Ceritasilat Novel Online

Ratu Intan Kumala 2

Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala Bagian 2


diam, pedang pusakanya dilepaskan, dan ditinggalkan begitu saja di tanah. Dia
tidak ingin senjata pusakanya jatuh ke tangan manusia berhati iblis seperti
wanita-wanita berpakaian serba hitam ini. Baginya, lebih baik tidak membawa
senjata dalam keadaan seperti ini.
*** 5 "Pandan...!"
Rangga kaget setengah mati, begitu kembali ke tempat Pandan Wangi tadi ditinggalkannya. Dan gadis itu tidak lagi terlihat di
sana. Yang ditemukan hanya senjata-senjatanya saja yang tertinggal. Pendekar
Rajawali Sakti lalu mengambil senjata-senjata milik Pandan
Wangi itu. Rangga memandangi Kipas Maut dan Pedang Naga
Geni milik Pandan Wangi. Dia tidak tahu, di mana kini Pandan Wangi berada. Tapi
tempat ini sudah kelihatan berantakan sekali. Jadi, jelas kalau tadi habis
terjadi pertarungan. Pendekar Rajawali Sakti memalingkan
kepala, ketika telinganya mendengar langkah-langkah kaki yang begitu ringan dari
belakang. Dan tubuhnya langsung berputar, saat melihat Nyai Samirah datang
menghampiri. Perempuan tua itu juga kelihatan heran melihat
keadaan tempat ini yang begitu berantakan, seperti ba-ru saja terjadi
pertarungan besar. Ketua Padepokan
Tongkat Perak itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima
tindak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya pemuda berbaju rompi
putih itu, kemudian beralih pada dua senjata yang sudah dikenalinya di tangan
Rangga. "Apa yang terjadi, Rangga?" tanya Nyai Samirah.
"Semua ini tidak akan terjadi kalau kau tidak pergi terlalu lama begitu saja,
Nyai," Sahut Rangga agak
mendengus. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti terlihat begitu
tajam, menatap lurus ke bola mata Nyai Samirah. Seakan-akan ingin dilahapnya
seluruh tubuh perempuan
tua itu. Sedangkan Nyai Samirah kelihatan terkejut
atas jawaban Rangga yang bernada ketus dan dingin
tadi. Bahkan belum pernah dilihatnya sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dia
yakin, pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi
kelihatan marah.
"Maaf. Memang seharusnya aku tadi minta izin dulu
padamu. Aku tadi berusaha mencari tempat persembunyian Nyai Purut," ucap Nyai Samirah lagi. Nada suaranya masih terdengar
merendah. "Kau temukan?" tanya Rangga masih terdengar
agak ketus nada suaranya.
"Sudah," sahut Nyai Samirah.
"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas
panjang saja. Terasa begitu berat hembusan napas Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar dipandanginya dua senjata maut Pandan Wangi. Kemudian
diikatnya Pedang Naga Geni
ke pinggang, sedangkan senjata kipas andalan Pandan Wangi itu diselipkan di
balik sabuk ikat pinggangnya.
"Apa yang terjadi pada Pandan Wangi, Rangga?"
tanya Nyai Samirah agak hati-hati suaranya.
"Dia hilang," sahut Rangga datar.
"Hilang" Hilang kenapa...?" tanya Nyai Samirah lagi, meminta penjelasan.
"Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, telah terjadi sesuatu terhadap Pandan
Wangi. Senjatanya tidak
pernah ditinggalkan begitu saja kalau dirinya tidak mengalami kesulitan yang
sangat berat. Kau tahu,
Nyai. Kalau Pandan Wangi sudah meninggalkan semua
senjatanya, itu berarti sudah merasa tidak ada harapan hidup lagi," kata Rangga
dengan suara pelan menjelaskan.
"Hm.... Ini pasti perbuatan perempuan-perempuan
iblis itu," desis Nyai Samirah dingin dan terdengar datar sekali.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi
wajah perempuan tua itu. Pikirannya masih tertuju
pada Pandan Wangi yang saat ini nasibnya entah bagaimana. Hatinya benar-benar mencemaskan gadis itu.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, kalau Pandan Wangi
sudah meninggalkan senjata-senjatanya, pasti sangat berat keadaan yang sedang
dihadapinya. "Nyai! Kau tadi mengatakan, sudah tahu tempat
tinggal Nyai Purut...," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat
tadi. "Benar," sahut Nyai Samirah singkat.
"Sebaiknya kita tidak perlu membuang-buang waktu lagi, Nyai. Antarkan aku ke sana," ajak Rangga meminta. "Tapi, Rangga...."
"Tidak ada waktu lagi, Nyai! Keselamatan Pandan
Wangi lebih penting dari semuanya," desak Rangga cepat, memutuskan ucapan
perempuan tua itu.
"Cukup sulit untuk sampai ke sana, Rangga. Dan
terlalu berbahaya kalau malam hari. Aku saja hampir tidak sanggup tadi," sergah
Nyai Samirah. "Sebaiknya tunggu saja sampai besok pagi."
"Tidak ada waktu lagi, Nyai. Malam ini juga kita harus pergi ke sana. Aku
khawatir telah terjadi sesuatu pada diri Pandan Wangi," desak Rangga terus.
"Rangga..."
"Baiklah. Kalau kau keberatan, aku akan pergi sendiri. Tunggu saja aku di sini, Nyai. Aku pasti akan kembali lagi bersama Pandan
Wangi," potong Rangga,
cepat. "Rangga...!"
Tapi Rangga sudah tidak peduli lagi. Yang ada dalam kepalanya hanya keselamatan Pandan Wangi belaka. Hatinya benar-benar cemas, karena gadis itu kini berada dalam cengkeraman
tangan Nyai Purut yang
kekejamannya sudah terkenal. Perempuan tua itu tidak segan-segan menggorok leher siapa saja, asalkan keinginannya tercapai. Dan
Rangga khawatir kalau-kalau Nyai Purut menjatuhkan tangan kejamnya pada
Pandan Wangi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, dan melangkah. Ayunan kakinya lebar- lebar dan cepat. Sementara, Nyai
Samirah masih tetap berdiri
memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dan
malam pun terus merambat semakin larut, membuat
udara di sekitar hutan lereng Bukit Menjangan ini jadi bertambah dingin.
"Rangga, tunggu...!" seru Nyai Samirah, seraya bergegas berlari mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sedikit pun tidak berpaling. Kakinya terus saja melangkah cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada
tingkat kesempurnaan. Melihat itu, Nyai Samirah sege-ra mengempos ilmu
meringankan tubuhnya dan cepat
mengejar. Tapi meskipun seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tetap saja tidak bisa mengejar Pendekar
Rajawali Sakti. Padahal, kelihatannya Rangga hanya berjalan seperti biasa.
"Rangga, tunggu...! Kau tidak bisa seorang diri ke
sana!" seru Nyai Samirah.
Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat Nyai
Samirah berlari cepat menerobos lebatnya hutan di lereng Bukit Menjangan ini.
Dan Rangga kemudian
menghentikan ayunan kakinya. Nyai Samirah juga baru berhenti berlari setelah dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebentar
jalan pernafasannya diatur.
"Kau mengambil jalan yang salah, Rangga. Ikut
aku," kata Nyai Samirah.
Tanpa menunggu jawaban lagi, perempuan tua yang
pernah memimpin sebuah padepokan itu langsung saja berjalan menuju ke arah lain dari yang diambil
Rangga tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera mengikuti. Lalu ayunan kakinya
disejajarkan di samping kanan perempuan tua ini.
Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Tanpa
mempedulikan keadaan hutan yang semakin lebat dan
sulit dilalui. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Bahkan tidak terlihat satu
bintang pun di langit. Cahaya bulan pun tidak sanggup menembus tebalnya kabut
yang menyelimuti seluruh permukaan Bukit Menjangan ini. Tapi semua keadaan alam yang tampaknya tidak ramah itu, sama sekali bukan halangan berarti
bagi Rangga dan Nyai Samirah. Mereka terus berjalan cepat, seperti tidak
mendapatkan rintangan sedikit
pun. *** Tepat tengah malam, Rangga dan Nyai Samirah
sampai di puncak Bukit Menjangan ini. Begitu berhenti melangkah, mereka meneliti
keadaan sekitarnya. Dengan pengerahan aji 'Tata Netra', Pendekar Rajawali Sakti
mampu melihat jauh dan menembus tebalnya
kabut yang menyelimuti puncak bukit ini. Namun sama sekali tidak terlihat adanya tanda-tanda seorang pun di sekitar puncak bukit
ini. Bahkan pendengarannya yang juga menggunakan aji 'Pembeda Gerak dan
Suara', tidak mendapatkan satu suara pun yang mencurigakan. Benar-benar sunyi keadaan di puncak bukit ini. "Di mana tempatnya, Nyai?" tanya Rangga pelan.
Tapi dalam keadaan yang begitu sunyi, suara Rangga yang sangat pelan terdengar jelas sekali di telinga Nyai Samirah. Dan wanita
tua itu berpaling menatap
Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat, dipandanginya wajah tampan pemuda itu, kemudian dialihkan
lurus ke depan.
"Kabut tebal sekali. Aku lupa arah jalannya, Rangga," kata Nyai Samirah pelan.
