Ceritasilat Novel Online

Titisan Anak Setan 1

Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
TITISAN ANAK SETAN
oleh Teguh S. Cetakan pertama,
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Titisan Anak Setan
128 hal.; 12 x 18 cm
Ebook by syauqy_arr
1 "Setan keparat! Kubunuh kau! Hih...!"
Buk! "Akh!"
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu jatuh
berguling-gulingan, begitu punggungnya dihantam
pukulan tangan kekar, di atas tanah yang berlumpur
akibat hujan deras yang mengguyur bumi semalam.
Mulutnya meringis menahan rasa nyeri pada tulang
punggungnya. Namun sorot matanya teriihat begitu tajam,
menatap seorang laki-laki setengah baya bertubuh
kekar dan berotot yang memukulnya.
"Dasar anak setan! Mau melawan, heh..."!" bentak
laki-laki kekar itu sambil mendelik, begitu melihat
bocah itu menatapnya.
Tapi tampaknya bocah yang baru berusia sepuluh
tahun itu seperti tidak mempedulikan bentakan keras
menggelegar ini. Dia malah bangkit berdiri dengan
mata tetap menatap tajam pada wajah yang sudah
mulai ditumbuhi keriput itu.
"Setan! Hih...!"
Plak! Tidak terdengar keluhan sedikit pun ketika telapak
tangan laki-laki setengah baya itu menghajar wajah
bocah laki-laki ini. Bahkan kepala bocah itu hanya
bergerak sedikit saja, lalu kembali tegak dengan sorot
mata semakin memerah tajam. Rasa-rasanya, bara
api kemarahan sudah hampir meledakkan rongga
dadanya. "Dasar setan kecil! Kau benar-benar ingin
mampus, heh...!"
Laki-laki kekar berusia setengah baya ini jadi
semakin jengkel saja. Kakinya segera melangkah dua
tindak ke depan. Tangannya yang sudah kembali
terkepal, diangkat sampai ke atas kepala. Sambil
menggeram, tangannya melepaskan pukulan ke arah
kepala bocah berusia sepuluh tahun ini. Tapi...
"Hih!"
Plak! "Ikh...!"
Laki-laki kekar setengah baya itu jadi terpekik
kaget setengah mati, begitu tiba-tiba bocah bertubuh
kurus ini cepat mengangkat tangannya ke atas
kepala. Akibatnya tangan mereka beradu keras, tepat
di atas kepala bocah ini. Bukan main terkejutnya lakilaki berbaju biru dengan
sulaman benang halus
keemasan ini. Seketika pergelangan tangannya
terasa jadi nyeri. Seakan-akan seluruh tulang di
pergelangan tangannya mendadak remuk, begitu
habis berbenturan dengan tangan bocah itu.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya,
mendadak saja bocah berusia sepuluh tahun itu
menyeringai lebar sambil menggeram seperti seekor
serigala. Seketika, kedua bola mata laki-laki kekar
setengah baya itu jadi terbeliak lebar, melihat gigi-gigi
yang kecil runcing seperti binatang. Dan belum juga
bisa berpikir lebih jauh lagi, bocah itu sudah
melompat cepat sambil memperdengarkan raungan
yang begitu dahsyat mengerikan.
"Ghraaagkh...!"
Sementara laki-laki setengah baya itu hanya bisa
terbeliak lebar, tidak mampu lagi berbuat sesuatu.
Dan.... Bret! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika
terdengar begitu menyayat di pingaran Desa Marong
ini. Tampak laki-laki kekar berusia setengah baya
berpakaian biru bersulamkan benang emas yang
sangat halus ini jatuh menggelepar di tanah yang
becek dan berlumpur, begitu diterkam oleh bocah itu.
Darah mengalir keluar deras sekali dan lehernya
yang berlubang, bagaikan dikoyak kuku-kuku tajam
binatang buas. Sementara tidak jauh darinya, bocah
kecil yang tidak mengenakan baju dengan tubuh
kotor berlumpur itu berdiri tegak, memandangi tanpa
berkedip. Bola matanya memancar kemarahan,
menyiratkan kebengisan. Sedikit mulutnya menyeringai bagai hendak memperlihatkan barisbaris giginya yang runcing dan
bertaring mengerikan!
"Ghragkh...!"
Sambil menggerung keras, bocah itu menerkam
cepat ke atas tubuh orang yang kini tak berdaya di
tanah. Sementara tangan kanannya yang berkuku
runcing mengibas cepat sekali, hingga kuku-kukunya
yang runcing bagai mata pisau itu merobek dada lakilaki kekar itu. Akibatnya,
laki-laki itu kembali terpekik
sambil mengejang dan menggelepar di tanah.
Dan tepat di saat kedua kaki yang kecil itu berdiri,
orang berusia setengah baya ini sudah tidak
bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur semakin
banyak dari leher dan dadanya yang terkoyak cukup
lebar. Sementara, bocah kecil itu terus memandangi
dengan bola mata memerah.
Sebentar kemudian, bocah itu memutar tubuhnya
berbalik. Lalu kakinya melangkah gontai meninggalkan sosok tubuh yang sudah
tidak bernyawa lagi. Dia terus berjalan menjauhi Desa Marong, dan
langsung masuk ke dalam hutan yang tidak begitu
lebat, tidak jauh dan desa ini. Sebentar saja,
tubuhnya yang kecil sudah lenyap tidak teiiihat lagi.
Sementara dari arah desa, terlihat orang- orang berlarian menghampiri tempat
kejadian itu setelah mendengar teriakan dan jeritan menyayat tadi. Dan
mereka begitu terkejut, mendapat seorang laki-laki
tergeletak tidak bernyawa lagi di atas tanah berlumpur ini. Lebih terkejut lagi,
karena mereka kenal orang
ini. Dia adalah Ki Mangunta, orang yang paling
dikenal di Desa Marong. Karena, Ki Mangunta
memang seorang guru di Padepokan Bambu Kuning
yang ada di desa ini.
*** "Ini tidak bisa didiamkan. Orang yang membunuh
Mangunta harus dicari!" geram seorang laki-laki
bertubuh kurus, terbungkus pakaian jubah putih.
Rambutnya yang tergelung ke atas juga sudah berwarna putih semua. Dia adalah
guru besar yang sekaligus juga pendiri Padepokan Bambu Kuning
Namanya, Eyang Rabang.
Kabar kematian Ki Mangunta yang sangat
menyedihkan dan aneh itu cepat sekali menyebar
sampai ke pelosok desa. Sehingga, semua orang
membicarakannya, meski mayatnya sudah dikuburkan.
Mereka tidak ada yang tahu, dengan siapa Ki
Mangunta bertarung hingga tewas secara mengerikan
seperti itu. Tapi dari tanda-tanda luka yang diderita
sepertinya tubuh Ki Mangunta tercabik kuku-kuku
binatang buas. "Kalian semua menyebar ke setiap desa. Cari
pembunuh keparat itu...!" perintah Eyang Rabang.
Hari itu juga semua murid Padepokan Bambu
Kuning menyebar ke seluruh pelosok Desa Marong.
Mereka harus mencari pembunuh Ki Mangunta yang
tewas secara mengerikan, seperti tercabik binatang
buas. Namun sampai matahari tenggelam di ufuk
barat, tidak ada seorang pun yang bisa menemukan
pembunuh aneh itu. Dan memang, tidak ada seorang
pun yang melihat kejadian sebenarnya. Dan ini tentu
saja membuat Eyang Rabang semakin geram. Tapi,
laki-laki berusia enam puluh tahun itu tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Seluruh muridnya sudah dikerahkan untuk mencari. Namun
memang pembunuh
itu menghilang bagaikan setan.
Sementara malam telah merayap menyelimuti
seluruh Desa Marong ini. Tampak seorang anak lakilaki berusia sekitar sepuluh
tahun tengah berjalan
perlahan-lahan dengan kepala tertunduk, menyusuri
jalan desa yang selalu becek berlumpur ini. Kedua
kakinya yang kurus, terlihat gemetar menahan angin
dingin yang berhembus kencang menusuk tulang. Dia
terus berjalan perlahan-lahan. Sesekali dia berhenti di
depan rumah, tapi terus berjalan lagi. Kepalanya
tetap tertunduk, bagai mengikuti ayunan kakinya yang
terseok penuh tanah lumpur.
Bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun bertubuh kurus ini kembali
menghentikan ayunan
langkah kakinya, tepat di depan sebuah kedai yang
cukup ramai dikunjungi orang. Sinar matanya yang
sayu, memandangi orang-brang di dalam kedai yang
cukup besar itu. Gelak tawa dan celotehan bersuara
keras terdengar sampai keluar. Bau minuman arak
pun mewarnai malam yang semakin bertambah larut.
Beberapa saat lamanya dia masih berdiri mematung
di depan kedai itu.
Lidahnya menjulur keluar, menjilati bibirnya sendiri
yang pucat saat melihat seorang gadis cantik tengah
menikmati sekerat paha ayam yang kelihatan gurih
mengundang selera. Entah kenapa, gadis cantik
berusia sekitar dua puluh tahun dan bertubuh
ramping menggiurkan itu berpaling keluar. Dan
pandangannya langsung bertemu sorot mata bocah di
depan kedai ini. Santapannya jadi dihentikan. Sesaat
wanita itu memandangi bocah yang kelihatan kotor
dan kedinginan itu.
"Kasihan dia. Pasti kelaparan dan kedinginan,"
gumam gadis itu perlahan.
Di depan meja gadis itu, teriihat duduk seorang
pemuda yang berwajah tampan. Rambutnya panjang
tergerai. Bajunya rompi putih, dengan pedang
bergagang kepala burung tersampir di punggung.
Mendengar gumaman yang perlahan itu, pemuda ini
juga memandang keluar. Kemudian, tatapannya
beralih pada wajah cantik di depannya.
"Ajak saja dia makan bersama kita, Pandan," ujar
pemuda tampan yang bertubuh tegap dan berkulit
putih ini. "Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya gadis yang
dipanggil Pandan itu.
Pemuda di depannya ini hanya tersenyum saja.
Kalau melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda itu
adalah Rangga, yang di kalangan persilatan bergelar
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis berbaju
biru muda yang dipanggil Pandan Wangi, dikenal
sebagai si Kipas Maut. Pandan Wangi lalu segera
bangkit berdiri dari duduknya. Namun baru saja
hendak melangkah, seorang laki-laki bertubuh gemuk
berbaju dari kulit binatang melangkah keluar. Tampak
di punggungnya tersampir sebilah golok berukuran
sangat besar. Dia berdiri tegak di ambang pintu kedai
ini sambil berkacak pinggang.
