Ceritasilat Novel Online

Dewa Racun Hitam 1

Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam Bagian 1


106. Dewa Racun Hitam
baca online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana
Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Pendekar Rajawali Sakti
episode: Dewa Racun Hitam
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
1 Hari belum lagi terlalu sore ketika dua orang penunggang kuda memasuki sebuah
desa yang cukup ramai. Yang seorang adalah pemuda tampan berpakaian rompi putih.
Pedangnya yang bergagang kepala burung, tampak tersampir di punggung. Dia tak
lain dari Rangga, yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, penunggang
kuda yang seorang lagi adalah gadis cantik berpakaian ketat warna biru muda.
Kalau melihat kipas baja putih yang terselip di pinggangnya maka jelas sudah
kalau gadis itu adalah Pandan Wangi. Kipas baja putih itulah yang menyebabkan
dia dijuluki si Kipas Maut.
Rangga dan Pandan Wangi tertegun sejenak, begitu di depan sana terlihat
keramaian seperti sebuah pesta besar. Orang-orang tampak berkumpul di alun-alun
desa. Dan di sepanjang jalan utama desa terlihat umbul-umbul berwarna warni.
Sementara, dari kejauhan terdengar irama gamelan yang hingar bingar, diiringi
alunan tembang merdu dari seorang pesinden. Ketika kedua pendekar dari Karang
Setra itu mendekat, terlihat kalau keramaian ini berasal dari sebuah rumah yang
cukup besar. Dari beberapa orang yang ditanyai, ternyata rumah itu milik Kepala
Desa Bugelan ini.
"Kau ingin ikut menari, Kakang?" sindir Pandan Wangi.
Itu dilakukannya ketika melihat Rangga tengah memperhatikan beberapa orang
pemuda desa yang menari sambil mencari pasangan wanita yang sejak tadi menari
mengikuti irama gamelan itu.
Rangga tersenyum kecil sambil memandang gadis itu sekilas.
"Apakah aku berbakat...?"
"Apakah untuk urusan begini masih diperlukan bakat lagi?" kata Pandan Wangi,
balik bertanya. Namun Rangga tak mau meladeni ocehan gadis itu. Dia tahu betul,
kalau diteruskan bisa-bisa Pandan Wangi sendiri yang akhirnya cemburu. Dan kalau
sudah begitu, pasti akhirnya merajuk.
"Bagaimama, Kakang?" tanya Pandan Wangi, sambil tersenyum kecil.
"Terserah kau saja...."
"Gadis penari itu cantik-cantik, yah...," lanjut Pandan Wangi seperti bergumam.
"Ya, mereka cantik sekali!" sambung Rangga seperti hendak memanas-manasi.
Kalau sudah begitu, Pandan Wangi akan terdiam sendiri. Dan Rangga jadi tersenyum
di hati. Dan ketika mereka baru saja akan beranjak, tiba-tiba terdengar ributribut dari ujung desa. Beberapa orang tampak lari tergopoh gopoh sambil
berteriak teriak.
'Tolong...! Banyak orang mati di dekat sumur!"
"Heh"!"
Orang-orang yang berada di dekat keramaian itu kontan tersentak kaget. Bahkan
tari-tarian itu kontan berhenti. Beberapa orang segera bergerak untuk melihat
kejadian yang sebenarnya. Namun belum lagi jauh berjalan, mendadak....
"Ada orang mati! Ada orang mati...!"
Kembali terdengar teriakan-teriakan dari dua arah yang berbeda.
"Samiun dan keluarganya mati...!"
"Kurang ajar! Perbuatan siapa ini sebenarnya"!" bentak salah seorang yang
memiliki cambang bauk sambil melompat dari arena tari-tarian, diikuti beberapa
orang yang membawa golok di pinggangnya.
Agaknya, laki-laki bercambang bauk itu adalah kepala keamanan Desa Bugelan ini.
Tentu saja dia merasa bertanggung jawab atas kejadian yang langsung berturutturut menimpa desanya. Hal itu tentu saja mengejutkan. Apalagi ketika beberapa
orang kembali muncul, sambil berteriak-teriak seperti beberapa orang sebelumnya.
'Tolooong...! Ada setan! Ada setaaan...!"
"Mana setannya"! Mana"!" sahut beberapa orang pemuda desa dengan wajah garang.
"Di sana!"
"Di sebelah sana..!"
Para pemuda desa itu bingung sesaat, ketika melihat orang-orang yang baru datang
menunjuk ke beberapa arah. Tapi, mereka akhirnya sepakat mengambil keputusan
untuk berpencar.
Maka dalam sekejap keramaian itu terganggu oleh orang-orang yang mulai
ketakutan. Sedangkan kepala desa ini sudah mengamankan anak-istrinya di dalam
rumah. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi tentu saja tak mau tinggal diam
melihat keadaan itu.
Pandan Wangi telah lebih dulu memacu kuda nya ke satu arah, begitu melihat
orang-orang banyak berlarian dari arah itu. Dan Rangga baru saja akan menyusul,
namun seketika jadi ragu begitu melihat penduduk berlarian dengan wajah
ketakutan dari arah berbeda. Dalam sesaat hatinya ragu, namun cepat mengambil
keputusan untuk memacu kudanya ke arah itu.
Sementara, kuda berbulu putih milik Pandan Wangi telah berlari sekencangkencangnya. Beberapa orang desa yang lebih dulu memburu ke arah itu telah
terlewati. Dan seketika Pandan Wangi terkejut begitu mendengar jerit kesakitan
tak begitu jauh di depannya.
"Sial! Siapa orang-orang yang bertindak biadab ini"!" geram gadis itu kesal
ketika menemukan tiga sosok tubuh telah bergelimpangan menjadi mayat.
Tubuh ketiga mayat itu telah membiru, diselingi warna kemerah-merahan. Tak ada
luka pukulan atau sabetan luka kecil bekas gigitan.
"Biadab! Mereka terkena racun hewan berbisa!" maki Pandan Wangi, semakin geram.
Gadis itu kembali terkejut ketika mendengar jeritan menyayat yang sayup-sayup.
Buru-buru dia melompat kembali ke punggung kudanya, mendatangi tempat itu.
Kudanya langsung digebah, menuju sumber jeritan. Dan begitu tiba di situ,
kembali terlihat beberapa sosok tubuh bergelimpangan telah menjadi mayat.
Keadaan mereka hampir sama dengan mayat-mayat yang ditemui tadi. Pandan Wangi
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan seketika sempat dilihatnya sekilas
bayangan melesat cepat dari tempat itu.
"Hei, jangan lari! Berhenti, Pengecut!" bentak Pandan Wangi sengit.
*** Pandan Wangi langsung mengejar dengan kudanya dipacu kencang-kencang. Namun
sosok bayangan itu berlari amat kencang, karena mempergunakan ilmu meringankan
tubuh yang tinggi. Sehingga meskipun Pandan Wangi telah memacu kudanya, bayangan
itu belum juga tersusul. Melihat hal ini Pandan Wangi semakin penasaran saja
dibuatnya. Hingga senja telah berlalu, Pandan Wangi telah semakin jauh dari desa
itu, menyusuri tepi hutan. Dan yang membuat gadis itu penasaran adalah, jarak
yang semakin lama semakin pendek. Sehingga, mulai jelas terlihat sosok bayangan
tadi. Dari belakang, bentuk tubuhnya kecil dan kepalanya botak. Dari bentuk tangan dan
kaki, diduga buruannya tak lebih dan seorang bocah laki-laki bengal. Tapi,
betapa hebatnya kalau seorang bocah mampu berlari sedemikian kencang! Dan lebih
gila lagi, tenaga dan daya tahan tubuhnya luar biasa!
"Hiyaaa...!"
Namun, si Kipas Maut tentu saja tak ingin buruannya lolos. Maka dari atas kuda,
Pandan Wangi melesat cepat bagai kilat.
"Berhenti! Kalau tidak, kupecahkan kepala mu!" bentak Pandan Wangi, begitu
mendarat di hadapan bocah itu.
"Heh"!" Bocah itu kontan tersentak. Tapi sungguh tak diduga sama sekah kalau
tiba-tiba saja dia melompat menyerang Pandan Wangi sambil mengayunkan kepalan
tangan ke dada.
"Yeaaa...!"
"Kurang ajar!" maki Pandan Wangi, seraya menangkis dengan tangannya.
Plak! "Hei!"
Pandan Wangi sadar, lawan di hadapannya hanya seorang bocah. Maka gadis itu jadi
merasa tak tega ketika menangkis, sehingga hanya mengerahkan seperempat
tenaganya. Namun alangkah kagetnya Pandan Wangi manakala tangannya terasa linu
akibat benturan tangan tadi.
Dan belum juga habis rasa kagetnya, mendadak satu tendangan kuat dilancarkan
bocah itu ke bagian bawah perutnya. Begitu cepat tendangan itu, sehingga membuat
Pandan Wangi terperanjat.
"Hiaaaa...!"
Masih untung, Pandan Wangi cepat melompat ke samping. Maka, tubuhnya luput dari
serangan bocah itu
"Bocah keparat! Agaknya kau tak bisa dikasih hati. Biar kubuat benjol kepalamu
yang botak itu, baru tahu rasa!"
Tapi bocah itu sama sekali tak menyahut. Bahkan seperti tak peduli. Dan tibatiba saja, bocah itu menghentakkan tangannya. Seketika meluncurlah beberapa
benda yang semula tersimpan di saku bajunya yang lebar dan dalam.
Serrr! "Hei"! Hewan-hewan berbisa"! Kurang ajar! Rupanya memang kau pelaku pembunuhan
itu, heh"! Hm.... Kau tak akan kuampuni lagi!" dengus Pandan Wangi, ketika
melihat kalau benda benda itu ternyata adalah hewan-hewan berbisa berupa
kalajengking, kelabang, dan ular merah berbadan kecil.
"Hup!"
Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niatnya untuk menghajar batok kepala bocah
itu. Tubuhnya segera jungkir balik, menghindari serangan hewan-hewan berbisa
sambil mencabut Kipas Mautnya. Dan seketika, kipas bajanya dikebutkan cepat
bagai kilat. Srakkk! Werrr...! Dengan sekali kibas saja, hewan-hewan berbisa itu kembali terpental ke
pemiliknya. Namun dengan sigap bocah itu menangkapnya. Dia bermaksud akan
melepaskan hewan-hewan menjijikkan itu kembali, namun ujung kipas la wan Pandan
Wangi yang terkembang, cepat menyambar ke arahnya. Akibatnya, bocah itu jadi
tergagap. Maka buru-buru dia melompat menghindar.
"Hiiih!"
"Uts...!"
Pandan Wangi agaknya tak ingin memberi kesempatan sedikit pun bagi bocah itu
untuk membangun pertahanan.
