun yang mampu
mendesak lawan.
"Ayah...!" Puger berteriak dengan suara pilu ketika melihat ayahnya telah
terbujur kaku berlumur darah.
Pemuda tanggung itu langsung melompat turun dari pedati dan berlari kencang
menghampiri mayat ayahnya. Tapi dengan wajah dingin dan senyum sinis, Ki Lodaya
lalu mengayunkan cambuk di tangannya ke arah pemuda tanggung itu.
Ctar! "Aaa...!"
Puger memang tak seperti ayahnya yang memiliki kepandaian lumayan. Apalagi


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suriareja memang tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Sehingga ketika ujung
cambuk di tangan Ki Lodaya menyambar dadanya, anak itu tak mampu menghindari.
Tubuhnya kontan terlempar keras ke belakang dan jatuh di tanah dengan tulang
rusuk patah. Dan nyawanya langsung melayang saat pekikannya terhenti.
"Biadab!" geram salah salah seorang anak buah Suriareja sambil melompat
menyerang Ki Lodaya.
Namun sebelum anak buah Suriareja berhasil menyentuh tubuh Ki Lodaya, Gumarang
sudah mencelat menghadang sambil menggeram buas.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
Terpaksa laki-laki berpakaian merah itu mengurungkan niatnya. Dan dengan memutar tubuhnya, dihindarinya sambaran arit
Gumarang. Golok di tangannya bergerak cepat menyambar leher
Gumarang. Namun, murid-murid pertama Ki Lodaya sigap sekali membungkukkan
tubuhnya. Kemudian, tubuhnya berputar dengan kaki kanan terayun ke pelipis.
Yeaaa...! Tapi, serangan itu ternyata telah dibaca Gumarang.
Terbukti, tubuhnya telah melejit ke atas sambil mengayunkan senjata ke leher.
Anak buah Suriareja itu kontan terkejut. Maka buru-buru dijatuhkan tubuhnya
untuk menghindari. Namun, kaki kiri Gumarang yang berada di bawah langsung
menghajar ke arah perut.
Desss! "Aaakh!"
Tubuh orang berpakaian merah itu kontan terpental pada jarak tiga langkah ke
belakang. Tapi Gumarang tak berhenti sampai di situ. Begitu ka-kinya menendang,
maka saat itu pula tubuhnya mencelat mengikuti gerakan lawan. Sedangkan tangan
kirinya cepat menyambar ke arah dada. Sementara, lawan masih sempat melihat
serangan itu, dan berusaha menghindari sambil memapak dengan goloknya.
Crakkk! Tangan orang berpakaian merah itu kontan bergetar hebat dan goloknya terlepas
dari genggaman, begitu cakar kiri Gumarang menghantam mata goloknya. Bersamaan
dengan itu, senjata arit di tangan kanan Gumarang sudah terus menyambar ke arah
leher. Crasss! "Aaa...!"
Orang berpakain merah itu hanya terpekik sesaat, begitu bahunya terbabat arit
Gumarang. Kemudian kepalanya terlihat menggelinding ke tanah dengan darah
mengucur deras dari pangkal leher. Sebentar dia limbung, lalu ambruk di tanah
dengan nyawa melayang dari badan.
"Bagus Gumarang!" puji Ki Lodaya sambil tersenyum.
Gumarang memandang sekilas pada gurunya,
kemudian menatap kepada adik seperguruannya yang belum juga selesai menghabisi
lawannya yang tinggal empat orang lagi.
"Rajendra! Apakah kau perlu bantuan Gumarang untuk membereskan lawan-lawanmu"!"
teriak Ki Lodaya dengan suara kesal.
"Maaf, Guru. Kalau Guru menghendaki agar mereka mampus dengan cepat, baiklah.
Aku masih sanggup melakukannya!'' teriak Rajendra di sela-sela pertarungannya.
"Bagus. Nah! Cepat lakukanlah!"
"Yeaaa...!"
Ser! Ser! Diiringi bentakan nyaring, tubuh Rajendra langsung melompat ke atas setinggi
satu tombak. Kemudian begitu tangannya menghentak ke depan, terlihat beberapa
buah paku beracun melesat dari tangan ke arah empat lawannya.
"Awaaas! Dia mulai menggunakan senjata rahasia!" teriak salah seorang anak buah
Suriareja memperingatkan kawan-kawannya.
"Keparat! Dia menggunakan paku-paku beracun!"
geram yang lain.
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian sekarang!" teriak Rajendra sambil tertawa
nyaring. Tubuh Rajendra melesat deras ke bawah sambil memutar senjatanya membentur
kitiran. Maka dua orang lawannya langsung memapak, sementara dua lainnya mencari
sisi pertahanan yang terbuka.
Trak! Trak! Wuttt! Ser! Ser! Dua golok anak buah Suriareja yang coba
menangkis berhasil dibuat terpental dari genggaman.
Kedua orang itu kontan tersentak kaget, namun masih sempat menyelamatkan diri
sambil menunduk.
Sementara, Rajendra terus mengejar sambil melemparkan senjata rahasianya ke arah
dua orang lawannya yang lain.
"Hiyaaa...!"
Ujung tombak bermata tiga milik Rajendra kembali menyambar kedua lawannya yang
berada di depan, kedua anak buah Suriareja itu buru-buru menjatuhkan diri.
Melihat kesempatan ini, Rajendra cepat menyusuli. Dan dengan satu tendangan
keras yang tak mampu dielakkan oleh salah seorang dari mereka. Maka....
Diegkh! "Aaakh...!"
Salah seorang anak buah Suriareja kontan
memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar lima langkah ke Belakang. Namun, Rajendra
terus mengejar-nya dengan lemparan senjata rahasia yang tak mungkin dielakkan
lagi! Crasss! "Aaakh...!"
Begitu dadanya tertembus senjata rahasia
Rajendra, orang itu kontan terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi
dadanya yang tertembus paku-paku beracun. Tak lama kemudian, orang itu duduk di tanah, dengan
tubuh membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa berwarna kekuning-kuningan.
Rajendra terus melempar senjata rahasianya ke belakang kepada dua orang lawannya
yang tadi berhasil menghindari. Betapa terkejutnya kedua orang itu. Salah
seorang memang berhasil menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah.
Namun seorang lagi kontan menjerit keras, ketika sebuah paku beracun menembus
dada kirinya. Tubuhnya langsung terjungkal ambruk di tanah, dan menggelepar-gelepar seperti
ayam dipotong. Tapi, mana mau Rajendra mempedulikannya. Bahkan ketika kedua
lawannya yang tersisa melompat berbarengan membawa serangan, tubuhnya sedikit
merendah. Kemudian, dia berputar mengikuti gerakan tombaknya. Lalu....
Bret! Cras! "Aaa...!"
Kedua orang itu langsung memekik ketika perut mereka robek diterjang ujung
tombak lawan yang bergerak amat cepat. Mereka langsung ambruk ke tanah dengan
darah berhamburan dari perut.
Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
"Beres!" dengus Rajendra sambil mengibas-ngibaskan tangannya, ketika seluruh
lawannya sudah tak bangun-bangun lagi. Sebentar dipandangi-nya mayat-mayat
lawannya, lalu dihampirinya Ki Lodaya dan Gumarang.
Perlahan-lahan ketiga orang itu menghampiri ketujuh pedati dengan wajah dingin
mengancam. Ki Lodaya memandang beberapa orang yang berada dalam pedati itu, kemudian berteriak
lantang. "Kalau kalian masih sayang dengan nyawa, boleh keluar! Kuhitung sampai tiga.
Dan, kalian boleh pergi dari tempat ini dengan berjalan kaki!" kata Ki Lodaya.
Belum lagi Ki Lodaya menghitung mereka yang berada dalam pedati itu langsung
melompat keluar dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang di antaranya langsung
kabur terbirit-birit. Melihat hal itu, yang lainnya pun ikut-ikutan. Agaknya,
mereka memang tak punya pilihan lain. Memang tak seorang pun yang mengerti ilmu
silat karena hanya para pedang. Kalaupun punya, sudah ciut lebih dulu nyali
mereka melihat sepak terjang kedua murid Ki Lodaya.
"Ha ha ha...!"
Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak dan membiarkan saja mereka lari
terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
"Guru! Mereka membawa banyak uang mas!"
teriak Rajendra, setelah memeriksa isi pedati yang berada di barisan tengah.
