Ceritasilat Novel Online

Gadis Bertudung Bambu 1

Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu Bagian 1


GADIS BERTUDUNG BAMBU Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Gadis Bertudung Bambu
128 hal. ; 12 x48 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 "Keparat! Goblok...!"
Brak! Sumpah serapah terdengar dari dalam sebuah pondok kecil di dalam hutan yang
sunyi ini, diiringi oleh
terdengarnya suara benda pecah, seperti terpukul oleh
tangan yang sangat kuat. Dan tak berapa lama, terlihat seorang laki-laki berusia
sekitar dua puluh lima
tahun tengah tergopoh-gopoh berlari keluar menerjang
pintu yang setengah terbuka.
"Jangan pulang kalau belum bawa kepalanya! Gobloook...!"
Terdengar lagi teriakan memaki dari dalam pondok
itu. Sementara, pemuda yang berlari keluar itu disambut beberapa orang laki-laki
bertampang kasar, yang
gagang goloknya menyembul di balik ikat pinggangnya.
Sedangkan pemuda berbaju merah muda yang di pinggangnya bergantung sebilah
pedang itu terengahengah, seraya menyandarkan punggungnya ke batang
pohon. Pipinya yang tampak memerah dielus-elusnya.
Dan dari sudut bibirnya tampak keluar darah. Dengan
punggung tangan, disekanya darah yang mengalir dari
sudut bibirnya.
"Kelihatannya dia marah besar padamu, Gondang," ujar seorang laki-laki bertubuh
kekar dan berwajah penuh cambang, seraya menghampiri.
"Bukannya marah lagi. Bahkan malah ingin bunuhku!" dengus pemuda yang dipanggil
Gondang itu kesal.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Gondang?"
tanya seorang lagi yang sejak tadi menggigit-gigit batang rumput.
"Seperti semula," sahut Gondang lesu.
"Maksudmu...?"
"Apalagi kalau bukan membawa kepala Prabu Gelangsaka!" selak seorang yang
berdiri di belakang Gondang.
"Benar, Gondang...?"
Gondang hanya mengangguk lesu saja. Maka semuanya jadi terdiam. Mereka semua
tahu, siapa Prabu
Gelangsaka itu. Dia adalah seorang raja yang memerintah Kerajaan Jatigelang.
Tentu saja tugas itu sangat
sulit. Sedangkan mereka sudah pasti harus berhadapan dengan para prajurit dan
panglima- panglima berkepandaian tinggi yang mengelilingi Raja Jatigelang
itu. Maka mereka kini semua jadi menggerutu dalam
hati. "Gondaaang...!"
Terdengar teriakan keras dari dalam pondok. Seketika semua laki-laki yang ada di
sekitar depan pondok
itu jadi tersentak kaget. Terlebih lagi, pemuda yang
bernama Gondang. Wajahnya seketika jadi memucat.
"Kau belum pergi juga, Gondang..."!"
"Aku akan segera pergi, Nyai!" seru Gondang menyahut.
"Ingat, Gondang. Jangan kembali tanpa kepala keparat itu!"
"Baik, Nyai...."
Gondang mendengus dan menggerutu kesal. Sedangkan yang lain hanya diam saja
membisu, memandangi pemuda itu. Entah apa arti pandangan mata mereka. Sementara,
Gondang sudah melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.
"Ayo, kalian semua ikut aku," ajak Gondang, sambil
melompat naik ke punggung kudanya.
Tidak ada seorang pun yang membantah. Walaupun
sikap mereka jelas terlihat enggan, tapi semuanya
menghampiri kuda masing-masing. Dan tanpa banyak
bicara lagi, mereka berlompatan naik. Tak berapa lama
kemudian, sekitar tiga puluh orang berkuda itu sudah
bergerak meninggalkan pondok kecil di tengah hutan
lebat dan sunyi ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara. Sementara,
Gondang mengendalikan kudanya paling depan.
Tampak jelas dari raut wajahnya, kalau Gondang
merasa kesal mendapatkan tugas yang dianggap sangat mustahil dilakukan. Tapi,
pemuda itu tidak bisa
menolak lagi. Dia tahu, apa yang akan terjadi kalau
menolak perintah ini.
"Huh! Edan...! Dasar perempuan sableng! Masak
memerintah orang seenaknya saja!" dengus Gondang
kesal. "Tidak perlu mengomel begitu, Gondang. Kalau tidak suka, bukankah ada kesempatan
untuk lari saja..." Semua pasti akan mengikuti jejakmu, Gondang,"
usul laki-laki bertubuh kekar yang berkuda di sebelah
kanan Gondang. Kata-kata itu rupanya langsung disambut yang lain
dengan penuh semangat. Sedangkan Gondang jadi
menghentikan langkah kudanya. Dipandanginya mereka satu persatu.
"Kalian akan tetap mengikutiku?" tanya Gondang
seperti ragu-ragu.
"Di antara kami semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya,
Gondang. Maka sudah sepantasnya kau jadi pemimpin kami semua," kata lakilaki
kekar berbaju warna biru gelap itu tegas.
Gondang jadi terdiam dengan kening sedikit berkerut Kelihatannya keinginan
teman-temannya ini sedang dipikirkannya. Sungguh tidak pernah terlintas
sedikit pun dalam kepalanya, pikiran semacam itu.
Tapi, ke mana mereka akan pergi.,." Apakah perempuan yang ada di dalam pondok
itu tidak akan mencarinya" Dan kalau dia tahu, apa jadinya nanti..."
Segudang pertanyaan berkecamuk dalam kepala
Gondang. Memang sulit menentukan keputusan saat
ini. Tapi mengingat kekesalan hatinya, agaknya usul
laki-laki bertubuh kekar itu bisa juga diterima. Mereka
semua memang sudah mereka tertekan, sejak perempuan yang dianggap edan itu
membunuh pemimpin
mereka yang dulu, dan menguasai mereka semua
sampai sekarang. Dan perempuan itu dikenal sebagai
Nyai Ramit, seorang tokoh yang kepandaiannya cukup
diperhitungkan dalam rimba persilatan.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Gondang" Kau tidak
percaya pada kesetiaan kami semua...?" desak laki-laki
bertubuh kekar itu.
"Aku percaya pada kalian semua. Tapi...," Gondang
tidak meneruskan kata-katanya.
"Tapi apa lagi, Gondang" Bukankah ini kesempatan
baik untuk kita semua agar terbebas dari perempuan
sinting itu...?" desaknya lagi.
"Kalau Nyai Ramit tahu dan mencari kita semua,
bagaimana...?" Gondang malah memberikan pertanyaan.
Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka
hanya saling melempar pandangan saja satu sama
lain. Sementara Gondang merayapi wajah-wajah yang
kelihatan angker itu satu persatu. Memang, mereka
semua bertampang angker dan mengerikan. Hanya
Gondang saja yang kelihatan lain. Pemuda ini cukup
tampan. Dan pakaiannya juga kelihatan selalu bersih.
Bahkan senjatanya juga lain sendiri.
"Kami akan menghadapinya, Gondang," kata lakilaki bertubuh kekar itu.
Penegasan itu langsung disambut yang lain dengan
suara gegap gempita.
"Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang, kita harus
pergi jauh dari jangkauan perempuan itu!" ujar Gondang, akhirnya mengambil
keputusan. Dan keputusan Gondang langsung disambut seruan
gegap gempita, membuat seluruh isi hutan ini seakan
jadi terbangun. Gondang kini nampak tersenyum.
"Ayo kita pergi!" ajak Gondang, agak lantang suaranya.
"Ke mana, Gondang?"
"Aku tahu ada pengiriman barang untuk kerajaan
lewat Hutan Jatiwengker. Kita cegat dan rampas barang-barang itu," jelas
Gondang. "Kapan, Gondang?"
"Sekarang."
"Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi."
"Yeaaah...!"
Mereka semua langsung saja menggebah kudanya
mengikuti anak muda itu, tanpa peduli dengan lebatnya hutan ini. Bahkan kudakuda itu terus dipacu cepat, sehingga membuat daun-daun kering beterbangan
tersepak kaki-kaki kuda.
*** Hutan Jatiwengker memang kelihatan sangat angker. Tak ada orang yang mau
melewatinya. Bahkan untuk melalui tepiannya saja, jarang yang mau. Kecuali,
kalau memang dalam keadaan terpaksa. Dan itu pun
hanya siang hari. Padahal tidak jauh dari tepian hutan, ada jalan yang cukup
besar yang menghubungkan
Kotaraja Jatigelang dengan Kadipaten Alas Gadung.
Tapi jalan itu selalu saja kelihatan sunyi. Dalam satu
pekan, paling hanya sekali saja dilewati orang.
Siang ini udara di sekitar Hutan Jatiwengker terasa
begitu panas. Matahari bersinar sangat terik. Sedangkan langit kelihatan begitu
bersih, tanpa awan sedikit
pun berarak di sana. Rerumputan mulai terlihat meranggas, terpanggang teriknya
matahari. Namun panasnya udara siang ini, bukanlah halangan bagi serombongan
orang-orang berkuda yang membawa dua
buah gerobak pedati yang ditarik sapi. Meskipun lambat, tapi rombongan itu terus
bergerak melintasi jalan
berbatu yang sunyi dan jarang sekali dilalui orang.
Rombongan itu tampaknya terdiri dari para prajurit
Kerajaan Jatigelang. Ini bisa terlihat dari seragam yang
dikenakan. Dan tampak berkuda paling depan adalah
seorang laki-laki berusia setengah baya berpakaian
panglima. Dengan pakaian seperti itu, dia tampak gagah sekali. Semua orang di
Kerajaan Jatigelang mengenalnya sebagai Panglima Wanengpati. Seorang panglima
yang gagah dan menjadi kepercayaan Raja Jatigelang.
"Panglimaaa...!"
Seorang punggawa terlihat memacu cepat kudanya,
menghampiri Panglima Wanengpati yang berkuda paling depan. Dilewatinya dua
gerobak pedati. Lalu lari
kudanya diperlambat, setelah berada di sebelah kanan
Panglima Wanengpati.
"Ada apa, Punggawa Rakasa?" tanya Panglima Wanengpati seraya melirik sedikit.
