Ceritasilat Novel Online

Sekutu Iblis 1

Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis Bagian 1


110. Sekutu Iblis
baca online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana
Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank. 24 Juli 2014 pukul
5:55 Pendekar Rajawali Sakti
episode: Sekutu Iblis Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
1 Jalan menuju Desa Watu Jajar melalui sebelah utara tampaknya memang tak begitu
bagus. Lagi pula terlihat sempit, seperti membatasi sebuah sungai yang lebar
dengan hutan yang lebat di sebelah kiri. Tak heran, karena itu hanyalah jalan
setapak. Namun jalan itu adalah jalan pintas menuju daerah utara. Meskipun
demikian, tampaknya jalan yang hanya cukup dilalui pedati itu, banyak juga
dilalui orang. Memang pemandangan di sekitar tempat ini cukup mempesona. Jauh di
depan sana, terlihat barisan gunung yang menjulang tinggi. Sedangkan di seberang
sungai, akan terlihat sawah-sawah menghijau bagai permadani yang amat luas.
Siang ini, matahari tak terlalu menyengat. Sedangkan angin bertiup sepoi-sepoi,
membuat seorang pemuda yang tengah menunggang kuda tampak terkantuk-kantuk.
Jalan tampak sepi. Dan sejak tadi, dia hanya berjalan seorang diri, tanpa
berpapasan dengan siapa pun. Pemuda tampan berambut panjang terurai itu memakai
baju rompi putih. Tampak sebilah pedang tersampir di punggungnya.
"Hm.... Indah sekali pemandangan di tempat ini. Dan padi-padi yang subur itu
tentu menandakan kalau penduduk desa ini hidup lebih makmur." gumam pemuda itu.
Pemuda itu terus menjalankan kudanya dengan kecepatan sedang. Kini dia memasuki
daerah perkampungan. Dan tampak orang-orang mulai ramai. Sesungguhnya, penduduk
Desa Watu Jajar itu cukup padat. Dan bentuk rumah tiap penduduknya, bisa
terlihat bahwa mereka cukup makmur. Penduduknya juga sehat-sehat. Tak ada anakanak menangis di tengah jalan karena kelaparan. Tak ada keributan atau
perkelahian yang memperebutkan sekerat makanan.
"Hm.... Sungguh beruntung kerajaan di negeri ini, jika setiap wilayahnya seperti
desa ini. Di Karang Setra saja, belum tentu aku mampu membuat seluruh rakyatku
hidup makmur serta damai," lanjut pemuda yang kalau melihat ciri-cirinya adalah
Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga lalu menghentikan lari kudanya. Sebentar pandangannya beredar ke
sekeliling. Namun beberapa saat kemudian, terlihat sesuatu yang aneh dan tak
dirasakan Pendekar Rajawali Sakti sejak awal. Ada suatu hal yang amat menarik
perhatiannya. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, karena lama-kelamaan dirinya
merasa asing di tempat ini. Agaknya penduduk desa ini tak begitu ramah terhadap
orang asing. Mereka seolah tak mempedulikan kehadirannya. Bahkan ada kecurigaan
lain yang dirasakan pemuda itu. Ternyata wajah mereka banyak menunjukkan rasa
putus asa, ketakutan dan tak tenang. Seolah-olah ada kejadian hebat. Entah
berupa bencana, atau yang lainnya. Tapi sepanjang yang diperhatikannya, Pendekar
Rajawali Sakti tak melihat bencana apa yang menimpa desa ini.
"Ada baiknya aku menanyakan hal ini pada mereka!" bisik Pendekar Rajawali Sakti
dalam hati. Rangga kemudian turun dari punggung kuda hitamnya yang bernama Dewa
Bayu. Dituntunnya Dewa Bayu sambil berjalan memasuki desa lewat jalan utama,
seperti membelah desa menjadi dua bagian. Tak lama, Rangga berpapasan dengan
seorang laki-laki setengah baya.
"Maaf, Ki. Bolehkah aku bertanya?"
Laki-laki setengah baya itu tak menyahut. Di pandanginya Pendekar Rajawali Sakti
dengan seksama dari ujung kaki hingga kepala. Sebentar kemudian, dia seperti
enggan. Bahkan berusaha untuk berlalu, tanpa mempedulikan pemuda itu. Hal itu
amat mengherankan Rangga. Dan laki-laki setengah baya itu segera berlalu, begitu
Rangga bergerak ke samping, memberi jalan.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah kembali, setelah mengangkat bahu
dengan kening berkerut dalam. Tak lama, dia berpapasan kembali dengan seorang
laki-laki tua. Rasa penasaran, membuat Rangga kembali mengungkapkan rasa ingin
tahunya. Namun sikap orang itu pun sama. Bahkan kelihatan takut sekali, dan
langsung berlalu dari situ. Tentu saja hal itu semakin menimbulkan keheranan di
hati pemuda itu.
"Kenapa mereka" Apa yang telah terjadi di desa ini...?" tanya Rangga pada diri
sendiri dengan wajah semakin heran.
Rangga segera melangkahkan kaki ke sebuah kedai kecil yang terletak beberapa
tombak di depannya. Begitu tiba di depan pintu kedai, Rangga melihat tak terlalu
banyak orang. Paling tidak, hanya terdapat sekitar lima orang di dalam kedai
ini. Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah ke dalam, menghampiri seorang
laki-laki agak tua yang sepertinya pelayan kedai ini.
"Kisanak, numpang tanya. Apakah di desa ini tengah terjadi bencana" Kenapa
orang-orang di sini takut berbicara?"
Pelayan kedai itu terkejut. Kemudian dipandanginya pemuda itu dalam-dalam dengan
wajah takut. Matanya segera melirik ke kiri dan kanan, kemudian kembali
memandang pemuda itu dengan wajah tak senang.
"Kisanak, maaf... Kami tak bisa melayani. Sebaiknya, lekaslah pergi dari tempat
ini," kata pelayan itu, tegas.
Kini Rangga yang kaget.
"Kenapa" Apakah kedai ini tak menjual makanan?" tanya Rangga dengan kening
berkerut. "Maaf, sudah habis," sahut pelayan itu singkat, sambil berlalu ke belakang dan
tak kembali lagi.
Dengan perasaan kesal, Rangga segera berbalik dan keluar dari kedai itu. Dia
tahu, pelayan kedai tadi berdusta. Buktinya ketika sudah berada di pintu depan
kedai, matanya sempat melirik salah seorang pengunjung kedai yang tengah
menambah makanannya. Dan matanya juga bisa melihat kalau persediaan makanan di
kedai ini masih banyak. Hanya saja pemuda itu tak mau ribut-ribut, meskipun
hatinya kesal dibohongi begitu.
"Gila! Apa sebenarnya yang terjadi" Kenapa mereka takut untuk membicarakannya"
Apakah desa ini tengah dilanda bencana hebat yang dilakukan seseorang" Hm... Aku
harus mencari tahu, apa yang terjadi di sini. Tapi pada siapa" Mereka semua
takut berbicara padaku," gumam Rangga dalam hati sambil terus berjalan
menghampin kudanya.
Mendadak saat itu seseorang lewat di dekatnya.
"Kisanak, aku bisa menjawab pertanyaanmu. Ikuti aku. Dan, jangan membuat curiga
orang lain," bisik orang itu, tanpa menoleh.
"Heh"!"
*** Rangga langsung merubah sikapnya, dan pura-pura tak melihat laki-laki bertubuh
sedang berkumis tipis yang terus berjalan ke arah yang berlawanan. Pendekar
Rajawali Sakti sendiri terus berjalan ke depan. Setelah jaraknya agak jauh,
tubuhnya berbalik. Langsung dibuntutinya laki-laki itu dari jarak jauh dengan
perlahan-lahan.
Ketika mereka tiba di ujung desa, laki-laki itu memasuki sebuah rumah yang
berada paling ujung, dan sedikit jauh dari yang lain. Rangga juga sudah tiba di
depan rumah tua itu. Ditunggunya sesaat, sebelum masuk.
"Kisanak, silakan masuk!" ujar laki-laki itu sambil membukakan pintu ketika
Rangga mengetuknya.
Bola mata laki-laki itu melirik ke sekelilingnya, kemudian melangkah ke luar.
Dituntunnya kuda tunggangan pemuda itu.
"Maaf, kudamu harus kusembunyikan di belakang," lanjut laki-laki itu.
Rangga mengangguk setuju, melihat kewaspadaan laki-laki itu. Segera kakinya
melangkah masuk. Tak lama kemudian, laki-laki tadi sudah muncul lagi, menyusul
Rangga yang sudah ada di dalam.
Ternyata, di dalam sudah ada seorang wanita setengah baya, tengah berdiri di
depan pintu kamarnya. Wajahnya manis, kulitnya kuning langsat. Dia memakai baju
putih agak lusuh.
"Dia istriku. Namanya, Laksmi," kata laki-laki itu, ketika Rangga agak terpaku,
tidak menyangka di dalam rumah ini ada seorang wanita.
Pendekar Rajawali Sakti lalu membungkukkan tubuhnya sedikit disertai senyum
manis. Sementara wanita itu membalas penghormatan Rangga dengan anggukan kepala
yang lembut. "Kisanak, maafkan atas cara-caraku mengajakmu ke sini...," ucap laki-laki itu.
"Mari silakan duduk."
"Ah, tidak apa. Nah, katakanlah. Mengapa kau mengajakku ke sini?" tanya Rangga,
setelah duduk di bangku dekat jendela yang sedikit terbuka.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu tak buru-buru menjawab.
Malah diperhatikannya pemuda itu dengan seksama, beralih pada istrinya. Sebentar
dia memberi isyarat dengan kepala agar istrinya segera ke belakang.
"Kisanak..., eh! Ng...," laki-laki itu membuka suara, setelah istrinya
menghilang di balik pintu.
"Namaku Rangga...."
"Eh, aku Widura. Rangga, kulihat kau membawa-bawa pedang. Kalau tak salah, kau
pasti seorang pendekar berkepandaian tinggi. Hm.... Bila kuceritakan sesuatu
padamu, maukah kau menolong kami?"
Rangga tersenyum mendengar kata-kata laki-laki yang ternyata bernama Widura.
"Paman Widura, aku hanya seorang pengembara. Dan kalau aku punya kepandaian,
tidak seperti yang kau duga. Namun, dengan senang hati aku akan menolong jika
memang amat diperlukan. Nah, apakah yang bisa kubantu?" tanya Rangga, merendah.
