Ceritasilat Novel Online

Malaikat Pencabut Nyawa 1

Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Bagian 1


MALAIKAT PENCABUT NYAWA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Malaikat Pencabut Nyawa
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Sret! Cring! "Hiyaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Sebuah teriakan keras menggelegar terdengar memecah keheningan malam, disusul jeritan panjang melengking tinggi. Suara-suara itu menggema, sampai
menyusup ke dalam hutan terbawa angin malam. Sementara tiga orang yang tengah bermalam di dalam
hutan itu jadi terkejut. Mereka saling berpandangan sejenak, lalu bergegas
bangkit dan melangkah cepat
menuju ke arah datangnya teriakan dan jeritan tadi.
"Cepat. Arahnya dari sebelah sana...!" seru seorang laki-laki tua berjubah putih
yang berjalan paling depan.
Usia orang tua itu jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ayunan langkahnya begitu cepat dan ringan, pertanda tingkat
kepandaiannya sudah sangat tinggi.
Sebatang tongkat kayu berwarna hitam legam terayunayun di tangan kanannya. Sementara dua orang lagi
yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, mengikuti dari belakang. Mereka
berusaha menyamai langkah
orang tua berjubah putih itu, tapi tetap saja tertinggal di belakang.
Malam yang begitu pekat, memang cukup menyulitkan bagi mereka untuk bergerak lebih cepat lagi.
Terlebih, pepohonan yang tumbuh di dalam hutan ini
begitu rapat. Namun, akhirnya mereka tiba juga di sebuah dataran dengan hamparan
rumput yang tidak
begitu luas. Dan mereka tampak terkejut begitu melihat sesosok tubuh tergeletak di tengah-tengah padang rumput ini. Maka, bergegas
mereka menghampirinya.
Dan begitu dekat....
"Pendekar Golok Api...," desis laki-laki tua berjubah putih.
Bergegas laki-laki tua itu mendekati tubuh seorang
laki-laki tegap berotot yang tergeletak dengan kening kepala terbelah. Orang tua
berjubah putih itu segera mengangkat tubuh laki-laki tegap yang dikenalinya
sebagai Pendekar Golok Api, dan meletakkannya dalam
pangkuannya. "Dia masih hidup, Ki Anjir?" tanya salah seorang
yang mengikuti laki-laki tua berjubah putih itu.
Laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki Anjir hanya menggeleng saja
perlahan. Kemudian dibaring-kannya tubuh Pendekar Golok Api. Perlahan dia bangkit berdiri dengan wajah terlihat mendung. Sinar matanya begitu redup memandangi
sosok tubuh Pendekar
Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa lagi.
Darah yang keluar dari kepala Pendekar Golok Api
yang pecah seperti terbabat pedang, masih terasa hangat. Ini berarti baru
beberapa saat saja kematiannya.
Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara. Mereka semua membisu dengan kepala tertunduk, memandangi tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur
kaku tak bernyawa lagi.
"Melihat dari lukanya, jelas kalau ini perbuatan
manusia iblis keparat itu...!" desis Ki Anjir terdengar geram nada suaranya.
"Huh! Lagi-lagi dia!" dengus salah seorang yang
berbaju warna biru pekat.
"Sudah sepuluh pendekar yang tewas di tangannya.
Hhh...! Berapa orang lagi yang akan mati kalau tidak segera dicegah," desah Ki
Anjir perlahan, seakan bicara
pada diri sendiri.
"Ki.... Aku jadi ragu, apakah kita bertiga mampu
menghadapinya...?" desis seorang lagi yang berbaju hijau.
"Kenapa kau jadi punya pikiran begitu, Kam- dan?"
sorot mata Ki Anjir jadi tajam.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun
dan berbaju hijau yang bernama Kamdan jadi tertunduk. Berat rasanya membalas sorotan mata Ki Anjir
yang begitu tajam menusuk. Sementara, pandangan Ki
Anjir beralih pada orang satunya lagi, yang berdiri di sebelah kanan Kamdan.
"Kau juga akan mengundurkan diri, Julak?" terdengar dalam sekali nada suara Ki Anjir.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, Ki," sahut lakilaki berbaju biru yang dipanggil Julak, mantap.
"Hm, bagus! Aku senang melihat tekad dan semangatmu yang besar. Jangan sampai kita kalah sebelum
bertarung," sambut Ki Anjir memberi semangat
Ki Anjir kembali menatap Kamdan. Sedangkan yang
dipandangi masih tetap tertunduk. Dan matanya melirik sedikit pada temannya yang tadi baru menyatakan tetap mengikuti laki-laki
tua itu untuk mengejar orang yang telah membantai sepuluh orang pendekar dalam
beberapa hari ini, dan sudah menggemparkan seluruh
rimba persilatan. Hingga, bukan hanya mereka saja
yang mengejar, tapi masih banyak para pendekar
tangguh yang ingin membasmi tukang jagal itu.
"Aku tetap ingin kembali, Ki. Maafkan aku," ujar
Kamdan tidak berani mengangkat kepala sedikit pun
juga. "Hhh...!" Ki Anjir hanya menghembuskan napas beratnya saja. Beberapa saat orang tua itu terdiam, memandangi
Kamdan yang sudah beberapa hari ini mengikutinya
mengejar pembunuh para pendekar itu. Memang beberapa pendekar tangguh yang ditemui sudah tewas dengan luka sama persis, sehingga membuat hati siapa
saja yang melihat tidak akan tahan.
Sedangkan Ki Anjir menyadari kalau Kamdan dan
Julak bukan pendekar. Kepandaian yang dimiliki juga belum bisa dikatakan tinggi.
Bahkan jauh berada di
bawah tingkat kepandaian Ki Anjir sendiri. Wajar saja kalau Kamdan merasa
gentar. Terlebih lagi, sekarang dia sudah menyaksikan sendiri mayat Pendekar
Golok Api. Pendekar Golok Api adalah seorang pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan julukannya sudah terkenal
di jagat raya ini. Bahkan tokoh-tokoh persilatan mana-pun juga akan
menyanjungnya. Tapi sekarang, Pendekar Golok Api sudah menggeletak tak bernyawa lagi
dengan kening terbelah. Luka yang sama dengan yang
ditemui pada para pendekar lainnya.
"Baiklah, Kamdan. Aku tidak bisa memaksamu untuk terus melangkah maju. Kau berhak memilih. Pulanglah...," kata Ki Anjir dengan nada suara terasa begitu berat.
"Maafkan aku, Ki," ucap Kamdan penuh penyesalan. Ki Anjir hanya tersenyum saja, dan menepuk lembut pundak Kamdan. Setelah memberi salam penghormatan dengan membungkukkan tubuhnya, Kamdan kemudian melangkah pergi meninggalkan orang
tua itu. Sementara, Ki Anjir dan Julak hanya bisa memandangi. Memang tidak mungkin mencegah kepergian
Kamdan kalau itu memang sudah menjadi pilihannya
yang terbaik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang
ingin menyerahkan nyawanya sia-sia. Terlebih lagi, kalau yang akan dihadapi
sudah jelas memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi. Pilihan Kamdan memang
tepat, karena menyadari kemampuannya sendiri.
"Kau belum terlambat kalau ingin mengikuti jejak
Kamdan, Julak," kata Ki Anjir.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap bersamamu, Ki,"
sambut Julak mantap. "Aku harus membalaskan dendamku!" Ki Anjir tersenyum seraya menepuk pundak Julak.
Kemudian mereka melangkah meninggalkan jasad
Pendekar Golok Api yang terbujur kaku dengan kening terbelah mengucurkan darah.
*** Malam terus merayap semakin larut. Terasa sunyi
sekali di dalam hutan sekitar lereng Gunung Granggang ini. Kamdan yang memisahkan diri dari Ki Anjir dan Julak, terus melangkah
tanpa berpaling sedikit
pun ke belakang. Obor bambu yang dibawanya memang cukup untuk menerangi jalan yang dilalui. Dan
tampaknya, dia juga tidak tergesa-gesa. Memang masih jauh untuk sampai ke desa terdekat. Tapi Kamdan tidak perlu khawatir. Dia
tahu betul seluk-beluk hutan di sekitar lereng Gunung Granggang ini.
"Hhh! Dinginnya...," dengus Kamdan agak menggigil. Udara malam ini memang terasa sangat dingin. Angin bertiup kencang, membuat
api obor meliuk- liuk seakan-akan hampir padam. Namun Kamdan tidak
mempedulikannya, dan terus berjalan dengan ayunan
kaki mantap, menembus lebatnya hutan. Sampai akhirnya, laki-laki itu tiba di jalan setapak di dalam hutan yang sangat lebat
ini. Dia tahu, jalan ini sering dilalui penduduk desa yang tidak seberapa jauh
lagi letaknya. Kerlip lampu pelita dari rumah-rumah sebuah desa
sudah mulai terlihat. Kamdan semakin mempercepat
ayunan kakinya. Udara dingin yang menggigilkan ini
sudah tidak tertahankan lagi. Tubuhnya terusmenerus menggigil, menahan hawa dingin yang sangat
menusuk kulit. "Mudah-mudahan saja masih ada rumah penginapan yang buka. Hhh...! Dinginnya sudah tidak tertahan lagi," keluh Kamdan.
Desa di depannya sudah semakin jelas terlihat, walaupun kabut yang turun cukup tebal. Kamdan terus
melangkah cepat menuju desa itu. Tapi belum juga
sampai, mendadak saja....
Wusss! "Heh..."!"
Kedua bola mata Kamdan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba di depannya
berkelebat sebuah bayangan
yang begitu cepat. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, tahu-tahu di depannya
sudah berdiri seseorang
bertubuh tinggi dan ramping. Sebilah pedang tergenggam di tangan kirinya. Cukup
sulit bisa melihat wajahnya. Karena selain kabut yang tebal, orang itu juga membelakangi cahaya
pelita dari rumah-rumah penduduk desa yang sudah tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Dan malam itu juga sedikit pun tidak terlihat cahaya bulan. Hingga,
Kamdan sama sekali tidak bisa melihat jelas wajah orang yang tiba-tiba saja
muncul di depannya.
