Ceritasilat Novel Online

Pembunuh Berdarah Dingin 1

Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Bagian 1


PEMBUNUH BERDARAH DINGIN Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Pembunuh Berdarah Dingin
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Bulan memancar penuh menerangi mayapada dengan cahayanya yang keemasan. Langit kelihatan begitu cerah, bertaburkan ribuan
bintang gemerlap. Malam
yang begitu indah, sayang sekali kalau tidak dinikmati.
Di antara yang menikmatinya adalah sepasang insan
duduk yang tengah bersandar saling merapat di bawah
pohon rindang, tidak jauh dari tepian sungai yang
mengalir bagai membelah Desa Paranggada.
Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sana.
Di tengah kebisuan sambil memandangi indahnya bulan yang bersinar penuh malam ini. Mereka duduk begitu rapat, hingga tidak ada jarak yang membatasi sedikit pun.
"Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau
pikirkan...?" tanya gadis yang berada di dalam pelukan seorang pemuda, memecah
kebisuan. Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit, sehingga
bisa menatap langsung ke wajah tampan kekasihnya.
Sementara yang dipandangi hanya diam saja, menatap
lurus ke arah bulan yang menggantung indah di langit.
Perlahan kepala pemuda itu menoleh, hingga tatapan
mata mereka bertemu begitu dekat. Bahkan hembusan
napas mereka sampai terasa hangat menerpa kulit wajah. "Lestari...," terdengar begitu pelan suara pemuda
ini. "Hm...," gadis yang dipanggil Lestari hanya menggumam saja.
Dia terus memandangi wajah pemuda kekasihnya
ini. Sedangkan yang dipandangi malah menengadah ke
atas, menatap bulan yang tetap menggantung di langit
bening bertaburkan ribuan bintang.
"Aku hanya mendengar. Entah benar, atau tidak...,"
terdengar terputus suara pemuda itu.
"Apa yang kau dengar, Kakang Balika?" tanya Lestari terus memandangi dengan sinar mata berbinar penuh cinta. "Katanya, kau akan...," kembali pemuda yang dipanggil Balika tidak meneruskan kata-katanya.
Pemuda itu berpaling. Ditatapnya gadis itu dengan
sinar mata sulit diartikan. Sementara Lestari sama sekali tidak mengalihkan
pandangannya, sehingga tatapan mata mereka kembali bertemu. Entah, untuk yang
ke berapa kali.
"Aku kenapa, Kakang?" tanya Lestari masih belum
bisa mengerti. "Hhh...!"
Balika menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Terasa begitu berat tarikan nafasnya. Dengan lembut dan perlahan sekali pelukannya dilepaskan, lalu bangkit berdiri. Kini Balika bersandar pada batang pohon
yang cukup besar ini. Sementara, Lestari masih tetap duduk di bawah pohon
itu sambil memandangi tanpa berkedip sedikit pun.
Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau Lestari tidak mengerti apa yang baru saja
dikatakan pemuda itu.
Kata-kata yang terputus dan tidak pernah terselesaikan. Sementara, Balika terus
terdiam membisu sambil
menatap lurus ke depan. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Hanya kegelapan berselimut cahaya bulan saja, yang ada di
sepanjang tatapan matanya.
"Kau ingin mengatakan apa, Kakang" Katakan saja.
Jangan ragu," desak Lestari sambil bangkit berdiri.
Gadis itu langsung saja melingkarkan tangannya ke
pinggang Balika itu, dan merebahkan kepalanya di bahu. Sementara Balika masih tetap diam membisu. Kemudian tangannya dilingkarkan ke pundak ramping
gadis ini. Kembali mereka terdiam membisu beberapa
saat. Terdengar tarikan napas Balika yang terasa begi-tu berat.
"Lestari, kau tidak marah kalau aku mengatakannya...?" terdengar ragu-ragu nada suara Balika.
"Katakan saja, Kakang. Mengapa harus marah...?"
sambut Lestari seraya memberikan senyum manis sekali. "Terus terang, beberapa hari ini aku selalu gelisah,"
kata Balika, mulai terus terang.
"Kenapa?" tanya Lestari ingin tahu.
"Yaaah.... Aku gelisah memikirkanmu, Lestari."
"Aku...?"
"Beberapa hari ini, aku mendengar berita-berita
yang tidak enak mengenai dirimu."
"Berita apa, Kakang?"
"Kau tidak merasa, Lestari?" Balika balik bertanya.
"Berita apa...?" desak Lestari lagi.
"Hhh...!" lagi-lagi Balika menghembuskan napas berat. Sementara, Lestari terus sabar menunggu. Sikapnya terlihat begitu tenang, seakan tidak terjadi sesuatu. Padahal, sikap
kekasihnya terlihat begitu gundah, seperti ada sesuatu yang sedang dipendamnya
dalam-dalam di hati.
*** Malam terus merayap semakin larut. Sementara,
dua anak manusia itu masih tetap berdiri berpelukan
di bawah pohon. Padahal, keadaan sekitarnya kelihatan begitu sunyi. Tidak terlihat orang lain lagi di pinggiran Desa Paranggada
ini. Begitu sunyi, hanya gerit
binatang malam saja yang terdengar. Sedangkan angin
yang bertiup pun semakin terasa dingin, seperti akan membekukan tulang. Tapi dua
orang itu seperti tidak
peduli dengan dinginnya udara malam.
"Lestari...," terdengar begitu pelan suara Balika.
"Hmmm...," Lestari hanya menggumam kecil.
"Benar apa yang aku dengar kalau kau akan...,"
kembali kata-kata Balika terputus.
Kelihatan begitu berat Balika mengatakannya. Sedangkan Lestari masih tetap sabar menunggu, tidak
ingin lagi mendesak kekasihnya.
"Kau..., kau akan dinikahkan, Lestari...?"
Terdengar begitu pelan suara Balika. Bahkan suaranya seperti tenggelam dalam tenggorokannya sendiri.
Sementara Lestari yang mendengar kata-kata bernada
berat itu jadi melepaskan pelukannya. Kakinya digeser dua langkah ke belakang,
dan berbalik menghadap
pemuda ini. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu
dalam-dalam. Tapi sebentar kemudian....
"Ha ha ha...!"
"Eh..."!"
Balika jadi tersentak, begitu tiba-tiba saja Lestari tertawa terbahak-bahak,
seakan ada yang lucu pada
dirinya. Pemuda itu jadi keheranan sendiri, kenapa ti-ba-tiba saja Lestari jadi
tertawa setelah apa yang selama beberapa hari ini selalu terpendam di dalam dadanya diutarakan.
"Kenapa kau tertawa, Lestari...?" suara Balika terdengar agak tersedak.
Lestari terus saja tertawa terpingkal-pingkal, sampai memegangi perutnya sendiri. Dan Balika jadi semakin keheranan tidak mengerti. Namun tidak berapa
lama kemudian, tawa gadis itu terhenti. Sementara
tangannya terus memegangi perut yang mendadak saja
jadi terasa sakit.
"Kau sama saja seperti yang lain, Kakang. Mudah
percaya dan terpengaruh pada kabar burung. Jadi,
percaya kalau kabar itu benar...?" kata Lestari dengan senyum lebar mengembang
di bibirnya. "Semua orang di desa sudah tahu, Lestari. Bagaimana mungkin aku tidak mempercayainya..." Sedangkan yang kudengar, kau akan dinikahkan oleh anak
Juragan Merta," Kata Balika bernada seperti ingin ke-tegasan.
"Edan...! Siapa yang mengatakan begitu..?" Lestari
jadi sewot sendiri.
"Semua orang sudah membicarakan hari pernikahanmu, Lestari. Dan anak Juragan Marta sendiri sudah mengumbar suara, kalau sebentar lagi bakal
mempersunting dirimu. Aku dengar sendiri, Lestari.
Jelas, ini bukan kabar burung lagi."
"Huh!" dengus Lestari kesal.
Wajah Lestari yang tadi begitu cerah, kini jadi kelihatan kusut menahan kesal.
Sebenarnya, kabar seperti itu memang sudah didengarnya. Memang tidak aneh
lagi, karena dia putri satu-satunya Kepala Desa Paranggada. Sedangkan Juragan Marta adalah orang terkaya dan terpandang di desa itu. Jadi, sudah barang
tentu kabar seperti itu akan cepat sekali tersebar luas.
Tapi Lestari jadi heran sendiri, kenapa Balika jadi terpancing oleh berita
itu..." Padahal mereka sudah
lama sekali menjalin hubungan. Malah, semua orang
di Desa Peranggada juga sudah mengetahui hubungan
mereka. Walaupun Balika bukan anak orang kaya, tapi
kedua orangtuanya juga tidak bisa dikatakan miskin.
Dan memang diakui, harta kekayaan yang dimiliki
orangtuanya masih kalah kalau dibanding Juragan
Marta. Tapi, sebenarnya bukan harta kekayaan yang diinginkan Lestari. Yang jelas, dia begitu mencintai pemu-da ini. Hanya sayangnya,
hubungan mereka tidak disetujui kedua orangtua masing-masing. Entah kenapa"
Tidak ada seorang pun yang tahu alasannya. Dan hubungan mereka mendapatkan tantangan sangat berat,
tapi tidak pernah dihiraukan. Hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah mereka masih tetap bisa bertemu
dan memadu kasih. Seperti halnya malam ini. Walaupun sudah begitu larut, mereka belum juga beranjak
pulang, seperti tiada lagi malam berikutnya.
"Kau mulai ragu akan cintaku, Kakang...?" ujar Lestari jadi bersungguh-sungguh.
"Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku, Lestari,"
tegas Balika menatap.
"Nah! Kenapa percaya pada kabar kosong seperti
itu...?" "Aku tidak tahu, Lestari. Sepertinya, itu bukan
hanya kabar kosong belaka. Aku...."
