Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular Bagian 2
Kau akan celaka bila
menghadapinya seorang diri!"
"Lalu, apakah kau hendak membantuku?"
"Enak saja!" desis si Orang Tua dengan wajah gusar.
"Mereka mencarimu. Maka kau harus menghadapinya seorang diri. Bukankah aku telah
menunjukkan tempat mereka" Nah! Ayo, hadapi dan ajar mereka!"
"Ya, ya. Aku akan menghajarnya!" kata Rangga.
"Itu baru jawaban seorang pendekar!"
Ki Sangga Langit langsung mengacungkan jempol.
Kemudian dia tertawa terbahak-bahak, seraya meninggalkan kedai begitu saja tanpa
pamit. "Ha ha ha...! Terima kasih, Bocah. Hati-hatilah..."
Rangga menarik napas lega, kemudian tersenyum
sambil menggeleng lemah.
"Dasar orang gila...!" gumam Ambarwati. "Dan yang diajak bicara pun sama
gilanya!" "Siapa" Kau mengatakan aku gila"!" dengus Rangga sambil melotot ke arah gadis
itu. Ambarwati terkejut dan cepat menundukkan wajah.
Namun pemuda itu malah tertawa girang.
"Sudahlah. Aku hanya bercanda. Ayo, kita harus buru-buru menuju utara sebelum
mereka membantai perguruan itu," ajak Rangga bergegas bangkit. Setelah membayar
semua harga makanan dan menggantikan kerusakan
barang-barang akibat keributan tadi, mereka segera meninggalkan tempat ini.
*** 5 Padepokan Kinjeng Loreng terletak di sebuah bibir tebing dengan jurang-jurang
dalam yang menganga lebar. Alamnya pun tidak bersahabat. Selain penuh bebatuan,
tanah-nya pun gampang longsor. Apalagi, banyak ular yang amat berbisa. Bila
salah melangkah, tidak mustahil akan tergelincir ke dalam jurang. Atau, terpatuk
ular hingga binasa dalam waktu singkat. Jalan menuju padepokan itu pun berkelok,
dan terus menanjak. Di kanan kiri tebing pun ditumbuhi semak-semak berduri yang
bergerumbul. Sehingga merupakan penyamaran bagus bagi jurang-jurang yang tersembunyi, atau
lobang-lobang besar yang
menganga dan tembus ke perut bumi.
Agaknya, Ki Abiasa yang merupakan Ketua Padepokan
Kinjeng Loreng pun bukannya tidak sengaja menempatkan padepokannya di situ.
Semasa mudanya, wataknya terkenal keras dan pantang menyerah. Dan dia berharap
murid-muridnya menurunkan wataknya. Dengan ditunjang keadaan alam yang tidak
ramah, akan semakin mem-perkuat watak keras murid-muridnya. Tak ada tempat bagi
mereka yang lemah, karena akan binasa sebelum men-capai padepokannya. Hanya
mereka yang berwatak keras dan berhati tabah saja yang mampu tiba di sana.
Sesungguhnya padepokan milik Ki Abiasa itu amat
terkenal di kalangan persilatan. Murid-muridnya tangguh dan tidak kenal kompromi
terhadap lawan-lawannya.
Dengan mengandalkan ilmu silat tangan kosong, banyak muridnya yang telah membawa
nama harum bagi
padepokan ini. Sementara tiga sosok bayangan tampak melesat
kencang ke arah padepokan itu. Mereka sama sekali tidak menemui kesulitan untuk
mendaki tebing terjal. Sedikit pun mereka tak pernah mengurangi kecepatan.
Seolah alam yang tidak menguntungkan itu sama sekali bukan hambatan. Sehingga
sebentar saja tiga sosok bayangan itu telah tiba di depan Padepokan Kinjeng Loreng.
Salah satu sosok itu tampak berdiri dengan kedua kaki menentang. Sebentar dia
menarik napas dalam-dalam
dengan tangan membuat gerakan saling bersilangan.
Agaknya, dia tengah mengeluarkan tenaga dalam ke
tangannya. Dan ketika kedua tangannya berada di sisi pinggang....
Wuuut! Bruaaak! Tanpa basa-basi lagi, orang itu menghantam pintu
gerbang padepokan hingga hancur berantakan. Akibatnya, murid-murid padepokan
yang ada di dalamnya kontan
kaget setengah mati.
"Bangsat! Siapa kalian.."!" bentak salah seorang murid dengan nada lantang.
Ketiga orang yang baru muncul ini tersenyum sinis. Lalu salah seorang maju dua
langkah seraya menuding sinis.
"Panggil guru kalian!"
"Setan! Apa hakmu menyuruhku" Datang tanpa
diundang, tahu-tahu membuat kekacauan. Heh! Sebaiknya lekas pergi sebelum semua
murid di sini menghajar kalian!"
desis murid itu geram.
Apa yang dikatakan murid itu memang tidak berlebihan.
Karena dalam waktu singkat, semua murid Padepokan
Kinjeng Loreng telah berkumpul. Bahkan rata-rata menunjukkan sikap tidak senang
atas kehadiran ketiga orang yang tidak sopan ini.
"Hi hi hi...! Tikus-Tikus Busuk tidak tahu diri! Sebaiknya menyingkir, dan
panggil gurumu. Katakan padanya kalau para penghuni Pulau Ular ingin bertemu!"
sentak seorang wanita yang mengaku sebagai penghuni Pulau Ular.
Dan memang, ketiga orang ini adalah penghuni Pulau Ular yang tengah membuat
kekacauan di mana-mana
dengan maksud mencari Pendekar Rajawali Sakti. Siapa lagi ketiga orang ini kalau
bukan Ki Kolo Denowo, Ki Sanca Ireng, dan Nyi Ayu Supraba.
"Bangsat! Agaknya kalian memang perlu diberi
pelajaran!" geram murid yang berada paling depan.
Agaknya murid itu sudah tidak bisa lagi menahan
amarahnya. Langsung dia melompat menghajar Nyi Ayu Supraba.
"Yeaaat!"
"Huh!"
Nyi Ayu Supraba hanya mendengus sinis, namun sama
sekali tidak bergeming menghadapi tendangan murid
padepokan ini. Lalu dengan kedua tangannya, ditangkisnya serangan itu.
Plak! Dan bersamaan dengan itu, tangan Nyi Ayu Supraba
cepat bergerak kembali ke arah dada. Begitu cepat
gerakannya sehingga....
Desss...! "Aaakh...!"
Murid ini kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar sambil mendekap dadanya
yang remuk, lalu mulutnya
tampak muncrat darah segar. Begitu ambruk di tanah dia tewas seketika.
"Heh"!"
"Kurang ajar!"
Beberapa orang murid padepokan tersentak kaget dan menggeram marah. Serentak
lima orang langsung
melompat menyerang dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Yeaaa...!"
Namun kini Nyi Ayu Supraba tidak bertindak kepalang tanggung lagi. Langsung
disambutnya serangan para murid padepokan itu dengan hantaman pukulan jarak jauh
yang bertenaga kuat. Seketika mendesir angin kencang bukan main membuat kelima
orang itu tersentak kaget. Namun, mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena.... Des! Bugh! "Aaa...."
Kelima orang itu kontan terpental sambil memuntahkan darah segar begitu dada
mereka terhantam pukulan Nyi Ayu Supraba. Begitu ambruk di tanah, tubuh mereka
tidak bergerak sedikit pun. Mati...
"Bangsat Terkutuk! Kalian harus mampus untuk
menebus dosa-dosa kalian!" geram murid-murid
Padepokan Kinjeng Loreng, semakin geram dan penuh
amarah. Tanpa menunggu perintah lagi, seluruh murid langsung mengepung dan menyerang
ketiga penghuni Pulau Ular dengan serentak.
"Yeaaat!"
Bersamaan dengan itu pula, Ki Kolo Denowo dan Ki
Sanca Ireng bergerak cepat. Sambil tertawa lebar, mereka memapak seranganserangan yang datang.
"He he he...! Keledai-Keledai Busuk yang ingin mampus!
Terima kematian kalian!"
"Heaaat..!"
Desss! Bruaaak!
"Aaa...!"
Seperti Nyi Ayu Supraba, Ki Kolo Denowo dan Ki Sanca Ireng bertindak tidak
kepalang tanggung. Boleh jadi murid-murid Padepokan Kinjeng Loreng memiliki ilmu
silat hebat dan tenaga kuat. Tapi yang dihadapi sekarang ini bukanlah tokoh
sembarangan. Mereka adalah manusia-manusia
kejam yang berkepandaian amat tinggi. Sehingga bagaikan sekumpulan nyamuk yang
berduyun-duyun mendatangi
perapian, satu persatu mereka terjungkal dan tewas dihantam pukulan tokoh-tokoh
hitam yang amat mengeri-kan ini. Jerit kematian saling susul-menyusul diiringi
ambruknya sosok-sosok tubuh dengan luka mengenaskan!
"Cukup! Hentikan pembantaian ini...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berkumandang
lantang, karena diiringi tenaga dalam tinggi.
"Hmmm...."
*** Pertarungan telah terhenti. Sementara semua murid
yang tersisa menyingkir, ketika seorang laki-laki tua ber-janggut tebal dan
memakai baju rompi hitam berdiri tegak di beranda depan. Perlahan-lahan mereka
memberi hormat, ketika orang tua gagah itu melangkah mendekati ketiga tamu tak diundang
yang telah membuat keonaran.
"Guru..., mereka datang tiba-tiba dan menghancurkan pintu gerbang. Kakang Randu
berusaha memperingatkan, namun mereka membunuhnya dengan kejam. Jadi..."
Belum lagi habis kata-kata salah seorang muridnya, orang tua itu telah
mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat untuk diam.
Orang tua itu berhenti pada jarak empat langkah dari ketiga tamunya. Matanya
memandang mereka dengan
sorot tajam. Terasa dari tatapannya kalau dia tidak suka pada ketiga orang yang
mengaku penghuni Pulau Ular ini.
"Aku Abiasa, ketua padepokan ini. Dan apa yang kalian inginkan, sehingga
membunuhi murid-muridku dengan
kejam?" tanya orang tua yang memang Ki Abiasa.
