Ceritasilat Novel Online

Istana Gerbang Neraka 2

Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Bagian 2


kota ini bagaikan kota mati yang sudah ditinggalkan penduduknya. Begitu sunyi
keadaannya, hingga detak-detak langkah kaki kuda yang ditunggangi begitu jelas
terdengar. Dan sepanjang jalan yang dilalui, tidak seorang pun yang dijumpai.
Hanya para prajurit saja yang terlihat memandang mereka dengan penuh kecurigaan.
Tapi, Rangga dan Panglima Gagak Sewu terus menjalankan kudanya perlahan-lahan,
tidak mempedulikan beberapa prajurit yang memperhatikan dengan sorot mata
curiga. "Kita harus cari tempat agar mereka tidak terus curiga, Paman. Terlalu berbahaya
kalau sampai ditegur," bisik Rangga.
"Hamba punya teman yang bisa dipercaya, Gusti," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Sebaiknya, Paman harus membiasakan diri tidak memanggilku begitu. Ingat, Paman.
Di luar istana, aku bukan raja. Panggil saja aku Rangga. Dan Paman juga jangan
menyebut diri dengan sebutan hamba," kata Rangga mengingatkan.
"Maaf, aku sering lupa." ucap Panglima Gagak Sewu.
Rangga hanya tersenyum saja sedikit. Sebelum mereka sampai di Kotaraja Kerajaan
Jenggala ini, memang Panglima Gagak Sewu sudah diberi tahu agar menghilangkan
tata cara dalam lingkungan istana. Dan lagi, Rangga memang tidak pernah mau
dianggap raja kalau tidak berada di dalam istana. Terlebih lagi dalam keadaan
seperti ini. Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu lebih senang
menjadi seorang pendekar daripada menjadi raja. Itu sebabnya, dia sering keluar
mengembara mengarungi alam bebas seperti burung.
"Paman, apa temanmu benar-benar bisa dipercaya?" tanya Rangga.
"Dia sahabatku sejak kecil, Rangga. Dan antara kami berdua, tidak ada rahasia
yang tersimpan. Hanya saja, dia lebih senang menjadi orang bebas dengan
mengerjakan ladangnya. Padahal, aku sudah seringkali membujuknya untuk menjadi
wakilku. Tapi, rupanya dia lebih senang jadi petani," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Masih jauh rumahnya?" tanya Rangga lagi.
"Di sebelah barat, agak keluar dari kota ini," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Hm.... Bisa tengah malam baru sampai, Paman," ujar Rangga agak menggumam."
"Ya, memang. Kalau tidak ada halangan."
"Tapi, tampaknya kita akan mendapatkan halangan, Paman," ujar Rangga, semakin
pelan suaranya.
Belum juga Panglima Gagak Sewu bisa menyadari maksud kata-kata Rangga barusan,
mendadak saja dia jadi tersentak kaget. Ternyata tiba-tiba saja dari depan
muncul sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak yang langsung menghadang di
tengah jalan. Rangga dan Panglima Gagak Sewu segera menghentikan langkah kaki
kuda mereka. Dan begitu berpaling ke belakang, tampak tidak jauh di belakang
sudah menghadang sekitar dua puluh orang prajurit yang semuanya membawa tombak
berukuran panjang dua kali tubuh mereka.
"Jangan gugup, Paman. Jangan membuat mereka bertambah curiga," bisik Rangga
pelan. "Baik," sahut Panglima Gagak Sewu.
Seorang prajurit yang tampaknya berpangkat punggawa, melangkah menghampiri
dengan sikap angkuh. Sedangkan yang lain tetap berada di tempatnya dengan sikap
siaga penuh. Rangga dan Panglima Gagak Sewu masih tetap berada di punggung
kudanya. Dan punggawa yang masih kelihatan berusia muda itu berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan kuda hitam yang bernama Dewa
Bayu, tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
'Tampaknya kalian bukan orang Jenggala. Siapa kalian berdua?" tanya punggawa
itu. "Kami hanya dua orang pengembara yang kemalaman, dan sedang mencari penginapan
di kota ini," sahut Rangga mencoba bersikap ramah.
"Kalian tahu, kota ini terlarang bagi pendatang. Dan kalian sudah melanggar
larangan Gusti Prabu Banyugara. Kalian harus ditangkap," terdengar lantang suara
punggawa itu. "Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan. Kalau memang tidak diizinkan
bermalam di sini, sekarang juga kami akan pergi," sahut Rangga.
"Tidak! Kalian sudah melanggar larangan Gusti Prabu," sentak punggawa itu tegas.
"Prajurit...! Tangkap mereka!"
Semua prajurit yang berada di depan dan belakang, langsung berlompatan mengepung
jalan ini. Sementara, Rangga dan Panglima Gagak Sewu saling melemparkan
pandangan. 'Terpaksa, Paman," ujar Rangga.
"Ya. Apa boleh buat...?" sahut Panglima Gagak Sewu seraya mengangkat bahunya
sedikit. 'Tapi lebih baik menghindar saja, Paman. Bukan mereka tujuan kita," kata Rangga.
"Aku mengikutimu saja, Rangga," sahut Panglima Gagak Sewu. Dan saat itu juga...
"Tangkap mereka...!" seru punggawa itu memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga dan Panglima Gagak Sewu langsung
menggebah cepat kudanya.
"Awas...! Hup!" Punggawa yang berada tepat di depan Rangga langsung melompat ke samping dan
membanting diri hingga bergulingan ke tanah, menghindari terjangan Dewa Bayu
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiya!"
"Yeah!"
Rangga dan Panglima Gagak Sewu terus memacu cepat kudanya meninggalkan para
prajurit yang tadi mengepung. Debu langsung mengepul membubung tinggi ke
angkasa. Sementara, para prajurit Kerajaan Jenggala jadi terlongong bengong.
"Kejar mereka! Tangkaaap...!" teriak punggawa muda itu memberi perintah.
Tapi tidak mungkin bagi mereka mengejar kuda yang dipacu dengan kecepatan sangat
tinggi itu. Dan belum juga ada seorang prajurit pun yang bergerak, kedua kuda
itu sudah lenyap dari pandangan.
"Ayo, kejar mereka!" perintah punggawa berusia muda itu jadi berang.
Tanpa peduli kalau yang akan dikejar menunggang kuda, mereka segera berlarian
berusaha mengejar. Sedangkan, Rangga dan Panglima Gagak Sewu sudah terlalu jauh.
Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Kini, prajurit-prajurit
Kerajaan Jenggala menghentikan pengejarannya.
*** "Hooop...!"
Rangga menghentikan lari kudanya, begitu merasa tidak ada lagi prajurit yang
mengejar. Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Panglima Gagak Sewu yang
tertinggal cukup jauh di belakang. Memang kuda yang ditunggangi Panglima Gagak
Sewu hanya kuda biasa, sehingga tidak mungkin bisa menandingi kecepatan Dewa
Bayu. Kuda hitam itu memang bukanlah kuda sembarangan. Kecepatan larinya saja
bagaikan angin, sehingga sulit dicari tandingannya.
"Hop!"
Panglima Gagak Sewu segera menarik tali kekang kudanya, begitu dekat di samping
kuda yang ditunggangi Rangga. Mereka sama-sama berpaling ke belakang. Memang,
tidak ada tanda-tanda yang mengejar. Dan tanpa disadari, mereka justru sekarang
berada di tengah-tengah sebuah kebun yang sangat luas bagaikan tak bertepi.
Sepanjang mata memandang hanya kegelapan saja yang terlihat, serta pepohonan
yang menghitam tersaput kabut tipis.
"Kita salah jalan, Rangga," kata Panglima Gagak Sewu memberi tahu.
"Terpaksa...," sahut Rangga agak mendesah, seraya mengangkat pundaknya sedikit.
"Ya.... Terpaksa kita harus bermalam di sini," kata Panglima Gagak Sewu lagi.
"Hm...," Rangga menggumam sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak satu
rumah pun yang terlihat di tempat ini. Sepertinya mereka bukan berada di dalam
kota. Kebun ini terlalu luas, hingga sulit menentukan arah lagi. Terlebih, malam
ini begitu pekat. Langit terlihat hitam tersaput awan hitam. Sedikit pun tak
terlihat cahaya bulan maupun bintang.
"Ada di mana kita sekarang, Paman?" Tanya.
Rangga ingin tahu.
"Masih di dalam kota," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Hm..."
"Kenapa, Rangga?"
"Tidak apa-apa. Paman," sahut Rangga seraya turun dari kudanya.
Panglima Gagak Sewu juga melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan
ringan sekali, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah cukup tinggi. Bahkan
hampir tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan kakinya
segera melangkah memutari kudanya, lalu berdiri di sebelah Rangga yang masih
tetap berada di depan kudanya sendiri.
"Kebun kelapa ini milik Gusti Prabu Gandaraka. Letaknya memang sudah hampir
mencapai pinggiran kota. Tapi tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dari kebun
ini, kita bisa mencapai istana dengan mudah," kata Panglima Gagak Sewu memberi
tahu tanpa diminta.
"Kau tahu arahnya, Paman?" tanya Rangga, mengingat keadaan sekeliling yang
begitu gelap. Sedikit pun tidak ada petunjuk yang bisa dijadikan pedoman untuk
mengetahui arah mata angin.
"Tidak terlalu sulit, Rangga. Aku sering ke sini. Dan daerah ini sudah kukenal
dengan baik," sahut Panglima Gagak Sewu.
Rangga jadi tersenyum. Baru disadari kalau pertanyaannya tadi sangat bodoh.
