Ceritasilat Novel Online

Gerhana Darah Biru 1

Pendekar Rajawali Sakti 114 Gerhana Darah Biru Bagian 1


. 114. Gerhana Darah Biru Bag. 1
14. Juli 2014 um 15:08
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: GERHANA DARAH BIRU
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? ? Ctar! "Akh...!"
Terdengar suara lecutan cambuk yang menyengat kulit, lalu disusul oleh pekikan menyayat menahan rasa sakit.
"Goblok! Kerja begitu saja tidak becus! Seharusnya kau mampus saja, daripada kembali lagi ke sini...! Dasar otak udang! Hih...!"
Ctar! Ctar...! "Aaakh...!"
Kembali terdengar lecutan cambuk yang begitu keras, mewarnai pagi yang seharusnya tenang dan damai ini. Itu juga masih disertai bentakan-bentakan keras dan sumpah serapah dari seorang laki-laki berusia setengah baya. Tubuhnya tegap, terbungkus baju warna merah muda dari kain sutera halus, bersulamkan benang-benang emas bergambar bunga mawar kuning pada bagian dadanya. Sedangkan di sekelilingnya, sekitar tiga puluh orang pemuda hanya diam memandangi, tidak berani bertindak apa-apa.
Sementara, seorang pemuda yang terikat di tiang tampak terkulai lemah, menerima deraan cambuk yang membuat kulitnya seperti melepuh itu. Kelihatannya, pemuda itu sudah tidak bisa lagi bergerak. Bahkan rintihan kesakitan pun seperti tak terdengar lagi. Sedangkan darah terus mengalir membanjiri tubuhnya yang bertelanjang dada. Guratan-guratan merah mewarnai seluruh bagian belakang tubuhnya. Tapi, laki-laki setengah baya itu terus saja mengayunkan cambuknya sambil memaki dan menyumpah serapah.
"Cukup, Kelabang Geni...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras. Maka laki-laki berbaju merah muda yang dipanggil Kelabang Geni itu seketika menghentikan sengatan cambuknya.
"Phuih...!"
Kelabang Geni menyemburkan ludahnya de-ngan sengit Sambil memaki, cambuknya dibuang begitu saja.
Sambil menyemburkan ludah kembali, Kelabang Geni memutar tubuhnya. Lalu kakinya me-langkah dengan ayunan lebar, menghampiri seorang wanita yang wajahnya tertutup selembar kain agak tipis berwarna hijau muda. Dan itu sudah cukup untuk menyembunyikan raut wajahnya, hingga sukar dikenali. Hanya bagian matanya saja yang dibiarkan terbuka. Sorot matanya begitu tajam, memandang lurus ke arah Kelabang Geni. Dan tubuhnya yang ramping, terbungkus baju warna hijau muda yang sangat ketat. Sehingga, memetakan tubuhnya yang indah dan menggiurkan. Dia dikawal oleh dua orang pemuda yang berdiri di kiri dan kanannya.
"Bawa dia," perintah wanita itu sambil berpa-ling pada dua orang pemuda pengawalnya.
Tanpa diperintah dua kali, kedua orang anak muda itu bergegas menghampiri pemuda yang sudah terkulai lemas di tiang dengan punggung hancur tercabik cambuk tadi. Mereka segera melepaskan ikatan tangan pemuda itu, lalu menggotongnya meninggalkan halaman yang cukup luas dan sedikit berumput ini. Sementara, Kelabang Geni sudah berdiri tegak di depan wanita cantik ini.
"Aku tidak ingin lagi melihat kegagalan, Kelabang Geni. Dan aku ingin, kau sendirilah yang melakukannya. Pergilah. Dan, jangan kembali sebelum berhasil," ucap wanita itu, dingin.
"Segala titah Gusti Putri akan hamba laksa-nakan," sahut Kelabang Geni seraya menjura memberi hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Laksanakan sekarang juga, Kelabang Geni. Ingat! Kalau sampai gagal juga, kepalamu yang akan menjadi gantinya," tegas wanita itu.
Kelabang Geni tidak menjawab sedikit pun juga. Tubuhnya hanya dibungkukkan, memberi hormat. Dan wanita yang tidak bisa dikenali wajahnya itu langsung memutar tubuhnya berbalik. Dengan ayunan kaki ringan, wanita itu melangkah masuk ke dalam rumah yang seluruh dindingnya terbuat dari belahan papan. Sebentar saja, bayangan tubuhnya yang ramping sudah lenyap tidak terlihat lagi di balik pintu. Kelabang Geni baru menegakkan tubuhnya kembali, setelah wanita yang dipanggilnya Gusti Putri telah benar-benar lenyap. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Perlahan Kelabang Geni memutar tubuhnya berbalik. Pandangan matanya langsung beredar ke sekeliling, memandangi sekitar tiga puluh orang pemuda di sekitarnya. Mereka semua terdiam dengan kepala tertunduk menekuri tanah. Kembali Kelabang Geni menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Siapkan kuda-kuda kalian. Kita berangkat sekarang juga!" perintah Kelabang Geni lantang.
Tanpa diperintah dua kali, pemuda-pemuda itu bergegas meninggalkan halaman rumah yang dikelilingi pagar gelondongan kayu yang cukup tinggi dan kokoh, bagai sebuah benteng kecil ini. Sementara, Kelabang Geni sendiri menghampiri seekor kuda hitam yang tertambat di bawah pohon di tengah-tengah halaman ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung kudanya.
Belum lama Kelabang Geni berada di atas punggung kudanya, dari samping rumah berukuran besar ini berdatangan tiga puluh orang anak muda yang semuanya menunggang kuda. Laki-laki setengah baya itu langsung saja menggebah kencang kudanya. Sementara, dua orang yang berada di pintu gerbang, segera membuka lebar-lebar pintu gerbang dari balok kayu itu. Dan pintu itu kembali tertutup, setelah Kelabang Geni bersama tiga puluh orang anak buahnya keluar dari lingkungan benteng kecil ini.
Kepergian Kelabang Geni bersama tiga puluh orang pengikutnya, tak lepas dari pengawasan wanita berbaju hijau muda yang tidak pernah melepaskan kain penutup wajahnya. Dia mengintip dari balik tirai jendela yang sedikit disibakkan. Tirai jendela itu baru ditutup kembali setelah Kelabang Geni tidak terlihat lagi. Perlahan tubuhnya berbalik, dan pandangannya langsung tertumbuk pada dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang duduk bersimpuh di lantai dengan sikap begitu hormat. Secara bersamaan mereka memberikan sembah penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan wanita yang dipanggil Gusti Putri itu duduk dengan angkuhnya di kursi yang beralaskan kain beludru halus berwarna merah menyala.
"Sarapati! Bagaimana keadaan di kotaraja saat ini?" tanya wanita itu, agak pelan terdengar suaranya.
"Belum ada perubahan, Gusti Putri Cadar Hijau," sahut salah seorang pemuda berbaju warna biru tua, sambil menyembah.
"Maksudmu...?" tanya wanita berpakaian hijau muda yang ternyata julukan lengkapnya Putri Cadar Hijau.
"Keadaan di kotaraja masih tetap tenang. Sedikit pun belum ada tanda-tanda terjadi pergerakan, Gusti Putri. Tapi semuanya sudah siap. Tinggal menunggu perintah saja," jelas Sarapati masih bersikap begitu hormat.
"Baiklah, Sarapati. Laksanakan saja segera."
"Hamba kerjakan, Gusti Putri."
Setelah memberi sembah hormat, Sarapati segera bangkit dan melangkah ke luar. Sementara, Putri Cadar Hijau mengalihkan perhatian pada seorang pemuda satunya, yang masih tetap duduk bersimpuh dengan sikap begitu hormat. Perlahan wanita itu bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri pemuda yang kepalanya tetap tertunduk menekuri lantai di depannya. Putri Cadar Hijau berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi di depan pemuda ini. Saat itu, terdengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu cepat meninggalkan tempat yang menyerupai benteng pertahanan ini. Dan tidak berapa lama, suara kuda yang dipacu cepat itu menghilang dari pendengaran.
"Kau tetap di sini, Banyuragi. Tugasmu di sini tidak kalah pentingnya," ujar Putri Cadar Hijau.
"Hamba, Gusti Putri."
"Sebaiknya, periksa kesiapan orang-orangmu. Lalu, kembali lagi ke sini secepatnya."
"Hamba laksanakan, Gusti Putri."
"Pergilah."
? *** ? Sementara itu, agak jauh letaknya dari ba-ngunan berbentuk benteng yang berada di tengah-tengah Hutan Dandaka ini, berdiri sebuah bangunan istana yang sangat megah, dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan sangat kokoh. Dan penjagaan di sekitarnya demikian ketat, hingga sedikit pun tidak terlihat ada tempat yang luput dari penjagaan orang-orang berseragam prajurit.
Bangunan istana megah itu memang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Jalaraja. Sebuah kerajaan yang tidak begitu besar, dan juga tidak begitu banyak penduduknya. Dan sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan dan lembah yang dalam serta lebar. Tapi, kerajaan itu kelihatan makmur. Ini bisa dilihat dari bentuk rumah-rumah yang besar dan indah. Hampir-hampir tidak ditemukan bentuk rumah yang kecil dan sederhana. Kehidupan seluruh rakyat di Kerajaan Jalaraja ini bisa dikatakan sudah berkecukupan. Tapi, apakah itu sudah membuat mereka semua tenteram..."