Dan bocah itu sendiri, agaknya masih mampu menghindari serangan-serangan gencar
lawannya. Meskipun, terlihat kerepotan. Tampak wajahnya meringis. Dan memang
harus diakui, cepat atau lambat lawan pasti akan menjatuhkannya.
"Hiyaaat...!"
Satu serangan kepalan tangan kiri Pandan Wangi, membuat bocah itu terkejut.
Pukulan itu bukan main-main, karena dilancarkan lewat tenaga dalam tinggi. Bocah
itu terus melompat ke belakang sambil jungkir balik menghindarinya. Tapi,
tendangan berikut yang dilancarkan Pandan Wangi semakin membuatnya terdesak.
Bocah itu mulai berpikir kalau dalam serangan selanjutnya pasti akan dapat
dijatuhkan. Maka cepat tangannya bergerak, melemparkan kembali binatang-binatang
berbisa begitu ada kesempatan.
Serrr...! Namun Pandan Wangi telah memperkirakan hal itu. Kipas Mautnya tak tanggungtanggung lagi, langsung dikibaskan cepat dihancurkannya binatang-binatang itu.
Kemudian dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, tangannya menghantam
perut bocah itu.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Bocah itu kontan memekik kesakitan, namun masih sempat membuang diri untuk
menghindari serangan berikut.
"Bocah sial! Kau memang betul-betul tak bisa dikasih ampun! Terimalah ini
hajaranku!" dengus Pandan Wangi.
Serrr...! Tiba-tiba saja meluncur serangkum angin kencang dari arah belakang.
"Uts...! Brengsek!" Pandan Wangi memaki kesal.
Secepat itu pula, Pandan Wangi menghindar ke samping sambil mengayunkan Kipas
Mautnya. Prakk! Agaknya angin serangan itu bukan pukulan biasa. Melainkan hewan-hewan beracun
seperti yang dikeluarkan bocah tadi. Tapi, jelas bukan bocah ini yang
melakukannya, karena serangan gelap itu berasal dari arah belakang. Maka ...
"Yeaaa...!"
Pandan Wangi segera melesat cepat, begitu melihat kelebatan bayangan hitam yang
bergerak cepat menjauh.
Hanya sekelebatan saja gadis itu mampu melihat buruannya. Dan bayangan itu telah
menghilang dari pandangaa. Tapi, mana mau Pandan Wangi menyerah begitu saja" Hal
itu justru membuatnya penasaran. Gadis itu terus mencari, menelusuri tempat
sekitarnya. Namun, hasilnya nihil.
Dengan kesal gadis itu kembali ke tempat pertarungan tadi. Dan kekesalan hatinya
semakin menjadi-jadi, ketika melihat bocah berkepala botak yang dilukainya tadi
juga telah menghilang dari tempat itu. Pandan Wangi melihat tetesan darah yang
mengucur di tanah. Namun hanya sebatas beberapa tombak saja. Selebihnya, raib
entah ke mana. Tapi hal itu semakin menambah penasarannya saja.
Kini gadis itu segera menghampiri kuda putihnya. Dia melompat ringan, dan
mendarat di punggung kudanya. Manis sekali gerakannya, tanda ilmu meringankan
tubuhnya makin sempurna saja. Lalu tanpa mempedulikan malam yang kian merambat
pekat, Pandan Wangi memacu kudanya perlahan-lahan menuju arah lurus dari
hilangnya noda darah di tanah itu.
*** Apa yang dilihat Rangga benar-benar menggiriskan. Beberapa penduduk desa yang
tadi berkerumun di depan rumah kepala desa menonton keramaian, kini kedapatan
tewas. Padahal mereka tadi menuju ke arah ini, untuk melihat apa yang
menyebabkan penduduk desa berlari-lari ketakutan. Pendekar Rajawali Sakti segera
memeriksa mayat-mayat itu. Langsung diketahuinya kalau mereka tewas akibat
sengatan hewan-hewan berbisa yang amat mematikan.
"Hm..., Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini?" gumam Rangga sambil
memperhatikan mayat-mayat satu persatu.
Pendekar Rajawali Sakti mengangkat kepala nya. Pandangannya langsung tertuju ke
depan yang terlihat sepi. Segera dia melompat ke punggung kudanya dan menggebah
perlahan. Diperiksanya keadaan tempat itu. Matanya yang jeli melihat tanda tanda
yang mencurigakan. Maka kudanya segera dipacu ke utara. Semakin lama, tandatanda yang ditemuinya semakin menghilang. Dan di sebuah padang rumput luas,
jejak itu hilang sama sekali seperti ditelan bumi. Terus terang, Rangga agak
ragu meneruskan langkahnya. Bukan saja karena hari telah menjelang malam, namun
ada yang lebih penting. Keselamatan Pandan Wangilah yang dikhawatirkan.
Tanpa mempedulikan lagi buruannya, Pendekar Rajawali Sakti memutar langkah dan
kembali menuju Desa Bugelan. Malam telah semakin larut ketika Pendekar Rajawali
Sakti tiba di Desa Bugelan kembali. Suasana desa ini begitu sepi, sejak kejadian
itu. Banyak penduduk yang telah mengunci pintunya rapat-rapat. Begitu sunyinya,
sampai-sampai desah napas Pendekar Rajawali Sakti terdengar jelas. Memang, tak
seorang pun yang ditemuinya berkeliaran di luar rumah. Rumah kepala desa yang
tadi ramai, kini hanya tinggal sisa-sisanya saja. Umbul-umbul masih berkibarkibar ditiup angin. Tak terasa, suasana sangat mencekam. Dan sepertinya siap ada
jatuh korban lagi dalam sekejap mata.
"Kita menunggu di sini saja, Hitam...," ujar pemuda itu pelan.
Rangga menambatkan kudanya tak jauh dari halaman rumah Kepala Desa Bugelan, yang
rupanya sosok orang penakut. Buktinya, batang hidungnya tak pernah nampak sejak
peristiwa di desa yang menjadi tanggung jawabnya. Pendekar Rajawali Sakti
menunggu beberapa saat lamanya. Namun sampai jauh malam, bahkan ketika kokok
ayam berbunyi, belum juga terlihat tanda-tanda kalau Pandan Wangi akan hadir di
tempat itu. Hatinya jadi gelisah, Kini Pendekar Rajawali Sakti segera mendekati
kuda hitam tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Dia langsung melompat, dan
hinggap di punggung kudanya. Digebahnya kuda itu perlahan. Kini yang jadi tujuan
Pendekar Rajawali Sakti adalah arah yang ditempuh Pandan Wangi kemarin sore.
Namun sampai matahari mulai meninggi dan telah berjalan jauh, jejak Pandan Wangi
belum juga terlihat. Pemuda itu mulai merasa cemas. Memang, Pandan Wangi kadang
suka ceroboh dan tak berpikir panjang. Kalau sudah begini, Ranggalah yang
kerepotan. "Hitam, mari kita ke selatan. Aku harus memanggil Rajawali Putih sobatku, untuk
mencari Pandan Wangi," kata Rangga sambil memacu kudanya.
Tak berapa lama menempuh perjalanan, Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Jipang
yang suasananya begitu hening. Kelihatannya hampir tak ada keceriaan di sini.
Beberapa penduduk terlihat menunjukkan wajah sedih dan murung. Beberapa orang
malah berkumpul di depan pintu rumah, sementara dari dalamnya terdengar isak
tangis yang memilukan. Keadaan itu tentu saja membuat Rangga tertegun. Pemuda
itu segera turun dari punggung. kudanya, dan menghampiri salah seorang di
depannya.

Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Kisanak. Apa yang terjadi di desa ini?"
Orang yang ditanya hanya memandang sekilas kepada Pendekar Rajawali Sakti. Sorot
matanya tak penuh selidik, namun terkesan putus asa.
"Bencana telah menimpa kami..." sahut orang itu lesu.
"Boleh kutahu, bencana apa yang telah menimpa di sini?"
"Desa kami telah kena kutuk..."
"Hm.... Kena kutuk bagaimana?" tanya Rangga semakin bingung.
"Seluruh mata air di desa ini tercemar racun. Akibatnya beberapa orang kedapatan
tewas setelah menggunakan air. Padahal sebelumnya segar-bugar. Dan dari beberapa
orang dukun, mengatakan bahwa kami harus mempersembahkan sesuatu kepada penunggu
air terjun di ujung timur desa kalau bencana ini tak ingin berkepanjangan,"
jelas orang itu.
"Apa yang akan kalian persembahkan kepada penunggu air terjun itu?"
Orang itu tak langsung menjawab. Wajahnya terlihat semakin murung. Kelihatan
mulutnya berat untuk dibuka.
"Gadis perawan dengan perhiasan-perhiasan mahal di tubuhnya..," akhirnya,
meluncur juga kata-kata orang itu.
Rangga menganggukkan kepala mendengar, penjelasan itu, meskipun terasa ada yang
mengganjal hatinya.
"Apakah kejadian ini pernah terjadi sebelumnya..!?"
Orang itu menggeleng lesu.
"Baru kali ini...."
"Aneh sekali! Kenapa harus gadis perawan" Kenapa harus mengenakan perhiasanperhiasan mahal..?" tanya Rangga seperti pada diri sendiri.
"Kami juga tak tahu. Tapi kalau tak dituruti, seluruh penduduk desa ini akan
tertimpa bencana yang lebih mengerikan."
"Kapan persembahan itu akan dilakukan?"
"Nanti malam, setelah diadakan upacara keagamaan," sahut orang itu, kemudian
berlalu meninggalkan Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tak langsung berlalu dari tempat itu. Hatinya mulai
bimbang dan bingung. Apa yang harus dilakukan pada pilihan sulit seperti
sekarang ini" Mencari Pandan Wangi, atau mencari tahu apa yang terjadi di desa
ini, dan berusaha membantu"
Pendekar Rajawali Sakti memang tak tahu, apa yang terjadi di Desa Bugelan tempat
dia dan Pandan Wangi berpisah kemarin sore. Memang, bisa jadi ada pengacau atau
sebangsanya. Namun kepandaian Pandan Wangi tak bisa dipandang enteng. Rasanya
kalau hanya menghadapi perampok biasa, gadis itu mampu mengatasinya. Sedangkan
di desa ini, seperti ada yang tak beres. Paling tidak, firasatnya mengatakan
demikian. Dan hal itu terjadi di depan matanya. Jadi, mana mungkin hal itu bisa
didiamkan begitu saja.
Seharian ini Pendekar Rajawali Sakti mengelilingi Desa Jipang. Dan kecurigaannya
semakin kuat, ketika melihat sumber mata air telah banyak diracuni di desa ini.