Dan dia juga sudah memanggil paman pada Widura.
"Desa ini...!" desis Paman Widura, murung.
"Kenapa dengan desa ini, Paman?" tanya Rangga tertarik.
"Aku tadi sempat melihatmu tengah bertanya-tanya tentang keadaan desa ini pada
orang-orang. Aku tahu, mereka takut bicara. Tapi begitu melihatmu, aku lantas
berharap mudah-mudahan kau bisa membebaskan kami dari ulah dewa keparat itu!"
geram Paman Widura, sambil menggerutkan geraham.
"Dewa" Dewa apa, Paman?"
"Beberapa bulan lalu, ada orang asing yang datang ke desa ini. Dan dia mengaku
sebagai utusan dewa. Bila kami menuruti kata-katanya, maka desa ini akan makmur
dan sentosa. Namun bila membantah, maka bencana akan menimpa. Tentu saja hal itu
amat menggelikan. Malah, tak seorang pun penduduk desa ini yang mempercayai
ocehannya. Tapi beberapa hari kemudian, terjadi peristiwa aneh yang amat
mengejutkan. Beberapa penduduk desa ditemukan tewas dengan tubuh membusuk dan
kulit terkelupas, setelah menderita sakit terlebih dahulu. Peristiwa ini terus
berlanjut, sehingga menimbulkan ketakutan bagi seluruh penduduk desa ini," tutur
Paman Widura. "Lalu, apa tindakan penduduk desa?"
"Beberapa tabib telah didatangkan untuk mengobati mereka yang sakit. Dan
beberapa orang dukun pun berusaha melawan setan jahat yang menguasai desa ini.
Tapi, justru merekalah yang kemudian tewas. Kemudian bencana lain kembali
menimpa. Sumur-sumur di setiap rumah mulai tak aman, karena mengandung racun.
Akibatnya, sebagian besar penduduk desa ini lemah tak berdaya, dan dibayangi
ketakutan hebat. Akhirnya, jalan kami memang buntu. Maka, terpaksa kami minta
pada orang asing itu agar menghentikan kutukan dewanya...," lanjut Paman Widura.
"Apakah dewa itu berhasil menghentikan kutukan?" tanya Rangga semakin tertarik.
Paman Widura mengangguk.
"Apa keinginan dewa itu?"
"Setiap purnama kami wajib menyerahkan seorang perawan berwajah cantik, serta
benda-benda berharga sebagai persembahan. Siapa saja yang tak setuju, bisa
dipastikan akan tewas dalam waktu singkat..."
Rangga mengangguk-angguk mengerti.
"Paman Widura, di mana aku bisa menjumpai dewa itu?"
"Tak seorang pun penduduk desa ini yang mengetahuinya. Kami hanya memberikan
persembahan pada utusannya yang sering berkeliaran di tengah desa, dengan
mengadakan sedikit upacara di kaki Bukit Belimbang, di sebelah barat desa ini,"
jelas Paman Widura.
"Hm.... Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana keberadaan utusan dewa itu
berada." "Maaf, Rangga Aku tak bisa mempertemukanmu dengannya. Ini sangat berbahaya bagi
keselamatanmu sendiri. Tapi, kau bisa menemui seorang laki-laki berkulit hitam.
Tubuhnya pendek. Telinganya agak lebar dengan hidung pesek besar. Dia memakai
penutup kepala berwarna coklat, dan rompi putih sepertimu. Pokoknya, dia sering
berkeliaran di keramaian desa," jelas Paman Widura lagi.
"Baiklah. Aku akan mencarinya sendiri nan-ti...."
"Rangga! Betulkah kau sudi menolong kami untuk menghancurkan dewa keparat itu?"
Paman Widura seperti tak percaya.
Rangga mengangguk disertai senyum ramah di bibir.
"Dan jika kau membutuhkan penginapan selama berada di desa ini, anggaplah
rumahku seperti rumahmu sendiri. Pintuku selalu terbuka untukmu. Sekali lagi,
aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantu kami," tambah laki-laki
bertubuh kecil itu.
"Paman Widura, sudahlah. Jangan terlalu repot-repot atau sungkan denganku.
Bukankah kewajiban setiap manusia adalah saling tolong-menolong?" Rangga jadi
tak enak sendiri, karena terlalu dihormati oleh Paman Widura.
Paman Widura tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dan mereka terus berbincangbincang panjang lebar tentang keadaan desa ini, sambil makan singkong rebus dan
kopi hangat. Sehingga, Rangga dapat mengetahui lebih banyak tentang keadaan Desa
Watu Jajar ini.
*** Menjelang sore hari, Rangga sudah berada kembali di tengah-tengah Desa Watu
Jajar. Diperhatikannya dengan seksama orang-orang yang lalu lalang di sekitar
desa. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mencocokkan ciri-ciri orang yang dianggap
sebagai utusan dewa itu, seperti yang dituturkan Paman Widura. Benar saja tak
berapa lama, orang yang tengah dicari tampak sedang berbicara dengan sekelompok
orang. Laki-laki itu persis seperti yang digambarkan Paman Widura. Usianya
sekitar lima puluh tahun. Rambutnya yang tipis telah memutih sebagian. Jubahnya
hitam, agak lusuh. Di tangannya, tampak tergenggam sebatang tongkat panjang yang
pangkalnya berbentuk bulat.
Pendekar Rajawali Sakti diam-diam segera mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan
Suara' dari jarak sekitar sepuluh tombak, untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
Tak ada seorang pun yang tahu, kalau pemuda itu sedang mencuri dengar.
Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika orang yang mengaku sebagai utusan dewa
itu membicarakan tentang persembahan yang harus dilakukan penduduk desa pada
bulan purnama yang tinggal beberapa hari lagi saja. Setelah pembicaraan selesai,
laki-laki berjubah hitam itu segera berlalu diikuti yang lainnya. Sementara
Rangga segera mengikuti utusan itu dari jauh sambil menuntun kudanya. Namun
agaknya utusan itu mengerti kalau tengah diikuti seseorang. Terbukti beberapa
kali kepalanya menoleh ke belakang.
Belum begitu lama membuntuti, Rangga sudah terperangkap dalam keramaian orang
yang lalu-lalang di jalan utama desa itu. Akibatnya, buruannya jadi hilang.
Rangga menjulurkan lehernya sambil memandang ke sekelilingnya. Dia tahu betul
laki-laki berjubah hitam itu belum begitu jauh. Dugaannya, orang itu pasti
bersembunyi di suatu tempat. Rangga terus melangkah pelan sambil menajamkan
pandangannya. Dan begitu sampai, di sebatang pohon besar, langkahnya terhenti.
Sebentar ditepuk-tepuknya leher kuda hitam tunggangan-nya.
"Dewa Bayu! Kau pasti sudah letih sekali, bukan" Nah, sebaiknya kita
beristirahat dulu di sini. Nanti kita mencari air untuk menghilangkan dahaga,"
ujar Rangga, mengajak bicara kudanya.
Sedangkan Dewa Bayu langsung mengangguk-angguk, seperti mengerti.
Pendekar Rajawali Sakti segera menambatkan tunggangannya di salah satu cabang
pohon. Kembali ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu duduk tenang di atas
sebuah batu besar, yang terdapat di bawah pohon. Dan belum juga Rangga
melepaskan lelahnya, mendadak sesosok tubuh meluncur ringan dari atas pohon.
Ringan sekali kakinya mendarat, pertanda kepandaiannya sudah cukup tinggi. Kini
jelas, siapa yang baru turun dari atas pohon itu.
"Kisanak! Apa yang kau inginkan, sehingga membuntutiku sampai ke tempat ini?"
tanya orang yang tak lain laki-laki berjubah hitam. Dialah yang mengaku sebagai
utusan dewa. Rangga bangkit dari duduknya sambil tersenyum. Kemudian diberikannya salam
penghormatan pada laki-laki berjubah hitam di depannya.
"Kisanak! Aku hanya ingin minta petunjuk, bagaimana caranya agar bisa bertemu
dewamu..."
"Apa yang kau inginkan?" tanya laki-laki itu, masih curiga.
"Bukankah seorang hamba akan merasa bahagia sekali dan merasa mendapat anugerah,
bila bisa bertemu dengan dewanya" Dan salahkah aku bila ingin mendapat kemuliaan
bila dapat bertemu dengannya?" kata Rangga, mulai bersiasat.
"Hm.... Kau kelihatannya bukan orang bodoh, Kisanak. Lagi pula kau bukan orang
sini. Kulihat, di hatimu tersimpan niat-niat busuk. Bahkan isi kepalamu berisi
kegelapan yang akan digunakan untuk menghina dewa kami. Kau masih belum bisa
bertemu dengannya! Nanti jika hati dan pikiranmu sudah bersih, barulah bisa


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu," sahut utusan itu tegas.
"Tapi, Kisanak. Bukankah hanya dewa yang bisa demikian" Aku hanya seorang hamba
hina, lagi papa. Jadi, mana mampu membuat hati dan pikiranku bersih tanpa
bantuan dewa. Tolonglah, Kisanak. Aku ingin mensucikan diri...."
"Maaf. Aku tak bisa membantu. Bersihkanlah hatimu dahulu dari niat-niat buruk.
Dan, jernihkanlah pikiranmu dari kekeruhan. Setelah itu, barulah aku bisa
membantumu agar bisa bertemu dengannya," kata laki-laki berjubah hitam itu,
segera berlalu.
Rangga hanya tersenyum. Dibiarkannya laki-laki itu pergi.
"Hm.... Aku tahu. Hanya dewa gadungan saja yang tak mau menolong hambanya!" ejek
Rangga langsung, ketika utusan dewa itu telah berjalan beberapa langkah.
Laki-laki berjubah hitam itu kontan menghentikan langkahnya, dan berbalik.
Ditatapnya Rangga dengan sorot mata penuh kebencian.
"Kisanak! Apa maksudmu bicara begitu, heh"!" bentak utusan itu.
"Hm.... Ternyata dewamu tak bisa memberi anugerah agar telingamu mampu mendengar
lebih tajam. Dan itu semakin memperkuat dugaanku, kalau dewa yang kau katakan
itu pasti gadungan," sahut Rangga seenaknya.
"Kisanak! Cabutlah kata-katamu kalau tak ingin celaka dikutuk dewata!" bentak
laki-laki berjubah hitam itu keras. Wajahnya tampak semakin merah, menahan
amarah bercampur geram.