Keadaan yang kelihatan tenang dan damai ini bukanlah menandakan kalau seluruh rakyat Kerajaan Jalaraja sudah hidup damai dan tenteram. Malah, mereka justru tidak ada yang berani keluar dari dalam rumah, kalau tidak punya keperluan yang sangat mendesak. Bahkan tidak ada seorang prajurit pun yang mau jauh-jauh dari lingkungan istana yang berpagar benteng kokoh itu. Sebenarnya, Kerajaan Jalaraja memang sedang dilanda kekacauan.
Dan semua ini berawal dari munculnya seorang wanita yang selalu dipanggil Putri Cadar Hijau. Wanita itu memiliki begitu banyak pengikut yang rata-rata berkepandaian tinggi. Sudah beberapa orang berkepandaian tinggi dari istana mencoba untuk mengenyahkannya. Tapi belum juga sempat berhadapan, sudah ambruk di tangan pengawal-pengawalnya. Hingga, Prabu Garajaga sendiri harus dikawal ketat, walaupun tidak keluar dari istananya.
Dan siang ini, Prabu Garajaga kedatangan seorang tamu yang sudah tidak asing lagi bagi semua orang dalam lingkungan istana megah ini. Seorang tamu yang menjadi sahabat dekat Raja Kerajaan Jalaraja ini.
"Kedatanganmu di sini memang sangat di harapkan, Adi Patungga. Kau pasti sudah tahu, bagaimana keadaan di sini," kata Prabu Garajaga. Nada suaranya terdengar begitu pelan, seperti tengah berputus asa.
Memang, sepak terjang anak buah Putri Cadar Hijau membuat raja berusia setengah baya itu jadi putus asa. Dia sudah tidak lagi memiliki orang-orang tangguh untuk menghadapi Putri Cadar Hijau. Bahkan dia sudah merasa, kalau keruntuhan Kerajaan Jalaraja tinggal menunggu waktu saja. Dan kedatangan Patungga yang diketahuinya memiliki kepandaian sangat tinggi, menerbitkan setitik harapan membersit dalam dadanya.
"Kedatanganku ke sini memang sengaja, Ka-kang Prabu Garajaga. Kerusuhan yang terjadi di sini sudah kudengar. Dan kedatanganku sengaja untuk mengusir mereka. Bahkan kalau perlu, mengenyahkannya," tegas laki-laki yang usianya tidak terpaut jauh dari Prabu Garajaga, dan dipanggil dengan nama Patungga.
Mereka memang telah lama bersahabat karib. Walaupun Patungga hanya seorang pengembara yang hidup tidak tentu arah dan tujuannya, tapi sebenarnya mereka berdua pernah berada dalam bimbingan tangan yang sama. Bisa dikatakan, mereka sebagai saudara seperguruan. Hanya saja, Patungga memang lebih tinggi tingkat kepandaiannya daripada Prabu Garajaga. Terlebih lagi, Patungga gemar mengembara. Hingga, kepandaian yang dimilikinya terus bertambah sempura saja.
"Kau sepertinya sudah melupakan aku, Kakang Prabu. Seharusnya, beritahukanlah padaku, sebelum semuanya seperti ini. Mungkin mereka bisa kuhentikan, sebelum menjadi kuat seperti sekarang," kata Patungga bernada menyesali sikap Prabu Garajaga yang seperti sudah melupakan dirinya.
"Maafkan aku, Adi Patungga. Bukan maksudku begitu. Aku hanya...."
"Ah, sudahlah. Tidak periu dipersoalkan lagi," potong Patungga.
Sesaat mereka terdiam, membuat ruangan yang besar dan megah ini jadi sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar jelas mengusik telinga, ketika menerobos masuk melalui jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Tampak beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar ruangan ini. Patungga menggeser duduknya lebih dekat dengan Prabu Garajaga. Kepalanya diangkat sedikit, saat melihat seorang wanita melintasi pintu yang berada di depannya. Hanya sekilas saja melihat, tapi Patungga sudah bisa mengetahui kalau wanita yang baru saja melewati pintu itu memiliki wajah cantik, dengan bentuk tubuh indah menggiurkan.
"Ada apa, Adi Patungga?" tegur Prabu Garajaga.
Patungga agak tersentak kaget. Cepat-cepat wajahnya berpaling menatap lagi pada Prabu Garajaga. Sungguh tidak disadari kalau sahabatnya sejak tadi memperhatikan. Sedikit Patungga memberi senyum, tapi terasa ditujukan pada diri sendiri. Dan Prabu Garajaga lantas melirik sedikit ke pintu. Hanya dua orang prajurit saja yang terlihat berjaga di samping pintu yang terbuka lebar itu.
"Siapa wanita yang lewat tadi, Kakang Prabu?" tanya Patungga langsung.
"Wanita yang mana?" Prabu Garajaga balik bertanya.
'Yang tadi lewat di depan pintu."
"Hanya ada tiga wanita yang mendampingiku di sini, Adi Patungga."
"Anak dan istrimu sudah kukenal baik, Kakang Prabu. Juga semua pelayan dan dayang di istana ini. Bahkan hampir semua prajurit dan pembesar kerajaanmu ini, sudah kukenal. Tapi rasanya wanita itu belum pernah kulihat," kata Patungga lagi. "Kau punya pelayan baru" Atau, selir baru barangkali, Kakang?"
Entah kenapa, Prabu Garajaga jadi tersenyum mendengar kata-kata sahabatnya barusan. Memang di antara mereka tidak pernah ada rahasia yang tersembunyi. Dan masing-masing sudah mengenal betul watak serta tingkah laku satu sama lain. Hingga, di antara mereka seperti tak ada jurang pemisah, walaupun memiliki tata kehidupan dan derajat yang berbeda. Dan kalau sudah bertemu seperti ini, mereka seperti lupa akan kedudukan masing-masing.
"Aku mengerti wanita yang kau maksudkan, Adi Patungga. Dia pasti Wiranti," kata Prabu Garajaga masih dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Siapa dia?" tanya Patungga jadi ingin tahu.
Kening Patungga terlihat berkerut, mencoba mengenali wanita yang bernama Wiranti itu. Tapi walaupun seluruh ingatannya sudah diperas, tidak juga bisa mengetahui wanita yang dilihatnya tadi.
? *** ? "Dia bukan orang lain, Adi Patungga. Wiranti adalah adik sepupu permaisuriku," jelas Prabu Garajaga, singkat.
Patungga hanya mengangguk-angguk saja, tapi keningnya tampak berkerut. Sepertinya, hatinya tidak puas oleh penjelasan Prabu Garajaga yang begitu singkat.
"Ada apa, Adi Patungga" Apa yang kau pikir-kan...?" tegur Prabu Garajaga, memandangi Pa-tungga dengan sinar mata begitu dalam.
"Ah, tidak apa-apa...," sahut Patungga agak mendesah.
"Kau seperti memikirkan sesuatu, Patungga," desak Prabu Garajaga.
"Maaf, Kakang Prabu. Bukannya aku tidak percaya dengan penjelasanmu tadi. Tapi, rasanya...," Patungga tidak meneruskan kata-katanya, seperti ragu mengatakan ganjalan dalam hatinya ini.
"Apa yang kau rasakan, Adi Patungga?" Prabu Garajaga terus mendesak ingin tahu.
"Maaf, Kakang Prabu. Setahuku.... Bukankah Permaisuri Dewi Ratna Wulan tidak mempunyai saudara..." Dan rasanya, aku tahu betul tentang hal itu, setelah adik satu-satunya gugur dalam peperangan," terdengar ragu-ragu suara laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu.
"Wiranti memang belum lama datang ke sini, Patungga. Memang, mereka berdua terpisah sejak sama-sama masih kecil. Dan baru sekarang inilah mereka bertemu. Aku sendiri tidak tahu kalau Dinda Dewi Wulan punya saudara sepupu. Adi Patungga, kenapa kau merisaukan kehadiran Wiranti...?"
"Tidak... Tidak ada apa-apa. Hanya ingin tahu saja," sahut Patungga.
Laki-laki berusia sekitar lima puluh satu tahun yang mengenakan baju warna putih agak ketat itu bangkit berdiri dari kursinya. Goloknya yang terselip di pinggang sedikit digeser. Sedangkan Prabu Garajaga tetap duduk di kursinya.
"Aku akan jalan-jalan dulu melihat keadaan di luar, Kakang Prabu," ujar Patungga meminta izin.
"Kau perlu pengawal, Adi Patungga?" Prabu Garajaga menawarkan.
"Tidak perlu," sahut Patungga seraya terse-nyum.
Tanpa bicara lagi, Patungga melangkah keluar dari ruangan megah Balai Sema Agung ini. Sedangkan Prabu Garajaga tetap duduk di kursinya. Terus dipandanginya sahabatnya itu dengan sinar mata sukar diartikan. Prabu Garajaga masih belum beranjak, walaupun Patungga sudah tidak terlihat lagi. Dan begitu hendak bangkit berdiri, muncul wanita cantik yang tadi sempat menjadi pembicaraan hangat. Prabu Garajaga tidak jadi bangkit dari kursinya. Ditunggunya sampai Wiranti dekat di depannya.