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Bisa dimaklumi. Memang keadaan di puncak Bukit
ini sangat tidak menguntungkan. Bukan hanya Nyai
Samirah yang bisa lupa. Bahkan mungkin, Pendekar
Rajawali Sakti sendiri tidak akan sanggup lagi mengingat jalan yang telah
dilalui tadi. Kabut yang menyelimuti begitu tebal, hingga menghalangi pandangan mata. Kalau saja tidak mengerahkan aji 'Tatar Netra', tidak akan mungkin Pendekar
Rajawali Sakti bisa melihat jauh. "Ada yang kau kenali di sekitar sini, Nyai?" tanya
Rangga lagi. "Entahlah...," sahut Nyai Samirah tidak yakin pada
diri sendiri. Perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang bisa menyegarkan ingatannya kembali. Tapi sudah dicoba dengan keras, tetap saja sulit.
Bahkan udara yang begitu dingin, membuat tubuhnya jadi bergetar.
"Rangga...."
"Ssst..!"
Rangga cepat-cepat meminta Nyai Samirah diam.
Dan secepat kilat, ditariknya tangan perempuan tua
itu. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti melesat begitu cepat, membuat Nyai Samirah
jadi terkejut setengah ma-ti. Dan belum juga keterkejutannya hilang, tahu-tahu
mereka sudah berada di balik sebatang pohon yang
cukup besar ukurannya.
"Ada apa...?" tanya Nyai Samirah dengan suara berbisik pelan. "Kau tidak mendengar ada orang berjalan ke sini,
Nyai...?" Rangga malah balik bertanya.
Nyai Samirah terdiam. Telinganya segera dipasang
tajam-tajam, mencoba mencari suara langkah kaki
yang tadi dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
udara yang begitu dingin dan ditambah kabut yang
sangat tebal, membuat pendengarannya jadi berkurang. Namun tidak berapa lama kemudian, adanya
langkah-langkah kaki baru bisa terdengar jelas di telinganya.
Langkah-langkah kaki orang yang jumlahnya sekitar dua puluh orang atau lebih. Dan sepertinya mereka berjalan cepat, disertai
pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Sehingga,
hampir tidak dapat diketahui sama sekali. Nyai Samirah berpaling menatap
Pendekar Rajawali Sakti yang
berada di sebelah kirinya. Entah kenapa, di dalam hatinya terselip rasa kagum
pada pemuda ini.
Dia sendiri tadi sama sekali tidak bisa mendengar
langkah-langkah kaki itu. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dapat mengetahui. Dan ilmu
yang dimiliki memang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada yang dimilikinya
sendiri. "Mereka sudah dekat, Nyai. Hati-hatilah...," ujar
Rangga memperingatkan.
"Hhh...," Nyai Samirah hanya menghembuskan napas saja. Suara langkah kaki itu semakin jelas sekali terdengar. Dan sekarang, sangat jelas kalau mereka tidak lagi menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Sehingga,
hentakan-hentakan langkah begitu jelas terdengar di telinga. Dan tak berapa lama
kemudian, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam berjalan cepat, keluar
dari gumpalan kabut.
"Nyai Purut...," desis Nyai Samirah, begitu mengenali orang yang berjalan paling depan.
"Ssst...!" Rangga cepat memperingatkan agar Nyai
Samirah tidak bersuara.
"Rangga! Bukankah itu Pandan Wangi...?"
"Ssst, diam. Aku sudah tahu," desis Rangga berbisik. Nyai Samirah langsung diam. Sementara, orangorang berbaju serba hitam yang semuanya wanita itu
sudah kelihatan semakin dekat sekali. Dan begitu lewat di depan pohon itu, Nyai Samirah langsung menahan nafasnya. Wanita-wanita itu terus saja berjalan cepat melewati pohon tempat Rangga dan
Nyai Samirah bersembunyi.
Mereka baru keluar dari balik pohon, setelah Nyai Purut dan gadis-gadis
pengikutnya lewat cukup jauh.
"Mereka sudah tidak kelihatan lagi, Rangga. Kenapa
tidak diikuti saja...?" ujar Nyai Samirah.
"Tunggu, biar mereka lebih jauh lagi," ujar Rangga.
"Tapi mereka sudah tidak terlihat lagi, Rangga. Nan-ti kita bisa kehilangan
jejak." Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Nyai Samirah tidak mampu melihat dari jarak jauh di dalam kabut se-tebal ini. Sedangkan
baginya, tidak ada persoalan sedikit pun juga. Dengan menggunakan aji 'Tatar
Netra', Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat rombongan wanita-wanita
berpakaian serba hitam itu.
"Gunakan ilmu meringankan tubuhmu, Nyai. Jangan sampai kehadiran kita diketahui mereka," kata


Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga meminta.
"Baik," sahut Nyai Samirah.
"Ayo," ajak Rangga akhirnya.
Mereka segera bergerak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sudah barang tentu, Rangga harus
mengimbangi perempuan tua itu agar tidak tertinggal.
Sedangkan rombongan gadis berbaju serba hitam yang
membawa Pandan Wangi terus bergerak cukup jauh di
depan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kalau
dibuntuti dari belakang. Sementara, Rangga terus
menggunakan aji 'Tatar Netra' agar tetap bisa melihat jelas, walaupun di
sekitarnya kabut sangat tebal menyelimuti.
*** Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya baru berhenti berjalan, setelah tiba di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di
Puncak Bukit Menjangan ini.
Wanita tua berbaju jubah panjang warna hitam itu
duduk di atas sebongkah batu pipih berbentuk bulat.
Sementara, empat orang gadis pengikutnya mengikat
Pandan Wangi yang masih terbungkus jaring hitam di
tiang. Sedikit pun si Kipas Maut itu tidak berusaha memberontak. Dia kelihatan pasrah, tapi matanya malah
beredar memandang ke sekeliling. Kemudian, tatapannya tertumbuk pada Nyai Purut yang duduk bersila di atas batu dengan tongkat
kayunya diletakkan melintang di atas kedua pahanya yang terlipat. Sementara,
gadis-gadis pengikut perempuan tua itu sudah duduk, membuat setengah lingkaran
di depannya. Tidak ada
seorang pun yang membuka suara. Mereka duduk bersila sambil agak tertunduk. Sementara, Nyai Purut
bangkit dari duduknya dan turun dari atas batu itu.
Baru saja Nyai Purut berlutut, tiba-tiba saja di depannya mengepul asap berwarna
kemerahan dari dalam tanah. Asap itu menggumpal, menjadi satu dengan kabut. Sementara Pandan
Wangi terus memperhatikan
tanpa berkedip sedikit pun. Dan begitu asap berwarna kemerahan itu lenyap
seperti tertiup angin, tahu-tahu di depan Nyai Purut sudah berdiri seorang
perempuan muda yang sangat cantik bagai bidadari.
"Oh...!"
Pandan Wangi sampai tersedak. Dia tahu, wanita
cantik itulah yang telah menghancurkan padepokan
milik Nyai Samirah. Dan kini baru diketahui kalau antara wanita cantik berbaju
merah muda yang mengaku
bernama Ratu Intan Kumala itu ada hubungannya
dengan Nyai Purut.
"Berhasil juga kau membawanya ke sini, Nyai Purut," kata Ratu Intan Kumala seraya melangkah menghampiri Pandan Wangi.
Bibir Ratu Intan Kumala yang merah merekah, menyunggingkan senyuman sangat manis sekali. Dia berdiri sekitar lima langkah lagi di depan Pandan Wangi.
Sementara, Nyai Purut berada di belakangnya. Seperti tengah menilai suatu
barang, diamatinya Pandan
Wangi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dan bibirnya terus menyunggingkan
senyuman manis sekali.
"Bagaimana kepandaiannya, Nyai?" tanya Ratu Intan Kumala lagi, tanpa berpaling sedikit pun.
"Cukup sulit juga mengatasinya, Gusti Ratu," sahut
Nyai Purut "Hmmm..., ke mana senjatanya?"
"Dia membuangnya sendiri, Gusti Prabu."
"Kau tidak mencarinya?"
"Sudah."
"Ya, sudah. Aku toh, tidak butuh senjatanya. Yang
kubutuhkan orangnya. Biar dia sendiri nanti yang
membunuh Nyai Samirah dan Pendekar Rajawali Sakti." "Rencana yang bagus, Gusti Prabu. Memang, kita tidak perlu mengotori tangan
dengan darah mereka.
Biar saja dia yang melakukannya untuk kita," sambut Nyai Purut gembira.
Sambil tersenyum, Ratu Intan Kumala menghampiri
Pandan Wangi yang masih terikat di tonggak kayu
dengan tubuh terbungkus jaring hitam. Diambilnya
sebuah bungkusan kulit dari balik sabuk emas yang
membelit pinggang rampingnya. Kemudian, diambilnya
sebuah pil berwarna merah bagai darah dari dalam
kantung kulit itu.
"Buka mulutnya, Nyai. Obat ini akan menghilangkan kesadarannya. Dan tentu dia akan patuh pada perintahku," kata Ratu Intan Kumala.
Nyai Purut bergegas menghampiri, dan langsung
menjambak rambut Pandan Wangi. Lalu, perempuan
tua itu berusaha membuka mulut gadis itu. Kali ini, Pandan Wangi tidak tinggal
diam begitu saja. Dia me-ronta berusaha melawan, dan tidak membuka mulutnya barang sedikit pun. Susah payah Nyai Purut berusaha membuka mulut si Kipas
Muat Sedangkan Ratu
Intan Kumala hanya tersenyum saja melihat kegigihan Pandan Wangi yang tidak sudi
menyerah walaupun
keadaannya sangat tidak menguntungkan.