"Ingin kulihat, apakah dewa yang kau katakan itu mampu mencegahku untuk
menghajar dan membunuhmu!" gertak Rangga, dingin. Pendekar Rajawali Sakti mulai
melangkah tenang, menghampin laki-laki itu.
Laki-laki berjubah hitam itu mulai bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Tubuhnya mulai menggeletar, mendengar kata-kata pemuda itu. Apalagi ketika jarak
mereka semakin dekat saja.
Srak! "Hm...."
Rangga terpaksa langsung mengalihkan perhatiannya begitu mendengar suara gesekan
semak-semak. Memang, mendadak saja melesat sesosok tubuh dari arah semak-semak.
Sosok tubuh itu langsung menerjangnya dengan gerakan cepat. Dari angin serangan
yang datang, disadari kalau orang yang baru datang ini tak bisa dianggap enteng.
Sehingga, dipapaknya serangan yang meluncur datang ke arahnya.
Plak! Plak! 2 Seketika terdengar benturan dahsyat, begitu Rangga memapak serangan dahsyat ke
arah penyerangnya.
"Uhhh...!"
Sosok yang menyerang Pendekar Rajawali Sakti kontan terjajar beberapa langkah,
begitu habis berbenturan disertai keluhan kesakitan. Rangga membiarkan orang itu
mengatur pernapasannya, sambil menunggu kalau kalau mendapat serangan kembali.
Sosok yang menyerang Rangga adalah laki-laki dengan pakaian dari lilitan kain
hitam. Hampir seluruh tubuhnya tak terlihat, kecuali bagian matanya yang
menyorot tajam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Pada mulanya, Rangga tak ingin meladeni orang itu kembali. Dan dia bermaksud
untuk menangkap orang yang mengaku sebagai utusan dewa itu. Namun begitu matanya
melirik, laki-laki berjubah hitam itu telah tidak ada lagi. Dan belum juga
Rangga menduga ke mana arah kepergiannya, tiba-tiba...
"Yeaaaah...!"
Orang yang tubuhnya terbalut kain hitam itu cepat melesat, sambil melepaskan
pukulan dahsyat.
"Uts, sial!" maki Rangga seraya memutar tubuhnya ke kiri. Sehingga, pukulan itu
dapat dihindarinya.
"Kaulah yang sial hari ini, Kisanak. Kematianmu telah dekat! dengus laki-laki
bertubuh sedang itu, setelah menjejak kembali di tanah.
"Hm... Hubunganmu agaknya dekat sekali dengan dewa yang disebut laki-laki
berbaju hitam temanmu tadi. Apakah kau pun utusan yang lain?" kata Rangga,
bertanya. "Phuih! Apa pedulimu"! Berdoalah untuk keselamatanmu, karena sebentar lagi kau
akan mampus!" dengus orang yang wajahnya terbalut kain hitam itu.
"Bicaramu sungguh hebat, Kisanak. Aku justru ingin menangkap dan menghukummu,
agar dewamu datang dan menyelamatkanmu!" sahut Rangga, enteng.
"Keparat!" dengus orang bertopeng kain hitam itu.
"Uts...!"
Rangga cepat-cepat melenting ke atas ketika satu sapuan dilepaskan laki-laki
bertopeng kain hitam itu ke arah perutnya. Tubuhnya langsung berputaran dan
cepat meluncur turun dengan sebuah tendangan keras tanpa tenaga dalam ke arah
wajah. Orang bertopeng itu terlihat gugup. Memang, gerakan Pendekar Rajawali
Sakti cepat bukan main.
Bahkan tak ada waktu lagi untuk menghindar. Maka....
Begk! "Aaakh...!"
Orang bertopeng itu kontan menjerit kesakitan begitu tubuhnya terjungkal
terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti pada wajahnya. Dan belum lagi dia
dapat menarik napas, Rangga sudah melesat cepat dengan satu pukulan keras tanpa
tenaga dalam. Melihat hal ini, laki-laki bertopeng hitam itu semakin kaget saja.
Maka dengan untung-untungan, dia menyelamatkan diri. Tubuhnya dijatuhkan ke
tanah. Tapi ternyata saat itu juga kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti langsung
menyambutnya. Dugk! "Aaakh...!"
Diiringi pekik kesakitan, orang bertopeng hitam itu terpental beberapa tombak ke
belakang. Lalu, tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Dan Pendekar Rajawali
Sakti kembali telah melesat mengejar. Terpaksa orang bertopeng itu bergulingan,
menghindari diri. Kemudian, tubuhnya cepat melenting ke atas. Tapi pada saat
yang sama, Pendekar Rajawali Sakti juga melenting sambil melepaskan serangan
cepat ke arah lawan. Begitu cepatnya, sehingga kedua telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti kembali menghantam keras dada orang bertopeng hitam itu.
Desss! "Aaakh...!"
Kembali orang bertopeng itu terjungkal, dan jatuh keras di tanah. Tampak darah
menembus kain hitam yang menutupi wajahnya, tepat di bagian mulut. Agaknya orang
bertopeng itu telah terluka. Meskipun begitu, Rangga tak bermaksud
menghabisinya. Dia butuh keterangan dari orang itu tentang dewa gadungan yang
sedang dicarinya. Itulah sebabnya, serangan yang dilakukan tidak menggunakan
tenaga dalam penuh. Dan hanya cukup untuk melukai saja.
"Sekarang, rasakanlah. Yeaaa...," gertak Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuh Rangga cepat bagai kilat melesat ke arah orang bertopeng yang belum siap
bangkit. Kali ini agaknya sulit bagi orang bertopeng itu untuk menyelamatkan
diri. Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba melesat dua sosok tubuh bertopeng lain.
Dan mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang.
"Hiyaaa...!"
"Uts, sial..!"
Rangga terpaksa menghentikan serangannya, karena harus menghindari kelebatan
pedang-pedang lawan yang mengincar tubuhnya. Dan kini, Pendekar Rajawali Sakti
terpaksa melayani serangan pedang dari kedua lawannya.
Namun, kesempatan itu cepat digunakan oleh orang bertopeng yang pertama untuk
kabur. Pendekar Rajawali Sakti bermaksud mengejar, namun kedua orang bertopeng
yang baru datang seakan tak memberi kesempatan sedikit pun. Gerakan mereka
begitu gesit. Dan agaknya, kepandaian mereka lebih tinggi setingkat dibanding
orang bertopeng sebelumnya. Apalagi, kini mereka berdua bersenjata. Sehingga,
semakin mempersulit gerakan Pendekar Rajawali Sakti saja.
"Yeaaa...!"
Bet! Bet! "Sial!" dengus Rangga.
Memang, serangan yang dilakukan kedua orang itu amat cepat dan kompak. Agaknya
mereka betul-betul telah terlatih untuk menyerang secara bersamaan. Ujung kedua
pedang masing-masing terus berputar-putar, membentuk gulungan. Pendekar Rajawali
Sakti terpaksa harus bergerak cepat menghindar ke sana kemari, karena ujungujung pedang itu terus mengejar. Belum lagi, Pendekar Rajawali Sakti juga harus
menghadapi tendangan-tendangan yang membuatnya agak sulit untuk bertarung pada
jarak pendek. Namun dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', sampai
saat ini belum ada pukulan maupun sabetan pedang yang mampir di tubuhnya.
Dalam satu kesempatan, Rangga mencelat jauh ke belakang untuk menghindari
jangkauan serangan lawan. Tubuhnya melayang ringan bagai sehelai daun kering.
Namun ketika kedua kakinya menjejak tanah, kedua orang bertopeng yang
menyerangnya telah hilang dari tempat itu.
"Sial!" dengus Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mencari-cari ke sekeliling tempat itu. Namun
yang dicari tak juga ditemuinya. Orang-orang itu lenyap seperti ditelan bumi.
Dengan langkah lesu akhirnya Rangga kembali ke tempat kediaman Paman Widura
*** Senja baru saja berlalu ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di tempat kediaman
Paman Widura. Laki-laki setengah baya itu menyambutnya dengan wajah suka cita.
'Bagaimana, Rangga" Apakah kau telah bertemu dengannya?" tanya Paman Widura,
ketika mereka telah duduk-duduk di ruang tengah.
"Ya. Tapi, tadi kulihat dia memakai jubah hitam. Sehingga, agak terkecoh.
Tampaknya dia tadi sedang memberikan penjelasan tentang persembahan korban di
bulan purnama ini...," jelas Rangga sambil mengangguk pelan.
"Ya. Aku lupa kalau hart ini dia akan memberitahukan tentang acara persembahan
itu. Lalu, apa yang kau lakukan terhadapnya?" tanya Paman Widura kembali.
Rangga pun segera menceritakan semua yang dialaminya, tanpa ditambah-tambahi.
Sedangkan Paman Widura mengangguk-angguk, mendengarkan dengan seksama penuturan
pemuda itu. "Oh! Apakah kau terluka, Rangga?" tanya Paman Widura, cemas.
Rangga menggeleng, lalu tersenyum kecil ketika istri Paman Widura keluar. Wanita
bernama Laksmi itu menghidangkan kopi hangat dan kue-kue.
"Aku tak apa-apa, Paman... "
"Ah! Aku hanya menyusahkan kau saja jadi nya. Persoalan ini memang berat. Dan
salah-salah bisa mencelakakan dirimu sendiri," kata Paman Widura gundah.
"Paman! Bukankah aku telah mengatakan, kalau masalah ini adalah kewajibanku
untuk saling tolong-menolong" Nah! Janganlah bersikap menyesali diri seperti
itu," sanggah Rangga, bijaksana.
"Tapi, apa jadinya jika kau sampai tewas dalam persoalan ini?"
Rangga hanya tersenyum melihat kecemasan laki-laki setengah baya itu.
"Paman! Persoalan hidup dan mati ada di tangan Yang Maha kuasa. Kalau memang aku
ditakdirkan untuk mati dalam persoalan ini, apa boleh buat. Dan aku tak akan
mati penasaran. Bahkan aku merasa bangga karena selagi hidup bisa berbuat
sesuatu bagi orang banyak kilah Rangga, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
Paman Widura memandang pemuda itu dengan seksama, kemudian tersenyum tulus.
'Hm... Rasanya, seluruh penduduk desa ini akan merasa malu mendengar katakatamu, Rangga. Termasuk juga aku. Rasanya semangatku sekarang mulai bangkit.
