Ceritasilat Novel Online

Hantu Putih Mata Elang 1

Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang Bagian 1


. 139. Hantu Putih Mata Elang Bag. 1
30. Oktober 2014 um 09:54
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Hantu Putih Mata Elang
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Malam semakin gelap. Di langit, awan hitam masih bergulung-gulung. Suara unggas malam sudah tidak terdengar lagi. Seakan-akan semuanya bersembunyi di sarang masing-masing. Rintik hujan masih turun satu persatu. Dan di beberapa tempat air masih terlihat menggenang. Memang hujan deras baru saja berhenti mengguyur bumi. Sehingga, yang tinggal hanya tanah tanah basah di sana-sini. Dan keadaan yang tak menyenangkan ini tak menghalangi dua orang penunggang kuda yang terus menggebah kudanya, menerobos pinggiran hutan yang banyak ditumbuhi semak-semak kecil.
Bila diperhatikan, akan terlihat kalau kedua laki-laki penunggang kuda itu berbeda usia. Yang seorang berkumis tebal melintang. Tubuhnya sedikit kurus, kira-kira berusia sekitar tiga puluh tahun. Sementara berada di sampingnya adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar sembilan belas tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat kain kuning. Di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala ular.
"Apakah tidak sebaiknya kita beristirahat dulu, Den Wijaya" Perjalanan masih Jauh. Dan mungkin Raden telah letih...," usul laki-laki berkumis melintang ini.
Pemuda di samping laki-laki itu menoleh sekilas. Kemudian bibirnya mengulas senyum.
"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka, Paman Sembada!" sergah pemuda yang dipanggil Wijaya.
"Tidak akan lari gunung dikejar, Den Wijaya...," elak laki-laki yang dipanggil Sembada ter-senyum.
"Sudah sepuluh tahun, Paman! Selama itu, aku hanya dua kali bertemu mereka. Bisakah Paman membayangkan, betapa rinduku pada mereka?" tandas Raden Wijaya.
"Ya... Telah sepuluh tahun Raden berada di Padepokan Wering Surya. Dan Paman bisa merasakan, betapa Raden merindukan kedua orangtua...,'' gumam Paman Sembada.
"Mereka baik-baik saja, Paman...?"
"Mereka baik-baik saja, Raden. Hanya ibumu yang agaknya sering melamun karena memikirkanmu...."
"Ah... Kasihan ibu. Selama ini, beliau amat menyayangiku. Apalagi aku anak satu-satunya. Seandainya aku punya adik, beliau tentu tidak akan begitu memperhatikan diriku seperti sekarang...," desah Raden Wijaya.
"Kenapa Raden berkata begitu" Menurut Paman, beliau akan tetap menyayangimu meski Raden mempunyai adik banyak," tanya Paman Sembada.
Raden Wijaya tersenyum.
"Bukan begitu maksudku, Paman...."
"Lalu?"
"Ibunda tertalu memperhatikan diriku. Bahkan sangat berlebihan. Sehingga apabila aku tidak berada di dekatnya, beliau selalu risau dan takut kehilanganku. Bila aku mempunyai adik, tentu ada penghiburnya."
"Tapi, saat ini beliau pun telah mempunyai se-seorang yang sering menghiburnya...," sahut Paman Sembada, tersenyum penuh arti.
"Maksud, Paman" Ayahandakah...?"
"Salah satunya."
"Lalu yang lainnya?"
"Bukan yang lainnya, Raden. Tapi seorang lagi"
"Paman.... Aku semakin tidak mengerti...," desah pemuda itu dengan kening berkerut dan wajah bingung.
"Ingatkah Raden pada Andini, putri Ki Bangun Satya...?" Paman Sembada malah bertanya.
"Hm... Siapa yang bisa melupakannya?" sahut Raden Wijaya, seraya tersenyum karena mulai mengerti ke mana tujuan pembicaraan pamannya. "Dialah orang yang Paman maksudkan?"
Paman Sembada mengangguk.
"Dia sering mengunjungi ibundamu...."
"Sudah besarkah dia sekarang, Paman...?"
"Bahkan telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik, Raden! Budi pekertinya juga baik. Tutur katanya pun selalu halus dan lembut."
"Hm"," gumam Raden Wijaya pelan.
"Dia sering menanyakan keadaanmu, Den...," tambah Paman Sembada.
"Jangan menggodaku, Paman. Andini memang kawan bermainku sejak kecil. Namun, dia amat pemalu dan jarang bercakap-cakap denganku...," kata pemuda itu tersenyum malu.
"Paman tidak menggodamu. Dia memang sering menanyakan keadaanmu. Apakah kau betah, atau kesepian..." Dia pun sering mengkhawatirkanmu...," jelas Paman Sembada, semakin membuat pipi pemuda itu memerah.
"Paman terlalu mengada-ada. Siapa yang mengkhawatirkanku" Aku berada di padepokan. Dan di situ, kawan-kawanku banyak. Malah Ki Sabda Senjaya bukan orang sembarangan. Siapa yang hendak menyakitiku" bela Raden Wijaya berusaha menutupi perasaannya.
"Andini agaknya bukan mengkhawatirkan ke-selamatanmu, Den?"
"Lalu?"
"Dia mengkhawatirkan, kalau Raden akan ke pincut gadis lain," goda Paman Sembada, sambil tersenyum lebar.
"Paman bisa saja...!" Raden Wijaya tersipumalu ketika sadar kalau Paman Sembada hanya menggodanya.
"Dia amat setia padamu, Den...," lanjut laki-laki itu.
"Apakah menurut Paman aku tidak setia?"
"Hm.... Kalian telah dijodohkan sejak kecil. Lalu, sebagai kawan bermain ketika bocah. Kemudian, berpisah agak lama, ketika Raden harus berguru di Padepokan Wering Surya. Paman kira, setelah Raden menjadi seorang pemuda dan banyak bergaul, pasti akan melirik gadis-gadis cantik lainnya. Dan, akan melupakan Andini..."
Raden Wijaya tersenyum
"Andini baik, Paman. Dia berasal dari keluarga yang baik pula. Ibunda selalu menasihati agar aku mencari calon istri yang memiliki sifat terpuji. Sebab, hal ini akan melanggengkan kehidupan berumah tangga kelak...," kata Raden Wjaya.
"Ibundamu seorang yang bijak. Den. Apa yang beliau katakan, memang benar."
'Terima kasih, Paman. Hm... Tanpa sadar kita telah memperlambat perjalanan. Ayo, Paman! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu mereka. Heaaa! Heaaa...!"
Raden Wijaya segera menggebah kudanya.
"Heaaa ..!" Paman Sembada mengikuti perbuatan majikannya.
Baru saja mereka menggebah kudanya, mendadak...
"Hi hi hi...!"
"Heh"!"
"Apa itu, Paman...?"
Raden Wijaya terkejut ketika tiba-tiba terdengar tawa nyaring yang menggema di sekitarnya. Serentak keduanya memperlambat laju kuda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali, dan langsung memandang ke sekeliling.
? *** ? Tidak terlihat apa-apa Suasana masih gelap dan sepi. Sementara keadaan di sekitarnya keli-hatan kering. Agaknya, tadi di sini hujan tidak turun.
"Hati-hati, Den! Agaknya ada seseorang yang mengikuti perjalanan kita. Mendengar suara tawanya tadi, jelas dia bukan orang sembarangan. Kita masih belum tahu, apa maksudnya!" Paman Sembada mengingatkan.
"Siapa pun yang tertawa tadi, keluarlah! Per-lihatkan dirimu. Dan, utarakan maksudmu mengikuti kami...!" teriak Raden Wijaya lantang.
"Hi hi hi...! Bocah tampan... Agaknya kau telah ditakdirkan berjodoh padaku!" Kembali terdengar tawa nyaring, kemudian disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih ke hadapan mereka.
Bayangan putih itu semakin jelas terlihat, ketika perlahan-lahan melangkah mendekati mereka.
"Heh"!"
Paman Sembada terkejut ketika melihat seorang gadis berwajah cantik berusia sekitar sembilan belas tahun. Rambutnya yang panjang keemasan, tergerai sampai ke punggung dan tertiup angin. Bajunya sutera putih yang amat tipis sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat menantang gairah kelelakian. Ada hal yang sedikit aneh, sekaligus menakutkan dari gadis itu. Sepasang matanya tajam seperti mata seekor kucing di kegelapan. Bahkan kulitnya amat putih, sehingga terlihat pucat bagai mayat.
"Nisanak! Siapakah kau"! Dan, apa maksudmu menghadang perjalanan kami...?" tanya Raden Wijaya yang tadi ikut terpesona memandang kecantikan gadis itu.
"Hi hi hi...! Bocah tampan.... Namaku Gendari. Dan terus terang, tujuanku mencegat kalian karena aku tertarik dengan ketampananmu!" sahut gadis itu, tanpa basa-basi.
Raden Wijaya sebenarnya putra adipati yang menguasai Kadipaten Watu Pasir. Kehidupan mereka terbiasa oleh sikap sopan santun dengan menggunakan tutur kata yang halus. Apalagi bagi seorang wanita. Dan apa yang diucapkan gadis itu, sebenarnya hal yang tidak pantas. Sebab, perkataan seperti itu hanya diucapkan oleh wanita jalang yang sering mengumbar hawa nafsunya.
"Gendari! Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu" Aku sama sekali belum mengenalmu. Jadi bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu?" tanya Raden Wijaya, masih dengan nada halus agar tidak menyinggung perasaan gadis itu.
"Hi hi hi...! Bocah bagus! Kau memang masih muda sekali dan tidak tahu banyak soal kehidupan. Tapi, apakah perkataanku tadi sulit dimengerti" Aku menyukaimu dan ingin agar kau menemaniku di tempat sesunyi ini. Rasanya kau tidak perlu mengenalku!" sahut Gendari menegaskan.
Raden Wijaya menghela napas sesak. Semen-tara Paman Sembada sudah merasa jengah, bahkan merasa kesal atas sikap wanita itu. Sikapnya sama sekali tidak sopan. Demikian pula kata-katanya. Gerak-geriknya menunjukkan kalau wanita ini tidak ubahnya seperti pelacur. Atau, barangkali memang dia wanita jalang" Kalau tidak, apa yang dilakukannya di tempat sesunyi ini"
"Hati-hati, Den. Wanita ini bukan orang baik-baik"," ujar Paman Sembada, mengingatkan.
