Ceritasilat Novel Online

Datuk Muka Hitam 1

Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Bagian 1


" 116. Datuk Muka Hitam Bag. 1
26 ?"?"?"" 2014 ". " 11:03
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: DATUK MUKA HITAM
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1? ? ? "Kubunuh kau, Muka Jelek! Hiyaaat...!"
Keras sekali teriakan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun yang mengenakan baju biru muda dari bahan sutera halus itu. Teriakannya yang keras, diiringi hentakan tangan kanan yang mengarah pada seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun.
Begitu cepat gerakan tangan anak muda itu, sehingga bocah yang berpakaian buruk seperti gembel ini tidak sempat lagi menghindarinya. Maka hantaman yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu tepat menghantam dada telanjang bocah ini.
Diegkh...!???????????????????
"Akh...!"
Bocah kecil itu kontan menjerit keras, dan tubuhnya terpental jauh ke belakang. Begitu keras hantaman tadi, sehingga bocah itu terus melayang, hingga sampai ke bibir sebuah jurang yang ada di belakangnya. Bocah itu jatuh, dan langsung bergulingan di tanah. Dan dia benar-benar tidak dapat lagi menguasai diri. Tubuhnya terus bergulingan, hingga jatuh terperosok ke dalam jurang.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan yang begitu panjang dan menyayat dari dalam jurang. Tapi tidak lama, jeritan itu lenyap bersamaan menghilangnya tubuh bocah kecil berpakaian buruk seperti gembel itu. Sementara, anak muda yang tadi menghantamnya, bergegas berlari ke tepi jurang. Kepalanya seketika dijulurkan, berusaha untuk bisa melihat tubuh bo?cah yang mungkin sudah hancur di dalam jurang.
"Heh..."!"
Tapi pemuda itu jadi terkejut setengah mati, karena di dasar jurang yang tidak begitu dalam ini sama sekali tidak terlihat ada satu sosok tubuh pun di sana. Padahal tadi sudah jelas kalau bocah kecil itu bakal hancur termakan batu-batu yang banyak bertebaran di dasar jurang.
"Mustahil...! Ke mana dia...?" desis anak muda itu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Jelas sekali dari raut wajahnya kalau anak mu?da ini jadi penasaran. Tapi begitu kakinya terayun hendak menuruni tebing jurang yang berbatu ini...
"Cukup, Widura. Tidak perlu kau turun ke sana"
Terdengar suara halus dari belakang. Maka anak muda yang ternyata bernama Widura itu tidak jadi menuruni jurang. Kepalanya berpaling sedikit, kemudian tubuhnya berbalik. Dan di depannya kini sudah terlihat seorang wanita berusia lebih dari separo baya, tapi masih kelihatan cantik dan padat. Dia berbaju cukup ketat warna putih bersih, sehing?ga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Anak itu tidak ada di jurang ini, Nyai Wisanggeni," kata Widura memberi tahu.
"Aku sudah tahu," ringan sekali sahutan wanita yang dipanggil Nyai Wisanggeni.
"Kau sudah tahu...?"
Widura jadi tidak mengerti. Dipandanginya wa?nita itu dalam-dalam. Dia sungguh heran! Karena setahunya, wanita yang bernama Nyai Wisanggeni itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya tadi. Tapi, apa yang terjadi pada anak gembel itu di da?sar jurang sana sudah bisa diketahuinya.
"Kau terlalu menganggap enteng anak itu, Widura. Seharusnya lehernya penggal saja tadi dengan golokmu," sesal Nyai Wisanggeni lagi.
"Pukulanku tadi pasti sudah membuat dadanya remuk, Nyai."
"Itu bukan berarti sudah mati, Widura. Lihatlah kenyataannya. Anak itu sekarang tidak ada lagi. Dan dia pasti masih hidup sekarang."
"Aku akan mencarinya, Nyai."
"Tidak perlu. Tidak ada gunanya lagi mencari anak itu, Widura. Ayo kita kembali saja."
Widura tidak bisa membantah lagi. Walaupun rasa penasaran masih tersimpan dalam hatinya, tapi perintah wanita ini tidak dapat ditolaknya. Dengan hati diliputi rasa kepenasaran dan terus bertanya-tanya, kaki Widura terayun juga mengikuti wanita separo baya yang masih kelihatan cukup cantik dan menggairahkan ini. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara sedikit pun. Dan sesekali kepala pemuda itu masih sempat menoleh ke belakang.
Mungkinkah anak kecil berusia tujuh tahun itu tidak mati di dasar jurang yang penuh batu..."
Walaupun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari delapan belas tahun, tapi pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Widura. Memang sulit baginya untuk melupakan peristiwa yang untuk pertama kalinya mendapat tugas menghilangkan nyawa orang lain. Padahal, hanya nyawa seorang anak gelandangan yang sangat kotor dan berwajah buruk se?kali. Tapi itu tugas yang diberikan gurunya, yang tidak mungkin dapat ditolak lagi. Meskipun dalam hati kecilnya tidak ingin melaksanakannya, tapi Nyai Wisanggeni tetap memaksa untuk melakukan kekejaman itu.
Dan sekarang, setelah delapan belas tahun ber?lalu, Widura bukan lagi seorang anak muda yang gagah. Walaupun tubuhnya tidak lagi tegak seperti dulu, tapi ketampanannya masih tetap terlihat. Bahkan tingkat kepandaiannya juga semakin bertambah. Widura sekarang menjadi seorang panglima perang Kerajaan Pakuan yang amat disegani.
Siang ini, entah kenapa Widura datang kembali ke tempat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun lalu. Sebuah daerah perbukitan yang dibelah oleh jurang yang tidak begitu dalam dan besar. Keadaannya belum banyak yang berubah, masih se?perti pertama kali dia harus melenyapkan nyawa seorang anak manusia berusia tujuh tahun pada de?lapan belas tahun yang lalu. Dan entah sudah berapa lama Widura berdiri mematung di bibir ju?rang. Sementara, para pengawal dan prajurit hanya bisa sabar menunggunya.
"Gusti Panglima" "
Tiba-tiba seorang punggawa menghampiri Panglima Widura yang masih tetap berdiri mematung di bibir jurang ini. Panglima Widura perlahan berbalik sambil menghembuskan napas panjang. Seakan, ada sesuatu yang tengah dirasakannya saat ini.
"Ada apa, Punggawa Garula?" tanya Panglima Widura datar.
"Ampun, Gusti. Sudah hampir senja. Apakah Gust ingin tetap berada di sini hingga malam?" hormat sekali tutur kata dan sikap orang yang di-panggil Punggawa Garula.
"Perintahkan semua prajurit untuk mendirikan tenda. Aku ingin tinggal di sini sampai besok pagi," sahut Panglima Widura.
"Baik, Gusti Panglima." Punggawa Garula bergegas meninggalkan panglimanya. Lalu prajurit-prajuritnya diperintahkan untuk mendirikan tenda. Walaupun ada guratan keheranan pada wajah para prajurit, tapi perintah panglimanya tetap dilaksanakan. Mereka memang tidak tahu, untuk apa Panglima Widura datang ke tepi jurang dan bermalam di sini. Dan hanya Panglima Widura sendiri yang bisa menjawabnya. Namun para prajurit tetap melaksanakan perintah junjungannya untuk mendirikan tenda. Sementara, Panglima Widura kembali memandang ke dalam jurang yang penuh batu dan sama sekali tidak ada perubahan selama delapan belas tahun.
'Tenda sudah siap, Gusti Panglima. Apakah Gusti Panglima hendak beristirahat...?" Punggawa Garula kembali datang melapor.
"Kemarilah. Punggawa," pinta Panglima Widura, tanpa berpaling sedikit pun.
Dengan sikap hormat, Punggawa Garula menghampiri panglimanya. Tubuhnya dibungkukkan se?dikit dengan telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada di sebelah kanan Panglima Widura.
"Kau tahu, Punggawa. Aku mempunyai satu kenangan pahit di sini yang tidak bisa kulupakan seumur hidup...," pelan sekali suara Panglima Wi?dura.
"Kalau boleh hamba tahu, kenangan apa itu, Gusti...?" ujar Punggawa Garula ingin tahu.
"Sulit dijelaskan, Punggawa. Tapi di tempat inilah aku pertama kali menjadi seorang pengecut yang kejam. Untuk pertama kali dalam seumur hi?dup, aku menghabisi nyawa orang," pelan sekali suara Panglima Widura.
"Ah.... Gusti Panglima pasti bergurau. Semua orang tahu, betapa gagahnya Gusti Panglima bera?da di medan perang. Kerajaan Pakuan tidak akan sebesar ini tanpa Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula tidak percaya ucapan panglimanya barusan.