"Diam, Setan!" bentak Nyai Purut jadi gusar.
Plak! "Auwh...!"
Pandan Wangi terpekik kecil, ketika satu tamparan
keras mendarat di wajahnya. Sebelah pipinya langsung memerah terkena tamparan
keras itu. Tapi Pandan
Wangi tetap saja memberontak, begitu Nyai Purut
kembali mencoba membuka mulutnya. Dan ini membuat perempuan tua itu jadi semakin berang saja.
"Gusti Ratu! Dia tidak menyerah begitu saja. Sebaiknya, lumpuhkan saja dulu. Biar mudah," ujar Nyai Purut seperti putus asa.
"Obat ini tidak ada artinya kalau dia dilumpuhkan
dulu, Nyai. Biar saja dia terus sadar begitu. Dan jangan sedikit pun mengalami
gangguan," sahut Ratu Intan Kumala kalem.
"Tapi, Gusti...."
"Usahakan terus, Nyai. Kalau dia lelah, pasti berhenti sendiri." potong Ratu Intan Kumala cepat.
Nyai Purut memanggil dua orang gadis pengikutnya.
Dan kini, dibantu dua orang pengikutnya, perempuan
tua itu kembali berusaha membuka mulut Pandan
Wangi. Dan Pandan Wangi sekarang benar-benar tidak
berdaya. Dalam keadaan tubuh terikat dan dipegangi
dua orang, akhirnya Nyai Purut bisa juga membuka
mulut gadis dan terus menahannya supaya tetap terbuka. Sementara, Pandan Wangi terus berusaha memberontak sekuat tenaga.
Ratu Intan Kumala tersenyum sambil melangkah
menghampiri lebih dekat lagi. Perlahan tangannya
menjular ke depan, hendak memasukkan obat berbentuk pil sebesar kacang berwarna merah darah itu ke mulut Pandan Wangi. Tapi
belum juga bisa memasukkan pil itu, tiba-tiba saja....
Tuk! "Heh..."!"
Ratu Intan Kumala terlompat mundur, dan obatnya
terlempar dari tangannya. Sedangkan Nyai Purut jadi terkejut melihat
junjungannya terlompat ke belakang.
"Ada apa, Gusti"!" tanya Nyai Purut tidak mengerti.
"Setan keparat...! Ada monyet busuk di sini!" umpat Ratu Intan Kumala berang.
"Heh"! Apa..."!"
Nyai Purut jadi semakin tersentak kaget, begitu melihat kepala Pandan wangi terkulai lemas. Padahal, dia tadi tidak melakukan apaapa kecuali hanya memegangi kepala gadis itu saja dan terus menahan agar
mulutnya tetap terbuka. Tapi sekarang, gadis itu terkulai seperti....
"Siaga...!" seru Nyai Purut cepat, begitu menyadari apa yang telah terjadi.
Seketika itu juga, semua gadis pengikutnya berlompatan membentuk lingkaran. Mereka langsung mencabut pedang masing-masing, dan melintangkannya di
depan dada. Sementara, Ratu Intan Kumala menghampiri Pandan Wangi yang kini terkulai seperti tidur.
"Keparat...!" dengus Ratu Intan Kumala geram.
Dia tahu, Pandan Wangi sudah tertotok pusat jalan
darahnya. Cepat-cepat dicobanya untuk membebaskan
totokan itu. Tapi beberapa kali jari-jari tangannya bergerak, kepala si Kipas
Maut itu tetap terkulai lemas tak bertenaga lagi.
"Setan! Siapa yang berani melakukan ini padaku,
heh..."!" geram Ratu Intan Kumala berang.
*** 6 Suasana terasa begitu sunyi di puncak Bukit Menjangan ini. Tak ada seorang pun yang bersuara. Sementara Ratu Intan Kumala sudah melangkah ke depan, setelah beberapa kali gagal melepaskan totokan di tubuh Pandan Wangi. Entah
siapa yang melakukannya. Tapi yang jelas, sekarang Pandan Wangi tidak
mungkin lagi bisa dipengaruhi obat ampuh yang dimiliki. "Kau jaga dia, Nyai," perintah Ratu Intan Kumala.
"Baik, Gusti," sahut Nyai Purut.
Ratu Intan Kumala berdiri tegak sambil berkacak
pinggang. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi sekitarnya yang begitu sunyi dan berselimut
kabut tebal. Sama sekali tidak terlihat adanya orang lain di sekitar puncak
Bukit Menjangan ini. Keadaan begitu sunyi, sampai desir angin yang begitu halus
pun terdengar jelas mengusik telinga.
"Tikus busuk! Keluar kau...!" bentak Ratu Intan
Kumala lantang menggelegar.
Suara wanita cantik bagai bidadari itu menggema,
terpantul hingga jauh mengambang. Tapi, tidak juga
terdapat jawaban, walaupun suaranya sudah lenyap
dari pendengaran. Dan keadaan sekitar puncak bukit
itu terus terasa sunyi mencekam. Ratu Intan Kumala
jadi semakin gusar. Wajahnya sudah terlihat memerah, menahan kemarahan yang amat
sangat. "Huh!"
Sambil mendengus kesal. Ratu Intan Kumala memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri Pandan
Wangi. Sedangkan gadis-gadis berpakaian hitam yang
mengelilingi si Kipas Maut segera menyingkir memberi jalan. Ratu Intan Kumala
langsung menjambak rambut
si Kipas Maut itu, dan mendongakkannya ke atas dengan kasar. "Lihat..! Kalau kau tidak menunjukkan batang hidungmu, leher gadis ini akan kupatahkan!" teriak Ratu Intan Kumala mengancam.
"Jangan bertindak seperti pengecut, Intan Kumala...!" Tiba-tiba saja terdengar suara bernada berat dan
penuh wibawa. Suara itu terdengar menggema, seperti datang dari segala arah.
Jelas, orang itu mengerah-kannya disertai tenaga dalam yang sudah tinggi sekali
tingkatannya. Dan dari suaranya, bisa ditebak kalau orang itu pasti laki-laki.
"Siapa kau"! Tunjukkan batang hidungmu...!" seru
Ratu Intan Kumala. Suaranya tetap lantang menggelegar. "Sejak tadi aku di sini, Intan Kumala."
"Hhh!"
Ratu Intan Kumala mendengus pendek. Cepat tubuhnya diputar ke kanan. Dan entah dari mana dan
kapan datangnya, tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di atas batu pipih yang biasa
diduduki Nyai Purut
Laki-laki itu mengenakan baju ketat warna putih,
yang bagian belakangnya dibuat panjang. Wajahnya
cukup tampan, dan memiliki garis-garis ketegasan
yang memancarkan kewibawaan. Dan herannya tidak
terlihat adanya satu bentuk senjata pun melekat di tubuhnya. Tapi di dalam
genggaman tangan kanannya,
terdapat sebuah seruling dari bambu kuning.
"Siapa kau"! Berani benar mencampuri urusanku...!" bentak Ratu Intan Kumala, seraya melangkah
menghampiri. Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia lalu melompat turun dari atas batu dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mantap menjejak tanah, tepat sekitar enam
langkah lagi di depan Ratu Intan Kumala.
"Semua orang selalu memanggilku Pendekar Seruling Sakti," kata pemuda itu memperkenalkan diri.
"Maaf, kalau kehadiranku telah mengganggu. Tapi,
aku tidak bisa melihat ada orang teraniaya tanpa dapat membela diri."
"Phuih! Kau telah lancang mengganggu pekerjaanku, Kisanak. Kau harus menerima hukumannya!" dengus Ratu Intan Kumala, ketus.
"Hukuman apa yang pantas untukku, Intan Kumala?" Terdengar tenang sekali nada suara Pendekar Seruling Sakti. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman yang begitu menawan, sehingga membuat paras
wajahnya semakin terlihat tampan. Dan sikapnya juga kelihatan begitu tenang
sedikit pun tidak merasa gen-tar menghadapi wanita setengah siluman ini.
Padahal, di sekelilingnya sudah ada sekitar dua puluh orang
gadis yang semuanya sudah menghunus pedang, dan
tinggal menunggu perintah menyerang saja.
"Kau pantas untuk mati, Kisanak!" desis Ratu Intan
Kumala. Kedua tangan Ratu Intan Kumala yang halus dan
lembut sudah naik dengan gerakan yang begitu lembut. Sementara sorot matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola
mata Pendekar Seruling
Sakti. Tapi pada saat itu, Nyai Purut menghampiri.
"Gusti Ratu, izinkan hamba memberi sedikit pelajaran pada bocah lancang itu," pinta Nyai Purut.
"Hm...," Ratu Intan Kumala menggumam kecil, seraya melirik perempuan tua ini.
"Baiklah, Nyai Purut Tapi aku tidak ingin dia lamalama ada di sini," sahut Ratu Intan Kumala.
"Secepatnya hamba akan mengirimnya ke lubang
kubur, Gusti Ratu," sahut Nyai Purut.
Ratu Intan Kumala melangkah mundur beberapa
tindak. Sedangkan Nyai Purut mengayunkan kakinya
ke depan dua langkah. Dan....
"Hiyaaat..!"
Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua berjubah
hitam itu langsung saja melompat secepat kilat sambil berteriak keras
menggelegar. Dan secepat kilat pula, tongkat kayunya dikebutkan ke arah kepala


Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Rajawali Sakti.
"Hapts...!"
Tapi, hanya sedikit saja Pendekar Seruling Sakti
mengegoskan kepala, maka sabetan tongkat kayu itu
lewat di atas kepalanya. Dan Nyai Purut cepat memutar tongkatnya, lalu kembali membabatkannya ke arah pinggang disertai pengerahan
tenaga dalam. "Uts...!"
Manis sekali Pendekar Seruling Sakti menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga, tebasan tongkat Nyai Purut tidak sampai mengenai
tubuhnya. Dan belum
juga Nyai Purut bisa menarik tongkatnya pulang, Pendekar Seruling Sakti sudah
cepat melompat. Lalu bagaikan kiat, dilepaskannya satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi
"Hiyaaat...!"
"Ikh...!"
Bet! Nyai Purut jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tongkatnya dikebutkan ke depan, untuk melindungi dadanya dari tendangan kaki kanan pemuda
yang mengaku berjuluk Pendekar Seruling Sakti. Tapi tanpa diduga sama sekali,
Pendekar Seruling Sakti bi-sa cepat menarik pulang kaki kanannya. Dan hampir
bersamaan, dilepaskannya satu pukulan menggeledek
yang mengarah ke kepala.
"Hapts!"
Nyai Purut cepat-cepat menarik kepala ke belakang,
hingga pukulan keras yang dilepaskan Pendekar Seruling Sakti tidak sampai
mengenai kepala. Saat itu juga, tongkatnya dikebutkan ke depan sambil melompat
sedikit. Wuk! "Hih!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling
Sakti untuk berkelit menghindar. Dengan cepat sekali, seruling bambu kuningnya
yang terselip di pinggang
dicabut. Dan secepat itu pula, dikebutkannya untuk menangkis sabetan tongkat
Nyai Purut Trak! "Hih! Yeaaah...!"
Nyai Purut langsung melengking ke udara, begitu
serangan tongkatnya bisa ditangkis. Dan bagaikan kilat, tongkatnya kembali dikebutkan ke kepala pendekar muda itu. "Hap!"
Bet...! *** Cepat-cepat Pendekar Seruling Sakti mengebutkan
seruling bambu kuningnya ke atas kepala, hendak
menangkis serangan tongkat perempuan tua itu. Tapi
tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Nyai Purut memutar tubuhnya. Dan
bagaikan kilat, tangan kirinya dikebutkan ke bawah.
Slap! Seketika itu juga terlihat dua buah benda berwarna
putih keperakan melesat begitu cepat dari telapak tangan kirinya yang terbuka.
Akibatnya, Pendekar Seruling Sakti jadi terkejut setengah mati.
"Hup!"
Cepat-cepat pemuda itu melenting ke udara, menghindari serangan senjata rahasia perempuan tua ini.
Tapi pada saat tubuhnya melayang di udara, tanpa
dapat diduga sama sekali kedua telapak tangan Nyai
Purut melepaskan satu pukulan dahsyat.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan perempuan
tua itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling Sakti untuk
dapat menghindar. Dan....
Plak! "Akh...!"
Pendekar Seruling Sakti seketika terpental ke belakang, begitu dadanya terkena pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan
bergulingan beberapa
kali. Sementara, Nyai Purut berputaran beberapa kali
di udara. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah kembali.
Saat itu, Pendekar Seruling Sakti mencoba bangkit
berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurnanya,
Nyai Purut sudah melepaskan satu tendangan lagi disertai pengerahan tenaga dalam
sekali. Begitu cepatnya tendangannya sehingga Pendekar Seruling Sakti benarbenar tidak dapat lagi menghindari.
Dugkh! "Akh...!"
Kembali Pendekar Seruling Sakti terpekik dan terpental sejauh dua batang tombak, begitu bagian tulang iganya terkena tendangan
keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau saja tidak memiliki
kepandaian dan pengerahan tenaga dalam tinggi, pasti seluruh tulang-tulang sudah
remuk. Dan mungkin tidak akan bisa melihat matahari lagi esok pagi. Tapi
Pendekar Seruling Sakti memang bukan orang semba-rangan. Walaupun baru saja
terkena dua kali serangan dahsyat, dia mampu cepat bangkit berdiri lagi. Hanya
saja, berdirinya sedikit terhuyung-huyung. Tampak
darah segar mengalir keluar dari mulut dan lubang hi-dungnya.
"Huh!"
Sambil menyeka darah, Pendekar Seruling Sakti
mendengus. Ditatapnya Nyai Purut yang berdiri tegak dengan sikap angkuh, sekitar
satu setengah tombak di depannya. Kemudian diangkatnya seruling bambu
kuning, dan ditempelkan ke bibirnya yang merah seperti bibir seorang gadis belia.
Dan saat itu juga, terdengar alunan seruling yang
merdu. Tapi, kemerduan alunan irama seruling itu tak berlangsung lama. Suaranya
cepat berubah melengking, membuat telinga jadi berdenging.
"Cepat ke belakangku...!" seru Ratu Intan Kumala
tiba-tiba. Semua gadis pengikutnya segera berhamburan, dan
berbaris di belakang wanita cantik itu. Demikian pula Nyai Purut, yang sudah
berada di sebelah kanannya.
Dan saat itu juga, Ratu Intan Kumala mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu ...
"Hiyaaa...!"
Ketika alunan seruling yang dimainkan Pendekar
Seruling Sakti sudah hampir tidak tertahankan lagi, mendadak saja dari kedua
telapak tangan Ratu Intan
Kumala memancarkan cahaya yang begitu terang menyilaukan. Cahaya itu terus memendar, membentuk
lingkaran di depannya. Dan tiba-tiba saja, suara seruling itu sama sekali tidak
menyakitkan telinga Nyai Purut dan gadis- gadis yang berada di belakangnya.
Bahkan kini terdengar begitu merdu.
"Ha ha ha...!"
Ratu Intan Kumala tertawa terbahak-bahak, diikuti
Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya ketika mendengarkan pemuda itu memainkan serulingnya.
Melihat kenyataan yang tidak diduga sama sekali
ini, Pendekar Seruling Sakti jadi terkejut setengah ma-ti. Seluruh kekuatannya
segera dikerahkan, dengan
memainkan irama-irama maut dari seruling saktinya.
Tapi semakin kuat kekuatannya dikerahkan, semakin
sulit pula menembus benteng cahaya yang dibuat Ratu Intan Kumala.
"Setan...! Perempuan iblis itu benar-benar sukar di-taklukkan. Huh...!" Pendekar
Seruling Sakti jadi menggerutu sendiri dalam hati.
Sudah seluruh kekuatannya dikerahkan, tapi wanita-wanita itu malah tertawa-tawa kesenangan, seperti mendapat hiburan saja. Dan
ini membuat wajah Pendekar Seruling Sakti jadi memerah bagai biji saga. Cepat permainan serulingnya
dihentikan. Sementara itu, Ratu Intan Kumala mencabut tirai cahayanya. Dia
berdiri tegak sambil berkacak pinggang disertai senyum menawan tersungging di
bibir. "Hanya sampai di situ sajakah kepandaianmu, Pendekar Seruling Sakti...?" ejek Ratu Intan Kumala sinis.
"Iblis..!" desis Pendekar Seruling Sakti.
"Aku rasa, sudah saatnya kau menerima hukumanku," kata Ratu Intan Kumala lagi.
Pendekar Seruling Sakti hanya berdiri tegak saja.
Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip sedikit pun
juga, ditatapnya bola mata wanita cantik setengah siluman itu. Sementara, Ratu
Intan Kumala sudah mengayunkan kakinya, mendekati pemuda ini. Wajahnya
terlihat begitu tegang, memancarkan nafsu membunuh. Perlahan namun pasti, kakinya terus melangkah
semakin dekat "Bersiaplah untuk mati, Bocah Lancang! Hiyaaat...!"
*** Begitu selesai kata-katanya, bagaikan kilat Ratu Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah
menyala bagai api. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Pendekar
Seruling Sakti jadi terperangah. Dan pemuda itu tidak sempat lagi mengambil
tindakan menghindar.
Tapi begitu ujung cahaya merah bagai api itu hampir menghantam dadanya, mendadak saja sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat menyambar tubuhnya. Sehingga,
cahaya merah yang
memancar dari kedua telapak tangan Ratu Intan Kumala hanya lewat dan menghantam batu pipih yang
biasa digunakan Nyai Purut untuk memanggil junjungannya. Glaaar! Satu ledakan yang begitu keras pun terdengar
menggelegar dahsyat, membuat seluruh puncak bukit
ini jadi bergetar bagai terguncang gempa. Batu berukuran besar dan tampak kokoh
itu seketika hancur
berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Abu dan
kepingan batu bercampur api, tampak membubung
tinggi ke angkasa. Sehingga, suasana malam yang pekat jadi terang untuk sesaat oleh percikan api yang menghancurkan batu itu.
"Setan alas...! Siapa berani kurang ajar padaku,
heh..."!" bentak Ratu Intan Kumala berang setengah
mati. Belum juga wanita cantik itu bisa mengetahui siapa
yang menyelamatkan Pendekar Seruling Sakti dari kematian tiba-tiba saja. ..