Dari cerita-cerita sebagian penduduk dapat disimpulkan kalau kematian beberapa
penduduk desa lain juga akibat terkena racun hewan berbisa. Lalu, siapa yang
melakukan hal Itu" Dan, apa yang diinginkannya di desa ini" Hal itulah yang
semakin mengelitik hati Pendekar Rajawali Sakti untuk menyelidikinya secara
tuntas. *** Ketika malam mulai datang. Pendekar Rajawali Sakti membuntuti lebih kurang lima
puluh orang penduduk Desa Jipang yang berjalan beriringan menuju air terjun di
ujung timur desa ini. Mereka memang akan mengadakan upacara keagamaan. Dari
tempat yang tersembunyi, Rangga memperhatikan tingkah laku mereka yang mulai
mempersiapkan jalannya upacara, begitu sampai di dekat air terjun.
Tampak seorang laki-laki bertubuh kurus, berjenggot panjang, dan bersorban lusuh
di kepala, tengah berdiri di alas sebuah batu yang lebar dan lebih tinggi
daripada yang lain, dengan latar belakang air terjun itu. Lalu, mukanya
dihadapkan pada gemuruhnya air terjun yang menghempas ke bawah. Puluhan obor
yang dipegang penduduk desa juga menerangi tempat ini. Suasana menjadi khidmat
ketika mereka menggumam lirih yang berirama, yang menggema ke pelosok tempat
ini. Sementara sebuah usungan telah didekatkan di belakang orang tua yang
memimpin upacara.
"Oh, penguasa tempat ini! Hari ini, kami datang memenuhi undanganmu untuk
mempersembahkan seorang korban yang kau inginkan. Untuk itu, hentikanlah bencana
yang kau timpakan agar kami bisa hidup dan bekerja dengan tenang!" kata orang
tua berjenggot panjang itu dengan suara lantang.
Tak terdengar sahutan. Mereka menunggu beberapa saat lamanya tanpa bersuara
sepatah kata pun. Kemudian kembali orang tua itu mengulangi kata-katanya, namun
tidak juga terdengar sahutan.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya mereka mulai meninggalkan tempat itu satu
persatu sambil meninggalkan usungan yang dibungkus kain kuning itu. Beberapa
orang penduduk desa yang agaknya ditugasi untuk melihat, apakah persembahan yang
berada di dalam usungan itu berkenan atau tidak, menunggu pada jarak lebih
kurang tujuh tombak.
Namun sampai jauh malam, usungan tadi tak disentuh oleh siapa pun juga. Bahkan
ketika telah menjelang pagi, tak terjadi sesuatu pun terhadap usungan itu.
*** Pagi ini di Desa Jipang, tepatnya dsebuah rumah yang banyak dikunjungi orang,
seorang laki-laki tua berjanggut panjang tengah duduk termangu-mangu di beranda.
Dia ditemani oleh seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Badannya kekar
terbungkus pakaian merah.
"Aku juga heran, Ki Geni. Mengapa persembahan itu tidak ada yang menyentuh,"
kata seorang laki-laki yang menunggu persembahan di dekat air terjun, ujung
timur Desa Jipang.
"Hm... Pasti ada yang tak beres, sehingga persembahan itu tidak disentuh. Mereka
pasti tahu kalau ada seseorang mencoba menggagalkan persembahan itu...," gumam
orang tua yang dipanggil Ki Geni sambil mengepalkan tangan. Dialah yang memimpin
upacara semalam di dekat air terjun. Memang tak heran kalau rumahnya banyak
dikunjungi orang, karena Ki Geni adalah pemimpin keagamaan di Desa Jipang.
"Tak beres bagaimana, Ki Geni" Bukankah kita telah memenuhi semua persyaratan
yang diinginkan seperti yang kau katakan beberapa hari yang lalu?" tanya orang
itu lagi. "Betul, Juwa. Tapi seperti yang kukatakan barusan, pasti ada orang yang akan
sengaja ingin menggagalkan upacara ini. Kita harus mencari tahu, siapa orang
itu. Dan, apa yang diinginkannya. Kalau tidak, bencana akan datang lebih hebat!"
tegas Ki Geni. 'Tapi siapa" Seluruh penduduk desa ini telah setuju. Dan tak seorang pun yang
berani mengatakan tak setuju," kata laki-laki berpakaian merah, yang dipanggil
Juwa. "Barangkali orang luar...," desah Ki Geni.
"Orang luar..." Mana mungkin. Tapi...," Juwa seperti berusaha mengingat-ingat.
Namun tak lama wajahnya kontan berseru. Sepertinya, dia telah berhasil
mengingat-ingat seseorang.
Sementara, Ki Geni hanya memandangi tak mengerti. Keningnya juga tampak berkerut
dalam, berusaha menerka-nerka, apa yang hendak diutarakan Juwa.
"Aku ingat sekarang, Ki Geni. Ya, betul. Kemarin ada orang asing yang datang ke
desa ini. Dia suka bertanya-tanya pada penduduk soal persembahan yang akan kita
laksanakan. Jelas, orang itu pasti yang mengacaukannya!" sentak Juwa.
Namun, Ki Geni tak buru-buru menjawab. Malah, jenggotnya dielus-elus untuk
beberapa saat sambil tersenyum kecil.
"Hm ... Kalau memang kau yakini dia, ada baiknya cepat ditangkap dan diperiksa.
Kemudian kalau ternyata benar, maka dia patut dihukum berat," sahut Ki Geni
tenang. "Baiklah akan kuperintahkan kawan-kawan yang lain untuk menangkapnya. Kebetulan
menurut beberapa orang yang pernah melihatnya, pemuda itu masih berada di desa
ini tadi malam. Kalau begitu, aku akan kembali sekarang, Ki Geni!" ujar Juwa
sambil terus bangkit dan menjura hormat.
"Betul! Lebih cepat, maka lebih baik. Kalau ditunda sesaat saja, bisa jadi desa
kita ini akan lebih dimurkai lagi...."
Belum juga kata-kata Ki Geni habis. Juwa sudah berbalik dan melangkah cepat
meninggalkan tempat itu. Tubuhnya terus menghilang di pengkolan jalan, menuju
air terjun di ujung timur Desa Jipang.
Sepeninggal Juwa, Ki Geni masih tetap duduk di beranda rumahnya. Bola matanya
masih mengawasi arah kepergian Juwa yang telah lenyap dari pandangan. Kemudian,
pandangannya dialihkan sambil menghela napas pendek.
"Bagus! Kerjamu bagus, Ki Geni. Kau akan mendapat imbalan yang pantas untuk
ini..." Tiba-tiba terdengar suara berat seperti menggelegar, yang disusul oleh
berkelebatannya sebuah bayangan hitam. Wajahnya tidak bisa dikenali, karena
seluruh kepalanya tertutup kain hitam juga. Hanya bagian mukanya saja yang
diberi dua buah lubang. Dan kini sosok itu telah berdiri di hadapan Ki Geni.
Namun Ki Geni sendiri memang tak berani rnengangkat wajahnya. Kepalanya
tertunduk dalam, dengan sikap begitu takut.
"Terima kasih. Aku akan berusaha bekerja sebaik-baiknya," ucap Ki Geni lirih
"Hm.... Agaknya. kau harus berhati-hati, Ki Geni. Pemuda yang mengacaukan
upacara itu bukan orang sembarangan. Kuharap kau bisa cepat menyelesaikannya.
Kalau tidak, kaulah yang akan menanggung akibatnya."
Ki Geni tercekat. Dan untuk beberapa saat, jantungnya seperti berhenti berdetak.
Tak pernah disangka kalau orang asing yang semula dianggapnya remeh itu ternyata
mendapat tanggapan yang sangat berarti dari orang berpakaian serba hitam yang
berada di hadapannya.
"Apa... Apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Geni takut-takut.
"Itu bukan urusanmu. Tugasmu adalah mematuhi perintah kami. Dan kalau berani
membantah, maka tanggung sendiri akibatnya."
"Eh. Ng..., mana berani aku membantah perintah kalian!" sahut Ki Geni cepat.
"Hm... Kalau demikian kerjakan tugas tadi secepatnya. Dan, singkirkan pemuda
itu. Kemudian, perintahkan utusan untuk datang ke Padepokan Tapak Nenggala.
Katakan pada ketuanya, kalau dia dan seluruh muridnya harus tunduk di bawah
junjungan kita, Dewa Racun Hitam. Kau mengerti itu"!"
"Ya..., ya.... Aku mengerti. Eh! Ng..., bagaimana dengan Padepokan Merak Emas
yang didatangi utusanku beberapa hari lalu?"
"Mereka menolak untuk tunduk dan akibatnya.... Hm..., kau bisa menduga sendiri!"
Kembali Ki Geni terkejut. Hatinya seperti teriris mendengar berita itu.
Bagaimanapun juga, dia mempunyai hubungan dengan padepokan yang telah berdiri
lebih dari satu abad itu. Dan memang, dia adalah murid Padepokan Merak Emas
angkatan ketiga puluh.
"Apa..., apakah kalian tak..."
"Ki Geni! Kau ingin mampus hari ini juga"!" potong laki-laki berpakaian serba
hitam itu, keras.
"Eh! Tentu saja tidak...."
"Bagus. Kalau begitu, jangan coba-coba membela orang lain. Pikirkan saja nasibmu
sendiri. Sekali mencoba untuk melawan dan memberontak, maka nyawamu tak akan
selamat Camkan itu!"
Ki Geni berkali kali menganggukkan kepala. Mukanya kontan pucat dan kedua tangan
dan kakinya gemetar.
"Maafkan kesalahanku. Aku tak akan pernah berpikir sedikit pun untuk melawan
junjungan kita...."
"Bagus. Nah, selesaikan tugasmu secepatnya!"
Kembali Ki Geni menganggukkan kepala sambil tetap menundukkan kepala. Sebentar
kemudian sekelebat dia merasakan kalau orang itu telah melesat pergi dari situ.
Maka, barulah kepalanya berani diangkat. Terdengar helaan napasnya yang panjang
dan berat. Bola matanya kembali menerawang jauh. Perlahan-lahan dia bangkit,
lalu melangkah ke dalam kamarnya. Begitu dekat dengan pembaringan, seketika
tubuhnya direbahkan.
2 Sementara itu, di dekat air terjun di ujung timur Desa Jipang, Pendekar Rajawali
Sakti yang masih bersembunyi jadi merasa heran. Apa yang telah terjadi
sesungguhnya" Kenapa persembahan itu masih tetap utuh" Ataukah hal ini memang
terlalu dilebih-lebihkan oleh penduduk desa ini. Padahal di sini tak ada
penunggu apa-apa"
Sampai usungan itu dibawa kembali dan tempat itu telah sepi, Rangga masih
termangu. Pendekar Rajawali Sakti lalu keluar dari persembunyiannya, dan
berjalan mendekati air terjun. Rangga kemudian berdiri di atas batu tempat orang
tua berjanggut panjang yang semalam berdiri di sini, seraya memandang tajam ke
sekeliling tempat itu. Namun terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan berbalik meninggalkan tempat itu,
mendadak.... Serrr! Sing! Cepat bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara dan berputaran
beberapa kali menghindari serangan gelap itu. Namun baru saja kedua kakinya
menjejak tanah, kembali serangan meluncur datang ke arahnya.
