Ceritasilat Novel Online

Misteri Rimba Keramat 1

Pendekar Rajawali Sakti 132 Misteri Rimba Keramat Bagian 1


. 132. Misteri Rimba Keramat Bag. 1
16. Oktober 2014 um 10:39
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: MISTERI RIMBA KERAMAT
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Hari belum terlalu siang. Sinar matahari masih terasa hangat menyapu kulit seorang penunggang kuda berusia sekitar dua puluh dua tahun melewati ujung sebuah desa kecil, dan kini di hadapannya menghadang sebuah hutan lebat. Bila telah melewati hutan lebat ini, maka beberapa saat kemudian dia akan sampai di tujuan. Pemuda berbaju merah itu mendongak ke atas, lalu memandang ke sekeliling sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan.
"Hm.... Menurut apa yang kudengar, jalan yang akan kutempuh melewati pinggiran hutan. Aku akan melewatinya sebelum hari mulai gelap agar kabar ini dapat tersebar," tekad pemuda yang menunggang kuda coklat itu dalam hati.
Pemuda berbaju merah itu menghela kudanya lambat-lambat untuk memberi kesempatan pada hewan itu untuk sedikit beristirahat. Beberapa orang penduduk yang habis mencari kayu bakar di pinggiran hutan, memandangnya dengan heran. Satu dua orang tidak membuat penunggang kuda itu bertanya-tanya. Namun ketika hampir rata-rata orang memandangnya dengan tatapan aneh, mau tidak mau membuatnya curiga juga.
"Kenapa mereka memandangku seperti itu" Apakah selama ini mereka tidak pernah melihat orang asing berkeliaran di sini?" batin pemuda itu dengan perasaan tidak enak.
Dihampirinya salah seorang penduduk untuk mencari keterangan. Paling tidak untuk menjawab pertanyaan, mengapa sikap penduduk di sini seperti mencurigainya.
"Kisanak, kenapa orang di kampung ini memandangku dengan tatapan aneh?" tanya pemuda itu tanpa turun dari punggung kuda, pada seorang laki-laki tua yang menuntun bocah perempuan berusia lima tahun.
Laki-laki tua itu tidak langsung menjawab. Matanya lantas memandang ke arah hutan lalu beralih ke arah pemuda itu.
"Apakah kau akan menempuh hutan ini?"" orang tua itu malah balik bertanya,
"Ya! Itu adalah jalan terdekat menuju Desa Giring Sewu. Sebenarnya ada apa, Orang Tua," tanya pemuda itu lagi.
"Anak muda, sebaiknya urungkan niatmu. Carilah jalan memutar...," saran laki-laki tua itu.
"Hm, kenapa harus begitu, Orang Tua" Waktuku hanya sedikit. Lantas, kenapa dengan hutan itu?"
"Agaknya kau memang pendatang, sehingga tidak tahu-menahu mengenai keangkeran hutan ini...," sahut orang tua itu sambil menggeleng lemah.
"Angker" Hm" Apa yang membuat hutan itu menjadi angker...?"
"Tidak ada seorang pun yang selamat, bila berada di dekat Rimba Keramat. Apalagi, bila berada di dalamnya!" jelas orang tua itu.
"Ah, aku jadi semakin tertarik. Apa sebenarnya yang membuat hutan itu begitu angker?" kata pemuda itu, sedikit jumawa.
"Maaf, tidak bisa kujelaskan. Tapi kalau ingin selamat, sebaiknya carilah jalan lain...."
Setelah berkata begitu, si orang tua melanjutkan perjalanan, seraya menuntun bocah kecil itu dengan tergesa-gesa.
*** "Ha-ha-ha...! Ada-ada saja! Bualan orang desa memang selalu dibesar-besarkan. Aku tetap akan lewat hutan itu. Akan kubuktikan bahwa yang dikatakannya hanya omong kosong belaka!" desis pemuda itu sambil terkekeh kecil.
Pemuda itu segera menghela kudanya. Maka seketika itu juga binatang berbulu coklat ini berlari kencang. Dalam waktu beberapa saat saja, dia sudah berada dekat sekali dengan hutan lebat yang bernama Rimba Keramat. Dan kini, pemuda itu menghentikan lari kudanya.
"Hm.... Inikah yang dikatakan hutan angker" Ah, kelihatannya sama sekali tidak menakutkan. Paling-paling hanya hewan buas. Dan itu hal yang biasa. Tapi berada di pinggirnya begini, mana mungkin hewan-hewan buas itu akan mengusik...," celoteh pemuda itu seperti berkata pada diri sendiri.
Kembali kudanya dihela dengan kencang, melintasi pinggiran hutan lebat di dekatnya. Bola matanya sesekali melirik. Yang ada di sekelilingnya memang suasana gelap saja. Suasana terasa sepi. Bahkan kicau burung dan unggas hutan pun seperti tidak terdengar. Namun tiba-tiba....
Slap! "Hei"!"
Pemuda itu seketika terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba berkelebat bayangan hitam di depannya yang begitu cepat. Seketika lari kudanya dihentikan hingga membuat binatang itu mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Seperti tidak percaya pada pandangan matanya sendiri, maka wajahnya diusap beberapa kali setelah kudanya bisa ditenangkan.
Slap! Mendadak melesat kembali sebuah bayangan cahaya keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arahnya. Namun pemuda itu tidak kalah sigap. Dia langsung melompat dari punggung kuda, dan langsung berputaran di udara. Sehingga, kilatan cahaya keperakan itu hanya lewat di bawah tubuhnya.
"Hiiih!"
Dan baru saja kakinya mendarat di tanah, kembali berkelebat dua buah sinar keperakan ke arahnya dengan deras. Pemuda itu menggeram. Dia yakin, kali ini dia tidak akan salah lihat lagi. Jelas ada beberapa orang yang tidak menyukai kehadirannya dan ingin melenyapkannya. Dan sebelum dua buah sinar keperakan itu mengancam dirinya, pemuda itu sudah dalam keadaan siaga. Lalu....
Sring! Begitu golok yang terselip di pinggang tercabut, pemuda itu mengibasnya ke depan. Seketika dua sinar keperakan yang ternyata dua buah senjata rahasia pembokongnya bisa ditangkis.
Trak! Trak! Namun pemuda itu jadi tersentak kaget. Bahkan telapak tangannya jadi terasa perih dan terkelupas. Himpitan tenaga dalam pembokongnya sungguh hebat. Malah terlihat mata goloknya jadi gompal. Maka, sadarlah dia kalau nyawanya mulai terancam. Senjata sosok-sosok yang tersembunyi ternyata memang berisi tenaga dalam tinggi. Jelas, para pembokongnya memiliki kepandaian tinggi.
Dan belum lagi pemuda itu bisa menghilangkan rasa sakit pada tangannya, mendadak melesat cepat bagai kilat tiga sosok berpakaian hitam. Begitu cepat gerakan mereka, sehingga pemuda itu hanya terkesiap saja. Dan....
Cras! "Aaakh...!"
Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika kaki kirinya putus disambar senjata salah seorang penyerangnya. Belum lagi dia berusaha menghindar, sebuah tusukan telak menyodok dada kirinya.
Bresss! "Aaa...!"
Pemuda itu kembali memekik tertahan begitu dadanya tertembus golok panjang. Tubuhnya kontan ambruk bermandikan darah. Beberapa saat terlihat pemuda itu menggelepar meregang nyawa, lalu diam tidak bergerak lagi. Nyawanya lepas dari raga!
"Tidak ada seorang pun yang boleh mendekati Rimba Keramat! Hanya mereka yang sudah bosan hidup yang boleh ke sini!"
Terdengar seseorang mendengus dari salah seorang berpakaian serba hitam yang berhasil menyarangkan goloknya di dada pemuda itu. Dia kemudian melesat, disusul dua sosok tubuh berpakaian serba hitam menembus kegelapan hutan lebat itu.
Lalu suasana kembali sepi, seperti tak pernah terjadi apa-apa.
*** Hari sudah siang, namun keadaan sebuah kedai makan di Desa Sindang masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang menyantap makanan di meja masing-masing. Sehingga ketika seorang pemuda tampan berbaju rompi putih memesan makanan, pesanannya bisa datang cepat. Pemuda tampan dengan pedang bergagang burung itu duduk di pojok ruangan, matanya melirik ke samping kiri. Tampak seorang gads berambut panjang terlihat acuh saja, sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekitarnya. Gadis cantik berbaju serba putih dengan pedang bertengger di punggungnya itu memakai ikat kepala juga berwarna putih. Sikapnya terlihat galak. Bibirnya yang tipis menandakan kalau dia tidak akan segan-segan memaki orang yang tidak disukainya. Dan agaknya, perhatian pemuda berbaju rompi putih itu masih tertuju pada gadis berpakaian putih, yang kini tengah dihampiri seseorang. Lalu....
"Kurang ajar! Apa matamu buta, heh"!" maki gadis itu garang, ketika laki-laki yang menghampirinya sempat menyenggol bahunya. Ternyata laki-laki itu mabuk, hingga jalannya terhuyung-huyung.
"He-he-he...! Gadis cantik, bahenol... he he-he...!"
Bukannya takut, pemuda itu malah terkekeh-kekeh sambil menenggak arak dalam guci kecil pada genggaman tangan kanannya. Namun mendadak saja....
Plak! Bruakkk! Tiba-tiba tangan gadis berbaju putih itu bergerak cepat, menampar pipi pemuda bertampang seram itu. Kelihatannya enteng saja. Namun lelaki pemabuk itu sampai tersungkur menghantam meja di dekatnya, disertai jeritan kesakitan dan bunyi bangku-bangku yang berpatahan. Sejenak laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya, mengusir rasa pening yang menyerangnya. Lalu dia berusaha bangkit berdiri. Dan ketika berdiri tegak, terlihat bekas tamparan si gadis membiru di pipinya. Wajah laki-laki pemabuk itu meringis, namun tetap cengengesan tanpa merasa bersalah.
"Berani lancang sekali lagi, kubunuh kau!" desis gadis itu mengancam seraya beranjak dari mejanya.
Setelah selesai memaki, gadis itu melangkah untuk membayar makanannya. Lalu, dia segera angkat kaki keluar dari kedai itu.
Sementara pemuda berbaju rompi putih yang duduk di pojok ruangan kedai hanya tersenyum kecil sambil menyelesaikan santapannya. Namun sesaat kembali perhatiannya beralih lagi ketika mendengar pertengkaran di luar kedai. Seorang pemuda berpakaian perlente tampak terlibat pertengkaran dengan gadis berbaju putih yang baru keluar dari kedai tadi. Di dekat mereka terlihat beberapa orang bertubuh tegap dengan tampang kasar berdiri mengelilingi. Melihat itu rasanya memang tidak menjadi heran. Sebab sikap gadis itu memang galak seperti yang terlihat di dalam kedai tadi.