"Monyet kurus! Tutup mulutmu! Kau kira aku tidak mendengar apa yang kau bisikan, heh"!" hardik gadis bernama Gendari, garang.
Paman Sembada yang mulai jengkel melihat sikap gadis itu, kini menjadi marah ketika mendengar bentakan tadi.
"Perempuan jalang! Kaulah yang seharusnya tutup mulut! Sikapmu sama sekali tidak pantas!" dengus Paman Sembada.
Mendengar itu, Gendari tiba-tiba saja tersenyum. Kemudian, dia tertawa nyaring sambil berkacak pinggang.
"Hi hi hi...! Agaknya kau cemburu, he" Sayang sekali, saat ini majikanmu ada di sini. Kalau tidak, mungkin saja aku tertarik padamu! Tapi..., kau boleh menunggu giliran kalau suka," ujar Gendari sambil tertawa genit.
"Phuih! Wanita jalang tidak tahu diri! Kau kira, siapa dirimu"!" dengus Paman Sembada tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Hi hi hi...! Kenapa mencak-mencak begitu" Kau ingin menerkam dan membunuhku" Ayo, lakukan!" sahut Gendari tenang-tenang saja.
"Keparat! Wanita sepertimu memang seba-iknya mampus!"
Paman Sembada mencabut golok di pinggang dan langsung melompat menyerang gadis di hadapannya.
"Paman, jangan...!"
Raden Wijaya berusaha menahan, namun laki-laki itu agaknya tidak mampu lagi menguasai diri. Dia sudah langsung turun dari punggung kuda, langsung menerjang Gendari.
"Haiiit!"
"Hm..."
Gadis berbaju purih itu mendengus pelan. Sama sekali dia tidak berusaha menangkis atau menghindar dari serangan.
Raden Wijaya sendiri terkejut dan menarik napas dalam-dalam. Gadis itu pasti celaka! Bahkan bukan tidak mungkin akan terbunuh di tanga Paman Sembada.
Namun begitu serangan hampir tiba di tubuh-nya, Gendari cepat mengangkat tangannya.
Tangan kiri gadis itu menepis pergelangan ta-ngan Paman Sembada. Dan sambil menundukkan kepala menghindari tebasan golok, cepat sekali kaki kanannya menendang ke dada laki-laki bertubuh agak kurus itu.
Begkh! "Aaa...!"
Paman Sembada memekik tertahan. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang pada jarak tiga tombak. Dan mulut, hidung, dan kedua telinganya menetes darah segar tanpa bergerak lagi, mungkin tewas!
"Paman"!" seru Raden Wijaya kaget. Buru-buru pemuda itu turun dari punggung kuda, kemudian memeriksa keadaan laki-laki itu.
"Kau", kau telah membunuhnya..." Tindakanmu kejam sekali, Nisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan..."!" Pemuda itu berdiri tegak seraya memandang gadis itu dengan sorot mata kebencian.
"Hm... Sayang sekali, pemuda setampanmu ternyata sedikit tuli" Baiklah. Mungkin kau lupa atau memang tidak mendengar. Kuulangi sekali lagi, aku menginginkanmu. Dan kau tidak boleh menolak!' tegas Gendari seraya menggeleng dan mendesah pelan.
"Gadis hina! Kau dengar jawabanku! Kau tidak pantas berkata seperti itu. Dan aku sama sekali tidak suka caramu! Kau telah membunuh orang. Dan untuk itu, patut mendapat hukuman!" sentak Raden Wijaya lantang.
Sret! Raden Wijaya bermaksud mencabut pedang, dan segera akan membalas kematian Paman Sembada. Baginya, gadis itu sudah sangat keterlaluan dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Semua tindakannya seolah-olah dapat diperolehnya dengan mudah. Segala apa yang diinginkannya harus terpenuhi!
"Kau hendak melawanku, Bocah Bagus...!"
Suara Gendari terdengar tajam dan lantang. Sehingga terasa menusuk gendang telinga pemuda itu. Raden Wijaya terkejut dan merasakan kelainan ketika melihat bola mata gadis itu bersinar tajam. Sehingga membuat pandangannya silau dan pikirannya melayang-layang.
"Kau.... kau..."
Raden Wijaya berusaha melawan sekuat tenaga pengaruh ilmu gaib jahat yang dilakukan gadis itu terhadapnya. Namun makin dilawan, tenaganya terasa semakin melemah. Bahkan pikirannya semakin melayang entah ke mana.
"Hi hi hi...! Kau kira bisa menahan aji 'Sirna Sukma', he"!" desis Gendari tersenyum lebar.
Pedang dalam genggaman pemuda itu terjatuh. Dan tatapan matanya jadi kosong. Malah kegarangannya yang tadi meluap, kini tidak terlihat bekasnya barang secuil.
"Mendekatlah padaku, Bocah Bagus. Ayo, mendekatlah...!" desah gadis itu sambil melambaikan tangan.
Kini Raden Wijaya menurut saja, seperti kerbau dicucuk hidungnya. Begitu mendekat, Gendari segera merangkul pinggangnya. Kemudian dengan sekali lompat, mereka melesat ringan menembus kegelapan malam, melewati dahan-dahan pepohonan di sekitarnya. Sayup-sayup terdengar tawa gadis itu yang nyaring.
"Hi hi hi...!"
? *** ? Di ruang utama Istana Kadipaten Watu Pasir, Adipati Detya Karsa termenung di atas kursi berukir indah. Pandangannya kosong ke depan. Sementara beberapa orang terdekatnya yang duduk bersila di depannya, diam membisu seperti merasakan kegundahan junjungannya. Ruangan kini sepi. Tidak ada seorang pun yang berani angkat bicara. Namun, tiba-tiba saja seseorang maju ke depan dan memberi penghormatan.
"Maafkan kelancangan hamba, Kanjeng Adipati...."
"Eh...!" Adipati itu sedikit terkejut, lalu tersenyum ketika melihat laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang baru saja memberi hormat. Ada apa, Kakang Bangun Satya...?"
"Kalau boleh hamba tahu, apakah gerangan yang membuat Kanjeng Adipati begitu gundah dan amat gelisah...?"
Adipati Detya Karsa menarik napas pendek. Kemudian matanya memandang kepala pasukan pengawal kadipaten.
Ki Bangun Satya memang bukan hanya sekadar abdi kadipaten. Namun, dia juga seorang sahabat yang amat dekat dengan adipati itu. Bahkan sudah dianggap sebagai saudara tertua karena memang usia Ki Bangun Satya lebih tua beberapa tahun dibanding Adipati Detya Karsa sendiri.
"Katakanlah, Kanjeng Adipati. Mungkin hamba dan yang lain bisa meringankan beban batinmu."
"Kakang... Hari ini seharusnya putraku telah tiba bersama Ki Sembada. Bahkan seharusnya kemarin pagi. Namun sampai saat ini, mereka belum juga tiba sahut adipati itu dengan wajah gelisah.
"Apakah tidak mungkin mereka singgah dulu mengunjungi salah seorang sahabat Raden Wijaya...?" Ki Bangun Satya mencoba memberi alasan lain.
"Kurasa tidak, Kakang. Aku telah memberi perintah pada Ki Sembada, agar tidak mengalihkan perhatian kepada yang lain-lain, kecuali tujuan pulang."
"Kanjeng Adipati, bisa jadi kita tidak mengetahui keadaannya. Namun janganlah berprasangka buruk lebih dulu. Percayalah, bahwa mereka tidak lama lagi akan kembali...," hibur sahabat adipati ini.
"Hm.... Hatiku tidak tenang. Demikian juga is-triku. Dia selalu menyebut-nyebut Raden Wijaya. Agaknya kerinduan kepada putranya tiada kuasa lagi dibendung. Aku hanya khawatir terjadi hal-hal yang buruk terhadap mereka...," desah adipati ini, dengan wajah terlihat semakin cemas.
Ki Bangun Satya terdiam sejenak seperti mera-sakan kekhawatiran di hati junjungannya.
"Kalau Kanjeng Adipati berkenan, biarlah hamba bersama beberapa orang prajurit akan mencari... "
"Kau, Kakang..." Hm ... Memang aku baru saja berpikir demikian. Sebaiknya, suruh beberapa orang prajurit mencari mereka. Kau tinggallah di sini dulu untuk menemaniku..."
"Maaf, bukannya hamba bermaksud menen-tang titah Kanjeng Adipati. Raden Wijaya sudah hamba anggap putra sendiri. Sehingga, hamba merasa ikut bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Untuk itu, hamba akan memastikannya. Biarlah hamba yang pimpin beberapa orang prajurit untuk mencarinya," tandas Ki Bangun Satya.
"Hm... Kalau memang sudah begitu kehen-dakmu, rasanya aku tidak bisa menahan lagi...."
"Terima kasih, Kanjeng Adipati!" ucap Ki Bangun Satya, seraya menghatur sembah. Kemudian dia segera bangkit dan duduknya.
"Pergilah, Kakang. Restuku menyertaimu...!"
"Baik, Kanjeng Adipati!" Ki Bangun Satya segera berbalik, meninggalkan ruangan ini.
? *** ? Ki Bangun Satya telah mengumpulkan tujuh orang prajurit pilihan untuk menyertainya dalam tugas ini. Namun sebelum berangkat, dia sempat singgah dulu di rumahnya.
"Kakang mendapat tugas berat dari Kanjeng Adipati...?" tanya Nyi Bangun Satya, istri Ki Bangun Satya, ketika melihat suaminya membawa keris pusaka yang selama ini jarang dibawa kalau tidak terpaksa sekali.
Keris berlekuk sebelas itu merupakan senjata pusaka turun-temurun dari perguruannya dulu. Selama ini, dia amat percaya kalau keris itu bertuah. Bahkan akan menambah kekuatan bagi dirinya. Istrinya tahu, hanya pada persoalan gawat saja Ki Bangun Satya sampai menggunakan keris itu.
"Raden Wijaya belum juga kembali...," kata Ki Bangun Satya seraya menghela napas berat.