"Edan!" maki Rangga sambil kembali melenting dan berputaran di udara. Sambil
berputaran ditangkapnya beberapa buah benda yang ternyata berupa pisau kecil
berpita warna-warni di ujung gagangnya. Kemudian dengan kecepatan tinggi
dikembalikannya pisau-pisau yang berhasil ditangkap ke arah datangnya tadi.
"Hiyaaa!"
Pras! Crab! "Aaakh!"
Terdengar jerit kesakitan, ketika pisau-pisau di tangan Pendekar Rajawali Sakti
menderu ke arah asalnya, di balik semak-semak yang banyak tumbuh di sekitar
tempat itu. Rangga tak mau bekerja ke palang tanggung. Begitu menjejak tanah,
dia langsung melesat menerjang ke arah semak itu.
"Yeaaa...!"
Beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam langsung keluar dari balik semaksemak, begitu melihat mendapat serangan. Mereka segera melepaskan pisau pisau
terbang serupa ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh!"
Sambil bergerak menghindari serangan. Pendekar Rajawali Sakti melemparkan
kembali, beberapa buah pisau yang berhasil dirampas ke arah pemiliknya. Dua
orang berhasil menghindar, namun yang seorang lagi tak bisa lolos dari maut. Dia
kontan menjerit kesakitan, dan tubuhnya langsung ambruk ke tanah.
Bruggg! Sebentar orang itu meregang nyawa, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati!
Melihat temannya tewas, orang-orang berpakaian serba hitam itu jadi geram. Maka
salah seorang langsung menyerang Rangga. Cepat dilepaskannya kepalan tangan yang
berisi tenaga dalam kuat menyambar batok kepala Pendekar Rajawali Sakti dari
arah samping. Namun dengan gesit, Rangga memiringkan tubuh sambil menunduk. Maka
serangan itu hanya lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Dan bersamaan
dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tendangan kilat. Begitu cepatnya,
sehingga orang itu tak dapat berkelit menghindar.
Digkh! "Aaakh...!"
Satu lagi lawan Pendekar Rajawali Sakti terpental ke belakang, begitu dadanya
terhantam tendangan. Terdengar jeritannya yang menyayat, bersamaan dengan
luncuran tubuhnya. Begitu jatuh di tanah orang itu tidak bergerak-gerak lagi.
Tampak darah mengalir dari mulut bibirnya.
Melihat temannya ambruk lagi, laki-laki berpakaian serba hitam lainnya langsung
melompat ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan sambaran pisau-pisau terbangnya.
Masih untung Rangga cepat bergerak melompat jungkir balik untuk menghindarinya.
Namun hal itu telah membuat Rangga gemas bukan main. Maka sambil menggeretak
rahang, tubuhnya melompat ke atas setinggi satu tombak. Kemudian bagai anak
panah, tubuhnya melesat cepat ke arah lawan sambil berputaran di udara.
Plak! Orang berpakaian hitam itu kelabakan sesaat. Namun segera ditepisnya cengkeraman
tangan Pendekar Rajawali Sakti yang tiba-tiba datang. Namun, Rangga cepat
menarik pulang tangannya. Dan dalam keadaan masih di udara, Rangga kembali
bersalto melewati kepala orang itu. Indah sekali gerakannya. Bahkan tanpa
menimbulkan suara, kakinya menjejak tanah. Begitu menjejak tanah, langsung
dilepaskannya satu tendangan ke belakang, tanpa dapat dihindari orang berseragam
hitam yang belum memperbaiki keseimbangannya. Maka....
Bugkh! "Aaakh!"
Orang itu kontan mengeluh kesakitan, begitu punggungnya terhajar tendangan
Rangga. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke depan. Bibirnya tampak meringis
menahan rasa sakit.
Melihat lawannya kesakitan, Rangga segera menghampiri.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian untuk membunuhku"!" bentak Rangga sambil
mencengkeram leher dan mengangkat orang itu.
Orang itu kelihatan sulit bernapas dan kelabakan. Namun Rangga tak mau peduli.
Malah di cengkeramnya lebih kuat lagi.
"Ekh! Oh! Le..., lepaskan cengkeramanmu dulu...."


Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, siapa yang menyuruhmu"!"
"Baik, baiklah.... Ki Sam.... Aaakh...!"
"Heh" Kurang ajar!" dengus Rangga sambil melepaskan cengkeramannya.
Tiba-tiba saja orang itu memekik kesakitan, begitu dua bilah pisau menembus
punggung kirinya. Tubuhnya seketika ambruk tidak bangun lagi, dengan darah
mengalir dari punggungnya. Rangga masih sempat melihat sekelebatan bayangan yang
mencelat kabur. Maka Pendekar Rajawali Sakti langsung memburunya, dengan
pengerahan ilmu meringankan tubuh setinggi-tingginya.
Namun, orang yang dikejarnya ternyata telah lenyap seperti ditelan bumi.
Langsung dihentikan pengejarannya, lalu dia berdiri tegak memperhatikan keadaan
di sekelilingnya. Hasilnya, tetap nihil. Buruannya telah lenyap! Sambil
bersungut-sungut Rangga kembali ke tempat semula. Kembali pandangan merayapi
beberapa sosok mayat yang bergelimpangan setelah bertarung dengannya. Setelah
merasa yakin kalau tak seorang pun yang bisa dimintai keterangan, Rangga segera
menghampiri kudanya dan melompat naik. Dipacunya kuda Dewa Bayu perlahan ke arah
Desa Jipang kembali.
*** Pandan Wangi betul-betul merasa kesal sekaligus geram. Susah payah mencari
buruannya, kini tiba tiba saja lenyap dari pandangan. Dan ingin kembali, tapi
malam telah begitu larut. Apalagi, bukan tak mungkin kalau musuh akan menyelinap
untuk mengintainya, dan kemudian menyergapnya. Itulah yang membuatnya harus
mengambil keputusan untuk bermalam di tempat ini. Pandan Wangi lalu melompat ke
atas sebuah cabang pohon yang cukup tinggi dan tersembunyi. Lalu, tubuhnya
direbahkan di sebatang cabang yang cukup besar, dan melelapkan diri di situ.
Sementara, sebentar lagi pagi menjelang Di kejauhan sudah terdengar kokok ayam
hutan Nyanyian binatang malam pun sudah tak lagi terdengar.
Pagi-pagi sekali Pandan Wangi telah terjaga. Setelah merapikan diri, dia segera
melanjutkan perjalanannya. Segera dihampiri kuda putihnya yang masih setia
menunggu di bawah pohon. Dengan gerakan manis sekali, Pandan Wangi melompat naik
ke punggung kudanya, dan segera menggebahnya perlahan-lahan. Pandan Wangi memang
bermaksud kembali ke Desa Bugelan, tempat dia dan Rangga berpisah. Ada rasa
kesal dan jengkel dalam hati, sebab disangka Rangga akan mengikutinya dari
belakang. Tapi, ternyata tidak. Apa yang diperbuat pemuda itu" Apakah ada
sesuatu yang terjadi di Desa Bugelan" Atau, Rangga kehilangan jejaknya" Kalau
diperkirakan, Rangga memang sudah berada pada jarak yang cukup jauh dari desa
itu. Malah bisa jadi Rangga memang kehilangan jejaknya.
Mendadak gadis itu mendengar suara langkah serombongan orang dan langkah kaki
kuda maka perhatiannya dialihkah ke arah sumber suara. Maka, terlihat di depan
sana serombongan orang yang tengah berjalan dengan gerak-gerik sama sekali tak
mencurigakan. Namun rata-rata membawa senjata tajam. Dan dari cara berpakaian,
jelas diketahui kalau rombongan yang berjumlah lebih kurang dua puluh orang itu
adalah dari kalangan persilatan.
Hanya seorang yang naik kuda berbulu coklat. Dan kelihatannya, dia adalah
pemimpinnya. Tubuhnya besar memakai rompi hitam, sehingga perutnya yang buncit
terlihat seperti hendak mencuat keluar. Rambutnya pendek diikat kain hitam.
Wajahnya seram, dihiasi beberapa bekas luka tampak. di sela-sela cambang
bauknya. Bola matanya bulat dan lebar, menampakkan urat-urat matanya yang merah.
Mulanya Pandan Wangi sudah tak akan mempedulikan rombongan itu. Tapi entah
kenapa rasa kecurigaannya mulai timbul ketika melihat raut-raut wajah itu sama
sekali tak bersahabat. Maka dengan diam-diam, diikutinya rombongan itu dari
belakang sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan.
Pandan Wangi sendiri tidak tahu, ke mana arah yang ditempuh. Yang jelas, Desa
Bugelan telah dilaluinya. Dan nampaknya rombongan itu terus bergerak ke arah
utara. Dan kalau tak salah, agak jauh di depan sana adalah Desa Sarangan.
Rombongan itu terus bergerak menyusuri jalan yang menuju Desa Sarangan. Jalan
yang dilalui di kiri dan kanannya memang berupa pohon-pohon yang besar dan
tinggi, serta alang-alang setinggi satu tombak. Sehingga, tak heran kalau mereka
tak tahu kalau diikuti terus oleh Pandan Wangi. Dan sebelum memasuki Desa
Sarangan, rombongan itu berbelok ke kiri, menuju sebuah bangunan yang sudah
terlihat. Sebuah bangungan besar, dikelilingi pagar dari gelondongan kayu.
Rombongan itu berhenti persis di depan pintu gerbang bangunan yang ternyata
sebuah padepokan silat, bernama Padepokan Gagak Lumayung. Pintu gerbang yang
tertutup rapat itu terbuat dari jejeran kayu jati setinggi hampir dua tombak.
Salah seorang dari rombongan itu mengetuk pintu.
"Utusan dari Padepokan Golok Maut akan menghadap Ki Tambak Gering!" teriak orang
itu. "Maaf, Ki Tampak Gering tak bersedia menerima kalian," sahut sebuah suara di
balik pintu gerbang itu.
"Mau atau tidak, kalian harus membuka pintu ini. Jangan sampai kami membukanya
dengan paksa. Katakan pada gurumu, aku Sumawangsa yang mengunjunginya!" kali ini
laki-laki yang menunggang kuda yang bersuara. Wajahnya tampak garang,
memancarkan kegeramannya.
