Ceritasilat Novel Online

Penghianatan Danupaksi 1

Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
1 "Hiyaaa! Hiyaaa...!"
Seorang pemuda berbaju rompi putih tampak tengah memacu cepat kudanya seperti
dikejar setan. Sedangkan di belakangnya, seorang gadis berpakaian ketat warna biru muda tampak
kewalahan mengimbangi lari kuda hitam di depannya. Memang kuda yang ditunggangi
gadis itu kelihatannya bukan tandingan kuda di depannya yang bisa berlari
secepat angin. "Hiyaaa...!"
Gadis berpakaian serba biru muda dengan pedang bergagang kepala naga yang
tersembul di balik punggungnya itu terus menggebah kudanya agar berlari lebih
cepat lagi. Tapi tetap saja kuda putih yang ditungganginya semakln Jauh
tertlnggal. Dan kini yang terlihat di depannya hanya kepulan debu mem-bubung
tinggi di angkasa. Sementara, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat sama sekali
bersama tunggangannya. Bahkan bayangannya pun sudah tidak terlihat.
"Edan...! Bisa mati kudaku kalau mengikuti Kakang Rangga terus!" dengus gadis
berpakaian biru muda itu dalam hati.
Memang, penunggang kuda hitam yang telah
melesat di depan itu adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan gadis penunggang kuda putih itu tentu saja adalah Pandan Wangi.
Dan kalau dibandingkan, kuda putih milik Pandan Wangi memang tidak ada apaapanya dengan kuda
hitam bernama Dewa Bayu milik Rangga.
Pandan Wangi jadi iba juga melihat kuda putihnya telah mendengus-dengus
kelelahan, karena terus-menerus dipaksa berlari cepat, mengikuti Dewa Bayu.
Air liur kudanya terus mengalir menetes bersamaan dengus napasnya yang memburu.
"Hooop...!"
Tanpa menghiraukan Rangga yang sudah tidak terlihat lagi, Pandan Wangi
menghentikan lari kudanya.
Kemudian gadis itu melompat turun. Gerakannya sangat indah dan ringan. Dari sini
bisa dilihat kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki si Kipas Maut itu sudah
sangat tinggi. Bahkan ketika kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak
menimbulkan suara.
"Ayo ke sini, Putih...."
Pandan Wangi kini menuntun kuda putihnya mendekati sebuah aliran sungai kecil
yang tidak jauh dari situ. Kemudian, ditinggalkannya kuda putih itu, dibiarkan
mereguk sejuknya air sungai. Sedangkan, gadis cantik berbaju biru muda yang
berjuluk si Kipas Maut itu menghempaskan tubuhnya di atas akar yang menonjol
keluar dari dalam tanah.
"Phuuuh...!"
Keras sekali Pandan Wangi menghembuskan
napasnya. Sementara pandangan matanya tertuju lurus ke arah kepulan debu yang
masih terlihat mem-bubung tinggi di angkasa. Dia tidak tahu lagi, sudah sampai
di mana Rangga saat ini. Tapi, bukan itu yang menjadi pikirannya. Ada sesuatu
yang terus mengganjal dalam benaknya, yang sampai saat ini belum bisa terjawab.
"Aneh.... Tidak biasanya Kakang Rangga seperti itu.
Ada apa, ya...?" Pandan Wangi bicara sendiri, dengan nada bertanya-tanya.
Pandangan mata gadis itu terus tertuju ke arah kepulan debu yang semakin memudar
tertiup angin, namun masih terlihat cukup jelas dari tempatnya beristirahat.
Tampak keningnya berkerut, dan kelopak matanya sedikit menyipit. Entah apa yang
ada dalam pikirannya saat ini. Namun, pandangannya sedikit pun tidak beralih
dari kepulan debu yang semakin memudar.
"Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi pada diri Kakang Rangga. Tapi, apa...?"
kembali Pandan Wangi bertanya-tanya pada diri sendiri.
Gadis itu memalingkan wajahnya, menatap kuda putih yang sudah tidak lagi
melepaskan dahaga.
Bahkan binatang yang tubuhnya tinggi tegap dan berotot itu tengah memandanginya.
Seakan-akan ingin mengatakan sudah siap dipacu kembali, mengejar Pendekar
Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan mereka berdua.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang, Pandan Wangi bangkit bcrdirl Sebentar
tubuhnya digeliat-geliatkan, mencoba mengusir rasa pegal pada per-sendian tulang
pinggangnya. Kemudian kakinya melangkah, menghampiri kudanya yang berbulu putih
bersih bagai kapas.
"Sudah cukup istirahatmu, Putih?" Tanya Pandan Wangi sambil mengelus-elus leher
kuda putihnya. Kuda putih itu mengangguk-angguk sambil mendengus kecil, seakan-akan mengerti
ucapan si Kipas Maut tadi. Pandan Wangi tersenyum. Dengan gerakan indah sekali,
gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Tapi baru saja duduk di pelana,
tiba-tiba.... Wusss! "Heh..."! Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke udara, sambil menghentakkan kaki ke tubuh
kudanya. Kuda putih itu kontan meringkik keras, dan langsung melompat begitu
penunggangnya melesat ke atas.
"Hap!"
Manis sekali gadis berjuluk si Kipas Maut itu menjejakkan kakinya kembali di
tanah. Sedikit kepalanya berpaling, melirik sepotong ranting yang tadi meluncur
cepat sekali ke arahnya. Ranting kering sepanjang dua jengkal itu menancap dalam
pada sebatang pohon, tidak jauh di sebelah kanannya.
Jelas, ranting itu dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
*** Belum juga hilang rasa terkejutnya, kembali Pandan Wangi dikejutkan oleh
melesatnya seorang wanita tua bungkuk dengan gerakan sangat ringan dari atas
pohon. Begitu ringannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya
menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan Pandan Wangi.
"Hm.... Kaukah yang melemparkan ranting itu padaku, Nek?" tanya Pandan Wangi
langsung, sambil merayapi perempuan tua yang baru muncul itu.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua itu hanya terkikik saja untuk menjawab pertanyaan Pandan Wangi.
Sedangkan si Kipas Maut itu semakin tajam merayapi seluruh tubuh perempuan tua
di depannya. Gadis itu menaksir, kalau usia perempuan tua itu pasti sudah lebih dari tujuh
puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk mengenakan baju panjang longgar
berwarna hijau yang sudah memudar. Dan di tangan kanannya tampak tergenggam
sebatang tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan. Pada lehernya yang
keriput, melingkar seuntai kalung dari batu hitam sebesar-besar ibu jari.
Suaranya pun terdengar kering dan mengerikan saat tertawa tadi.
Dan rambutnya yang sudah putih tergelung ke atas, diikat oleh kain pita berwarna
hitam lusuh. "Kau yang bernama Pandan Wangi..?" Perempuan tua itu bertanya dengan suara
kering dan datar.
"Benar," sahut Pandan Wangi.
"Hik hik hik...!"
"Dan kau, siapa...?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua itu hanya tertawa saja, seperti tidak menghiraukan pertanyaan
Pandan Wangi barusan. Perlahan kakinya digeser ke depan beberapa langkah. Begitu
ringan gerakan kakinya, sehingga hampir tidak terlihat Dan seakan-akan kedua
telapak kakinya tidak menjejak tanah. Bahkan rumput yang dipijaknya pun sama
sekali tidak rusak. Melihat itu, Pandan Wangi sudah bisa meduga kalau tingkat
kepandaian yang dimiliki perempuan tua itu pasti sangat tinggi.
"Tidak perlu tahu siapa aku, Pandan Wangi. Yang perlu diketahui, hari ini kau
harus bersiap-siap mati!"
ancam perempuan tua itu dingin.
"Heh..."! Apa katamu..."!" Pandan Wangi jadi kaget setengah mati.
"Hik hik hik...! Rasanya kau belum tuli, Pandan Wangi. Bersiaplah menyambut
kematianmu."
"Eh, tunggu...!"
"Hiyaaat..!"
Tapi perempuan tua yang tidak bersedia menyebutkan namanya, sudah melompat begitu cepat bagai kilat Akibatnya, Pandan Wangi
jadi terperangah dengan kedua bola mata terbeliak lebar.
"Hap!"
Cepat-cepat gadis berjuluk si Kipas Maut itu menarik tubuhnya ke belakang,
begitu ujung tongkat perempuan tua yang runcing berkelebat cepat sekali mengarah
ke dadanya. Dan ujung tongkat yang runcing itu hanya lewat sedikit saja di depan
dada Pandan Wangi.
"Hup!"
Pandan Wangi langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu terhindar
dari serangan perempuan tua yang tidak dikenalnya itu. Tapi baru saja kakinya
menjejak tanah, perempuan tua itu sudah kembali melesat cepat bagai kilat,
sambil mengebutkan tongkatnya yang berujung runcing beberapa kali.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Mau tak mau Pandan Wangi terpaksa harus
berjumpalitan, menghindari serangan-serangan cepat yang dilancarkan perempuan
tua ini. Beberapa kali ujung tongkat runcing itu hampir mengenai tubuhnya, tapi
si Kipas Maut masih bisa menghindari dengan gerakan tubuh yang sangat indah.
"Hup!"
Begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke belakang, lalu
berputaran beberapa kali sebelum kedua kakinya menjejak tanah.
Sret! Bet! Cepat sekali gerakan tangan Pandan Wangi, saat mencabut kipas maut dari balik
ikat pinggangnya.
Seketika senjata maut itu langsung terkembang di depan dada. Sementara,
perempuan tua itu berdiri dengan tubuh terbungkuk. Ditatapnya tajam-tajam pada
kipas putih keperakan yang terkembang di depan dada.
"Hik hik hik...! Kenapa tidak Pedang Naga Geni saja yang dicabut, Pandan
Wangi...?" terasa dingin sekali nada suara perempuan tua itu.
"Hm.... Tampaknya kau sudah tahu banyak tentang diriku, Nenek Tua," desis Pandan
Wangi, tidak kalah dinginnya.