Wanita itu memang cantik. Dan usianya juga masih muda, sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya sungguh ramping dan indah, tebalut baju warna hijau muda yang sangat ketat. Sehingga, jelas memetakan tubuhnya, dengan bagian dada agak terbuka lebar. Tampak dua gundukan putih yang begitu indah, tersembul bagai hendak memberontak keluar. Sesaat Prabu Garajaga sempat memandangi dada yang putih dan berbentuk indah itu, tapi pandangannya cepat dialihkan ke luar jendela. Wiranti tetap berdiri dengan jarak sekitar setengah batang tombak di depan Raja Jalaraja ini.
"Ada apa, Wiranti?" tanya Prabu Garajaga tan-pa mengalihkan pandangan sedikit pun dari jendela.
Entah kenapa, Prabu Garajaga seperti tidak ingin memandang gadis cantik ini. Dan setiap kali memandangnya, darahnya selalu terasa berdesir deras. Tapi di dalam hati, Prabu Garajaga memang mengakui kalau kecantikan Wiranti sungguh menggoda setiap mata laki-laki yang memandangnya.
"Maaf, Gusti Prabu...."
"Ah! Kau masih saja memanggilku dengan se-butan itu, Wiranti," selak Prabu Garajaga.
'Tapi..." "Kau adik sepupu permaisuriku, Wiranti. Kau boleh memanggilku Kakang Prabu."
Wiranti tersenyum. Saat itu, Prabu Garajaga meliriknya. Dan seketika jantungnya jadi berdetak cepat, melihat senyuman yang begitu manis dan menggoda. Prabu Garajaga cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lain lagi. Senyuman Wiranti benar-benar membuat hatinya jadi tidak karuan.
"Katakan saja, kalau ada sesuatu yang hendak dibicarakan denganku, Wiranti," ujar Prabu Garajaga mencoba mengusir kegelisahan yang tidak menentu dalam hatinya.
"Aku hanya ingin tahu tamu yang tadi, Kakang Prabu," sahut Wiranti langsung.
'Patungga, maksudmu...?"
"Benar."
"Dia sahabatku. Kedatangannya ke sini ingin menghadapi Putri Cadar Hijau dan orang-orang-nya."
"Hanya seorang diri saja, Kakang?"
"Iya. Memang kenapa...?"
"Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja."
Prabu Garajaga bangkit berdiri. Sebentar dita-tapnya Wiranti yang masih berada di depannya. Kemudian tubuhnya berputar dan melangkah me-ninggalkan gadis cantik ini. Sedangkan Wiranti sendiri tegap berdiri memandang ke luar, melalui jendela yang terbuka lebar. Entah kenapa, bibirnya jadi tersenyum sendiri. Dan begitu Prabu Garajaga tidak terlihat lagi, kakinya baru melangkah pergi dengan bibir masih terus menyunggingkan senyum yang tak jelas artinya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 114. Gerhana Darah Biru Bag. 2
14. Juli 2014 um 15:09
2 ? Matahari masih menyengat, walaupun sudah agak condong ke arah barat. Patungga yang ber-jalan melihat-lihat keadaan di Kotaraja Kerajaan Jalaraja ini, tanpa terasa sudah begitu jauh meninggalkan istana. Dan langkahnya baru berhenti begitu tenggorokannya terasa jadi kering. Laki-laki berusia setengah baya ini berhenti berjalan di pinggir sungai kecil yang berair sangat jernih. Tanpa ragu-ragu lagi, dibasahinya tenggorokannya dengan air sungai ini.
Namun begitu Patungga berdiri dan meng-angkat kepala, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat di depannya.
"Heh..."! Ups...!"
Patungga agak terkejut sesaat, namun cepat melompat ke belakang. Sehingga, bayangan merah itu tidak sampai menerjang dirinya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah kembali. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang anak muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya yang tegap terbungkus baju merah menyala. Sebilah pedang berukuran cukup panjang tampak tergantung di pinggangnya.
Patungga mengamati pemuda yang tiba-tiba saja muncul di depan dan sama sekali tidak dikenalnya. Patungga baru kali ini melihatnya, tapi sikap anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan sorot matanya yang tajam, memancarkan api permusuhan. Patungga segera menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah.
"Kau yang bernama Patungga...?" tanya pemuda berbaju merah itu, tanpa basa-basi lagi. Suaranya terdengar dingin dan datar.
"Benar. Dan kau siapa...?" Patungga malah ba-lik bertanya.
"Aku Kaligi," sahut anak muda itu, mem-perkenalkan diri.
"Hm...," Patungga hanya menggumam sedikitsaja.
"Dengar, Patungga. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diharapkan. Sebaiknya, cepat pergi sebelum nasib buruk menimpamu. Dan jangan coba-coba ikut campur dalam persoalan di sini," ancam Kaligi dengan suara dingin dan datar.
"Heh..."! Siapa kau ini..."! Apa hakmu mengu-sirku..."!"
Patungga jadi kaget juga mendengar pengu-siran yang begitu langsung diucapkan tanpa tedeng aling-aling lagi. Diamatinya anak muda berbaju merah di depannya ini yang mengaku bernama Kaligi.
Tapi raut wajah anak muda itu demikian datar, walaupun sorot matanya memancar tajam.
"Aku tidak punya waktu bersilat lidah dengan-mu, Patungga. Sebaiknya dengar saja kata-kataku. Cepat pergi dari sini, atau kau tidak akan bisa lagi melihat matahari besok pagi," sambung Kaligi mengancam, dingin menggetarkan suaranya.
"Edan...! Kau pikir aku takut mendengar gertak sambalmu itu, Bocah..."!" Patungga jadi geram juga mendapat pengusiran yang bernada mengancam itu.
Darah laki-laki setengah baya itu seketika ber-golak mendidih, bagai kawah gunung berapi yang hendak memuntahkan laharnya. Patungga mera-sakan harga dirinya sudah direndahkan anak muda ini. Maka tanpa banyak bicara lagi, langsung saja goloknya yang terselip di pinggang dicabut.
Sret! Wut! Patungga langsung mengebutkan goloknya hingga tersilang di depan dada. Sementara, Kaligi tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun. Bahkan raut wajahnya sama sekali tidak berubah. Tetap datar, walaupun tatapannya tertuju pada mata golok di tangan Patungga yang berkilatan, terjilat sinar matahari yang terik siang ini.
"Jangan bertindak bodoh, Patungga. Kau akan menyesal bermain-main dengan senjatamu itu," kata Kaligi mencoba mendinginkan suasana yang sudah mulai terasa panas.
"Dengar, Bocah! Kalau aku bisa kau kalahkan, hari ini juga aku akan angkat kaki dari negeri ini. Dan aku tidak akan kembali sampai kematian menjemputku."
"Kau yang menjual lebih dulu, Patungga."
"Phuih!"
Kemarahan Patungga sudah tidak dapat lagi di kendalikan. Sambil memutar goloknya di depan dada, kakinya digeser dengan cepat ke depan agak menyamping. Dan dengan kecepatan bagai kilat, goloknya yang berkilatan tajam dikebutkan ke arah dada.
Wut! "Haiiit...!"
Tapi dengan gerakan cepat dan gesit sekali, Kaligi berhasil menghindari serangan laki-laki berusia setengah baya ini. Dan ini membuat Patungga geram bercampur penasaran. Padahal tadi sudah diduga kalau Kaligi pasti ambruk berlumuran darah. Tapi kenyataannya, Kaligi malah bisa berkelit menghindar dengan gerakan yang begitu indah dan cepat. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Kaligi langsung melepaskan satu tendangan yang begitu cepat bagai kilat.
"Yeaaah...!"
"Eh..."! Hap!"
Cepat-cepat Patungga melompat ke belakang, hingga sepakan kaki Kaligi bisa dihindari. Dan saat itu juga, goloknya dikebutkan. Jelas, maksudnya hendak membabat buntung kaki Kaligi yang masih menjulur ke depan itu. Namun belum juga mata golok yang berkilatan itu sampai, Kaligi sudah cepat menarik kakinya.
Tepat di saat golok Patungga lewat, cepat sekali Kaligi menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika tubuhnya meliuk ke kanan, mengikuti gerakan tubuh Patungga yang menghindari sepakan kakinya. Begitu cepat dan tidak menduga sama sekali, sehingga....
Des! "Ikh...!"
? *** ? Patungga jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Kaligi tepat menghantam dadanya. Walaupun pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh, tapi sudah cukup membuat Patungga terpental cukup jauh ke belakang. Bahkan sebatang pohon yang terlanda tubuhnya, seketika hancur berkeping-keping. Tapi, Patungga bisa cepat menguasai keseimbangan tubuh, hingga tidak sampai terjerembab ke tanah.
'Phuih! Hih...!"
Patungga jadi semakin berang saja. Terlebih, dadanya kini jadi sesak akibat terkena pukulan tadi. Padahal, sama sekali tidak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun itu sudah membuat napasnya tersengal memburu. Beberapa kali Patungga membuat gerakan dengan kedua tangannya, sambil mengatur jalan pernapasannya.
"Hhhp...! Yeaaah...!"
Sambil menarik napas dalam-dalam, Patungga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, kedua tangannya terhentak lurus ke depan. Tampak dari kedua telapak tangannya yang terbuka, membersit cahaya merah bagai api, yang langsung meluruk deras ke arah Kaligi.
