Ceritasilat Novel Online

Rahasia Dara Iblis 1

Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis Bagian 1


Pendekar Rajawali Sakti dalam episode 101
Rahasia Dara Iblis
"Dara Iblis..." Siapa dia, Ki?" tanya Rangga.
"Dia...."
Belum lengkap jawaban Ki Sampan, tiba-tiba
terdengar suara desiran angin yang sangat halus.
Rangga pun segera melompat melindungi orang
tua itu. Tap! "Anting emas...!" desis Pendekar Rajawali Sakti
begitu melihat benda yang berhasil ditangkapnya.
Siapakah yang melempar anting emas itu" Dan
apa yang sesungguhnya dicari si Dara Iblis"
Mengapa dirinya tega membunuhi orang-orang
yang tidak berdosa di Kadipaten Galumbu"
Kali ini, Pendekar Rajawali Sakti harus bekerja
keras untuk mengungkap Rahasia Dara Iblis yang
telah membuat Kadipaten Galumbu serasa bagai
neraka! --myrna-- 1 Malam sudah begitu larut menyelimuti seluruh
wilayah Kadipaten Galumbu. Seluruh jalan di kota
kadipaten itu kelihatan sunyi senyap, tanpa terlihat
seorang pun berkeliaran di sepanjang jalan tanah
berdebu ini. Angin bertiup cukup kencang,
menyebarkan udara dingin dan debu di sepanjang
jalan. Di malam yang sunyi ini; terlihat seseorang
tengah berjalan perlahan-lahan memasuki Kota
Kadipaten Galumbu. Dari bentuk tubuhnya yang
ramping dan berkulit putih halus terbungkus
pakaian ketat berwarna hitam, jelas kalau orang itu
adalah wanita. Dia tampak terus berjalan
memasuki kota kadipaten ini, seakan tidak
mempedulikan kesunyian dan hembusan angin
yang begitu dingin menusuk tulang.
Dari raut wajahnya yang cantik, kelihatan kalau
usianya masih muda. Paling-paling baru sekitar dua
puluh satu tahun. Namun sorot matanya terlihat
begitu tajam, tanpa berkedip memandang lurus ke
ujung jalan yang dilaluinya. Sebilah pedang yang
ujung gagangnya berbentuk sebuah bintang
berwarna kuning keemasan, tersampir di punggungnya. Meskipun ayunan langkahnya
lambat-lambat, tapi sangat ringan hingga tidak
menimbulkan suara sedikit pun juga. Dari sini bisa
diduga kalau gadis itu bukan orang sembarangan
dan pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Hm...."
Sedikit gadis itu menggumam, ketika di ujung
jalan di depan terlihat dua orang laki-laki berjalan
ke arahnya. Maka ayunan kakinya dihentikan
sebentar, kemudian kembali berjalan dengan sikap
sangat tenang. Sementara dua orang laki-laki yang
berjalan ke arahnya semakin dekat saja, sehingga
mereka bertemu tepat di tengah jalan.
"Malam-malam begini mau ke mana, Nyi?" tegur
salah seorang pemuda itu.
"Hm...."
Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan
gumaman saja oleh wanita itu.
"Terlalu berbahaya jalan malam-malam begini,
Nyi," kata pemuda satunya lagi.
"Hm."
Lagi-lagi gadis itu hanya menggumam sedikit
,saja. Sementara, dua pemuda ini saling melirik
dan memberi senyum. Memang bentuk tubuh dan
wajah gadis ini bisa mengundang hasrat kaum
lelaki. "Boleh kuantar, Nyi...?" salah seorang pemuda
itu menawarkan jasa dengan senyuman tersungging di bibir.
"Minggirlah. Aku tidak ingin mengotori tanganku
dengan darah tikus jelek macam kalian!" tiba-tiba
saja gadis cantik berbaju hitam itu mendengus
dingin. "Heh..."!"
Tentu saja dengusan bernada kasar itu
membuat kedua pemuda ini jadi tersentak kaget.
Tapi tidak lama kemudian, kedua pemuda itu jadi
tertawa terbahak-bahak. Sedangkan gadis berbaju
hitam ini hanya diam saja. Namun sorot matanya
tertuju lurus ke depan, seakan tidak mempedulikan
tawa kedua pemuda di depannya.
"Jangan terlalu galak begitu. Kami berdua ini
orang baik-baik. Tidak ada maksud kotor di dalam
hati kami, Nyi. Kecuali, kalau kau memang
menginginkannya. He he he....'"
"Ha ha ha...!"
"Hhh!"
"Mau ke mana, Nyi" Boleh kami antar
pulang...?"
"Kalian sudah mulai memuakkan.'"
"He he he.... Jangan galak-galak, Nyi. Kau
tambah cantik kalau galak begitu."
"Baiklah. Apa yang kalian inginkan...?"
"Ha ha ha...!"
Kedua pemuda itu jadi terbahak-bahak. Namun
belum juga tawa mereka terhenti, mendadak
saja.... "Hih!"
Sret! Bet! Begitu cepat gadis berbaju hitam ini bergerak
mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke
arah dada kedua pemuda di depannya.
Wuk! "Akh!"
"Aaa...!"
Tahu-tahu kedua pemuda itu sudah ambruk
menggelepar di tengah jalan, dengan dada
terbelah lebar mengeluarkan darah segar.
Sementara dengan gerakan manis sekali, gadis
cantik berbaju hitam itu memasukkan kembali
pedangnya ke dalam warangka di punggung.
"Hhh! Phuih!"
Sambil menyemburkan ludahnya, gadis itu
langsung saja melangkah pergi. Ditinggalkannya
kedua orang pemuda yang masih menggelepar,
meregang nyawa di tengah jalan ini. Tapi tidak
berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah
mengejang, lalu kaku tidak bergerak-gerak lagi.
Sementara, gadis berbaju hitam itu sudah lenyap
tertelan gelapnya malam.
Jeritan melengking dari kedua pemuda itu
rupanya membuat penduduk Kota Kadipaten Galumbu jadi terbangun dari buaian mimpi. Terlebih
lagi, yang rumahnya dekat jalan itu. Dan sebentar
saja, sudah banyak pelita yang menyala. Lalu,
disusul munculnya orang-orang dari dalam rumah.
Mereka jadi tersentak kaget, begitu mendapati dua
orang pemuda sudah tergeletak tak bernyawa di
tengah jalan dengan dada terbelah mengeluarkan
darah. Malam itu juga, seluruh penduduk di Kota
Kadipaten Galumbu jadi gempar.
Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang
telah terjadi. Sementara gadis berbaju hitam tadi
sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit
pun. Malam yang semula terasa sunyi dan dingin,
kini jadi hangat oleh semakin bertambah
banyaknya orang yang memadati jalan ini. Mereka
ingin melihat dua sosok mayat yang menggeletak
di tengah jalaa Namun, tidak ada seorang pun
yang berusaha mendekati dan memindahkan kedua
pemuda malang itu.
Mayat kedua pemuda itu baru diangkat, setelah
muncul sepuluh orang prajurit kadipaten. Prajuritprajurit itu segera menanyakan apa yang terjadi,
tapi tidak seorang pun yang tahu. Mau tak mau
mereka hanya bisa mengurus mayat kedua pemuda
itu. Dan malam pun terus merayap semakin larut
Kejadian malam ini membuat semua orang jadi
bertanya-tanya, tapi memang sulit menemukan
jawabannya. --myrna-- Kematian dua orang anak muda semalam,
bukan hanya menjadi buah bibir penduduk Kota
Kadipaten Galumbu. Tapi juga sudah sampai
terdengar telinga Adipati Gadasewu, orang yang
berkuasa di Kadipaten Galumbu ini. Entah kenapa,
sikap Adipati Gadasewu jadi berubah setelah
mendengar kematian dua orang pemuda semalam.
Dan ini tentu saja membuat Ki Jalaksena, orang
yang paling dekat dengannya merasa keheranan.
Sejak mendengar kabar itu tadi pagi, Adipati
Gadasewu terus menyendiri dan merenung di
taman belakang istana kadipatenan.
"Gusti Adipati...."
"Oh... kau, Ki Jalaksena. Ada apa...?"
Adipati Gadasewu agak terperanjat begitu Ki
Jalaksena menegurnya, saat sedang duduk
menyendiri di dalam taman belakang istana
kadipatenan ini. Ki Jalaksena segera memberi
sembah, kemudian mengambil tempat di depan
adipati yang berusia muda ini.
"Maaf, Gusti. Hamba datang menghadap tanpa
diminta," ujar Ki Jalaksena sambil memberi sembah
hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung.
Adipati Gadasewu hanya tersenyum saja.
Meskipun usianya jauh lebih muda, tapi
kedudukannya memang jauh lebih tinggi daripada
laki-laki tua ini. Dan sudah barang tentu, pangkat
tidak melihat perbedaan usia. Kini, Adipati
Gadasewu bangkit berdiri dan melangkah ke balik
kursi panjang yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki
Jalaksena tetap duduk bersimpuh di atas
rerumputan taman ini. Begitu hormat sikapnya.
Bahkan kepalanya sedikit pun tidak diangkat,
menekun rerumputan di depannya.
"Ada yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?"
tanya Adipati Gadasewu langsung menebak
"Jika Gusti Adipati tidak marah."
"Apa yang harus kumarahi...?"
"Maaf, Gusti."
"Katakan saja, Ki. Apa yang ingin kau bicarakan
denganku."
Ki Jalaksena tidak langsung mengutarakannya,
dan terdiam beberapa saat. Sementara, Adipati
Gadasewu hanya menunggu dan memandangi
dengan sabar. Perlahan Ki Jalaksena mengangkat
kepalanya. Segera diberikannya sembah hormat
dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung, seakan meminta izin untuk mengutarakan
apa yang terkandung dalam hatinya saat ini.
"Maaf, Gusti. Sejak peristiwa semalam, hamba
melihat sikap Gusti jadi lain. Sejak pagi tadi, Gusti
selalu menyendiri di dalam taman ini. Maaf atas
kelancangan hamba memperhatikan Gusti," ucap Ki
Jalaksena dengan sikap sangat hormat. Lalu
kembali diberikannya sembah hormat.
Namun kata-kata yang diucapkan Ki Jalaksena
tidak membuat adipati muda ini jadi tersinggung.