Sudah tentu Panglima Gagak Sewu mengenal betul tempat ini, karena sejak remaja
berada di tempat ini. Bahkan telah menjadi orang penting di istana, dengan menjadi panglima kepercayaan Prabu Gandaraka. Tapi sekarang, mereka tidak tahu
nasib Raja Jenggala itu. Dan mereka datang ke sini juga untuk mengetahui keadaan
Prabu Gandaraka. Bahkan kalau masih hidup, harus diusahakan untuk
membebaskannya. Dan takhtanya yang kini berada di tangan Raden Banyugara, harus
dikembalikan ke tangannya semula.
"Tempat ini terlalu terbuka, Paman. Kalau mereka tahu, tidak ada tempat lain
untuk menghindar," kata Rangga.
"Ya! Kita harus mencari tempat yang cocok," sahut Panglima Gagak Sewu.
Tanpa bicara lagi, mereka berjalan sambil menuntun kuda masing-masing. Rangga
mengikuti saja, ke mana ayunan langkah kaki Panglima Gagak Sewu menuju, karena
memang tidak tahu arah. Rangga hanya bisa mengawasi keadaan sekelilingnya,
dengan mempergunakan aji 'Tatar Netra'. Sehingga, Pendekar Rajawali Sakti bisa
melihat dari jarak jauh, walaupun keadaan begitu gelap.
*** Rangga cepat bangun, saat merasakan hangatnya cahaya matahari menerpa kulit.
Tampak Panglima Gagak Sewu tengah duduk membelakangi dekat api yang menyala
kecil. Laki-laki berusia setengah baya itu berpaling dan tersenyum. Rangga
menghampiri, lalu duduk bersila di depannya.
"Apa itu?" tanya Rangga.
"Singkong, Mau...?"
Rangga tersenyum saja melihat Panglima Gagak Sewu mengambil singkong bakar, dan
memakannya dengan nikmat. Bibirnya tersenyum bukan karena lucu, tapi melihat
keanehan. Seorang panglima yang biasa hidup serba kecukupan, kini mengisi
perutnya hanya dengan singkong bakar. Sedangkan bagi Rangga sendiri, walaupun
seorang raja, sudah tidak asing lagi dengan makanan seperti ini. Maka tanpa
sungkan-sungkan lagi, diambilnya satu, dan dimakannya dengan nikmat.
"Maaf, hanya ini yang bisa kuperoleh," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Aku justru mengira kau tidak biasa makan seperti ini, Paman," kata Rangga.
"Sebelum jadi panglima, aku juga pengembara sepertimu, Rangga. Hanya saja, tidak
lama. Yaaah..., sekitar sepuluh tahun. Jadi makanan seperti apa pun, sudah
pernah kurasakan," jelas Panglima Gagak Sewu tanpa merasa tersinggung sedikit
pun. "Justru aku merasa tidak enak padamu, Rangga."
"Kenapa?"
"Walaupun sehari-harinya selalu mengembara, tapi kau seorang raja. Pasti,
bekalmu lebih dari cukup selama pengembaraan. Dan makananmu juga tidak
sembarangan."
"Sama saja, Paman. Aku sendiri tidak pernah membawa bekal. Apa saja yang bisa
jadi pengisi perut pasti kumakan. Aku rasa tidak ada bedanya, antara hidup di
dalam istana atau di alam bebas. Malah, aku lebih suka hidup di alam bebas.
Makanya aku lebih sering mengembara daripada berada di istana," kata Rangga
menjelaskan. "Aku kagum padamu, Rangga. Kalau saja semua raja sepertimu, pasti tidak akan ada
pemberontakan atau kejahatan di dunia ini," puji Panglima Gagak Sewu tulus.
"Jangan terlalu memuji, Paman. Aku juga pernah menghadapi pemberontakan, tapi
tidak sampai berhasil menggulingkan takhta."
"Ya, karena Karang Setra dikelilingj jago-jago berkepandaian tinggi. Dan lagi,
siapa yang bisa menandingi kepandaianmu, Rangga" Orang-orang persilatan saja
akan berpikir serlbu kali berhadapan denganmu," lagi-lagi Panglima Gagak Sewu
memuji. Rangga hanya tersenyum saja mendengar pujian tulus itu. Dia berdiri melangkah
menghampiri kudanya, setelah merasa cukup mengisi perut. Panglima Gagak Sewu
juga berdiri setelah mematikan api yang ditimbun dengan abu tanah. Sementara,
Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas punggung kudanya. Dan Panglima
Gagak Sewu bergegas naik ke punggung kudanya sendiri.
"Masih terlalu pagi, Paman. Apa sebaiknya kita temui dulu sahabatmu itu...?"
ujar Rangga memberi saran.
"Aku rasa memang itu yang terbaik, Rangga. Kita bisa memperoleh keterangan
darinya," sambut Panglima Gagak Sewu.
Tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya perlahan meninggalkan tempat ini.
Rangga tetap mengikuti Panglima Gagak Sewu yang lebih tahu seluk beluk daerah
ini. Mereka berjalan bersisian, dan menghindari keramaian. Sengaja Panglima
Gagak Sewu mengambil jalan sepi, agar tidak mengundang perhatian.
Setelah cukup lama berkuda, mereka sampai di depan sebuah rumah yang tidak
begitu besar, tapi memiliki halaman luas. Dan suasananya juga terasa begitu
damai. Rumah ini terpisah dari rumah-rumah lain. Panglima Gagak Sewu melompat
turun dari punggung kudanya, kemudian melangkah memasuki halaman luas, yang
dipenuhi tanaman-tanaman pangan ini. Rangga mengikuti turun dari kudanya, dan
juga melangkah sambil menuntun kuda hitamnya. Dia berjalan agak ke belakang dari
Panglima Gagak Sewu yang masih mengenakan tudung bambunya.
Baru saja mereka sampai di tengah-tengah halaman, pintu rumah itu sudah terbuka.
Maka muncullah seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun yang masih
kelihatan cantik. Wanita itu tampak tertegun, melihat dua orang mendatangi
rumahnya sambil menuntun kuda. Bergegas dia keluar, dan menanti di depan
beranda. Panglima Gagak Sewu membuka tudungnya. begitu dekat di depan wanita
ini. "Kakang Gagak Sewu...," desis wanita itu terkejut.
"Rambulun ada, Nyi Karuni?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Ada di dalam. Mari masuk, Kakang...," sahut wanita yang dipanggil Nyi Karuni
ini. "Terima kasih. Aku menunggu di sini saja," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Jangan, Kakang. Bahaya...."
'Tidak mengapa, Nyi. Panggilkan saja suamimu."
"Baiklah kalau begitu. Sebentar, Kakang."
Nyi Karuni cepat berbalik, dan masuk kembali ke dalam rumahnya. Dibiarkannya
saja pintunya tetap terbuka. Sementara Panglima Gagak Sewu dan Rangga menunggu
di depan beranda rumah yang tidak begitu besar ukurannya ini. Dan tidak berapa
lama kemudian, dari dalam rumah itu muncul Nyi Karuni bersama seorang laki-laki
yang hampir sebaya dengan Panglima Gagak Sewu. Dia tampak terperanjat, melihat
Panglima Gagak Sewu berada di depan rumahnya.
"Ayo masuk, Kakang. Jangan di depan saja," ajak laki-laki setengah baya itu yang
ternyata Rambulun, suami Nyi Karuni.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang sederhana sekali bentuknya, lalu duduk
di ruangan depan yang tidak seberapa luas ukurannya. Sementara, Nyi Karuni sudah
menghilang di belakang. Tapi tidak lama dia keluar lagi sambil membawa minuman
dan sedikit makanan. Mereka duduk di lantai tanah yang hanya beralaskan selembar
tikar lusuh. "Aku tidak mengira kau masih hidup, Kakang Gagak Sewu. Semua orang mengira kau
sudah mati dibunuh Raden Banyugara," kata Rambulun.
"Aku berhasil menyelamatkan Gusti Putri Arum Winasih," kata Panglima Gagak Sewu.
"Dewata Yang Agung..., "desah Rambulun dan istrinya berbarengan.
"Lalu, bagaimana keadaan Gusti Putri?" tanya Nyi Karuni
"Sehat. Sekarang berada di Istana Karang Setra," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Syukurlah kalau sudah sampai di sana," ucap Nyi Karuni tampak senang.
Mereka jadi terdiam.
"Kakang, keadaan di sini jauh berubah sekarang. Kau harus segera menjatuhkan
Raden Banyugara. Kelakuannya semakin beringas saja. Bahkan sudah tiga hari ini,
orang-orangnya diperintahkan mengambil gadis-gadis cantik. Aku tidak tahu akan
diapakan gadis-gadis itu. Malah, tidak ada seorang pun yang kembali lagi," kata
Rambulun memberi tahu keadaan tanpa diminta lagi.
"Benar, Kakang. Prajurit-prajurit juga jadi seperti perampok. Mereka merampas
apa saja yang dimiliki rakyat. Negeri ini tidak lama lagi akan jadi neraka,


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau Raden Banyugara tidak segera digulingkan. Kau harus secepatnya mengambil
tindakan, Kakang," timpal Nyi Karuni.
'Tidak semua prajurit berkelakuan seperti itu, Nyi. Mereka yang merampas
bararng-barang rakyat hanya anak buah Raden Banyugara yang berpakaian prajurit.
Sedangkan prajurit-prajurit yang setia pada Gusti Prabu Gandaraka, semuanya
dimasukkan ke dalam penjara," selak Rambulun.