"Hiyaaat..!"
Namun Kaligi yang memang sejak tadi sudah siap menghadapi serangan, cepat meliukkan tubuhnya ke kanan. Dan begitu cahaya merah dari telapak tangan Patungga lewat, cepat sekali tubuhnya melesat tinggi ke udara. Lalu bagaikan kilat, pemuda itu meluncur deras dengan tangan kanan menjulur lurus. Langsung diberikannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan aji kesaktian yang tinggi.
Begitu cepat serangan batik Kaligi, hingga membuat Patungga jadi kaget setengah mati. Maka cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali, menghindari serangan maut yang dilancarkan Kaligi. Tindakan yang dilakukan Patungga, membuat serangan Kaligi hanya menghantam tanah kosong.
Glarrr...! Satu ledakan yang begitu keras menggelegar terdengar seketika, bertepatan dengan jatuhnya pukulan Kaligi ke tanah, tempat Patungga berpijak tadi. Sementara itu Patungga masih bergulingan beberapa kali di tanah, lalu melompat bangkit berdiri dengan gerakan manis sekali. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
Tampak tidak jauh di depannya, sudah menganga sebuah lubang besar, yang masih mengepulkan debu bercampur asap kehitaman. Sementara tepat di pinggiran lubang itu berdiri Kaligi dengan sikap angkuh. Sambil berkacak pinggang, bibirnya menyunggingkan senyum mengejek yang terasa merendahkan Patungga.
Hhh! Dahsyat sekali ilmu bocah ini. Tidak ku-sangka, di zaman sekarang, banyak anak muda yang memiliki kepandaian begitu dahsyat! Desis Patungga, dalam hati.
Jelas sekali kalau Patungga memuji kedahsyatan ilmu yang diperlihatkan Kaligi barusan. Tapi, hatinya juga jadi penasaran. Terlebih lagi, pertarungan ini sama sekali tidak diketahui sebabnya. Entah kenapa, tahu-tahu Kaligi muncul dan langsung mengusirnya tanpa alasan jelas. Sementara itu perlahan Patungga menggeser kakinya, menyusuri tanah ke sebelah kanan. Sedangkan Kaligi masih tetap berdiri tegak dengan angkuh sambil berkacak pinggang.
Wut! Patungga segera menyilangkan goloknya dengan gerakan indah di depan dada. Sorot matanya memancar begitu tajam, bagai sepasang bola api yang seakan-akan hendak menghanguskan seluruh tubuh pemuda berbaju merah menyala di seberang lubang besar akibat pukulan nyasar dari Kaligi tadi. Patungga baru berhenti bergeser, setelah tidak lagi berada di seberang lubang. Dan kini, mereka berhadapan dengan jarak hanya sekitar tiga langkah saja. Sorot mata mereka begitu tajam, saling menatap seperti tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
'Hm...!" "Hhh!"
Bet! Wut! Secara bersamaan, mereka menggerakkan tangannya. Tapi mereka belum juga saling melancarkan serangan, seperti belum bisa mengukur tingkat kepandaian satu sama lain. Dan kini secara bersamaan kaki mereka bergeser berputar. Sehingga Patungga kini berada tepat membelakangi lubang yang dibuat lawannya. Sementara itu Kaligi tampak tersenyum tipis. Begitu tipisnya, hingga hampir saja tidak terlihat. Sedangkan Patungga sendiri masih tetap mengawasi dengan sinar mata begitu tajam menusuk
"Hih! Yeaaah...!"
"Ups! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Kaligi menghentakkan tangan kirinya ke depan. Sementara seketika itu juga, Pa-tungga membabatkan goloknya untuk menangkis serangan tangan kiri pemuda itu. Tapi tepat di saat golok Patungga berkelebat di depan tubuhnya, cepat sekali Kaligi menarik tangannya. Dan secara bersamaan, tubuhnya ditarik ke kanan sambil melepaskan satu tendangan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang tepat mengarah ke dada lawannya.
"Heh..."!"
Patungga jadi terperanjat kaget setengah mati. Tidak disangka kalau Kaligi akan bertindak seperti itu. Maka cepat-cepat goloknya dikebutkan ke depan dada, mencoba melindungi dadanya dari serangan pemuda itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, justru Kaligi membanting tubuhnya ke tanah. Lalu dengan cepat sekali kakinya menyepak mengincar kaki lawannya. Begitu cepat gerakannya, tapi Patungga masih sempat melihat. Maka cepat dia melompat menghindari sepakan kaki pemuda berbaju merah itu.
Dan ketika tubuh Patungga berada di udara itu, Kaligi cepat melompat bangkit berdiri sambil mengebutkan tangan kiri. Seketika sebuah benda kecil berwarna kuning keemasan tampak meluncur deras dari telapak tangan kiri pemuda itu. Begitu cepat apalagi benda itu memang sangat kecil, sehingga sukar bagi Patungga untuk bisa cepat mengetahuinya. Dan belum juga disadari apa yang dilakukan lawannya ini, mendadak saja....
Tring! "Heh..."!"
? *** ? Pijaran bunga api yang tiba-tiba saja memercik di depan dadanya, membuat Patungga jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting tinggi-tinggi ke udara, lalu berputaran beberapa kali. Kemudian kedua kakinya menjejak tanah lagi, di seberang lubang yang dibuat Kaligi.
Bukan hanya Patungga saja yang terbeliak kaget Kaligi juga kaget setengah mati, melihat senjata rahasianya memercikkan api dan jatuh ke dalam lubang yang menganga cukup lebar di depannya ini. Kejadian itu tentu saja membuat Kaligi jadi terlompat mundur beberapa langkah.
"Setan...! Siapa mau main curang denganku, heh..."!" bentak Kaligi geram setengah mati.
Begitu marahnya Kaligi, sampai wajahnya keli-hatan merah bagai terbakar. Sementara itu, Patungga yang tidak tahu kejadiannya, hanya bisa bengong memandangi Kaligi yang memaki-maki. Belum lagi hilang kebingungan Patungga, tiba-tiba saja sebatang kayu pohon yang cukup panjang jatuh tepat melintang di atas lubang. Dan saat itu juga, melesat sebuah bayangan putih yang begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Tahu-tahu, di atas batang pohon yang melintang di atas lubang itu sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya putih tanpa lengan, dan terbuka lebar bagian dadanya. Tampak sebatang gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.
Pemuda itu berdiri tegak di batang pohon yang tidak begitu besar, melintang di tengah-tengah lubang yang dibuat Kaligi tadi. Dari cara kemun-culannya, sudah bisa dipastikan kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi.
"Rupanya kau yang menghadang seranganku, heh..."! Phuih!" Kaligi menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Sorot mata pemuda berbaju merah itu begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih yang masih berdiri tegak pada batang pohon yang melintang di atas lubang.
"Maaf! Aku tidak bermaksud ikut campur, kalau kau bertarung secara jujur dan satria," sahut pemuda itu kalem.
"Keparat...! Kurobek mulutmu, Setan!" geram Kaligi marah. Disadari kalau kecurangannya dengan melepaskan senjata rahasia tadi diketahui orang lain. Padahal saat itu lawan tidak dalam keadaan siap sama sekali.
"Hiyaaa...!"
Tanpa banyak bicara lagi, Kaligi langsung saja melompat cepat menerjang pemuda berbaju rompi putih itu. Kemarahannya memang sudah tidak terbendung lagi. Terlebih, setelah kecurangannya dalam bertarung dengan Patungga diketahui.
"Mampus kau!"
Sambil membentak keras, Kaligi melepaskan satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga arus tangan yang menjulur ke depan itu hampir tidak terlihat
"Haiiit...!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, pemuda berbaju rompi putih itu meliukkan tubuhnya ke kanan. Sehingga, serangan Kaligi sama sekali tidak mengenai sasaran. Dan di saat kepalan tangan Kaligi lewat di samping tubuhnya, pemuda itu cepat sekali menghentakkan tangan kirinya dengan gerakan berputar menyamping.
Wut! "Eh..."! Hups"!"
Kaligi jadi tersentak kaget. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke belakang, dan berputaran di udara beberapa kali. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah, dan langsung bersiap hendak melakukan serangan kembali.
Sementara pemuda berbaju rompi putih itu tetap berdiri tegak, seperti tidak bergeming sedikit pun juga. Sedangkan di seberang lubang yang menganga cukup besar ini, Patungga terlihat hanya bisa mengamati sambil mengerutkan keningnya.
Di dalam hati laki-laki setengah baya itu tengah berusaha untuk mengingat-ingat siapa pemuda berwajah tampan yang mengenakan baju rompi putih itu. Dia seperti pernah bertemu. Atau paling tidak, pernah mendengar ciri-ciri seorang pemuda gagah yang selalu mengenakan baju rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang kepala burung bertengger di punggung. Tapi begitu keras berusaha mengingat, belum juga bisa menemukan jawaban tentang pemuda yang telah berjasa menyelamatkan nyawanya dari kecurangan Kaligi dalam pertarungannya tadi.