Bahkan jadi tersenyum. Lalu Adipati Gadasewu
duduk kembali di kursi panjang yang terbuat dari
kayu ini. Dipandanginya laki-laki tua berjubah putih
yang duduk bersimpuh di depannya. Sebentar
ditariknya napas dalam-dalam.
"Aku memang memikirkan kejadian semalam, Ki.
Terus terang, seakan-akan peristiwa malam tadi
memberi suatu tanda padaku, kalau kadipaten ini
tidak lama lagi akan menghadapi suatu persoalan
yang tidak bisa dipandang ringan," jelas Adipati
Gadasewu pelan, disertai tarikan napasnya yang
dalam. "Firasat apa, Gusti?" tanya Ki Jalaksena.
"Entahlah, Ki. Sepertinya kejadian semalam
merupakan awal peristiwa berdarah berikutnya,"
sahut Adipati Gadasewu, agak mendesah suaranya.
"Gusti! Sebaiknya hal itu tidak perlu dipikirkan
terlalu dalam. Mungkin hanya pembunuhan biasa
saja. Antara anak-anak muda," hibur Ki Jalaksena
berusaha menenangkan pikiran adipati muda ini.
"Mungkin, Ki. Tapi...."
'Tapi kenapa, Gusti?"
"Hatiku jadi tidak enak, KL Aku sendiri tidak
tahu, seakan-akan peristiwa semalam terjadi begitu
dekat di depan mataku."
"Ah! Sudahlah, Gusti. Hamba rasa itu hanya
perasaan Gusti sendiri."
"Hhh...!"


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa saat mereka terdiam.
"Gusti, kedatangan hamba ke sini sebenarnya
ingin mengabarkan, kalau Gusti Adipati ditunggu
seseorang," jelas Ki Jalaksena lagi.
"Siapa, Ki?"
"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Gusti.
Katanya, ingin langsung bertemu Gusti Adipati
sendiri. Dan hamba tadi memintanya menunggu di
pendopo depan."
"Hm.... Apakah dia penduduk kadipaten ini?"
"Melihat dari pakaiannya, seperti bukan. Dan dia
membawa pedang, Gusti."
"Orang persilatan..?"
"Mungkin."
"Baiklah, Ki Aku akan menemuinya. Suruh dia
menunggu di bangsal agung."
"Baik, Gusti."
Setelah memberi sembah hormat, Ki Jalaksena
bergegas meninggalkan adipati muda itu. Beberapa
saat Adipati Gadasewu masih duduk merenung
dalam taman ini. Dan baru setelah Ki Jalaksena
tidak tidak terlihat lagi, taman belakang istana
kadipatenan yang sangat megah ini ditinggalkannya.
Kadipaten Galumbu ini memang sangat besar,
sehingga tidak heran kalau istana kadipatennya
juga megah. Bahkan seperti bangunan istana
kerajaan saja. Kadipaten Galumbu juga memiliki
prajurit yang cukup banyak, hingga hampir di
setiap_sudut selalu terlihat para prajurit berjagajaga. --myrna-- Adipati Gadasewu yang masih berusia sekitar
tiga puluh tahun itu duduk dengan agungnya di
kursi berwarna kuning keemasan. Sorot matanya
terlihat begitu tajam, memandangi seorang laki-laki
berusa sekitar dua puluh lima tahun yang duduk
bersimpuh di lantai, sekitar sepuluh langkah di
depannya. Di belakangnya terlihat Ki Jalaksena
duduk bersimpuh mendampingi. Sementara sekitar
sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak,
terlihat berjaga-jaga di sekitar ruangan yang
berukuran cukup luas dan megah ini
"Kisanak. Rasanya, aku belum pernah melihatmu. Ada keperluan apa hingga kau ingin
bertemu denganku?" terdengar lembut dan ramah
sekali suara Adipati Gadasewu.
"Maaf, Gusti Adipati. Hamba adalah utusan dari
puncak Gunung Halimun," sahut laki-laki muda
bertubuh kekar, terbungkus baju dari bahan
sederhana berwarna biru. Sikapnya juga hormat
sekali. "Hm... Siapa namamu, Kisanak?" tanya Adipati
Gadasewu lagi dengan kening berkerut
"Nama hamba Rondokulun, Gusti Adipati."
"Lalu, siapa yang mengutusmu?"
"Guru hamba. Eyang Gajah Sakti."
Kening Adipati Gadasewu jadi berkerut.
Dipandanginya laki-laki bertubuh kekar yang
mengaku bernama Rondokulun, utusan Eyang
Gajah Sakti yang bermukim di puncak Gunung
Halimun ini. Tapi beberapa saat kemudian, pandangannya
beralih pada Ki Jalaksena.
"Ki Jalaksena...."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Tinggalkan aku berdua saja dengannya. Juga
kalian semua, Prajurit."
"Tapi Gusti...."
"Tidak apa-apa, Ki. Aku kenal betul Eyang Gajah
Sakti. Dan sebagai utusannya, tentu dia membawa
kabar penting yang hanya aku sendiri yang boleh
mengetahuinya,"
kata Adipati Gadasewu memutuskan ucapan Ki Jalaksena.
"Baik, Gusti. Hamba akan tetap berjaga-jaga di
depan pintu," ujar Ki Jalaksena tidak bisa lagi
membantah. Ki Jalaksena memberi sembah hormat, lalu
bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah ke
luar dari ruangan ini, diikuti para prajurit yang
memang tadi diperintahkan untuk berjaga-jaga.
Setelah Ki Jalaksena tidak terlihat lagi di balik
pintu, Adipati Gadasewu bangkit dari kursinya.
Dihampirinya Rondokulun yang masih tetap duduk
bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu
tebal "Rondokulun,
bangunlah...,"
ujar Adipati Gadasewu meminta.
"Hamba, Gusti Adipati."
Setelah memberi sembah, Rondokulun bangkit
berdiri. Tapi sikapnya masih tetap hormat, tanpa
sedikit pun berani mengangkat kepalanya.
Sedangkan Adipati Gadasewu merayapinya beberapa saat dari ujung kepala hingga ke ujung
kaki. "Kau datang ke sini diutus Eyang Gajah Sakti.
Kalau demikian, pasti ada kabar yang sangat
penting, hingga kau ingin bertemu langsung
denganku," kata Adipati Gadasewu.
"Benar, Gusti Adipati. Hamba membawa kabar
yang sangat penting dari Eyang Gajah Sakti," sahut
Rondokulun. "Hm, katakan kabar apa yang kau bawa."
"Gusti, sebenarnya Eyang Gajah Sakti sudah
tiada...," pelan sekali suara Rondokulun.
"Apa..."!"
"Pesan yang hamba bawa, diucapkan pada saat
terakhir."
Adipati Gadasewu hanya diam saja, seperti tidak
mendengarkan. Memang, hatinya tadi begitu
terkejut saat mendengar Eyang Gajah Sakti yang
dikenal sebagai pertapa di puncak Gunung Halimun
sudah tiada. Sungguh suatu kabar yang tidak
diinginkan. "Gusti...."
"Oh..."!"
Adipati Gadasewu tersentak. Buru-buru sikapnya
diperbaiki. "Hm, Rondokulun. Bagaimana meninggalnya
Eyang Gajah Sakti?" tanya Adipati Gadasewu.
"Hamba sendiri tidak tahu apa yang terjadi,
Gusti. Saat itu, hamba sedang mencari kayu bakar.
Tapi belum juga terkumpul, terdengar jeritan yang
datangnya dari arah pertapaan. Hamba langsung
kembali, dan mendapatkan Eyang Gajah Sakti
sudah terkapar berlumuran darah."
"Jadi Eyang Gajah Sakti dibunuh orang?"
"Benar, Gusti. Sayangnya, hamba tidak tahu
pembunuhnya. Tapi Eyang Gajah Sakti sempat
menitipkan pesan padaku agar disampaikan pada
Gusti Adipati Gadasewu di Kadipaten Galumbu ini"
"Apa pesannya?"
"Eyang Gajah Sakti meminta agar Gusti Adipati
berhati-hati. Seseorang akan mencari dan
membunuh Gusti. Tapi bukan hanya itu saja.
Karena yang paling penting, Eyang Gajah Sakti
juga berpesan agar Gusti Adipati menjaga satusatunya barang yang dititipkannya."
"Hm...."
"Maaf, Gusti. Eyang Gajah Sakti sudah satu
pekan meninggal. Dan hamba baru sempat datang
hari ini, karena harus mengurus pertapaan dulu,"
ucap Rondokulun.
"Itu lebih baik, Rondokulun Daripada tidak sama
sekali." "Gusti, hamba sudah melaksanakan amanat
Eyang Gajah Sakti. Sekarang, hamba mohon
diri," ujar Rondokulun berpamitan.
"Kau ingin ke mana, Rondokulun?"
"Hamba akan pergi mengembara, Gusti. Karena
hamba sudah tidak punya tempat tinggal lagi.
Sedangkan untuk kembali ke pertapaan, sudah
tidak mungkin lagi. Dan yang penting, hamba
sudah melaksanakan pesan Eyang Gajah Sakti
untuk membakar habis pertapaan," sahut
Rondokulun. "Sebaiknya kau jangan pergi, Rondokulun.
Tinggallah di sini. Paling tidak, untuk beberapa
hari. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang
Eyang Gajah Sakti selama aku tidak lagi tinggal di
sana," kata Adipati Gadasewu meminta.
"Tapi, Gusti...."
"Kau ada keperluan lain?"
Rondokulun menggeleng.
"Nah! Kalau begitu, tinggalan di sini barang
beberapa hari. Aku pasti akan membutuhkanmu di
sini. Paling tidak, untuk menghadapi pembunuh
Eyang Gajah Sakti. Rondokulun! Kau murid Eyang
Gajah Sakti. Dan aku juga muridnya, walaupun
ketika aku di sana, kau belum ada. Dan aku yakin,
kepandaianmu cukup tinggi. Maka kuingin kau
membantuku membekuk pembunuh guru kita,"
kata Adipati Gadasewu.
"Oh! Jadi..., Gusti Adipati...."
"Kau terkejut kalau kita saudara seperguruan,
Rondokulun..?"
"Dewata Yang Agung.... Tidak kusangka kalau
Gusti Adipati juga murid Eyang Gajah Sakti."