Untuk beberapa saat tak terdengar sahutan dari dalam. Rombongan itu agaknya tak
sabar menunggu. Bahkan beberapa orang sudah melangkah maju, bermaksud menghajar
pintu gerbang itu. Tapi saat itu juga, pintu terbuka. Beberapa murid Padepokan
Gagak Lumayung tampak berdiri tegak dengan sikap waspada, menghadapi segala ke
mungkinan. "Apa keperluan kalian?" tanya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Tubuhnya tegap dan besar, dengan sorot mata tajam. Tangan kirinya tampak
menggenggam sebilah pedang yang cukup besar.
"Hm.... Kaukah Ki Tambak Gering?" tanya laki-laki penunggang kuda dengan sikap
angkuh. Bahkan sama sekali tak mau turun dari kudanya.
"Jadi, kau yang bernama Sumawangsa?" balas laki-laki setengah baya yang baru
saja keluar dari pintu gerbang Padepokan Gagak Lumayung. Dan dia tadi dipanggil
dengan nama Ki Tambak Gering.
"Ha ha ha...! Boleh juga bicaramu, Kisanak. Tapi ketahuilah, kedatanganku ke
sini membawa pesan yang harus dipatuhi...."
"Kalau tidak?"
"Kau dan murid-muridmu tak akan selamat!" dengus laki-laki yang menunggang kuda,
dan bernama Sumawangsa geram.
Ki Tambak Gering tersenyum kecil mendengar penjelasan itu. Dipandanginya muridmuridnya yang telah bersiaga sejak tadi di samping kiri dan kanan, serta di
belakangnya. Kemudian kembali dipandanginya Sumawangsa sambil tetap tersenyum
kecil seperti meremehkan.
"Kisanak, apa aku tak salah dengar" Apakah bila kami membangkang akan berhadapan
dengan maut?"
. "Kau pintar menebak, Kisanak!" sahut Sumawangsa pendek.
"Nah, pesan apa yang kau bawa sebelum kami semua tak selamat?" tanya Ki Tambak
Gering, dengan suara mengejek.
"Dewa Racun Hitam meminta kalian agar tunduk padanya!" sahut Sumawangsa tandas
tak mempedulikan kata-kata Ki Tambak Gering.
"Dewa Racun Hitam" Hm.... Setan yang berlagak jadi raja! Dia bukan raja, tapi
iblis! Jangan harap kami tunduk padanya!"
"Ki Tambak Gering! Sekali lagi kuperingatkan. Jika kau dan murid-muridmu
menolak, maka seluruh murid dan padepokanmu akan kubumihanguskan!
"Kisanak! Kau boleh berkata apa saja sesuka hatimu. Tapi, jangan harap bisa
berbuat sesukamu di sini!"
"Hm.... Kalau begitu, jelas sudah keputusan mu. Bersiaplah menghadapi
akibatnya!"
Setelah berkata demikian, Sumawangsa memberi isyarat pada anak buahnya. Maka
tanpa menunggu dua kali, anak buahnya langsung mencabut golok dan menyerbu ke
depan dengan beringas.
"Yeaaa...!"
"Hancurkan mereka! bentak Ki Tambak Gering tak mau kalah garang.
Murid-murid Padepokan Gagak Lumayung yang sejak tadi tangannya sudah gatal
mendengar kesombongan pihak lawan, segera melompat garang sambil menerjang buas
lawan masing-masing.
Maka pertarungan antara dua kelompok itu memang tak dapat dihindari lagi. Murid
Padepokan Gagak Lumayung yang berjumlah lebih kurang empat puluh orang begitu
bernafsu untuk menghabisi lawan secepatnya. Sepintas akan terlihat kalau
pertarungan berjalan tak seimbang. Pihak Sumawangsa berjumlah lebih sedikit
daripada pihak Ki Tambak Gering. Dan tentu saja mereka akan cepat dikalahkan.
Namun kejadian yang sesungguhnya amat bertolak belakang. Mesti berjumlah sedikit
namun kemampuan tiap anak buah Sumawangsa jauh di atas rata-rata murid Padepokan
Gagak Lumayung. Sehingga, korban tampak mulai berjatuhan di pihak Padepokan
Gagak Lumayung.
*** 3 Ha ha ha...! Kau lihat, Kisanak! Muridmu satu persatu akan mampus! Dan itu
adalah tanggung jawabmu!" ejek Sumawangsa sambil tertawa.
'Tutup mulutmu! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang bakal mampus!"
gertak Ki Tambak Gering sambil membuka jurus.
"Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat" Kau akan mampus, Kisanak!"
"Sombong! Lihat serangan!" bentak Ki Tambak Gering, seraya mencabut pedang.
Sring! Ki Tambak Gering langsung meluruk, memburu Sumawangsa.
"Yeaaa...!" .
Namun Sumawangsa tak kalah sigap. Langsung goloknya dicabut memapak serangan
lawan. Sret! Trak! "Hiiih!"
Ki Tambak Gering tersentak kaget ketika pedangnya beradu dengan golok
Sumawangsa. Dapat dirasakannya, bagaimana himpitan tenaga dalam lawan yang lebih
kuat. Tak terasa, diam-diam hatinya mengeluh menyadari keadaan yang tak
menguntungkan begini.
Memang nama Padepokan Golok Maut tempat Sumawangsa bernaung, bukan nama kosong
belaka. Belakangan ini, padepokan itu mulai dikenal banyak tokoh persilatan
sehubungan dengan sepak terjang mereka yang liar dan suka berbuat sesuka
hatinya. Padahal, beberapa tahun silam padepokan ini dikenal tak suka mencampuri
urusan orang. Bahkan murid-muridnya terkenal sangat patuh dan rendah hati.
Apalagi, ketuanya yang bernama Ki Bagus Permana. Dia adalah seorang yang arif
lagi bijaksana. Belakangan, baru diketahui kalau orang tua itu telah mangkat.
Dan kini, dia digantikan murid keduanya, Sumawangsa. Sementara murid pertamanya
yang bernama Indra Rukmana mendapat tugas berkelana untuk menambah pengalaman.
Sumawangsa yang sama sekali tak dicantumkan sebagai pengganti ketuanya, langsung
mengangkat diri sendiri sebagai Ketua Padepokan Golok Maut.
Sejak Sumawangsa bertindak sebagai Ketua Padepokan Golok Maut, maka terlihat
sifatnya yang mau menang sendiri. Bahkan sepak terjangnya juga menggiriskan,
sehingga murid-murid lain tak ada yang berani melawan. Apalagi ketika belakangan
ini, namanya selalu dihubungkan dengan seorang tokoh yang tidak dikenal di
berbagai tokoh persilatan. Namun, sepak terjangnya sungguh mengerikan. Dialah
Dewa Rajun Hitam.
Sementara itu, pertarungan antara Ki Tambak Gering melawan Sumawangsa
berlangsung cukup alot. Ki Tambak Gering sebagai tokoh yang telah banyak makan
asam garam dunia persilatan, tentu tak akan mudah ditundukkan begitu saja.
Namun, juga jangan dikira ilmu silat Sumawangsa! Kecepatan geraknya sungguh
mengagumkan. Malah beberapa kali Ki Tambak Gering terdesak hebat. Mungkin hanya
karena pengalamannya saja yang membuat laki-laki setengah baya itu luput dari
serangan lawan. Dan sebenarnya hanya menunggu waktu saja, serangan lawan dapat
bersarang di tubuhnya. Buktinya, lambat laun Ki Tambak Gering mulai melemah.
Sedangkan Sumawangsa terlihat semakin garang saja.
"Yeaaa...!"
Kini Sumawangsa melesat ke udara sambil melepaskan tendangan dahsyat bertenaga
dalam tinggi. "Uts!"
Namun, Ki Tambak Gering cepat melompat ke belakang sambil membuat gerakan salto
beberapa kali untuk menghindarinya. Tapi serangan Sumawangsa tak berhenti sampai
di situ. Begitu mendarat di tanah, tubuhnya terus melejit kembali ke atas
mengejar lawan. Tangan kanannya yang terkepal langsung dihantamkan kuat-kuat ke
perut lawan. Padahal saat itu Ki Tambak Gering tengah melompat ke belakang
dengan perut menghadap ke atas. Namun Ki Tambak Gering segera mengibaskan kaki
kirinya, menangkis serangan. Melihat hal ini.
Sumawangsa cepat menarik pulang tangannya. Namun begitu kibasan kaki lawan
lewat, kepalan tangan kirinya cepat menghujam dada.
Cepat-cepat Ki Tambak Gering membuang diri ke tanah, dan bergulingan beberapa
kali. Lalu dengan gerakan manis, dia bangkit berdiri. Melihat lawannya lolos
dari serangan. Sumawangsa meningkatkan serangannya. Dilepaskannya pukulan
bertubi-tubi, mengarah ke bagian-bagian yang mematikan.
"Huh!" dengus Ki Tambak Gering, mengeluh mendapat tekanan be rat seperti ini.
Ki Tambak Gering segera memutar tubuh kesamping untuk menghindari serangan.
Maka, keadaanya semakin terdesak saja. Bahkan ruang geraknya semakin terbatas.
"Hiyaaa!"
Tampaknya, Sumawangsa tak ingin memberi kesempatan lagi. Gerakan memutar Ki
Tambak Gering memang telah diperhitungkan. Maka, mendadak saja dilepaskannya
tendangan kaki kanan secara cepat dan beruntun ke arah pinggang kiri dan
punggung lawan. Begitu cepatnya, sehingga Ki Tambak Gering tak dapat lagi
menghindari. Des! Begkh! "Aaakh!"
Terdengar tulang berderak patah sebelum Ki Tambak Gering menjerit kesakitan.
Tubuhnya kontan terlempar beberapa langkah. Melihat peluang ini, Sumawangsa tak
mau membiarkan begitu saja.
"Yeaaa...!"
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Sumawangsa melompat sambil mengayunkan
goloknya, berniat menebas tubuh lawan. Keadaan Ki Tambak Gering memang tak
berdaya. Bisa dipastikan laki-laki setengah baya itu tak akan mampu menghindar
dari ancaman maut yang kini berada di depan matanya. Dia hanya bisa pasrah,
dengan mata terpejam. Namun mendadak saja...
"Hiyaaa!"
"Heh"!"
*** Tiba-tiba sosok bayangan biru melesat cepat ke arah Sumawangsa sambil membentak
nyaring. Laki-laki itu terkejut dan terpaksa mengalihkan perhatiannya. Golok di
tangannya langsung bergerak memapak senjata lawan yang tiba-tiba menyerangnya.
Trang! "Uhhh...!"
Tapi siapa sangka ketika goloknya memapak, ternyata seperti membentur benda yang
amat keras hingga menimbulkan suara dahsyat dan percikan bunga api. Bukan main
terkejutnya Ketua Padepokan Golok Maut itu ketika merasakan telapak tangannya
perih akibat benturan tadi. Dan belum lagi disadari apa yang telah terjadi, satu
sambaran senjata lawan mengancam dadanya. Maka, buru-buru dia melompat ke
belakang, menghindarinya.