"Ah, sudahlah.... Jangan pikirkan itu lagi, Kakang.
Yang penting sekarang, kita harus hadapi bersama. Ki-ta tidak bisa seperti ini
terus-menerus. Apa pun yang akan terjadi, aku tetap berada di sampingmu.
Percayalah, cintaku tidak akan terbagi untuk orang lain."
Balika jadi terdiam. Dipandanginya bola mata gadis
itu dalam-dalam. Seakan ingin mencari kesungguhan
dari kata-kata yang baru saja didengarnya. Dan Lestari sendiri membalas tatapan
mata pemuda itu dengan sinar mata penuh cinta.
Perlahan Balika melangkah menghampiri, hingga
tubuh mereka begitu dekat. Tangan pemuda itu langsung melingkar di pinggang ramping ini. Sementara
Lestari membiarkan saja pinggangnya dipeluk erat.
Bahkan malah membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan pemuda ini.
"Lestari...."
"Kakang...."
Tatapan mata mereka kini terpaut begitu dekat.
Dan perlahan namun pasti, kepala Balika bergerak
semakin dekat. Malah dengus nafasnya seakan terasa
hendak membakar kulit wajah yang putih halus ini.
Perlahan-lahan Lestari memejamkan matanya saat merasakan bibirnya tersentuh lembut oleh bibir pemuda
itu. "Ahhh...."
Lestari mendesah lirih. Seluruh tubuhnya jadi bergetar saat Balika melumat bibirnya dengan dalam dan
lembut sekali. Tubuh mereka menyatu rapat, seakan
tidak ingin dilepaskan lagi. Balika terus memagut dan mengulum bibir yang selalu
merah menantang. Sementara Lestari hanya bisa mendesah lirih, menikmati kehangatan dari pagutan pemuda yang dicintainya.
"Ah, Kakang...," desah Lestari begitu Balika melepaskan pagutan di bibirnya.
Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di
dalam dada bidang kekasihnya. Entah kenapa, walaupun bukan sekali ini Balika melumat bibirnya, tapi sikap Lestari selalu saja
seperti gadis yang baru pertama kali disentuh laki-laki. Wajahnya jadi memerah,
dan seluruh tubuhnya bergetar bagai menggigil kedinginan.
Padahal, dalam pelukan Balika terasa begitu hangat,
membuat dengus napas pemuda itu jadi memburu cepat. "Ahhh...."
Lestari jadi menggelinjang begitu jari-jari tangan Balika mulai merayap
menjelajahi tubuhnya. Matanya
pun segera dipejamkan. Sesaat kepalanya jadi terdongak saat jari-jemari tangan Balika mulai menyentuh
lembut dadanya yang membusung, terbungkus baju
merah muda yang halus dan agak tipis.
"Kakang...," desah Lestari lirih.
*** Entah kenapa, sedikit pun Lestari tidak menolak
saat Balika membaringkannya di atas rerumputan
yang mulai basah tersiram embun ini. Dan malam pun


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun
yang melihat. Hanya bulan dan bintang saja yang berkerut menyaksikan apa yang terjadi di bawahnya.
Lestari tersentak bangun dari tidurnya, saat seluruh tubuhnya terasa tersiram cahaya hangat matahari
yang sudah naik tinggi. Tapi, bukan itu yang membuatnya langsung terlonjak bangkit dari pembaringan.
Ternyata suara ribu-ribut dari luar rumahnya, membuat gadis itu bergegas bangkit dari pembaringan dan langsung berlari keluar
dari dalam kamarnya.
Setengah berlari, Lestari langsung menerobos ke
ruangan depan rumahnya yang berukuran cukup luas
ini. Tapi baru saja hendak menerobos pintu depan, sebuah tangan halus namun
sudah agak berkeriput, cepat mencekal tangannya. Seketika ayunan langkah kakinya berhenti. Begitu kepalanya berpaling, tahu-tahu di sampingnya sudah
berdiri seorang wanita berusia
lebih dari separo baya.
"Ibu. Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya Lestari.
"Kau jangan keluar, Lestari," cegah wanita tua itu,
tanpa menghiraukan pertanyaan anaknya.
"Iya, tapi ada apa...?" desak Lestari.
Tapi wanita tua itu tidak menjawab, sehingga membuat Lestari jadi penasaran. Dengan sekali sentak saja, cekalan tangan ibunya
terlepas. Dan gadis itu cepat-cepat menerobos pintu keluar. Tapi baru saja
kakinya berada selangkah di ambang pintu, mendadak kedua
bola matanya jadi terbeliak lebar. Dan....
"Kakang...!"
Seluruh tubuh Lestari jadi bergetar, seakan- akan
bumi yang dipijaknya terasa runtuh seketika itu juga.
Hampir-hampir tidak dipercayai, apa yang dilihatnya
ini. Memang begitu banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Tapi, bukan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan sesosok tubuh pemuda yang
menggeletak di ujung tangga beranda rumah ini. Tubuhnya terkapar di atas sebuah tandu dari bambu.
Dan di samping sosok pemuda yang tergolek itu
berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu tampak
tergenggam di tangan kanannya.
Wajahnya kelihatan memerah, dan matanya berapi-api
memancar bagai menahan kemarahan yang amat sangat. Sementara di beranda depan rumah ini, berdiri Ki Rapala. Dialah Kepala Desa
Paranggada ini, yang didampingi tidak kurang sepuluh orang pemuda yang
semuanya menyandang golok terselip di pinggang.
"Kakang...!"
Lestari berseru nyaring sambil berlari, hendak
menghambur ke arah pemuda yang menggeletak seperti tidak bernyawa lagi di atas tandu bambu itu. Tapi belum juga sampai, Ki
Rapala sudah begitu cepat mencekal pergelangan tangannya.
"Masuk...!" bentak Ki Rapala sambil mendelik.
"Tidak...! Kakang Balika...!" jerit Lestari jadi kalap.
Gadis itu memberontak, mencoba melepaskan cekalan tangan ayahnya. Tapi tenaga laki-laki tua itu memang lebih kuat. Sampai
seluruh tubuhnya lemas,
Lestari tidak bisa juga melepaskan diri dari cekalan la-ki-laki tua ini.
"Hih!"
Tuk! Tiba-tiba saja, Ki Rapala mendaratkan satu totokan
ke bagian atas dada Lestari. Akibatnya, gadis itu seketika terkulai lemas. Ki
Rapala langsung memapah dan
langsung dibawanya masuk, setelah berpesan pada sepuluh orang pengawalnya agar tetap berada di beranda. Ki Rapala terus melangkah masuk ke dalam rumahnya yang besar ini. Dibaringkannya Lestari di kur-si panjang. Sementara,
istrinya hanya bisa memandangi dengan wajah kelihatan cemas, tidak tahu apa
yang harus diperbuat.
"Biar dia begitu dulu. Aku akan bereskan mereka di
luar," Kata Ki Rapala agak keras suaranya.
Istrinya hanya mengangguk saja. Sementara, Ki Rapala sudah kembali melangkah keluar rumahnya yang
besar ini. Kepala desa itu kembali berdiri tegak di beranda depan, dengan tangan
kanan sudah menggenggam gagang pedang, walaupun masih tersimpan dalam
warangkanya di pinggang.
"Ki Antak! Sebaiknya kau bawa pulang mayat
anakmu itu. Jangan membuat malu, sehingga menjadi
tontonan seperti ini...!" terdengar lantang sekali suara Ki Rapala.
"Aku tidak akan membawanya pulang, sebelum
pembunuh Balika dikeluarkan," sentak Ki Antak tidak
kalah lantangnya.
"Edan...!" desis Ki Rapala menggeram pelan. "Siapa
yang tahu kalau anakmu terbunuh..." Kedatanganmu
ke sini, seperti menuduhku, Ki Antak. Tidakkah kau
sadar akan tuduhanmu ini...?"
"Semalam Balika tidak pulang. Dan semua orang
tahu, Balika semalam bersama anakmu, Lestari. Tidak
ada seorang pun yang melihat mereka berpisah. Maka
kuminta pertanggungjawabmu, Ki Rapala. Kau sebagai
kepala desa, tentu bisa berbuat adil dan bijaksana.
Aku ingin pembunuh anakku ditangkap dan dihukum
gantung sampai mati!" lantang sekali suara Ki Antak.
"Heh..."! Kau benar-benar keterlaluan, Ki Antak.
Kenapa kau jadi menuduh anakku yang membunuh
Balika..."!" sentak Ki Rapala jadi terkejut.
"Aku minta sekali lagi, Ki Rapala. Keluarkan pembunuh itu...!"
Ki Rapala jadi berang setengah mati, tapi masih tetap mencoba bertahan dan bersabar menghadapi orang
tua yang sedang kalap itu. Memang diakui, kalau semalam secara diam-diam Lestari meninggalkan rumah.
Dan dia tahu, anak gadisnya hendak bertemu Balika.
Dia juga tahu, Lestari baru pulang ketika sudah lewat tengah malam. Tapi siapa
yang tahu, apa yang terjadi setelah mereka berpisah..." Ki Rapala memang
membiarkan saja anaknya menemui Balika semalam. Dia
sendiri sudah mendengar kabar yang mengatakan, tidak lama lagi anak gadisnya ini akan menikah dengan
putra Juragan Marta.
Walaupun itu hanya isapan jempol belaka, tapi diakuinya kalau hatinya senang juga mendengarnya. Itu
berarti bisa memisahkan hubungan asmara Lestari
dengan Balika. Dan Ki Rapala semalam berharap, kalau pertemuan mereka semalam adalah untuk yang terakhir. Tapi sungguh tidak disangka kalau siang ini
benar-benar terjadi. Ternyata Balika ditemukan sudah tidak bernyawa lagi, berada
di tepi sungai yang membelah pinggiran Desa Paranggada ini. Entah apa yang
terjadi, tidak ada seorang pun yang tahu. Dan yang lebih mengejutkan lagi,
Balika ditemukan tanpa sehelai pakaian pun melekat di tubuhnya.