"Aku sudah tahu banyak tentang dirimu, Pandan Wangi. Dan aku juga tahu cara
untuk mengirimmu ke neraka," sahut perempuan tua itu, tetap kering dan dingin
suaranya. "Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam perlahan saja.
Sedikit si Kipas Maut menggeser kakinya ke kanan. Tatapan matanya tetap tajam,
mengamati setiap gerakan perempuan tua ini. Dalam bentrokan yang terjadi
beberapa jurus tadi, Pandan Wangi sudah bisa mengukur kalau kepandaian perempuan
tua ini cukup tinggi. Namun sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam hatinya.
"Bersiaplah, Pandan Wangi. Hiyaaat!"
Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat cepat bagai kilat
dan dengan cepat pula tongkatnya dikebutkan beberapa kali, mengarah ke bagianbagian tubuh si Kipas Maut yang mematikan.
"Hap! Yeaaah...!"
Bet! Wuk! Tampaknya Pandan Wangi kelihatan tidak ingin main-main lagi dalam menghadapi
perempuan tua yang tidak dikenalnya ini. Dengan cepat sekali serangan itu disambutnya dengan
kipas maut yang terkembang di tangan kanan. Bahkan beberapa kali serangan
tongkat berujung runcing itu dicoba untuk ditangkis. Tapi, tampaknya perempuan
tua itu tidak ingin tongkatnya berbenturan dengan kipas putih keperakan milik
Pandan Wangi. Dia selalu bisa menarik dan menghindar setiap kali si Kipas Maut
hendak menyampoknya.
"Hiyaaa...!"
Melihat lawannya seperti sengaja menghindari senjata kipasnya, Pandan Wangi
semangatnya langsung bangkit seketika itu juga. Dan sambil berteriak nyaring,
tubuhnya melenting ke udara. Lalu, dengan cepat sekali tubuhnya meluruk deras
sambil mengebutkan kipasnya yang berujung runcing.
Arahnya langsung ke kepala, leher, dan dada perempuan tua ini.
"Hait..!"
Mendapat serangan balasan yang begitu cepat, perempuan tua itu jadi kelabakan
juga menghindarinya. Tubuhnya berjumpalitan dan meliuk-liuk untuk menghindari
kibasan kipas maut di tangan kanan Pandan Wangi. Kipas putih keperakan berujung
runcing seperti mata anak panah itu bagaikan memiliki mata saja. Ke mana saja
perempuan tua itu bergerak, kipas putih itu selalu mengikuti dengan kecepatan
sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hiyaaat..!"
Wuk! Begitu cepat Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke arah dada. Dan kali ini,
perempuan tua itu tidak punya kesempatan menghindar lagi. Terpaksa serangan itu
harus ditangkis dengan tongkatnya.
Hingga.... Tak! "Ikh..."!"
"Hup!"
Perempuan tua itu jadi terperanjat setengah mati, begitu tongkatnya berbenturan
dengan kipas maut milik Pandan Wangi. Sementara, gadis cantik yang berbaju biru
muda itu langsung melompat ke belakang. Tubuhnya berputaran beberapa kali,
sebelum kakinya menjejak tanah. Tampak bibirnya meringis sambil memindahkan
kipasnya ke tangan kiri.
"Gila! Besar juga tenaga dalarh nenek tua ini...,"
dengus Pandan Wangi dalam hati.
"Phuih! Rupanya gadis ini memang tidak bisa dianggap enteng. Huh! Tampaknya aku
harus memeras tenaga untuk menandinginya," dengus perempuan tua itu dalam hati.
Kini mereka berdiri berhadapan dengan jarak sekitar satu batang tombak. Satu
sama lain saling menatap tajam, menusuk langsung ke bola mata masing-masing.
Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian satu sama lain.
Pandan Wangi memasukkan kembali kipas maut ke dalam sabuk emas yang membelit
pinggangnya. Perlahan kemudian, tangan kanannya terangkat ke atas pundak. Lalu, digenggamnya
tangkai Pedang Naga Geni yang berbentuk kepala ular naga berwama hitam pekat.
Tapi senjata mautnya belum dicabut.
Hatinya seperti ragu-ragu untuk menggunakan Pedang Naga Geni.
Si Kipas Maut itu jadi teringat kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang sudah
berpesan agar tidak menggunakan Pedang Naga Geni kalau tidak terpaksa
sekali. Dan memang, selama ini Pandan Wangi jarang sekali menggunakan Pedang
Naga Geni dalam pertarungannya. Kalaupun pedang itu digunakan, memang karena
untuk membela diri.
Cring! Perlahan Pandan Wangi mencabut Pedang Naga Geni. Maka seketika dari mata pedang
itu memancarkan api yang berkobar-kobar, dan menyebarkan hawa panas luar biasa.
Begitu panasnya, sampai-sampai perempuan tua itu menarik kakinya ke belakang
beberapa langkah. Agak terbeliak juga bola matanya saat melihat pamor Pedang
Naga Geni begitu dahsyat
"Ayo! Majulah kau, Nenek Tua!" desis Pandan Wangi dingin menggeletar.
Saat itu juga, Pandan Wangi bagaikan malaikat maut yang hendak mencabut nyawa.
Apalagi dengan Pedang Naga Geni di tangan. Dan wajahnya juga jadi menegang kaku.
Sorot matanya terlihat begitu tajam.
Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.
Bahkan terkatup rapat mencerminkan keganasan, bagai sosok siluman yang sudah
haus darah. Dan itu memang pengaruh dari Pedang Naga Geni pada siapa saja yang
memegangnya. Nafsu membunuh pun seketika menyeruak
menyelimuti hati si Kipas Maut itu. Tanpa dapat dicegah lagi, pengaruh dahsyat
Pedang Naga Geni sudah me-rasuk ke daram hati dan aliran darah gadis itu. Dan
tampaknya, jiwanya memang masih belum sempurna benar dalam penguasaan pengaruh
pedang itu. "Kenapa kau diam saja, Nenek Tua" Kau gentar melihat Pedang Naga Geni...?"
terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.
"Hik...!"
Perempuan tua itu menelan ludahnya yang mendadak saja jadi terasa pahit. Entah
kenapa, tiba-tiba saja hatinya jadi bergetar melihat pamor Pedang Naga Geni yang
begitu dahsyat. Dan ini benar-benar di luar perkiraannya semula. Sungguh tidak
disangka kalau pedang bergagang kepala naga hitam itu memiliki pamor yang sangat
dahsyat, sehingga membuat hatinya langsung bergetar melihatnya.
"Kau tidak ingin menyerang, Nenek Tua..." Baik.


Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan salahkan aku kalau pedangku ini menghirup darah busukmu!" desis Pandan
Wangi dingin meng-getarkan.
Sambil berkata demikian, Pandan Wangi melangkah perlahan-lahan mendekati
perempuan tua lawannya. Dan pedangnya yang mengeluarkan api sudah terentang
lurus ke depan. Ujungnya diarahkan langsung ke jantung. Sementara, perempuan tua
bertubuh bungkuk itu masih tetap diam memandangi tanpa berkedip sedikit pun.
"Mampuslah kau, Nenek Tua! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring melengking, tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat cepat
bagai kilat Dan pedangnya yang memancarkan api langsung ditebaskan disertai
pengerahan seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Begitu dahsyat kebutan Pedang Naga
Geni itu, sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai badai.
"Hup!"
Perempuan tua itu cepat-cepat melompat ke belakang, menghindari tebasan pedang
yang memancarkan api sangat panas luar biasa. Tapi, rupanya serangan Pandan
Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali pedangnya dikebutkan dengan
kecepatan sangat dahsyat, mengarah ke kaki
perempuan tua lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Dan begitu Pedang Naga Geni berkelebat mengarah ke kaki, perempuan tua itu
cepat-cepat melesat ke atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi
melenting. Dan tubuhnya jadi berbalik, hingga kakinya berada di atas. Lalu
dengan gerakan cepat sekali, kakinya dihentakkan.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pandan Wangi kali ini, hingga perempuan
tua itu tidak punya kesempatan untuk menghlndar. Dan....
Desss! "Akh...!"
Begitu keras tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga membuat perempuan
tua itu terpental sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya terbanting ke
tanah. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi sudah melesat cepat sambil berteriak
keras menggelegar. Bahkan pedangnya sudah terangkat naik ke atas kepala, siap
ditebaskan ke leher perempuan tua ini.
"Hiyaaat...!"
"Oh, mati aku...," keluh perempuan tua itu.
Namun begitu mata Pedang Naga Geni yang memancarkan api itu hampir berkelebat
menyambar leher perempuan tua yang menggeletak itu, mendadak saja....
Slap! Tring! "Ikh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat
kilatan cahaya biru menyambar pedangnya yang tengah meluncur deras
ke leher perempuan tua ini. Tangannya seketika terasa jadi menggeletar, begitu
pedangnya mem-bentur cahaya biru yang berkelebat begitu cepat me-nyambarnya
tadi. "Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke belakang dan berputaran beberapa kali,
sebelum kakinya menjejak tanah. Beberapa kali dilakukannya gerakan-gerakan jurus
kembangan permainan pedang untuk melemaskan otot tangannya yang seketika juga
jadi meregang kaku.
Dan begitu menatap perempuan tua lawannya yang masih menggeletak tak berdaya di
tanah, kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tampak
ternganga. "Kakang...."
*** 2 Hampir saja Pandan Wangi tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tepat di
depan perempuan tua yang menjadi lawannya tadi, berdiri tegak Pendekar Rajawali
Sakti dengan pedang pusaka sudah ter-silang di depan dada. Cepat-cepat gadis itu
memasukkan Pedang Naga Geni ke dalam warangkanya di punggung. Dan saat itu,
Rangga juga memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
"Kakang...," desis Pandan Wangi, langsung menghampiri.
Tapi langkah gadis itu langsung terhenti, begitu melihat perempuan tua yang jadi
lawannya tadi tengah berusaha bangkit berdiri dengan bantuan tongkat kayu yang
tidak beraturan bentuknya. Dan akhirnya dia mampu berdiri, walau napasnya jadi
tersengal akibat menerima tendangan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari si Kipas
Maut tadi. Sementara, Rangga mengqeser kakinya ke kanan dan memutar tubuhnya sedikit. Kini,
dirinya menjadi penengah di antara Pandan Wangi dan perempuan tua itu.