Alisnya yang tebal dan hitam kelihatan berkerut,
hingga hampir menyatu di atas hidung. Dipandanginya bocah kecil yang masih tetap
berdiri di depan
kedai ini. "Hey...! Pergi kau!" bentak laki-laki itu.
Semua orang yang ada di dalam kedai itu jadi
tersentak kaget, dan langsung memalingkan wajah
keluar kedai. Tampak di depan kedai ini berdiri seorang bocah lelaki
bertelanjang dada. Tubuhnya kotor
penuh tanah lumpur yang hampir mengering.
Saat itu, seorang wanita berusia hampir setengah
baya yang wajahnya masih kelihatan cantik, bangkit
berdiri dari kursinya. Dia melangkah menghampiri
laki-laki gemuk yang masih berdiri berkacak pinggang
di ambang pintu kedai ini. "Lemparkan saja dia jauhjauh, Gombala. Selera makanku
jadi hilang melihatnya," ujar wanita yang berbaju ketat warna merah
ketus. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya
yang ramping. "Sejak tadi aku memang sudah berpikir begitu.
Pasti mereka semua juga jijik melihatnya," sahut lakilaki gemuk yang dipanggil
Gombala ini. Laki-laki kekar yang bernama Gombala langsung
saja melangkah keluar mendekati bocah kecil itu.
Sementara Pandan Wangi tadi sudah berdiri hendak
menghampiri bocah itu untuk mengajaknya makan,
jadi tersentak kaget mendengar ocehan tamu kedai
ini. Matanya lalu melirik sedikit pada Rangga yang
masih duduk di mejanya. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Maka tanpa meminta pendapat lagi, Pandan Wangi
segera melangkah keluar, seraya sedikit mendorong


Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita setengah baya yang tadi menyuruh Gombala
melempar bocah itu. "Hey..."!"
Wanita itu jadi terkejut. Hampir saja tubuhnya
tersuruk kalau tidak cepat ditangkap seorang pemuda
tampan yang duduk dekat pintu. Melihat yang
menyangga tubuhnya seorang pemuda berwajah
tampan, wanita itu jadi tersenyum manis. Langsung
dia lupa akan tindakan Pandan Wangi yang kasar
padanya tadi. Sementara Gombala sudah berada dekat di depan
bocah kecil ini. Matanya yang bulat, mendelik
bermaksud menakut-nakuti. Tapi bocah itu malah
memandangnya dengan mata tajam.
"Heh ."!"
Gombala jadi tersentak juga mendapat sorot mata
yang tajam dari bocah bertubuh kurus ini.
"Bocah setan...! Pergi kau! Aku jijik melihatmu...!"
bentak Gombala kasar.
Tapi bocah itu hanya diam saja. Bahkan semakin
tajam menatapnya.
"Setan! Mau melawan, heh..."!"
Laki-laki bertubuh gemuk ini sudah mengangkat
tangannya. Dan begitu hendak diayunkan menghantam kepala bocah itu, tiba-tiba
saja.... Gombala jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba
pergelangan tangannya ada yang mencekal kuat-kuat
Dan belum juga sempat disadari, tahu-tahu
tangannya sudah disentakkan kuat sekali. Akibatnya
keseimbangan tubuhnya tidak bisa lagi dikuasai.
Gombala kontan jatuh bergulingan di tanah yang
lembab dan agak becek ini.
"Setan alas...! Phuih!"
Sambil memaki geram, Gombala cepat bangkit
berdiri. Namun bibirnya yang tebal jadi menyeringai,
begitu melihat seorang gadis berwajah cantik sudah
berdiri di samping bocah kecil yang bertubuh kotor ini.
"He he he.... Ternyata bidadari kecil yang ingin
main-main denganku," Gombala jadi terkekeh.
"Jangan ganggu anak ini!" sentak Pandan Wangi
tegas. "Eh..."! Kenapa kau ini. ."! Apa dia adikmu...?"
"Kuperingatkan, sekali saja kau sentuh, tanganmu
kubabat buntung!" ancam Pandan Wangi, tidak mainmain.
"Ha ha ha...!"
Gombala jadi tertawa terbahak-bahak mendengar
ancaman gadis cantik yang kelihatannya lemah itu.
Dia merasa, ancaman itu membuat tenggorokannya
jadi tergelitik. Dan begitu suara tawanya terhenti,
kakinya segera melangkah beberapa tindak
mendekati. Lalu, tangannya menjulur hendak meraih
kepala bocah itu. Tapi belum juga sampai, Pandan
Wangi cepat mengibaskan tangan kirinya. Dan....
*** Gombala jadi terpekik kaget. Sungguh tidak diduga
kalau gadis cantik yang kelihatannya lemah itu bisa
mengebutkan tangannya begitu cepat, hingga tidak
diketahuinya sama sekali. Tahu-tahu, pergelangan
tangan kanannya sudah terasa nyeri. Cepat-cepat
tangannya ditarik kembali, dan melompat ke
belakang dua langkah. Dipandanginya gadis cantik
berbaju biru itu, seakan-akan tidak percaya dengan
apa yang baru saja dialaminya.
"Perempuan edan...! Mau coba-coba padaku,
heh...!" geram Gombala jadi gusar.
Tapi, Pandan Wangi hanya tersenyum sinis saja.
Sepertinya geraman laki-laki bertubuh gemuk ini tidak
dipedulikan. Dengan cepat dicekalnya pergelangan
tangan bocah itu, dan diajaknya masuk ke dalam
kedai. Namun baru saja melangkah tiga tindak,
Gombala sudah melesat cepat sekali menghadangnya. Langsung diberikannya satu
pukulan yang cukup keras ke arah dada gadis yang berjuluk si
Kipas Maut ini.
"Yeaaah..."
"Hap!"
Namun manis sekali Pandan Wangi menangkis
pukulan itu dengan tangan kiri.
Plak! "Aaakh...!"
Dan kembali Gombala terpekik kaget, begitu
pergelangan tangannya beradu dengan tangan
lembut gadis ini. Seketika pergelangan tangannya
bagaikan tersengat ribuan lebah berbisa, begitu habis
berbenturan. Cepat-cepat tangan kanannya ditarik
kembali, lalu melompat ke belakang dua langkah.
Sementara, Pandan Wangi tersenyum sinis.
"Ayo, Adik Manis. Kau pasti lapar dan kedinginan.
Di dalam sana cukup hangat dan banyak manakan.
Kau bisa memilih sesukamu," ajak Pandan Wangi,
tidak mempedulikan Gombala yang mendengus gusar
setengah mati. Gombala merasa dirinya diremehkan oleh gadis
cantik yang kelihatannya lemah di mata orang banyak
di dalam kedai. Napasnya pun langsung memburu
dengan wajah seketika memerah. Tanpa mempedulikan siapa yang dihadapi, dia langsung saja
melompat menghadang lagi, sebelum Pandan
Wangi.dan bocah itu bisa mencapai pintu kedai.
"Hiyaaa...!"
Sret! Wut! Segera saja Gombala mencabut goloknya yang
besar, dan langsung dikebutkan dengan kecepatan
sangat luar biasa ke arah leher gadis ini. Namun
hanya sedikit saja Pandan Wangi menarik kepala ke
belakang, ujung golok yang sangat besar ukurannya
itu hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Dan
tanpa diduga sama sekali, si Kipas Maut ini
menghentakkan tangan kirinya ke depan.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat hentakan tangan kiri si Kipas Maut
ini, sehingga Gombala tidak sempat lagi menyadari.
Dan saat itu juga....
Diegkh! "Akh...!"
Gombala jadi terpekik. Tubuhnya yang gemuk
kontan terpental ke belakang, hingga menembus
pintu kedai. Dan dia jatuh bergulingan di lantai kedai
ini. Sebuah meja yang terlanda tubuhnya seketika
hancur berkeping-keping. Sedangkan dua orang lakilaki tua yang tadi menempati
meja itu, cepat
melompat menghindar. Gerakan mereka cukup ringan
juga, pertanda kedua laki-laki tua yang mengenakan
baju jubah panjang berwarna biru tua itu memiliki
kepandaian tidak rendah.
"Ghrrr...! Setan keparat...!" geram Gombala.
Saat itu, Pandan Wangi sudah sampai kembali ke
mejanya. Bibirnya tersenyum begitu melihat Pendekar
Rajawali Sakti memberi senyuman manis. Pemuda
berbaju rompi putih itu mengambil sebuah kursi yang
tidak jauh di sebelahnya, dan memberikannya pada
bocah kecil ini.
"Terima kasih," ucap bocah itu pelan.
"Duduklah. Kau makan bersama kami," ajak
Rangga lembut, seraya tersenyum manis.
Saat itu Gombala sudah melangkah menghampiri
mereka. Wajahnya yang memang sudah kelihatan
beringas sejak tadi, semakin terlihat begitu tajam
memandang penuh nafsu membunuh pada Pandan
Wangi. Malah, tangannya sudah meraba gagang
goloknya, dan cepat menariknya. Lalu....
Jleb! Gombala langsung menancapkan ujung goloknya
ke meja yang ditempati Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi. Tapi sikapnya ini tidak dipedulikan
sama sekali. Pandan Wangi malah mengambil
sepotong daging ayam, dan mengigitnya dengan
nikmat. Sementara itu, Rangga juga kelihatan tidak
peduli. Malah dia meneguk minumannya hingga
tandas. Sementara, bocah kecil yang tidak
mengenakan baju itu juga sudah menikmati
makannya. Sikap mereka yang tidak mau peduli itu,
membuat Gombala semakin berang saja.
"Setan keparat...! Kalian meremehkan aku, ya..."!
Hih!" Sambil menggeram keras, Gombala mengangkat
meja itu dan langsung membantingnya hingga hancur
berkeping-keping. Tapi pada saat itu, Pandan Wangi
sudah melesat cepat bagai kilat. Sementara, Rangga
juga melesat begitu cepat sambil menyambar bocah
kecil itu. Dan tahu-tahu, mereka sudah duduk
kembali di meja yang lain. Tentu saja, hal ini
membuat Gombala semakin bertambah berang saja.
Dia menggeram bagaikan seekor binatang buas
melihat domba yang terlalu gesit mempermainkannya.
Sementara itu Rangga segera melambaikan
tangannya pada laki-laki tua pemilik kedai ini. Lakilaki yang sudah berusia
sekitar tujuh puluh lima
tahun itu bergegas menghampiri, walau kelihatan
takut melihat kemarahan Gombala yang beringas itu.