"Mereka juga membawa pakaian dan perhiasan mahal!" teriak Gumarang pula. begitu
memeriksa isi pedati barisan kedua.
"Bagus! Nah, sekarang kalian giring kuda-kuda itu ke markas kita!" perintah Ki
Lodaya. "Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.
Kini, mereka segera berlalu dari tempat itu sambil menggiring kuda-kudanya yang
menarik pedati itu ke suatu lembah, di kaki Bukit Serigala.
Bukit Serigala kini lengang. Tapi sekawanan burung pemakan bangkai sudah terbang
berputar-putar di angkasa!
2 Malam merangkak semakin larut. Bulan sepotong tampak mengintip malu-malu dari
celah-celah ranting-ranting pohon yang tidak begitu rapat, mengamati kedua anak
muda yang tengah menikmati santapan daging kelinci bakar. Di dalam hutan yang
tak begitu rapat ini, mereka seperti tengah beristirahat. Api unggun, tampak
masih membakar ranting-ranting kayu membuat suasana di sekelilingnya pada jarak
tiga tombak jadi terang benderang. Sementara, malam terus merambat membawa angin
dingin yang menjatuhkan embun-embun. Sehingga, suasana jadi semakin dingin
menusuk tulang.
"Huuu! Seharusnya kita tak bermalam di sini, Kakang!" gerutu gadis cantik
berbaju biru muda yang duduk bersandar pada sebatang pohon, bersama seorang
pemuda tampan berbaju rompi putih di sebelahnya.
Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu hanya menoleh sekilas.
"Kenapa, Pandan"!"
"Dingiiin!" sahut gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, dengan
tubuh menggigil.
Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang
bergagang kepala burung itu kemudian tersenyum.
Dia memang Rangga, yang di kalangan persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Dekatkan tubuhmu ke api unggun ini," ujar Rangga.
"Huuu! Bisa-bisa, kalau ketiduran tubuhku terbakar!" sungut Pandan Wangi, manja.
Kembali Rangga tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dalam
senyumannya. "Senang ya"!" rutuk Pandan Wangi sambil memelototkan matanya.
"Tidak. Aku hanya geli melihat sikapmu. Setiap kali mendapat kesulitan, kau
selalu mengeluh. Serah-kanlah semuanya pada Hyang Widhi," sahut Rangga tenang.
Pandan Wangi mendesah berat, seperti berusaha melepaskan beban di hatinya.
Kemudian tubuhnya direbahkan pada jarak enam jengkal dari api unggun.
Sedangkan Rangga masih duduk menekur di
sampingnya, memandangi nyala api di depannya.
"Pandan...?"
"Ya?" sahut gadis itu tanpa menoleh, tapi ber-nada lembut.
"Kau bosan mengembara bersamaku?" tanya Rangga suaranya terdengar lirih, namun
mengandung pertanyaan yang mendalam.
Pandan Wangi lalu memiringkan tubuhnya, di-pandanginya pemuda itu dengan sorot
mata heran. "Kenapa Kakang berkata seperti itu?"
"Yah..., hanya dugaanku saja," desah Rangga.
Pandan Wangi terus menatap pemuda itu,
kemudian beranjak duduk di sebelahnya.
"Entahlah, Kakang. Mungkin aku hanya jenuh saja.
Tapi percayalah. Besok pagi aku sudah seperti biasa kembali," kilah Pandan
Wangi. "Aku percaya padamu, Pandan. Tapi sebaiknya, bicaralah padaku bila kau punya
persoalan. Ingat, Pandan kita sudah sekian lama selalu bersama-sama, tidak ada
lagi yang harus disembunyikan dalam diri
kita masing-masing," ujar Rangga halus, namun bernada mendesah.
"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus,"
desah Pandan Wangi, seperti bisa membaca arah pembicaraan Rangga.
Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat bahunya sedikit, tidak ingin
mendesak Pandan Wangi.
Dia tahu betul watak gadis itu, yang selalu manja namun juga keras kepala. Maka
Rangga hanya menghadapinya dengan kesabaran.
Kini Pandan Wangi merebahkan kembali tubuhnya.
Dan sebentar saja, sudah terdengar dengkurnya yang halus dari sebelah Pendekar
Rajawali Sakti. Memang, tampaknya gadis itu lelah sekali. Mungkin karena
lelahnya, kemanjaannya pada Rangga muncul kembali.
Rangga lalu mendesah perlahan. Kakinya
kemudian bersila. Kedua matanya dipejamkan, mulai bersemadi untuk memusatkan
pikirannya dan mengatur jalan darahnya. Namun, belum juga Rangga bisa menyatukan
pikirannya, mendadak matanya terbuka. Pandangannya langsung ditujukan lurus ke
depan, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Kisanak yang mengintip di atas pohon, keluarlah!
Kenapa malu-malu menampakkan diri" Kalau hendak bergabung, silakan saja!" kata
Rangga, lantang.
Srak! Tiba-bba dari salah satu cabang pohon, melesat turun sesosok tubuh gemuk pendek
dengan dahi lebar. Rambutnya jarang-jarang dan mukanya bulat.
Begitu mendarat, orang itu tersenyum lebar sambil memberi salam penghormatan
kepada pemuda itu.
"He he he...! Sungguh jeli matamu itu, Bocah. Kau tentu bukan orang sembarangan.
Namaku, Gemuli.
Dan orang-orang menyebutku sebagai si Badut Gembel. Nah! Siapakah kalian ini
sebenarnya?" kata orang itu disertai tawa keras.
Suara orang yang mengaku bernama Gemuli atau si Badut Gembel itu terdengar
keras, sehingga membuat Pandan Wangi terjaga. Gadis itu beringsut sambil
memandang pada orang asing yang baru datang itu dengan wajah heran.
"Hm.... Badut Gembel, agaknya kami sungguh beruntung bisa bertemu pendekar hebat
yang namanya menggetarkan jagat. Namaku, Rangga. Dan ini kawanku. Namanya Pandan
Wangi," sahut Rangga sambil membalas salam hormat laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun itu.
Rangga sengaja memuji, karena julukan Badut Gembel memang pernah didengarnya.
Memang kepandaiannya tinggi sekali. Namun, sikapnya sering angin-anginan. Bahkan sulit
ditebak. Dan menurut cerita orang, si Badut Gembel pun paling suka di-sanjung.
Dia akan tertawa kegirangan, jika orang lain yang ditemui mengenalinya.
"Ha ha ha...! Tak dinyana kalian bocah kemarin sore kenal juga denganku. Bagus!
Bagus! Tapi..., heh"! Tunggu dulu!" cegah si Badut Gembel tiba-tiba seraya
mengerutkan dahinya seperti sedang berpikir.
"Ada apa, Badut Gembel?"
"Rangga..., Rangga. Di mana aku pernah mengenal nama itu...?" kata Badut Gembel
sambil mengingat-ingat.
"Mana mungkin kau mengenal namaku, Badut Gembel. Aku hanyalah seorang
pengembara," elak Rangga mencoba menyembunyikan jati dirinya.
"Edan! Aku tahu! Kau... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan"!" tunjuk
Gemuli dengan wajah
girang. Kemudian terlihat si Badut Gembel menari-nari di tempat itu sambil berkali-kali
menunjuk ke arah Rangga.
*** "Kisanak. Aku hanya seorang pengembara yang tak punya kepandaian apa-apa,"
Pendekar Rajawali Sakti beralasan demikian, sebab si Badut Gembel suka sekali
berbuat yang aneh-aneh. Misalnya, menghajar orang yang tak disukainya tanpa
alasan. Atau, menguji kepandaian dengan pendekar hebat yang sudah kondang.
Menyadari hal itu, maka Rangga bersikap untuk mengalah saja. Itulah sebabnya dia
tak mau mengaku kalau dirinya Pendekar Rajawali Sakti.
"Edan! Kau tak mau mengaku juga heh"!" bentak si Badut Gembel sambil
membelalakkan mata dan menuding-nuding ke arah pemuda itu.
Melihat sikap orang itu, bukan Rangga yang menjadi panas. Tapi Pandan Wangilah
yang langsung bangkit.
"Orang tua! Apa maumu sebenarnya" Datang-datang cekikikan seperti monyet. Dan
kini, malah memaksa orang untuk mengaku macam-macam,
Dasar Gila!" dengus Pandan Wangi jengkel, sambil menuding si Badut Gembel.
"Wueeeh! Gadis cantik cerewet! Siapa pula kau ini"
Apa kau gendaknya"!" sahut si Badut Gembel, tak kalah garang.