Sementara itu Kaligi sudah mempersiapkan jurus yang begitu tinggi tingkatannya. Sebuah jurus yang sangat ampuh, hingga membuat seluruh tubuhnya jadi memerah bagai terbakar. Sedangkan lawannya masih tetap berdiri tegak di atas batang kayu yang berada melintang di tengah-tengah lubang besar di depannya.
"Hop! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Kaligi menghentakkan kedua tangannya ke depan, tepat terarah pada pemuda berbaju rompi putih itu. Maka seketika itu juga dari kedua kepalan tangannya meluncur deras cahaya merah bagai api, yang meluncur langsung ke arah pemuda itu.
"Hap! Yeaaah...! Heh..."! Edan...!" Patungga yang melihat pemuda berbaju rompi putih itu tidak berusaha mengelak, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Sementara cahaya merah yang meluncur dari kepalan tangan Kaligi sudah semakin dekat saja. Dan begitu hampir menghan-tam dadanya, tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih itu cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat, tepat di saat kedua telapak tangannya jadi berwarna merah membara.
"Yeaaah....!"
Glarrr...! "Akh...!"
Satu ledakan keras seketika itu juga terdengar menggelegar, bagai hendak memecahkan gendang telinga. Bersamaan dengan itu, terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak Kaligi terpental ke belakang sejauh beberapa batang tombak, dan jatuh keras di tanah. Sedangkan lawannya sama sekali tidak terdorong sedikit pun juga. Bahkan cepat sekali melesat ke depan. Lalu dia mendarat manis sekali tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sekitar satu batang tombak di depan Kaligi yang tergeletak di tanah dengan napas tersengal memburu.
Tampak dari sudut bibir Kaligi mengalir darah kental berwarna agak kehitaman. Wajahnya yang semula memerah, kini tampak pucat kebiru-biruan. Tapi, sorot matanya masih tetap terlihat tajam, penuh dendam, ke arah pemuda berbaju rompi putih yang berada sekitar satu batang tombak di depannya.
"Kkk..., keparat kau.... Akh...!"
Kaligi langsung mengejang, begitu menyumpah tergagap. Tangannya terangkat sedikit hendak menuding lawannya, tapi saat itu juga tubuhnya yang sudah sedikit terangkat jadi terkulai di tanah. Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan, bersamaan dengan menghamburnya darah dari hidung dan mulut. Sementara, pemuda berbaju rompi putih yang menjadi lawannya langsung menghembuskan napas panjang, seakan-akan menyesali kematian lawannya.
"Maaf, aku tidak bermaksud membunuhmu," ucap pemuda itu pelan, bernada seperti menyesal.
Beberapa saat pemuda itu masih berdiri mematung, memandangi tubuh Kaligi yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi. Dan begitu memutar tubuhnya, Patungga sudah berada dekat di belakangnya. Dan kini mereka berdiri saling berhadapan berjarak sekitar lima langkah. Beberapa saat mereka terdiam, dan hanya saling berpandangan saja.
"Tunggu...!"
Patungga cepat-cepat mencegah, ketika pemuda berbaju rompi putih yang telah menyelamatkan nyawanya dari maut itu kembali memutar tubuhnya ke kiri, hendak melangkah pergi. Cepat-cepat Patungga menghampiri, dan kembali berada di depan anak muda berwajah tampan yang mengenakan baju rompi putih.
"Anak muda, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau sudah menyelamatkan nyawaku," ucap Patungga buru-buru.
"Aku hanya kebetulan saja lewat, Paman. Dan kuharap, kejadian ini tidak menjadi panjang nan-tinya. Maaf, Paman. Aku harus segera melanjutkan perjalanan," sahut pemuda itu, kalem.
"Sebentar, Anak Muda," cegah Patungga cepat-cepat.
Pemuda berbaju rompi putih itu tidak jadi melangkah. Dipandanginya laki-laki berusia setengah baya yang di pinggangnya terselip sebilah golok.
"Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Anak Muda...?" ujar Patungga bertanya sopan.
"Apa itu perlu...?"
"Jika kau tidak berkeberatan."
"Rangga."
"Itu namamu yang sesungguhnya, Anak Muda...?" Patungga seperti tidak percaya.
"Ayah dan ibuku yang memberikan nama itu padaku," sahut pemuda itu tersenyum.
'Tapi...."
Patungga kelihatan ragu-ragu. Dipandanginya pemuda yang tadi mengaku bernama Rangga itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, ada sesuatu yang terlintas di benaknya saat ini. Sesuatu yang mengingatkannya pada seseorang yang julukannya pernah didengarnya, namun begitu sulit diingat saat ini.
"Ada apa, Paman" Apa ada sesuatu yang aneh pada diriku?" tanya Rangga jadi heran juga, melihat sikap laki-laki setengah baya di depannya.
"Aku..., aku ingat sekarang. Kau..., kau seperti Pendekar Rajawali Sakti. Benarkah dugaanku ini, Anak Muda...?"
Pemuda berbaju rompi putih yang tadi mengaku bernama Rangga itu tersenyum saja. Dan memang, dia adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar muda yang sudah begitu ternama dalam rimba persilatan. Walaupun merasa belum pernah berjumpa laki-laki setengah baya ini, tapi Rangga yakin kalau orang ini hanya mengenal nama dan ciri-cirinya saja.
Rangga yang tidak pernah mengagungkan diri-nya sendiri, begitu sulit untuk berterus terangmenyebut julukannya. Sebuah julukan yang membuat semua tokoh persilatan harus berpikir seribu kali bila berhadapan dengannya. Dan seperti tidak sadar, pemuda itu menganggukkan kepala sedikit. Tapi, anggukan itu sudah membuat wajah Patungga berubah jadi cerah seketika. Dan senyumnya langsung merekah lebar.
"Dewata Yang Agung.... Nikmat apa yang Kau berikan, hingga aku bisa bertemu seorang pendekar besar dalam keadaan seperti ini...," desah Patungga dengan kepala sedikit menengadah ke atas.


Pendekar Rajawali Sakti 114 Gerhana Darah Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan Rangga hanya diam saja, tidak da-pat lagi mengeluarkan suara walau hanya sedikit. Sementara Patungga dengan wajah cerah menghampiri lebih dekat lagi. Dan dia menjura memberi penghormatan pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka tentunya sikap Patungga ini membuat Rangga jadi terhenyak.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 114. Gerhana Darah Biru Bag. 3
14. Juli 2014 um 15:10
3 ? "Ah! Kenapa jadi bersikap seperti itu, Paman" Aku ini hanya orang biasa saja. Jadi tidak perlu bersikap sungkan," kata Rangga agak jengah melihat sikap yang ditunjukkan Patungga.
"Aku senang sekali kalau kau sudi menerima salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Patungga, tetap dengan tubuh agak membungkuk memberi salam penghormatan.
"Baiklah, Paman. Penghormatanmu kuterima," sambut Rangga agak terpaksa.
Pendekar Rajawali Sakti juga membungkukkan tubuhnya sedikit sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sebentar mereka sama-sama saling memberi salam penghormatan, sebagaimana layaknya orang persilatan bertemu. Dan kini mereka sama-sama menegakkan tubuh kembali.
Sesaat suasana kaku terjadi di antara mereka. Rangga lalu melirik tubuh Kaligi yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi. Pada saat yang bersamaan, Patungga juga menatap ke arah yang sama. Cukup lama juga mereka diam membisu, memandangi mayat Kaligi.
"Kau kenal dengannya, Paman?" tanya Rangga sambil melirik mayat Kaligi.
"Tidak," sahut Patungga singkat.
"Lalu, kenapa sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga lagi.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul dan langsung menyerangku," sahut Patungga berterus terang.
"Aneh...," desis Rangga setengah menggu-mam.
"Bagiku tidak aneh, Pendekar Rajawali Sakti. Dia pasti salah seorang dari mereka yang tengah merongrong kewibawaan Kerajaan Jalaraja. Tadi dia sempat mengusir dan mengancamku," jelas Patungga singkat.
"Hm..., apa yang terjadi di negeri ini, Paman?" tanya Rangga jadi tertarik.
"Entahlah...," sahut Patungga mendesah. "Aku sendiri belum tahu benar, apa yang sedang terjadi di sini. Aku saja baru hari ini datang. Sedangkan Prabu Garajaga sendiri tidak banyak bercerita padaku. Tampaknya, dia juga tidak tahu banyak tentang semua yang tengah terjadi di negerinya ini."
"Hm.... Apa mungkin terjadi pemberontakan, Paman?" Rangga mencoba menduga.
"Belum bisa dikatakan begitu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Patungga agak ragu-ragu.
"Maksud, Paman?"
"Kemungkinan juga, hanya gerombolan liar yang mencoba merongrong kewibawaan Prabu Garajaga. Tapi itu semua masih harus dibuktikan lebih dulu. Masih terlalu dini untuk menduga-duga," sahut Patungga, masih terdengar ragu-ragu nada suaranya.
Sementara, Rangga jadi terdiam. Dia sendiri baru saja sampai di Kerajaan Jalaraja ini, dan secara kebetulan melihat pertarungan antara Patungga melawan Kaligi. Mungkin kalau saja Kaligi tidak bertindak curang, belum tentu Pendekar Rajawali Sakti langsung turun tangan. Dan memang, Rangga tidak bisa melihat suatu kecurangan sedikit pun dalam sebuah pertarungan. Dan kalau tadi tidak cepat diambil tindakan, sudah barang tentu Patungga sekarang sudah terbujur kaku terkena senjata rahasia Kaligi.