"Ada apa ini, Pandan" Kenapa sampai menggunakan Pedang Naga Geni?" tanya Rangga
seraya menatap Pandan Wangi.
"Tanyakan saja padanya, Kakang. Dialah yang lebih dulu mencari gara-gara!" sahut
Pandan Wangi, agak mendengus suaranya.
Rangga berpaling, menatap perempuan tua yang
masih berusaha mengatur jalan pemapasannya.
Pandan Wangi juga menatap perempuan tua itu dengan sinar mata tajam. Sedangkan
yang dipandangi seperti tidak peduli, tetap saja berusaha mengatur jalan
pernapasannya. "Nyai! Apa sebenarnya yang terjadi" Kenapa kau sampai bertarung dengan Pandan
Wangi?" tanya Rangga, setelah melihat perempuan tua yang belum menyebutkan
namanya itu sudah agak lancar pernapasannya.
Perempuan tua itu tidak menjawab. Hanya ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti
dengan sinar mata yang sangat tajam. Dan mendadak saja....
"Hup!"
"Hei..!"
Hampir saja Pandan Wangi melesat mengejar, begitu tiba-tiba perempuan tua itu
cepat melompat pergi. Dan untung saja, Rangga segera mencekal pergelangan tangan
si Kipas Maut ini.
"Biarkan, Pandan. Tidak ada gunanya mengejar,"
ujar Rangga. "Huh! Dia tadi hampir saja membunuhku, Kakang,"
dengus Pandan Wangi, masih merasa kesal.
Rangga melepaskan cekalan tangannya, kemudian melangkah menghampiri seekor kuda
hitam yang berdiri berdampingan dengan kuda putih tunggangan si Kipas Maut
Sementara, Pandan Wangi tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian
perempuan tua tadi. Entah kenapa, hatinya masih saja merasa kesal.
Mungkin karena tadi niatnya, untuk mengirim perempuan tua itu ke neraka tidak
kesampaian. Rangga kembali menghampiri Pandan Wangi sambil menuntun dua ekor kuda tunggangan
masing-masing. Kemudian diserahkannya tali kekang kuda
putih pada gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi mene-rimanya dengan wajah masih
memberengut Tapi Rangga tampak tidak peduli. Bahkan langsung melompat ke
punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.
"Ayo, Pandan. Naik ke kudamu," pinta Rangga, bernada agak memerintah.
Pandan Wangi menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti sesaat, kemudian
melompat ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, gadis itu tidak juga
menghentakkan tali kekangnya.
Sementara, Dewa Bayu sudah melangkah membawa Pendekar Rajawali Sakti di
punggungnya. Pemuda itu menghentikan langkah kaki kudanya, saat merasakan Pandan
Wangi belum juga mau menggebah kudanya.
Ketika kepalanya berpaling ke belakang, tampak Pandan Wangi masih tetap duduk di
punggung kudanya yang masih belum jalan juga.
"Ayo, Pandan. Ada apa lagi...?" agak keras.
Kini, baru Pandan Wangi menghentakkan tali kekang. Maka kuda putih itu melangkah
perlahan-lahan menghampiri Dewa Bayu yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.
Kelihatannya, sepasang pendekar muda itu ingin mengendarai kuda perlahan-lahan.
Sesekali Rangga melirik wajah Pandan Wangi yang masih kelihatan memberengut,
akibat pertarungannya tidak sampai tuntas. Padahal, tinggal sedikit lagi
lawannya bisa dikirim ke alam baka.
"Kau kesal, pertarunganmu kuhentikan...?" tegur Rangga seperti bisa membaca
jalan pikiran gadis yang berkuda di sebelahnya.
"Seharusnya perempuan tua itu dibiarkan mati saja, Kakang," dengus Pandan Wangi
masih bernada kesal.
"Kau mengenalnya?" tanya Rangga.
"Tidak," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, kenapa sampai bertarung begitu?" tanya Rangga lagi, ingin tahu.
"Dialah yang memulai lebih dulu," sahut Pandan Wangi singkat.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyerangku."
"Kau tidak tanyakan alasannya?"
"Sudah, tapi tidak dijawab. Namanya saja tidak disebutkan."
"Aneh...," gumam Rangga seperti untuk diri sendiri.
"Kau sendiri, kenal nenek itu, Kakang?" Pandan Wangi balik bertanya, seraya
menatap wajah tampan Pandan Wangi.
"Tidak," sahut Rangga.
Mereka kemudian terdiam. Sedangkan kuda yang ditunggangi tetap berjalan
perlahan-lahan, meniti jalan tanah yang mulai berbatu. Sementara, matahari sudah
mulai turun ke barat. Namun, sinarnya masih tetap terasa terik menyengat kulit.
Kedua pendekar muda itu terus mengendari kudanya perlahan-lahan tanpa berbicara
lagi. Sampai akhirnya, mereka tiba di pinggir sebuah sungai besar.
Di sini, langkah kuda mereka dihentikan. Secara bersamaan, kedua pendekar muda
itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara, kuda-kuda itu
menikmati jernihnya air sungai.
Pandan Wangi membasuh wajah dan lengannya dengan air sungai jemih ini.
Sementara, Rangga sudah menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar pada sebatang
pohon tumbang. Pandan Wangi baru menghampiri Pendekar Rajawali Sakti setelah
tubuh- nya terasa segar kembali begitu terkena air sungai yang jernih dan cukup dingin
ini. Lalu, tubuhnya dihempaskan di samping pemuda yang selalu berbaju rompi
putih itu. "Kau akan menyeberangi sungai ini, Kakang?"
Tanya Pandan Wangi. Pandangan matanya langsung tertuju ke seberang sungai.
"lya," sahut Rangga singkat
"Jadi, kita kembali ke Karang Setra?"
Rangga tidak menjawab. Namun pandangannya tertuju lurus ke seberang sungai.
Tampak di seberang sana, gadis gadis desa tengah membersihkan diri sambil
bersenda gurau. Sementara bocah-bocah berlarian dan bermain-main dengan air
sungai yang dangkal ini. Walaupun sangat lebar, tapi tidak deras alirannya.
Kini kedua pendekar muda itu tidak berbicara lagi.
Mereka memandang terus ke seberang sungai.
Sesekali Pandan Wangi melirik wajah tampan di sebelahnya. Dan setiap kali
menatap dengan sudut ekor matanya, keningnya jadi berkerut. Mungkin sedang
mencoba menerka, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
*** "Kita menginap di Desa Malingping. Besok pagi, baru ke kota," ujar Rangga sambil
bangkit berdiri, setelah cukup lama beristirahat di tepi sungai ini.
"Boleh juga...," sambut Pandan Wangi yang sudah berdiri lebih dulu.
Mereka kemudian naik kembali ke punggung kuda masing-masing, kemudian
menyeberangi sungai yang dangkal ini tanpa tergesa-gesa. Saat itu, matahari
sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Di ufuk barat, hanya terlihat
semburat cahaya kuning kemerahan yang begitu lembut dan indah dipandang mata.
Kedua pendekar muda itu terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan, walaupun
sudah menyeberangi sungai yang kini kelihatan sepi. Mereka terus memasuki sebuah
desa yang tidak begitu besar, namun letak rumah-rumahnya tertata rapi. Desa
inilah yang dinamakan Desa Malingping, yang terdekat dengan Kotaraja Karang
Setra. "Di mana kita menginap, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Di penginapan Ki Sardan," sahut Rangga.
Pandan Wangi tahu betul rumah penginapan yang dimaksudkan Rangga. Mereka memang
sering menginap di sana, kalau memang kebetulan singgah. Dan Ki Sardan, pemilik
rumah penginapan itu, memang sudah dikenal mereka berdua. Walaupun, tidak tahu
kalau sebenarnya pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini adalah Raja Karang
Setra. Selain juga seorang pendekar yang sering berkelana menegak-kan keadilan
dan kebenaran. Rumah penginapan yang dituju sudah terlihat terang-benderang oleh cahaya lampu
pelita. Dan kelihatannya juga banyak dikunjungi tamu. Tapi, sudah tentu tidak
semua tamu yang menginap di sana. Karena selain menyediakan tempat bermalam, Ki
Sardan juga membuka kedai. Apalagi, hanya satu-satunya kedai dan sekaligus rumah
penginapan di Desa Malingping ini.
Ki Sardan kelihatan bergegas keluar begitu Rangga dan Pandan Wangi baru sampai.
Laki-laki tua itu memegangi tali kekang kuda kedua pendekar muda
itu saat turun dari punggung kudanya. Kemudian diserahkannya kuda-kuda itu pada
pembantunya yang langsung membawa ke bagian belakang dari rumah penginapan ini.
Ki Sardan tampak menyambut tamu langganannya ini dengan sikap ramah sekali.
"Seperti biasa, Den...?" tanya Ki Sardan ramah.
"Benar, Ki," sahut Rangga.
"Kalau begitu, makan saja dulu. Biar kamarnya disiapkan," usul Ki Sardan.
Rangga hanya mengangguk saja. Mereka
kemudian masuk ke dalam kedai. Seperti biasanya, Ki Sardan memberi tempat yang
istimewa pada kedua pendekar muda ini. Tapi, suasana kedai ini tidak seperti
biasanya. Terasa begitu ramai. Dan Rangga tahu, tamu-tamu yang datang kebanyakan
para pendatang yang kebetulan singgah. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti melihat
adanya kelainan.
Kebanyakan dari pengunjung kedai ternyata orang-orang persilatan. Dan ini bisa
terlihat dari senjata yang dibawa.
Saat itu, Ki Sardan sudah ke belakang untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi
kedua pendekar langganannya ini. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangan
berkeliling. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi termenung. Dan ini
membuat Pandan Wangi terus memperhatikan dengan kening agak berkerut.
"Ada apa, Kakang?" tegur Pandan Wangi.
"Oh, tidak.... Tidak apa-apa," sahut Rangga agak tergagap.
"Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sejak tadi, kuperhatikan sikapmu aneh,"
tegur Pandan Wangi lagi, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga mencoba memberi senyuman. Tapi, Pandan Wangi tahu kalau ada sesuatu yang disembunyikan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan senyum Pendekar Rajawali Sakti juga terasa hambar sekali.
Walaupun berusaha ditutupi, tapi Pandan Wangi masih bisa melihat adanya
kegelisahan dalam diri kekasihnya. Gadis itu kemudian mengedarkan pandangan
berkeliling, dan kembali menatap wajah tampan yang duduk tepat di depannya.
Saat itu, Ki Sardan datang lagi bersama seorang pembantunya yang membawa baki
berukuran cukup besar, penuh berisi makanan dan minuman. Dengan sikap hormat
sekali, laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu menyediakan
hidangan di atas meja.
"Silakan, Den, Nini...," Ki Sardan mempersilakan dengan ramah, setelah semua
makanan dan minuman terhidang di meja.
"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.
Ki Sardan kembali meninggalkan mereka.
Sementara, Rangga terus saja diam, seperti tengah ada yang direnungkan.
Pandangan matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Sedangkan Pandan Wangi
jadi penasaran memperhatikan sikap Rangga yang kelihatan aneh dan tidak seperti
biasanya. "Ayo makan dulu, Kakang. Sejak pagi tadi kau belum makan apa-apa, kan...?" ajak
Pandan Wangi. "Kau saja yang makan, Pandan," tolak Rangga.
Pandan Wangi memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan
yang dipandangi seperti tidak peduli, dan terus saja mengarahkan pandangan ke
depan kedai ini.
Saat itu, terdengar suara kuda dipacu cepat. Dan tak berapa lama kemudian,
terlihat puluhan orang
berkuda dengan cepat melintas di depan kedai ini.
Semua orang yang ada di dalam kedai langsung menolehkan kepala ke luar. Saat itu
juga, orang-orang yang memadati kedai kecil ini tergesa-gesa berhamburan keluar.
Sebentar saja ruangan kedai yang cukup luas ini jadi sunyi. Yang tinggal hanya
Rangga dan Pandan Wangi saja di tempatnya.
Dari bagian belakang, muncul Ki Sardan. Laki-laki tua itu langsung menuju pintu
depan. Tapi pada saat itu, para penunggang kuda yang berpacu cepat tadi sudah
tidak terlihat lagi. Bahkan mereka yang tadi ada di dalam kedai ini pun sudah
tidak terlihat lagi.
Entah kenapa mereka langsung pergi begitu para penunggang kuda berpacu cepat


Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintas di depan kedai ini terlihat.
"Cepat tutup semua pintu dan jendela!" seru Ki Sardan begitu para pembantunya
keluar dari bagian belakang.
Tanpa ada yang membantah lagi, lima orang pembantu laki-laki tua itu segera
melaksanakan perintah-nya. Sementara Ki Sardan sendiri cepat-cepat menutup pintu
depan. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja. Lima orang
pembantu Ki Sardan kembali ke belakang setelah mengerjakan semua perintah
majikannya. Bahkan beberapa pelita di dalam kedai ini sudah dimatikan.
Tinggal dua pelita saja yang masih menyala, dan letaknya tidak jauh dari meja
yang ditempat Rangga dan Pandan Wangi
"Ki...," panggil Pandan Wangi begitu Ki Sardan hendak kembali ke belakang.
"Oh..."!"
*** Ki Sardan seperti baru tersadar kalau masih ada orang lain di dalam kedainya.
Bergegas dihampirinya kedua pendekar muda langganannya itu. Dalam sira-man
cahaya lampu pelita yang sudah dikecilkan nyala apinya, terlihat wajah Ki Sardan
begitu pucat "Ada apa, Ki" Kenapa sudah menutup kedai ini?"
tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Peraturan baru, Nini," sahut Ki Sardan.
"Peraturan baru..." Peraturan apa, Ki?" tanya Pandan Wangi keheranan.
Belum juga Ki Sardan menjawab pertanyaan
Pandan Wangi, terdengar bunyi kentongan dipukul dengan irama yang berartj.
Pandan Wangi langsung menatap Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja.
Dia tahu, irama bunyi kentongan itu menandakan keadaan yang sedang genting. Itu
artinya sama saja melarang orang keluar rumah. Bahkan melarang rumah-rumah
menyalakan lampu. Saat itu, Ki Sardan mematikan lampu yang tinggal dua. Lalu,
dinyalakannya pelita kecil, dan diletakkan di tengah-tengah meja yang ditempati
kedua pendekar muda ini.
Nyala api pelita yang kecil, ternyata tak kuasa menerangi seluruh ruangan kedai
yang besar ini. Dan hanya sekitar meja itu saja yang diterangi. Tindakan Ki
Sardan membuat hati Pandan Wangi jadi semakin penasaran. Sedangkan Rangga
kelihatan diam saja, seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Tanda kentongan itu biasanya dibunyikan kalau kerajaan sedang berperang. Apakah
di sini telah terjadi perang, Ki?" tanya Pandan Wangi lagi. Kali ini suaranya
dipelankan. "Negeri ini memang sedang gawat, Nini. Sedang perang," jelas Ki Sardan.
"Perang..."!"
Pandan Wangi tidak bisa menahan keterkejutannya. Matanya sempat melirik Rangga
yang masih kelihatan diam, tidak memberi tanggapan sedikit pun juga.
"Memang ada musuh yang menyerang, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Bukan musuh dari luar, Nini. Tapi, musuh dari dalam sendiri."
"Maksudmu, Ki?" Pandan Wangi meminta penjelasan.
Sesekali gadis itu melirik Rangga yang masih saja tetap membisu. Tapi, sekarang
Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sardan dengan sinar mata sukar diartikan.
"Kabarnya, di istana sedang terjadi makar. Dan pemberontak itu dibantu orangorang persilatan. Aku sendiri tidak tahu yang sebenarnya. Tapi, kabar itu sudah
tersebar luas. Dan katanya lagi, sekarang ini tahta kerajaan sedang kosong,"
jelas Ki Sardan, singkat.
"Siapa yang memberontak, Ki?" tanya Pandan Wangi seraya melirik Rangga.
"Wah tidak tahu, Nini. Aku tidak pernah ingin tahu urusan seperti itu," sahut Ki
Sardan lagi. Pandan Wangi terdiam tidak bertanya lagi. Ditatapnya wajah Pendekar Rajawali
Sakti begitu dalam. Sedangkan yang ditatap masih tetap diam membisu.
"Sebaiknya kalian ke kamar saja. Biar makanan ini dibawa ke kamar," ujar Ki
Sardan lagi. "Biarkan kami di sini saja, Ki," kata Rangga, baru membuka suaranya.
"Kalau begitu, boleh kutinggal...?" pinta Ki Sardan.
"Silakan, Ki," ujar Rangga.
Ki Sardan bergegas meninggalkan ruangan kedai yang sudah sepi ini. Kini tinggal
Rangga dan Pandan Wangi yang masih tetap duduk berhadapan tanpa berbicara
sedikit pun juga. Beberapa kali mereka saling bertatapan.
* * * 3 Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, Pandan
Wangi sudah keluar dari kamar penginapannya. Langsung ditujunya kamar yang
ditempati Rangga. Dan memang, kamar mereka bersebelahan. Tapi, mendadak saja
kening gadis itu jadi berkerut begitu melihat pintu kamar Pendekar Rajawali
Sakti sedikit terbuka. Malah masih terlihat nyala lampu palita dari daiam kamar.
Perlahan Pandan Wangi mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tidak ada seorang
pun di dalam kamar ini. Bahkan jendelanya masih tetap tertutup rapat.
Bergegas Pandan Wangi masuk dan memeriksa seluruh ruangan ini. Ternyata Rangga
benar-benar tidak ada lagi. Cepat-cepat gadis itu keluar lagi dari kamar ini dan
kembali ke kamamya sendiri. Setelah menyiapkan senjatanya, gadis iiu kembali
keluar dari kamarnya. Langsung ditujunya tempat penyimpanan kuda. Di depan
kandang kuda, dia bertemu Ki Sardan.
"Lihat Kakang Rangga, Ki?" tanya Pandan Wangi, langsung.
"Sudah pergi pagi-pagi sekali tadi, Nini," sahut Ki Sardan.
"Pergi" Ke mana...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Tidak mengatakan akan ke mana. Tapi Den Rangga pesan agar Nini tidak pergi ke
mana-mana. Katanya, akan kembali lagi siang nanti" sahut Ki Sardan.
"Dia mengendarai kuda, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak. Kudanya masih ada di kandang."
Pandan Wangi jadi tertegun. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Rangga jadi
bersikap begitu..."
Tidak seperti biasanya, Pendekar Rajawali Sakti pergi diam-diam tanpa memberi
tahu terlebih dahulu. Berbagai macam pikiran langsung terlintas di dalam
benaknya. Dan kecemasan pun seketika muncul di hatinya.
"Tolong siapkan kudaku, Ki," pinta Pandan Wangi.
"Mau ke mana?" tanya Ki Sardan.
"Ada urusan, Ki," sahut Pandan Wangi tidak ingin banyak bicara lagi.
"Nanti kalau Den Rangga kembali...?"
"Bilang saja aku pergi sebentar."
Pandan Wangi langsung saja melangkah meninggalkan laki-laki tua itu, dan terus masuk kembali ke dalam rumah penginapan.
Sementara Ki Sardan jadi tertegun kemudian memerintahkan pembantunya untuk
menyiapkan kuda putih tunggangan si Kipas Maut.
Seekor kuda putih tampak sudah slap di halaman depan kedai Ki Sardan, begitu
Pandan Wangi keluar dari dalam kedai bersama laki-laki tua pemilik kedai.
Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun memegangi tali kekang kuda putih
itu, dan menyerah-kannya pada Pandan Wangi.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pandan Wangi melompat naik ke atas
punggung kudanya.
Sebentar ditatapnya Ki Sardan. Kemudian, kudanya digebah dengan cepat
"Hiyaaa...!"
Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi
tinggi ke atas.
Lalu, binatang itu melesat cepat sekali bagaikan anak
panah lepas dari busur Debu mengepul tinggi ke angkasa, tersepak kaki kuda yang
dipacu cepat. "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi memacu cepat kudanya menuju
arah selatan. Begitu cepatnya kuda putih itu berpacu, sehingga dalam waktu
sebentar saja sudah meninggalkan Desa Malingping. Gadis itu terus memacu cepat
kudanya, melintasi jalan tanah yang berdebu dan sedikit berbatu.
Belum juga matahari naik tinggi, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu
sudah sampai di perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dan memang, jarak antara Desa
Malingping dengan Kotaraja Karang Setra tidak begitu jauh, sehingga bisa
ditempuh dalam waktu sebentar saja dengan berkuda.
Kini lari kudanya diperlambat, dan dihentikan tepat di pintu gerbang masuk
Kotaraja Karang Setra. Tidak ada seorang pun penjaga. Sebentar Pandan Wangi
mengamati keadaan sekitarnya.
"Hm, kenapa tidak ada seorang penjaga pun di sini...?" gumam Pandan Wangi
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah, mendadak saja terdengar bentakan keras menggelegar. Seketika gadis yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terkejut dan menghentikan ayunan langkahnya.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, dari balik sebatang pohon beringin
yang besar muncul seorang laki-laki berusia separuh baya.
"Siapa kau" Apa maksudmu datang ke sini?" tanya laki-laki separuh baya bertubuh
tegap dan berbaju wama merah menyala.
"Aku Pandan Wangi. Kedatanganku ke sini untuk mengunjungi saudara-saudaraku di
istana," sahut Pandan Wangi tegas.
"Hah..."! Kau Pandan Wangi...?"
Laki-laki separuh baya bertubuh tegap itu tampak terkejut, saat Pandan Wangi
menyebutkan namanya.
Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang tiga langkah. Dipandanginya
gadis cantik berbaju biru muda itu dalam-dalam, dari ujung kepala hingga ke
ujung jari kakinya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis ini memang Pandan
Wangi. "Kau siapa, Kisanak" Kenapa perjalananku dihentikan?" Pandan Wangi balik
bertanya dengan nada suara tegas sekali.
"Aku Rakyandata, yang bertugas menjaga gerbang kota ini. Dan aku diperintahkan
untuk menyingkirkan siapa saja yang mencoba masuk. Terlebih lagi, yang ada
hubungannya dengan orang-orang istana," sahut laki-laki separuh baya yang
memperkenalkan diri sebagai Rakyandata.
"Hm.... Sejak kapan kau menjadi penjaga pintu gerbang ini, Kisanak" Apakah
Karang Setra sudah tidak punya prajurit lagi, sehingga harus orang luar yang
menjaga kotanya...?" terdengar sinis sekali nada suara Pandan Wangi.
"Karang Setra sudah berubah, Pandan Wangi. Sebaiknya segera enyahlah dari sini,
sebelum kuambil tindakan keras padamu!" sentak Rakyandata, terdengar kasar nada
suaranya. "Kau tahu, Kisanak. Tidak ada seorang pun yang bisa mengusirku dari sini," desis
Pandan Wangi sinis.
"Aku yang akan mengusirmu, Pandan Wangi."
"Hhh...!" Pandan Wangi mendengus kecil dengan bibir menyunggingkan senyum sinis.
Sementara, Rakyandata sudah mencabut senjatanya yang berupa golok berukuran
cukup besar. Golok itu berkilatan melintang di depan dada. Perlahan kakinya
bergeser ke kanan beberapa langkah. Dan tatapan matanya begitu tajam dan tertuju
lurus ke bola mata gadis cantik berjuluk si Kipas Maut yang kelihatan tenang.
Bahkan Pandan Wangi tetap berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
"Kuperingatkan sekali lagi, Pandan Wangi...."
"Kalau ingin mengusirku, coba saja. Ayo laksanakan, Kisanak!" potong Pandan
Wangi cepat "Phuih!" Rakyandata menyemburkan ludahnya sambil mendengus keras.
Sebentar laki-laki berpakaian merah menyala itu menatap tajam Pandan Wangi.
Kemudian.... "Hiyaaat..!"
Bet! "Hait..!"
Manis sekali Pandan Wangi meliukkan tubuhnya, begitu Rakyandata menyerang cepat
sambil mem-babatkan goloknya. Kenyataannya, hanya sedikit saja golok yang
berkilatan tajam itu lewat di depan dada Pandan Wangi. Dan tanpa diduga sama
sekali, gadis itu menarik tubuhnya ke kiri. Lalu dengan kecepatan sukar diikuti
pandangan mata biasa, kaki kanannya dihentakkan. Langsung diberikannya satu
tendangan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Bet! Rakyandata jadi terkejut setengah mati melihat gerakan Pandan Wangi. Maka cepatcepat goloknya dikibaskan, mencoba menghalau tendangan si Kipas
Maut itu. Namun begitu goloknya berkelebat, cepat sekali Pandan Wangi melenting
ke udara, sampai melewati kepala laki-laki separuh baya ini. Dan dengan cepat
sekali kakinya menjejak tanah, tepat di belakang Rakyandata.
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun juga, Pandan Wangi melepaskan satu
pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke punggung laki-laki
separuh baya itu. Begitu cepat gerakannya sehingga Rakyandata tidak sempat lagi
berkelit menghindar. Dan....
Diegkh! "Akh...r"
Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi, sehingga Rakyandata
terpental ke depan, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya bergulingan di tanah
beberapa kali, lalu cepat melompat bangkit Tapi baru saja bisa berdiri, Pandan
Wangi sudah melesat begitu cepat sambil mencabut kipas maut dari balik sabuk
emasnya. Senjata itu langsung dikebutkan dengan kecepatan sangat sukar diikuti
mata biasa. "Hiyaaat..!"
Bet! Begitu cepat serangan yang dilancarkan gadis berjuluk Kipas Maut itu. Akibatnya
Rakyandata hanya mampu terbeliak, tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk
menghindar. Dan....
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang bernada kesakitan seketika terdengar menyayat, begitu ujung
kipas maut yang berbentuk runcing seperti anak panah merobek dada
Rakyandata. Sebentar laki-laki separuh baya itu masih mampu bertahan berdiri. Dan begitu
Pandan Wangi memberi satu tendangan keras ke perutnya, tubuh tinggi besar itu
pun seketika ambruk ke tanah. Darah mengucur deras dari luka di dada yang cukup
lebar dan panjang. Beberapa saat Rakyandata menggelepar, kemudian diam tidak
bergerak-gerak lagi.
"Huh!"
Pandan Wangi mendengus berat sambil memasukkan kembali kipas maut ke balik sabuk
emasnya. Dipandanginya tubuh Rakyandata yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan
dada sobek mengucurkan darah.
*** Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan perlahan-lahan memasuki Kotaraja
Karang Setra. Di dalam kota ini tidak terlihat adanya perubahan sedikit pun.
Semua penduduknya seperti biasa, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kota ini
terlihat begitu ramai, sedikit pun tidak ada tanda-tanda adanya pemberontakan.
Dan keadaan ini membuat Pandan Wangi jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Keanehan memang mulai terasa sejak Rangga tidak bersikap seperti biasa. Bahkan
semakin terasa, setelah sampai di Desa Malingping. Kini keanehan itu menjadikan
Pandan Wangi terus bertanya-tanya di dalam hati. Padahal di Desa Malingping,
terdengar kabar kalau telah terjadi pemberontakan di Kotaraja Karang Setra ini.
Buktinya, begitu masuk kotaraja, Pandan Wangi sudah dihadang oleh orang yang
mengaku dari pihak istana. Bahkan orang itu juga
melarang masuk siapa saja yang ada hubungannya dengan keluarga Istana Karang
Setra. Tapi setelah sampai di desa ini, sedikit pun tidak terlihat adanya bekasbekas terjadi pemberontakan. Dan ini yang membuat Pandan Wangi jadi tidak
mengerti. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu baru menghentikan kudanya setelah tiba di
depan pintu gerbang benteng istana. Sejenak hatinya jadi tertegun melihat empat
orang prajurit menjaga pintu gerbang.
Keempat prajurit itu juga memandanginya, seperti tengah memandang seorang asing
yang patut di-curigai. Pandan Wangi segera menggebah kudanya perlahan, tidak
jadi mendekati pintu gerbang benteng istana. Dan kini malah menjauhinya, dan
berputar ke sebelah kanan. Beberapa prajurit terlihat di sekitar tembok benteng
istana yang memang terlihat agak ketat penjagaannya. Tapi, itu bukanlah hal yang
aneh. Setiap istana pasti dijaga ketat para prajurit bersenjata lengkap.
"Ssst.., Nini.... Nini Pandan...."
"Heh..."!"
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba telinganya mendengar bisikan memanggil
namanya. Langkah kaki kudanya segera dihentikan. Kepalanya bergerak ke kanan dan
kiri, dengan bola mata berputar memandang ke sekitarnya. Tapi, tak terlihat
seorang pun yang memanggilnya tadi.


Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang, di sekelilingnya banyak orang. Tapi, tak ada seorang pun yang kelihatan
memperhatikan dirinya. Semua orang terlihat sibuk dengan pekerjaan masingmasing. Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling, tapi orang yang
memanggil namanya tidak juga
didapatkan. "Nini, ke sini. Aku ada di sebelah kananmu."
Kembali terdengar bisikan yang sangat halus, tapi begitu jelas terdengar di
telinga. Pandan Wangi segera memalingkan wajahnya ke kanan, tapi tidak juga bisa
menemukan adanya orang yang memanggil dengan bisikan perlahan tadi. Pandangan
mata gadis itu kembali tertuju pada kerumunan orang yang mengelilingi seorang
pedagang yang berteriak-teriak, berusaha menarik minat pembeli.
"Aku ada di balik pohon asam, Nini. Kemarilah....
Aku tidak bisa keluar menemuimu."
