Ceritasilat Novel Online

Darah Di Bukit Serigala 2

Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala Bagian 2


"Guru...!"
Serigala Mata Satu yang sejak tadi masih berdiri di
situ sambil memperhatikan pertarungan, tersentak kaget. Buru-buru dihampirinya
Ki Lodaya yang juga gurunya itu.
"Minggir!" sentak Ki Lodaya dengan muka merah menahan malu.
Ki Lodaya menatap tajam ke arah Dewa Bermuka Bulan. Seakan-akan lewat
tatapannya, dia ingin menelan bulat-bulat laki-laki berpakaian serba hitam di
depannya. "He he he...! Agaknya kau tak bersungguh-sungguh menghadapiku, Kisanak. Nah,
berhati-hatilah," sindir Dewa Bermuka Bulan.
Ki Lodaya cepat akan menyerang lawan kembali, dengan jurus barunya. Namun saat
itu juga, melesat satu sosok bayangan di sampingnya, dan langsung menjura
memberi hormat padanya.
"Guru! Izinkan aku menghajar orang sombong itu...," pinta sosok bayangan itu.
"Gumarang! Menepilah kau! Apa kau pikir aku tak mampu merobek mulutnya" Huh! Kau
ini hanya membuat malu saja!" dengus Ki Lodaya.
"He he he...! Jadi, kaukah yang berjuluk Serigala Buntung" Hm.... Semangatmu
boleh juga, Kisanak.
Tapi, sebaiknya kau memang menepi. Dan jangan mencampuri urusan gurumu," sahut
Dewa Bermuka Bulan enteng.
Serigala Buntung yang bernama asli Gumarang, sudah hendak menghajar lawan sambil
menggeram buas. Namun....
"Gumarang, minggir kataku!" bentak Ki Lodaya garang, langsung mencegah.
Terpaksa Gumarang menyurutkan langkahnya
seraya menahan perasaan geram di hati. Dan dia hanya bisa memperhatikan gurunya
yang sudah bersiap menghadapi Dewa Bermuka Bulan sambil memegang cambuk emasnya di tangan.
"Kisanak, silakan. Aku sudah siap...," lanjut Ki Lodaya dingin.
"Ha ha ha...! Aku pun telah siap sejak tadi. Hm...
Begitu lebih baik. Jadi, rasanya aku mendapat kehormatan untuk mencicipi ilmu
cambukmu yang hebat itu!" sahut Dewa Bermuka Bulan tenang.
"Dewa Bermuka Bulan, hati-hatilah! Sekali cambuk ini terlecut, maka aku tak bisa
menahan kawanan serigala yang akan menerkammu dengan buas!" Ki Lodaya memberi
peringatan. "Kau juga patut berhati-hati, Kisanak. Pedangku ini tak bermata, karena tak
pernah peduli pada orang yang akan mampus disambarnya!" kata Dewa Bermuka Bulan,
dingin. "Hiyaaa. ..!"
Ctarrr! Sekali Ki Lodaya membentak, maka saat itu juga cambuk di tangannya melecut
membelah angkasa.
Seketika terdengar suara keras yang memecah udara pagi menjelang siang ini.
"Grrr...!"
"Graungrrr...!"
Dan begitu mendengar suara lecutan cambuk itu, kawanan serigala yang masih
berada tak jauh dari situ menggeram liar. Dan ketika kembali terdengar lecutan
cambuk, maka secara bersamaan binatang-binatang liar itu menerjang ke arah Dewa
Bermuka Bulan disertai raungan keras. Sementara, Ki Lodaya pun seperti berpacu
dengan kawanan serigala itu sambil mengayunkan cambuknya ke arah Dewa Bermuka
Bulan. Ctar! Dewa Bermuka Bulan cepat melompat ke atas sambil menyilangkan pedang di
tangannya. Tubuhnya terus berputaran beberapa kali untuk menghindari kejaran
ujung cambuk Ki Lodaya, sekalian berkelit dari terkaman kawanan serigala liar.
"Hup!"
Dewa Bermuka Bulan lalu meluncur ke bawah, sambil membabatkan pedangnya ke arah
beberapa ekor serigala.
Wuttt! Cras! Brettt! "Ngiek!"
Sekali Dewa Bermuka Bulan mengelebatkan
pedang, maka dua ekor serigala melengking setinggi langit. Tubuh binatangbinatang itu nyaris terbelah menjadi dua dan isi perutnya terburai keluar, ujung
pedang Dewa Bermuka Bulan menyambar.
Namun bersamaan dengan itu, ujung cambuk Ki Lodaya menyambar dengan gerakan
meliuk-liuk cepat seperti mengikuti gerakannya. Kontan cambuk yang membelah
udara, membuat gendang telinga laki-laki berpakaian serba hitam itu terasa
perih. Agaknya, permainan cambuk Serigala Iblis Bercambuk Emas dilakukan
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Maka tak heran bila suaranya membuat jantung berdetak tak karuan, dan kulit
terasa seperti diiris-iris.
Ser! Ser! Betapa terkejut Dewa Bermuka Bulan. Karena baru saja kedua kakinya menjejak
tanah, saat itu juga datang serangan beruntun berupa senjata rahasia ke arahnya.
Ternyata lemparan senjata-senjata rahasia itu dilakukan oleh Serigala Mata Satu
dan Serigala Buntung.
Untung saja, Dewa Bermuka Bulan cepat
mengelebatkan pedangnya. Maka sebelum senjata-senjata rahasia itu menghujani
tubuhnya, sudah terpapak oleh senjatanya.
"He he he...! Ternyata dugaanku tak salah. Kalian ternyata bukan hanya
gerombolan pengecut yang bisanya membegal orang-orang lemah dan tak berdaya,
tapi juga tukang main keroyok!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil terkekeh-kekeh.
Padahal jelas kedudukan Dewa Bermuka Bulan tak ada kesempatan sedikit pun
baginya untuk balas menyerang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lawan
saja, barangkali tak akan bertahan lama. Karena dengan ikut mengeroyoknya kedua
murid Serigala Iblis Bercambuk Emas, jelas hal itu akan membuatnya semakin
terjepit saja. Dan baru saja Dewa Bermuka Bulan menarik napas, ujung cambuk Ki
Lodaya sudah menyambar ke arah
pinggang kanannya.
Ctarrr! "Uts!"
Dewa Bermuka Bulan cepat bagai kilat melenting ke atas dengan gerakan ringan.
Namun salah seekor serigala bergerak menyambar ke arah punggungnya.
Maka cepat-cepat Dewa Bermuka Bulan menyabetkan pedangnya ke arah perut binatang
buas itu. "Mampus kau!"
Bret! "Nguiek!"
Seketika binatang liar itu ambruk ke tanah, begitu tersambar pedang Dewa Bermuka
Bulan. Melihat hal itu Serigala Mata Satu segera melempar senjata rahasia ke arah lakilaki berpakaian serba hitam.
Ser! Ser! Dua buah berhasil dirontokkannya. Namun,
sebuah paku beracun berhasil menancap di
punggung kanannya.
"Aaakh!"
Dewa Bermuka Bulan kontan meringis kesakitan, begitu tertancap sebuah paku
beracun pada punggungnya. Untung saja, dia agak jauh dari para pengeroyoknya.
Maka kesempatan itu digunakan untuk melesat dari tempat itu. Disertai pengerahan
ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, tubuhnya berkelebat cepat, kabur dari
situ. Tak ada kesempatan bagi para pengeroyok untuk mengejar.
Apalagi, tindakan itu demikian cepat. Mereka hanya saling berpandangan, kemudian
menatap ke arah kepergian Dewa Bermuka Bulan yang sudah
menghilang. "Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku akan datang lagi untuk membuat perhitungan
dengan kalian!"
teriak Dewa Bermuka Bulan sayup-sayup dari kejauhan, menggema ke segala penjuru.
Ki Lodaya yang tidak berusaha mengejar hanya mendengus garang. Tanpa bicara apaapa, laki-laki itu segera berlalu diikuti kedua muridnya.
*** 5 Adipati Tanuwijaya adalah penguasa di kadipaten wilayah barat. Dan kadipaten itu
meliputi tujuh buah desa yang cukup ramai. Beliau sendiri menetap di Kota
Kadipaten Indrakasih, suatu daerah yang cukup padat penduduknya dan subur
tanahnya. Tak heran bila hasil panen selalu berlimpah ruah, sehingga penduduknya
hidup dalam kecukupan. Di sebelah utara kadipaten itu terdapat sebuah tambang
emas. Tiga kali dalam setahun, para penduduk kadipaten itu diwajibkan menyerahkan
upeti kepada pihak kerajaan. Tidak hanya berupa hasil panen dan ternak, tapi
juga emas. Dan justru itulah yang belakangan ini meresahkan sang Adipati!
Pusat kerajaan berada di wilayah timur. Dan untuk menuju ke sana, jalan yang
tercepat dan termudah adalah melewati Bukit Serigala. Ada juga jalan lain, tapi
terlalu berbahaya juga. Selain memutar jalan itu juga sulit didaki. Bahkan
terdapat turunan terlalu curam. Sedangkan bila melewati Bukit Serigala, sudah
jelas di sana akan dihadang Serigala Iblis Bercambuk Emas bersama dua orang
muridnya. Dan belakangan ini, mereka memang menjadi momok yang menakutkan bagi
setiap orang. Maka sebulan yang lalu upeti yang semula dikirim untuk kerajaan,
dirampok oleh kawanan itu. Dan jelas, hal itu membuat pihak kerajaan mulai
marah. Mereka mengira Adipati Tanuwijaya sengaja melupakan kewajibannya. Maka
tentu saja Adipati Tanuwijaya
gelisah bukan main. Amarahnya semakin menjadi ketika beberapa pengawal
terbaiknya yang dikirim untuk menghabisi Serigala Iblis Bercambuk Emas, ternyata
hanya kembali seorang. Itu pun penuh luka di tubuhnya yang bahkan tak bisa
tertolong lagi, karena keburu tewas setelah menyampaikan berita kematian kawankawannya. Dan kali ini, Adipati Tanuwijaya tentu tak mau gagal lagi. Maka dipersiapkannya
segala sesuatu sebaik mungkin. Termasuk, para pengawal yang akan menjaga upeti
nantinya. Dan untuk mencari para pengawal yang baik dan mampu diandalkan, kini
di kadipaten itu diadakan suatu sayembara dalam bentuk pertandingan adu
ketangkasan. Sepuluh orang pemenang terbaik akan diangkat menjadi pengawal
pribadi Adipati Tanuwijaya, ditambah hadiah besar. Dan mulai hari itu juga
pengumuman disebar ke seluruh wilayah kadipaten!