Setelah lolos dari maut, laki-laki itu berdiri tegak dengan sorot mata tajam.
Untung saja, penyerangnya tak mengejar. Tapi setelah tahu siapa penyerang
gelapnya. Sumawangsa terkejut sendiri. Wajahnya yang tadi menyimpan rasa
terkejut, mendadak tersenyum kecil melihat seorang gadis cantik berbaju biru
muda berdiri tak jauh di hadapannya. Di tangan gadis itu tergenggam sebuah kipas
yang terbuat dari baja putih. Seketika saja diduga kalau kipas itulah yang
digunakan gadis ini untuk menangkis goloknya tadi.
"Hm.... Gadis cantik yang usilan. Sungguh gegabah berani mencampuri urusanku.
Tak tahukah kau, dengan siapa berhadapan saat ini?" gertak Sumawangsa.
Gadis berbaju biru muda yang tak lain Pandan Wangi itu tersenyum kecil mendengar
kata-kata Sumawangsa. Ditunjuknya laki-laki itu dengan ujung kipasnya.
"Aku tak sudi kenal dengan setan sepertimu!"
Bukan main geramnya laki-laki bertubuh besar dan bercambang bauk itu mendengar
ucapan yang amat menghina dari gadis ini. Wajahnya seketika berubah kelam dan
hawa kebengisan terlihat jelas ketika pipinya mengembung dan urat di pelipisnya
menegang. Rahangnya bergemeletukan menahan geram dan amarah yang memuncak.
"Gadis liar! Kau pikir, siapa dirimu berani berkata begitu di hadapan
Sumawangsa"! Phuih! Kau akan menerima ganjarannya atas ucapanmu tadi!" geram
Sumawangsa sambil melompat dan mengayunkan golok di tangannya.
"Hm.... Malah aku takut, kaulah yang akan menerimanya," ejek Pandan Wangi sambil
memutar kipasnya.
"Yeaaa...!"
Terlihat dari serangannya, Sumawangsa sangat bernafsu untuk menjatuhkan gadis
itu secepatnya. Tapi memang, Pandan Wangi tidak bisa dianggap enteng. Semua
serangan mudah sekali dapat dielakkan. Bahkan beberapa kali Sumawangsa sempat
dibuat terkejut, ketika merasakan serangan balik yang dilancarkan Pandan Wangi.
Kalau saja tak cepat menghindar, niscaya lehernya tertebas kipas berwarna putih


Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keperakan itu. Namun demikian, sedikit pun tak terlihat perasaan kecut dan
gentar di hati Sumawangsa. Bahkan laki-laki bercambang bauk itu sangat penasaran
sekali. "Betina sial! Kau akan menyesal seumur hidupmu kalau tertangkap!"dengus
Sumawangsa. "Jangan banyak bacot! Buktikanlah kalau memang mampu!"
"Keparat!"
Sumawangsa semakin geram. Goloknya diputar sedemikian rupa bagai kitiran. Dengan
jurus 'Golok Terbang Menyambar Mangsa' yang amat diandalkan, diserangnya lawan
dengan kacepatan sangat mengagumkan.
"Yeaaa...! Mampus!"
Ujung golok Sumawangsa menyambar bertubi-tubi ke arah leher, dada, dan pinggang.
Namun dengan gerakan indah, Pandan Wangi memutar tubuhnya. Seperti orang sedang
menari saja, tubuhnya meliuk-liuk menghindari sambaran senjata lawan. Namun
ketika Sumawangsa melanjutkan serangannya sambil cepat memutar tubuhnya, gadis
itu sedikit gelagapan. Untung saja kesiagaannya tidak dikurangi untuk mengangkat
kipas. Maka langsung ditangkisnya golok lawan dengan kipasnya.
Trak! "Huh!"
Sumawangsa mengeluh tertahan. Tangannya kontan terasa kesemutan akibat benturan
kedua senjata. Namun, semua itu tak dirasakannya. Dengan nekat, kepalan kirinya
cepat menghentak ke dada. Tapi, Pandan Wangi tak kalah sigap dengan jeli,
langsung disambutnya serangan lawan.
Piak! Terjadi benturan tangan kembali. Namun Sumawangsa tak kehilangan akal. Langsung
serangannya disusuli oleh tendangan kaki yang cepat. Tapi...
Wuttt! Brettt "Aaakh...!"
Belum lagi serangan Sumawangsa sampai, ujung kipas Pandan Wangi sudah menyambar
pahanya. Sumawangsa kontan menjerit kesakitan begitu tiba tiba datangnya
serangan, sehingga dia tak sempat menghindar. Daging pahanya terobek dalam,
langsung mengeluarkan darah. Dan belum lagi dia sempat menguasai diri, satu
tendangan keras menghantam dadanya. Kembali Sumawangsa terpekik kesakitan.
Tubuhnya kontan terpental sejauh lebih dari satu batang tombak. Namun belum lagi
tubuhnya ambruk ke tanah.....
Crabbb! Bres! "Aaa...!"
Tiba-tiba dua orang murid Padepokan Gagak Lumayung yang berada di dekat dengan
Sumawangsa, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan gerakan yang nyaris
serentak, mereka menghujamkan pedang ke jantung dan leher laki-laki berwajah
seram ini. Sumawangsa memekik sesaat ketika darah muncrat dari tubuhnya.
Tubuhnya lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak
lagi. Mali! Melihat lawannya telah tewas, Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja.
Tubuhnya langsung melompat, dan menghajar murid-murid Padepokan Golok Maut yang
masih mengamuk sejadi-jadinya. Apalagi ketika mengetahui kalau ketua mereka
sudah tewas di tangan seorang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal.
"Hiyaaat..!"
Cras! Bret! "Aaa...!"
Ujung kipas Pandan Wangi berkelebatan cepat membuat jeritan-jeritan melengking
tinggi yang terdengar saling susul. Hanya dalam berapa gebrakan saja, sudah
beberapa orang yang ambruk menggelepar dengan tubuh bersimbah darah. Gerakangerakan Pandan Wangi memang sangat cepat, hingga sulit bagi siapa saja untuk
bisa menghindar.
*** "Keparat! Perempuan liar, mampus kau! Hiyaaat '" bentak salah seorang murid
Padepokan Golok Maut. Agaknya, kepandaiannya di atas yang lain. Langsung saja
dia melompat cepat menerjang Pandan Wangi.
"Hih!"
Namun dengan cepat Pandan Wangi memapak serangan golok dengan kipasnya.
Trak!" Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dan berwajah lonjong itu mengeluh
kesakitan ketika goloknya beradu dengan kipas di tangan si Kipas Maut. Namun
dengan amarah yang meluap, dia berusaha bertahan. Padahal tubuhnya sudah dibuat
jungkir balik menghindari serangan-serangan gadis cantik ini.
Dalam benak laki-laki itu, semula tidak akan mengira kalau gadis ini memiliki
kepandaian sedemikian hebatnya. Dan kalaupun dia mampu menewaskan Sumawangsa,
itu hanya kebetulan saja. Tapi ketika merasakan sendiri dengan berhadapan
seperti ini, mau tidak mau keringat dinginnya mengucur deras. Wajahnya langsung
memucat, dan jantungnya berdetak lebih kencang. Hanya keberuntungan saja yang
membuatnya sampai saat ini luput dari setiap serangan si Kipas Maut ini. Namun
agaknya hal itu hanya soal waktu saja. Sebab pada suatu kesempatan, ujung kipas
Pandan Wangi sudah berputar dengan kecepatan bagai kilat, menimbulkan hembusan
angin kencang mengandung hawa panas menyengat kulit.
"Upts!"
Laki-laki berwajah lonjong itu berusaha menghindar dengan melompat ke atas.
Namun pada saat yang bersamaan, Pandan Wangi sudah memutar tubuhnya sambil
mengayunkan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat. Hingga..
"Hiyaaa...!"
Diegkh! "Aaakh...!"
Orang itu memekik kesakitan ketika tendangan keras menggeledek yang dilepaskan
Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Dan begitu tubuhnya terpental ke
belakang, Pandan Wangi sudah mengejar dengan kecepatan bagai kilat sambil
mengibaskan kipasnya.
Wuttt! Cras! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, begitu kipas Pandan Wangi
menyambar bagian bawah pinggang lawannya. Seketika darah mengucur deras. Tampak
orang itu terhuyung-huyung sambil memegangi bagian rusuk kirinya yang sobek
tersambar ujung pedang si Kipas Maut.
Dan tampaknya, Pandan Wangi tidak mau meninggalkan lawannya begitu saja. Sebelum
laki-laki berwajah lonjong itu bisa berbuat sesuatu, tubuhnya sudah melesat
cepat sambil melepaskan satu pukulan keras dan menggeledek, disertai pengerahah
tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat..!"
Prak! Orang itu tidak dapat lagi bersuara sedikit pun juga, saat pukulan keras
bertenaga dalam tinggi menghantam kepalanya. Seketika itu juga kepalanya remuk,
menimbulkan percikan darah yang berhamburan keluar. Dan nyawanya seketika
melayang sebelum tubuhnya menyentuh tanah.
"Huh!" Pandan Wangi mendengus sambil melihat lawannya yang sudah tergeletak
tidak bernyawa lagi.
Sementara murid-murid Padepokan Gagak Lumayung semakin bersemangat melihat sepak
terjang Pandan Wangi. Sambil memperdengarkan teriakan-teriakan keras
menggelegar, mereka merangsek murid-murid Padepokan Golok Maut yang semakin
kehilangan arah, setelah pemimpin-pemimpinnya tewas. Semangat mereka langsung
jatuh. Sehingga sangat berpengaruh pada setiap gerakan yang dilakukan. Keadaan
ini sama sekali tidak disia-siakan murid-murid Padepokan Gagak Lumayung. Mereka
semakin ganas merangsek, membuat jeritan-jeritan panjang melengking semakin
sering terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah yang sudah
tidak bernyawa lagi.
Tidak heran kalau korban yang jatuh di pihak Padepokan Golok Maut semakin
bertambah. Dan ketika jumlahnya tinggal segelintir lagi, tanpa membuang-buang
kesempatan, mereka lari tunggang-langgang meninggalkan kancah pertarungan.
Beberapa orang murid Padepokan Gagak Lumayung berusaha mengejar. Satu orang
berhasil ditewaskan, namun dua orang yang tersisa berhasil kabur, tidak sempat
terkejar lagi. Pandan Wangi mendengus kecil sambil menyelipkan kipasnya ke pinggang.
Dipandanginya sekilas dua murid Padepokan Golok Maut yang sudah menghilang.
Kemudian tatapannya beralih pada Ki Tambak Gering yang menghampirinya.