Ki Kolo Denowo maju ke depan, langsung menuding
sinis. "Katakan pada kami, di mana Pendekar Rajawali Sakti!
Orang-orang Pulau Ular hendak memenggal batok kepalanya!" sahut Ki Kolo Denowo
lantang. "Hm.... Itu bukan urusanku. Aku bahkan tidak kenal dengan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan semua kalangan silat tahu hal itu. Lalu, kenapa kalian mencarinya ke
sini?" dengus Ki Abiasa.
"Tidak peduli apa alasanmu! Kau harus menunjukkan.
di mana bangsat itu berada!" desis Nyi Ayu Supraba.
"Nyisanak! Boleh saja kau berkata begitu. Tapi, ingat! Ini wilayah kekuasaanku.
Dan kalian telah berbuat seenaknya Mestinya, kalian harus terima hukuman
dariku!" "Puiiih! Segala Keledai Dungu sepertimu mau macam-macam"!" dengus Ki Sanca Ireng
geram. "Orang-orang Pulau Ular memang sudah terkenal mau menang sendiri dan memandang
rendah orang lain. Heh!
Semua orang boleh takut pada kalian! Tapi, jangan harap aku akan gentar
mendengar nama itu!" balas Ki Abiasa.
"Tidak usah banyak mulut! Majulah! Dan, tunjukkan kebisaanmu!" sahut Ki Sanca
Ireng menantang.
"Hm...." Geraham Ki Abiasa bergemeletuk mendengar tantangan ini. Matanya
memandang tajam ke arah Ki
Sanca Ireng "Kau yang memulai. Silakan!"
"Heaaat..!"
Ki Sanca Ireng agaknya tidak mau buang-buang waktu lagi. Langsung tubuhnya
mencelat menerjang Ki Abiasa.
Sementara Ki Abiasa pun menyambut dengan mantap.
Plak! Wuuut! Tendangan Ki Sanca Ireng ditangkis kibasan tangan kiri Ketua Padepokan Kinjeng
Loreng itu. Namun tangkisan itu justru membuat Ki Abiasa mengeeluh sendiri
karena tangannya terasa seperti menangkis batang besi. Padahal tenaga dalamnya telah
dikerahkan pada tingkat tertinggi.
Dan dia memang sadar kalau orang-orang Pulau Ular
bukanlah tokoh sembarangan.
Kini Ki Sanca Ireng menyusuli dengan sodokan kepalan tangan kanannya ke ulu
hati. Maka cepat bagai kilat Ki Abiasa bergerak ke samping menghindarinya.
Namun, orang bertubuh gempal itu telah melepaskan hantaman pukulan jarak jauh yang
bertenaga kuat ke arah Ketua Padepokan Kinjeng Loreng itu.
"Yeaaat..!"
Bukan main terkejutnya Ki Abiasa merasakan sambaran angin kencang yang mampu
meremukkan tubuhnya.
Tubuhnya cepat melenting ke belakang membuat beberapa putaran. Sambil bertindak
demikian, dia melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bertenaga dalam kuat.
Ki Sanca Ireng mendengus dingin. Dengan cepat tubuhnya bergerak lincah ke atas.
Begitu berada di udara, tangan kirinya disorongkan ke arah Ki Abiasa. Seketika,
dari tangannya mencelat beberapa ekor ular kecil berbisa ke arah Ketua Padepokan
Kinjeng Loreng ini.
Weeer! "Gila..!"
Ki Abiasa mendengus geram dengan bulu kuduk
merinding dan wajah pucat pasi. Keringat sebesar biji jagung mulai keluar satu
persatu, setelah berhasil menyelamatkan diri dari ular-ular berbisa dengan
bergulingan ke arah kiri.
"Shaaah...!"
Sementar Ki Sanca Ireng tidak membiarkannya begitu saja. Langsung dilepaskannya
pukulan maut ke arah Ki Abiasa.
"Yaaat!"
Ki Abiasa tidak punya pilihan selain memapaki dengan hantaman pukulan jarak
jauhnya pula. Sambil menggeram marah, seluruh tenaga dalamnya dihimpun. Dan
seketika kedua tangannya disentakkah ke depan. Begitu dari
telapak tangannya melesat angin berkesiutan....
Jder! "Hiyaaat!"
Terdengar ledakan agak keras ketika kedua pukulan
mereka beradu. Tubuh Ki Abiasa terlempar ke belakang sambil memuntahkan darah
segar. Sementara, Ki Sanca Ireng terus memburunya sambil melepaskan ular-ular
kecil peliharannya yang melesat cepat. Begitu cepat gerakan ular-ular itu,
sehingga Ki Abiasa tak bisa menghindarinya.
Dan.... Crab! Crab! Ki Abiasa kontan menjerit keras ketika dahi,
tenggorokan, jantung, dan perutnya tertancap ular-ular berbisa. Tubuhnya
seketika ambruk dan tewas dalam
keadaan membiru.
"Setan Alas! Bunuh mereka...!" teriak murid-murid Padepokan Kinjeng Loreng yang
tersisa begitu melihat kematian gurunya.
"Yeaaat!"
Serentak mereka menyerang ketiga tokoh hitam itu.
Namun yang diserang hanya tersenyum. Bahkan langsung membalas serangan para
murid itu.
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heaaat..!"
Begkh! Bleeer! "Aaaa...!"
Dan begitu tiga tokoh hitam ini mengamuk, maka tak ada yang sanggup
membendungnya, mereka memang
tidak akan tanggung-tanggung melenyapkan lawannya
dengan mengumbar pukulan-pukulan maut. Akibatnya,
murid-murid padepokan ini terpental ke sana kemari dengan tubuh remuk dan nyawa
melayang. "Ha ha ha...! Ayo, maju cepat! Terima kematianmu...!"
teriak Ki Kolo Denowo sambil tertawa girang.
"Hi hi hi...! Keledai-Keledai Dungu ini memang pantas mampus!" sahut Nyi Ayu
Supraba diiringi tawa nyaringnya.
Namun belum lagi ketiga tokoh hitam ini mengumbar
nafsu.... "Setan-setan Pulau Ular, hentikan perbuatan kalian!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat
ketiga tokoh hitam ini tersentak kaget. Segera saja mereka menoleh ke arah
datangnya suara tadi. Padahal sisa murid-murid padepokan ini tinggal lima orang
lagi. Namun Ki Sanca Ireng ternyata masih sempat melepaskan lima ekor ular kecil
ke arah mereka, sebelum menoleh ke arah datangnya suara. Akibatnya kelima murid
padepokan itu tewas dalam keadaan membiru!
Tiga sosok tubuh melayang ringan di belakang tiga
penghuni Pulau Ular pada jarak sepuluh langkah. Mereka tidak lain dari Ki Rancuh
Bustira, Ki Kala Gemet, dan Ki Danang Mangun. Orang tua bertubuh sedikit bungkuk
dan kepala penuh uban itu maju dua langkah sambil menuding tajam.
"Bangsat-Bangsat Pulau Ular! Perbuatan kalian sudah melewati batas dan amat
terkutuk...!" desis laki-laki bungkuk itu geram.
*** "Monyet Buduk! Siapa kau berani berkata begitu?"
sahut Nyi Ayu Supraba seraya berkacak pinggang.
Wajahnya tampak berkerut menahan geram.
"Aku Danang Mangun. Dan kedua kawanku ini Kala Gemet dan Rancuh Bustira. Kami
mewakili kaum persilatan golongan putih untuk membuat perhitungan dengan
kalian!" "He he he...! Lucu...! Amat lucu. Apa kau kira kepandaianmu sudah setingkat
dewa, sehingga berani bicara seperti itu" Hei, Monyet Tua! Lebih baik pulang dan
rawat dirimu. Karena siapa tahu, bisa berumur panjang!"
ejek Ki Sanca Ireng.
"Bangsat! Kalian memang tidak bisa dikasih hati. Huh!
Aku bersumpah akan memenggal kepalamu!" desis Ki Kala Gemet geram.
"Mau apa kau, Botak"! Ke sinilah cepat, biar mudah aku menghajar kepalamu!"
sahut Nyi Ayu Supraba sengit.
"Ki Danang! Biar kuhajar wanita iblis ini lebih dulu!" ujar Ki Kala Gemet tanpa
menunggu persetujuan orang tua itu.
"Huh!"
Nyi Ayu Supraba mendengus dingin. Bahkan masih
tetap berdiri tegak, sementara Ki Kala Gemet telah membentak nyaring dan
melompat menyerang.
"Yeaaat..!"
Sementara, Ki Sanca Ireng sudah menuding sinis ke
arah Ki Danang Mangun.
"Hei, Orang Tua! Coba tunjukkan kebisaanmu"!"
"Hm...!"
Ki Danang Mangun langsung menggenggam busur. Dia
bersiaga penuh untuk menanti serangan. Tapi, Ki Sanca Ireng memang tidak mau
membuang waktu lama-lama.
Sejurus kemudian, tubuhnya telah melayang ringan
menghantam ke arahnya.
Persis pada saat itu pula, Ki Kolo Denowo mencelat menyerang Ki Rancuh Bustira.
"Heaaat..!"
Wuuut! Bet! Bet! Ketiga orang tokoh golongan putih ini menyadari kalau orang-orang penghuni Pulau
Ular tidak bisa dipandang enteng. Sehingga, mereka tidak sudi bertindak gegabah
dan berlaku lengah. Maka tidak heran bila mereka
langsung mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tapi ketiga penghuni Pulau Ular itu sama sekali tidak peduli. Bagi mereka,
menghadapi siapa saja selalu sama.
Menghabisi lawan secepatnya! Tidak heran kalau mereka terus menyerang bertubitubi. Criiing! Ki Kala Gemet mulai mengeluarkan senjata rantainya untuk meringkus wanita
lawannya. Namun Nyi Ayu Supraba terlalu cerdik untuk masuk ke dalam
perangkapnya. Cepat dia melompat ke belakang sambil meloloskan
selendangnya. "Haiiit!"
Rrrrt! "Huh!"