Dan kini, aku tak takut mati demi membela kebenaran. Nah, Rangga.... Adakah
sesuatu yang dapat kubantu dalam persoalan ini?"
Rangga kembali tersenyum mendengar kata-kata laki-laki itu.
'Paman, tentu aku akan suka sekali bila kau bisa membantu. Hanya saja untuk
sementara ini, sebaiknya kau diam saja dulu di rumahmu. Tapi kau harus selalu
waspada. Siapa tahu, ada mata-mata utusan dewa itu. Jika mereka sampai tahu kalau kau telah menceritakan persoalan di desa ini pada orang luar, tentu bisa
celaka...," ujar Rangga.
"Hm... Sekarang aku tak takut lagi, Rangga. Aku siap mati untuk membereskan
persoalan ini! seru Paman Widura dengan wajah bersemangat.
"Aku bangga dengan tekadmu, Paman. Namun ada hal yang perlu diingat. Manusia tak
boleh mati sia-sia. Artinya, janganlah membabi buta dalam menghadapi persoalan
gawat yang bisa mencelakakan jiwa. Sebaiknya, pikirkanlah masak-masak sebelum
bertindak."
"Betul, Rangga. Aku pun setuju dengan pendapatmu itu!" sahut Paman Widura cepat.
Pendekar Rajawali Sakti kembali tersenyum kecil sambil memperbaiki duduknya.
Namun, tiba-tiba wajahnya berubah. Bahkan langsung memberi isyarat pada lakilaki itu untuk tidak ribut dengan tangannya.
Memang, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam, telah menangkap suarasuara mencurigakan di luar sana.
"Ada apa?" bisik Paman Widura dengan wajah tegang.
Ranggga menempelkan jari telunjuknya ke bibir, kemudian bangkit. Kakinya segera
melangkah ke arah pintu dan membuka perlahan-lahan.
"Paman! Waspadalah. Sebaiknya berjaga-jaga...," bisik Rangga lirih.
"Kau mau ke mana, Rangga?"
'Ada tamu tak diundang yang mengintai kita. Aku ingin mengajaknya masuk," desis
Rangga. Wajah Paman Widura jadi tegang. Begitu pula istrinya yang sejak tadi diam saja.
Buru-buru laki-laki itu mencabut golok yang terselip di pinggang. Dia langsung
bangkit, dan bersiaga di depan pintu rumahnya.
Rangga yang sejak tadi mendengar suara mencurigakan di luar rumah, segera
keluar. Matanya langsung merayapi sekelilingnya dengan seksama.
"Kisanak yang bersembunyi di balik pohon, keluarlah! Percuma terus bersembunyi.
Lebih baik, mari kita berbincang-bincang. Mari masuk saja kedalam. Dan kau bisa
menceritakan maksudmu!" teriak Rangga.
Krosak! Baru saja Rangga selesai bicara, mendadak melesat sesosok bayangan dari balik
cabang pohon yang berada di samping rumah Paman Widura. Bayangan itu bukannya
mendekat ke arah Pendekar Rajawali Sakti, melainkan terus melesat menjauhi.
Melihat hal ini tentu saja Rangga tak membiarkannya lolos begitu saja. Seketika
kakinya digenjot, mengejar bayangan itu.
"Huh! Kau pikir bisa seenaknya kabur setelah menguping pembicaraan orang"!"
dengus Rangga jengkel.
Tapi agaknya sesosok bayangan itu mampu bergerak cepat dan lincah sekali. Selukbeluk tempat ini diketahuinya betul, sehingga agak sulit bagi Rangga
mengikutinya. Bahkan tiba di sebuah perempatan jalan, pemuda itu betul-betul
kehilangan buruannya. Meskipun Rangga telah mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan
Suara', namun sedikit pun tak terdengar tanda-tanda adanya sosok bayangan tadi
di tempat itu. Dia menghilang bagaikan setan saja. Maka dengan perasaan jengkel
bercampur geram, Rangga kembali ke rumah Paman Widura yang belum begitu jauh
ditinggalkannya.
Namun belum juga Rangga tiba, mendadak di-kejutkan jeritan yang melengking dari
rumah Paman Widura. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat rnemburu ke
arah rumah sederhana itu.
"Keparat! Kalau memang terjadi apa-apa terhadap Paman Widura, mereka tak akan
kuberi ampun!" geram Rangga dengan amarah meluap.
*** Dugaan Rangga memang tepat. Ternyata rumah Paman Widura sebagian seperti akan
ambruk. Sebagian dindingnya yang terbuat dari bilik bambu sudah hancur
berantakan. Sementara di bagian atapnya, seperti habis dilanda topan. Ketika
Pendekar Rajawali Sakti menerobos masuk ke dalam, tampak Paman Widura dan
istrinya tergeletak tak bernyawa dalam keadaan menyedihkan. Darah mereka
berceceran di seluruh ruangan rumah. Agaknya, hal itu memang disengaja oleh
pembunuhnya. untuk memberi peringatan pada Rangga. Rangga memandang ke
sekeliling. Dan matanya langsung tertumbuk pada tulisan yang terbuat dari darah
di dinding rumah Paman Widura.
Siapa pun yang mencoba ikut campur urusan dewa kami, akan mengalami nasib
seperti kedua orang ini.'
"Keparat! Orang-orang biadab!" desis Rangga dengan wajah memerah menahan geram
dan amarah. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah keluar dari rumah ini. Matanya segera
merayapi sekelilingnya. Seketika dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Dan mendadak telinganya menangkap sesuatu yang mencurigakan di atas pohon, tepat
di depan rumah ini.
Kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepal erat. Dan dengan mata
beringas dia kembali memandang tajam ke sekeliling. Sebentar kakinya melangkah,
kemudian mendadak melesat ke atas sebatang pohon.
"Yeaaa...!"
Brusss! Benar saja. Dari pohon yang dituju Pendekar Rajawali Sakti, melesat sesosok
bayangan yang mencoba kabur. Namun tentu saja Rangga tak mau membiarkan
buruannya lepas begitu saja. Begitu mendarat di salah satu cabang pohon,
Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat cepat, mendahului buruannya. Seketika
kepalan tangannya yang bertenaga dalam kuat diayunkan.
"Heh..."!"
Bayangan itu terkejut setengah mati. Sungguh tak dikira kalau pengejarnya mampu


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak secepat itu. Maka dengan untung-untungan kepalanya dimiringkan.
Serangan Pendekar Rajawali Sakti memang berhasil dihindari. Tapi serangan
berikut, rasanya sulit bagi orang itu untuk menghindar. Begitu serangannya luput
Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali menyapu perut orang itu dengan kaki
kanannya. Begitu cepatnya sehingga...
Begkh! "Akh!"
Sosok itu kontan menjerit keras dan tubuhnya terjungkal beberapa langkah, begitu
perutnya terhantam sapuan kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti. Kini Rangga telah
kembali melayang di atas kepala lawannya yang tengah berusaha bangkit. Pendekar
Rajawali Sakti memang tak akan memberi kesempatan sedikit pun. Tangan kanannya
cepat diayunkan ke arah kepala orang itu, walau tanpa pengerahan tenaga dalam.
Des! "Aaakh...!"
Sosok bayangan yang ternyata juga bertopeng itu kembali menjerit keras ketika
tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pelipis kanannya. Tubuhnya seketika
ambruk dan menggelepar di tanah sambil menjerit kesakitan. Tapi Rangga tak
berhenti sampai di situ. Langsung dijambaknya leher orang itu. Seketika
disingkapnya topeng di wajah laki-laki berpakaian serba hitam ini dengan kasar.
"Kau akan mampus saat ini juga, kalau tak mengatakan padaku tempat dewa keparat
itu berada! Dia harus bertanggung jawab atas kematian Paman Widura dan
istrinya!" dingin suara Rangga.
"Ekh...! Aku..., aku tak tahu! Lepaskan! Lepas kan aku!" teriak orang itu sambil
berusaha melepaskan diri.
Tapi Rangga yang memang tengah diamuk amarah, jadi tak sabar melihat sikap orang
itu. Kepalan tangan kanannya langsung melayang menghajar perut.
Des! "Aaakh...!"
Laki-laki yang topengnya telah terbuka itu kontan menjerit kesakitan.
"Katakan! Kalau tidak, kau akan mampus sekarang juga!" gertak Rangga sambil
mengayunkan tangan, siap menghajar batok kepala laki-laki yang ternyata berusia
setengah baya itu.
"He he he..! Kau boleh berkata apa saja, Pemuda Tolol. Aku lebih suka mati
daripada bicara denganmu. Di mulutku telah kusimpan racun yang dapat mengakhiri
hidupku," kata laki-laki setengah baya itu.
Rangga terkejut bukan main mendengar penuturan laki-laki di hadapannya. Dia
bermaksud mencegah, namun laki-laki setengah baya itu telah lebih dulu menelan
racunnya. Maka sebentar kemudian...
"Akh...!"
Orang itu kontan menjerit tertahan. lalu ambruk ke tanah. Wajahnya seketika
menegang dan urat-urat di tubuhnya bertonjolan. Kemudian terlihat seluruh
permukaan kulitnya membiru serta mulutnya mengeluarkan busa berbau busuk.
Setelah menggelepar sesaat, orang itu telah tewas tanpa dapat dicegah lagi. Kini
terlihat kulit orang itu perlahan-lahan membusuk seperti bangkai.
"Kurang ajar!" rutuk Rangga.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti kembali ke dalam rumah Paman Widura yang
hampir ambruk. Segera diurusnya mayat suami istri itu untuk dikuburkan.
3 Malam merangkak jauh. Debur ombak sayup-sayup terdengar dari sini. Dan tempat
ini termasuk Pantai Walet. Kalau memandang pantai dari bukit ini akan terasa
indah sekali. Namun keindahan itu jadi tak terasa, ketika terlihat dua orang
bertampang seram tengah berjaga-jaga di depan sebuah goa. Mereka berpakaian
serba hitam dengan pedang terselip di pinggang masing-masing. Wajah mereka yang
berkilat karena cahaya obor yang terpancang di dinding goa, tampak tegang.
Sementara di ruangan yang paling dalam dari goa itu, suasana tampak begitu
tegang. Duduk di bangku yang paling besar dan indah adalah seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar, kekar, dan berotot menonjol. Sepasang matanya tajam bagai
mata elang. Di pinggangnya tampak sebuah senjata cakra yang tajam berkilatan.