"Huh! Pulanglah kau pada bapakmu. Dan, katakan. Aku tidak suka dipaksa! Kau juga boleh katakan itu pada orangtuaku!" sentak gadis itu, sinis.
Wajah gadis berpakaian serba putih itu tampak garang bercampur kesal. Suaranya agak lantang, sehingga mau tidak mau membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya memalingkan muka ke arah mereka,
"Ssst...! Jangan keras-keras, Andini! Kau hanya akan menarik perhatian orang saja...!"
Pemuda berwajah tampan dan berpakaian rapi itu memberi isyarat dengan telunjuk ke bibir. Namun agaknya bukan membuat gadis itu menghentikan sikapnya, tapi malah berkacak pinggang dengan mata melotot lebar,
"Apa"! Biar orang-orang mendengar! Biar setiap orang di kolong jagad ini tahu urusan kita! Apa yang bisa kau lakukan"! Aku bebas melakukan apa yang kusuka. Juga, bebas memilih apa yang kuinginkan! Tidak seorang pun yang boleh mengatur hidupku...!" sentak gadis yang ternyata bernama Andini dengan suara lebih keras.
Mendengar kata-kata yang keras, wajah pemuda perlente itu tampak kurang senang. Dia mendengus kecil, lalu memandang tajam gadis itu dengan wajah merah mengkelap.
"Andini! Jangan memaksaku! Aku bisa marah dan bertindak keras padamu...!" sentak pemuda itu.
"O.... Kau ingin main kekerasan, heh"! Hm.... Keturunanmu memang selalu begitu. Tapi, jangan coba-coba. Sebab, bukan hanya kau saja yang bisa keras!" sahut Andini sambil mencibir sinis.
Pemuda perlente itu tampaknya mulai hilang kesabarannya. Diberinya isyarat pada orang-orang bertampang seram di dekatnya. Maka dalam sekejap, lima orang itu mengurung Andini.
"Andini! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau ikut kami secara baik-baik. Atau, aku terpaksa harus bertindak keras dengan memaksamu. Aku berkuasa melakukannya, Andini! Apalagi, kedua orangtuamu telah mengizinkannya!"
"Hei, Aditya...! Jangan dikira aku takut gertakanmu. Kau boleh coba kalau ingin mampus!" geram Andini dengan sikap tidak kalah garang.
"Bereskan dia!" ujar pemuda yang dipanggil Aditya pendek sambil mengibaskan tangan untuk memberi isyarat pada kelima anak buahnya.
Sring! "Ayo, majulah kalian kalau ingin mampus!" desis Andini sambil mencabut pedang.
Kelima orang laki-laki bertampang seram itu menjadi bingung sendiri. Mereka serentak memandang Aditya dengan harapan mendapat petunjuk bagaimana caranya menangani gadis ini.
"Apakah kalian tidak mampu menangkapnya tanpa melukai, heh"!" sentak Aditya kesal dengan mata melotot garang.
"Eh! Baik, Den! Akan kami bereskan secepatnya!" sahut salah seorang.
Kelima orang itu langsung menyergap. Namun Andini agaknya tidak mau tinggal diam.
"Huh! Lebih baik kalian pergi. Dan, tinggalkan aku sendiri. Asal tahu saja, aku tidak segan-segan mencelakakan kalian!" kata si gadis memperingatkan.
"Nini Andini, kami diperintahkan menangkapmu. Dan, orangtuamu pun telah menyetujui. Jadi kenapa masih bersikeras" Ikutlah dengan baik-baik. Pasti kami juga akan memperlakukan dengan baik!" bujuk salah seorang.
"Huh, tutup mulut kalian!"
"Baiklah kalau demikian. Maaf! Rasanya tidak ada jalan lain. Terpaksa kami menggunakan cara kekerasan...," sahut orang itu.
"Hiiih!"
Andini agaknya sudah tidak bisa menahan jengkelnya. Maka langsung pedangnya diayunkan, menyambar kelima orang yang hendak meringkusnya.
*** "Uts...!"
"Hup!"
Kelima orang anak buah pemuda perlente itu menghindar dengan gesit. Melihat gerakannya, jelas kalau mereka bukan orang sembarangan. Paling tidak memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup lumayan. Namun ilmu olah kanuragan gadis itu juga tidak kalah. Bahkan terhitung bagus. Lebih-lebih lagi permainan pedangnya. Nyatanya, kelima orang bertampang seram itu memang masih belum mampu menyentuhnya. Meski begitu, Andini juga belum mampu mendesak meski telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Setelah salah seorang berhasil menghindari tebasan pedang Andini, kelima laki-laki bertampang seram itu menghentikan serangan. Dalam keadaan masih terkepung, gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sorot matanya terlihat begitu tajam.
"Apakah kalian tidak mampu meringkusnya lebih cepat"!" hardik Aditya kesal, melihat anak buahnya masih belum mampu meringkus Andini.
"Hei"! Kenapa bukan kau saja yang turun tangan"! Apa kau takut kujatuhkan di depan orang banyak"!" sahut Andini, langsung mengarahkan pandangannya pada Aditya.
Aditya tersenyum kecil.
"Andini! Kutahu, kemampuanmu jauh di bawahku. Jadi jangan coba-coba memancing kemarahanku..."
"Huh, Mulut Besar! Sebaiknya kalian cepat pergi dari hadapanku sebelum pedangku memakan korban!" dengus Andini sambil mencibir sinis.
Aditya agaknya tidak bisa menerima kata-kata Andini. Raut wajahnya kontan berubah geram. Matanya yang bulat, langsung melotot seperti hendak keluar.
"Bedebah! Agaknya kau sengaja membuatku marah! Baiklah kalau itu yang kau inginkan!" dengus pemuda itu pelan dengan wajah berkerut geram.
"Huh!" Andini hanya mendengus geram.
Dan seketika Aditya melompat menyerang dengan sebuah pukulan keras. Namun Andini memang telah siap sejak tadi. Seketika dia membuka jurusnya dengan pedang tersilang di atas kepala. Lalu....
Wuttt! "Uts!"
Ujung pedang gadis itu menyambar dada Aditya. Namun pemuda itu cepat bagai kilat menarik pulang pukulannya. Tubuhnya langsung melenting ke belakang, lalu mendarat manis di tanah. Pada saat yang bersamaan, kelima anak buahnya berusaha menyergap gadis itu dari belakang. Maka cepat-cepat Andini memutar tubuhnya, sambil mengebutkan pedangnya.
Bet! Bet! Begitu cepat pedang itu menyambar, membuat kelima laki-laki bertampang seram itu terkesiap. Mereka langsung melompat ke belakang beberapa tindak. Dan belum juga gadis itu menarik napas lega, Aditya kembali menyerangnya.
Cukup terkejut juga Andini. Namun dengan gerakan cepat gadis itu mengebutkan tangan kirinya, memapak tendangan keras Aditya.
Plak! Melihat bibir Aditya yang tersenyum dengan gerakan yang seadanya, dapat diduga kalau serangan itu sesungguhnya hanya tipuan. Begitu tendangannya terpapak, Aditya cepat memutar tubuhnya. Dan secepat kilat tangan kanannya berkelebat. Begitu cepat serangannya, sehingga....
Tuk! Tuk! Totokan yang dilancarkan tangan kanan Aditya tidak mampu dielakkan Andini. Tubuhnya kontan terkulai ambruk di tanah seperti tidak bertulang. Bola matanya melotot garang ketika Aditya menghampirinya, langsung dipondongnya gadis itu.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" maki Andini geram.
"Hm.... Lebih baik tidak usah berteriak, Andini. Tidak ada seorang pun yang berani menolongmu," sentak pemuda itu.
"Keparat kau, Aditya! Setan! Lepaskaaan aku...! Lepaskan! Atau, kuhajar kau nanti...!"
Andini kembali memaki-maki. Namun Aditya sama sekali tidak mempedulikannya.
Apa yang dikatakan Aditya memang tidak salah. Meski banyak orang yang menyaksikan kejadian itu, namun tidak ada seorang pun yang berani menolong Andini. Kebanyakan dari mereka sama sekali tidak peduli. Dan sebagian lagi, sebenarnya ingin membantu. Namun melihat wajah yang lain terlihat ketakutan, jelas ada alasannya.
Memang setiap orang di Desa Sindang, pasti kenal siapa Aditya. Pemuda perlente itu adalah putra Ki Balung Geni, panglima yang berkuasa di seluruh Kadipaten Piyungan. Dan Desa Sindang ini termasuk wilayah kadipaten itu. Sementara Ki Balung Geni terkenal bukan saja karena kepandaiannya yang hebat, tapi juga kejam dan ganas. Dia tidak akan segan-segan menghukum siapa saja yang tidak disukainya. Maka tidak heran bila tak seorang pun yang berani membantu gadis itu, meski di dalam hati sebenarnya menaruh belas kasihan.
"Ayo, mari cepat pergi!" teriak Aditya, memerintahkan kelima bawahannya untuk segera pergi dari tempat ini, setelah memandang ke sekeliling. Tampaknya memang tidak ada seorang pun yang berani menghentikan niatnya.
Namun baru saja mereka berjalan tiga langkah....
"Kisanak! Tidak baik rasanya bertindak seperti itu. Bukankah itu sama artinya penculikan...?"
Mendadak terdengar suara teguran halus dari belakang, membuat Aditya serta kelima pembantunya segera berbalik. Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan senjata pedang berhulu kepala burung bertengger di punggung, berdiri tidak jauh di hadapan mereka.
"Kaukah yang barusan menegurku...?" tanya Aditya meyakinkan. Wajahnya langsung dipasang angker.
"Bukannya menegur. Tapi mengingatkanmu agar bertindak sopan terhadap wanita," sahut pemuda itu tenang.
"Kurang ajar! Tahukah kau, siapa aku"! Sungguh lancang berani berkata begitu...!" dengus Aditya sambil melotot garang, menusuk langsung ke Ma mata pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau tak lebih dari penculik rendah yang selalu memaksakan kehendak," sahut pemuda berbaju rompi putih itu enteng.
Wajah Aditya makin merah mendengar kata-kata pemuda itu. Dipandangnya tajam-tajam pemuda itu. Kemudian bibirnya tersenyum kecil, seperti hendak mengejek.
"Kisanak! Mungkin kau orang baru di sini, sehingga tidak tahu siapa aku. Nah! Sebelum menyesal, kusarankan lebih baik tinggalkan tempat ini. Karena, aku adalah putra Panglima Balung Geni, yang menjadi panglima besar di seluruh Kadipaten Piyungan ini!" kata Aditya menjelaskan dengan nada sombong.