"Maaf, Gusti Panglima. Sebaiknya kita berhenti dulu, menunggu Punggawa Adiyasa
yang memeriksa jalan ini di depan," ujar punggawa yang ternyata bernama Rakasa
dengan sikap hormat sekali.
"Itu akan memperlambat waktu perjalanan, Punggawa."
"Tapi, Gusti Panglima. Jalan ini sudah terkenal
dengan...."
"Kau takut...?" selak Panglima Wanengpati, memutuskan ucapan punggawanya.
"Hamba sama sekali tidak takut, Gusti Panglima.
Hamba hanya berpikir...."
Belum lagi Punggawa Rakasa menyelesaikan katakatanya, mendadak saja sebatang
pohon berukuran
empat kali rentangan orang dewasa di depan mereka
tumbang. Untung mereka segera menarik kudanya untuk berhenti, sehingga pohon itu
tidak menghantam
mereka. "Berhenti semua...!" teriak Panglima Wanengpati,
terdengar lantang menggelegar.
Rombongan prajurit Kerajaan Jatigelang itu seketika berhenti, begitu mendengar
teriakan Panglima Wanengpati. Sementara Panglima Wanengpati dan Punggawa Rakasa
sudah turun dari kudanya, dan segera
melangkah mendekati pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan ini,
sehingga tak mungkin dilewati lagi. Padahal, mereka membawa dua pedati yang
sarat barang-barang berharga dari Kadipaten Alas Gadung. Sedangkan satu pedati
lagi berisi wanita yang
jumlahnya sekitar sepuluh orang.
"Perintahkan prajurit untuk bersiaga, Punggawa
Rakasa," perintah Panglima Wanengpati.
"Baik, Gusti," sahut Punggawa Rakasa.
Punggawa Rakasa langsung berteriak memerintahkan seluruh prajurit untuk
bersiaga. Maka, seketika
semua prajurit segera meloloskan pedangnya, dan segera berjaga-jaga di sekitar
pedati yang masing-masing
ditarik dua ekor sapi. Sementara, Panglima Wanengpati terus mengamati pohon yang
tumbang melintang di
tengah jalan. "Hm.... Pohon ini pasti sengaja ditumbangkan," gumam Panglima Wanengpati.
Dan belum lagi panglima itu bisa berpikir lebih
jauh, mendadak saja puluhan anak panah meluncur
deras dari atas pohon dan semak belukar, bagaikan
hujan saja. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi dari para prajurit yang tertembus anak panah mendadak
itu. Panglima Wanengpati jadi tersentak kaget.
"Cepat berlindung...!" seru Panglima Wanengpati.
Tapi seruannya memang sudah terlambat. Sebentar
saja, sudah setengah prajuritnya menggeletak tertembus anak panah. Sementara,
sisa prajurit lainnya sudah berlindung. Sedangkan Panglima Wanengpati berdiri
tegak di depan salah satu pedati yang berisi penuh
peti dari kayu jati. Dan baru saja pandangannya beredar ke sekeliling....
"Seraaang...!"
Bersamaan terdengarnya teriakan keras menggelegar, dari balik semak dan
pepohonan bermunculan
orang-orang bertampang kasar, bersenjatakan golok
terhunus di tangan. Gerakan mereka begitu cepat,
hingga membuat para prajurit jadi terperangah. Saat
itu juga, Panglima Wanengpati berteriak lantang menggelegar.
"Sambut mereka! Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pertempuran memang tidak bisa terelakkan lagi. Teriakan-teriakan keras
menggelegar terdengar saling
sambut, ditingkahi denting senjata beradu. Dan saat
itu pula, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang saling susul.


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tampak beberapa prajurit mulai berjatuhan berlumuran darah. Sementara orangorang yang menyerang
itu kelihatan ganas sekali, tanpa memberi kesempatan
pada para prajurit. Sedangkan Panglima Wanengpati
berlompatan menerjang, melindungi dua pedati dan
para prajuritnya. Pedang yang tergenggam di tangan
kanannya berkelebatan cepat, menghajar para penyerangnya.
"Kau lawanku, Panglima...!"
"Heh..."!"
*** Panglima Wanengpati agak terkejut juga, begitu tiba-tiba di depannya sudah
berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan, menggenggam pedang di tangan kanan. Entah kapan
datangnya, tahu-tahu sudah
berada di depan Panglima Wanengpati.
"Dengar, Panglima. Kau dan sisa prajuritmu boleh
pergi, asalkan kedua pedati itu dan semua isinya ditinggalkan," tegas pemuda
itu. "Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh pedati itu!" dengus Panglima
Wanengpati. "Kalau begitu, terpaksa kepalamu harus ku- penggal, Panglima."
"Setan alas! Hiyaaa...!"
Panglima Wanengpati memang terkenal sebagai
orang yang tidak pernah menyerah begitu saja. Terlebih lagi, kalau berhadapan
dengan perampok seperti
ini. Tanpa banyak bicara lagi, pedangnya segera diacungkan ke atas kepala. Lalu
diterjangnya pemuda
yang menantangnya ini dengan sebuah kelebatan
mengiriskan. "Haiiit...!"
Wut! Namun, tentu saja pemuda itu tidak membiarkan
kepalanya tertebas pedang Panglima Wanengpati. Maka, cepat-cepat pedangnya digerakkan ke atas kepala
dari bawah ke atas. Dan....
Trang! Dentangan keras terdengar begitu pedang mereka
beradu tepat di atas kepala pemuda ini. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan
percikan bunga api yang
menyebar ke segala arah. Sementara, pemuda berwajah cukup tampan itu segera
melompat ke belakang
sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Hiyaaat...!"
Dan Panglima Wanengpati tidak mau lagi memberi
hati. Maka langsung saja dia melompat menyerang
sambil membabatkan pedangnya, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Namun mendapat serangan gencar dan dahsyat seperti ini,
pemuda itu hanya meliukliukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan.
Sementara pertarungan antara prajurit melawan
para perampok terus berlangsung sengit. Teriakanteriakan keras pertempuran terus
terdengar, berbaur
menjadi satu dengan jeritan melengking mengiringi
kematian. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin
sering berjatuhan. Sebentar saja, sudah tidak terhitung lagi tubuh yang
bergelimpangan saling tumpang
tindih berlumur darah.
Dan di lain tempat, terlihat Panglima Wanengpati
masih terus mencoba mendesak pemuda yang sama
sekali tidak dikenalnya ini. Jurus-jurus cepat dan sangat berbahaya terus
dikeluarkan, tapi tampaknya kepandaian yang dimiliki pemuda ini mampu
mengimbanginya. Beberapa kali pedang mereka berbenturan,
dan menimbulkan percikan bunga api.
"Hiyaaat! Yeah!"
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja, pemuda berwajah tampan itu melenting ke udara, tepat di saat Panglima Wanengpati membabatkan pedangnya ke arah
kaki. Dan pada saat itu
juga.... "Hiyaaa...!"
"Heh..."!"
Panglima Wanengpati jadi terperanjat setengah mati. Tanpa diduga sama sekali,
pemuda itu melepaskan
satu tendangan setengah berputar yang sangat cepat
luar biasa. Akibatnya, Panglima Wanengpati tidak
sempat lagi menghindar. Dan....
Plak! "Akh...!"
Begitu keras tendangan pemuda itu, dan tepat
menghantam kepala Panglima Wanengpati. Akibatnya,
panglima itu terpental ke belakang dengan tubuh berputar beberapa kali, disertai
jerit kesakitan.
Bruk! Keras sekali Panglima Wanengpati jatuh menghantam tanah. Beberapa kali tubuhnya
bergelimpangan di
jalan yang berbatu ini. Namun, dia cepat melesat
bangkit berdiri. Dan belum lagi bisa berdiri tegak....
"Hiyaaat...!"
Pemuda berbaju merah muda ini sudah melompat
dengan kecepatan sangat tinggi, hingga membuat Panglima Wanengpati jadi
terperangah. "Haps!"
Cepat-cepat Panglima Wanengpati mengebut- kan
pedangnya ke depan, berusaha menghalau serangan
anak muda ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berwajah cukup tampan itu
meliukkan tubuhnya ke
bawah, dan secara tidak terduga pula, dilepaskannya
satu tendangan menggeledek setengah berputar. Begitu cepat serangannya, sehingga
Panglima Wanengpati
tidak sempat lagi menghindarinya.
Diegkh! "Akh...!"
Kembali Panglima Wanengpati memekik, begitu dadanya terkena tendangan keras
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari pemuda lawannya. Dan
tubuhnya kembali terhuyung ke belakang beberapa
langkah. Dan pada saat itu, pemuda berbaju merah
muda ini sudah melesat cepat luar biasa, hingga sulit
diikuti mata biasa.
"Hiyaaat...!"
Bet! Secepat kilat pula, pemuda itu membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher
Panglima Wanengpati. Sedangkan saat itu, Panglima Wanengpati masih
belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka....
Crang! "Aaa...!"
Panglima Wanengpati jadi menjerit melengking, begitu pedang anak muda lawannya
membabat tepat di
bagian tenggorokannya. Tampak Panglima Wanengpati
berdiri tegak dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar. Sementara sekitar
enam langkah di depannya, pemuda berbaju merah muda ini berdiri tegak
dengan pedang berlumuran darah tergenggam di tangan kanan.
Bruk! Tanpa dapat bersuara lagi, Panglima Wanengpati
ambruk menggelimpang di jalan tanah berbatu ini.
Dan kepalanya langsung terpisah dari leher. Darah seketika menyembur dari leher
yang sudah buntung itu.
"Ha ha ha...!"
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Sementara
kematian Panglima Wanengpati begitu cepat diketahui.
Dan ini membuat hati para prajurit yang masih hidup
jadi gentar, hingga mudah sekali para perampok membantainya. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi
seketika terdengar saling sambut.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, tidak ada
seorang prajurit pun yang kelihatan masih bisa berdiri.
Sementara pemuda berwajah cukup tampan berbaju
merah muda itu menghampiri satu pedati yang berisi
wanita-wanita muda berwajah cantik yang tampak ketakutan sekali. Terlebih lagi,
pedatinya kini sudah dikelilingi orang-orang bertampang kasar menyeramkan,
dengan seringai membelah bibir. Sorot mata mereka
begitu liar, seakan-akan mata serigala yang melihat
domba gemuk penuh daging.