"Nisanak, kami sangat berterima kasih atas pertolonganmu. Aku Tambak Gering. Dan
mereka adalah murid-muridku," ujar Ki Tambak Gering memperkenalkan diri dengan
sikap hormat. "Aku Pandan Wangi," sambut Pandan Wangi seraya menyeka keringat di lehernya yang
jenjang dengan punggung tangan.
"Ni Pandan Wangi, kepandaian yang kau miliki sungguh luar biasa. Maafkan mata
tuaku yang mungkin salah melihat. Tapi kalau tidak salah, bukankah Nisanak yang
berjuluk si Kipas Maut?" tebak Ki Tambak Gering lagi.
Pandan Wangi jadi tersenyum.
"Begitulah orang-orang memanggilku, Ki," sahut Pandan Wangi tanpa bermaksud
menyombong-kan diri.
"Oh, sungguh suatu kehormatan yang luar biasa bagi kami mendapat kunjungan
pendekar besar sepertimu, Nisanak. Akan lebih merasa mendapat kehormatan lagi,
kalau Ni Pandan Wangi sudi mampir ke gubuk kami. Silakan...," ajak Ki Tambak
Gering mengundang dengan sikap begitu ramah dan hormat.
Pandan Wangi agak sungkan juga menerima tawaran Ketua Padepokan Gagak Lumayung
ini. Tapi, dia juga tidak tega untuk menolaknya. Di samping itu, memang ada
sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Siapa tahu, Ki Tambak Gering mengetahui
persoalan yang sedang dihadapinya. Bersama beberapa orang murid utama padepokan
itu, mereka melangkah masuk ke dalam ruangan utama Padepokan Gagak Lumayung.
Ki Tambak Gering tampak gembira sekali melihat tamunya sudi menyambut
undangannya. Dan dalam seketika, mereka tampak repot menyediakan jamuan. Hal ini
membuat Pandan Wangi semakin merasa tidak enak saja. Tapi, masih untung Ki
Tambak Gering orangnya ramah dan pandai menempatkan diri sebagai tuan rumah yang
baik. "Ki Tambak Gering, aku sempat mendengar kalau kalian mendapat peringatan dari
seseorang yang menamakan diri si Dewa Racun Hitam. Siapa orang itu sebenarnya,
Ki?" tanya Pandan Wangi di sela-sela pembicaraan.
Ki Tambak Gering tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, dan
dihembuskannya dengan berat. Kemudian perlahan-lahan diceritakannya, siapa orang
yang menamakan diri Dewa Racun Hitam itu. Memang julukan itu selama ini menjadi
momok yang menakutkan di berbagai padepokan di wilayah wetan ini. Dan memang,
tidak ada salahnya kalau Pandan Wangi ingin mengetahuinya.
"Ceritanya sangat panjang, Nini Pandan," ujar Ki Tambak Gering sebelum memulai.
"Kalau memang Ki Tambak Gering bersedia, aku akan mendengarkan hingga selesai.
Siapa tahu aku bisa membantu kesulitan kalian semua," kata Pandan Wangi bernada
mendesak. "Yang mengalami kesuliatan bukan hanya kami. Tapi, banyak orang yang senasib
dengan kami, Nini Pandan. Bahkan kalau dibiarkan terus, akan menjadi kesulitan
bagi semua orang, ' desah Ki Tambak Gering pelan.
"Hm.... Begitu hebatkah pengaruh Dewa Racun Hitam...?" nada suara Pandan Wangi
terdengar agak menggumam.
"Begitulah...," desah Ki Tambak Gering, semakin pelan terdengar suaranya.
"Nah! Ceritakanlah padaku, Ki Tambak. Apa yang dilakukannya hingga bisa
menyulitkan semua orang nantinya" Kalau memang hal itu benar, tentu ini akan
menjadi urusan semua orang. Dan sebelum hal itu terjadi, alangkah baiknya kalau
kita berusaha mencegahnya. Bukan begitu, Ki...?" ujar Pandan Wangi lagi.
"Apa Nini Pandan bermaksud begitu...?" tanya Ki Tambak Gering seakan ingin
meyakinkan diri.
"Kenapa tidak.." Aku akan berusaha sebatas kemampuanku, Ki," tandas Pandan
Wangi, mantap. "Ni Pandan, aku tidak meremehkan kemampuanmu. Kipas maut yang memang sudah
banyak dikenal orang bukanlah julukan kosong belaka. Karena, aku sendiri sudah
melihatnya langsung. Tapi Dewa Racun Hitam bukanlah orang sembarangan.
Kemampuannya seperti setan. Banyak sudah orang yang terpengaruh dan mengabdi
padanya. Tidak peduli apakah mengabdi secara suka rela, atau karena takut oleh
ancamannya. Tapi hal itu berlangsung terus. Dan semakin lama, kedudukan Dewa
Racun Hitam semakin kuat saja. Apalagi, dia banyak dikelilingi tokoh
berkepandalan tinggi. Akan sangat sulit bagi seseorang untuk menghancurkan Dewa
Racun Hitam bila hanya sendiri saja. Biar pun pendekar yang kemampuannya telah
tinggi," kata Ki Tambak Gering menjelaskan keadaannya.
Pandan Wangi hanya diam saja, mendengarkan penuh perhatian. Dan dari cerita Ki
Tambak Gering barusan, semua orang pasti membayangkan kalau si Dewa Racun Hitam
seorang yang berkepandaian sangat tinggi, dan sukar dicari tandingannya. Tapi
bagi Pandan Wangi, tidak mudah terpengaruh begitu saja. Bahkan semakin penasaran
saja ingin bertemu orangnya.
*** 4 Pandan Wangi mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ki Tambak Gering.
"Ki, apakah kau begitu yakin dengan pendapatmu" Sekuat apa pun dia, tapi jalan
yang dipilihnya amat keji. Kebathilan pasti akan musnah juga oleh kebenaran.
Apakah kau tak mempercayainya?" sanggah Pandan Wangi.
"Ni Pandan Wangi, aku tak menyangkal kata-katamu. Tapi hal ini agaknya tak
berlaku bagi Dewa Racun Hitam. Sejauh ini, tak seorang pun yang pernah selamat
dari kejarannya. Bahkan mereka yang baru saja berniat akan menentangnya, pasti
akan tewas beberapa saat kemudian, sebelum berhasil menjalankan niatnya. Matamata Dewa Racun Hitam berada di mana-mana dan sulit diduga," kilah laki-laki
setengah baya, Ketua Padepokan Gagak Lumayung itu.
"Hm.... Harus ada yang mencegah perbuatannya. Kalau tidak, dia akan semakin
merajalela dan semua orang akan sengsara dibuatnya!" sahut Pandan Wangi
bersemangat. "Ni Pandan Wangi, barangkali kau belum mengenal Dewa Racun Hitam. Dia adalah
ahli racun paling jahat. Dia tak segan-segan mencabut nyawa seorang atau
beberapa orang yang tak disukainya," kata Ki Tambak Gering memperingatkan
kembali. "Baru kuingat sekarang. Ada hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Ki. Pernah kau
mendengar sumur-sumur diracuni?"
"Hal itu bukan soal aneh. Perbuatan itu dilakukan oleh kaki tangan Dewa Racun
Hitam." "Juga membunuh lawannya dengan hewan-hewan kecil yang berbisa?"
"Ya! Itu juga perbuatannya."
"Lalu, apakah kau tahu tentang bocah berkepala gundul yang memiliki kemampuan
hebat itu?"
"Apa"!" Ki Tambak Gering tampak terkejut mendengar pertanyaan terakhir yang
dilontarkan gadis itu. Wajahnya kontan berubah pucat.
Pandan Wangi jadi heran melihat keterkejutan laki-laki didepannya.
"Apakah kau telah bertemu mereka, Nini Pandan?"
"Aku bahkan sempat bentrok dengan mereka," sahut Pandan Wangi.
"Astaga! Hal itu benar-benar sangat berbahaya!" desis Ki Tambak Gering.
"Kenapa, Ki Tambak Gering" Apakah ada sesuatu yang aneh pada bocah-bocah itu
hingga membuatmu kaget?"
"Menurut yang kudengar, mereka adalah pengawal pribadi Dewa Racun Hitam. Jumlah
mereka tujuh orang. Mereka memang masih bocah, tapi kemampuannya sangat hebat.
Bahkan tak sembarangan orang bisa mengalahkannya. Berapa orang yang kau temui,
Nini Pandan?"
"Satu. Dan saat dia terdesak, seorang kawan nya datang membantu. Namun kemudian
mereka juga kabur," jelas Pandan Wangi.
Ki Tambak Gering menggeleng-geleng mendengar cerita gadis itu.
"Untunglah kau selamat, Ni. Kalau mereka berjumlah tiga orang dan melakukan
serangan sekaligus, maka jangan harap bisa ditaklukkan. llmu silat mereka saling
berkaitan. Dan semakin lengkap jumlahnya, akan membuat ilmu silat mereka semakin
sempurna. Dan kalau sudah begitu, maka kepandaian mereka hampir menyamai
majikannya sendiri."
"Ki Tambak. kembali pada persoalan Dewa Racun Hitam. Setidaknya kita harus
menggalang persatuan. Aku pun bermaksud demikian, karena rasanya tak mungkin
bila hanya seorang diri untuk menghancurkan mereka," kata Pandan Wangi kembali.
"Benar. Tapi, hal itu tidak mudah dilakukan."
"Kenapa?"
"Seperti yang tadi telah kukatakan, Dewa Racun Hitam meluaskan pengaruhnya
dengan mendatangi semua perguruan silat di wilayah timur ini agar tunduk
kepadanya. Kalau ada yang berani menentang, akibatnya seperti yang tadi telah
Nini Pandan saksikan sendiri. Banyak perguruan silat yang terpaksa tunduk karena
takut. Namun, tak jarang yang hancur karena berani membantah. Aku sendiri telah
bertekad akan mempertahankan diri seandainya mereka memaksa untuk tunduk kepada


Pendekar Rajawali Sakti 106 Dewa Racun Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iblis itu!"
"Ki Tambak Gering, Kukira bukan hanya kau yang berpendirian begitu. Masih banyak
tokoh lain yang mempunyai sikap sama. Hanya saja, kini belum kita ketahui. Namun
bila kau mengirim beberapa orang murid untuk menyampaikan berita kalau kita
bermaksud menggalang persatuan guna menghancurkan Dewa Racun Hitam, tentu mereka
akan menyambut gembira," tegas Pandan Wangi.
Ki Tambak Gering berpikir sesaat lamanya sambil mengangguk-angguk.
"Benar juga, apa yang tadi Nini Pandan katakan...," desah laki-laki itu setengah
bergumam. "Kalau memang Ki Tambak setuju, sebaiknya dilaksanakan saja segera."