Jubahnya besar berwarna biru gelap yang pada ujungnya terdapat garis kuning.
Rambutnya panjang diikat merah. Wajahnya kasar dengan bibir tebal dan kulit
hitam kecoklatan.
Di hadapan laki-laki bertampang seram itu, duduk bersila beberapa orang yang
juga berwajah seram. Rata-rata mereka mengenakan pakaian hitam. Sementara persis
di hadapannya, bersila seorang laki-laki berkulit legam. Tubuhnya pendek dengan
kepala tertunduk dalam. Wajahnya yang berhidung pesek, tampak memancarkan rasa
bersalah. "Hm.... Jadi kau tak tahu siapa dia, Darwoto?" tanya laki-laki bertubuh besar
yang duduk di atas kursi besar dan indah.
"Ampun, Gusti Datuk Kraeng. Hamba benar-benar tak tahu. Dia orang asing. Tapi,
ilmu olah kanuragannya cukup hebat..," jelas orang yang dipanggil Darwoto itu.
"Hm. Apa benar begitu?" desak laki-laki bertampang seram dengan jubah biru, yang
dipanggil Datuk Kraeng itu.
"Gusti.... Hamba tak berani berbohong. Bukankah kawan-kawan yang lain telah
membuktikan hal itu, ketika mencoba mencegahnya" Kalau saja mereka tak buru-buru
kabur, aku tak tahu nasib mereka...."
Datuk Kraeng termenung beberapa saat la manya sambil memandang orang-orang yang
ada di ruangan itu satu persatu. Kepala mereka semakin tertunduk, tak berani
melawan tatapan Datuk Kraeng.
"Dia telah membunuh salah seorang kawan kalian. Maka, kalian harus menangkapnya
hidup-hidup. Atau, bunuh saja kalau tak mampu menangkapnya," ujar Datuk Kraeng,
dingin. Orang orang yang berada di ruangan itu jadi diam membisu.
"Apa kalian takut?" tegur Datuk Kraeng, sinis. Sepertinya dia bisa menangkap
arti kebisuan anak buahnya.
"Ti..., tidak. Datuk. Ta... tapi...," sahut beberapa orang, tergagap.
"Diam!" bentak Datuk Kraeng garang.
Kata-kata mereka langsung terhenti, dan kepala tertunduk penuh ketakutan. Datuk
Kraeng lalu bangkit dari kursinya, dan berdiri tegak sambil memandang anak
buahnya satu persatu. Wajahnya tampak menyiratkan kemarahan yang amat sangat.
"Kalian memandang rendah padaku, heh"!" tegur Datuk Kraeng.
"Bukan begitu, Datuk. Tetapi...."
Belum juga salah seorang menuntaskan bicaranya, Datuk Kraeng telah lebih cepat
menerjang ke salah seorang yang tengah bersimpuh. Seketika, senjatanya yang
berupa arit dengan gagangnya yang panjang mengarah ke orang yang mencoba bicara
tadi. Maka... Wuttt! Cras! "Aaa...!"
Orang itu kontan menjerit keras dan menyayat, begitu senjata yang semula berada
di pinggang Datuk Kraeng tiba-tiba menyambar lehernya. Tubuhnya langsung ambruk
dengan leher terluka lebar. Tampak darah mengucur deras ke lantai. Tepat ketika
orang itu tak bergerak lagi, senjata cakra Datuk Kraeng melesat kembali ke
arahnya. Dengan gerakan manis sekali, ditangkapnya senjata itu, dan kembali diselipkan di
pinggang. Maka tentu saja hal itu membuat yang lain tersentak dan semakin ketakutan saja.
"Kalian tahu" Sebagai anak buahku, tak seorang pun yang bersikap pengecut.
Daripada kalian membuatku malu, lebih baik mampus. Nah! siapa lagi yang akan
menyusul?" dengus Datuk Kraeng. Semua diam membisu, tak memberi jawaban.
"Nah! Sekarang, pikirkanlah cara untuk menangkap pemuda itu. Bawa dia hiduphidup ke sini, atau bunuh di tempat jika melawan. Bawa mayatnya ke sini!
Mengerti kalian"!" ujar Datuk Kraeng.
"Mengerti, Datuk!" sahut mereka serentak.
"Pergilah. Oh, ya. Buang mayat ini ke hutan agar menjadi santapan anjing liar!"
"Baik, Datuk!"
"He, Darwoto! Ke sini kau!" teriak Datuk Kraeng ketika melihat laki-laki
berkulit legam itu hendak berlalu.
Dengan wajah ketakutan, Darwoto menghampiri Datuk Kraeng. Langsung dia bersimpuh
di hadapan junjungannya.
"Ampun, Gusti Datuk Kraeng. Apakah yang bisa hamba lakukan?"
"Hm... Bagaimana dengan upacara persembahan itu?"
"Mudah-mudahan besok berjalan lancar, Gusti."
"Hm, bagus. Ingat! Jika sampai terjadi keributan. Kaulah yang bertanggung jawab.
Mengerti?"
"Me... , mengerti, Datuk."
"Katakan pada yang lain Sebaiknya bunuh diri saja jika tak berhasil menjalankan
tugas. Demikian juga kau! Jika tidak, mereka akan mampus di tanganku.
Mengerti"!"
"Me..., mengerti, Gusti Datuk Kraeng!" sahut Darwoto cepat.
Datuk Kraeng lalu melangkah ke arah kursinya kembali. Kemudian diambilnya sebuah
gulungan kecil terbuat dari kulit hewan, yang terletak di meja sebelah kursinya.
"Hm.... Antarkan suratku kepada Ki Ageng Sukoco hari ini juga!" ujar Datuk
Kraeng sambil menyerahkan gulungan di tangannya.
"Baik, Gusti Datuk Kraeng. Apakah ada pesan lain yang harus hamba katakan pada
beliau?" lanjut Darwoto, sambil menerima gulungan itu.
Datuk Kraeng berpikir sesaat.
"Tidak perlu. Dia akan tahu, apa yang harus dikerjakannya," sergah laki-laki
berjubah biru itu.
"Baiklah. Kalau demikian, hamba pamit dulu, Gusti Datuk Kraeng."
"Pergilah...," sahut Datuk Kraeng, menganggukkan kepala.
Darwoto langsung berbalik, setelah memberi salam penghormatan.
"Sebentar!"
"Eh! Ada lagi yang harus hamba kerjakan, Gusti Datuk Kraeng?" sahut Darwoto
cepat sambil berbalik.
"Ingat! Tak boleh seorang pun yang mengetahui surat itu selain kau!"
"Hamba mengerti dan akan hamba ingat, Gusti Datuk Kraeng! Amanat ini akan hamba
junjung tinggi dengan taruhan nyawa!" tegas Darwoto.
"Hm... Ya..., bagus! Kalau begitu, kau boleh pergi...."
"Terima kasih, Gusti Datuk Kraeng!" sahut Darwoto sambil berlalu dari tempat
itu. "Hm.... Siapa sebenarnya pemuda itu" Rasa-rasanya aku pernah mendengar seorang
tokoh yang memiliiki ciri-ciri demikian. Apakah dia orangnya...?" gumam Datuk
Kraeng ragu-ragu, ketika Darwoto telah menghilang di balik pintu.
Beberapa saat lamanya Datuk Kraeng bergumam sambil termenung sendiri. Kemudian
perlahan dia masuk ke dalam sebuah pintu yang berada di ujung ruangan, dan
lenyap seketika.
*** Seorang laki-laki berusis sekitar lima puluh tahun tengah berjalan mondar-mandir
di dalam sebuah ruangan besar. Dia seperti gelisah, menanti sesuatu. Rambutnya
yang panjang, dan digulung ke atas, sebagian telah memutih. Tubuhnya tinggi dan
agak kurus. Kumis dan jenggotnya panjang. Kulitnya coklat kekuning-kuningan.
Sepasang matanya agak sipit namun memancarkan wibawa yang kuat. Tangan kirinya
tak lepas menggenggam sebatang pedang yang tersimpan dalam warangka indah penuh
ukiran dari bahan kuningan bercampur baja. Di hadapannya, duduk bersila beberapa
orang laki-laki berpakaian kuning keemasan. Masing-masing menggenggam sebilah
pedang. Di kalangan persilatan, dia dikenal sebagai Ketua Perguruan Kelabang Emas.
Namanya, Ki Ageng Sukoco.
"Eyang! Sekarang kami telah berkumpul. Apakah gerangan yang hendak Eyang
bicarakan?" tanya salah seorang murid yang melihat gurunya seperti gelisah.
"Aku mendapat kabar dari Datuk Kraeng, Sumanto. Katanya, desa kita telah
kedatangan seorang pemuda asing yang ingin mengacau. Maka, kuminta kalian harus
waspada dan selalu mengawasi segala tindakannya," ujar Ki Ageng Sukoco.
"Eyang! Aku pun memang pernah melihatnya. Tapi kupikir, bagaimana mungkin dia
bisa mengacau desa kita?" tanya salah seorang murid lain.
"Hm.... Kau pernah melihatnya, Bajanegara" Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki
Ageng Sukoco. "Dia masih muda. Rambutnya panjang, dan wajahnya tampan. Bajunya rompi berwarna
putih dengan pedang bergagang kepala burung tersampir di punggungnya. Dan dia
menunggang kuda hitam. Memang kelihatannya dia bukan orang kebanyakan. Tapi
paling tidak, mengerti ilmu silat. Lalu, kenapa kita harus mengawasinya, Eyang?"
jelas pemuda yang dipanggil Bajanegara.
"Pemuda itu telah menewaskan seorang anak buah Datuk Kraeng," sahut Ki Ageng
Sukoco. "Hm... Sungguh gegabah dia!" desis salah seorang murid lain.
"Tapi juga cukup hebat. Seperti kita ketahui bersama, anak buah Datuk Kraeng
memiliki kepandaian sangat tinggi. Jadi kalau sampai bisa dibinasakannya,
pastilah pemuda asing itu bukan orang sembarangan!" lanjut seorang murid yang
bernama Sumanto sambil mendesah kecil.
"Kita tak tahu, apa yang diinginkannya di desa ini. Tapi cepat atau lambat,
jelas dia telah menanamkan bibit permusuhan dengan kita. Orang seperti itu tak
bisa dikasih hati. Dia harus dihukum dan diberi pelajaran!" tandas Ki Ageng
Sukoco, geram. "Apakah Eyang akan menugaskan kami untuk menangkapnya?" tanya seorang muridnya
yang bernama Wijaya.