Sebenarnya Aditya berharap pemuda berbaju rompi putih itu akan pucat ketakutan. Bahkan buru-buru berlutut memohon ampun dan meninggalkan tempat itu, setelah tahu kehebatan pengaruh ayahnya. Tapi, yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Pemuda berbaju rompi putih itu tetap berdiri pada tempatnya. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan keterkejutan. Malah kedua tangannya tetap terlipat di depan dada.
"Hm.... Jadi kau putra Panglima Balung Geni" Hm, bagus. Mestinya sebagai putra pembesar, kau harus menjaga sopan-santun yang dapat membuat malu ayahmu. Bukannya malah sebaliknya. Kau jelas mencoreng arang di mukanya, Kisanak," sahut pemuda berbaju rompi putih itu enteng.
"Tutup mulutmu! Kau tidak berhak bicara seperti itu. Kau kira siapa dirimu, hingga berani menasihatiku!" sentak Aditya dengan wajah garang. Langsung kelima pembantunya diberi isyarat untuk menghajar pemuda itu.
Bersamaan dengan itu kelima anak buah Aditya langsung menyerang pemuda berbaju rompi putih itu. Berbeda pada saat mereka hendak meringkus Andini. Kali ini mereka tidak peduli, apakah pukulan dan tendangan mereka akan melukai pemuda itu atau tidak. Lebih-lebih lagi melihat majikan mereka begitu marah. Maka bisa dibayangkan, bagaimana mereka menyerang pemuda berbaju rompi putih itu. Seluruh tenaga dan kemampuan yang dimiliki langsung dikerahkan.
"Yeaaa...!"
Bet! Wut! Pemuda berbaju rompi putih itu hanya berkelit dengan meliuk-liukkan tubuhnya di antara serangan lawan-lawannya. Dan tahu-tahu tubuhnya menyelinap. Kelima orang bertampang seram itu jadi terkejut. Mereka sama sekali tidak bisa melihat, ke mana pemuda itu menghindar. Dan tahu-tahu....
Duk! Begkh...! "Aaakh...!"
Kelima orang anak buah Aditya kontan memekik keras, dengan tubuh terjungkal. Karena tiba-tiba saja satu hantaman keras telah mendarat melanda di dada masing-masing.
"Heh"!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 132. Misteri Rimba Keramat Bag. 2
16. Oktober 2014 um 10:40
2 ? Aditya terkejut bukan main melihat kejadian di depan matanya. Betapa tidak, hanya sekali gebrak semua anak buahnya tersungkur oleh pemuda berbaju rompi putih itu. Dari sini sudah bisa diduga, pasti pemuda itu bukan sembarangan orang. Apalagi bila melihat anak buahnya yang berkepandaian tidak rendah. Mata Aditya sampai tidak berkedip memandang pemuda berompi putih itu.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya...?" tanya Aditya. Nada suaranya kali ini terdengar agak lunak.
"Aku hanya seorang pengembara biasa yang kebetulan lewat Namaku Rangga...," jawab pemuda berbaju rompi putih itu.
Dia memang Rangga, yang di kalangan persilatan lebih terkenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm. Rangga.... Di mana pernah kudengar nama itu?" tanya Aditya, seperti untuk diri sendiri sambil mengingat-ingat.
Aditya terus berusaha mengingat-ingat. Telunjuknya sampai di tempelkan di keningnya. Namun sudah demikian berusaha, tetap tidak berhasil. Akhirnya dia memang menyerah.
"Baiklah. Aku memang tidak mengenalmu. Rangga. Kepandaianmu cukup hebat. Tapi itu bukan ukuran kalau kau hendak nekat mencampuri urusan orang. Pergilah! Dan, jangan campuri urusanku!"
"Kisanak! Gadis itu jelas tidak suka perlakuanmu. Tapi masih saja berkeras kalau tindakanmu benar. Dan aku tak bisa membiarkannya begitu saja," sahut Rangga tenang.
"Kau lihat orang-orang" Mereka diam saja tanpa berani mengusik, karena tahu kalau tindakanku benar!" kilah Aditya.
"Mereka diam karena takut, bukan karena membenarkan tindakanmu!" balas Rangga.
"Setan! Menyingkirlah kalau tidak kau akan berurusan dengan prajurit kadipaten. Dan, kau bisa dihukum berat karena hendak melarikan calon istriku!"
"Hm, calon istrimu" Menarik sekali...," gumam Rangga sambil tersenyum kecil.
"Bohong! Siapa sudi menjadi istrimu"! Phuih! Pemuda ceriwis! Seenaknya saja berkata begitu. Aku tidak sudi menjadi istrimu! Aku tidak sudi! Turunkan aku! Turunkaaan...!" teriak Andini yang masih dalam bopongan Aditya. Nada suaranya terdengar geram sambil memaki berulang kali.
"Kau dengar" Dia sama sekali tidak sudi menjadi istrimu. Nah bukankah ini namanya pemaksaan?" kata Rangga tenang seraya tersenyum mengejek.
"Bedebah! Mulutmu memang harus kurobek, baru kau akan diam!" geram Aditya seraya menurunkan tubuh Andini. Kemudian, dia mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
"Kisanak! Jangan paksa aku. Lebih baik, pikirkanlah tindakanmu...," Rangga memperingatkan.
"Yeaaa...!"
Namun, Aditya tidak mempedulikannya lagi. Sebagai jawabannya, langsung kepalan tangan kanannya disodokkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Cepat bagai kilat Rangga mengegoskan tubuhnya ke kiri, seraya memapak pukulan itu disertai pengerahan tenaga dalam lumayan.
Serangan pertama Aditya dapat ditangkis dengan mantap oleh Rangga. Dan belum juga dia melancarkan serangan kembali, kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti cepat menekuk dan disodorkan ke perut Aditya.
Desss! "Aaakh...!"
Pemuda perlente itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya jadi tertekuk dan terjajar beberapa langkah dengan wajah berkerut menahan nyeri. Namun karena merasa malu dan penasaran, dia kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan hantaman tangan kanan ke leher.
Rangga sedikit menggeser tubuhnya ke kiri sambil menangkis kepalan tangan yang mengarah ke lehernya. Dan seketika itu juga pergelangan tangan kanannya langsung menyodok ke arah dada. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....
Desss! "Aaakh...!"
Kembali Aditya terjungkal sambil menjerit kesakitan begitu pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya, hingga terasa nyeri bukan main. Dia langsung terjungkal ke tanah, namun cepat bangkit kembali. Tampak wajahnya meringis dengan langkah terhuyung-huyung.
"Kenapa kalian diam saja, heh"! Hajar dia...!" bentak Aditya pada kelima pembantunya, sambil menunjuk Pendekar Rajawali Sakti.
Meski nyali ciut dan wajah takut-takut, namun kelima laki-laki bertampang seram itu tidak berani membantah. Mereka langsung menyerang Rangga dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Hm...."
Rangga mendengus pelan. Tubuhnya langsung melenting sambil berputaran dua kali. Kepalanya ditekuk sedemikian rupa untuk menghindari sebuah tebasan senjata, sementara tangan kirinya menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan, kedua kakinya berputar cepat sekali menghantam lawan-lawannya yang lain.
Duk! Tak! Des! "Aaakh...!"
Kelima orang itu kembali terjungkal sambil menjerit kesakitan. Tubuh mereka terjerembab sejauh lima langkah dari Pendekar Rajawali Sakti. Sebagian berusaha bangkit kembali, meski menahan rasa sakit yang hebat. Sedang dua orang di antaranya menggelepar-gelepar kesakitan.
Sementara penduduk desa yang menyaksikan pertarungan sampai berdecak kagum, sekaligus merasa khawatir. Tapi, Rangga sendiri tenang-tenang saja seraya menepis-nepis debu yang melekat di tubuhnya. Malah dia langsung menghampiri Andini untuk membebaskan totokan.
"Nisanak, kini kau bebas. Dan sebaiknya, pergilah dari sini secepatnya...," ujar Rangga, begitu selesai membebaskan totokan di tubuh Andini.
Setelah berkata demikian. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Kakinya lantas menghampiri kuda hitamnya yang tertambat di depan kedai. Dan dengan gerakan indah sekali. Rangga melompat ke punggung kuda yang bernama Dewa Bayu. Lalu dengan tenang sekali. Dewa Bayu digebah perlahan-lahan, pergi dari tempat itu.
*** "Kisanak! Urusan kita belum selesai! Kau akan merasakan balasannya nanti...!" teriak Aditya mengancam, ketika Rangga belum jauh berkuda.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentikan Dewa Bayu. Kemudian, kepalanya menoleh ke belakang seraya tersenyum kecil.
"Kau boleh mencariku kapan saja suka. Atau silakan menangkapku dengan bantuan seluruh prajurit di kadipaten ini," sahut Rangga enteng. Lantas kembali Dewa Bayu digebah, untuk melanjutkan perjalanan.
Aditya hanya bisa memaki sambil menghentak-hentakkan kaki. Pemuda itu tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah kepergian Rangga. Dan saat ini, rasa malu yang amat sangat harus ditanggungnya. Putra panglima kadipaten yang selama ini dihormati, ditakuti, dan tidak pernah sekali pun ada yang membantah kata-katanya, harus mengalami kejadian pahit. Dipermalukan di depan orang banyak oleh seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bahkan ketika Andini melompat ke punggung kudanya, dan memacunya dengan kencang, Aditya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa memandang dengan sinar mata menyorot tajam. Arah yang dituju gadis itu jelas mengejar pemuda berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
*** Rangga tidak berusaha mempercepat atau memperlambat lari Dewa Bayu ketika tahu sedang dibuntuti gadis yang ditolongnya. Hanya bibirnya saja yang tersenyum kecil. Sebenarnya kalau mau, Pendekar Rajawali Sakti bisa memacu kudanya bagai lesatan anak panah. Karena, kuda yang ditunggangi memang bukan sembarangan. Lama Rangga menunggu, ternyata tidak ada yang ingin diperbuat Andini. Dia hanya mengikuti saja.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba Rangga menghela kudanya dengan lebih kencang. Dan ternyata, gadis itu berbuat sama. Namun kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewa Bayu. Jadi mana mampu kuda yang ditunggangi Andini bisa menyejajarkan. Maka ketika kuda Dewa Bayu berlari semakin kencang, gadis itu terkesiap. Dalam sekejap, dia telah kehilangan jejak dan tidak tahu ke mana lenyapnya pemuda itu.