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar! Kusobek mulut kotormu itu.
Yeaaa...!"
Pandan Wangi tak dapat lagi menahan amarahnya
yang menggelegak dalam dada. Maka langsung diserangnya si Bagut Gembel.
"Pandan, tahan...!" Rangga berteriak hendak mencegah, namun Pandan Wangi tidak
lagi mem- pedulikan. "He he he...! Bagus! Rupanya kau punya kepandaian juga, Bocah Centil. Ingin
kulihat, sampai di mana kemampuanmu itu," sahut si Badut Gembel sambil bergerak
lincah menghindari serangan gadis itiu.
"Jangan banyak mulut, Orang Tua Gila! Setelah kurobek mulutmu, barulah matamu
terbuka kalau bukan kau saja yang terhebat di jagat ini!"
"Ha ha ha...! Uts, boleh juga!" sentak si Badut Gembel, menghentikan tawanya
ketika satu tendangan keras nyaris menghajar pelipis.
Gemuli terus melompat ke belakang sambil
mengangkat sebelah kakinya, ketika tubuh Pandan Wangi berbalik dan mengirim
tendangan berikut Si Badut Gembel kembali terkekeh. Tubuhnya langsung melejit ke
atas, kemudian bersalto di udara beberapa kali. Lalu, kakinya mendarat ringan di
belakang gadis itu. Kembali Pandan Wangi berbalik sambil mengayunkan kepalan
tangannya menyambar leher.
'Yeaaa...!"
"Uts, copot kepalaku!" ejek si Badut Gembel sambil menunduk dan memegang
kepalanya. "Sial!" maki Pandan Wangi kesal ketika serangannya luput.
Dipermainkan begitu rupa, panas juga hati Pandan Wangi. Dengan geram dicabutnya
kipas baja putih yang terselip di pinggangnya.
Srak! "He he he...! Kebetulan, aku sedang kepanasan.
Kau hendak mengipasiku, Cah Ayu?" ejek si Badut Gembel.
'Ya! Aku akan mengipas lehermu biar mampus sekalian!" geram Pandan Wangi sambil
mengayunkan kipasnya yang terkembang.
Desir angin serangan kipas itu cukup kuat, sehingga pakaian serta rambut si
Badut Gembel ber-kibar-kibar. Namun, laki-laki setengah baya itu tenang-tenang
saja. Baru ketika ujung kipas itu hendak menyambar lehernya, kepalanya cukup
dimiringkan sedikit Lalu, kaki kanannya menyapu pergelangan tangan gadis itu.
"Hiiih!"
Bet! Cepat bagai kilat, Pandan Wangi merendahkan tangan untuk menghindari sambaran
kaki lawan. Tubuhnya kemudian berputar, sambil melepaskan kepalan tangan kirinya. Ke arah
dada si Badut Gembel. Namun dengan lincah lelaki bertubuh gemuk pendek itu
melompat ke atas sambil terkekeh.
Bahkan tubuhnya langsung menukik tajam seraya menghantamkan tangan kanannya ke
arah kepala Pandan Wangi. Tentu saja tindakan ini membuat gadis itu terkesiap.
Apalagi, tak ada waktu untuk menghindar. Maka cepat ditangkisnya serangan itu.
"Hiyaaa!"
Plak! "Uhhh...."
Pandan Wangi langsung mengeluh kesakitan
ketika menangkis kepalan tangan lawan dengan tangan kirinya. Masih untung kepala
cepat ditundukkan, karena si Badut Gembel menyusulinya ke bagian atas tubuhnya.
Sedangkan tangan kanannya yang memegang kipas maut cepat menyambar ke dada
lawan. Namun, si Badut Gembel telah melompat ke belakang menghindarinya sambil
terus terkekeh-kekeh.
"He he he...! Lumayan, Bocah. Lumayan. Tapi, sayang. Aku tak berselera untuk
bertarung denganmu. Hei kenapa kekasihmu tak kau suruh saja untuk
menghadapiku"!"
"Keparat! Kau pikir, aku tak mampu menghajarmu, he"!" gumam Pandan Wangi semakin
menjadi-jadi. "He he he...! Aku tak pernah bertindak kasar pada wanita. Tapi kalau kau coba
memaksa, akan ku-tendang pantatmu itu!" ujar si Badut Gembel, tenang.
"Keparat! Kau memang tak bisa diberi ampun!"
bentak Pandan Wangi sambil melompat menyerang lawan.
"Pandan Wangi, cukup!"
Rangga cepat bertindak. Dia langsung melompat dan menangkap pergelangan tangan
gadis itu. "Lepaskan, Kakang! Biar kuhajar dulu keparat bermulut besar itu agar tak
sembarangan meng-umbar mulut! Lepaskan!"
"Pandan, tenanglah. Kita tak punya urusan dengannya. Sebaiknya, mari kita pergi
dari sini," ajak Rangga, tenang. Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap gadis
itu dalam-dalam.
Pandan Wangi tahu, kata-kata Rangga yang tenang tidak mungkin bisa dibantahnya
lagi. Itu kelihatan jelas dari sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu
hanya menghembuskan panas berat seraya melotot geram pada si Badut Gembel yang
masih terkekeh-kekeh. Sambil kembali mendengus kesal, dihampiri kuda putihnya
yang tertambat tak jauh dari situ. Rangga pun perlahan-lahan mengikuti langkah
gadis itu dari belakang, dan segera menuju kuda
hitam yang bernama Dewa Bayu. Secara bersamaan, mereka melompat naik ke punggung
kuda. Namun ketika mereka telah siap menjalankan kuda masing-masing si Badut Gembel
melompat menghadang sambil berkacak pinggang.
"He he he...! Jangan harap kalian boleh pergi begitu saja dari tempat ini tanpa
izinku!" dengus Gumali, alias si Badut Gembel.
"Badut Gembel! Maaf, kami tak bisa meladeni keinginanmu. Menepilah, karena kami
terburu-buru,"
sahut Rangga tenang.
"Ha ha ha...! Beginikah sikap Pendekar Rajawali Sakti yang gagah perkasa dan tak
seorang pun pernah mengalahkannya" He, Bocah! Aku sekarang menantangmu!" tantang
si Badut Gembel dengan sorot mata tajam menusuk.
"Maaf. Kau telah tahu jawabanku...."
"Dan kau tahu pula, bagaimana pendirianku!"
sahut si Badut Gembel tak peduli.
"Kisanak! Apa maksudmu?" tanya Rangga, heran.
"Aku menantangmu! Dan, kau mesti meladeninya!"
dingin suara si Badut Gembel.
Bersamaan dengan itu tubuh si Badut Gembel langsung melesat, melepaskan
tendangan lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Akh..., uts!"
*** Rangga tak sempat melanjutkan kata-katanya, ketika satu tendangan si Badut
Gembel nyaris menghajarnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting
ke atas dari kudanya, dan berputaran beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya
menyentuh tanah, kembali si Badut Gembel menerjang dengan sebuah tendangan lagi.
"Jebol perutmu!"
"Uhhh!"
Dengan gesit, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melejut lima jengkal ke atas, sambil
balas mengayunkan kakinya ke wajah lawan.
"Maaf!"
Namun, si Badut Gembel cepat melompat ke
samping, sehingga tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menyambar angin
kosong. "He he he...! Akhirnya toh, kau mau juga me-ladeniku!" kata si Badut Gembel
sambil tertawa senang, setelah berhasil menghindar.
Agaknya, si Badut Gembel ini ingin membuktikan kalau dirinya lebih unggul dari
lawan. Maka begitu habis menghindar, dia seperti tak hendak memberi kesempatan
sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa!"
"Uts!"
"Hiiih!"
Kembali satu tendangan keras yang dibarengi tenaga dalam tinggi bergerak hendak
menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, pemuda berbaju rompi putih itu
gesit sekali bergerak ke samping dengan pengerahan jurus 'Sembilan Lang-kah
Ajaib'. Suatu jurus yang hanya mengandalkan gerakan yang lincah, dengan tubuh melentur
ke sana kemari. Tapi tanpa diduga, kepalan tangan si Badut Gembel menyambar ke
batok kepala. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas sambil
jungkir balik. Dan ternyata, Gemuli yang berjuluk si Badut Gembel telah
menyusuli dengan satu sapuan kaki
yang keras. "Yeaaa...!"
Dengan geram, Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Lalu disambutnya sapuan
kaki si Badut Gembel yang lurus terarah ke dada dengan tangan kanan. Dan....