"Hal itukah yang membuat Kanjeng Adipati ri-sau...?"
Ki Bangun Satya mengangguk. Pada saat itu, masuk seorang gadis manis berusia sekitar enam belas tahun ke ruangan ini. Dia berdiri di pintu seraya menundukkan kepala. Wajahnya tampak muram.
"Kemarilah, Andini...," ujar Ki Bangun Satya.
Gadis bernama Andini melangkah pelan. Kemudian, dia duduk di samping orangtuanya. Ki Bangun Satya mengelus rambutnya sesaat.
"Kau mendengar percakapan kami...?"
Andini mengangguk.
"Lalu, apa yang membuatmu begitu muram?"
Gadis itu tidak menjawab. Ki Bangun Satya kembali menghela napas sesak. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan lagi. Dia tahu, Andini mencintai Raden Wijaya. Dan pemuda itu pun agaknya telah mencintai putrinya.
"Sudahlah, Andini. Hapus wajah murammu itu. Raden Wijaya tidak apa-apa..."
"Ananda mendengar berita dari kadipaten, kalau Kakang Wijaya mendapat kesulitan di tengah perjalanan"," suara gadis ini terdengar lirih.
Ki Bangun Satya tersenyum pahit.
"Kenapa kau mempercayai kabar burung yang belum tentu kebenarannya, Anakku...?"
"Perasaan Ananda tidak tenang. Ayah..."
"Itu bisa terjadi di antara dua orang yang saling mengasihi. Sebaiknya, berdoalah. Mudah-mudahan Raden Wijaya tidak mengalami hal yang buruk dalam perjalanan...."
"Hamba selalu berdoa, Ayah..."
"Bagus!"
Ki Bangun Satya, lalu kembali mengelus kepala putrinya.
"Ayah berangkat dulu...."
"Ayah...."
"Ada lagi yang hendak kau katakan...?"
Gadis itu terdiam untuk sesaat.
"Ayah membawa senjata pusaka itu, kenapa?""
"Hanya untuk berjaga-jaga saja."
"Tapi, Ayah selalu membawanya, jika merasa kalau persoalan yang dihadapi amat berat. Jika Ayah memang bermaksud mencari Kakang Wijaya, bukankah berarti Ayah menduga kalau Kakang Wijaya dalam keadaan bahaya...?"
"Jangan berkata seperti itu, Andini!"
Gadis itu terdiam. Ki Bangun Satya juga membisu. Bagaimanapun, dia membenarkan apa yang dikatakan putrinya. Keselamatan Raden Wijaya memang mengkhawatirkan. Dan dia merasa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada pemuda itu. Namun hal itu berusaha disembunyikannya di depan putrinya agar tidak menambah beban.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 139. Hantu Putih Mata Elang Bag. 2
30. Oktober 2014 um 09:54
2 ? Hari menjelang sore ketika rombongan prajurit Kadipaten Watu Pasir menuju ke arah barat. Matahari mulai tenggelam membiaskan sinarnya yang merah kekuningan, membentuk bayang-bayang panjang. Beberapa prajurit tampak mulai letih. Namun melihat semangat ki Bangun Satya yang pantang menyerah, semangat mereka seperti terbangkit kembali.
Jarak Padepokan Wering Surya dengan Kadipaten Watu Pasir mampu ditempuh dalam seharian, bila berkuda terus menerus. Namun itu jarang dilakukan, karena tidak ada seekor kuda yang mampu terus berlari tanpa istirahat. Maka bila perjalanan ditempuh dengan berkuda seperti biasa, paling tidak akan memakan waktu kurang lebih dua hari. Biasanya kebanyakan orang selalu menempuh jalur selatan. Bisa juga melalui jalan pintas, yakni lewat arah barat. Hanya saja harus melewati beberapa hutan kecil dan daerah tandus, namun jarak bisa dipersingkat. Hal seperti ini yang diperhitungkan Ki Bangun Satya.
Laki-laki setengah baya itu menduga, bila hari keberangkatan Raden Wijaya empat hari lalu, se-mestinya telah sampai di kadipaten. Baik lewat barat maupun selatan. Dan bila mereka menemui kesulitan, paling tidak terjadinya di tengah perjalanan. Maka mereka mencarinya tidak sampai menuju wilayah Padepokan Wering Surya, melainkan diperhitungkan menurut perkiraan kalau di tengah perjalanan telah terjadi sesuatu hal. Namun begitu, sebelum membelok ke arah barat, Ki Bangun Satya sempat mengirim dua orang prajurit pergi ke padepokan itu untuk memastikan kalau Raden Wijaya telah kembali.
"Kenapa kita tidak memeriksanya saja ke Padepokan Wering Surya, Ki Bangun Satya" Siapa tahu Raden Wijaya belum melakukan perjalanan pulang...?" tanya salah seorang prajurit yang berjalan berdampingan laki-laki setengah baya itu.
"Aku tahu sifat Raden Wijaya, Durganda. Beliau tidak akan pernah membatalkan rencananya. Bila berkeras pulang, maka akan segera dilaksa-nakan meski gurunya sendiri mencoba mengha-langi. Beliau telah berjanji akan kembali pada ibundanya empat hari lalu. Maka janji itu pasti ditepatinya...!" tegas Ki Bangun Satya, yakin.
"Lalu, apa gerangan yang membuat kepulang-an Raden Wijaya terlambat...?"
"Itulah yang sedang kita cari..."
Ki Durganda terdiam sesaat. Langkah kuda mereka terdengar pelan, dengan pandangan terlihat tajam ke sekitar tempat yang dilalui.
"Jangan bergerak berurutan. Tiga di sebelah kanan, dan tiga lainnya di sebelah kiri pada jarak pandang'" perintah Ki Bangun Satya.
Enam orang anak buah laki-laki setengah baya itu langsung mengikuti perintah. Tiga orang segera bergerak sebelah kiri, sejauh kira-kira delapan sampai sepuluh tombak. Hal yang sama juga dilakukan tiga prajurit lainnya. Sedangkan prajurit yang dipanggil tadi Durganda tetap melanjutkan kudanya di sebelah kepala pasukan kadipaten itu.
"Hatiku merasa tidak enak, Ki..."
Ki Bangun Satya melirik sekilas, namun tidak menyahut.
"Tempat ini sepi sekali...."
"Tenanglah, Durganda. Jangan membesar-be-sarkan persoalan.
Durganda terdiam.
"Aku khawatir jika Raden Wijaya celaka...," desah Durganda, lirih.
"Jangan berpikir seperti itu."
"Dengarkah berita belakangan ini, Ki?" tanya prajurit itu dengan wajah cemas.
"Berita tentang apa...?"
"Hilangnya beberapa orang pemuda berwajah tampan secara aneh, dan sampai saat ini tidak di-ketahui rimbanya?"
"Hm...," gumam Ki Satya Bangun disertai angguk pelan.
"Aku khawatir...."
"Jangan lanjutkan kata-katamu itu, Durganda!" potong Ki Bangun Satya dengan wajah semakin cemas.
"Bisa jadi Raden Wijaya memiliki kepandaian hebat sepulang dari padepokan. Namun menurut berita yang kudengar, pelakunya memiliki kepandaian laksana iblis!"
Ki Bangun Satya terdiam. Kemudian matanya melirik Durganda sebentar.
"Maksudmu tokoh yang disebut Hantu Putih Mata Elang...?"
Durganda mengangguk cepat. Sebaliknya, Ki Bangun Satya menghela napas sesak. Nama itu belakangan ini amat santer terdengar. Bukan hanya di wilayah Kadipaten Watu Pasir saja, melainkan meluas ke berbagai tempat. Dan laki-laki setengah baya itu mengkhawatirkan hal ini. Dan agaknya, Adipati Watu Pasir sendiri mungkin berpikir seperti itu. Meski, tidak diutarakan.
"Ki Bangun Satya, kami menemukan sesua-tu...!" teriak salah seorang prajurit mengagetkan laki-laki berusia setengah baya itu.
"Heh"!"
Ki Bangun Satya ditemani Durganda segera menghampiri. Dan mereka langsung melihat salah seorang prajurit kadipaten tengah memegang sebilah pedang bergagang kepala ular. Jelas, senjata itu berasal dari Padepokan Wering Surya. Kalau saja hanya itu yang menjadi petunjuk, mungkin mereka masih ragu-ragu menduga. Namun, di dekatnya tergeletak sesosok mayat yang hanya bisa dikenali dari pakaiannya saja.
"Ki Sembada..."!" desis Ki Bangun Satya.
Kepala pasukan kadipaten itu yakin, setelah melihat sebuah gelang yang melingkar di lengan kanan mayat, yang bertanda khusus. Dan itu hanya dimiliki orang-orang tertentu di kalangan Kadipaten Watu Pasir.
"Dan pedang ini pasti milik Raden Wijaya...!" timpal Durganda.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada Raden Wijaya" Mungkinkah beliau..."
Salah seorang prajurit kadipaten yang terkejut menyaksikan kejadian itu, tidak mampu meneruskan kata-katanya. Dugaannya ternyata sama dengan yang lainnya kalau Raden Wijaya mengalami nasib naas!
"Tidak terlihat jejak apa pun selain tapak ku-da-kuda mereka yang mungkin melarikan diri!" kata salah seorang prajurit melaporkan keadaan di sekitar itu setelah memeriksa barang sesaat.
"Hm" Kita kembali ke kadipaten untuk melaporkan keadaan ini. Kemudian, esok hari baru melanjutkan perjalanan setelah mendapat berita dari dua orang yang berada di Padepokan Wering Surya!" ujar Ki Bangun Satya.
"Maaf, Ki Apakah tidak sebaiknya ke Padepokan Wering Surya dulu, untuk menceritakan kejadian ini" Kalau kita menuju ke kadipaten, tentu akan kemalaman. Sedangkan bila ke padepokan, kita akan tiba di sana sebelum tengah malam. Lagi pula, ada baiknya Ki Sabda Senjaya mengetahui kejadian ini," usul Durganda.
Ki Bangun Satya berpikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan.
"Baiklah. Kurasa begitupun baik. Kita menum-pang bermalam di sana, kemudian pagi-pagi sekali kembali ke kadipaten. Lalu setelah melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Adipati, kita adakan pencarian lagi!" ujar Ki Bangun Satya.