Adipati Gadasewu tersenyum. Ditepuknya
pundak Rondokulun dengan lembut Memang untuk
meminta Rondokulun tinggal di istana kadipatenan
ini dalam beberapa hari, Adipati Gadasewu
terpaksa harus mengatakan keadaan sebenarnya
kalau dirinya juga murid Eyang Gajah Sakti.
Padahal dia menjadi murid pertapa tua itu hanya
tiga tahun saja, karena harus kembali lagi ke
kadipaten ini, saat usianya baru lima belas tahun.
Dan dia tidak tahu kalau Eyang Gajah Sakti
mengambil murid lain Makanya kini mereka
bertemu dalam suasana yang tidak terduga sama
sekali. "Mari, Rondokulun Aku akan menjamu kau di
sini. Jangan sungkan-sungkan. Aku adalah
saudaramu. Dan kau boleh tinggal di kadipatenan
ini selama kau suka," ujar Adipati Gadasewu.
"Terima kasih, Gusti Adipati. Memang,
sebenarnya hamba sendiri belum ada tujuan yang
pasti. Kalau memang Gusti Adipati menghendaki,
hamba akan mengabdikan diri di sini," sambut
Rondokulun gembira.
"Ha ha ha...! Kau saudaraku, Rondokulun. Kau
akan selalu bersamaku, ke mana saja aku pergi."
"Hamba, Gusti Adipati."
"Ayo, kita pindah ke ruangan lain. Aku akan
perintahkan emban untuk menyiapkan kamarmu,
selama kau belum punya tempat tinggal sendiri."
'Terima kasih, Gusti Adipati."
"Jangan panggil aku seperti itu, Rondokulun.
Panggil saja aku kakang."
"Tapi...."
"Kau keberatan..."
Baiklah. Kau boleh memanggilku begitu di depan orang lain. Tapi
kalau hanya berdua saja, aku tidak ingin kau
menyebut gusti padaku. Paham...?"
Rondokulun hanya bisa mengangguk saja. Tidak
mungkin lagi keinginan orang yang paling berkuasa
di Kadipaten Galumbu ini ditolaknya. Dan mereka
pun pindah ke ruangan lain. Sikap Adipati
Gadasewu begitu akrab, seakan-akan memang
baru bertemu saudaranya yang telah berpisah
puluhan tahun lamanya.
--myrna-- 2 Kedatangan Rondokulun memang membuat
sikap Adipati Gadasewu berubah. Seakan-akan
peristiwa semalam yang menewaskan dua orang
pemuda penduduk Kadipaten Galumbu sudah
dilupakannya. Tentu saja perubahan itu sangat
menarik perhatian Ki Jalaksena. Laki-laki setengah


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baya itu memang tidak tahu. Tapi mengingat yang
datang adalah utusan Eyang Gajah Sakti, seorang
pertapa di puncak Gunung Halimun, Ki Jalaksena
tidak lagi mencurigai kehadiran Rondokulun.
Terlebih lagi, setelah Adipati Gadasewu mengatakan kalau Rondokulun saudaranya.
Sehingga, pemuda itu kini diterima dengan baik di
kadipatenan ini. Bahkan dilayani sebagaimana
layaknya anggota keluarga adipati.
Namun setelah malam datang, Adipati
Gadasewu jadi kelihatan gelisah di dalam
kamarnya. Entah sudah berapa kali mondarmondar memutari kamarnya yang luas dan indah
ini. Sesekali dia berdiri di jendela, dan memandangi
bulan yang malam ini bersinar penuh. Sementara
malam terus merayap semakin larut, tapi sedikit
pun Adipati Gadasewu belum bisa memicingkan
matanya. Dari raut wajah dan sinar matanya, dia
kelihatan begitu gelisah.
"Aku tidak yakin kalau dia yang membunuh
Eyang Gajah Sakti. Hm.... Bagaimana mungkin
Eyang Gaja Sakti bisa dikalahkannya...?" gumam
Adipati Gadasewu, bicara sendiri.
Kembali adipati itu melangkah menghampiri
jendela. Dan baru saja berdiri di sana memandangi
bulan, mendadak....
Wusss! "Heh..."! Ups!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu menarik tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba terlihat
secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat
menerobos masuk melalui jendela. Cahaya kuning
keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan
dada Adipati Gadasewu yang miring ke kiri, dan
langsung menghantam dinding kamar ini.
"Hup!"
Seperti seekor kancil, Adipati Gadasewu
melompat ke luar kamarnya. Begitu tinggi ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak
terdengar suara saat kedua kakinya menjejak
tanah berumput yang mulai dibasahi embun.
"Hm.... Hup!"
Sekilas Adipati Gadasewu melihat sebuah
bayangan berkelebat di atas atap bangunan istana
kadipaten ini. Maka tanpa berpikir panjang lagi,
tubuhnya langsung melesat naik ke atas atap.
Hanya sekali saja tubuhnya berputar, lalu manis
sekali kakinya menjejak atas atap. Namun saat itu
bayangan hitam tadi terlihat lagi, tengah meluruk
turun melewati tembok bagian belakang yang
cukup tinggi ini.
"Hup!"
Adipati Gadasewu jadi penasaran. Cepat
tubuhnya melesat mengejar bayangan hitam itu.
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga
hanya sekati lesatan saja, adipati berusia muda itu
sudah berada di luar tembok pagar batu yang
mengelilingi bangunan istana kadipaten ini.
"Hap!"
Ringan sekali Adipati Gadasewu menjejakkan
kakinya di tanah. Sebentar matanya yang tajam
beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.
Srak! "Hm...."
Adipati Gadasewu langsung berpaling ke kanan,
begitu terdengar gesekan suara semak. Dan saat
itu matanya melihat satu bayangan hitam melesat
begitu cepat dari sebelah kanannya.
"Hup! Yeaaah...!"
Langsung saja Adipati Gadasewu melesat
mengejar bayangan hitam itu. Dan bayangan hitam
itu masih sempat terlihat berkelebat begitu cepat,
melompati atap-atap rumah penduduk Gerakannya
begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun
dasewu terus mengamati ke mana saja arah
gerakan bayangan hitam itu dengan mata tajam.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berputaran di udara, Adipati Gadasewu
melenting dari sebuah atap rumah, dan kembali
menjejak tanah. Tapi saat itu juga tubuhnya terus
melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang tingkatannya sudah tinggi
sekali. Sementara bayangan hitam itu seakan tidak bisa
terkejar. Dan begitu sampai di sebuah perkebunan,
bayangan hitam itu kembali lenyap. Maka Adipati
Gadasewu seketika menghentikan larinya. Sambil
berdiri tegak, padangannya beredar ke sekeliling.
Begitu tajam sorot matanya, seakan hendak
menembus gelapnya malam di tengah-tengah
kebun ini. Dan ketika kepalanya bergerak ke
kanan.... "Heh..."!"
Wut! "Ups...!"
--myrna-- Hampir saja wajah Adipati Gadasewu yang
tampan itu terbabat pedang berwarna kuning
keemasan, kalau saja tidak cepat-cepat menarik
kepalanya ke kanan. Dan mata pedang yang
berkilatan kuning keemasan itu hanya lewat sedikit
saja di depan hidungnya.
"Hap!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu melompat ke
belakang sejauh tiga langkah. Dan kini di depannya
sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik.
Bajunya ketat berwarna hitam, membentuk
tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang
berwarna kuning keemasan, tergenggam di depan
dadanya. Sorot matanya terlihat begitu tajam,
seakan hendak menembus jantung adipati berusia
muda ini. Sementara Adipati Gadasewu sendiri memandanginya dengan kelopak mata agak
berkerut. Rasanya, gadis ini belum pernah
dikenalnya. Bahkan melihatnya pun baru kali ini.
Tapi kenapa tiba-tiba saja menyerang..."
Pertanyaan itu yang terus mengganggu benaknya.
"Nisanak, siapa kau" Dan, kenapa menyerangku?"
tanya Adipati Gadasewu penasaran. "Jangan banyak tanya, Gadasewu! Sebut saja
leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" bentak
gadis itu garang.
"Heh..."!"
Adipati Gadasewu jadi terperanjat setengah
mati, hingga sampai terlonjak dua langkah ke
belakang. "Bersiaplah menerima kematianmu, Gadasewu!
Hiyaaat...!"
"Eh, tung...."
Bet! "Ups...!"
Kembali Adipati Gadasewu jadi terhenyak,
begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini sudah
menyerangnya dengan kecepatan sangat luar
biasa. Pedang emasnya berkelebat begitu cepat,
menyodok ke arah dada. Namun dengan gerakan
manis sekali, serangan itu berhasil dihindarinya.
Kembali Adipati Gadasewu melompat ke belakang,
berusaha menghindari pertarungan. Tapi gadis
yang tidak dikenalnya ini malah terus menyerangnya dengan ganas.
"Hup! Yeaaah...!"
Adipati Gadasewu yang tidak ingin bertarung
tanpa jelas alasannya, cepat-cepat melompat naik
ke atas pohon. Tapi tanpa diduga sama sekali,
gadis itu sudah melesat cepat mengejarnya sambil
kembali membabatkan pedang emasnya yang
mengarah tepat ke dada adipati muda ini
"Hiyaaa...!"
Wut! "Haiiit...!"
Adipati Ganda sewu terpaksa berjumpalitan di
udara, menghindari serangan gadis ini. Lalu
tubuhnya kembali meluruk turun, dan manis sekali
kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang
bersamaan, gadis berbaju hitam itu sudah melesat
dan langsung menyerang dengan kecepatan kilat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Berulang kali gadis itu membabatkan pedangnya, mengincar bagian-bagian tubuh yang
mematikan. Namun Adipati Gadasewu memang
bukan orang yang kosong. Dengan gerakangerakan indah dan liukan lentur, setiap serangan
yang datang berhasil dihindarinya.
"Gila! Serangannya dahsyat sekali. Uh...!" keluh
Adipati Gadasewu.
Dan memang, semakin jauh mereka bertarung,
serangan-serangan gadis itu terasa semakin
berbahaya saja. Gerakan-gerakan pedangnya
begitu cepat luar biasa. Sehingga yang terlihat
hanya kilatan cahaya kuning keemasan saja yang
bergulung-gulung, mengurung setiap celah gerak
adipati ini. "Hup! Yeaaah...!"