Kembali terdengar bisikan halus di telinga Pandan Wangi. Gadis yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu langsung berpaling, dan menatap sebatang pohon asam
tua yang tidak jauh dari kerumunan orang banyak itu. Tapi, yang terlihat, di
sana hanyalah seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping dan mengenakan
tudung usang. Dia tampak tengah duduk bersila menghadapi sebuah tempurung kelapa
di depannya. Di atas pangkuannya, tergeletak sebatang tongkat kayu berwarna
putih keperakan.
"Hm.... Apakah dia yang memanggilku tadi...?"
gumam Pandan Wangi bertanya sendiri dalam hati.
Beberapa saat lamanya, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut ini memandangi laki-laki tua pengemis itu. Sebentar kemudian,
pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada seorang pun yang memperhatikannya.
Semua orang yang ada di sekitar tembok benteng istana ini seolah-olah tidak
mengenalnya sama sekali. Kembali Pandan Wangi mengarahkan pandangan ke pohon
asam tua di pinggir jalan. Tapi mendadak saja....
"Heh..."!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak.
Malah mulutnya sampai ternganga begitu pandangannya kembali tertuju ke pohon
asam tua di pinggir jalan ini. Ternyata laki-laki tua pengemis yang tadi
terlihat duduk bersila di bawah pohon asam itu, kini sudah tidak ada lagi.
Bahkan sedikit pun tidak terlihat bekasnya. Tentu saja hal ini membuat Pandan
Wangi jadi terlongong bengong.
"Ke mana dia...?" desis Pandan Wangi jadi bertanya sendiri.
Namun belum juga hilang desisannya, tiba-tiba Pandan Wangi mendengar bisikan
halus yang bernada sama seperti tadi. Suara yang sangat halus, tapi begitu jelas
terdengar. Itu sudah menandakan kalau orang yang mengirimkan suara padanya
memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti, orang-orang yang ada
di sekitar Pandan Wangi sama sekali tidak mendengar.
"Temui aku di ujung jalan ini."
"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.
Pandan Wangi berpaling memandang ke ujung jalan yang membelah Kotaraja Karang
Setra bagai menjadi dua bagian. Tapi, ujung jalan itu berbelok ke arah kanan.
Dan kalau ditelusuri, akan berakhir di perbatasan bagian selatan. Pandan Wangi
jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa maksud orang itu"
"Hup!"
Setelah berpikir beberapa saat, Pandan Wangi melompat naik kembali ke punggung
kuda putihnya. Kemudian tali kekang kuda itu dihentakkan, hingga kembali berjalan perlahanlahan. Sengaja Pandan Wangi tidak cepat-cepat menggebah kudanya, agar tidak
menarik perhatian orang-orang yang hampir
memadati jalan ini.
Gadis itu juga tidak ingin menarik perhatian para prajurit yang setiap saat
selalu mengawasi. Dan memang, tidak semua prajurit di Karang Setra ini
mengenalnya. Tapi, paling tidak hampir semua prajurit berpangkat punggawa
mengenalnya. Dan Pandan Wangi tidak ingin ada prajurit yang tahu kalau dirinya
berada di Karang Setra ini seorang diri.
Karena, biasanya selalu bersama-sama Rangga. Tapi sekarang ini Pendekar Rajawali
Sakti itu pergi entah ke mana.
Pandan Wangi baru mempercepat lari kudanya.
setelah tiba pada tikungan jalan yang sunyi. Dan kudanya terus dipacu dengan
kecepatan sedang.
Pandangan matanya tertuju lurus ke depan. Hanya satu dua orang saja yang
terlihat berjalan di pinggir jalan. Dan mereka juga tampak tidak mempedulikannya. "Hooop. .!"
Pandan Wangi baru menghentikan lari kudanya setelah hampir tiba di perbatasan
kota bagian selatan. Tampak di gerbang perbatasan yang ditandai oleh bangunan
dua buah batu berbentuk gapura, terlihat empat orang berseragam prajurit tengah
berjaga-jaga bersenjatakan tombak.
"Hup!"
Ringan sekali Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda putihnya. Sebentar
pandangannya beredar ke sekeliling. Dan pandangan matanya kemudian tertuju pada
gerbang perbatasan kota yang dijaga empat orang prajurit bersenjata tombak
berukuran panjang.
"Hm.... Tidak ada ujung jalan lain, selain gerbang perbatasan itu," gumam Pandan
Wangi, terus menatap gerbang perbatasan kota itu.
"Nini Pandan..."
"Heh..."!"
Kembali Pandan Wangi dikejutkan suara yang terdengar begitu jelas di telinganya
dari arah belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berpakaian compang-camping
penuh tambalan, tahu-tahu sudah ada dekat di depannya kini. Laki-laki tua
pengemis yang tadi duduk bersila di bawah pohon asam.
Sebentar Pandan Wangi memperhatikan, lalu melangkah menghampiri sambil menuntun
kudanya. Gadis ini berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi
di depan pengemis tua itu.
Hampir sulit untuk bisa melihat wajahnya, karena pengemis itu mengenakan caping
bambu yang sudah usang dan berukuran lebar. Tapi, Pandan Wangi bisa melihat
kalau wajah pengemis ini tidak seperti pengemis pada umumnya. Kelihatannya
terlalu bersih untuk seorang pengemis.
"Ikuti aku," kata pengemis tua itu tanpa mengangkat wajah sedikit pun.
Tanpa menunggu jawaban lagi, pengemis tua itu langsung saja memutar tubuhnya
berbalik. Dan kakinya melangkah ringan sambil mengayun-ayunkan tongkatnya yang
berwama putih keperakan. Sementara, Pandan Wangi memandangi sebentar, kemudian
melangkah sambil menuntun kudanya untuk mengikuti laki-laki pengemis tua itu.
*** 4 Tanpa bicara sedikit pun, Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya, mengikuti
laki-laki pengemis tua itu. Padahal, di dalam kepalanya penuh berbagai macam
tanda tanya. Sama sekali pengemis tua ini tidak dikenalnya, tapi sudah tahu nama
Pandan Wangi. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam kepala gadis itu
saja. "Ke mana kau akan membawaku, Pengemis Tua?"
tanya Pandan Wangi tidak bisa juga menahan diri.
"Belum saatnya berbicara, Nini Pandan. Ikuti saja,"
sahut pengemis tua itu dengan suara datar dan agak serak.
Pandan Wangi langsung terdiam. Terus diikutinya ayunan kaki laki-laki tua ini
sambil menuntun kuda putihnya. Sesekali diperhatikannya langkah kaki pengemis
tua itu. Jelas sekali terlihat kalau rerumputan yang dipijak pengemis tua itu
tidak bergoyang sedikit pun. Bahkan sama sekali tidak berbekas. Pandan Wangi
langsung menyadari kalau pengemis tua itu memiliki kepandaian tinggi.
Setelah tiba di tepi sebuah sungai kecil, langkah pengemis itu baru berhenti.
Dia berdiri mematung sebentar di tepian sungai kecil itu, memandang ke seberang.
Kemudian perlahan-lahan tubuhnya bergerak naik ke atas. Pandan Wangi yang sejak
tadi memperhatikan, jagi ternganga melihatnya. Ternyata pengemis tua itu bisa
melayang seperti kapas! Dan lebih terpaku lagi, saat melihat pengemis tua itu
menyeberangi sungai tanpa menyentuh permukaan
air sedikit pun.
Belum juga hilang keterpanaan Pandan Wangi, pengemis tua itu sudah kembali
menjejak tanah di seberang sungai. Tubuhnya berputar sedikit, dan berpaling ke
belakang menatap Pandan Wangi yang masih berdiri bengong di seberang sungai.
"Ayo, Nini. Kita tidak banyak waktu lagi," ajak pengemis tua itu dari seberang
sungai. Suaranya terdengar biasa, seperti tidak ada perubahan pada nadanya. Pandan Wangi
jadi tersentak.
Maka cepat gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Lalu, kuda putih itu
digebah untuk menyeberangi sungai kecil yang berair dangkal ini.
Pada saat yang bersamaan, pengemis tua itu kembali mengayunkan kakinya
meninggalkan seberang tepian sungai ini.
"Heii..."!"
Kembali Pandan Wangi dibuat terkejut. Kudanya sudah digebah cukup kencang, tapi
tetap saja berada di belakang pengemis tua itu yang tetap melangkah seperti
biasa. Sampai jauh sungai kecil itu tertinggal, tapi tetap saja Pandan Wangi
berada di belakang pengemis tua itu.
"Hooop...!"
Pandan Wangi menarik tali kekang kuda putihnya hingga berhenti.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu melompat
turun dari punggung kudanya. Sementara, pengemis tua itu juga menghentikan
ayunan langkah kakinya. Dan kini, mereka berada dalam jarak sekitar tiga batang
tombak. Perlahan pengemis tua itu memutar tubuhnya berbalik.
Dan dari balik lindungan caping bambunya yang
lebar, ditatapnya Pandan Wangi yang tetap berdiri tegak sambil memegangi tali
kekang kuda putihnya.
Gadis itu juga memandangi dengan sinar mata tajam.
"Ada apa" Kenapa kau berhenti, Nini...?" tanya pengemis tua itu, terdengar biasa
saja suaranya. "Katakan terus terang, apa maksudmu membawaku ke tempat ini?" Pandan Wangi malah
balik bertanya.
Tapi pengemis tua itu tidak segera menjawab.
Malah kakinya kini terayun menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal
sekitar tiga langkah lagi dari gadis cantik berbaju biru muda agak ketat ini.
Dan belum juga pengemis tua itu menjawab pertanyaan Pandan Wangi tadi, tiba-tiba
saja sudah terdengar suara yang agak nyaring.
"Aku yang memintanya membawamu ke sini, Kak Pandan!"
"Heh..."!"
Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati. Dan lebih terkejut lagi, begitu
berpaling ke arah suara yang tiba-tiba terdengar tadi. Hampir tidak dipercayai
dengan penglihatannya sendiri!