*** 2 Kerumunan orang di depan rumah Ki Rapala baru
bubar, setelah mayat Balika dibawa pergi. Meskipun
akhirnya Ki Antak mau juga membawa mayat anaknya
pulang. Itu pun setelah istrinya datang menyusul dan memaksanya untuk segera
membawa pulang mayat
anak mereka. Tapi, pada raut wajahnya terlihat jelas rasa ketidakpuasan.
Sebentar saja keadaan di rumah kepala desa itu jadi
sunyi. Semua orang yang tadi berkerumun, sudah meninggalkan halaman rumah, ini untuk mengikuti Ki
Antak yang membawa mayat anaknya di atas tandu
yang digotong empat orang pembantunya.
Sementara itu, Ki Rapala langsung menghenyakkan
tubuhnya di kursi, begitu Ki Antak dan orang-orang
yang mengikutinya sudah tidak terlihat lagi, menghilang di balik tikungan jalan. Dihembuskannya napas
panjang yang terasa begitu Serat.
"Huhhh...!"
Saat kepala desa itu memalingkan muka, istrinya
terlihat sudah berdiri di ambang pintu. Wanita berusia lebih dari separo baya
itu datang menghampiri, Lalu
duduk di sebelahnya. Sementara Ki Rapala sendiri segera mengarahkan pandangan ke depan jalan.
"Lestari bagaimana?" tanya Ki Rapala tanpa berpaling sedikitpun, setelah cukup lama berdiam diri.
"Sudah siuman, dan masih berada di kamarnya."
Ki Rapala tidak bicara lagi. Memang putrinya tadi
hanya ditotok sementara saja, agar bisa tenang. Kare-na saat itu, dia harus
menghadapi Ki Antak yang sedang diselimuti amarah. Totokan itu memang ringan
dan bisa hilang dengan sendirinya, setelah pingsan beberapa saat. Sehingga, tidak perlu pengerahan hawa
murni maupun tenaga dalam untuk membebaskannya.
Malah akan menghilang dengan sendirinya.
"Seharusnya kau tidak perlu bersikap seperti tadi.
Biarkan saja dia menemui Balika untuk yang terakhir
kali...," keluh Nyi Rapala, seakan menyesali sikap suaminya yang melarang
Lestari menemui mayat kekasihnya. "Apa kau tidak lihat tadi..." Kau tahu, Ki Antak begitu marah. Bahkan bisa saja anak kita dibunuhnya...!
Dia telah menuduh kita yang membunuh anaknya,"
agak mendengus nada suara Ki Rapala.
Nyi Rapala jadi terdiam. Memang tidak bisa disangkal lagi. Dilihatnya sendiri, betapa marahnya Ki Antak tadi. Bahkan melontarkan
tuduhan tanpa bukti nyata.
Dan memang, orang yang sedang dilanda kemarahan
sangat sulit mengendalikan diri. Di dalam hatinya, Nyi Rapala mengakui tindakan
suaminya tadi. Tapi di balik itu semua, kekerasan yang dilakukan suaminya sama
sekali tidak disetujuinya. Mestinya, menghadapi Ki Antak haruslah dengan lemah
lembut. Bukannya malah
dilawan dengan keras juga. Dan itulah yang membuat
rumah mereka jadi ramai.
"Panggil Lestari ke sini!" perintah Ki Rapala.
Tanpa menjawab apa pun juga, Nyi Rapala langsung
masuk ke dalam meninggalkan suaminya seorang diri
di beranda depan. Tapi tidak berapa lama kemudian,
perempuan tua itu sudah kembali lagi dengan raut wajah memancarkan kecemasan.
"Mana anak itu...?" tanya Ki Rapala langsung saja.
"Tidak ada...," sahut Nyi Rapala agak takut.
"Tidak ada.."! Apa maksudmu, Nyi?" bentak Ki Rapala langsung gusar.
"Lestari tidak ada di kamarnya."
"Apa..."!"
Ki Rapala jadi tersentak. Cepat dia melompat bangkit dari kursinya, dan langsung saja berlari ke dalam.
Hampir saja istrinya tertabrak. Untung wanita tua itu cepat menarik diri ke
belakang. Sementara, Ki Rapala terus berjalan cepat, dengan ayunan kaki lebarlebar menuju kamar anak gadisnya.
Namun mendadak saja, laki-laki tua itu jadi tertegun begitu sampai di depan pintu kamar Lestari. Pintu kamar itu terbuka lebar,
dan tidak terkunci sama sekali. Sedangkan di dalamnya tidak ada seorang pun.
Demikian juga jendela kamarnya yang terbuka lebar.
Ki Rapala bergegas masuk ke dalam. Sebentar pandangannya diedarkan ke sekeliling kamar ini, seakan
ada yang sedang dicarinya. Lalu dihampirinya jendela, dan berdiri tegak di sana
sambil memandang keluar.
"Huh! Anak kurang ajar...! Bikin susah orang- tua!"
dengus Ki Rapala gusar.
Laki-laki tua itu cepat berbalik memutar tubuhnya.
Tapi belum juga melangkah, istrinya sudah berada di
ambang pintu. Hanya sejenak saja laki-laki tua kepala desa itu menatap istrinya,
kemudian bergegas melangkah keluar tanpa bicara sedikit pun. Tapi baru saja
kakinya berada satu langkah di depan pintu, Nyi Rapala sudah mencekal
pergelangan tangannya. Terpaksa
Ki Rapala menghentikan langkahnya, dan langsung
berpaling menatap tajam perempuan tua itu.
"Mau ke mana...?" tanya Nyi Rapala agak sendu terdengar suaranya.
"Huh!"
Ki Rapala hanya mendengus saja. Dan sekali sentak, cekalan tangan istrinya sudah terlepas. Langsung kakinya melangkah
meninggalkan perempuan tua itu.
Sementara, Nyi Rapala hanya diam mematung dengan
mata terlihat redup. Sebentar saja punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi.
Dan tak lama kemudian, sudah terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat. Nyi Rapala tahu, suaminya pergi tidak seorang diri. Itu bisa diduga dari
terdengarnya derap kaki ku-da. Memang, paling tidak, ada sekitar sepuluh ekor
kuda yang dipacu cepat keluar dari halaman depan
rumah ini. "Hhh...!"
*** Saat matahari baru saja tenggelam di balik peraduannya, Ki Rapala baru sampai di rumahnya yang
berukuran besar dan berhalaman sangat luas ini. Sementara, suasana di desa itu sudah gelap dan sunyi.
Tampak kerlip nyala lampu pelita memendar dari setiap rumah di Desa Paranggada ini. Ki Rapala melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya ringan
sekali, ketika mendarat tepat di depan tangga bawah
beranda rumahnya yang berjumlah tujuh undakan ini.
Seorang pembantunya bergegas mengambil kuda
yang ditungganginya, dan membawanya ke belakang.
Sementara beberapa pemuda yang tadi ikut dengannya
langsung menuju belakang rumah tanpa turun dari
kudanya. Tampak jelas wajah mereka begitu lelah dan
tebal penuh debu bercampur keringat. Ki Rapala menapaki undakan beranda depan dengan ayunan kaki
terlihat lesu. Namun baru saja kakinya menapak di undakan terakhir, dan kepalanya terangkat, kedua bola matanya
jadi terbeliak lebar. Hampir tidak percaya dengan pen-glihatannya sendiri.
Di ambang pintu ternyata telah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Baju warna merah yang begitu ketat, hingga membentuk tubuhnya yang ramping dan
indah. Bibirnya yang merah tampak menyunggingkan
senyum tipis yang terasa begitu sinis. Bahkan sorot
matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke
bola mata Ki Rapala yang terbeliak lebar bagai sedang berhadapan hantu wanita


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat cantik!
"Kau...."
Belum lagi habis suara Ki Rapala, tiba-tiba saja gadis cantik berbaju merah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan saat itu juga, terlihat satu kilatan cahaya keperakan berkelebat
begitu cepat ke arah leher laki-laki tua kepala desa ini. Sama sekali tak ada
waktu untuk menghindar maupun memapak serangan itu,
karena terjadinya begitu cepat. Dan saat berikutnya....
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi, saat itu juga terdengar begitu menyayat. Dan
begitu sosok tubuh wanita cantik berbaju merah itu lenyap setelah melesat ke atas atap, tubuh Ki Rapala
jatuh terguling dari beranda. Dan dengan keras sekali, tubuhnya menghantam
tanah. Hanya beberapa saat saja Ki Rapala masih bisa
menggelepar, lalu sesaat kemudian seluruh tubuhnya
mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi.
Tampak dari lehernya yang terbabat hampir buntung
darah mengalir deras sekali.
Jeritan yang sangat panjang dan melengking itu,
rupanya terdengar bukan hanya oleh penghuni rumah
kepala desa ini. Tapi, para penduduk yang rumahnya
berdekatan juga mendengarnya. Hingga dalam waktu
sebentar saja, halaman depan rumah kepala desa itu
sudah dihuni orang yang hampir semuanya membawa
obor. Mereka seketika jadi terperanjat setengah mati, begitu mendapati tubuh kepala desanya terbujur kaku,
tanpa nyawa lagi. Yang lebih mengerikan, lehernya terbabat hampir buntung! Dan
saat itu juga, dari dalam
rumah keluar Nyi Rapala. Begitu melihat apa yang terjadi, wanita tua itu tidak
dapat lagi mengeluarkan suara sedikit pun. Dan dia langsung jatuh tidak sadarkan
diri di ambang pintu. Seorang pekerja wanita rumah
itu bergegas memapahnya, seraya minta tolong pada
dua orang pemuda yang berada di dekatnya untuk
membawa Nyi Rapala ke dalam. Sementara orangorang yang berkerumun di depan rumah kepala desa
itu semakin banyak, membuat keadaan malam yang
semula tenang dan sunyi jadi gemerlap oleh cahaya api obor yang dibawa.