"Betul. Hari ini juga, aku akan menulis surat pada tokoh-tokoh yang kuanggap
menantang Dewa Racun Hitam!" seru Ki Tambak Gering dengan wajah bersemangat.
Laki-laki Ketua Padepokan Gagak Lumayung itu segera memerintahkan beberapa orang
muridnya untuk menyiapkan alat-alat tulis. Namun belum lagi orang yang
disuruhnya kembali, mendadak seorang muridnya masuk ke dalam ruangan dengan
tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal dan mukanya pucat.
"Sempalan! Kenapa kau" Apa yang terjadi sehingga seperti dikejar setan begitu?"
tanya salah seorang murid utama Ki Tambak Gering.
Orang yang dipanggil Sempalan hanya melirik sejenak kepada kakak seperguruannya.
Kemudian wajahnya dipalingkan, menatap ke arah Ki Tambak Gering.
"Guru! Di luar pintu gerbang, Ki Soma Langit dan Ki Rongo Jagat memaksa untuk
dibukakan pintu. Mereka bermaksud ingin bertemu denganmu untuk membuat
perhitungan atas apa yang terjadi terhadap Sumawangsa dan murid-murid Padepokan
Golok Maut," jelas Sempana.
"Apa"!" sentak Ki Tambak Gering dengan wajah kaget.
*** Pandan Wangi yang melihat bias keterkejutan di wajah orang tua itu tentu saja
merasa heran. "Ki Tambak! Ada apa gerangan" Kenapa begitu terkejut mendengar kedatangan
mereka?" tanya si Kipas Maut dengan wajah bingung.
"Ni Pandan Wangi, mereka berdua adalah tokoh sesat yang berilmu tinggi. Mereka
tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melampiaskan dendamnya. Setahuku,
belakangan ini mereka memang menjadi kaki tangan si Dewa Racun Hitam," jelas Ki
Tambak Gering. 'Tenanglah, Ki. kalau mereka datang ke sini karena kematian Sumawangsa dan
murid-muridnya, itu adalah urusanku. Biarlah aku yang akan menghadapi mereka,"
sahut Pandan Wangi tenang sambil bangkit dari duduknya.
"Mana bisa begitu" Kau adalah tamu kami. Dan sudah sepatutnya menjadi tanggung
jawab kami, selama kau berada di sini. Lagi pula, urusan Sumawangsa dan muridmuridnya menjadi tanggung jawab kami!" sergah Ki Tambak Gering.
Pandan Wangi tersenyum kecil. Kemudian, memandang kepada laki-laki setengah baya
itu dengan wajah arif.
"Kalau demikian, mari kita hadapi mereka bersama-sama...."
Ki Tambak Gering tak bisa membantah lagi, ketika gadis itu telah melangkah
keluar. Mau tak mau terpaksa dia dan murid-muridnya mengikuti.
Begitu sampai di pelataran, Ki Tambak Gering memerintah kedua orang muridnya
untuk membuka pintu gerbang. Kini terlihatlah dua orang penunggang kuda yang
berwajah seram tengah memandang rendah kepada mereka satu persatu. Orang yang
menunggang kuda berbulu coklat kehitaman itu bertubuh kurus dan agak bungkuk.
Bola matanya merah dan rambutnya acak-acakan. Ki Tambak Gering membisikkan
kepada Pandan Wangi kalau orang itulah yang bernama Ki Rogo Jagat. Senjatanya
sebatang tongkat sepanjang lima jengkal yang di ujungnya memiliki pengait tajam.
Sementara itu, seorang lagi berbadan tegap. Dia hanya mengenakan celana komprang
berwarna hijau, tanpa baju. Bibirnya dower dan hidungnya lebar serta pesek.
Senjatanya sebuah gada berduri. Tanpa diberi tahu, Pandan Wangi sudah menduga
kalau orang itulah yang bernama Ki Soma Langit.
"Ki Tambak Gering, inikah perempuan yang telah menewaskan Sumawangsa?" tanya Ki
Rogo Jagat tanpa berpaling dari Pandan Wangi.
Ki Tambak Gering menyadari kalau pertanyaan itu tak perlu dijawab. Memang, orang
itu hanya bermaksud menyindir belaka.
"Ki Rogo Jagat! Ada keperluan apa kau jauh-jauh datang ke tempatku ini?" Tambak
Gering me-luruskan persoalan.
"Ha ha ha...! Tambak Gering! Agaknya kehadiran gadis itu di sini menumbuhkan
nyalimu! Bagus! Ingin kulihat kemampuannya yang hebat itu!" ejek Ki Rogo Jagat.
"Ki Rogo Jagat! Kau tenang-tenang saja di sini. Biar aku yang akan menjajal
gadis itu!" sela Ki Soma Langit sambil melompat turun dari kudanya. Gerakannya
begitu ringan, seakan-akan ingin memancarkan ilmu meringankan tubuhnya yang
telah tinggi. Begitu mendarat di tanah, Ki Soma Langit langsung menghantamkan satu pukulan
jarak jauh bertenaga kuat ke arah Pandan Wangi.
"Hihhh!"
Serangkum angin kencang seketika menderu ke arah Pandan Wangi. Tapi, mana mau
gadis itu diremehkan begitu rupa. Bahkan dia sama sekali tak berusaha
menghindar. Maka cepat disorongkannya telapak tangan kirinya ke depan. Maka dari
telapak kirinya keluar hembusan angin tajam yang memapaki pukulan lawan.
Plasss! "Heh"!" Ki Soma Langit terkejut ketika melihat pukulan jarak jauhnya buyar
dihantam pukulan lawan.
"Ha ha ha...! Ki Soma Langit! Agaknya kau betul-betul menganggap rendah
padanya!" ejek Ki Rogo Jagat tertawa keras.
Bukan main geramnya Ki Soma Langit mendengar sindiran itu. Amarahnya meluap, dan
bola matanya melotot lebar. Gerahamnya bergemeletukkan dengan urat di kedua
pelipisnya menegang.
'Perempuan liar! Huh! Rupanya kau punya sedikit kemampuan juga! Tapi jangan
bangga dulu. Kau akan kulumatkan sebentar lagi!"
"Heh, Buto Ijo! Tak usah banyak bicara. Kalau kau ingin melumatkan aku, ayo
lakukan sekarang!" tantang Pandan Wangi sambil berkacak pinggang.
"Setan keparat!"
"Muka badak! Jangan memaki terus. Majulah kau!"
Dengan amarah yang meluap-luap, tubuh Ki Soma Langit melompat sambil
mengayunkan gada berdurinya ke arah tubuh gadis itu. Agaknya, dia berniat kalau
dalam beberapa serangan saja, gadis berbaju biru muda itu akan keteter dan
hancur berkeping-keping di tangannya.
"Yeaaa...!"
"Uts! Belum kena, Buto Ijo!" ejek Pandan Wangi sambil melompat ke belakang dan
terus bersalto ketika gada berduri lawan menghantam kepala.
"Mampus!"
Tapi serangan Ki Soma Langit tak berhenti sampai di situ. Kemampuannya sebagai
tokoh yang disegani terbukti. Dengan tiba-tiba saja, senjatanya telah mengejar
sebelum gadis itu menjejakkan kaki di tanah. Pandan Wangi berdecak kagum dalam
hati, namun tak mau tinggal diam begitu saja. Maka tangannya langsung mencabut
kipas mautnya. Cepat dipapaknya ayunan gada berduri Ki Soma Langit.
Trang! Ketika kedua senjata itu beradu, tahulah Pandan Wangi kalau Ki Soma Langit
memang bukan sembarangan tokoh yang bisa diremehkan begitu saja. Tenaga dalamnya
amat kuat. Dan lebih dari itu, gerakannya pun cukup gesit. Kedua senjata mereka
sampai menimbulkan percikan bunga api, ketika beradu tadi. Dan sejurus
berikutnya, tahu-tahu senjata lawan telah kembali meluruk ke arah leher.
Terpaksa Pandan Wangi memiringkan kepala, untuk menghindarinya. Kemudian sambil
berputar, kipasnya diayunkan ke batok kepala lawan.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut! Ki Soma Langit terkesiap. Buru-buru dia melompat ke samping sambil mendengus
garang, namun terlambat. Karena...
"Hiyaaa...!"
Brettt! "Keparat!" maki Ki Soma Langit, ketika tiba-tiba saja ujung kipas lawan telah
menyambar kulit dadanya, hingga sedikit tergores.
Jantung Ki Soma Langit jadi berdetak lebih kencang ketika kedua kakinya menjejak
tanah. Sorot matanya garang ketika gadis itu tegak berdiri sambil tersenyum
kecil. Kalau saja tadi lawan melanjutkan serangan, bisa jadi dia akan
dijatuhkannya. Paling tidak, lukanya tak akan seringan sekarang. Tapi mana mau
Ki Soma Langit menerima kenyataan begitu saja" Tanpa mempedulikan kejutan yang
dibuat lawan, dia kembali membuka jurus.
*** "Perempuan liar! Kau akan mampus sekarang juga di tanganku!"
"Buto ljo! Dari tadi kudengar hanya omonganmu saja yang besar. Apa memang kau
besar mulut?" sindir Pandan Wangi tersenyum sinis.
"Phuih! Akan kuremukan tubuhmu sampai tak berbentuk!" geram Ki Soma Langit
sambil melompat ke arah lawan.
Pandan Wangi telah siap-siaga. Kali ini dirasakannya kaiau lawan akan
mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan. Maka ketika senjata lawan
menyambar-nyambar ke arah tubuhnya, gadis itu segera meliuk-liuk menghindannya.
Sesekali kipasnya menangkis. Namun setiap kali menangkis, Pandan Wangi jadi
terkejut. Karena tangannya kontan terasa kesemutan. Dan hampir saja kipasnya itu
terlepas, kalau saja tidak menambah tenaga untuk mempertahankannya.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Ki Soma Langit kian meningkatkan serangan. Diterjangnya Pandan Wangi sambil
menyorongkan telapak kirinya ke depan. Seketika dari telapak kirinya melesat
cepat selarik sinar hitam ke arah Pandan Wangi. Begitu cepat serangannya,
sehingga membuat gadis itu tercekat kaget. Apalagi, pukulan maut yang
dilancarkan bercampur racun yang hebat.
Maka Pandan Wangi segera bergulingan ke samping untuk menghindarinya. Kemudian
tubuhnya melenting cepat sambil mengayunkan ujung kipasnya ke arah tenggorokan
lawan dari bawah.
"Hiiih!"
Namun dengan cepat, Ki Soma Langit menangkis dengan senjatanya.
Trang! Laki-laki berbibir dower itu kemudian menghantamkan gada berdurinya ke batok
kepala. Namun, Pandan Wangi cepat bergerak ke samping. Maka senjata gadis itu
Misteri Rumah Berdarah 6 Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 3

Cari Blog Ini