"Kapan pertama kali kau menghilangkan nyawa orang lain, Punggawa?" tanya Panglima Widura.
"Hamba tidak ingat, Gusti," sahut Punggawa Garula.
"Hhh...!"
Entah kenapa, Panglima Widura jadi menarik napas panjang. Memang, Punggawa Garula ditakdirkan untuk menjadi seorang prajurit. Dan baginya, melenyapkan nyawa orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang harus dipikirkan mendalam. Terlebih lagi, menjadi kenangan seumur hidup yang tidak akan bisa terlupakan.
Sama sekali Panglima Widura tidak bisa menyalahkan Punggawa Garula yang mempunyai pendapat seperti itu. Dan memang, bukan hanya pung?gawa itu saja yang berpendapat demikian, banyak orang berpendapat sama. Terlebih lagi, bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan. Nyawa bagai tidak ada artinya sama sekali. Bahkan seringkali dibuat menjadi bahan permainan.
"Sudah gelap. Kau atur penjagaan, Pungga?wa," ujar Panglima Widura memberi perintah.
"Hamba. Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula seraya membungkuk memberi hormat.
Sementara Panglima Widura sudah melangkah menuju tendanya, Punggawa Garula segera mengatur para prajuritnya untuk bergantian berjaga malam. Dan memang, kegelapan sudah menyelimuti sebagian alam ini. Kesunyian pun sudah terasa menyelimuti hati mereka semua yang ada di tepian ju?rang ini.
? *** ? Di dalam tendanya, Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya sepicing pun. Kembali benaknya teringat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Bahkan kembali terbayang wajah bocah yang tidak berdosa itu. Si?nar mata yang redup dan memancarkan permohonan belas kasihan, tapi saat itu Widura sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan garang dihantamkannya pukulan yang bertenaga dalam cukup tinggi ke dada kurus bocah itu, hingga terjerumus masuk ke dalam jurang.
Panglima Widura merasakan udara di dalam tendanya begitu panas. Dan kakinya segera melangkah ke luar. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan tendanya, mendadak saja....
"Aaa..!"
"Heh..."! Apa itu...?"
Bukan hanya Panglima Widura yang terkejut mendengar jeritan melengking tinggi tadi. Bahkan seluruh prajuritnya juga kaget setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka segera bersiaga dengan senjata terhunus milik masing-masing. Panglima Widu?ra yang melihat Punggawa Garula, bergegas menghampiri.
"Ada apa. Punggawa?" tanya Panglima Widura langsung.
"Entahlah, Gusti...," sahut Punggawa Garula. Dan baru juga mulut Panglima Widura terbuka hendak bertanya lagi, mendadak....
"Akh...!"
"Heh..."!"
Kembali mereka dikejutkan oleh terdengarnya pekikan agak tertahan. Panglima Widura bergegas berbalik. Saat itu, terlihat seorang prajurit terhuyung-huyung ke arah panglima ini. Dan tubuhnya langsung jatuh terguling, begitu berada dekat di depan Panglima Kerajaan Pakuan ini.
"Hah..."!"
Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak kaget begitu melihat sepotong ranting kering tertancap di leher prajurit ini. Dan belum lagi rasa terkejutnya hilang, kembali terdengar jeritan nyaring melengking yang disusul ambruknya seorang praju?rit lagi, dengan sepotong ranting menembus dada.
"Siaga...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.
Seketika itu juga, seluruh prajurit yang berjumlah sekitar lima puluh orang langsung membuat lingkaran, melindungi panglimanya.
"Siapa kau"! Cepat keluar...!" teriak Panglima Widura lantang menggelegar.
Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke dalam jurang, dan menyusup di antara lebatnya pepohonan di se?kitar hutan ini. Tapi, tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Kini keadaan jadi begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tidak terdengar suara. Hanya desir angin saja yang terdengar menghembus, mengusik dedaunan. Panglima Widura mengedar?kan pandangan ke sekeliling. Dan pada saat matanya terarah ke sebelah kanan, saat itu juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menuju ke arah jurang.
"Hup?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panglima Widura segera melesat mengejar. Namun bayangan itu dalam sekejapan mata saja sudah lenyap bagai ditelan bumi. Sementara, Panglima Widura sudah berada di bibir jurang. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling.
"Aku di sini, Widura...."
"Heh..."!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu berat dari belakangnya. Cepat tubuhnya berbalik. Dan kini di hadapannya sudah berdiri seseorang yang wajahnya begitu sulit dikenali, karena tertutup sebuah caping dari jerami yang cukup besar.
Orang itu bertubuh bungkuk, terbungkus pakaian compang-camping. Tampak sebuah benjolan besar seperti tumbuh di punggungnya. Tidak ada satu senjata pun terlihat, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannva. Kelihatannya tongkat itu tidak berarti, dan hanya sekadar menyanggah tubuhnya yang bungkuk. Na?mun siapa tahu, justru di dalamnya mengandung kekuatan dahsyat.
"Siapa kau..."!" tanya Panglima Widura de?ngan suara agak keras membentak.
"Kau tentu sudah tidak lagi mengenaliku, Widura" Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, karena tubuhku seperti ini akibat perbuatanmu. Nah.. Malam ini juga aku akan membuat perhitungan padamu," terasa begitu dingin suara orang bertubuh bungkuk ini.
"Heh..."! Perhitungan apa..." Aku saja baru kali ini bertemu denganmu, Kisanak," terdengar agak terkejut nada suara Panglima Widura.
"Kau lupa, Widura. Kita pernah sekali bertemu. Namun, pertemuan itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Kau begitu kejam, Widura. Kau waktu itu mencoba membunuhku, tapi sang Hyang Widi belum menghendaki aku mati. Dan pertemuan yang kedua ini, sengaja kedatanganku untuk sedikit menghirup darahmu," masih terasa begitu dingin nada suara orang aneh itu.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Panglima Widura.
"Delapan belas tahun... Waktu yang cukup lama untuk menunggu dan membalas semua perbuatan kejimu, Widura," masih terasa begitu dingin suara orang itu, tanpa menjawab pertanyaan Panglima Widura tadi.
"Heh..."! Kau...," suara Panglima Widura jadi tercekat di tenggorokan.
Orang berpakaian kumal seperti gembel itu perlahan mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu, dibukanya tudung jerami yang menutupi kepala serta sebagian wajahnya. Dan begitu tudung jerami itu terlepas dari kepala, kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya jadi ternganga bagai melihat sosok hantu yang begitu mengerikan.
Sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya ini. Wajah orang itu demikian hitam bagai arang. Rambutnya yang jarang, dibiarkan meriap tidak teratur. Seluruh kulitnya juga hitam, penuh benjolan. Dan ketika dadanya dibuka, terlihat gambar sebuah telapak tangan berwarna merah agak kehitaman, hingga hampir tidak terlihat dalam sepintas saja.
"Kau...," suara Panglima Widura semakin tercekat.
Seketika Panglima Widura kembali teringat pada peristiwa delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Peristiwa yang sampai sekarang sulit dilupakan. Sementara, orang bertubuh hitam terbungkus pakaian kumal penuh tambalan itu tersenyum menyeringai lebar. Dengan senyum itu, dia memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tidak teratur, bagaikan barisan gigi binatang buas. Sorot matanya begitu tajam memerah, menatap lurus ke bola mata Panglima Widura. Seakan-akan, dia ingin melumat panglima itu lewat sorot matanya.
"Ya! Aku. Tapi, aku sering dipanggil Datuk Mu?ka Hitam. Dan akulah anak kecil tanpa daya yang tidak punya dosa apa-apa padamu, tapi malah ingin kau bunuh. Dan sekarang aku datang, Widura. Datang dengan membawa pembalasan," masih ter?dengar dingin sekali nada suara orang bertubuh hi?tam yang mengaku bernama Rahkapa.
"Maafkan aku, Rahkapa. Waktu itu, aku hanya menjalankan perintah saja. Aku tidak tahu apa-apa," ujar Panglima Widura bernada menyesal. "Ketahuilah, Rahkapa. Sampai saat ini aku terus menyesali semua yang telah kulakukan padamu. Itulah sebabnya, setiap saat aku datang ke sini un?tuk mengenang semua itu. "
"Hanya dengan mengenang, tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, Widura."
"Ya, aku tahu itu. Tapi, maafkanlah aku..."
"Hhh! Tidak kusangka! Orang yang begitu kejam, ternyata sekarang merintih ketakutan seperti tikus got. Di mana kegaranganmu, Panglima Widu?ra...!"