"Gusti Ratu...."
"Setan! Ada apa, Nyai Purut...?" bentak Ratu Intan
Kumala, seraya memutar tubuhnya cepat berbalik.
Tampak Nyai Purut berlutut, sambil menyembah
dengan tubuh menggeletar seperti kedinginan. Dan
semua gadis yang menjadi pengikutnya juga berlutut
dengan sikap sama. Hal ini membuat Ratu Intan Kumala jadi mendelik, tidak mengerti sikap para pemujanya. "Ada apa ini..."!" sentak Ratu Intan Kumala.
"Ampun, Gusti. Tawanan kita...," sahut Nyai Purut,
terbata-bata tanpa menyelesaikan kata-katanya.
"Heh..."!"
Kedua bola mata Ratu Intan Kumala jadi terbeliak
lebar, begitu melihat tonggak kayu tempat Pandan
Wangi terikat di sana tadi, kini sudah kosong. Bahkan tonggak kayu itu hancur
berkeping- keping, seperti ba-ru saja terkena satu pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Bergegas Ratu Intan Kumala menghampiri kepingan
tonggak kayu itu. Kedua bola matanya terbeliak berputaran, seperti tidak percaya
dengan semua yang telah terjadi di tempat ini. Dia seperti bermimpi, menghadapi
beberapa peristiwa yang sama sekali tidak terduga.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Nyai Purut...?" tanya
Ratu Intan Kumala seraya mengarahkan pandangan
pada Nyai Purut.
"Hamba sendiri tidak tahu, Gusti. Perhatian hamba
sedang terpusat pada pemuda setan itu tadi," sahut
Nyai Purut. "Bodoh! Seharusnya kau jaga dia! Huh, sial...!"
"Maafkan hamba, Gusti Ratu. Hamba akan berusaha mendapatkannya lagi."
"Sudah...! Biar ku tangani sendiri!" bentak Ratu Intan Kumala berang.
Belum lagi hilang suaranya, tahu-tahu wanita cantik yang setengah siluman itu sudah lenyap dari pandangan mata. Entah ke mana
perginya, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Memang tinggi sekali ilmu yang dimiliki, sehingga bisa
melesat begitu cepat bagaikan terhembus angin. Sedangkan Nyai Purut hanya
bisa diam dengan wajah merasa bersalah, atas hilangnya Pandan Wangi akibat
kelalaiannya. "Jangan diam saja! Ayo kita cari lagi dia!" bentak
Nyai Purut memberi perintah pada gadis-gadis pengikutnya. Tanpa mendapat perintah dua kali, gadis yang semuanya berbaju serba hitam itu segera berdiri dan
mengikuti ayunan kaki Nyai Purut yang lebar dan cepat di depan. Ke mana sebenarnya Pandan Wangi" Mungkinkah
dia bisa melepaskan diri sendiri setelah mendapatkan totokan pada pusat jalan
darahnya secara aneh tadi..."
*** 7 Tuk! "Oooh...."
Pandan Wangi menggeliat sambil merintih lirih. Beberapa kali matanya dikerjapkan. Cepat gadis itu
bangkit duduk, begitu melihat seraut wajah tampan
yang sudah begitu dikenalnya, bersama seorang wanita tua yang juga sudah
dikenalnya. Mereka adalah Rangga dan Nyai Samirah. Rupanya, Pendekar Rajawali
Sakti inilah yang menyelamatkan Pandan Wangi.
"Di mana aku...?" tanya Pandan Wangi lirih, sambil
memegangi kepalanya yang terasa sedikit pening.
"Kau di tempat aman, Pandan," kata Rangga lembut
memberi tahu. "Oh! Kukira, aku sudah mati...," desah Pandan
Wangi. "Sang Hyang Widi masih melindungimu, Pandan,"
ujar Nyai Samirah.
Pandan Wangi mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gadis itu baru tahu, kalau saat ini berada di sebuah gua yang tidak begitu
besar. Tapi, sepertinya gua ini dihuni seseorang. Dan tubuhnya sendiri berada di
atas sebuah balai-balai bambu beralaskan selembar ti-kar yang sudah lusuh. Dan


Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak jauh dari tempatnya, juga terdapat sebuah balai-balai bambu yang di atasnya menggeletak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia
mengenakan baju warna putih
bersih, dan kelihatannya seperti sedang tidur pulas.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Dialah yang memberi kesempatan padaku untuk
menyelamatkanmu dari tangan Ratu Intan Kumala,"
sahut Rangga. "Namanya Pendekar Seruling Sakti," sambung Nyai
Samirah. "Terpaksa jalan darahmu kutotok dengan kerikil,
untuk mencegah Ratu Intan Kumala memasukkan obat ke dalam mulutmu, Pandan. Jadi, kau tidak tahu
apa saja yang telah terjadi," Rangga menjelaskan singkat.
"Kita masih di Bukit Menjangan, Kakang?" tanya
Pandan Wangi. "Ya! Tidak berapa jauh dari tempat tinggal mereka,"
sahut Rangga. "Ini di mana?"
"Tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti," Nyai Samirah yang menyahuti.
"Dia terluka?" tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap Pendekar Seruling Sakti yang terbaring seperti tidur.
"Hanya luka dalam ringan. Tidak begitu mengkhawatirkan. Sebentar lagi juga akan bangunan dan pulih kembali," sahut Rangga.
"Syukurlah kalau begitu," desah Pandan Wangi.
Mereka semua terdiam. Cukup lama juga mereka
tidak bicara lagi, sampai Pendekar Seruling Sakti bangun. Pemuda yang hampir
sebaya Rangga itu segera
duduk di atas pembaringannya. Bibirnya lantas tersenyum begitu melihat Pandan
Wangi sudah bisa duduk
di samping Nyai Samirah. Kepalanya terangguk sedikit,
dan langsung dibalas Pandan Wangi. Juga dengan
anggukan kepala, disertai senyum kecil yang cukup
manis. "Bagaimana..." Kalian suka tempat ini?" ujar Pendekar Seruling Sakti bertanya.
"Cukup bagus dan bersih juga," puji Rangga.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benarbenar senang dapat bertemu dan berkenalan denganmu. Sudah lama aku mendengar tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan juga kau, Kipas Maut. Tapi sayang, pertemuan kita ini
dalam waktu yang tidak
menyenangkan. Kita berhadapan dengan orang yang
sama, tapi dengan tujuan dan persoalan berbeda," ka-ta Pendekar Seruling Sakti.
Pendekar Seruling Sakti hendak bangkit turun dari
pembaringan bambu ini, namun Nyai Samirah buruburu mencegah. Hanya saja pemuda itu sudah lebih
dulu mengangkat tangannya, meminta perempuan tua
itu duduk kembali.
"Keadaanku sudah pulih kembali, Nyai. Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan lagi," kata Pendekar Seruling Sakti.
"Luka dalammu cukup parah, Anak Muda."
"Tidak lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengobatiku." "Ah! Hanya sedikit yang kulakukan," ujar Rangga
merendah. Semua pengobatan ada pada dirimu sendiri." "Tapi tanpa mu, aku tidak akan mungkin bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Bahkan mungkin saat
ini sudah menghuni lubang kubur."
"Ah, sudahlah.... Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang yang terpenting, kita
pikirkan cara yang tepat untuk menghadapi Ratu Intan Kumala dan pemujapemujanya. Ini yang paling penting untuk dibicarakan," cepat-cepat Rangga mengalihkan pembicaraan.
Pendekar Rajawali Sakti memang paling tidak suka
jika pembicaraan berkisar hanya saling memuji, dan
saling merendahkan diri masing-masing. Baginya,
pembicaraan seperti itu hanya akan membuat kepala
menjadi besar. "Ya! Memang seharusnya kita menyusun suatu rencana yang tepat untuk menghadapi mereka, sebelum
kembali ke dunia bebas lagi," sambut Pendekar Seruling Sakti mantap.
"Memang harus ada yang mengatasi mereka secepatnya. Kalau tidak, seluruh jagat raya ini bisa hancur," sambung Nyai Samirah.
"Dia bisa menghancurkan padepokan mana saja yang membangkang.
Yahhh..., seperti padepokanku. Sekarang, yang ada
hanya puing-puing saja."
"Kau bisa membangun padepokan baru, Nyai. Setelah semua urusan ini selesai," ujar Rangga membesarkan hati perempuan tua itu.
Nyai Samirah hanya tersenyum saja, tapi terasa getir sekali. Entah, apakah hatinya yakin akan bisa
mendirikan padepokan lagi atau tidak. Sedangkan untuk mendirikan sebuah padepokan, tidak sedikit waktu, tenaga, dan pikiran yang terkuras. Di dalam hati, Nyai Samirah sendiri tidak
yakin akan mampu bangkit kembali memimpin sebuah padepokan. Tapi yang pasti,
mungkin pilihannya adalah menjadi pertapa wanita dengan meninggalkan semua
urusan yang berkaitan
dengan keduniawian.
Dan mereka pun mulai membicarakan tentang Ratu
Intan Kumala, Nyai Purut serta gadis-gadis pengikutnya yang rata-rata memiliki
tingkat kepandaian mengagumkan. Seorang pendekar seperti Pendekar Seruling Sakti saja, harus berpikir tiga kali untuk menghadapi. Sepuluh orang saja
dari mereka, bisa sebanding dengan satu pasukan prajurit kerajaan yang sudah
terlatih puluhan tahun. Mereka memang gadis yang
tangguh dan berkepandaian tinggi. Sehingga, tidak
mudah untuk mengenyahkannya begitu saja. Dan mereka memang bukanlah gerombolan biasa, yang biasanya hanya mengacau orang-orang desa.