"Oh, ya. Ke mana tujuanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Patungga setelah beberapa saat terdiam.
"Ke mana saja, Paman. Aku hanya pengemba-ra yang tidak tahu arah tujuan. Ke mana kaki melangkah, ke situlah tujuanku," sahut Rangga, seraya sedikit mengangkat bahunya.
"Aku banyak mendengar tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan segala sepak terjangmu sangat kukagumi. Tindakanmu sungguh terpuji. Bukan hanya aku yang mendukung, tapi semua orang persilatan yang berada di jalan lurus sangat mengagumimu," puji Patungga langsung.
"Ah! Jangan berlebihan, Paman. Nanti kepala-ku semakin besar saja. Dan lagi semua yang kulakukan hanya sekadar mengemban tugas pendekar. Tidak lebih...," sahut Rangga merendah.
"Jangan terlalu merendah, Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, kalau kau sudi, Prabu Garajaga akan senang sekali bila kau kunjungi."
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tahu, ke mana arah pembicaraan laki-laki setengah baya ini. Secara tidak langsung, Patungga mengharapkan dirinya sudi membantu Kerajaan Jalaraja dalam menghadapi para pengacau yang merongrong kewibawaan raja.
"Terima kasih, Paman. Mungkin lain kali aku bisa singgah ke istana. Tapi sekarang, aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dulu," tolak Rangga, halus.
"Sayang sekali...," desah Patungga sedikit ke-cewa.
"Mudah-mudahan Sang Hyang Widi menuntun langkahku ke sini lagi, Paman," ucap Rangga memberi harapan.
Patungga hanya bisa tersenyum saja. Memang Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi dicegah. Maka setelah berbasa-basi sebentar, Rangga kemudian melangkah meninggalkan Patungga seorang diri. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah. Ayunan kakinya tampak ringan menuju selatan. Sementara, Patungga tetap berdiri memandangi, sampai punggung Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat lagi.
? *** ? Matahari sudah hampir tenggelam, begitu Rangga tiba di kaki sebuah bukit batu yang cukup terjal dan berbahaya untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti tampak berdiri tegak memandangi bukit batu yang terjal ini. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling, mengamati sekitarnya. Tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan dan batu-batuan saja yang tampak.
Tidak terdengar sedikit pun suara, kecuali desir angin saja yang mempermainkan dedaunan. Rangga melangkah perlahan-lahan menuju sebuah batu yang sangat besar dan berwarna hitam legam terbungkus lumut tebal. Pandangannya tidak berkedip sedikit pun, ke arah batu besar yang hanya satu-satunya di kaki bukit ini. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari batu yang sangat besar dan tinggi ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengamati.
"Hm..., sepi sekali. Apa ini bukan jebakan...?" gumam Rangga bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perlahan-lahan kepalanya mendongak ke atas. Dan ketika pandangannya tertuju ke puncak batu besar di depannya ini, terlihat sesosok tubuh berbaju jubah hitam panjang yang berkibar terhempas angin. Saat itu juga....
Slap! "Hap...!"
Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu tangan orang yang berdiri di atas batu itu mengibas ke arahnya. Dan dari telapak tangan yang terkembang, seketika melesat beberapa buah benda kecil berwarna hitam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Beberapa kali Rangga berputaran menghindari serangan benda yang ternyata jarum-jarum kecil berwarna hitam itu. Dan baru saja kakinya menjejak tanah, kembali jarum-jarum kecil berhamburan deras sekali menghujaninya. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus berjumpalitan kembali, dan terus berlompatan sambil memutar tubuhnya beberapa kali ke belakang. Kemudian manis sekali kakinya menjejak kembali di atas tanah yang berbatu ini.
"Iblis Racun Hitam, hm...," Rangga meng-gumam pelan, langsung mengenali orang berjubah hitam yang masih berdiri tegak di atas batu.
"Ha ha ha...! Bagus...! Tidak percuma kau mendapat julukan Pendekar Rajawali Sakti. Pantas, begitu banyak orang yang gentar bila mendengar julukanmu. Tapi hari ini, kedatanganmu hanya untuk menyerahkan nyawa saja, Bocah!" terdengar lantang sekali suara Iblis Racun Hitam.
"Iblis Racun Hitam! Tak kusangka orang seko-sen seperti dirimu hanya bisa bersembunyi seperti tikus! Bahkan bisanya hanya menyembunyikan perempuan. Bebaskan Pandan Wangi. Dan kita bisa bertarung sebagai laki-laki...!" tantang Rangga langsung, tidak kalah lantang suaranya.
"Phuih! Kau terlalu pongah, Pendekar Rajawali Sakti. Aku bukan pengecut..!"
"Kalau bukan pengecut, kenapa harus mena-wan Pandan Wangi" Sekarang kau berurusan de-nganku, Iblis Racun Hitam. Jangan bawa-bawa Pandan Wangi dalam persoalan ini. Bukankah lebih jantan kalau kita bertarung?" Rangga langsung memanasi.
"Bocah sombong...! Terimalah kematianmu. Hiyaaat..!"
Sambil menggeram memaki, Iblis Racun Hitam kembali cepat mengebutkan kedua tangannya beberapa kali. Dan lagi-lagi, Rangga hams berjumpalitan menghindari serangan jarum-jarum hitam yang beracun itu.
"Hiyaaat...!"
Walaupun dihujani ribuan jarum hitam beracun, tapi sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak kelabakan. Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang sesekali diselingi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', serta pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, tidak satu pun dari jarum-jarum hitam beracun itu yang sampai mengenai tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan menyentuh ujung rambutnya saja, terasa sulit bagi Iblis Racun Hitam.
Sampai Iblis Racun Hitam menghentikan serangan, tidak satu pun dari jarum-jarum beracunnya yang mengenai sasaran. Sementara Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali berdiri tegak, setelah tidak lagi mendapat serangan jarum-jarum beracun tadi.
"Hanya sampai di situkah keahlianmu, Iblis Racun Hitam...?" Rangga mencoba memanasi.
"Phuih!" Iblis Racun Hitam menyemburkan lu-dahnya dengan sengit.
Sebentar Iblis Racun Hitam menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan sorotan mata tajam meme-rah. Kemudian tangan kanannya dihentakkan ke atas. Saat itu juga...
? *** ? Srak! "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hhh...!"
Rangga hanya mendengus saja sedikit, begitu di sekelilingnya bermunculan beberapa orang ber-pakaian serba hitam dengan senjata tongkat, yang kedua ujungnya berbentuk mata tombak. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya perlahan-lahan, mengamati sepuluh orang berpakaian serba hitam yang kini sudah rapat mengepungnya. Mereka juga bergerak perlahan-lahan, mengelilingi pendekar muda dari Karang Setra itu.
"Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Iblis Racun Hitam lantang menggelegar memberi perintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Belum lagi hilang teriakan Iblis Racun Hitam, sepuluh orang berpakaian serba hitam sudah me-ngepung rapat, langsung berlompatan menyerang.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga yang tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapi Iblis Racun Hitam dan begundal-begundalnya ini, langsung saja melesat mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Begitu cepat lesatannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan dua kali tangannya yang terentang lebar dikibaskan ke samping.
Tepat pada saat itu, seorang yang berada paling dekat menghunjamkan tongkat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, begitu cepat Rangga mengibaskan tangannya, sehingga membentur tongkat yang ujungnya hampir menghunjam dada. Seketika itu juga....
Trak! 'Yeaaah...!"
Belum lagi lawannya bisa menyadari apa yang terjadi, Pendekar Rajawali Sakti sudah memberi satu kibasan tangan kanan yang begitu cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat kibasannya, sehingga orang yang menyerangnya tidak sempat lagi berkelit menghindar. Sehingga....
Prak! "Aaakh...!"
Jeritan panjang yang melengking tinggi seketika terdengar menyayat memecah kesunyian di kaki bukit batu ini, ketika sapuan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam batok kepala orang itu. Tampak orang berpakaian serba hitam itu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya yang pecah terkena kibasan lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dari Rangga. Darah kontan berhamburan deras dari sela-sela jari tangannya.
Sementara itu, Rangga tidak sempat lagi mem-perhatikan lawannya yang sudah ambruk menggelepar meregang nyawa. Sementara dua orang pengepungnya, sudah melesat menyerang dari arah samping kanan dan kiri. Cepat Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil melepaskan satu pukulan menggeledek, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, yang disusul satu tendangan keras. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang yang menyerangnya secara bersamaan tidak dapat lagi menghindarinya.
Dan kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul, yang kemudian di-sambut oleh ambruknya dua orang berpakaian serba hitam itu. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan tangan berada di depan dada. Kini, tinggal tujuh orang lagi lawannya. Dan mereka tampaknya mulai gentar menghadapi Rangga yang dalam beberapa gebrakan saja sudah menewaskan tiga orang.
"Goblok! Seraaang...!"
Iblis Racun Hitam yang masih berada di atas batu, jadi tidak kuasa lagi menahan kegeramannya melihat tiga orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja. Sementara, tujuh orang lainnya kelihatan sudah gentar dan masih kelihatan ragu-ragu untuk menyerang. Hal ini tentu saja membuat Iblis Racun Hitam jadi semakin berang saja.