Panglima Widura hanya diam saja. Dia tahu dengan cara apa pun, Rahkapa yang sudah dikenal sebagai Datuk Muka Hitam itu tidak akan bisa memaafkan semua yang sudah dilakukannya delapan belas tahun yang lalu.
"Kau lihat, Widura. Akibat dari perbuatanmu itu, aku tidak punya lagi masa depan. Semua orang takut dan jijik melihatku. Kau harus membayar semua ini, Widura. Kau harus merasakan, bagaimana hidup terhina dan dijauhi orang," semakin dingin nada suara Rahkapa.
Panglima Widura masih tetap diam. Tapi tangannya sudah mencekal gagang pedang yang ma?sih tergantung di pinggang. Disadari, tidak ada jalan lain lagi, kecuali membela diri. Walaupun dalam hatinya merasa bersalah, tapi dia tidak mau menerima nasib begitu saja tanpa ada perlawanan sama sekali. Sementara itu, para prajurit yang bersama Panglima Widura sudah mengepung tempat ini. Ti?dak ada seorang pun yang bisa mengerti, persoalan apa yang terjadi pada diri panglimanya ini. Tapi, mereka sudah siap dengan senjata terhunus, siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal ter?jadi.
"Terimalah pembalasanku, Widura! Hiyaaa...!"
"Hap...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 116. Datuk Muka Hitam Bag. 2
26 ao?t 2014, 11:04
2 ? ? Disertai teriakan begitu keras menggelegar bagai guntur, Rahkapa menghentakkan tangan kanan?nya ke depan, setelah tongkat kayunya dipindahkan ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kanannya meluncur kilatan bola api yang begitu cepat. Akibatnya Panglima Widura jadi terkesiap sesaat. Untung tubuhnya cepat melenting ke atas. Sehingga, kilatan api dari telapak tangan laki-laki berjuluk Datuk Muka Hitam itu lewat di bawah telapak kakinya.
"Yeaaah..!"
Baru saja Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah, Rahkapa sudah berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya lagi ke depan. Maka kilatan api kembali meluncur cepat sekali ke arah panglima ini. Dan untuk kedua kalinya, Pang?lima Widura harus melenting ke udara. menghindari serangan yang sangat dahsyat ini. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian indah sekali kakinya menjejak tanah. Sementara, di belakangnya sudah berkobar api dari pepohonan yang menjadi sasaran dan serangan si Datuk Muka Hitam ini.
"Ternyata kau tangguh juga, Panglima Widura," desis Rahkapa dingin.
"Hm," Panglima Widura hanya sedikit menggumam.
"Sekarang kita mengadu jiwa, Panglima Widura. Hiyaaat...!"
"Hap!"
Cepat sekali Rahkapa melompat sambil mengayunkan tongkat kayunya ke arah kepala. Tapi de?ngan gerakan manis, Panglima Widura berhasil menghindarinya. Lalu, dia cepat melompat ke belakang dua langkah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Rahkapa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika, kilatan cahaya merah melesat ke arah panglima ini.
"Heh"! Hup...!"
Panglima Widura jadi terkesiap juga mendapat serangan yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali. Maka tubuhnya cepat melenting ke atas sam?bil berputar ke belakang. Dengan demikian serang?an Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan dengan gerakan yang begitu indah, Panglima Widura kembali menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu juga..
"Seraaang...!"
"Hey! Jangan" !"
Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Punggawa Garula berteriak keras memberi perintah untuk menyerang Datuk Muka Hitam. Panglima itu cepat-cepat berteriak mencegah, tapi para prajurit sudah lebih dulu berlompatan menye?rang orang bertubuh hitam legam ini.
"Keparat! Monyet-monyet cari mampus rupanya kalian, hah...! Yeaaah...!"
Rahkapa jadi geram mendapat serangan dari para prajurit yang sejak tadi memang sudah tidak sabar lagi melihat panglimanya diserang begitu rupa.
Sambil menggeram keras, Rahkapa cepat memutar tubuhnya sambil cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang kelihatannya seperti tak berarti. Begitu cepatnya, sehingga membuat tiga orang prajurit tidak lagi dapat menghindarinya. Dan mere?ka jadi menjerit, begitu ujung kayu Datuk Muka Hitam merobek tubuhnya. Ketiga prajurit itu seke?tika ambruk bergelimang darah.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Rahkapa yang menjuluki diri sebagai Datuk Muka Hitam itu terus bergerak cepat, mengamuk dengan sabetan tongkatnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga prajurit-prajurit dan Kerajaan Pakuan ini tidak dapat lagi menahan. Maka jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh berlumuran darah sudah mulai bergelimpangan di sekitar pertarungan ini.
Sementara, Panglima Widura yang melihat dalam beberapa gebrakan saja prajuritnya sudah banyak yang tewas, jelas tidak mau tinggal diam be?gitu saja. Terlebih lagi, Rahkapa memang bukan tandingan para prajurit yang kepandaiannya sangat rendah ini.
"Mundur kalian semua ..!" seru Panglima Widura lantang menggelegar, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Teriakan Panglima Widura yang menggelegar ini membuat para prajurit yang sedang mengeroyok Rahkapa jadi berlompatan mundur. Sementara, Rahkapa sudah berdiri tegak dengan tongkat kayu?nya tersilang di depan dada. Tampak ujung tongkat?nya sudah basah oleh lumuran darah. Dan pandangannya langsung diarahkan dengan tajam pada Panglima Widura.
"Kembali kalian ke istana!" perintah Panglima Widura pada prajurit prajurirnya.
"Tapi, Gusti...," selak Punggawa Garula terputus.
"Kembali kataku! Ini perintah, Punggawa!" bentak Panglima Widura lantang.
Punggawa Garula tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Dengan perasaan kecewa, prajurit-prajuritnya yang tersisa lantas diperintahkan untuk menjauhi tempat pertarungan di tepi jurang ini. Semen?tara Panglima Widura tetap berdiri tegak berhadapan dengan Rahkapa.
"Delapan belas tahun rupanya sudah membuatmu berubah, Widura. Kau kini sudah menjadi pemimpin yang baik," desis Rahkapa dingin, bernada mengejek.
"Ini persoalan antara aku denganmu, Rahkapa. Mereka tidak perlu ikut campur mengorbankan nyawa," dengus Panglima Widura tidak kalah di?ngin.
"Bagus! Memang hanya kau yang kuinginkan, Widura. Nah! Sekarang, bersiaplah menyambut kematianmu! Hiyaaat. !"
Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Mu?ka Hitam melesat cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Panglima Kerajaan Pakuan ini. Tongkat kayunya dikebutkan cepat sekali disertai pengerahan tenaga dalam ke arah kepala.
"Haiiit...!"
Tapi hanya sedikit saja Panglima Widura mengegoskan kepala, serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan pada saat tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya, dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diikuti pandangan mata biasa, Panglima Widura menghentakkan ta?ngan kirinya. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut lawannya ini.
"Hih!"
"Hap!"
Bet! Cepat Rahkapa mengebutkan tongkatnya berputar ke bawah, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus menarik kembali tangannya. Dan saat itu juga, Rahkapa menghentakkan kaki kirinya ke depan.
"Hap!"
Panglima Widura tak punya lagi kesempatan untuk menghindari tendangan Datuk Muka Hitam. Maka tangan kanannya cepat dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki kiri yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini. Akibatnya....
Plak! "Ikh..."!"
? *** ? Panglima Widura jadi tersentak kaget begitu tangkisannya mengenai kaki Rahkapa. Seluruh persendian tulang tangannya kontan jadi nyeri bagai retak. Rasanya, tangannya tadi seperti membentur sebongkah batu karang yang begitu keras. Cepat-cepat Panglima Widura melompat ke belakang menjaga jarak. Sedangkan Rahkapa sudah berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum lebar yang mirip sebuah seringai. Kedua bola matanya memerah liar menatap lawannya ini.
"He he he...! Kau belum mampu untuk mengalahkan aku sekarang, Widura. Sekarang, berlututlah sebelum batang lehermu kupenggal."
"Hhh!"
Panglima Widura hanya menghembuskan napas sedikit saja dengan berat. Kakinya bergeser perlahan ke kanan sambil mengurut tangannya yang masih terasa nyeri akibat berbenturan dengan kaki Datuk Muka Hitam ini. Sementara itu, agak jauh dan tepian jurang Punggawa Garula dan para prajuritnya ternyata masih terus menyaksikan dengan dada berdebar. Mereka berharap pangli?manya bisa menghancurkan manusia buruk ber?tubuh hitam itu.
"Cabut senjatamu, Panglima!" bentak Rahkapa menantang. "Kau tidak akan bisa bertahan lama tanpa senjata!"