*** Matahari yang menyengat, membawa dua anak muda ke tepi sebuah sungai yang airnya
amat bening, di wilayah Kadipaten Indra Kasih. Mereka berhenti dan membasuh
mukanya untuk menyegarkan diri.
Kemudian setelah merasa segar, mereka berjalan ke arah sebuah pohon yang berdaun
lebat. Tak lama, punggung mereka sudah bersandar di bawah pohon itu, untuk
melindungi diri dari sengatan matahari.
Sedangkan kedua kuda mereka dibiarkan minum air sepuas-puasnya.
"Kakang! Aku masih jengkel dengan orang tua busuk itu!" kata gadis berwajah
cantik memakai baju biru muda, dengan pedang bergagang kepala naga
tersembul di balik punggungnya. Memang, dia tak lain dari Pandan Wangi.
Sedangkan pemuda di
sebelahnya adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum dan tak menyahut.
"Lagaknya seperti yang paling hebat saja!" cibir Pandan Wangi kesal.
"Orang itu memang aneh. Dan itu memang sudah kelakuannya. Kitalah yang patutnya
bisa menahan diri...," sahut Rangga, sabar.
"Huh! Menahan diri" Enak saja!" dengus Pandan Wangi, sengit.
"Kalau tak bisa menahan diri, maka dia akan semakin menggoda kita," jelas
Rangga. "Huh! Kalau berhadapan dengan mereka yang tak punya kemampuan apa-apa, mungkin
dia bisa berbuat sekehendak harinya. Tapi kepadaku, jangan coba-coba, ya!"
Rangga hanya melirik sekilas pada kekasihnya.
Pemuda itu sudah paham betul watak gadis itu.
Makanya, dia tidak terlalu menanggapi kekesalan hati Pandan Wangi.
"Kenapa tersenyum?" tanya Pandan Wangi, tak senang. Dan ini memang sudah
wataknya. Gadis itu seolah-olah ingin mengajak perang mulut, untuk menunjukkan
kemanjaannya. "Mengejekku, ya!"
Rangga malah tertawa lebar. Sebaliknya Pandan Wangi langsung mencubit tangan
Rangga. Pemuda itu berusaha menghindar, sambil bangkit dan berlari menjauhi
Pandan Wangi. "Huh! Ke ujung langit sekalipun, akan kukejar kau!"
dengus Pandan Wangi, langsung mengejar pemuda itu. Kejar-kejaran di antara
mereka seolah tak mau
berhenti. Tanpa disadari, Pandan Wangi mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Namun sejauh itu, belum juga berhasil mengejar. Rangga masih tenang-tenang saja
berlari di depannya dan terus berputar-putar di sekeliling tempat itu.
"To..., tolong...."
"Heh"!"
Rangga seketika menghentikan larinya begitu pendengarannya yang tajam menangkap
teriakan minta tolong yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Bola matanya langsung mencari-cari sambil melangkah pelan ke satu arah, dengan
pendengaran dipasang tajam. Sementara Pandan Wangi saat itu sudah dekat. Dan....
"Kenapa kau!" teriak Pandan Wangi, langsung mencubit pemuda itu.
Namun Rangga tak peduli. Malah tangannya
memberi isyarat agar gadis itu tak membuat keributan. Pandan Wangi jadi
celingukan sendiri sambil menatap ke sekeliling tempat itu dengan wajah heran.
"Kenapa" Ada apa, Kakang?"
"Ada teriakan minta tolong dari seseorang...," sahut pemuda itu.
Baru saja Rangga menyelesaikan kata-katanya, mendadak sesosok tubuh berpakaian
serba hitam melangkah sempoyongan ke arah mereka. Wajahnya tampak pucat. Dan
begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi tangannya langsung menggapai-gapai.
"To..., tolong..."
Tubuh orang itu langsung ambruk persis di depan Rangga berdiri. Rangga dan
Pandan Wangi langsung menghampiri. Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti
langsung memeriksa keadaan tubuh
orang itu. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera membopong orang berpakaian
serba hitam itu. Segera dibawanya orang itu ke tepi sungai.
Sementara, Pandan Wangi segera mengikuti dari belakang, setelah memungut sebilah
pedang berukuran besar yang tadi terjatuh dari genggaman orang itu.
*** Sosok orang berpakaian serba hitam itu tak tahu, sudah berapa lama tak sadarkan
diri di tepi sungai.
Namun ketika kesadarannya mulai pulih, perlahan-lahan matanya melihat sepasang
anak muda di depannya, yang tak lain dari Rangga dan Pandan Wangi. Dia cepat
bangkit dan bersandar di batang pohon. Kemudian, ditatapnya Pandan Wangi dan
Rangga bergantian.
"Siapa kalian?" tanya sosok berpakaian serba hitam itu, lemah.
"Aku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi.
Kami menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri. Siapa namamu, dan apa yang
telah terjadi padamu, Kisanak?" tanya Rangga disertai senyuman manis di bibir.
Orang berpakaian serba hitam itu tak langsung menjawab. Dan matanya malah
meneliti keadaan tubuhnya, serta melihat beberapa buah luka yang dideritanya.
Kemudian tatapannya beralih pada sepasang anak muda di depannya.
"Aku Kamajaya alias Dewa Bermuka Bulan. Huh!
Kalau saja mereka tak bermain curang! Dalam pertarunganku melawan Serigala Iblis
Bermuka Emas, tubuhku telah terkena senjata rahasia. Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan darahku
seperti berhenti mengalir. Jelas senjata rahasia itu pasti beracun. Tapi kini
keadaanku sudah berangsur-angsur baik. Kaukah yang mengobatiku?" jelas laki-laki
berpakaian serba hitam, yang ternyata Dewa Bermuka Bulan. Suaranya terdengar
masih lemah, walaupun seluruh racun dalam tubuhnya sudah keluar. Memang,
Pendekar Rajawali Sakti telah memberi pengobatan padanya, dengan penyaluran hawa
murni. "Darahmu telah bercampur racun dari senjata rahasia yang menancap di tubuhmu.
Dan luka di pinggangmu seperti terbakar. Kau banyak muntah darah tadi. Ini,
telah kubuatkan ramuan dari tumbuhan di sekitar sini. Mudah-mudahan ramuan ini
bisa mengembalikan kesegaran tubuhmu. Minumlah,"
ujar Rangga sambil menyerahkan ramuan obat yang ditampung dengan tempurung
kelapa. Dewa Bermuka Bulan yang bernama asli Kamajaya itu agak ragu-ragu menerimanya.
Namun begitu melihat sorot mata Rangga yang memancarkan kesungguhan, akhirnya
diterimanya juga ramuan obat itu dan diteguknya sampai tandas.
"Kau tak boleh banyak mengeluarkan tenaga dulu, Kisanak. Dalam keadaan begini,


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Rangga.
"Terima kasih atas kebaikan kalian padaku," ucap Dewa Bermuka Bulan sambil
tersenyum, kendati agak pahit.
"Sama-sama, Kisanak. Dan memang sudah kewajiban kami untuk menolong orang yang
mem-butuhkan pertolongan. Oh, ya. Apa yang telah terjadi padamu, sehingga
mengalami luka separah ini?"
tanya Rangga. "Huh, Serigala Iblis Bercambuk Emas keparat!
Kalau saja dia tak berlaku curang, mana bisa mengalahkan aku!" dengus Dewa
Bermuka Bulan. "Serigala Iblis Bercambuk Emas" Siapa dia?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Apakah kalian tak tahu?"
Rangga dan Pandan Wangi, sama-sama menggeleng kepala. "Ah! Kukira julukan itu sudah menggetarkan jagad ini. Tapi nyatanya kalian pun
tak tahu. Kalau begitu, tak salah jika aku menuduhnya sebagai pengecut hina yang
beraninya hanya merampok orang-orang tak berdaya...," sahut Dewa Bermuka Bulan
seperti berkata pada diri sendiri.
"Maaf, Kisanak. Aku tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan. Sudikah kau
menceritakan, siapa orang yang dimaksud dengan Serigala Iblis Bercambuk Emas"
Dan, mengapa kau sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga.
Kamajaya terdiam sesaat seperti tengah
mengumpulkan kata-kata yang tepat. Kemudian segera diceritakannya semua yang
dialaminya. Namun karena urusannya pada Serigala Iblis Bercambuk Emas adalah soal balas
dendam, maka agaknya dia lebih tertarik menceritakan soal itu lebih banyak.
Hanya saja, Rangga dan Pandan Wangi lebih tertarik dengan sepak tenang Serigala
Iblis Bercambuk Emas yang diceritakan sepintas oleh Kamajaya.
"Kalau ada kesempatan lagi, akan kuhabisi keparat licik itu!" dengus Kamajaya,
setelah meng-akhiri ceritanya sambil mengepalkan tangan.
Rangga dan Pandan Wangi hanya menganggukangguk. "Apakah kalian betul-betul belum pernah mengenal keparat licik itu selumnya?"
tanya Kamajaya ingin meyakinkan.