Begitu mendapat kesempatan, Adipati Gadasewu langsung melepaskan satu pukulan
keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali. Serangan balasan ini rupanya membuat
gadis itu jadi terhenyak juga. Buru-buru tubuhnya
meliuk sambil membabatkan pedangnya menyilang
di depan dada. Dan pada saat itu juga, Adipati Gadasewu
melesat ke belakang sejauh satu batang tombak.
"Hap!"
Jleg! Ringan sekali gerakannya, sehingga sedikit pun
tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak
tanah. Dan kini, jarak antara mereka hanya
berkisar satu batang tombak
"Huh, Pengecut! Kenapa terus menghindar,
Gadasewu" Kau takut menghadapiku, heh..."!"
dengus gadis itu sinis.
"Nisanak! Bukannya aku takut. Tapi aku tidak
ingin bertarung tanpa alasan jelas," kata Adipati
Gadasewu berusaha lembut.
"Jadi kau ingin alasan, heh..."!"
Adipati Gadasewu hanya diam saja.
"Baik... Dengar, Gadasewu. Aku akan membunuhmu dengan alasan yang jelas atau tidak
Dan yang pasti, kau harus mati di tanganku. Nah!
Itu alasanku untuk mengirimmu ke neraka!" ancam
gadis itu dingin.
Adipati Gadasewu hanya diam saja. Dia tahu,
gadis ini tidak akan mungkin memberi alasan jelas
dan benar. Tapi kalau pertarungan ini diteruskan,
bukannya tidak mungkin salah seorang ada yang
tewas. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rasanya
memang berat melenyapkan nyawa orang lain
tanpa alasan pasti. Terlebih lagi, kalau orang itu
tidak memiliki persoalan sedikit pun dengannya.
Bahkan yang sudah jelas-jelas bersalah pun, masih
bisa diberi ampun. Tapi gadis ini....
"Mampus kau, Gadasewu! Hih! Yeaaah...!"
Wuk! "Eh..."!"


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adipati Gadasewu jadi terperangah setengah
mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini
menghentakkan tangan kirinya setelah menyarungkan pedangnya ke dalam warangka di
punggung. Dan saat itu juga, beberapa buah benda
berbentuk anting yang berwarna kuning keemasan,
melesat secepat kilat ke arahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Adipati Gadasewu melenting ke
udara, menghindari serangan gadis berbaju hitam
itu. Tapi belum juga bisa menjejakkan kakinya
kembali ke tanah, gadis berbaju hitam itu sudah
kembali melancarkan serangan Kedua tangannya
bergerak melontarkan anting-anting emas dengan
kecepatan luar biasa sekali.
"Hup! Hiyaaa...!"
--myrna-- Adipati Gadasewu terpaksa harus berjumpalitan
di udara, menghindari anting-anting emas yang
berhamburan di sekitar tubuhnya. Sementara gadis
berbaju hitam itu terus melontarkan senjatasenjatanya sambil bergerak cepat mengelilingi
Adipati Gadasewu. Dan ini tentu saja membuat adipati
berusia muda itu jadi kelabakan. Anting-anting
emas itu tampak datang dari segala arah,
mengancam seluruh tubuhnya.
"Edan...! Hih!"
Cring! Adipati Gadasewu jadi geram mendapat
serangan yang begitu beruntun tanpa henti. Maka
pedangnya cepat dicabut. Lalu bagaikan kilat
pedangnya diputar untuk melindungi tubuhnya dari
incaran anting-anting emas itu.
Tring! Trang...!
Entah berapa kati anting-anting emas itu tersampok pedang adipati ini. Tapi gadis berbaju
hitam itu terus saja menyerang dengan kecepatan
tinggi sekali. Sikapnya seakan-akan tidak peduli
kalau serangannya tidak ada yang mendapatkan
hasil. Sementara dengan pedang di tangan, Adipati
Gadasewu tidak lagi kelihatan kelabakan.
Pedangnya bergerak begitu cepat, sehingga yang
terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang
bergulung-gulung menyambar anting-anting emas
yang terus berhamburan di sekitar tubuhnya.
"Huh! Alo juga adipati ini!" dengus gadis itu
dalam hati, mengakui ketangguhan Adipati
Gadasewu. Meskipun mengakui dalam hati, tapi gadis itu
tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan seranganserangannya semakin dahsyat saja. Tidak berhasil
dengan senjata anting emasnya, gadis itu
menggunakan jurus-jurus silatnya yang dahsyat
dan sesekali menggunakan ilmu kedigdayaan.
Sementara, Adipati Gadasewu terus bertahan
walaupun semakin terdesak saja.
Dan pada jurus-jurus selanjutnya, beberapa kali
pukulan keras yang dilancarkan gadis itu sudah
berhasil disarangkan ke tubuh Adipati Gadasewu.
Darah sudah mulai mengalir dari sudut bibir adipati
ini. Keadaannya semakin terdesak saja, dan sulit
untuk balas menyerang. Entah sudah berapa kali
pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di
tubuhnya. Namun pada saat yang sangat tidak
menguntungkan ini, mendadak saja....
"Menyingkirlah, Kakang Adipati...!"
Slap! "Heh..."! Ups!"
Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rondokulun
muncul. Langsung diterjangnya gadis berbaju
hitam ini. Kedatangan Rondokulun tentu saja
membuat gadis itu jadi terkejut Dan hampir saja
satu pukulan yang sangat keras mendarat di
wajahnya. Untung saja kepalannya segera ditarik
ke belakang. Dan saat itu juga, Adipati Gadasewu
melompat ke belakang. Tapi tubuhnya langsung
terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah.
"Hup!"
Sementara gadis berbaju serba hitam itu cepatcepat melesat ke belakang sejauh dua batang
tombak. Setelah beberapa kali berputaran di udara,
kakinya menjejak tanah dengan mantap. Dan di
depannya kini, berdiri Rondokulun yang merupakan
murid Eyang Gajah Sakti di pertapaan puncaW
Gunung Halimun:
"Huh! Satu saat nanti, kau tidak akan lolos
dariku, Gadasewu!" dengus gadis itu kesal.
Sebentar gadis itu menatap tajam Rondokulun.
Dan.... "Kau juga akan mampus di tanganku!"
Setelah berkata demikian, gadis berbaju hitam
yang tidak dikenal itu cepat bagai kilat melesat
pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan
mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
terlihat lagi. Sementara, Rondokulun masih tetap
berdiri tegak memandang ke arah kepergian gadis
itu. Dan badannya bergegas berbalik, begitu
mendengar suara batuk dari belakangnya.
"Kakang Adipati...."
Rondokulun cepat-cepat menghampiri Adipati
Gadasewu yang tampak kelihatan begitu parah
keadaannya. Dia berdiri dengan bertumpu pada
ujung pedang yang ditekan ke tanah. Darah di
mulutnya terlihat menggumpal kental.
"Aku tidak apa-apa, Rondokulun. Untung kau
cepat datang...," kata Adipati Gadasewu lirih.
"Kau terluka, Kakang," kata Rondokulun,
bernada cemas. Adipati Gadasewu berusaha tersenyum. Kakinya
hendak melangkah, tapi tubuhnya jadi terhuyung.
Bahkan hampir saja ambruk kalau Rondokulun
tidak cepat-cepat menyangganya.
"Bawa aku ke bawah pohon itu, Rondokulun,"
pinta Adipati Gadasewu.
"Baik, Kakang."
Rondokulun membawa Adipati Gadasewu ke
bawah pohon yang diinginkannya. Kemudian,
adipati itu duduk bersila di sana. Sementara,
Rondokulun mengambil tempat tidak jauh di
depannya. Terus dipandanginya adipati berusia
muda yang tengah melakukan semadi untuk
menyembuhkan luka-luka dalam yang dideritanya.
Dan malam pun terus merayap semakin larut
Rondokulun masih setia menunggui Adipati
Gadasewu bersemadi. Hatinya agak cemas juga,
melihat darah terus mengucur dari mulut dan
hidung. Tapi kecemasannya langsung sirna, begitu
melihat kelopak mata Adipati Gadasewu terbuka.
Dan darah yang keluar dari mulutnya juga tidak
lagi berwarna kehitaman.
"Phuuuh...!"
Adipati Gadasewu menyemburkan darah yang
menggumpal memenuhi rongga mulutnya, kemudian beberapa kali melakukan gerakan
tangan. Dan akhirnya, kedua telapak tangannya
dirapatkan di depan dada, dan perlahan-lahan
turun hingga berada di atas lututnya.
Adipati Gadasewu tersenyum melihat Rondokulun masih tetap duduk bersila, tidak
seberapa jauh di depannya. Dengan gerakan
tangannya, dipanggilnya pemuda yang diakui
sebagai saudara seperguruannya itu.
"Ada yang bisa kubantu, Kakang?" tanya
Rondokulun setelah dekat.
"Rondokulun.... Kau tahu, siapa gadis itu tadi?"
Adipati Gadasewu balik melontarkan pertanyaan.
'Tidak, Kakang. Baru kali ini aku melihatnya,"
sahut Rondokulun. "Kakang mengenalnya...?"
"Sayang....
Aku juga tidak sempat mengenalinya. Dan aku juga tidak tahu, apa
maksudnya hendak membunuhku," pelan sekali
suara Adipati Gadasewu.
"Kakang, mungkin gadis itu yang membunuh
Eyang Gajah Sakti," tebak Rondokulun.
"Melihat dari kepandaiannya, rasanya kemungkinan itu memang ada. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku benar-benar
dijadikan mainan olehnya."
Rondokulun jadi terdiam. Sementara Adipati
Gadasewu juga tidak membuka suara lagi Dan
untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja.
Angin yang bertiup malam ini terasa semakin
bertambah dingin. Perlahan Adipati Gadasewu
mengangkat kepalanya, dan langsung menatap
bola mata Rondokulun yang duduk bersila di
depannya. "Rondokulun, bagaimana kau bisa tahu aku ada
di sini?" tanya Adipati Gadasewu ingin tahu.
"Sebenarnya sejak Kakang keluar dari kamar,
aku sudah membuntuti," sahut Rondokulun terus
terang. "Jadi kau tahu semua yang terjadi?" tanya
Adipati Gadasewu lagi.