Sementara, Rangga dan Panglima Gagak Sewu hanya diam saja mendengarkan Rambulun
dan istrinya berebut cerita, memberi tahu keadaan di Kerajaan Jenggala ini.
Tampak Panglima Gagak Sewu hanya tertunduk saja, dengan wajah terlihat memerah.
Sedangkan Rangga beberapa kali melayangkan pandangan ke luar, melalui pintu yang
sedikit terbuka.
* ** 6 Sudah lima hari Rangga dan Panglima Gagak Sewu berada di rumah Ki Rambulun. Dan
dari rumah itu, Panglima Gagak Sewu mencari keterangan dan menghubungi temantemannya yang masih setia pada raja mereka. Sedangkan Rangga, dengan caranya
sendiri mencoba mengetahui keadaan di dalam istana. Terutama, ingin tahu tentang
keadaan Raja Jenggala yang sampai saat ini belum ketahuan bagaimana nasibnya.
Seperti lima malam yang lalu, Rangga sengaja keluar mendekati bangunan Istana
Kerajaan Jenggala yang kelihatan megah dan terang benderang. Tampak para
prajurit berjaga- jaga di setiap sudut Istana. Nyatanya penjagaan di istana ini
memang ketat sekali, seakan-akan takut mendapat serangan dari luar. Dan memang,
itu adalah tindakan pertama para pemberontak yang kedudukannya takut akan
terguling lagi. Hingga, mereka harus melipat gandakan penjagaan di sekitar
istana. "Hm.... Bagian belakang kelihatannya tidak begitu ketat," gumam Rangga perlahan.
Lima hari memang sudah cukup bagi Rangga untuk mengetahui keadaan istana ini.
Kini Pendekar Rajawali Sakti bergegas ke belakang yang berpagar tembok sangat
tinggi. Bagi orang biasa, memang mustahil untuk melewati tembok yang tingginya
dua kali panjang batang tombak. Tapi bagi Pendekar Rajawali Sakti, tembok yang
setinggi itu bukan masalah.
Hanya sebentar Rangga mengedarkan pandangan untuk mengamati keadaan sekeliling,
kemudian segera menatap ke puncak pagar tembok bagian belakang istana yang
sangat tinggi ini. Dia menggumam sedikit. Dan...
"Hup!"
Ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah sangat sempurna
tingkatannya. Tak heran kalau tubuhnya bagaikan segumpal kapas saat meluncur
deras ke atas tembok benteng istana ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun
juga, kakinya menjejak bibir tembok. Cepat Rangga merundukkan tubuhnya, hingga
merapat dengan bibir tembok ini, begitu terlihat dua orang berseragam prajurit
melintas tepat di bawahnya.
Rangga baru mengangkat kepalanya, setelah dua orang prajurit itu lewat.
Diamatinya keadaan sebentar, sampai mereka menghilang di balik dinding bangunan
istana yang megah ini. Kini tak ada seorang prajurit pun yang terlihat. Dengan
ilmu meringankan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun. Sungguh indah
gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di tanah,
tepat dekat pohon beringin yang tumbuh subur dan lebat daunnya.
Namun belum juga kakinya bergerak, mendadak saja sebatang tombak sudah meluncur
deras ke arahnya. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri, hingga tombak
itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.
"Sial...!"
Rangga jadi mengumpat kesal, begitu dari gerumbul semak dan pepohonan
bermunculan orang-orang berpakaian seragam prajurit dengan tombak dan pedang
terhunus. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung oleh tidak
kurang tiga puluh orang prajurit.
"Minggir...!"
Tiba tiba saja terdengar bentakan keras yang cukup menggelegar. Maka beberapa
prajurit yang berada tepat di depan Rangga bergerak menyingkir. Saat itu,
terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tengah
melangkah, diikuti empat orang wanita yang kelihatannya sudah berumur tiga puluh
tahun. Tapi, wajah mereka masih kelihatan cantik. Malah, di punggung mereka
masing-masing tersandang dua bilah pedang. Mereka berhenti, setelah jaraknya
tinggal sekitar enam langkah lagi dari pemuda yang mengenakan baju rompi putih
ini. "Patih Garindra...," desis Rangga langsung mengenali laki-laki yang berpakaian
sangat indah itu.
"Sudah kuduga, kau pasti muncul di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Dengan siapa
kau datang..." Dengar, Rangga. Aku tidak akan gentar, walaupun kau kerahkan
seluruh prajurit Karang Setra. Dan kau juga harus tahu! Setelah Kerajaan
Jenggala kukuasai, tidak lama lagi Karang Setra akan kuserang," terdengar begitu
congkak nada suara Patih Garindra.
"Tidak kusangka, ternyata kau biang keladi semua ini, Patih Garindra," desis
Rangga, agak dingin nada suaranya.
"Ha ha ha...!" Patih Garindra tertawa terbahak-bahak, sampai bahunya terguncang.
Sedangkan empat wanita yang mendampinginya tersenyum sinis, memandang Pendekar
Rajawali Sakti dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Sedangkan Rangga
mengamati orang-orang yang rapat mengepungnya lewat sudut ekor matanya. Saat itu
otaknya berputar keras, mencari jalan keluar untuk terbebas dari kepungan yang
cukup rapat ini.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi mengeluh, karena tidak sedikit pun celah
ditemukan. Hanya saja hatinya sedikit lega, karena mereka yang mengepung hanya
prajurit-prajurit biasa yang berkepandaian tidak seberapa. Namun begitu. Rangga
tidak ingin berbuat gegabah. Dia tidak ingin sampai melukai seorang prajurit
pun. Apalagi, sampai menewaskan. Masalahnya bukan mereka yang menjadi sasaran
tapi orang-orang yang ada di balik pemberontakan di Kerajaan Jenggala ini.
Memang, merekalah yang sepatutnya mendapat ganjaran.
Sedangkan para prajurit hanya mengikuti perintah saja, karena akan patuh pada
siapa saja yang sedang berkuasa.
"Baiklah, Rangga. Meskipun kau seorang pendekar dan Raja Karang Setra, tapi
sudah memasuki wilayah Kerajaan Jenggala tanpa izin. Kesalahanmu tidak akan
mendapat pengampunan dari Gusti Prabu. Kau pasti tahu, apa hukuman bagi orang
yang masuk dalam lingkungan istana tanpa izin, bukan..." Nah! Bersiaplah
menerima hukumanmu, Pendekar Rajawali Sakti," terasa begitu dingin nada suara
Patih Garindra.
"Tunggu dulu...!" sentak Rangga cepat-cepat, saat melihat Patih Garindra sudah
mengangkat tangannya, hendak memberi perintah.
"Apa yang kau inginkan, Rangga?"
"Aku ingin bertemu Prabu Gandaraka," ujar Rangga tegas.
"Tidak ada Prabu Gandaraka di sini, Rangga. Raja Jenggala sekarang adalah Gusti
Prabu Banyugara. Dan kau tidak perlu bertemu dengannya. Kesalahanmu sudah jelas,
maka harus mati di sini sekarang juga," tegas Patih Garindra.
"Hm..."
Rangga jadi tercenung beberapa saat. Sementara Patih Garindra sudah mengangkat
tangannya lagi. Maka semua prajurit yang sejak tadi mengepung, langsung
mengangkat senjatanya, siap menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!" seru Patih Garindra lantang menggelegar.
"Hiya!"
"Yeaaah...!"
*** Rangga memang tidak bisa mencegah lagi. Prajurit-prajurit itu sudah berlompatan
menyerangnya dari segala penjuru mata angin. Maka tidak ada lagi pilihan bagi
Pendekar Rajawali Sakti, selain harus melenting ke udara, menuju ke sebatang pohon beringin yang berada tidak jauh darinya. Tapi belum juga sampai ke cabang
pohon itu, empat orang wanita cantik yang mengawal Patih Garindra sudah melesat
cepat bagai kilat, sambil mencabut pedang masing- masing.
"Hiyaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Bet! "Ups!"
Salah seorang langsung saja mengebutkan pedang di tangan kanannya, ke arah kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi
putih itu menarik kaki lebih ke atas. Sehingga, tebasan pedang wanita itu tidak
sampai mengenai kedua kakinya. Dan dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga
menghentakkan kaki kanannya.
"Yeaaah...!"
"Ikh...!"
Wanita itu jadi terpekik kaget. Maka cepat-cepat tubuhnya diputar dan
berjumpalitan ke belakang dua kali untuk menghindari tendangan keras yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga segera meluruk lagi ke
bawah, sebelum tiga wanita lain melancarkan serangan. Dan begitu menjejakkan
kakinya, para prajurit yang berjumlah cukup banyak sudah langsung menyerang dari
segala penjuru.
"Hup! Yeaaah...!"
Tidak ada pilihan lain lagi. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'
yang dipadukan dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat pertama,
Pendekar Rajawali Sakti menghajar para prajurit yang menyerangnya dari segala
jurusan. Begitu cepat gerakan-gerakannya, sehingga setiap pukulan yang
dilontarkan begitu sulit dihindari. Bahkan gerakan tangannya pun sukar diikuti
pandangan mata biasa. Hingga seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking dan keluhan tertahan yang saling sambut.
Terlihat beberapa prajurit berjatuhan sambil merintih kesakitan. Untung saja.