Sepasang pendekar dari Karang Setra menggeleng pelan. Dan Kamajaya pun ikutikutan menggelengkan kepala dengan wajah sedih.
"Sayang sekali. Padahal kalau kalian berurusan dengannya, aku pasti bisa
menghajarnya habis-habisan. Orang itu tak bisa dibiarkan hidup lama lagi.
Sudah banyak orang yang dirugikannya...," gumam Kamajaya lirih.
"Kami mengerti, apa yang kau rasakan, Kisanak.
Tapi suatu saat, dendammu pasti akan terbalaskan,"
hibur Rangga. "Ya, aku tahu itu. Aku memang mesti bersabar dan mencari jalan lain untuk
membalas kelicikannya itu,"
sahut Kamajaya lirih.
Tak berapa lama kemudian, Kamajaya mohon diri.
Tak lupa diucapkannya terima kasih berkali-kali pada kedua pendekar itu.
"Aku tak akan melupakan pertolongan kalian,"
ucap Kamajaya seraya bangun, dan langsung berkelebat cepat dari situ.
"Aku suka orang itu. Selalu riang gembira meskipun hatinya dendam dan sedih...,"
gumam Pandan Wangi, begitu Kamajaya sudah tak terlihat lagi.
"Hm, suka...?" tanya Rangga meyakinkan.
"Ya, kenapa?" sahut Pandan Wangi balik bertanya sambil melirik dengan senyum
genit pada kekasihnya.
"O...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.
*** 6 Hari menjelang sore, ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di Kadipaten
Indrakasih. Suasana di sini tampak ramai. Di sepanjang jalan, banyak terlihat
umbul-umbul berwarna-warni. Apalagi, orang tampak berduyun-duyun mendatangi
alun-alun yang terletak tepat di depan istana kadipaten.
Ketika melihat seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menuju tempat yang
sama, Rangga segera menghampiri.
"Ada perayaan apa, Ki. Mengapa ramai betul di alun-alun itu?" tanya Rangga,
sopan. Sejenak laki-laki setengah baya itu memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti dari
ujung kepala, hingga ujung kaki. Sepertinya, dia sedang menduga jati diri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kau tak tahu?" laki-laki setengah baya itu malah balik bertanya.
Rangga menggeleng, sambil tersenyum.
"Hm.... Kau bukan penduduk sini rupanya. Apakah kau seorang pendekar atau paling
tidak, berkepandaian tinggi?" lanjut laki-laki tua itu kembali bertanya.
"Aku dan temanku ini hanya pengembara biasa, Ki.
Memangnya kenapa?" kata Rangga, merendah.
"Sayang sekali, kalau saja kalian boleh ikut sayembara itu. Hadiahnya besar.
Bahkan yang menang akan menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya!" jelas
orang tua itu, meyakinkan.
"Sudikah kau menjelaskan pada kami, sayembara apa yang sedang diadakan oleh
adipati di sini?" tanya Rangga.
"Adipati Tanuwijaya tengah mengadakan sayembara. Dia mencari pengawal pribadi
yang bisa diandalkan untuk melawan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Siapa yang
menang dalam pertandingan, maka akan mendapat hadiah seribu kepeng emas murni.
Bahkan akan diangkat menjadi pengawal pribadinya.
Sedangkan pemenang kedua akan menjadi kepala pasukan pengawal," jelas orang tua
itu, berseri-seri.
Rangga mengangguk-angguk, tanda mengerti.
"Maaf, Kisanak. Aku harus buru-buru! Kesempatan bisa melihat tokoh-tokoh
persilatan bertarung, jarang terjadi. Pasti akan berlangsung seru dan hebat.
Mari, Kisanak!" pamit laki-laki setengah baya itu seraya berlari-lari kecil
mengikuti orang-orang yang berjalan menuju alun-alun di depan istana, tempat
kediaman Adipati Tanuwijaya.
"Bagaimana, Kakang" Apakah kau ingin ikut serta sayembara itu" Siapa tahu kau
bisa menjadi pasukan pengawal di kadipaten ini?" tanya Pandan Wangi, menggoda.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Entah, apa arti senyumnya. Yang jelas, buat
Rangga sayembara itu tak ada artinya sama sekali. Toh dia adalah Raja di Karang
Setra. Apalagi hanya untuk mendapatkan seribu kepeng emas dan jabatan pengawal
pribadi. Bukannya Rangga merendahkan, tapi yang pasti kepandaiannya hanya untuk membela
orang yang lemah, dan untuk menumpas keangkaramurkaan.
"Ada baiknya kita melihat pertandingan itu. Aku heran, mengapa adipati itu
sampai menempuh jalan ini. Apakah para pengawalnya tak mampu mengatasi
orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu?" kata Rangga mengalihkan
pertanyaan Pandan Wangi
"Kau lupa, Kakang! Serigala Iblis Bercambuk Emas itu berilmu tinggi. Apalagi dia
mampu memerintah kawanan serigala liar untuk menyerang musuhnya.
Aku menduga, adipati itu memang pantas memerlukan para pengawal yang dapat
diandalkan dalam jumlah banyak," timpal Pandan Wangi.
Rangga hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Pandan Wangi.
Tak lama kemudian, mereka segera berjalan perlahan sambil menuntun kuda masingmasing mendekati keramaian yang ada di alun-alun depan kediaman Adipati
Tanuwijaya. Orang telah ramai memadati tempat itu. Bukan hanya dari kadipaten
ini saja, melainkan juga dari desa di sekitarnya.
*** Tempat sayembara itu sendiri dipagari bambu berbentuk lingkaran dengan garis
tengah kira-kira sepuluh tombak. Di salah satu sudut, tampak Adipati Tanuwijaya
duduk memperhatikan pertandingan bersama beberapa orang juri yang akan
menentukan pemenangnya.
Ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di sana, juri telah menentukan lima orang
pemenang. Karena pesertanya cukup alot, maka diputuskan bagi mereka yang mampu
mengungguli lawan sebanyak tiga kali berturut-turut patut menjadi pemenangnya.
Kini babak penentuan telah berlangsung. Di arena, tengah berhadapan seorang
laki-laki bertubuh tinggi kurus terbungkus baju merah. Dan lawannya adalah
laki-laki bertubuh sedang dengan wajah penuh cambang bauk. Pertarungan tampak
berlangsung singkat, karena dengan mudah laki-laki bercambang bauk itu
mengalahkan lawannya. Dan lawan kedua pun mampu dikalahkannya dalam waktu cepat.
Hal itu tak mengherankan, karena kepandaian laki-laki itu memang di atas lawanlawannya. "Hidup Jumangun...!"
"Hidup jago Kadipaten Indrakasih!" teriak para penonton lain menimpali.
Jumangun sendiri tersenyum-senyum sambil
menjura memberi hormat kepada penonton.
"Siapa lagi yang akan maju menantang Jumangun"!" teriak salah seorang juri
dengan suara lantang.
Pada saat itu juga, melesat sesosok tubuh ke arena pertarungan. Dan dengan
gerakan ringan kedua kakinya mendarat manis di tempat arena.
Rambutnya panjang dan awut-awutan. Mata kirinya tertutup kain hitam. Tangan
kanan tampak menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Sorot matanya yang hanya
tinggal sebelah itu, tampak tajam menusuk. Sehingga membuat Jumangun bergidik
ngeri untuk sesaat.
Sementara orang-orang yang berada di tempat itu mulai was-was. Sosok yang baru
datang itu terlihat buas. Dan agaknya, dia tak segan-segan membunuh lawan. Dan
yang lebih mengagetkan lagi, ternyata penonton mengenali orang itu.
"Dia si Serigala Mata Satu. Murid si Serigala Iblis Bercambuk Emas!" teriak
seseorang. "Heh"!"
Seketika saja di tempat itu terdengar gumaman-gumaman tak jelas seperti suara
kawanan lebah. Bahkan sebagian dari mereka, wajahnya menjadi cemas. Namun, tak seorang pun yang
meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka ingin menyaksikan kejadian selanjutnya.
"He, Adipati Tanuwijaya! Apakah ada peraturan bahwa aku tak boleh ikut dalam
pertandignan ini"
Kudengar sayembara ini boleh diikuti semua orang.
Lagi pula, bukankah kecoa-kecoa ini yang akan kau andalkan untuk menghancurkan
kami" Nah kini aku datang ke sini seorang diri. Jadi kenapa mesti menunggu
hingga pertarungan ini selesai" Lebih baik, suruh jago-jagomu untuk menghadapiku
sekarang juga!" tantang Serigala Mata Satu jumawa.
Adipati Tanuwijaya memandang geram pada
Rajendra alias Serigala Mata Satu. Namun sekuat mungkin dia menahan sabar.
Sebentar dia berbisik pada beberapa orang juri, kemudian terlihat kembali
memandang Serigala Mata Satu.
"Sebagai seorang adipati, aku patut memenuhi janjiku. Meskipun kau seorang
pengacau yang seharusnya ditangkap dan diadili, tapi kau kuperkenankan untuk
ikut dalam pertandingan ini," ujar Adipati Tanuwijaya.
Kemudian, Adipati Tanuwijaya berpaling pada Jumangun.
"Jumangun! Apakah kau bersedia menghadapi lawanmu?"
"Ampun, Kanjeng Adipati. Mana mungkin hamba berani menolak kalau memang lawan
telah menunggu hamba!"
"He, cepat cabut senjatamu!" dengus Serigala Mata Satu.
"Kisanak! Sejak awal pertarungan, tak ada yang memakai senjata. Karena, tujuan
pertandingan ini
bukan untuk mencelakakan lawan," sahut Jumangun tenang.
"Huh! Siapa yang peduli! Bukankah tak ada peraturan yang mengatakan kalau tidak
boleh menggunakan senjata" Bahkan kalau kau mampus di tanganku, maka pertarungan
sah saja. Nah! Siapkanlah dirimu sebaik mungkin!" sahut Serigala Mata Satu,
seraya melompat menyerang lawan.