Degkh! Benturan antara tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan kaki si Badut Gembel
terdengar keras.
"Uhhh...!"
"Maaf, Kisanak...," ucap Rangga ketika melihat laki-laki setengah baya itu
terjajar ke belakang sambil meringis kesakitan. Rasanya, kakinya bagai kesengat
kala berbisa. "He he he...! Apakah kau pikir aku akan kalah, karena kau telah berhasil
menangkis seranganku?"
ejek si Badut Gembel sambil tertawa sinis. Namun dari sorot matanya sudah
terbaca ada rasa ke-kaguman terhadap pemuda berbaju rompi putih itu.
Sementara Rangga masih berdiri tegak sambil memandang pada laki-laki setengah
baya bertubuh gemuk pendek itu dengan seksama. Jarak mereka kini hanya tujuh
langkah. Namun tiba-tiba tubuh laki-laki gemuk itu telah kembali melompat
menyerang bagaikan kilat.
"Yeaaa!"
"Uts!"
Kepalan tangan si Badut Gembel menderu ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti,
menimbulkan angin bersiur kencang yang hebat bukan main. Maka buru-buru Rangga
menjatuhkan diri ke tanah. Lalu, kedua kakinya diayunkan ke tubuh si Badut
Gembel yang sedang melayang di atasnya.
"Yeaaa!"
"Heh"!"
Rangga seperti tak percaya dengan apa yang dialaminya. Ternyata, kedua tangan si
Badut Gembel yang terkepal malah bermaksud hendak memapak tendangannya yang
berisi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal itu sangat membahayakan diri si Badut
Gembel sendiri. Apalagi, dari benturan pertama tadi, Rangga sudah bisa mengukur
tenaga dalam lawan yang berada di bawahnya. Jelas, kedua tangan si Badut Gembel
bakal remuk terhantam tendangan kakinya.
Tapi, siapa nyana ketika telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti beradu dengan
kedua kepalan tangan si Badut Gembel. Ternyata Rangga hanya merasa menghantam
angin saja. Sedang tubuh si Badut Gembel itu telah berputar ke atas lalu
meluncur deras ke bawah, tertuju lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti yang
masih terbaring di tanah. Dan sungguh menakjubkan ternyata si Badut Gembel
mendaratkan sebelah kakinya ke telapak kaki Rangga yang menjulur ke atas.
Agaknya, dia bermaksud mengadu kekuatan dengan mengerahkan tenaga dalam sekuat
mungkin pada kakinya. Hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Maka, seluruh tenaga dalamnya segera disalurkan ke telapak kakinya. Dan
seketika, kedua kakinya yang perlahan-lahan ter-tekuk, cepat dihentakkan ke
atas. "Hiiih!"
"Hup!"
Mendapat dorongan yang demikian kuat si Badut Gembel jadi terlontar ke atas.
Namun dengan indahnya, tubuhnya kembali menukik cepat sambil berputaran bagai
gasing. Lalu langsung disiapkannya satu hantaman berupa pukulan tangan kanan
yang keras ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Namun,
Rangga tak kalah gesit.
Cepat tubuhnya bergulingan dengan kedua kaki bergerak melingkar menyambar
pinggang lawan.
"Hiyaaa!"
Namun, si Badut Gembel ternyata telah cepat melemparkan tubuh ke samping. Maka,
sambaran kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam angin belaka. Sedangkan
si Badut Gembel kini sudah berdiri berjarak beberapa tombak, ketika Pendekar
Rajawali Sakti baru saja bangkit berdiri.
"Ha ha ha...! Ternyata, apa yang kudengar tentang dirimu tidak berlebihan,
Bocah. Kau memang memiliki kepandaian luar biasa! Nah, sekarang pergilah kalian
sebelum pikiranku berubah!" teriak si Badut Gembel.
Rangga hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kata-kata lakilaki setengah baya itu seperti menyiratkan kalau telah mengalahkan Pendekar
Rajawali Sakti. Bahkan terkesan meng-ampuni jiwa Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi. Padahal kalau saja, Pendekar Rajawali Sakti mau mencelakakannya,
sejak tadi bisa dilakukannya.
Lagi pula setelah berkata demikian si Badut Gembel yang melesat dari tempat itu.
Dan sebentar saja, tubuhnya telah lenyap tertelan kegelapan malam.
"Dasar orang tua sinting!" gerutu Pandan Wangi melihat ulah si Badut Gembel.
Rangga tak menjawab, malah melangkah ke kuda hitamnya. Dengan gerakan manis
sekali, dia melompat ke punggung kudanya dan memacunya pelan mengikuti Pandan
Wangi yang telah lebih dulu melompat dan menggebah kudanya.
Memang, kadang-kadang sifat manusia aneh.
Mereka suka bermain api, tanpa sadar akibatnya.
Demikian pula si Badut Gembel. Tokoh satu ini memang sering usil. Sering
mengganggu, tanpa tahu akibat yang akan diderita. Tapi sebenarnya dia orang
baik, karena sering membantu orang lemah.
Kepandaiannya yang cukup tinggi, sering digunakan untuk menumpas kejahatan.
Hanya sayangnya, sifatnya kadang-kadang usil. Itu saja.
*** 3 Dua orang berpakaian serba hitam tampak berjalan di pinggiran Hutan Jati Kembar
tergesa-gesa. Ternyata mereka telah ditunggu oleh lebih dari dua puluh orang
yang rata-rata berwajah seram. Tampak sebilah golok terselip di pinggang mereka
semua. Salah seorang yang berdiri di tengah dua puluh orang itu bertubuh besar.
Bajunya terbuat dari kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang dibiarkan
terurai. Tangan kirinya memakai gelang bahar berukuran besar berwarna hitam mengkilat.
Wajahnya polos tanpa kumis dan jenggot. Namun, sorot matanya demikian tajam
berkilat, laksana seekor harimau liar.
Sehingga membuat siapa pun yang bertatapan dengannya pasti merasa takut dan
ngeri. "Apa yang kalian dapat hari ini Gidon, Wowor"!"
bentak orang bertubuh besar itu yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.
"Hanya pepesan kosong, Ki Warkala...," sahut orang laki-laki berkumis tebal,
yang ternyata bernama Gidon. Sedangkan kawannya yang satu datang bersamanya,
tadi dipanggilnya dengan nama Wowor.
"Daripada tidak dapat sama sekali, kami hanya berhasil merampok gerobak butut
dan kerbau ini"
timpal Wowor. "Keparat!" orang yang dipanggil Ki Warkala itu menggeram sambil mengepalkan
tangannya. Melihat perubahan wajah Ki Warkala, semua anak buahnya terlihat membisu sambil
menundukkan kepala. Mereka tahu, apa artinya itu. Dan tak seorang pun yang berani bersuara.
"Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus!" lanjut Ki Warkala,
masih dengan suara seram.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki...?" tanya Gidon, lirih.
Ki Warkala memandang laki-laki berkumis tebal itu sekilas. Kemudian, matanya
menatap lurus ke depan.
"Aku sudah punya rencana...," gumam Ki Warkala.
"Rencana apa itu, Ki?" tanya Wowor.
"Kalian tahu Bukit Serigala?"
"Siapa yang tak kenal tempat itu," sahut Gidon.
"Bagus! Kita akan berangkat ke sana, dan menguasai tempat itu!" sahut Ki Warkala
mantap. "Menguasai Bukit Serigala"!" kata beberapa orang serentak, dengan wajah tak
percaya. "Kenapa" Kalian takut ke sana"!" ujar Ki Warkala, agak mendengus.
"Bukan begitu, Ki. Tapi...," sahut Gidon ragu.
"Tapi kenapa"!" bentak Ki Warkala, menggeledek.


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah di tempat itu telah bercokol Ki Lodaya yang berjuluk Serigala Iblis
Bercambuk Emas"
Bahkan dia tak sendirian, tapi beserta dua orang muridnya. Dan kabarnya juga, di
tempat itu banyak kawanan serigala yang patuh pada perintah mereka,"
jelas Gidon, mengemukakan kekhawa-tirannya.
"Apakah kau ingin kusebut penakut?" tanya Ki Warkala dengan sorot mata tajam
menusuk. "Eh! Bukan begitu, Ki. Tapi...."
"Diam!" bentak Ki Warkala nyaring.
Dipandanginya anak buahnya satu persatu dengan sorot mata tajam menusuk.