*** Kematian Ki Rapala tentu saja membuat seluruh
Desa Paranggada jadi gempar. Terlebih lagi, kematian Ki Rapala begitu
mengenaskan. Entah, dengan apa
orang itu memenggal leher Ki Rapala. Tapi yang membuat semua orang jadi bertanya-tanya, kematian kepala desa itu bersamaan dengan menghilangnya Lestari,
putri tunggalnya.
Sampai tujuh hari kematian Ki Rapala, tidak ada
seorang pun yang tahu, di mana gadis itu berada. Padahal, Nyi Rapala sendiri sudah memerintahkan orangorangnya untuk mencari. Tapi, sampai saat ini gadis
itu tidak pernah ketahuan rimbanya.
Keadaan itu membuat Nyi Rapala semakin sering
menyendiri, hingga akhirnya jatuh sakit. Sudah beberapa tabib mencoba menyembuhkan, tapi penyakit Nyi
Rapala semakin bertambah parah saja. Hingga tepat
satu purnama setelah kematian suaminya, wanita tua
itu kemudian menyusul. Kini, mendung menyelimuti
seluruh angkasa Desa Paranggada.
Keadaan Desa Paranggada yang tanpa pemimpin,
membuat para pemuka desa harus mencari kepala desa baru. Tapi memang tidak mudah untuk memilih kepala desa yang baik. Padahal sudah beberapa orang
yang begitu ingin menjadi kepala desa. Mereka sudah
melakukan berbagai macam cara untuk mempengaruhi penduduk, agar memilihnya menjadi kepala desa.
Dan justru hal ini membuat keadaan di desa itu semakin tidak menentu. Keributan-keributan kecil mulai
terjadi di mana-mana. Bahkan sampai terjadi beberapa pertarungan. Tapi sampai
saat ini, memang belum ada
yang menjadi korban. Hingga ...
"Ada mayat...!"
"Heh..."!"
"Apa..."!"
Pagi ini, Desa Paranggada kembali digemparkan
oleh ditemukannya sesosok mayat, yang menggeletak
di pinggir jalan. Mereka berbondong-bondong berlari
mendekati sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa
lagi, dengan leher terbelah hampir buntung. Darah
yang mengalir sudah kelihatan membeku, pertanda
kematiannya sudah cukup lama di sana.
"Heh..."! Bukankah itu anaknya Ki Marta...?"
"Benar! Dia anaknya Ki Marta...!"
Keterkejutan penduduk desa itu semakin bertambah, setelah mengetahui kalau laki-laki yang tergeletak di pinggir jalan desa
itu ternyata putra Ki Marta, orang yang paling terpandang di Desa Paranggada
ini. Setelah mengenali orang yang tergeletak di pinggir
jalan itu, tidak ada seorang pun yang berani lagi mendekat. Dan tiba-tiba saja
kerumunan orang itu bergerak menyingkir, begitu terdengar bentakan keras dari
arah belakang. Tampak seorang laki-laki setengah baya bertubuh
tegap dan terbungkus pakaian biru muda dari bahan
sutera halus, tengah berjalan mantap dengan diiringi sekitar enam orang lakilaki berbadan kekar. Semua
orang yang berkerumun di situ tahu, laki-laki setengah baya inilah yang bernama
Ki Marta. Dia tampak tertegun, begitu melihat putranya tergeletak tidak bernyawa dan menjadi tontonan seluruh
penduduk desa di pinggir jalan ini. Yang lebih mengejutkan lagi, pemuda itu
tewas tanpa mengenakan selembar pakaian pun di tubuhnya. Ki Marta segera memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menutupi
tubuh anaknya, dan membawanya pergi dari tempat
itu. Sementara itu, tidak ada seorang pun yang berani bersuara. Dan Ki Marta
hanya memandangi orang-orang yang masih berkerumun di sekitarnya.
Tampak jelas sekali dari raut wajahnya, kalau lakilaki terpandang ini tengah menahan kemarahan yang
amat sangat. Wajahnya kelihatan memerah, dengan
bola mata bersinar bagaikan sepasang bola api. Beberapa kali terdengar gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan. Sedangkan tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya sudah dihunjamkan cukup dalam ke tanah.
"Siapa yang pertama kali melihat anakku di sini...?"
terdengar lantang dan menggelegar suara Ki Marta.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mendengar pertanyaan laki-laki setengah baya
yang sangat berpengaruh dan paling kaya di desa itu.
Ki Marta kembali memandangi mereka satu persatu
dengan geraham bergemeletuk menahan geram.
"Aku, Ki...."
*** Tiba-tiba terdengar suara agak bergetar, diantara
kerumunan orang-orang desa itu. Semua orang langsung mengalihkan pandangan, ke arah datangnya suara. Tampak seorang anak muda berusia sekitar dua
puluh dua tahun, melangkah beberapa tindak mendekati Ki Marta. Dari sikapnya, sepertinya dia begitu takut. Seakan-akan, dia
sedang berhadapan dengan seorang penuntut yang akan menjatuhkan hukuman mati! "Kau yang pertama kali melihat?" tanya Ki Marta la-gi. Masih bernada geram.
"Be..., benar, Ki," sahut pemuda itu jadi tergagap.
"Siapa namamu?"
"Kajang."
"Hanya kau sendiri yang melihat?"
"Tidak, Ki. Ada adikku."
"Lalu, siapa lagi?"
Pemuda yang tadi mengaku bernama Kajang hanya
menggeleng kepala saja. Dan kepalanya terus tertunduk, seakan tidak berani lagi menatap bola mata Ki
Marta yang terlihat memerah bagai api. Sementara di
belakang Ki Marta, berdiri dua orang laki-laki berbadan tegap berotot dengan
golok masing-masing terselip di pinggang.
"Sedang apa kau di sini tadi?" tanya Ki Marta lagi.
"Aku..., aku hendak pergi ke ladang untuk menyabit
rumput, Ki. Tapi tidak jadi, karena...," suara Kajang terputus.
"Hm.... Kau lihat, siapa yang membunuh anakku?"
tanya Ki Marta langsung.
Lagi-lagi Kajang menggelengkan kepala, menjawab
pertanyaan orang tua itu.
"Hhh...!"
Ki Marta menghembuskan nafasnya panjang- panjang. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Tidak ada seorang pun yang
berani mengangkat kepala,
membalas pandangan mata laki-laki separo baya ini.
Dan mereka semua terdiam, tidak bersuara sedikit pun juga. Sementara, Kajang
masih berdiri sekitar lima
langkah di depannya. Saat itu, mayat putra Ki Marta
sudah dibawa pergi oleh empat orang pengawal lakilaki itu. "Dengar, semua...! Anakku sudah menjadi korban.
Dan bagai siapa saja yang bisa membawa kepala si keparat itu kepadaku, akan kusediakan hadiah seribu
keping emas. Dengar itu...!" terdengar lantang sekali suara Ki Marta, sehingga
semua orang yang ada di sekitar tempat itu mendengar jelas.
Dan setelah berkata begitu, Ki Marta bergegas pergi.
Langkah kakinya terlihat lebar dan seperti tergesagesa. Sementara semua orang hanya bisa saling berpandangan saja. Tentu saja mereka tidak hanya terkejut mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan Ki
Marta, tapi juga heran. Ternyata orang yang terkaya
itu akan memberi hadiah yang sangat besar jumlahnya, hanya untuk membawa kepala pembunuh anaknya. Tapi siapa yang sanggup..."
Sedangkan mereka semua hanya penduduk bisa
yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan sedikit pun.
Dan yang pasti, pembunuh itu memiliki kepandaian
tinggi sekali. Ini bisa dibuktikan dengan tewasnya Ki Rapala. Dan mereka semua
tahu, kepala desa itu memiliki kepandaian tidak rendah. Demikian pula anak
Ki Marta yang kepandaiannya tidak seberapa jauh di
bawah ayahnya sendiri. Mereka saja bisa tewas. Apa
lagi hanya seorang penduduk desa yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa..."
Hadiah yang dijanjikan Ki Marta memang sangat
menggiurkan sekali. Tapi tidak ada seorang pun yang
mau mengambil bahaya hanya untuk mendapatkan
seribu keping emas. Maka, mereka kini bubar begitu
saja, seperti tidak menghiraukan hadiah seribu keping emas yang dijanjikan Ki
Marta. Sebentar saja, jalan itu sudah sepi dari orang desa
yang tadi berkerumun memadatinya. Dan saat itu, terlihat dua anak muda berdiri tidak jauh dari jalan. Mereka tampaknya berlindung
dari sengatan sinar matahari di bawah pohon beringin yang cukup rindang.
Yang seorang, adalah pemuda berwajah tampan.
Bajunya rompi putih dengan sebilah gagang pedang
berbentuk kepala burung menyembul di balik punggungnya. Sedangkan yang berdiri di sebelah kirinya,
adalah seorang gadis cantik. Baju berwarna biru muda. Tangannya terus memain-mainkan sebuah kipas
berwarna putih keperakan di depan dadanya, seakan
hendak mengusir hawa panas yang memang begitu
menyengat pagi ini.