"Hup!"
Jumangun cepat menundukkan kepala, ketika satu tendangan Rajendra meluncur deras
hendak meng-hantamnya. Tapi kemudian laki-laki bercambang bauk itu terkejut
sendiri. Ternyata setelah menghindari, sambaran angin kencang Serigala Mata Satu
seakan menggiris kulitnya. Dan belum juga Jumangun mampu bernapas lagi, dia
harus bergulingan menghindari serangan Serigala Mata Satu yang tak kepalang
tanggung, dalam mempermainkan senjata tombak bermata tiganya. Dan hal ini
membuat kedudukannya semakin terjepit. Sementara orang-orang yang menonton
pertandingan mulai memaki-maki Serigala Mata Satu. Namun, tak seorang pun yang
berani menghentikan pertarungan itu. Memang, dari semula tak ada aturan yang
melarang seorang peserta menggunakan senjata.
'Yeaaa!" "Uts!"
Jumangun semakin terdesak saja. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menghindari
serangan tanpa mampu membalas. Bahkan sepertinya dia tidak mampu mengelak ketika
Serigala Mata Satu
mengayunkan satu tendangan ke arah batok kepala.
Namun dengan untung-untungan, kepalanya
ditundukkan sambil melompat ke belakang. Sayang,
saat itu juga Serigala Mata Satu lebih cepat berbalik dan langsung menyodokkan
kepalan tangan kirinya ke dada Jumangun.
Desss! "Aaakh...!"
Jumangun kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal sambil
memuntahkan darah segar. Tapi, agaknya Serigala Mata Satu tak mau berhenti
sampai di situ. Tubuhnya sudah melompat bermaksud menghabisi nyawa lawannya yang
sudah ambruk di lantai arena.
Namun, Serigala Mata Satu tidak mempedulikan bentakan itu. Dia terus melompat
cepat sambil mengayunkan tombak di tangan untuk menghabisi Jumangun. Dan begitu
ujung tombak hampir
menyentuh tubuh Jumangun, mendadak saja melesat sesosok bayangan biru yang
memapak serangan.
Trakkk! "Uhhh...!"
*** Serigala Mata Satu kaget setengah mati ketika merasakan tombaknya ditangkis oleh
suatu benda yang kuat luar biasa. Bahkan mampu membuat dadanya berdetak kencang.
Belum lagi disadari apa yang terjadi, sekonyong-konyong datang serangan kembali
yang menderu ke arahnya. Buru-buru dia melompat menghindari sambil memutar
tombaknya dan kembali menangkis.
Trang! Bet! "Ohhh!"
Ketika dua senjata kembali beradu, kali ini
himpitan tenaga dalam sosok berpakaian biru yang disalurkan lewat senjata
membuat telapak tangan Serigala Mata Satu terasa nyeri. Bahkan tubuhnya sampai
terjajar beberapa langkah. Keringat dingin kini mulai mengalir di tubuh
Rajendra. Namun laki-laki itu tak kehilangan akal. Maka senjata rahasianya
langsung dilemparkan.
Ser! Ser! Beberapa buah benda melesat cepat, mengancam keselamatan sosok berpakaian biru
itu. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat sosok berpakaian biru itu memutar
senjatanya yang berupa kipas baja putih sambil berjumpalitan.
Tring! Trang! Beberapa buah paku beracun yang melesat ke arah bayangan biru itu, kontan buyar
dan rontok ke bawah, tersambar kipas baja putih. Dan begitu bayangan biru itu
menjejakkan kakinya, barulah Serigala Mata Satu bisa jelas melihatnya. Ternyata
orang yang memapak serangannya adalah gadis cantik berbaju biru. Tampak
tangannya memegang kipas baja putih. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu
memandang sinis pada Serigala Mata Satu.
"Siapa kau"!" bentak Serigala Mata Satu, garang.
"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" kata Pandan Wangi, dingin.
"Setan! Kau pikir aku takut bila hanya berhadapan dengan seorang gadis?"
"Kau tak perlu takut, sebab memang akan mampus!" dengus Pandan Wangi geram.
Mendengar hal itu, bukan main geramnya Serigala Mata Satu. Maka dia langsung
melompat menyerang lawan disertai pengerahan segenap kemampuan yang
dimilikinya. Tapi, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah geram melihat tingkah
orang itu, langsung melayani-nya. Maka kini pertarungan tak terelakkan lagi.
Sementara itu, para penonton yang tadi kesal dan geram terhadap Serigala Mata
Satu kini bersorak-sorak gembira. Apalagi yang maju kini seorang gadis cantik
berkepandaian tinggi. Sementara, Adipati Tanuwijaya sendiri yang merasa hajatnya
jadi berantakan, tak tahu lagi harus berbuat apa, selain mendiamkan saja


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan berlangsung.
Dalam adu senjata tadi, bisa dirasakan kalau tenaga dalam gadis itu tak berada
di bawah lawannya. Bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerak Serigala Mata Satu.
Hal itulah yang membuat Pandan Wangi semakin percaya diri saat ini. Meskipun
lawan telah mengerahkan seluruh kehebatan permainan tombaknya, namun dengan
gesit Pandan Wangi mampu lolos dari setiap incarannya. Bahkan dalam satu
kesempatan, gadis itu berhasil menyodok pertahanan Serigala Mata Satu. Tubuhnya
cepat menukik tajam, dan langsung menghantam genggaman tangannya pada tombak.
"Hiyaaa!"
Trang! Ketika kedua senjata itu beradu, Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan. Tubuhnya
langsung mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Tapi, Pandan Wangi tak menyianyiakan kesempatan itu.
Kaki kanannya cepat terayun, menghantam ke arah dada lawan.
Desss! "Uhh...!"
Serigala Mata Satu kontan memekik kesakitan.
Tubuhnya langsung terlempar beberapa langkah ke
belakang, dan jatuh deras di lantai arena. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi
bermaksud menghabisi Serigala Mata Satu secepatnya. Bagaikan anak panah,
tubuhnya melesat sambil mengayunkan pedangnya yang berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser! Namun pada saat terjepit begitu, Serigala Mata Satu masih mampu berbuat curang,
cepat dilemparkan paku-paku beracun ke arah Pandan Wangi.
Namun, untung gadis itu telah dapat menduga. Maka kipas baja putihnya cepat
diputar, dengan gemas menghantam senjata rahasia Serigala Mata Satu.
Trak! Trak! Paku-paku beracun itu kontan rontok di hajar kipas baja putih Pandan Wangi.
Namun ketika gadis itu berhenti memapak, Serigala Mata Satu telah melesat kabur.
"Wanita sial! Aku belum kalah. Hari ini, kau boleh merasakan kemenanganmu. Tapi
lain hari, aku akan datang mencarimu! Dan saat itulah hari kematianmu!" teriak
Serigala Mata Satu begitu tubuhnya telah jauh.
"Jahanam busuk! Ke sinilah kalau benar-benar bukan pengecut!" bentak Pandan
Wangi sambil mendengus garang.
Tapi, gadis itu hanya bisa memandang geram, karena Serigala Mata Satu telah
menghilang. Sambil menyelipkan kembali kipas baja putih pada pinggangnya, gadis
itu keluar dari arena pertarungan.
Namun baru saja melangkah dua tindak, Adipati Tanuwijaya menghampiri.
"Nisanak, kemarilah sesaat!"
Pandan Wangi menoleh, memandang lelaki
berpakaian mewah itu. Sambil tersenyum, tubuhnya membungkuk memberi salam
hormat. "Maaf. Kalau tak salah, bukankah Kisanak Adipati Tanuwijaya" Maafkan sikapku!"
"Tak ada yang perlu dimaafkan Nisanak. Malah, akulah yang harus mengucapkan
terima kasih. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu,"
ucap Adipati Tanuwijaya.
"Kanjeng Adipati, maaf. Hamba tak bisa menghampiri seorang diri, sebab hamba ke
tempat ini bersama kawan," sahut Pandan Wangi.
"Hm. Kalau demikian, ajaklah kawanmu itu," titah Adipati Tanuwijaya.
*** 7 Pandan Wangi pun akhirnya mengajak Rangga untuk bersama-sama menghadap sang
Adipati. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tak setuju atas ajakan itu.
Bahkan sebelum Pandan Wangi turun tangan untuk membereskan Serigala Mata Satu,
ada sesuatu yang ingin dirahasiakannya. Dan itu menyangkut keadaan dirinya.
Beberapa tahun silam, raja negeri ini pernah datang ke Kerajaan Karang Setra.
Dan pada saat itu, dia mengajak salah seorang adipatinya. Dan Rangga tak akan
lupa wajah adipati itu. Dialah laki-laki berpakaian merah, yang kini tengah
memanggil mereka!
"Kanjeng Adipati, maaf. Kami tak sengaja mengacau tempat ini," ucap Rangga
hormat sambil menunduk ketika telah berada di hadapan Adipati Tanuwijaya.
Adipati Tanuwijaya langsung menatap tajam memperhatikan dari ujung kaki hingga
kepala pemuda itu. Rasa-rasanya, pemuda ini memang pernah dikenalnya. Kemudian,
terlihat dia buru-buru bangkit dari tempat duduknya, langsung tubuhnya
membungkuk memberi penghormatan.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu Karang Setra.
Suatu kehormatan besar bagi kadipaten ini mendapat kunjungan Kanjeng Gusti
Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya merendah.
"Kanjeng Adipati, apa-apaan ini" Apa yang kau lakukan" Bangkitlah. Lihatlah
orang-orang memperhatikan dengan heran. Kami hanya pengembara biasa!" sahut Rangga, setengah
tergagap. "Gusti Prabu tak bisa menipu hamba. Dan pokoknya hamba tak akan berdiri sebelum
Gusti Prabu mengakui hal itu," sahut Adipati Tanuwijaya, berkeras.