"Perampok Macan Loreng selama ini tak pernah
takut pada siapa saja. Apa yang kita inginkan, harus didapatkan. Aku tak ingin
kalian berjiwa pengecut!
Dan lagi, kita tak bisa terus-menerus berada di tempat ini, sementara Serigala
Iblis Bercambuk Emas beserta dua orang muridnya bergemilang harta di sana!
Padahal, hanya mereka bertiga. Sedangkan kita, jauh lebih banyak daripada
mereka. Maka, akan kita hancurkan mereka sekarang juga. Dan siapa yang tak mau
ikut, akan menerima hukuman dariku!"
kata Ki Warkala, dengan suara keras.
"Aku ikut, Ki...!" sahut Wowor, terdengar bergetar.
Mendengar jawaban Wowor, yang lain satu ada seorang pun yang berani membantah Ki
Warkala. Dan kalau ada yang membantah, maka dia tak akan segan-segan membunuh.
Masih untung, Gidon tak menerima hukuman. Memang, Gidon adalah orang kepercayaan
Ki Warkala. Tapi bila anak buah yang lain, maka bisa dipastikan nyawanya akan
melayang dihukum Ki Warkala, jika berani membantah.
"Kita berangkat sekarang juga!" lanjut Ki Warkala.
*** Di kaki Bukit Serigala, suasana terasa lengang.
Hawa dingin terasa menyapu sekitarnya, di antara kabut yang belum seluruhnya
sirna. Daun-daun dan rerumputan masih basah oleh embun. Rombongan Ki Warkala
tampak bergerak perlahan-lahan dengan mata tajam mengawasi keadaan
sekelilingnya. "Waspada! Jangan lengah!" bisik Ki Warkala pada anak buahnya.
"Baik, Ki."
"Jangan berpencar! Kalian harus saling mengawasi satu sama lain!" lanjut Ki
Warkala kembali.
Semua anak buah Ki Warkala mengangguk cepat.
"Aduh! Apa ini"!" sentak salah seorang anak buahnya, ketika tubuhnya terjerembab
karena tersandung sesuatu di tanah.
"Astaga! Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia!" desis kawannya, ketika
melihat ke bawah.
Yang lainnya tersentak kaget, ketika mengetahui apa yang terdapat di sekitar
tempat itu. Wajah mereka tampak cemas, rasa ketakutan kini mulai merasuki hati
mereka. "Ada apa ribut-ribut"!" sentak Ki Warkala geram.
"Anu, Ki. Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia...," sahut Gidon, takuttakut. "Keparat! Apa yang kalian takutkan dengan tulang-belulang itu" Apa dia bisa
melawan kalau dihajar"!"
geram Ki Warkala, sambil melotot.
"Eh! Ti..., tidak, Ki..."
"Sudah! Kalau begitu, jangan ribut! Sekali lagi kudengar teriakan ketakutan,
kupecahkan batok kepala kalian!"
Semua anak buah Ki Warkala menelan ludah, menahan rasa takut. Mata mereka
melotot lebar, seolah-olah di sekeliling tempat itu penuh hantu yang siap
mencekik kapan saja. Wajah mereka tampak semakin pucat, dan rasa takut semakin
menjadi-jadi bergolak di hati. Keadaan di tempat itu sendiri masih terasa sunyi
mencekam. Sampai kemudian, mereka disentakkan oleh lolongan serigala yang
terdengar sayup-sayup di kejauhan.
"He, kurang ajar!" maki Ki Warkala yang ikut tersentak kaget.
Kembali terdengar lolongan serigala. Kali ini, nadanya pendek dan terdengar tak
jauh dari tempat ini....
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buahnya dengan suara bergetar.
"Diam!" bentak Ki Warkala mulai kalut.
"Ha ha ha! Siapa yang berani cari mati memasuki daerah kekuasaanku...!"
Tiba-tiba terdengar suara keras yang nyaring.
Seolah-olah, suara itu berasal dari segala penjuru.
"Heh"!"
Mereka yang berada di tempat itu kontan jadi terkejut. Termasuk Ki Warkala.
Namun, dia cepat-cepat menguasai diri.
"Siapa kau"! Tunjukkan dirimu! Kami adalah Gerombolan Perampok Macan Loreng!" Ki
Warkala balas membentak lantang.
*** "Ha ha ha...! Perampok tengik semacam kalian mau bertingkah di sini. Pergilah
sebelum kalian menjadi tulang-belulang!" kembali terdengar suara yang keras dan
lantang. "Keparat! Tunjukkan dirimu di hadapan kami!"
bentak Ki Warkala geram.
"Kalian tak ada derajat untuk berhadapan denganku!"
"Phuih! Siapa pun dirimu, aku tak peduli. Dan sekarang kutegaskan, mulai hari
ini kami yang menguasai Bukit Serigala. Maka yang coba-coba menghalangi, akan
mampus di tanganku!"
"Ha ha ha...! Perampok Tengik Macan Loreng, sesumbarmu tak ada artinya. Aku
Serigala Iblis Bercambuk Emas, penguasa tempat ini. Siapa pun yang berada di
wilayah kekuasaanku, harus tunduk padaku. Dan karena kau telah sesumbar bacot,
maka kau dan seluruh anak buahmu harus mampus!"
"Huh! Serigala Iblis Bercambuk Emas, buktikanlah kata-katamu kalau memang
mampu!" sahut Ki Warkala menantang.
"Auuung...!"
"Heh"!"
Baru saja Ki Warkala selesai berkata, mendadak terdengar raungan serigala yang
saling bersahutan.
Bahkan amat dekat dari tempat mereka berada. Ki Warkala dan anak buahnya kontan
tersentak kaget.
Dan samar-samar di antara kabut yang mulai menipis, tampak jelas puluhan ekor
serigala telah mengurung tempat itu sambil memperlihatkan lidahnya yang terjulur
meneteskan air liur. Sorot mata binatang itu terlihat liar dan buas.
"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buah Ki Warkala bernada ketakutan.
Tapi Ki Warkala tak mengacuhkan kecemasan anak buahnya. Sambil bertolak
pinggang, matanya merayapi sekeliling tempat itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Apakah kau seorang pengecut, sehingga beraninya
hanya mengandalkan binatang-binatang menjijikkan itu"!"
"Ha ha ha...! Kalian sama menjijikan dengan binatang-binatang itu. Maka untuk
itulah aku perlu mendatangkan lawan yang sepadan. Nah, Sobat Nikmatilah
keramahan mereka.
Ctarrr! "Graungrrr...!"
Tiba-tiba terdengar lecutan cambuk, yang disusul raungan serigala yang siap
mendapatkan mangsa.
"Awaaas!"
Bersamaan dengan itu, serigala-serigala yang mengurung tempat itu bersamaan
menerjang Gerombolan Perampok Macan Loreng. Sementara, anak buah Ki Warkala tampak
terkejut untuk sesaat.
Namun seketika, mereka mencabut golok masing-masing.
"Hiyaaa...!"
"Huh! Binatang-binatang celaka, mampuslah kalian!"
Sambil menggeram penuh amarah, Ki Warkala menerjang dua ekor serigala yang
melompat berbarengan menerkamnya. Sementara, dua ekor lagi menerkamnya dari
samping. Ujung golok laki-laki tua itu langsung berkelebat cepat. Hasilnya,
perut dua ekor serigala berhasil dirobek goloknya. Hewan itu kontan menjerit
melengking secara bersamaan.
Tubuh kedua hewan itu terjungkal di tanah dalam keadaan bermandikan darah, dan
tak bergerak-gerak lagi. Untung saja laki-laki tua itu cepat memiringkan
tubuhnya, dan terus melompat ke belakang.
Maka terkaman yang mematikan dari dua ekor Serigala itu berhasil dihindarinya.
"Aaa...!"
"Heh"!"
"Graungrrr...!"
Ki Warkala terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan beberapa orang anak
buahnya. Terlihat beberapa orang anak buahnya sudah terjungkal diterjang
beberapa ekor serigala yang langsung mengerubuti dan merencah tubuh mereka yang
terluka. Darah seketika membajiri tempat itu, dibarengi pekik kesakitan yang
menyayat. Dengan amarah meluap-luap, laki-laki tua itu melompat membantu. Namun,
lima ekor serigala lain cepat menghadang dari lima arah yang berbeda.
"Binatang-binatang laknat, mampuslah kalian
semua...!" dengus Ki Warkala.
"Graungrrr...."
"Hiiih!"