"Sss..., siapa kau...?" terdengar bergetar suara
Kamdan. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, Monyet
Jelek!" Terdengar kasar sekali nada suara orang itu, membuat Kamdan jadi tersedak kaget setengah mati. Begitu terkejutnya, hingga sampai
terlompat ke belakang beberapa langkah.
Srettt...! "Oh...?"
Seketika Kamdan merasakan tenggorokannya jadi
kering, saat orang itu mencabut pedangnya perlahanlahan. Cahaya keperakan pedang itu membuat kedua
bola mata Kamdan jadi terbeliak tidak berkedip. Saat itu juga disadari, dengan
siapa Kamdan berhadapan.
"Kau..., kau...," sulit sekali Kamdan membuka suaranya. Seluruh tubuh laki-laki itu jadi bergetar menggigil.
Bukan lagi karena udara yang dingin, tapi rasa takut yang amat sangat. Dia tahu
siapa orang ini, walaupun wajahnya tidak kelihatan.
"Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku mohon! Jangan bunuh aku...," rengek Kamdan memelas.
"Bukankah kau memburuku..." Kenapa sekarang
jadi seperti tikus melihat kucing..." Sekarang, aku ada di sini. Nah! Hadapilah
aku, Monyet Jelek!" dengus
orang itu dingin.
"Tid..., tidak! Aku..., aku...."
"Huh! Aku muak melihat orang sepertimu. Hih...!"
Wuk! Cras! "Akh...!"
Kamdan hanya bisa terpekik kecil, begitu pedang
yang berkilat keperakan itu berkelebat begitu cepat ke wajahnya. Dan seketika
itu juga, dia jadi terpaku diam dengan bola mata terbeliak lebar dan mulut
ternganga. Cring! Tepat di saat orang itu memasukkkan kembali pedangnya, saat itu juga Kamdan jatuh ke tanah. Hanya sebentar saja tubuhnya
menggelepar, kemudian mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak
darah mengalir keluar dari batok kepalanya yang
hampir terbelah menjadi dua bagian.
"Phuih...!"
Orang berpakaian gelap yang sangat ketat itu menyemburkan ludahnya sambil mendengus berat.
Kemudian tubuhnya berputar dan seketika itu juga
melesat bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Kamdan menggeletak tak bernyawa terselimut
kabut, tidak jauh lagi dari desa di kaki lereng Gunung Granggang ini.
Dan malam terus merayap semakin larut. Tidak ada
seorang pun yang mengetahui peristiwa itu. Bahkan
pekikan Kamdan yang terakhir pun sama sekali tidak terdengar, walaupun keadaan
malam sangat sunyi.
Hanya serangga-serangga malam saja yang menjadi


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saksi dari peristiwa mengerikan ini. Baru pada pagi harinya, seluruh penduduk
Desa Granggang jadi gempar menemukan mayat Kamdan tergeletak tidak jauh
di jalan desa itu.
*** Kematian Kamdan cepat sekali menyebar, dan langsung menjadi buah bibir semua orang di Desa Granggang. Di desa yang letaknya agak terpencil dan terkenal tenang itu, seakan baru
pertama kali terjadi peristiwa pembunuhan yang sangat mengiriskan ini. Batok
kepala Kamdan hampir terbelah terbagi dua. Jelas, kepalanya tersabet pedang yang
sangat tajam! Dan yang pasti dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan tenaga
dalam tinggi. "Aku benci ada pembunuh berkeliaran di desa
ini...!" dengus Ki Langkas, Kepala Desa Granggang geram.
Hari itu juga Ki Langkas mengumpulkan pemukapemuka desa. Ada enam orang laki yang semuanya
hadir berpakaian jubah putih hadir di bagian beranda depan rumahnya. Tampak
semuanya laki- laki berusia
lanjut, dan bukanlah orang-orang sembarangan. Ini
terlihat jelas dari raut wajah dan sinar mata mereka.
Walaupun sudah penuh kerutan, tapi masih memancar tajam. Dan mereka juga membawa senjata dengan
bentuk berbeda.
Ki Langkas juga mengenakan baju jubah panjang
berwarna putih. Dia sendiri sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi
tubuhnya masih kelihatan ga-gah dan kekar, walaupun sebuah tongkat berkepala
ular tidak pernah terlepas dari tangannya.
"Aku ingin pembunuh itu ditangkap secepatnya, sebelum kematian menyebar di desa ini," sambung Ki
Langkas tegas. "Tapi, Ki. Orang yang terbunuh itu bukan warga desa ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang mengenalnya," selak salah seorang yang memegang cambuk kulit warna hitam.
"Dan lagi, kelihatannya orang itu dari kalangan persilatan. Aku rasa wajar kalau
dia sampai terbunuh,"
sambung seorang lagi yang membawa senjata pedang.
"Didalam dunia persilatan, dibunuh atau terbunuh
itu sudah biasa. Aku yakin, pembunuhnya sudah tidak ada lagi di sini. Mereka
pasti bertarung semalam.
Hanya saja, kita semua tidak ada yang tahu," kata seorang lagi.
"Apa pun namanya, aku tidak ingin desa ini ada
pembunuh berkeliaran. Dan kuminta pada kalian semua, agar mengawasi siapa saja yang masuk ke desa
ini. Tidak peduli apakah, laki-laki atau perempuan. Tidak peduli berapa usianya.
Siapa saja yang datang,
dan ternyata bukan warga desa ini, patut dicurigai.
Paham...!" agak keras terdengar suara Ki Langkas.
Semua yang ada hanya mengangguk kepala saja.
Mereka tahu betul watak kepala desa itu. Tegas dan
segala perintahnya tidak bisa dibantah lagi. Di Desa Granggang ini, Ki Langkas
bagaikan seorang raja kecil saja. Segala perintahnya harus ditaati, tanpa ada
yang boleh membantah. Tapi walaupun wataknya sangat keras, dia tidak segansegan turun-tangan membantu
yang lemah. Tak heran kalau semua orang di desa ini menyukainya, dan tetap
mempertahankannya sebagai
kepala desa. Padahal usianya sudah sangat lanjut.
"Tugaskan pada murid-murid kalian untuk selalu
waspada. Dan ketatkan penjagaan keamanan di desa
ini," perintah Ki Langkas lagi.
"Baik, Ki."
Serempak enam orang tua itu menyahut.
"Laporkan padaku secepatnya, siapa-siapa saja
orang asing yang ada di desa ini sekarang. Dan aku
akan menanyainya langsung pada mereka," kata Ki
Langkas lagi. "Ki...," selak laki-laki tua yang membawa pedang.
"Ada apa, Ki Adong?" tanya Ki Langkas, seraya menatap laki-laki tua bersenjata pedang yang bernama Ki Adong.
"Aku rasa, hal itu terlalu berlebihan, Ki. Belum
saatnya kita begitu menaruh kecurigaan pada para
pendatang. Kalaupun harus dicurigai, jangan sampai
mereka merasa dicurigai. Kita atasi saja secara diam-diam. Dan itu lebih
memudahkan kita, kalau memang
pembunuh itu masih berkeliaran di desa ini," kata Ki Adong, tidak setuju pada
keinginan kepala desa itu.
"Benar, Ki. Kita tidak perlu terlalu memaksakan diri. Lagi pula, baru satu orang yang terbunuh. Dan
orang itu juga bukan warga desa ini. Jadi, kurasa tidak perlu terlalu mencurigai
para pendatang," sambung
yang lain menyetujui saran Ki Adong.
Kepala Desa Granggang itu hanya diam saja. Dalam
hati, diakuinya juga kebenaran jalan pikiran para
pembantunya ini. Dia memang terlalu larut terbawa
amarah oleh terjadinya pembunuhan di desanya yang
selama ini selalu tenang dan damai. Bertahun-tahun
dia menjadi kepala desa, baru kali ini ada peristiwa pembunuhan. Dan tentu saja
membuatnya jadi merasa
panas sendiri. "Baiklah, lakukan saja apa yang menurut kalian
baik," ujar Ki Langkas mengalah juga.
Enam orang pembantu kepala desa itu sama- sama
menarik napas lega. Baru kali ini Ki Langkas bisa
mengalah. Biasanya, mana mau"
Dan tak berapa lama kemudian, enam orang tetua
desa itu meninggalkan rumah kepala desa ini. Sementara Ki Langkas mengantarkan mereka sampai di depan pintu pagar rumahnya yang hanya terbuat dari belahan bambu. Sampai mereka
semua pergi, baru orang
tua itu kembali masuk ke dalam rumahnya. Di dalam
ruangan depan yang berukuran cukup luas, seorang
gadis bertubuh mungil menghadangnya, dengan wajah
seperti seorang anak berusia tiga belas tahun. Padahal, usianya sudah delapan
belas tahun. "Ayah...."
"Jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu!" sentak
Ki Langkas cepat, sebelum gadis itu bisa membuka suaranya lebih banyak lagi.
Gadis itu langsung terdiam. Dan Ki Langkas terus
saja melangkah masuk melewati ruangan depan itu.
Sementara, gadis manis yang berbaju kuning muda
dengan potongan cukup ketat itu hanya memandangi
saja, sampai punggung ayahnya lenyap dari penglihatannya. "Hhh...!"
*** 2 Matahari sudah hampir tenggelam di belahan bumi
bagian barat. Sinarnya tidak lagi terik, dan terasa begitu lembut menyentuh
kulit seorang gadis muda yang
tengah memperhatikan seekor kelinci merumput di
semak belukar. Perlahan-lahan gadis itu mengendap
mendekati. Dan begitu dekat, langsung melompat hendak menerkam kelinci itu.
"Kena...!" serunya girang, begitu berhasil menangkap kelinci yang sangat gemuk ini.
Gadis itu bangkit berdiri dengan wajah cerah. Pakaiannya kotor berdebu, penuh rerumputan kering.