Rangga tak tahu, harus bersikap apa mendengar kata-kata Adipati Tanuwijaya.
Meskipun dengan berat hati, akhirnya diakui kalau dirinya adalah Raja Karang
Setra. Setelah itu, barulah Adipati Tanuwijaya bangkit seraya memberitahukan
pada rakyatnya bahwa tamu mereka adalah Raja Karang Setra. Maka seketika orangorang yang berada di tempat itu jadi terkejut melihat penampilan seorang raja
dari kerajaan besar, tapi hanya berpakaian seperti orang-orang persilatan pada
umumnya. "Hidup Raja Karang Setra...!" teriak seseorang, kemudian diikuti yang lainnya
dengan gegap gempita.
Hal seperti itulah yang tak disukai Rangga. Namun pada akhirnya, dia tak mampu
menghindar. Adipati Tanuwijaya benar-benar menyambutnya dengan meriah. Maka
seketika itu juga, seluruh orang yang berada dalam istana kadipaten sibuk
menyambut kedatangan Raja Karang Setra itu. Adipati Tanuwijaya terus membawa
Rangga dan Pandan wangi menuju ruangan balai sema agung istana kadipaten. Dan di
situ ternyata telah tersaji jamuan-jamuan untuk tamu kehormatan. Tak lupa,
Adipati Tanuwijaya juga men-jamu rakyatnya yang masih berkerumun di alun-alun
depan rumahnya.
Adipati Tanuwijaya sudah lama mengetahui kalau Rangga disamping seorang raja,
juga seorang pendekar sakti yang sering mengembara. Hal itu pun diutarakan
ketika mereka usai mengadakan jamuan
makan. "Gusti Prabu, sebenarnya hamba tak pantas memohon. Namun kedudukan hamba sangat
terjepit. Sementara, pihak kerajaan mengira hamba melalai-kan kewajiban dalam menyerahkan
upeti. Oleh karena itulah, hamba mengadakan pertandingan ini,"
jelas Adipati Tanuwijaya, setelah menceritakan persoalan yang menimpa dirinya.
"Ya, ya. Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Paman Adipati Tanuwijaya," kata
Rangga yang telah menyebut paman pada adipati itu. "Sepanjang perjalanan menuju
tempat ini, banyak kudengar berita tentang Serigala Iblis Bercambuk Emas. Hal
ini memang tak bisa dibiarkan berlarut-larut..."
"Hamba telah kehabisan akal untuk menghadapinya, Gusti Prabu. Dan kini tak tahu
harus berbuat apa. Kalau dibiarkan terus, mereka akan semakin merajalela.
Beberapa utusan yang hamba kiri ke kerajaan untuk memberitahukan hal ini, mereka
bunuh. Bahkan tak seorang pun yang pernah kembali lagi," kata Adipati Tanuwijaya
melanjutkan keterangannya.
Rangga kembali mengangguk-angguk kecil.
"Aku pun tegah berpikir untuk memberi peringatan padanya," kata Rangga pelan.
"0h! Sungguhkah Gusti Prabu akan membantu kami"!" tanya Adipati Tanuwijaya,
meyakinkan dengan wajah berbinar-binar.
Rangga mengangguk pasti.
"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih! Kami tak tahu bagaimana membalas
kebaikan Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya, sambil memberi hormat berkalikali. "Apakah mereka bersarang di Bukit Serigala"
Hm.... Kalau tak salah di tempat itu terdapat kawanan serigala liar yang bisa
diperintah mereka untuk menyerang lawan-lawannya?" gumam Rangga seperti berkata
pada diri sendiri.
"Betul, Gusti Prabu! Hal itulah yang amat menyulit-kan para pengawal hamba untuk
meringkus, selain kepandaian mereka juga tinggi!" jelas Adipati Tanuwijaya.
"Hm.... Ajaklah para pengawalmu, serta penduduk kadipaten ini. Bawa obor yang
banyak, dan kita akan ke Bukit Serigala.
"Ya! Hamba mengerti. Serigala takut api. Bukankah obor-obor itu untuk menakutnakuti kawanan serigala, Gusti Prabu?"
Rangga mengangguk.
"Tapi kalian tak boleh menampakkan diri, sampai aku berhadapan dengan mereka.
Dan obor-obor itu juga jangan dinyalakan dulu. Ketika kawanan serigala itu
menyerbu, barulah obor itu dinyalakan. Dan kalian segera bergerak bersama-sama
menghalau kawanan serigala itu," jelas Rangga.
"Hamba mengerti, Gusti Prabu. Hamba sendiri yang akan turun tangan memimpin
mereka!" sahut Adipati Tanuwijaya bersemangat.
"Syukurlah. Nah! Kalau demikian, kita bisa mulai ke Bukit Serigala setelah hari
sedikit gelap. Per-siapkanlah segala sesuatunya dari sekarang!"
"Baik, Gusti Prabu! Hamba akan mempersiapkannya sekarang juga!" sahut Adipati
Tanuwijaya dengan wajah cerah.
*** Menjelang sore, Bukit Serigala tampak diliputi suasana yang mencekam. Beberapa
orang tampak berhadapan dengan dua sosok tubuh. Sorot mata masing-masing
terlihat nyalang. Yang dua orang tak lain Ki Lodaya alias Serigala Iblis
Bercambuk Emas.
Dia didampingi murid pertamanya, Gumarang. Atau, lebih dikenal sebagai Serigala
Buntung. Sementara di depan mereka, terlihat seorang laki-laki bertubuh gemuk
dan besar. Mukanya lebar, dengan dagu agak panjang. Sepasang matanya agak
menyipit. Bajunya longgar, sehingga tubuhnya jadi mirip gajah. Tangan kanannya
tampak menggenggam sebuah senjata tongkat. Namun bentuknya mirip seekor ular
yang sedang melilit pada sebatang pohon. Dan pada kedua sisinya tampak tajam,
seperti mata pedang. Bahkan pada ujungnya berbentuk anak panah. Melihat ciricirinya, orang sering memanggilnya Ki Keong Geni.
Sementara di sebelah Ki Keong Geni terlihat seorang lelaki berkepala botak.
Kulit yang hitam legam terbungkus rompi hitam. Di pinggangnya tampak terselip
golok. Orang itu bernama Wisesa, Ketua Perampok Golok Perak. Dan di belakangnya,
tampak sepuluh orang anak buah pilihan berdiri siap menunggu perintah.
Mereka semua memang mempunyai tujuan
menguasai Bukit Serigala ini. Dan sebelum datang ke sini, kekuatan Ki Lodaya
beserta dua orang muridnya memang telah diperhitungkan. Untuk itulah, Wisesa
hanya membawa sepuluh anak buahnya yang bisa diandalkan.
"Pulanglah kalian, sebelum amarahku memuncak!
Tujuan kalian hanya sia-sia ke tempat ini!" kata Ki Lodaya, yang begitu berang
mendengar maksud mereka.
"Ha ha ha...! Ki Lodaya! Apakah kau pikir dirimu itu sudah hebat" Phuih! Kami
datang jauh-jauh ke tempat ini sudah jelas maksudnya. Kau terlalu serakah
menyimpan harta rampokan. Dan kami pun ingin mencicipi sedikit!" sahut Ki Keong
Geni. Dia dikenal sebagai tokoh golongan hitam yang sering merampok dan
membunuh. "Ha ha ha...! Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kalau kami malah cukup berbaik
hati. Jika kau memberi sedikit bagian, tentu kami tak akan mengganggumu lagi,"
sahut Wisesa sambil terkekeh kecil.
Mendengar kata-kata mereka yang bernada
terang-terangan, tentu saja Ki Lodaya merasa tak senang. Wajahnya semakin kelam.
Sedangkan sorot matanya tampak memancar kebencian yang dalam.
Perlahan-lahan dilepaskannya cambuk yang terselip di pinggangnya.
"Kalau demikian, aku pun tak punya pilihan lagi.
Kalian harus mati!" ancam Serigala Iblis Bercambuk Emas, dingin menggetarkan.
"Huh! Kau pikir aku takut" Kaulah yang sebaiknya cepat mampus lebih dulu!" geram
Ki Keong Geni, langsung melesat hendak menyerang lawan.
"Aku juga tak mau ketinggalan, Kisanak! Lebih cepat dia mampus, akan lebih
baik!" timpal Wisesa sudah ikut menyerang lawan.
"Gumarang! Si botak jelek ini, bagianmu.
Sementara biar anak buahnya direncah kawanan serigala itu!" dengus Ki Lodaya
sambil melecutkan cambuk membelah angkasa.
"Baik, Guru!" sahut Gumarang cepat memapak serangan Wisesa.
Ctarrr! "Serbuuu...!" teriak anak buah Wisesa ikut mengeroyok kedua guru dan murid itu.
Namun dengan gesit dan lincah, Ki Lodaya
melenting tinggi sambil berputaran di udara untuk menghindari sambaran senjata
Ki Keong Geni yang aneh itu. Cambuk di tangannya kembali melesat ke angkasa,
menimbulkan suara menggelegar me-mekakkan telinga.
Ctarrr! "Auuung...!"
"Heh"!"
Seketika juga, terdengar raungan serigala dari kejauhan saling bersahutan. Dan
dalam beberapa saat saja, terlihat debu mengepul di kejauhan dalam deretan yang
panjang. Ki Keong Geni, Wisesa, dan anak buahnya tersentak kaget, dan lebih
terkejut lagi, ketika melihat puluhan kawanan serigala berlari cepat ke arah
pertarungan. Namun kelengahan yang sesaat itu, justru membuat keselamatan mereka
terancam. Karena, Ki Lodaya dan Gumarang memang tak menyia-nyiakan kesempatan
itu. Mereka langsung mengebutkan senjata masing-masing, mengancam keselamatan
musuh-musuhnya.