Ki Ageng Sukoco tersenyum.
'Tadi kalian katakan, dia hebat dan berkepandaian tinggi. Apakah kalian mampu
menangkapnya?"
"Kenapa tidak" Kalau memang Eyang menugaskan, mana kami bisa membantah," sahut
Wijaya cepat. Murid-murid yang lain pun menyatakan setuju tentang rencana ini. Tapi, Ki Ageng
Sukoco tak buru-buru menjawab. Beliau malah tersenyum sambil menggeleng-geleng.
"Kalian tak perlu melakukan hal itu..."
"Kenapa tidak, Eyang" Kenapa tidak kita tangkap saja kalau tindakannya memang
mencurigakan"!" tanya Wijaya bernafsu.
'Tak perlu tergesa-gesa, Wijaya. Lagi pula, hal itu telah dikerjakan anak buah
Datuk Kraeng. Kita cukup mengawasi saja dan melaporkan setiap tindakannya,"
jelas Ki Ageng Sukoco.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan selain mengawasinya, Eyang?" tanya Wijaya
kembali. "Tugas kita yang paling utama adalah mengawasi daerah pantai utara dari orangorang yang coba-coba usil ikut campur tangan dalam urusan kita bersama Datuk
Kraeng. Mengertikah kalian?"
"Mengerti, Eyang!" sahut semua murid Ki Ageng Sukoco nyaris bersamaan.
"Nah! Kalau demikian, urusan mengenai pemuda asing itu kita selesaikan sampai di
sini. Dan sekarang kita lanjutkan pembicaraan mengenai urusan kita dengan orangorangnya Datuk Kraeng," lanjut Ki Ageng Sukoco.
"Eyang! Ada hal yang membuat kami merasa tak enak mengenai orang-orang asing
itu...," pelan suara Bajanegara.
"Kenapa?"
"Mereka seolah memandang rendah terhadap kita. Bahkan menganggap diri mereka
hebat," sahut Bajanegara.
"Betul, Eyang. Hal itu pun kurasakan dan kulihat sendiri. Beberapa hari lalu,
adik Banujaya sempat berkelahi dengan salah seorang di antara mereka!" sambung
Wijaya, geram. "Hm, begitukah" Persoalan apa yang membuatnya sampai demikian?"
"Mereka merendahkan ilmu silat yang kita miliki!"
"Katanya ilmu silat dari negeri mereka lebih hebat dan tak satu pun yang mampu
menyamainya. Hal itulah yang menyebabkan adik Banujaya merasa marah. Dan
kemudian, dia bertarung dengannya," jelas Sumanto, ikut membela.
"Hm, ya.... Sebaiknya, kalian tak meributkan masalah itu. Kelak mereka akan
tahu, siapa sebenarnya yang lebih rendah," sahut Ki Ageng Sukoco tenang.
"Tapi kita tak bisa terus-menerus hanya diam saja, Eyang. Lambat laun, mereka
akan berbuat sesuka hati!" desak Wijaya.
Ki Ageng Sukoco memandang sekilas pada muridnya.
"Kita masih memerlukan mereka. Selagi kita masih memerlukannya, sudah sepatutnya
jika bersikap mengalah. Tapi jika kita tak memerlukannya lagi, mereka akan kita
tendang jauh-jauh. Dan kalau mereka hendak membuat keributan lebih dulu, aku
akan serahkan pada Datuk Kraeng. Dialah yang membawa mereka ke sini. Nah! Jelas
sudah persoalannya, bukan?" kata orang tua itu, pelan.
Semua muridnya diam membisu. Kebanyakan, mereka tak puas mendengar jawaban
gurunya. Tapi, mereka tak bisa berbuat apa-apa, selain menyetujui sikap Ki Ageng
Sukoco. "Aku tahu, apa yang kalian rasakan. Tapi untuk sementara waktu, jangan mengambil
tindakan apa-apa terhadap mereka. Aku tahu, apa yang harus kulakukan. Nah!
Pertemuan ini selesai. Kembalilah menjalankan tugas masing-masing," lanjut Ki
Ageng Sukoco. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka segera beranjak dan pergi dari ruangan itu,
setelah memberi salam penghormatan pada orang tua itu. Sementara Ki Ageng Sukoco
hanya menggelengkan kepala sambil menghela napas pendek, sampai semua muridnya


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hilang dari hadapannya.
*** Hampir seharian Pendekar Rajawali Sakti berkeliling desa, namun orang yang
dicarinya tak kunjung tiba. Hal itu semakin membuatnya geram bukan main.
"Hm.... Mungkin utusan dewa gadungan itu tak berani menunjukkan diri pada hari
ini. Tapi, aku tak bisa menunggu sampai esok hari!" desis Rangga, bergumam
kecil. Kehidupan orang-orang di Desa Watu Jajar berjalan seperti biasa. Kebanyakan dari
mereka masih mencurigai Rangga. Bahkan tak seorang pun yang mau mendekatinya
untuk sekadar menyapa. Dan memang, mereka cenderung tak menyukai kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti. Setiap pemilik kedai makanan selalu menolak
kehadirannya. Demikian pula rumah-rumah penginapan. Bahkan orang-orang yang
berpapasan dengan Rangga lebih suka mencari jalan lain atau menyingkir jauhjauh. Seolah-olah pemuda berbaju rompi putih itu membawa wabah penyakit yang
amat menjijikkan.
Melihat keadaan itu, Rangga tak bisa menunggu lebih lama lagi. Segera kudanya
dipacu ke rumah kepala desa yang terletak di tengah-tengah desa. Memang tidak
begitu jauh. Karena sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di depan
sebuah rumah yang luas, memiliki halaman lebar. Tampak beberapa tukang pukul
yang bersenjata lengkap, berjaga-jaga di tiap sudut dan depan rumah itu. Dan
begitu melihat kehadiran Rangga, mereka kontan berdiri. Langsung dihadangnya
pemuda itu. "Kisanak! Apa perlumu ke sini"! Pergilah jauh-jauh dari desa ini!" bentak salah
seorang tukang pukul.
"Beginikah cara kalian memperlakukan seorang tamu?" Rangga mencoba tenang.
"Kami tahu, siapa kau! Kau bukan tamu, tapi pengacau! Kami sudah terlalu baik
terhadapmu. Nah, pergilah sebelum kami bertindak keras!" sahut tukang pukul yang
berpakaian biru tua itu, semakin kesal.
"Aku tak akan pergi sebelum bertemu kepala desamu dan bicara dengannya. Tolong
sampaikan kalau aku bermaksud baik. Dan aku bukan seorang pengacau seperti yang
dituduhkan," tegas Rangga dingin.
"Kisanak! Aku sudah terlalu banyak bicara padamu. Tapi, kau tak juga mengerti
gelagat. Jangan salahkan kami bila bertindak kasar padamu!" dingin suara tukang
pukul itu seraya memberi isyarat pada kawan-kawannya.
Bersamaan dengan itu beberapa tukang pukul lain yang sudah berkumpul langsung
mengurung Pendekar Rajawali Sakti dengan golok terhunus. Rangga memandang
sekilas, kemudian kembali menatap orang yang tadi bicara dengannya. Lalu
Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kudanya, dan melangkah mendekati orang
itu. Kini jarak mereka hanya dua tindak saja.
"Kisanak! Kedatanganku ke sini secara baik-baik. Lalu kenapa kalian memaksaku
untuk bertindak kasar?" tanya Rangga halus.
"Keparat! Kau pikir, siapa dirimu hingga berani mengancamku"! Huh! Ingin kulihat
sampai di mana kehebatanmu! Serang dia!" perintah tukang pukul berpakaian biru
tua yang bertampang seram itu. Rupanya, dialah yang bertindak sebagai pemimpin.
"Yeaaat...!"
Begitu selesai dengan kata-katanya, laki-laki bertampang seram itu sendiri
langsung mencabut goloknya. Langsung dibabatnya perut Rangga, diikuti kawankawannya. Rangga segera melompat ke belakang untuk menghindari babatan golok laki-laki
bertampang seram di depannya. Tubuhnya langsung melenting ke atas sambil
mengangkat kaki kanan. Dan begitu mendarat manis di tanah kepalanya langsung
direndahkan, karena dua orang lawan mengincar lehernya. Bersamaan dengan itu,
kaki kirinya melepaskan tendangan, menghantam pergelangan tangan lawan yang
berada di dekatnya, yang dibarengi kibasan tangan kiri. Begitu cepat gerakannya,
sehingga.... Plak! Duk! "Akh...!"
Kedua orang itu kontan mengeluh kesakitan, dan langsung terjajar beberapa
langkah ke belakang. Kedua golok mereka terlepas dari genggaman. Namun dua orang
lainnya langsung menerkam Rangga dengan amarah meluap, disertai babatan
goloknya. "Yeaaah...!"
"Mampus...!"
"Uts, ha...!"
Namun dengan gesit, Rangga mengelak. Tubuhnya diputar dan dimiringkan sedikit ke
kanan. Dan seketika, ujung kaki kirinya cepat bergerak menghantam rahang kedua
lawannya. Begk! "Akh...!"
"Ugkh!"
Kedua orang itu langsung menjerit kesakitan dengan tubuh sempoyongan ke
belakang. Melihat kesempatan itu, Rangga cepat melesat meninggalkan mereka menuju ke dalam
rumah kepala desa. Sedikit pun dia tidak mempedulikan para tukang pukul itu.
"Keparat! Ayo kejar dia!" bentak salah seorang, geram.
"Huh! Akan kutebas lehernya kalau kena!" dengus yang lain.
Tanpa mendapat kesulitan sedikit pun, Rangga sudah menerobos ke dalam rumah
lewat jendela yang terkuak lebar, karena pintu depan kelihatan terkunci. Begitu
tiba di dalam, terdengar teriakan terkejut dari beberapa orang perempuan serta
anak-anak. "Jangan takut! Aku tak bermaksud menyakiti kalian. Aku hanya ingin bertemu
kepala desa. Tapi, orang-orang di luar sana menghalangiku!" teriak Rangga,
keras. Orang-orang di dalam ruangan itu masih menunjukkan wajah ketakutan. Sementara,
Rangga memandang mereka satu persatu, hingga pandangannya tertuju pada seorang
laki-laki berpakaian mewah warna hitam, yang bagian tepinya bersulam kain emas.