Mereka bahkan berani menantang satu pasukan
prajurit, walaupun jumlahnya sangat sedikit sekali.
Dan memang, mereka sudah seringkali merampas harta benda pihak kerajaan manapun juga, walaupun dikawal ketat satu pasukan prajurit terlatih. Bahkan sudah tidak terhitung lagi,
berapa banyak padepokan silat beraliran putih yang dihancurkan, dan berapa desa
yang diduduki. Tapi kini, mereka harus tinggal di puncak Bukit Menjangan yang
dingin dan selalu berselimut kabut. Sekarang, mereka benar-benar sudah tidak punya tempat lagi. Tapi, hal
itu bisa saja tidak berlangsung lama, kalau tidak segera dicegah. Bahkan bi-la
perlu, dilenyapkan dari muka bumi ini untuk sela-ma-lamanya.
*** Hingga menjelang pagi, pembicaraan mereka baru
selesai. Semua beristirahat tidur, mempersiapkan tenaga dan perhatian dalam
menghadapi Ratu Intan
Kumala dan para pengikutnya yang tangguh-tangguh.
Hanya Rangga saja yang tidak dapat memicingkan matanya barang sekejap pun. Melihat tidak ada lagi yang masih terjaga, Pendekar
Rajawali Sakti melangkah keluar dari dalam gua yang letaknya tersembunyi. Malah,
sulit untuk dicapai oleh orang-orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi.
"Ahhh...!"
Rangga menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan-lahan begitu berada di luar
gua. Matahari yang sudah menampakkan diri di sebelah timur, terlihat bersinar indah mencoba mengusir kabut yang selalu
menyelimuti sekitar puncak Bukit
Menjangan ini. Kemunculan matahari membuat udara
di sekitar puncak bukit ini jadi terasa lebih hangat.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya,
sambil menikmati udara segar pagi ini. Bibirnya tersenyum memandangi burungburung yang riang berlompatan dari satu dahan ke dahan lain sambil berkicauan menyambut datangnya sang Surya. Dan tanpa
terasa, Rangga sudah cukup jauh berjalan meninggalkan gua tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti.
"Memang indah pemandangan di sini...."
"Eh..."!"
Rangga jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang tidak
begitu jauh di sebelah kanannya. Cepat wajahnya berpaling ke kanan. Tapi pada saat itu juga, terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti jadi ternganga kaget tidak menyangka.
Dan.... "Hap...!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang,
maka benda berbentuk bulat pipih berwarna keperakan itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Segera Pendekar Rajawali Sakti
melompat ke belakang begitu lolos dari serangan yang begitu cepat dan sangat
tiba-tiba. Pandangannya langsung menyorot tajam, menatap ke arah datangnya senjata rahasia itu.
"Aku di sini, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Heh..."!"
Diegkh! "Akh...!"
Rangga jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba saja
punggungnya terasa menerima satu pukulan yang
sangat keras. Pendekar Rajawali Sakti langsung jatuh tersungkur, dan bergulingan
beberapa kali di tanah.
Untung saja, pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun
juga. Sehingga Pendekar Rajawali Sakti masih bisa cepat bangkit berdiri. Dan
tahu-tahu, di depannya kini sudah berdiri seorang wanita berparas cantik bagai
bidadari. Pakaian wanita itu berwarna merah muda, dan begitu tipis bahannya. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya sangat jelas terlihat
Sungguh indah, membuat mata
siapa saja yang memandangnya tidak akan berpaling
sekejap pun. Tapi tidak demikian halnya Rangga. Karena dia tahu, siapa wanita yang kini sudah berada sekitar setengah batang
tombak di depannya. Dialah Ra-tu Intan Kumala!
"Pagi yang indah begini, sayang sekali kalau tidak
dinikmati. Bukan begitu, Pendekar Rajawali Sakti...?"
ujar Ratu Intan Kumala.
Suara wanita itu terdengar begitu lembut di telinga.
Dan gerak-gerak bibirnya saat berkata-kata juga langsung membangkitkan gairah
birahi. Wanita ini memang memiliki daya pikat yang begitu dahsyat. Bahkan Rangga sendiri sempat bergetar saat pandangannya bertemu pandangan mata wanita itu.
"Di mana yang lain, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ratu Intan Kumala. Nada
suaranya terdengar begitu
lembut di telinga.
"Ada.... Mereka aman dan tidak bisa terjangkau
olehmu," sahut Rangga langsung ketus nada suaranya.
"Tidak ada tempat yang tersembunyi dan luput dari
pengamatanku di sekitar Bukit Menjangan ini, Bocah
Bagus. Aku tahu, di mana mereka."
"Kalau sudah tahu, kenapa harus bertanya...?"
Ratu Intan Kumala tertawa renyah. Begitu merdu
suaranya, membuat jantung Rangga sempat berdetak
kencang. Tapi cepat-cepat daya pesona yang ditimbulkan wanita ini diusirnya.
Perasaannya tidak ingin ter-pancing, apalagi terpikat daya pesona kecantikan,
serta lekuk-lekuk tubuh wanita yang begitu indah menggairahkan ini. "Aku tahu, siapa namamu yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Ah...! Memang sebaiknya aku memanggilmu Rangga saja. Bukankah itu lebih baik" Kau tentu suka kalau aku
memanggilmu demikian, Rangga...?"
"Hmmm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
"Bertahun-tahun aku tinggal di bukit ini, dan menguasainya secara penuh. Dan semua orang mengakui,
akulah pemilik bukit ini. Bahkan tidak pernah ada
seorang pun yang berani menodainya. Aku selalu menjaganya agar tidak pernah ternoda. Tapi belakangan
ini, entah sudah berapa orang yang menodai bukit ini dengan darah. Dan itu
terjadi setelah kau ada di sini, Rangga. Ah...! Tapi, aku tidak mutlak
menyalahkanmu. Aku tahu, apa yang membuatmu terpaksa harus menodai bukit ini. Dan aku ingin, agar kita bersamasama menghentikannya," kata Ratu Intan Kumala,
masih terdengar begitu lembut.
"Kau bicara seperti dirimu yang paling suci saja di dunia ini, Ratu Intan
Kumala," sinis sekali suara
Rangga terdengar.
"Aku memang bukan orang suci, Rangga. Tapi paling tidak, aku masih menghargai keindahan dan kesucian alam. Aku senang kalau semua yang ada di dunia ini berjalan sesuai
kodratnya. Tapi, telah ada tangan-tangan jahil yang merusaknya. Dan aku selalu
berha- rap agar bukit ini tetap bersih, tanpa ternoda sedikit pun juga. Tapi
sekarang..., aku tidak bisa mencegah-nya lagi. Kesucian bukit ini sudah ternoda.
Dan semua ini sangat ku sesali, Rangga."
"Kau menginginkan tempatmu tetap bersih. Tapi,
kenapa kau selalu membuat kotor tempat lain" Malapetaka kau sebarkan di mana-mana. Kau banjiri bumi
dengan darah orang-orang yang tidak berdosa. Aku ra-sa, kau sama sekali tidak
menghargai kesucian dan
keindahan alam, Ratu Intan Kumala. Bahkan kau sendirilah yang menodainya," tegas Rangga.
"Kata-katamu sudah menyinggung perasaanku,
Rangga...!" desis Ratu Intan Kumala tidak senang.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Jadi, kau merasa tersinggung..." Itu memang hakmu," balas Rangga tetap mantap dan tegas.
"Semula, aku hendak mengajak damai denganmu.
Tapi, tampaknya kau terlalu sulit diajak berdamai. Kau lebih memilih banjir
darah di bumi ini," desis Ratu Intan Kumala mulai terasa dingin nada suaranya.
"Sampai kapan pun bumi akan tetap dibanjiri darah, kalau orang-orang sepertimu masih tetap ada."
"Kau sudah membuka tantangan, Pendekar Rajawali Sakti."
Rangga hanya mengangkat bahu sedikit saja.
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi kuminta, jangan menyesal kalau mulai saat ini orang-orang hanya akan mengenal namamu
saja." "Aku khawatir malah sebaliknya, Ratu Intan Kumala." "Hhh. Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti!"
Bet! Ratu Intan Kumala langsung saja mengebutkan kedua tangannya, memperlihatkan gerakan-gerakan jurus yang begitu indah dan lembut. Tapi dari setiap gerakan tangannya, mengandung
satu kekuatan yang ti

Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dak bisa dipandang rendah. Dan Rangga juga segera
bersiap-siap menerima serangan. Dia berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, memperhatikan
setiap gerakan yang dilakukan wanita itu.
"Hmmm..,."
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"
Wuk! "Haiiit..!"
Rangga cepat-cepat meliuk ketika tangan kanan Ratu Intan Kumala menghentak ke depan. Dan seketika
dari telapak tangan kanannya memancar cahaya merah yang begitu deras, meluruk dan lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan cahayanya itu langsung menghantam sebongkah batu
yang cukup besar di belakang Rangga, sampai hancur
berkeping-keping, memperdengarkan ledakan yang begitu dahsyat. "Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
*** Secara bersamaan, mereka melesat ke udara dan
langsung saling melontarkan serangan-serangan pukulan beruntun yang cepat sekali. Tubuh mereka meliuk-liuk menghindari dan saling
memberi serangan cepat yang sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hup!"