"Tolong sediakan makanan buat kami lagi, Ki. Usir
juga lalat di kedaimu ini," kata Rangga tanpa melirik
sedikit pun pada Gombala.
"Baik, Den. Tapi. .."
Belum juga pemilik kedai itu bisa melanjutkan
ucapannya, tahu-tahu tubuhnya sudah terangkat. Dan
di belakangnya sudah berdiri seorang pemuda
berwajah tampan. Tubuhnya yang tinggi tegap dan
kekar berotot, mencengkeram punggung pemilik
kedai ini, hingga terangkat cukup tinggi dari lantai.
"Menyingkir kau, Ki Tua!" bentak pemuda itu
kasar, sambil melemparkan laki-laki tua pemilik kedai
itu, bagaikan melemparkan segumpal kapas.
Laki-laki tua pemilik kedai itu jadi menjerit, begitu
tubuhnya terbanting keras sekali di atas meja.
Akibatnya meja kayu itu hancur berantakan.
Langsung dua orang pelayan menolongnya, dan membawanya masuk ke belakang kedai
ini. Sementara itu di meja yang ditempati Rangga,
Pandan Wangi, dan bocah kecil bertubuh kurus itu
sudah dikelilingi hampir seluruh pengunjung kedai ini.
Demikian pula wanita setengah baya berwajah cantik
yang tadi didorong Pandan Wangi di ambang pintu.
Mereka semua menampakkan wajah tidak senang.
Sementara, Gombala juga sudah berada tepat di
depan Pandan Wangi duduk. Tapi, tampaknya kedua
pendekar muda yang juga dikenal berjuluk Sepasang
Pendekar dari Karang Setra itu hanya diam saja,
seperti tidak peduli. Tapi, mereka sempat saling
melemparkan pandangan sesaat.
"Hhh! Lalat di sini semakin banyak saja, Pandan,"
dengus Rangga agak berat nada suaranya.
"Ya," sahut Pandan Wangi agak mendesah.
"Sebaiknya, kita cari kedai lain saja," kata Rangga
menyarankan. "Apa tidak sebaiknya lalat-lalat ini diusir saja,
Kakang?" "Aku malas, Pandan. Tidak ada gunanya," sahut
Rangga enggan. "Yeaaah..., kita cari saja kedai lain."
Mereka serentak bangkit berdiri. Rangga mencekal pergelangan tangan bocah kecil
itu. Tapi, langkah kedua pendekar muda ini jadi terhalang.
Orang-orang yang tidak senang, atau mungkin temanteman C?mbala, tentu tidak mau
melepaskan mereka
begitu saja. Terlebih lagi, Pandan Wangi sudah
membuat malu Gombala tadi.
"Bagaimana, Pandan?" tanya Rangga.
"Terobos saja, Kakang. Tidak sulit," sahut Pandan
Wangi kalem. Saat itu juga...
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Pandan
Wangi langsung melompat saimbil menghentakkan
kedua tangannya ke depan dengan kecepatan bagai
kilat. Maka dua orang yang berada tepat di depannya,
seketika terpekik dengan tubuh terpental ke
belakang. Saat itu juga, Rangga melesat cepat bagai
kilat sambil menyambar tubuh bocah kecil itu.
Kemudian Pandan Wangi juga langsung melesat
mengikuti. "Setan! Kejaaar...!" perintah Gombala geram.
Tapi sulit bagi mereka untuk mengejar kedua
pendekar muda dari Karang Setra yang langsung
mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi
mungkin. Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti
sudah lenyap cepat sekali, seperti menghilang ditelan
bumi. Sedikit pun tidak terlihat lagi bayangannya. Dan
mereka jadi berhenti, begitu sampai di luar kedai ini.
Gombala mengumpat, memaki-maki kesal. Dia begitu
penasaran, bisa dibuat jatuh bangun hanya menghadapi seorang gadis cantik yang
kelihatannya lemah
itu. "Setan! Kubunuh mereka kalau dapat! Ayo, kejar
mereka terus!"
*** 2 Malam terus merambat semakin larut. Sementara
itu Rangga dan Pandan Wangi segera menghentikan


Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

larinya, setelah berada di luar perbatasan Desa
Marong sebelah barat. Rangga menurunkan bocah
laki-laki yang sejak tadi dikepitnya dengan tangan kiri.
Bocah itu tersenyum, memandangi wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan pemuda berbaju
rompi putih ini membalas dengan senyum lebar pula.
Sementara, Pandan Wangi sudah menghempaskan
tubuhnya di atas sebatang pohon yang tumbang
sambil menghela napas panjang.
"Kenapa, Pandan...?" tegur Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Pandan Wangi, pelan.
"Kau menyesal atas kejadian barusan?" tanya
Rangga ingin tahu.
"Untuk apa disesali" Meskipun kita baru sedikit
mengisi perut, tapi lumayan juga untuk melemaskan
otot. Sudah lama aku tidak pernah bertarung lagi,
Kakang," sahut Pandan Wangi seenaknya.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum saja,
Memang sudah ada tiga purnama ini mereka tidak
menemukan tindak kejahatan. Bahkan selama pengembaraan ini, baru malam ini
menemukan desa dan mengisi perut dengan makanan yang layak. Tapi
kejadian barusan, membuat nafsu makan mereka
jadi hilang. Dan tanpa disadari mereka sama-sama
memandang bocah kecil yang bertubuh kotor penuh
lumpur ini. "Seharusnya aku memang tidak datang ke sana
tadi. Maaf, aku sudah merusak suasana makan
kalian berdua," ucap bocah itu pelan.
"Bukan salahmu, Adik Kecil. Mereka-mereka itu
memang lalat yang merasa dirinya lebih bersih dari
orang lain. Tidak sepatutnya mereka bersikap begitu
padamu. Kau juga manusia, bukan binatang menjijikkan," kata Pandan Wangi lugas.
"Aku memang menjijikkan. Mereka memang
pantas berbuat begitu padaku. Semua orang juga
akan berbuat begitu padaku. Tapi, kalian tidak jijik
dan takut padaku," kata bocah itu lagi.
"Adik kecil, siapa namamu?" tanya Rangga seraya
tersenyum. "Wicana," sahut bocah itu pelan, menyebutkan
namanya. "Malam-malam kau berkeliran. Apa tidak punya
orangtua dan tempat tinggal?" tanya Rangga
Bocah berusia sepuluh tahun yang mengaku
bernama Wicana itu hanya menggelengkan kepaia
saja sambil tertunduk. Sementara, Rangga dan
Pandan Wangi jadi saling menatap sebentar. Dan
kembali mereka mengarahkan pandangan pada
bocah kecil yang masih duduk bersila dengan kepala
tertunduk menekuri tanah berumput di depannya.
Sedangkan Rangga duduk bersila di atas pohon kayu
yang sudah tumbang ini.
"Kau orang dari Desa Marong juga?" tanya Rangga
lagi. "Bukan," sahut Wicana tetap pelan suaranya,
sambil mengangkat kepalanya sedikit.
Dan Wicana menatap Pendekar Rajawali Sakti
beberapa saat, lalu beralih pada Pandan Wangi.
Sedikit dia menghela napasnya yang kecil. Begitu
ringan hembusan napasnya, sehingga hampir tidak
terdengar. "Lalu, kau berasal dari mana?" desak Rangga.
"Aku tidak tahu," sahut Wicana tetap pelan
suaranya. "Tidak tahu...?" ujar Pandan Wangi seperti tidak
percaya. "Kau sudah cukup besar, Wicana. Paling tidak,
bisa tahu tentang dirimu. Kau tentu tahu orangtuamu,
dan di mana tempat tinggalmu," kata Rangga lagi
dengan suara lembut. "Aku dan Pandan Wangi bermaksud baik, Wicana. Kalau kau
masih punya orangtua, kami berdua akan mengantarkanmu
kembali pada orangtuamu. Tapi kalau memang
sudah tidak punya lagi, kami akan mencarikan orang
tua yang baik untukmu. Paling tidak, masih ada
hubungan saudara atau kerabat dengan orangtuamu. Atau mungkin, tetanggamu di
desa asalmu sendiri." "Aku tidak punya orangtua. Aku juga tidak tahu
asal-usulku. Yang jetas, aku tahu-tahu sudah ada di
dalam hutan. Aku pergi ke desa hanya untuk mencari
hidup. Hanya itu saja...," kata Wicana tegas.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Wicana?" tanya
Pandan Wangi masih belum percaya.
Wicana mengangguk mantap.
"Kau berani sumpah?"
"Apa itu sumpah?" tanya Wicana tampak tidak
mengerti. "Janji," ujar Rangga memberi tahu.
Wicana terdiam sesaat, kemudian mengangguk.
Rangga dan Pandan Wangi kembali saling
berpandangan, kemudian kembali menatap dengan
sorot tidak mengerti pada bocah laki-laki bertubuh
kurus dan kotor penuh tanah berlumpur ini.
Sementara, yang dipandangi hanya diam saja. Sorot
matanya yang kosong tertuju lurus ke depan, ke arah
Desa Marong yang kelihatan sunyi seperti tengah
terlelap tidur.
*** Sementara malam terus merayap semakin larut
Rangga sudah membuat api untuk mengusir hawa
dingin yang semakin menggigilkan ini. Sedangkan
Pandan Wangi sudah berpindah duduknya di samping
Pendekar Rajawaii Sakti. Dan Wicana tampak duduk
bersila dengan tubuh tegak. Sikapnya seperti orang
tengah bersemadi. Kelopak matanya tetap terbuka,
namun pandangannya sejak tadi tertuju lurus ke
depan. Kelihatannya, seperti ada yang tengah diperhatikan.
"Mereka datang...," ujar Wicana perlahan, seperti
tidak sadar. "Siapa yang datang, Wicana?" tanya Pandan Wangi
agak tersentak kaget.
Wicana juga kelihatan tersentak kaget mendengar
pertanyaan Pandan Wangi barusan. Langsung
kepalanya berpaling menatap wajah cantik gadis itu.
Kemudian tatapannya berpindah pada Pendekar
Rajawaii Sakti yang duduk bersila di samping si Kipas
Maut ini. "Maaf, aku harus pergi. Aku tidak ingin mencelakakan orang baik seperti kalian.
Maaf...," ujar
Wicana seraya bangkit berdiri.