? *** ? "Bocah nakal! Kalian kira bisa selamat dariku" Yaaat..!"
Seorang kakek berambut panjang melompat dengan ringan. Dan tahu tahu dia telah berada di hadapan dua orang gadis yang tengah dikejarnya. Langkah mereka kontan terhenti dan langsung menghunus pedang.
'Tua bangka cabul! Kau kira aku takut"!" desis gadis berbaju merah yang berwajah manis, langsung mengebutkan pedangnya.
Wuuut! Namun dengan tenangnya laki-laki tua itu menangkis.
Trang! Dan seketika kaki kanan kakek bertongkat hitam itu menendang ke dada. Cepat bagaikan kilat gadis itu bergerak ke samping. Kemudian dia melompat ke atas untuk menghindari kepalan tangan kiri yang mengancam.
"Haiiit!"
Gadis berbaju merah itu kembali menerjang. Ujung pedangnya menyambar ke arah kakek itu dengan kecepatan sulit diikuti mata. Namun kembali dengan tenang, tongkat kakek ini berkelebat menangkis. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya meluncur mengancam bagian dada. Gadis berbaju merah itu terkejut, lantas berusaha melompat ke belakang.
Namun sambil berputar, orang tua itu mengejar dengan ujung tongkat menyodok ke arah leher. Cepat bagai kilat gadis itu langsung menyodokkan satu tendangan keras, dan tak terhindari lagi.
Duk! Gadis berbaju merah itu mengeluh kesakitan dengan tubuh terjungkal ke tanah. Namun, dia berusaha bangkit secepatnya. Sementara orang tua itu hanya terkekeh sambil berkacak pinggang
"He he he...! Kau kira ilmu silatmu bisa me-nandingi si Kalong Wetan?" ejek lelaki tua bertongkat hitam yang ternyata berjuluk Kalong Wetan.
"Orang tua cabul! Aku belum kalah...!" desis gadis berbaju merah itu, langsung menyilangkan pedang ke dada. Wajahnya tampak geram sekali ketika memandang orang tua itu.
"Nisanak! Biar dia hadapi kita berdua" kata gadis yang seorang lagi. Dia berbaju biru. Rambutnya yang dihiasi pita kuning. Rupanya, sejak tadi gadis berbaju merah itu seperti tak memberi kesempatan pada gadis berbaju biru dalam menyerang lawannya. Baru ketika tubuhnya terjungkal, dia menyadari kalau tak mungkin melawan kakek itu sendiri.
"He he he...! Kalian hendak maju berdua" Bo-leh juga. Iseng-iseng kita bermain sebentar, sebelum berlanjut pada permainan inti yang menggairahkan!" kata si Kalong Wetan.
"Tutup mulut kotormu itu!" sentak gadis berbaju merah.
"Huh! Biar kurobek mulut bangsat cabul ini!" desis gadis berbaju biru menimpali.


Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yaaat!"
Kedua gadis itu segera melompat bersamaan menenang. Namun orang tua itu sama sekali menganggap remeh mereka. Bahkan dia selalu tersenyum mengejek. Jelas dia amat memandang enteng.
Baru ketika serangan hampir dekat, si Kalong Wetan mengebut tongkatnya. Gerakannya seperti sembarangan saja. Tapi hasilnya"
Trang! Bet! "Brengsek!" gadis berbaju merah itu mende-ngus kesal.
Pedang di tangannya nyaris terlepas dari geng-gaman ketika tongkat si Kalong Wetan menyam-poknya. Sedangkan pedang di tangan gadis berbaju biru terpental sejauh dua tombak. Kebutan tongkat si Kalong Wetan yang bertenaga dalam tinggi sempat mengejutkan mereka.
Gadis berbaju merah itu agaknya memiliki kepandaian setingkat dibanding gadis berbaju biru. Sehingga dia masih mampu mengimbangi serangan barang dua jurus. Namun, harus jungkir balik menyelamatkan diri dari tendangan dan hantaman tongkat si Kalong Wetan.
"Haiiit!"
Dengan satu bentakan keras, tongkat si Kalong Wetan menyambar ke dada kedua gadis itu secara bersamaan. Gadis berbaju merah cepat memapak dengan pedangnya.
Trang! Gadis itu terkejut setengah mati ketika pedangnya terpukul. Belum juga keterkejutannya hilang, si Kalong Wetan telah meluruk kembali dengan sambaran tongkatnya. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sementara gadis yang satu lagi mencoba membantu. Namun tiba-tiba saja si Kalong Wetan berbalik. Ujung tongkatnya langsung menyodok dada kanan gadis berbaju biru ini. Sementara pada saat yang sama, kakek itu melepaskan satu tendangan keras menghantam gadis berbaju merah.
Duk! "Akh...!"
Kedua gadis itu terjungkal disertai jerit kesa-kitan. Sementara orang tua itu terkekeh sambil berkacak pinggang.
"He he he...! Kurasa kita telah cukup bermain-main. Dan telah tiba saatnya untuk memulai permainan yang lebih mengasyikan!"
Kedua gadis itu jadi bergidik ngeri melihat si Kalong Wetan perlahan-lahan mendekati sambil menyeringai lebar. Dengan mulut meringis menahan rasa sakit, mereka beringsut ke belakang. Be-berapa kali mata mereka melirik ke belakang, ba-rangkali bisa meloloskan diri. Atau mungkin ada orang yang dapat menolong.
Dan sebelum si Kalong Wetan bertindak lebih jauh, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan putih.
"Tinggalkan kedua gadis ini! Dan, enyahlah kau dari sini secepatnya!"
Begitu mendarat, sosok bayangan putih itu langsung mengeluarkan bentakan menggelegar. Dan dia langsung berdiri di antara dua gadis itu dengan si Kalong Wetan.
"Kurang ajaaar! Siapa kau, hingga berani-be-raninya mengganggu urusanku! sentak si Kalong Wetan, begitu memperhatikan sosok pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung tampak tersampir di punggungnya.
"Orang tua! Sangat tidak pantas kau melaku-kan perbuatan cabul di usia yang sudah bau tanah! Tidak malukah pada diri sendiri" kata pemuda itu tenang tapi penuh kewibawaan.
"Bocah sinting! Tutup mulutmu...! Agaknya kau belum pernah menerima hajaran, he"! Atau kau memang ingin bermain-main denganku" Boleh! Akan kulihat sampai di mana nyalimu hingga berani bicara seperti itu pada si Kalong Wetan!"
Sebelum aku menjatuhkan tangan, sebutkan julukanmu!"
"Perlukah itu?" balas si Pemuda itu enteng.
"Bedebah! Kau rupanya terlalu menganggap remeh Anak Muda! Jangan salahkan aku bila bertangan kejam terhadapmu!"
"Heaaa...!"
Begitu kata-katanya selesai, si Kalong Wetan langsung melompat menerjang pemuda itu.
Dari serangan yang datang, pemuda tampan itu tahu kalau orang tua ini memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal itulah yang membuatnya berhati-hati menghindari serangan.
"Hup!"
Pemuda itu segera melompat ke belakang, langsung menggunakan jurusnya. Gerakannya demikian cepat dan lincah. Kakinya bergerak dengan ayunan tubuh terhuyung-huyung seperti mabuk. Dan ini ternyata membuat si Kalong Wetan menjadi semakin geram saja. Dalam perkiraannya ujung tombaknya akan mengenai sasaran. Namun dengan gerakan yang tidak terduga, serangannya hanya menemukan sasaran kosong.
"Hebat! Jurus yang dimiliki pemuda itu mengagumkan sekali!" decak gadis berbaju merah itu dengan wajah kagum.
"Apakah kau kenal dengannya?" tanya gadis berbaju biru itu.
"Hm... Rasanya aku pernah mendengar ciri-ciri pemuda seperti dia!" kata gadis berbaju merah setelah terdiam.
"Jadi kau pernah mendengar tentang dia?"
"Ya.... Ayahku pernah bercerita sedikit ten-tangnya. Dia pasti Pendekar Rajawali Sakti!" jelas gadis berbaju merah itu, yakin.
"Pendekar Rajawali Sakti?" ulang gadis berbaju biru itu sambil menaikkan sepasang alisnya.
"Betul! Tidak salah lagi! Wajahnya tampan, memakai baju rompi. Serta, memilik pedang bergagang kepala burung rajawali!"
"Hm... Tapi, apakah dia mampu mengalahkan kakek cabul itu...?"
Gadis berbaju merah itu hanya terkikik pelan.
"Kenapa kau tertawa...?"
"Kenapa tidak" Pertanyaanmu aneh sekaligus lucu. Si Kalong Wetan bukanlah tandingan Pendekar Rajawali Sakti...."
Belum juga kata-kata gadis berbaju merah itu selesai, terdengar jeritan keras si Kalong Wetan. Tampak tubuhnya terjungkal sepuluh langkah. Sementara, tongkat di tangannya terpental jauh. Dari bibirnya menetes darah kental.
"Kalong Wetan! Kuberi peringatan padamu sekali lagi. Pergilah dari sini. Dan, kubur pikiran kotormu. Kalau tidak, aku bisa berbuat lebih buruk kepadamu!" desis pemuda tampan yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.
Si Kalong Wetan bersungut-sungut bangkit sambil menyeka darah di bibir, matanya memandang tajam penuh kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun disadari, tidak ada gunanya melawan lagi. Segala jurus ampuh telah dikerahkannya untuk menghajar. Namun, pemuda itu sama sekali tidak merasa kesulitan. Bahkan serangan balik dari Pendekar Rajawali Sakti membuatnya terkejut.
Orang tua, berjuluk si Kalong Wetan melang-kah pelan meninggalkan tempat ini. Rangga hanya menghela napas lega sambil memandang kepada kedua gadis yang baru saja ditolongnya. Dan kedua gadis itu pun melangkah, mendekati. Langsung kedua telapak tangan mereka dirangkapkan di depan dada.
"Pendekar Rajawali Sakti. Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. !" ucap gadis berbaju merah itu.