Dipandanginya kelinci yang berada di dalam cengkeraman tangannya yang mungil. Bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. Bergegas kakinya melangkah
dengan gerakan begitu ringan.
"Ayah...! Aku dapat kelinci...!" teriaknya riang.
Gadis itu terus berlari-lari kecil sambil berteriak- teriak riang memanggil
ayahnya. Tapi tak terdengar sahutan sedikit pun juga. Dan mendadak saja, gerakan
kakinya terhenti dengan kedua bola mata jadi terbeliak lebar.
"Ayah...!"
Gadis itu jadi terpekik, begitu melihat sesosok tubuh tertelungkup dengan kepala hampir terbelah dua.
Darah tampak mengucur membasahi rerumputan. Kelinci yang berada dalam genggaman tangannya langsung terlepas. Gadis itu tidak menghiraukannya lagi, dan cepat berlari serta
menubruk tubuh laki-laki tua yang tergeletak tidak bernyawa lagi.
"Ayah...!"
"Dia sudah mati...."
"Oh..."!"
Gadis manis itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba sa-ja terdengar suara dari
depannya. Cepat wajahnya di-angkat. Dan kedua bola matanya seketika jadi terbeliak lebar, begitu melihat seseorang tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh di
depannya. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.
Wajahnya kelihatan cukup tampan, tapi sorot matanya begitu tajam. Bibirnya yang agak memerah, menyunggingkan sebuah senyuman lebar. Tapi di mata
gadis manis itu, senyuman pemuda ini bagaikan sebuah seringai serigala yang melihat anak domba gemuk. Sorot matanya memancarkan cahaya yang begitu
dingin! "Sungguh beruntung. Sudah terlalu lama aku tidak
pernah lagi menyentuh wanita."
"Oh..."!"
Gadis itu jadi terperanjat mendengar kata-kata yang bisa mendirikan bulu kuduk.
Cepat dia bangkit berdiri, dan melangkah mundur. Seketika wajahnya memucat,
dan seluruh tubuhnya menggeletar. Naluri kewanitaannya saat itu juga mengatakan kalau dirinya dalam
bahaya. "Jangan takut, Manis. Aku tidak akan menyakitimu.
Justru aku akan membawamu mengarungi lautan indah yang tidak akan bisa kau lupakan," kata pemuda
itu dengan bibir terus menyeringai lebar.
"Oh, tidak...."
Perlahan pemuda yang berbaju biru gelap itu melangkah mendekati. Sedangkan gadis berwajah manis
ini terus melangkah mundur dengan tubuh bergetar
hebat. Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat cepat sekali. Akibatnya gadis
berusia sekitar delapan belas tahun itu jadi terpekik kaget setengah mati. Tapi
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja pergelangan tangannya
sudah dicekal erat pemuda itu.
"Ouwh...! Lepaskan!" sentak gadis itu ketakutan.
"He he he...!"
"Auwh...!"
Hanya sekali sentak saja, gadis itu sudah berada
dalam pelukan. Dia meronta sambil menjerit-jerit, berusaha melepaskan diri.
Tapi, pelukan pemuda itu
sangat kuat. Dan....
Brukkk! "Akh...!"
Mereka jatuh bergulingan di tanah berumput ini.
Tapi pelukan pemuda itu tidak juga terlepas.
Bahkan semakin erat saja memeluk pinggang ramping ini. Mereka bergulingan beberapa kali. Dan sebentar kemudian, pemuda itu
sudah menghimpit tubuh
mungil gadis ini dengan tubuhnya yang kekar.
"Diamlah, Manis. Kau akan merasakan sesuatu
yang membuat dirimu melambung ke langit tingkat tujuh...," desah pemuda itu dengan napas mulai memburu. "Tidak! Jangaaan...!"
"He he he...!"
Bret! "Auw...!"
"Aaah...! Tidak kusangka, ternyata kau memiliki tubuh yang indah sekali...," desah pemuda itu. Bola matanya tampak liar merayapi
bagian dada yang terbuka membusung lembut, dengan jakun turun naik.
"Jangan...," gadis itu hanya bisa merintih, memohon belas kasihan.
Tapi, kedua bola mata pemuda itu sudah semakin
menjilati gumpalan daging terbalut kulit putih halus yang berbentuk indah
setelah baju bagian dada gadis ini berhasil direnggutnya. Sinar matanya semakin
terlihat liar saja. Dengan brutal, diterkamnya gadis itu.
Lalu dengan sikap kasar sekali, di cabik-cabiknya seluruh pakaiannya, hingga
tidak ada lagi sehelai benang pun yang melekat.
"Jangan.... Aku mohon, jangan sakiti aku...," rintih gadis itu memelas.
Air mata gadis malang ini sudah berlinang deras
membanjiri pipinya yang putih halus. Tapi, pemuda itu tidak mempedulikan
rintihannya. Bahkan semakin
brutal saja. Kedua tangannya terus bergerak liar mene-lusuri setiap lekuk tubuh
berkulit putih halus ini. Akibatnya, gadis itu jadi menggelinjang dan merintih
lirih memohon belas kasihan.
Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat, saat
pemuda yang menindihnya mulai melepaskan pakaiannya sendiri. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberontak
melepaskan diri. Dia hanya dapat
merintih dan menangis memohon belas kasihan. Tapi
semua itu hanya membuat gemuruh di dada pemuda
ini menggelegak. Nafasnya sudah mulai mendengus
memburu. Jari-jari tangannya semakin liar, merayap
ke seluruh tubuhnya.
"Tolong..., jangan...."
Sia-sia saja gadis itu merintih dan memohon, ketika pemuda itu tidak bisa lagi
mengendalikan diri. Naf-sunya sudah demikian membara, melihat tubuh putih
halus yang polos tanpa penutup sedikit pun juga. Sa-ma sekali tidak
dihiraukannya rintihan gadis ini. Setan memang telah menguasai seluruh jiwanya.
Hingga akhirnya....
"Aaakh...!"
Diiringi jeritan panjang yang melengking tinggi, gadis itu seketika mengejang
kaku dengan mata terbeliak lebar. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi lemas
bagaikan sekuntum bunga yang dipetik oleh tangan jahil. Air
matanya semakin deras mengalir, membasahi pipinya.
Dia merasakan sesuatu yang sama sekali belum pernah dialami. Rasa nyeri yang amat sangat di antara lipatan kedua pahanya. Ada
sesuatu yang telah hilang
pada dirinya, sehingga membuat seluruh hatinya hancur berkeping-keping.
Lemas sudah seluruh tubuhnya menghadapi kenyataan ini. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali hanya menangis dan
meringis merasakan nyeri. Bukan
saja pada bagian lipatan kedua pahanya, tapi seluruh tubuhnya juga. Sedangkan
pemuda itu semakin liar
saja. Bahkan seluruh tubuhnya sudah bersimbah keringat, dan nafasnya semakin keras memburu. Namun
tidak berapa lama kemudian, dia melenguh panjang.
Seluruh tubuh mengejang kaku, lalu jatuh lunglai di samping tubuh berkulit putih
halus itu.

Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya beberapa saat pemuda itu menggeletak mengatur pernapasannya kembali, kemudian bergegas
mengenakan pakaiannya. Bibirnya tampak tersenyum
lebar melihat tubuh putih halus yang polos tergolek di
sampingnya. "He he he...!"
"Iblis! Binatang...! Kubunuh kau...!" jerit gadis itu jadi kalap.
Dan tiba-tiba saja, gadis itu bangkit. Langsung diterkamnya pemuda ini. Tapi pada saat yang bersamaan, pemuda itu cepat sekali mengibaskan tangan
kanannya. Hingga ...
Plak! "Akh...!"
Gadis manis itu terpekik kecil, begitu tangan kanan pemuda ini menghantam tepat
di wajahnya. Seketika
tubuhnya terlempar ke belakang, sejauh beberapa
langkah. "Huh! Kau memang tidak ada gunanya! Hih...!"
Sambil mendengus, pemuda itu kembali me- ngebutkan tangan kanannya. Dan saat itu juga, dari tangannya melesat cepat sebuah
benda berbentuk pisau
kecil. Dan.... Crab! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat, ketika pisau kecil itu menancap dalam di dada gadis manis
ini. Hanya sebentar gadis itu bisa bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang
kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
"Setan keparat...! Tidak ada seorang pun yang bisa
berguna untukku!" dengus pemuda itu bernada kesal.
Sebentar dia memandangi dua tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi, kemudian cepat melangkah per-gi, tanpa menghiraukan dua
sosok tubuh tak bernyawa itu. Sebentar saja, keadaan di tepian hutan kaki lereng Gunung Granggang ini
jadi sunyi. *** Desa Granggang yang berada di bawah kaki Gunung Granggang, kembali gempar setelah ditemukannya dua mayat, tidak jauh dari perbatasan desa yang merupakan tepian hutan. Dan
lebih gempar lagi ketika mengetahui kalau dua mayat yang ditemukan ternyata
warga desa itu. Lebih-lebih, salah satu mayat ternyata seorang gadis dalam
keadaan tubuh tidak berpakaian
sama sekali. Sedangkan mayat satunya lagi, semua
orang tahu kalau laki-laki tua itu adalah ayahnya.
"Keterlaluan...! Ini benar-benar keterlaluan!" geram Ki Langkas, begitu mendapat
laporan tentang dua
mayat di tepi hutan itu.
Kepala desa itu benar-benar berang dibuatnya. Belum lama mereka digemparkan oleh ditemukannya
mayat seorang laki-laki tidak dikenal, dan sekarang dua orang penduduk desa itu
tewas dalam keadaan
mengenaskan sekali. Tentu saja kejadian ini membuat Ki Langkas jadi berang
setengah mati. Sementara, enam orang tua pemuka Desa Granggang hanya diam saja dengan kepala tertunduk lesu.