''Wicana! Mau ke mana kau..."!" seru Pandan
Wangi. Tapi Wicana sudah berlari cepat, dan lenyap di
dalam hutan yang langsung berbatasan dengan Desa
Marong sebelah barat ini. Pandan Wangi yang sudah
hendak bangkit akan mengejar, jadi mengurungkan
niatnya. Rangga sudah menangkap pergelangan
tangan gadis itu, dan memintanya duduk lagi.
"Tidak perlu dikejar, Pandan," ujar Rangga agak
datar suaranya.
"Kenapa..." Dia masih kecil, Kakang. Kalau terjadi
sesuatu dengannya di dalam hutan, bagaimana...?"
terdengar cemas sekali nada suara Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab. Perlahan
Pendekar Rajawaii Sakti bangkit berdiri, lalu
meangkah dua tindak ke depan. Pandangan matanya
tertuju lurus ke depan. Saat itu, terdengar lolongan
anjing hutan yang sangat panjang dan memilukan
dari kejauhan. Tapi, suara lolongan itu terasa seakanakan dekat sekali di depan
mereka. Pandan Wangi
jadi berdiri juga, dan mendekati Pendekar Rajawali
Sakti. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam.
Kedua pendekar itu seperti mendengarkan alunan
lolongan anjing hutan yang begitu panjang, membuat
hati terasa seakan tergiris mendengarnya.
"Ayo kita pergi," ajak Rangga tiba-tiba.
"Ke mana.,.?" tanya Pandan Wangi.
Tapi belum juga Rangga bisa menjawab, mendadak saja berkelebat beberapa bayangan
di sekitar mereka. Dan tahu-tahu, kedua pendekar muda dari
Karang Setra ini sudah terkepung sekitar sepuluh
orang. Satu di antara mereka, adalah wanita berusia
setengah baya berbaju warna merah muda yang
cukup ketat Sehingga membentuk tubuh yang indah
dan ramping. Wajahnya juga masih kelihatan cukup
cantik. Sedangkan yang lain adalah laki-laki dengan
usia berbeda-beda. Dan mereka semua sudah
langsung mehghunus senjata masing-masing yang
beraneka ragam bentuk dan ukurannya. Memang,
merekalah orang-orang yang berada di kedai tadi.
Tampak Gombala berdiri dekat di sebelah kiri wanita
cantik berusia setengah baya yang masih kelihatan
cantik itu. "Mau pergi ke mana kalian, heh..."!" bentak
Gombala ketus. "Ke mana saja kami suka. Apa urusanmu, pakai
tanya segala...?" dengus Pandan Wangi, tidak kalah
ketusnya. "Jangan harap bisa pergi ke mana-mana, sebelum
meninggalkan kepala kalian berdua! Ha ha ha...!"
Suara tawa Gombala langsung disambut temantemannya dengan tawa terbahak-bahak
juga. Sementara, Pandan Wangi dan Rangga hanya saling
melemparkan pandangan saja. Mereka tahu, orangorang seperti Gombala dan temantemannya ini tidak
akan mau berhenti kalau belum dibuat babak belur.
Kedua pendekar itu sering berhadapan dengan orangorang seperti ini. Dan mereka
sudah tidak terkejut
lagi menghadapinya.
"Apa yang kau inginkan, Gendut?" dengus Pandan
Wangi, langsung menuding Gombala.
"Nyawamu, Cah Ayu. Tapi..., aku lebih menginginkan tubuhmu. Ha ha ha...!" sahut
Gombala, kembali tertawa terbahak-bahak.
Dan yang lainnya juga ikut tertawa. Hanya wanita
yang berada di sebelah Gombala saja yang tetap
diam membisu. Matanya menatap dengan sorot mata
tajam sekali pada Pandan Wangi seakan ingin
membakar hangus tubuh si Kipas Maut itu dengan
kilatan matanya.
"Boleh! Asal, kau bisa menjatuhkan aku, Gendut,"
tantang Pandan Wangi.
"Phuih! Kau benar-benar perempuan setan yang
sombong! Rasakan nanti!" dengus Gombala, jadi
berang. Pandan Wangi hanya tersenyum sinis saja.
Sedangkan Gombala sudah melangkah hendak
mendekati s Kipas Maut ini. Tapi ayunan kakinya jadi
terhenti, begitu tangannya dicekal wanita setengah
baya yang berada di sebelahnya.
"Dia bagianku, Gombala. Kau urus saja pemuda
itu. Tapi, ingat jangan sampai mati dulu," ujar wanita
itu, sambil menyimpan senyum penuh arti.
"Kau juga jangan membunuhnya, Rasemi," balas
Gombala sambil mendengus.
Dan mereka sama-sarna melangkah menghampiri
lawan yang diinginkan. Sementara, yang lain tetap
berada pada tempatnya, dengan sikap siap
menyerang. Sedangkan Pandan Wangi dan Rangga
masih tetap kelihatan begitu tenang. Walaupun
mereka kini berhadapan dengan dua orang yang
sudah menghunus senjata. Sementara delapan orang
yang mengepung rapat dengan senjata terhunus, siap
menunggu aba-aba.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, Gombala dan wanita
setengah baya yang dipanggil Rasemi melompat
menerjang lawan masing-masing. Tapi, tampaknya
kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah
siap sejak tadi. Dan begitu mendapat serangan,
mereka langsung bergerak cepat meliukkan tubuh
untuk menghindar.
Sementara itu, dengan gerakan sedikit berputar
Pandan Wangi melepaskan satu sodokan cepat, setelah berhasil menghindari tebasan
pedang Rasemi yang mengarah ke leher. Begitu cepat sodokan
tangan kirinya, sehingga Rasemi yang memandang
enteng jadi tersentak kaget Bahkan dia terlambat
berkelit menghindarinya. Akibatnya sodokan tangan
kiri Pandan Wangi tepat menghantam perutnya.
"Hegkh!"
Rasemi kontan terlenguh pendek. Tubuhnya
langsung terbungkuk, merasakan mual pada perutnya. Saat itu juga, Pandan Wangi
sudah melepaskan
satu pukulan yang sangat keras, disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam ke wajah wanita ini.
Plak! "Akh...!"
Rasemi jadi terpekik, begitu pukulan yang
dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam
wajahnya. Akibatnya, dia jadi terdongak ke atas. Lalu,
kembali Pandan Wangi melepaskan satu tendangan
menggeledek yang begitu cepat luar biasa langsung
menghantam dada wanita setengah baya yang masih
kelihatan cantik ini.
"Aaakh...!"
Kembali Rasemi menjerit keras. Dan seketika,
tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak ke
belakang. Salah seorang yang kebetulan berada di


Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakangnya, cepat menangkap tubuh wanita ini,
hingga tidak sampai terjerembab ke tanah.
Sementara itu, Rangga juga sudah bisa memasukkan
satu pukulan keras ke dada Gombala. Akibatnya, lakilaki gemuk ini terjajar ke
belakang sambil menjerit.
"Setan! Bunuh mereka...i" teriak Gombala geram
setengah mati. "Hiyaaa...!,,
"Yeaaah...!,,
Seketika itu juga, delapan orang yang memang
sejak tadi sudah siap menyerang, langsung berlompatan sambil berteriak-teriak.
Namun pada saat itu
juga, tiba-tiba terlihat sebuah bayangan berkelebat
begitu cepat menyambar mereka. Begitu cepat
bayangan ini bergerak, sehingga tidak ada seorang
pun yang sempat menyadari lagi. Dan....
Bret! "Akh!"
"Aaa...!"
Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang
melengking tinggi yang begitu menyayat. Tampak lima
orang langsung jatuh terkapar dengan leher terkoyak
beriumur darah. Mereka menggelepar di tanah sambil
mengerang meregang nyawa, membuat yang lain jadi
teriongong bengong tidak mengerti. Namun saat itu
juga, terlihat lagi bayangan itu berkelebat cepat bagai
kilat, membuat tiga orang ini menjerit kesakitan.
Ketiga orang itu langsung ambruk menggelepar
dengan leher juga terkoyak cukup lebar. Tampak
darah berhamburan dari leher mereka yang terkoyak.
Hanya sebentar saja mereka bisa bergerak
menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
C?mbala dan Rasemi jadi terbeliak melihat temantemannya kini sudah
bergelimpangan tidak bernyawa
lagi. Sementara, bayangan itu tidak terlihat lagi
sedikit pun juga.
Bukan hanya mereka saja yang terbelalak kaget
tidak mengerti. Tapi Rangga dan Pandan Wangi juga
jadi terlongong bengong. Saat itu, Gombala yang lebih
dulu tersadar sudah cepat memutar tubuhnya, dan
langsung berlari sambil berteriak-teriak keras seperti
ketakutan melihat hantu.
"Silumaaan...! Setaaan..!"
Rasemi yang mendengar teriakan Gombala
langsung tersentak sadar. Dan tanpa banyak bicara
lagi, tubuhnya segera melesat pergi dari tempat itu.
Tinggal Rangga dan Pandan Wangi saja yang masih
tetap diam, memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sekitarnya dengan
leher terkoyak cukup lebar. Darah masih terlihat mengalir keluar
menggenangi tanah berumput ini..
"Kau lihat, bayangan apa itu tadi, Kakang?" tanya
Pandan Wangi begitu tersadar.
"Hhh...," Rangga hanya menghembuskan napas
saja. Walaupun Pendekar Rajawali Sakti tadi sempat
melihat bayangan yang datang berkelebat begitu
cepat tadi, tapi sangat sulit untuk bisa melihat jelas.
Rangga tadi begitu terkejut. Sungguh tidak disangka
kemunculan bayangan yang begitu cepat, langsung
membantai habis orang-orang ini. Bahkan tak ada
seorang pun yang bisa menyadarinya lagi lebih dulu.
"Aaauuu...!"
Saat itu terdengar lolongan anjing yang sangat
panjang dan menyayat, membuat kedua pendekar
muda itu jadi tersentak kaget. Lolongan anjing itu
terdengar sangat dekat, seakan-akan ada di sekitar
tempat ini. Sesaat Rangga dan Pandan Wangi jadi
saling berpandangan. Tak lama, terdengar suara
bergemerisik semak belukar dari arah sebelah kanan.
Maka cepat-cepat mereka memutar tubuhnya ke
tanah. Dan.... "Wicana..."
Rangga dan Pandan Wangi mendesis bersamaan,
begitu melihat seorang bocah kecil yang bertelanjang
dada muncul dari dalam semak belukar. Bocah itu
berhenti melangkah, dan memandangi mayat-mayat
yang bergelimpangan di sekitar kedua pendekar itu.
Kemudian, ditatapnya Rangga dan Pandan Wangi
bergantian. "Kalian tadi ingin tahu, dari mana aku berasal.
Kalau masih ingin tahu, ikutlah aku," ajak Wicana,
seperti tidak peduli pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pandan Wangi dan Rangga saling melemparkan
pandangan. Dan belum juga mereka bisa membuka
mulut, Wicana sudah memutar tubuhnya dan terus
melangkah masuk kembali ke dalam semak.
Sebentar kedua pendekar muda dan Karang Setra ini
memandangi, kemudian bergegas melangkah
mengikuti. Mereka terus berjalan cepat mengikuti ayunan
langkah kaki kecil bocah itu, dan menyejajarkan
ayunan kaki di sampingnya. Semula, memang terasa
cepat jalannya. Tapi setelah disejajarkan dan diapit
dari kanan dan kiri, kedua pendekar itu merasakan
langkah kaki Wicana jadi lambat.
Cukup jauh juga mereka berjalan menembus
hutan yang tidak begitu lebat ini, sehingga cahaya
bulan cukup mampu meneranginya. Dan begitu
mereka tiba di tempat yang banyak batu-batuannya,
Wicana berhenti melangkah. Tepat di depannya
terdapat sebongkah batu paling besar, yang bagian
atasnya pipih. Batu itu berbentuk bulat, seperti
sebuah altar persembahan. Rangga dan Pandan
Wangi memandangi batu ini, searah dengan
pandangan mata bocah laki-laki yang diapitnya
"Dari batu itulah aku berasal," kata Wicana sambil
menunjuk ke arah batu bulat pipih di depannya.
"Maksudmu, kau lahir di sana, Wicana?" tanya
Pandan Wangi. "Aku tidak tahu maksudmu...," ucap Wicana.
"Maksudku, ibumu melahirkan di atas batu itu,"
Pandan Wangi menjelaskan, seraya melirik Rangga
sedikit. "Aku tidak punya ibu. Yang jejas aku tahu-tahu ada
di sana. Dan batu itu tempat asalku. Jadi, itulah
rumahku," sahut Wicana tegas.
"Kau ini aneh, Wicana. Semua orang pasti dilahirkan. Dan yang melahirkan itu
seorang ibu. Jadi
tidak mungkin muncul begitu saja dari dalam batu,"
kata Pandan Wangi semakin tidak mengerti ucapanucapan bocah ini.
"Aku berkata benar. Aku sudah ada di sana, dan
tidak tahu apa itu lahir. Aku tidak tahu, siapa ibuku.
Tahu-tahu, aku sudah ada di sana," kata Wicana lagi.
"Ya, sudahlah. Kami berdua tidak mau lagi meributkan soal asal usulmu. Yang
penting sekarang,
malam ini kita semua istirahat. Dan besok pagi, aku
akan mencarikan orang yang bisa mengurusmu
dengan baik. Kau tidak mau hidup sendirian di dalam
hutan, kan...?" ujar Rangga lembut, seraya menepuk
pundak bocah ini.
Wicana hanya diam saja.
"Benar, Wicana. Aku tidak ingin lagi melihatmu
terhina seperti sampah. Kau tidak mau jadi
gelandangan, kan...?" sambung Pandan Wangi.
Wicana tetap diam, seakan tidak mendengar apa
yang diucapkan kedua pendekar ini.
"Ayo, kita cari tempat nyaman untuk istirahat,"
ajak Rangga. Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian
melangkah meninggalkan tempat penuh batu ini. Dan
di sepanjang perjalanan, Wicana terus diam
membisu. Sementara, dalam kepala Rangga dan
Pandan Wangi masih terus bergayut teka-teki tentang
bocah ini. Mereka benar-benar tidak mengerti tentang
diri Wicana. Segala yang dibicarakan bocah ini, sama
sekali sulit diterima akal. Bahkan sepertinya Wicana
juga tidak mengerti setiap kata yang diucapkan
mereka berdua, Mereka kemudian menemukan sebuah goa yang
tidak begitu besar, tapi kelihatannya cukup bersih.
Rangga membuat api dari ranting-ranting kering yang
dikumpulkannya di sekitar goa ini, membuat udara di
dalam goa itu jadi terasa lebih hangat Sementara,
Pandan Wangi dan Wicana berbaring. Dan Rangga
masih tetap duduk tidak jauh dari mulut goa.
Pandangannya terus tertuju pada Wicana yang
berbaring tidak jauh dari Pandan Wangi.
Kening Rangga jadi berkerut, begitu mendengar
dengkur Wicana yang keras, seperti dengkur seekor
serigala. Dan dengkuran itu rupanya membuat
Pandan Wangi terbangun. Gadis itu langsung
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya Wicana yang tidur memeluk
lutut sambil mendengkur seperti binatang. Tapi, tidak ada satu kata
pun yang meluncur dari mulut mereka, walaupun
terus memandangi dengan sinar mata dipenuhi keheranan dan segudang pertanyaan.
*** 3 Menjelang pagi, Rangga dan Pandan Wangi baru
bisa tidur. Mereka sampai tidak sadar, tidur di mulut
goa dan jauh dari api unggun yang dibuat. Entah
kenapa, mereka jadi tidak kuat lagi menahan rasa
kantuknya, dan langsung jatuh tertidur dalam
keadaan duduk bersandar pada dinding goa batu ini.
Mereka baru terjaga, begitu merasakan hangatnya
sengatan cahaya matahari yang menerobos dari balik
kerimbunan daun-daun pepohonan. Mereka cepat
berdiri, seperti baru tersentak sadar dan sebuah tidur
yang sangat panjang.
"Kang,..!" sentak Pandan Wangi tiba-tiba,
mengejutkan Rangga.
Gadis itu langsung menunjuk ke arah Wicana
semalam tidur. Dan ternyata tempat itu sudah
kosong. Tidak ada lagi bocah kecil yang semalam
tidur mendengkur seperti seekor serigala di sana.
"Eh! Ke mana dia..."!" sentak Rangga seperti
bertanya sendiri.
Sejenak kedua pendekar muda itu saling
melemparkan pandang, kemudian sama-sama bergegas berlari keluar dari dalam goa
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditelitinya tanah berumput
di sekitarnya. Saat itu, keningnya jadi berkerut.
Ternyata sedikit pun tidak terlihat ada jejak kaki di
sekitar mulut goa ini.
"Aneh.... Kenapa dia meninggalkan kita, Kakang?"
tanya Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam, seperti ditujukan untuk
diri sendiri. Tentu saja Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Dia sendiri
sama sekali tidak mengerti terhadap sikap dan tindakan bocah
Itu. Segalanya serba terbalut kabut kegelapan yang
begitu tebal, hingga sulit sekali disibak. Rangga jadi
penasaran. Kembali dimasukinya goa itu dan meneliti
bekas tempat tidur Wicana semalam. Lalu, dia
kembali keluar dari dalam goa itu dengan mata
merayapi setiap jengkal tanah yang dipijak.
Tapi baru berjalan sekitar sepuluh langkah dari
mulut goa, Pendekar Rajawali Sakti kembali berhenti.
Dan kelopak matanya jadi menyipit. Perlahan tubuhnya merendah, dan menekuk
lututnya hingga
menyentuh tanah berumput cukup tebal ini.
Tangannya meraba-raba rumput yang ada di depannya. Sementara, Pandan Wangi hanya
memperhatikan saja. Sama sekali tidak dimengerti, apa yang
dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, Gadis itu jadi
heran sendiri saat Rangga mencabut sejumput
rumput dan menciumnya beberapa kali.
Perlahan Rangga bangkit berdiri lagi, namun masih
terus meneliti tanah di sekitar. Dan kini, kembali
kakinya terayun. Pandan Wangi bergegas mengikuti ayunan langkah pemuda berbaju
rompi putih ini
dari belakang. Sementara Rangga kembali berhenti,
dan mencabut sejumput rumput. Diciumnya lagi
rumput itu berulang-ulang. Pandan Wangi jadi
penasaran melihat perbuatan Pendekar Rajawali
Sakti. "Ada apa, Kakang" Kenapa kau ciumi rumput itu?"
tanya Pandan Wangi tidak dapat lagi menahan rasa
keingintahuannya.
Rangga berpaling sedikit ke kanan, menatap
Pandan Wangi yang sudah berada di sebelah
kanannya. Gadis itu semakin tidak mengerti saja
melihat pandangan mata Rangga yang terasa aneh.
Sedangkan Rangga sendiri sudah mengarah pandangan lurus ke depan.
"Sejak melihatnya pertama kali, aku sudah
merasakannya. Dan perasaan itu semakin kuat, saat
berdekatan dengannya. Tapi aku belum yakin benar,
walaupun apa yang dikatakannya sangat aneh...," ujar
Rangga terdengar bergumam, seperti berkata pada
diri sendiri. "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi
tidak mengerti.
Rangga tidak langsung menjelaskan. Ayunan
langkahnya dihentikan, dan berpaling sedikit
menatap Pandan Wangi yang berada di sebelahnya.
Terlihat jelas sekali sorot mata Pendekar Rajawali
Sakti sangat aneh, suiit dijelaskan dengan kata-kata.
Namun, Pandan Wangi bisa merasakan sesuatu yang
tersembunyi itu dalam sinar mata Pendekar Rajawali
Sakti. Sesuatu yang sudah bisa ditangkap sedikit
artinya.

Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berpikir kalau Wicana itu anak siluman,
Kakang...?" terdengar ragu-ragu nada suara Pandan
Wangi. "Entahlah, Pandan. Aku belum yakin benar.
Tapi...," kata-kata Rangga terputus.
Tepat di saat kepala Pendekar Rajawali Sakti
terangkat ke atas, terdengar jeritan panjang
melengking tinggi yang begitu menyayat. Jeritan itu
seperti jeritan seseorang menjelang ajalnya, sehingga
membuat kedua pendekar muda ini jadi tersentak
kaget. "Ayo, Pandan. Hup...!"
"Hap!"
Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung
berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan. Dan mereka terus berlari secepat
angin, menembus hutan yang tidak begitu lebat ini,
menuju arah datangnya jeritan tadi.
*** Rangga yang sudah menguasai ilmu meringankan
tubuh sempurna, sudah barang tentu berlari lebih
kencang daripada Pandan Wangi. Hingga dalam
waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali
Sakti sudah berhenti berlari. Dan dia jadi tertegun,
begitu melihat tidak jauh di depannya tergeletak
sesosok tubuh wanita dengan leher terkoyak
berlumuran darah.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa
melangkah mendekati, Pandan Wangi sudah sampai
di sampingnya. Dan gadis itu jadi terhenyak, begitu
melihat sosok tubuh wanita muda tergeletak tidak
bernyawa lagi. Lehernya tampak terkoyak begitu
lebar, hingga kepalanya hampir terlepas. Perlahan
mereka mendekati wanita yang jelas sudah tidak
bernyawa lagi itu.
"Kakang..., lukanya sama seperti yang semalam,"
desis Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit
"Jelas ini perbuatan orang yang sama, Kakang,"
tebak Pandan Wangi.
Rangga masih saja diam memperhatikan darah
yang terus mengalir dan leher yang terkoyak lebar itu.
Tidak ada sedikit pun jejak bekas pertarungan di sini.
Dan tampaknya, wanita ini juga hanya seorang wanita
desa biasa. Tak heran kaiau tidak ada tanda-tanda
bekas perlawanan sedikit pun juga. Sedangkan tidak
jauh, terlihat seonggok ikatan ranting yang akan
dijadikan kayu bakar.
Srek! "Oh...?"
Bukan hanya Rangga dan Pandan Wangi saja yang
tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar sebuah
suara dari belakang. Tampak sebuah gumpalan
semak pohon perdu bergerak sedikit. Maka cepat
Rangga melompat ke dalam semak itu. Dan....
"Jangaaan...!"
"Eh...?"
Hampir saja pukulan Pandan Wangi memecahkan
batok kepala seorang anak perempuan berusia
sekitar tiga belas tahun di dalam semak ini. Untung
saja, gerak tangannya segera ditahan. Rangga cepat
melompat keluar dari dalam semak itu, sambil
menyambar tubuh anak perempuan ini. Dan
Pendekar Rajawali Sakti kembali ke dekat Pandan
Wangi. Perlahan diturunkannya bocah berbaju lusuh
yang kelihatan ketakutan sekali ini. Wajahnya begitu
pucat, seperti tidak pernah teralirkan darah.
"Ibu...!"
Gadis kecil itu langsung berlari menghambur
sambil menjerit. Langsung ditubruknya mayat wanita
yang menggeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dia
menangis sambil memeluk wanita ini dan memanggilmanggil ibunya. Rangga dan
Pandan Wangi jadi
termangu diam mematung. Namun Pandan Wangi
lebih cepat bertindak. Segera dihampirinya gadis kecil
itu, dan pundaknya disentuh.
"Sudah..., nanti kami yang urus ibumu," ujar
Pandan Wangi lembut.
Gadis itu mengangkat kepala, dan menatap
Pandan Wangi dengan bola mata dipenuhi air bening.
Si Kipas Maut itu jadi tidak dapat lagi menahan
gejolak perasaannya. Direngkuhnya gadis itu ke
dalam pelukannya. Sementara, Rangga hanya bisa
memandangi dengan hati tidak menentu. Dan gadis
kecil itu kembali menangis dalam pelukan Pandan
Wangi. Perlahan Rangga menghampiri Pandan Wangi, lalu
berdiri di depannya. Kemudian dia berlutut, dan
tangannya menjulur ke depan perlahan-lahan. Dieluselusnya kepala gadis kecil
itu. Sulit sekali, lidahnya
digerakkan untuk memberi kata-kata yang menghibur. Sedangkan gadis kecil itu
terus menangis dalam pelukan Pandan Wangi.
"Bawa dia, Pandan. Biar ibunya aku yang urus,"
ujar Rangga meminta.
Pandan Wangi mengangguk saja, kemudian
melepaskan pelukan gadis itu dan membimbingnya
menjauhi mayat ibunya. Sementara, Rangga masih
memandangi mayat wanita yang masih kelihatan
muda itu. Dan setelah menghembuskan napasnya,
perlahan bangkit berdiri.
Pada saat yang sama, Pandan Wangi membawa
gadis kecil itu ke bawah pohon yang cukup rindang,
sehingga melindungi diri mereka dan sengatan
matahari. Gadis itu masih terus menangis, walaupun
tidak lagi memilukan seperti tadi. Hanya isaknya saja
yang terdengar. Dan wajahnya masih disembunyikan
di dada Pandan Wangi. Sementara, Rangga sudah
mulai membuat lubang untuk mengubur jasad wanita
yang tewas dengan lehet terkoyak.
"Sudahlah diam.... Relakan kepergian ibumu,"
bujuk Pandan Wangi, mencoba menghibur.
"lbuuu...," isak gadis kecil itu merintih.
Pandan Wangi jadi menggigit bibirnya sendiri.
Dipandanginya Rangga yang masih terus menggali
tanah. Cepat juga Pendekar Rajawali Sakti membuat
lubang, walaupun hanya menggunakan sepotong
batang pohon sebesar pergelangan tangan, sedikit
pun tak terlihat adanya kelelahan, karena dikerjakan
dengan pengerahan tenaga dalam. Sebentar saja
lubang yang cukup besar sudah tersedia. Kemudian
diangkatnya tubuh wanita itu, dan dimasukkannya ke
dalam lubang dengan hati-hati. Sebentar dipandanginya wanita malang itu, kemudian mulai
dikuburnya. "Ibu...," kembali gadis kecil itu merintih.
"Sssht...!"
Pandan Wangi mencoba mendiamkan anak gadis
itu dan terus memeluknya erat-erat. Sementara,
Rangga terus bekerja menguruk kembali lubang
kubua yang dibuatnya. Dan tidak berapa lama
kemudian pekerjaan itu selesai. Kembali dihampirinya Pandai Wangi. Lalu,
tubuhnya dihempaskan duduk di samping si Kipas Maut sambil
menghembuskan napas panjang. Sementara gadis
kecil dalam pelukan Pandan Wangi masih menangis
sesenggukan. Cukup lama juga Pandan Wangi baru bis
mendiamkan tangis gadis kecil ini. Meskipun sesekali
masih terdengar isaknya yang tertahan, tapi sudah
tidak lagi berada dalam pelukan si Kipas Maut itu.
Pandangan matanya tertuju pada gundukan tanah
yang masih baru. Sesekali dia merintih, memanggil
ibunya. Dan beberapa kali pula Rangga dan Pandan
Wangi saling melemparkan pandang.
"Dik...," panggil Pandan Wangi lembut.
Gadis kecil itu berpaling, menatap Pandan Wangi.
"Apa yang terjadi pada ibumu?" tanya Pandan
Wangi lembut, dan hati-hati sekali.
Gadis kecil itu masih sulit menjawab. Dihapusnya
air mata dengan punggung tangannya. Perlahan
kepalanya beralih menatap Rangga yang duduk
memeluk lutut di samping Pandan Wangi. Kemudian,
kembali ditatapnya si Kipas Maut itu.
"Bisa kau ceritakan, apa yang terjadi pada
Ibumu...?" ujar Pandan Wangi lagi, lebih lembut.
"Ibu..., ibu dibunuh...," sahut gadis kecil itu
tersendat, di sela isaknya yang tertahan.
"Siapa yang membunuhnya?" tanya Pandan Wangi
lagi, masih dengan suara lembut.
"Anak itu. Anak gembel yang sering keliaran di
desa." "Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi lagi.
Gadis itu menggelengkan kepala, tidak mengerti
pertanyaan Pandan Wangi.
"Anak itu sebesar siapa?" selak Rangga.
"Lebih tinggi daripada aku. Dia tidak pakai baju.
Badannya penuh tanah, k?tor.... Dia menerkam ibuku
seperti binatang. Me...," gadis kecil itu kembali
menangis. "Ya, sudah.... Sudah...," Pandan Wangi kembali
merengkuh ke dalam pelukannya.
Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri. Rangga
seperti mematung, memandang ke arah Pesa
Marong. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi,
setelah tangis gadis kecil itu mereda.
*** "Ayo kita antarkan dia pulang, Pandan," ajak
Rangga. Pandan Wangi mengangguk, kemudian mengajak
gadis kecil itu berdiri. Dihapusnya air mata yang
membasahi pipi gadis itu dengan lembut, kemudian,
tangannya digenggam erat-erat
"Sudah jangan menangis lagi, ya...?" bujuk
Peindan Wangi lembut.
Gadis kecil itu hanya mengangguk saja, namun
sesekali masih terisak.
"Ayo, kuantarkan pulang," ajak Pandan Wangi.
"Di mana rumahmu?"
"Tidak jauh. Di Desa Marong. Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ada juga bibiku.
Tapi, tinggalnya bukan di Desa Marong."
"Di mana?"
"Desa Mungkilan, jauh dari sini."
"Kuantar pulang dulu, baru nanti kau kuantar ke
rumah bibimu," kata Pandan Wangi berjanji.
"Terima kasih, Kak," ucap gadis kecil itu.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja.
"Ayo...," ajak Rangga.
Mereka kemudian berjalan meninggalkan pinggiran hutan itu, terus menuju ke Desa Marong.
Desa yang saat itu sedang gempar, karena semua
penduduk menemukan delapan mayat tidak jauh dari
perbatasan sebelah utara. Semua mayat itu ditemukan dengan leher berlubang,
seperti dikoyak
binatang buas. Dan semua penduduk desa itu tahu,
mereka adalah orang-orang persilatan yang kebetulan
saja semalam berada di desa ini hanya untuk
singgah. Sementara itu, Rangga, Pandan Wangi, dan gadis
kecil yang sudah memperkenalkan diri bernama
Samirah, sudah memasuki desa yang tidak begitu
besar ini. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan mereka, kecuali seorang
laki-laki tua berjubah putih. Dia tampak tengah memperhatikan dari
ambang pintu sebuah rumah. Rambut, janggut, serta
kumisnya sudah memutih semua. Kakinya lalu
melangkah keluar dari Rangga dan Pandan Wangi
sudah hampir melewati rumahnya. Dan dia sengaja
berdiri di tengah jalan, seperti menghadang. Rangga
tahu, orang tua itu sengaja menghadang, sehingga
mereka kini berhenti berjalan. Sedangkan Pandan
Wangi terus memegangi tangan Samirah erat-erat.
"Samirah, siapa mereka..."'" laki-Iaki tua itu
langsung menegur, dengan nada agak kasar.
"Kak Rangga dan Kak Pandan Wangi, Eyang.
Mereka baru saja menolongku, dan menguburkan
ibu," sahut Samirah.
"Heh..."! Menguburkan ibumu...?" laki-laki tua itu
tampak terkejut
"Ibu dibunuh anak gelandangan itu, Eyang."
Samirah kembali terisak.
"Apa,.."!"
Laki-laki tua itu jadi terlonjak, begitu terkejutnya.
Hampir disambarnya tangan Samirah, kalau saja
Rangga tidak segera mencegah.
"Tunggu dulu, jangan ganggu Samirah. Dia masih
berduka," cegah Rangga.
"Aku kakeknya. Dan aku harus tahu, apa yangl
terjadi," sergah orang tua itu. Rangga jadi agak
tertegun juga. "Eyang Rambang memang masih terhitung
kakekku, Paman Rangga," ujar Samirah cepat-cepat.


Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, maaf. Samirah tidak menceritakan tentang..."
"Ah, sudahlah... Sebaiknya, kita bicarakan saja di
dalam. Ayo...," selak orang tua yang ternyata bernama
Eyang Rambang, guru besar Padepokan Bambu
Kuning yang berada di Desa Marong ini.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolaki
lagi. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang
cukup besar, berhalaman cukup luas ini. Kedua
pendekar dari Karang Setra itu kemudian duduk di
beranda depan rumah ini. Samirah tetap duduk di
samping Pandan Wangi. Sedangkan Rangga dan
Eyang Rambang duduk saling berhadapan.
"Samirah, bagaimana kejadiannya" Ceritakan
padaku," pinta Eyang Rangga langsung.
Samirah lantas menceritakan semua peristiwa
yang membuat ibunya mati terbunuh. Semua itu
persis seperti yang diceritakan pada Rangga dan
Pandan Wangi. Dan sesekali dia berhenti terisak,
seraya menyusuri air mata dengan punggung
tangannya. Selesai bercerita, gadis cilik itu langsung
menangis memeluk Pandan Wangi.
"Hm..., jadi kalian baru mengenal Samirah di
sana...?" ujar Eyang Rambang agak menggumam.
"Benar, Eyang. Kami berdua sempat mendengar
jeritannya. Tapi begitu sampai, ibunya Samirah sudah
tidak bernyawa lagi," sahut Rangga.
"Terima kasih, kalian sudi menguburkannya," ucap
Eyang Rambang. "Maaf, Eyang. Kami terpaksa melakukannya tanpa
seizinmu," ujar Rangga sopan.
"Itu lebih baik, daripada kau bawa ke sini, Anak
Muda. Desa ini sedang kacau. Dalam beberapa hari
ini, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang
membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Sampai
sekarang, belum ada seorang pun yang tahu, siapa
pelaku pembunuhan ini. Tapi... Hm, kau kenali orang
yang membunuh ibumu, Samirah?"
"Anak-laki seusiaku, Eyang," sahut Samirah.
"Apa..."!"
Eyang Rambang jadi kaget setengah mati, mendengar yang membunuh ibunya Sumirah
hanya seorang anak kecil. Matanya sampai mendelik,
seakan tidak percaya dengan pendengarannya
sendiri. Sedangkan Samirah jadi tertunduk,
menyembunyikan wajahnya di dada Pandan Wangi.
"Dia bukan anak biasa, Eyang. Di dalam tubuhnya,
seperti mengalir darah siluman," jelas Pandan Wangi
mencoba menengahi.
"Siluman!" Kau tahu dia, Anak Muda?"
"Tidak persis, Eyang. Aku sendiri masih mendugaduga. Belum ada bukti kuat kalau
dia pelakunya,"
sahut Rangga. "Kau tahu, Anak Muda. Belum lama ini kami
semua menemukan delapan orang mati dengan leher
terkoyak. Semula dugaanku, ada binatang liar yang
masuk ke desa ini. Tapi setelah delapan orang mati
sekaligus, dugaanku jadi lain. Aku harus menemukan
pembunuh itu, Anak Muda. Padepokan bisa hancur
kalau kejadian ini dibiarkan berlarut-larut," tegas
Eyang Rambang, terdengar gusar.
"Aku bisa mengerti, Eyang. Kita akan mencarinya
bersama-sama," ujar Rangga.
Eyang Rambang jadi tersenyum mendengar
kesediaan pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan saat itu, Rangga tahu kalau
delapan orang yang
mati adalah orang-orang yang sempat bertarung
dengannya semalam. Dan Rangga juga sudah bisa
menduga, siapa pelaku pembunuhan keji itu.
4 Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak lagi,
saat Eyang Rambang memintanya tinggal untuk
sementara di rumahnya. Apalagi, kedua pendekar
dari Karang Setra itu juga harus mencari anak lakilaki yang dicurigai sebagai
biang keladi dari semua
pembunuhan kejam yang terjadi dalam beberapa hari
di Desa Marong. Sedangkan Samirah, kelihatannya
begitu enggan tinggal di rumah kakeknya ini. Dan
entah kenapa dia selalu ingin dekat dengan Pandan
Wangi. Bahkan memilih tidur satu kamar dengan
gadis berjuluk si Kipas Maut itu. Eyang Rambang
tentu saja tidak ingin menambah kesedihan Samirah.
Maka Samirah kemudian diizinkan tidur satu kamar
dengan Pandan Wangi.
"Kakang, aku masih belum yakin kalau Wicana
adalah pelaku pembunuhan itu...?" nada suara
Pandan Wangi terdengar jelas ragu-ragu.
Saat itu, mereka tengah duduk berdua saja di
beranda samping rumah Eyang Rambang, yang juga
dijadikan sebuah padepokan untuk mengajar
pemuda-pemuda Desa Marong berlatih ilmu olah
kanuragan. Sementara dari arah bagian belakang,
terdengar teriakan-teriakan murid Padepokan Bambu
Kuning yang sedang berlatih.
Rumah Eyang Rambang memang sangat besar dan
berhalaman sangat luas. Teriebih lagi di bagian
belakang yang memang cocok dijadikan sebuah
padepokan. Letak padepokan ini berada di tengahtengah desa, sehingga menjadi keuntungan bagi
Eyang Rambang. Dia tidak perlu sulit-sulit mencari
murid. Desa Marong ini menyimpan banyak anak
muda yang berbakat dalam ilmu olah kanuragan.
Dan baru-baru ini, Eyang Rambang mendapat ujian
berat. Dengan adanya kejadian pembunuhan di Desa
Marong, paling tidak dia harus bisa mengatasi
persoalan pembunuhan yang terjadi secara beruntun,
dengan luka sama pada setiap korbannya. Leher
robek seperti terkoyak taring binatang buas.
"Tapi anak itu sangat aneh, Pandan," sahut
Rangga. "Aneh bagaimana, Kakang?" tanya Pandan Wangi
tidak mengerti.
"Perhatikan saja sendiri. Bocah itu tidak tahu asalusulnya. Bahkan tidak tahu,
siapa orangtuanya. Dan
dia mengaku kalau lahir dari batu. Juga waktu
kupegang, badannya dingin seperti orang mati.
Bicaranya juga tidak menentu. Malah, dia sering tidak
mengerti apa yang kita bicarakan," ujar Rangga
memaparkan perasaan anehnya pada anak kecil yang
mereka tolong semalam.
"Memang semua itu kuperhatikan,
Kakang. Memang aneh. Tapi, apa itu bisa menjadi patokan
untuk menuduh kalau dia adalah pelakunya...?"
"Aku belum berpikir sampai ke sana, Pandan. Baru
menduga-duga saja."
"Kakang! Semua orang tahu, anak itu
gelandangan. Bahkan Eyang Rambang sendiri
mengatakan anak itu gelandangan di sini yang tidak
punya orangtua dan tempat tinggal. Tapi..., ah! Mana
mungkin anak selemah itu bisa jadi pembunuh,
Kakang...," sergah Pandan Wangi kembali ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti, Pandan. Aku akan menyelidiki terus sampai tuntas," tegas Pendekar
Rawajali Sakti.
"Ya! Kita memang harus menyelidiki dulu, dan
jangan cepat menuduh hanya karena anak itu bersikap aneh."
Mereka jadi terdiam beberapa saat lamanya.
"Pandan...."
"Hm."
"Kau ingat, apa yang dikatakan Samirah?" tanya
Rangga. "Maksudmu, orang yang membunuh ibunya...?"
Rangga mangangguk.
Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Samirah menjelaskan ciri-ciri orang yang
membunuh ibunya. Katanya, pembunuh ibunya adalah anak lakilaki seusia dirinya. Juga,
katanya anak itu
gelandangan. Sedangkan semua orang di Desa Marong ini tahu, hanya ada satu anak
gelandangan. Dan dia adalah Wicana saja di desa ini.
"Mungkin hanya mirip saja, Kakang," ujar Pandan
Wangi masih belum yakin.
"Ya, mudah-mudahan saja Samirah tak mengadaada," kata Rangga agak mendesah.
Sementara itu, malam sudah jatuh menyelimuti
seluruh Desa Marong ini. Kesunyian begitu terasa di
sini. Hanya nyanyian jangkrik dan serangga malam
saja yang terdengar. Saat itu, Pandan Wangi bangkit
berdiri. "Mau ke mana, Pandan?" tegur Rangga.
"Menengok Samirah, apakah sudah tidur, Kakang,"
sahut Pandan Wangi.
Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu terus
saja melangkah meninggalkan Rangga seorang diri.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti masih duduk di
bangku bambu yang ada di beranda samping rumah
Eyang Rambang ini. Tapi tidak lama, dia sudah
bangkit berdiri sambil menghembuskan napas
panjang. Sedangkan teriakan-teriakan murid Eyang
Rambang yang tengah berlatih masih terus terdengar.
"Sebaiknya aku keliling desa ini. Mudah-mudahan
saja menemukan petunjuk," gumam Rangga di dalam
hati. Pemuda yang selalu berbaju rompi putih itu
melangkah periahan-lahan meninggalkan rumah
Eyang Rambang yang juga dijadikan padepokan.
Ayunan langkah Pendekar Rajawali Sakti terasa
sangat ringan. Sehingga tidak terdengar suara sedikit
pun saat kakinya menjejak tanah yang selalu lembab
di desa ini. *** Entah sudah berapa lama Rangga berjalan mengelilingi Desa Marong ini. Tanpa
terasa, Pendekar
Rajawali Sakti sudah sampai di tepi desa sebelah
selatan. Tidak ada yang bisa dilihat di tempat ini,
kecuali pepohonan yang menghitam berselimut kabut
Udara pun terasa begitu dingin, hingga menusuk
tulang sumsum. Namun di dalam kesunyian yang begitu mencekam, telinga Rangga yang setajam
telinga elang menangkap suara tarikan napas yang begitu halus.