"Jangan terlalu besar kepala, Rahkapa! Kau pikir aku sudah kalah, heh..."!" desis Panglima Wi?dura, dingin sekali.
"He he he...! Sebentar lagi ajalmu datang, Widura."
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya de?ngan sengit. Semula, dia memang merasa bersalah terhadap manusia bermuka hitam ini, sehubungan peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu. Tapi melihat kecongkakan Datuk Muka Hitam, rasa bersalahnya mendadak saja lenyap. Bahkan jadi muak melihat tingkah yang congkak merendahkan ini. Panglima Widura seperti lupa akan peristiwa delapan belas tahun lalu. Yang ada dalam kepala?nya sekarang adalah, mencari cara untuk bisa mengalahkan manusia bermuka hitam yang sangat tangguh ini.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepoi bagai kilat menerjang Datuk Muka Hitam ini. Seketika satu pukulan yang teramat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun dilepaskan ke arah kepala.
"Haiiit..!"
Tapi dengan egosan kepala yang manis sekali. Rahkapa berhasil menghindarinya. Bahkan tanpa diduga sama sekali tangan kirinya dihentakkan, memberi satu sodokan ke arah perut.
"Hap!"
Panglima Widura cepat-cepat meliukkan tubuh?nya ke udara, lalu melenting ke belakang menghindari sabetan tongkat kayu yang menyusul begitu cepat ke arah dada. Sehingga ujung tongkat yang cukup runcing itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Kemudian, manis sekali Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah.
"Hih!"
Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya dengan sempurna, Rahkapa sudah melancarkan se?rangan lagi. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tongkatnya hampir merobek tubuh panglima ini. Namun, dengan gerakan manis sekali Panglima Wi?dura bisa menghindarinya. Bahkan beberapa kali pula serangan balasannya sempat membuat Datuk Muka Hitam jadi kelabakan.
Pertarungan pun berlangsung semakin sengit saja. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Serangan-serangan dahsyat berhawa maut datang silih berganti. Rahkapa yang semula menganggap enteng Panglima Widura, kini kedua bola matanya seakan baru terbuka. Ternyata tidak mudah untuk menjatuhkan panglima ini. Walaupun kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain cukup seimbang, tapi gerakan-gerakan Panglima Widura memang lebih gesit. Dan memang, Pang?lima Widura lebih berpengalaman dalam pertarung?an.
Hingga dalam satu kesempatan, Panglima Widura melenting ke atas kepala lawannya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Panglima Widura memutar tubuhnya hingga kepa?lanya berada di bawah, tepat di belakang lawannya ini. Saat itu juga, satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke punggung. Begitu cepat serangannya, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menghin?darinya.
Buk! "Akh...!"
Rahkapa jadi terpekik keras agak tertahan, begitu punggungnya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, hampir saja kejadian delapan belas tahun yang lalu terulang. Dan kalau saja tidak segera menancapkan tongkatnya ke ta?nah, dan menjadikannya penghalang tubuhnya, pasti tubuhnya bisa terjerumus masuk ke dalam ju?rang yang penuh batu sebesar kerbau. Untung saja, dia terhindar dari kematian di dasar jurang.
"Hup!"
Cepat-cepat Rahkapa melompat bangkit berdiri. Tapi punggungnya yang berpunuk seperti unta itu jadi nyeri akibat pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang diterimanya tadi. Mulutnya meringis sedikit. Lalu tongkatnya yang sudah tercabut dari tanah di depan dada cepat diputarnya.
"Phuih!"
Wut! Wut! Wut. !
Putaran tongkat kayu itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya bentuknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran yang berputar begitu cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai
Sementara, Panglima Widura menggeser kakinya perlahan ke kanan. Tangan kanannya menggenggam pedang yang sejak tadi masih tersimpan dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan Rah?kapa terus memutar cepat tongkatnya. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaa...!"
Begitu terdengar teriakan yang sangat keras menggelegar, mendadak saja Rahkapa melepaskan tongkatnya yang berputar cepat sekali. Maka tong?kat itu meluruk deras bagai kilat dengan gerakan berputar cepat menerjang Panglima Widura.
"Hap!"
Cring! Bet! Panglima Widura cepat sekali mencabut pedangnya, dan langsung dikebutkan ke arah tongkat yang berputar meluruk deras menyerangnya.
Tring! "Heh..."!"
Untuk kedua kalinya Panglima Widura jadi terperanjat setengah mati. Seolah-olah pedangnya te?rasa membabat senjata dari baja yang begitu kuat. Dan ini membuatnya terpaksa harus melangkah ke belakang dua tindak. Sementara, tongkat kayu Datuk Muka Hitam berputar balik ke pemiliknya. Kemudian, manis sekali Rahkapa menangkap tong?katnya yang berputar melayang hampir melewati kepalanya.
"Hap! Yeaaah...!"
? *** ? Rahkapa langsung menghantamkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar bagai gunung berapi memuntahkan laharnya. Tanah yang dipijak pun jadi bergetar seperti diguncang gempa. Dan tiba-tiba saja, tanah di depan Rahkapa bergerak membelah, membuat sebuah jurang yang sangat dalam.
Panglima Widura jadi terbeliak melihat tanah yang terbelah itu cepat sekali bergerak menuju kearahnya. Bergegas tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran cepat. Sementara, tanah yang terbelah itu terus bergerak mengikuti ke mana saja Panglima Widura bergerak menghindar.
"Edan...! Ilmu apa yang digunakannya ini...?" desis Panglima Widura dalam hati.
Memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Rahka?pa. Tanah yang terbelah itu langsung merapat setiap kali kakinya melangkah ke depan. Dan tanah itu terus bergerak membelah, mengikuti setiap gerakan Panglima Widura dalam menghindar.
"Hup! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepat sekali ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga sebatang pohon di dekatnya dihantam de?ngan tangan kanannya.
Brak! Maka pohon berukuran sangat besar itu seketika tumbang hanya dengan sekali pukul saja. Sebentar saja pohon itu ambruk ke atas tanah yang berlubang dan bergerak mengarah ke panglima ini. Dan saat itu juga...
"Ikh..."!"
Rahkapa tampak terpekik kaget melihat pohon itu ambruk menjatuhi tanah berlubang yang dibuatnya ini. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke be?lakang. Dan seketika itu juga, tanah yang tadi ter?belah langsung cepat menutup kembali, menjepit pohon yang ditumbangkan Panglima Widura tadi. Tepat pada saat Datuk Muka Hitam masih terkejut, Panglima Widura sudah melesat cepat bagai kilat menyerangnya.
"Hiyaaat..!"
Bet! Cepat sekali Panglima Widura membabatkan pedangnya ke arah leher lawannya yang bermuka hitam ini. Tapi Rahkapa seolah cepat pula mengibaskan tongkatnya, menangkis serangan ini.
Trang! Kembali dua senjata itu beradu keras, sampai memercikkan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan pada saat itu juga, Panglima Widura ce?pat menghentakkan kaki kirinya ke depan, sambil meliuk hingga miring ke kanan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Panglima Widura, se?hingga Rahkapa tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Diegkh! "Akh...!"
Rahkapa kontan menjerit keras, begitu dadanya telak terhantam tendangan kaki Panglima Widura. Begitu kerasnya tendangan ini, sampai membuatnya terpental cukup jauh ke belakang. Saat itu juga Panglima Widura melesat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh mengejar lawannya.
"Yeaaah...!"
Bet! Kembali Panglima Widura membabatkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Rahkapa yang sama sekali belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sudah barang tentu tidak mungkin bisa menghindari. Namun di saat ujung pedang Panglima Widura hampir membelah dada lawannya ini, mendadak saja...
Slap! "Heh..."!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Dan belum juga hilang keterkejutannya, bayangan hitam itu sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.
"Hah" "!"
Kembali Panglima Widura terbeliak. Lenyapnya bayangan hitam itu, ternyata bersamaan de?ngan hilangnya Datuk Muka Hitam yang sedang melayang akibat terkena tendangan Panglima Wi?dura yang bertenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Hilangnya Datuk Muka Hitam bukan saja mengejutkan Panglima Widura. Bahkan Punggawa Garula dan semua prajurit yang belum meninggalkan tem?pat itu juga jadi ternganga, seperti tidak percaya.
Panglima Widura berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Begitu tersadar, pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Dan kakinya perlahan bergerak melangkah ke depan. Ayunan kakinya segera terhenti, tepat di tempat Datuk Mu?ka Hitam tadi berada sebelum menghilang ber?samaan dengan sebuah kelebatan bayangan hitam yang begitu cepat bagai kilat tadi.