Rangga tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, hingga tidak membuat
prajurit- prajurit itu terluka parah. Namun mereka yang terkena, seakan sulit
bisa cepat berdiri. Mereka kontan bergelimpangan sambil merintih menahan sakit.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga tidak berhenti sampai di situ saja, melihat prajurit-prajurit lain masih
terus ganas merangseknya. Dengan kecepatan tinggi sekali, Pendekar Rajawali
Sakti melontarkan pukulan-pukulan dahsyat walaupun tidak disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Jeritan-jeritan melengking dan keluhan tertahan pun terus terdengar saling
sambut, diiringi ambruknya prajurit-prajurit. Hanya dalam beberapa gebrakan
saja, semua prajurit yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti tidak ada lagi yang
sanggup berdiri. Mereka merintih dengan suara begitu memelas. Sementara, Rangga
berdiri tegak di antara prajurit- prajurit yang bergelimpangan. Ditatapnya Patih
Garindra yang sudah didampingi lagi oleh empat orang wanita pengawalnya dengan
sinar mata yang begitu tajam.
"Hm..."
Perlahan Rangga melangkah mendekati, sampai jaraknya tinggal sekitar enam
langkah lagi di depan patih dari Kerajaan Jenggala ini. Tampak raut wajah Patih
Garindra agak memucat, melihat Rangga dengan begitu mudah menjatuhkan prajuritprajuritnya yang memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti.
"Bunuh dia!" perintah Patih Garindra.
Bet! "Hap!"
Empat wanita yang semuanya berwajah cantik dan masing-masing memegang dua bilah
pedang, langsung saja berlompatan ke depan. Sementara, Patih Garindra bergegas
melangkah mundur menjauh. Dan sekarang, Rangga sudah kembali terkepung oleh
empat orang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang masih berwajah cantik
itu. Mereka bergerak memutar dengan gerakan kaki perlahan, sambil memainkan
kedua pedang di depan wajah.
Sedangkan Rangga hanya memperhatikan gerakan-gerakan keempat wanita itu dengan
sinar mata cukup tajam tanpa berkedip sedikit pun. Dan matanya sempat
memperhatikan Patih Garindra yang kini sudah berjarak pada jarak yang cukup
jauh. Rangga sendiri tidak kenal keempat wanita ini. Tapi diyakini kalau mereka
dari kalangan persilatan. Ini bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan. Mereka
adalah wanita-wanita yang terbiasa hidup mengembara di alam bebas, dengan segala
kekerasan dan keganasannya.
"Seraaang...!" teriak Patih Garindra memberi perintah.
"Hiyaaat..!"
Belum juga lenyap teriakan Patih Garindra dari pendengaran, salah seorang wanita
yang berada tepat di depan Rangga sudah melompat sambil berteriak nyaring. Kedua
pedangnya langsung dikebutkan secara menyilang ke depan dada Pendekar Rajawali
Sakti. "Hap!"
Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga melompat ke belakang dua langkah
menghindari serangan wanita ini. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, seorang
wanita lainnya yang berada tepat di sebelah kanan, sudah menyerang dengan
sabetan pedang di tangan kiri. Begitu cepat serangannya, hingga membuat Rangga
jadi terkesiap sesaat.
"Haiiit..!"
Tapi hanya sedikit saja tubuhnya mengegos, sabetan pedang itu berhasil
dihindari. Dan saat yang hampir bersamaan, wanita yang berada di belakang
Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat ke atas kepala. Dan saat itu juga
pedangnya dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas kepala Pendekar Rajawali
Sakti. "Hup! Hiyaaat..!"
Kali ini, Rangga tidak mau lagi terus-menerus berkelit menghindar. Begitu
merasakan desir angin di atas kepalanya, cepat tubuhnya dibanting ke tanah. Dan
dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kaki
kanannya ke atas, tepat ke perut wanita yang menyerangnya dari atas kepalanya
tadi. Begitu cepat tendangannya, sehingga wanita itu tidak sempat lagi
menyadari. Terlebih, dia kini berada di atas. Akibatnya, tendangan itu tepat
sekali menghantam perutnya yang kosong, tidak terlindungi sama sekali.
Begkh! "Ugkh...!"
Terdengar keluhan yang pendek dan tertahan. Tampak wanita berwajah cantik itu
terpental tinggi ke atas. Sementara, Rangga bangkit berdiri dengan gerakan indah
dan manis sekali. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak
tanah kembali. "Hiyaaa...!"
Tepat di saat wanita yang berada di sebelah kirinya melakukan serangan, dengan
kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Rangga menarik kakinya ke belakang
sedikit. Langsung tangan kirinya dihentakkan dengan tubuh agak doyong ke belakang. Begitu cepat gerakannya, hingga wanita itu tidak dapat lagi berkelit. Maka
kibasan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dadanya yang kosong
tidak terlindungi.
Des! "Akh...!"
Wanita itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik keras agak tertahan.
Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya, akibat pukulan yang cukup keras dari
Pendekar Rajawali Sakti di dadanya. Saat itu juga, dua orang lainnya sudah berlompatan dari arah yang berlawanan sambil berteriak keras menggelegar. Namun,
sedikit pun Rangga tidak terkejut. Bahkan malah berdiri tegak menanti. Dan
begitu serangan dua orang wanita itu sudah dekat....
"Hap! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga melenting sedikit ke atas. Dan dengan kecepatan yang
sukar diikuti mata biasa, kedua kakinya dihentakkan sambil memutar tubuhnya.
Begitu cepat serangannya, sehingga kedua wanita ini tidak dapat lagi
menghindarinya.
Des! Bugkh! "Akh!"
"Ugkh...!"
Kedua wanita itu seketika berpentalan balik ke belakang. Sementara, Rangga
menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan manis dan ringan. Matanya melirik
sedikit pada empat orang wanita yang bergelimpangan di tanah, sambil merintih
menahan rasa sakit akibat hajarannya. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sudah
menatap tajam pada Patih Garindra. Perlahan kakinya terayun mendekati Patih
Kerajaan Jenggala ini.
*** "Aku masih bisa menyambung hidupmu, kalau kau mau menunjukkan di mana Prabu
Gandaraka ditawan," kata Rangga dengan suara dibuat begitu dingin.
"Dia sudah mati!" dengus Patih Garindra ketus.
"Jangan coba-coba mendustaiku, Patih Garindra! Aku tahu kalau kau, dan yang lain
tidak membunuh Prabu Gandaraka. Dengar, Patih.... Aku tidak ada waktu bermainmain denganmu. Tunjukkan, di mana Prabu Gandaraka..."!" semakin dingin nada
suara Rangga terdengar.
Patih Garindra tampak kebingungan. Dia tahu, siapa pemuda berbaju rompi putih
yang kini semakin dekat saja. Rangga bukan saja Raja Karang Setra, tapi juga
seorang pendekar muda yang sangat disegani dan sukar dicari tandingannya. Ilmu


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olah kanuragan dan kedigdayaannya begitu sulit ditandingi. Patih Garindra sadar
kalau kepandaian yang dimilikinya masih jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memang sudah teramat dikenal dalam lingkungan Istana Jenggala. Karena,
antara Prabu Gandaraka dan Pendekar Rajawali Sakti terjalin hubungan
persahabatan yang sangat akrab.
Dan Patih Garindra juga tahu, kedatangan Rangga ke sini tidak bersama prajurit
seorang pun. Dia pasti datang bukan sebagai raja, tapi sebagai seorang pendekar.
Maka sudah pasti kedatangannya hendak membebaskan Prabu Gandaraka. Memang tidak
ada pilihan lain lagi bagi Patih Garindra untuk menyelamatkan dirinya dari maut.
Tapi, kecongkakannya memang sudah terkenal. Walaupun sadar tidak akan mungkin
mampu menghadapi pemuda berbaju rompi putih ini, tapi tetap berusaha untuk tidak
mudah menyerah begitu saja.
"Katakan, di mana Prabu Gandaraka disembunyikan, Patih...?" desis Rangga terus
mendesak dengan suara terasa begitu dingin.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah, membuat jaraknya dengan Patih Garindra
semakin bertambah dekat saja. Sedangkan Patih Garindra sendiri, perlahan-lahan
mulai menggeser kakinya ke belakang. Sementara tangan kanannya yang terlihat
agak bergetar, sudah menggenggam pedang di pinggangnya. Entah sudah berapa kali
ludahnya ditelan sendiri, berusaha mencari kekuatan menghadapi Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, Semua prajurit dan empat wanita yang tadi bersamanya sudah
tidak ada lagi yang sanggup berdiri. Mereka masih bergelimpangan dengan rintihan
lirih menahan rasa sakit pada bagian tubuh yang terkena tendangan maupun pukulan
keras Pendekar Rajawali Sakti.
Sret! Cring! Rangga jadi terkesiap juga melihat Patih Garindra mencabut pedangnya. Bukannya
Pendekar Rajawali Sakti gentar melihat pedang yang bercahaya keperakan itu, tapi
tidak menyangka kalau Patih Garindra akan berbuat nekat menghadapinya.
"Jangan berbuat bodoh, Patih. Aku tidak ingin mencelakakanmu," kata Rangga
mencoba memperingatkan.
"Phuih! Aku atau kau yang mati malam ini, Rangga!" dengus Patih Garindra seraya
menyemburkan ludahnya.
"Jangan Patih...," cegah Rangga lagi, sambil berhenti melangkah dan menjulurkan
tangan kanannya ke depan.
"Hiyaaat...!"
Tapi Patih Garindra rupanya sudah benar-benar gelap mata. Tidak dipedulikan
lagi, siapa yang dihadapinya ini. Sambil berteriak keras menggelegar, Patih
Garindra langsung saja menerjang dengan pedang terhunus di tangan kanan
Sementara, Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya. Dia tahu
Patih Kerajaan Jelaga itu merasa tidak punya pilihan lain lagi.