Bahkan hampir saja tidak bisa tertangkap
pendengaran telinganya. Dan belum juga Pendekar
Rajawali Sakti bisa berpikir lebih panjang lagi,
mendadak.... Slap! "Upts...!"
Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke
kanan, begitu merasakan adanya desir angin yang
sangat halus dan arah sebelah kanan belakangnya.
Tampak sebuah bayangan gelap berkelebat begitu
cepat menyambar angin kosong di samping kanan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap...!"
Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang
tiga ?angkah, begitu bayangan yang berkelebat cepat
bagai kilat itu sudah berputar balik. Bahkan kini
langsung meluruk deras ke arahnya. Sebentar
Rangga menunggu. Dan begitu bayangan itu
mendekat, cepat sekali dilepaskannya satu pukulan
tangan kanan, disertai pengerahan jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah..!"
Dugkh! "Ikh..."!"
Rangga jadi terpekik kecil, begitu pukulannya
membentur bayangan itu. Cepat Pendekar Rajawali
Sakti melompat dan berputar ke belakang. Lalu,
manis sekali kakinya menjejak tanah kembali.
Langsung matanya menatap ke depan. Dan seketika
itim juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar,
seakan tidak percaya dengan apa yang ada di depan
matanya. Sekitar satu batang tombak di depan Pendekar
Rajawali Sakti itu, berdiri tegak seorang bocah lakilaki berusia sekitar sepuluh
tahun. Tubuhnya yang
kurus dan bertelanjang dada, kelihatan kotor penuh
tanah berlumpur. Sorot matanya terlihat tajam, bagai
sepasang bola api yang hendak membakar hangus
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ohm...!"
"Heh..."!"
Rangga jadi terkesiap kaget setengah mati, begitu
tiba-tiba bocah kecu itu menggereng dan menyeringai. Paa saat menyeringai
tampaklah baris-baris
giginya yang runcing dan bertaring tajam bagai mata
pisau. Dan jari-jari tangannya yang mengembang
kaku di depan dada, terlihat ditumbuhi kuku yang
panjang runcing berwarna hitam. Wicana yang
beberapa hari lalu pernah dikenal Pendekar Rajawali
Sakti begitu lembut dan lemah, sekarang kelihatan
mengerikan sekali. Dia bagai sosok makhluk aneh
yang sangat buas, dan siap membunuh apa saja yang
bernyawa. "Ghraaaugkh...!"
Tiba-tiba saja bocah kecil berusia sekitar sepuluh
tahun itu menggeram dahsyat dan mengerikan. Dan
saat itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Tampak kedua
tangannya yang jari-jarinya berkuku runcing dan
hitam mengembang kaku bagai hendak merobek


Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hauit..!"
Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri,
menghindari terjangan bocah aneh itu. Dan bagaikan
kilat dilepaskannya satu tendangan keras, disertai
pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka
tendangan yang begitu cepat, telak menghantam
bagian lambung bocah ini.
"Ghraugkh!"
Tapi Wicana hanya terlempar setengah batang
tombak dan hanya menggerung sedikit saja. Bocah
itu kembali berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
kecil. Padahal, tadi Rangga melepaskan pukulannya
disertai tenaga dalam penuh. Bahkan sudah sangat
sempurna tingkatannya. Tapi, sedikit pun pada bocah
itu tidak terpengaruh.
"Edan...! Manusia apa setan anak ini...?" deas
Rangga jadi keheranan sendiri.
"Ghrrr...!"
Sementara Wicana sudah kembali siap. Kedua
tangannya direntangkan ke depan dengan jari-jari
yang berkuku runcing sudah terkembang lebar, siap
hendak mengoyak tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan kakinya melangkah mendekati. Dari bibimya
yang terus menyeringai, tidak henti-hentinya
mengeluarkan gerungan yang bisa membuat jantung
siapa saja yang mendengarnya akan copot seketika.
"Siapa pun kau, keluarlah dari bocah ini! Dia tidak
tahu apa-apa. Jangan siksa dia dengan segala dosa
dan bebanmu...!" desis Rangga mencoba bicara.
"Ghrrr...!"
Tapi kata-kata Rangga hanya disahuti Wicana
dengan gerengan saja. Dan kini, jarak mereka
semakin dekat saja. Perlahan Rangga menarik
kakinya ke belakang, menjaga jarak agar tidak terlalu
dekat. Disadari kalau gerakan anak itu begitu cepat
dan sulit diduga. Dia tidak ingin kecolongan, dan
terluka oleh kuku-kuku yang runcing dan hitam itu.
"Keluarlah kau...! Jangan ganggu anak ini!" sentak
Rangga lagi. "Ghrauuugkh...!"
Tiba-tiba saja Wicana meraung dahsyat Dan
seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat menerjang
Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya,
sampai-sampai membuat Rangga terpana sesaat.
*** "Hap!"
Cepat-cepat Rangga menjatuhkan din ke tanah
dan bergulingan beberapa kali, menghindari terjangan bocah aneh itu. Lalu dengan
gerakan cepat dan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat
bangkit berdiri. Tapi baru saja kakinya menjejak di
tanah, Wicana sudah kembali melompat menyerang.
Kedua tangannya cepat dikibaskan, mengarah ke
bagian-bagian tubuh Rangga yang sangat mematikan!
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga cepat-cepat mengerahkan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib'. Tubuhnya kini meliuk-liuk menghindari
setiap kibasan tangan yang berkuku runcing itu.
Jurusnya diimbangi gerakan kaki yang lincah dan sulit
diduga arahnya. Bahkan terkadang gerakannya
seperti tidak beraturan. Terkadang dia akan jatuh,
atau limbung seperti orang kebanyakan minum arak.
Tapi sampai sejauh ini, Wicana belum juga bisa
mendesak. Bahkan setiap serangannya mudah sekali
dapat dipatahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghrauuugkh...!"
Wicana kembali menggerung dahsyat, sambil
mendongakkan kepala ke atas. Dan kesempatan
yang hanya sedikit ini, tidak lagi disia-siakan Pendekar Rajawali Sakti. Dengan
kecepatan dahsyat,
dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkatan kesempurnaan.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Rangga,
sehingga Wicana tidak sempat lagi menghindarinya.
Dan.... Des! Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat
menghantam dada Wicana yang kurus seperti
kekurangan makan.
Namun.... "Akh...l"
Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu telapak
kakinya mendarat di dada bocah ini. Cepat-cepat
kakinya ditarik kembali, dan melompat sejauh
beberapa langkah sambil berputaran di udara
beberapa kali. Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak
percaya terhadap pandangannya sendiri. Bocah
bertubuh kurus yang kelihatannya sangat lemah itu,
sama sekali tidak bergeming sedikit pun saat dadanya terkena tendangan
menggeledek yang
mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna"
Bahkan Rangga sendiri yang merasakan kaki
kanannya jadi nyeri. Seakan-akan tulang-tulang kaki
kanannya jadi remuk, akibat berbenturan dengan
dada Wicana. Pendekar Rajawali Sakti segera menarik kakinya
ke belakang beberapa langkah. Dipandanginya bocah
laki-laki itu dengan sinar mata seperti tidak percaya.
Memang, itu harus cepat disadari kalau semua ini
bukan hanya mimpi, melainkan sebuah kenyataan
yang harus dihadapi.
"Hap!" Rangga kembali mempersiapkan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tampak sekali kalau
Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus mautnya
ini pada tingkat yang terakhir. Kedua kepalan
tangannya yang berada di samping pinggang jadi
berwarna merah menyala, bagai besi yang terbakar
dalam tungku. Sementara Wicana tetap berdiri tegak,
seperti tidak mempedulikan jurus dahsyat yang akan
dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Kembali Wicana menggerung dahsyat sambil
menghentakkan kedua tangannya yang seluruh
jarinya mengembang ke depan. Dan saat itu juga,
Rangga sudah melompat sambil berteriak keras
menggelegar melakukan serangan lebih dulu.
"Hiyaaat...!"
Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terbeliak
setengah mati. Wicana sama sekali tidak bergeming
sedikit pun. Bahkan sikapnya seperti sengaja menanti
serangan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga ingin
menarik kembali serangannya, tapi pukulan tangan
kanannya sudah telanjur diayunkan. Dan....
Glarrr...! "Akh...!"
Rangga kontan terpental sangat deras ke
belakang, begitu pukulan mautnya tepat menghantam dada bocah laki-laki kecil
ini. Sementara,
sedikit pun bocah itu tidak kelihatan bergeming.
Bahkan bibirnya, tersenyum melihat Rangga bergelimpangan di tanah, hingga
menabrak beberapa
batang pohon hingga tumbang. Bahkan sampai
menghancurkan beberapa bongkahan batu. Tubuh
Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, tepat di depan
sepasang kaki yang hampir tertutup jubah panjang
berwarna putih bersih.
"Menyingkirlah, Anak Muda. Dia tidak akan bisa
ditandingi dengan hanya mengandalkan jurus-jurus
biasa yang kau miliki," ujar pemilik sepasang kaki
berjubah putih itu.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengangkat
kepalanya, dan memandang ke atas. Pendekar
Rajawali Sakti lalu berdiri perlahan, terus memandangi wajah tua di depannya
ini. Tapi orang tua
berjubah putih yang rambutnya sudah memutih
semua itu sudah mengetahui gerak jurusnya. Dan hal
itu membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir
keras. Untung saja benturan dan ledakan yang terjadi tadi
tidak menimbulkan luka sedikit pun di tubuh pemuda
ini. Bahkan setelah menyalurkan hawa murni ke
seluruh tubuh, Rangga merasakan tidak ada yang
aneh dalam tubuhnya. Dia segera menarik diri,
menyingkir ke sebelah kanan. Seakan-akan, dia
memberikan kesempatan pada orang tua ini untuk
menghadapi bocah itu.
"Menyingkir yang jauh kataku, Anak Muda,"
terdengar agak membentak suara orang tua itu.
Orang tua itu langsung saja melangkah ke depan,
menghampiri Wicana yang sejak tadi masih tetap
berdiri tegak. Sorot mata bocah itu terlihat begitu
tajam, menusuk langsung ke bola mata orang tua
berjubah putih yang jaraknya semakin dekat saja.
Tidak ada sepotong senjata pun yang tersandang
pada tubuh orang tua itu, kecuali sebatang tongkat
kayu untuk membantunya berjalan.
Orang tua yang rambutnya tergelung ke atas
Dedemit Rimba Dandaka 2 Candika Dewi Penyebar Maut X Pendekar Pemetik Harpa 20

Cari Blog Ini