"Bawa pedati barang itu, dan biarkan perempuanperempuan ini pergi!" perintah
pemuda berbaju merah
muda ini. "Heh..."! Kenapa kau lepaskan mereka...?" sentak
seorang laki-laki bertubuh kekar, tidak mau menerima
perintah itu. "Mereka hanya akan membuat susah. Dan, bukan
mereka yang kita butuhkan sekarang."
"Tapi....'!
"Sudah! Ikuti saja perintahku!"
Meskipun dengan hati mendongkol, tidak ada seorang pun yang berani membantah.
Kini orang- orang
bertampang kasar itu menggeret gerobak pedati yang
berisi peti-peti barang berharga. Sementara satu pedati
lainnya yang berisi wanita, dibiarkan begitu saja.
*** 2 Siapa yang tahu kalau gerombolan perampok yang
menjegal pasukan prajurit Kerajaan Jatigelang ternyata dipimpin oleh Gondang.
Dia memang telah memutuskan untuk memimpin anak buahnya lari dari Nyai
Ramit, pemimpin mereka yang sekarang. Mereka kini
cepat meninggalkan jalan itu, setelah mendapatkan satu pedati penuh berisi
barang emas yang sangat berharga. Kekecewaan anak buah Gondang yang mengharapkan
wanita-wanita yang ada di dalam pedati lainnya, bisa terobati setelah mengetahui
pedati yang dibawa penuh berisi barang yang tidak ternilai harganya.
Namun belum begitu jauh mereka pergi, mendadak
saja sesosok tubuh ramping sudah menghadang di
tengah jalan. Kemunculan yang begitu tiba-tiba, membuat mereka jadi terkejut.
Gondang yang sudah diangkat menjadi pemimpin, melangkah maju beberapa tindak
dengan sikap dibuat garang.
Cukup sulit mengenali orang yang menghadang ini,
karena memakai tudung bambu yang cukup lebar.
Hingga, sebagian besar wajahnya tertutupi. Hanya bagian bibir dan dagu saja yang
terlihat. Namun dari
bentuk tubuh dan bibirnya yang merah, sudah bisa
dipastikan kalau orang itu wanita. Tubuhnya yang
ramping, terbungkus baju cukup ketat berwarna hijau
muda. Sementara sebilah pedang tergenggam di tangan kanannya.
"Nisanak, menyingkirlah. Biarkan kami lewat," kata
Gondang dibuat ramah suaranya.
"Kalian boleh lewat, asal tinggalkan pedati itu," tegas sekali suara wanita
bertudung ini. "Jangan bermain-main, Nisanak. Kami tidak ingin
menyakiti wanita. Menyingkirlah, sebelum anak buahku merajang tubuhmu," kata
Gondang, mulai bangkit
amarahnya. "Aku hanya berkata sekali. Tinggalkan pedati itu,
atau kalian semua akan merasakan akibatnya!"
Gondang jadi menggereng geram mendengar katakata wanita bertudung ini. Wajahnya
langsung saja memerah. Tapi belum juga pedangnya dicabut, dua
orang anak buahnya sudah melangkah maju mendekati.
"Biarkan kami berdua yang menghajarnya, Gondang," kata salah seorang yang
berbaju hitam. Bagian
dadanya tampak terbuka lebar, memperlihatkan bulubulunya yang cukup lebat.
"Hm...," Gondang hanya menggumam perlahan saja.
Dan Gondang lalu melangkah ke belakang beberapa
tindak. Sementara dua orang yang sudah berusia setengah baya itu melangkah maju
beberapa tindak dan
langsung menghunus golok. Sedangkan wanita bertudung ini hanya diam saja, tanpa
bergeming sedikit pun
juga. Seakan tidak dipedulikannya dua orang yang sudah berada begitu dekat, di
kanan dan kirinya.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, dua orang itu
langsung saja melompat menyerang sambil membabatkan golok ke arah kaki dan
kepala wanita bertudung ini. Tapi hanya sedikit saja menarik kakinya ke
belakang sambil merunduk, serangan dua orang ini
berhasil dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
wanita bertudung bambu itu melakukan gerakan berputar yang begitu cepat. Dan
pada saat itu juga, dilepaskannya dua kali pukulan.
"Hih! Yeaaah...!"
Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan
wanita bertudung ini, sehingga dua orang anak buah
Gondang tidak dapat lagi menghindarinya. Plak!
Duk! "Ugh...!"
"Aaakh...!"
Dan mereka kontan terpekik, begitu pukulan wanita
bertudung ini mendarat telak di dada. Kedua orang itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Tampak dari mulut mereka
menyemburkan darah
kental agak kehitaman.
Hanya sebentar saja mereka masih bisa berdiri terhuyung, karena tak lama
kemudian langsung jatuh
menggelepar ke tanah. Sesaat mereka mengejang, lalu
diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Melihat dua
orang anak buahnya ambruk hanya sekali gebrak saja,
bola mata Gondang jadi mendelik.
"Setan alas...!" geram Gondang berang.
Wajah pemuda itu kembali memerah menahan marah, melihat anak buahnya menggeletak
tak bernyawa lagi. Sret! Gondang langsung mencabut pedangnya. Maka seketika semua anak buahnya juga
segera menghunus
golok. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung menyebar, mengepung wanita berbaju
hijau muda yang kepalanya memakai tudung bambu lebar, sehingga menutupi
wajahnya. Namun wanita bertudung itu kelihatan
begitu tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan keadaannya yang sudah terkepung
cukup rapat ini.
"Cincang dia...!" teriak Gondang lantang menggelegar.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Begitu mendapat perintah, mereka yang sudah
mengepung langsung saja berlompatan menyerang.
Tapi sungguh di luar dugaan, tepat di saat orangorang ini berlompatan menyerang,
wanita bertudung


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tiba-tiba melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu,
dia sudah berada di atas dahan pohon.
Tentu saja hal ini membuat Gondang dan anak
buahnya jadi terlongong bengong. Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau gerakan wanita bertudung itu
demikian cepat. Malah lesatannya saja sulit diikuti
pandangan mata biasa.
"Panah...!" seru Gondang memberi perintah.
Sepuluh orang anak buah Gondang yang membawa
panah, langsung memasang anak panahnya pada busur. Dan begitu anak-anak panah
dilepaskan, seketika
itu pula berhamburan ke arah wanita di atas pohon.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tapi, begitu cepat wanita bertudung ini melesat,
membuat anak-anak panah itu tidak sempat mengenai
sasaran. Dan sebelum ada yang sempat menyadari,
wanita bertudung ini berkelebat begitu cepat sambil
mencabut pedangnya. Lalu....
"Yeaaah...!"
Bet! Wuk! Bagaikan kilat, wanita bertudung itu membabatkan
pedangnya beberapa kali. Begitu cepat sabetannya, sehingga lima orang anak buah
Gondang tidak dapat lagi
menghindar. Seketika, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking saling
sambut, disusul ambruknya lima orang dengan tubuh terbelah mengucurkan darah
segar. "Keparat...!" desis Gondang geram. "Hiyaaat...!"
Gondang tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
Dengan kecepatan bagai kilat, dia melompat menerjang
wanita bertudung ini. Pedangnya yang sudah tercabut
sejak tadi, langsung dibabatkan ke arah kepala wanita
itu. "Hiyaaa...!"
Bet! "Hap!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala,
wanita bertudung itu bisa menghindari sabetan pedang
Gondang. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, tubuhnya berputar
sambil melepaskan satu
tendangan berputar disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Yeaaah...!"
"Heh..."!"
*** Gondang jadi terbeliak kaget setengah mati. Cepatcepat pemimpin begal ini
melompat ke belakang,
menghindari serangan balasan wanita bertudung itu.
Dan pada saat itu, satu orang anak buah Gondang
yang berada di belakang wanita bertudung ini sudah
melompat sambil menebaskan golok ke arah punggung.
"Haiiit...!"
Tapi wanita bertudung itu rupanya sudah mengetahui bokongan lawan. Maka dengan
gerakan berputar
cepat, pedangnya dikebutkan dengan tangan terentang
lurus. Wuk! Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang kembali terdengar melengking. Maka seketika pembokong itu
langsung ambruk menggelepar dengan dada terbelah mengucurkan darah.
"Setan...! Serang! Bunuh dia...!" seru Gondang
menggeram berang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Kembali anak buah Gondang yang masih mengepung berlompatan begitu mendengar
perintah pemimpinnya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Namun bagaikan kilat, wanita bertudung bambu itu
memutar tubuhnya sambil mengebutkan pedangnya di
tangan kanan. Kemudian tubuhnya melesat menghajar
para pengeroyoknya. Maka dalam beberapa gebrakan
saja, kembali terdengar jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disusul
ambruknya anak buah Gondang dengan tubuh bersimbah darah.
Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah setengah lebih anak buah Gondang
yang ambruk tidak
bernyawa lagi. Sementara, wanita bertudung itu terus
berkelebatan dengan kecepatan luar biasa sekali. Begitu cepat gerakannya, hingga
yang terlihat hanya kelebatan bayangan hijau dan keperakan saja yang menyambar
anak buah Gondang. Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun terus
terdengar saling
susul. "Phuih! Kubunuh kau, Perempuan Keparat!
Hiyaaat...!"
Gondang semakin bertambah geram saja, melihat
anak buahnya terus berjatuhan berlumuran darah dan
tidak bangkit-bangkit lagi. Sambil memaki dan berteriak lantang, Gondang melesat
menerjang wanita bertudung itu.
"Hiyaaat...!"
Bet! "Haiiit...!"
Tepat di saat Gondang menyabetkan pedangnya,
wanita bertudung itu cepat menggerakkan pedangnya
pula untuk menangkis serangan. Begitu cepat gerakan
yang mereka lakukan, sehingga benturan keras tidak
dapat terelakkan lagi.
Trang! Bunga api terlihat memercik, saat dua pedang itu
beradu keras sekali. Dan pada saat itu, terlihat wanita
bertudung ini melesat ke belakang sambil menyabetkan pedangnya dua kali. Maka
dua orang yang berada paling dekat dengannya langsung menjerit dan
bergerak limbung sambil mendekap dadanya yang terbelah.
"Hih! Yeaaah...!"
"Awaaas...!"
Gondang berteriak keras, begitu melihat wanita bertudung itu melepaskan senjata
rahasianya yang berbentuk sekuntum bunga mawar dari perak. Namun,
teriakan Gondang terlambat. Beberapa senjata rahasia
wanita itu ternyata sudah menghantam dada anak
buah Gondang. Crab!
Jleb! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan saling sambut,
ketika senjata rahasia itu
menghantam sasarannya. Saat itu juga, terlihat anak
buah Gondang berjatuhan. Maka dalam waktu tidak
berapa lama saja, tidak ada seorang pun yang masih
berdiri, kecuali Gondang saja. Dan dia juga tadi tidak
luput dari serangan-serangan senjata rahasia wanita
bertudung ini. Namun berkat kepandaiannya paling
tinggi, keselamatannya masih menyertainya.
"Kau juga harus menyusul yang lain, Gondang...!"
desis wanita bertudung ini, menggereng geram.
"Heh..."! Kau tahu namaku...?" Gondang jadi terkejut.
Wanita itu tidak menyahut. Tudungnya diangkat,
hingga raut wajahnya terlihat jelas. Seketika, kedua
bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Dan saat itu
juga, nafasnya terasa seperti jadi berhenti mendadak.
"Kau... kau...," Gondang jadi tergagap.
"Aku tidak suka melihat caramu yang seperti ini,
Gondang. Kau tahu, apa akibatnya kalau tidak menuruti perintahku. Kau harus
mati, Gondang," terdengar
dingin sekali suara wanita berwajah cantik itu.
"Phuih! Apa yang aku takutkan darimu, Nyai Ramit"! Aku memang telah muak
denganmu!"
Gondang menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Perlahan, kakinya ditarik ke kanan. Memang tidak ada
pilihan lain lagi, wanita ini harus dihadapinya. Sementara wanita bertudung
bambu itu tetap berdiri tegak,
mengikuti gerak langkah yang dilakukan pemuda di
depannya. "Mampus kau! Hiyaaat...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Gondang
langsung saja melompat menerjang. Pedangnya berputar begitu cepat, hingga
bentuknya menghilang tak terlihat lagi. Hanya kilatan cahaya saja yang terlihat
bergulung-gulung, mengurung wanita bertudung bambu
ini. Namun sampai sejauh ini, sedikit pun tidak terlihat
kalau wanita bertudung ini terdesak. Dan semua serangan yang dilakukan Gondang,
mudah sekali dapat
dihalau. Bahkan ketika pedang Gondang menyabet ke
arah kaki, cepat sekali wanita bertudung itu melesat
ke atas. Dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti
pandangan mata biasa, wanita bertudung itu melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan wanita
bertudung bambu ini, sehingga Gondang tidak dapat
lagi menghindar. Dan....
Plak! "Akh...!"
Gondang jadi menjerit, begitu tendangan wanita
bertudung ini tepat menghantam kepalanya. Pemuda
itu jadi terpental ke belakang, dan terhuyung-huyung
sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengucur keluar dari pelipisnya yang
robek, akibat terkena
tendangan bertenaga dalam tinggi itu.
"Saatmu sudah tiba, Gondang! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita bertudung bambu itu melompat cepat
bagai kilat. Lalu, seketika dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai
pengerahan tenaga dalam penuh. Sementara, Gondang
sudah tidak mungkin lagi menghindarinya. Maka..'..
Diegkh! "Hegkh...!"
*** Gondang hanya dapat mengeluh sedikit, begitu pukulan wanita ini menghantam tepat
pada bagian tengah dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah
kental. Tampak pada bagian tengah dada pemuda itu
tergambar telapak tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap.
Kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Darah terus mengalir keluar dari
mulut dan hidungnya.
Beberapa saat tubuhnya masih bisa berdiri limbung,
kemudian ambruk ke tanah di antara mayat anak
buahnya. Dan seketika itu juga, nyawanya melayang.
Sementara wanita bertudung itu berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan saling
tumpang tindih di sekitarnya. Terdengar dengusan nafasnya yang begitu berat.
Sedikit tudung bambu yang
menutupi kepalanya diangkat dengan ujung jari telunjuk. Sehingga, terlihatlah
seraut wajah cantik dengan
pipi putih agak kemerahan. Bola matanya tampak
bundar bercahaya, indah bagai bintang di langit. Namun sorot matanya terlihat
begitu tajam. Dan bibirnya
yang merah, sedikit pun tidak mengembangkan senyum.
"Hhh! Sudah terlalu lama aku di sini. Sebaiknya
aku kembali saja sebelum terjadi sesuatu lagi yang tidak aku inginkan," gumam
wanita itu. Cepat sekali tubuhnya melesat pergi, meninggalkan
lawan-lawannya yang sudah bergelimpangan jadi
mayat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
dari pandangan mata tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Dan belum begitu lama wanita bertudung itu lenyap, dari arah jalan terlihat dua
orang penunggang
kuda menuju tempat pertarungan tadi ini. Dan tampaknya, kedua penunggang kuda
itu sudah melihat
mayat-mayat yang bergelimpangan, hampir memenuhi
jalan tanah berbatu ini. Maka, segera mereka memacu
kudanya lebih cepat lagi.
"Hooop...!"
"Hup!"
Kedua penunggang kuda itu langsung berlompatan
turun, begitu sampai di tempat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang
tindih. Mereka tampak
begitu terkejut sekali. Salah seorang dari penunggang
kuda itu memeriksa mayat Gondang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, dengan rambut panjang terikat pita putih. Sedangkan
seorang lagi adalah
gadis berwajah cantik, berbaju biru agak ketat. Dan
dia hanya memandangi saja, apa yang diperbuat pemuda itu.
"Kelihatannya mereka baru saja meninggalnya, Kakang," ujar gadis cantik berbaju
biru ketat itu, agak
menggumam. "Hm...."
Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di
punggung itu hanya
menggumam saja sedikit.
Perlahan pemuda itu bangkit berdiri, dan kembali
mendekati gadis cantik yang juga membawa pedang
bergagang kepala naga berwarna hitam pekat di punggungnya. Tampak pada lipatan
sabuk yang membelit
pinggangnya, terlihat sebuah kipas berwarna putih keperakan.
"Tidak ada yang terluka akibat senjata tajam. Mereka tewas, akibat terkena
pukulan bertenaga dalam
tinggi," jelas pemuda itu pelan, seakan bicara pada diri
sendiri. Sedangkan gadis cantik berbaju biru di sebelahnya
hanya diam saja. Pandangannya tertuju pada sebuah
pedati yang ditarik dua ekor sapi putih, tidak jauh dari
mayat-mayat ini. Gadis itu jadi tertarik, lalu melangkah menghampiri pedati itu.
Dan pemuda berbaju
rompi putih ini juga segera melangkah mengikuti.
"Penuh berisi peti kayu, Kakang," kata gadis itu
memberi tahu, tanpa berpaling sedikit pun.
Beberapa saat mereka mengamati pedati ini.
"Kakang, kau kenali lambang ini..." Seperti lambang
sebuah kerajaan," kata gadis itu lagi, sambil menunjuk
ke arah gambar yang tertera pada kain tebal penutup
pedati. "Lambang Kerajaan Jatigelang...," gumam pemuda


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaju rompi putih, langsung bisa mengenali gambar
itu. Sesaat mereka jadi terdiam.
"Ayo, Pandan. Kita tinggalkan saja tempat ini," ajak
pemuda itu. "Eh..."!"
Tapi belum juga gadis cantik yang dipanggil Pandan
bisa berbicara, pemuda berbaju rompi putih ini sudah
cepat menariknya, langsung kembali menghampiri kudanya. Tanpa bicara lagi,
pemuda berbaju rompi putih
itu langsung melompat naik ke punggung kuda hitam
tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan
gadis cantik yang dipanggil Pandan itu masih tetap
berdiri memegangi tali kekang kuda putihnya.
Gadis cantik itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan
julukannya adalah si Kipas
Maut, karena kedahsyatan senjatanya yang berbentuk
sebuah kipas putih keperakan. Sedangkan pemuda
tampan berbaju rompi putih yang kini sudah berada di
atas punggung kuda hitamnya, tidak lain adalah
Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti. "Ayo, Pandan," ajak Rangga lagi tidak sabar.
"Kenapa harus pergi, Kakang...?"
"Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya, cepat naik ke
kudamu. Kita pergi dulu dari sini."
Meskipun masih belum mengerti, Pandan Wangi
naik juga ke punggung kudanya. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar
dari Karang Setra itu
sudah memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu. Debu
langsung membubung
tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan.
Dan saat kedua pendekar itu sudah tidak terlihat
lagi, dari arah jalan lain, terlihat sebuah pedati bergerak perlahan mendekati
tempat ini. Pedati itulah yang
berisi para wanita yang dikawal prajurit Kerajaan Jatigelang, yang dirampok
kelompok Gondang tadi. Mereka
kini terpaksa menjalankan pedatinya sendiri, setelah
ditinggalkan oleh para perampok.
Wanita-wanita di dalam pedati itu jadi menjerit terpekik, begitu melihat mayatmayat bergelimpangan
menghadang jalan. Kemudian, salah seorang wanita di
dalam pedati itu bergegas turun, dan langsung menghampiri pedati yang berisi
penuh peti-peti kayu berukir. Dan tidak lama kemudian, wanita itu kembali lagi
ke pedati yang masih berisi wanita-wanita muda berwajah cantik ini.
"Kanjeng Putri..., semua barang di dalam pedati
masih lengkap," lapor wanita itu.
Dan dari dalam pedati, menyembul sebuah kepala
dengan raut wajah cantik sekali.
"Kau bisa bawa pedati itu, Dayang Sambi?" lembut
sekali suara wanita yang disebut Kanjeng Putri itu.
"Bisa, Kanjeng Putri."
"Bawalah. Ikuti pedati ini dari belakang. Lebih baik,
kita kembali dulu ke kerajaan. Sebaiknya urusan pernikahan ini memang dibatalkan
dulu." "Baik, Kanjeng Putri."
Wanita yang dipanggil Dayang Sambi itu bergegas
menghampiri pedati berisi penuh peti kayu, yang di dalamnya terdapat barangbarang berharga. Sigap sekali
dia naik ke atas pedati itu. Sementara, pedati yang sarat berpenumpang wanitawanita ini, sudah bergerak
lagi, tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi jalan.
*** 3 Kedatangan dua pedati yang masing-masing hanya
berisi wanita serta peti-peti kayu berisi emas tanpa
seorang pun prajurit pengawal, tentu saja membuat seluruh penghuni Istana
Kerajaan Jatigelang jadi gempar. Terlebih lagi, di antara wanita itu terdapat
Rara Ayu Endang Witarsih, putri tunggal Prabu Gelangsaka.
Memang perjalanan Rara Ayu Endang Witarsih sebenarnya adalah menuju Kerajaan
Soka, untuk menemui calon suaminya di sana. Dan anak Raja Soka memang telah
dijodohkan dengan Rara Ayu Endang Witarsih. Sudah menjadi kebiasaan bagi para
raja, bila ingin berkunjung ke kerajaan lain akan selalu membawa oleh-oleh berupa emas dan
barang-barang berharga lainnya. Maka tak heran kalau Rara Ayu Endang
Witarsih harus dikawal sepasukan prajurit kerajaan.
Dan begitu mereka berada di Balai Sema Agung, Rara Ayu Endang Witarsih
menceritakan semua yang terjadi di perjalanan. Prabu Gelangsaka jadi menarik
napas lega, karena akhirnya Rara Ayu Endang Witarsih
selamat. Namun demikian masih tersirat pada raut wajahnya, kalau dia menyimpan
kemurkaan atas tewasnya Panglima Wanengpati di tangan para perampok
itu. "Aku sendiri juga bingung, Ayah. Pemimpin perampok itu sama sekali tidak
mengganggu kami. Malah
meninggalkan begitu saja. Yang diambil hanya pedati
yang berisi barang-barang emas saja," jelas Rara Ayu
Endang Witarsih lagi.
"Mereka tidak tahu kalau kau ada di antara dayangdayangmu, Anakku?" tanya Prabu
Gelangsaka. "Tidak, Ayahanda Prabu. Aku berada di tengahtengah. Dan tidak ada seorang pun
dari mereka yang
memeriksa ke dalam pedati," sahut Rara Ayu Endang
Witarsih. "Lalu apakah kau tahu, siapa yang membasmi perampok-perampok itu?" tanya Prabu
Gelangsaka lagi.
Rara Ayu Endang Witarsih hanya menggeleng saja,
menjawab pertanyaan ayahnya ini. Sedangkan semua
dayang yang duduk bersimpuh di belakang Rara Ayu
Endang Witarsih juga menggelengkan kepala, saat
Prabu Gelangsaka memandanginya satu persatu. Seakan-akan meminta jawaban dari
pertanyaannya tadi.
"Tapi, Ayahanda Prabu...," ujar Rara Ayu Endang
Witarsih bernada terputus.
"Ada apa, Witarsih?"
"Aku melihat ada bekas tapak kaki kuda di antara
mayat-mayat perampok itu."
"Hm...," Prabu Gelangsaka jadi menggumam pelan.
'Tapi tadi kau mengatakan, perampok- perampok itu
semuanya menunggang kuda...."
"Benar, Ayah. Tapi jejak kaki kuda yang kulihat, justru arahnya menuju ke sini.
Ke kotaraja ini...," sahut
Rara Ayu Endang Witarsih.
"Oh..., apa mungkin ada di antara mereka yang menyelusup ke sini...?" nada suara
Prabu Gelangsaka seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin, Ayah," ujar Rara Ayu Endang Witarsih.
"Kalau begitu, mereka harus segera ditangkap," kata Prabu Gelangsaka, agak
mendesis suaranya. "Berapa orang mereka, Witarsih?"
"Hanya dua orang."
"Dua orang...," gumam Prabu Gelangsaka perlahan.
Beberapa saat Raja Jatigelang yang berusia enam
puluh tahun itu terdiam dengan kening berkerut. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih juga terdiam
membisu. "Beristirahatlah dulu, Anakku. Perjalananmu pasti
sangat melelahkan," ujar Prabu Gelangsaka.
"Baik, Ayahanda Prabu."
Setelah memberi sembah hormat, Rara Ayu Endang
Witarsih meninggalkan Balai Sema Agung Istana Kerajaan Jatigelang ini, diikuti
dayang-dayangnya dengan
sikap begitu hormat. Mereka juga memberi sembah
hormat pada Prabu Gelangsaka, sebelum meninggalkan ruangan yang megah ini.
Sementara Prabu Gelangsaka masih terdiam sambil bertopang dagu memikirkan cerita
anak gadisnya barusan.
"Aneh...! Siapa perampok-perampok itu..." Aneh sekali tindakan mereka. Tidak
seperti perampok lainnya.
Hm....," gumam Prabu Gelangsaka, bicara pada diri
sendiri. Perlahan laki-laki tua ini mengangkat kepalanya.
Dan tatapan matanya langsung tertuju pada seorang
laki-laki bertubuh tinggi tegap, mengenakan seragam
prajurit berpangkat panglima. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang
cukup panjang. Panglima itu
segera memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Panglima Sela Gading...."
"Hamba, Gusti Prabu."
"Kerahkan prajurit-prajuritmu. Cari dua orang perampok itu, dan bawa ke sini
dalam keadaan hidup.
Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka," perintah Prabu Gelangsaka.
"Segala titah Gusti Prabu akan hamba laksanakan,"
sahut Panglima Sela Gading.
"Kerjakan sekarang juga, Panglima Sela Gading."
"Hamba, Gusti Prabu."
*** Siang yang panas ini, semakin bertambah panas
dengan menyebarnya para prajurit Kerajaan Pringgada
ke seluruh pelosok kerajaan ini. Mereka memang diperintahkan untuk mencari
perampok-perampok yang
dikatakan masih ada dua orang lagi. Dan diduga, kedua perampok itu berada di
dalam kotaraja ini.
Semua rumah digeledah, dan penghuninya ditanyai.
Dan mereka yang dicurigai, langsung ditangkap tanpa
mengenal ampun. Bahkan tidak jarang prajuritprajurit itu bertindak kasar. Siapa
saja yang dicurigai,
langsung dirantai, digiring ke istana. Tindakan yang dilakukan Panglima Sela
Gading dan para prajuritnya,
tentu saja membuat kekacauan di seluruh pelosok Kotaraja Jatigelang ini. Namun
tidak ada seorang pun
yang tahu, penyebab dari semua tindakan kasar para
prajurit itu. Semua orang hanya saling bertanya saja,
tanpa tahu sebabnya.
Sementara itu tidak jauh dari gerbang perbatasan
kota, di sebuah kedai kecil yang terbuka, Rangga dan
Pandan Wangi juga menyaksikan semua tindakan para
prajurit. Di dalam hati mereka, tentu saja timbul pertanyaan. Prajurit-prajurit
itu memang bertindak kasar.
Dan siapa saja yang mencoba melawan, langsung ditangkap tanpa ampun lagi.
Bahkan ada beberapa prajurit yang secara kasar
mengobrak-abrik beberapa rumah penduduk. Jerit dan
tangis mewarnai seluruh pelosok kerajaan ini. Dan
semua tindakan prajurit itu tidak terlepas dari pengamatan Pendekar Rajawali
Sakti dan si Kipas Maut dari
dalam kedai. Bahkan bukan hanya mereka. Beberapa
pengunjung kedai yang semuanya berasal dari kalangan persilatan juga
menyaksikan. "Tindakan mereka benar-benar liar! Sama sekali tidak menampakkan kalau mereka adalah prajurit!"
dengus Pandan Wangi mulai muak.
"Jangan bicara sembarangan, Nisanak. Kalau mereka dengar, bisa ditangkap nanti,"
tegur laki-laki setengah baya pemilik kedai ini memperingatkan.
Pandan Wangi hanya melirik sedikit saja pada pemilik kedai itu. Sedangkan
pengunjung lain mulai melirik
gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Di antara mereka, ada seorang
pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya warna putih bersih. Wajahnya juga dihiasi
kumis tipis. Dan matanya terus memandangi
Pandan Wangi dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Pandan Wangi sendiri,
sama sekali tidak tahu
kalau sejak tadi dipandangi terus-menerus.
"Apa yang mereka cari sebenarnya..." Kenapa sampai menyusahkan rakyat
begitu...?" gumam Pandan
Wangi, seperti bertanya sendiri.
"Mereka mencari dua orang perampok," selak salah
seorang pengunjung kedai ini.
Pandan Wangi segera memutar tubuhnya ke arah
sahutan tadi hingga berhadapan dengan laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Memang dia sejak
tadi sebenarnya duduk tepat di depannya. Walaupun
usianya sudah hampir setengah baya, tapi wajahnya
masih kelihatan tampan. Dan senyumnya begitu menarik. Dari pedang yang
tergeletak di atas meja panjang ini, bisa dipastikan kalau dia dari kalangan
persilatan. "Perampok...?" nada suara Pandan Wangi seperti
bertanya. "Kemarin rombongan Rara Ayu Endang Witarsih
disergap perampok. Seluruh prajurit dan panglimanya
mati terbunuh. Perampok itu mengambil pedati yang
penuh berisi emas dan perak. Tapi Rara Ayu Endang
Witarsih bersama dayang-dayangnya selamat. Mereka
kini telah kembali ke istana dan melaporkan semuanya," jelas orang tua itu
gamblang. "Tentu jumlah perampok itu sangat banyak," ujar
Pandan Wangi, agak menggumam suaranya.
"Memang. Tapi, mereka sudah mati semua."
"Mati..."!" Pandan Wangi tampak terkejut
"Mereka mati terbunuh di tengah jalan. Tapi dengar-dengar ada dua orang yang
berhasil melarikan diri,
dan diduga sekarang ada di kota ini. Sedangkan pedati
yang berisi perhiasan emas dan perak bisa diselamatkan."
"Hm.... Bagaimana mungkin itu bisa terjadi...?" gumam Pandan Wangi lagi, seperti
bertanya pada diri
sendiri. Sedikit Pandan Wangi melirik Rangga yang sejak tadi diam saja, duduk di sebelah
kirinya. Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengarkan pembicaraan
ini. Sementara, terlihat sepuluh orang prajurit mendatangi kedai ini. Sedangkan semua
orang yang berada di
dalam kedai itu sudah memperhatikannya sejak tadi.
Keenam orang berada di kedai memang dari kalangan
persilatan, semuanya membawa senjata yang beraneka
ragam bentuk dan ukurannya.
"Kalian semua yang ada di dalam kedai, keluar...!"
teriak salah seorang prajurit berpangkat punggawa,
dengan suara lantang menggelegar.
Laki-laki setengah baya pemilik kedai, bergegas keluar dengan raut wajah dan
sikap ketakutan sekali.
Langsung tubuhnya berlutut di depan sepuluh orang
prajurit itu. "Hanya ada enam orang tamu di kedaiku. Gusti Prajurit. Dan aku tidak mengenal
mereka sama sekali,"


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata pemilik kedai itu, tanpa ditanya lagi.
"Suruh mereka keluar semua!" bentak punggawa
itu, terdengar kasar sekali suaranya.
Tiba-tiba saja terdengar sahutan dari dalam kedai.
"Kami semua tidak ada urusan denganmu, Prajurit.
Pergilah, jangan merusak istirahat kami di sini...!"
"Heh! Kurang ajar...!" desis punggawa itu, jadi berang.
Wajah punggawa itu seketika memerah. Sedangkan
kedua bola matanya menyorot bagai bola api, menatap
tajam ke arah kedai. Sementara enam orang yang duduk mengelilingi meja panjang
di dalam kedai itu kelihatan tenang sekali, seperti tidak menghiraukan prajuritprajurit yang mulai berang.
"Minggir kau! Hih...!"
Duk! "Akh...!"
Pemilik kedai itu terpekik dan jatuh terguling di tanah, begitu tubuhnya terkena
tendangan punggawa
yang cukup keras ini. Punggawa itu melangkah mendekati kedai, dan langsung saja
meloloskan pedangnya. Sementara, sembilan prajurit yang bersamanya
sudah siap dengan tombak tergenggam erat.
"Aku perintahkan sekali lagi, keluar kalian...!" bentak punggawa itu lantang
menggelegar. "Atau, kalian
ingin kedai ini kuhancurkan..."!"
"Hati-hati dengan ucapanmu, Prajurit. Bisa- bisa,
mulutmu yang hancur...!"
Terdengar lagi sahutan kalem dari dalam kedai.
"Heh..."!"
Punggawa itu jadi tersentak kaget mendengar katakata yang jelas sekali bernada
tantangan itu. Padahal
sejak tadi matanya merayapi keenam orang di dalam
kedai ini, tapi tidak ada seorang pun yang membuka
mulutnya. Tapi suara itu, jelas sekali terdengar dari
arah kedai. "Bangsat keparat...!" geram punggawa itu berang.
"Hancurkan semuanya...!''
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
*** Sembilan orang prajurit itu langsung berlarian ke
arah kedai. Tapi belum juga sampai ke pintu, mendadak saja dari arah kedai
melesat deras potonganpotongan kayu bagai anak panah lepas dari busur.
Dan seketika itu juga....
"Akh!"
"Aaa...!"
Prajurit-prajurit itu menjerit melengking, begitu tubuh mereka tertembus
potongan kayu. Dan mereka
langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir
dari bagian tubuh yang menjadi sasaran potongan
kayu. "Heh..."! Keparat...!" geram punggawa itu terkejut.
Betapa tidak..." Sembilan orang prajuritnya seketika tewas, sebelum mencapai
pintu kedai. Apalagi
hanya potongan kayu saja yang membuat mereka
menggeletak tidak bernyawa lagi. Wajah punggawa itu
jadi memerah menahan amarah. Tapi melihat keadaan
sembilan orang prajuritnya, hatinya jadi gentar juga.
Maka cepat disadarinya kalau saat ini sedang menghadapi orang-orang yang
berkepandaian sangat tinggi.
Beberapa saat punggawa itu memandangi satu persatu mereka yang ada di dalam
kedai itu. Lalu sambil
menggereng menahan geram, tubuhnya cepat berbalik
dan melangkah cepat-cepat meninggalkan kedai itu.
Sementara, laki-laki setengah baya pemilik kedai itu
bergegas masuk kembali ke dalam kedainya yang kecil
ini. "Sebaiknya kalian cepat pergi. Punggawa itu pasti
kembali lagi bersama prajurit yang lebih banyak lagi,"
ujar pemilik kedai itu dengan suara tersendat ketakutan.
"Kalau kami pergi, lalu dengan apa kau akan menghadapi mereka, Paman?" selak
pemuda tampan yang
tadi memandangi wajah Pandan Wangi terus-menerus.
Suaranya terdengar begitu lembut, bagai seorang
pangeran. Dan matanya kini memandangi yang lain,
seakan meminta dukungan atas ucapannya barusan.
"Benar, Paman. Kami tidak akan beranjak dari sini.
Kecuali, kalau kau memang mau menghadapi mereka
sendiri," kata laki-laki bertubuh kekar dan berkumis
tebal melintang, hampir menutupi bibirnya yang tebal.
Goloknya yang terselip di pinggang dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Dari
ciri-ciri goloknya, orang
pasti sudah bisa tahu kalau dia adalah si Golok Setan.
"Seribu prajurit pun, tidak akan sanggup menghadapi kami, Paman," sambung
seorang wanita berusia
sekitar empat puluh tahun yang sejak tadi diam saja.
Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi
raut wajahnya masih terlihat cantik. Bentuk tubuhnya
pun masih ramping, padat dan berisi. Bahkan rasanya
masih sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip
memandangnya. Kelihatannya, dia tidak membawa sebuah senjata. Tapi di
pinggangnya, terlilit sehelai selendang berwarna kuning keemasan. Dan semua
orang tahu, selendangnya adalah senjata andalannya. Di kalangan orang-orang
persilatan, wanita ini dikenal sebagai Dewi Selendang Emas.
Sedangkan dua orang lagi bernama Jangrana. Dan
dialah pemuda tampan yang sejak tadi terus- menerus
memandangi Pandan Wangi. Sementara seorang lagi,
yang duduk di samping Dewi Selendang Emas, adalah
seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambut, kumis,
dan jenggotnya juga sudah memutih semua. Hanya sebatang tongkat kecil saja yang
berada di tangan kirinya. Sebenarnya, dia bernama Eyang Jamus. Tapi di
kalangan rimba persilatan, julukannya adalah Malaikat Bayangan Putih.
Sementara itu, dua orang lagi tentu saja Rangga
dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut. Dan mereka juga
seringkali disebut sebagai Sepasang Pendekar Karang
Setra. "Pergi sajalah kalian semua. Kalian malah akan
menghancurkan kedaiku ini, kalau prajurit-prajurit itu
datang lagi," kata pemilik kedai itu dengan suara yang
sangat memelas.
"Pergi atau tidak, keadaannya akan tetap sama,
Paman. Biarlah kami sedikit memberi pelajaran pada
mereka, agar bisa bertindak lebih halus lagi. Jangan
seenaknya saja menyiksa rakyat lemah," tegas Dewi
Selendang Emas, agak mendengus suaranya.
"Tapi...."
"Sudahlah, Paman. Berapa harga kedaimu ini" Biar
kubayar semuanya," selak Jangrana sambil mengeluarkan sebuah pundi dari kulit.
Pemuda tampan itu langsung saja melemparkan
pundi kulit itu ke depan pemilik kedai ini. Melihat
pundi yang kelihatan penuh itu, kedua bola mata pemilik kedai ini jadi terbeliak
juga. Dengan tangan agak
bergetar, dibukanya tali pengikat pundi itu. Dan wajahnya seketika semakin
bersinar, begitu melihat pundi itu berisi kepingingan emas yang tentu saja
terlalu banyak bila untuk membayar kedainya.
"Den...," tersendat suara pemilik kedai itu.
"Ambil semua, Paman. Dan pergilah dari sini, sebelum prajurit-prajurit itu
datang," kata Jangrana cepat,
memutuskan ucapan pemilik kedai itu.
Belum juga pemilik kedai itu bisa mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba terdengar
suara teriakan-teriakan
yang disertai hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Maka seketika tanah di
sekitar kedai ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan tak lama kemudian,
terlihat kurang lebih seratus prajurit berkuda mendatangi kedai ini. Tampak di
antara mereka, punggawa
yang tadi datang bersama sembilan prajuritnya.
"Mereka datang...," desis pemilik kedai bergetar.
"Pergilah, Paman. Dari belakang," ujar Dewi Selendang Emas.
Tanpa bicara apa pun juga, pemilik kedai itu bergegas pergi melalui jalan
belakang. Sebentar dia tertegun
setelah berada di bagian belakang kedainya, namun
kemudian sudah cepat-cepat melangkah lagi, mengambil jalan memutar. Setelah
melewati beberapa rumah, pemilik kedai itu berhenti dan berlindung di balik
sebatang pohon. Dipandanginya kedainya yang kini
sudah terkepung tidak kurang dari seratus dua puluh
orang prajurit. Tampak di antara prajurit-prajurit yang
sudah mengepung rapat kedai itu, ada Panglima Sela
Gading. *** 4 Dengan gerakan yang sangat ringan, Panglima Sela
Gading melompat turun dari punggung kudanya. Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya sudah
cukup tinggi. Tapi orang-orang yang, berada di dalam
kedai, hanya tersenyum sinis saja melihat cara Panglima Sela Gading melompat
turun dari kudanya. Dan
hanya Rangga saja yang kelihatan seperti tidak peduli.
Panglima Sela Gading melangkah tegap mendekati
kedai itu. Kemudian panglima bertubuh tegap ini berdiri sambil berkacak
pinggang, sekitar delapan langkah
lagi di depan pintu kedai. Sedangkan mereka yang berada di dalam kedai, hanya
diam saja memperhatikan
gerak-geriknya.
"Kalian semua yang ada di dalam kedai, cepat keluar...!" terdengar lantang
sekali suara Panglima Sela
Gading. Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam kedai.
Namun saat itu, terlihat Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya mereka
yang berada di dalam
kedai. Sedangkan Pandan Wangi memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalian cari kesulitan saja. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di
sini," agak mendengus nada
suara Rangga. Setelah berkata begitu, Rangga melangkah mantap
dan ringan sekali menuju luar kedai. Sementara yang
lainnya hanya memandangi. Dan mereka juga sudah
bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di ambang pintu, begitu
Rangga berada di luar.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah berhadapan dengan Panglima Sela Gading dalam
jarak sekitar lima
langkah lagi. "Kisanak! Kau pasti bukan orang Jatigelang. Siapa
kau"! Dan dari mana asalmu..."!" terdengar begitu dalam sekali nada suara
Panglima Sela Gading.
"Namaku Rangga. Aku datang bersama adikku dari
Karang Setra, dan hanya kebetulan saja singgah di kota ini, untuk melepas lelah
di kedai itu. Maaf kalau tadi terjadi sedikit keributan. Prajurit-prajurit itu
yang memulainya lebih dulu," jelas Rangga tenang.
"Kami sedang menjalankan perintah Gusti Prabu
Gelangsaka. Dan berdasarkan laporan punggawaku,
sikap kalian sudah membuat kami curiga. Maka sebaiknya kalian jangan mempersulit
diri lagi. Biarkan
kami memeriksa, apakah kalian orang yang kami cari
atau bukan," tegas Panglima Sela Gading.
"Maaf, Panglima. Mungkin teman-temanku ini tidak
suka melihat cara prajuritmu menjalankan tugasnya.
Mereka terlalu menganggap kami seperti sampah. Jadi,
maaf kalau ada di antara kami tadi terpaksa bertindak.
Kami hanya sekadar membela diri," kata Rangga lagi,
masih dengan suara tenang sekali.
"Apa pun alasannya, kau dan teman-temanmu sudah membunuh sembilan orang
prajurit. Dan itu sudah membuktikan kalau kalian bukan orang baik-baik.
Maaf, aku harus menangkap kalian semua untuk diadili," kata Panglima Sela
Gading, tetap tegas.
"Aku yang membunuh prajuritmu, Panglima...!"
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara keras menggelegar. Dan belum lagi hilang
suara itu dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam kedai melesat cepat
sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti sudah
berdiri seorang pemuda
berwajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bibirnya. Dialah Jangrana, yang di
kalangan rimba persilatan dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api, karena seutas
cambuk di tangan kanannya memang bagai lidah
api. "Kau tidak bisa mengadili kami semua, Panglima.
Akulah yang membunuh sembilan orang prajuritmu.
Jadi, aku yang harus kau tangkap. Tapi itu kalau kau
mampu, Panglima," kata Jangrana, agak sinis nada
suaranya. "Hm.... Jadi kau biang keladinya...," desis panglima
Sela Gading, dingin.
"Maaf. Mereka terpaksa kubunuh, karena akan
menghancurkan kedai ini. Sedangkan aku dan yang
lain sedang beristirahat di sini. Bahkan sikap mereka
terlalu kasar, dengan menganggap kami seperti orangorang yang tidak ada harganya
sama sekali," tegas
Jangrana. "Kalian memang tidak ada harganya sama sekali!"
sentak Panglima Sela Gading lantang.
Kata-kata Panglima Sela Gading, tentu saja membuat orang-orang di kedai itu jadi
memerah telinganya.
Terlebih lagi, Jangrana. Pendekar Cambuk Api itu
langsung mengeretakkan gerahamnya. Bahkan wajahnya seketika jadi memerah.
"Sikapmu seperti bukan seorang panglima saja. Bagiku, kau tidak lebih dari
kepala gerombolan liar...!"
desis Jangrana tidak bisa lagi menahan amarah.
"Keparat! Berani kau menghina Panglima Sela Gading, hah..."! Kurobek mulutmu,
Bangsaaat...!"
"Hhh! Aku khawatir, malah cambukku yang akan
merobek isi perutmu!"
"Setan! Serang, bunuh mereka semuaaa...!" teriak
Panglima Sela Gading tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Shaaa...!"
*** Rangga yang semula bermaksud hendak mencegah
terjadinya pertarungan, tidak dapat lagi berbuat apaapa. Nyatanya, Panglima Sela
Gading sudah memerintahkan prajuritnya untuk menyerang. Dan tentu saja


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perintah itu tidak bisa dicabut lagi. Maka seketika semua prajurit yang memang
sudah mengepung tempat
itu langsung saja berhamburan seperti kumpulan
ayam melihat butiran beras.
Teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung
seketika pecah menggelegar, bagai hendak merobek
angkasa. Dan saat itu juga, beberapa buah tombak
sudah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali Sakti
dan Pendekar Cambuk Api yang berdiri berdampingan.
Maka kedua pendekar itu langsung saja berlompatan,
menghindari sambaran tombak-tombak yang mengancam, bersamaan dengan meluruknya
para prajurit yang menyerang.
"Sial! Hih! Yeaaah...!"
Rangga jadi menggerutu sendiri dalam hati, karena
tidak mungkin lagi bisa keluar dari pertarungan ini.
Buktinya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah dikeroyok
puluhan orang prajurit.
Sementara, Pendekar Cambuk Api juga sudah berlompatan ke sana kemari,
mempertahankan selembar
nyawanya. Bukan hanya mereka saja yang harus berjumpalitan menghadapi serangan
para Prajurit Kerajaan Jatigelang ini. Tapi para pendekar lain pun menjadi
sasaran serangan pula. Sehingga, mereka terpaksa
keluar kedai menyambut Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang ini.
Sementara itu sambil bertarung, Rangga terus bergerak mendekati Pandan Wangi
yang dikeroyok puluhan prajurit. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan, jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya berkelit
dan menghindar saja. Malah sedikit pun tidak memberi
serangan balasan. Sementara yang lain sudah mulai
merobohkan lawan-lawannya. Bahkan Pandan Wangi
sendiri sudah menjatuhkan lima orang prajurit yang
menyerang. Hanya Rangga saja yang belum melukai
seorang prajurit pun.
"Hup!"
Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melesat
mendekati Pandan Wangi. Maka hanya sekali lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti
sudah berada di samping si
Kipas Maut. "Pandan, ayo pergi dari sini...!" seru Rangga, agak
ditekan suaranya.
"Tidak mungkin. Mereka terlalu banyak, Kakang!"
sahut Pandan Wangi, sambil meliukkan tubuhnya
menghindari hunjaman tombak.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung saja
menghentakkan tangannya, mengirimkan satu pukulan keras mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, ke arah kepala prajurit yang baru saja menghunjamkan
tombaknya. Begitu cepat pukulannya, sehingga prajurit itu tidak dapat lagi
menghindari. Prak! "Aaakh...!"
"Pandan...!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu melihat Pandan
Wangi menghantam kepala prajurit itu sampai pecah.
Maka, darah langsung menyembur deras dari kepala
prajurit itu. Beberapa saat dia terhuyung-huyung, kemudian jatuh menggelepar tak
bernyawa lagi. Memang
sungguh keras pukulan yang dilepaskan si Kipas maut
tadi, sehingga kepala prajurit itu sampai pecah tidak
berbentuk lagi.
"Kau keterlaluan, Pandan. Hih...!"
"Eh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak begitu tiba-tiba saja
Rangga sudah menotok tubuhnya. Seketika tubuh
Pandan Wangi jadi lunglai tak berdaya. Dan sebelum si
Kipas Maut jatuh ke tanah, Rangga sudah menyambar
tubuhnya yang telah pingsan tertotok. Lalu, Pendekar
Rajawali Sakti langsung melesat cepat sambil memperdengarkan siulan pendek. Saat
itu juga, terdengar
ringkikan kuda yang sangat keras, meningkahi suara
gaduh pertarungan. Dan tidak lama kemudian, terlihat
Rangga sudah berdiri di atas punggung kuda hitamnya
sambil memanggul Pandan Wangi.
"Cepat pergi dari sini, Dewa Bayu...!" seru Rangga.
"Hieeegh...!"
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggitinggi. Sementara, Rangga
mengimbangi dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh di punggung kuda
hitam ini. Kuda hitam Dewa Bayu langsung melesat cepat bagai kilat, membawa Rangga yang
berdiri di punggungnya sambil memanggul Pandan Wangi. Beberapa prajurit yang
mencoba menghadang kuda itu langsung diterjang tanpa ampun.
Sambil mendengus-dengus dan sesekali meringkik,
Dewa Bayu terus berlari cepat menerobos kepungan
Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Dan begitu sudah
berada di luar kepungan, Dewa Bayu langsung saja
melesat dengan kecepatan bagai kilat meninggalkan
pertarungan. Sementara, Pandan Wangi tetap pingsan
di pundak Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung
sengit. Teriakan-teriakan pertarungan terus terdengar
membahana, ditingkahi jeritan-jeritan kematian yang
melengking. Tampak tubuh-tubuh bersimbah darah
semakin banyak saja yang berjatuhan. Sedangkan dari
empat orang yang dikeroyok, belum ada seorang pun
yang kelihatan terdesak. Dan memang, tingkat kepandaian para prajurit masih
terlalu rendah untuk menghadapi orang-orang dari kalangan persilatan seperti
mereka ini. "Edan...! Bisa habis prajuritku kalau begini terus!"
dengus Panglima Sela Gading, begitu menyadari kalau
prajuritnya semakin banyak saja yang bergelimpangan
bersimbah darah.
Maka seketika mulai gentar juga hati panglima itu
melihat ketangguhan empat orang yang tidak dikenalnya ini. Hatinya mulai
khawatir, kalau pertarungan ini
diteruskan, jelas prajuritnya bakal habis terbantai.
Apalagi, kemampuan yang dimiliki prajuritnya tidak
ada artinya bila dibandingkan empat orang persilatan
itu. "Munduuur...!" teriak Panglima Sela Gading.
Begitu terdengar perintah, prajurit-prajurit yang sejak tadi sebenarnya juga
sudah gentar, langsung berlompatan mundur. Dan sebentar saja, pertarungan
berhenti. Namun keempat tokoh persilatan itu sudah
dikepung kembali oleh puluhan prajurit yang masih
tersisa. Mereka seperti tidak menyadari kalau Rangga
dan Pandan Wangi sudah pergi sejak tadi.
*** "Kita tidak mungkin mengalahkan mereka semua.
Jumlahnya terlalu banyak...," bisik Dewi Selendang
Emas, pelan. "Coba kalian lihat di sebelah sana...," selak Eyang
Jamus. Mereka semua langsung memandang ke arah yang
ditunjuk Eyang Jamus. Tampak serombongan prajurit
lain yang berjumlah besar, bergerak menuju ke tempat
ini. Empat orang itu jadi saling berpandangan. Namun
belum juga sempat berpikir, tiba-tiba saja Rangga
muncul kembali ke tempat itu tanpa Pandan Wangi.
Entah ditinggalkan di mana gadis itu.
"Kalian pergilah. Biar aku yang akan menghadang
mereka," kata Rangga.
"Jangan menganggap enteng mereka, Anak Muda,"
dengus Eyang Jamus, merasa tersinggung.
"Aku hanya akan menghadang saja. Kalau kalian
sudah jauh, aku juga akan pergi dari sini," jelas Rangga.
Sebentar mereka saling berpandangan.
"Cepatlah pergi. Prajurit-prajurit itu sudah semakin
dekat," desak Rangga.
"Bagaimana...?" tanya Jangrana meminta pendapat.
"Kita pergi saja. Tapi, jangan terlalu jauh," sahut
Eyang Jamus. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung cepat berlompatan pergi dari tempat
itu. Sementara,
Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping pinggang. Dan begitu empat
orang itu sudah
jauh.... "Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu begitu
dihentakkan ke atas, tepat
ketika kedua telapak tangannya menyatu rapat di atas
kepala, seketika terjadi badai topan yang sangat dahsyat.
Panglima Sela Gading dan prajurit-prajuritnya jadi
tersentak kaget. Tapi belum juga rasa terkejut itu hilang, mereka sudah
berpelantingan terlanda hembusan
angin badai yang tiba-tiba saja tercipta begitu Rangga
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
"Hup! Yeaaah...!"
Di saat prajurit-prajurit itu sedang kalang-kabut,
cepat sekali Rangga melesat pergi sambil mencabut
ajiannya yang sangat dahsyat itu. Dan memang, Rangga sengaja hanya membuat
mereka kalang-kabut saja.
Dan di saat yang sangat tepat, tubuhnya langsung melesat pergi dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat
kesempurnaan. Begitu cepatnya, hingga sebelum ada yang menyadari, Pendekar
Rajawali Sakti sudah jauh pergi
tanpa terlihat lagi bayangannya.
Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, keluar dari Kotaraja Kerajaan Jatigelang ini. Dan dia baru
berhenti, setelah tiba di tempat Pandan Wangi ditinggalkan tadi. Gadis cantik
yang berjuluk si Kipas Maut itu terlihat tergolek seperti tidur
di bawah sebatang pohon. Tak jauh dari tempat Pandan Wangi tergolek, terlihat
dua ekor kuda seperti
menjaganya. Dan kuda-kuda itu menyingkir, saat melihat Rangga datang
menghampiri. Tuk! "Ohhh...!"
Rangga langsung saja membebaskan totokan- nya
di tubuh Pandan Wangi. Gadis itu sebentar kemudian
menggeliat sambil mengeluh lirih, seakan-akan baru
saja terjaga dari tidur nyenyak. Namun begitu tersadar, Pandan Wangi cepat
melompat bangkit berdiri. Dia
jadi celingukan, kemudian menatap Rangga yang berdiri dengan kedua telapak
tangan terlipat di depan dada.
"Di mana ini, Kakang?" tanya Pandan Wangi terlihat
agak kebingungan.
"Di tempat yang aman," sahut Rangga kalem.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk bersandar di bawah pohon yang cukup
rindang, melindungi
tubuhnya dari sengatan sinar matahari yang sangat terik.
"Lalu, di mana mereka" Prajurit-prajurit itu...?"
tanya Pandan Wangi lagi.
"Mungkin mereka masih ada di sana," sahut Rangga.
Saat itu, terlihat empat orang berjalan melenggang
menghampiri kedua pendekar dari Karang Setra ini.
Mereka adalah Eyang Jamus, Dewi Selendang Emas, si
Golok Setan, dan Jangrana yang juga dikenal sebagai
Pendekar Cambuk Api. Mereka langsung saja menggeletak di atas rerumputan, begitu
sampai di tempat
Rangga beristirahat.
Tampak butir-butir keringat membasahi tubuh mereka semua, dengan tarikan napas
terdengar memburu. Sementara Pandan Wangi sudah mengambil tempat, duduk di
sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau benar-benar hebat, Anak Muda. Belum pernah
aku melihat aji kesaktian sedahsyat itu...," ujar Eyang
Jamus, langsung memuji Pendekar Rajawali Sakti.
"Bagaimana caranya kau menciptakan badai topan
sedahsyat itu, Kisanak?" sambung Jangrana, ingin tahu.
"Ah, tidak ada yang kulakukan," sahut Rangga merendah.
"Sejak pertama kali melihatmu, kau selalu diam dan
tidak banyak bicara. Aku yakin, kau seorang pendekar
berkepandaian tinggi. Siapa namamu, Anak Muda?"
ujar Eyang Jamus lagi.
Tampak sekali orang tua itu begitu kagum melihat
kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya Pandan Wangi,"
sahut Rangga sambil memperkenalkan Pandan Wangi.
Mereka pun saling memperkenalkan diri masingmasing. Dan kini mereka yakin, kalau
masing-masing mempunyai satu jalan dan sealiran. Hanya saja, tidak
ada yang tahu, untuk apa berada di wilayah Kerajaan
Jatigelang ini. Dan memang tidak ada seorang pun
yang mau terus terang mengatakannya. Tapi mereka
juga bisa memaklumi, hingga tidak ada yang mendesak.
"Rasanya sudah cukup beristirahat. Maaf. Aku mohon diri lebih dulu, karena harus
melanjutkan perjalanan," ucap si Golok Setan seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana kau, Paman Golok Setan?" tanya
Jangrana. "Aku harus sampai di Kadipaten Bukakambang secepatnya. Ada yang barus
kuselesaikan di sana. Maaf,
aku terpaksa meninggalkan kalian di sini," sahut si
Golok Setan sambil menjura memberi hormat.
"Hati-hati di jalan, Golok Setan. Hindari bentrokan
dengan Prajurit Jatigelang," pesan Dewi Selendang
Emas. "Terima kasih, Nyai Dewi," sahut si Golok Setan.
Setelah menjura memberi hormat sekali lagi, si Golok Setan melangkah
meninggalkan tempat ini. Baru
setelah si Golok Setan tidak terlihat lagi, Jangrana
bangkit berdiri. Pemuda itu juga segera berpamitan,
hendak melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya yang masih sangat jauh.
Memang hanya dia
yang menceritakan tentang tujuannya, dan kenapa berada di Kerajaan Jatigelang
ini. Sebenarnya, Jangrana
hanya sekadar singgah saja. Tapi memang tidak ada
yang menyangka bisa bentrok dengan prajurit kerajaan.
Dan kini, tinggal Rangga, Pandan Wangi, Dewi Selendang Emas, serta Eyang Jamus
saja yang masih
ada. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka


Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis Bertudung Bambu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara lebih dulu. Entah apa yang ada dalam kepala
masing-masing. "Kau tidak pergi, Rangga?" tanya Dewi Selendang
Emas. "Aku masih ada urusan di Jatigelang ini," sahut
Rangga seraya tersenyum.
"Dengan para prajurit itu...?" goda Eyang Jamus.
Rangga jadi tertawa mendengar gurauan laki- laki
tua itu. Dan yang lainnya juga tertawa. Memang, peristiwa yang baru saja dialami
bersama, bisa membuat
perut mereka serasa tergelitik. Tapi, terasa sekali kalau
suara tawa Pendekar Rajawali Sakti terdengar sumbang. Kelihatannya seperti ada
sesuatu yang sedang
disimpan di lubuk hatinya.
"Lebih dari itu, Eyang. Dan sebenarnya juga, aku tidak ada urusan dengan
mereka," kata Rangga setelah
berhenti tawanya.
"Sayang sekali, keadaannya sangat buruk untukmu, Rangga," ujar Dewi Selendang
Emas. "Bukan hanya untuknya, Nyai. Tapi juga untuk kita
semua," selak Eyang Jamus, jadi agak jengkel suaranya.
"Ya! Semua ini gara-gara Jangrana," dengus Dewi
Selendang Emas lagi. "Aku sendiri heran, untuk apa
dia cari gara-gara dengan prajurit-prajurit itu..." Kini
kita semua kena getahnya. Huh...!"
"Aku pernah mendengar sedikit tentangnya. Dia
memang pemarah, dan cepat sekali naik darah. Tapi
segala tindakannya selalu membela yang lemah. Hanya
saja tindakannya pada lawan tidak pernah memberi
ampun, walaupun hanya persoalan yang kecil sekali,"
kata Eyang Jamus lagi.
"Huh! Menyesal aku bertemu dengannya. Semua jadi rusak gara-gara dia!" dengus
Dewi Selendang Emas
lagi. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya diam
saja mendengarkan mereka saling mengumpat.
"Maaf, kami berdua mohon diri," ujar Rangga seraya
bangkit berdiri.
Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan
Pandan Wangi, dan mengajaknya berdiri. Setelah menjura memberi hormat, kedua
pendekar muda itu meninggalkan Eyang Jamus dan Dewi Selendang Emas.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi pergi, Eyang Jamus
baru beranjak. Kemudian Dewi Selendang Emas pun
ikut melangkah meninggalkan tempat itu.
*** 5 Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah
Kerajaan Jatigelang. Suasana terasa begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang
berkeliaran di luar rumah,
setelah peristiwa siang tadi. Hanya para prajurit saja
yang terlihat berjaga-jaga di setiap sudut kotaraja ini.
Namun kesunyian malam ini sedikit terusik oleh
terdengarnya suara tangisan terisak dari beberapa rumah, yang keluarganya
terbunuh atau ditangkap prajurit siang tadi. Memang tidak sedikit rakyat yang
mati terbunuh, akibat tindakan kasar para prajurit dalam
mencari orang yang dicurigai dari gerombolan perampok yang menyerang pasukan prajurit Panglima Wanengpati.
Sementara dalam kegelapan malam, terlihat dua
bayangan berkelebat menyelinap di antara rumahrumah penduduk. Dua bayangan itu
berhenti saat berada di samping sebuah rumah yang tidak begitu besar, dan
berdinding papan kasar. Dari dalam rumah
itu terdengar tangisan terisak yang terasa begitu memilukan.
Dua bayangan yang menyelinap masuk ke dalam
kota ini tidak lain dari Rangga dan Pandan Wangi yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si
Senopati Pamungkas I 10 Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi Jejak Di Balik Kabut 38

Cari Blog Ini