Mereka juga tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang
terjadi di desa ini. Sudah tiga orang ditemukan tewas secara mengenaskan, dalam
dua hari ini. Peristiwa
pembunuhan yang membuat semua penduduk desa ini
dicekam rasa ketakutan. Dan hari itu juga, suasana
desa jadi sunyi senyap, tanpa ada seorang pun yang
berani lagi keluar rumah. Mereka takut kalau-kalau
pembunuh biadab itu muncul dan membantainya dengan kejam. "Aku minta, kalian semua cari pembunuh keparat
itu. Dan aku ingin agar dia dihukum mati!" perintah Ki Langkas dengan wajah
memerah geram. Enam orang tua yang menjadi pembantunya hanya
menganggukkan kepala saja.
"Tutup desa ini dari pendatang. Aku tidak mau ada
seorang pun yang datang ke desa ini, sebelum pembunuh keparat itu ditangkap!" perintah kepala desa itu lagi.
Setelah mendapat beberapa perintah lagi, enam
orang laki-laki tua yang menjadi pembantu kepala desa itu meninggalkan rumah Ki
Langkas. Setelah tamunya
pergi semua, Ki Langkas bergegas masuk ke dalam
kamarnya. Diambil pedang kesayangannya, dan diikatkan ke pinggang. Tanpa disadari, anak gadisnya terus memperhatikan. Ki
Langkas baru tahu setelah tubuhnya diputar berbalik. Anak gadisnya yang bernama Intan sudah berada di ambang
pintu kamar ini.
"Dengar, Intan. Ini persoalan pelik. Aku tidak ingin kau ikut campur," kata Ki
Langkas cepat, sebelum
anak gadisnya membuka mulut.
"Aku tidak takut terhadap pembunuh itu, Ayah," tegas Intan mantap.
"Tapi aku tidak ingin kau ikut campur!" sentak Ki
Langkas tegas. "Ayah...."
"Cukup! Kau di rumah saja. Jaga ibumu."
Intan langsung bungkam mendengar bentakan
ayahnya yang cukup keras itu. Dia tahu, kalau ayahnya sudah berkata sekasar itu, pasti persoalan yang dihadapinya tidak ringan.
Dan tentunya tidak mungkin bisa didesak lagi. Intan hanya bisa diam, berdiri
memandangi ayahnya yang sudah melangkah cepat keluar dari kamar ini.
*** Suasana di Desa Granggang semakin kelihatan
sunyi. Hanya beberapa orang saja yang masih kelihatan berada di luar rumah. Itu pun hanya laki-laki. Dan di pinggang mereka
terselip sebilah golok. Sementara Itu, matahari sudah condong ke arah barat.
Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit seperti tadi. Hanya ro-na merah jingga
saja yang terlihat menyembur di balik bukit. Begitu indah dipandang mata. Tapi
semua kein-dahan itu sama sekali tidak dapat dirasakan seluruh penduduk desa
ini. Saat itu, terlihat dua orang laki-laki berjalan perlahan-lahan dari arah utara
Desa Granggang ini. Seorang tampak sudah berusia lanjut. Dan seorang lagi kelihatan masih muda. Mungkin
usianya sekitar dua
puluh lima tahun. Mereka berjalan beriringan tanpa
berkata sedikit pun juga. Namun langkah mereka terhenti, begitu hampir memasuki desa yang kelihatan
sunyi ini. "Ada apa, Ki" Kenapa berhenti...?" tanya pemuda
yang berada di sebelah kiri laki-laki tua berjubah putih. "Sepi sekali desa ini.
Seperti tidak berpenduduk.
Hmmm...," laki-laki tua itu hanya menggumam kecil,
seakan tidak mendengar pertanyaan pemuda di sebelahnya. "Sudah sore, Ki. Barangkali semua orang sudah
masuk ke dalam rumah masing-masing."
"Tidak.... Aku merasakan...."
Belum lagi selesai kata-kata orang tua berjubah putih itu, tiba-tiba saja dari balik gerumbul semak belukar dan belakang pohon
bermunculan anak-anak muda dengan senjata terhunus. Mereka langsung saja
membentuk barisan, seperti berusaha menghadang
dua orang itu untuk memasuki desa ini. Dan berdiri
paling depan, terlihat enam orang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih, yang semuanya mengenakan baju jubah panjang warna putih. Yang membedakan pada penampilan mereka hanya senjata saja.
Mereka adalah para Tetua Desa Granggang ini. Seorang dari mereka yang membawa pedang, melangkah
ke depan beberapa tindak. Dialah Ki Adong, salah seorang pemuka di desa ini.
"Maaf, siapa kalian berdua. Dan hendak ke mana
tujuan kalian..?" tanya Ki Adong dengan sikap dibuat ramah.
"Aku Ki Anjir. Dan ini Julak. Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat dan hendak mencari
tempat untuk bermalam," sahut laki-laki tua yang ternyata Ki Anjir. Sikap dan
tutur katanya juga dibuat sopan, mengimbangi pertanyaan Ki Adong barusan.
"Sayang sekali. Desa ini sudah tertutup bagi para
pendatang. Maaf, kami tidak bisa mengizinkan kalian bermalam di sini," sambut Ki
Adong tegas, namun masih terdengar ramah.
"Hm, sejak kapan desa ini tertutup...?" agak menggumam suara Ki Anjir.
"Beberapa hari ini, sering terjadi pembunuhan aneh
yang sangat kejam. Dan kami terpaksa menutup desa
ini sampai pembunuh itu tertangkap," jelas Ki Adong singkat.
"Pembunuh aneh..."!"
Ki Anjir kelihatan terkejut mendengar penjelasan Ki Adong barusan. Cepat
digamitnya tangan Julak sampai merapat dengannya.
"Kalian bukan penduduk desa ini. Maka kuminta
pengertian dari kalian berdua, untuk secepatnya meninggalkan desa ini. Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian," kata Ki
Adong lagi, masih dengan sikap dan kata-kata sopan.
"Kalau boleh aku tahu, apakah ada ciri-ciri yang
sama pada setiap korban pembunuhan itu...?" tanya Ki Anjir, tanpa menghiraukan
pengusiran secara halus
pada dirinya. "Kenapa kau bertanya seperti itu, Kisanak?" Ki
Adong malah balik bertanya.
Kening orang tua itu kelihatan berkerut. Dan sorot
matanya memancar lurus ke bola mata Ki Anjir. Jelas sekali kalau dia menaruh
kecurigaan pada Ki Anjir.
"Terus terang, kami berdua sebenarnya sedang
mengejar seseorang. Dia pembunuh kejam yang sudah
banyak menelan korban dengan pedangnya. Dan semua korbannya tewas akibat tebasan pedang yang
hampir membelah kepalanya," jelas Ki Anjir singkat.
"Oh..."!"
Ki Adong jadi tersentak dan langsung berpaling.
Pandangannya segera dilemparkan pada yang lain.
Bukan hanya Ki Adong sendiri yang terkejut mendengar penjelasan Ki Anjir barusan. Tapi lima orang tua yang sebaya dengannya, dan
berada di belakangnya
juga jadi tersentak kaget. Beberapa saat mereka terdiam dan saling melemparkan
pandangan satu sama
lain. Sebentar kemudian Ki Adong kembali menatap Ki
Anjir. Kakinya pun melangkah tiga tindak ke depan,
mendekati laki-laki tua berjubah putih yang datang
bersama seorang pemuda itu. Dan untuk beberapa
saat lamanya, mereka semua terdiam.
Tidak ada yang bicara sedikit pun juga. Terdengar
helaan napas Ki Adong beberapa kali.
"Beberapa pembunuhan yang terjadi di sini, semua
korbannya memang tewas akibat luka yang hampir
membelah kepalanya," terdengar pelan suara Ki Adong, seakan bicara untuk diri
sendiri. "Oh, benarkah..."!" kali ini Ki Anjir yang terkejut Padahal, sejak tadi Ki Anjir
sudah menduga kalau
orang yang selama ini dikejarnya ada di Desa Granggang. Tapi, tetap saja dia jadi terkejut. Terlebih lagi, setelah Ki Adong
menceritakan tanpa diminta. Kali ini yang menjadi korban bukan hanya para
pendekar, tapi juga orang-orang biasa yang tidak mengenal ilmu olah kanuragan.
Hal inilah yang membuat Ki Anjir jadi terpaku diam.
Dan kembali mereka terdiam membisu. Sementara,
matahari sudah semakin jauh tenggelam ke balik cakrawala sebelah barat. Keremangan mulai terasa menyelimuti seluruh Desa Granggang ini. Sedangkan Ki
Anjir masih tetap terpaku dengan kening kelihatan
berkerut begitu dalam. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, dan
dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Julak yang sejak tadi tidak beranjak dari
samping laki-laki tua itu hanya membisu saja, entah apa yang ada dalam
pikirannya. Pemuda itu beberapa kali memperhatikan raut wajah Ki Anjir lewat
sudut ekor ma- tanya. "Ki...," terdengar agak tersekat suara Julak.
Ki Anjir berpaling sedikit, langsung menatap lakilaki di sebelahnya ini.
"Sebaiknya kita memang tidak perlu masuk ke desa
ini. Kita tunggu saja dia di sana," kata Julak memberi usul, sambil menunjuk ke
arah hutan. "Hm...," Ki Anjir hanya menggumam saja sedikit.
Sebentar orang tua itu memandangi Julak, kemudian beralih pada Ki Adong dan lima orang laki-laki tua yang masih berdiri
berjajar di belakang Ki Adong. Sementara, puluhan anak-anak muda masih tetap berada di belakang mereka. Semuanya sudah menggenggam senjata yang terhunus dari warangka.
"Ayo kita pergi, Julak," ujar Ki Anjir akhirnya.
Setelah berbasa-basi sebentar, Ki Anjir mengajak
Julak meninggalkan perbatasan Desa Granggang itu.
Sementara, Ki Adong dan yang lain masih tetap berada di sana memandangi
kepergian dua orang itu. Tampak
jelas sekali dari pandangan mata, kalau Ki Adong sebenarnya tidak ingin mencegah
Ki Anjir dan Julak masuk ke desa ini. Dia percaya, kedua orang itu bukanlah
pembunuh biadab yang sudah menggemparkan Desa
Granggang ini. Tapi, dia tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Apalagi,
menentang keputusan yang sudah
ditetapkan kepala desa.