Brettt! Crasss! Begkh! Ctarrr! "Aaa...!"
Dua orang anak buah Wisesa kontan tewas
tersambar cakar besi di tangan kiri Gumarang.
Sementara, seorang lagi tersambar senjata aritnya.
Akibatnya hampir membuat leher orang itu putus.
Gumarang sendiri nyaris terkena sodokan, kalau tak buru-buru melompat ke
belakang. Sementara itu dua orang anak buah Wisesa yang mengeroyok Ki Lodaya, langsung
terjengkang sambil menjerit kesakitan, begitu satu tendangan keras menghantam
dada mereka hampir bersamaan.
Sedangkan Ki Keong Geni mengeluh kesakitan ketika ujung cambuk lawan menyambar
dada kanannya, sehingga membuat luka yang cukup parah. Kalau saja tadi tak
sempat memiringkan tubuh, niscaya akan remuk dihajar ujung cambuk yang berisi
tenaga dalam tinggi itu.
Bahkan dalam keadaan demikian, mereka dibuat repot oleh kehadiran kawanan
serigala liar yang langsung menerkam buas. Melihat hal ini Ki Keong Geni jadi
mengerutukkan rahang. Dan senjatanya langsung diayunkan menghadapi serbuan
hewan-hewan liar itu. Demikian juga halnya Wisesa, serta anak buahnya yang
tersisa. Tapi, gerakan mereka tak leluasa lagi. Bahkan semakin terjepit ketika
Ki Lodaya dan muridnya tak memberi sedikit pun kesempatan untuk bisa lolos dari
tempat itu. "Kalian akan mampus semuanya! Tak seorang pun yang boleh pergi dari tempat ini
dengan selamat!"
dengus Ki Lodaya geram.
Agaknya, Serigala Iblis Bercambuk Emas memang betul-betul ingin membuktikan
ucapannya. Sehingga, tak heran bila serangan-serangan yang dilakukan demikian
gencar. Akibatnya, Ki Keong Geni semakin keteter saja.
"Guru, aku datang membantu!" Dan pada saat itu juga, mendadak terdengar satu
bentakan nyaring yang langsung menyerang Ki Keong Geni.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser! "Uhhh...!"
Tring! Tring! Ki Keong Geni kontan terkejut setengah mati ketika merasakan ada sambaran
senjata rahasia ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya berbalik sambil mengayunkan
senjatanya untuk menangkis.
Beberapa buah paku beracun berhasil dirontokkannya.
Ctarrr! "Graungrrr...!
Crab! Namun saat itu pula, ujung cambuk Ki Lodaya menjilat ke arah perutnya. Ki Keong
Geni terkesiap, lalu buru-buru membalikkan tubuhnya untuk menangkis. Namun
bersamaan dengan itu, seekor serigala cepat menerkam tengkuknya dari belakang.


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan senjata rahasia yang kembali dilemparkan orang yang baru datang itu cepat
menghujam pinggang hingga ke kakinya.
"Aaa...!"
Ki Keong Geni memekik. Perutnya terlihat hancur dihantam cambuk lawan meskipun
masih sempat menangkis. Dan lehernya di bagian pundak terluka parah, digigit
serigala itu. Sementara, dua buah paku beracun tampak menancap di pinggang kiri
dan kanannya. Tubuh Ki Keong Geni terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Dia
menggelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak! Tampak darah mengalir
deras dari perut dan pundaknya.
*** Ki Lodaya kembali melesat, langsung membereskan anak buah Wisesa yang hanya tinggal
segelintir saja. Apalagi semangat orang-orang berkepandaian tanggung itu telah
terbang begitu melihat kawanan serigala. Sehingga dalam waktu singkat, mereka
sudah dapat dibinasakan.
Wisesa sendiri keadaannya sangat terjepit.
Beberapa kali senjata Gumarang nyaris merobek tubuhnya. Belum lagi, harus
menghindar dengan hati-hati dari terkaman serigala-serigala liar. Namun sekuat
apa pun bertahan, dia tak akan bertahan lama. Hal itu terlihat, ketika tangan
Gumarang yang terbuat dari besi berbentuk cakar serigala menyambar ke arah perut
lawan. Wisesa melompat ke atas. Namun, tiga ekor serigala langsung serentak
menerkamnya. Maka dengan kalang kabut, goloknya dikibaskan. Dua ekor berhasil
dibunuh, namun yang seekor lagi sempat merobek paha kanannya. Dan pada saat itu,
senjata Gumarang cepat menyambar dadanya.
Wuttt! Crasss...! "Aaa...!"
Wisesa kontan terpekik. Dan beberapa buah tulang rusuknya patah dan dadanya
terluka parah. Namun Gumarang tak mau memberi kesempatan lagi. Tangan kirinya kembali menyambar
ke arah leher, tak sempat dihindari Wisesa sedikit pun.
Brettt! "Okh...."
Wisesa hanya bisa mengeluh tertahan. Lehernya kontan nyaris putus disambar cakar
kiri Gumarang. Darah kontan menyembur deras dari leher. Sebentar dia terhuyung lalu jatuh ke
tanah tidak bergerak lagi.
Napasnya putus seketika itu juga. Bahkan begitu jatuh di tanah, kawanan serigala
cepat merencahnya
dengan buas. Beberapa saat saja, orang-orang itu tinggal tulang belulangnya. Kawanan serigala
itu agaknya masih belum kenyang dengan santapan yang telah habis, sehingga sorot
mata mereka memancar tajam terarah pada Ki Lodaya dan kedua muridnya. Namun
dengan sekali melecutkan cambuknya, maka kawanan serigala itu perlahan-lahan
menjauh. "Rajendra! Apa yang kau peroleh dari Kadipaten Indrakasih?" tanya Ki Lodaya,
setelah kawanan serigala itu berlarian menjauhi mereka.
"Adipati Tanuwijaya mengadakan sayembara. Dia mencari orang-orang yang bisa
diandalkan untuk menghancurkan kita," jelas Rajendra alias Serigala Mata Satu
setelah menjura hormat
"Aku berhasil memporak-porandakan mereka, dan bermaksud menghabisi orang-orang
itu...," sahut Rajendra menghentikan kata-katanya sambil menundukkan kepala.
"Lalu"!" desak Ki Lodaya, keras penuh curiga.
"Kalau saja pada saat itu tak muncul seorang gadis berbaju biru yang
menggagalkan rencanaku...," lanjut Rajendra, takut-takut.
"Keparat! Jadi kau dikalahkan oleh gadis itu"!" bola mata Ki Lodaya" mendelik
garang. "Ma..., maafkan aku, Guru. Kepandaian gadis itu memang hebat. Aku telah berusaha
melawan sekuat tenaga, tapi dia memang terlalu kuat bagiku," jelas Rajendra,
terbata-bata. Serigala Iblis Bercambuk Emas diam beberapa saat sambil memandang muridnya
dengan sorot mata tajam. Sedangkan Rajendra tak berani mengangkat wajahnya. Dia
hanya bisa menunduk dalam-dalam, menekuri tanah. Agaknya, hatinya sudah pasrah
bila saja nanti mendapat hukuman yang akan dijatuhkan gurunya.
"Guru! Aku memang tak mampu menjalankan tugas dengan baik. Silakan kalau Guru
hendak menghukumku...," kata Rajendra lirih.
"Seharusnya kau memang pantas dihukum. Tapi, aku ingin tahu lebih lanjut apa
yang kau lakukan setelah kabur dari hadapan mereka?" tanya Ki Lodaya.
"Aku berusaha mencari tahu, siapa gadis itu. Lalu, aku menyelinap secara diamdiam di antara kerumunan penduduk desa," sahut Rajendra.
"Bagus! Lantas, apa yang kau ketahui tentangnya?"
"Tak banyak, Guru. Tapi, justru kawannya tiba-tiba saja dielu-elukan para
penduduk."
"Kawannya?"
"Ya! Agaknya, mereka baru tiba di kadipaten itu.
Kawan gadis itu adalah pemuda gagah berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan
membawa sebilah pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung.
Mereka menyebutnya sebagai Gusti Prabu.
Dan belakangan ini kuketahui, kalau dia adalah Raja dari Karang Setra," jelas
Rajendra. "Raja dari Karang Setra" Hm... Ya..., ya. Sebentar!
Apa yang kau katakan tadi" Pemuda tampan yang memakai baju rompi putih?" tanya
Ki Lodaya dengan wajah terkejut.
"Betul, Guru. Apakah Guru mengenalnya?"
"Apa dia orangnya...?" gumam Ki Lodaya seperti pada diri sendiri.
Kedua murid Ki Lodaya menjadi bingung melihat sikap gurunya.
"Apakah Guru mengenal pemuda itu?" tanya Gumarang, memberanikan diri.
"Aku curiga. Jangan-jangan, dia Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti" Siapa dia itu Guru?"
tanya Gumarang lagi.
"Dia seorang pendekar sakti yang tak terkalahkan.
Ciri-cirinya pernah kudengar dan kulihat sendiri. Dan itu sama persis dengan
yang diceritakan Rajendra.
Lagi pula, pernah kudengar kalau dia memang seorang raja yang sering berkelana!"
desis Ki Lodaya termangu sendiri.
"Guru! Apakah Guru khawatir jika dia datang ke tempat kita ini?" tanya Gumarang
kembali. Ki Lodaya tak langsung menjawab, melainkan memperhatikan wajah muridnya satu
persatu. "Tak seorang pun kuperkenankan untuk menang-kapku. Dengan adanya kalian
serigala-serigala liar, serta cambuk emas yang kumiliki ini, tak seorang pun
yang mampu mengusik kita!" tandas Ki Lodaya penuh semangat.