*** 3 Entah sudah berapa lama dua anak muda itu berada di sana. Tapi yang jelas, mereka melihat semua
yang terjadi barusan. Dan kini mereka terdiam membisu, memandangi tempat putra Ki Marta ditemukan tergeletak sudah tidak bernyawa lagi.
"Kakang. Apakah memang dia yang kita cari...?"
terdengar pelan sekali suara gadis cantik berbaju biru muda itu, tanpa berpaling
sedikit pun pada pemuda di
sebelahnya. "Entahlah, Pandan. Aku jadi ragu-ragu juga," sahut
pemuda berbaju rompi putih itu perlahan.
Gadis cantik yang dipanggil Pandan itu memalingkan mukanya sedikit, menatap wajah tampan di sebelahnya. Dia memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk si Kipas Maut di kalangan orang-orang persilatan. Sedangkan pemuda tampan
berbaju rompi putih
yang berdiri di sebelahnya, tidak lain dari Rangga. Dan dia juga dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti.
Kelihatannya, mereka berada di Desa Parang- gada
ini mempunyai satu tugas. Satu tugas yang tentu saja merupakan tugas sebagai
pendekar. "Kalau memang dia..., hm.... Tindakannya semakin
biadab saja, Kakang. Dan ini tentu tidak bisa didiamkan terus-menerus," ujar
Pandan Wangi lagi, masih
dengan suara pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Jangan terlalu berprasangka, Pandan. Sudah cukup jauh kita mengejar. Dan sampai sekarang, kita belum tahu pasti
keberadaannya," kata Rangga mencoba
menyabarkan hati gadis ini.
Pandan Wangi memang cepat sekali naik darah.
Apalagi melihat kekejaman terjadi di depan matanya.
Sedangkan Rangga, selalu bisa menahan kesabaran.
Bahkan harus terlalu sering mendinginkan darah Pandan Wangi yang cepat sekali mendidih.
"Ayo, Pandan. Kita cari kedai dulu. Sejak kemarin
kau belum makan, kan...?" ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka
kemudian melangkah menghampiri kuda yang ditambatkan tidak jauh dari tempat mereka berdiri di bawah pohon ini. Dua ekor kuda
yang bagus dan tegap. Kuda
itu tidak ditunggangi, tapi dituntun. Dan mereka terus berjalan menyusuri jalan


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah berdebu yang membelah Desa Paranggada ini bagai menjadi dua bagian.
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan kedua
pendekar dari Karang Setra ini. Semua perhatian orang di Desa Paranggada tengah
terpusat pada peristiwa
pembunuhan penuh teka-teki yang mengambil tiga
korban. Dan semua yang korbannya, tewas dengan
leher terbabat hampir buntung.
"Di sebelah sana kelihatannya ada kedai, Kakang,"
ujar Pandan Wangi sambil menunjuk ke sebuah tikungan jalan. "Hm.... Ayolah," ajak Rangga agak menggumam nada suaranya. Mereka terus berjalan sambil menuntun kudanya.
Dan begitu sampai di tikungan jalan yang ditunjuk
Pandan Wangi, mereka memang menemukan sebuah
kedai yang tidak begitu besar, namun kelihatan begitu sepi. Kedua pendekar muda
itu terus berjalan mema-suki halaman kedai. Tampak seorang anak laki-laki
berumur sekitar delapan tahun, berlari-lari kecil
menghampiri. "Kudanya, Den...," ujar bocah itu menawarkan jasanya. Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang
kudanya. Demikian pula Pandan Wangi. Sambil tersenyum riang, bocah yang bertelanjang dada itu menarik dua ekor kuda ini ke bagian
samping kedai. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus melangkah masuk
ke dalam kedai. Seorang perempuan tua bertubuh gemuk segera menyambut dengan senyum mengembang
di bibirnya. "Silakan, Den..., Nini...," sambut perempuan gemuk
itu, ramah. Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya ke
sekeliling kedai ini. Memang tidak besar, tapi kelihatan
bersih sekali. Dan kedai ini sangat sunyi, tanpa seorang pun pengunjung.
Rupanya, hanya mereka berdua
saja yang datang ke kedai ini. Rangga memilih tempat tidak jauh dari pintu,
tempat tadi masuk.
"Sediakan makanan enak, dan minumannya," pinta
Rangga. "Baik, Den," sahut perempuan gemuk itu, yang ternyata pemilik kedai ini.
Perempuan gemuk itu bergegas melangkah ke bagian belakang kedai ini. Langkah kakinya terlihat ter-seok, mungkin terlalu
berat menahan beban tubuhnya
yang begitu gemuk. Rangga kembali mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Dan tak berapa lama kemudian, perempuan gemuk itu sudah kembali lagi bersama seorang gadis manis, sambil membawa sebuah baki kayu berukuran cukup besar.
Dengan sikap ramah disertai senyuman manis mereka menghidangkan pesanan kedua pendekar muda
ini. Rangga hanya memperhatikan saja. Sementara,
Pandan Wangi sejak tadi terus mengarahkan pandangan ke jalan. "Sebentar, Nyi...," cegah Rangga ketika perempuan
gemuk itu hendak meninggalkannya, setelah menghidangkan semua pesanan.
"Ada apa, Den?" tanya perempuan gemuk pemilik
kedai ini ramah.
"Boleh bertanya sedikit, Nyi?" lembut sekali nada
suara Rangga. "Silakan, Den...."
"Hm. Apa nama desa ini, Nyi?"
"Desa Paranggada."
"Ooo..," Rangga mengangguk-angguk.
"Raden memangnya datang dari mana" Kok, tidak
tahu nama desa ini...?" perempuan gemuk itu balik
bertanya. Sementara, gadis manis yang tadi menyertainya sudah kembali menghilang ke belakang dan tidak muncul-muncul lagi.
"Kami berdua datang dari jauh, Nyi," sahut Rangga.
"Kami pengembara yang kebetulan lewat desa ini,"
sambung Pandan Wangi yang sudah melahap makanannya, tanpa dipersilakan lagi.
"Ooo.... Jadi, Rangga berdua ini pengembara...?"
"Benar, Nyi," sahut Rangga.
"Wah! Kalau begitu hati-hati, Den," ujar perempuan
gemuk itu. "Kenapa...?" tanya Pandan Wangi langsung menghentikan makanannya.
"Desa ini sedang gempar, Nini. Apa tadi kalian tidak lihat ada kejadian di ujung
jalan sana...?" perempuan gemuk itu menunjuk ke arah jalan, tempat arah
kedatangan kedua tamunya ini tadi.
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melemparkan
pandangan. "Pembunuhan itu, Nyi...?" ujar Rangga seakan ingin
menegaskan. "Benar, Den. Itu korban yang ketiga. Pertama,
anaknya Ki Antak. Kemudian, disusul Ki Rapala, kepala desa ini. Dan yang barusan anak Ki Marta, orang
paling kaya dan berpengaruh di desa ini. Dia bisa berbuat apa saja dengan
kekayaannya. Tadi Ki Marta juga mengatakan, bahwa akan menyediakan hadiah seribu
keping emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala pembunuh itu padanya," jelas pemilik kedai tanpa
diminta. "Oh! Bisa berbahaya...," desah Rangga seakan terkejut mendengarnya.
"Benar, Den. Bisa-bisa terjadi pembunuhan- pembunuhan lain. Bisa jadi, orang akan membawa kepala
orang lain yang tidak bersalah, hanya untuk mendapatkan hadiah dari Ki Marta," sambung pemilik kedai
itu. "Terlalu gegabah dia, Kakang," ujar Pandan Wangi.
"Apa tidak disadari, kalau hadiah begitu besar malah akan memperburuk
keadaan..." Hhh! Orang kaya di
mana-mana sama. Tak pernah mau memikirkan akibat
dan keselamatan orang lain."
"Celakanya lagi, Nini. Baru tadi Ki Marta mengatakan begitu, sudah ada dua orang yang datang padanya. Dan katanya lagi, mereka akan mencari pembunuh itu," sambung pemilik kedai ini.
"Siapa mereka, Nyi?" tanya Rangga.
"Wah, tidak tahu.... Kelihatannya mereka bukan
orang sini. Memang, tadi mereka makan di sini. Seperti juga Raden dan Nini,
mereka juga orang jauh."
"Laki-laki atau perempuan, Nyi?" tanya Pandan
Wangi, seraya melirik Rangga.
"Dua-duanya perempuan. Mereka juga membawa
pedang seperti kalian."
Rangga dan Pandan Wangi tidak bicara lagi. Sementara perempuan gemuk pemilik kedai itu sudah meninggalkan mereka, setelah berpamitan ke belakang.
Dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kini
menikmati makanannya tanpa bicara lagi.
*** Setelah matahari berada di atas kepala, Rangga baru mengajak Pandan Wangi keluar dari kedai itu. Sedangkan pemilik kedai yang bertubuh gemuk itu mengantarkan sampai kedua pendekar itu naik ke punggung kudanya. Mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, sambil mengamati keadaan Desa Paranggada ini. Sebentar saja, mereka sudah berada di perbatasan
desa itu. Rumah-rumah sudah mulai kelihatan jarang.
Dan, udaranya pun terasa lebih segar. Namun baru saja mereka hendak memacu kudanya, mendadak saja....
"Berhenti...!"
Sebuah bentakan keras, seketika membuat kedua
pendekar muda itu jadi menghentikan langkah kaki
kudanya. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan
biru. Dan tahu-tahu, di depan kuda mereka sudah
berdiri seorang laki-laki berusia separo baya. Dan belum lagi kedua pendekar
dari Karang Setra itu bisa
menghilangkan keterkejutannya, dari balik semak dan
pepohonan sudah berlompatan sekitar dua puluh
orang yang langsung menghunuskan golok.