"Kalian sebaiknya pulang saja. Biar aku yang menjaga di sini," ujar Ki Adong tanpa berpaling sedikit pun.
"Aku akan menggantikanmu nanti setelah gelap,
Ki," ujar seorang laki-laki tua di belakangnya yang membawa senjata berupa
tombak pendek. Ki Adong hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya, sehingga hampir tidak terlihat. Dan dia
masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun.
Tapi telinganya masih mendengar langkah- langkah
kaki di belakang yang semakin menjauh meninggalkannya. *** 3 Malam terus merambat, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Granggang. Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya jerit serangga malam saja yang
terdengar. Tapi keadaan di desa itu kelihatan terang-benderang, seperti tengah
mengadakan sebuah pesta.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Obor-obor terlihat menyala, terpancang di setiap sudut dan jalan-jalan di desa
itu. Bahkan tidak satu rumah pun yang tidak menyalakan pelita. Namun suasananya
begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Dan itu
pun tengah berjaga-jaga dengan senjata golok atau
tombak. Mereka semua adalah anak muda yang menjadi murid enam orang pemuka desa ini. Suasana desa yang tidak biasanya ini,
menjadi perhatian seorang la-ki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia
tampak berdiri tegak di atas bukit sebelah timur Desa Granggang.
Pakaian laki-laki itu terlihat bersih dan bagus. Dan tampaknya, terbuat dari
bahan sutera yang sangat halus berwarna putih keperakan. Tampak sebilah pedang
tergantung di pinggangnya yang ramping, namun sangat berotot dan padat berisi.
Sorot matanya terlihat sangat tajam, memandangi keadaan Desa Granggang
dari atas bukit ini. Memang, terlihat jelas sekali keadaan desa itu dari atas
bukit ini. "Hm.... Ada enam orang yang harus kuhadapi di sana. Tapi..., yang paling utama adalah kepala desanya.
Hmmm.... Dia bisa belakangan. Yang penting, pembantu-pembantunya dulu yang enam orang itu...," gumam
pemuda itu bicara pada diri sendiri.
Pandangannya tertuju lurus pada sebuah rumah
berukuran cukup besar. Berhalaman sangat luas, dan
dipagari belahan bambu. Rumah itu kelihatan terang
oleh cahaya pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut halaman. Terlihat
juga beberapa orang bersenjata golok tengah berjaga-jaga di sekitar halaman
rumah itu. "Ki Manik..., tunggulah. Aku akan datang malam ini," kembali pemuda itu
menggumam perlahan.
Beberapa saat dia masih berdiri tegak di atas bukit itu, dan sebentar kemudian
menghembuskan napas
berat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat turun da-ri puncak bukit yang tidak
seberapa tinggi itu. Sungguh cepat sekali gerakannya, sehingga dalam waktu
sekejapan mata saja sudah berada di kaki bukit ini.
Dan hanya tinggal beberapa batang tombak lagi jaraknya, gerbang perbatasan yang
dijaga sekitar enam
orang anak muda bersenjata tombak sudah terlihat.
Pemuda itu berhenti sebentar, memandangi enam
orang pemuda yang menjaga gerbang masuk ke Desa
Granggang dari sebelah timur ini. Kemudian....
"Hup!"
Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu meluncur bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga gerakannya bisa seperti angin. Bahkan kedua telapak
kakinya seperti tidak menjejak tanah sama sekali, seakan-akan berlari di atas
angin. "Hei, berhenti...!"
Baru saja pemuda tampan itu mendekati gerbang
perbatasan ini, sudah terdengar bentakan yang cukup keras dan mengejutkan.
Seketika gerakan larinya berhenti. Dan saat itu juga, terlihat enam orang anak
mu-da yang menjaga gerbang perbatasan desa ini berlari-lari kecil menghampiri.
Mereka baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan
pemuda berbaju putih keperakan ini.
"Siapa kau"! Mau apa kau malam-malam datang ke
sini..."!" tanya salah seorang dengan nada suara agak membentak.
"Hm...," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi enam orang di depannya yang
sudah mengarahkan tombak
dan langsung diarahkan ke dada. Tapi pemuda berwajah cukup tampan dan memiliki sorot mata sangat tajam ini hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, enam buah
ujung mata tombak begitu
dekat di dadanya.
"Heh! Ditanya malah mendelik...!" bentak pemuda
yang berada paling depan.
"Minggir! Aku tidak punya urusan dengan kalian!"
pemuda berbaju putih keperakan itu malah balik
membentak. "Heh..."!"
Enam orang pemuda itu jadi tersentak. Seketika
mereka berlompatan ke belakang sejauh tiga langkah, mendengar bentakan yang
begitu dingin dan datar sekali. Membuat jantung mereka seketika jadi bergetar.
"Minggir kataku! Jangan sampai kesabaranku hilang...!" bentak pemuda itu lagi, sedikit mengancam.
"Setan...! Berani kau kurang ajar di...!"
"Huh!"
Belum juga habis bentakan itu, pemuda berbaju putih keperakan ini sudah mendengus. Dan tiba-tiba saja dia melesat begitu cepat
sambil mencabut pedangnya.
Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan beberapa kali
ke arah enam orang pemuda itu. Begitu cepat gerakannya sehingga enam orang pemuda yang berjaga di
gerbang perbatasan ini hanya bisa terperangah saja.
Wuk! Bet! Tidak terdengar lagi suara sedikit pun juga. Dan ta-hu-tahu enam orang anak muda
berusia sekitar dua
puluh tahun itu sudah ambruk bergelimpangan, setelah kepalanya terbabat hampir terbelah menjadi dua
bagian. Seketika tanah tersiram darah yang mengucur deras dari kepala-kepala
yang terbelah itu.
Cring! "Huh!"
Sambil mendengus berat, pemuda berbaju putih
keperakan ini memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah tenang memasuki Desa Granggang, tanpa sedikit
pun berpaling ke arah enam orang korbannya yang
bergeletakan dengan kepala terbelah berhamburan darah. Ayunan kakinya begitu mantap dan tenang. Dan sorot matanya tidak berkedip sedikit pun juga, menatap lurus ke sebuah rumah
berukuran cukup besar berhalaman luas yang dipagari belahan bambu. Sejak dari
atas bukit tadi, perhatiannya memang tidak terlepas dari rumah yang kelihatan
terang- benderang oleh cahaya pelita dan obor ini.
Dia baru berhenti melangkah, setelah tiba di bagian samping halaman rumah yang
berpagar belahan bambu ini. Sebentar matanya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya. Pemuda itu berdiri tegak di balik sebatang pohon yang cukup
besar, sehingga melindungi
dirinya dari gemerlapnya cahaya api obor dan pelita.
Malam ini, langit pun kelihatan begitu cerah, berta-burkan bintang dan cahaya
bulan. Tapi sosok tubuh
pemuda itu terlindung bayang-bayang pohon. Beberapa saat dia masih berdiri tegak di sana merayapi keadaan sekitarnya. Dan
sebentar kemudian....
"Hup!"
*** Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pemuda itu. Sehingga hanya sekali lesatan saja, dia sudah bisa mencapai atap
rumah ini. Namun baru saja menjejakkan kakinya di atas atap dengan ringan, sudah
terdengar bentakan keras dari dalam rumah.
"Siapa itu..."!"
Pemuda berbaju putih keperakan itu jadi tersentak
kaget setengah mati. Padahal, tadi ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan
penuh. Bahkan sedikit
pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak atap tadi. Tapi, rupanya masih
saja ada yang mendengar.
Dan belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan mendadak saja....
"Heh..."!"
Brus! Brak! "Hup...!"
Cepat sekali pemuda berbaju putih keperakan itu
melenting, tepat ketika telinganya mendengar suara
hembusan angin yang begitu kencang dari bawah atap
ini. Dan pada saat itu juga, terlihat atap bangunan rumah besar itu hancur
berkeping-keping, berhamburan tinggi ke udara dan menyebar ke segala arah.
Sementara pemuda itu berputaran beberapa kali di
udara, lalu manis sekali menukik turun. Dan tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kembali sepasang kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat keluar dari atas atap.
Bayangan putih itu berputaran beberapa kali di udara. Lalu dengan gerakan cepat
dan indah sekali bayangan itu menukik turun, dan langsung mendarat manis sekitar
dua batang tombak dari
pemuda berbaju putih keperakan ini.
Ternyata bayangan yang baru keluar dari dalam
rumah dengan menjebol atap tadi seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh
tahun. Bajunya jubah
panjang berwarna putih. Dan dia adalah salah seorang Tetua Desa Granggang ini.
Dan semua orang menge-nalnya sebagai Ki Manik. Seutas cambuk berwarna hitam dan berbulu halus, tergenggam menggulung di
tangan kanannya.
"Siapa kau..."!" terdengar begitu dalam nada suara
Ki Manik. "Aku malaikat yang akan mencabut nyawamu!"
sambut pemuda itu. Jawabannya terdengar dingin sekali. "Heh..."!"
Ki Manik jadi terlonjak kaget. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai terlompat beberapa langkah ke belakang. Kedua bola matanya jadi berputaran, memandangi seluruh tubuh pemuda di depannya, seakanakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Bersiaplah menerima kematianmu, Ki Manik. Malaikat Pencabut Nyawa sudah datang menunaikan tugas," kata pemuda itu, masih dengan nada dingin sekali. "Phuih! Walaupun berganti nama seribu kali, aku
tahu kau yang sebenarnya, Randataka!" dengus Ki
Manik agak gusar.
"Bagus...! Aku senang masih ada yang bisa mengenaliku. Buatlah kematianmu senyaman mungkin, Ki
Manik. Malam ini juga, aku akan mencabut nyawamu."