Entah datang dari mana, tahu-tahu di atas sebatang pohon jfang tumbang sudah
berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda. Tampak sebilah pedang
tersandang di punggungnya. Gadis itu segera melompat turun. Gerakannya terlihat
indah dan ringan sekali. Kemudian, dia berjalan perlahan menghampiri si Kipas
Maut yang masih terlongong bengong seperti tidak percaya dengan pandangannya
sendiri. "Cempaka...," desis Pandan Wangi seperti tidak sadar.
*** "Apa kabarmu, Kak Pandan?" sapa Cempaka.
"Baik," sahut Pandan Wangi masih seperti belum percaya kalau di tengah hutan
seperti ini bertemu adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku memintamu dengan cara seperti ini.
Semua ini demi keselamatan kita semua," ucap Cempaka.
Pandan Wangi tidak menyahuti. Matanya melirik laki-laki tua pengemis yang masih
berdiri tidak jauh darinya.
"Kau pasti ingin tahu siapa dia, Kak Pandan...?"
tebak Cempaka, seperti bisa membaca jalan pikiran si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi kembali berpaling menatap adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah Menghampiri
pengemis tua itu, dan berdiri di sampingnya.
Sementara, pengemis tua itu membuka caping bambu usang yang sejak tadi menutupi
kepalanya. Kini terlihat jelas wajahnya yang bersih dan bercahaya, walaupun
sudah dipenuhi keriput ketuaannya.
Rambutnya juga sudah memutih semua. Demikian pula kumis dan jenggotnya yang
menyatu, juga sudah berwarna putih semua. Namun, sorot matanya begitu tajam,
walaupun memancarkan keteduhan.
"Ini Ki Sangkala. Tapi, biasanya orang selalu memanggilnya Pengemis Tongkat
Putih. Dan dia juga sahabat karib Kakang Rangga," jelas Cempaka tanpa diminta.
"Oh..."
Pandan Wangi jadi terlongong. Sungguh sejak tadi tidak disadari kalau laki-laki
tua berpakaian compangcamping dan penuh tambalan itu adalah si Pengemis Tongkat Putih. Dan memang,
julukan itu sudah sering didengarnya. Tapi, memang baru kali ini Pandan Wangi
bertemu. Rangga sendiri sudah sering menceritakan tentang sahabatnya yang satu
ini. Pantas saja, ilmu meringankan tubuh yang diperlihatkannya begitu tinggi.
Bahkan bisa melayang di atas air waktu menyeberangi sungai tadi. Dan bisa tidak
terkejar walaupun Pandan Wangi sudah cepat menggebah kudanya tadi.
"Maafkan atas kelancanganku, Ki," Ucap Pandan Wangi seraya menjura memberi
hormat. "Ah.... Sudahlah, Nini," sambut Ki Sangkala yang dikenal berjuluk si Pengemis
Tongkat Putih itu sambil tersenyum.
Pandan Wangi kembali menatap Cempaka yang berada di samping kanan Pengemis
Tongkat Putih. "Cempaka, kenapa kau ingin bertemu denganku di sini" Kenapa tidak di istana
saja?" tanya Pandan Wangi langsung mengeluarkan ketidakmengertiannya yang sejak
tadi mengganjal dada.
Cempaka tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan melangkah menghampiri
si Kipas Maut Jelas sekali kalau senyuman di bibir gadis itu sangat dipaksakan.
Bahkan begitu hambar. Pandan Wangi langsung bisa menebak kalau telah terjadi
sesuatu, sehingga Cempaka sekarang berada di tengah hutan seperti ini. Meskipun
hutan ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan letaknya pun tidak
begitu jauh dari kota. Hanya memerlukan waktu kurang dari setengah hari untuk
menempuhnya, walaupun hanya berjalan kaki biasa.
"Kau tidak bersama Kakang Rangga, Kak Pandan?" Cempaka malah balik bertanya.
"Semula kami memang bersama-sama. Tapi entah kenapa, Kakang Rangga meninggalkan
aku di Desa Malingping," sahut Pandan Wangi.
"Jadi kalian sudah sampai di Desa Malingping...?"
selak Pengemis Tongkat Putih, ingin memastikan.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja membenarkan. "Tentu kau sudah tahu apa yang terjadi di dalam istana...," tebak Ki Sangkala
lagi dengan nada suara agak bertanya.
"Hanya mendengar, dan belum tahu kepastiannya.
Malah, aku sendiri jadi tak percaya setelah sampai di kota tadi," sahut Pandan
Wangi. "Memang seperti itulah kenyataannya, Kak Pandan," tambah Cempaka perlahan,
dengan suara agak mendesah panjang.
Kemudian Cempaka menceritakan keadaan Istana Karang Setra, sampai berada di
tengah hutan ini.
Pandan Wangi terus mendengar tanpa sedikit pun memotong. Sampai Cempaka selesai
bercerita, Pandan Wangi masih terdiam seperti tak percaya.
Dan kini suasana jadi hening.
"Kau yakin kalau Danupaksi yang berbuat itu, Cempaka?" tanya Pandan Wangi,
memecah ke-heningan.
"Begitulah kenyataannya," sahut Cempaka masih terdengar pelan, sambil
menghembuskan napas panjang.
"Kau melihat sendiri perbuatannya?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin meyakinkan.
Cempaka hanya mengangguk saja, menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Pandan Wangi
menghembuskan napas panjang, seakan masih belum percaya kalau Danupaksi benarbenar berbuat makar, mengkhianati Rangga. Padahal kakak tirinya itu telah mem-percayakan untuk
menggantikannya menduduki tahta setiap kali pergi mengembara bersama Pandan
Wangi. Rasanya memang sukar dipercaya kabar itu. Tapi hampir semua orang yang ditemui
mengatakan kalau istana kini sudah dikuasai sepenuhnya oleh Danupaksi. Dan


Pendekar Rajawali Sakti 85 Penghianatan Danupaksi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untungnya pemberontakan itu tidak sampai meminta korban, karena seluruh prajurit
berpihak pada Danupaksi. Bahkan tidak sedikit para pembesar yang berada di
belakangnya. Tak heran kalau pemberontakan itu dapat berjalan mudah, tanpa
mengganggu ketenangan rakyat. Bahkan semua kegiatan yang ada berjalan seperti
biasa, tanpa terganggu sedikit pun. Sebuah pemberontakan yang sangat aneh,
karena tidak ada satu kelompok rakyat pun yang mencoba menentangnya.
Pandan Wangi masih belum bisa percaya kalau Danupaksi kini telah mengkhianati
kakak tirinya. Tapi, dia juga mau tak mau harus percaya pada Cempaka.
Inilah yang membuat Pandan Wangi jadi sulit menentukan pilihan, karena sama-sama
mempercayai kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku terpaksa lari dari istana, dan bersembunyi di sini. Kakang Danupaksi
memerintahkan para prajurit menangkap dan memenjarakan aku. Tidak ada seorang
prajurit pun yang berpihak padaku," jelas Cempaka. "Untung di saat yang sangat
gawat dan hampir tertangkap, Ki Sangkala datang menolongKu.
Dialah yang membawaku ke hutan ini."
Pandan Wangi masih tetap diam. Jelas sekali kalau hatinya jadi bimbang.
"Aku sempat terluka dalam yang cukup parah oleh Kakang Danupaksi. Tapi, Ki
Sangkala bisa menyembuhkan luka dalamku. Sudah lama aku menunggumu dan Kakang Rangga kembali
dari pengembaraan. Dan baru sekarang ini bisa bertemu denganmu, Kak Pandan,"
lanjut Cempaka.
"Di mana kau tinggal?" tanya Pandan Wangi.
"Di gua, bersama Paman Wirapati, Paman Rakatala, dan semua keluarganya," sahut
Cempaka. "Lalu..., Ki Lintuk di mana?" tanya Pandan Wangi lagi.
Cempaka tidak langsung menjawab. Malah kepalanya kontan tertunduk dengan wajah
terlihat ber-selimut mendung. Pandan Wangi jadi tertegun melihat perubahan adik
tiri Pendekar Rajawali Sakti.
Segera tangannya terulur. Diangkatnya dagu Cempaka dengan ujung jari tangan,
hingga kedua gadis itu saling bertatapan.
"Kenapa Ki Lintuk, Cempaka?" tanya Pandan Wangi.
"Dia tertangkap. Aku tidak tahu, bagaimana nasib-nya sekarang," sahut Cempaka
perlahan. Pandan Wangi mendengus geram tanpa sadar.
Dan mereka semua terdiam, membuat suasana di dalam hutan itu jadi sunyi senyap.
Cukup lama juga mereka terdiam membisu.
"Ayo.... Sebaiknya, kita temui yang lain dulu," ajak Ki Sangkala memecah
kesunyian. Pandan Wangi dan Cempaka hanya menganggukkan kepala saja. Kemudian, mereka
melangkah mengikuti Ki Sangkala yang sudah berjalan lebih dulu.
Sambil menuntun kudanya, Pandan Wangi berjalan di samping Cempaka. Sesekali
matanya melirik wajah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti. Terlihat jelas sekali
kalau wajah cantik Cempaka terselimut mendung yang sangat tebal. Mereka terus
berjalan tanpa berbicara sedikit pun.
*** Sementara itu, di dalam sebuah ruangan penjara bawah tanah, seorang laki-laki
tua berjubah putih tampak terikat dengan kedua tangan terentang.
Kedua kakinya juga terikat rantai. Pakaian putih yang sudah terlihat koyak, juga
telah banyak dinodai darah kering. Dari sudut bibimya masih terlihat mengalir
darah. Dari pelipisnya yang sobek, juga terlihat aliran darah, walaupun tidak
deras. Perlahan laki-laki tua itu mengangkat kepalanya ketika pintu besi ruangan
penjara bawah tanah itu terbuka. Kemudian, muncul seorang pemuda tampan berbaju
merah muda dari bahan sutera halus, diiringi empat orang laki-laki berpakaian
panglima perang.
Mereka adalah Danupaksi dan empat orang panglima perang Kerajaan Karang Setra.
Meskipun dalam keadaan yang sangat payah, tapi sorot mata orang tua itu sangat
tajam menatap Danupaksi yang sudah berada dekat di depannya.
"Kasihan sekali.... Sebenarnya aku tidak ingin membuatmu menderita, Ki Lintuk.