"Hm, ke mana dia...?" gumam Andini dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Beberapa saat gadis itu menghentikan langkah kudanya. Matanya lantas terpaku pada jejak-jejak tapak kuda di tanah. Dan kembali kudanya dijalankan pelan-pelan, menelusuri jejak yang ada di hadapannya. Tapi semakin jauh ditelusuri maka semakin jauh pula dia dari kampung halamannya. Kemudian kudanya dihentikan, karena tahu-tahu saja jejak di hadapannya menghilang. Dan belum juga bisa berpikir lebih jauh....
"Nisanak, apa sebenarnya yang kau cari...?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara di belakang gadis itu.
"Hei..."!"
Gadis itu terkejut dan segera memalingkan muka ke kanan. Tampak di kanannya berdiri tenang seorang pemuda berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
Pemuda itu tersenyum kecil, lantas menghampiri sambil menuntun kudanya.
"Apakah yang kau cari" Barangkali aku bisa membantu...?" sapa Rangga ramah.
"Eh, tidak. Tidak ada apa-apa!" sahut Andini cepat dengan wajah bersemu merah, menahan malu.
"Hm.... Kau berada cukup jauh dari rumahmu. Ini sangat berbahaya...."
"Aku memang tidak ingin kembali ke rumah!" sahut Andini cepat.
"Jadi kau ingin kabur?"
"Begitulah...."
"Tentu ada alasannya, bukan?"
Gadis itu terdiam tidak menjawab seraya memalingkan muka ke arah lain.
"Maaf, kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu...."
"Tidak. Tidak apa-apa...."
"Sebenarnya apa urusanmu dengan pemuda tadi" Benarkah kau ini calon istrinya...?" tanya Rangga mencoba mengalihkan perhatian.
"Ceritanya panjang...," desah Andini, lalu memandang Rangga dengan sayu, "Kisanak. Terima kasih atas pertolonganmu tadi...."
"Sudahlah. Lupakan saja...."
"Tapi kini kau akan menjadi buronan mereka. Panglima Balung Geni tentu tidak akan tinggal diam, setelah tindakanmu pada putranya...," sahut gadis itu cemas.
"Mungkin sudah takdir Hyang Widhi kalau itu menjadi urusanku. Mereka boleh melakukan apa saja yang disukai...."
"Orang-orang itu kejam dan tidak segan-segan berbuat seenaknya. Kau tentu akan celaka!" jelas Andini dengan wajah semakin cemas.
"Kenapa harus takut" Toh mati di tangan Hyang Widhi," sahut Rangga enteng.
Andini menggeleng lemah, seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia jadi berpikir, apakah pemuda ini tidak waras" Atau barangkali bosan hidup" Andini kembali menghela napas pendek. Jelas para prajurit kadipaten saat ini tengah mencari pemuda di depannya atas perintah Panglima Balung Geni. Dan.... Dirinya adalah pokok pangkal persoalan ini. Jadi, mana bisa membiarkan pemuda yang menolongnya ini sengsara seorang diri.
"Kisanak! Sebaiknya kita pergi jauh-jauh dari tempat ini!" usul Andini mengingat hal itu.
"Pergi" Ke mana..." Lagi pula, kenapa harus kita" Aku sendiri bisa pergi ke mana saja...," sahut Rangga.
"Tidakkah kau mengerti kalau jiwamu terancam?" kata Andini dengan wajah kesal.
Rangga tersenyum kecil.
"Nisanak, setiap saat jiwaku terancam. Rasanya, kau tak perlu mencemaskan diriku. Nah, aku permisi dulu. Kau boleh pergi ke mana saja yang kau suka...," ujar Rangga tanpa maksud menyombongkan diri. Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke atas punggung kudanya. Langsung digebahnya Dewa Bayu perlahan-lahan.
Gadis itu segera mengikuti dari belakang ketika Rangga menjalankan kudanya baru beberapa tindak. Terpaksa langkah Dewa Bayu dihentikan. Dan kepalanya langsung menoleh ke arah Andini.
"Nisanak, apakah kau tidak punya tujuan lain...?" tanya Rangga.
Gadis itu menggeleng lemah.
"Tapi kau tidak bisa mengikuti aku terus-menerus!" agak keras suara Rangga.
"Aku tidak mengikutimu!" sahut gadis itu ketus ketika merasa harga dirinya tersinggung. Sikapnya jadi langsung berubah terhadap pemuda itu.
"Baiklah kalau begitu...."
Rangga langsung menghela kudanya agar berlari kencang.
Gadis itu hanya mendengus sinis. Dan ketika dilihatnya pemuda itu telah menjauh, segera diikutinya dari belakang. Namun seperti tadi, Andini tidak mampu mengikutinya. Bahkan beberapa saat kemudian, pemuda itu telah lenyap dari pandangannya. Gadis itu kembali mendesah kesal dan memaki berkali-kali. Lalu diteruskan saja kudanya melaju ke arah yang tidak menentu.
*** Hari telah malam ketika sebuah rombongan orang berkuda berada di tepi Hutan Rimba Keramat. Seorang yang berada di depan, dan agaknya menjadi pimpinan rombongan, memberi isyarat pada keempat kawannya.
"Kita berhenti dan bermalam di sini saja...," ujar laki-laki tinggi yang menjadi pemimpin rombongan, seraya melompat turun dari punggung kudanya, diikuti yang lainnya.
"Tapi, Ki Brantas! Kita toh sudah menyelidiki tempat ini. Dan lagi, apakah tempat ini aman bagi kita...?" tanya seorang kawannya, dengan wajah curiga seraya memandang ke sekeliling.
Laki-laki bertubuh besar berpakaian serba hijau yang dipanggil Ki Brantas itu tertawa lebar.


Pendekar Rajawali Sakti 132 Misteri Rimba Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sobirin, apakah kau mulai takut, heh?" ledek Ki Brantas yang berusia setengah baya ini.
"Bukan begitu, Ki. Tapi firasatku mengatakan kalau tempat ini tidak aman...!" kilah Sobirin. "Bukan begitu, Jalung?"
"Betul, Ki. Aku pun merasakan hal yang sama...!" timpal orang yang dipanggil Jalung.
Ki Brantas memandang mereka berdua dengan wajah tidak percaya. "Sobirin dan kau, Jalung! Kita adalah orang bayaran. Apakah ada sejarahnya kalau orang bayaran takut dengan maut?" balas Ki Brantas.
"Bukan begitu, Ki. Tapi ini soal lain...!" sahut Sobirin.
"Soal apa" Hantu" Sudahlah! Jangan mengada-ada. Sudah puluhan kali aku keluar masuk hutan, tapi tidak pernah bertemu hantu. Sebaiknya, kalian cari kayu-kayu kering untuk api unggun. Dan aku akan menguliti hewan-hewan yang berhasil kita tangkap untuk makan malam nanti...," ujar Ki Brantas, mencoba menepis semua bayangan-bayangan kecemasan di hati kedua kawannya. Sementara dua orang kawan mereka yang lain hanya terdiam, seperti mendukung kata-kata Ki Brantas.
Sobirin dan Jalung terdiam beberapa saat, kemudian melangkah pelan mencari ranting-ranting kering yang bisa dipungut di sekitar tempat itu. Sementara Ki Brantas dan dua orang laki-laki yang sama-sama memakai baju hitam itu mengeluarkan daging kelinci dan ayam hutan yang tadi berhasil diperoleh.
Di lain tempat, tidak jauh dari Ki Brantas dan dua orang berpakaian hitam itu berada, Sobirin dan Jalung mulai mengumpulkan kayu-kayu kering. Dan ketika Sobirin hendak melangkah mengambil sepotong kayu lagi....
Set! "He, apa itu"!" sentak Sobirin tiba-tiba, ketika pandangannya melihat sesuatu berkelebat cepat di depannya.
"Kau pun melihatnya, Sobir"!" tanya Jalung.
Sobirin tidak menjawab. Dan pandangannya langsung terarah pada kawannya itu dengan wajah tegang. Demikian pula halnya Jalung. Tanpa sadar, mereka melangkah mundur perlahan-lahan. Dan baru saja mereka melangkah beberapa tindak....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara ketawa menggema, lalu disusul tawa yang lain pada arah berlawanan. Bahkan kemudian, kembali bersambung dengan suara tawa lain lagi dari berbagai arah.
"Hei"!"
"Apa itu"!"
Tidak hanya Sobirin dan Jalung yang kaget setengah mati. Malah Ki Brantas dan dua orang kawannya sampai bangkit berdiri.
Mereka semua memandang ke segala arah, namun tidak ada satu pun yang bisa dilihat selain kegelapan malam, serta dedaunan dan ranting-ranting pohon yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sesekali terdengar kelebatan kelelawar yang melayang cepat, dan nyaris menyambar ke arah mereka.
"Siapa itu..."!" bentak Ki Brantas garang.
Blep! Blep! "Awas serangan gelap...!" teriak Ki Brantas memperingatkan, ketika mendadak berkelebat beberapa sinar keperakan berhawa panas ke arah mereka. Kelima orang itu cepat melompat menghindar.
"Hup!"
"Hiiih...!"
Baru saja menjejak tanah, kembali terasa ada serangan gelap mengancam mereka. Terpaksa mereka kembali berlompatan menyelamatkan diri sebisanya. Dari gerakan yang ringan dan gesit, bisa diduga, kalau mereka bukanlah orang sembarangan. Namun menghadapi serangan seperti itu, mereka sempat dibuat kewalahan juga. Dan buktinya....
Tup! "Aaa...!"
Tiba-tiba salah seorang memekik kesakitan sambil memegangi tengkuknya ketika seberkas sinar keperakan menghantamnya. Sementara yang lain menjadi bingung. Sebab orang itu sama sekali tidak terluka. Begitu secara cepat tubuhnya membiru. Kemudian kaku tidak bergerak. Mati!
"Gila! Si Warsito terkena senjata rahasia beracun! Hati-hati...!" desis Ki Brantas geram seraya memperingatkan ketiga kawannya.
Dan belum lagi kering kata-kata Ki Brantas, mendadak kembali berkelebat dua sinar keperakan ke arah mereka.
"Yeaaa...!"
Ki Brantas mencoba menangkis dengan busur di tangan.
Trak! "Aaakh...!"
Seketika senjata itu patah menjadi empat bagian. Bahkan Ki Brantas sendiri jadi menjerit kesakitan, karena sebuah sinar keperakan luput dari tangkisannya. Bahkan langsung menyambar perutnya.
"Aaa...!"
Jerit kesakitan kembali terdengar. Kali ini dialami kawannya yang berbaju hitam. Dan kedua orang itu ambruk tanpa dapat dicegah lagi. Tubuh Ki Brantas dan kawannya yang seorang lagi membiru. Dan mereka langsung kaku tak bernyawa lagi.