Wuk! "Haiiit..!"
Manis sekali Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang Patih
Garindra. Maka ujung pedang itu hanya sedikit saja lewat di depan dadanya. Saat
itu juga, Rangga cepat-cepat melompat ke belakang tiga langkah, mencoba menjaga
jarak. Tapi baru saja membuka mulutnya hendak bicara, Patih Garindra sudah
kembali melompat menyerang dengan cepat.
"Hiyaaat...!"
Bet! *** 7 Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya mempergunakan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', menghadapi serangan-serangan yang dilancar Patih
Garindra. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi Patih Garindra belum juga bisa
mendesak Pendekar Rajawali Sakti, yang tetap mempergunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'.
Memang sulit untuk memecahkan gerakan-gerakan dari jurus yang dimainkan Pendekar
Rajawali Sakti yang tampaknya tidak beraturan sama sekali. Bahkan terlihat
seperti tidak tengah bertarung. Dan terkadang, gerakan-gerakannya seperti orang
yang kebanyakan menenggak arak. Tapi, tetap saja sangat sulit bagi lawan untuk
memasukkan serangannya. Liukan tubuh Pendekar Rajawali Sakti demikian indah,
bagaikan seekor belut yang sangat licin dan sulit ditangkap. Dan ini membuat
setiap lawan jadi semakin berang, karena merasa dipermainkan. Begitu juga Patih
Garindra. Bukannya dia bertambah sadar kalau tidak mungkin bisa mengalahkan
lawannya, tapi wajahnya semakin bertambah merah, menahan kemarahan yang semakin
memuncak dalam dada.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Patih Garindra semakin memperhebat serangan-serangannya. Pedangnya berkelebatan
cepat, sangat luar biasa, mengurung setiap gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu
cepat gerakan pedang Patih Garindra, hingga bentuknya jadi lenyap sama sekali.
Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan mengurung tubuh
Pendekar Rajawali Sakti.
Gila! Serangannya semakin dahsyat saja. Aku tidak mungkin terus bertahan dengan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia harus cepat dihentikan sebelum yang lainnya
tahu! Gumam Rangga dalam hati.
Saat itu juga, pedang di tangan Patih Garindra berputar cepat mengarah ke kaki.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja.
Dengan cepat sekali, tubuhnya melenting ke udara. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya
menukik dengan kedua kaki bergerak berputar begitu cepat. Gerakan ini membuat
Patih Garindra jadi terlongong bengong melihatnya. Dan belum juga bisa menyadari
apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja...
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba Rangga merubah gerakannya menjadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
tingkat pertama. Cepat sekali tubuhnya berputar, hingga kepalanya berada di
bawah. Dan saat itu juga, tangan kirinya mengibas cepat bagai kilat. Akibatnya,
Patih Garindra tidak sempat lagi melihat gerakan tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Dan.... Des! "Akh...!"
Patih Garindra jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti yang mengibas cepat menghantam telak di tengah dadanya. Akibatnya,
seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang. Lalu tubuhnya keras sekali
menghantam tanah dan langsung bergulingan beberapa kali, hingga menabrak
sebatang pohon hingga hancur berkeping- keping. Rangga jadi terkejut juga mendengar pecahan pohon itu demikian keras, bagaikan dihantam pukulan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hoeeekh!"
Tampak Patih Garindra memuntahkan darah kental agak kehitaman, begitu mencoba
bangkit berdiri. Sementara Pendekar Rajawali Sakti seakan masih terpana melihat
akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tadi. Padahal, tadi dilepaskan masih
dalam tingkat yang pertama. Malah, hanya sedikit saja mengerahkan tenaga dalam.
Tapi, akibatnya sungguh di luar dugaan Patih Garindra tidak bisa lagi berdiri.
Tampak darah yang keluar dari mulutnya semakin bertambah banyak saja.
Perlahan kepala Patih Garindra terangkat, tapi sorot matanya begitu redup
memandang langsung ke wajah Pendekar Rajawali Sakti. Darah terus mengucur dari
mulutnya. Sementara Rangga sendiri tetap berdiri tegak memandangi, masih seperti
tidak percaya melihat akibat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang
dilancarkannya.
"Kau ... Kau tidak akan berhasil, Rangga. Kau akan mati... Akh...!"
Patih Garindra langsung ambruk. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mengejang, lalu
diam tidak bergerak-gerak lagi. Rangga jadi tersentak kaget, lalu cepat-cepat
menghambur dan berlutut di sampingnya. Laki-laki berusia hampir setengah baya
ini sudah tidak bernyawa lagi. Rangga cepat-cepat memeriksa bagian dada yang
tadi terkena kibasan tangan kirinya, dan langsung kaget setengah mati. Memang
sedikit pun tidak terlihat luka di dada Patih Garindra. Tapi...
"Eh..."!"
*** Rangga jadi tersentak kaget begitu membalikkan tubuh Patih Garindra. Tampak
bagian punggung patih ini bergambar telapak tangan yang hangus dan mengepulkan
asap. Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Langsung disadari kalau ada orang
lain yang membunuh patih ini. Saat itu juga hatinya jadi tersentak, karena semua
prajurit dan empat wanita pengawal Patih Garindra sudah menggeletak tidak
bernyawa lagi. Tampak pada dada mereka tergambar telapak tangan berwarna hitam
yang mengepulkan asap.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun
tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, bahkan tidak satu
prajurit pun yang tampak. Padahal pertarungannya tadi menimbulkan suara- suara
yang pasti akan terdengar sampai ke bagian dalam istana. Tapi sungguh sulit
dipercaya, karena tidak ada seorang pun yang datang. Rangga cepat menyadari
keadaan yang tidak menguntungkan ini. Maka kewaspadaannya segera ditingkatkan.
"Siapa pun orangnya, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali. Hm...," Rangga
menggumam perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi yang
tampak hanya tembok benteng dan dinding istana serta pepohonan yang menghitam
terselimut kegelapan malam saja. Tidak seorang pun terlihat. Bahkan sama sekali
tidak terdengar adanya tarikan napas di sekeliling bagian belakang istana ini.
Itu berarti tidak ada seorang pun di sekitarnya. Tapi, siapa yang membunuh Patih
Garindra dan prajurit-prajurit, serta empat wanita pengawalnya ini..."
Pertanyaan ini yang terus mengusik benak Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Rangga mulai melangkah mendekati pintu belakang istana yang
kelihatannya terbuka lebar, seperti sengaja agar Pendekar Rajawali Sakti masuk
ke dalam. Meskipun yakin tidak ada seorangpun di sekitarnya, tapi Pendekar
Rajawali Sakti tetap memasang tajam-tajam pendengarannya sambil mengerahkan aji
'Pembeda Gerak dan Suara'. Memang, tidak sedikit pun terdengar tarikan napas
seseorang. Rangga berhenti melangkah setelah tiba di ambang pintu yang terbuka lebar ini.
Perlahan kembali kakinya terayun, memasuki pintu itu. Namun, tidak ada seorang
pun penjaga di sini. Dan pintu ini ternyata berhubungan langsung dengan bagian
dalam istana. Kakinya terus melangkah hati-hati, mempergunakan ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, hingga sedikit pun tidak terdengar
suara langkahnya. Bahkan, seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menjejak
lantai. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan hati-hati, sampai tiba di sebuah
ruangan yang sangat luas dan terang benderang. Rangga tahu, ini adalah ruangan
Balai Sema Agung
Tampak sebuah kursi singgasana yang sangat megah berada dalam ruangan ini. Dan
di atas kursi itu, ternyata sudah duduk seorang pemuda berwajah cukup tampan,
terbungkus baju putih bersih yang sangat ketat, hingga membentuk tubuhnya yang
tegap dan berotot. Rangga berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah
ruangan yang sangat luas dan megah ini. Pandangannya tertuju lurus pada pemuda
di kursi singgasana itu. Dia tahu, pemuda inilah yang bernama Raden Banyugara.
"Selamat datang di istanaku, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Raden Banyugara
dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit.
"Aku sudah menduga, kau pasti akan dating untuk membebaskan sahabatmu. Tapi sama
sekali tidak kusangka kalau kedatanganmu secepat ini," kata Raden Banyugara
lagi, masih dengan nada suara lembut dan berkesan ramah.
"Kenapa kau memberontak terhadap Prabu Gandaraka, Banyugara?" Rangga mencoba
menyelidik. "Kenapa" Mengapa itu mesti kau tanyakan, Rangga. Kau tahu, aku selama ini telah
dianggap remeh dan lemah oleh semua keluarga istana! Karena, aku hanya
mempelajari ilmu sastra dan ilmu kepemerintahan. Bahkan, Putri Arum Winasih
menolak cintaku, hanya karena aku tidak memiliki ilmu olah kanuragan dan
kedigdayaan. Memang, aku masih keponakan Prabu Gandaraka. Tapi cinta, tidak akan
memandang segalanya. Maka begitu aku tahu Arum Winasih sudah dijodohkan, aku
pergi ke Gunung Mentawak untuk menuntut ilmu hitam yang serba singkat. Aku ingin
membalas dendam pada mereka yang meremehkanku!" dengus Raden Banyugara,
mengungkapkan isi hatinya.
Kini Rangga mengerti. Dan dari sudut ekor mata, diamatinya keadaan sekeliling
ruangan ini. Ada sekitar sepuluh pintu di ruangan ini. Dan semua jendela yang
ada juga dalam keadaan terbuka lebar, seakan-akan memang disengaja untuk
mengundangnya datang. Saat itu, Raden Banyugara bangkit berdiri dari kursi
singgasana yang sangat megah. Dia melangkah dua tindak ke depan. Sedangkan
Rangga berdiri tegak, menatapnya dengan sinar mata tajam sekali.