"Hm...," Panglima Widura menggumam kecil. Sorot matanya tertuju pada prajurit-prajuritnya yang masih tetap berada cukup jauh dari tempatnya berdiri ini. Sedikit Panglima Widura menarik napas panjang. Dan pandangannya kemudian beralih ke arah mulut jurang yang menganga tidak jauh di sebelah kanannya. Jurang itu tampak menghitam pekat, tanpa sedikit pun mendapat cahaya. Karena memang, malam ini sama sekali tidak terlihat bulan muncul memancarkan cahaya. Langit tampak menghitam kelam terselimut awan yang begitu tebal. Dan angin pun baru terasa begitu keras berhembus, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.
Panglima Widura bergegas melangkah kembali ke tendanya begitu merasakan titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya. Sempat diperintahkannya para prajuritnya untuk masuk ke dalam tendanya masing-masing. Dan begitu tidak lagi terlihat seorang pun berada di luar, hujan seketika turun deras bagai ditumpahkan dari langit.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s

Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? 2017 " . 116. Datuk Muka Hitam Bag. 3
26. August 2014 um 11:05
3 ? ? Matahari bersinar begitu terik siang ini. Tanah yang basah terguyur hujan lebat semalam begitu cepat kering, bagai tidak pernah tersiram air sama sekali. Dan di bawah siraman cahaya matahari yang teramat terik ini, Panglima Widura tampak memacu cepat kudanya menuju arah selatan dari Kotaraja Pakuan. Kuda yang dipacu cepat itu mengakibatkan debu mengepul membubung tinggi ke angkasa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Panglima Widura semakin cepat memacu kuda?nya setelah melewati bangunan batu yang menjadi pembatas Kotaraja Pakuan. Kudanya terus dipacu cepat, menuju arah selatan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat pula kudanya dipacu.
"Hooop...!"
Panglima Widura baru menghentikan lari kuda?nya setelah tiba di sebuah hutan yang kelihatan tidak begitu lebat. Sebentar dia duduk diam di atas pelana kudanya, memandang lurus ke arah hutan di depannya. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Panglima Widura melompat turun dari punggung kudanya.
"Kau tunggu di sini. Aku tidak lama," kata Panglima Widura pada kudanya, sambil menepuk lembut leher binatang tunggangannya.
Seperti mengerti saja, kuda itu menganggukkan kepalanya sambil mendengus pendek. Sementara, Panglima Widura sudah melangkah memasuki hu?tan ini dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Hutan yang tidak begitu lebat ini memang memudahkan baginya untuk bergerak cepat. Sebentar saja Panglima Widura sudah jauh masuk ke dalam hutan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebentar, saja Panglima Widura sudah tiba di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat ini. Tampak di depannya berdiri sebuah pondok kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari belahan kayu yang sudah banyak lubangnya. Bahkan atapnya pun kelihatan seperti hendak roboh.
"Kenapa kau berdiri saja di situ, Widura. Ayo masuk...!"
Tiba tiba saja terdengar suara yang sangat nyaring dari dalam pondok. Panglima Widura yang tengah berdiri mematung, jadi tersentak kaget. Cepat kakinya melangkah menghampiri pondok kecil itu. Begitu sampai di depan pondok, tangannya segera mendorong pintu yang sudah lapuk perlahan-lahan. Bau yang tidak sedap langsung menyeruak menu?suk hidung dari dalam pondok ini. Tapi, Panglima Widura seperti tidak peduli dan terus melangkah masuk.
Pondok kecil ini ternyata hanya terdiri sebuah ruangan saja. Dan di tengah-tengahnya, tampak duduk seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya yang sudah memutih semua, dibiarkan meriap tidak teratur. Pakaiannya yang berwarna putih, sudah kelihatan usang dan mulai menguning. Sebatang tongkat berbentuk kepala ular yang menjulurkan lidah, tergeletak di sebelah kanan. Panglima Widura menghampin perempuan tua itu. Dan tanpa diminta lagi, dia duduk beralaskan sebuah tikar usang yang sudah banyak tambalannya, tepat di depan wanita tua ini.
"Terimalah sembah hormatku, Nyai Wisanggeni," ucap Panglima Widura seraya memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Sudah! Tidak perlu bersikap begitu di depanku, Widura. Ingat, ini bukan di istana."
"Maaf, Nyai."
"Kau datang ke sini tentu membawa persoalan. Apa yang membuat pikiranmu kalut di Istana Pa?kuan, Widura?" tanya wanita tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, guru tunggal panglima perang dari Kerajaan Pakuan ini.
"Benar, Nyai," sahut Panglima Widura singkat.
"Persoalan apa yang kau bawa dari istana?" tanya Nyai Wisanggeni lagi.
"Bukan dari istana, Nyai."
"Lalu...?"
Panglima Widura tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan begitu berat untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sementara, Nyai Wisanggeni hanya memandangi dengan sorot mata begitu tajam, langsung menembus kedua bola mata muridnya ini.
"Katakan, Widura. Persoalan apa yang sedang kau hadapi sekarang?" desak Nyai Wisanggeni.
"Maaf, Nyai. Ini persoalan lama. Persoalan yang terjadi delapan belas tahun yang lalu," ujar Pangbma Widura pelan.
"Hm.... Jangan bermain tebak-tebakan denganku, Widura. Katakan saja dengan jelas."
"Nyai.... Apakah Nyai ingat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di pinggir ju?rang sebelah timur Kerajaan Pakuan" Dalam peris?tiwa itulah untuk pertama kalinya aku harus melenyapkan nyawa orang...," ujar Panglima Widura, pelan dan terputus.
"Kenapa kejadian lama mesti diungkit lagi, Widura?"
"Anak itu, Nyai...," kembali suara Panglima Widura terputus.
"Apa maksudmu dengan anak itu, Widura?"
"Anak itu masih hidup, Nyai. Dan dia ingin membalas dendam padaku."
"Hik hik hik...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Nyai Wisanggeni jadi tertawa terkikik mendengar penuturan murid tunggalnya. Sedangkan Panglima Widura hanya diam saja tertunduk.
"Kenapa jadi ketakutan begitu, Widura" Kau sekarang seorang panglima. Dan aku sudah mempersiapkan dirimu agar bisa memegang tampuk kekuasaan di Pakuan kelak. Jangan membuatku malu Widura...! Hanya persoalan bocah gembel saja, membuatmu jadi seperti tikus!" agak mendengus nada suara Nyai Wisanggeni.
'Tapi, Nyai.... Anak itu sekarang sudah lain. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan aku sempat bertarung dengannya," selak Panglima Widura mencoba menjelaskan.
"Keparat...! Kau memuji orang lain di depanku, Widura...!" sentak Nyai Wisanggeni dengan mata mendelik lebar.
"Maaf, Nyai. Bukan maksudku begitu. Tapi...."
"Kau kalah...?" potong Nyai Wisanggeni ce?pat.
"Tidak, Nyai. Aku bahkan hampir menewaskannya. Tapi...."
'Tapi kenapa, Widura?"
"Tiba-tiba saja datang orang menolongnya."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Aku tidak sempat melihat jelas. Orang itu muncul tiba-tiba dengan gerakan cepat. Dan anak itu langsung dibawanya pergi sebelum aku sempat menyadari Tapi, aku menduga kalau dia gurunya. Nyai."
"Hm, bodoh! Percuma saja aku mengajarimu kepandaian kalau hanya masalah itu saja tidak bisa mengatasi," dengus Nyai Wisanggeni, tidak senang.
"Maaf, Nyai. Aku hanya merasa kalau ini bukan persoalan biasa lagi. Anak itu pasti akan muncul kembali dengan kekuatan baru. Bahkan dia bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuhku dan juga kau, Nyai "
"Hhh! Dia boleh coba?" dengus Nyai Wisanggeni
"Maaf, Nyai. Kedatanganku hanya untuk menyampaikan itu saja. Aku ingin agar kau hati-hati," ujar Panglima Widura.
"Jangan menasihatiku, Widura. Pikirkan saja dirimu! Yang penting sekarang, jangan pikirkan bo?cah gelandangan itu. Kau harus memusatkan perhatian pada rencanamu. Rencana kita berdua. Pakuan harus bisa kau rebut ingat itu...."
"Aku tidak akan melupakannya, Nyai."
"Bagus...! Sekarang, pergilah."
"Baik, Nyai."
Setelah memberi hormat, Panglima Widura kemudian bangkit berdiri. Kakinya terus melangkah keluar meninggalkan gurunya ini. Panglima Widura terus melangkah cepat tanpa berpaling lagi ke belakang, keluar dari dalam hutan ini.