"Hm, ada apa ini...?" gumam Rangga pelan, seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Turun kalian dari kuda...!" bentak laki-laki separo baya yang berbaju biru itu,
agak kasar nada suaranya.
"Maaf, Paman. Ada apa ini" Kenapa jalan kami dihadang...?" tanya Rangga mencoba ramah.
"Turun kataku...!" bentak laki-laki separo baya itu, tanpa menghiraukan
keramahan Rangga.
Sedikit Rangga mengerutkan keningnya, tapi sebentar kemudian turun juga dari punggung kudanya. Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk di atas kuda putihnya. Dan gadis itu baru turun, setelah Rangga memintanya. Seperti tahu akan ada bahaya, kedua ekor
kuda itu langsung bergerak menjauh dari tempat semula. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi berdiri
berdampingan dengan raut wajah memancarkan ketidakmengertian. "Siapa kalian"!" tanya orang berbaju biru itu, masih dengan suara agak kasar.
"Aku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami
berdua pengembara yang kebetulan lewat di...."
"Cukup...!" bentak orang berbaju biru itu, memutuskan kata-kata Rangga.
Bentakan itu membuat kening Rangga jadi semakin
dalam berkerut. Benar-benar tidak dimengerti sikap
laki-laki separo baya ini. Tapi melihat tongkat kayu tergenggam di tangan kanan
dan caranya muncul tadi,
Rangga sudah bisa menduga kalau orang yang berdiri
tepat sekitar enam langkah di depannya ini memiliki
kepandaian tinggi. Pendekar Rajawali Sakti jadi menduga-duga, apa maksud orang ini menghadangnya.
"Kalian mengaku pengembara. Hhh! Pasti kalian
bangsat-bangsat keparat itu!" dengus orang itu kasar.
"Eh, apa katamu..."!" sentak Pandan Wangi langsung marah. "Kalian tidak perlu mungkir. Aku Ki Marta yang
akan memenggal kepala kalian berdua!"
"Tunggu dulu...! Apa maksud semua ini?" tanya
Rangga meminta penjelasan.
"Tidak perlu lagi penjelasan, Setan Keparat! Kalian
harus mampus sebelum jatuh korban lagi!"
"Heh..."!"
"Serang! Bunuh mereka...!"
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja Ki Marta sudah berteriak lantang dan menggelegar
bernada perintah. Dan seketika
itu juga.... "Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Orang-orang yang sejak tadi sudah menghunus golok dan tinggal menunggu perintah saja, seketika itu juga langsung berlompatan
begitu mendengar perintah
Ki Marta. Dan ini membuat kedua pendekar muda itu
jadi semakin terperanjat. Namun, tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk mencegah.
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Satu sambaran golok yang begitu cepat, hampir saja
membelah kepala Rangga. Untung saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merundukkan kepalanya. Sementara, Pandan Wangi cepat melenting ke udara, saat sebilah golok berukuran
cukup besar membabat ke
arah kakinya. Dan saat itu juga, anak buah Ki Marta sudah merangsek, mengeroyok kedua pendekar ini. Teriakanteriakan keras terdengar membahana, membuat jantung siapa saja akan berhenti berdetak bila mendengarnya. Dan tanpa disadari, pertarungan itu diawasi
oleh sepasang mata indah di balik sebuah tudung berbentuk bulat dan cukup besar. Sepasang mata itu berada cukup jauh dari tempat pertarungan, tapi cukup
jelas untuk menyaksikannya.
Sementara Rangga terpaksa harus berjumpalitan
dan meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari segala arah.
Digunakannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang
hanya digunakan untuk menghindari setiap serangan.
Dengan jurus ini, orang-orang yang mengeroyoknya jadi terasa sulit untuk mendesak.
Sementara, Pandan Wangi sudah menggunakan
senjata Kipas Maut yang sangat terkenal di kalangan
persilatan. Tapi gadis itu masih mencoba untuk bisa
bersabar. Dan kipasnya hanya digunakan untuk menangkis senjata lawan-lawannya. Namun sesekali dilepaskannya pukulan ringan dengan tangan kiri. Dan itu sudah membuat beberapa
lawannya jatuh bangun.
"Pandan! Tinggalkan tempat ini, cepat...!" seru
Rangga dalam pertarungannya.
"Tidak...!" sahut Pandan Wangi juga berteriak keras.
"Pergi cepat...!" perintah Rangga lagi.
Pandan Wangi jadi bimbang juga. Sekilas matanya
melirik Rangga yang dikeroyok oleh orang-orang yang
jumlahnya lebih banyak. Bahkan Ki Marta sendiri sudah terjun menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
walaupun hanya melihat sekilas, Pandan Wangi sudah
bisa mengetahui kalau Rangga bisa menguasai keadaan. Jelas sekali terlihat, mereka bukanlah tandingan
Pendekar Rajawali Sakti, walaupun jumlahnya cukup
banyak. Melihat keadaan yang tidak mengkhawatirkan
itu, Pandan Wangi cepat-cepat melenting tinggi ke uda-ra sambil menyambar sebuah
ranting di tanah. Dan
saat itu juga....
"Hup! Yeaaah...!"
Wuk!

Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil melemparkan ranting itu, Pandan Wangi melesat cepat melewati kepala beberapa orang pengeroyoknya. Tuk! Manis sekali Pandan Wangi menotol ranting yang
melayang di udara ini dengan ujung jari kakinya. Dan tubuhnya langsung melenting
begitu cepat meninggalkan lawan-lawannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat mereka yang mengeroyoknya jadi terlongong bengong. Dan belum juga ada yang sempat menyadari, Pandan Wangi sudah berada di punggung kudanya lagi.
Diambilnya tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit masih sempat dilihatnya
Rangga yang masih dikeroyok puluhan orang itu.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Kuda putih tunggangan Pandan Wangi langsung
melesat cepat begitu digebah keras, tanpa ada seorang pun yang bisa mengejar.
Sebentar saja, tempat itu sudah jauh ditinggalkannya. Sementara, Rangga masih
terus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu melihat Pandan Wangi sudah pergi, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu manis
sekali kakinya hinggap di atas
sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
"Maaf, aku tidak ada waktu untuk bermain- main
dengan kalian," ujar Rangga disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Dan saat
itu juga.... "Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali
melenting. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga hanya bayangan tubuhnya saja yang
sempat terlihat berkelebat bagai kilat. Dan dalam sekejap mata saja, bayangan
tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak berbekas lagi.
Kepergian Rangga yang begitu menakjubkan, membuat Ki Marta dan orang-orangnya jadi terlongong bengong. Walaupun tadi mereka
menggempur habishabisan, tapi tidak seorang pun yang bisa menyarangkan serangannya. Dan sebaliknya, tidak seorang pun
yang menjadi korban. Keadaan ini membuat Ki Marta
jadi termangu sendiri, memandang ke arah kepergian
pemuda itu. "Rangga.... Hm.... Siapa dia sebenarnya..."
Ilmunya begitu tinggi. Apakah dia benar bukan si
pembunuh keparat itu...?" gumam Ki Marta jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
*** Sementara itu, Pandan Wangi sudah cukup jauh
meninggalkan Desa Paranggada. Lari kudanya baru
dihentikan setelah dirasakan cukup jauh. Gadis itu
langsung melompat turun dari punggung kudanya,
dan berdiri tegak memandang ke arah Desa Paranggada, menunggu Rangga yang tadi ditinggalkannya dalam pertarungan.
"Apa yang kau tunggu, Pandan...?"
"Eh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya
berputar. Dan seketika kedua bola matanya jadi mendelik lebar, begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah
duduk di atas sebatang pohon kayu yang tumbang.
Entah kapan Pendekar Rajawali Sakti ada di sana, sama sekali Pandan Wangi tidak mendengar suara kedatangannya. "Setan! Bikin kaget saja...!" dengus Pandan Wangi
langsung memberengut.
"Jangan cemberut begitu, Pandan Wangi. Kau tambah cantik kalau...."
"Sudah...!"
Pandan Wangi langsung membentak, membuat godaan Rangga jadi terhenti. Tapi senyuman di bibir
Pendekar Rajawali Sakti semakin terlihat melebar. Dan itu membuat Pandan Wangi
jadi bersungut-sungut
sendiri. Tubuhnya lalu dihempaskan di atas rerumputan, tidak jauh dari pemuda itu. Sementara, Rangga
sendiri tetap duduk mencangkung di atas pohon tumbang ini. Beberapa saat mereka jadi terdiam.
"Kau tahu, siapa Ki Marta itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak mendengus terdengar nada suaranya.
"Orang tua yang anaknya terbunuh, kan...?" sahut
Rangga bernada bertanya.
"Benar," sahut Pandan Wangi. 'Tapi, kenapa kita
yang dituduh...?"
"Semua orang tua yang anaknya mati terbunuh
tanpa diketahui, pasti akan mencurigai siapa saja yang tidak dikenalnya, Pandan.
Kita memang salah, berada
di desa itu selagi keadaan tidak mengizinkan," kata
Rangga kalem. "Tapi jangan main tuduh dan keroyok, Kakang.
Seharusnya hal itu bisa ditanyakan baik-baik. Huh!
Dasar saja dia yang ingin cari gara-gara!" dengus Pandan Wangi masih merasa
kesal. "Sudahlah, Pandan. Tidak perlu diperpanjang lagi,"
ujar Rangga, mencoba meredakan kekesalan hati gadis
itu. "Huh...!" Pandan Wangi kembali mendengus.
Rangga melompat turun dari atas batang pohon
kayu tumbang itu. Ringan sekali gerakannya. Dan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya
mendarat di tanah berumput ini. Segera dihampirinya
Pandan Wangi dan kembali duduk di depannya. Diraihnya tangan gadis itu, lalu diremasnya dengan hangat. Tapi baru saja tangan
gadis itu hendak ditarik ke bibirnya mendadak saja....