Ki Kala Gemet mendengus geram ketika selendang
wanita itu melibat rantai besinya. Dengan sekali sentak, dia yakin wanita itu
akan terjerembab. Maka saat itulah akan dihabisinya. Namun yang terjadi sungguh
membuatnya terkejut. Seketika hidungnya kembang kempis mencium wewangian yang
amat menusuk di seputar tempat itu.
"Brengsek! Apa yang kau lakukan, heh"!" desis Ki Kala Gemet kesal.
Langsung tangan kiri Ki Kala Gemet menyelusup ke
balik lipatan ikat pinggangnya. Lalu diambilnya obat pulung dan segera
ditelannya. "Oh, apa ini" Kepalaku terasa berdenyut dan pusing, dan tubuhku lemas sekali..."
keluh Ki Kala Gemet sambil memijit-mijit kening dan melangkah terhuyung-huyung.
Rupanya obat pulungnya tidak berpengaruh apa-apa
terhadap kekuatan yang terkandung dalam wewangian
yang dikeluarkan Nyi Ayu Supraba.
"Yeaaat!"
Belum sempat Ki Kala Gemet bertindak sesuatu, Nyi
Ayu Supraba sudah membentak nyaring. Senjata Ki Kala Gemet langsung ditariknya,
sehingga lepas dari
genggaman. Lalu pada saat yang bersamaan, tendangan kakinya menyusul menghantam
ke dada laki-laki ini. Ki Kala Gemet cepat menyadari kalau keadaannya amat
parah. Maka dia berusaha menghindar sebisanya, dengan menjatuhkan diri dan
bergulingan. "Yaaat!"
Tendangan wanita itu luput dari sasaran. Namun
bersamaan dengan itu, ujung selendang Nyi Ayu Supraba memburu bagaikan kilat ke
arahnya. Begitu cepat
gerakannya, sehingga....
Ctaaar! "Aaakh!"
Ki Kala Gemet hanya bisa memekik tertahan, begitu
tubuhnya terhantam ujung senjata Nyi Ayu Supraba. Dalam keadaan masih
bergulingan, nyawanya melayang saat itu juga.
"Huh!" Nyi Ayu Supraba mendengus dingin.
Sementara itu Ki Danang Mangun dan Ki Rancuh
Bustira terkejut bukan main. Keadaan mereka semakin payah saja, karena kedua
lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan sedikit pun. Dan dalam keadaan
terkejut melihat kematian kawannya, mereka jadi lengah.
Dan itu benar-benar dipergunakan sebaik-baiknya oleh dua dari penghuni Pulau
Ular itu. "Yaaat..!"
Ki Kolo Denowo langsung mencabut kampaknya.
Tubuhnya segera berkelebat bagaikan kilat ke arah Ki Rancuh Bustira sambil
mengayunkan senjatanya.
Sedangkan Ki Rancuh Bustira hanya bisa terkesiap. Maka sebisanya menangkis
dengan senjata golok bercagaknya.
Trang! Ki Rancuh Bustira kontan terkejut merasakan
tangannya sakit bukan main ketika beradu dengan senjata Ki Kolo Denowo. Bahkan
senjatanya nyaris terlepas dari genggaman. Dan belum lagi dia mampu berbuat apaapa, satu hantaman keras menghantam ke arah dada.
Duk! "Aaakh!"
Ki Rancuh Bustira langsung menjerit kesakitan begitu tendangan lawannya mendarat
di dada. Tulang dadanya remuk dan darah segar muncrat dari mulutnya. Tubuhnya
terjajar beberapa langkah. Sementara Ki Kolo Denowo agaknya tidak diam sampai di
situ saja. Kampaknya
langsung berkelebat menyambar Ki Rancuh Bustira yang masih terhuyung-huyung.
Wuuut! *** 6 Ki Rancuh Bustira hanya mampu melotot menanti ajal.
Sementara kampak Ki Kolo Denowo mendesing kencang
tidak terelakkan. Dan...
Crasss! "Aaakh...!"
Kampak Ki Kolo Denowo kontan menebas leher Ki
Rancuh Bustira sampai putus! Tanpa dapat bersambat lagi, tubuh Ki Rancuh Bustira
ambruk di tanah disertai
semburan darah dari lehernya yang hampir buntung.
"Rancuh Bustira...!" Ki Danang Mangun terkejut bukan main melihat keadaan
kawannya. "Yaaat!"
Namun Ki Danang Mangun tidak bisa lengah barang
sekejap pun, menghadapi serangan Ki Sanca Ireng yang menderu kencang ke arahnya.
Orang tua itu mencelat ke atas menghindari, dan langsung melepaskan anak-anak
panahnya. "Iblis Keparat Mampuslah kalian semua...!" bentak Ki Danang Mangun nyaring penuh
amarah. Set! Set! Seketika anak panah yang dilepaskan Ki Danang
Mangun melesat kencang menyerang ketiga lawannya.
"Hup! Yeaaa!"
Namun Ki Sanca Ireng mampu menghindari dengan
gesit Bahkan balas menyerang dengan melepaskan
senjata rahasia berupa ular-ular kecil yang amat berbisa!
"Uhhh...."
Ki Danang Mangun jadi terkejut dan cepat nenghindar sambil mengibaskan busur di
tangannya. Pada saat yang sama, Ki Sanca Ireng mencelat ke arahnya sambil
mengayunkan tongkat aneh dalam genggaman tangan
kanannya. Tongkat bersisik yang sesungguhnya terbuat dari seekor ular, yang
telah dikeringkan sepanjang enam jengkal itu memiliki racun yang amat ganas.
Bet! Bet! Ki Danang Mangun melompat ke belakang sambil
mendekap hidung dan menghentikan beberapa kali jalan napasnya. Asap tipis yang
keluar dari ujung tongkat Ki Sanca Ireng memang menebar bau busuk menyengat.
Orang tua itu sadar kalau tempat di sekitarnya telah penuh hawa racun dan
membuatnya tidak leluasa bergerak.
Sedang saat itu, lawannya semakin hebat menyerang.
"Hiyaaat..!"
Dengan gerakan dahsyat, Ki Danang Mangun mengibaskan busur untuk menangkis serangan. Namun terkejut bukan main orang tua itu
ketika merasakan hantaman tongkat Ki Sanca Ireng yang keras bukan main. Bahkan
sempat membuat busur di tangannya patah. Dan yang
lebih mengejutkan adalah ketika uap racun menyembur dari ujung tongkat Ki Sanca
Ireng. Untung saja dia cepat menjatuhkan diri sambil bergulingan untuk
menyelamatkan diri. Tangannya yang menggenggam erat beberapa anak panah
dilemparkan ke arah Ki Sanca Ireng.
"Huh! Yeaaa!"
Diiringi dengusan geram, Ki Sanca Ireng mengebutkan tongkatnya. Maka, anak panah
Ki Danang Mangun
langsung rontok berpentalan begitu tersambar tongkat itu.
Dan, pada saat yang bersamaan telapak tangan kirinya menghantam pukulan maut
yang bertenaga dalam tinggi.
"Uhhh...."
Disertai suara lenguhan, Ki Danang Mangun terus
bergulingan menghindari pukulan Ki Sanca Ireng yang mampu membuat kulit tubuhnya
panas. Jder! Terdengar ledakan dahsyat ketika pukulan Ki Sanca
Ireng tak mengenai sasaran. Bongkahan tanah yang
terkena pukulan itu kontan hancur beratakan. Meski mampu mencelat menghindari,
namun tidak urung desir angin pukulan itu menyesakkan dada Ki Danang Mangun.
Dan belum juga Ki Danang Mangun hendak bangkit
berdiri, Ki Sanca Ireng telah siap menghajar kembali.
Akibatnya, Ki Danang Mangun terkejut bukan main. Jelas kali ini dia pasti tidak
akan mampu mengelak. Untung saja....
"Kisanak! Hentikan pencuatanmu!" bentak sebuah suara lantang, sehingga membuat
tiga penghuni Pulau Ular tersentak. Bahkan Ki Sanca Ireng langsung menghentikan
serangan. "Hemmm...." Ki Sanca Ireng berpaling ke arah sumber suara dua setengah tombak
dari samping kirinya. Demikian juga kedua kawannya.
Dan tahu-tahu, pemuda berbaju rompi putih telah
berdiri tegak di atas sebongkah batu besar. Di
punggungnya terlihat sebatang pedang berhulu kepala burung. Rambutnya yang
panjang berkibar-kibar tertiup angin. Tidak jauh dari tempat itu, terlihat
seorang gadis cantik menunggang kuda bertubuh besar berbulu hitam.
"Siapa kau"!" dengus Ki Sanca Ireng garang
"Bukankah kalian tengah mencari-cariku...?"
"Hem.". Jadi kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti..."!" tanya ketiga
penghuni Pulau Ular serentak
"Begitulah orang-orang menjuluki."
"Bagus! Akhirnya kau muncul juga!" desis Ki Sanca Ireng geram.
"Keparat Busuk! Hari ini roh Ayu Puspita Sari akan melihat kematianmu!" timpal
Nyi Ayu Supraba. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti episode: Dewi Tangan
Darah). "Kematian Ayu Puspita Sari adalah kehendaknya.
Karena, dia telah berbuat keonaran seperti kalian!" kilah pemuda yang memang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Mengocehlah sesuka hatimu! Orang-orang Pulau Ular pantang dihina begitu
rupa. Hutang darah, maka harus dibayar dengan darah pula!" lanjut wanita itu.
"Dan hutang darah belasan pendekar serta ratusan murid yang tidak bersalah apaapa, akan kalian tanggung dengan darah busuk kalian!" sahut Rangga tidak kalah
lantang. "Bocah Busuk! Tidak usah banyak bicara. Bersiaplah untuk mampus!" geram Ki Kolo
Denowo seraya melompat mendekati Rangga.
"Yaaat..!"
Ki Sanca Ireng sudah langsung menyerang menggunakan ular-ular berbisanya. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat
menyusul melepaskan satu tendangan keras.
"Heup!"
*** Pendekar Rajawali Sakti melompat menghindari ularular berbisa yang dilepaskan Ki Sanca Ireng. Sementara dua orang penghuni Pulau
Ular lainnya langsung
menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
"Yeaaat..!"