"Hm" " Rangga bergumam disertai senyum manis. Dari mana gadis ini mengetahui julukan-nya"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 139. Hantu Putih Mata Elang Bag. 3
30. Oktober 2014 um 09:56
3 ? "Nisanak.... Kini kalian telah bebas dari an-camannya. Silakan lanjutkan perjalanan kembali..," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Mana bisa begitu, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah menyelamatkan kami. Dan setidaknya kami berhutang budi!" sahut gadis yang berbaju merah.
Dahi Rangga jadi berkerut. Sementara gadis berbaju merah itu tersenyum manis. Sedangkan gadis berbaju biru tersenyum walau seperti dipaksakan. Dia sedikit kaget dengan kata-kata diucapkan gadis berbaju merah tadi.
"Nisanak! Kalian tidak perlu berbuat sesuatu sebagai tanda terima kasih. Menolong adalah kewajiban setiap orang..."
"Hm.... Sungguh mulia hatimu, Pendekar Rajawali Sakti. Tidakkah terpikir olehmu kalau kami bersedia melakukan apa saja yang kau inginkan sebagai ungkapan rasa terima kasih?" tanya gadis baju merah ini tersenyum genit.
"Nisanak! Bukankah sudah kau dengar tadi" Aku tidak menginginkan sesuatu dari kalian sebagai tanda terima kasih!" tegas Rangga.
"Hm.... Sayang sekali...."
"Apa maksudmu?"
"Jarang ada pemuda yang menyia-nyiakan ke-sempatan seperti ini...," gumam gadis berbaju merah itu.
Rangga semakin tidak mengerti kata-kata gadis itu. Bibirnya hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng. Lalu kakinya melangkah menuju kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Sementara gadis berbaju merah itu mengikuti. Sedangkan gadis berbaju biru tetap diam di tempatnya dengan wajah gelisah.
"Hei, tunggu dulu!" panggil gadis berbaju merah.
"Aku masih ada urusan, Nisanak. Maaf..., Rangga segera melompat ke punggung kudanya.
"Setidaknya..., apakah kau tidak ingin tahu nama kami..?"
Rangga menghela napas pendek dan berpikir. Mungkin dengan menuruti kata-kata terakhir gadis ini, persoalannya akan selesai.
"Baiklah"?? Siapa namamu...?"
"Namaku Roro Inten...
"Dan kawanmu?"
"Mana kutahu" Kenapa tidak kau tanyakan sendiri"!" gadis berbaju merah yang ternyata bernama Roro Inten ini malah balik bertanya.
"Sungguh aneh. Bukankah kalian berkawan" Masa' kau tidak tahu namanya?"
"Siapa yang mengatakan kami berkawan" Aku baru saja kenal dengannya tadi, saat si Tua Bangka Cabul itu ingin menodainya!"
"Oh, begitu. Baiklah, aku akan tanyakan sendiri...," sahut Rangga, seraya menggebah kuda perlahan segera dihampirinya gadis berbaju biru itu.
"Namaku.... Nila Dewi," sahut gadis itu per-lahan.
"Roro Inten dan Nila Dewi" Hm... Nama yang bagus sekali. Nah, kurasa telah cukup, bukan" Selamat tinggal!"
Rangga bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun, Roro Inten kembali berteriak mencegah-nya.
'Tunggu dulu!"
"Ada apa lagi?"
"Bagaimana kalau si Kalong Wetan kembali, dan bermaksud mengulangi perbuatannya yang tidak kesampaian" Apakah kau tega meninggalkan kami berdua di sini tanpa ada yang menolong?"
"Dia tidak akan berani melakukannya."
"Kenapa tidak" Bukankah jika kau pergi tidak akan ada yang menghalangi niatnya! Justru hal seperti ini yang amat dinantikan!"
Rangga berpikir sesaat. Dan rasanya, apa yang dikatakan Roro Inten ada benarnya. Bisa jadi Kalong Wetan akan meneruskan niatnya yang tidak kesampaian setelah pergi.
"Baiklah... Kalau demikian, kalian kuantar ke desa terdekat..." kata Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat turun dari kuda.
Roro Inten tampak tersenyum. Dan gadis berbaju merah itu buru-buru merendengi langkah Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, si Gadis berbaju biru yang bernama Nila Dewi mengikuti di belakang.
"Begitu lebih baik..!"
Rangga diam saja tidak menyahuti. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti hendak bertanya-tanya tentang kehadiran kedua gadis itu di tempat ini. Sebab, daerah di sekitarnya terlihat sepi dan tidak umum dilalui. Dan bila mereka tengah melakukan perjalanan, rasanya tidak lumrah mengambil jalan ini. Apalagi, keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.
"Aku hanya kebetulan lewat saja...," Roro Inten menjelaskan lagi, seperti mengerti apa yang dipikirkan pemuda itu.
"Dan kau, bagaimana mulanya sehingga bisa bertemu tua bangka cabul itu, Nila Dewi...?" tanya Roro Inten.
"Aku..." Eh..."
"Mungkin kau kabur dari rumah, karena hendak dikawinkan dengan kakek-kakek, ya?" tebak Roro Inten disertai tawa kecil.
Nila Dewi tersenyum malu.
"Bukan..."
"Lalu, apa...?"
Gadis berbaju biru itu menghela napas sesak. Dan wajahnya langsung terlihat muram.
"Semula kami melakukan perjalanan berdua...," jelas Nila Dewi, lirih.
"Dengan kekasihmu...?" tebak Roro Inten.
Nila Dewi tersenyum pahit.
"Lalu?"
"Kami mendapat tugas dari guru ke wilayah selatan untuk mengunjungi salah seorang sahabatnya. Di tengah jalan itulah kami bertemu seorang gadis berwajah cantik dengan rambut keemasan. Kulitnya pucat seperti mayat. Kepandaiannya hebat sekali. Bahkan kami berdua dikalahkannya dengan mudah. Dia menginginkan Kakang Permana. Entah untuk apa. Tapi belakangan aku tahu kalau Kakang Permana akan dijadikan pemuas hawa nafsunya. Kakang Permana semula menolak. Namun, tiba-tiba saja dia menurut dan tidak mampu membantah kata-kata gadis itu. Aku mencoba menyerang, ketika dia menggandeng tangan Kakang Permana dan berkelebat cepat. Namun dengan sekali melambai-kan tangan, tubuhku dihantam pukulan hebat yang sama sekali tidak kuduga...," jelas Nila Dewi dengan wajah murung mengakhiri ceritanya.
"Hm... Tidak salah lagi Pasti perbuatan si Hantu Putih Mata Elang!" desis Roro lnten geram.
"Apakah kau kenal dengannya?" tanya Nila Dewi.
"Aku pernah mendengar sepak terjangnya! Gadis itu memiliki ilmu iblis. Dan kebiasaan anehnya, menculik pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan pemuas nafsu setannya," kata Roro Inten sambil melirik Rangga.
"Apa maksudnya?" tanya Rangga mulai terta-rik
"Mana kutahu! Hati-hati saja. Kau bisa menjadi korban berikutnya!" ingat gadis itu seraya tersenyum kecil.
Rangga ikut-ikutan tersenyum dan tidak ber-kata apa-apa lagi!
? *** ? Kuil Teratai Emas terletak di wilayah selatan, di atas Bukit Gondosewu. Bila melihat dari sisi bukit lainnya, maka akan terlihat rerumputan luas bagai permadani hijau menghampar di sekeliling kuil megah itu. Di depannya terdapat kebun bunga beraneka macam menghiasi sebuah kolam ikan. Sehingga apabila musim bunga mulai mekar halaman depan kuil seperti taman surgawi yang indah bukan main, bercampur harum semerbak wewangian. Di bagian belakang kuil terdapat kebun sayuran serta pepohonan besar yang tumbuh subur. Selintas terlihat seperti hutan lebat yang amat menyeramkan. Namun sesungguhnya segala hasil tanaman itu dipergunakan bagi kebutuhan sehari-hari seratus lebih siswa-siswa yang belajar agama di situ.
Kuil Teratai Emas didirikan lebih dari seabad yang lalu. Tak heran kalau dari sini banyak mene-lurkan murid yang tersebar di mana-mana. Semula kebanyakan dari mereka hanya berkecimpung dalam bidang agama. Namun karena beberapa puluh tahun lebih dari lima puluh rahib tewas di tangan orang-orang yang tidak menyukai mereka. Maka sejak Wiku Dharma Putera memimpin kuil itu, para muridnya diajarkan ilmu olah kanuragan. Paling tidak untuk sekadar membela diri dari tindakan orang-orang yang hendak berbuat jahat.
Wiku Dharma Putera sendiri yang sampai se-karang masih memimpin kuil itu, dulunya adalah seorang pendekar besar. Namanya amat disegani di kalangan persilatan. Sejak saat itu, lulusan Kuil Teratai Emas amat diperhitungkan serta disegani. Karena, kebanyakan watak muridnya yang welas asih dan sabar, serta tidak segan mengulurkan tangan membantu kaum lemah.
Kini pemimpin kuil berusia lebih dari tujuh puluh lima tahun itu tengah berdiri tegak di lantai depan kuil, memperhatikan murid-muridnya yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan di bawah bimbingan beberapa orang rahib yang merupakan murid tertua. Beberapa kali bibirnya tersenyum. Kemudian dia menuruni undakan anak tangga yang berjumlah tujuh buah, lalu berkeliling memperhatikan muridnya satu persatu.
"Hormat kami, Guru Wiku...!"
Para murid merangkapkan kedua tangan di dada seraya sedikit membungkukkan tubuh. Dan Wiku Dharma Putera mengangkat sebelah tangannya beberapa kali, membalas penghormatan mereka.
Dan baru saja mereka memusatkan latihan kembali...
"Hi hi hi...!"
Pagi yang cerah dan berhawa segar ini menda-dak dikejutkan tawa nyaring yang berkumandang, mengelilingi kawasan kuil itu. Seketika para murid menghentikan latihan, dan mendongakkan kepala mencari-cari suara tawa tadi.
Wiku Dharma Putera memandang ke sekeliling tempat. Kemudian tangan kanannya diletakkan ke dada seraya membungkuk sedikit.
"Wahai, Nisanak! Tampakanlah dirimu, jika memang hendak bertamu. Sesungguhnya pintu kuil ini selalu terbuka bagi siapa saja yang hendak berkunjung...!" kata laki-laki tua itu. Suaranya pelan, namun jelas mengandung tenaga dalam kuat. Dan dia sudah menduga kalau suara tawa itu milik seorang wanita.