"Serang dia, Goblok!" bentak Iblis Racun Hitam, kalap.
"Hiyaaat...!"
Tiba-tiba saja satu orang yang berada di belakang Rangga melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar. Namun serangan dari belakang itu tidak membuat Rangga jadi terkejut Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti meliukkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan begitu merunduk, kaki kirinya cepat sekali menghentak ke belakang. Begitu cepat hentakannya, sehingga orang yang menyerangnya dari belakang itu jadi terhenyak kaget tidak menyangka. Dia berusaha menghindar, tapi terlambat Maka....
Des! "Akh...!"
Gerakan orang itu memang kalah cepat dan hentakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, tendangan ke belakang itu tepat menghantam dadanya hingga remuk. Jeritan panjang melengking tinggi pun kembali terdengar, disusul ambruknya satu orang lagi. Rangga kembali berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
Melihat seorang lagi tewas dengan begitu mu-dah, enam orang pengikut Iblis Racun Hitam jadi semakin tidak berani menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, mereka langsung memutar tubuhnya dan cepat berlari meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan...! Mampus kalian semua! Hih! Yeaaah...!"
Iblis Racun Hitam jadi berang setengah mati melihat anak buahnya mencoba melarikan diri. Sambil berteriak keras menggelegar, kedua tangannya cepat dikebutkan. Dan seketika itu juga, puluhan jarum-jarum berwarna hitam yang mengandung racun itu berhamburan cepat sekali bagai kilat. Dan....
Crab! Bres! "Akh...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang pun terdengar saling sambut. Tampak enam orang yang semuanya ber-pakaian serba hitam itu jadi terjengkang terhunjam jarum-jarum hitam yang dilepaskan Iblis Racun Hitam. Mereka langsung ambruk bergelimpangan, dan menggelepar sambil menggerung meregang nyawa. Tampak tubuh mereka langsung membiru, langsung tumbuh benjolan-benjolan yang kemudian pecah seperti gunung memuntahkan lahar. Dari benjolan-benjolan itu menyembur cairan kuning kehijauan yang berbau busuk.
Teriakan-teriakan kesakitan pun terus terdengar. Sementara, Rangga yang menyaksikan keke-jaman Iblis Racun Hitam itu jadi mengerutkan ge-rahamnya. Dan tidak lama kemudian, enam orang itu menggeletak diam tidak bergerak-gerak lagi. Tubuh mereka hancur mengeluarkan cairan kuning kehijauan yang berbau busuk seperti mayat sudah beberapa hari.
"Iblis...!" desis Rangga menggeram muak.
Kekejaman Iblis Racun Hitam memang bukan hanya bisa didengar saja. Rangga yang menyak-sikan sendiri kekejaman Iblis Racun Hitam itu jadi tidak dapat lagi menahan diri. Terlebih, dia teringat nasib Pandan Wangi yang sampai sekarang ini belum jelas di tangan Iblis Racun Hitam. Dia khawatir terjadi sesuatu pada kekasihnya.
"Iblis Racun Hitam, turun kau...! Hadapi aku...!" bentak Rangga lantang menggelegar.
"Ha ha ha...! Kenapa harus berteriak-teriak, Pendekar Rajawali Sakti" Kau pasti sudah tidak sabar ingin melihat kepala kekasihmu, bukan" Nanti akan kuberikan kepalanya padamu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Setan keparat...! Kalau kau sampai berani menyentuh Pandan Wangi, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu, Iblis Racun Hitam!" desis Rangga mengancam geram.
"Ha ha ha...! Kau terlalu besar mulut, Anak Muda. Percuma saja banyak bicara. Sekarang, Pandan Wangi sudah senang. Dia tidak akan mungkin mau ikut denganmu lagi. Dia sudah senang di neraka sekarang.... Ha ha ha...!"
"Iblis...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 114. Gerhana Darah Biru Bag. 4
14. Juli 2014 um 15:11
4 ? Rangga kali ini tidak dapat lagi menahan ke-marahannya, mendengar kata-kata Iblis Racun Hitam. Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat bagai kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh tingkat sempurna. Begitu cepat lesatannya, sehingga membuat Iblis Racun Hitam yang berada di atas batu jadi terperangah.
"Hap...!"
Belum juga Iblis Racun Hitam bisa berbuat sesuatu, tahu-tahu Rangga sudah berdiri tepat sekitar dua langkah di depannya. Dan saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan satu pukulan keras dan cepat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu sempurnanya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, hingga membuat kepalan tangannya jadi memerah bagai terbakar.
"Haiiit...!"
Tapi, Iblis Racun Hitam bukanlah orang sembarangan. Begitu mendapat serangan kilat tak terduga ini, cepat-cepat tubuhnya melenting berputar ke belakang. Hingga, serangan Pendekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Beberapa kali laki-laki tua berbaju jubah hitam pekat itu berputaran di udara. Kemudian dengan gerakan manis sekali kakinya menjejak kembali di atas batu yang ternyata permukaannya cukup lebar dan datar ini.
"Hebat...! Memang tidak percuma kau men-dapat julukan Pendekar Rajawali Sakti, Bocah. Gerakanmu memang cepat seperti burung rajawali. Tapi, itu bukan jaminan untuk bisa mengalahkan aku!" terasa begitu dingin nada suara Iblis Racun Hitam.
"Bisa jadi. Tapi lebih bagus daripada banyak omong sepertimu!" sahut Rangga, dingin.
"He he he...! Terlalu mudah bagiku untuk membunuhmu, Bocah. Semudah membalikkan telapak tangan! Tapi, bukan itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin melihat kau mati secara perlahan-lahan, seperti kekasihmu yang keras kepala itu...!"
"Iblis...!" suara Rangga semakin dingin meng-getarkan.
Kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah memerah bagai sepotong besi terbakar dalam tungku. Wajahnya juga kelihatan merah menahan kemarahan yang amat sangat. Perlahan-lahan kedua kepalan tangannya diangkat hingga sejajar pinggang. Tapi begitu hendak melontarkan serangan yang dahsyat, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan gerakan tangannya yang baru saja bergerak maju sedikit.
Hm.... Aku tidak boleh terpancing. Dia pasti hanya membual saja, agar aku terpancing! Gumam Rangga dalam hati, langsung bisa menyadari keadaan.
Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke belakang dua tindak. Dan bibirnya kini menyunggingkan senyum. Raut wajahnya yang semula memerah, kini terlihat cerah seperti biasa. Perubahan yang begitu cepat pada diri Pendekar Rajawali Sakti, membuat kening Iblis Racun Hitam jadi berkerut.
"Hih!"
Wut! Iblis Racun Hitam cepat mengeluarkan senja-tanya yang berbentuk cambuk buntut kuda. Maka dari ujung-ujung cambuk itu mengepulkan asap hitam, begitu dikebutkan. Pendekar Rajawali Sakti sadar kalau cambuk itu mengandung racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Maka segera saja jalan pemapasannya dipindahkan ke perut. Sementara kedua tangannya sudah terkepal erat. Perlahan kedua kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti berubah menjadi merah membara seperti besi terbakar dalam tungku.
"Hari ini kau akan mampus, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Iblis Racun Hitam dingin menggetarkan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja, seperti tidak menanggapi ancaman laki-laki tua berjubah hitam ini.
Sementara, Iblis Racun Hitam sudah meng-geser kakinya sedikit ke kanan. Beberapa kali cambuknya dikebutkan ke depan, sehingga mengepul asap hitam yang mengandung racun mematikan. Dari gerakan-gerakannya itu, Rangga tahu kalau lawannya ini sedang mencoba daya tahannya menghadapi racun dari senjatanya itu. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sendiri kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan senyumnya semakin terlihat lebar. Dan dia tetap berdiri tenang, walaupun tetap siap menghadapi serangan.
'Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Iblis Racun Hitam melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Cambuknya yang berbentuk buntut kuda itu langsung dikebutkan, tepat ke wajah tampan pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara Rangga masih tetap diam sesaat. Lalu cepat sekali tubuhnya mengegos, diimbangi gerakan kepala menghindari serangan Iblis Racun Hitam.
Saat itu juga, Rangga menghentakkan tangan kanannya sambil miring ke kiri. Hentakan yang begitu cepat dan mengarah ke perut itu sama sekali tidak diduga Iblis Racun Hitam. Akibatnya, dia jadi terperangah setengah mati.
"Hup!"
Cepat-cepat Iblis Racun Hitam melompat ke belakang menghindari serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu kakinya menjejak per-mukaan batu, cambuknya cepat dikebutkan ke wajah pemuda lawannya ini. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengegoskan sedikit kepalanya, membiarkan ujung-ujung cambuk itu lewat di depan hidungnya. Seketika, asap hitam mengepul menyelimuti wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sebentar saja, asap hitam itu lenyap terbawa angin.
"Heh..."!"
Iblis Racun Hitam jadi kaget setengah mati melihat lawannya masih tetap berdiri tegak. Padahal setiap lawan yang dihadapinya, tidak ada yang sanggup menentang asap beracun dari cambuknya. Tapi, Rangga sama sekali tidak bergeming sedikit pun juga. Bahkan sepertinya begitu menikmati hembusan asap beracun yang keluar dari cambuk ekor kuda Iblis Racun Hitam itu.