"Celaka! Kita tidak akan bisa selamat. Lebih baik cepat pergi dari sini!" teriak Sobirin. Bergegas dia berlari ke arah kudanya. Dan dengan gerakan cepat melompat ke punggung kuda dan terus menggebahnya meninggalkan tempat itu.
Demikian juga Jalung. Dia tidak mau tewas secara aneh, sekaligus mengerikan. Dan memang, mereka tidak tahu harus berhadapan dengan siapa.
"Heaaa...!"
"Ha ha ha...! Begitu lebih baik kalau ingin selamat. Rimba Keramat bukan milik semua orang. Dan, tidak sembarangan bisa masuk ke sini. Menjauh, berarti melepaskan diri dari malapetaka...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggema yang nyaring, memantul ke segala arah.
Sobirin dan Jalung bukannya tidak mendengar. Namun mereka terus memacu kencang kudanya, ke mana saja asal selekasnya menjauh dari tempat itu.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 132. Misteri Rimba Keramat Bag. 3
16. Oktober 2014 um 10:41
3 ? Di Kadipaten Piyungan, tepatnya di ruangan utama yang tertata indah, wajah Panglima Balung Geni tampak geram. Beberapa kali dia mendengus sambil mengepalkan kedua tangan. Lalu pandangannya tertuju pada seorang laki-laki setengah baya yang duduk tidak jauh di depannya.
"Ki Wibisana! Kenapa bisa jadi begini" Bukankah kau telah menyetujui perkawinan putrimu dengan putraku?"
Nada suara Panglima Balung Geni terdengar datar. Namun semua yang hadir dalam ruangan itu bisa melihat kalau raut wajahnya yang kelihatan marah dan kurang senang.
"Maaf, Kanjeng Panglima. Hamba sendiri tidak mengerti, mengapa dia berbuat demikian. Tapi hamba akan mencoba membujuknya. Jangan khawatir, dia pasti tidak akan ke mana-mana...," sahut laki-laki setengah baya berjenggot yang dipanggil Ki Wibisana.
"Hm.... Sebaiknya kau yakinkan padaku. Beberapa orang prajurit telah mencari dan menemukan jejaknya jauh di ujung wilayah kadipaten," ujar Panglima Balung Geni.
"Percayalah. Dia akan kembali pulang...," Ki Wibisana berusaha meyakinkan.
"Lalu, siapa pemuda yang usil dan ikut campur tangan itu?" tanya Panglima Balung Geni.
"Hamba sendiri belum mengetahuinya, Kanjeng Panglima. Hamba telah mengutus anak buah hamba untuk mencari tahu, siapa pemuda itu sebenarnya. Begitu hamba mengetahui, maka Kanjeng Panglima orang pertama yang hamba beritahu!" tegas Ki Wibisana.
"Aku telah perintahkan para prajurit untuk mengejar dan menangkapnya hidup-hidup! Orang itu harus dihadapkan padaku. Aku harus tahu, siapa orang yang berani bertingkah menentangku!"
"Mestinya dia orang baru dan tidak tahu adat! Atau juga, pemuda yang bosan hidup...!" timpal Ki Wibisana, bernada kesal.
Suasana kembali sunyi. Panglima Balung Geni masih memperlihatkan perasaan geramnya. Dan kalau sudah begitu, maka tidak ada seorang pun yang berani buka suara.
Dan belum juga ada yang bersuara, seorang pengawal masuk ke dalam. Setelah menjura memberi hormat, dia memberitahukan bahwa ada yang ingin bertemu Ki Wibisana. Orang tua itu memandang sejenak ke arah Panglima Balung Geni. Dan setelah panglima itu mengangguk pelan, lelaki setengah baya itu mohon diri untuk keluar dari ruangan.
Dengan langkah lebar-lebar, Ki Wibisana meninggalkan ruangan itu. Dan setelah melewati beberapa prajurit yang menjaga pintu yang dilalui, dia melihat dua orang tengah menunggunya.
"Sobirin! Dan kau Jalung! Ada apa ke sini" Mana yang lain?" tanya Ki Wibisana ketika mengetahui siapa kedua orang yang ingin bertemu dengannya.
"Mereka tewas, Ki...!" sahut Sobirin dengan wajah pucat.
"Ada apa" Apa yang terjadi..."!" tanya orang tua itu kaget.
Sobirin segera menceritakan apa yang. telah menimpa mereka. Sebenarnya, Sobirin dan Jalung memang ditugaskan untuk mencari keterangan tentang Rimba Keramat. Yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah Ki Brantas, karena kepandaiannya lebih tinggi. Dan ternyata di Rimba Keramat mereka telah mendapat bukti nyata, walaupun harus mengorbankan tiga nyawa. Rimba Keramat pasti menyimpan rahasia, karena orang-orang yang berani mendekati pasti tewas di sana.
Ki Wibisana tampak terkejut sekali. Untuk sesaat dia terdiam.
"Sudahlah. Sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Ini upah kalian!" ujar laki-laki setengah baya itu seraya memberi masing-masing sebuah kantung berisi kepingan uang perak.
"Terima kasih, Ki. Kalau begitu kami permisi dulu...," pamit Sobirin sambil menjura memberi hormat.
Ki Wibisana mengangguk. Dan ketika orang suruhan itu telah berbalik, dia kembali ke dalam ruangan utama tempat Panglima Balung Geni menunggu.
*** Ki Wibisana berbisik pelan pada Panglima Balung Geni. Terlihat panglima itu mengangguk pelan. Setelah Ki Wibisana kembali ke tempat duduknya, Panglima Balung Geni menepuk tangan tiga kali. Maka seketika semua orang yang berada di ruangan mengerti maksudnya. Dan mereka segera mohon diri, dan satu persatu pergi dari ruangan ini.
"Berita apa yang kau bawa...?" tanya sang Panglima ketika orang-orang telah berlalu.
"Begini, Kanjeng Panglima. Sebaiknya, urusan tentang Andini kita tunda dulu. Karena ada masalah yang lebih penting lagi. Barusan dua orang anak buah hamba melaporkan kejadian yang mereka alami. Dugaan kita ternyata benar. Rimba Keramat memang bukan saja semata angker, tapi ada sesuatu yang disembunyikan di sana," jelas Ki Wibisana.
"Harta karun yang pernah kau ceritakan?"
Ki Wibisana mengangguk cepat.
"Bagaimana kau tahu?"
"Tiga orang anak buahku tewas. Dan kata yang selamat, ada sesuatu yang menyerang mereka. Seperti manusia, tapi tidak jelas bentuknya," lanjut Ki Wibisana.
"Kau yakin mereka tidak tahu urusan harta karun itu?"
"Yakin, Kanjeng Panglima. Hanya satu orang yang tahu, yaitu Ki Brantas. Tapi orang itu telah tewas...."
Panglima Balung Geni terdiam beberapa saat lamanya, kemudian memandang tajam Ki Wibisana.
"Lalu apa yang harus kita lakukan..,?"
"Kenapa tidak langsung menyerbu saja ke sana?"
"Gila! Apa urusannya" Bisa-bisa Adipati Piyungan ini akan mengetahui perbuatan konyolku ini!" sentak Panglima Balung Geni.
"Tentu saja jangan membawa prajurit kadipaten. Kita harus menyewa orang-orang bayaran...," usul Ki Wibisana.
"Hm..."
Panglima Balung Geni menggumam sedikit, sambil tersenyum kecil. Sepertinya, dia mengerti jalan pikiran Ki Wibisana.
"Berarti aku harus mengeluarkan biaya lagi, bukan?" tanya Panglima Balung Geni lagi.
"Biayanya sedikit. Bahkan tidak ada apa-apanya bila dibanding harta karun itu!" sahut Ki Wibisana cepat.
"Baiklah. Aturlah baik-baik. Nanti anak buahku akan memberikan segala keperluan yang kau butuhkan untuk mendapatkan orang-orang tangguh!" ujar Panglima Balung Geni.
"Sudah tentu, Kanjeng Panglima! Hamba akan bekerja sebaik-baiknya!" sambut Ki Wibisana.
"Tapi ingat, Wibisana! Jika mengkhianatiku. Sekali saja kau mengkhianati, jangan harap bisa lari ke mana-mana!" kata sang Panglima mengingatkan.
"Astaga! Apakah Kanjeng Panglima tidak mempercayai hamba" Kepala ini yang akan menjadi taruhannya!" sahut Ki Wibisana berusaha meyakinkan panglima itu.
"Hm, aku percaya padamu. Kerjakanlah urusan ini secepatnya. Dan, beritahu hasilnya. Dan ingat juga! Soal anakmu itu harus segera dituntaskan!"
"Baik, Kanjeng Panglima. Kalau demikian, hamba mohon diri!" sahut Ki Wibisana seraya menghatur sembah. Lalu dia bangkit berdiri dan angkat kaki dari ruangan itu.
*** Seorang gadis cantik di atas punggung seekor kuda tampak terus bersungut-sungut dan mendesah berkali-kali. Wajahnya tampak geram dan kesal. Bahkan kudanya dilarikan kencang-kencang.
Hari telah menjelang sore. Namun, gadis itu belum juga menemukan desa terdekat. Telah beberapa buah desa dilewatinya, namun gadis berambut panjang itu agaknya tidak peduli. Bahkan sama sekali tidak berminat untuk berhenti sekadar melepas lelah. Dan ketika senja mulai turun, dia terpaksa berhenti mencari tempat bermalam. Kini lari kudanya segera dihentikan.
"Sial! Ke mana aku harus menginap...?" rutuk gadis cantik itu, kesal.
Tidak mengherankan kalau gadis itu sebenarnya tidak biasa bepergian. Sehingga, baginya tidak terbiasa tidur di alam terbuka. Dan inilah pengalaman pertamanya. Tak heran kalau hal ini membuatnya sangat kebingungan.
Gadis itu lantas turun dari punggung kudanya.
Sambil menuntun kudanya, kakinya melangkah ke sebatang pohon. Dibiarkan kudanya merumput tidak jauh darinya. Dia kembali duduk di bawah pohon. Matanya tak luput menatap kudanya yang asyik merumput.
Belum berapa lama gadis itu memperhatikan, mendadak muncul dua orang laki-laki bertampang seram di depannya. Seketika, gadis itu bangkit berdiri. Sementara kedua orang itu langsung menyeringai lebar. Salah seorang yang mata kanannya picak dan bercambang brewok tebal, langsung mendekat Tangannya langsung terulur, ingin menarik lengan gadis itu.
"He he he...! Mimpi apa aku semalam" Hari ini seorang bidadari tiba-tiba saja datang tanpa diduga!"
Untung gadis itu cepat bertindak. Langsung ditepisnya tangan yang sudah terulur itu.