"Hmmm...."
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ssst..!"
Pandan Wangi langsung diam. Namun belum juga
bisa mengetahui apa yang dimaksud Rangga, mendadak.... Wusss...! "Hup!"
"Ikh...!"
*** 4 Pandan Wangi jadi terpekik kaget, begitu tiba- tiba
saja Rangga mendorong dadanya hingga terpental ke
belakang, dan bergulingan beberapa kali. Sementara,
Rangga sendiri melesat ke belakang sambil mengebutkan tangannya. Saat itu juga, Pandan Wangi melihat sebuah benda meluncur deras dan langsung mendapat kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tap! "Hap!"
Rangga cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sementara tangan kanannya kini tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkal. Sedangkan
Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Hih!"
Namun belum juga Pandan Wangi dekat, Rangga
sudah cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula,
tangan kanannya mengibas ke depan. Maka ranting
kering yang tadi ditangkapnya, langsung meluncur deras bagai anak panah lepas dari busur.
Wusss...! Srak! Ranting itu menembus sebuah semak belukar. Dan
pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat keluar dari dalam semak itu. Dan
tahu-tahu, di atas pohon yang berjarak sekitar satu
batang tombak dari kedua pendekar muda itu, sudah
berdiri seseorang bertubuh ramping terbungkus baju
merah menyala. Sayang, wajahnya sulit dikenali karena hampir seluruhnya tertutup sebuah tudung bambu
yang cukup lebar di kepalanya.
Tapi dari bentuk tubuh dan bibirnya yang terlihat,
bisa dipastikan kalau dia seorang wanita. Dan belum
lagi Rangga maupun Pandan Wangi membuka suara,
orang berpakaian serba merah menyala itu sudah meluncur turun dari atas pohon. Gerakannya begitu ringan bagai kapas. Dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam
langkah lagi di depan kedua pendekar muda ini.
"Nisanak, siapa kau" Kenapa menyerang kami?"
tanya Rangga mencoba ramah.
"Jangan tanya siapa aku! Yang penting, kalian cepat
minggat dari sini. Jangan campuri urusanku!" terdengar kasar sekali kata-kata wanita itu.
"Heh..."! Ada apa ini..." Kenapa kau tiba-tiba saja
memusuhi kami?" sentak Pandan Wangi tidak senang.
"Aku memang bisa jadi musuh, kalau kalian usil
dengan urusan orang lain."
"Nisanak! Tolong jelaskan, kenapa kau tidak menginginkan kami berdua ada di sini?" pinta Rangga masih mencoba untuk ramah, walaupun mendapat sikap
yang bermusuhan.
"Tidak perlu dijelaskan. Sebaiknya kalian cepat pergi, sebelum pikiranku berubah dan memenggal leher
kalian berdua!" dengus wanita itu, dingin.
"Kalau aku tidak mau pergi...?" Pandan Wangi langsung saja mengambil sikap menentang.
"Kau akan mati!" desis wanita itu semakin terasa
dingin nada suaranya.
"Ha ha ha...!"
Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tertawa terbahakbahak mendengar kata-kata bernada ancaman itu.
Sementara, Rangga hanya diam saja. Memang, sudah
dikenalnya betul akan watak Pandan Wangi. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin lagi bisa dihalangi. Karena sudah jelas, Pandan Wangi begitu cepat mengambil sikap menantang.
Tampaknya pula, wanita berbaju merah yang mengenakan tudung bambu itu termakan tantangan si Kipas Maut. Dia mendengus berat. Dan dari balik tudungnya, jelas sekali kalau tengah menatap Pandan
Wangi. "Sebaiknya kau memang mampus! Hih...!"
Cepat sekali wanita berbaju merah itu mengebutkan
tangan kanannya. Dan seketika itu juga, dari balik li-patan lengan bajunya
melesat cepat beberapa buah
benda kecil berbentuk jarum ke arah Pandan Wangi.
"Heh..."! Hup!"
Pandan Wangi agak terkesiap juga. Tapi dengan kecepatan mengagumkan, tubuhnya langsung melenting
ke atas. Sehingga, jarum-jarum itu hanya lewat di bawah telapak kakinya. Tapi
belum juga bisa menguasai
diri di udara, mendadak saja wanita berbaju merah itu sudah melesat menyerang si
Kipas Maut. "Hiyaaat..!"
"Tahan...! Hih!"
Rangga cepat-cepat bertindak. Langsung dilepaskannya satu sodokan kilat ke arah perut wanita
itu. Sehingga, wanita itu harus membatalkan serangan pada Pandan Wangi, dan
cepat-cepat memutar tubuhnya di udara untuk menghindari sodokan tangan kiri
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ikh...!"
Tap! Manis sekali wanita itu kembali menjejakkan kakinya di tanah. Dan secara bersamaan, Pandan Wangi
juga menjejakkan kakinya di samping Rangga.
"Huh! Kalian berdua sama saja! Jangan menyesal
kalau hari ini tubuh kalian jadi santapan cacing tanah!" dengus wanita itu dingin, agak bergetar.
Sret! Cring! Saat itu juga, wanita bertudung besar ini langsung
mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di
pinggang. Tampaknya, sebilah pedang yang kelihatannya biasa saja, tanpa memiliki pamor mengiriskan.
"Hiyaaat...!"
Bet! Begitu cepat wanita itu melompat sambil membabatkan pedangnya ke arah dada Pendekar Rajawali
Sakti. "Hap!"
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga cepat
berkelit menghindari serangan wanita ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, arah
pedang wanita itu bisa dibe-lokkan, hingga tertuju ke leher Pandan Wangi. Begitu
cepatnya gerakan pedang itu, membuat kipas maut ja-di terkesiap sesaat. Tapi
dengan cepat sekali, Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya, dan langsung
dikebutkan ke depan tenggorokannya.
"Akh...!"
"Pandan...!"
Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata tubuh Pandan Wangi terpental, ketika kipasnya yang melindungi tenggorokan menghantam
pedang wanita bertudung
ini. Namun belum juga Rangga bisa bertindak, wanita
itu sudah kembali melesat cepat sambil membabatkan
pedangnya tepat mengarah ke leher si Kipas Maut.
Sementara, saat itu Pandan Wangi tengah terhuyung
kehilangan keseimbangan. Dan ini seketika membuat
Rangga jadi terkesiap.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat.
Langsung disambarnya tubuh Pandan Wangi, tepat di
saat wanita berbaju merah dan bertudung bambu itu
membabatkan pedangnya.
Wuk! Pedang itu ternyata hanya melesat membabat angin.
Begitu cepat sekali tindakan yang dilakukan Rangga,
sehingga bisa menyelamatkan leher Pandan Wangi dari
sabetan pedang yang kelihatannya biasa itu. Sementara, Rangga melenting tinggi ke udara. Lalu dengan manis sekali kakinya bisa


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijejakkan di tanah. Dan Pandan Wangi langsung terhuyung, begitu terlepas dari
pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Ukh, tanganku...," keluh Pandan Wangi sambil
memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri.
Gadis itu merasakan seluruh tulang tangan kanannya seperti remuk, akibat kipas mautnya membentur
pedang wanita yang tidak dikenal itu. Sungguh tidak
diduga kalau pedang yang kelihatannya biasa itu, memiliki kekuatan sangat dahsyat Bahkan tenaga dalam
wanita itu juga sangat tinggi, sehingga membuat tangan kanan Pandan Wangi jadi terasa remuk.
"Menjauhlah, Pandan," pinta Rangga.
Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Segera
kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu. Bibirnya masih meringis menahan sakit yang amat sangat pada seluruh tangan kanannya. Sementara, kipas
yang menjadi senjata kebanggaannya terpental jauh
darinya. Dan Rangga sudah melangkah menghampiri kipas
putih senjata Pandan Wangi yang tergeletak cukup
jauh darinya. Sedangkan wanita bertudung dari bambu itu hanya memperhatikan saja, dengan pedang tersilang di depan dada. Perlahan Rangga terus melangkah menghampiri kipas baja putih senjata Pandan
Wangi. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali Sakti berhenti sambil memperhatikan
wanita berbaju merah itu.
Dalam beberapa gebrakan tadi, Rangga sudah dapat
menilai kalau wanita itu tidak bisa dipandang enteng.
Setiap gerakan yang dilakukan begitu cepat dan sama
sekali tidak terduga.
Perlahan Rangga membungkukkan tubuhnya. Diambilnya kipas baja putih yang menggeletak ditanah,
lalu diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Pendekar
Rajawali Sakti kembali berdiri tegak sebentar, lalu melangkah menghampiri wanita
bertudung yang masih
tetap diam, berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Namun dari balik
tudungnya yang cukup besar,
Rangga bisa merasakan kalau sorot matanya yang tajam tertuju kepadanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti
baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.
*** "Kepandaianmu sangat tinggi, Nisanak. Tapi sayang
sekali, ilmu yang begitu tinggi digunakan tidak pada tempatnya...," ujar Rangga
agak datar terdengar nada suaranya.
"Kau juga ingin menantangku..."!" dengus wanita
itu dingin, tanpa menghiraukan kata-kata Rangga barusan. "Aku merasa tidak ada pertentangan di antara kita.
Jadi sebaiknya tidak perlu membuka jurang permusuhan," sahut Rangga kalem.
"Hm.... Kau takut...?" ejek wanita itu memanasi.
Rangga jadi tersenyum tapi terasa begitu kecut. Jelas sekali kalau wanita ini mencari persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun, Rangga masih
berusaha tidak terpancing. Hanya saja hatinya merasa penasaran, kenapa wanita
ini menginginkannya cepat-cepat pergi meninggalkan Desa Paranggada. Dan belum lama tadi, Ki Marta bersama orang-orangnya juga
menyerang. Bahkan menuduhnya telah membunuh
anaknya. Apakah wanita ini juga punya alasan sama..." "Nisanak! Kau menginginkan aku pergi dari sini.