Berkali-kali Ki Warkala menyabetkan goloknya.
Namun kali ini kawanan serigala itu seperti mengerti lawannya yang satu ini tak
bisa dianggap enteng.
Itulah sebabnya, binatang-binatang liar ini melompat menerkam dengan lompatan
tinggi yang tak
diperhitungkan sebelumnya oleh Ki Warkala. Dikira, serigala-serigala itu akan
menyerangnya. Padahal, hewan-hewan buas itu hanya membingungkannya saja,
sehingga membuatnya kelelahan.
Ciet... Ciet! Ciet... Ciet! "Heh"!"
Pendengaran Ki Warkala yang tajam tiba-tiba menangkap suara angin yang aneh di
antara hiruk-pikuk raungan serigala dan teriakan-teriakan anak buahnya yang
menghadapi amukan hewan-hewan liar itu. Namun belum lagi bisa menduga apa yang
akan terjadi...
"Aaa...!"
Sekonyong-konyong terdengar kembali pekikan panjang yang bersahutan dari anak
buahnya. Tiga orang yang tumbang sekaligus, langsung diterkam serigala-serigala
kelaparan itu. "Keparat! Kalian telah bermain curang, he"!"
geram Ki Warkala ketika menyadari adanya sambaran senjata rahasia yang sengaja
dilemparkan ke arah anak buahnya.
Baru saja orang tua itu akan melompat ke arah sesosok bayangan yang muncul tibatiba di tempat itu, kembali mendesir angin kencang ke arahnya.
Buru-buru Ki Warkala melompat menangkis dengan
golok di tangan.
"Hup!"
Trang! Trak! Dalam keadaan repot menangkis senjata rahasia yang bertubi-tubi menyerangnya,
seekor serigala menerkam punggung kiri Ki Warkala. Laki-laki tua itu terkesiap,
namun tidak bisa berbuat banyak lagi.
Maka.... Brettt! "Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya berbalik, seraya
mengayunkan goloknya ke belakang untuk menyambar serigala itu. Akibatnya hewan
liar itu melolong kesakitan. Bahkan tubuhnya langsung terbelah dua. Tapi, saat
itu juga kembali mendesir angin kencang dari senjata rahasia sebuah sosok
bayangan yang mengancam keselamatan Ki Warkala. Dua buah berhasil di tangkis
goloknya, namun...
"Aaakh!"
Ki Warkala langsung mengeluh kesakitan, ketika sebuah senjata rahasia menancap
di pahanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang.
Dengan cepat, dicabutnya senjata rahasia yang berupa paku sebesar telunjuk itu.
Tampak di sekitar lukanya telah berubah menjadi biru yang me-nandakan kalau paku
itu beracun. Dan agaknya racun itu cepat menjalar. Ki Warkala seketika merasakan
kaki kanannya sulit digerakkan lagi. Peredaran darahnya seperti terhenti dan
otot-ototnya langsung kejang. Namun, orang tua itu masih berhasil menghindar
dengan menjatuhkan diri, ketika dua ekor serigala menerkamnya. Dan baru saja
tubuhnya menyentuh tanah, kembali terdengar pekik kesakitan
dari anak buahnya. Tiga orang telah ambruk dan langsung diterkam kawanan
serigala itu. Darah mulai menggenangi tempat itu, setelah didahului oleh
teriakan kematian yang memilukan.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Hadapilah aku, kalau kau memang jantan. Jangan
bisanya hanya mengandalkan binatang-binatang keparat itu!" teriak Ki Warkala
geram setelah berhasil menghindari terkaman dua ekor serigala. Dan kedua
binatang buas itu langsung menyerang anak buah Ki Warkala.
*** 4 "Ha ha ha...! Kenapa tanganku mesti kotor oleh darah busuk kalian" Tapi agar
kematianmu lebih berarti, baiklah. Akan kusambut tantanganmu itu!" sahut sebuah
suara yang tak jelas wujudnya.
Ctarrr! Kembali terdengar cambuk membelah angkasa.
Maka, satu persatu kawanan serigala itu kontan menghentikan serangannya. Dan,
perlahan-lahan mereka menjauhi gerombolan Perampok Macan Loreng yang kini
tinggal tujuh orang, termasuk Ki Warkala. Memang sebagian besar telah tewas
diterkam kawanan serigala itu. Dan sebagian lagi, tersambar senjata rahasia
berupa paku-paku beracun.
Di hadapan Gerombolan Perampok Macan Loreng, kini berdiri sesosok bertubuh tegap
terbungkus kulit hitam. Rambutnya yang riap-riapan sepanjang bahu, dibiarkan
begitu saja tak terurus. Mata kirinya ditutupi kain hitam, namun mata kanannya
menatap tajam satu persatu lawan-lawannya. Kemudian, kepalanya berpaling kepada
Ki Warkala. "Majulah kalau ingin mampus!" dengus laki-laki bertubuh tegap itu dingin.
Ki Warkala memandang agak lama pada laki-laki di hadapannya. Ternyata, orang itu
hanya memegang sebatang tombak bermata tiga. Jadi, bukan senjata cambuk seperti
dugaan sebelumnya. Lalu, dari mana datangnya suara cambuk tadi"
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Ki Warkala, seraya
menatap tajam laki-laki yang memegang sebatang tombak bermata tiga.
"Bukan. Aku Serigala Mata Satu, murid kedua Serigala Iblis Bercambuk Emas!"
"Huh! Aku ingin bertemu dan bertarung melawan gurumu! Pergilah kau, Bocah. Dan,
panggil gurumu ke sini untuk menghadapiku!" sahut Ki Warkala, menganggap remeh
lawannya. "Ha ha ha...! Dasar macan ompong! Nyawamu sudah di ujung tanduk saja, tapi masih
berlagak. Kau masih beruntung berhadapan denganku, sehingga mau tak percuma
direncah serigala-serigala kelaparan itu. Nah, bersiaplah kau!" ejek laki-laki
bertubuh tegap, yang ternyata Rajendra atau berjuluk Serigala Mata Satu.
Ki Warkala bergerak ke samping, ketika ujung tombak Rajendra menyambar
kepalanya. Dan tubuhnya langsung melompat ke belakang, ketika Serigala Mata Satu menyusuli
dengan satu tendangan keras. Namun, ketika ujung tombak Rajendera terus
berkelebat cepat menyambar, Ki Warkala tak bisa berbuat banyak. Maka....
Bet! Bet! "Aaakh!"
Ki Warkala kontan menjerit kesakitan, ketika sambaran ujung tombak merobek kulit
dadanya. Seketika, beberapa tulang rusuknya terasa ngilu.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memuntahkan darah kental berwarna
kehitaman. Agaknya, racun yang berasal dari mata tombak Serigala Mata Satu bekerja cepat.
Bahkan langsung mempengaruhi seluruh aliran darahnya. Terbukti, Ki Warkala
kemudian jatuh ke tanah, dan langsung
menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan.
Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga tubuhnya kembali terjerembab!
"Ke..., kenapa kalian di..., diam saja" Ha..., hajar dia...!" ujar Ki Warkala
pada anak buahnya dengan suara terbata-bata.
Namun kemudian terlihat laki-laki itu kembali berguling-gulingan menahan rasa
sakit yang semakin hebat di sekujur tubuhnya.


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ti..., tidak. Lebih baik aku menyelamatkan diri saja," sahut salah seorang anak
buah Ki Warkala.
Dan dia langsung kabur dari tempat itu.
Ternyata, perbuatan itu diikuti dua orang kawannya yang lain. Namun baru saja
mereka berlari sejauh lima tombak, sekonyong-konyong kawanan serigala yang masih
berjaga-jaga di tempat itu menerkam tanpa kenal ampun.
"Graungrrr...!"
"Aaa...!"
Dalam sekejap, ketiga orang itu ambruk bersimbah darah. Dan seketika kawanan
serigala yang kelaparan itu merencah daging mereka tanpa tersisa lagi.
"Biadab!" geram salah seorang anak buah Perampok Macan Loreng yang masih
tersisa. "Aaa...!"
Mendadak mereka dikejutkan oleh lenguhan
panjang Ki Warkala ketika tubuhnya mengejang.
Darah kental berwarna kehitaman tampak mengalir dari sudut-sudut bibirnya.
Sepasang matanya melotot.
Dan saat itu pula, nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menjadi biru kehitamhitaman! "Serigala Mata Satu! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus anak buah Perampok
Macan Loreng yang lain.