Rangga sadar tidak akan diberi kesempatan sedikit pun untuk menyerang, karena
ketiga lawannya bermaksud
hendak segera menghabisinya. Tidak heran bila lawan-lawannya telah mengerahkan
kemampuannya pada tingkat tertinggi. Dan hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti
tidak boleh berlaku ayal-ayalan. Tubuhnya segera mencelat ke sana kemari dengan
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ringan, mempergunakan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib.'
Weeer! Bet! Bet! "Pendekar Rajawali Sakti, hati-hati!" teriak Danang Mangun memperingatkan,
ketika Nyi Ayu Supraba mulai mempergunakan selendang mautnya. "Senjata wanita
iblis itu amat berbahaya, karena mengandung racun yang
melemaskan tanganmu!"
"Terima kasih, Kisanak!"
"Huh!"
Nyi Ayu Supraba mendengus sinis. Selendang mautnya berkibar-kibar menyambar
Pendekar Rajawali Sakti. Dan sesekali, selendang itu terlihat mengeras kaku
bagai sebilah pedang. Lalu, kembali berubah lentur.
"Uhhh..."
Rangga memutar telapak tangan kanannya. Maka
seketika berhembus angin kencang berputar-putar, mem-buyarkan hawa beracun yang
berbau harum dari kelebatan selendang wanita itu.
"Yeaaat..!"
"Keparat! Mampuslah kau...!" desis Ki Sanca Ireng geram.
Kembali ular-ular kecil yang amat beracun melesat ke arah Pendekar Rajawali
Sakti begitu Ki Sanca Ireng mengecutkan tangannya. Dan bersamaan dengan itu,
tokoh Pulau Ular ini telah bersiap menghantamkan pukulan mautnya bila Pendekar
Rajawali Sakti menghindar. Ke mana pun hal yang sama dilakukan Ki Kolo Denowo.
Pukulan mautnya telah dihantamkan dengan kampak di tangan kanan. Sedangkan
selendang maut Nyi Ayu
Supraba yang menebar bau harum-haruman amat
memabukkan, telah membuat pusaran angin kencang yang mengurung Pendekar Rajawali
Sakti. Weeer! "Yeaaa...!"
Rangga benar-benar kewalahan menerima tiga buah
serangan yang bersamaan ini. Tanpa terasa, hatinya mengeluh. Namun kemudian,
tangannya cepat bergerak ke punggung. Lalu....
Sring! Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang
Pusaka Rajawali Sakti. Sehingga, suasana di tempat sekitarnya jadi terang
benderang oleh sinar biru berkilauan.
Pedang pusaka di tangan Rangga yang mengandung
pamor dahsyat membuat lawan terkesiap. Apalagi ketika senjata itu berkelebat
memapak ular-ular berbisa yang dilepaskan Ki Sanca Ireng hingga rontok
bersamaan. Kemudian pemuda itu berkelebat menghindari pukulan maut Ki Kolo Denowo, dan
langsung membabatkan
pedangnya ke arah selendang Nyi Ayu Supraba.
Brueeet! "He, Keparat'"
Nyi Ayu Supraba menggeram hebat ketika selendang
kesayangannya putus menjadi tiga bagian tertebas pedang Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan dengan gerakan
mengagumkan, Rangga membuat putaran tubuh beberapa kali, lalu melepaskan
tendangan keras ke arah dada wanita itu.
Dukkk! "Aaakh...!"
Nyi Ayu Supraba kontan menjerit keras dengan tubuh terjajar beberapa langkah,
begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di dadanya.
"Yeaaa...!"
Ki Sanca Ireng dan Ki Kolo Denowo sudah langsung
menyerang bersamaan, sebelum si Pendekar Rajawali
Sakti melanjutkan serangan pada wanita itu.
Set! Set! "Uhhh...."
Ular-ular kecil yang dilepaskan Ki Sanca Ireng kembali melesat cepat ke arah
Pendekar Rajawali Sakti. Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' Rangga
melenting dan melayang ringan, menghindari ular-ular beracun itu.
Sementara pedang di tangannya menyambar habis hewan-hewan melata itu.
Pras! Breeet! Baru saja Rangga mendarat di tanah, Ki Kolo Denowo telah melesat cepat dengan
kebutan kampaknya. Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Rajawali Sakti, selain
memapak kampak yang mengarah ke lehernya.
Trasss! Bukan main terkejutnya Ki Kolo Denowo, ketika kampak di tangannya putus dibabat
pedang, bahkan pedang itu terus kembali berkelebat mengancam lehernya. Dan....
Crasss! "Aaaa...! Ki Kolo Denowo menjerit memilukan begitu lehernya
tersambar pedang Pendekar Rajawali Sakti hingga nyaris putus. Tubuhnya langsung
ambruk di tanah bermandikan darah. Mati. Sementara pada saat yang bersamaan,
ujung senjata Ki Sanca Ireng yang amat berbisa mengancam punggung kanan si
Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakan senjata itu, sehingga Rangga
sampai-sampai tak menyadari desir angin kaku yang mengiringinya. Daa...
Crap! "Uhhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget ketika senjata itu bersarang di
punggungnya. Wajahnya berkerut
menahan rasa sakit. Dan belum lagi Rangga bersiap, sebuah pukulan jarak jauh
dari Ki Sanca Ireng yang bertenaga dalam tinggi meluruk ke arahnya. Tak ada
kesempatan bagi Rangga selain men jatuhkan diri ke tanah dan bergulingan.
Jdeeer! Pinggiran tebing yang terkena hantaman pukulan jarak jauh Ki Sanca Ireng hancur
berantakan. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti terus bergulingan.
"Yeaaa...!"
Nyi Ayu Supraba yang baru saja selesai menyalurkan hawa murni untuk
menghilangkan rasa sakit akibat
tendangan Rangga tadi, tidak menyia-nyia-kan kesempatan. Langsung diserangnya
Pendekar Rajawali Sakti yang baru saja bangkit berdiri dengan potongan
selendangnya. Ki Sanca Ireng terkejut bukan main melihat kenekatan wanita itu. Disadari betul,
meski keadaannya sangat kepayahan, tapi Pendekar Rajawab Sakti bukanlah tokoh
sembarangan yang bisa dianggap enteng. Namun, untuk mencegah sudah terlambat.
Begitu potongan selendang Nyi Ayu Supraba hampir menyambar kepalanya, Pendekar
Rajawali Sakti melenting ke atas. Seketika itu pula tubuhnya meliuk menggunakan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', disertai ayunan pedangnya.
Bresss...! "Aaaa...!"
Wanita itu hanya bisa berteriak tertahan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti
menyambar pinggangnya. Tubuhnya kontan ambruk bergulingan disertai semburan
darah. Tanpa disadari, gulingan tubuhnya justru mendekati jurang yang tidak jauh
didekatnya. Seketika itu pula tubuh wanita itu tertelan jurang yang menganga
lebar. "Keparat! Kau akan merasakan balasannya, Pendekar Rajawali Sakti!" lanjut Ki
Sanca Ireng mendesis garang.
Sementara itu Rangga hanya mengeluh tertahan.
Tubuhnya bergetar hebat, akibat racun yang tertanam di tubuhnya mulai bekerja.
Sehingga membuat semua
persendiannya menjadi kaku. Tubuhnya terasa panas
seperti dipanggang api. Untung saja pemuda ini pernah makan sejenis jamur yang
tumbuh di Lembah Bangkai, ketika pertama kali digembleng ilmu olah kanuragan.
Sehingga, racun itu tidak sampai mematikan dirinya.
Namun demikian keadaan Pendekar Rajawali Sakti
benar-benar dibuat loyo. Untuk berdiri pun langkahnya terasa limbung. Hanya
karena jamur yang pernah dimakan-nyalah, racun itu tidak mematikannya. Sedikit
demi sedikit, racun itu memang berhasil dipunahkan.
Sementara pada saat itu Ki Sanca Ireng telah mencelat ke arahnya dengan serangan
maut yang akan menghabisi hidupnya.
"Hiyaaat...!"
"Kakang...! Awas!"
Ambarwati yang melihat keadaan itu jadi tidak tega.
Seketika tubuhnya langsung melompat, untuk melindungi Pendekar Rajawab Sakti.
Segera dipapaknya serangan Ki Sanca Ireng.
"Ambar, jangaaan...!" teriak Rangga lemah.
Pendekar Rajawali Sakti tahu betul kalau tindakan ini hanya akan mencelakakan
gadis itu saja, Maka dengan sekuat tenaga ditubruknya Ki Sanca Ireng sambil
mengibaskan pedang.
*** Dengan gerakan mengagumkan Ki Sanca Ireng
merendahkan tubuhnya. Lalu seketika tongkat ularnya dikebutkan ke perut Pendekar
Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya sehingga tak mungkin lagi dihindari
Rangga. Maka.... Crasss! "Aaakh...!"
Ujung tongkat ular Ki Sanca Ireng kontan merobek perut Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang nyaris bersamaan tokoh dari Pulau Ular itu melepaskan tendangan
berputar ke arah dada Ambarwati.
Digh! "Aaakh!'' Gadis itu kontan terpental disertai jerit kesakitan.
Sementara dengan sisa-sisa tenaganya, Rangga berusaha tegak berdiri. Tangannya langsung membuat totokan di sekitar perutnya
untuk menghentikan darah yang banyak keluar. Kemudian disertai suara geraman
dahsyat, tubuhnya melesat ke arah Ki Sanca Ireng yang baru saja
berbalik. "Oh"!"
Tokoh dari Pulau Ular itu hanya mampu mendelik,
melihat lesatan tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang demikian cepat disertai
sambaran pedangnya yang ber-sinar biru berkilauan. Bahkan untuk mengangkat
tongkat ularnya sendiri, dia seperti tidak mampu. Memang,
sungguh tak disangka kalau pemuda itu masih mampu
menyerang dahsyat. Apalagi. Rangga kini mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah
Sukma'. Akibatnya....
Cras! "Aaakh...!"