"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk
membuntuti. Aku hanya khawatir saja," ucap
Rondokulun. "Ah.... Kalau kau tidak ada, tentu besok pagi
aku sudah ditemukan terbujur jadi mayat,
Rondokulun. Terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku."
"Kakang, sebenarnya kau bisa mengalahkannya.
Tapi Kakang terlalu memberi hati dan kesempatan
lawan untuk melakukan serangan dan terus
menekan. Aku kira, tidak akan berakhir seperti ini
kalau Kakang sama sekali tidak memberi
kesempatan. Maaf, Kakang. Bukannya aku
menggurui. Tapi kulihat, Kakang tadi seperti
mengalah padanya."
Adipati Gadasewu jadi tersenyum. Entah
kenapa..."
Mungkin kebenaran penilaian Rondokulun tadi diakuinya. Dia tadi memang terlalu
memberi hati dan kesempatan pada lawannya.
Akibatnya, jadi termakan sendiri. Gadis itu
memanfaatkannya untuk terus menekan dengan
serangan-serangannya yang gencar dan cepat
Tapi meski tidak diberi kesempatan pun, Adipati
Gadasewu tidak yakin akan berhasil mengalahkannya. Sudah dirasakannya kalau
tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu sangat
tinggi. Paling tidak, berada beberapa tingkat di atas
kepandaian yang dimilikinya.
"Ayo kita pulang, Rondokulun," ajak Adipati
Gadasewu sambil bangkit berdiri.
Rondokulun cepat-cepat bangun, dan membantu
adipati ini berdiri. Kemudian mereka berjalan
bersama-sama, kembali ke istana kadipatenan.
Tidak ada lagi yang dibicarakan dan terdiam
membisu selama berjalan.pulang. Kelihatannya,
mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah
apa yang ada dalam kepala mereka. Bahkan
beberapa kali terdengar hembusan napas Adipati
Gadasewu yang panjang dan terasa begitu berat.
--myrna-- 3 Kota Kadipaten Galumbu terasa tampak tenang.
Tidak ada lagi yang membicarakan peristiwa
pembunuhan dua anak muda beberapa malam
yang lalu. Ketenangan ini begitu terasa, sehingga


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adipati Gadasewu memusatkan penjagaan di
sekitar istana kadipaten saja.
Siang ini udara di Kota Kadipaten Galumbu
terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa
terhalang awan di langit sedikit pun. Seakan-akansinarnya yang panas menyengat, hendak
membakar seluruh permukaan bumi ini. Musim
kering me-memang sudah mulai merambat wilayah
Kadipaten Galumbu. Tidak heran kalau sungaisungai sudah mulai kelihatan susut Dan debu
semakin banyak bertebaran di sepanjang jalan.
Namun teriknya mentari, tidak menghalangi dua
anak muda yang berjalan mengoyak tanah berdebu
sambil menuntun kudanya. Keringat terlihat
membasahi seluruh tubuh mereka, bercampur
dengan debu yang mengepul tersapu angin di jalan
tanah ini. "Matahari sudah ada di atas kepala. Tapi belum
juga menemukan sungai..," terdengar suara
keluhan dari gadis berbaju biru muda yang berjalan
sambil menuntun kuda putih.
Sedangkan pemuda yang berada di sebelah
kanannya hanya melirik sedikit saja. Memang
sudah setengah harian ini mereka berjalan, tapi
belum satu sungai pun ditemukan Padahal, bukan
hanya mereka saja yang kepanasan, tapi kudakuda yang dituntun pun juga sudah mendengusdengus kehausan. Sedangkan matahari siang ini
bersinar begitu terik membuat kulit terasa terbakar.
"Kakang, kau dengar itu...?"
"Aku sudah mendengarnya sejak tadi."
"Ayo kita ke sana, Kakang. Kuda-kuda ini sudah
kehausan sekali."
Kembali pemuda itu hanya tersenyum saja.
Sedangkan gadis berwajah cantik berbaju biru
sudah berjalan cepat, setengah berlari sambil
menuntun kudanya, menuju suara air yang
didengarnya. Dan memang, setelah mereka melewati sebuah
tikungan jalan ini, terlihat sebuah mata air yang
mengalir dari sepotong bambu yang tertampung
pada sebuah kolam berbatu. Dan kelihatannya,
tempat ini begitu sunyi. Tidak ada seorang pun
yang terlihat Padahal tidak jauh dari mata air ini
terdapat Kota Kadipaten Galumbu.
"Pandan, tunggu...!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih yang
berjalan belakangan berseru nyaring, begitu gadis
yang berjalan bersamanya tadi sudah langsung
akan terjun ke dalam kolam mata air ini Gadis itu
jadi berhenti dan berpaling ke belakang.
"Tunggu dulu, Pandan. Aku periksa, barangkali
saja air ini tidak bisa dipakai," kata pemuda itu
setelah dekat. "Kau terlalu curiga, Kakang."
"Lihat sekelilingmu, Pandan."
Gadis yang dipanggil Pandan itu segera
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia
memang Pandan Wangi yang di kalangan rimba
persilatan, dikenal sebagai si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak
lain adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti.
Perlahan Pandan Wangi melangkah mundur
sambil tetap memegangi tali kekang kudanya.
Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri
kolam mata air itu. Pendekar Rajawali Sakti
berlutut di tepi kolam, lalu mencelupkan ujung jari
tangannya ke dalam kolam. Tidak berapa lama
kemudian, ujung jari telunjuknya sudah diangkat.
Beberapa saat, dipandanginya jari telunjuk yang
basah oleh air kolam ini.
"Beracun...?" tanya Pandan Wangi tidak sabar
lagi. "Tidak," sahut Rangga seraya tersenyum dan
menggeleng. Pandan Wangi juga tersenyum. Langsung
dihampirinya kolam itu, lalu dibasuhnya wajah dan
lengannya. Setelah tenggorokannya dibasahi air
jernih ini, kudanya segera ditarik ke tepi kolam itu.
Sementara Rangga sudah sejak tadi menyegarkan
tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk
bersandar di bawah pohon yang cukup rindang,
untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari.
Pandangannya tidak berhenti memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Kemudian, matanya terpaku
pada Kota Kadipaten Galumbu yang perbatasannya
sudah dilewati tadi.
"Sudah hilang lelahmu, Pandan?" tanya Rangga,
tanpa sedikit pun memalingkan perhatiannya dari
Kota Kadipaten Galumbu.
"Sebentar lagi," sahut Pandan Wangi terdengar
malas suaranya.
Rangga sedikit melirik gadis itu. Dari sudut ekor
matanya, Pandan Wangi terlihat tengah merebahkan tubuh tidak jauh dari kolam batu mata
air itu. Sepertinya, dia juga tengah melindungi diri
dari sengatan matahari di bawah pohon yang
cukup rimbun daunnya. Periahan Rangga bangkit
berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sebentar untuk
menghilangkan rasa pegal yang sejak tadi
dirasakan. "Ayo, Pandan. Kita bisa istirahat lagi nanti di
sana," ajak Rangga lagi.
"Hhh...!"
Sambil mengeluh malas, Pandan Wangi bangun
juga. Kemudian diambilnya kuda tunggangannya
dan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti. Lalu dituntunnya kuda-kuda itu mendekati
pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih
ini "Hup!"
Mereka berlompatan naik ke atas punggung
kuda masing-masing. Dan sebentar kemudian,
mereka sudah berpacu di jalan tanah yang berdebu
ini menuju ke Kota Kadipaten Galumbu.
--myrna-- Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah
Kadipaten Galumbu ini. Sementara, Rangga
berjalan-jalan menikmati suasana malam di kota
yang cukup besar ini, setelah mendapatkan rumah
penginapan. Sedangkan Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Memang, Pandan Wangi
merasa malas sekali keluar dari kamarnya. Gadis
itu ingin melepaskan lelah, setelah seharian penuh
terpanggang sinar matahari
Berkerut juga kening Pendekar Rajawali Sakti
melihat keadaan kota yang cukup besar ini begitu
sunyi kalau malam. Dan selama berjalan, tidak
seorang pun dijumpai. Begitu sunyi, bagaikan
sebuah kota mati yang tidak berpenghuni. Bahkan
rumah-rumah yang ada hanya menyalakan pelita di
beranda depan saja. Pendekar Rajawali Sakti
kembab lagi ke rumah penginapan tempat Pandan
Wangi ditinggalkan di sana. Dan seorang laki-laki
berusia lanjut yang merupakan pemilik rumahi
penginapan ini menyambutnya di pintu depan.
"Dari mana malam-malam begini, Den?" tegur
laki-laki itu mencoba tersenyum ramah.
"Jalan-jalan, Ki. Melihat keadaan," sahut
Rangga. "Kalau saja tahu, pasti aku sudah melarangmu
keluar malam-malam sendirian," desah orang tua|
itu seakan menyesali perbuatan tamunya ini.
"Kenapa, Ki?" tanya Rangga jadi heran.
'Terlalu berbahaya, Den. Kota ini sudah tidak
aman lagi," sahut pemilik kedai yang biasanya
dipanggil Ki Sampan ini. "Apa kau melihat ada
orang lain di luar rumah...?"
Rangga hanya menggeleng saja.
"Sudah beberapa hari ini, tidak ada seorang pun
yang berani keluar rumah."
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin
tahu. Ki Sampan tidak langsung menjawab. Matanya
lantas melirik ke kanan dan ke kiri, seakan takut
ada orang lain yang mendengar. Kemudian cepatcepat dibawanya Pendekar Rajawali Sakti masuk
Rangga hanya mengikuti saja dengan wajah
mencerminkan keheranan. Ki Sampan menutup
pintu, laki menguncinya dengan palang. Kemudian
diajaknya Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah
balai-balai bambu, beralaskan selembar tikar daun
pandan yang dianyam halus.
"Kau tahu, Den. Sudah beberapa hari ini ada
Dara Iblis berkeliaran," terdengar begitu pelan
suara Ki Sampan.
"Dara Iblis...?"
"Betul. Semua orang mengatakan, dia itu si Dara
Iblis yang berkeliaran mencari korban setiap
malam. Siapa saja yang dijumpai, pasti mati
dibunuh. Bahkan Gusti Adipati sendiri hampir
terbunuh waktu hendak menangkapnya. Tapi,
untung saja saudara angkatnya cepat datang
menolong Sejak saat itu, tindakan si Dara Iblis
semakin bertambah liar. Dia tidak peduli lagi. Siapa
saja yang berhadapan dengannya, langsung
dibunuh." "Hm.... Jadi itu sebabnya tidak ada seorang pun
yang berani keluar rumah...?" gumam Rangga
seperti bicara pada diri sendiri.