*** Trik! Raden Banyugara menjentikkan dua ujung jari tangannya. Maka saat itu juga, dari
salah satu pintu muncul dua orang berseragam prajurit yang mengapit seorang
laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun. Pakaiannya begitu lusuh dan
sudah robek di sana-sini, walaupun terbuat dari bahan sutera halus yang tentu
sangat mahal harganya. Rangga jadi terperanjat melihat keadaan orang yang sudah
sangat dikenalnya itu. Dialah Prabu Gandaraka.
Seluruh tubuh bekas penguasa Kerajaan Jenggala itu terikat ke belakang. Bahkan
ujung rantai yang membelit lehernya terdapat sebuah bandulan besi bulat sebesar
kepala yang sangat berat. Tak heran kalau tubuh laki-laki tua itu jadi
terbungkuk. "Kau lihat, Rangga. Seperti itulah orang yang tidak mau menuruti kehendakku.
Kalau saja takhta ini diserahkan padaku secara baik-baik, mungkin masih bisa
kuberi kehidupan yang layak baginya. Tapi dia..., sahabatmu itu malah
membangkang. Dia tidak sadar kalau seluruh prajuritnya sudah tidak menyukainya lagi. Dan
sekarang, kau datang untuk membebaskan pembangkang ini. Silakan.... Tapi, aku
tidak bisa menjamin kehidupanmu, Rangga. Kau sudah lihat sendiri, bagaimana
mereka yang tidak becus melaksanakan tugasnya. Aku tidak segan-segan mengirim
mereka ke neraka," kata Raden Banyugara lembut, namun terdengar tegas sekali
nada suaranya. "Iblis...!" desis Rangga jadi geram.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, siapa yang membunuh Patih Garindra dan
prajurit-prajurit di belakang istana tadi. Seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti
jadi bergetar menahan kemarahan. Dia paling tidak suka melihat kekejaman yang
dilakukan secara licik, dengan membunuh orang dari belakang. Baginya, itu bukan
lagi perbuatan manusia. Hanya iblislah yang bisa melakukannya. Dan tentu saja
parbuatan seperti itu tidak bisa terampuni lagi.
"Aku masih menawarkanmu pilihan, Rangga. Kau tinggalkan Jenggala sekarang juga
dan menyerahkan Karang Setra padaku, atau akan mati sia-sia di sini. Toh, tidak
lama lagi Karang Setra akan berada di tanganku," kata Raden Banyugara lagi.
"Besar sekali mulutmu, Banyugara," desis Rangga mulai tidak senang.
"Ha ha ha...! Mulut besarku ini yang membawaku berada di takhta Istana Jenggala,
Rangga. tapi, aku tidak hanya bermulut besar. Aku juga bisa membuktikan semua
yang kubicarakan. Kau bisa lihat. Begitu besar kekuatan yang kumiliki sekarang
ini Bahkan tiga kali lipat dari kekuatan yang ada di Karang Setra. Pikirkanlah,
Rangga. Rasanya sayang sekali kalau kau harus bernasib sama dengan pembangkang
ini," ancam Raden Banyugara sambil menunjuk Prabu Gandaraka.
'Tidak mudah menaklukkan Karang Setra, Banyugara," dengus Rangga ketus.
'Tentu saja sangat mudah, Rangga. Dua orangku sudah menyusup ke sana. Dan
sebentar lagi, mereka akan mendapatkan banyak prajurit di sana. Kemudian,
pembesar-pembesar yang berjiwa bobrok, satu persatu akan dipengaruhi. Mereka
yang mencoba menentang, akan dikirim ke neraka. Tidak terlalu sulit bagiku,
Rangga. Tanpa mengerahkan kekuatan besar, Karang Setra akan jatuh ke tanganku,"
kata Raden Banyugara angkuh.
"Dua orangmu sudah tertangkap, Banyugara," balas Rangga tegas.
"Tidak mungkin!" bentak Raden Banyugara jadi berang.
"Kau boleh memeriksanya sendiri. Tidak ada seorang pun dari orang-orangmu yang
bisa menyusup masuk ke dalam istana. Bahkan baru berada di luar saja, mereka
sudah tidak berdaya lagi. Mereka sekarang meringkuk di dalam penjara. Dan
seluruh prajurit Karang Setra, sekarang sudah mengepung Jenggala. Sedangkan
prajurit-prajurit yang kau banggakan, sebagian besar sudah takluk. Kau lihat
saja di luar sana. Panglima Gagak Sewu tinggal menunggu isyarat dariku saja
untuk menyerbu ke sini," kata Rangga, sedikit berbohong.
"Jangan banyak mulut di sini, Rangga. Kau pikir aku akan mudah terpancing..."
Phuih! Sebaiknya kau pikirkan saja keselamatanmu sendiri, Rangga. Jangan cobacoba menggertakku!" geram Raden Banyugara.
"Aku tidak menggertak, Banyugara. Aku berkata yang sebenarnya. Kau tidak lagi
memiliki prajurit. Mereka hanya takut padamu, tapi sebenarnya masih setia pada
rajanya. Malam ini juga, kau sama sekali tidak memiliki kekuatan prajurit,
Banyugara. Kini tidak ada yang bisa kau andalkan lagi," kata Rangga, semakin
terdengar tenang suaranya.
"Phuih! Kau lihat, Rangga. Mereka masih setia padaku!" bentak Raden Banyugara
kalap. Saat itu juga dia menjentikkan jarinya.
Trik!

Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandangan Raden Banyugara langsung menyapu ke setiap pintu yang ada di dalam
ruangan ini. Tapi, pintu itu tetap saja tertutup rapat. Sementara, Rangga sudah
mulai menggeser kakinya mendekati Prabu Gandaraka. Sedangkan dua orang prajurit
yang tadi berada dekat Raja Jenggala ini, segera menyingkir menjauh, begitu
melihat Rangga mendekati. Mereka berdua sudah tahu, siapa pemuda berbaju rompi
putih ini, sehingga sudah barang tentu tidak mau mati konyol menghadapinya.
Sementara itu, Raden Banyugara sudah memerah wajahnya, karena prajurit-prajurit
yang sudah disiapkan di setiap pintu ternyata tidak seorang pun yang menampakkan
diri. Sedangkan Rangga sudah berada di samping Prabu Gandaraka. Segera
dilepaskannya rantai yang membelenggu Raja Jenggala ini.
"Setan keparat...! Keluar kalian semua! Tangkap pembangkang-pembangkang ini...!"
teriak Raden Banyugara.
Tapi, suara pemuda itu hanya menggema saja di dalam ruangan ini dan menghilang
terbawa angin melalui jendela yang terbuka lebar. Dan begitu suaranya
menghilang, semua daun pintu yang ada di dalam ruangan ini terbuka perlahan.
Lalu, muncul orang-orang berpakaian seragam prajurit. Dan dari jendela, juga
bermunculan para prajurit. Mereka langsung saja berdiri berjajar, mengelilingi
ruangan ini. Raden Banyugara jadi tersenyum melihat prajuritnya masih lengkap.
"Kau lihat Rangga. Mereka masih setia padaku," ujar Raden Banyugara.
"Mereka akan berbalik, kalau melihat rajanya sudah bebas. Dan kau lihat sendiri,
Banyugara. Prabu Gandaraka sudah tidak terbelenggu lagi. Dia sudah bebas, dan
bisa memerintahkan prajuritnya untuk menangkapmu," kata Rangga lantang.
"Phuih! Kalian berdua akan mampus!" dengus Raden Banyugara sengit.
Sret! Cring! Langsung saja Raden Banyugara mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan tangan kanan. Dan sepasang bola matanya
menatap begitu tajam, menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Prajurit! Serang mereka...!" teriak Raden Banyugara memberi perintah.
Suara Raden Banyugara terdengar begitu keras dan menggelegar bagai guntur
meledak membelah angkasa. Tapi, tidak ada seorang prajuritpun yang bergerak
menyerang. Mereka hanya berdiri diam terpaku, tidak bergeming sedikit pun.
Sangat jelas pada raut wajah mereka terlihat penuh kebimbangan.
Memang benar perhitungan Pendekar Rajawali Sakti, Sebap prajurit pasti akan
mengikuti perintah rajanya yang asli. Dan kalaupun mereka memberontak, itu hanya
karena takut tekanan-tekanan dari orang yang memimpin pemberontakan dan yang
menguasai kerajaan sekarang. Kini buktinya, mereka jadi bimbang setelah melihat
Prabu Gandaraka terbebas. Apalagi, mereka juga melihat ada pendekar tangguh yang
akan melindungi Kerajaan Jenggala ini.
Demikian pula panglima-panglima yang ikut dalam pemberontakan. Dan sebenarnya,
begitu melihat tindakan Raden Banyugara yang biadab, para panglima mulai sadar
kalau telah diperdaya oleh Raden Banyugara. Dan untuk berontak kembali, mereka
takut. Karena jelas, kesaktian Raden Banyugara sudah demikian tinggi. Rasanya,
hanya orang berkepandaian sangat tinggi saja yang dapat menundukkannya. Maka tak
heran, begitu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti datang, para panglima,
punggawa, dan prajurit menjadi agak lega.