Kepalanya memakai blangkon warna coklat berkembang-kembang hitam. Laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun dengan perut buncit itu langsung mencabut
kerisnya, dengan sikap mengancam.
"Kaukah Kepala Desa Watu Jajar?" tanya Rangga menyelidik.
"Mau apa kau"!" bentak laki-laki setengah baya itu, garang.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, jawablah dulu pertanyaanku. Apakah kau kepala
desa ini?"
"Kalau betul, apa yang kau kehendaki"!"
"Aku hanya ingin bicara. Dan, bukan bermaksud mengacau... "
Belum selesai bicara pemuda itu, keempat tukang pukul yang tadi berada di luar,
telah melompat masuk ke dalam. Dan mereka langsung mengurung pemuda itu dengan
golok terhunus. Wajah mereka tampak memancarkan kemarahan yang amat sangat.
"Orang asing tak tahu diri! Menyerahlah sekarang juga! Kalau tidak, kau akan
mampus sekarang juga! Kuhitung sampai tiga. Satu...!"
4 "Kisanak! Kuharap jangan memaksaku kembali...," ujar Rangga perlahan sambil
tersenyum kecil.
Tapi, keempat tukang pukul itu agaknya tak mempedulikan.
"Dua!"
Tukang pukul yang menjadi pimpinan itu kembali menghitung. Sementara Rangga
memandang ke arah kepala desa itu dengan sinar mata penuh kekesalan.
"Huh! Rupanya kau tak patut menjadi kepala desa. Wilayahmu terancam dan wargamu
menderita, tapi kau diam saja. Bahkan kau tak punya keberanian sedikit pun untuk
menanggulanginya. Kau halangi orang lain untuk membantu demi harga dirimu. Atau,
barangkali kau menjadi bagian dari persoalan ini sendiri?"
Setelah berkata demikian, Rangga melesat bagai kilat dari tempat itu. Begitu
cepat melesatnya, sehingga bayangannya sudah tak terlihat lagi. Semua orang yang
berada dalam ruangan itu terhenyak kaget, tidak menyangka kalau pemuda tadi
begitu cepat berkelebat. Sementara laki-laki berpakaian mewah yang merupakan
Kepala Desa Watu Jajar hanya memandang bengong, tak tahu harus berbuat apa.
"Kau tak apa-apa, Ki Wangsa?" tanya salah seorang tukang pukul, sambil
menghampiri. Kepala Desa Watu Jajar itu menggeleng lesu sambil menyarungkan keris di
tangannya. Wajahnya tampak menyiratkan kebingungan.
"Kalau begitu, kami akan segera mengejarnya, Ki. Dia telah membuat resah banyak
penduduk," kata tukang pukul itu. Kemudian tubuhnya berbalik, hendak berlalu
dari rumah itu, diikuti teman-temannya.
Kepala desa yang ternyata bernama Ki Wangsa, hendak mencegah, namun suaranya
seperti tersekat di tenggorokan. Sedangkan keempat tukang pukulnya telah cepat
berlalu. Sambil menghela napas pendek, Ki Wangsa menghempaskan diri di kursi
tepat di belakangnya.
"Kakang! Lebih baik hentikan semua ini. Bertindaklah secara tegas. Dan jangan
lagi diperbudak saudaramu yang nyata-nyata menyesatkan dirimu serta seluruh
penduduk desa ini," desah seorang wanita berusia setengah baya sambil duduk di
dekat Ki Wangsa. Walaupun telah berumur, namun gurat-gurat kecantikan pada
wajahnya masih kentara. Kulitnya juga putih bersih, terbungkus pakaian biru dari
sutera halus dengan hiasan kembang kembang warna putih. Dia memang Nyai Wangsa,
istri Kepala Desa Watu Jajar.
Ki Wangsa memandang istrinya sebentar, kemudian memberi isyarat pada dua orang
pembantunya agar membawa ketiga anaknya keluar dari ruangan itu. Segera dua
orang wanita agak tua itu menggiring tiga anak kepala desanya yang masih kecilkecil. Setelah mereka tak terlihat lagi, kembali kepala desa itu menghela napas
berat. "Aku tak bisa...," desah Ki Wangsa sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa" Bukankah kau adalah kepala desa" Kau berkuasa menentukan sesuatu atas
desa ini! Apa kau tidak malu melihat orang lain yang sama sekali bukan penduduk
desa ini, mau berjuang untuk orang-orang yang justru tak menyukai kehadirannya"
Apakah keadaan ini memang kau harapkan akan berlangsung terus, sehingga
kehancuran desa ini akan semakin cepat" Kau lihat, orang-orang mulai malas
bekerja! Sementara, korban berjatuhan semakin bertambah, akibat kebiasaan baru
mereka menghisap benda laknat itu"!" sentak Nyai Wangsa kesal.
"Sudah! Sudah! Jangan paksa aku untuk melakukan sesuatu yang tak mampu
kulakukan!" bentak laki-laki setengah baya itu garang.
"Huh! Kau hanya seorang pengecut rendah! lnikah tanggung jawabmu sebagai kepala
desa" lnikah yang akan kau banggakan pada anak-anakmu kelak"!" sahut Nyai Wangsa
seolah tak mempedulikan kemarahan suaminya.
Ki Wangsa yang sejak tadi memang mulai tak tenang dan sedikit bingung, kini
terlihat kesal mendengar ocehan-ocehan istrinya. Wajahnya terlihat garang. Dan
dengan geram, tangannya melayang ke mulut istrinya.
Plak! "Aouw...!"
Perempuan itu menjerit kesakitan, seraya mendekap bibir dengan telapak
tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung, hampir jatuh ke belakang.
"Diam kataku! Diam! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Apa yang kau ketahui dan
apa yang kau pikirkan, tak semudah apa yang bisa kau lakukan. Ini urusanku! Dan
akulah yang akan bertanggung jawab!" bentak Ki Wangsa garang.
"Huh! Itu memang urusanmu. Tapi kau tak bisa melihat kenyataan, bahwa bukan
hanya penduduk yang menjadi korban. Bahkan juga aku dan anak-anakmu! Matamu buta
dan hatimu busuk! Sehingga, akalmu menjadi buntu. Kau kelihatan menjadi binatang
liar yang pengecut!" sentak Nyai Wangsa, tak mengenai rasa takut.
Laki-laki setengah baya itu melotot garang, dan sudah hendak kembali menampar
mulut istrinya. Namun tanpa kenal rasa takut, Nyai Wangsa menyodorkan wajahnya.
"Kau ingin menamparku lagi, karena aku bicara benar" Nah, lakukanlah! Ayo,
lakukan!" "Huh!" Ki Wangsa mendengar geram, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan
tempat itu dengan langkah-langkah lebar.
Melihat suaminya berlalu, perempuan itu segera memanggil salah seorang penjaga
rumah. Tak lama, muncul seorang laki-laki kurus berkulit sawo matang. Dengan
tubuh membungkuk, dia menghadap Nyai Wangsa.
"Kau tadi melihat pemuda berbaju rompi itu, Patijan?"
Laki-laki kurus yang bernama Patijan itu mengangguk cepat.
"Nah! Temui dia, dan katakan kalau aku mengundangnya ke sini!"
'Tapi...," Patijan berusaha menolak.
"Patijan! Kau berani membantah perintahku"!" bentak Nyai Wangsa kesal.
"Eh! Tentu saja aku tak berani, Nyai!"
"Nah! Kalau demikian, segera kerjakan!"
'Tapi, bagaimana kalau Den Wangsa mengetahuinya" Dia pasti menghukumku, Nyai..."
"Katakan, kalau ini perintahku."
"Baiklah kalau demikian. Hamba pamit dulu, Nyai."
Patijan segera berbalik, dan melangkah cepat. Sebentar saja, dia sudah keluar
dari ruangan itu.
"Hm...!" perempuan itu hanya menggumam sambil mengangguk.
Ekor mata Nyai Wangsa memperhatikan Patijan sampai lenyap di balik pagar depan.
Kemudian, terlihat dia menghela napas pendek sebelum berlalu ke belakang.
*** Sementara itu, di sebuah jalan di Desa Watu Jajar, Pendekar Rajawali Sakti
tengah berjalan tenang sambil menuntun kudanya. Sengaja Dewa Bayu tak
ditungangi, karena dia ingin lebih seksama lagi memperhatikan keadaan desa ini.
Dan sejak keluar dari rumah Kepala Desa Watu Jajar tadi, Rangga bukannya tak
menyadari kalau dirinya diikuti keempat tukang pukul Ki Wangsa. Tapi dia purapura tidak tahu, dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Namun mendadak
langkahnya terhenti, ketika dari semak-semak yang ada dipinggir jalan,
bermunculan lima orang laki-laki bertubuh besar. Dan mereka langsung berdiri
tegak menghalangi jalannya. Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap tajam ke
arah mereka, dengan kening agak berkerut.
"Kisanak semua, menepilah. Aku ingin lewat di jalan ini," pinta Rangga, sopan.
"Lewatlah kalau memang kau ingin lewat. Siapa yang melarangmu?" dengus salah
seorang yang berbaju merah.
Rangga hanya tersenyum kecil karena mengetahui kalau kelima orang ini sengaja
mencari gara-gara. Meskipun salah seorang berkata begitu, tapi tak seorang pun
yang mau beranjak. Mereka tetap berdiri tegak dengan sikap mengancam.
"Baiklah, kalau kalian memang mengizinkan. Terima kasih...," sahut Rangga sambil
mengambil jalan menyamping.
"Awas! Di situ berbahaya!" teriak salah seorang yang berbaju biru tua sambil
menendang sebuah kerikil yang cukup besar ke arah pemuda itu.
Werrr! "Hup!"
Rangga yang sudah menangkap gejala tak enak, cepat mengangkat kaki kirinya ke
atas, dengan tubuh miring ke belakang. Sehingga, kerikil itu lewat satu jengkal
saja di depan perutnya. Dan belum juga Rangga memperbaiki keadaan tubuhnya...
"Di sini juga tak aman. Sebaiknya, berhati-hati!" lanjut orang memakai baju
hitam. Laki-laki itu cepat mengayunkan satu tendangan keras ke batok kepala Rangga.
"Uts!"
Rangga cepat-cepat berdiri tegak dengan tangan kiri menangkis tendangan lakilaki berbaju hitam itu.
Plak! "Ugkh...!"