"Bukan hanya malam saja, Den. Siang juga tidak
ada yang berani jauh-jauh meninggalkan
rumahnya. Dara Iblis itu sekarang sudah berani
muncul siang hari."
"Bukankah kadipaten ini punya pasukan pra-.
jurit, Ki. Kenapa tidak dikerahkan saja untuk
meringkusnya...?"
"Percuma saja, Den. Dara Iblis itu sangat
tangguh. Entah sudah berapa orang prajurit yang
tewas di tangannya. Bahkan Gusti Adipati yang
berilmu tinggi, hampir tewas terbunuh."
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini terjadi,
Ki?" tanya Rangga jadi tertarik mendengarnya.
"Sudah hampir satu purnama, Den. Dan sudah
tidak terhitung lagi, orang yang mati dibunuh Dara
Iblis itu. Bahkan dalam sehari bisa lima orang, yang
terbunuh," sahut Ki Sampan, masih terdengar
pelan suaranya.
Saat itu tiba-tiba saja terdengar lolongan anjing
yang sangat panjang di kejauhan. Dan tak berapa
lama kemudian, terdengar ringkikan kuda. Rangga
melihat wajah Ki Sampan seketika itu juga jadi
pucat pasi dengan tubuh menggeletar seperti
terserang demam.
"Dia..., dia datang...," desis Ki Sampan bergetar
perlahan. "Hm...."
Rangga langsung saja turun dari balai-balai
bambu itu. Tapi belum juga melangkah, Ki Sampan
sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa
Rangga tidak jadi melangkah mendekati pintu.
"Jangan, Den. Jangan keluar. Kau bisa mati
dibunuhnya," cegah Ki Sampan ketakutan.
'Tenang saja, Ki Aku hanya ingin melihat
rupanya saja," kata Rangga sambil melepaskan
cekalan tangan orang tua itu dengan halus.
"Den...."
Suara Ki Sampan jadi tercekat di tenggorokan.
Sementara Rangga sudah melangkah mendekati
pintu. Hati-hati sekali palang pintu itu dibuka. Lalu
dengan perlahan juga, dibukanya pintu depan
rumah penginapan ini. Sementara, Ki Sampan
masih tetap duduk di balai-balai bambu itu dengan
wajah terlihat semakin pucat.
Sedangkan Rangga sudah melangkah ke luar
rumah dengan ayunan kaki begitu tenang. Ki
Sampan bergegas turun dari balai-balai bambu ini,
dan tergopoh-gopoh mendekati pintu. Buru-buru
ditutupnya pintu, walaupun tidak penuh. Dan dia
segera mengintip keluar. Tampak pemuda yang
menjadi tamunya itu berdiri tegak di tengah-tengah
halaman rumah penginapannya. Jelas sekali kalau
sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti menantang,
ingin bertemu orang yang dijuluki si Dara Iblis.
"Hik hik hik...!"
"Oh..."!"
Wajah Ki Sampan seketika jadi memucat bagai
mayat, begitu tiba-tiba terdengar tawa terkikik
mengerikan. Seluruh tubuhnya jadi bergetar lemas.
Dan belum juga suara terkikik itu menghilang dari
pendengaran, terlihat sebuah bayangan hitam
berkelebat begitu cepat di depan Pendekar


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu, di depan pemuda ini
sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik.
Bajunya hitam pekat, menyandang pedang
bergagang ber-bentuk bintang emas di punggungnya. "Hm...."
"Hik hik hik..! Rupanya ada juga orang yang
bernyali besar di sini. Bagus...! Aku memang sudah
kesal. Mereka semua pengecut! Juga, Gadasewu
pengecut itu!"
Terdengar begitu dingin nada suara gadis ini.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi
dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya.
Seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti sedang
menilai, sampai di mana tingkat kepandaian yang
dimiliki wanita yang dijuluki Dara Iblis ini.
--myrna-- "Anak muda, siapa kau"! Hm.... Apa kau sudah
bosan hidup, hingga berani menantangku disini...?"
ketus sekali suara si Dara Iblis ini.
"Aku Rangga yang memang ingin menghentikan
perbuatan terkutukmu itu, Nisanak," sahut Rangga
tegas. "Hi hi hi...! Berani kau berkata begitu padaku,
heh..."! Kau tahu, siapa aku"! Akulah yang dijuluki
Dara Iblis! Huh! Aku tidak peduli dengan nama itu.
Dan yang penting, aku ingin membunuh habis
semua orang di sini."
"Kau tentu punya alasannya."
"Phuih! Ada atau tidak, itu bukan urusanmu!"
"Hm...."
"Bersiaplah
untuk menjemput kematian, Kisanak!" Rangga hanya diam saja, tapi
sudah siap kalau
Dara Iblis itu melakukan serangan. Sementara si Dara Iblis juga
terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti ini.
Sorot matanya begitu dalam, sampai menusuk bola mata Rangga. Perlahan
kakinya bergeser ke kanan tiga langkah,
kemudian... "Hiyaaat...!"
Sret! Cring! Wut! "Haiiit..!"
Rangga jadi terkesiap juga sejenak, melihat
kecepatan gerak Dara Iblis dalam mencabut
pedangnya. Sambil melompat, pedang itu langsung
dibabarkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda
tampan berbaju rompi putih itu menghindarinya.
Akibatnya, ujung pedang berwarna kuning
keemasan itu hanya lewat di bawah kakinya.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga,
Kisanak! Terimalah seranganku ini. Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Bet! Kembali gadis itu menyerang, membabatkan
pedangnya ke arah dada. Tapi, kali ini Rangga
tidak hanya menghindar saja. Dan begitu ujung
pedang Dara Iblis lewat di depan dadanya, secepat
kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan
tendangan menggeledek yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!" "
Namun tanpa diduga sama sekali, gadis itu
malah menghentakkan tangan kirinya. Langsung
disambutnya serangan balasan Pendekar Rajawali
Sakti ini. Dan itu tentu saja membuat Rangga jadi
terhenyak tidak menyangka. Tapi, untuk menarik
kembali tendangannya sudah terlambat. Dan....
Plak! "Ikh...!"
"Ups!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang begitu
tendangan Rangga menghantam tangan Dara Iblis.
Meskipun tendangannya disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi, tapi sedikit pun tidak ada
pengaruhnya pada tangan gadis itu. Dan ini
membuat Rangga jadi berpikir. Memang, gadis ini
tidak bisa dipandang ringan. Apalagi, kekuatan
tenaga dalamnya sungguh luar biasa.
Sementara si Dara Iblis tampaknya juga tidak
lagi bisa memandang rendah pemuda berbaju
rompi ini. Tendangan yang diberikan Rangga tadi,
sempat juga membuat jantungnya bergetar. Malah
sempat juga tulang tangannya terasa nyeri. Untung
saja serangan itu tadi ditangkis dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi, sehingga tidak mengakibatkan
luka sedikit pun juga.
"Apa mungkin desa kadipaten ini memiliki
pemuda yang tangguh...?" Gumam Dara Iblis
bertanya sendiri dalam hari. Sejenak ditatapnya
Rangga dengan sinar mata sangat tajam menusuk,
seperti ingin menembus jantung pemuda ini.
Kemudian kakinya bergeser ke kanan perlahan
sambil menyemburkan ludahnya. Sementara,
Rangga masih tetap berdiri tegak dengan kedua
tangan terkepal di samping pinggang. Sorot
matanya juga terlihat begitu tajam, tanpa berkedip
sedikit pun memperhatikan gerakan kaki gadis
cantik berbaju hitam ketat ini.
"Hap! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Dara Iblis
kembali melesat bagai kilat dengan ujung pedang
tertuju lurus ke tenggorokan Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, Rangga sendiri hanya diam
menunggu serangan lebih dekat lagi. Dan begitu
ujung pedang berwarna kuning keemasan itu
hampir saja menembus tenggorokannya,
mendadak... "Hats! Yeaaa...!"
Sambil mengegoskan kepalanya ke kanan,
secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melepaskan
satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna. Begitu cepat gerakannya,
sehingga membuat Dara Iblis jadi terperangah
tidak menyangka.
"Hap!"
Namun dengan gerakan indah sekati, gadis itu
meliukkan tubuhnya. Sehingga, pukulan yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tidak sampai
mengenai dadanya.
"Hap! Yeaaah...!"
Dara Iblis kembali melenting ke udara. Dan
pada saat itu juga pedangnya dibabarkan ke arah
kepala pemuda ini. Tapi hanya sedikit saja
mengegoskan kepala, Pendekar Rajawali Sakti
berhasil menghindar. Hanya sedikit saja mata
pedang berwarna kuning keemasan itu berkelebat
menyambar di atas kepala Rangga.
"Hih! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
cepat-cepat melesat ke udara. Langsung kedua .
tangannya direntangkan. Bagaikan kilat, kedua
tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat
bergantian, membabat ke arah bagian tubuh Dara
Iblis yang mematikan.
"Setan! Ikh...!"
Wuk! Untuk kedua kalinya Dara Iblis terhenyak. Maka
cepat-cepat pedangnya diputar untuk melindungi
diri dari serangan dahsyat pemuda ini. Dari
gerakan-gerakannya, sudah bisa diketahui kalau
Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' tingkat terakhir. Gerakan kedua
tangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat,
sampai kedua tangannya bagaikan berubah
menjadi ribuan jumlahnya. Dan memang, Rangga
bukan hanya mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' saja, tapi juga dipadukan dengan
jurus 'Seribu Rajawali'.
--myrna-- 4 Entah sudah berapa jurus pertarungan itu
berlangsung. Sementara bukan hanya Ki Sampan
saja yang menyaksikan pertarungan itu. Dari
jendela kamar penginapan Ki Sampan ini, Pandan
Wangi juga menyaksikan. Sementara, terlihat juga
kepala-kepala menyembul dari balik jendela dan
pintu rumah-rumah yang tidak jauh dari rumah Ki
Sampan. Pertarungan memang membuat semua penduduk kota Kadipaten Galumbu ini jadi
terbangun dari buaian mimpi. Dan mereka tidak
ingin melewatkan pertarungan menarik antara
pemuda yang sore tadi menginap di rumah Ki
Sampan, dengan Dara Iblis. Mereka semua
berharap, pemuda itu bisa mengalahkan perempuan berbaju hitam itu. Bahkan melenyapkan untuk selama-lamanya. Dan saat itu
juga, terlihat dari ujung jalan ke istana
kadipatenan, serombongan prajurit mendatangi
tempat pertarungan di halaman rumah Ki Sampan
ini. Cahaya api obor mulai terlihat menerangi
sekitar tempat ini.
Sementara pertarungan antara Pendekar
Rajawali Sakti melawan si Dara Iblis semakin
berlangsung sengit. Masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Sehingga,
gerakan-gerakan mereka begitu sulit diikuti mata
biasa. Begitu cepatnya, sampai yang terlihat hanya
kelebatan bayangan-bayangan putih dan hitam
yang saling sambar.
"Phuih! Sial! Tempat ini sudah dipenuhi orang.
Huh...! Aku tidak boleh mati konyol di sini, sebelum
yang kuinginkan terkabul!" dengus si Dara Iblis.
Mengetahui keadaannya tidak lagi menguntungkan, gadis cantik yang dijuluki Dara
Iblis itu mulai mencari celah untuk melepaskan diri
dari pertarungan. Dan kesempatan itu pun datang,
saat Rangga menyepakkan kakinya dengan
gerakan berputar ke arah kaki gadis ini. Saat itu
juga.... "Hup! Yeaaah...!"
Kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disiasiakan Dara Iblis Dengan kecepatan bagai kilat,
tubuhnya melesat tinggi ke udara dan langsung
melunak deras ke atas atap rumah Ki Sampan. Dan
sebelum Rangga sendiri sempat menyadari,
mendadak saja tanpa memutar tubuhnya gadis
berbaju hitam itu melepaskan beberapa buah
anting-anting emas ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Wus! Siap! "Haiiit...!"


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat-cepat Rangga melenting dan berputaran
di udara, menghindari serangan anting-anting
emas itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Dara
Iblis sudah tidak terlihat lagi di atas atap rumah Ki
Sampan ini. "Heh! Ke mana dia..."! Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga
cepat melesat naik ke atas atap. Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali
lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
tegak di atas atap rumah ini. Sebentar pandangan-,
nya beredar ke sekeliling. Tapi Dara Iblis itu tidak
juga terlihat. Bahkan bayangannya pun juga sudah
tidak terlihat lagi.
"Hhh! Cerdik sekali dia...," dengus Rangga.
Dara Iblis itu memang sudah tidak terlihat lagi.
Entah ke mana perginya. Rangga hanya bisa
menghela napasnya panjang-panjang, kemudian
kembali melompat turun. Ringan sekali gerakannya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan
suara saat kedua kakinya menjejak tanah.
Dan baru saja kakinya menjejak tanah, Ki
Sampan sudah datang menghampiri bersama
Pandan Wangi. Saat itu juga, terlihat Adipati
Gadasewu didampingi Rondokulun dan Ki Jalaksena
datang menghampiri, diiringi sekitar tiga puluh
orang prajurit yang membawa tombak. Ki Sampan
segera' berlutut sambil memberi sembah hormat,
begitu melihat Adipati Gadasewu datang.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya
berdiri saja memandangi. Mereka tahu, yang
datang itu adalah orang utama di Kadipaten
Galumbu ini. "Kisanak. Aku melihat pertarunganmu tadi
dengan si Dara Iblis. Hm.... Sungguh menakjubkan.
Kau mampu menandingi kepandaiannya," ujar
Adipati Gadasewu langsung, begitu dekat dengan
Pendekar Rajawali Sakti.
'Terima kasih. Hanya kebetulan saja aku tadi
bertemu dengannya," sambut Rangga merendah.
"Kisanak, gadis itu sudah seringkali menjarah
kadipaten ini Dan selama ini, belum ada seorang
pun yang sanggup menandinginya. Tapi kulihat
malam ini, dia mendapat lawan yang seimbang.
Hm.... Jika Kisanak tidak keberatan, aku
mengundangmu datang ke kadipatenan," kata
Adipati Gadasewu lagi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dan matanya
langsung melirik Pandan Wangi sebentar, kemudian
menatap Ki Sampan yang berada agak ke belakang
di sebelah kanannya. Laki-laki tua itu hanya diam
saja dengan kepala tertunduk. Rangga tahu, Ki
Sampan tidak berani membuka suara di depan
adipatinya sendiri.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukannya menolak. Tapi,
aku sudah menyewa rumah Ki Sampan ini untuk
bermalam. Tapi kalau Gusti Adipati menginginkan
aku mengusir gadis itu, dengan senang hati akan
kulakukan," kata Rangga menolak halus.
"Aku mengerti, Kisanak. Baiklah. Kau boleh
tinggal di rumah Ki Sampan. Tapi, kuminta
datanglah mengunjungiku di kadipatenan besok
pagi. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Terus
terang, aku kagum sekali melihat kepandaian yang
kau miliki," kata Adipati Gadasewu, bisa. mengerti.
"Mudah-mudahan besok pagi tidak ada
halangan, Gusti Adipati," ujar Rangga tidak bisa
lagi menolak Adipati Gadasewu kemudian berpamitan, dari
segera pergi diiringi para pengawalnya. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri
memandangi. Tampak beberapa orang berada di
depan rumahnya, memandangi Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi setelah Adipati Gadasewu tidak terlihat
.lagi, mereka bergegas masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo, Ki. Kita ke dalam lagi," ajak Rangga.
"Baik, Den. Terima kasih, Raden masih mau
tinggal di gubukku yang reyot ini."
"Oh, sudahlah. Aku lebih senang bermalam di
sini, daripada di istana."
"Aku tidak menyangka, Raden begitu murah dan
rendah hati. Padahal ilmu yang Raden miliki sangat
tinggi. Bahkan bisa menandingi si Dara Iblis."
Rangga hanya tersenyum saja mendapat pujian
seperti itu. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi
hanya diam saja. Dan mereka kemudian masuk ke
dalam. Merasa di rumahnya ada seorang pendekar
tangguh dan digdaya, Ki Sampan tidak lagi merasa
takut. Malah pelita di ruangan depan rumahnya
dinyalakan besar-besar, sehingga mampu menerangi sekitarnya. Rangga hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Ki
Sampan. --myrna-- Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi
menampakkan diri, Rangga dan Pandan Wangi
sudah keluar dari rumah penginapan Ki Sampan.
Laki-laki tua pemilik penginapan itu mengantarkan
kedua pendekar muda ini sampai di depan
rumahnya. Dengan menunggang kuda, mereka
menuju Istana Kadipaten Galumbu. Begitu sunyi
pagi ini. Kabut masih terlihat cukup tebal
menyelimuti seluruh wilayah Kota kadipaten ini.
Dan memang, matahari belum lagi menampakkan
diri. Hanya kokok ayam jantan dan kicauan burungburung saja yang menandakan kalau fajar sebentar
lagi akan menyingsing.
Baru sampai di depannya saja, Rangga sudah
kagum melihat kemegahan istana kadipaten ini..
Begitu megah, seperti sebuah istana kerajaan saja.
Dan memang, Kadipaten Galumbu ini sangat besar
wilayahnya. "Kenapa berdiri saja, Kakang" Bukankah
kedatangan kita ke sini memenuhi undangan
Adipati Gadasewu...?" tegur Pandan Wangi, melihat
Rangga hanya berdiri saja mematung memandangi
bangunan kadipatenan itu.
Mereka memang sudah turun dari kudanya.
Rangga melirik sedikit pada gadis cantik di
sebelahnya ini, lalu sedikit memberi senyum manis
sekali. "Indah sekali istana ini, Pandan. Tidak kalah
dengan Istana Karang Setra," gumam Rangga
seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Kau ingat tanah kelahiranmu, Kakang?" ujar
Pandan Wangi jadi tersenyum.
Dan Rangga hanya diam saja memandangi
bangunan megah di depannya ini Entah kenapa,
Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat tanah
kelahirannya, Karang Setra. Memang sudah cukup
lama mereka tidak kembali ke Karang Seira. Entah
apa yang terjadi di sana. Mungkin sudah banyak
sekali perubahannya.
"Setelah dari sini, ada baiknya juga kalau kita
kembali ke Karang Setra, Kakang. Terus terang,
aku juga sudah rindu sekali," kata Pandan Wangi,
seakan bisa membaca perasaan Pendekar Rajawali
Sakti. "Ya..., kita memang sudah terlalu lama
meninggalkan Karang Setra," desah Rangga pelan.
"Kakang.... Lihat itu. Rondokulun sudah keluar,"
kata Pandan Wangi memberi tahu.
Dari gerbang bangunan megah itu, memang
terlihat Rondokulun keluar. Langsung dihampirinya
kedua pendekar muda yang masih tetap berdiri
memandangi kemegahan bangunan istana kadipaten ini Rondokulun menjura memberi
hormat, setelah dekat di depan kedua pendekar
muda dari Karang Setra ini.
"Kenapa berdiri saja di sini" Langsung saja
masuk. Gusti Adipati sudah menanti kedatangan
kalian," kata Rondokulun ramah.
"Aku benar-benar mengagumi istana ini," ujar
Rangga berterus terang.
"Istana ini memang megah. Bahkan tidak kalah
megahnya dari istana kerajaan sendiri," kata
Rondokulun juga memuji.
Mereka kemudian melangkah bersama-sama
menuju istana kadipatenan ini. Rondokulun
berjalan di sebelah kanan Rangga. Sedangkan
Pandan Wangi berjalan di sebelah kiri sambil
menuntun kudanya sendiri.
Seorang prajurit menghampiri, begitu ketiga
orang itu melewati pintu gerbang yang dijaga
empat orang prajurit bersenjatakan tombak.
Prajurit itu mengambil kuda kedua pendekar muda
ini. Sedangkan Rondokulun terus mempersilakan
mereka, meniti anak-anak tangga yang menuju
bagian dalam istana.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan
membungkukkan tubuhnya, memberi hormat saat
ketiga orang ini melewatinya. Rangga jadi berdecak
kagum begitu berada di dalam bangunan istana ini.