"Hap...!"
Secara bersamaan pula, mereka kembali meluruk
turun dan menjejak tanah kembali. Dan mereka langsung saja bertarung menggunakan jurus-jurus cepat
dan dahsyat. Dan tentu saja, mereka sama-sama mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi. Beberapa kali pukulan yang dilepaskan
saling berbenturan, hingga
memperdengarkan ledakan yang begitu keras dan dahsyat Tapi, tampaknya kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain sudah mencapai tingkatan yang seimbang. Sehingga, mereka
sama-sama kembali saling melontarkan serangan cepat dan beruntun.
Jurus demi jurus cepat berlalu. Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus.
Tapi, tampaknya pertarungan itu masih terus berlangsung sengit. Dan tampaknya,
belum ada tanda-tanda
kalau pertarungan bakal terhenti. Mereka benar-benar memiliki kepandaian
setingkat. Sedikit pun belum terlihat, siapa lebih tinggi tingkat kepandaiannya.
Suara-suara teriakan dan ledakan-ledakan keras
menggelegar menjadi satu, rupanya terdengar sampai
ke dalam gua tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti.
Sehingga, membuat mereka yang ada di dalam gua tadi terbangun dari tidur, dan
langsung berlarian keluar begitu menyadari kalau Rangga tidak ada di dalam gua
ini. Mereka terus berlarian menuju sumber suara yang mengejutkan itu. Dan betapa
terkejut mereka, begitu melihat Rangga tengah bertarung sengit melawan Ratu
Intan Kumala. Dan pada saat sampai, saat itu pula
Nyai Purut bersama gadis-gadis pengikutnya tiba di
sana. Mereka jadi saling berhadapan. Sementara,
Rangga dan Ratu Intan Kumala terus saja bertarung,
tanpa menghiraukan kedatangan mereka semua. Memang, tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk menghentikan pertarungan.
"Di sini kalian rupanya, heh..."!" dengus Nyai Purut dingin menggetarkan.
"Tanpa kau cari, kami" juga akan mendatangi- mu,
Nyai Purut!" sambut Pandan Wangi.
Gadis itu sudah mengembangkan kipas mautnya di
depan dada. Dan memang, Rangga sudah menyerahkan senjata-senjata gadis ini. Di punggungnya juga
sudah bertengger Pedang Naga Geni. Sementara, Pendekar Seruling Sakti juga sudah menggenggam seruling bambu kuningnya yang memang bukan seruling
biasa, tapi juga merupakan senjata yang sangat berbahaya.
"Kalian benar-benar penghalangku yang paling
utama. Kalian harus mampus lebih dulu!" sentak Nyai Purut geram.
"Aku rasa, kau yang akan lebih dulu ke neraka,
Nyai Purut," balas Pandan Wangi tak kalah dingin.
"Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Sambil memaki dan berteriak nyaring melengking,
Nyai Purut langsung saja melompat menyerang Pandan
Wangi dengan kebutan tongkatnya.
Wuk! "Haiiit..!"
Hanya sedikit saja si Kipas Maut mengegos, maka
kebutan tongkat Nyai Purut tidak sampai mengenai
tubuhnya. Dan dengan kecepatan yang tidak kalah
tinggi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung balas menyerang. Senjata
kipasnya terus di kebutkan beberapa kali dengan cepat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Wuk! Bet!" "Edan...! Hup! Yeaaah...!"
Nyai Purut terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan Pandan Wangi yang beruntun dan
sangat cepat. Sungguh tidak disangka kalau gadis ini ternyata memiliki
kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya dari yang diduga sebelumnya.
Sementara itu, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai
Samirah sudah menggempur gadis-gadis pengikut dan
pemuja Ratu Intan Kumala. Dengan senjata berupa
suling bambu, pemuda itu berkelebat cepat bagaikan
burung elang. Sementara, Nyai Samirah juga tidak kalah garangnya. Bagaikan
seekor singa tua yang kelaparan, dia terus merangsek pengikut-pengikut Nyai Purut. Teriakan-teriakan pertarungan pun semakin menggema memecah udara di Bukit Menjangan ini. Bumi
bagaikan hendak runtuh oleh suara pertarungan. Walaupun tidak begitu banyak jumlahnya, tapi mereka
bagaikan dua pasukan kerajaan yang sedang berperang. Sebentar saja, tidak terhitung lagi pepohonan yang tumbang. Bahkan batubatuan pun ikut hancur
terkena pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam
tingkat tinggi.
*** 8 Pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jeritjerit melengking tanda kematian, mulai terdengar di antara hiruk-pikuk
pertarungan dan ledakan-ledakan.
Tampak gadis-gadis pemuja Ratu Intan Kumala mulai
berjatuhan dengan tubuh berlumuran darah tanpa
nyawa lagi. Dalam keadaan seperti ini, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah
benar-benar sukar sekali dicari tandingannya.
Gerakan-gerakan yang mereka lakukan begitu cepat. Bahkan gadis-gadis berpakaian serba hitam itu jadi kewalahan menghadapinya.
Akibatnya, cara pertarungan mereka benar-benar tidak lagi beraturan. Mereka sudah mulai berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Dan keadaan ini tentu saja sangat menguntungkan bagi Pendekar
Seruling Sakti dan Nyai Samirah. "Hiya!"
"Yeaaah...!"
Bet! Wuk! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi yang terakhir pun terdengar. Tampak gadis
pengikut Nyai Samirah yang
paling akhir terjungkal bermandikan darah, dan langsung tidak dapat bangkit
lagi. "Ayo kita bantu Pandan Wangi, Nyai," ajak Pendekar
Seruling Sakti.
"Kau saja, Seruling Sakti. Biar aku mengawasi Ratu
Intan Kumala," sahut Nyai Samirah.
"Baiklah. Jaga jangan sampai perempuan iblis itu
curang," sambut Pendekar Seruling Sakti.
Nyai Samirah hanya mengangguk saja, kemudian
melangkah menghampiri pertarungan antara Rangga
dan Ratu Intan Kumala. Sementara, Pendekar Seruling Sakti menghampiri Pandan
Wangi yang masih menghadapi Nyai Purut.
"Hmmm.... Tampaknya Pandan Wangi juga tidak
memerlukan bantuanku. Tapi, memang sebaiknya aku
tetap saja berada di sini. Biar mereka bertarung secara
jujur dan ksatria," gumam Pendekar Seruling Sakti.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pandan Wangi melenting ke
atas. Dan bagaikan kilat, tubuhnya berputar seraya mengebutkan kipas mautnya ke
bagian kepala dan kaki Nyai Purut Begitu cepat kebutan-kebutan kipasnya,
sehingga yang terlihat cahaya putih keperakan saja yang berkelebatan.
Bret! "Ikh...!"
Tiba-tiba saja Nyai Purut terpekik agak tertahan.
dan langsung melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Agak terkejut juga hatinya begitu melihat baju bagian dadanya telah sobek,
terkena sabetan ujung
senjata kipas maut di tangan Pandan Wangi.
"Setan! Hiyaaa...!"
Nyai Purut jadi berang setengah mati. Cepat perempuan tua itu melompat, dan mengebutkan tongkatnya
ke arah kepala si Kipas Maut. Tapi secepat itu pula Pandan Wangi merunduk.
Sehingga, tongkat kayu itu
lewat sedikit di atas kepala. Dan bagaikan kilat pula, tubuhnya berputar.
Langsung dilepaskannya satu tendangan berputar dengan bertumpu pada kaki kiri.
Dan.... Begkh! "Ugkh...!"
Tendangan kilat Pandan Wangi tepat menghantam
perut Nyai Purut. Akibatnya, perempuan tua itu terdorong ke belakang dengan
tubuh terbungkuk. Dan pada
saat itu juga, cepat sekali Pandan Wangi melompat ke depan sambil melepaskan
satu buah pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
"Hiyaaa...!"
Plak! "Aaakh...!"
Nyai Purut tidak dapat lagi bertahan. Pukulan yang
dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam wajahnya. Akibatnya, perempuan tua itu menjerit keras dengan wajah terdongak ke atas.
Kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Dan
saat itu juga, Pandan Wangi sudah melompat cepat
sambil mencabut Pedang Naga Geni.
"Mampus kau sekarang, Perempuan Iblis!
Hiyaaat...!"
Wuk! Pedang yang memancarkan api itu bagaikan kilat
berkelebat, dan langsung menyambar leher Nyai Purut Sementara, Pandan Wangi
segera melompat mundur
sambil menyarungkan kembali pedangnya ke dalam
warangka di punggung.
Cring! Sementara, tampak Nyai Purut hanya berdiri saja
seperti patung. Matanya terbuka lebar menatap lurus ke depan dengan mulut
terbuka. Tampak ada satu garis merah pada lehernya. Dan tak lama kemudian,
tampak tubuh perempuan tua itu mulai goyah, lalu
ambruk ke tanah dengan kepala langsung terpisah dari leher. Seketika, darah muncrat dari leher yang sudah tidak berkepala lagi
itu. "Hhh...!"