Sret! Cring! Setelah berkata demikian, pemuda berbaju putih
keperakan yang dikenali Ki Manik bernama Randataka
langsung meloloskan pedangnya yang tergantung di
pinggang. Pedang bercahaya keperakan itu seketika
membuat kelopak mata Ki Manik jadi berkerut menyipit. "Sambutlah kematianmu sekarang, Ki Manik!
Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka melompat cepat mengebutkan pedangnya mengarah ke
leher. Begitu cepat sekali sabetan pedangnya, hingga membuat Ki Manik jadi
terperangah sesaat. Tapi cepat sekali kepalanya diegoskan, hingga tebasan pedang
pemuda itu hanya lewat sedikit saja di depan tenggorokannya.
"Hup!"
Ki Manik cepat-cepat melompat ke belakang, dan
langsung saja mengebutkan cambuknya ke depan, tepat di saat Randataka yang memperkenalkan diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa sudah melesat sambil
memutar pedangnya dengan kecepatan luar biasa.
Ctar! "Haiiit...!"
Bet! "Heh..."!"
Ki Manik jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Randataka malah
memapak kebutan cambuknya dengan pedang. Dan cepat-cepat cambuknya ditarik kembali. Tapi, gerakannya memang sudah terlambat. Dan.... Tes! "Ikh...!"
Ki Manik jadi terpekik kecil, begitu melihat cambuknya terpenggal tepat di tengah-tengahnya. Dan belum lagi hilang rasa
keterkejutannya, pemuda berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa itu sudah melesat
cepat. Dan saat itu juga pedangnya dikebutkan ke arah kepa-la laki-laki tua Tetua Desa
Granggang itu. "Hiyaaat...!"
"Hah..."!"
Ki Manik hanya bisa terperangah dengan kedua bola mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dan saat itu juga....
Cras! "Hegkh...!"
Hanya keluhan kecil saja yang terdengar, ketika batok kepala Ki Manik terbabat pedang tepat pada bagian tengah keningnya. Untuk
sesaat, orang tua itu masih bisa berdiri. Namun sebentar kemudian tubuhnya jadi
limbung, lalu ambruk menggelepar di tanah dengan
kepala terbelah menjadi dua bagian. Darah langsung
berhamburan membanjiri tanah yang sedikit berumput
ini. Ki Manik menggelepar beberapa saat, kemudian
diam mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya langsung melayang saat itu juga. Sementara,
Randataka tetap berdiri tegak memandangi.
"Huh!"
Sambil mendengus berat, Malaikat Pencabut Nyawa
melesat begitu cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya, hingga dalam
sekejap mata saja bayangan
tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Dan pada saat itu juga, murid-murid Ki
Manik berdatangan. Mereka
kontan jadi terperanjat setengah mati begitu melihat gurunya sudah tergeletak
tak bernyawa lagi dengan
kepala terbelah berlumur darah.
"Ki...!"
*** Seluruh penduduk Desa Granggang kembali digemparkan oleh kematian Ki Manik. Ki Langkas yang menjadi kepala desa juga jadi geram setengah mati. Belum lagi pembunuh itu bisa
dibekuk, kini salah seorang
pembantunya sudah tewas dengan kepala terbelah
menjadi dua bagian pada keningnya. Sungguh kematian yang sangat mengenaskan!
Dari beberapa orang murid, Ki Langkas tahu kalau
Ki Manik bertarung dengan seseorang semalam.
Sayangnya, tidak ada seorang pun dari murid-murid Ki Manik yang melihat jalannya
pertarungan. Mereka semua mengatakan kalau pertarungan berjalan cepat.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan begitu mereka sampai, Ki Manik sudah mengeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang yang bertarung dengannya sudah lenyap, entah ke mana.
Kegemparan yang terjadi di Desa Granggang dan
kematian Ki Manik yang begitu mengenaskan, sempat
juga didengar Ki Anjir dan Julak yang tetap berada tidak jauh dari batas Desa
Granggang ini. Mereka mengetahui semua itu dari seorang perambah hutan yang
tinggal di desa ini.
"Sepertinya ada yang dicarinya di desa ini, Ki," kata Julak setelah perambah
hutan itu tidak terlihat lagi, tenggelam ke dalam hutan yang cukup lebat
membata-si desa.
"Desa Granggang memang terkenal, karena banyak
melahirkan pendekar muda dan tangguh. Dan kau tahu, Julak. Mereka yang mencegat kita di perbatasan
desa adalah orang-orang tua yang berilmu sangat ting-gi. Dari tangan merekalah
banyak lahir pendekar tangguh yang kini tersebar hampir di seluruh jagat ini,"
jelas Ki Anjir memberi tahu.
"Tapi, apa maksudnya dia membantai di desa ini,
Ki?" tanya Julak lagi.
"Mungkin dia beranggapan, desa ini adalah sumber
dari para penegak keadilan. Dan kau tahu, Malaikat
Pencabut Nyawa ingin menumpas habis para pendekar. Sehingga mereka yang berjalan pada aliran hitam bisa bebas berbuat
semaunya," kembali Ki Anjir menjelaskan.
"Huh! Seperti hanya dia saja yang paling jago di dunia ini, Ki," terdengar agak
mendengus nada suara Julak.
"Tapi memang harus diakui, Malaikat Pencabut
Nyawa memiliki kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri rasanya belum tentu unggul
bila berhadapan dengannya," Ki Anjir mengakui tulus.
"Kalau merasa sudah tidak mampu, kenapa masih
saja mengejarnya, Ki?" tanya Julak.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Ditariknya napas
panjang-panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
Pandangannya jadi lurus ke depan. Begitu kosong cahaya matanya. Sementara, Julak hanya memandangi
saja dari sebelah kanan. Dia duduk di atas sebatang kayu yang sudah tumbang,
agak jauh dari Ki Anjir.
Orang tua itu duduk di atas rerumputan di bawah pohon beringin yang cukup besar dan lebat daunnya,
hingga melindungi dirinya dari sengatan sinar mataha-ri. Perlahan Ki Anjir
bangkit berdiri. Sementara, Julak masih tetap duduk memandangi orang tua itu.
Dia tidak mengerti, kenapa Ki Anjir begitu ingin bertemu
orang yang selama ini dikejar, yang selalu menjuluki diri sebagai Malaikat
Pencabut Nyawa. Dan setiap kali hal itu ditanyakan, Ki Anjir selalu tidak bisa
menjawab. Bahkan raut wajahnya kelihatan jadi begitu mendung, seperti ada
sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang mungkin berhubungan
dengan si Malaikat Pencabut Nyawa.
"Ayo kita ke Desa Granggang, Julak," ajak Ki Anjar.
"Untuk apa, Ki" Penduduk desa itu tidak mau menerima kita di sana. Malah, bisa-bisa kita yang ditu-duh," tolak Julak tegas.
"Aku akan menemui kepala desanya. Mudah- mudahan saja, dia mau mengerti. Lagi pula, tujuan kedatangan kita justru ingin
membantu mereka membebaskan diri dari cengkeraman si Malaikat Pencabut
Nyawa," kata Ki Anjir mencoba meyakinkan.
"Tapi, Ki...."
"Kau tidak mau ikut...?"
Julak jadi ragu-ragu juga. Sungguh mati, dia tidak
sudi ditinggal sendirian dalam hutan ini. Apa lagi dia tahu, Kamdan yang juga
teman seperjalanan ini sudah tewas di tangan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan
itu diketahui setelah mendapat keterangan dari beberapa penduduk Desa Granggang.
Makanya, dia tidak
ingin nasibnya sama seperti Kamdan.
Entah kenapa, selama berjalan bersama orang tua
itu, mereka sama sekali tidak pernah bertemu Malaikat Pencabut Nyawa yang telah
membantai puluhan orang.
Dan kebanyakan yang dibantainya adalah para pendekar-pendekar kondang dalam kalangan rimba persilatan. Tapi kali ini, Malaikat Pencabut Nyawa sudah
menjarah Desa Granggang. Bahkan sudah mencabut
beberapa nyawa penduduk di desa ini. Lalu, Kamdan
pun ikut jadi korban.
Sementara, Ki Anjir sudah melangkah meninggalkan tepian hutan ini. Dan Julak bergegas bangkit berdiri, lalu berjalan cepat
mengikuti. Sebentar saja, dia sudah berada di sebelah kanan orang tua itu.
Ayunan kakinya disejajarkan agar tidak tertinggal. Walaupun Ki Anjir usianya
jauh lebih tua, tapi tingkat kepandaian yang dimiliki memang jauh di atasnya.
Tidak he- ran kalau Julak sebentar-sebentar harus berlari kecil agar tidak tertinggal.
"Mereka pasti tidak mau menerima kita lagi, Ki," ka-ta Julak seperti
mengingatkan kejadian kemarin.
Mereka memang pernah datang ke desa itu kemarin, tapi telah lebih dulu dicegat dan tidak boleh masuk ke sana. Waktu itu, Ki
Anjir memang mengalah.
Dia tidak ingin terjadi keributan, walaupun di dalam hati merasa kecewa juga.
Tapi semua kekecewaan itu
ditelannya, dan berusaha untuk memahami keadaan
yang tengah terjadi di sana.
"Mudah-mudahan kali ini mereka mau mengerti,
Julak. Aku merasa kalau di desa ini kita bisa bertemu Malaikat Pencabut Nyawa,"
tegas Ki Anjir.
"Kalau memang tetap menolak, Ki...?" tanya Julak
ingin tahu. Ki Anjir tidak menjawab, dan terus melangkah tanpa membuka suara lagi. Sementara, Julak juga tidak
mendesak. Dan kini, mereka sudah tiba di perbatasan desa. Sungguh mengherankan,
tidak ada seorang pun
dijumpai di sini. Padahal mereka kemarin dicegat puluhan orang. Ki Anjir
menghentikan langkahnya. Keningnya seketika terlihat berkerut saat melihat seorang pemuda dan seorang gadis
tengah duduk di bawah pohon sambil menikmati makanan yang terbungkus
daun waru. Tidak jauh dari mereka duduk, terlihat
dua ekor kuda sedang merumput.