? *** ? Panglima Widura memacu cepat kudanya meninggalkan hutan di sebelah selatan Kotaraja Paku?an. Sementara, matahari sudah mulai condong ke arah barat. Kudanya terus dipacu cepat tanpa se?dikit pun berpaling ke belakang. Pikirannya benar-benar kalut saat ini. Wajah bocah kecil yang dilemparkannya ke dalam jurang terus membayang di pelupuk matanya. Tapi entah kenapa, gurunya justru sama sekali tidak menghiraukan. Padahal, seka?rang bocah itu bukan lagi seorang anak yang lemah tanpa daya. Tapi seorang pemuda berwajah buruk yang memiliki kesaktian dahsyat.
Panglima Widura memperlambat lari kudanya saat melihat sebuah kedai yang berdiri tidak jauh dari perbatasan masuk ke kota. Kedai itu kelihatan sunyi, seperti tidak ada pengunjungnya. Apalagi letaknya terlalu jauh dari daerah pemukiman penduduk. Panglima Widura menghentikan langkah kudanya setelah tiba di depan kedai yang cukup terbuka bagian depannya. Dengan gerakan ringan sekali, dia melompat turun. Sebentar diamatinya bagian dalam kedai itu.
Hanya ada tiga orang saja di dalam kedai yang tidak begitu besar ini. Panglima Widura mengayunkan kakinya, memasuki kedai. Seorang laki-Iaki tua tampak tergopoh-gopoh menghampiri dari da?lam, dan menyambutnya dengan senyum lebar dan tutur kata ramah. Panglima Widura tersenyum se?dikit, lalu melangkah masuk mengikuti orang tua yang ternyata pemilik kedai. Orang tua itu memilihkan tempat dekat dengan jendela yang besar dan terbuka lebar. Sebentar Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat.
Di sudut ruangan kedai ini, terlihat sepasang manusia menghadapi dua guci arak dan makanan yang cukup nikmat. Dan di sudut satu lagi, terlihat seorang berpakaian serba hitam yang duduk membelakangi Panglima Widura, sehingga sulit untuk dapat melihat wajahnya. Panglima Widura tidak menghiraukan mereka. Dipesannya makanan dan seguci arak pada pemilik kedai ini yang masih menunggui dengan sabar.
"Jangan terlalu lama Ki," pesan Panglima Widura sebelum orang tua pemilik kedai itu meninggalkannya.
"Baik, Den," sahut pemilik kedai itu.
Tapi belum juga orang tua itu melangkah jauh, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup berat
"Berikan saja punyaku padanya. Nih...!"
"Heh..."!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba melayang sebuah gelas bambu ke arahnya. Cepat tangannya dikibaskan, menangkap gelas itu dengan mantap sekali. Gelas penuh berisi minuman arak yang berbau harum itu tidak tumpah sedikit pun. Mata Panglima Widura langsung tertuju pada orang yang duduk membelakanginya.
"Terima kasih, Kisanak," ucap Panglima Widura lembut. "Tapi, maaf. Aku sudah memesannya tadi. Dan kuharap, kau mau menerima kembali minumanmu."
Wusss! Disertai pengerahan tenaga dalam, Panglima Widura kembali melemparkan gelas bambu itu pada orang yang duduk membelakanginya. Seketika gelas bambu itu meluncur deras mengarah ke bagian belakang kepala. Tapi tanpa berpaling sedi?kit pun, orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan tangan kirinya. Dan..., tepat sekali gelas bambu yang hampir menghantam bagian belakang kepalanya ditangkap.
"Kau terlalu angkuh menerima pemberian seorang miskin seperti aku, Panglima Widura."
"Heh..."! Kau tahu namaku..."!" Panglima Widura jadi terperanjat.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, orang berpakaian serba hitam itu sudah melesat cepat. Dan tahu-tahu, dia sudah berdiri tidak jauh di depan meja yang ditempati Panglima Widura. Tampak wajah orang itu demikian hitam, seperti arang. Kedua bola matanya terlihat lebar, tidak memiliki kelopak. Sehingga, kelihatannya hampir keluar. Sedang bibir bagian atasnya juga hilang, hingga baris-baris giginya yang besar menghitam jadi ter?lihat jelas. Pada kedua pipi dan keningnya dipenuhi benjolan kecil, yang membuat wajahnya semakin kelihatan buruk. Dan Panglima Widura jadi terkesiap melihatnya.
Sementara itu, orang tua pemilik kedai ini sudah menghilang entah ke mana. Sedangkan dua orang pengunjung kedai yang lain masih tetap berada pada mejanya. Mereka seperti tidak mempedulikan peristiwa yang terjadi di dalam kedai ini. Sepasang anak muda itu terus menikmati hidangannya. Tapi, sesekali salah seorang yang ternyata seorang gadis cantik berbaju biru muda dengan gagang pedang tersembul dari balik punggung, memperhatikan Panglima Widura yang masih tetap duduk di kursinya memandangi wajah buruk di depannya.
"Siapa kau" Aku tidak mengenalmu," terdengar agak dingin suara Panglima Widura.
"Kau memang belum mengenalku, Panglima Widura. Tapi, kau tentu sudah kenal muridku. Bahkan kau hampir saja membunuhnya untuk kedua kali," sahut orang berwajah hitam dan buruk ini tidak kalah dingin.
"Heh"! Kau..."!"
Kembali Panglima Widura jadi terkesiap, dan suaranya tersekat di tenggorokan. Terbayang lagi wajah Rahkapa yang hitam dan hampir mirip orang yang kini berada di depannya. Tapi orang ini jauh lebih buruk lagi. Bahkan benjolan-benjolan yang ada di kedua tangannya mengeluarkan cairan berlendir yang menyebarkan bau tidak sedap memualkan perut.
"Akulah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya, Panglima Widura," orang bermuka hitam dan buruk itu memperkenalkan dirinya. "Sudah sejak tadi kau kutunggu di sini. Aku ingin meminta tanggung jawabmu atas semua yang kau lakukan pada Rahka?pa. Dia muridku satu-satunya. Dan kini, dia harus terkurung oleh luka yang kau buat kemarin."
"Itu salahnya sendiri. Dia tidak mau mendengarkan penjelasanku!" sentak Panglima Widura.
"Kau benar-benar keparat yang berkedok panglima, Widura. Sepantasnya, kau jadi pembunuh bayaran saja. Bukan menjadi panglima perang. Dan aku tahu maksud terselubung yang ada dalam kepalamu, Widura. Kau menjadi panglima hanya sebagai kedok saja, karena ada maksud jahat lain dalam kepalamu!"
"Edan...! Jangan sembarangan menuduh kau!" bentak Panglima Widura, langsung memerah wajahnya.
"Kenyataanlah yang mengatakan begitu, Widura. Di depanku kau tidak bisa lagi mengelak"
"Setan keparat! Kau sama saja dengan murid jelekmu itu! Hih...!"
? *** ? Tiba-tiba saja Panglima Widura menyambar sebuah mangkuk kecil di atas mejanya, dan langsung dilemparkan ke arah Datuk Muka Hitam di?sertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi hanya menggerakan badannya sedikit saja, Datuk Muka Hitam berhasil menghindarinya. Mangkuk kecil itu melesat melewati samping kiri tubuhnya, dan terus meluncur menghantam tiang yang ada di tengah-tengah ruangan kedai ini.
Brak! Begitu tinggi tenaga dalam Panglima Widura yang dikerahkan, sehingga tiang yang terbuat dari kayu pohon berukuran cukup besar itu hancur berkeping-keping. Dan tentu saja ini membuat atap kedai jadi berderak.
"Hup!"
Melihat atap kedai akan roboh, Panglima Widu?ra cepat melesat ke luar dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Datuk Muka Hitam juga bergegas melesat mengejarnya. Sepasang anak muda yang sejak tadi tidak peduli terhadap kejadian di dekatnya, mau tidak mau ikut melompat ke luar. Dan saat mereka semua sudah berada di luar, kedai itu pun roboh karena tiang penyangganya sudah han?cur terkena lemparan mangkuk kecil tadi.
Sementara itu, Panglima Widura sudah berdiri berhadapan dengan laki-laki buruk berwajah hitam yang mengaku sebagai Datuk Muka Hitam. Semen?tara tidak jauh dari mereka, terlihat orang tua pemilik kedai bersama sepasang anak muda pengunjung kedai hanya memandangi reruntuhan ke?dai yang ambruk. Tampak anak muda berwajah tampan berbaju rompi putih itu mencoba menghibur orang tua pemilik kedai. Sementara, Panglima Widura sudah mulai menggeser kakinya perlahan ke kanan. Sedangkan kedua tangannya sudah siap menyilang di depan dada.