"Sayang, kalian juga akan mampus!" dengus Serigala Mata Satu sambil melompat ke
arah mereka sambil mengayunkan tombaknya.
"Awaaas...!" teriak salah seoang di antara anak buah Ki Warkala memperingatkan
ketiga kawannya.
Serigala Mata Satu bergerak cepat sambil
mengayunkan tombaknya ke arah lawan. Dua orang berhasil menghindar dengan
menundukkan kepala.
Namun ketika tubuh Rajendra berbalik, yang seorang tak sempat menghindar ketika
Serigala Mata Satu langsung melancarkan tendangan.
Desss! Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah. Dan
belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, kawanan serigala sudah
menerkamnya. "Aaa...!"
Sementara itu seorang lagi anak buah Ki Warkala terus mencoba menghindari
tendangan Rajendra dengan memiringkan badan. Namun, rupanya
gerakan itu hanya tipuan belaka. Karena, justru kepalan kiri si Serigala Mata
Satu sudah cepat menghantam telak dadanya. Akibatnya tubuh orang itu kontan
terjengkang ke belakang, dan kembali disambut kawanan serigala itu dengan
buasnya. *** Dua orang dari Perampok Macan Loreng yang tersisa kini hanya diam sejenak sambil
memandang ke arah Serigala Mata Satu yang tegak berdiri mengawasi. Wajah mereka
tampak pucat, sejenak mereka saling berpandangan, kemudian perlahan-lahan mundur
ke belakang. Namun baru saja
beberapa langkah, terdengar beberapa ekor serigala menggeram buas. Tentu saja
hal ini membuat keduanya tersentak kaget. Wajah mereka semakin pucat, dan
keringat dingin mulai mengucur deras dengan tubuh gemetar.
"Tinggal kalian berdua sekarang. Nah, bersiaplah untuk mampus!" dingin sekali
suara Serigala Mata Satu sambil melangkah perlahan mendekati kedua lawannya.
"Kisanak, ampunilah kami! Tolong, jangan bunuh kami...!" pinta keduanya, seraya
bersujud ke tanah menghiba.
"Ha ha ha...! Ternyata kalian kenal takut juga.
Baiklah, kalian akan kuampuni. Nah! Berdiri, dan cepat pergi dari sini!" sahut
Serigala Mata Satu.
"Oh, benarkah" Terima kasih, Kisanak. Terima kasih! Kami tentu tak akan
melupakan budi baikmu!"
kata mereka serentak sambil bersujud beberapa kali.
Kemudian dengan cepat, tubuh mereka berbalik dan berlari terbirit-birit
meninggalkan tempat itu.
Seperti mengerti apa yang dikatakan Serigala Mata Satu, kawanan serigala yang
berada di sekitar tempat itu mendiamkan saja kedua orang yang kabur.
Namun baru saja mereka belari kira-kira sepuluh tombak, tubuh Serigala Mata Satu
melompat ke atas sambil berputar.
'Hup!" Ser! Ser! Dari sebelah tangan Rajendra langsung melesat beberapa buah paku beracun.
Senjata rahasia itu terus meluncur deras, menghantam punggung kiri sisa terakhir
anak buah Ki Warkala.
Crab! Crab! "Aaa...!"
Kedua orang itu langsung tersungkur ke tanah sambil menjerit kesakitan.
"Itu bagian kalian!" dengus Serigala Mata Satu sambil membelakangi kedua
lawannya yang terkapar.
"Graungrrr...!"
Begitu selesai kata-katanya, maka seketika itu juga kawanan serigala itu
melompat menerkam kedua orang yang tengah sekarat di tanah dengan tubuh membiru.
Mereka terus memekik setinggi langit, namun dalam sekejap suara itu sudah
berhenti. Kini di tempat itu telah basah oleh darah.
"Huh!" Serigala Mata Satu mendengus sinis, kemudian perlahan meninggalkan tempat
itu. Namun baru saja beberapa langkah berjalan, mendadak sekelebat bayangan hitam
melesat ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga suaranya nyaris tak terdengar.
Serigala Mata Satu menunduk sambil mengayunkan tombaknya ke atas. Namun, tubuhnya hanya seperti menyambar angin belaka.
Pandangannya yang tajam langsung melihat sesosok bayangan hitam kembali
berkelebat menyambar ke arahnya.
"Hiiih!"
Cepat Rajendra mengayunkan tombaknya
menyambut serangan lawan. Namun, bayangan hitam itu menghindar ke samping. Dan
kemudian satu tendangan keras nyaris membuat batok kepala Rajendra pecah, kalau
tak cepat bergulingan. Jelas, tendangan itu keras bukan main. Dan itu dapat
dirasakan dari angin sambarannya. Rajendra terus bergulingan, sementara bayangan
hitam itu terus mencecarnya.
Bahkan kaki bayangan hitam itu nyaris membuat tubuhnya hancur kalau saja tidak
terus bergulingan.
Jder! Terdengar suara besar menggelegar, begitu kaki bayangan hitam itu tidak menemui
sasaran, dan hanya menghantam tanah. Terlihat bekas tapak kaki di tanah yang
melesak sedalam hampir dua jengkal.
Padahal, tanah di tempa itu keras dan berbatu!
Ser! Ser! Meski begitu, Rajendra masih mampu
melemparkan beberapa buah senjata rahasi ke arah bayangan hitam yang masih
melesat ke arahnya.
Seketika bayangan hitam itu menangguhkan
serangannya, dan langsung berjumpalitan menghindar sambil mengebutkan tangannya.
Terdengar bunyi berdenting ketika senjata rahasia berbalik menyerang diri
Rajendra sendiri.
"Hup! Sial...!"
Serigala Mata Satu memaki geram sambil
melompat ke depan, menghindari senjatanya sendiri.
Namun saat itu, satu sambaran serangan bayangan hitam itu kembali mengincar
menderu batok kepalanya. Begitu cepat gerakan bayangan hitam itu, sehingga tak
ada waktu lagi bagi Rajendra untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya hantaman
yang mengincar kepalanya.
Plak! "Uhhh!"
Rajendra atau Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan ketika pergelangan tangannya
terasa sakit dan linu sekali, akibat berbenturan dengan tangan bayangan hitam
itu tadi. Tapi masih untung tubuhnya cepat bergulingan, ketika merasakan satu
sapuan keras kembali mengarah ke dada.
"Kurang ajar!"
Cepat-cepat tombak di tangan Rajendra diputarputar bagai kitiran untuk melindungi pertahanan dada, sekaligus mendesak lawan.
Dalam sekejap saja, tempat di sekitar itu bertiup angin kencang yang
menerbangkan dedaunan kering dan debu, sehingga menghalangi pandangan.
"Hiyaaa...!"
Dalam keadaan begitu, terdengar bentakan
nyaring dari bayangan hitam itu. Sementara Serigala Mata Satu balas meningkatkan
tenaga dalamnya saat memainkan tombak. Namun, mendadak tubuhnya bergetar hebat.
Bahkan genggaman pada tombaknya nyaris mengendur ketika membentur sebuah benda
sekeras baja. Tubuhnya langsung ter-huyung-huyung ke belakang, namun masih
sempat melemparkan senjata rahasia.
'Yeaaa!" Ser! Ser! Tubuh sosok berpakaian serba hitam itu cepat melesat dan berputaran beberapa
kali, menghindari serangan senjata rahasia Rajendra. Namun tanpa diduga sama
sekali, sosok berpakaian hitam itu terus melesat ke arah Rajendra. Tak ada
kesempatan lagi buat Serigala Mata Satu untuk menghindar. Dan tiba-tiba saja
dadanya terasa mendapat hantaman keras, sehingga membuatnya terjungkal ke tanah
sambil menjerit kesakitan. Masih untung, sosok bayangan hitam itu tak
melanjutkan serangan. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat dan tegak
berdiri mengawasi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Hanya Segitukah kehebatanmu?"
Serigala Mata Satu cepat bangkit dengan wajah gusar. Mulutnya nampak meringis,
karena dadanya terasa nyeri. Kini bisa terlihat jelas, siapa penyerangnya.
Ternyata, dia adalah seorang laki-laki
berpakaian serba hitam. Rambut yang panjang, diikat pita hitam pula. Kulitnya
putih bersih. Dan melihat dari raut wajahnya, paling tidak laki-laki yang
menggenggam sebilah pedang besar itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Tampangnya tak seram, bahkan penuh senyum.
"Siapa kau"!" bentak Rajendra.