"Setan...! Ilmu apa yang dipakai untuk me-nangkal racunku...?"
Iblis Racun Hitam jadi bertanya-tanya sendiri melihat Rangga sama sekali tidak terpengaruh oleh asap beracunnya. Padahal, jelas sekali kalau wajah Pendekar Rajawali Sakti tertutup asap beracun dari cambuk ekor kuda miliknya, walaupun hanya sesaat saja. Tapi Rangga sama sekali tidak mengalami perubahan sedikit pun juga. Bahkan tetap berdiri tegak dengan bibir terus menyunggingkan senyum. Sehingga, membuat Iblis Racun Hitam semakin berang bercampur keheranan.
"Phuih! Hiyaaa...!"
Sambil menyemburkan ludah, Iblis Racun Hitam kembali melesat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dia seperti tidak peduli kalau pemuda itu seperti memiliki kekebalan terhadap racun. Dengan cepat cambuknya dikebutkan beberapa kali. Dan Rangga menghadapinya hanya menggunakan jurus 'Sembilan Lahgkah Ajaib', tanpa membalas sedikit pun juga.
? *** ? "Hih! Hiyaaa...!"
Jurus demi jurus cepat berlalu. Namun pertarungan itu masih terus berlangsung sengit. Dan tampak jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti berada di atas angin. Meskipun tampaknya Iblis Racun Hitam sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, tapi belum juga bisa mendesak lawannya ini. Bahkan beberapa kali pukulan yang dilepaskan Rangga berhasil bersarang di tubuh orang tua ini.
"Hih! Yeaaah...!"
Saat itu, Rangga meliuk menghindari sabetan cambuk hitam yang semakin banyak mengeluarkan asap hitam beracun. Lalu lewat gerakan yang manis sekali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar dengan berpijak pada satu kaki. Dan bagaikan kilat tubuhnya melesat tinggi ke atas. Maka....
"Yeaaah...!"
Sret! "Heh..."!"
Kedua bola mata Iblis Racun Hitam jadi ter-beliak lebar, begitu Rangga mencabut pedang pusakanya yang sejak tadi tersimpan dalam warangkanya di punggung. Cahaya biru yang menyilaukan mata, langsung menyemburat menerangi sekitarnya dari mata pedang pusaka Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum juga lenyap rasa terkejut Iblis Racun Hitam, Rangga sudah meluruk deras mempergunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Hiyaaat...!"
Wut! "Heh..."! Ups...!"
Iblis Racun Hitam jadi terhenyak melihat serangan Rangga begitu cepat dan sama sekali sulit diikuti pandangan mata. Cepat-cepat dia melompat ke samping sambil meliukkan tubuhnya, menghindari sambaran pedang yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan. Dan tiba-tiba saja Iblis Racun Hitam merasa jiwanya jadi terpecah-pecah. Perhatiannya jadi bercabang-cabang. Dia sendiri tidak tahu, apa penyebabnya.
Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga cepat memutar pedangnya dengan cepat dan lang-sung dibabatkan ke dada Iblis Racun Hitam. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Iblis Racun Hitam yang baru saja menjejakkan kakinya tidak sempat lagi berkelit menghindar. Apalagi, saat ini jiwa laki-laki tua itu sudah terpecah-pecah.
Cras! "Akh...!"
Iblis Racun Hitam jadi terpekik, begitu ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti merobek lebar dadanya. Tampak laki-laki tua itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang sobek mengucurkan darah akibat sabetan pedang berpamor sangat dahsyat milik Pendekar Rajawali Sakti.
"Ukh...!"
Iblis Racun Hitam jadi mengeluh. Sebentar dilakukannya beberapa gerakan dengan kedua ta-ngan. Lalu, diberikannya beberapa totokan di sekitar luka di dadanya. Seketika darah berhenti mengalir.
"Phuih...! Hiyaaa...!"
Tanpa mempedulikan dadanya yang sobek akibat terkena sabetan pedang Pendekar Rajawali Sakti, Iblis Racun Hitam kembali melesat menyerang dahsyat. Cambuknya berkelebatan begitu cepat, bagaikan menjadi beberapa buah mengurung ruang gerak pendekar muda itu. Tapi keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Tepat di saat Iblis Racun Hitam mengebutkan cambuknya ke depan, cepat sekali Rangga mengibaskan pedangnya ke depan dada. Begitu cepat peristiwa yang terjadi, sehingga Iblis Racun Hitam sama sekali tidak sempat mengetahuinya. Dan....
Cras! Bret! "Akh...!"
Kembali Iblis Racun Hitam terpekik, begitu cambuknya membentur pedang di tangan Rangga. Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Dan saat itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu melihat cambuknya tinggal sepotong. Seakan-akan, dia tidak percaya kalau senjata kebanggaannya sama sekali tidak berdaya menghadapi pedang bercahaya biru terang yang berada dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat...! Hih!"
Dengan perasaan geram Iblis Racun Hitam membuang potongan cambuknya. Kemudian tu-buhnya langsung melesat menyerang, melepaskan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Haiiit..!"
Tapi Rangga yang memang sudah sejak tadi si-ap menghadapi serangan, mudah sekali bisa menghindari pukulan dahsyat dari Iblis Racun Hitam ini. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya. Saking cepatnya kibasan pedang bercahaya biru itu, sehingga Iblis Racun Hitam tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat, tepat di saat ujung pedang Pende-kar Rajawali Sakti menebas batang leher Iblis Racun Hitam.
"Hup!"
Pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajwali Sakti melompat ke belakangnya sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang Rangga lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Iblis Racun Hitam tampak masih berdiri dengan kedua bola mata terbeliak lebar dan mulut ternganga tanpa mengeluarkan suara.
Tapi hanya sebentar saja laki-laki tua berjubah hitam itu berdiri. Sesaat kemudian, tubuhnya terlihat limbung dan jatuh bergelimpangan di atas batu besar yang datar permukaan atasnya ini. Tampak kepalanya menggelinding terpisah dari lehernya. Darah langsung muncrat berhamburan keluar dengan deras sekali dari leher yang buntung tidak berkepala lagi. Sementara, Rangga masih berdiri tegak memandangi tubuh Iblis Racun Hitam yang sudah terbujur kaku tidak bernyawa lagi.
"Hm.... Di mana dia menyembunyikan Pandan Wangi...?" gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedar-kan pandangan ke sekeliling. Tidak terlihat tanda-tanda tempat persembunyian Iblis Racun Hitam di sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya pepohonan dan batu-batu saja yang tampak. Kembali Pendekar Rajawali Sakti menatap tubuh Iblis Racun Hitam yang sudah terbujur kaku tidak bernyawa lagi.
Namun tidak lama kemudian, kepala Rangga terdongak ke atas. Tampak seekor burung berbulu putih keperakan tengah melayang-layang di atas awan, tepat di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Rajawali Putih...," desis Rangga hampir tidak percaya dengan pandangannya sendiri.
Beberapa saat Rangga mengamati burung yang berputar-putar di atas kepalanya. Dia yakin betul kalau burung itu adalah Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa yang bukan hanya menjadi tunggangan Pendekar Rajawali Sakti, tapi juga gurunya dalam mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun lalu.
"Suiiit...!"
? *** ? "Khraaagkh...!"
Senyuman lebar terkembang di bibir Rangga, saat mendengar suara serak yang keras meng-gelegar di angkasa. Suatu suara yang sudah begitu dikenalnya. Sementara dari angkasa, meluncur seekor burung rajawali berbulu putih keperakan. Burung itu semakin dekat, dan semakin jelas sekali terlihat bentuknya.
"Khraaagkh...!"
Burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan itu mendarat ringan sekali di dekat batu besar, tempat Rangga berdiri di atasnya. Burung raksasa yang dikenal sebagai Rajawali Putih itu menjulurkan kepalanya ke atas batu. Rangga bergegas menghampiri, dan langsung memeluk lehernya. Seakan-akan, dia hendak melepaskan rindu karena sudah terlalu lama tidak saling bertemu. Cukup lama juga Rangga memeluk leher Rajawali Putih, kemudian perlahan-lahan melepaskannya.
"Kau datang sendiri tanpa diminta, Rajawali.
Ada apa...?" tanya Rangga langsung.
Kelihatannya Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengetahui perasaan burung rajawali raksasa ini. Dan memang, di antara mereka terjalin ikatan batin yang sangat kuat. Sehingga, mereka bisa melihat perasaan hati satu sama lain.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih hanya mengkirik kecil dengan pandangan mata terlihat begitu sayu. Rangga jadi tertegun juga melihat sikap burung raksasa yang tidak seperti biasanya ini. Seakan-akan, burung itu tengah memendam sesuatu yang membuatnya jadi murung.
"Kau punya persoalan, Rajawali?" tanya Rangga.
Rajawali Putih hanya diam saja. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata sendu. Sedangkan Rangga merasakan kalau ada sesuatu yang terjadi pada diri burung tunggangannya yang juga menjadi gurunya ini. Dengan lembut ditepuk-tepuknya leher burung itu. Sedangkan Rajawali Putih memalingkan kepala ke belakang, dan mematuki punggungnya sendiri. Rangga tahu, Rajawali Putih memintanya naik.
Misteri Desa Siluman 2 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Kembalinya Raja Tengkorak 1

Cari Blog Ini