"Ini untuk kesengsaraan muridku, Panglima Keparat! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak memaki dengan suara lantang menggelegar, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya langsung melompat menerjang Panglima Widura. Tongkat kayu yang bentuknya tidak beraturan dan tergenggam di tangan kanan, seketika diputar begi?tu cepat hingga hilang bentuknya. Kemudian, tong?kat itu dihantamkan tepat ke arah kepala Panglima Widura.
Wut! "Haiiit...!"
Namun hanya dengan satu egosan kepala yang begitu indah. Panglima Widura berhasil menghindari serangan tongkat Datuk Muka Hitam. Lalu ba?gai kilat tangan kirinya disodokkan ke perut.
"Upts!"
Datuk Muka Hitam cepat mengegoskan tubuhnya, hingga sodokan tangan kiri Panglima Widura tidak sempat mengenai sasaran. Dan cepat sekali tongkatnya diputar ke bawah, mencoba menghantam tangan kiri yang masih menjulur ke depan itu. Panglima Widura jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tangannya ditarik pulang. Tapi pada saat yang sa?ma, Datuk Muka Hitam sudah melesat cepat. Lang?sung tongkatnya diputar, membabat ke arah dada.
Bet! "Ikh..."!"
Panglima Widura jadi terbeliak kaget. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, menghindari sabetan ujung tongkat yang runcing itu. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah. Hingga, jaraknya dengan Datuk Muka Hitam kini jadi sekitar satu batang tombak.
"Hm... Dia lebih dahsyat dari muridnya," gumam Panglima Widura dalam hati.
Walaupun gerakan Datuk Muka Hitam mirip dengan yang dilakukan Rahkapa, tapi kebutan tongkatnya lebih dahsyat! Malah pengerahan tena?ga dalamnya juga lebih sempurna. Ini bisa dirasakan Panglima Widura dari hempasan angin kebutan tongkat yang mengandung hawa panas menyengat. Panglima Widura jadi harus lebih berhati-hati menghadapinya. Disadari betul kalau yang dihadapinya sekarang ini seorang guru yang sudah berpengalaman dalam mengarungi rimba persilatan, dengan tingkat kepandaian tinggi sekali. Dan rasanya sukar diukur sampai di mana tingkat kepandaiannya. Perlahan Panglima Widura menggeser kakinya ke ka?nan, bersamaan menggesernya kaki Datuk Muka Hitam ke depan beberapa langkah.
"Tahan pukulanku! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga, dilepaskannya satu pukulan dahsyat, di?sertai pengerahan ilmu kesaktian. Hingga dari te?lapak tangan kanannya yang menghentak ke de?pan, melesat secercah cahaya merah bagai api yang meluruk deras bagai kilat menerjang Panglima Wi?dura.
"Hup! Yeaaah...!"
Panglima Widura cepat melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali di atas. Maka serang?an Datuk Muka Hitam hanya lewat di bawah kaki panglima ini. Bahkan cahaya merah itu langsung menghantam tanah yang kosong. hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak ta?nah yang terhantam pukulan dari ilmu kesaktian tingkat tinggi itu jadi terbongkar, dan tanahnya membubung tinggi ke angkasa. Sementara, Pang?lima Widura masih berputaran beberapa kali di atas, kemudian manis sekali menjejakkan kakinya, sekitar setengah batang tombak di depan Datuk Muka Hitam.
"Hih! Yeaaah...!"
Cring! Bet! Secepat kilat, Panglima Widura menarik pedangnya keluar, dan langsung dibabatkan ke arah dada lawannya sambil melompat ke depan. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi terperangah kaget. Untung saja tubuh?nya cepat mengegos, membuat ujung pedang pang?lima itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya.
"Lepas! Hih...!"
Mendadak saja Datuk Muka Hitam membentak keras, dengan tangan kiri langsung mengibas cepat bagai kilat ke arah tangan kanan Panglima Widura yang menggenggam pedang. Begitu cepat sentakannya, hingga membuat Panglima Widura tidak sempat lagi berkelit menghindar Dan...
Plak! "Akh...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
116. Datuk Muka Hitam Bag. 4
August 26, 2014 at 11:07am
4 ? ? Panglima Widura jadi terpekik, begitu tangannya terkena hantaman keras dari tangan kiri Datuk Muka Hitam. Akibatnya, pedang yang berada di dalam genggaman tangan kanannya terlepas dan melayang tinggi ke angkasa
"Hup! Hiyaaa...!"
Panglima Widura cepat melesat berusaha mengejar pedangnya yang terpental tinggi ke angkasa. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam sudah melenting dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Dan seketika diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Panglima Widura yang tengah melayang mengejar pedangnya, sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan yang demikian cepat. Aki?batnya, dia tidak dapat lagi berkelit. Maka pukulan yang dilepaskan Datuk Muka Hitam tepat menghantam dadanya.
Diegkh! "Akh" !"
Kembali Panglima Widura terpekik keras agak tertahan. Tubuhnya seketika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Kembali panglima itu terpekik dan menggeliat sebentar di tanah. Tampak darah merembes dari su?dut bibirnya.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan darah yang menggumpal dalam rongga mulutnya, Panglima Widura mencoba bangkit berdiri. Tapi dadanya yang terke?na pukulan jadi terasa sesak. Dan pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Walaupun bisa berdiri lagi, tapi tubuhnya sudah tidak bisa lagi ditegakkan. Panglima Widura kelihatan limbung. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini. Datuk Muka Hitam melesat cepat sambil melepaskan satu pukul?an yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Namun begitu pukulan Datuk Muka Hitam hampir menghantam dada Panglima Widura, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menghadang serangan.
Plak! "Ikh..."!"
Datuk Muka Hitam jadi terpekik kaget begitu pukulannya membentur bayangan putih yang ber?kelebat cepat bagai kilat menghadang arus serangannya. Cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tampak seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan sudah berdiri di depan Panglima Widura. Wajahnya yang tampan semakin terlihat mempesona oleh senyum yang terus mengembang menghiasi bibirnya.
"Bocah keparat! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Datuk Muka Hitam berang.
"Aku memang tidak ingin mencampuri urusanmu. Tapi kalau kau sudah bertarung tanpa aturan, terpaksa aku harus mencegahnya, Kisanak," ter?dengar lembut dan kalem sekali nada suara anak muda berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.
"Phuih! Apa hubunganmu dengan si setan keparat itu, heh..."!"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Maaf, aku hanya tidak bisa melihat kecurangan dalam pertarung?an," masih terdengar tenang suara pemuda itu.
"Heh..."! Kecurangan apa yang kulakukan.. ?"
"Kau menggunakan ilmu kesaktian di saat lawan tidak siap menggunakannya. Dan itu satu ke?curangan dalam pertarungan. Maaf, aku terpaksa harus menilai pertarunganmu tadi, Kisanak."
"Setan...! Mau cari mampus rupanya, heh..."!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja mendengar bentakan Datuk Muka Hitam yang sudah demikian berang. Sementara, Panglima Widura sudah bisa menguasai keadaan. Tarikan napasnya sudah tidak lagi tersengal, walaupun dada?nya masih terasa begitu nyeri, akibat pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam dan ilmu kesak?tian tadi. Dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya ini.
"Sebaiknya kau menyingkir saja, Anak Muda. Dia terlalu berbahaya untukmu," ujar Panglima Widura. "Dan kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi."
'Tarikan napasmu masih terdengar berat. Paman. Luka dalam yang kau derita cukup parah. Dan rasanya pertarunganmu tidak mungkin bisa dilanjutkan," kata pemuda itu kalem.
"Maaf, Anak Muda. Semua ini urusanku. Seba?iknya kau memang tidak perlu ikut campur. Sekali lagi, maaf...," ujar Panglima Widura sopan.
"Baiklah, Paman. Tapi aku tetap akan mengawasinya, kalau dia melakukan kecurangan lagi."
Setelah berkata demikian, anak muda berbaju rompi putih itu segera menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Panglima Widura yang sudah bisa berdiri tegak dengan tarikan napas masih terdengar berat. Dan pemuda berbaju rompi putih itu tahu, Panglima Widura menderita luka dalam yang cukup parah.
"Kau ingin membunuhku, Datuk Muka Hitam" Bunuhlah... Kau punya kesempatan banyak untuk membunuhku. Agar kau puas, Datuk Muka Hitam," tantang Panglima Widura, sambil menatap tajam Datuk Muka Hitam.
"Keparat kau, Widura! Aku tidak suka membunuh orang yang sebentar lagi akan mampus!" geram Datuk Muka Hitam.
"Kenapa" Kau takut, Datuk Muka Hitam...?" ejek Panglima Widura sinis.