Begitu megah, sampai kekagumannya tidak lagi
disembunyikan. Dan sampai di ruangan tengah yang luas,
mereka langsung disambut Adipati Gadasewu dan
Ki Jalaksena. Rupanya Adipati Gadasewu memang
sudah mempersiapkan penyambutan pada kedua
pendekar ini. Di tengah-tengah ruangan ini terlihat
sebuah meja yang sangat besar, dengan beberapa
kursi berukir dari kayu jari berbaris di setiap
sisinya. Tampak prajurit-prajurit bersenjata tombak
mengelilingi ruangan ini.
"Mari, Pendekar. Silakan duduk," sambut Adipati
Gadasewu dengan sikap sangat ramah.
'Terima kasih," ucap Rangga membalas
keramahan ini Mereka kemudian duduk di satu meja. Hanya
Rondokulun saja yang tetap berdiri di belakang
Adipati Gadasewu. Sedangkan Ki Jalaksena duduk
bersebelahan dengan Pandan Wangi Rangga
sendiri diberi tempat di sebelah lori Adipati
Gadasewu. Dan belum lama mereka duduk, muncul
gadis-gadis muda berparas cantik membawa baki
berisi penuh makanan dan buah-buahan, serta
beberapa guci arak
Rangga jadi agak tertegun juga melihat
penyambutan yang begitu mewah. Sungguh tidak
disangka kalau Adipati Gadasewu sudah mempersiapkannya begitu matang. Entah apa
jadinya kalau sampai tadi kedua pendekar muda ini
tidak datang. Pasti akan sangat kecewa hatinya.
"Mari silakan.... Hanya ini yang bisa
kupersembahkan pada kalian berdua," kata Adipati
Gadasewu tetap ramah.
Rangga hanya tersenyum saja, tidak bisa lagi
berkata-kata. Entah apa yang ada dalam hati
Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan beberapa
kali Pandan Wangi melirik Rangga yang kelihatan
lain. Pandan Wangi sendiri tidak bisa menebak isi
hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari sorot
matanya, Pandan Wangi mulai khawatir juga.
Hanya saja, entah apa yang dikhawatirkannya saat
ini. --myrna-- Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak
permintaan Adipati Gadasewu yang ingin
memperlihatkan setiap bagian istananya yang
megah ini. Seharian penuh kedua pendekar muda
itu berada dalam Istana Kadipaten Galumbu ini.
Dan setelah matahari benar-benar condong ke arah
barat, mereka baru meninggalkan bangunan istana
yang megah itu. Namun sebelum mereka pergi,
Adipati Gadasewu meminta Rangga untuk
meringkus Dara Iblis. Dan adipati itu juga
menjanjikan hadiah sangat besar bagi Pendekar
Rajawali Sakti. Namun semua itu hanya dibalas
senyuman yang sangat sulit diartikan.
"Kakang...," ujar Pandan Wangi setelah mereka
cukup jauh berkuda meninggalkan Istana
Kadipaten Galumbu.


Pendekar Rajawali Sakti 101 Rahasia Dara Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit
saja. "Maaf, kalau aku berkata lancang padamu,"
ucap Pandan Wangi agak berhati-hati.
"Hm.... Apa yang akan kau katakan, Pandan?"
"Sejak tadi, kuperhatikan kau banyak diam.
Terus terang, aku khawatir kau tidak menyukai
cara penyambutan Adipati Gadasewu tadi," kata
Pandan Wangi berterus terang.
Rangga hanya diam saja. Ditariknya napas
dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Sementara Pandan Wangi yang berkuda di
sebelahnya, melirik sedikit ke wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan hatinya terus
menduga-duga, apa sebenarnya yang saat ini
tengah bergelut dalam kepala Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi memang sulit mencari jawabannya.
Sementara, Rangga hanya diam saja, seakan
enggan membicarakannya.
"Kakang...," tegur Pandan Wangi lagi.
"Hm.... Ada apa, Pandan?"
Rangga hanya sedikit saja melirik si Kipas Maut
ini. "Sudah cukup lama aku berjalan denganmu. Aku
tahu, ada yang membuat hatimu resah. Kalau
masih mempercayaiku, kenapa tidak kau utarakan
Kakang" Apa kau sudah menganggapku tidak ada
gunanya lagi...?"
Sengaja Pandan Wangi membuat hatinya
seakan-akan kesal atas sikap Rangga yang hanya
diam saja, seperti tidak mempedulikannya. Dan
kata-kata Pandan Wangi barusan rupanya
membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak
juga. Langkah kaki kudanya dihentikan, dan
berpaling menatap wajah si Kipas Maut dengan
sorot mata cukup dalam.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Pandan?"
terdengar begitu dalam nada suara Rangga.
"Kau sendiri, kenapa diam saja?" balas Pandan
Wangi. "Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya
panjang-panjang.
Sedangkan Pandan Wangi terdiam, tapi tetap
menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu dengan
bola mata tidak berkedip sedikit pun.
Beberapa saat lamanya, mereka terdiam
membisu. Seakan-akan mereka sibuk dengan
pikiran sendiri-sendiri. Dan perlahan Rangga
menghentakkan tali kekang, hingga kuda hitam
yang bernama Dewa Bayu itu kembali berjalan
perlahan-lahan. Pandan Wangi masih tetap diam
sambil memandangi beberapa saat, kemudian
menghentakkan kudanya menyusul Pendekar
Rajawali Sakti. Kembali langkah kaki kudanya
disejajarkan di samping Dewa Bayu.
"Ayo kita keluar dari kota ini, Pandan," ajak
Rangga tiba-tiba.
"Mau apa di...?"
"Hiyaaa...!"
Belum lagi Pandan Wangi menyelesaikan
pertanyaannya, Rangga sudah menghentakkan tali
kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu melesat
cepat bagaikan anak panah terlepas dari busur.
Sesaat Pandan Wangi jadi tertegun, namun cepat
menggebah kudanya.
"Hiyaaa...!"
Debu seketika mengepul, membubung tinggi ke
angkasa saat dua ekor kuda yang ditunggangi
kedua pendekar dari Karang Setra itu berpacu
cepat menuju timur. Sementara matahari sudah
hampir tenggelam di ufuk barat. Hanya cahaya
merah Jingganya saja yang menyemburat dari balik
sebuah bukit di sebelah barat Kota Kadipaten
Galumbu ini. Kedua pendekar itu terus memacu kudanya
dengan kecepatan sangat tinggi. Hingga sebentar
saja mereka sudah melewati perbatasan kota yang
tidak dijaga seorang prajurit pun. Gerbang
perbatasan yang ditandai dua buah bangunan batu
berbentuk puri itu kelihatan sunyi, tanpa seorang
pun terlihat di sana. Namun kedua pendekar dari
Karang Sutra itu terus saja memacu kudanya.
Dan kalau sudah berpacu begini, Pandan Wangi
jadi kesal. Masalahnya, tidak mudah untuk bisa
mengejar Dewa Bayu. Bahkan untuk mensejajarkannya saja, kuda putih tunggangannya ini bisa
mati kehabisan tenaga. Hingga kini, jarak mereka
semakin bertambah jauh saja. Sementara,
kerimbunan pepohonan sebuah hutan yang cukup
lebat sudah tampak di depan mata. Namun kedua
pendekar muda itu masih saja terus memacu cepat
kudanya. "Hooop...!"
Setelah sampai di tepian hutan, Rangga
menghentikan lari kudanya. Dan Pendekar Rajawali
Sakti langsung melompat turun, bersamaan
terdengar ringkikan Dewa Bayu yang mengangkat
kedua kaki depannya. Dan tidak berapa lama
kemudian, Pandan Wangi sudah sampai. Gadis itu
menghentikan lari kudanya perlahan-lahan,
kemudian melompat turun dengan gerakan indah
dan ringan sekali. Gadis yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut itu mendarat tepat sekitar tiga langkah
lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada yang menarik perhatianmu di sini,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tempat ini lebih cocok untuk bicara secara
pribadi daripada di rumah Ki Sampan," ujar Rangga
tanpa mempedulikan kata-kata Pandan Wangi
barusan. "Hm...."
Kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Dengar, Pandan. Aku akan memberimu tugas.
Dan ini sangat penting," kata Rangga, dengan
mimik wajah sungguh-sungguh.
'Tugas..." Tugas apa, Kakang"!" tanya Pandan
Wangi jadi penasaran.
"Kau harus memata-matai Adipati Gadasewu.
Bahkan kalau perlu harus mengetahui latar
belakang kehidupannya."
"Heh, apa..."!"
--myrna-- 5 Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati
mendengar kata-kata Rangga yang sama sekati
tidak diduga. Sungguh tidak disangka kalau Rangga
justru mencurigai Adipati Gadasewu. Padahal, sikap
adipati yang masih muda usianya itu sama sekali
tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Bahkan
begitu ramah dan dihormati seluruh rakyat
Kadipaten Galumbu ini Tentu saja keinginan itu
membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti jalan
pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Adipati Gadasewu begitu ramah dan
dihormati seluruh rakyatnya. Bagaimana mungkin
aku bisa memata-matainya...?" ujar Pandan Wangi
mengemukakan penilaiannya.
"Aku tidak ingin kau ikut terbius dan buta oleh
penampilannya yang begitu ramah, Pandan. Justru
keramahan yang berlebihan membuatku menaruh
curiga," tegas Rangga.
'Tapi, Kakang. Adipati Gadasewu sendiri pernah
bertarung melawan si Dara Iblis. Bahkan hampir
saja mati terbunuh. Mana mungkin dia berada di
balik semua peristiwa ini...?" bantah Pandan Wangi
lagi "Aku tidak mengatakan kalau dia ada di
belakangnya, Pandan."
"Lalu, apa yang membuatmu curiga?" tanya
Pandan Wangi, ingin tahu.
"Hubungannya dengan si Dara Iblis," sahut
Rangga tetap tegas nada suaranya.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi jadi semakin
tidak mengerti.
"Dengar, Pandan. Dalam setiap kerusuhan yang
terjadi di sebuah desa atau kadipaten, tidak
terlepas dari keterlibatan pemimpinnya. Dan aku
begitu yakin, Adipati Gadasewu terlibat di
dalamnya," Rangga mencoba menjelaskan jalan
Iblis Lengan Tunggal 1 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pedang Semerah Darah 2

Cari Blog Ini