Tepat sekali mata pedang Pendekar Rajawali Sakti
membabat leher Ki Sanca Ireng. Tokoh dari Pulau Ular ini hanya mendelik dengan
tubuh berdiri kaku. Sebentar kemudian, tubuhnya ambruk di tanah, hingga
kepalanya menggelinding. Dan seketika, darah menyembur deras dari lehernya yang
buntung. Sebentar dia menggelepar-gelepar.
Lalu diam tak berkutik lagi.
Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan
keadaan lawannya yang kini telah terbujur kaku. Tapi tiba-tiba....
"Hokh...!"
Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah kental.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah pucat. Pandangannya mulai
mengabur dan berkunang-kunang. Pikirannya mendadak kosong tidak menentu.
Sementara otot- otot di tubuhnya mengejang dan sulit digerakkan. Belum juga dia
menyadari apa yang terjadi, mendadak....
"Hua ha ha...! Hari ini adalah kematianmu, Keparat!
Yeaaa...!"
Terdengar satu suara ketawa nyaring yang disusul
berkelebatnya sesosok bayangan. Dan....
Jdeeer! Sosok bayangan itu langsung menghantam Pendekar
Rajawali Sakti dengan pukulan dahsyatnya. Rangga
terkejut setengah mati. Dan dia mencoba menjatuhkan diri.
Namun akibatnya sungguh parah. Begitu tubuhnya
menyentuh tanah, seketika tanah di sekitarnya longsor akibat hantaman pukulan
jarak jauh sosok itu.
"Haaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti menjerit panjang ketika tubuhnya meluncur deras ke dalam
jurang yang menganga lebar.
Begitu gema teriakan Pendekar Rajawali Sakti hilang dari pendengaran, seorang
laki-laki tua berambut panjang yang telah memutih berdiri tegak di bibir jurang
sambil berkacak pinggang dan tertawa keras. Jubahnya yang terbuat dari sisik
ular berkibaran ditiup angin.
"Hua ha ha...! Hari ini tamatlah riwayat Pendekar Rajawali Sakti. Dia telah
mampus di dasar jurang sana!
Ha... ha... ha...!"
"Hieee...!"
Baru saja laki-laki berjubah kulit ular itu menghentikan tawanya, terdengar
sebuah ringkikan kuda.
"Heh"!"
Laki-laki tua itu kontan tersentak kaget. Mendadak saja seekor kuda hitam dan
berbadan gagah itu mengangkat kedua kaki depannya.
"Binatang Laknat! Rupanya kau tunggangan si Keparat itu, he"! Kau boleh
menyusulnya ke akherat sana!" desis laki-laki berjubah kulit ular itu. Langsung
kedua tangannya dihentakkan, melepaskan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.
"Hieee...!"
Kuda berbulu hitam yang bernama Dewa Bayu meringkik keras, lalu binatang tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini melompat
lincah menghindari hantaman pukulan itu. Jdeeer!
"Hieee...!"
Dewa Bayu terus meringkik keras, lalu berlari kencang menuruni bukit.
"Hei"! Hendak kabur rupanya" Kau kira semudah itu"
Awas! Kau akan mendapat bagian yang sama dengan
majikanmu!" bentak laki-laki tua itu. Langsung dikejarnya Dewa Bayu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Namun, laki-laki tua itu jadi kesal sendiri. Tentu saja, karena Dewa Bayu memang
bukan kuda sembarangan.
Tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ternyata mampu
berlari kencang bagai angin topan.
*** Sementara itu, Ki Danang Mangun yang masih berada
di tempat itu hanya mampu menatap takjub. Perlahan-lahan dia bangkit, dan
memandang ka sekeliling yang telah sunyi. Dan ketika matanya tertumbuk pada
sosok Ambarwati yang masih terbujur, dia segera melangkah mendekati.
"Hm.... Gadis ini masih terasa detak jantungnya. Mudah-mudahan masih sempat
tertolong...," desah Ki Danang Mangun ketika memeriksa nadi Ambarwati. Ki Danang
Mangun segera membalikkan tubuh Ambarwati, sehingga tengkurap. Lalu, kedua
tangannya ditempelkan ke
punggung gadis itu. Sebentar orang tua itu menarik napas dalam-dalam dengan mata
terpejam. Kini Ki Danang Mangun menyalurkan hawa murni
perlahan-lahan. Tampak napasnya jadi megap-megap
karena terlalu banyak menyalurkan hawa murni ke tubuh Ambarwati. Ki Danang
Mangun segera menarik kedua
tangannya, ketika telah melihat gerakan halus pada punggung Ambarwati. Memang,
gadis itu mulai siuman meski dadanya terasa sakit sekali.
"Kakang Rangga..." Aaakh!"
Ambarwati membalikkan tubuhnya dan langsung
tersentak kaget. Dia hendak bangkit, namun rasa sakit di dadanya begitu
menyentak dan membuatnya tidak berdaya.
"Nisanak. Sebaiknya jangan banyak bergerak dulu...."
ujar Ki Danang Mangun menasihati.
"Oh! Siapakah kau" Apa yang terjadi dengan Kakang Rangga..."!" tanya gadis itu,
cemas. Ki Danang Mangun menunduk lesu.
"Kisanak! Katakan padaku! Apa yang telah terjadi dengannya...?"
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau yang dimaksud si Pendekar Rajawali Sakti, dia..., dia telah tewas di
bawah jurang sana...," sahut orang tua itu lemah.
"Apa" Oh, tidak! Tidaaak..!" sentak Ambarwati memilukan.
Ambarwati berusaha bangkit mendekati bibir jurang.
Namun baru saja hendak bangkit, tubuhnya terjungkal. Dia tak kuasa menahan rasa
sakit hebat di dada.
"Nisanak... Kau harus menjaga kesehatanmu sendiri.
Terimalah kenyataan ini," hibur Ki Danang Mangun.
"Seandainya Pendekar Rajawali Sakti hidup pun, pasti tidak mungkin bisa bertahan
lama dari racun Ki Sanca Ireng yang mengendap di tubuhnya...."
"Tidak! Tidak mungkin! Dia tidak akan mati! Dia pasti akan bertahan...!" sentak
Ambarwati. "Nisanak! Kita bisa saja berkata demikian. Dan siapa pun tahu Pendekar Rajawali
Sakti amat hebat. Namun di atas semua itu, hanya Yang Maha Kuasa saja yang tahu
nasibnya," hibur Ki Danang Mangun.
"Aku benci kata-katamu! Hentikan ocehanmu! Dia akan selamat! Dia akan selamat!"
jerit gadis itu, makin memilukan.
Ki Danang Mangun hanya mampu menghela napas
panjang sambil memandang Ambarwati. Sementara, gadis itu menunduk lesu dengan
isak tangisnya.
*** 7 "Setan! Akan kuancang tubuhmu sampai tidak berbentuk kalau kutemukan!" desis
sosok berjubah kulit ular yang tengah mencari-cari kuda hitam tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu.
Sementara itu apa yang dilakukan Dewa Bayu memang
cerdik sekali. Kuda hitam itu terus berlari kencang, jauh meninggalkan sosok
yang mengejarnya. Dewa Bayu terus berlari seperti tidak mengenal lelah. Dan
ketika tengah malam tiba, hewan itu berhenti dan meringkik keras di halaman
depan sebuah pondok yang agak terpencil dari desa-desa di sektornya.
"Hieee...!"
Ketika Dewa Bayu meringkik, tak lama lampu di pondok itu dinyalakan dari dalam.
Kemudian, pintu pondok terbuka lebar-lebar. Kini di depan pondok berdiri seorang
gadis cantik berbaju biru. Pedang pendek dan kipas bajanya tampak terselip di
pinggang. Gadis itu buru-buru menghampiri Dewa Bayu. Sementara di belakangnya
menyusul seorang laki-laki berusia lanjut dengan seorang bocah perempuan berusia
sekitar delapan tahun.
"Pandan Wangi, hati-hati. .!" teriak orang tua itu memperingatkan.
"Jangan khawatir, Ki Wiranata. Aku kenal kuda ini..."
sahut gadis yang ternyata Pandan Wangi dan berjuluk Si Kipas Maut.
Sementara, Dewa Bayu terus meringkik-ringkik sambil mengangkat kedua kaki
depannya tinggi.
"Dewa Bayu, tenang! Hus, ayo tenang! Tenanglah...!"
lanjut Pandan Wangi berusaha mendiamkan Dewa Bayu
yang kelihatannya bersikap liar.
"Hieee...!" '
"Ayo, tenang! Tenang! Tidakkah kau mengenalku"
Kenapa kau bersikap seperti ini" Mana Kakang Rangga"
Kenapa dia tidak bersamamu" Hus! Ayo tenang!
Tenanglah...!"
Perlahan-lahan Dewa Bayu menghentikan tingkahnya.
Lalu binatang ini meringkik halus seraya menyembur-nyemburkan napasnya dengan
keras. Pandan Wangi
mengusap-usap lehernya, lalu menepuk-nepuk pundaknya.
"Nah! Begini lebih baik. Sekarang katakan, apa yang terjadi dengan Kakang
Rangga" Kenapa kau tidak
bersamanya...?"
Hewan itu kembali meringkik dan melompat-lompat
beberapa kali. Dia mengitari Pandan Wangi.
Sementara si Kipas Maut memperhatikannya dengan
seksama. Wajahnya tampak cemas ketika Dewa Bayu
menghampirinya. Bahkan binatang itu menggigit lengan bajunya dan menariknariknya seperti hendak menunjukkan sesuatu.
"Ada apa, Bi...?" tanya bocah perempuan berusia delapan tahun itu.
"Sepertinya Kakang Rangga sedang mengalami
kesulitan, Diah," sahut Pandan Wangi cemas.
"Kesulitan" Mana mungkin! Paman Rangga orang
hebat..." sanggah bocah yang sebenarnya bernama Diah Kumitir.
"Diah, kau belum mengerti. Di dunia ini masih nanyak lagi orang-orang yang lebih
hebat dari pamanmu. Dan di antaranya adalah orang-orang jahat..," jelas Pandan
Wangi, memberi pengertian pada bocah itu.