Datuk Muka Hitam malah terdiam dengan sorot mata terlihat begitu tajam dan membara, bagai sepasang bola api yang akan menghanguskan seluruh tubuh Panglima Kerajaan Pakuan ini. Sedikit pun suaranya tidak terdengar. Namun, di dalam sorot matanya terpancar sinar dendam membara.
"Hari ini kau beruntung, Widura. Tapi ingat, satu saat kelak aku tidak akan segan-segan lagi memenggal batang lehermu," desis Datuk Muka Hitam dingin menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Datuk Muka Hitam langsung memutar tubuhnya, dan sekali genjot saja, tubuhnya sudah melesat cepat bagai kilat Dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuh Datuk Muka Hitam sudah tidak terlihat lagi. Sementara Panglima Widura memutar tubuhnya perlahan-lahan, hingga berhadapan langsung dengan pemu?da berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya dari maut.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap Panglima Widura.
"Hm," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit.
"Kalau bolah kutahu, siapa namamu, Anak Muda?" tanya Panglima Widura.
"Rangga," sahut pemuda itu memperkenalkan namanya.
Dan memang, pemuda berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di punggung itu tidak lain dari Rangga. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Dan temanku bernama Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan gadis cantik yang masih berdiri di sebelah orang tua pemilik kedai.
Panglima Widura tersenyum dan menganggukkan kepala pada Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membalas dengan sedikit anggukan kepala juga. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri diiringi orang tua yang kedainya hancur akibat pertarungan Panglima Widura melawan Datuk Muka Hitam tadi.
"Maaf kedaimu hancur, Ki. Biar semua kerugianmu aku yang mengganti," ujar Panglima Widu?ra, setelah orang tua pemilik kedai itu dekat bersama Pandan Wangi.
"Ah! Tidak perlu. Gusti Panglima," sahut pemilik kedai itu.
'Tidak, Ki. Aku tetap akan menggantinya."
'Terima kasih, Gusti."
Panglima Widura lalu mengambil kantung kulit yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, diserahkannya sekantung uang emas itu pada orang tua pemilik kedai ini yang menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali dengan membungkukkan tubuhnya, orang tua pemilik kedai itu meminta diri. Dan Panglima Widura hanya tersenyum saja mengiringi kepergian pemilik kedai dengan pandangan mata?nya. Tatapannya baru beralih ke arah Rangga dan Pandan Wangi kembali setelah orang tua pemilik kedai tadi sudah jauh.
"Anak Muda, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kalian berdua tidak keberatan, aku mengundang kalian singgah di rumahku," ucap Panglima Widura dengan tutur kata lembut dan ramah sekali.
'Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. 'Tap, maaf. Sekarang ini, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan. Mungkin satu hari nanti, kami akan singgah."
"Kalian berdua sepertinya bukan orang Pakuan. Kalau boleh tahu, ada urusan apa kalian di Pakuan ini?" tanya Panglima Widura tanpa nada curiga sedikit pun.
"Hanya urusan keluarga saja, Gusti Panglima," selak Pandan Wangi cepat, sebelum Rangga membuka suara. Dan gadis itu ikut memanggil dengan sebutan Gusti Panglima pada Widura, sebagaimana pemilik kedai tadi memanggil.
"Kalau begitu, baiklah. Aku pergi dulu. Aku menunggu kalian di kediamanku," ujar Panglima Widura, seraya mengangkat bahunya.
"Mudah-mudahan kami bisa singgah, Gusti Panglima," sahut Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat.
Setelah membalas salam penghormatan Pendekar Rajawali Sakti, Panglima Widura mengambil kudanya. Kemudian dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sebentar kepalanya berpaling pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu, lalu menggebah kudanya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi Panglima Widura yang semakin jauh meninggalkan debu beterbangan diudara. Pandan Wangi baru melangkah mengambil kuda setelah Panglima Widura tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul di sepanjang jalan yang menuju Kotaraja Pakuan.
"Ayo, Kakang. kita pergi dari sini," ajak Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali kekang kudanya dari gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Sementara, Pandan Wangi sudah ber?ada di punggung kuda putih tunggangannya. Dan tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya hingga berlari kencang ke arah yang sama dengan Panglima Widura.
? *** ? Kotaraja Pakuan memang sangat padat. Rasanya hampir tidak ada tempat luang lagi. Dan jalan-jalan di sepanjang kota ini begitu padat dilalui orang segala lapisan. Rangga dan Pandan Wangi terpaksa harus menuntun kudanya, karena me?mang sulit untuk bisa menunggang kuda dengan leluasa di dalam kota yang sangat padat ini. Keringat sudah terlihat mengucur, membanjiri sekujur tubuh mereka. Dan memang, udara di Kota?raja Pakuan ini terasa begitu panas. Seakan-akan matahari berada tepat di atas kepala mereka semua.
"Di mana ada kedai, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Entahlah, Pandan. Kota ini terlalu padat, sampai aku bingung dibuatnya. Aku sendiri tidak tahu lagi, ke arah mana kita sekarang menuju," sa?hut Rangga juga kebingungan.
"Keluar saja dari sini, Kakang," pinta Pandan Wangi.
"Aku sendiri sudah tidak tahu, ke mana lagi arah keluar," sahut Rangga.
"Lalu, apa kita akan terus terjebak di sini ?"
Rangga hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Sementara kakinya terus terayun melangkah sambil menuntun kudanya. Sedangkan Pandan Wangi jadi diam, tidak banyak bicara lagi. Begitu banyak orang yang hilir mudik di jalan ini, hingga membuat kepalanya jadi pening. Belum pernah disaksikan sebuah kota yang begitu padat penduduknya, sampai hampir tidak ada ruang gerak yang tersisa.
Saat mereka tengah kebingungan, tiba-tiba saja Rangga merasakan pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti ber?paling, dan menghentikan langkahnya. Pandan Wa?ngi jadi ikut berhenti, lalu berpaling ke belakang mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Jumir...," desis Pandan Wangi, begitu melihat seorang laki-laki berusia lanjut berdiri dengan tangan masih menempel di pundak Rangga.
"Kenapa kalian tidak langsung ke rumahku?" tanya orang tua berbaju jubah putih panjang ini. Sebuah tudung bambu yang hampir menutupi wa?jah laki-laki yang dipanggil Ki Jumir ini tampaknya cukup melindungi kepala dari sengatan matahari.
"Kami tersesat, Ki," sahut Rangga terus terang.
"Kota ini memang terlalu padat. Dan ini bisa kumaklumi. Banyak pendatang yang tidak tahu arah lagi kalau sudah masuk ke kota ini," jelas Ki Jumir seraya tersenyum memaklumi.
"Jauh rumahmu dari sini, Ki?" tanya Pandan Wangi.
'Tidak." sahut Ki Jumir. "Ayo ikuti aku saja."
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kembali melangkah. Kali ini, mereka tidak perlu khawatir lagi, karena Ki Jumir berjalan di depan. Tudung bambunya kini diturunkan, hingga wajahnya kini benar-benar tertutup dan sukar dikenali. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi di antara banyak orang yang hilir mudik memadati jalan ini
Orang-orang dari segala lapisan bercampur baur dengan gerobak sapi dan para penunggang kuda. Sehingga, membuat udara yang sudah panas ini semakin terasa menyengat. Tapi semakin jauh kedua pendekar muda itu berjalan mengikuti Ki Jumir, semakin lengang jalan yang dilalui. Hingga akhirnya, mereka tiba pada sebuah jalan yang cukup sunyi dan banyak pepohonan tumbuh di kiri kanan jalan ini.
"Di depan itu rumahku," tunjuk Ki Jumir memberi tahu tanpa berpaling sedikit pun. Lalu tudung bambu yang menutupi seluruh wajahnya dilepaskan.
Tangan orang tua itu menunjuk ke sebuah rumah besar dengan halaman luas, berpagar tembok batu setinggi satu batang tombak. Dan di pintu ma?suk ke halaman rumah itu tampak dua orang anak muda berseragam biru dengan tombak tergenggam di tangan kanan masing masing. Mereka langsung membungkuk begitu Ki Jumir akan melewati.
? *** ? Bukan hanya Pandan Wangi yang mengagumi bagian dalam rumah Ki Jumir. Malah Rangga sam?pai berdecak kagum melihat keindahannya. Namun di balik semua kekaguman itu, terselip suaru pertanyaan dalam kepala Rangga. Terutama soal isi surat Ki Jumir kepadanya yang belum dimengerti. Rang?ga memang berada di Istana Karang Setra, saat menerima langsung surat dari Ki Jumir yang dibawa seorang utusan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 23 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 11

Cari Blog Ini