"Hi hi hi...! Sungguh tajam pendengaranmu, Orang Tua...!" sahut suara tadi, begitu sosoknya telah diketahui Wiku Dharma Putera.
Kemudian terlihat sesosok tubuh putih melayang ringan dari salah satu cabang pohon, dan hinggap di atas pagar halaman depan kuil. Sesosok tubuh itu memang seorang wanita belia berwajah cantik. Bibirnya merah merekah dengan rambut panjang sebahu berwarna keemasan yang berkibar-kibar tertiup angin pagi. Tubuhnya yang padat berisi, amat merangsang di balik kain sutera putih yang amat tipis. Melihat itu, murid-murid Kuil Teratai Emas langsung menunduk sambil menempelkan tangan di dada. Demikian juga Wiku Dharma Putera. Pemandangan itu amat tabu bagi mereka.
"Demi Batara Agung...! Apa yang kau inginkan di tempat kami ini, Nisanak?" tanya Wiku Dharma Putera.
"Hi hi hi...! Orang tua! Kulihat banyak muridmu yang masih belia dan gagah. Kau tentu tidak keberatan kalau aku ingin meminta barang sepuluh atau dua puluh orang, bukan?" sahut perempuan itu.
"Sesungguhnya, murid-muridku diperuntukkan bagi alam semesta ini. Namun, untuk tujuan mulia. Mereka akan menjadi abdi dewata yang agung. Lantas apakah yang kau inginkan dari mereka...?" tanya Wiku Dharma Putera, ramah.
"Mereka akan kujadikan abdi yang setia!" sahut wanita itu enteng.
"Apakah kau dewata sehingga berani bicara seperti itu?"
"Hi hi hi...! Tidak tahukah kau bahwa aku adalah dewi yang diutus untuk menjemput murid-muridmu?"
"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya ka-ta-katamu amat lancang, Nisanak! Mudah-mudahan dewata yang agung mengampuni dosa-dosamu. Pergilah dari tempat ini dengan damai, ujar Wiku Dharma Putera, terkejut.
"Hi hi hi...! Apakah kau kira mampu mengha-langi niat seorang dewi?" wanita itu tertawa mengejek dengan sikap amat merendahkan.
"Janganlah membuat kekacauan, Nisanak. Se-lamanya, Kuil Teratai Emas ini adalah tempat suci dan tidak boleh ada kekacauan. Kedatanganmu dengan niat buruk, akan menodai kuil ini. Maka dengan kerendahan hati, kuminta agar kau meninggalkan tempat ini!" kata Wiku Dharma Putera, mulai tegas.
"Hm... Kau kira mudah mengusirku, heh"!"
"Nisanak, janganlah mempermainkan kesabar-an seseorang. Karena, sesungguhnya itu membawa kerugian pada diri sendiri "
"Orang tua! Tidak usah banyak mulut! Berikan dua puluh muridmu yang akan kupilih sendiri. Dan setelah itu, kuil ini akan aman! Kalau tidak, kau boleh meratapi nasibmu di akherat sana!" dengus wanita itu dengan suara lantang. Sementara tangan kanannya menuding ke arah sang Wiku dengan sikap memandang rendah.
"Jagad Dewa Batara...! Jangan terlalu memak-sa kami untuk bertindak keras terhadapmu, Nisa-nak"!" dengus laki-laki tua itu.
"Banyak mulut! Hiiih!"
Gadis berkulit pucat bagai mayat itu menggeram seraya mengulurkan telapak tangan ke depan. Maka dari telapaknya yang terbuka keluar serangkum angin kencang berhawa dingin, langsung meluruk ke arah Wikut Dharma Putera.
"Heup!"
? *** ? Wiku Dharma Putera melompat ke samping. Namun bersamaan dengan itu kembali pukulan wanita itu menghantamnya. Untungnya dia masih mampu menyelamatkan diri dengan kembali melompat ke samping kanan. Namun...
"Aaa...!"
Beberapa murid yang berada di belakang kon-tan menjerit kesakitan terkena pukulan nyasar. Mereka terjungkal ke tanah dengan tubuh kaku dan membiru. Tewas seketika.
"Demi Jagad Dewa Batara! Sesungguhnya kau telah berlaku kejam terhadap kami, Nisanak. Dan aku tidak bisa membiarkanmu bertindak sesuka hatimu di tempat suci ini!" desis Wiku Dharma Putera semakin marah menggelegak begitu mendarat di tanah dan melihat keadaan murid-muridnya.
Mendengar kata-kata sang Guru, maka semua murid kuil yang selamat serentak bersiaga dan mengurung gadis itu.
"Hi hi hi...! Apa yang bisa kau lakukan terhadap Hantu Putih Mata Elang" Kalian hanya akan mengantar nyawa percuma!"
"Hantu Putih Mata Elang" Hm, pantas! Kau adalah wanita cabul yang berwatak iblis. Tidak berdosa bagiku melenyapkan orang sepertimu!" dengus Wiku Dharma Putera.
"Banyak mulut! Ayo, keluarkan semua kepan-daianmu! Kudengar kau bekas pendekar kelas satu sebelum bercokol di tempat ini!" bentak wanita itu. Kembali dia menghantam orang tua itu dengan pukulan berhawa dingin.
"Yeaaat!"
Wiku Dharma Putera cepat bagai kilat melom-pat tinggi untuk menghindari pukulan maut ini. Demikian juga beberapa muridnya. Namun sungguh malang, karena dua orang muridnya terlambat menghindar.
Brueeesss! "Aaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan, begitu dua orang murid terhantam pukulan jarak jauh dari wanita berjuluk Hantu Putih Mata Elang. Tubuh kedua murid itu kontan tewas dengan tubuh membiru, begitu mencium tanah.
Begitu mendarat di tanah, Pemimpin Kuil Te-ratai Emas itu menggeram. Langsung dilepaskan-nya serangan balik disertai lentingan tubuhnya, memburu Hantu Putih Mata Elang dengan satu pukulan maut disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
"Yeaaa...!"
"Haiiit!"
Hantu Putih Mata Elang cepat bergerak melenting ke atas, menghindari pukulan Pimpinan Kuil Teratai Emas itu. Namun....
Plak! Satu tebasan sisi tangan kanan terbuka yang dilancarkan Wiku Dharma Putera berhasil mengenai kaki lawan. Sementara Hantu Putih Mata Bang hanya tertawa mengejek. Dan seketika dilepaskannya satu sodokan keras ke dada sang Wiku dengan kepalan tangan kanan yang mengandung tenaga dalam kuat.
Wiku Dharma Putera mencoba menangkis untuk menjajaki tenaga dalam Hantu Putih Mata Elang. Namun, kemudian buru-buru dilepaskannya telapak tangannya yang menangkap kepalan tangan itu, ketika merasakan hawa dingin yang amat menyengat yang menjalar cepat ke pangkal lengannya.
Plak! "Aaakh...!"
Kalau saja sang Wiku tidak cepat melepaskan, niscaya hawa dingin itu akan membekukan seluruh aliran darahnya!
"Biadab! Ilmu iblis...!" desis laki-laki tua itu kaget, seraya mengibaskan tangannya yang terasa kaku.
"Hi hi hi...! Kesaktianmu tidak akan mampu mengalahkanku, Tua Bangka Busuk!" dengus Hantu Putih Mata Elang. Kemudian wanita ini segera melanjutkan serangan dengan melakukan tendangan ke arah leher.
"Hup!"
Cepat bagai kilat Wiku Dharma Putera menun-dukkan kepala, dan langsung melepaskan serangan balasan dengan mengibaskan kaki kanan ke arah pinggang.
Hantu Putih Mata Elang menangkis dengan mengayunkan tangan kiri. Lalu dengan kecepatan sulit diimbangi, kaki kanannya menghantam ke arah dada.
Plak! "Akh!"
Wiku Dharma Putera kontan menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah kental menetes dari sudut bibir.
"Yaaat!"
Belum lagi laki-laki tua itu menguasai diri. Hantu Putih Mata Elang telah meluruk deras ke arahnya dengan satu kepalan ke arah muka. Begitu cepat gerakannya, sehingga Wiku Dharma Putera tak bisa menghindarinya. Dan....
Des! "Aaa...!"
Begitu kepalan tangan Hantu Putih Mata Elang mengantam muka, sang Wiku menjerit tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang, laksana daun kering yang tertiup angin. Dalam keadaan kaku dan membiru, tubuhnya ambruk dan tewas seketika!
"Guru Wiku..."!"
Seluruh murid Kuil Teratai Emas terkejut kaget dan menghampiri mayat pimpinannya. Sedangkan beberapa murid lain yang tidak mampu menahan amarah, sudah langsung menyerang Hantu Putih Mata Elang
"Wanita iblis, kau patut mampus...! Yeaaat!"
"Diaaam!" bentak Hantu Putih Mata Elang keras. Bola matanya bersinar tajam, manakala memandang ke arah sepuluh lawan yang siap menyerang.
Mendadak saja kesepuluh murid sang Wiku terdiam seperti patung. Sedangkan beberapa murid lain terkejut. Bahkan untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kalian semua ada di bawah perintahku! Ikuti semua kata-kataku. Mengerti..!" desis si Hantu Putih Mata Elang dengan nada suara mengandung sihir hebat.
Kesepuluh murid Wiku Dharma Putera menundukkan kepala dengan sikap hormat.
"Hi hi hi...! Bagus. Nah, sekarang ikut de-nganku!"
Hantu Putih Mata Elang tertawa girang. Begitu tubuh berbalik dan berkelebat dan tempat ini, ke-sepuluh murid Wiku Dharma Putera yang seperti tersihir segera mengikuti dari belakang seperti korban yang dicucuk hidungnya.
"Wanita iblis! Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu! Mampuslah kau!" bentak tiga orang murid utama sang Wiku. Mereka langsung menghantam wanita itu dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat.
"Hiiih!"
Hantu Putih Mata Bang agaknya telah menya-dari. Cepat tubuhnya berbalik, seraya balas menghantam dengan pukulan mautnya.
"Aaa...!"