Namun sebelum pertanyaan itu terjawab,
mendadak melesat sesosok tubuh yang langsung menjejakkan kaki di samping
Serigala Mata Satu.
"Rajendra, minggiriah! Kau bukan tandingan si Dewa Bermuka Bulan!"
*** "Guru!" Serigala Mata Satu langsung menjura hormat ketika melihat kemunculan
gurunya, yang jelas berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"Ha ha ha...! Hm.", jadi inikah tampang si Serigala Iblis Bercambuk Emas yang
kesohor itu?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam itu yang tadi telah
menyerang Serigala Mata Satu.
Serigala Iblis Bercambuk Emas tersenyum sinis, di hadapan laki-laki yang
ternyata berjuluk Dewa Bermuka Bulan, berjarak lima langkah. Sorot matanya tajam
menusuk seperti ingin menduga, sampai sejauh mana kekuatan Dewa Bermuka Bulan.
"Dewa Bermuka Bulan! Angin apa yang mem-bawamu jauh-jauh datang ke tempatku
ini?" "He he he..." Apakah seorang dewa memerlukan angin untuk membawanya ke sini"
Hidungku men-cium bau tak sedap di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, aku telah
berada di sini!" sahut Dewa Bermuka Bulan, cengar-cengir.
"Jangan berbelit-belit! Katakanlah, apa yang kau inginkan sebenarnya" Apakah kau
juga ingin menguasai tempat ini seperti kawanan busuk yang menamakan diri
Perampok Macan Loreng itu?"
"Ha ha ha...! Apakah kau menganggapku demikian rendah, hanya untuk menguasai
tempat busuk ini"
Heh, Serigala Iblis Bercambuk Emas! Ke-datanganku ke sini bukan karena silau
oleh harta benda curianmu, tapi karena urusan nyawa!" tandas Dewa Bermuka Bulan.
"Hm, sudah kuduga. Lalu, nyawa siapa yang akan kau tebus dariku?" tanya Serigala
Iblis Bercambuk Emas. Suaranya terdengar datar, dan sama sekali tak terkejut.
"Masih ingatkah dengan Ki Srengseng yang kau bunuh beberapa hari yang lalu?"
"Ki Srengseng" Apakah yang kau maksudkan adalah si Pedang Bertangan Delapan?"
'Tepat! Dan dia adalah kakakku!"
"Ha ha ha...! Jelas sudah kedatanganmu ke sini.
Tapi sebaiknya berpikirlah seribu kali, untuk niatmu itu!" sahut Ki Lodaya alis
Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"He he he...! Aku bahkan tak perlu berpikir untuk datang ke sini. Apa yang musti
kukhawatirkan darimu" Masalahnya, kau tak lebih dari kecoa busuk yang bisanya
hanya menakut-nakuti orang-orang lemah saja!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil
tertawa terkekeh-kekeh.
"Julukan Dewa Bermuka Bulan memang sudah tersohor dan memiliki kepandaian
tinggi. Tapi berhadapan denganku, kau mesti hati-hati! Ingat kakakmu saja mampus
di tanganku. Apalagi kau!"
balas Ki Lodaya mengingatkan.
"Heh" Apakah kau sudah pikun atau benar-benar tuli" Bukankah sudah kukatakan,
bahwa kau bisanya hanya menakut-nakuti orang lemah dan tak memiliki kepandaian
apa-apa" Kuakui, kakakku memang kalah denganmu. Tapi terhadapku, jangan cobacoba pamer gertakan busukmu itu!" dengus Dewa Bermuka Bulan.
"Huh! Kita akan buktikan sekarang juga! Ayo, balaskanlah dendam kakakmu itu!"
tantang Ki Lodaya seraya memasang jurus, siap menghadapi lawan.
"He he he...! Silakan, Kawan. Ingin kulihat kepandaianmu. Apakah gembar-gembormu
sepadan dengan kenyataannya?" kata Dewa Bermuka Bulan tenang sambil menggenggam
pedang erat-erat.
"Hiyaaa!"
Serigala Iblis Bermuka Emas langsung bergerak cepat bagai sapuan angin, mengirim
satu tendangan keras ke aras Dewa Bermuka Bulan. Namun dengan enteng, laki-laki
berpakaian serba hitam itu me-rapatkan telapak tangan kirinya ke dada. Kemudian
ditangkisnya tendangan Ki Lodaya.
Plak! Serigala Iblis Bercambuk Emas terperanjat.
Ternyata Dewa Bermuka Bulan sedikit pun tak merasakan kesakitan akibat benturan
tadi. Malah masih sempat mengayunkan kaki kanan, menghajar ke arah dadanya.
Masih untung tubuhnya cepat di-putar ke samping dan terus meloncat ke atas.
Langsung kepalan tangannya diayunkan ke batok kepala laki-laki berpakaian serba
hitam itu. "Yeaaa!"
"Huh!"
Namun dengan lincah, tubuh Dewa Bermuka Bulan berputar ke samping untuk
menghindarinya. Laki-laki
berwajah tampan itu kemudian menyodokkan kaki kirinya ke dagu Ki Lodaya.
"Hiiih!"
"Uts, ha!"
Ki Lodaya cepat bagai kilat mundur dua langkah.
Kemudian tubuhnya berbalik sambil mengayunkan satu sapuan kaki yang keras ke
arah perut. Tapi, Dewa Bermuka Bulan telah melompat ke atas, seraya menghindar
dengan kaki kanan ke arah dada.
Agaknya, Ki Lodaya telah menduga hal itu. Maka cepat tubuhnya ditundukkan.
Dewa Bermuka Bulan jelas bersikap ksatria, untuk tidak mengguliakan pedang di
tangan kanannya. Dia melihat, Ki Lodaya juga belum menggunakan senjata Namun
hanya menggunakan tangan kiri untuk menyerang, itu sama artinya merendahkan
kemampuan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dan hal itu membuat Ki Lodaya sudah
menjadi gusar. Maka dengan geram Ki Lodaya segera merangsek Dewa Bermuka Bulan
disertai pengerahan ilmu silat tingkat tinggi yang dimiliki. Sehingga yang
terlihat hanya kelebatan tubuhnya yang bergerak amat cepat dan ringan sekali.
Tapi Dewa Bermuka Bulan ternyata bukan orang sembarangan. Kemampuannya sebagai
tokoh tingkat atas yang tak mudah dipecundangi begitu saja, segera dibuktikan.
Tubuhnya segera berkelebat ringan, mengikuti gerakan Ki Lodaya. Bahkan sesekali
menusuk pertahanan Ki Lodaya, sehingga membuat kelabakan laki-laki tua itu.
Memasuki jurus yang kedua puluh dua, pertarungan kian meningkat sengit.
Ki Lodaya kini menyerang gencar, dan menghajar ke mana saja Dewa Bermuka Bulan
bergerak. Namun dengan lincah tubuh laki-laki tampan itu merunduk ke
bawah. Dan kepalan kakinya cepat diayunkan, menyodok ke perut. Tak ada waktu
lagi untuk menghindar. Maka Ki Lodaya terpaksa menangkis sodokan tangan kiri
itu. Plak! "Uhhh...!"
"Hiiih!"
Ki Lodaya terkejut setengah mati, begitu
tangannya terasa bergetar hebat akibat benturan tadi. Tubuhnya cepat melompat ke


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang, ketika Dewa Bermuka Bulan menyusul dengan satu
tendangan keras ke arah perut. Dan begitu tendangannya tidak menemui sasaran,
Dewa Bermuka Bulan segera melompat mengejar. Kembali dikirimkannya satu sodokan keras
ke arah dada. Ternyata hal ini membuat Ki Lodaya terkejut, dan bersiap menangkis. Namun ketika
kedua tangan mereka hampir beradu, Dewa Bermuka Bulan
menarik serangannya. Dan tubuhnya segera berputar cepat dengan kaki kanan
menghantam ke arah perut.
Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Lodaya tidak bisa menghindarinya.
Begkh! "Aaakh!"
*** Tubuh Ki Lodaya kontan terjajar ke belakang beberapa langkah sambil memegangi
perutnya yang terasa mual akibat tendangan Dewa Bermuka Bulan tadi. Masih untung
keseimbangan tubuhnya bisa terjaga, sehingga tidak jatuh.
Bocah Titisan Iblis 1 Manusia Harimau Merantau Lagi Karya S B. Chandra Petaka Kuil Tua 1

Cari Blog Ini