Dari pakaian dan senjata yang disandang, bisa dipastikan kalau mereka dari kalangan rimba persilatan.
Dan kehadiran Ki Anjar dan Julak, membuat kedua
anak muda itu menghentikan makannya. Bahkan yang
pemuda segera bangkit berdiri, setelah membersihkan tangannya dari air di dalam
kendi tanah liat. Kemudian, kakinya melangkah tenang menghampiri. Sedangkan gadis yang tadi makan bersamanya, segera
membereskan bekas-bekas mereka.
"Kenapa kalian makan di sini?" Ki Anjir langsung
saja bertanya, begitu pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu sudah berada dekat di depannya.
Pemuda itu menjura dengan membungkuk sedikit,
memberi salam penghormatan. Ki Anjir segera membalas dengan membungkukkan tubuhnya juga. Tampak
sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul dari punggungnya, saat pemuda itu menjura
tadi. "Sebenarnya kami ingin makan di kedai. Tapi, beberapa orang mencegat dan melarang kami masuk ke desa itu," sahut pemuda itu lembut, sambil menunjuk ke arah Desa Granggang yang
sudah terlihat "Dan makanan itu, dari mana kalian dapatkan?"
tanya Ki Anjir lagi.
"Pemilik kedai yang mengantarkannya, setelah aku
mengatakan hanya ingin singgah sebentar dan mencari kedai."
Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala sebentar.
"Kau bukan orang sini?" tanya orang tua itu lagi.
"Benar. Kami berdua pengembara yang kebetulan
saja lewat."
"Hm...."
"Ada apa, Ki?" tanya pemuda itu.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Dipandanginya
pemuda di depannya ini dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Sementara, gadis yang bersama pemuda
itu sudah berdiri disebelah kanannya. Ki Anjir juga memandangi gadis berwajah
cantik berbaju biru muda
itu. Tampak di balik ikat pinggangnya terselip sebuah kipas yang terbuat dari
baja putih keperakan. Dan di punggungnya juga tersandang sebilah pedang bergagang kepala seekor naga berwarna hitam berkilatan.
"Siapa nama kalian...?" tanya Ki Anjir.
"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi."
Kembali Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala.
Dia juga kemudian memperkenalkan diri, dan memperkenalkan Julak yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu, tidak jauh di
dalam desa, terlihat beberapa anak muda terus mengamati mereka berempat. Dan
di antara anak-anak muda yang jumlahnya sekitar dua puluh orang itu, terlihat Ki
Adong bersama Ki Langkas.
Kedua orang itu seperti tengah berbincang-bincang.
Tapi, perhatian mereka terus tertuju pada keempat
orang yang berada di pinggiran desa itu.
*** 4 Pemuda berbaju rompi putih .yang memang Rangga
dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti,
mengajak Ki Anjir dan Julak untuk duduk di bawah
pohon beringin yang cukup rindang. Sehingga, mereka terlindung dari sengatan
cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Mereka duduk membentuk setengah
lingkaran. Sementara Pandan Wangi yang di kalangan
rimba persilatan dikenal berjuluk si Kipas Maut, menyediakan arak manis dari
sebuah bumbung bambu
yang didapat dari pemilik kedai di Desa Granggang.
Mereka bukannya tidak tahu kalau terus-menerus
diawasi dari desa. Tapi, Ki Anjir sudah mengatakan
agar tidak mempedulikan. Dan ini membuat kening
Rangga jadi berkerut. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak mengerti sikap
semua orang di Desa
Granggang ini. Tadi, dia dicegat dan tidak diizinkan masuk ke dalam desa itu.
Dan sekarang, Ki Anjir me-mintanya agar tidak mempedulikan mereka yang tengah mengawasi. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi di desa itu,
Ki?" tanya Pandan Wangi seraya melirik ke arah Desa Granggang.
"Pembunuhan...," sahut Ki Anjir pelan, terdengar
seperti terputus suaranya.
"Pembunuhan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut. "Malaikat Pencabut Nyawa merajalela. Sudah puluhan orang yang dibunuh. Dan kebanyakan dari korbannya adalah pendekar," selak Julak cepat, sebelum Ki Anjir bisa membuka
suaranya. Sementara Pandan Wangi menatap Rangga yang sejak tadi diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti
itu. Keningnya kelihatan sedikit berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu.
Sementara, Ki Anjir jadi terdiam membisu. Wajahnya
lalu berpaling ke arah Desa Granggang. Dan pandangannya jadi terpaku saat melihat seorang laki-laki berusia sebaya dengannya
berjalan menghampiri. Sementara, beberapa orang terlihat mengawasi dari ke-jauhan.
Rangga juga mengangkat kepala begitu telinganya
yang tajam mendengar ayunan langkah kaki menuju
ke arah pohon ini. Pandangan Pandan Wangi juga terarah pada laki-laki tua
berjubah putih yang membawa
tongkat berkepala ular di tangan kanannya. Dialah Ki Langkas, Kepala Desa
Granggang ini. Mereka segera berdiri, begitu Ki Langkas sudah dekat, dan berhenti melangkah setelah jaraknya sekitar satu batang tombak lagi.
Kepala desa itu membungkukkan tubuhnya sedikit, dan langsung disambut
dengan bungkukan tubuh pula.
"Maaf. Apakah kehadiran kami di sini mengganggu,
Ki?" tanya Ki Anjir membuka suara lebih dahulu
"Sebenarnya, tidak. Itu kalau mau berterus-terang,
siapa kalian sebenarnya. Dan apa tujuan datang ke si-ni," sambut Ki Langkas
ramah. "Namaku Ki Anjir. Dan mereka adalah teman- temanku. Kami para pengembara yang kebetulan lewat
di sini," sahut Ki Anjir langsung memperkenalkan diri, yang disusul orang-orang
di sebelahnya. Sementara, Ki Langkas mengangguk-anggukkan
kepala setelah mengetahui nama-nama mereka semua.
Sekilas matanya melirik Pandan Wangi. Di dalam hatinya, mungkin Pandan Wangi seumur dengan anak
gadisnya. Tapi hatinya mengaku kalau Pandan Wangi
berkulit lebih putih dan berwajah lebih cantik, seperti bidadari turun dari
kayangan. "Lalu, tujuan kalian datang ke sini?" tanya Ki Langkas lagi.
"Terus-terang, Ki. Aku sampai datang ke sini, karena mengejar seseorang yang mungkin saja telah membuat keonaran di desa ini," sahut Ki Anjir berterus-terang.
"Maksudmu...?" Ki Langkas meminta penjelasan.
Sebentar Ki Anjir menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga
dan Pandan Wangi hanya diam saja, karena sebenarnya memang hanya kebetulan saja berada di tempat
ini. Sedangkan Ki Anjir dan Julak punya tujuan tertentu, hingga tiba di Desa
Granggang ini. "Begini, Ki...," terputus suara Ki Anjir.
"Langkas ... Namaku Langkas, kepala desa di sini,"
Ki Langkas cepat-cepat memperkenalkan diri.
Memang sejak tadi dia belum memperkenalkan siapa dirinya. Dan dirinya baru diperkenalkan setelah
mendengar nada suara Ki Anjir yang terputus.
"Aku dan Julak sebenarnya datang dari jauh. Dan
kedatanganku ke desa ini, sebenarnya tidak sengaja.
Dan lagi, semula sebenarnya kami bertiga. Tapi yang seorang lebih dulu putus asa
dan memutuskan untuk
pulang. Lalu...," Ki Anjir tidak melanjutkan.
"Teman kami tewas beberapa hari lalu, tidak jauh
dari desa ini, Ki," selak Julak.
"Oh..."!" Ki Langkas tampak terkejut 'Temanmu
yang mana...?"
"Seusiaku, Ki. Dia tewas dengan...," sahut Julak
terputus. "Ya..., ya aku tahu," kata Ki Langkas seraya menganggukkan kepala. "Jadi, itu teman kalian...?"
"Benar, Ki," sahut Ki Anjir.


Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Lalu, kau datang ke sini hendak mencari
pembunuhnya?" tanya Ki Langkas lagi.
"Sudah lama kami mengejarnya, Ki. Bahkan sudah
lebih dari dua purnama kami mengembara mengejarnya, hingga sampai ke desa ini," sahut Ki Anjir menjelaskan lagi.
"Ahhh.... Kenapa tidak kau katakan saja sejak kemarin...?" desah Ki Langkas seperti menyesali.
"Sebenarnya aku ingin menjelaskan, Ki. Tapi...,"
kembali Ki Anjir terputus kata-katanya. Dan matanya diarahkan ke gerbang Desa
Granggang. "Sudahlah..., maafkan atas sikap mereka," ujar Ki
Langkas, seperti mengerti arti tatapan Ki Anjir.
Ki Anjir hanya tersenyum saja seraya menganggukkan kepala sedikit. Saat itu, Ki Langkas menatap
Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam
saja mendengarkan semua pembicaraan ini.
"Kalau kalian berdua, Anak Muda...?" tanya Ki
Langkas. "Aku lihat, kalian datang terpisah. Apakah kalian juga bertujuan sama
dengan Ki Anjir?"
"Tidak, Ki," sahut Rangga cepat. "Sebenarnya kami
hanya sekadar lewat saja. Dan tujuan kami juga tidak menentu."
"Hm..., kalian pendekar pengembara?" tanya Ki Anjir agak menggumam nada suaranya. Dan jelas sekali
kalau nada pertanyaan tengah menyelidik.
"Kami memang pendekar pengembara, Ki," selak
Pandan Wangi menyahuti. "Dan kami bukan orang jahat. Justru kamilah yang selalu memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan."
Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali mendengar penjelasan Pandan Wangi. Kemudian kembali ditatapnya Ki Anjir dan Julak yang berdiri agak terpisah dari
Rangga dan Pandan Wangi. Beberapa saat mereka terdiam, seakan- akan tengah menunggu apa yang akan diucapkan kepala desa itu.
"Mari! Kalian kuundang ke rumahku," ajak Ki
Langkas semakin ramah.
"Terima kasih, Ki," ucap Ki Anjir menyambut gembira. "Silakan...."
Ki Langkas merentangkan tangannya, mempersilakan Ki Anjir berjalan lebih dulu. Setelah menganggukkan kepala sedikit pada
kepala desa itu, Ki Anjir melangkah yang kemudian diikuti Julak. Sementara
Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Ki Langkas yang sudah melangkah beberapa tindak, jadi berhenti dan berbalik memandang dua pendekar muda
itu. "Kenapa kalian diam saja..." Ayo! Aku juga men-gundang kalian berdua," kata
Ki Langkas. "Terima kasih, Ki. Aku...," Rangga Ingin menolak.
Tapi Pandan Wangi sudah menyikut pinggang Pendekar Rajawali Sakti, hingga langsung terdiam.
"Ayolah.... Kalian tentu bisa memaklumi sikap kami
semua tadi," desak Ki Langkas.
Rangga mengangkat bahu sedikit, kemudian menghampiri kudanya. Diambilnya tali kekang dua ekor ku-da itu, dan dituntunnya.
Yang satu kemudian diserahkan Pandan Wangi. Mereka kemudian berjalan mengikuti Ki Langkas yang berjalan di sebelah kanan Ki Anjir. Sementara, Julak berada
di belakang kedua orang tua itu.
*** Sikap Ki Langkas yang langsung berubah memang
bisa dimengerti. Saat ini, dia memang membutuhkan
orang-orang berkepandaian tinggi untuk menghadapi
pembunuh gelap yang telah menewaskan salah seorang pembantunya. Terlebih lagi, setelah kepala desa itu tahu maksud kedatangan
Ki Anjir yang secara jujur dan terus-terang diutarakannya. Dia berharap Ki Anjir
dan yang lain bisa menghadapi pembunuh gelap yang
sekarang sudah diketahui namanya, walaupun hanya
berupa julukannya saja. Tapi itu juga sudah membuat bergetar hati siapa saja
yang mendengarnya. Malaikat Pencabut Nyawa....
Seperti pada malam-malam sebelumnya, Desa
Granggang terbias oleh cahaya lampu pelita dan obor yang terpancang di setiap
sudut dan jalan. Bahkan su-sananya juga tidak kelihatan sunyi. Beberapa orang
laki-laki terlihat menggerombol di tempat-tempat yang dijadikan pos penjagaan.
Di dalam sebuah kamar di rumah Ki Langkas, terlihat Rangga berdiri mematung di depan jendela. Ki
Langkas memang menyediakan kamar untuk mereka
yang dianggap sebagai tamunya. Rumah kepala desa
itu memang sangat besar, dan memiliki banyak kamar
yang tidak terisi. Sehingga, mereka yang diundang bisa menempatinya.
Entah sudah berapa lama Rangga berdiri mematung
di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Pandangannya lurus ke depan, seakan-akan tengah mengamati beberapa orang yang menggerombol tidak jauh
di depan halaman rumah kepala desa ini. Namun, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak memandang
ke sana. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya.
Bahkan sepertinya tidak bernapas, tanpa terlihat
adanya gerakan pada dadanya.
"Hhh...!"
Terdengar berat sekali hembusan nafasnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik. Tapi belum juga berbalik, mendadak saja....
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja
sekilas terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat melintasi jalan di
depannya. "Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dari jendela kamar ini. Begitu sempurna sekali ilmu
meringankan tubuh yang dikuasai, sehingga bentuk tubuhnya lenyap. Dan hanya
bayangan putih saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dalam
sekejapan mata saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada jauh dari rumah kepala
desa. Dan larinya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berukuran cukup
besar berhalaman luas.
Sekilas matanya masih melihat bayangan yang tadi
sempat membuatnya terkejut menghilang di sekitar
rumah ini. Dia tahu, rumah itu adalah rumah Ki Rampat, salah seorang pemuka desa yang membantu Ki
Langkas memimpin penduduk Desa Granggang ini.
"Hmmm...."
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya memasuki
halaman rumah itu. Agak heran juga dia, karena rumah ini kelihatan sunyi dan tidak ada dijaga oleh seorang pun. Sedangkan yang
diketahuinya, setiap rumah tetua desa memiliki penjaga yang terdiri dari muridmurid mereka. Tapi rasa heran di hati Pendekar Rajawali Sakti tidak berlangsung
lama, begitu melihat sesosok tubuh tergeletak di beranda depan rumah. Bergegas dihampirinya sosok tubuh itu.
"Eh..."!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak, begitu melihat sosok tubuh itu ternyata
sudah tidak bernyawa la-gi. Dan dari kepalanya yang terbelah, mengucurkan
darah segar yang masih hangat. Ini berarti orang itu belum lagi lama tewas. Saat
Rangga baru saja hendak menjamah tubuh itu, tiba-tiba saja....
"Tolooong...!"
"Heh..."! Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu mendengar teriakan dari dalam rumah. Pintu yang tertutup rapat, seketika
ambruk diterjangnya. Rangga langsung melesat masuk ke dalam. Tapi baru saja
menjejakkan kakinya di ruangan depan yang cukup
luas ini, mendadak saja terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat
sekali ke arahnya.
"Hup...!"
Hampir saja bayangan putih itu menerjang, kalau
saja Rangga tidak cepat-cepat berkelit ke samping. Dan
seketika itu juga seluruh tenaganya dikempos.
Slap! Bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih yang
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar, mengejar
bayangan putih itu.
"Berhenti...!" sentak Rangga dengan suara keras
menggelegar, karena disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
Bayangan putih itu langsung berhenti berkelebat
Dan secepat itu pula tubuhnya berputar. Dan....
"Hih!"
Wusss...!"
"Heh..."! Hup!"
Cepat Rangga melenting ke udara, ketika tiba-tiba
saja melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan ke arahnya. Dan benda
yang meluruk deras itu
hanya lewat di bawah kaki Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera meluruk deras ke arah orang berbaju serba putih
keperakan yang berdiri tegak di halaman depan rumah Ki Rampat.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah,
tepat sekitar satu setengah tombak di depan sosok tubuh yang dikejarnya tadi.
Dan ternyata dia seorang
pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun. Bajunya
warna putih keperakan, dengan wajah cukup tampan.
Tapi, sorot matanya sangat tajam menusuk. Dan guratan-guratan wajahnya mencerminkan guratan kekerasan serta kekejaman. Agak terkesiap juga Rangga begi-tu menatap sorot mata yang
begitu tajam menusuk.
"Siapa kau..."!" agak mendesis suara Rangga.
"Aku Malaikat Pencabut Nyawa," sahut pemuda itu
dingin sekali nada suaranya.
"O.... Jadi, kau yang selama ini membuat kekacauan di sini...?" desis Rangga jadi dingin.
"Kau sudah tahu maka menyingkirlah sebelum kubelah kepalamu!" dengus Malaikat Pencabut Nyawa tetap dingin nada suaranya.
"Justru akulah yang menginginkan agar kau pergi
dari desa ini. Atau, kau akan menghadapi pengadilan dari perbuatan-perbuatanmu!"
sambut Rangga tidak
kalah dinginnya.
"Keparat..! Berani kau menantangku, heh...!" geram
Malaikat Pencabut Nyawa.
Sret! Cring! Langsung saja Malaikat Pencabut Nyawa mencabut
pedangnya yang memancarkan cahaya putih keperakan. Rangga sempat kagum juga melihat pamor pedang yang dahsyat itu. Dan kedua tangannya sudah
terkepal, siap menghadapi serangan pemuda yang
mengaku berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.
"Sebut nama leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" desis Malaikat Pencabut Nyawa.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
"Hap! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa langsung melompat menerjang bagai kilat. Pedangnya dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah kepala
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepalanya,
Rangga bisa menghindari tebasan pedang itu. Tapi dia agak terkejut juga, karena
angin tebasan pedang itu memancarkan hawa panas yang sangat menyengat.
Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat
ke belakang beberapa langkah.
"Hih! Yeaaah...!"
Tapi pemuda berbaju putih keperakan yang menjuluki diri sebagai Malaikat Pencabut Nyawa, tidak berhenti sampai di situ saja.
Belum lagi Rangga bisa me-negakkan tubuhnya, pemuda itu sudah kembali menyerang. Beberapa kali pedangnya dikebutkan, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, hingga menimbulkan
desir angin menderu menggetarkan jantung. Tapi,
Rangga bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng.
Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib',
tidak satu serangan pun yang berhasil menyambar tubuhnya. "Phuih!"
Malaikat Pencabut Nyawa jadi geram melihat semua
serangannya kali ini bisa dihindari. Bahkan terasa sulit sekali untuk mendesak
lawan. Gerakan-gerakan
menghindar yang dilakukan Rangga juga sungguh
aneh baginya. Memang, Pendekar Rajawali Sakti seper-ti orang kebanyakan minum
arak. Gerakan- gerakannya tidak beraturan sama sekali. Bahkan terkadang tubuhnya begitu miring, sampai hampir jatuh.
Tapi tetap saja tidak mudah bagi Malaikat Pencabut
Nyawa membabatkan pedangnya.
Setiap kali pedangnya hampir menebas bagian tubuh lawan, manis sekali Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit. Dan ini membuat
Malaikat Pencabut Nyawa
jadi semakin bertambah berang. Dia merasa kalau sedang dipermainkan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hup!"
Malaikat Pencabut Nyawa melompat ke belakang
menghentikan pertarungan. Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada disertai senyuman
tipis tersungging di bibir.
"Setan keparat! Siapa kau, heh..."!" bentak Malaikat Pencabut Nyawa jadi ingin
tahu. Selama ini, Malaikat Pencabut Nyawa dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya. Padahal ratarata lawannya memiliki kepandaian tinggi dan sudah
Nagari Batas Ajal 3 Bende Mataram Karya Herman Pratikto Kitab Mudjidjad 3

Cari Blog Ini