Pandan Wangi menghembuskan napas berat, melihat lawannya sudah tergeletak tidak bernyawa lagi
dengan kepala terpisah dari leher. Pendekar Seruling Sakti menghampiri si Kipas
Maut itu, dan berdiri di samping sebelah kirinya. Dia juga memandangi mayat
Nyai Purut yang kepalanya terpisah cukup jauh dari
lehernya. "Tinggal satu lagi, Pandan. Dan ini yang paling berbahaya," kata Pendekar Seruling Sakti.
Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan
ke pertarungan antara Rangga melawan Ratu Intan
Kumala. Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, kakinya melangkah menghampiri Nyai Samirah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan tanpa
berkedip sedikit pun. Sedangkan Pendekar Seruling
Sakti mengikutinya dari belakang. Dan mereka kemudian berdiri bersisian, menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu.
*** Pertarungan antara Rangga melawan Ratu Intan
Kumala memang masih berlangsung sengit sekali. Entah, sudah berapa puluh jurus dikeluarkan, tapi pertarungan malah berjalan
semakin sengit saja. Pukulanpukulan mereka pun tidak lagi hanya disertai pengerahan tenaga dalam saja, tapi sudah menggunakan
pukulan-pukulan yang dibarengi aji kesaktian.
Entah, berapa jurus sudah berlalu dan berapa jenis
ilmu kesaktian yang sudah dikeluarkan. Tapi, pertarungan masih saja terus
berlangsung sengit sekali.
Sementara, Pandan Wangi, Nyai Samirah, dan Pendekar Seruling Sakti mulai diliputi kecemasan, melihat pertarungan belum juga ada
tanda-tanda akan berhenti. Padahal, mereka sama-sama sudah mengeluarkan
senjata. Rangga sudah mencabut Pedang Pusaka Rajawali
Sakti. Sedangkan Ratu Intan Kumala sudah mengeluarkan batu mustikanya yang berbentuk bulat sebesar
kepalan tangan, memancarkan cahaya berkilauan bagai intan tersiram cahaya matahari. Hingga pada satu saat, mereka sama-sama
berlompatan mundur dan
menghentikan pertarungan. Tapi, satu sama lain masih tetap berdiri berhadapan dengan jarak kurang dari satu batang tombak
jauhnya. "Sebaiknya kau menyerah saja, Intan Kumala. Tidak ada lagi orang-orangmu yang masih hidup," kata
Rangga dingin sekali nada suaranya.
"Hhh!"
Ratu Intan Kumala hanya menghembuskan napas
panjang saja. Sekilas pandangannya beredar ke sekeliling. Memang, tidak ada lagi
pengikutnya yang hidup.
Mereka semua sudah bergelimpangan tak bernyawa
lagi. Bahkan Nyai Purut sendiri, tewas dengan kepala terpisah dari leher. Geram
juga hatinya melihat kenyataan pahit yang harus diterima. Kini, dia tinggal
seorang diri. Sedangkan lawannya, tidak kurang seorang pun juga. Walaupun kini
hanya berhadapan dengan
Pendekar Rajawali Sakti saja, tapi baru seorang saja sudah sangat sulit


Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapinya. "Baiklah. Kita tentukan sekarang, siapa di antara
kita yang paling unggul, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Ratu Intan Kumala tegas.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, kata-kata barusan
merupakan sebuah tantangan untuk mengadu jiwa
yang tidak bisa ditolak. Mereka memang sudah berada pada puncak pertarungan. Dan
hanya tinggal ilmu-ilmu andalan saja yang masih tersisa. Sedangkan
Rangga sendiri, tidak punya pilihan lain lagi.
Pendekar Rajawali Sakti sadar, lawannya kali ini
sangat tangguh. Dan sekarang, dia tidak mau lagi
tanggung-tanggung menghadapinya. Pertarungan kini
sudah meningkat pada pertarungan nyawa. Salah seorang dari mereka harus mati dalam pertarungan yang
jujur ini. Dan kini mereka sudah bersiap-siap mengadu jiwa. "Hhh...!"
Rangga merentangkan kedua kakinya ke samping
dengan pedang yang memancarkan cahaya biru melintang di depan dada. Lalu, telapak tangan kirinya ditempelkan di mata pedang itu.
Sedangkan sorot matanya begitu tajam, memperhatikan gerakan-gerakan
yang dilakukan Ratu Intan Kumala dalam mempersiapkan ilmu pamungkasnya.
Perlahan Rangga mulai menggosok mata pedang
pusakanya. Dan begitu telapak tangannya berada
kembali di pangkal tangkai pedang, cahaya biru mulai menggumpal dan membentuk
bulatan di ujungnya.
Sudah dapat dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti akan mengerahkan aji 'Cakra
Buana Sukma' yang sangat dahsyat dan merupakan andalan baginya.
"Terimalah seranganku ini, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat!" "Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Tepat, ketika Ratu Intan Kumala menghentakkan
kedua tangannya yang menggenggam batu mustika,
Rangga juga menghentakkan pedangnya ke depan.
Maka seketika itu juga, dua berkas sinar meleret deras. Dan....
Glaaar..!"
Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terjadi
ketika dua berkas sinar itu beradu tepat di tengahtengah. Tampak Ratu Intan Kumala terdorong sedikit
ke belakang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri
kokoh dan masih tetap menjulurkan pedangnya ke depan. Sinar biru yang menggumpal di ujung pedangnya
terus merambat cepat sekali, menghampiri Ratu Intan Kumala.
"Ikh...!"
Ratu Intan Kumala jadi terpekik, begitu merasakan
cahaya biru yang .memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti mulai menyentuh tubuhnya. Bergegas wanita cantik ini hendak menyingkir. Tapi belum juga bi-sa berbuat sesuatu, cahaya
biru yang memancar dari
ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah menerkam dan menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Hhh...!"
Rangga mengempos tenaganya untuk menambah
kekuatan, begitu merasakan adanya perlawanan. Dan
memang, Ratu Intan Kumala tampak menggeliatgeliatkan berusaha melepaskan diri dari belenggu sinar biru yang terus memancar
dan semakin banyak menggumpal dari pedang Pendekar Rajawali Sakti.
"Ukh...!"
Ratu Intan Kumala mulai melenguh. Semakin kekuatannya dikerahkan untuk melepaskan diri dari belenggu aji 'Cakra Buana Sukma' semakin kuat pula tenaga dan kekuatannya tersedot
keluar. Dan Ratu Intan Kumala baru menyadari, apa yang telah terjadi pada
dirinya saat ini. Tapi kesadarannya sudah terlambat.
Kini, tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan dia harus berusaha untuk bisa
keluar dari selubung cahaya biru ini. Keringat terus mengucur semakin deras,
membasa-hi sekujur tubuh wanita itu. Sementara, tenaganya terus mengalir keluar
tanpa dapat dikendalikan lagi. Ra-tu Intan Kumala merasakan kekuatannya
berkurang jauh sekali. Dan kelihatannya dia sudah tidak mungkin lagi bisa keluar dari belenggu sinar biru ini. Semakin berusaha keluar,
semakin besar pula tarikan yang menyedot kekuatannya.
Sementara, Rangga mulai melangkah mendekati
perlahan-lahan. Seluruh tubuhnya juga sudah bersimbah keringat. Bahkan tarikan nafasnya begitu kencang memburu, bagai kuda yang
dipacu seharian penuh
tanpa istirahat sedikit pun. Menghadapi wanita ini, seluruh kekuatan dan
kepandaian yang dimilikinya benar-benar dikerahkan. Ayunan kakinya terlihat begitu mantap, walaupun perlahanlahan. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin dekat dengan wanita yang dikenal
bernama Ratu Intan Kumala itu.
"Waktu sudah habis, Intan Kumala...," desis Rangga
dingin menggetarkan. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja
Pendekar Rajawali Sakti melompat dan menghentakkan pedangnya ke atas kepala. Seketika itu juga, cahaya biru yang menyelimuti
seluruh tubuh Ratu Intan Kumala terlepas dari tubuhnya. Tapi belum juga wanita
itu dapat menarik napas lega, mendadak saja....
Bet! Cras! "Hegkh...!"
Ratu Intan Kumala hanya dapat melenguh sedikit.
Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga seperti melihat
hantu, tepat di saat kilatan cahaya biru terlihat berkelebat begitu cepat di
depan lehernya. Saat itu, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil berputaran
di udara tiga kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti
sudah tidak lagi menggenggam pedang pusaka yang kini
sudah kembali tersimpan di dalam warangka di punggung. Sementara, Ratu Intan Kumala masih tetap berdiri
mematung. Terlihat jelas, garis merah yang mengelilingi lehernya yang putih
jenjang. Tapi tak berapa lama kemudian, tubuh wanita cantik itu mulai limbung,
lalu ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Sedikit pun tubuhnya tidak bisa bergerak lagi, karena nyawanya sudah lepas dari
badan sejak tadi.
"Kakang...."
Rangga berpaling sedikit dan tersenyum melihat
Pandan Wangi, Nyai Samirah, dan Pendekar Seruling
Sakti datang berlari-lari kecil menghampiri.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini," ajak Rangga setelah mereka mendekat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka meninggalkan
puncak Bukit Menjangan ini. Meninggalkan semua
yang telah terjadi. Meninggalkan mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih. Dan, meninggalkan satu pengalaman yang cukup mendebarkan.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** SELESAI Tiga Mutiara Mustika 4 Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Hina Kelana 43

Cari Blog Ini