Ketiga murid utama sang Wiku kontan menjerit tertahan. Tubuh mereka langsung terjungkal dengan keadaan kaku membiru dan tewas seketika. Bukan hanya mereka. Bahkan empat orang lain yang berdiri di dekat mereka, tewas terkena pengaruh hantaman angin serangan Hantu Putih Mata Elang.
"Jangan!" cegah seorang murid tertua, ketika melihat beberapa murid lain hendak mengejar. "Hantu Putih Mata Elang bukan tandingan kita. Tidak ada gunanya menuntut balas jika hanya untuk mengantar nyawa percuma!"
Semua murid menaruh dendam dengan dada penuh gelegak amarah. Namun mereka terbiasa patuh dengan perintah murid tertua, sebagai pengganti kebijaksanaan sang Wiku. Apalagi saat ini Wiku Dharma Putera telah tiada dalam keadaan menyedihkan.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 139. Hantu Putih Mata Elang Bag. 4
30. Oktober 2014 um 09:57
4 ? Tiga anak muda yang terdiri dari seorang laki-laki dan dua orang wanita telah memasuki Desa Waton Kapur. Sebuah desa yang ramai dan banyak dikunjungi pedagang yang datang dari berbagai daerah. Karena selain tempatnya yang tertata apik, desa ini juga merupakan persinggahan dari dua buah kadipaten yang saling berdekatan.
"Kurasa kalian bisa melanjutkan perjalanan sendiri...," kata pemuda tampan yang berjalan bersama dua orang gadis ini tenang.
Sementara gadis yang berbaju biru langsung menghampiri si Pemuda sambil merangkapkan kedua tangan ke dada, tubuhnya membungkuk sedikit.
'Terima kasih, Rangga. Rumah guruku tak ja-uh lagi ke arah tenggara. Kalau kalian tidak ke-beratan, sudilah mampir ke gubuk kami. Guruku pasti akan senang menerimamu...," ucap gadis berbaju biru ini.
'Terima kasih, Nila Dewi. Aku masih ada urus-an sedikit. Mungkin lain kali jika ada kesempat-an...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, menyesal sekali. Tapi aku tidak akan memaksamu, Rangga. Dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, atas pertolonganmu. Juga kau Roro Inten. Aku mohon pamit!" ucap gadis berbaju biru yang memang Nila Dewi, segera meninggalkan Rangga dan gadis berbaju merah yang tak lain dari Roro Inten.
"Roro Inten... Kurasa aku pun akan segera melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, begitu Nila Dewi telah cukup jauh.
"Eh, apa?" tanya Roro Inten, pura-pura tak mendengar.
"Aku akan melanjutkan perjalananku. Ten-tunya kau pun begitu, bukan?" ulang Rangga.
"Aku tidak punya tujuan...."
"Lalu, kenapa kau berkeliaran...?"
Roro Inten tersenyum manis.
"Aku tidak betah di rumah!" sahut gadis berbaju merah itu enteng.
Rangga menggeleng lemah sambil tersenyum.
"Sangat berbahaya bagi seorang gadis seperti-mu melakukan perjalanan seorang diri....'"
"Kalau begitu, ajaklah aku bersamamu!" sahut Roro Inten cepat.
Rangga kembali tersenyum. Gadis ini seperti tidak punya beban dalam pikirannya. Bicaranya asal keluar dari mulut. Dan dia hanya mengikuti jiwa mudanya saja tanpa dipikirkan lebih dulu.
"Aku tidak bisa mengajakmu...," kata Rangga, mantap.
"Kenapa" Apakah kau takut kekasihmu tahu, kemudian mendamprat habis-habisan?" tanya Roro Inten, seperti tak ada beban dan malu sama sekali.
"Hm, mungkin juga...," gumam pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kalau begitu, aku diam-diam akan mengi-kutimu agar tidak ada yang tahu!"
"Aku ada urusan penting dan berbahaya, Roro Inten. Kuharap kau mengerti dan jangan mengi-kutiku"
"Aku bisa jaga diriku sendiri!" dengus gadis itu cepat.
"Seperti terhadap si Kalong Wetan itu, bukan?" sindir Rangga.
"Apa kau kira aku tidak bisa menghadapinya seorang diri"!"
Rangga menghela napas sesak.
"Apa sih urusanmu, sehingga berat sekali mengajakku" Apa kau mau menggulingkan keku-asaan raja sehingga dianggap berbahaya?" tanya Roro Inten.
"Aku ingin mencari si Hantu Putih Mata Elang...."


Pendekar Rajawali Sakti 139 Hantu Putih Mata Elang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Roro Inten ketawa geli.
"Aku tahu sekarang!" sentak Roro lnten.
'Tahu apa?"
"Sejak di perjalanan tadi, kau terus bertanya tentang wanita itu. He, wajahnya cantik sekali seperti bidadari. Dan yang lebih hebat, wataknya itu! Hm.... Siapa pemuda yang tidak terpikat" Kau pasti sudah membayangkan tentang keindahan tubuhnya, kehangatan belai tangannya...," celoteh Roro Inten.
"Roro Inten, cukup! Jangan berpikir kotor seperti itu!" potong Rangga kesal.
"Lalu, untuk apa kau menemuinya"!"
"Berusaha menghentikan sepak terjangnya," jawab Rangga, mantap.
Roro Inten kembali tertawa agak keras. Kata-kata pemuda itu dianggapnya hal yang lucu. Dalam pikirannya, mana mungkin ada pemuda yang mau menolak untuk memenuhi keinginan si Hantu Putih Mata Elang yang terkenal cantik dan bertubuh bagus" Jangankan diminta untuk meladeni. Bahkan tanpa berpikir dua kali akan menawarkan diri!
Rangga melompat ke punggung kudanya yang sejak memasuki desa ini hanya dituntun saja. Tidak dipedulikannya ejekan serta tawa sinis gadis itu.
"Kau boleh berpikir dan menduga sesuka hatimu tentangku...!
Heaaa!" Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya.
"Hei, tunggu...!" teriak Roro Inten hendak mencegah.
Namun, Rangga telah amat jauh dibawa lari kuda hitamnya dalam waktu singkat.
"Sial! Brengsek...!" maki Roro Inten kesal disertai sumpah serapah tidak karuan.
Gadis berbaju merah itu melangkah pelan me-nyusuri tapak kuda Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, melintas dua orang laki-laki berkuda dari arah berlawanan. Dan wajah Roro Inten tampak tersenyum cerah.
"Heaaat..!"
Mendadak saja tubuh gadis itu melompat dengan ringan. Dan tahu-tahu, satu tendangan kilat dilepaskan ke arah salah seorang penunggang kuda. Begitu cepatnya serangan gadis itu, sehingga si Penunggang Kuda tak mampu menghindari. Dan....
Begkh! "Akh!"
Orang itu kontan terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Dan sebelum dia bangkit, gadis berbaju merah itu telah bertengger menggantikannya di punggung kuda.
"Kurang ajar...!"
Sementara penunggang kuda yang satu lagi menggeram. Kudanya segera diarahkan pada gadis itu untuk menerjang. Langsung dia menyodok Roro Inten dengan kepalan tangannya.
Wuuut! Namun, tangkas sekali Roro Inten menangkap kepalan tangan laki-laki itu dan mendorongnya dengan keras. Orang itu kontan terjungkal dan jatuh berdebuk keras di tanah. Sambil menahan sakit pada pantatnya yang ngilu bukan main, dia bangkit berdiri.
"Heaaa...!"
Sementara Roro Inten sudah menggebah kudanya kencang-kencang, meninggalkan tempat ini. Meninggalkan kedua laki-laki tadi yang menyumpah tidak karuan.
? *** ? Sesosok bayangan putih tampak melayang-layang ringan dari satu cabang pohon, ke cabang pohon lain. Begitu ringan gerakannya, sehingga seperti kapas tertiup angin saja. Tubuhnya melayang turun ke bawah sebuah pohon beringin besar yang usianya telah ratusan tahun. Kulit kayunya yang besar, tidak mampu dipeluk dua orang laki-laki dewasa.
Sosok tubuh putih berambut keemasan itu menginjak salah satu akar yang sedikit mencuat di atas permukaan tanah. Dan...
Krekkk! Sungguh ajaib! Salah satu sisi batang pohon itu terkuak seukuran orang dewasa, laksana sebuah pintu. Lalu sosok yang ternyata seorang wanita ini masuk ke dalam. Sebentar saja pintu rahasia itu menutup kembali.
Di dalamnya ternyata terdapat lubang yang berhubungan dengan sebuah lorong yang menjorok ke bawah. Di sisi kiri dan kanannya terpasang beberapa buah obor sebagai penerangan. Sosok berbaju putih itu kemudian memasuki sebuah pintu yang ada di sebelah kiri. Dan dia terus menyusuri sebuah lorong rahasia lain, sepanjang lebih kurang lima belas tombak yang terdapat tiga buah pintu di ujungnya.
Wanita berambut keemasan itu membuka pintu di sebelah kiri. Di situ, terdapat sebuah ruangan mewah dengan perabotan berupa tempat tidur besar berukir indah, sebuah lemari besar, dan sebuah meja berikut kursi. Seorang gadis berkulit sawo matang dan berwajah manis tampak duduk termenung membelakangi di sisi tempat tidur besar itu.
"Roro Inten...," panggil wanita berambut keemasan itu seraya mendekati.
"Hm...."
Gadis berbaju merah yang tengah membela-kanginya hanya bergumam pendek tanpa menoleh dan merubah sikap duduknya.
"Kau tidak menyambut ibu di depan... "
Gadis berkulit sawo matang yang ternyata Roro Inten tidak menyahut. Dia diam saja ketika wanita berambut keemasan berkulit pucat itu duduk di dekatnya sambil mengelus rambutnya.
"Kenapa?" tanya wanita berambut keemasanini.
"Tidak apa-apa...," sahut Roro Inten.
"Wajahmu murung dan hatimu gelisah. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Jangan berbohong pada lbu," desak wanita yang rupanya ibu dari Roro Inten.
Roro Inten itu memalingkan muka, menatap wanita di depannya untuk beberapa saat. Nyata sekali perbedaan di antara mereka berdua. Wajah Roro Inten memang tidak secantik wanita ini. Ku-litnya, tubuhnya, dan... ah! Segalanya begitu tidak mirip. Bahkan bila mereka berjalan bersama, maka orang akan menduga bahwa Roro Inten adalah kakak wanita ini. Padahal, wanita berambut keemasan ini adalah ibu Roro Inten.