"Kesulitan bagaimana, Pandan ?" tanya laki-laki yang dipanggil Ki Wiranata.
"Entahlah, Ki. Aku sendiri tidak tahu. Tidak biasanya Dewa Bayu bertingkah
seperti ini. Pasti ada sesuatu yang hebat terjadi pada diri Kakang Rangga. Aku
harus segera mencari dan menemuinya esok pagi," sahut si Kipas Maut dengan wajah
semakin cemas. "Bibi, bolehkah aku ikut..?"
Pandan Wangi tersenyum pahit. Langsung dielusnya
kepala bocah itu.
"Diah harus tetap di sini menemani Kakek, ya" Lagipula.
ingat pesan Paman. Diah harus rajin berlatih agar bisa menjadi anak yang hebat,"
tolak Pandan Wangi, halus.
Diah Kumitir kecewa mendengar jawaban Pandan
Wangi. Wajahnya berubah mendung, seperti hendak
menangis. "Diah.... Apa yang dikatakan Bibimu benar, Lagipula, perjalanan ini amat
berbahaya bagimu. Kau harus tetap di sini bersama Kakek," bujuk Ki Wiranata.
Gadis cilik itu menundukkan kepala. Meski sikapnya patuh, namun jelas amat
kecewa. Lebih-lebih ketika kakeknya mengajaknya masuk ke dalam, sementara
Pandan Wangi menggiring Dewa Bayu ke dalam kandang.
Hewan itu berusaha berontak. Namun dengan sabar,
Pandan Wangi membujuknya sambil mengelus-elus
lehernya. "Dewa Bayu, sabarlah. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi kau telah
melakukan perjalanan jauh.
Istirahatlah untuk memulihkan tenaga. Kebetulan di belakang banyak rumput segar.
Besok, pagi-pagi sekali kita akan segera berangkat..," bujuk Pandan Wangi.
Seperti mengerti apa yang dikatakan gadis itu. Dewa Bayu meringkik halus. Dan
sikapnya pun sedikit lebih tenang!
*** Sementara di dasar jurang, di mana Pendekar Rajawali Sakti terjatuh, seorang
pemuda tampak terbaring lemah di sebuah ruangan yang temaram. Samar-samar
seberkas cahaya obor menerpa bola matanya. Pemuda itu
mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat, lalu berusaha bangkit dari
pembaringan bambu. Namun tubuhnya bagai remuk. Tulang-belulangnya terasa sulit
digerakkan. Bahkan kepalanya terasa sakit ketika mencoba mengingat-ingat apa yang telah
menimpanya. "Ohhh...."
"Hm... Kau mulai sadar, Nak..?" tanya sebuah suara yang begitu dekat di telinga
pemuda itu. Kembali pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kelopak
matanya. Dan samar-samar, dia melihat orang tua
berjenggot lebat telah memutih berada di dekatnya. Sambil tersenyum kecil, orang
tua yang sebagian rambutnya telah rontok itu memijit-mijit keningnya.
"Si... siapa kau...?" tanya pemuda itu.
"Jangan terlalu berpikir dulu. Sebaiknya minum dulu ramuan yang telah
kupersiapkan untukmu," sahut orang tua itu. Diangkatnya kepala pemuda itu. Lalu,
dituang-kannya isi cawan di tangannya ke mulut pemuda yang masih terbaring lemah
ini. Pemuda itu memandang orang tua yang menolongnya
dengan sinar mata curiga.
"Kau tidak perlu curiga dengan ramuan itu. Tidak mungkin aku menolongmu dengan
menangkap tubuhmu,
kalau sampai di sini ternyata hendak kuracuni," kata orang tua itu seperti
mengerti apa yang tersirat di pikiran pemuda ini. Pemuda tampan itu hanya diam
saja, tidak menyahut.
Dan kini, ramuan yang dicekoki orang tua itu bekerja sedikit lambat. Namun,
hasilnya terasa perlahan-lahan mulai bekerja. Pemuda itu menggelinjang dengan
wajah berkerut seperti menahan rasa sakit yang hebat
"Tahanlah. Ramuan itu mulai bekerja. Hawa panas yang kau derita sesungguhnya
melancarkan peredaran
darahmu, untuk memulihkan tenaga," jelas orang tua itu.
Dan baru saja orang tua ini menyelesaikan katakatanya.... "Aaakh...! Hoeeekh...!"
Pemuda tampan itu kontan menjerit kesakitan. Dan
seketika dia memuntahkan darah kental beberapa kali.
Bahkan beberapa di antaranya berbentuk bungkahan kecil berwarna hitam kebirubiruan. "Bagus! Keluarkan seluruhnya. Dan tahanlah rasa sakit yang menyiksamu...!"
lanjut orang tua itu dengan wajah gembira.
Pemuda itu megap-megap seperti kehabisan napas.
Beberapa kali dia muntah-muntah, sampai akhirnya yang keluar berupa setetes
darah segar. Dengan sigap orang tua itu menangkap tubuh pemuda ini dan
membuatnya duduk bersila. Kedua tangannya mengurut-urut punggung
pemuda itu sehingga rasa mualnya perlahan-lahan sirna
"Tarik napas panjang-panjang. Lalu keluarkan napasmu perlahan-lahan selama
beberapa kali!" perintah orang tua ini. Pemuda itu mengikuti petunjuk orang tua
ini. "Bagus! Nah, latihlah pernapasanmu untuk beberapa saat. Sementara, aku
menyiapkan sop hangat untukmu!"
lanjut orang tua itu segera berlalu dari tempat ini.
Pemuda tampan ini melakukannya tanpa banyak ribut.
Sehingga, rasa sakit di seluruh tubuhnya mulai terasa berkurang secara
berangsur-angsur. Dan persendian
tulang-belulangnya pun kini terasa enteng.
Tak lama, orang tua tadi muncul kembali sambi
membawa dua buah cawan di atas sebuah nampan.
Sambil tersenyum lebar diletakkannnya nampan itu di atas sebuah batu datar.
Lalu, dihampirinya pemuda itu. Begitu dekat, orang tua ini membalikkan tubuh
pemuda itu. Sehingga kedudukannya dipunggungi.
"Pusatkan pikiranmu. Dan, kosongkan segala sesuatu-nya. Ingat! Walau apa pun
yang kau rasakan, jangan mencoba melawan. Jika terasa sakit tahan saja!"
Pemuda itu belum sempat mengangguk, ketika mendadak orang tua itu menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung.
Tap! Tap! Pemuda tampan ini tersentak kaget. Sebagai orang
yang mengerti ilmu silat, dia tahu orang tua ini pasti hendak menyalurkan hawa
murni ke tubuhnya!
"Aaah...!"
*** "Ini milikmu, ambillah...."
Sambil berkata demikian, laki-laki tua itu menyerahkan pedang bergagang kepala
burung kepada pemuda yang
telah ditolongnya.
"Kisanak... Siapakah engkau ini sebenarnya" Aku terlalu banyak berhutang budi
padamu. Dan, rasanya akan tidak sanggup kubayar meski dengan segunung emas
sekalipun. Tapi hatiku akan lega jika aku tahu nama besarmu...?"
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Malah dia
menarik napas barang sesaat, lalu memandang pemuda yang ditolongnya sambil
tersenyum. "Aku adalah sahabat lama gurumu...," kata orang tua itu pendek.
"Sahabat guruku...?"
Pemuda itu mengerutkan dahi.
"Dari mana kau bisa memastikannya?"
"Pedangmu."
Sadarlah pemuda itu kalau orang tua yang menolongnya bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Untuk
beberapa saat mereka saling diam.
"Aku tidak akan pernah melupakan gurumu. Di masa mudanya, dia adalah tokoh besar
yang tak terkalahkan.
Bahkan aku tidak bisa disejajarkan dengannya. Suatu saat, aku pernah hampir
tewas dikeroyok tiga orang datuk sesat.
Untung saja gurumu muncul dan menolongku. Lama berpikir bagaimana caranya
membalas hutang budi gurumu.
Apalagi, dia bukanlah seorang yang senang akan pamrih.
Sejak itu, kami jarang bertemu. Bahkan boleh dikatakan sampai saat ini. Lalu
ketika kebetulan sekali aku berjalan di lembah ini, kulihat tubuhmu melesat
jatuh dari ketinggian. Kalau saja tidak kukenali sinar pedang pusakamu, tentu saja kukira
itu adalah mayat-mayat manusia yang memang sering tergelincir dari atas
tebing...."
Orang tua itu menghentikan ceritanya sejenak.
Ditariknya napas dalam-dalam.
"Keadaanmu amat parah. Ternyata racun yang
mengendap dalam tubuhmu sejenis racun yang
mematikan. Tapi aku heran juga, ternyata racun itu sedikit-demi sedikit punah,
walaupun bagian dalam tubuhmu
sempat digerogoti. Dan ditambah ramuanku, maka
sempurnalah pengobatanku. Kini, racun-racun itu telah keluar semua. Agaknya Yang
Maha Kuasa belum berkenan untuk mencabut nyawamu. Oh, ya. Siapa namamu...?"
"Rangga!"
"Hm.... Rangga..., apa yang menyebabkan kau sampai berurusan dengan orang-orang
Pulau Ular...?"
"Agaknya kau pun telah mengetahui, Ki..." sahut pemuda yang ternyata Rangga
alias Pendekar Rajawali Sakti.
Orang tua itu tertawa kecil.
"Bagaimana tidak" Hampir segala jenis racun aku tahu.
Termasuk racunnya orang-orang Pulau Ular itu!" sahut orang tua ini.
"Astaga! Tunggu dulu!" sentak Rangga dengan wajah kaget. Dipandanginya orang tua
itu dengan seksama.
"Hanya satu orang di dunia ini yang memiliki keahlian seperti itu. Tidak salah
lagi! Kau pasti Tabib Malaikat Bertangan Perak! Tapi... ah! Mana mungkin" Jika
guruku saja hidup pada seratus tahun yang lalu, tapi kau masih segar bugar
seperti ini"
"Itulah, Rangga. Tak ada satu pun yang sanggup mencabut nyawa di dunia ini,
selain Yang Maha Kuasa.