Kalau boleh tahu, apa sebabnya...?" Rangga meminta
penjelasan lagi.
"Sudah kukatakan, tidak perlu penjelasan! Kalau
kau mau selamat, cepat tinggalkan desa ini. Tapi kalau terus membandel, aku
tidak akan segan-segan lagi
memenggal kepalamu!" sahut wanita itu kembali mengancam. "Maaf, Nisa...."
"Keparat...! Rupanya kau ingin mampus, heh..."!
Hih!" Bet! "Hap!"
Rangga cepat-cepat melompat mundur, begitu pedang di tangan wanita bertudung itu berkelebat begitu cepat ke arah lehernya.
Sungguh tidak diduga kalau
akan mendapat serangan yang begitu cepat dan mendadak. Dan belum saja tubuhnya bisa ditegakkan lagi, wanita bertudung itu sudah
menyerang lagi dengan
kecepatan sukar sekali diikuti mata biasa.
"Hih! Yeaaah...!"
Bet! "Hap!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara,
menghindari serangan-serangan gencar wanita bertudung ini. Ujung pedang wanita itu bagaikan memiliki
mata saja. Begitu cepat berkelebat, mengikuti setiap gerakan Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengoyak tubuhnya, tapi sampai
saat ini Rangga masih bisa menghindarinya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa, masing-masing sudah mengeluarkan lebih dari lima jurus.
Tapi, pertarungan masih terus berlangsung. Bahkan
semakin bertambah sengit saja. Begitu cepat gerakangerakan yang dilakukan, sehingga sulit diikuti mata
biasa. Hanya dua bayangan saja yang terlihat berkelebat saling sambar dengan
kecepatan tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja mereka sama-sama melenting ke udara. Tampak saat itu, Rangga mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sementara, wanita
bertudung itu membabatkan pedangnya ke arah kepala, tepat di saat Rangga merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah perut. Namun tanpa
diduga sama sekali....
Wut! "Ikh...!"
Rangga jadi terperanjat setengah mati. Ternyata secara tidak terduga, wanita bertudung itu bisa cepat
memutar pedangnya untuk melindungi perut dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepatcepat Rangga menarik tangannya pulang, sehingga
terhindar dari tebasan pedang itu.
"Hap!"
Secara bersamaan, mereka meluruk turun sambil
terus melancarkan serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya. Dan begitu mereka sama-sama menjejakkan kaki di tanah, saat itu juga....
"Suiiit...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar si-ulan panjang dan melengking
tinggi, sehingga membuat telinga jadi terasa sakit. Dan saat itu juga, wanita bertudung ini melompat
mundur keluar dari pertarungan. Pedangnya langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.
"Ingat! Aku akan mencarimu. Hati-hati dengan kepalamu, Setan Keparat...!" desis wanita itu dingin
menggetarkan. Setelah berkata demikian, dengan kecepatan menakjubkan wanita itu melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata
saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap tak terlihat. Sementara, Rangga masih
berdiri tegak seperti terpaku melihat kedigdayaan wanita bertudung tadi.
Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandang ke arah perginya wanita bertudung yang tidak dikenalnya. Kemudian tubuhnya
berbalik, dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah duduk bersila dengan sikap bersemadi. Rangga berhenti, setelah dekat di depan
gadis itu. Saat itu juga, Pandan Wangi membuka kelopak matanya yang tadi
terpejam. Langsung kepalanya diangkat, dan menatap wajah
tampan di depannya.
"Bagaimana tanganmu?" tanya Rangga langsung.
"Hhh! Hanya terkena aliran tenaga dalam tinggi,
Kakang," sahut Pandan Wangi, seraya menghembuskan nafasnya.
Gadis itu kemudian bangkit berdiri. Sebentar tangan kanannya dihentak-hentakkan, kemudian bibirnya
tersenyum. Entah apa yang membuatnya jadi tersenyum. Rangga mengambil kipas putih dari sabuk pinggangnya, dan menyerahkan kembali pada Pandan
Wangi. Gadis itu langsung menerimanya, dan menyelipkan ke balik ikat pinggangnya sendiri.
"Tangguh sekali dia, Kakang. Hampir saja semua
tulang tanganku remuk. Untung aku mengerahkan tenaga dalam tadi," kata Pandan Wangi agak mendengus
suaranya. "Kau terlalu gegabah, dan menganggap ringan senjatanya, Pandan," kata Rangga menilai.
"Ya! Aku memang tadi sempat memandangnya ringan," sahut Pandan Wangi mengakui.
"Itulah kesalahanmu, Pandan. Jangan sekali- sekali
memandang enteng lawan rendah, walaupun kepandaiannya berada di bawahmu. Kau harus menganggap
semua lawan tangguh dan berbahaya. Jadi, tidak sampai kecolongan begitu," kata Rangga menasihati.
Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Rangga
bukan sekali ini memberi nasihat. Tapi, memang Pandan Wangi selalu tidak pernah mendengarkan nasihatnya. Apalagi itu memang sudah jadi wataknya. Dan
dia selalu menganggap dirinya benar saja. Apa yang dilakukan dan dianggapnya
benar, tidak perlu lagi mendapat pertimbangan. Jadi, tidak aneh kalau sering kali Pandan Wangi kecolongan.
"Ayo, Pandan...," ajak Rangga.
"Ke mana?" tanya Pandan Wangi seraya melangkah
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berjalan lebih dulu menghampiri kuda mereka.
"Ke Desa Paranggada," sahut Rangga.
"Heh..."!"
Pandan Wangi jadi terkejut mendengar jawaban
Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk apa ke sana, Kakang...?" tanya Pandan
Wangi. Tapi Rangga sama sekali tidak menjawab, seakan
tidak mendengar pertanyaan si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Dan Pandan Wangi bergegas mengikuti,
naik ke punggung kudanya sendiri. Dan tidak berapa
lama kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya kembali, menuju Desa
Paranggada. *** Hampir menjelang malam, Rangga dan Pandan
Wangi baru sampai di Desa Paranggada. Keadaan di
desa itu tidak berubah, sama seperti saat mereka datang siang tadi. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Bahkan semua orang di desa ini seperti tidak peduli. Tapi begitu
mereka melewati sebuah rumah yang sangat besar dan berhalaman luas, beberapa
anak muda yang ada di sekitar halaman rumah itu
memandanginya dengan sinar mata mengandung kecurigaan. Pandangan mata pemuda-pemuda itu bukannya tidak diketahui. Tapi memang, Rangga sengaja tidak
mempedulikannya. Bahkan sengaja tidak memberitahukan Pandan Wangi yang memang tidak tahu kalau
sedang diperhatikan beberapa pemuda yang berada di
sekitar halaman rumah besar yang dilewati. Dan rumah itu memang yang paling besar di antara rumahrumah lain di Desa Paranggada ini.
"Sudah hampir malam, Kakang. Apa ada penginapan di desa ini...?" ujar Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti yang
berkuda di sebelahnya.
"Mudah-mudahan saja ada," sahut Rangga.
"Tidak semua desa ada penginapannya, Kakang. Kalau desa ini tidak ada penginapan, lalu bagaimana...?"
nada suara Pandan Wangi seperti mengeluh.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi
sebenarnya sudah jemu, karena beberapa hari ini terpaksa harus tidur di alam terbuka. Meskipun Pandan
Wangi seorang pendekar, tapi tetap saja wanita yang
menginginkan tempat nyaman untuk melepaskan lelah. Dan meskipun watak Pandan Wangi agak ugalugalan, tapi masih ada sedikit kemanjaan pada dirinya. Saat itu, mereka sudah sampai di ujung jalan, tepat berada di depan kedai
yang tadi siang dimasuki.
Tampak kedai itu sudah tutup. Sedangkan perempuan
gemuk pemilik kedai itu tengah duduk di balai bambu
dekat pintu, bersama seorang gadis yang tadi membantunya melayani kedua pendekar muda ini. Tidak jauh
dari mereka, terlihat bocah kecil yang tadi mengurus kuda kedua pendekar ini.
Rangga dan Pandan Wangi
sama-sama menghentikan langkah kaki kudanya.
Melihat kedua pendekar muda itu datang lagi, perempuan gemuk itu bergegas turun dari balai bambu
di samping pintu kedainya. Dengan tergopoh-gopoh,
dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi, diikuti gadis
manis dan bocah laki-laki yang sejak siang tadi bertelanjang dada ini. Sikap
mereka begitu ramah, menyambut kedua pendekar muda ini. Rangga dan Pandan Wangi segera turun dari punggung kudanya.
"Maaf, Nyi. Apakah ada penginapan yang terdekat di
sini?" tanya Rangga langsung.
"Penginapan..." Rasanya tidak ada penginapan di
desa ini, Den," sahut wanita gemuk itu. 'Tapi kalau
Raden dan Nini suka, bisa bermalam di sini. Tapi,
hanya ada satu kamar kosong."


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar kakak tidur denganku saja, Mak," selak gadis
manis di belakang wanita gemuk itu.
"Oh, iya.... Bisa..., bisa. Biar Nini tidur dengan
anakku ini," kata wanita gemuk itu.
"Terima kasih, Nyi. Jadi merepotkan saja," ucap
Rangga merasa tidak enak atas keramahan ini.
"Ah, tidak.... Raden juga sudah begitu baik. Belum
Pedang Kunang Kunang 11 Pendekar Naga Putih 38 Tewasnya Raja Racun Merah Pusaka Tongkat Sakti 2

Cari Blog Ini