Roro Inten mendesah pelan. Sepertinya ada sesuatu yang menggayut pikirannya. Dan itu tidak sampai hah diutarakan pada ibunya.
"Katakanlah.... Mungkin Ibu bisa menolong-mu...," bujuk wanita berambut keemasan itu, ber-nada lembut.
"Ibu...."
"Hm..."
Roro Inten menundukkan kepala, tidak kuasa meneruskan kata-katanya. Wanita berambut kee-masan yang tak lain dari Hantu Putih Mata Elang menaikkan dagunya, sehingga terpaksa mata mereka kembali bertatapan.
"Katakanlah," desak Hantu Putih Mata Elang.
"Aku..., aku, eh...! Tahukah lbu, kalau saat ini menjadi bahan pembicaraan orang?" tanya Roro Inten, seperti tak kuasa menyatakan maksudnya.
"Lalu?"
"Mereka berusaha membunuh lbu...."
"Apakah kau kira ada yang mampu membunuh ibumu?"
"Aku tidak mengkhawatirkan, karena percaya kalau kesaktian lbu demikian hebat..."
"Lalu apa yang kau maksudkan?"
"Kebencian mereka. Mereka begitu benci pa-damu. Dan... bisakah lbu mengerti pengaruhnya bagiku?"
"Bicaralah terus-terang, Anakku."
"Siapakah yang sudi berkawan denganku" Siapa pemuda yang sudi melirikku jika tahu kalau aku putri si Hantu Putih Mata Elang"'
Hantu Putih Mata Elang tersenyum begitu manis.
"Apakah kau tengah menaksir seorang pemuda?"
Roro Inten terdiam. Namun sebentar kemudian kepalanya mengangguk pelan.
"Siapa orangnya?"
"Mungkin lbu pun mengenalnya. Dan..., saat ini dia tengah mencarimu."
"Mencari lbu" Hm, bukankah itu suatu kebe-tulan?"
"Ibu, aku mohon yang satu ini jangan dijadikan korbanmu. Aku", aku mencintainya...," ratap Roro Inten, langsung menutup mukanya dengan telapak tangan.
Wanita berambut keperakan itu kembali tersenyum melihat putrinya tertunduk dengan walah tertutup telapak tangan. Lalu dia membelai rambut Roro Inten.
"Maksudku, bila dia memang mencari Ibu, bukankah lebih mudah aku mempertemukannya de-nganmu" Nah, katakanlah. Siapa pemuda itu?"
"Dia.., dia bernama Rangga. Dan dia terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti" Pilihan yang sepa-dan denganmu. Apakah kau memang telah bertemu dengannya?" tanya wanita berambut keemasan itu lagi disertai senyum girang.
Roro Inten mengangguk. Kemudian pertemu-annya dengan si Pendekar Rajawali Sakti dicerita-kan.
"Hm, bagus! Dia tidak usah sibuk-sibuk mencari, karena ibu sendiri yang akan menemuinya!"
'Tapi, ibu! Dia", ia bukan bermaksud mene-muimu untuk berbaik-baikan!" seru Roro Inten, cemas.
"Tidak usah khawatir. Ibu tahu, apa yang harus dilakukan. Nah tunggulah di sini. Biar Ibu bawakan dia untukmu...."
"Ibu, hati-hati! Dia memiliki kepandaian hebat!"
"Kau meragukan kemampuanku?" Roro Inten tersenyum sambil menggeleng.
"Hapus kesedihan di hatimu dan tersenyum-lah...!" ujar wanita berambut keemasan, dan segera berlalu dari ruangan ini.
Roro Inten tercenung kembali. Sebetulnya bukan hal seperti ini yang diharapkannya. Sejak pertemuannya dengan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini memang sudah kepincut. Dan jauh di dasar hatinya dia ingin merebut perhatian Rangga dengan cara wajar. Namun kelihatannya pemuda itu tidak menaruh hati barang sedikit padanya. Inilah yang membuatnya kecewa. Akibatnya tumbuh rasa sakit hati di hatinya. Dan ketika ibunya berniat hendak membawa pemuda itu padanya, Roro Inten tidak bermaksud mencegahnya. Meskipun, tidak sepenuh hati mendukung. Yang ada di benaknya adalah, dia harus bertemu pemuda itu lebih dulu.
? *** ? Sepak terjang Hantu Putih Mata Elang bela-kangan ini memang amat meresahkan. Selama dua hari berkeliling di tiga wilayah kadipaten yang saling berdekatan, Pendekar Rajawali Sakti sering mendengar kalau banyak pemuda berwajah tampan hilang secara aneh. Dan semua orang yakin, bahwa itu perbuatan Hantu Putih Mata Elang. Hal ini bukan semata-mata dugaan belaka, sebab banyak saksi mata yang melihat perbuatannya menculik para pemuda.
Banyak pihak yang begitu mendendam dan ingin menuntut balas terhadap Hantu Putih Mata Elang. Sayang kebanyakan dari mereka berkemampuan rendah, dan akhirnya tewas di tangan wanita itu. Namun yang menyakitkan adalah, tidak seorang pun yang tahu di mana Hantu Putih Mata Elang bersembunyi. Dia datang begitu saja bagai angin dan lenyap seperti ditelan bumi.
Rangga bukannya tidak menyadari kesulitan itu. Namun akalnya cepat berpikir. Selama ini, Hantu Putih Mata Elang lebih banyak melakukan sepak terjangnya pada tiga wilayah kadipaten yang amat luas. Yaitu, Kadipaten Watu Pasir di utara, Kadipaten Karang Gantung di selatan, dan Kadipaten Beringin Wetu di barat. Menurut dugaannya, Hantu Putih Mata Elang pasti tinggal di salah satu kadipaten itu. Hal inilah yang sedang dijajaki Pendekar Rajawali Sakti!
Hari menjelang sore ketika Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan sebuah desa di wilayah Kadipaten Karang Gantung. Hatinya ragu-ragu sejenak ketika gerimis mulai turun perlahan. Sementara Dewa Bayu terlihat letih meski tadi sempat beristirahat barang sejenak. Satu hari penuh mereka mengitari wilayah selatan ini untuk mencari jejak Hantu Putih Mata Elang, namun tidak kunjung membawa hasil.
"Hei" Ada sebuah goa di sana! Mudah-mudah-an cukup dalam untuk kita berteduh dan berma-lam!" seru Rangga langsung seraya menggebah kudanya mendekati sebuah goa yang berada persis di bawah sebatang pohon.
Goa itu memang cukup dalam untuk menam-pung mereka berdua. Rangga sempat mencari ranting-ranting kering untuk membuat api unggun. Ketika api telah menyala. Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di hadapannya.
Rangga menghela napas panjang. Udara mulai terasa dingin dan di luar angin bertiup kencang. Dan nyala api sempat bergoyang-goyang. Hujan yang mulai turun perlahan-lahan, berubah deras. Masih untung letak goa ini sedikit terhalang pohon di mulutnya, sehingga angin yang masuk ke dalam tidak begitu kencang. Namun begitu, sempat membuat Rangga kedinginan. Dewa Bayu beberapa kali mendengus-dengus sambil meringkik kecil.
"Hm...," gumam Rangga pelan.
Meski kelihatannya tenang-tenang saja, sesungguhnya Pendekar Rajawali Sakti tengah men-terapkan aji "Pembeda Gerak dan Suara'. Dia memang tidak menghilangkan kewaspadaan, sebab goa di dalam ini buntu. Bila ada seseorang yang berkepandaian tinggi dan hendak berbuat jahat, maka mudah saja mengurung Rangga di sini. Dan di antara desau angin, riuhnya dedaunan yang bergoyang-goyang serta rintik hujan yang sesekali diiringi kilatan petir dan guruh, ada gerakan halus yang tercipta bukan oleh kejadian alam. Amat halus dan ringan. Bahkan Rangga sendiri ragu, apakah pendengarannya benar pada saat ini"
"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ternyata apa yang kudengar tentangmu cukup beralasan. Kau memang hebat dan telingamu amat terlatih meski dalam suasana ribut begini...!"
Terdengar satu suara yang diiringi tawa panjang. Namun Rangga tetap duduk bersila seperti semula. Belum tampak sesuatu apa pun di mulut goa. Namun dari datangnya suara yang cukup keras, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau orang itu cukup dekat. Bahkan begitu yakin kalau seseorang itu berada di atas pohon yang terletak di mulut goa.
"Nisanak! Kalau kau hendak berteduh, silakan masuk. Tempat ini masih cukup untuk beberapa orang lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang. Dan dia merasa yakin kalau orang yang tertawa nyaring itu adalah wanita.
Selesai berkata begitu, dari atas mendadak melesat sesosok bayangan putih yang melayang turun bagai sehelai daun kering tertiup angin. Bahkan Rangga dibuat terkagum oleh ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Dan tahu-tahu orang itu telah berada di hadapannya sambil berkacak pinggang.
"Heh"!"
Pemuda itu lebih terkejut lagi ketika melihat seraut wajah cantik dengan bibir merah merekah, berdiri di hadapannya. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna keemasan, dibiarkan lepas begitu saja. Bukan hanya itu. Lekuk-lekuk tubuhnya juga amat menantang. Bahkan begitu jelas terlihat di balik gaun tipis sutera putih yang tembus pandang. Pemuda itu sampai menelan ludahnya sendiri. Dan beberapa saat darahnya tersirap serta urat-urat di sekujur tubuhnya menegang.
"Benarkah kau tidak keberatan kalau aku me-nemanimu barang semalam di tempat ini...?" sapa sosok yang ternyata wanita itu dengan suara halus dan merdu.
Pendekar Rajawali Sakti cepat tersadar dari kekagumannya. Langsung ditariknya napas panjang. Dan cerita yang pernah didengar, dia bisa menduga kalau wanita yang dicarinya telah berdiri di hadapannya! Dan pemuda itu berusaha menghilangkan rasa kagetnya.
Pukulan Naga Sakti 14 Renjana Pendekar Karya Khulung Maut Buat Madewa Gumilang 2

Cari Blog Ini