Plak! "Setan busuk! Jangan coba-coba bermain gila. Atau, pedangku ini akan menebas lehermu!" hardik gadis itu dengan wajah garang seraya mencabut pedangnya.
Sring! "Hei" Ternyata galak juga dia! Coba lihat, Kuntara. Alangkah galaknya bidadari ini!" kata laki-laki bermata picak itu pada kawannya yang bernama Kuntara.
Kuntara yang bertubuh kurus dan berbaju jubah hitam, agaknya lebih pendiam dari kawannya yang brewok itu. Dipandanginya gadis itu.
"Bentar! Hati-hati kau! Coba perhatikan gadis ini baik-baik!"
"Hm.... Apa lagi yang harus kuperhatikan" Wajahnya cantik dan pinggangnya ramping. Bahkan kulit tangannya halus. Ah, sudahlah. Aku tidak sabar lagi ingin mendekapnya!" sergah laki-laki picak dan brewok lebat yang dipanggil Bentar.
"Sabarlah sebentar. Coba perhatikan baik-baik...," ujar Kuntara.
Bentar menuruti apa yang dinginkan kawannya. Tapi kemudian, kepalanya menggeleng.
"Hm, apa yang harus kuperhatikan" Apa dikiranya dia sebangsa kuntilanak yang berkeliaran di sore hari?" tanya Bentar, agak meledek.
"Bukan begitu. Gadis ini agaknya calon istri Aditya, putra Panglima Balung Geni. Bukankah mereka menyediakan hadiah besar bagi yang berhasil membawanya pulang?" seru Kuntara.
"Huh! Apa urusannya dengan hadiah itu"! Yang kuinginkan sekarang, mendekapnya erat-erat. Hm.... Tubuhnya indah. Dan..., ah! Biar kutangkap dia sekarang!" desah Bentar dengan wajah bernafsu dan menyeringai lebar.
"Dasar tolol! Daripada susah-payah ke Rimba Keramat mencari harta karun yang belum tentu didapat, bukankah lebih baik mendapatkan harta yang sudah di depan mata!" sergah Kuntara.
"Kau akan membawa ke tempat Panglima Balung Geni"!" tanya Bentar dengan wajah kecewa.
"Tentu saja!" sahut Kuntara cepat.
"Brengsek!" maki Bentar kesal.
"Heh! Jangan terburu kesal. Kita akan mengembalikannya setelah menikmati tubuhnya lebih dulu!" lanjut Kuntara seraya tertawa lebar.
"He he he...! Kukira kau sudah kerasukan malaikat! Kalau begitu, biarlah kuringkus dia sekarang," sahut Bentar seraya melompat menyerang gadis yang tidak lain adalah Andini, putri Ki Wibisana.
"Keparat-keparat busuk! Kalian kira bisa semudah itu menangkapku"! Huh! Kalian cari mampus saja!" dengus Andini geram seraya mengibaskan pedangnya.
Wuk! "Uts! Galak juga gadis ini! Kau semakin membuatku bergairah saja. Lebih baik menyerah saja. Dan, turuti apa kataku. Dengan begitu, kami akan memperlakukanmu baik-baik!" kata Bentar setelah berkelit dengan memutar tubuhnya ke kanan. Langsung dibalasnya serangan itu dengan satu tendangan keras ke arah pinggang Andini.
"Uhhh...!"
Gadis itu terkejut bukan main. Cepat bagai kilat dia berusaha melompat ke kiri sebisanya. Tangan yang masih menggenggam pedang berkelebat menyambar ke arah leher Bentar. Namun Bentar agaknya sudah bisa membaca gerakannya. Cepat-cepat kepalanya menunduk sehingga pedang gadis itu hanya menyambar angin. Dan secepat itu pula, tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Andini. Langsung ditekuknya tangan itu ke belakang dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya menangkap lengan gadis itu yang satu lagi. Dan dengan cepat langsung dipeluknya gadis itu erat-erat.
"Ha ha ha...! Sekarang mau ke mana kau"! Ayo! Jangan coba-coba melepaskan diri atau melawan. Sebab, aku bisa bertindak keras padamu. Lebih baik menurut saja," kata Bentar, merasa senang.
"Setan! Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" maki gadis itu berusaha memberontak sekuat tenaga.
Belum juga kering kata-kata gadis itu, tiba-tiba tangannya yang masih memegang pedang dihantam Bentar kuat-kuat.
Plas! Begitu habis menghantam, tangan Bentar langsung menggerayang ke arah baju gadis itu. Lalu....
Bret! "Aow...! Jahanam cabul! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" teriak Andini semakin keras ketika bajunya robek di bagian depan.
Kuntara menelan ludah melihat pemandangan indah di depan matanya. Bukit kembar indah milik Andini yang putih mulus langsung dijilati dengan matanya. Kedua lututnya goyah dan isi kepalanya mendadak panas. Apalagi ketika melihat sebelah tangan Bentar merayap ke dada gadis itu dengan gemas.
"Jahanam! Lepaskan aku! Keparat! Kubunuh kau...! Cuihhh!"
Andini berusaha berontak dengan sekuat tenaga sambil memaki dan meludah berkali-kali. Namun cengkeraman laki-laki bermata picak itu semakin kuat, sehingga membuatnya tak berdaya.
Isi dada gadis itu kian bergemuruh dengan kemarahan yang semakin meluap-luap atas perlakuan orang-orang ini. Dan dalam ketidakberdayaannya ini, terasa sedikit penyesalan kenapa harus meninggalkan rumah dan pergi tanpa tujuan. Dan hal itu tentu saja membuat hatinya tercabik-cabik bagai disayat sembilu.
Dalam keputusasaan dan rasa penyesalan Andini, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat cepat bagai kilat. Kuntara sempat terkejut, namun tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan....
Begkh! Des! "Aaakh...!"
Tiba-tiba saja dilihatnya Bentar menjerit kesakitan tersambar bayangan putih itu. Tubuhnya terjungkal ke tanah beberapa langkah.
*** "Perbuatan kalian benar-benar rendah dan biadab. Sangat menjijikkan dan membuatku ingin muntah!" geram seorang pemuda berbaju rompi putih yang kini sudah berdiri di depan Andini.
"Oh, kau..."!"
Gadis itu terkejut dan wajahnya tampak girang begitu mengetahui siapa penolongnya.
Tanpa peduli lagi gadis itu berlari. Langsung dipeluknya pemuda itu untuk meluapkan perasaan ham dan gembiranya.
"Oh! Syukur kau datang tepat waktunya. Mereka..., mereka...," desah Andini.
"Nisanak, sudahlah. Semuanya telah berlalu. Biar mereka jadi urusanku...," sahut pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti dengan nada menghibur.
"Bocah sial! Siapa kau, heh"! Sudah bosan hidup rupanya berani mengganggu kesenangan orang"!" bentak Bentar dengan wajah garang.
"Kisanak berdua, kuingatkan pada kalian. Jangan lagi melakukan perbuatan rendah di depanku!" dengus Rangga.
"Bedebah...!" Bentar dan Kuntara memaki berbarengan. Mereka amat disepelekan pemuda itu. "Yeaaa...!"
Bentar dan Kuntara langsung mencabut golok dan sama-sama menerjang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat sekali Rangga melesat ke atas sambil berputaran. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat dengan kaki melepaskan hantaman ke arah dagu kedua lawannya dalam penggunaan jurus 'Sepasang Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kedua orang itu terkejut bukan main. Namun mereka berhasil melompat ke belakang. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti memang kuat bukan main. Bahkan masih terasa desiran angin tajam yang menandakan kalau tendangannya dialiri tenaga dalam tinggi. Itu saja sudah membuktikan bahwa saat ini kedua orang itu tengah berhadapan dengan tokoh digdaya.
Belum juga keterkejutan itu hilang, mendadak pemuda berbaju rompi putih ini sudah berkelebat cepat, dengan jurus yang sama. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat mengibaskan tangannya. Sehingga kedua orang itu tak mampu menghindarinya. Dan....
Plak! Plak! Des...! "Aaakh...!"
Kontan Bentar dan Kuntara memekik hampir bersamaan. Tubuh mereka langsung terjungkal terkena hantaman Pendekar Rajawali Sakti. Masing-masing pada bagian dada dan perut.
"Hiyaaa...!"
Kedua orang itu baru saja hendak bangkit sambil mendekap dada dan perut yang terasa nyeri bukan main. Namun Pendekar Rajawali Sakti telah kembali menyerang. Maka sebisanya mereka mencoba memapak sambil mengayunkan senjata masing-masing.
Namun tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar Rajawali Sakti malah menyampok ke arah kibasan kedua senjata itu. Bahkan dengan cepat bagai kilat, kakinya langsung melepaskan tendangan setengah melingkar. Lalu....
Tak! Des...! "Aaakh...!"
Kembali kedua orang itu menjerit kesakitan dan kembali terjungkal ke tanah beberapa langkah dengan senjata terpental dari genggaman masing-masing.
Sementara Rangga sudah berbalik dan hendak kembali melompat menyerang. Namun....
"Kisanak, cukuplah. Kami menyerah kalah dan harap kau sudi mengampuni kami...!" teriak Kuntara dengan nada memelas, sambil berusaha bangkit.
Rangga hanya menatap tajam sambil melipat tangan di depan dada.
"Bajingan tengik seperti kalian mestinya tidak boleh dibiarkan hidup...!" dengus Rangga.
"Eh, ampun! Ampunilah selembar nyawa kami, Kisanak! Kami berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini...!" sahut keduanya serentak. Tubuh mereka menggigil dengan wajah pucat ketakutan.
"Kakang, eh...! Lebih baik kedua orang ini dibuat mampus saja!" sergah Andini dengan nada garang.
"Eh! Jangan..., oh! Tidak! Tidak! Ampunilah kami, Kisanak! Kami bersumpah tidak akan melakukan perbuatan seperti itu lagi...!" sahut keduanya semakin pucat begitu mendengar kata-kata Andini.
"Nah! Kalau begitu, minta maaflah pada gadis ini. Kalian telah melakukan perbuatan kotor terhadapnya!"
Tanpa disuruh dua kali, keduanya langsung berlutut di kaki Andini sambil memohon ampunan dengan nada memelas. Sedangkan gadis itu agaknya sulit menerimanya. Namun Rangga bukannya tidak mengetahuinya.
"Nisanak! Mengampuni jiwa seseorang adalah perbuatan mulia dan sangat terpuji...!" sindir Pendekar Rajawali Sakti halus.
Meski hatinya masih jengkel dan geram, namun agaknya kata-kata pemuda itu masuk juga di hatinya.
"Huh! Pergi cepat dari mukaku...!" hardik Andini garang.
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya segera meninggalkan tempat itu. Namun sesekali mereka berdua masih sempat mencuri pandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti seolah tidak percaya kalau dengan mudah dapat ditaklukkan begitu mudah.
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 132. Misteri Rimba Keramat Bag. 4
16. Oktober 2014 um 10:42
4 ? "Kakang, eh...! Bolehkah aku memanggilmu kakang?" tanya Andini sambil menunduk malu"
"Kau boleh memanggil apa saja yang kau suka...," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti saat ini tengah mengumpulkan ranting kering yang banyak berserakan di tempat itu untuk dijadikan api unggun. Memang, saat ini hari telah gelap. Dan gadis itu cepat menangkap apa yang hendak dilakukan Rangga. Maka dia mulai ikut mengumpulkan kayu-kayu kering di dekatnya.
"Kakang, siapakah kau sebenarnya" Kepandaianmu tinggi sekali. Apakah julukanmu?" tanya Andini, memberondong.
"Aku hanya pengembara, Nisanak. Kepandaian yang kumiliki tidak sebanding dengan pendekar-pendekar lain," sahut Rangga merendah.
"Iya.... Tapi, kau kan punya julukan. Apa julukanmu?" desak Andini.
"Rasanya itu tak perlu, Nisanak," elak Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi..., eh! Tunggu! Ayahku pernah bercerita tentang seorang pendekar pengembara yang selalu memakai baju rompi putih dan menyandang pedang bergagang kepala burung rajawali, julukannya.... Ya! Pendekar Rajawali Sakti! Kau pasti si Pendekar Rajawali Sakti! Betul kan, Kakang!" desah Andini kian menjadi.
Rangga kagum juga dengan daya ingat gadis ini. Sebentar ditatapnya Andini, lalu bibirnya tersenyum. Dan tanpa berkata-kata lagi Rangga berbalik melangkah ke bawah pohon dan berjongkok untuk membuat api unggun.
Sementara, Andini yang sudah merasa yakin kalau saat ini bersama Pendekar Rajawali Sakti segera menyusul pemuda itu.
Gadis itu lalu menumpukkan kayu kering yang diperolehnya di dekat perapian, lalu duduk tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Sesekali, matanya mencuri pandang pada pemuda tampan di sebelahnya.
"Ah! Ini suatu kebanggaan yang tak terkira. Ternyata aku bisa bertemu Pendekar Rajawali Sakti...!" seru Andini tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya.
"Sudahlah, Nisanak. Apa bedanya aku dengan pendekar-pendekar lain" Aku kira sama saja," ujar Rangga, jadi jengah juga.
"Bukan begitu, Kakang. Karena, yang jelas namamu begitu banyak dikagumi orang. Gadis-gadis di desaku tak ada yang tidak mengenalmu. Dan rata-rata pemudanya juga ingin menjadi orang hebat sepertimu. Meski, sebenarnya jarang sekali yang pernah berhadapan denganmu...."
Rangga hanya tersenyum enteng seraya menambahkan beberapa batang ranting kering ke perapian. Sejenak suasana jadi hening, ketika tidak ada yang berbicara.
"Oh, ya.... Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga, memecah kebisuan.
"Andini...," sahut gadis itu sambil tersenyum cerah. "Dan nama aslimu siapa?"
"Rangga...," sahut Rangga, pendek, "Oh, ya. Kenapa kau kabur dari rumah...?"
Gadis itu tidak langsung menjawab. Namun terlihat perubahan pada wajahnya yang kini cemberut bercampur kesal.
"Orangtuaku hendak lekas-lekas menjodohkanku...!"
"Dengan pemuda yang di depan kedai itu?"
Andini mengangguk.
"Kalian pasangan yang cocok. Kenapa kau kelihatan begitu membencinya...?"
"Huh! Aku muak melihat tampangnya! Siapa pun di desa kami akan tahu kalau pemuda itu mata keranjang dan tidak bisa dipercaya. Dia suka mempermainkan wanita. Meski wajahnya tampan dan ayahnya orang berpangkat, tidak sudi aku kawin dengannya!" dengus Andini.
"Tapi orangtuamu setuju...?"
"Justru orangtuaku yang rajin menawarkanku padanya! Huh! Dia kira aku barang dagangan!"
"Setiap orangtua ingin anaknya bahagia...."
"Tapi yang satu ini terbalik. Karena justru aku akan sengsara!"
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya Rangga heran.
"Ayahku bekerja pada Panglima Balung Geni. Dan untuk mencari muka dan kepercayaan, maka beliau telah menjodohkanku dengan pemuda ceriwis anak panglima itu tanpa sepengetahuanku. Dan itu membuatku kesal sekali. Sebab, aku sama sekali tidak menyukainya!"
Rangga terdiam dan mencoba memahami perasaan gadis itu. Dan gadis itu pun bersikap sama. Keduanya memandang api unggun yang menyala, menerangi sekitarnya untuk beberapa saat. Sementara malam semakin merayap dan dingin mulai menyengat.
"Dan kini agaknya mereka telah menawarkan hadiah bagi yang berhasil membawaku pulang...," lanjut Andini dengan nada setengah bergumam.
"Dan memberi hadiah bagi yang berhasil membawa kepalaku...?" sahut Rangga seraya tersenyum geli.
Andini memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Dan tidak seperti pertama kali ditolong, sekarang bisa dimengerti pemuda itu sangat menganggap enteng ancaman Panglima Balung Geni. Sebab, sepasukan prajurit kadipaten belum tentu mampu menangkap Pendekar Rajawali Sakti!
Andini jadi merasa bangga dan aman dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya lantas tersenyum haru. Ditatapnya pemuda itu. Namun tatapannya sulit diartikan.
"Kenapa Kakang Rangga kembali. Padahal, bisa saja kau meninggalkanku begitu saja. Apalagi tadinya kita tidak pernah saling kenal...?" tanya Andini seraya menunduk. Suaranya terdengar perlahan, seperti ingin memancing isi hati pemuda itu.
Rangga hanya tersenyum. Lalu, dipandangnya gadis itu.
"Aku tahu, kau berada dalam kesulitan. Dan membantu orang yang tengah kesulitan rasanya tidak ada salahnya...," sahut Pendekar Rajawali Sakti agak pelan suaranya.
"Hanya itu...?"
"Untuk hal lain, rasanya aku tidak berhak. Malah bisa jadi perbuatanku salah. Misalnya memisahkan dua orang yang sudah dijodohkan," ledek Rangga. Entah kenapa. Pendekar Rajawali Sakti ingin sekali meledek Andini. Kalau sudah begini dia jadi teringat Pandan Wangi yang ditinggalkannya di Karang Setra. Kalau sedang merutuk, gadis ini mirip Pandan Wangi.
"Huh! Siapa sudi menjadi kekasihnya!" dengus Andini dengan wajah memberengut.
Rangga jadi tertawa melihat raut wajah Andini yang tengah kesal. Dia merasa, seperti tengah berhadapan dengan Pandan Wangi saja.
"Kakang...?" panggil Andini ketika mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Hm...."


Pendekar Rajawali Sakti 132 Misteri Rimba Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau punya kekasih...?" tanya Andini, memberanikan diri sambil memandang wajah pemuda itu. Seolah ingin diketahuinya apa jawaban pemuda itu. Paling tidak memperhatikan perubahan wajahnya atas pertanyaan itu.
Rangga mendesah pelan, disertai senyum terkembang di bibir. Dan belum sempat menjawab pertanyaan itu....
Set! Set! "Andini, awas!"
Dengan satu gerakan cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menerkam gadis itu. Tentu saja ini membuat Andini terkejut. Dia ingin berteriak, untung saja Rangga sudah memperingatkannya.
*** Crab! Crab! Rangga tidak sempat memperhatikan, apa yang melesat ke arah mereka karena terus bergulingan sambil memeluk tubuh gadis itu. Sementara pendengarannya yang tajam masih saja mendengar beberapa senjata rahasia lain yang masih terus mengejar mereka berdua dengan cepat sekali.
Begitu serangan mereda. Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas. Lalu manis sekali kakinya mendarat di tanah.
"Siapa pun orangnya, kalau ingin bergabung silakan! Jangan main sembunyi begitu!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang menggelegar.
Namun tidak terdengar satu pun sahutan. Pendekar Rajawali Sakti segera mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Rangga memang mendengar adanya desah napas yang begitu lembut dari beberapa orang.
"Baiklah! Kalau itu yang kalian ingini. Peringatanku hanya berlaku sekali. Kalau kalian tidak keluar juga, terima akibatnya. Aji 'Bayu Bajra'! Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung menyorongkan telapak tangannya sambil membentak keras.
Seketika itu juga serangkum angin kencang berkekuatan dahsyat menyapu ke satu arah, menerbangkan apa saja yang menjadi sasaran. Jelas, arahnya adalah tempat senjata rahasia yang tadi meluncur deras. Begitu dahsyat angin yang bertiup, membuat pohon-pohon berderak patah, bahkan ada yang sampai tercabut ke akar-akarnya. Tanah serta bebatuan ikut terlontar. Tak lama kemudian....
Prasss...! "Sial!"
Terdengar beberapa orang memaki, yang disusul berkelebatnya empat sosok tubuh dari tempat berasalnya senjata rahasia tadi.
Sementara itu Rangga berdiri tegak dan Andini bersembunyi di belakangnya. Pendekar Rajawali Sakti memandang keempat lelaki bertampang seram di hadapannya sambil tersenyum kecil. Dua orang berambut panjang dengan kumis tebal, sementara dua orang lagi berambut pendek.
"Hm.... Apakah kalian tidak ada pekerjaan sehingga senang mengganggu ketenangan orang..."!" cibir Rangga.
"Bocah brengsek! Serahkan gadis itu. Dan, menyerahlah kau untuk menerima hukuman!" hardik salah seorang yang bersenjatakan sepasang trisula.
"Apakah kalian tidak punya tata krama" Datang tanpa permisi, lalu mau main paksa," sindir Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau tentunya belum kenal dengan si Maung Lugai, heh"!" bentak laki-laki bersenjata trisula yang terselip di kedua pinggangnya. Tangan kirinya berkacak pinggang dan tangan kanannya memelintir kumisnya yang tebal. Matanya melotot lebar seperti hendak keluar. Dari sikapnya, jelas kalau dia sangat memandang rendah terhadap pemuda berbaju rompi putih ini.
"Oh! Jadi kaukah yang bernama Maung Lugai" Hm, tentu saja aku mengenalmu. Kau adalah maling picisan yang beberapa waktu lalu dihajar orang satu desa...," ledek Rangga memanasi.
"Keparat! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, heh"! Hm.... Kau akan menyesal. Bocah!" sentak laki-laki bersenjata trisula yang berjuluk si Maung Lugai seraya melompat menyerang.
"Hup!"
Rangga hanya melompat menghindar, menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah, menghindari setiap pukulan lawannya. Dan pada satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti bermaksud hendak memberi pelajaran pada si Maung Lugai. Maka ketika laki-laki berkumis tebal itu melancarkan serangan berupa kibasan tangan kanan ke wajah. Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat memapaknya.
Plak! "Uhhh...!"
Maung Lugai terpekik, merasakan tangannya seperti menghantam baja keras. Namun dia jadi penasaran. Tidak dipedulikan lagi tangannya yang terasa nyeri. Bahkan langsung mengirimkan tendangan disertai tenaga dalam tinggi ke arah batok kepala Rangga.
Namun Rangga bukannya tidak membaca gerakan itu, maka langsung ditangkisnya. Dalam perkiraan Maung Lugai, lengan pemuda itu akan patah.
Plak! "Aaakh...!"
Namun, yang terjadi justru mengejutkan hatinya. Tulang kaki Maung Lugai seperti menghantam balok besi, dan membuatnya kembali mengeluh kesakitan. Dan belum lagi hilang keterkejutannya, Maung Lugai kembali mendapat serangan dari pemuda itu berupa tendangan mengarah ke wajah.
Namun begitu, dia masih mampu menghindarinya dengan melenting ke belakang. Dan belum lagi kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan yang demikian cepat bagai kilat. Maung Lugai semakin terkejut saja. Sungguh tidak disangka kalau pemuda itu masih mampu mengirim serangan susulan. Sebisanya, laki-laki berkumis tebal itu memapak. Tapi Maung Lugai kecele. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang telah menggunakan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' telah menarik pulang serangannya. Dan cepat bagai kilat jurusnya dirubah menjadi 'Sepasang Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat pertama. Langsung tangannya mengibas, menghantam dada Maung Lugai tanpa dapat dihindari lagi.
Diegkh! "Aaakh...!"
Laki-laki bertampang seram itu kontan terjungkal beberapa langkah dengan isi dada terasa remuk.
"Hei"!"
Melihat Maung Lugai terjungkal ke tanah, sudah barang tentu membuat ketiga kawannya yang menyaksikan menjadi terkejut. Maung Lugai bukanlah tokoh sembarangan. Kepandaiannya cukup tangguh. Bahkan hanya tokoh-tokoh kelas satu saja yang mampu menjatuhkannya.
? Sementara, Maung Lugai telah kembali bangkit dengan wajah geram bercampur amarah meluap. Hatinya benar-benar panas, dipermalukan di depan kawan-kawannya.
"Haram jadah! Kucincang kau keparat...!" hardik Maung Lugai garang. Langsung sepasang trisulanya dicabut.
Set! "Yeaaah...!"
Maung Lugai langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun tubuh Rangga telah melesat tinggi ke atas, sehingga serangan itu hanya menyambar angin. Dan agaknya Pendekar Rajawali Sakti bertekad untuk tidak mau berlama-lama bertarung. Begitu tubuhnya meluruk turun langsung dilepaskannya satu tendangan keras. Maka Maung Lugai memapak tendangan itu dengan mengebutkan trisulanya.
Wuuut...! Namun kembali Maung Lugai dibuat terkejut!
Ternyata Pendekar Rajawali Sakti menarik pulang tendangannya. Bahkan tubuhnya langsung berputaran di udara, dan kembali menjejak tanah dengan manis sekali. Sungguh di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti langsung melepaskan tendangan cepat, begitu kakinya menjejak tanah.
Plak! Trisula itu terlepas dari genggaman tangan Maung Lugai. Namun tangannya yang satu lagi cepat menikam ke arah punggung Rangga yang belum sempat berbalik. Maka dengan gerakan cepat Rangga membungkuk ke kanan. Seketika kaki kirinya melepaskan tendangan berputar menghantam pangkal lengan Maung Lugai.
Laki-laki berkumis tebal itu terkejut bukan main. Bahkan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti berturut-turut tiga kali menghantam dada kanan dan kirinya serta perut, dia tak mampu menghindar lagi. Maung Lugai kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terjerembab lima langkah di tanah. Darah kental tampak menetes dari sudut bibir dan hidungnya.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi lawannya yang masih terbaring di tanah. Tangannya terlipat di depan dada, seperti membiarkan lawannya untuk bangkit kembali.
Kali ini ketiga kawan Maung Lugai tidak terkejut, mereka menyadari pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.
"Kisanak! Siapa kau sebenarnya...?" tanya salah seorang dari ketiga kawan Maung Lugai. Kakinya lantas melangkah, mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Nada suaranya terdengar datar, dan tidak segarang Maung Lugai tadi. Bahkan ada terkesan menghormat dan segan.
*** "Namaku Rangga...," sahut pemuda itu datar.
"Rangga..." Hm sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Hm, ya! Jangan-jangan, kau adalah Pendekar Rajawali Sakti! Betul?" tanya orang itu berusaha meyakinkan. Terlihat wajahnya sedikit kaget. Namun rasa kagetnya berusaha ditekan sedemikian rupa, agar pemuda itu tidak tahu.
"Begitulah orang memanggilku, Kisanak. Dan sebaliknya, kalian siapa" Lalu, apa yang kalian kehendaki?" Pendekar Rajawali Sakti balik bertanya.
"Kawanku yang telah kau jatuhkan itu. bernama Maung Lugai. Dan aku sendiri Gandi Sumangsa. Sedang kawanku yang memakai ikat kepala hitam bernama Seta. Sementara yang berambut panjang bernama Wikura. Kami berempat adalah orang-orang upahan Ki Wibisana, ayah Andini. Beliau membayar kami untuk mendapatkan dan membawa Andini pulang...," jelas orang yang mengaku bernama Gandi Sumangsa dengan nada lebih ramah.
"Kisanak! Sebenarnya aku tidak ikut campur dalam soal ini. Tapi, biarlah Andini yang berhak memutuskan. Nah, silakan kalian tanya sendiri padanya...," ujar Rangga.
"Tidak! Aku tidak ingin kembali! Katakan pada ayahku. Kalau masih berkeras menjodohkanku dengan pemuda keparat itu, lebih baik tidak usah bertemu denganku selamanya! Anggap saja aku bukan putrinya lagi!" sentak Andini garang, sebelum Gandi Sumangsa berkata apa-apa.
"Nini Andini! Ayahmu mengutus kami, karena beliau saat ini tengah sakit keras dan merindukan kehadiranmu...," bujuk laki-laki yang di pinggangnya terlihat berjejer pisau kecil.
"Huh! Kau kira aku anak kecil yang gampang ditipu"! Kalau beliau sakit, mudah-mudahan itu menjadi pelajaran baginya supaya tidak berkawan lagi dengan para bajingan!" dengus Andini makin berani.
"Jangan berkata seperti itu, Nini Andini. Ayahmu orang baik dan terhormat. Demikian pula kawan-kawannya. Kau sungguh beruntung memiliki ayah sepertinya...."
"Kisanak! Apa pun yang kau katakan, jangan harap aku kembali. Dan selama ayahku masih berniat mengawinkan aku dengan putra Panglima Balung Geni, sampai kapan pun aku tidak sudi! Katakan padanya. Aku tidak akan kembali lagi selama pendirian ayahku tidak berubah!" tandas Andini.
Gandi Sumangsa tidak mampu berkata apa-apa lagi mendengar keputusan si gadis. Dia memandang si pemuda dengan nada putus asa.
"Rangga! Kuharap kau bisa mengerti. Ini demi kebaikannya sendiri. Orang tua mana yang ingin anaknya sengsara. Maka demikian pula halnya Ki Wibisana. Mumpung dia bersamamu, harap kau bisa membujuknya dan melunakkan pendiriannya...," pinta Gandi Sumangsa.
Pendekar Rajawali Sakti memandang Andini sejenak, lalu beralih pada Gandi Sumangsa.
"Kisanak! Seperti apa yang kukatakan tadi, aku tidak ikut campur tangan dalam soal ini. Termasuk, permintaanmu tadi. Maaf, aku tidak bisa melaksanakannya. Andini punya sikap. Dan pendiriannya kuhargai. Kau boleh membawanya kalau dia suka. Tapi, harap jangan memaksa secara tidak sopan seperti yang pernah dilakukan anak Panglima Balung Geni," sahut Rangga, kalem.
"Rangga! Kuhargai kedudukanmu sebagai seorang pendekar besar. Dan kuharap, kau bisa bersikap bijaksana. Menghalangi kami yang hendak membawa anak dari Ki Wibisana yang telah membayar kami, apakah itu tindakan bijaksana?" sindir Gandi Sumangsa.
"Tentu saja tidak. Tapi, gadis itu sama sekali tidak mau diajak pulang untuk dijodohkan," kilah Rangga.
Gandi Sumangsa terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk memaksa, jelas dia tidak punya nyali. Meski jumlah mereka ditambah tiga kali lipat, belum tentu mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Gandi Sumangsa! Kembalilah pada orangtua gadis ini. Dan katakan, gadis ini tidak bisa dipaksa...!" lanjut Rangga menegaskan.
Gandi Sumangsa memandang ketiga kawannya, lalu menghela napas sesaat.
"Hm.... Baiklah. Kalau demikian, agaknya tidak ada pilihan lain bagi kami. Nini Andini! Kami akan sampaikan pesanmu pada Ki Wibisana. Tapi masih ada waktu untuk berubah pikiran...," desah Gandi Sumangsa.
"Kisanak! Keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi!" sahut Andini tegas.
Gandi Sumangsa kembali menghela napas berat. Lalu setelah memberi salam hormat, mereka berbalik dan meninggalkan tempat itu sambil memapah Maung Lugai yang belum pulih keadaannya. Sementara Andini masih memandang kepergian mereka dengan sorot mata penuh kebencian. Sedangkan Rangga telah melangkah tenang dan duduk di depan perapian. Dilemparkannya satu atau dua batang ranting ke dalam api yang tengah menyala.
Setelah orang-orang suruhan Ki Wibisana itu telah benar-benar jauh, Andini berbalik. Kakinya lantas menghampiri ke arah-Rangga berada.
"Kakang Rangga, terima kasih atas pembelaanmu...," ucap gadis itu lirih, ketika duduk di hadapan Pendekar Rajawali Sakti. Jarak mereka hanya terhalang oleh perapian saja.
Rangga tersenyum kecil, lalu memandang wajah gadis itu.
"Kau telah mantap dengan keputusanmu?" tanya Rangga.
"Perlukah aku mengulanginya di depanmu kembali?"
Rangga kembali tersenyum seraya menggeleng pelan.
Pendekar Seribu Diri 3 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Kisah Para Pendekar Pulau Es 8

Cari Blog Ini