Dan tiba-tiba saja seorang punggawa melemparkan pedang ke lantai. Secara
serempak, mendadak saja semua prajurit yang ada di dalam ruangan ini melemparkan
senjata ke lantai. Melihat itu, wajah Raden Banyugara jadi memerah bagai
terbakar. Seketika kedua bola matanya berapi-api, menatap para prajurit yang
tidak mau lagi mematuhi perintahnya. Pandangannya segera beredar ke sekeliling.
Tampak semua prajurit sudah meletakkan senjata. Dan di antara mereka, tidak
terlihat seorang panglima atau patih yang semula mendukung pemberontakannya.
"Setan keparat! Kalian juga mau membangkang, heh..."!" bentak Raden Banyugara
geram. Tiba-tiba saja pemuda itu menghentakkan tangan kirinya ke samping.
"Yeaaah...!"
Dan seketika itu juga, terlihat gumpalan bulatan hitam meluncur deras dari
telapak tangan kiri Raden Banyugara. Dan bulatan hitam itu langsung menyebar,
menjadi bulatan-bulatan hitam kecil yang menghantam beberapa prajurit di sebelah
kiri ruangan ini.
"Heh..."!"
Rangga jadi terbeliak kaget, begitu melihat sekitar dua puluh orang prajurit
seketika ambruk tanpa bersuara sedikit pun. Dan di dada mereka tergambar telapak
tangan berwarna hitam yang mengepulkan asap. Keterkejutan Pendekar Rajawali
Sakti cepat lenyap, dan berganti kegeraman yang tidak dapat lagi terbendung
dalam dada. "Keparat...! Hatimu benar-benar sudah ditunggangi iblis, Banyugara!" desis
Rangga menggeram berang.
"Ha ha ha...! Kau juga akan mampus seperti mereka, Rangga. Kalian juga,
Prajurit-prajurit Keparat!"
"Hhh!"
Rangga melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang berada di sebelah kanannya.
"Menyingkirlah, Gusti Prabu. Biar manusia iblis ini kuhadapi," ujar Rangga
pelan. "Hati-hati, Dimas Rangga. Dia punya ilmu iblis yang sangat dahsyat. Semua
panglima kepercayaanku tewas di tangannya. Juga beberapa patih," kata Prabu
Gandaraka memperingati.
"Aku tahu, Gusti Prabu," sahut Rangga agak datar.
"Aku percaya padamu, Dimas Rangga."
"Perintahkan semua prajurit untuk keluar."
"Baik."
Prabu Gandaraka segera melangkah ke belakang menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
Juga di perintahkannya semua prajurit untuk keluar dari ruangan ini. Prajuritprajurit itu segera berlompatan keluar melalui jendela, meninggalkan Rangga dan
Raden Banyugara berdua saja di dalam ruangan ini. Sementara, Prabu Gandaraka
juga sudah berada di ambang pintu yang jaraknya cukup jauh dari mereka yang
berdiri saling berhadapan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, mereka tengah
mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
*** 8 Perlahan Raden Banyugara menggerakkan kakinya, bergeser ke kanan menyusuri
lantai ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak
memperhatikan setiap gerakan pemuda pemberontak ini tanpa berkedip sedikit pun.
Rangga sadar, ilmu yang dimiliki Raden Banyugara tidak bisa dipandang rendah.
Itu sudah dilihatnya sendiri ketika dua puluh orang prajurit di ruangan ini
kontan tewas hanya sekali gebrak saja. Demikian pula pada seorang patih dan
puluhan prajurit yang tewas di halaman belakang istana ini.
Tap! Rangga menggenggam erat gagang pedang pusakanya yang selalu tersandang di
punggung. Dan perlahan-lahan Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari
warangkanya. Saat itu juga, membias cahaya biru yang begitu terang menyilaukan
dari mata pedang itu.
Wut! Terdengar hembusan angin yang begitu keras, saat Rangga mengebutkan pedangnya di
depan dada. Dan kini, pedang itu tersilang lurus di depan dada. Cahaya biru yang
memancar dari pedang itu membuat hati Raden Banyugara jadi terkesiap juga.
Ketangguhan Pedang Pusaka Rajawali Sakti sudah sering didengarnya. Dan tidak ada
satu senjata pun di dunia ini yang bisa menandingi kedahsyatannya. Namun, Raden
Banyugara sudah merasa kepalang basah. Dia tidak mungkin lagi mundur dari
pertarungan yang akan berlangsung. Masalahnya, sudah tentu Rangga tidak akan
melepaskannya begitu saja.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara melesat sambil mengangkat
pedangnya yang tergenggam dengan kedua tangannya ke atas kepala. Dan dengan
pengerahan tenaga dalam penuh, pedangnya dihantamkan tepat ke bagian tengah
kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Haps! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga mengangkat pedangnya melintang di atas kepala. Akibatnya
tebasan pedang Raden Banyugara tidak dapat lagi tertahan. Saat itu juga....
Trang! "Ikh...!"
Raden Banyugara jadi tersentak kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu
dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan
berputaran beberapa kali di udara, sebelum kakinya menjejak lantai.
"Heh..."!"
Saat itu juga, kedua bola mata Raden Banyugara jadi terbeliak lebar. Pedangnya
kini hanya tinggal setengah. Buntung saat berbenturan dengan pedang yang
memancarkan cahaya biru terang berkilauan itu.
"Hih!"
Tring! Raden Banyugara membuang kesal pedangnya. Matanya lalu melirik sedikit pada
sebatang tombak yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya. Cepat kakinya
melangkah menghampiri tombak itu. Dan dengan sentakan ujung jari kakinya, tombak
itu melayang ke atas. Lalu, tangkas sekali Raden Banyugara menangkapnya.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Raden Banyugara melompat sambil berteriak
keras. Langsung tombak berukuran panjang itu dihunjamkan ke arah dada Pendekar
Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Dengan gerakan manis sekali, Rangga menghindari hunjaman tombak. Dan begitu
lewat di samping tubuhnya, cepat tangan kirinya dihentakkan ke bagian tengah
tombak ini. Begitu cepat sentakan tangan kirinya, sehingga Raden Banyugara tidak
sempat lagi menarik tombaknya. Dan....
Trak! "Hup!"
Raden Banyugara cepat-cepat melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dengan
hati kesal, dibuangnya tombak yang juga terpenggal kena tebasan tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri berdiri tegak dengan pedang
tersilang di depan dada.
Kini, tidak ada lagi senjata yang bisa diandalkan Raden Banyugara. Pedang pusaka
yang tergenggam di tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terlalu tangguh
untuk dilawan. Raden Banyugara seperti baru tersadar. Dia tahu, Rangga tidak
akan menggunakan pedangnya kalau lawan yang dihadapi juga tidak menggunakan
senjata. Menyadari akan watak ksatria Pendekar Rajawali Sakti, Raden Banyugara
segera bersiap menggunakan tangan kosong.
"Hm...," Rangga menggumam sedikit, melihat Raden Banyugara membuka jurus tangan
kosong. Cring! Maka dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti memasukkan Pedang
Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung. Dan seketika itu juga,
ruangan yang semula terang berkilau oleh cahaya dari pedang itu, jadi kembali
seperti semula. Kini ruangan itu hanya diterangi cahaya lampu yang terpancang di
setiap sudut ruangan ini.
"Hiyaaat..!"
Raden Banyugara segera melompat menyerang, begitu Rangga memasukkan senjatanya.
Satu pukulan keras menggeledek dilepaskan, tepat mengarah ke dada Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga meliukkan tubuhnya
menghindari pukulan keras bertenaga dalam tinggi lawannya.
Dan tanpa diduga sama sekali, Raden Banyugara melenting ke atas, lalu berputaran
sekali tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, tangan
kanannya mengibas cepat ke punggung, hendak meraih gagang pedang di punggung
Rangga. "Setan! Hih...!"
Rangga jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau Raden Banyugara bermaksud
merebut pedangnya. Maka dengan cepat Pendekar Rajawati Sakti memutar tubuhnya
sambil meliuk ke kanan, hingga tubuhnya miring. Dan saat itu juga tangan
kanannya dihentakkan, memberi satu pukulan cepat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. "Yeaaah...!"
"Hups!"
*** Raden Banyugara yang gagal mengambil pedang Pendekar Rajawali Sakti, cepat-cepat
melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan dengan manis sekali kakinya menjejak
tanah, sebelum Rangga bisa memutar tubuh. Lalu cepat sekali pemuda itu
menghentakkan kaki kanan, memberi satu tendangan keras yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Haiiit!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, tendangan Raden Banyugara
hanya menyambar angin kosong. Saat itu juga, Rangga menghentakkan kakinya ke
belakang, tanpa membalikkan tubuh sedikit pun. Begitu cepat sentakan kakinya,
membuat Raden Banyugara tidak sempat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia juga
belum sempat menarik kakinya yang terhentak ke depan.
Diegkh! "Akh...!"
Raden Banyugara jadi terpekik, begitu telapak kaki Rangga tepat menghantam
dadanya. Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi
dadanya. Tampak darah kental menetes keluar dari sudut bibirnya. Begitu keras
tendangan yang dilepaskan Rangga, hingga membuat tarikan napas Raden Banyugara
jadi tersendat.
"Hap!"
Raden Banyugara cepat-cepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya.
Perlahan disekanya darah di sudut bibir dengan punggung tangan. Tampak sorot
matanya begitu tajam, memancar lurus bagai hendak menembus dua bola mata
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak menanti sambil melipat kedua tangan
di depan dada. "Phuih!"
Raden Banyugara menyemburkan ludah yang bercampur darah. Disekanya kembali sisa
darah di bibir dengan punggung tangan, lalu perlahan kakinya bergeser ke kanan.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak memperhatikan gerakan kaki lawannya dengan
mata tidak berkedip sedikit pun juga.