Orang berbaju hitam itu kontan terjajar beberapa langkah, dengan mulut meringis.
Tampaknya, tenaga dalam yang tidak seberapa dikeluarkan Rangga, cukup membuatnya
kesakitan. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti cepat menundukkan kepala, ketika lakilaki berbaju merah di sebelah kanannya sudah mengayunkan tangan menghantam
pelipis. Sehingga, serangan itu hanya menyambar angin saja. Dan Pendekar Rajawali Sakti cepat memutar tubuhnya, lalu terus melompat ke atas. Ternyata,
benar. Dua orang yang masing-masing berpakaian hijau dan coklat bersamaan
mengayunkan tendangan ke arahnya.
"Maaf, Kisanak semua. Aku tak bisa lama-lama melayani kalian!" sahut Rangga
begitu terbebas dari dua serangan. Dan dengan gerakan cepat, Pendekar Rajawali
Sakti langsung melenting ketika kedua kakinya baru saja menjejak tanah. Sebentar
dia berputaran, lalu hinggap di punggung Dewa Bayu.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya, sehingga Dewa Bayu seketika
mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi lalu melesat cepat bagai kilat dan pergi
dari situ. "Keparat! Kau pikir bisa seenaknya kabur begitu saja"!" bentak orang yang
berbaju merah, kalap.
"Jangan biarkan dia lolos! Ayo kejar!" teriak yang lain.
Dengan kemarahan yang meluap, mereka mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang terus kabur dengan Dewa Bayu.
Sementara itu, keempat tukang pukul Kepala Desa Watu Jajar mengurungkan niat
untuk mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Karena, mereka melihat pemuda itu sudah
dikejar oleh lima orang yang menghadangnya tadi.
"Sudahlah. Lebih baik, kita kembali Pemuda itu sudah ada yang mengurusnya," kata


Pendekar Rajawali Sakti 110 Sekutu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah satu tukang pukul dengan wajah sedikit lega.
"Menurutmu, siapa kira-kira mereka?" tanya laki-laki yang berkumis tipis.
"Mana kutahu! Yang pasta, mereka bermusuhan. Biar saja sekalian berkelahi. Jadi,
kita tak repot-repot membekuknya!" desis laki-laki yang menjadi pemimpin tukang
pukul kepala desa itu.
*** Rangga harus kabur dari tempat itu, karena tidak ingin terjadi keributan di
tengah-tengah desa. Malah bisa-bisa menjadi tontonan banyak orang. Namun
sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak kabur terlalu jauh. Karena begitu telah
berada di daerah sepi dan banyak ditumbuhi pepohonan, kudanya seketika
dihentikan. Dengan gerakan manis, Rangga melompat dari punggung kudanya dan
mendarat empuk di tanah. Kini, Pendekar Rajawali Sakti berdiri dengan sikap
menanti. "Huh! Akhirnya kau tak bisa lari ke mana mana!" dengus salah seorang pengejar
yang berbaju hijau, begitu mereka tiba di tempat Rangga berdiri.
"Sudah, jangan banyak omong! Lebih baik secepatnya pemuda ini dibereskan!"
lanjut yang berbaju merah, geram.
"Hm... Kelihatannya kalian bernafsu sekali untuk melenyapkan nyawaku. Apa
sebenarnya yang kalian ingini dariku?" tanya Rangga tenang.
"Kau terlalu banyak ingin tahu di desa ini. Untuk itulah kau patut mati!" desis
orang yang berbaju coklat.
Rangga menatap tajam satu persatu orang di depannya. Kini matanya terpaku pada
laki-laki yang berbaju merah. Wajah orang itu terlihat keras, dengan sepasang
mata tajam. Kulitnya hitam kecoklatan. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di
tangannya tampak tergenggam sebilah pedang besar.
"Hm... Kalian pasti ada sangkut-pautnya dengan dewa gadungan itu," lanjut
Rangga, menyelidik.
"Kau tak perlu banyak omong, Bocah! Bersiaplah menghadapi kematianmu di tangan
Lima Utusan Setan!"
"Serang dia dan jangan dikasih hati!" lanjut yang lain sambil terus melompat
menyerang Rangga.
Rangga menundukkan kepala, ketika tendangan salah seorang dari kelompok yang
ternyata berjuluk Lima Utusan Setan itu menghantam ke arah wajahnya. Sementara
tangan kanannya bergerak menangkis tendangan serangan lain.
Plak! Orang yang tendangannya tertangkis itu kontan terjajar beberapa langkah dengan
mulut meringis kesakitan.
Begitu terbebas dari serangan, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke
depan. Karena saat itu salah seorang dari Lima Utusan Setan dengan geram
mengayunkan pedangnya membabat ke arah perut.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke depan, menjauhi lawan-lawannya.
Namun Lima Utusan Setan seperti tak sudi memberi kesempatan. Mereka langsung
merangsek pemuda itu. Maka seketika pertarungan sengit kembali terjadi.
Serangan-serangan Lima Utusan Setan memang amat deras dan bertenaga kuat. Jelas
sekali kalau mereka menginginkan kematian Rangga. Sehingga tanpa tanggungtanggung lagi, segenap kemampuan mereka dikerahkan. Dalam beberapa jurus saja,
Rangga amat kerepotan menghindari serangan-serangan gencar Lima Utusan Setan.
Memang saat itu Rangga baru mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Namun
demikian, belum ada satu pukulan pun yang mendarat di tubuhnya.
*** "Huh! Kalian hanya memancing kemarahanku saja. Baiklah. Aku akan memberi
pelajaran yang tak akan kalian lupakan! Yeaaa...!" dengus Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat menyerang salah seorang lawannya yang
terdekat. Seketika jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkannya,
walaupun masih pada tingkat permulaan.
Wuttt! Salah satu dari Lima Utusan Setan kontan terkejut dan cepat melempar tubuhnya ke
belakang, begitu tangan Rangga yang bergerak bagai sayap menyambar ke arahnya.
Namun Rangga tak meneruskan serangannya, karena ada serangan dari arah belakang.
Cepat bagai kilat tubuhnya berputar sambil mengibaskan tangan kanannya yang
terus bergerak seperti sayap. Dan...
Plak! Begitu tangan kanannya menangkis, cepat sekali kepalan tangan kiri Pendekar
Rajawali Sakti menyodok ke perut pembokongnya dengan keras.
"Hih!"
"Uts..!"
Orang itu tersentak dan cepat mengelak ke kanan. Untung saja Rangga tak
meneruskan serangan. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bahkan langsung melenting ke
atas dan berputar beberapa kali. Tapi di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti
telah merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega', disertai
tendangan keras ke arah salah satu dari Lima Utusan Setan.
Sementara, laki-laki berbaju merah yang menjadi sasaran Pendekar Rajawali Sakti
dalam keadaan belum siap. Maka sebisa mungkin ditangkisnya tendangan itu dengan
tangan kanannya.
Plak! "Akh!"
Lelaki berbaju merah itu kontan menjerit kesakitan, merasakan tulang tangannya
retak akibat benturan dengan kaki Rangga. Dan belum lagi disadari apa yang
terjadi, kaki Pendekar Rajawali Sakti yang satu lagi menghantam dadanya.
Degkh! "Aaakh...!"
Kembali orang itu memekik kesakitan ketika dadanya seperti dihantam palu besar.
Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa beberapa tombak seraya memuntahkan
darah kental kehitaman. Napasnya tampak megap-megap, seperti tercekik.
Dan baru saja Rangga menjejak manis di tanah, datang bahaya lain. Sebuah
tendangan dari laki-laki berbaju coklat menderu keras dari arah belakang.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri, sehingga serangan lawan
luput. Kemudian dengan cepat dia bangkit. Dan seketika tubuhnya melenting ke
atas sambil berputaran, ketika melihat salah seorang yang berbaju hijau melompat
dengan satu tendangan keras. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti dalam
memapak serangan itu, sehingga...
Duk! Begkh! "Wuaaa...!"
Laki-laki berbaju hijau itu kontan menjerit kesakitan, ketika kaki kanannya
dihantam papakan bertenaga dalam lumayan dari Pendekar Rajawali Sakti. Tulang
kakinya terasa patah, tanpa dapat digerakkan lagi.
Dan begitu mereka sama-sama mendarat di tanah, Rangga dengan leluasa bergerak
menghantam pinggang kirinya.
Degkh! "Aaakh...!"
Kembali orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke samping dan jatuh
ke tanah, sambil memegangi tulang pinggangnya yang patah, akibat tendangan keras
Pendekar Rajawali Sakti.
'Keparat! Kau harus mampus, yeaaa...!" dengus orang yang memakai baju biru tua
sambil mengayunkan pedangnya.
Sementara dua anggota Lima Utusan Setan yang berbaju hitam dan coklat mengurung
dari samping kiri dan kanan. Namun sebentar kemudian salah seorang malah
melemparkan senjata rahasia ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Serrr! Serrr! "Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat menundukkan kepalanya untuk menghindari
tebasan pedang laki-laki berbaju biru tua itu. Lalu seketika tubuhnya berputar,
dan langsung melenting ke atas untuk menghindari senjata rahasia yang hampir
bersarang di tubuhnya. Maka senjata itu meluncur, menghantam pohon yang berada
tepat di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Dalam keadaan masih di udara, Pendekar Rajawali Sakti meluncur turun disertai
tendangan keras menderu ke arah batok kepala laki-laki berbaju biru tua. Namun
dengan tangkas, tendangan Pendekar Rajawali Sakti ditangkisnya. Akibatnya,
tangannya jadi terasa kesemutan. Maka sambil meringis kesakitan, dia bergerak ke
samping. Namun Rangga yang sudah mendarat cepat memberikan satu sodokan keras
menderu ke arahnya. Dengan agak terkesiap, laki-laki berbaju biru itu langsung
menjatuhkan diri untuk menyelamatkan nyawanya.
Pendekar Rajawali Sakti yang berusaha mendesak, terpaksa harus melompat sambil
mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Karena salah seorang yang memakai baju hitam
membabatkan pedang ke arahnya. Tubuhnya terus mencelat mengejar laki-laki
berbaju biru, tanpa mempedulikan laki-laki yang berbaju hitam. Sedan Pendekar
Pedang Golok Yang Menggetarkan 19 Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Sian Ku Po Kiam Karya Khu Lung Patung Emas Kaki Tunggal 14

Cari Blog Ini