Tapi kau sangat keras kepala. Jadi, terpaksa harus kugunakan kekerasan untuk
membuka mulutmu," kata Danupaksi dengan nada suara dingin sekali.
"Apa pun yang kau lakukan, aku tidak akan memberi tahu tempat penyimpanan kunci
pusaka kerajaan!" tegas Ki Lintuk.
"Keparat..!"
Diegk! "Ugkh...!"
Cepat sekali tangan kanan Danupaksi melayang,
dan tahu-tahu sudah mendarat tepat di perut Ki Lintuk. Akibatnya, orang tua itu
mengeluh dan kontan terbungkuk. Tapi rantai yang membelenggu kedua tangannya ke
dinding membuat tubuhnya tetap berdiri. Darah langsung muncrat dari mulutnya,
ketika perutnya terhantam tangan kanan Danupaksi yang begitu keras tanpa
pengerahan tenaga dalam.
"Kau benar-benar keras kepala, Ki Lintuk!" desis Danupaksi.
"Phuih!"
Ki Lintuk menyemburkan ludahnya yang bercampur darah. Hampir saja ludah bercampur darah itu mengenai baju, kalau saja
Danupaksi tidak segera menghindar ke belakang.
"Setan...! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat" geram Danupaksi.
Tangan pemuda itu sudah terangkat naik. Tapi melihat sikap Ki Lintuk yang
menantang, tangan yang sudah tersalur tenaga dalam itu tidak jadi dijatuhkan.
Kalau saja sampai menjatuhkan tangan tadi, sudah dapat dipastikan seketika itu
juga Ki Lintuk tewas dengan kepala pecah.
"Huh!"
Danupaksi mendengus kesal sambil menurunkan kembali tangannya yang sudah
terangkat naik. Kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak, lalu berpaling ke
kiri. Ditatapnya salah seorang panglima yang memegang cambuk dari kulit. Duriduri halus terlihat di seluruh badan cambuk kulit itu.
"Cambuk dia!" perintah Danupaksi, berang.
"Baik, Gusti Prabu," sahut panglima itu.
Dengan ayunan kaki mantap, panglima berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu
melangkah menghampiri Ki Lintuk. Dan tanpa bicara lagi, cambuknya
diayunkan dengan keras. Seketika cambuk itu menggeletar, menyengat tubuh tua
yang terbelenggu rantai pada kedua tangan dan kakinya ini.
Ctar! "Aaakh...!"
Ctar! Beberapa kali cambuk itu menggeletar, menghantam tubuh Ki Lintuk. Akibatnya
orang tua itu menjerit kesakitan sambil menggeliatkan tubuhnya. Beberapa kali
cambukan saja, baju jubah putihnya sudah koyak berlumur darah. Bahkan kulit
tubuhnya pun ikut ter-koyak. Sementara, panglima itu terus saja mengayunkan
cambuknya tanpa berkedip sedikit pun.
"Cukup...!"
Cepat Danupaksi memberi perintah, begitu Ki Lintuk sudah tidak lagi bisa
mengangkat kepalanya.
Orang tua itu kini jatuh pingsan, tidak tahan menerima deraan yang begitu pedih
dan menyakitkan.
Panglima itu segera mundur, dan membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Danupaksi
segera memerintahkan panglima lainnya hanya dengan egosan kepala saja.
Panglima yang berada di sebelah kanannya segera melangkah maju sambil membawa
ember kayu penuh berisi air. Dan langsung diguyumya tubuh Ki Lintuk.
Seketika, Ki Lintuk jadi gelagapan dan merintih perih.
Memang seluruh tubuhnya yang terluka akibat cambukan terasa sangat perih saat
terguyur air dingin tadi. Mulutnya meringis merasakan siksaan yang begitu
menyakitkan ini. Tapi, sorot matanya langsung terlihat tajam, menusuk langsung
ke bola mata Danupaksi.
"Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan membunuhku, Danupaksi," desis Ki Lintuk.
"Kau tidak
akan menjadi raja yang sah tanpa pusaka kerajaan berada di tanganmu."
"Aku seorang raja sekarang, Ki Lintuk. Aku bisa berbuat apa saja tanpa harus
memegang pusaka kerajaan!" balas Danupaksi tidak kalah dingin.
"Tidak akan ada yang mengakuimu, Danupaksi,"
begitu dingin nada suara Ki Lintuk.
"Semua rakyat sudah mengakuiku, Ki Lintuk.
Mereka semua sudah percaya kalau Rangga sudah mangkat Dan mereka melihat sendiri
pembakaran mayatnya."
"Dusta...!" bentak Ki Lintuk geram.
"Kau sendiri sudah melihat, Ki Lintuk. Kenapa masih tidak percaya kalau itu
jasad Prabu Rangga..."
Sedangkan semua orang mempercayainya."
"Gusti Prabu Rangga pergi bersama Nini Pandan Wangi. Tidak mungkin Gusti Prabu
datang sendiri, apalagi sudah meninggal. Kau dusta, Danupaksi!
Dewata akan menghukummu!" lantang dan agak bergetar suara Ki Lintuk menahan
geram. "Ha ha ha...!" Danupaksi hanya tertawa saja terbahak-bahak.
Kemudian adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu berbalik, dan melangkah keluar
dari ruangan penjara bawah tanah. Sedangkan Ki Lintuk berteriak-teriak,
mengatakan kalau Danupaksi hanya membual saja.
Tapi memang diakui, semua orang melihat tiga orang perambah hutan mengusung
jasad Rangga dan membawanya ke istana. Bahkan semua orang
melihat pembakaran jasad Raja Karang Setra itu.
Meskipun semua orang percaya, tapi hanya Ki Lintuk, Cempaka, Wirapati, dan Paman
Rakatala saja yang tidak mempercayainya. Sehingga, membuat Danupaksi yang tibatiba saja jadi berubah perangainya
memerangi mereka.
Sayangnya, hanya Ki Untuk yang bernasib naas.
Dia tertangkap sebelum sempat keluar dari istana.
Sedangkan Cempaka, Wirapati, dan Paman Rakatala sempat lolos. Walaupun, sempat
juga dikejar-kejar para prajurit yang langsung dipimpin Danupaksi. Dan waktu itu
tidak jauh dari perbatasan kota telah terjadi pertarungan sengit, walaupun tidak
memakan korban seorang pun. Cempaka, Paman Rakatala, dan Wirapati bisa
meloloskan diri setelah datang bantuan dari Ki Sangkala yang dikenal berjuluk
Pengemis Tongkat Putih. Walaupun sudah berada dalam kamar tahanan bawah tanah,
tapi Ki Lintuk masih sempat mendengar kalau mereka yang sejalan dengannya
berhasil meloloskan diri dari keserakahan Danupaksi.
"Danupaksi, kau akan menyesal...!" teriak Ki Lintuk.
Brak! Tapi, suara Ki Lintuk langsung tenggelam begitu pintu penjara bawah tanah yang
terbuat dari besi baja tertutup dengan keras. Orang tua itu masih saja
berteriak-teriak, berusaha menyadarkan Danupaksi yang sudah dikelilingi setansetan laknat itu. Dan tentu saja, suaranya tidak bisa terdengar lagi, karena
sedikit pun tidak ada lubang di dalam kamar tahanan ini. Akhirnya, Ki Lintuk
hanya bisa tertunduk lemas, merasakan perih pada seluruh tubuhnya yang terluka
akibat tersayat cambuk tadi.
"Dewata Yang Agung..., bencana apa yang sedang kau limpahkan pada Karang
Setra...?" desah Ki Lintuk lirih.
*** 5 Penderitaan yang dialami Ki Lintuk memang sangat pedih. Tapi, lebih pedih lagi
hati Rangga yang melihat beberapa orang terbaring telentang tanpa baju dengan
tangan dan kaki terpancang di tengah-tengah halaman belakang istana. Pendekar
Rajawali Sakti tahu, mereka adalah para punggawa, tamtama, serta beberapa orang
pembesar kerajaan. Rangga yang saat itu berada di atas atap istana, dapat
melihat jelas sekali keadaan di sekeliling Istana Kerajaan Karang Setra ini.
"Iblis...! Siapa yang melakukan ini...?" desis Rangga menggeram dalam hati.
Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih saat melihat Danupaksi yang diiringi
empat orang berpakaian panglima perang keluar dari dalam penjara bawah tanah. Di
depan pintu penjara itu, terlihat empat orang prajurit bersenjata tombak tengah
berjaga-jaga. Mereka membungkukkan tubuh untuk memberi
hormat pada Danupaksi.
Dengan ayunan langkah tegap, Danupaksi berjalan menuju ke bangunan istana. Namun
belum juga jauh meninggalkan bangunan penjara bawah tanah itu, mendadak ayunan
kakinya terhenti. Dan kepalanya langsung terdongak ke atas, tepat menatap ke
arah atap tempat Rangga berada. Agak terkejut juga Pendekar Rajawali Sakti
melihat Danupaksi menatap ke arahnya. Dan belum lagi hilang keterkejutan Rangga,
tiba-tiba saja Danupaksi sudah berseru lantang sambil menunjuk ke atas atap.
"Tangkap maling busuk itu...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!?"
Rangga jadi tersentak kaget melihat empat orang panglima perang berlompatan
cepat sekali ke arahnya. Dan sebelum keempat panglima itu sampai, cepat pula
Pendekar Rajawali Sakti melesat hingga melewati kepala. Beberapa kali pemuda
berbaju rompi putih itu berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya menjejak
tanah, tepat sekitar dua batang tombak lagi di depan Danupaksi.
"Danupaksi...," desis Rangga, bernada tidak percaya kalau Danupaksi
memerintahkan empat
panglima menyerangnya.
Bahkan, tadi mengatakan Pendekar Rajawali Sakti itu maling busuk. Sementara,
empat orang panglima sudah kembali berlompatan dari atas atap dan langsung
mengepung. Mereka kini sudah menggenggam pedang yang berkilatan tajam.
Walet Emas Perak 8 Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Romantika Sebilah Pedang 9

Cari Blog Ini