Gurumu memang telah sangat lama mati. Tapi, ternyata aku masih dikasih hidup.
Bahkan julukanku masih sempat kau dengar. Kau tidak salah menebak, Rangga.
Akulah orang yang kau maksud," sahut orang tua itu sambil tersenyum.
"Ah! Kalau begitu benar?"
Rangga buru-buru membungkuk seraya menjura hormat
"Ki Jayeng Perkasa, terimalah salam hormatku!" ucap Pendekar Rajawali Sakti
memanggil nama asli orang tua itu. "Ah.... Tak usah sungkan-sungkan. Rangga.
Bangkit-lah...," sahut Tabib Malaikat Bertangan Perak, memegang kedua bahu
Pendekar Rajawali Sakti. "Nah! Ceritakan bagaimana kau sampai mengalami
peristiwa seperti ini?"
Rangga pun mulai menceritakan peristiwa yang dialami-nya.
*** Ki Jayeng Perkasa mengangguk disertai senyum kecil.
"Hm.... Pasti si Tua Bangka Tunggal Kala Widyuta ikut campur urusan
muridnya...," gumam Ki Jayeng Perkasa.
"Siapakah yang Eyang maksudkan...?"
"Siapa lagi kalau bukan majikan Pulau Ular, guru ketiga lawanmu itu" Dia sadar
kalau lawan yang akan dihadapi ketiga muridnya bukanlah orang sembarangan. Dan
selamanya, orang-orang Pulau Ular tidak suka dikalahkan.
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia pasti mengikuti muridnya, dan menyerangmu saat kau dalam keadaan tidak
berdaya." jelas Ki Jayeng Perkasa.
"Hm.... Saat ini dia tentu akan menyombongkan diri telah membinasakanku!" dengus
Rangga geram. "Apakah kau tidak rela bila orang-orang tahu kalau kau binasa di tangannya?"
tanya Ki Jayeng Perkasa, dengan senyum menyelidik.
"Eyang.... Aku tahu di atas langit masih ada langit lain.
Demikian pula tingkat kehebatan seseorang. Tapi bila murid-muridnya mampu
membunuh orang yang tidak
bersalah tanpa berkedip, maka gurunya pasti akan lebih dari itu! Keadaan akan
semakin kacau. Dan aku harus segera menghentikannya!" sahut Rangga mantap.
"Nah, kalau demikian pergilah. Lakukan tugasmu!"
Rangga segera bangkit dan kembali membungkuk
hormat pada orang tua itu.
"Eyang, aku berhutang budi padamu. Tapi suatu saat jika umur panjang, aku akan
membalasnya. Sekarang aku mohon pamit!" ucap Rangga, haru.
"Rangga... Kau tidak perlu berkata begitu. Anggap saja aku gurumu. Dan sudah
selayaknya aku berbuat demikian, sehingga kau tidak perlu merasa dibebani hutang
budi..," tutur Ki Jayeng Perkasa, penuh kebijakan.
"Terima kasih. Eyang. Terimalah hormatku!" sahut pemuda itu. Baru saja Rangga
hendak bersujud, Ki Jayeng Perkasa buru-buru menahannya.
"Tidak perlu, Anakku! Pergilah sekarang juga. Makin cepat langkahmu, maka
semakin baik. Doaku selalau
merestuimu!"
"Terima kasih, Eyang!" sahut Rangga langsung bangkit.
Segera dia melangkah ke luar ditemani Ki Jayeng Perkasa.
Kini Pendekar Rajawali Sakti telah berada di luar, dan langsung menghirup udara
luar sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga dadanya. Lalu matanya memandang ke
sekeliling yang agaknya merupakan sebuah lembah subur.
"Mudah-mudahan dia bisa mendengar panggilanku...!"
gumam Rangga berharap.
Suiiit..! Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring sambil menengadahkan wajah
ke langit. Belum terlihat suatu. Dan pemuda itu kembali bersuit nyaring. Dan tak
lama kemudian. "Khraaaghk...!"
"Ah! Kau pasti datang, Sobat! Aku yakin kau mendengar panggilanku!" sambut
Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah berseri, begitu melihat titik hitam
keperakan yang diyakini adalah Rajawali Putih. Dan sebentar kemudian, melesat
seekor burung raksasa berbulu putih keperakan.
Begitu besarnya, sehingga hampir menutupi lembah ini.
Rangga langsung melompat ke lehernya begitu Rajawali Putih mendarat. Lalu
sebentar kemudian rajawali raksasa itu melesat cepat bagai kilat setelah
mengepakkan kedua sayapnya.
*** 8 Berita kematian Pendekar Rajawali Sakti agaknya cepat tersebar. Dan entah apa
yang menyebabkannya, kini di tempat jatuhnya Pendekar Rajawali Sakti ke dalam
jurang, banyak tokoh silat pada keesokan harinya berduyun-duyun.
Mereka ingin membuktikan sendiri kematian Pendekar Rajawali Sakti. Meski jalan
ke tempat itu tidak mudah, namun rasa ingin tahu mereka sedemikian dalam.
Sehingga rintangan alam jadi tidak berarti.
Tidak heran di antara tokoh-tokoh persilatan, tampak juga Pandan Wangi. Gadis
itu tampak merenungi bibir jurang tempat Rangga jatuh.
"Kakang Rangga..." Oh!?" Pandan Wangi tidak kuasa menahan air mata yang sejak
tadi terus meleleh membasahi pipi
"Nisanak.... Sudah semalaman kau berada di sini Kau hanya menyiksa dirimu saja.
Lebih baik pulanglah.
Percuma berharap kalau Pendekar Rajawali Sakti akan bangkit. Kau harus menerima
kenyataan kalau dia telah tewas di bawah jurang sana...," terdengar sebuah suara
dari seorang laki-laki tua.
Demi mendengar itu. Pandan Wangi tidak bisa menahan tangisnya. Setelah memandang
orang tua itu, dia menekap wajahnya sendiri. Baru kemudian, kedua tangannya membersihkan air mata yang terus bergulir.
"Kisanak.... Apakah kau betul melihat Pendekar Rajawali Sakti tewas" Coba tolong
ceritakan padaku," pinta Pandan Wangi.
Orang tua itu memandangnya beberapa saat. Tampak
wajah gadis ini sembab. Dia menduga, kalau gadis ini bertanya soal Pendekar
Rajawali Sakti, paling tidak punya hubungan dengan pemuda itu. Tapi ketika
melihat kuda berbulu hitam yang berada di belakang gadis ini, sesaat bola mata
orang tua itu terlihat kaget.
"Nisanak! Siapakah kau"! Dan ku... da ini" Bukankah ini milik Pendekar Rajawali
Sakti" Kemarin kuda ini bersamanya ketika Pendekar Rajawali Sakti terjatuh ke
jurang akibat dibokong seseorang, kuda ini meringkik keras. Dan dia berlari
menuruni bukit. Tapi orang itu mengejarnya.
Bahkan kelihatan sangat bernafsu hendak membunuhnya.
Hem... Kuda ini pasti bukan sembarangan, karena luput dari kemarahannya...."
"Kisanak! Kau bicara tentang siapa?"
"Itu, orang yang telah mencelakakan Pendekar Rajawali Sakti...."
"Apakah kau kenal?"
"Entahlah. Sepertinya, aku belum pernah melihat wajahnya. Tapi kalau bertemu
sekali lagi, tentu saja aku ingat"
"Bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Apakah kau hendak membalaskan dendam Pendekar Rajawali Sakti, Nisanak"
Sebaiknya urungkan saja niatmu.
Karena, percuma saja. Aku melihat dan bisa merasakan sendiri kalau orang itu
memiliki kepandaian tinggi!"
"Peduli dia setan sekalipun, tolong katakan padaku!
Bagaimana tampang keparat itu!" desis Pandan Wangi geram.
"Ki Danang! Tidakkah kau tahu siapa gadis ini?" tanya salah seorang tokoh silat
yang berada di tempat ini.
Orang tua yang tak lain Ki Danang Mangun, menggeleng lemah.
"Dialah si Kipas Maut!" timpal seseorang.
"Hm, Kipas Maut" Pantas saja. Aku pernah mendengarnya. Kalau tidak salah, kau
ini kekasih Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tanya Ki Danang Mangun, ingin
memastikan. Pandan Wangi diam tidak menjawab. Dipandangnya
orang tua itu dengan perasaan kesal.
"Maaf, Kipas Maut. Kami turut berduka atas kematiannya. Tapi jika kau hendak
membalas dendam atas
kematian Pendekar Rajawali Sakti, rasanya percuma
saja...," sahut Ki Danang Mangun, bernada menyesal.
"Hm.... Begitukah jawabanmu" Begitukah jawaban kalian semua" Tidakkah kalian
bisa membuka mata kalau apa yang selama ini diperjuangkan Pendekar Rajawali
Sakti adalah untuk kepentingan orang banyak" Tidakkah kalian menyadari kalau apa
yang dilakukannya terhadap ketiga iblis itu demi ketenteraman bersama, termasuk
kalian yang ada di sini" Dan ketika dia tewas, mengapa kalian hanya diam"
Mengapa hanya membisu..."!" sentak Pandan Wangi jadi kalap.
Semua orang-orang persilatan yang berada di tempat ini hanya terdiam dengan
kepala tertunduk. Tidak ada
seorang pun yang berani menjawab. Dan Pandan Wangi yang saat itu tengah
menanggung duka yang amat
mendalam dicampur rasa dendam amarah, semakin kalap saja.
"Kenapa kalian diam"! Ataukah kalian semua ini sekumpulan pengecut yang hidupnya
selalu bergantung padanya..."!"
Sambil berkacak pinggang dan mata melotot garang,
Pandan Wangi menatap mereka satu persatu.
"Nisanak..." Ki Danang Mangun buka suara. "Mungkin benar apa yang kau katakan.
Tapi cobalah bijaksana dan berpikir tenang. Orang yang kau hadapi berkepandaian
sangat tinggi. Kau akan membuang nyawa sia-sia jika bertindak nekat. Demikian
pula kami. Bukannya kami takut mati. Tapi, kalau pun kami mati, belum tentu
mampu membinasakan orang yang telah membunuh Pendekar
Rajawali Sakti itu," kata Ki Danang Mangun.