"Guru! Apakah kita perlu untuk menyerang mereka ke kadipaten itu?" tanya
Gumarang. "Tidak perlu. Aku tahu betul. Pendekar Rajawali Sakti tak akan diam begitu saja,
setelah mengetahui tentang kita. Dia pasti akan datang ke sini. Dan untuk itu,
kita harus siap-siap menyambutnya. Dan kau, Rajendra. Kali ini kegagalanmu
kumaafkan. Bersiap-lan untuk menghadapi lawan yang lebih tangguh!"
ujar Ki Lodaya sambil melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih, Guru!" sahut Rajendra, dengan wajah cerah.
Mereka kemudian berlalu dari tempat itu.
Sementara, matahari telah tenggelam di ufuk barat meninggalkan bias kemerahan
yang masih tersisa.
Dan perlahan-lahan, cahayanya memudar ketika malam telah menyergap kawasan itu
*** 8 Kegelapan mulai menyelimuti seluruh kawasan Bukit Serigala ini. Dingin menyapu
sekitarnya, begitu angin bertiup perlahan-lahan. Langit terlihat cerah. Dan
bulan lembut sekali memancarkan sinar yang kemilau menerangi seluruh tempat itu.
Di kejauhan, terdengar lolongan serigala saling bersahutan.
Di sebuah jalan yang menuju Bukit Serigala, tampak dua orang tengah mengendarai
kuda. Mereka berhenti persis di dekat sebuah batu karang yang menjulang ke atas
dan membentuk sebuah kerucut.
Bagian bawahnya sendiri lebar tak rata, dan terus bersambung dengan jejeran
bukit-bukit kecil yang tandus di sekitarnya. Sementara, tak jauh di belakang
gugusan karang-karang kecil itu terlihat sebuah hutan yang memanjang dan luas.
Sedangkan di depan mereka, terhambar padang rumput yang cukup lebar.
Dan di ujung mata memandang, terlihat dua buah gunung yang menjulang tinggi.
Kedua anak muda yang tak lain Rangga dan
Pandan Wangi itu memandang sekilas ke sekeliling tempat itu tanpa turun dari
punggung kuda masing-masing.
"Kakang! Tempat ini sepi dan menyeramkan...,"
kata Pandan Wangi sambil memandang ke sekeliling.
"Kenapa" Kau takut?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.
"Tidak. Justru aku ingin cepat-cepat melihat tampang orang yang berjuluk
Serigala Iblis Bercambuk Emas!" sahut Pandan Wangi sengit.
"Kurasa dia telah mengetahui kehadiran kita...,"
kata Rangga tenang.
"Kakang...?"
Pandan Wangi langsung memandang wajah
pemuda itu, seolah ingin meyakinkan kata-kata yang dikeluarkan Rangga tadi.
"Mereka tengah mengawasi kita," kata Rangga tersenyum dan mengangguk.
"Di mana?"
"Di balik pepohonan itu...," tunjuk Rangga, ke sebuah pohon yang tumbuh beberapa
tombak di depannya.
Baru saja Rangga selesai berkata demikian, mendadak melesat satu sosok tubuh
dari arah yang ditunjuknya.
"Ha ha ha...! Dugaanku tak salah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti berkenan juga
untuk mengunjungi tempatku yang buruk ini!"
Begitu menjejakkan kaki pada jarak sepuluh langkah di depan Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi, sosok itu langsung tertawa terbahak-bahak.
Rangga dan Pandan Wangi jelas dapat melihat sesosok laki-laki bertubuh sedang
itu. Tampak kain kuning, diselempangkan ke pundak kirinya. Muka-nya seram dan
kedua rahangnya menonjol. Rambutnya panjang riap-riap berwarna kuning keemasan.
Di pinggang sebelah kanan, terlihat seutas cambuk berwarna keemasan.
"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Rangga meyakinkan.
"Tak salah. Ternyata, namaku telah sampai pula di telingamu!" sahut orang yang
berjuluk Serigala Iblis
Bercambuk Emas itu sambil tersenyum sinis.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Aku telah banyak mendengar sepak terjangmu
bersama dua muridmu.
Dan ternyata kau sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. Maka, kuminta agar kau
dan dua muridmu menyerahkan diri sekarang juga...."
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tak perlu berbasa-basi! Tempat ini milikku. Dan,
akulah yang berkuasa di sini. Tak seorang pun yang berhak memerintahku.
Jika aku ingin nyawa kalian, hanya seperti membalikkan tangan saja. Nah! Tak
usah banyak bicara lagi. Cabutlah pedangmu, dan pertahankan nyawamu.
Karena, aku akan mengambil sekarang juga!" sentak Serigala Iblis Bercambuk Emas.
"Hm.... Aku percaya kata-katamu itu, Kisanak. Tapi, jangan terlalu jumawa. Aku
takut, malah kau sendiri yang terkubur di sini bersama dua muridmu yang berjiwa
melempem, karena terus bersembunyi di belakang pohon itu," balas Pendekar
Rajawali Sakti dingin.
Ki Lodaya mendengus geram mendengar
perkataan Pendekar Rajawali Sakti yang seperti meremehkannya. Kemudian matanya
memandang ke satu arah, seraya melambaikan tangannya. Saat itu juga, melesat dua
sosok tubuh ke tempat ini. Mereka tak lain dari Gumarang alias Serigala Buntung,
dan Rajendra alias Serigala Mata Satu.
"Nah! Kami kini telah berkumpul. Kau boleh menentukan kematianmu sendiri,
Kisanak," geram Ki Lodaya.
"Apakah kalian bersungguh-sungguh" Padahal aku datang secara baik-baik. Tapi
apabila kau menjualnya apa salahnya kubeli. Sekalian untuk mempertanggungjawabkan sepak terjangmu selama ini...,"
timpal Rangga lagi, tenang.
"Banyak mulut! Lebih baik, mampuslah kau sekarang!" bentak Rajendra.
Kemudian, Serigala Mata Satu langsung melemparkan paku-paku racunnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas, kuperingatkan sekali lagi! Aku masih bisa
menahan sabar, agar tidak ada pertumpahan darah!" bentak Rangga sambil melompat
dari punggung kudanya untuk menghindari lemparan senjata rahasia Rajendra.
"Sebaiknya jagalah dirimu agar selamat, daripada coba-coba mengancamku!" balas
Ki Lodaya sudah langsung melecut cambuknya, tepat ketika Rangga mendarat manis
di tanah. Ctarrr...! Belum juga gema lecutan cambuk itu hilang, dari kejauhan terlihat puluhan ekor
kawanan serigala liar berlari kencang mendekati tempat itu. Ki Lodaya langsung
menunjukkan wajah cerah.
"Kau lihat itu, Pendekar Rajawali Sakti" Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki,
mampukah melawan kawanan serigala yang buas dan kelaparan itu" Ha ha ha...!
Kalian akan mampus direncah mereka!" ejek Ki Lodaya sambil tertawa.
*** Rangga tersenyum dingin, kemudian bersuit nyaring. Maka dari jarak yang cukup
jauh, terlihat lebih dari seratus orang penduduk berdatangan sambil menyalakan
obor. Dan kini mereka siap menghadang kawanan serigala itu. Ki Lodaya tersentak
kaget. Demikian juga kedua orang
muridnya. "Serigala-serigala liar itu kini mempunyai lawan-lawannya. Dan kalian akan
berurusan dengan kami!"
kata Rangga kalem.
"Huh! Kalau begitu, mampuslah kalian!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan
cambuknya menghajar lawan.
Ctarrr...! Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas ketika merasakan angin kencang
yang membuat perih kulit tubuhnya, akibat lecutan cambuk lawan.
Dan bersamaan dengan itu, kawanan serigala yang tengah dihadang para penduduk
itu terlihat semakin garang saja. Meskipun pada mulanya takut-takut melihat obor
yang menerangi tempat itu, namun lecutan cambuk itu seperti memacu keberanian
mereka! Sehingga, tak heran bila beberapa ekor serigala berani menjerang orang-orang
yang tengah menghadangnya. Dan hal itu menimbulkan kekalutan bagi orang-orang yang
kebanyakan bermodal keberanian saja. Ketika tercium bau darah yang berasal dai
beberapa orang yang berhasil dilukai, kawanan serigala itu seperti berlomba
untuk mendapatkan mangsanya. Apalagi, ketika mendengar suara cambuk yang
berkali-kali melecut di angkasa.
Maka kawanan serigala itu bertambah liar dan buas saja.
Hal itu agaknya disengaja oleh Ki Lodaya untuk mengalihkan perhatian lawan. Di
samping mempengaruhi kawanan serigala. Hal inilah yang membuat Pendekar Rajawali
Sakti menjadi geram. Apalagi, ketika mendengar jeritan kesakitan dari beberapa
orang penduduk yang mulai menjadi korban
kebuasan kawanan serigala itu.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kau sudah keterlaluan! Perbuatanmu tak bisa
kubiarkan lagi.
Pertahankanlah jiwamu sekuat mungkin!" geram Rangga sambil mencabut pedang
pusakanya. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti menganggap kalau lawannya tidak mungkin
dihadapi dengan tangan kosong saja. Apalagi, ketika melihat kawanan serigala itu
telah membunuh beberapa penduduk.
Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau tanggung-tanggung lagi. Maka untuk
menahan lecutan cambuk yang bisa mempengaruhi serigala, Rangga harus mencabut
pedangnya. Srang! "Heh"!"
Untuk sesaat, Ki Lodaya dan Rajendra tersentak kaget melihat sinar biru
terpancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang menerangi sekitarnya.
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa kemarahan, seperti seekor
rajawali yang hendak menerkam mangsanya.
"Keparat! Apa kau pikir aku takut dengan pedang bututmu"!" geram Ki Lodaya dan


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Bukit Serigala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muridnya. Dan mereka sudah langsung melompat menyerang lawan.
"Yeaaa...!"
Ser! Ser! Ctarrr...! Dengan didahului lontaran paku-paku beracun, Serigala Mata Satu, langsung
menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata tombak bermata tiga yang
diputar-putar bagai kitiran.
Sementara, Serigala Iblis Bercambuk Emas
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang dimiliki, sambil mengayunkan
cambuk yang siap
menjilat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga cepat menyilangkan pedangnya persis di depan wajah, kemudian mendadak
tubuhnya melompat ke atas. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega', yang digabung dengan jurus
'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Trasss! Trasss!
Eeerrr...! Sekali pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, maka paku-paku
beracun yang dilepaskan Serigala Mata Satu rontok tak berbentuk.
Bahkan tombak bermata tiga di tangannya pun patah menjadi tiga bagian. Dan tubuh
Rajendra nyaris terkoyak kalau saja pada saat itu tak buru-buru menjatuhkan diri
ke tanah. Demikian pula halnya Serigala Iblis Bercambuk Emas. Bukan main terkejutnya dia,
ketika melihat cambuknya yang melesat ke arah lawan, dihajar Pedang Pusaka
Pendekar Rajawali Sakti hingga putus dari setengahnya.
Saat itu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti tampak bergetar menyambar ke arah
dadanya. Ki Lodaya tergagap, dan berusaha menjatuhkan diri ke bawah. Namun,
Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kaki kiri. Begitu cepatnya
tendangan itu, sehingga tak mampu dihindari.
Desss! "Aaakh...!"
Ki Lodaya kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah lebih
kurang tujuh langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun Pendekar Rajawali
Sakti tak langsung mengejar. Dia
malah berjalan perlahan-lahan mendekati lawan yang berusaha bangkit susah payah.
Dan tanpa diketahui, tiba-tiba Rajendra melesat cepat hendak membokong Pendekar
Rajawali Sakti. Untung saja pada saat yang sama, terdengar satu suara nyaring
yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Dan sosok itu langsung memapak serangan
Serigala Mata Satu!
"Pendekar Rajawali Sakti! Izinkanlah Dewa Bermuka Bulan untuk membantumu
menghajar keparat licik ini! Yeaaa...!"
Ternyata sosok itu adalah Dewa Bermuka Bulan.
Dan laki-laki berpakaian serba hitam itu langsung menyerang Serigala Mata Satu.
Rangga tak menoleh sedikit pun mendengar suara itu. Pandangannya masih lurus
menatap ke arah Ki Lodaya, seperti tak berkedip. Serigala Iblis Bercambuk Emas
itu sendiri beringsut-ingsut mundur dengan wajah ketakutan.
"Ampun.... Ampunilah selembar nyawa ini, Kisanak.
Aku mengaku salah, dan rela dihukum berat asal kau tak mencabut nyawaku ini...!"
ratap Ki Lodaya, memasang wajah memilukan.
Langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti, ketika jaraknya hanya tinggal tiga
langkah lagi. Ditatapnya wajah Ki Lodaya yang memelas itu sesaat. Kemudian tanpa
berkata apa-apa, tubuhnya berbalik dan bersiap menyarungkan pedangnya perlahanlahan. Merasa kalau lawan berbuat lengah, diam-diam Ki Lodaya mencabut dua bilah pisau
kecil berwarna keemasan dari balik pinggangnya. Dan pisau beracun yang jarang
digunakan itu cepat dihujamkan ke arah dua paha lawan.
"Mampuslah kau keparat! Hiiih!"
Wuttt! Namun Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah menduga kelicikan Ki Lodaya. Maka
tubuhnya langsung melenting ke atas sambil berputar. Seketika pedangnya
berkelebat, menyambar dengan gerakan menyilang.
Crasss! "Aaa...!"
Mulai dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ki Lodaya nyaris terbelah tersambar
senjata Pendekar Rajawali Sakti. Diiringi jeritan panjang memilukan, tubuh
Serigala Iblis Bercambuk Emas langsung ambruk ke tanah. Setelah meregang nyawa
sesaat, Nyawa Ki Lodaya melayang saat itu juga.
*** Melihat kematian gurunya, agaknya berpengaruh besar bagi Rajendra dan Gumarang.
Bahkan Gumarang yang sejak tadi didesak habis-habisan oleh Pandan Wangi, kini harus
menerima pengalaman pahit, begitu lengah saat melihat kematian gurunya.
Pedang di tangan Pandan Wangi tanpa dapat dicegah lagi menyambar tangan kirinya
sebatas bahu! Crasss! "Aaakh...!"
Serigala Buntung kontan memekik kesakitan, begitu tangannya buntung sebatas
bahu. Dan nampaknya Pandan Wangi tidak memberi
kesempatan lagi. Kaki kanannya cepat bergerak menghajar dada kiri Gumarang.
Begkh! "Ugkh!"
Serigala Buntung kembali memekik kesakitan.
Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa langkah sambil memuntahkan darah
segar. Bahkan tulang rusuk di dada kirinya sempat patah dan melesak ke dalam,
akibat tendangan Pandan Wangi.
Seketika Gumarang hanya bisa menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam
tak bergerak lagi.
Mati! Sementara itu Serigala Mata Satu, semakin gelisah saja melihat guru dan saudara
seperguruannya tewas. Lebih lagi, yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh
yang pernah mempecundanginya beberapa hari, yaitu Dewa Bermuka Bulan. Tanpa
tombaknya, Rajendra menjadi bulan-bulanan dan hanya mengandalkan senjata rahasia
yang semakin menipis jumlahnya. Sedangkan Dewa Bermuka Bulan terus mencecar dan
tak memberi sedikit pun kesempatan.
Dalam satu kesempatan ujung pedangnya
menyambar dada Rajendra. Begitu cepat sambarannya, sehingga Rajendra tak bisa
menghindarinya.
Crasss! "Aaakh...!"
Serigala Mata Satu kontan menjerit kesakitan begitu perutnya robek tersambar
pedang Dewa Bermuka Bulan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki
berpakaian serba hitam itu, dengan pedangnya kembali berkelebat menyambar.
Crasss! "Aaa...!"
Kali ini, Serigala Mata Satu hanya bisa berteriak tertahan ketika ujung pedang
Dewa Bermuka Bulan nyaris membuat lehernya putus! Darah kontan
muncrat dari leher. Sebentar Rajendra terhuyung-huyung, lalu ambruk ke tanah.
Mati! "Mampus!" dengus Dewa Bermuka Bulan sambil menyarungkan pedangnya.
Dewa Bermuka Bulan melihat sekilas ke arah para penduduk desa yang berhasil
mengusir kawanan serigala itu. Sejak cambuk di tangan Ki Lodaya berhasil
dihancurkan Pendekar Rajawali Sakti, kawanan serigala itu seperti kebingungan.
Maka kesempatan itu digunakan sebagian penduduk desa yang terdiri dari para
pengawal kadipaten dan jago-jago silat, untuk menghalau serigala-serigala itu.
Tindakan itu tentu saja membuat penduduk lain yang tadinya merasa takut,
langsung bangkit semangatnya.
Dan secara beramai-ramai mereka menghalau kawanan serigala hingga lari terbiritbirit meninggalkan tempat itu. Kemudian sambil berteriak-teriak gembira, mereka
beramai-ramai menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Serigala Iblis Bercambuk Emas telah mati! Hidup Pendekar Rajawali Sakti!"
teriak seseorang.
"Hidup Raja Karang Setra...!" timpal yang lain dengan gegap gempita.
"Hm.... Tak kusangka kalau penolongku ternyata seorang pendekar tersohor!" ujar
Dewa Bermuka Bulan sambil menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
"Terima kasih juga atas pertolonganmu, Kisanak,"
sahut Rangga merendah.
"Ah, tak perlu! Aku memang mempunyai dendam terhadap mereka. Tak dapat si
keparat Lodaya itu, muridnya pun tak apa. Nah, Kisanak. Rasanya aku tak bisa
berlama-lama di sini. Selamat tinggal, dan sampai ketemu lagi!" sahut Dewa
Bermuka Bulan. Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu, sebelum rombongan yang
dipimpin Adipati
Tanuwijaya tiba di tempat itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang cukup tinggi,
sehingga sebentar saja tubuhnya telah menghilang dari tempat itu.
Rangga dan Pandan Wangi hanya tersenyum
melihat Dewa Bermuka Bulan. Tak lama kemudian, mereka harus menghadapi kerumunan
penduduk desa yang mengelu-elukannya. Bukit Serigala yang semula sepi dan
menimbulkan ketakutan bagi siapa yang mendekatinya, kini ramai oleh teriakan
suka cita para penduduk kadipaten. Sinar rembulan dan obor-obor yang dibawa para
penduduk menerangi tempat itu.
"Gusti Prabu, aku akan merasa mendapat kehormatan bila Gusti Prabu mengunjungi
raja kami,"
pinta Adipati Tanuwijaya.
"Adipati Tanuwijaya, aku telah mampir ke wilayah negeri ini. Dan mau tak mau,
aku harus beranjang-sana kepada raja kalian. Terima kasih atas keramahtamahan
yang kuterima," sahut Rangga sambil tersenyum.
"Oh, sungguhkah itu?" tanya Adipati Tanuwijaya meyakinkan.
Rangga kembali mengangguk pelan.
"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih. Ini suatu kemuliaan bagi hamba,
bisa mengawal Gusti Prabu. Kami akan menyiapkan segala sesuatunya bagi keperluan
Gusti Prabu!" sahut Adipati Tanuwijaya cepat.
Tak berapa lama kemudian, mereka segera
meninggalkan Bukit Serigala sambil berteriak-teriak melepaskan perasaan gembira
yang meluap. Sementara, malam telah merambat pagi. Di kejauhan
terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan tanda datangnya kehidupan baru.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Panji Sakti 4 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Pedang Kiri 3

Cari Blog Ini