"Sebaiknya kau menyerah saja, Banyugara. Tidak ada gunanya terus bertahan," kata
Rangga mencoba membujuk.
"Phuih! Aku lebih baik mati daripada menyerah, Rangga!" dengus Raden Banyugara
seraya menyemburkan ludahnya.
"Kau harus menyadari, tidak ada seorang pun yang berdiri di belakangmu,
Banyugara. Menyerahlah! Jangan mempersulit dirimu lebih parah lagi," kata Rangga
lagi, terus membujuk.
"Jangan banyak omong kau, Rangga! Kau atau aku yang mati di sini!" bentak Raden
Banyugara garang.
"Hm...," Rangga jadi menggumam kecil.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, Raden Banyugara tidak akan bisa dibujuk lagi.
Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya Raden Banyugara lebih memilih mati di
dalam pertarungan daripada harus menyerahkan diri dan dihukum mati sebagai
pemberontak Walaupun sudah melakukan pemberontakan, memang Raden Banyugara akan
tetap merasa terhormat kalau mati dalam pertarungan. Masalahnya, dia akan
menjadi lecehan kalau mati di tiang gantungan, jika menyerah.
Kali ini, Rangga menghadapi pilihan yang sangat sulit. Di dalam hati kecilnya,
dia tidak ingin sampai Raden Banyugara terbunuh di tangannya. Tapi sikap
lawannya ini memang tidak bisa lagi dihindari. Dan memang harus diakui kalau
sikap yang diambil Raden Banyugara adalah demi kehormatannya sendiri. Apa pun
yang terjadi, Raden Banyugara tetap akan bertahan sampai menemui ajal di tangan
lawan. "Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat tarikan
napasnya. Matanya melirik sedikit pada Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri
di ambang pintu, memperhatikan dua pemuda yang berdiri saling berhadapan ini.
Tidak berapa lama, perhatian Rangga kembali tertuju pada Raden Banyugara yang
sudah bergerak menggeser lagi ke kanan perlahan-lahan. Kedua tangannya bergerakgerak diikuti gerakan tubuh yang indah membuka jurus, sambil mencari peluang
untuk melancarkan serangan. Sedangkan Rangga sendiri tetap berdiri tegak, tidak
bergeming sedikit pun.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Raden Banyugara menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat
gumpalan asap hitam yang meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari


Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumpalan asap hitam yang langsung terpecah menyebar menjadi gumpalan-gumpalan
kecil yang menyerangnya dengan kecepatan sangat tinggi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di lantai, setelah
gumpalan-gumpalan asap hitam itu lewat. Saat itu juga, terdengar suara-suara
ledakan keras menggelegar dari belakang. Tampak dinding yang ada di belakang
Pendekar Rajawali Sakti jebol terlanda gumpalan hitam ini.
"Gila...!" desis Rangga terkejut.
Sungguh tidak disangka kalau gumpalan asap hitam itu sangat dahsyat. Akibatnya,
dinding istana yang sangat tebal itu hancur berkeping-keping, menimbulkan
kepulan debu yang memenuhi ruangan ini. Rangga cepat-cepat melompat ke belakang
tiga tindak, untuk menjaga jarak dari lawannya.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti merapatkan kedua telapak tangan di depan
dada. Dan tubuhnya langsung bergerak ke kanan, lalu dengan cepat ditarik ke kiri
hingga doyong hampir jatuh. Dan perlahan tubuhnya bergerak tegak. Dan kini kedua
kakinya terentang lebar ke samping. Saat itu juga, dari kedua telapak tangan
yang merapat di depan dada itu terlihat cahaya biru menyemburat bagai hendak
keluar. Sementara Raden Banyugara sudah kembali bersiap melancarkan serangan dahsyatnya
yang disebut aji 'Tapak Dewa Hitam'. Sebuah ilmu kesaktian yang cukup dahsyat,
hingga membuat Rangga terpaksa harus mengerahkan aji "Cakra Buana Sukma'.
"Hiyaaa...!"
Tepat di saat Raden Banyugara menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu
juga Rangga menghentakkan tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar
bagai ledakan guntur membelah angkasa.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
*** Bersamaan dengan melesatnya gumpalan asap hitam dari kedua telapak tangan Raden
Banyugara, saat itu juga dari kedua telapak tangan Rangga yang terbuka dan
menjulur ke depan, melesat cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata.
Seketika cahaya biru berkilauan itu langsung menghantam gumpalan asap hitam.
Glarrr! Satu ledakan keras menggelegar terdengar begitu mengejutkan. Begitu kerasnya,
hingga membuat seluruh dinding dan atap bangunan istana ini jadi bergetar bagai
diguncang gempa.
"Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, membuat cahaya biru
yang memancar dari kedua telapak tangannya terus meluruk deras ke arah Raden
Banyugara. Pemuda itu kontan terbeliak lebar. Tidak ada kesempatan lagi baginya
untuk menghindar. Dan memang belum juga berbuat sesuatu, cahaya biru itu sudah
menghantam keras tubuhnya.
"Akh...!"
Raden Banyugara jadi terpekik, dan kontan terdorong ke belakang sejauh lima
langkah. Tapi, dia tidak sampai jatuh ke lantai. Sementara, seluruh tubuhnya
sudah terselubung cahaya biru yang terus memancar semakin pekat menggumpal dari
kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aaakh...!"
Raden Banyugara memekik keras, sambil menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya
biru yang semakin menggumpal menyelimuti seluruh tubuhnya. Sama sekali tidak
disadari kalau aji 'Cakra Buana Sukma' yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti
malah menyedot kekuatannya.
Semakin keras Raden Banyugara mengerahkan tenaga untuk keluar dari selubung
cahaya biru yang menggumpal menyelimuti tubuhnya, semakin deras pula kekuatannya
terbuang sia-sia. Namun semua itu sama sekali tidak disadari. Malah semakin
dahsyat seluruh kekuatannya dikerahkan untuk bisa terlepas dari gumpalan cahaya
biru ini. "Hih! Yeaaah..!"
Rangga tiba-tiba saja berteriak keras, sambil menghentakkan kedua tangannya ke
depan. "Aaakh...!"
Raden Banyugara terpekik. Dan seketika itu juga tubuhnya terpental ke belakang,
sejauh dua batang tombak. Pemuda itu bergulingan beberapa kali di lantai istana
yang licin dan keras berkilatan ini. Gulingan tubuh Raden Banyugara baru
berhenti, setelah punggungnya menghantam dinding hingga seluruh ruangan ini jadi
bergetar. "Ugkh! Hoeeekh....'"
Raden Banyugara langsung memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman. Dia
berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya bagai terkuras habis.
Dirasakannya seluruh tubuhnya jadi lemah, tidak bisa digerakkan lagi. Sementara,
Rangga sudah melangkah menghampiri.
"Ugkh...!"
Raden Banyugara berusaha merangkak, mendekati sebilah pedang yang tergeletak
tidak jauh darinya. Belum juga Rangga mendekat, Raden Banyugara sudah bisa
meraih pedang itu. Dan dengan sisa kekuatan yang ada....
"Hih!"
"Eh"! Jangan...!"
Jleb! "Hegkh...!"
Rangga jadi tersentak setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Raden
Banyugara akan berbuat senekat itu. Jantungnya sendiri dihunjamkan dengan
pedang. Darah langsung muncar keluar dari dada kirinya yang tertembus pedang,
hingga ujungnya menyembul keluar dari punggung. Saat itu juga Raden Banyugara
menggeletak dengan nyawa melayang dari tubuh.
Sementara, Rangga hanya bisa berdiri mematung memandangi. Benar-benar
disesalinya tindakan Raden Banyugara. Padahal, tadi ajiannya sengaja tidak
dituntaskan, hingga pemuda itu masih bisa hidup dan bergerak. Tapi, rupanya
Raden Banyugara sudah merasa tidak ada gunanya lagi hidup dengan kelumpuhan yang
diderita. Hidupnya sendiri diakhiri dengan pedang yang dihunjamkan ke dadanya.
"Hhh...!"
Rangga menghembuskan napas panjang. Tubuhnya diputar berbalik, dan melangkah
menghampiri Prabu Gandaraka yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Pendekar
Rajawali Sakti baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi
di depan Raja Jenggala.
"Aku akan kembali ke Karang Setra, memberi tahu semua ini pada Putri Arum
Winasih," kata Rangga langsung.
'Tidak menunggu besok pagi saja, Rangga?"
Rangga hanya tersenyum saja, dan terus saja melangkah melewati Raja Jenggala
ini. Tapi baru melewati beberapa langkah, ayunan kakinya sudah terhenti lagi.
Dan kepalanya diputar sedikit ke belakang.
"Paman Panglima Gagak Sewu ada di sini. Mungkin dia ada di rumah sahabatnya yang
bernama Ki Rambulun," kata Rangga, memberi tahu.
Dan belum juga Prabu Gandaraka bisa membuka suara, Pendekar Rajawali Sakti sudah
melesat cepat. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam sekejapan
mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak berbekas lagi. Sementara Prabu
Gandaraka masih tetap berdiri mematung, memandang ke arah kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mengembalikan tahta Jenggala padanya.
"Kau benar-benar seorang pendekar ksatria, Rangga. Mudah-mudahan sang Hyang
Widhi selalu bersamamu," desah Prabu Gandaraka perlahan.
SELESAI Scan by Clickers
Pedang Medali Naga 6 Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai Kisah Para Pendekar Pulau Es 2

Cari Blog Ini