"Lalu, apakah keberatannya untuk memberi keterangan padaku, bagaimana ciri-ciri
orang itu"!"
Tapi sebelum Ki Danang Mangun menjawab...
"Kau tidak perlu repot-repot. Palingkan mukamu. Maka kau akan melihat wajahnya!"
Terdengarlah sebuah suara lantang menggelegar, yang membuat semua orang mencaricari sumber asalnya.
*** Pandan Wangi segera berpaling. Tampak seorang lakilaki berusia lanjut dengan jubah lebar dari kulit ular berwarna hitam telah
berdiri di hadapannya. Sepasang matanya cekung bagai seekor elang buas. Tubuhnya
agak kurus. Rambutnya yang putih panjang, dikuncir ke
belakang. Wajahnya bersih tanpa kumis dan janggut.
Kulitnya keriput, menandakan usianya paling tidak telah berkepala delapan.
"Siapa kau..."! Kaukah yang telah membunuh Pendekar Rajawali Sakti..."!" desis
Pandan Wangi, geram.
"Hua ha ha...! Apakah ada yang mampu menghalangai keinginan majikan Pulau Ular?"
sahut orang tua itu, tersenyum angkuh.
"Ki Tunggul Kala Widyuta...!" seru Ki Danang Mangun, dengan wajah kaget.
Semula Ki Danang Mangun sudah terkejut melihat
kemunculan orang tua itu dengan tiba-tiba. Dan kini, lebih kaget lagi ketika
mengetahui siapa dia sebenarnya.
Rasa kaget yang dialami Ki Danang Mangun agaknya
juga dirasakan yang lainnya. Selama ini, Ki Tunggul Kala Widyuta dikenal sebagai
datuk sesat nomor wahid. Tidak seorang pun yang mampu bertahan lama bila
berhadapan dengannya. Dan sampai akhirnya, orang tua itu menetap di Pulau Ular.
Sejak saat itu, dia jarang muncul ke dunia persilatan. Namun, beberapa orang
muridnya telah membuat geger karena sepak terjangnya yang ganas dan tidak tertahankan. Dan bila
muridnya saja mampu berbuat seperti itu, maka bisa dibayangkan bagaimana
hebatnya kepandaian orang tua ini.
'"Monyet Buduk, bagus! Akhirnya kau datang sendiri mencari mati di tanganku!"
desis Pandan Wangi geram, langsung mencabut pedang dan kipas mautnya.
Sring! Srak! "He he he...! Kenapa sungkan" Seranglah sebisamu.
Dan dalam sekejap, aku akan mengirimmu ke dekat
kekasihmu di akhirat sana!" sahut orang tua itu mengejek.
Bukan main geramnya Pandan Wangi mendengar
ejekan laki-laki tua bernama Ki Tunggal Kala Widyuta.
Namun sebelum dia melompat menyerang, mendadak
melintas bayangan hitam di angkasa yang begitu besar.
Seketika semua mata menengadah ke atas, dan melihat seekor rajawali raksasa
tengah melayang dekat di
angkasa. Wajah Pandan Wangi kontan berseri.
"Kakang Rangga...!"
"Pendekar Rajawali Sakti!" seru yang lain dengan wajah takjub. Mereka hampir
tidak percaya kalau pemuda itu masih ada, jika tidak melihat sendiri.
Sementara Ki Danang Mangun juga tidak habis pikir.
Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu mencelat ke bawah, dan menjejak ke tanah
dengan gerakan amat ringan.
"Kakang Rangga! Oh syukurlah kau selamat! Aku..., aku khawatir sekali mendengar
berita orang-orang...!" seru Pandan Wangi, langsung menghambur memeluk pemuda
itu dengan perasaan haru. Tidak dipedulikannya orang-orang yang berada di tempat
ini. Rangga menepuk pundak gadis itu, dan segera
memberi isyarat agar Pandan Wangi tidak bersikap begitu.
Barulah gadis ini tersentak sadar dan tersenyum tersipu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Bagus! Kau belum mampus rupanya! Hari ini dengan
disaksikan orang banyak,
jasadmu akan kubuat terkapar tanpa daya!" dengus Ki Tunggul Kala Widyuta.
Rangga menoleh. Bibirnya mengembangkan senyum
tipis dengan tatap mata tajam kepada tokoh nomor satu dari Pulau Ular.
"Ki Tunggul Kala Widyuta! Mestinya sebagai tokoh besar aku menghormatimu. Tapi
tindakanmu amat pengecut, dan tidak akan pernah kulupakan. Maka kau memang tak
pantas hidup!" desis Pendekar Rajawali Sakti garang, langsung mencabut
pedangnya. Sriiing! Begitu pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut, maka memancarlah sinar biru dari
batang pedang. Mereka yang melihat berseru kagum. Bahkan Ki Tunggul Kala Widyuta
sempat bergidik ngeri. Tapi mana mau dia menunjukk-annya di depan pemuda itu.
"He he he...! Dengan senjata butut itu kau hendak menempurku. Bocah"! Lebih baik
bunuh diri saja sebelum aku membuatmu malu!" ejek tokoh nomor satu dari Pulau
Ular ini. "Hiyaaat...!"
"Heh"!"
Tapi sebagai jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti
melompat bagaikan seekor kijang menyerang Ki Tunggul Kala Widyuta. Menyadari
kalau lawannya adalah tokoh sakti, maka Pendekar Rajawali Sakti langsung
mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Orang tua itu terkejut.
Dan dia merasakan angin serangan yang amat kuat
berdesir kencang menghantamnya, buru-buru dia melompat ke samping.
Wuuung! "Uuuh...!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti hanya menyambar
angin kosong. Namun kelebatannya menimbulkan bunyi berdengung yang membuat
jantung berdetak tidak
menentu. Orang tua ini merasa aneh ketika tiba-tiba saja jurusnya jadi tidak
beraturan. Bahkan jiwanya seperti terpecah-pecah dengan pikiran tak menentu.
"Yeaaa...!"
Namun dengan mengumpulkan semangatnya, Ki
Tunggul Kala Widyuta mulai balas menyerang,
menghantam Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan
mautnya. Tapi Rangga mampu melompat gesit
menghindari. Jdeeer! Tanah di tempat mereka berpijak bergetar begitu
pukulan orang tua itu menghantam tanah tempat Rangga berdiri tadi. Bahkan
beberapa bagian tampak terbelah.
Orang-orang yang melihat pertarungan kontan berlarian ke sana kemari untuk
menyelamatkan diri.
Tapi Rangga sudah tidak mempedulikan keadaan lagi.
Pikirannya betul-betul terpusat untuk menyerang orang tua itu dengan kekuatan
yang dimiliki. Dengan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'
Pendekar Rajawali Sakti terus mengebut-ngebutkan
pedangnya. Akibatnya, Ki Tunggul Kala Widyuta jadi tersentak mundur.
"Keparat! Huh! Kenapa pikiranku jadi bercabang"!"
dengus tokoh nomor satu dari Pulau Ular itu.
"Heaaat..!"
Disertai bentakan nyaring, Ki Tunggul Kala Widyuta menghentakkan telapak
tangannya beberapa kali, melepaskan pukulan mautnya. Namun, selalu saja
pukulannya luput dari sasaran. Entah kenapa pikirannya selalu terganggu.
Sementara bebatuan di tempat itu hancur dan menggelinding ke bawah. Tanah tempat
berpijak mulai merekah dan terbelah-belah akibat hantaman pukulan mautnya.
"Uh! Kenapa aku ini"!" desis orang tua itu, mulai goyah pikirannya.
Sepertinya, Ki Tunggul Kala Widyuta tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Begitu
habis melepaskan pukulan maut dia hanya berdiri bengong dengan tatapan kosong.
Dan Rangga pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat dengan kibasan pedang Pusaka
Rajawali Sakti ke leher. Begitu cepat gerakannya dan orang tua dari Pulau Ular
itu hanya terpaku saja. Maka....
Wuuut! Cras! "Aaakh!"
Orang tua itu hanya bisa terpekik tertahan begitu
pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar lehernya.
Pendekar Rajawali Sakti 138 Datuk Pulau Ular di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepalanya kontan menggelinding ke bumi ketika Rangga melepaskan pukulan dahsyat
ke tubuhnya. Darah tampak muncrat mengotori sebagian baju Pendekar Rajawali
Sakti, ketika tokoh sesat itu ambruk di tanah.
Rangga berdiri tegak dengan napas turun naik tak
beraturan memperhatikan mayat lawannya. Satu hal yang membuat Pendekar Rajawali
Sakti heran, dia merasa
tubuhnya sangat enteng. Bahkan tenaganya jadi seperti berlipat ganda. Pemuda itu
tersenyum, karena menyadari kalau ini adalah jasa baik Eyang Jayeng Perkasa yang
telah memberinya ramuan pemulih tenaga.
"Kakang Rangga, kau tidak apa-apa..."!" seru Pandan Wangi menghampiri dengan
wajah cemas. Di belakang gadis itu berlari kencang Dewa Bayu sambil meringkik keras. Hewan
itu langsung menghela napas panjang sambil mendekatkan mukanya pada pemuda itu.
"Kau pintar sekali, Sobat. Terima kasih...," ucap Rangga mengelus-elus leher
Dewa Bayu. Sikap Pandan Wangi pada Rangga tampak manja
sekali. Dan Pendekar Rajawali Sakti pun menanggapinya dengan mesra pula.
Dan tanpa sepengetahuan pemuda itu, sepasang mata
memperhatikan mereka sejak tadi. Tatapannya kosong, dengan bola mata berkacakaca. Lalu..., beberapa kali air matanya menitik membasahi tanah kering! Dengan
menundukkan kepala, gadis itu berlari kecil menuruni bukit tanpa menghiraukan
keadaan di sekitarnya! Dialah
Ambarwati.... SELESAI Creator Ebook: syauqy_arr (Scan & Convert ke pdf)
fujidenkikagawa (edit teks)
Dewi Ratu Maksiat 2 Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api Pedang Angin Berbisik 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama