Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Di Kertaloka 1

Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka Bagian 1


" . 134. Pemberontakan di Kertaloka Bag. 1-3
23. Oktober 2014 um 17:20
1 ? ? Pagi menjelang di Desa Kampar yang terbilang tenteram dan damai. Sang Surya tampak mulai menyembul di ufuk timur. Sinarnya yang terang memancar, menghangati permukaan bumi membuat embun mulai menguap tersapu oleh tarian sang bayu yang berhembus semilir.
Penduduk desa itu tampak mulai keluar dari rumah menuju sawah ladang masing-masing. Anak-anak mulai bermain sambil tertawa riang, berkejaran ke sana kemari. Sementara para wanita sibuk berbenah diri, membantu suami atau orangtua yang hendak bekerja.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun tampak berjalan tenang. Rambutnya yang pendek dan telah memutih sebagian memakai ikat kepala hitam. Dengan sebuah cangkul yang di-letakkan di pundak, bisa ditebak kalau dia hendak menuju sawah ladangnya.
"Berangkat, Ki Kendil?" sapa seorang pemuda yang baru saja keluar dari pintu rumah.
Laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kendil mengangguk.
"Mau sama-sama, Jentara?" Ki Kendil menawarkan.
"Bolehlah...."
Setelah menerima tawaran itu, pemuda ini melambaikan tangan pada seorang wanita yang berdiri di muka pintu. Lalu dia berlari kecil, mensejajarkan langkahnya di samping Ki Kendil.
"Bagaimana istrimu" Suka tinggal di sini?" tanya Ki Kendil ketika mereka mulai melangkah bersama.
"Mudah-mudahan. Permulaan mungkin sulit, karena telah terbiasa hidup di keramaian kotaraja. Tapi sekarang kelihatannya dia mulai bisa menyesuaikan diri," sahut pemuda yang dipanggil Jentara.
"Syukurlah. Kehidupan di tempat ramai memang menyenangkan. Namun, kehidupan di desa tidak kalah menyenangkan pula," sahut Ki Kendil sambil tersenyum kecil. "Mungkin saja di sana jauh dari gunung. Tapi, di sini kita bisa melihatnya setiap hari. Mungkin pula, di sana mereka jarang melihat sawah ladang. Tapi di sini, kita lihat setiap hari. Di sini udaranya sejuk dan baik untuk kesehatan...."
"Di kotaraja banyak orang jahat Dan di sini belum...," timpal Jentara sambil tersenyum lebar.
Ki Kendil ikut tersenyum lebar.
"Iya, belum..."
Dan kini mereka terdiam. Seolah, kata-kata Jentara mengingatkan mereka akan sesuatu. Wajah keduanya berubah lebih dalam.
"Bagaimana soal ancaman itu, Ki?" tanya Jentara, hati-hati.
"Mereka tidak berhak memaksa kita!" tandas Ki Kendil.
"Orang-orang itu kelihatannya sungguh-sungguh dengan ancamannya. Kita harus berbuat sesuatu, Ki Kendil!"
"Ya! Kita memang harus berbuat sesuatu. Tapi kita juga harus menghadapi sesuatu yang selama ini belum pernah menyentuh desa kita...," sahut laki-laki setengah baya itu lemah dengan wajah murung.
"Sungguh celaka dia!" umpat Jentara kesal.
"Siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi kalau bukan pemberontak-pemberontak keparat itu!" desis Jentara kesal.
Ki Kendil tersenyum kecil.
'Tahukah kau, apa yang dilakukan Kanjeng Gusti Prabu terhadap rakyat?" tanya laki-laki setengah baya itu lagi.
"Beliau cukup baik...."
"Begitukah menurutmu?" tanya Ki Kendil, tersenyum getir. "Apa yang kita lihat selama ini" Pajak-pajak dinaikkan tanpa peduli kalau para petani gagal panen. Mereka tidak mau tahu kalau sawah-sawah kita rusak dan kekeringan. Mereka tidak mau dengar kesulitan kita. Pernahkah beliau menerima dan mendengar keluhan rakyatnya" Tidak! Beliau tetap bersenang-senang di istananya yang megah."
"Apakah Ki Kendil setuju dengan para pemberontak?" tanya Jentara.
"Entahlah.... Yah.... Mungkin saja mereka tidak puas oleh kebijaksanaan yang ditetapkan kerajaan. Atau mungkin juga pemberontakan itu didasari oleh kepentingan pribadi dari segolongan orang yang ingin berkuasa...," sahut Ki Kendil, tanpa memberi jawaban pasti. Nada suaranya terdengar mendesah pasrah.
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"
"Aku telah menyuruh beberapa orang untuk menyelidiki, siapa dalang pemberontakan itu sebenarnya."
"Lalu?"
"Ada yang bilang kalau para pemberontak didalangi Kanjeng Gusti Katut Denowo...."
"Kanjeng Gusti Katut Denowo" Bukankah dia saudara Kanjeng Gusti Prabu sendiri"!"
Wajah Jentara tampak terkejut Seolah dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Ki Kendil tersenyum getir.
"Kita hanya rakyat kawula kecil, yang tidak tahu apa-apa. Yang kita inginkan hanya hidup tenteram. Itu saja...," kata laki-laki setengah baya ini.
"Menurut beberapa orang, katanya Kanjeng Gusti Katut Denowo mempunyai sifat buruk?" tanya Jentara, seperti untuk diri sendiri.
"Kita tidak bisa menilai orang dari cerita-cerita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," sahut Ki Kendil, seperti tak setuju pertanyaan Jentara.
"Toh kini terbukti, Ki Kendil."
"Maksudmu?"
"Ancaman yang mereka lakukan padamu, serta pada semua warga desa ini..."
"Hal itu biasa terjadi, setiap ada usaha pemberontakan. Mereka ingin mendapat dukungan dari setiap wilayah. Dan untuk itu, diperlukan segala cara untuk mewujudkan keinginannya," sahut Ki Kendil, yang tampaknya mengerti betul dengan ilmu ketatanegaraan.
"Meski cara itu tidak benar, dan sekaligus merugikan rakyat yang tidak berdaya?" tanya Jentara, tersenyum sinis.
"Apakah leluhur negeri Kertaloka ini mendirikan kerajaan atas dasar perdamaian?" Ki Kendil balik bertanya.
Jentara diam. Langkahnya langsung dihentikan, mengikuti orang tua itu.
"Buyutku mengatakan kalau luas Kerajaan Kertaloka tidak seberapa. Lalu pada penguasa ketiga, mereka memiliki pasukan besar dan hebat. Dari sini, haus akan kekuasaan mulai merasuki Kanjeng Gusti Prabu. Dia lantas meluaskan daerah kekuasaannya, Hhhh.... Kini hukum karma telah berlaku. Kerajaan tengah terancam. Lalu, siapakah yang menjadi korban" Kita! Kita yang tidak tahu apa-apa dan hidup menuruti kebijaksanaan mereka," jelas Ki Kendil, diiringi geram mendalam.
Kata-kata Ki Kendil itu terasa agak pedas. Bahkan keluar dari hatinya yang paling dalam. Sementara Jentara seperti terhenyak, seolah tidak percaya kalau laki-laki setengah baya yang pendiam itu bisa berucap demikian.
Untuk sesaat keduanya terdiam, seperti hanyut dalam pikiran masing-masing. Ki Kendil terhanyut oleh perasaan kesal yang ditumpahkannya. Sedang Jentara tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara, kaki mereka terus melangkah menuju sawah masing-masing. Dan baru saja Ki Kendil akan membuka mulut kembali...
"Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat, yang membuat Ki Kendil dan Jentara berbalik ke arah sumber suara.
"Hei"! Apa itu"!" sentak Jentara, terkejut setengah mati.
Jauh di belakang mereka terlihat asap hitam membubung tinggi ke atas. Kelihatan kalau asap itu berasal dari Desa Kampar.
"Desa kita terbakar! Astaga...!" Jentara mendesis kaget Seketika dia cepat berlari kencang mendahului Ki Kendil.
? *** ? Seorang laki-laki bertubuh besar dan berwajah kasar tampak tengah menggebah kudanya sambil mengacung-acungkan golok besar di tangannya. Wajahnya yang ditumbuhi kumis melintang dan cambang bauk, tampak berkesan angker ketika mondar-mandir mengitari jalan utama Desa Kampar.
Sementara itu beberapa penduduk desa ini tampak berlarian karena rumah mereka terbakar. Yang lebih menggiriskan, mereka langsung ketakutan, dihajar senjata-senjata tajam orang-orang berpakaian serba merah yang tidak lain dari anak buah laki-laki bertubuh besar itu. Maka semakin sering saja jerit tangis wanita yang terdengar berbaur dengan jeritan-jeritan anak-anak.
"Ayo, bakar! Ratakan desa ini dengan tanah. Kumpulkan mereka di satu tempat! Ayo, cepat! Bunuh siapa saja yang mencoba melawan! Cepaaat..!" teriak laki-laki bertubuh besar itu, berusaha mengalahkan jeritan-jeritan para penduduk desa.
"Aaakh!"
Beberapa orang laki-laki penduduk desa yang berusaha melawan, langsung tewas terkena sabetan golok. Sedang anak istri mereka ditarik ke sana kemari. Orang-orang berbaju serba merah itu memang tidak mengenal rasa kasihan, membuat mayat mulai berserakan. Bahkan asap hitam pun semakin menyelimuti desa ini.
"Ayo, kumpul! Kumpuuul...!" teriak orang-orang berpakaian serba merah itu seraya menyeret para penduduk desa ke tempat yang lebih luas.
Mereka yang ketakutan tidak berdaya melawan. Mereka hanya bisa menurut dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Sementara, laki-laki bertubuh besar dan bercambang bauk yang agaknya adalah ketua dari para perusuh ini, menggebah kudanya ke arah berkumpulnya orang-orang desa itu. Golok besar di tangannya terus diacung-acungkan, untuk menakut-nakuti.
"Dengar kalian semua! Mulai hari ini, Desa Kampar berada dalam kekuasaanku. Siapa yang tidak setuju, aku tak segan-segan memisahkan kepala dari leher kalian!" teriak laki-laki bertubuh besar itu garang.
"Biadab...!" maki seseorang di antara kumpulan penduduk Desa Kampar.
Serentak mereka semua berpaling ke arah datangnya makian tadi. Tampak seorang pemuda dengan wajah garang berdiri tegak di tengah-tengah sambil menggenggam cangkul.
"Kakang Jentara...!"
Tiba-tiba terdengar seruan wanita yang berada di antara orang-orang desa yang dikumpulkan. Dia segera bangkit, hendak menghampiri. Namun, seorang laki-laki berseragam serba merah dan bersenjatakan golok besar menjambak rambutnya. Sehingga, wanita itu jatuh terjerembab.
"Surti! Keparat kalian! Lepaskan dia...!" teriak laki-laki yang tak lain dari Jentara dengan wajah gusar. Dia hendak menolong wanita yang tidak lain dari istrinya.
'Tetap di tempatmu!" hardik laki-laki bertubuh besar dengan cambang bauk itu, garang.
Namun Jentara seperti tidak mempedulikan bentakan yang mengandung ancaman itu. Dia segera melompat hendak menyelamatkan istrinya. Tapi bersamaan dengan itu....
"Bunuh dia!"
Seketika dua orang laki-laki berwajah seram langsung mencelat menghadang, begitu mendengar perintah lelaki bercambang bauk itiu.
"Perampok Keparat! Kubunuh kalian! Heaaat...!" geram Jentara. Cangkul di tangannya seketika langsung diayunkan.
Bet! Dua orang berseragam serba merah yang menghadang dengan tangkas menangkis serangan cangkul Jentara dengan golok.
Trak! Trak! Terjadi benturan tiga senjata yang cukup keras, membuat masing-masing orang yang bertarung ini terjajar beberapa langkah. Dan belum juga Jentara bersiap, kedua penyerang sudah merangsek kembali. Secara bersamaan, mereka mengibaskan golok besar ke arah Jentara. Untung saja Jentara memiliki cukup bekal ilmu olah kanuragan. Dan dia langsung melenting ke atas, menghindari dua serangan lawan sekaligus. Bersamaan dengan itu kaki kanannya mencelat, menendang salah seorang lawan. Sementara cangkul di tangannya menghantam lawan yang lain.
Begkh! Trang! "Uhhh...!"
Salah seorang lawan kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri akibat tendangan Jentara. Sementara lawan yang seorang lagi masih mampu menangkis kelebatan cangkulnya.
"Kurang ajar! Bereskan dia secepatnya...!" geram lelaki bercambang bauk itu.
"Yeaaat!"
Kembali seorang berseragam serba merah yang lain langsung melompat maju disertai sambaran golok yang bagai kilat. Dan karena untuk berkelit sudah tak memungkinkan, Jentara langsung memapak serangan itu dengan ayunan cangkulnya.
Trang! Tidak seperti kedua lawan sebelumnya, kali ini laki-laki berseragam serba merah yang dihadapi Jentara memiliki gerakan gesit sekali. Begitu habis berbenturan senjata, dengan gerakan hampir bersamaan, laki-laki itu melepaskan tendangan menyodok dada Jentara. Masih untung Jentara mampu menghindar dengan melompat ke samping.
Tapi di luar dugaan, orang berbaju serba merah itu kembali melepaskan tendangan yang demikian cepat sambil memutar tubuhnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jentara tak bisa menghinda-rinya. Maka....
Dukl "Aaakh!"
Jentara langsung berteriak kesakitan, begitu dadanya terhantam tendangan orang itu dengan telak. Tubuhnya kontan tenerembab ke belakang.
"Kakang Jentara...!"
Wanita yang tengah dicengkeram seorang laki-laki berwajah kasar yang tadi menjambak rambutnya, berteriak cemas begitu melihat Jentara ambruk. Dan kepalanya langsung berpaling, ketika orang itu melompat dengan golok di tangan, siap menghabisi suaminya.
"Uhhh..."
Jentara yang masih belum bangkit, jadi terkesiap. Tubuhnya langsung bergulingan, sehingga senjata golok itu hanya menghantam tanah. Orang berbaju serba merah ini cepat bagai kilat mengibaskan kakinya ke arah dada, begitu Jentara bangkit berdiri.
Duk! "Ugkh!"
Jentara melenguh, merasakan sesak pada dadanya, begitu mendapat tendangan dari orang berbaju serba merah ini. Dan belum juga hilang rasa sesaknya, kembali datang serangan berupa tusukan golok yang mengarah ke jantungnya. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga Jentara tak mampu menghindar. Dan...
Crab! "Aaa...!"
Jentara menjerit menyayat, ketika mata golok lawannya merobek jantungnya. Seketika darah menyembur keluar, begitu golok itu dicabut. Tubuh Jentara limbung sesaat, kemudian ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam kaku tak bergerak lagi.
"Kakang Jentara! Oh, tidak! Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" Surti berteriak menyayat. Dia berontak sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki yang sejak tadi menahannya.
Laki-laki yang mencengkeram Surti berusaha menahan, namun lelaki yang bercambang bauk memberi isyarat. Sehingga, segera dilepaskannya Surti dari cengkeramannya.
Kembali Surti berteriak, langsung menghambur menubruk mayat suaminya. Tangisnya langsung meledak saat itu juga. Sementara, tidak ada seorang pun yang berani menolong. Orang-orang desa itu hanya bisa memandang dengan wajah haru.
"Itu satu contoh lagi bagi kalian! Siapa yang berani melawan, maka kematian akibatnya! Mulai hari ini, dua puluh orang anak buahku akan tinggal di sini. Mereka akan melatih semua laki-laki di desa ini dalam ilmu perang. Karena nantinya kalian harus ikut perang!" teriak laki-laki bercambang bauk itu garang.
Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka terdiam, membisu seperti patung!
? *** ? Tiga orang penunggang kuda tampak tengah menggebah tunggangannya masing-masing agar berlari lebih kencang. Sehingga, debu tampak mengepul tersepak kaki-kaki kuda di setiap jalan yang dilalui.
"Hiya! Hiya...!"
Yang menunggang kuda di tengah adalah seorang gadis berbaju serba merah jambu. Wajahnya cantik dengan kulit halus kemerahan. Rambutnya yang panjang sepunggung, diikat ke belakang. Dari caranya menyandang pedang di punggung dan berpakaian, terlihat kalau gadis itu berasal dari kalangan persilatan. Apalagi ketika melihat dua penunggang kuda yang mengapitnya. Mereka adalah dua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Masing-masing berbaju lusuh, dengan pedang di punggung.
Kelihatannya, mereka tergesa-gesa. Bahkan seperti tak peduli kalau kuda-kuda itu sudah terlihat letih. Walaupun mereka telah melakukan perjalanan cukup jauh, tapi sedikit pun tak ingin beristirahat. Mereka terus menggebah kuda masing-masing, namun tiba-tiba....
"Berhenti...!"
Mendadak satu teriakan nyaring berkumandang. Belum juga gema bentakan itu lenyap, sudah berkelebat lima sosok tubuh dari atas cabang-cabang pohon.
"Hieee...!"
Kuda-kuda yang dipacu cepat kontan terkejut, begitu penunggangnya menarik tali kekang kuat-kuat. Bahkan kaki depart binatang-binatang itu sampai terangkat tinggi.
"Gusti Ayu, lompat...!"
Salah seorang penunggang kuda langsung berteriak sambil melompat. Sedangkan dua kawannya telah lebih dulu mencelat ke samping, ketika kuda-kuda itu tidak bisa dikendalikan lagi. Dan baru saja kaki mereka mendarat di tanah, kuda-kuda itu langsung kabur melarikan diri.
Ketiga penunggang kuda itu cepat bersiaga, langsung menyadari keadaan. Kini di depan mereka berdiri tegak lima sosok tubuh yang rata-rata berwajah kasar pada jarak tujuh langkah di depan. Tiga orang yang berada di tengah bersenjata pedang di punggung. Sementara di sebelah kiri menggenggam sebatang tongkat berkeluk sepanjang lima jengkal, yang pada ujungnya terdapat lempengan logam tajam berbentuk sabit. Sedangkan di sebelah kanan adalah laki-laki tanpa senjata dengan tangan terlipat di depan dada.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Siapa sangka kalau hari ini kita bertemu seorang yang begitu penting artinya bagi kerajaan! Ha ha ha...!" kata seorang penghadang yang berada di tengah, sambil ketawa lebar.
"Kisanak! Siapa kalian" Apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tanya salah seorang laki-laki yang berdiri di sebelah kanan gadis berbaju merah jambu itu.
"Aku, Jatra Kendeng! Dan mereka adalah kawanku. Kami dikenal sebagai Lima Setan Jatayu. Nah! Demi keselamatan kalian, tinggalkan gadis itu!" sahut laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang ternyata bernama Jatra Kendeng.
"Jatra Kendeng! Hm.... Namamu begitu besar kudengar. Mestinya, orang sepertimu bisa bersikap lebih sopan pada pengembara biasa, seperti kami. Biarkanlah kami melanjutkan perjalanan dengan aman," kata laki-laki berbaju lusuh yang berdiri di kanan gadis itu.
"Pengembara biasa katamu" Ha ha ha...! Hei, Dua Monyet Buduk! Kalian kira aku bodoh, heh"! Kalian anggap kami tidak tahu, siapa kalian sebenarnya"! Gadis itu adalah putri bungsu Prabu Suryalaga! Nah! Berikan dia pada kami. Lalu, kalian boleh pergi dengan selamat!" ujar Jatra Kendeng.
Tiga orang yang mengaku sebagai pengembara ini terkejut. Juga si Gadis berbaju merah jambu. Wajah mereka tampak berubah pucat karena cemas.
"Ki Jatra Kendeng! Namaku Weru Sugala. Dan kawanku, Satya Watara. Sedangkan gadis ini adalah adik perempuanku yang bernama Sukesih. Kami bertiga berasal dari Perguruan Sapu Angin. Bagaimana mungkin kau menyamakannya dengan orang-orang kerajaan yang agung?" sanggah laki-laki yang mengaku bernama Weru Sugala.
"Huh, Monyet Kurap! Kau kira semudah itu membohongiku, heh"! Kau telah menguji kesabaranku!" dengus Jatra Kendeng geram.
Laki-laki bertampang seram ini langsung memberi isyarat. Maka seketika kedua kawannya yang bersenjata pedang langsung melompat menyerang.
"Yeaaa!"
"Heh"!"
Weru Sugala dan Satya Watara terkejut bukan main. Namun, mereka tidak punya pilihan. Langsung pedang mereka dicabut memapak serangan dua orang lawan.
Sring! "Adik Satya Watara! Kau jaga Sukesih. Dan biar kuhadapi mereka berdua!" teriak Weru Sugala, ketika melihat seorang penghadang lainnya telah melompat ke arah gadis berbaju merah jambu.
"Heaaat!"
Trang! Trang! Dengan gagah berani Weru Sugala dan Satya Watara mempertahankan diri, sekaligus melindungi Sukesih. Pedang mereka langsung berkelebat memapak serangan lawan dengan gesit. Namun begitu, yang dihadapi mereka memang bukanlah orang sembarangan. Lima Setan Jatayu adalah tokoh persilatan yang rata-rata berkepandaian tinggi. Siapa pun sudah tahu kalau mereka tidak akan segan bertindak kejam terhadap lawan-lawannya.
Sebenarnya Weru Sugala memiliki kepandaian hebat. Namun, agaknya kedua lawan yang dihadapi bukanlah tandingannya. Buktinya serangannya sampai saat ini seperti kandas ditelan angin. Sebaliknya serangan kedua lawannya semakin gencar saja. Sehingga, pada enam jurus terakhir, Weru Sugala terus terdesak. Dia hanya mampu menangkis dan terus melompat ke sana kemari, menghindari serangan gencar lawan-lawannya.
"Yeaaa!"
Salah seorang dari Lima Setan Jatayu melompat menerjang sambil membabatkan pedangnya. Namun dengan sigap Weru Sugala berusaha menangkis. Memang, justru itulah yang diharapkan para lawannya. Ternyata, orang itu cepat menghentikan serangan, dan. hanya melewatinya saja. Lalu kedua dari Lima Setan Jatayu lainnya langsung menyodokkan pedang ke arah perut.
Weru Sugala terkejut bukan main. Buru-buru pedangnya dikibaskan untuk menangkis.
Trang! Belum juga Weru Sugala bersiap kembali, salah seorang lawannya telah melepaskan sebuah tendangan keras ke arah dada. Begitu cepat gerakan orang itu, sehingga dia tidak mampu berkelit.
Dan... Duk! "Aaakh...!"
Weru Sugala kontan menjerit tertahan begitu dadanya terhantam tendangan berisi tenaga dalam penuh. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang. Dan pada saat yang sama, seorang lagi dari Lima Setan Jatayu telah bersiap menyambut dengan pedangnya.
Cras! "Hugkh...!"
Weru Sugala hanya mampu melenguh begitu lehernya tertebas pedang. Kepalanya putus, menggelinding ke tanah. Tak lama, tubuhnya ambruk ke tanah, dengan darah mengalir deras.
"Kakang Weru Sugala...!" seru Satya Watara, ketika melihat Weru Sugala tewas. Wajahnya tampak pucat, menahan kaget.
Dan inilah kesalahan Satya Watara. Untuk sesaat, dia jadi lalai. Padahal, saat ini nyawanya tengah terancam lawan yang menggunakan kesempatan baik itu. Salah seorang dari Lima Setan Jatayu yang bersenjatakan tombak bercabang pada ujungnya, langsung melompat ganas. Tombaknya cepat disabetkan ke arah perut. Dan....
Brettt! "Aaa!"
Satya Watara kontan memekik setinggi langit, ketika senjata tombak bercabang itu merobek perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan urat-urat berkerut di wajahnya. Pedangnya diayunkan kembali, berusaha menerjang penyerangnya. Namun baru saja hendak melompat, tubuhnya ambruk bersimbah darah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
? *** ? 2 ? ? "Paman Weru Sugala...! Paman Satya Watara..."! Oh...!"
Gadis berbaju merah jambu yang tadi dikenali sebagai Sukesih berseru kaget. Dia bermaksud memburu kedua mayat itu, namun tiga dari Lima Setan Jatayu telah menghadang. Dan perlahan-lahan, mereka mendekati sambil menyeringai lebar. Dan gadis itu pun jadi mengurungkan niatnya, perlahan-lahan mundur dengan wajah tegang.
"Cempaka Sari! Lebih baik kau ikut dengan kami. Jangan khawatir, kau akan mendapat perlakuan secara baik!" ujar Ki Jatra Kendeng, memperingatkan.
"Siapa sebenarnya yang menyuruh kalian menghadangku"!" bentak gadis yang sebenarnya bernama Cempaka Sari. Nada suaranya terdengar sengit.
"Kau tidak perlu tahu. Yang penting sekarang ikut saja dengan kami..."
"Huh! Kalian pasti orang suruhan pamanku, Katut Denowo!"
"Ha ha ha...!"
Ki Jatra Kendeng hanya ketawa lebar tanpa menjawab.
"Betul, bukan?" tanya Cempaka Sari dingin, seperti ingin meyakinkan dugaannya.
Ki Jatra Kendeng menghentikan tawanya. Dan wajahnya tampak menyeringai sinis.
'Tangkap dia!" ujar laki-laki itu, tanpa berpaling sedikit pun dari wajah cantik Cempaka Sari.
Seketika tiga orang anak buah Ki Jatra Kendeng melompat menyergap. Namun dengan tangkas gadis itu mencabut pedangnya.
Sring! "Kalian boleh menangkapku, kalau ada yang mau mati!" dengus Cempaka Sari mengancam.
"Jangan hiraukan ancamannya. Dia sama sekali tidak tahu caranya menggunakan pedang. Ayo, tangkap dia!" sentak Ki Jatra Kendeng semakin berang.
Cempaka Sari jadi terkesiap. Hatinya terkejut, karena lagi-lagi Ki Jatra Kendeng tahu, kalau sebenarnya dia sama sekali tidak bisa memainkan pedang. Bahkan seumur hidupnya, baru sekali ini memegang senjata itu. Kedua tangannya yang menggenggam batang pedang terlihat gemetar, namun gadis itu berusaha menguatkan semangatnya.
"Boleh kalian coba kalau ingin mampus!" dengus Cempaka Sari seraya menggertak kembali.
Ketiga laki-laki dari Lima Setan Jatayu itu masih tetap ragu. Malah salah seorang menoleh ke arah Ki Jatra Kendeng.
"Ki, bagaimana kalau dia terluka?"
"Bodoh kau! Biar kuselesaikan..."!" Ki Jatra Kendeng menggeram.
Tapi baru saja laki-laki itu akan turun tangan sendiri menangkap Cempaka Sari, sudah terdengar derap langkah kuda mendekati mereka. Ki Jatra Kendeng dan kawan-kawannya segera menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Tampak seorang pemuda tampan berambut panjang dan berbaju rompi putih tengah berkuda bersama seorang gadis cantik berbaju biru muda. Sebentar saja, kedua penunggang kuda itu telah tiba di tempat ini.
"Hei! Kalau tidak ada urusan, cepat pergi dari sini!" hardik Ki Jatra Kendeng.
Sementara itu Cempaka Sari yang melihat gadis berbaju biru itu langsung tersenyum lebar. Dia segera berlari cepat, menghampiri.
"Pandan Wangi, Sahabatku! Oh, syukur kau berada di sini!" seru Cempaka Sari.
"Cempaka Sari...!" gadis berbaju biru muda yang dipanggil Pandan Wangi terkejut. Buru-buru dia melompat turun dari punggung kudanya. Sementara pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum memandangi dua gadis yang kini berpelukan beberapa saat untuk menumpahkan perasaan rindu.
"Apa yang kau lakukan di sini Cempaka Sari. Dan, apa yang hendak mereka perbuat padamu?" tanya Pandan Wangi, sambil memandang tajam ke arah Lima Setan Jatayu.
"Ceritanya panjang.... Dan orang-orang ini ingin menangkapku."
"Menangkapmu" Apa salahmu"! Atau mereka yang memang mencari maut"!" dengus gadis berjuluk si Kipas Maut itu.
"Sial! Hm.... Kini jumlah kalian bertambah banyak. Nah, bersiaplah untuk mampus!" geram Ki Jatra Kendeng.
Lelaki itu langsung melompat hendak menangkap Cempaka Sari. Tapi, tentu saja Pandan Wangi tak tinggal diam. Melihat sahabatnya terancam, dia langsung memapak serangan Ki Jatra Kendeng.
"Hiiih!"
Plak! Plak! Ki Jatra Kendeng sedikit terkejut, begitu kepalan tangannya mudah sekali ditangkis Pandan Wangi. Serangannya segera dilanjutkan dengan sodokan ke perut Pandan Wangi lewat satu tendangan keras. Namun gadis itu segera melejit ke samping, lalu balas menyerang dengan menendang ke arah tengkuk.
"Uts!"
Ki Jatra Kendeng cepat-cepat melompat ke belakang, sambil berjumpalitan. Sehingga, tendangan gadis itu luput dari sasaran. Namun dari situ bisa dirasakan angin serangan kencang yang menandakan kalau gadis berbaju biru muda ini memiliki tenaga dalam tinggi.
"Bagus! Rupanya kau berisi juga! Hm.... Dengan begitu, kita bisa bermain-main barang sejenak!" kata Ki Jatra Kendeng, sinis.
"Boleh saja kau katakan main-main. Tapi, aku justru menginginkan kepalamu!" sahut Pandan Wangi ketus.
"Ha ha ha...! Kau kira gampang berbuat seenakmu pada Ki Jatra Kendeng" He, Cah Ayu! Lebih baik kau dan kawanmu menyerah. Dan, jangan ikut campur urusan Lima Setan Jatayu, kalau mau selamat!" gertak Ki Jatra Kendeng.
"O, jadi kalian yang berjuluk Lima Setan Jatayu yang terkenal itu"!" tanya Pandan Wangi dengan wajah dipasang terkejut. Namun sebenarnya gadis itu hanya mengejek saja. Dan agaknya, kata-kata Pandan Wangi ditanggapi Ki Jatra Kendeng serta keempat kawannya.
"Ha ha ha...! Rupanya dia baru tahu siapa kita, Ki!" seru kawannya sambil ketawa lebar. "Lebih baik jangan dilepaskan begitu saja. Gadis ini telah mencampuri urusan orang. Dan untuk itu, dia patut dihukum. Dia harus meladeni kita berlima, lalu baru boleh dilepaskan begitu saja."
"Cih! Kalau aku terkejut mendengar Lima Setan Jatayu, bukan berarti takut. Justru hal ini telah lama kutunggu-tunggu, karena aku menginginkan kepala kalian untuk penghias isi rumahku!" dengus gadis berjuluk Kipas Maut itu.
"Kurang ajar...!" maki Ki Jatra Kendeng geram. Wajahnya berkerut menahan amarah.
? *** ? "Ki Jatra Kendeng! Gadis liar ini jangan diberi hati lagi. Tangkap dan bereskan secepatnya. Biar kami yang mengurus Cempaka Sari!" dengus seorang kawannya. Gerahamnya terdengar berkerotokan, menahan geram.
Bersama ketiga kawannya, orang itu langsung hendak meringkus Cempaka Sari. Namun belum terlaksana, Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja, kini melompat menghadang.
"Boleh saja kalian meringkusnya. Tapi, tampaknya tak semudah itu!" kata Pendekar Rajawali Sakti tenang.
"Kurang ajar! Rupanya kalian memang sengaja mencari penyakit! Kau boleh mampus lebih dulu. Yeaaat!"
Seorang dari Lima Setan Jatayu langsung menerjang menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, tiga lainnya meneruskan niat hendak menangkap Cempaka Sari.
"Hup!"
"Kurang ajar!"
Orang yang menyerang Rangga mendengus geram ketika tindakannya luput dari sasaran.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat cepat, ke arah orang-orang yang hendak menangkap Cempaka Sari. Tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat, melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
Duk! Begkh! "Aaakh! Ukh! Aduh!" Tiga orang itu kontan terdorong terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulan dan tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di tubuh mereka.
"Jangan coba-coba meneruskan niat kalian, selama aku masih berdiri di sini!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau kira bisa berlagak di depan kami"! Huh! Kau boleh mampus sekarang juga!" dengus salah seorang sambil mencabut pedangnya.
Sring! Bersamaan dengan itu, orang yang bersenjata tombak berujung logam seperti bulan sabit ikut membantu menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan dua orang lainnya masih tetap mengincar Cempaka Sari. Melihat hal itu, Pendekar Rajawali Sakti segera bertindak cepat. Dengan pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskannya pukulan jarak jauh ke arah dua dari Lima Setan Jatayu yang hendak meringkus Cempaka Sari.
"Hiiih!"
Werrr! Mendapat serangan jarak jauh, kedua orang yang hendak menangkap Cempaka Sari terpaksa mengurungkan niat. Pada saat yang bersamaan, tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat mendekati gadis itu.
"Berlindunglah di belakangku, Nisanak!" ujar Rangga, langsung menggaet si Gadis itu ke belakang.
Sementara pada saat itu juga datang serangan berupa tebasan pedang ke leher Rangga.
Wuttt! ?"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepalanya, menghindarinya. Kemudian tangan kirinya menangkis kepalan lawan lainnya yang hendak menyodok ke dadanya.
Plak! Begitu menangkis, kaki kanan Rangga bergerak cepat Langsung dihantamnya lambung seorang lawan yang terdekat
Duk! "Akh!"
Orang itu menjerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat telak di lambungnya. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah dengan perut langsung mulas.
"Setan!"
Tiga dari Lima Setan Jatayu semakin kalap saja melihat salah seorang dari kawanya ambruk di tanah. Mereka segera menyerang pemuda itu dengan ganas.


Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaa!"
Secara bersamaan, mereka mengibaskan senjata ke seluruh bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang mematikan. Cepat bagai kilat Rangga melompat tinggi menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang yang terdekat. Namun orang itu cepat menangkis dengan mengayunkan pedangnya. Maka dengan gerakan bagai kilat Pendekar Rajawali Sakti menekuk kakinya. Dan dalam keadaan masih di udara, tubuh Rangga berputaran dengan kaki melepaskan satu tendangan kilat ke arah tangan salah seorang lawannya.
Duk! Des! "Akh!"
Kembali satu dari Lima Setan Jatayu terjungkal sambil menjerit kesakitan. Pergelangan tangannya langsung remuk. Sedangkan pedang dalam genggamannya yang terlepas, langsung disambar Rangga. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang dalam genggamannya, karena pada saat yang sama dua bilah senjata meluruk ke arahnya.
Trang! "Akh!"
Kembali terdengar jeritan tertahan. Tangan salah seorang lawan Pendekar Rajawali Sakti kembali kesemutan manakala menangkis senjata yang dipegang Rangga. Dan belum lagi dia bersiaga, ujung pedang itu menyambar dadanya.
Bret! "Aaakh!"
Orang itu terhuyung-huyung ke belakang, dengan dada berlumur darah, tersayat senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti. Melihat lawannya terluka, salah satu dari Lima Setan Jatayu menggeram hebat. Langsung pedangnya dikibaskan menyambar ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Tapi Rangga hanya mendengus dingin. Lalu sambil menundukkan kepala, tubuhnya berputar. Langsung dilepaskan satu tendangan ke arah orang itu.
Duk! "Akh!"
Kembali terdengar jeritan keras. Pergelangan tangan orang itu langsung patah terkulai. Sementara senjata dalam genggamannya terlempar jauh.
"Bangsat! Kau akan terima balasannya!" geram lawan Pendekar Rajawali Sakti yang tinggal seorang lagi.
Dia segera melompat menyerang Rangga dengan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Rangga tersenyum dingin. Rangkaian jurus dari lima jurus 'Rajawali Sakti' yang sejak tadi digunakannya, sama sekali tidak mampu diimbangi lawan-lawannya. Kedua kakinya bergerak lincah, diikuti gerakan tangannya yang seperti kepakan sayap burung rajawali.
Kini Rangga berusaha menerobos pertahanan lawan. Sementara orang yang menjadi lawannya mengibaskan pedang, menyambar ke arah pinggang. Namun pedang itu hanya menebas angin, karena tahu-tahu Rangga sudah melenting ke atas. Bahkan tiba-tiba saja, tubuhnya meluruk melepaskan tendangan dahsyat dengan jurus 'Rajawali Menyambar Mangsa'. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tidak mampu menghindar.
Begkh! "Aaakh!"
Untung saja tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya dialiri tenaga dalam sedikit, sehingga orang itu hanya merasakan sesak pada dadanya yang mendapat tendangan cukup keras.
"Kurang ajar!"
Empat dari Lima Setan Jatayu berusaha bangkit berdiri. Sedangkan Rangga hanya memandangi dengan tangan terlipat di depan dada. Dan belum juga orang itu sempurna berdirinya....
"Aaakh!"
Serentak empat dari Lima Setan Jatayu berpaling ke arah sumber suara. Tampak Ki Jatra Kendeng sudah tersungkur di tanah sambil memegangi pangkal lengannya yang mengucurkan darah segar terkena sabetan kipas Pandan Wangi. Dia berusaha bangkit, namun ujung kipas gadis berbaju biru itu telah mengancam lehernya.
"Kau boleh bangun kalau ingin mampus!" dengus Pandan Wangi mengancam.
"Eh! Aku..., aku...."
Wajah Ki Jatra Kendeng tampak pucat. Bahkan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Sementara Pandan Wangi melipat kipasnya dan menyelipkan di pinggang. Sambil berkacak pinggang, dia menatap tajam pada Ki Jatra Kendeng
"Cepat pergi dari sini. Atau, kutebas lehermu!'
"Eh! Baik..., baik...," sahut Ki Jatra Kendeng, seraya bangkit. Langsung keempat kawannya diajak pergi dari sini.
"Tunggu dulu...!" cegah Cempaka Sari membentak dengan wajah berang. "Aku harus tahu, siapa yang menyuruh kalian menangkapku"!"
"Eh...!" Ki Jatra Kendeng tersedak. Lalu ditatapnya gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut dengan wajah bingung.
"Kau dengar pertanyaannya" Jawablah! Siapa yang telah menyuruh kalian?" timpal Pandan Wangi.
"Kisanak! Kami..., kami bisa terbunuh kalau sampai mengatakannya...."
"Hm.... Kalau begitu, kalian tidak sayang dengan nyawamu sendiri" Lebih baik aku saja yang membunuh kalian!" ancam Pandan Wangi, langsung mencabut kipas bajanya lagi.
Sring! ? *** ? Wajah Ki Jatra Kendeng kembali pucat, melihat Pandan Wangi akan mengancamnya. Seketika kepalanya mengangguk cepat.
"Baiklah...."
"Cepat katakan! Dan, jangan cari-cari alasan!"
"Kanjeng Gusti Katut Denowo..."
"Hm, sudah kuduga!" desis Cempaka Sari mendengus sinis. "Nah! Pergilah kalian. Dan katakan pada pamanku, bahwa pekerjaannya akan sia-sia bila hendak menggulingkan kekuasaan ayahku!
"Ba... baik, Kanjeng Gusti Ayu," sahut Ki Jatra Kendeng seraya memberi hormat. Kemudian segera dia berlalu dari tempat itu diikuti kawan-kawannya.
Rangga dan Pandan Wangi diam saja seraya memperhatikan Lima Setan Jatayu yang segera berkelebat cepat berlalu. Lalu perlahan-lahan, dihampirinya Cempaka Sari yang masih mematung dengan wajah lesu.
"Cempaka.... Apa sebenarnya yang telah terjadi" Kenapa kau meninggalkan istana kerajaan sejauh ini...?" tanya Pandan Wangi lirih.
Gadis berbaju merah jambu itu berpaling. Kemudian dipandangnya Pandan Wangi beberapa saat. Wajahnya tampak berduka. Dan tanpa bisa menahan rasa sedih di harinya, dia memeluk sahabatnya disertai isak perlahan.
Pandan Wangi mendekap erat sahabatnya sambil mengusap-usap rambutnya. Untuk sesaat dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan.
"Sudahlah. Jangan terus menangis, Cempaka. Kau kini selamat bersama kami. Nah! Sekarang ceritakan padaku, apa yang telah menimpamu...?" bujuk si Kipas Maut
Gadis itu melepaskan pelukannya. Kemudian disekanya beberapa tetes airmata yang sempat membasahi pipi. Lalu matanya melirik Rangga.
"Ah, aku lupa! Kenalkan ini temanku...!" seru Pandan Wangi, memperkenalkan Cempaka Sari dengan Rangga.
Mereka saling berjabat tangan. Lalu terlihat Cempaka Sari seperti bingung dan tidak tahu harus berkata apa, ketika memandang wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga sempat menyadari. Maka segera dilepaskannya tangan berbentuk indah ini.
"Ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku" Ceritakanlah. Jangan malu. Kakang Rangga saat ini adalah orang terdekatku. Tidak ada yang kami sembunyikan...," Pandan Wangi, berusaha memecah kebisuan yang terjadi.
"Orang terdekatmu" Jadi benar berita yang kudengar itu...?" kata Cempaka Sari disertai senyum manis di bibir.
"Berita apa yang kau dengar?"
"Bukankah Kakang Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"
Pandan Wangi mengangguk.
"Sungguh beruntung nasibmu, Pandan...."
"Kau ini bisa saja. Apakah hanya itu yang hendak kau ceritakan padaku?"
"Bukan. Kepergianku sebenarnya khusus untuk menemuimu!"
Menemuiku?"
"Ya! Aku memerlukan pertolonganmu...," nahut Cempaka Sari sambil mengangguk.
"Pertolongan apakah yang bisa kuberikan?"
"Kerajaan saat ini terancam, karena Paman Katut Denowo mengadakan pemberontakan...."
"Pamanmu mengadakan pemberontakan" Apa sebabnya?"
"Beliau merasa kalau dialah sebenarnya yang pantas menduduki tahta kerajaan. Ayahanda tidak berdaya, karena tidak bisa membedakan siapa yang setia dan siapa yang hendak berkhianat," jelas Cempaka Sari.
"Lalu, apa yang bisa dilakukan kedua saudaramu?"
Cempaka Sari menggeleng lesu.
"Kakang Andang Jaya mementingkan diri sendiri dan hidup hanya untuk bersenang-senang. Sedang Kakang Satya Darma terlalu lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, kuputuskan untuk meminta bantuan padamu...."
Pandan Wangi menepuk pundak sahabatnya disertai senyum menghibur.
"Cempaka Sari... Kau adalah sahabatku. Maka, sudah tentu aku akan membantumu dengan senang hati. Tapi, bagaimana caranya aku harus membantumu?" hibur Pandan Wangi.
"Saat ini, Ayahanda tidak punya orang yang bisa dipercaya. Untuk saat ini memang sulit mengetahui, siapa orang yang berkhianat padanya. Juga, berapa banyak prajurit kerajaan yang termakan hasutan Paman Katut Denowo. Sehingga, bila para pemberontak menyerang kerajaan, bisa dipastikan keadaan akan kacau-balau. Bahkan bukan tidak mungkin Ayahanda akan terbunuh...," jelas Cempaka Sari, langsung tertunduk lesu.
"Lalu?"
"Bukankah Kakang Rangga adalah Raja Karang Setra" Aku bersedia menjadi budak kalian, asalkan Kakang Rangga sudi membantu bersama pasukannya untuk menggempur para pemberontak! Pandan Wangi, tolonglah aku! Kakang Rangga, tolonglah aku! Aku tidak tahu, kepada siapa lagi harus meminta pertolongan...!"
Cempaka Sari memandang sepasang pendekar dari Karang Setra itu bergantian. Wajahnya tampak memerah dan kelopak matanya sembab. Gadis itu kembali menangis, dengan wajah tertunduk dalam.
Pandan Wangi lantas memeluk sahabatnya erat-erat.
"Cempaka! Kau tidak perlu berkata begitu. Aku akan membantumu sekuat kemampuanku. Begitu juga Kakang Rangga. Bukankah begitu, Kakang?"
"Eh! iya... iya...," sahut Rangga, sedikit gugup.
"Jawablah yang tegas, Kakang. Biar Cempaka Sari bisa tenteram hatinya," ujar si Kipas Maut.
'Tentu saja aku bersedia membantumu."
"Nah! Kau dengar, bukan" Kami bersedia membantumu. Tenangkanlah hatimu, Cempaka!" ujar Pandan Wangi. Dipandangi sahabatnya disertai senyum yang teramat manis. Lalu disekanya airma-ta Cempaka Sari.
Cempaka Sari tersenyum, sambil memandang keduanya bergantian.
'Terima kasih, Kakang Rangga.... Terima kasih, Sahabatku...," kata gadis itu lirih. Kemudian dipeluknya Pandan Wangi dengan rasa haru.
? *** ? 3 ? Seorang laki-laki bertubuh sedikit kurus berusia sekitar empat puluh tahun, tengah duduk gelisah di sebuah ruangan indah di dalam sebuah bangunan megah seperti istana. Sesekali mulutnya mengunyah buah-buahan yang terdapat di sebelah kursi berukir. Di kanan dan kirinya duduk dua orang wanita cantik yang sesekali mengipasi. Sementara di sebelah masing-masing wanita itu, berdiri tegak dua orang laki-laki bertubuh kekar dan berkulit hitam bersenjatakan tombak.
Di depan laki-laki kurus yang terbungkus pakaian indah itu, duduk bersila beberapa orang laki-laki. Melihat cara berpakaian serta beberapa senjata yang tersandang, bisa diduga kalau mereka adalah orang-orang persilatan.
Sementara tepat di depan laki-laki kurus yang memakai mahkota seperti layaknya seorang raja itu duduk bersila lima orang laki-laki berwajah kasar. Tiga orang bersenjata pedang, seorang bersenjata tombak yang pada ujungnya terdapat logam berbentuk bulan sabit, sedang yang seorang lagi tak bersenjata. Tak salah lagi, mereka adalah Lima Setan Jatayu, yang melaporkan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Hm.... Jadi kalian gagal menangkapnya...?" tanya laki-laki kurus itu tenang seraya mengunyah sebuah jambu kelutuk.
"Jika saja kedua orang itu tidak muncul, kami akan mudah meringkusnya sahut yang duduk paling depan. Orang ini tak lain dari Ki Jatra Kendeng.
"Siapa kedua orang itu?"
"Kami tidak mengenalnya, Kanjeng Gusti Prabu...."
Laki-laki kurus yang tak lain Katut Denowo itu mengedarkan padangan ke sekeliling, menyapu orang-orang yang duduk di depannya.
"Adakah di antara kalian yang tahu, siapa kedua orang itu?" tanya Katut Denowo dengan suara lantang.
"Menurut ciri-ciri yang dijelaskan Ki Jatra Kendeng tadi, orang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti!" sahut laki-laki bertubuh cebol dan berkulit gelap.
"Bagus, Ki Singkil Wadaya. Jadi kau mengenalnya?" tanya Katut Denowo.
"Aku tidak mengenalnya. Tapi, orang itu berbahaya."
"Lalu, siapa gadis yang bersamanya?"
"Bisa jadi si Kipas Maut, kekasih si Pendekar Rajawali Sakti," sahut laki-laki cebol yang ternyata bemama Singkil Wadaya.
"Hm...," Katut Denowo bergumam. Dia berpikir sejenak, kemudian tersenyum. "Jadi Ki Jatra Kendeng dijatuhkan si Kipas Maut. Sedangkan keempat kawannya ditaklukkan si Pendekar Rajawali Sakti. Apakah karena semata-mata menjatuhkan Lima Setan Jatayu, maka kau mengatakan kalau mereka berbahaya?"
"Maaf, Kanjeng Gusti Prabu! Pendekar Rajawali Sakti memang sudah terkenal kedigdayaannya. Dalam rimba persilatan, dia termasuk tokoh nomor satu," jelas Ki Singkil Wadaya.
"Lalu, apa bahayanya mereka bagi kita?"
"Jika Cempaka Sari benar adalah kawan si Kipas Maut, maka sudah barang tentu akan meminta pertolongan mereka. Dan kalau si Kipas Maut membantunya, maka Pendekar Rajawali Sakti pasti ikut campur pula," jelas Ki Singkil Wadaya lagi.
"Pertolongan apa yang kau maksud?"
Ki Singkil Wadaya tersenyum. Sementara, seorang laki-laki berwajah bersih dan berbaju bersih yang berada di dekat Katut Denowo ikut tersenyum.
"Apa artinya jika Cempaka Sari berjalan sejauh itu" Sudah pasti mencari bantuan...," kali ini, laki-laki berwajah bersih itu yang menjawab. Dan dia dikenal dengan nama Indra Paksi.
"Cempaka Sari masih belia. Lagi pula, tahu apa dia soal urusan kerajaan?" sangkal Katut Denowo.
"Kakang Katut Denowo! Jangan remehkan setiap ancaman sekecil apa pun. Boleh jadi, Cempaka Sari masih belia yang menurutmu tidak tahu apa-apa soal kerajaan. Tapi, dia cerdas. Dan kita harus waspada terhadapnya, serta apa yang dilakukannya," jelas Indra Paksi mengemukakan kecurigaannya.
Katut Denowo berpikir untuk sesaat. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk perlahan.
"Hm, baiklah. Kalau begitu, suruh mata-mata kita di sana untuk mengawasi setiap gerak-geriknya. Dan bila ada yang mencurigakan, maka bereskan dia secepatnya!" ujar Katut Denowo, tegas.
'Tentu saja, Kakang. Maaf. Karena sebelum Kakang perintahkan, aku telah menyuruh mata-mata untuk mengawasinya. Kalau tidak, mana mungkin kita mengetahui kepergiannya," jelas Indra Paksi.
"Bagus, Indra Paksi! Tidak percuma kau ku angkat sebagai penasihatku!"
"Dan satu hal lagi, Kakang!" tambahnya lagi.
"Apa itu?"
"Kedua kawan Cempaka Sari itu juga harus di-bereskan, kalau mencoba membantu!"
"Kau lebih mengerti soal itu. Nah, lakukanlah yang terbaik!"
'Tentu saja, Kakang!"
"Indra Paksi, ingat! Pendekar Rajawali Sakti bukan tokoh sembarangan. Lalu bagaimana caranya untuk membereskan orang itu?" tanya Ki Singkil Wadaya heran. Bahkan mimik wajahnya menunjukkan perasaan sinis.
Ki Singkil Wadaya tahu betul kalau kepandaian Indra Paksi tidak terlalu hebat. Bahkan boleh di-bilang, sama sekali tidak berarti. Dan Katut Denowo mengangkatnya sebagai penasihat, hanya karena pemikirannya yang selama ini sering cemerlang. Tapi untuk urusan Pendekar Rajawali Sakti, yang harus dilakukan bukan hanya mengakalinya. Sebab dia tahu betul, dalam dunia persilatan jika hendak membereskan seseorang maka yang harus dilakukan adalah pertarungan. Dan di antara semua tokoh yang berada di ruangan ini menyadari, kalau harus berpikir seribu kali bila ingin menaklukkan Pendekar Rajawali Sakti!
"Ki Singkil Wadaya! Kau meragukan kemampuan kita semua, heh"!" tanya seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang duduk di seberangnya.
Wajah orang itu tampak gusar, mendengar kata-kata Ki Singkil Wadaya. Jelas, hatinya tersinggung, karena merasa dianggap remeh.
"Sudahlah, Ki Kebo Ungu. Ki Singkil Wadaya tidak bermaksud merendahkan kita semua. Dia hanya sekadar memperingatkan. Biarlah Pendekar Rajawali Sakti akan menjadi urusanku," sahut Indra Paksi, menengahi.
"Nah! Kuanggap persoalan ini telah selesai. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing, karena aku hendak beristirahat," ujar Katut Denowo. Segera dia beranjak dari ruangan ini, diikuti kedua wanita yang sejak tadi berada di dekatnya.
*** Tdak seperti tadi, kali ini Cempaka Sari menggebah kudanya perlahan-lahan. Dengan dua orang pendekar digdaya yang menemaninya, dia merasa aman. Dan ketika tiba di kotaraja, Rangga tidak ikut bersama mereka. Pendekar Rajawali Sakti telah kembali ke Karang Setra, untuk menyiapkan segala sesuatu guna membantu Kerajaan Kertaloka seperti yang dinginkan Cempaka Sari.
"Kau tidak apa-apa, bukan?" tanya Cempaka Sari ketika mereka menelusuri jalan utama di kotaraja yang agak lengang dengan berkuda.
"Kenapa?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Karena harus berpisah dengan Kakang Rangga?"
Pandan Wangi hanya tersenyum.
"Kami biasa berpisah untuk beberapa saat. Terutama saat Kakang Rangga hendak bepergian seorang diri," sahut gadis berjuluk Kipas Maut itu.
"Tidak takut kalau Kakang Rangga tergoda gadis lain?" pancing Cempaka Sari.
'Tentu saja ada. Namun, aku selalu percaya padanya. Kau sendiri, bagaimana?"
Cempaka Sari hanya tersenyum manis. Pandangannya dialihkan ke tempat lain. Seperti ada sesuatu yang hendak disembunyikannya.
"Aku belum berpikir untuk mencari kekasih...," elak Cempaka Sari.
"Hati-hati saja, Cempaka! Kalau begini selamanya, sama saja melawan kodrat!" goda Pandan Wangi.
Cempaka Sari tersenyum.
'Tentu saja tidak. Hanya saja, belum menemukan pemuda yang pantas...," sahut gadis itu pelan.
"Apakah kau ingin mencari pemuda dari kalangan bangsawan?"
"Soal itu tidak penting. Yang jelas, aku ingin mencari pemuda gagah yang bertanggung jawab, dan mempunyai sifat terpuji. Yah..., barangkali seperti kakangmu itu!"
Pandan Wangi hanya tertawa kecil. Dalam hati, dia merasa bangga mendengar kata-kata sahabatnya. Paling tidak, Cempaka Sari memujinya kalau Pandan Wangi telah mendapatkan kekasih yang baik.
Ketika Pandan Wangi dan Cempaka Sari hampir tiba di gerbang Istana Kerajaan Kertaloka yang dijaga empat orang prajurit, mendadak pintu itu terbuka lebar. Tak lama dari dalam benteng istana keluar beberapa orang, melewati pintu gerbang.
"Hei"! Banyak orang keluar dari pintu gerbang kerajaan! Siapa mereka?" seru Pandan Wangi langsung menghentikan langkah kudanya.
"Mungkin rakyat yang mengadukan nasibnya...," sahut Cempaka Sari ikut berhenti.
"Apakah ayahmu sering menerima mereka?"
"Ayahanda tentu saja bersedia menerimanya!" sahut Cempaka Sari cepat.
"Wajah mereka terlihat muram...," gumam Pandan Wangi.
Cempaka Sari juga melihat hal yang sama. Dalam hatinya, timbul tanda tanya yang dalam. Dan dengan keadaan berpakaian seperti rakyat biasa, orang akan kesulitan untuk mengenalinya. Dan ketika orang-orang itu makin dekat, Pandan Wangi bergegas melompat dari kudanya yang berbulu putih. Langsung menghadap orang tua itu.
"Maaf, Kisanak. Dari manakah kalian barusan?" tanya Pandan Wangi ramah.
Orang yang ditanya adalah laki-laki tua bertubuh sedikit kurus, berbaju lusuh. Matanya memandang Pandan Wangi sejenak, kemudian menunjuk istana kerajaan.
"Apakah kalian menghadap Gusti Prabu?"
Orang tua itu mengangguk
"Lalu kalian ini siapa" Dan, apa yang kalian inginkan?"
"Kami rombongan petani, yang baru saja menghadap Gusti Prabu untuk meminta keringanan pajak tahun ini, banyak panen yang gagal. Namun, pajak tetap dinaikkan...," sahut orang tua itu lesu.
"Pajak dinaikkan" Siapa yang telah memberi perintah"!" tanya Cempaka Sari dengan wajah berkerut heran. Bergegas gadis itu juga turun dari kudanya.
"Siapa lagi" Tentu saja Kanjeng Gusti Prabu!" sahut orang tua itu, bernada jengkel.
'Tidak mungkin!"
Orang tua itu memandang Cempaka Sari dengan wajah terkejut.
"Nisanak! Apa maksudmu?"
"Eh, tidak. Tidak ada apa-apa. Lalu, bagaimana hasil yang kalian peroleh tadi?" Cempaka Sari berusaha menepis rasa terkejut di hatinya.
"Percuma saja. Gusti Prabu tidak berkenan menerima kami...," sahut orang tua itu, lesu.
"Beliau tidak bersedia menerima kalian?"
"Bukan hanya kami. Tapi, juga rombongan lain. Dan itu berlangsung sejak lama, sampai sekarang ini," jelas orang tua itu.
"Siapa yang melarang kalian menemui beliau?"
"Penjaga gerbang istana."
"Hm...," gumam Cempaka Sari sambil mengangguk.
"Kusarankan, kalau kalian hendak bertemu Gusti Prabu lebih baik urungkan saja niat itu. Akan sia-sia saja...," lanjut orang tua itu, segera melanjutkan perjalanan.
"Aneh! Apa sebenarnya yang telah terjadi" Kenapa Ayah tidak bersedia menerima mereka?" gumam gadis itu begitu orang tua tadi telah jauh. Dia memang seperti tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.
"Apakah mata-mata pamanmu telah menelusup begitu jauh ke tubuh istana, sehingga mempengaruhi orang-orang penting di dalamnya?" tanya Pandan Wangi.
Si Kipas Maut sengaja menanyakan persoalannya langsung kepada Cempaka Sari.
"Entahlah. Aku tidak mengerti persoalan ini...!" sahut Cempaka Sari bingung.
"Sudahlah.... Lebih baik, kita tanyakan pada penjaga gerbang istana, siapa yang menyuruhnya untuk tidak menerima kedatangan rakyat," hibur Pandan Wangi.
Cempaka Sari mengangguk. Kemudian diajaknya Pandan Wangi memasuki gerbang istana. Kedua gadis itu kembali menaiki kuda masing-masing. Sebentar kemudian, kuda-kuda itu telah berjalan perlahan, menuju pintu gerbang istana yang dikelilingi tembok tinggi ini.
"Berhenti!" cegah salah seorang prajurit yang menjaga, sambil memalangkan tombak.
Cempaka Sari langsung memandang tajam pada empat orang prajurit kerajaan yang bertugas mengawasi pintu gerbang istana. Seketika mereka menunduk dan buru-buru membukakan pintu, ketika gadis itu menunjukkan lencana kerajaan. Lencana itu memang menandakan kalau dia adalah keluarga kerajaan.
"Kalian tahu, siapa aku!" sentak Cempaka Sari.
"Ampun Kanjeng Gusti Ayu. Tentu saja kami tahu!" sahut empat prajurit itu serentak.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kalian tidak memperbolehkan rombongan petani itu masuk menghadap Ayahanda"!" tanya Cempaka Sari lagi dengan nada sengit.
"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Penjagaan harus diperketat, sebab para pemberontak mulai melancarkan gerakan secara tak terduga. Mereka sebenarnya bukan petani, tapi para pemberontak yang sedang menyamar untuk mengetahui keadaan istana kerajaan!" sahut salah satu penjaga, tetap menundukkan kepala.
? *** ? Cempaka Sari terdiam, seperti hendak meyakinkan kata-kata penjaga pintu gerbang istana itu.
"Mustahil! Jika mereka pemberontak, kenapa tidak diberitahukan prajurit lain untuk menangkap?"
"Kita tidak bisa menangkap mereka tanpa bukti kuat. Begitulah yang selalu ditetapkan Kanjeng Gusti Prabu," sahut prajurit itu.
"Jika tidak mempunyai bukti, lalu kenapa menuduh mereka pemberontak"!"
"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba terpaksa berbuat seperti itu, sebab kerajaan sedang diancam malapetaka. Maka dalam setiap keadaan, kami di-tuntut untuk waspada dan hati-hati."
Cempaka Sari jadi kesal bukan main. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Jawaban penjaga pintu gerbang itu memang benar, karena memang harus menjalankan tugasnya dengan baik. Hanya saja, gadis itu merasa kalau kecurigaan mereka tidak beralasan.
"Pandan Wangi! Mari kita ke dalam...!" ajak gadis ini langsung menggebah kudanya berlalu dari tempat itu. Pandan Wangi pun bergegas mengikuti.
Begitu sampai di halaman depan istana kerajaan, mereka melompat turun. Kuda mereka segera diberikan pada dua orang pengurus kandang kuda. Dan Cempaka Sari pun segera mengajak Pandan Wangi ke bangunan keputren.
Tak lama mereka berjalan, sebentar saja sudah tiba di depan bangunan yang khusus dimasuki oleh kawan wanita saja. Dari dalam, muncul seorang wanita setengah baya menyambut mereka.
"Tolong sediakan jamuan makan untuk kami berdua!" ujar Cempaka Sari pada wanita setengah baya itu.
"Baik, Kanjeng Gusti Ayu...!"
Tanpa berkata lagi, Cempaka Sari terus mengajak Pandan Wangi ke ruangan pribadinya. Entah, apa yang dirasakan gadis itu. Namun hatinya kelihatan gelisah bercampur kesal.
"Aku tidak tahu, kenapa Ayah bisa berbuat seperti ini!" sungut gadis itu kesal, ketika mereka telah duduk-duduk di lantai bersandarkan ranjang berukir indah.
"Mungkin ada alasan lain yang menyebabkan beliau berbuat begitu...," hibur Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu banyak soal kehidupan rakyat di luar sana, karena jarang bepergian. Tapi apa yang kulihat belakangan ini begitu menyedihkan.
Banyak rakyat Kertaloka yang hidup miskin...," desah gadis itu.
Pandan Wangi membiarkan Cempaka Sari menumpahkan rasa kesalnya beberapa saat. Dengan begitu, dia berharap beban hati yang dipendam gadis itu bisa sedikit berkurang. Dia hanya mendengar seksama sambil memperhatikan Cempaka Sari yang terus mengelus-elus seekor kucing berbulu putih di pangkuannya.
"Bukankah hal ini bisa dibicarakan dengan ayahandamu?" tanya Pandan Wangi, setelah gadis itu terdiam.
"Aku memang hendak menanyakannya pada Ayah!"
"Sebaiknya memang begitu. Namun caranya harus bijaksana dan hati-hari...," saran Pandan Wangi.
"Maksudmu?"
"Bicaralah berdua. Dan, jangan dalam suasana resmi. Kau bisa bicara di kamarmu, di kamar beliau, atau di mana saja yang kira-kira aman."
"Aku justru ingin bicara di muka seluruh pejabat istana, agar Ayah tahu bahwa kebijaksanaannya betul-betul tidak bijaksana dan merugikan rakyat. Beban pajak yang terus bertambah, apakah suatu kebijaksanaan di saat rakyat hidup kesusahan, kelaparan, dan ancaman yang sewaktu-waktu datang dari pemberontak!" sentak gadis itu seperti ingin menumpahkan segala beban batinnya.
"Cempaka, tenanglah. Jangan bersikap begitu. Kau harus bersikap tenang. Dengan begitu, pikiranmu bisa terkendali dan tidak hanyut oleh amarah yang hanya akan menimbulkan kekacauan...," ujar Pandan Wangi.
"Aku bingung menghadapi keadaan ini...," keluh Cempaka Sari lirih, seraya menundukkan kepala.
Pandan Wangi mendekat. Gadis itu bermaksud hendak memeluk Cempaka Sari. Namun belum juga dia bergerak, terdengar ketukan pintu. Cempaka Sari segera bangkit dan membukakan pintu. Tampak seorang wanita setengah baya muncul membawa sebuah baki lebar berisi makanan.
"Apa ini" Kenapa harus piringku dengan piring kawanku dibeda-bedakan"!" tanya Cempaka Sari.
Gadis itu jadi geram karena pelayan menghidangkan makanan dengan piring berbeda. Piring yang digunakan memang biasa dipakai keluarga kerajaan. Sedangkan bagi Pandan Wangi hanya terbuat dari persolen biasa yang diperuntukkan bagi tamu-tamu kurang penting.
"Sudahlah, Cempaka. Aku tidak merasa terhina karena piring ini. Derajat seseorang bukan ditentukan oleh piring. Dia tidak salah...," kata Pandan Wangi, sambil menyuruh pelayan itu untuk cepat berlalu.
Dengan wajah sedikit gugup, pelayan itu buru-buru keluar. Sedangkan Pandan Wangi cepat menutup pintu.
"Aku memang tidak pernah memasukkan kawan ke dalam kamar pribadiku ini...," aku Cempaka Sari.
"Berarti aku yang pertama?"
"Kau adalah kawan istimewaku...."
Senyum Cempaka Sari terhenti ketika tiba-tiba kucing yang tadi dielus-elus tampak seenaknya menyantap makanan yang dihidangkan bagi Pandan Wangi.
"Putih! Astaga! Jangan kurang ajar! Ini bukan untukmu. Ayo, ke sana...!" bentak Cempaka Sari, tangannya cepat mengibas mengusir kucingnya.
Kucing itu terkejut dan melompat, lalu bersembunyi di kolong meja. Wajahnya tampak berkerut, memandang gadis itu dengan sorot mata iba.
"Aduh! Dia memang nakal sekali! Aku tidak pernah mengajak makan orang lain di kamar ini. Dan dia hafal betul dengan piringku. Mungkin piring bagianmu dikira miliknya. Memang, aku sering memberinya makan di kamar ini," jelas Cempaka Sari, segera membersihkan makanan yang menjadi bekas-bekas mulut kucing itu.
"Sudahlah, Cempaka Sari. Dibersihkan sedikit juga tidak mengapa..."
"Ini sungguh keterlaluan! Sudah piringmu dibedakan, lalu makananmu dicuri kucingku. Nah! Karena kau berkeras juga, maka aku pun harus berkeras!"
"Maksudmu?"
"Kau harus makan bagianku. Dan bagianmu menjadi bagianku. Tidak boleh membantah!"
"Mana bisa begitu"!"
"Jangan membantah!" tandas Cempaka Sari, cepat. Langsung disambarnya makanan yang tadi diperuntukkan bagi Pandan Wangi.
"Ayo, kita bersantap!"
Pandan Wangi tidak bisa mengelak. Dan pada saat Cempaka Sari akan menyuap makanan ke mulutnya, mendadak saja Pandan Wangi berpaling. Lalu secepat kilat tangan kirinya menghantam pelan ke pergelangan tangan sahabatnya yang siap masuk mulut
"Cempaka! Jangan makan makanan itu!" cegah Pandan Wangi, berteriak
? *** ? Selanjutnya ke Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 134. Pemberontakan di Kertaloka Bag. 4-6
23. Oktober 2014 um 17:21
4.

Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? Cempaka Sari terkejut setengah mati. Sedangkan makanan yang hendak disuapnya berhamburan ke atas lantai beralaskan permadani hijau. Memang tindakan Pandan Wangi benar-benar mengejutkannya.
"Pandan Wangi, ada apa" Kenapa kau berbuat begitu?" tanya gadis itu, heran.
Tapi si Kipas Maut tidak mempedulikan. Segera dia bangkit berdiri dan melangkah mendekati kolong meja. Setelah berjongkok ditariknya sesuatu dari kolong. Dan ternyata kucing berbulu putih peliharaan Cempaka Sari sudah terbaring lesu. Kelopak matanya nyaris tertutup rapat, dengan napas satu-satu.
"Astaga! Putih" Apa yang terjadi padamu"!" seru Cempaka Sari, langsung bangkit. Gadis itu menghambur hendak memeluk kucing kesayangannya.
"Jangan Cempaka! Bersihkan tanganmu! Ayo cepat!" tahan Pandan Wangi kembali. Langsung dicarinya sesuatu untuk membersihkan telapak tangan sahabatnya yang tadi sempat memegang makanan.
Cempaka Sari semakin bingung saja. Dia tidak tahu, apa yang telah terjadi. Dan, kenapa Pandan Wangi tiba-tiba bersikap aneh"
"Makanan itu beracun. Dan kucingmu telah menjadi korbannya. Ada seseorang yang tidak menyukai kehadiranku. Dan orang itu menginginkan kematianku!" desis Pandan Wangi gusar.
"Kurang ajar! Pasti pelayan itu. Dia sengaja membedakan piring, agar sasarannya tepat padamu. Orang itu pengkhianat. Dan dia akan dihukum mati!" geram Cempaka Sari, hendak beranjak keluar.
'Tahan dulu! Jangan sampai terjadi sesuatu padamu. Kau tidak boleh gegabah!" cegah Pandan Wangi.
"Ini tempatku. Dan, tidak seorang pun kuizinkan berbuat seenaknya pada tamuku!" dengus Cempaka Sari. Dan baru saja dia membuka pintu....
Set! Set! "Awaaas...!"
Pandan Wangi berteriak memperingatkan. Langsung ditubruk sahabatnya itu, sehingga mereka terjerembab. Sekelebatan tadi, si Kipas Maut melihat dua bilah pisau kecil melayang deras ke arah mereka dari pintu yang baru dibuka sedikit oleh Cempaka Sari.
"Cempaka! Kau di sini saja, jangan ke mana-mana! Tutup pintu. Dan jangan dibuka, kalau ada yang mengetuk selain aku!" teriak Pandan Wangi langsung melesat keluar mengejar penyerang gelap tadi.
Tapi baru saja Pandan Wangi tiba di luar pintu kamar, kembali datang serangan menyambarnya. Cepat bagai kilat gadis itu melejit ke atas. Sementara sosok penyerang gelap itu terus berkelebat, ke arah taman keputren. Dan begitu Pandan Wangi mendarat di lantai, langsung dikejarnya sosok tadi, disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.
Pandan Wangi terus melesat. Kembali tubuhnya melenting melewati orang yang mencurigakan itu. Setelah berputaran di udara, kakinya mendarat di depan orang itu.
"Yeaaa!"
Merasa mendapat jalan buntu, orang bertopeng hitam itu langsung mencabut pedangnya. Seketika diserangnya Pandan Wangi dengan ganas.
"Kurang ajar!" dengus Pandan Wangi.
Cepat bagai kilat gadis itu memiringkan tubuhnya. Sehingga. Tebasan itu luput dari sasaran. Tapi orang bertopeng itu seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya kembali menyambar ke arah leher Pandan Wangi. Cepat gadis itu membungkuk, dan langsung melompat ke samping dengan satu sodokan keras lewat kepalan tangannya ke dada orang bertopeng itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang itu tak mampu menghindari. Lalu....
Begkh! "Akh!"
Orang bertopeng itu mengeluh tertahan begitu dadanya telak terhantam pukulan si Kipas Maut. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang menghantam tembok
"Sekarang perlihatkan mukamu! Siapa kau sebenarnya...!" desis Pandan Wangi geram.
Cepat bagai kilat gadis itu melompat hendak melucuti topeng orang itu. Namun sebelum niatnya terlaksana, di luar dugaan orang bertopeng itu menghunus pedang. Dan....
Blesss! "Aaa!"
Tanpa dapat dicegah lagi pedang orang itu menghujam ke perutnya sendiri. Bola matanya tampak membelalak lebar. Dan seketika itu pula, darah merembes keluar dari perutnya yang tertembus pedang.
"Setan!"
Pandan Wangi segera melucuti topeng yang dikenakan orang itu.
"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku"!" hardik si Kipas Maut, begitu di balik topeng itu temyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.
"Aaa..., aaakh...!"
Pemuda itu belum sempat meneruskan kata-katanya, tapi tiba-tiba sebilah pisau berkelebat cepat dan langsung menembus jantung pemuda itu. Tanpa dapat menggelepar lagi, pemuda itu langsung tewas.
Pandan Wangi cepat berbalik ke arah datangnya pisau tadi dan lima orang prajurit kerajaan berdiri tegak di belakangnya.
"Orang seperti dia tidak patut hidup lebih lama...," kata salah seorang prajurit istana itu, mendengus geram. "Bawa mayat orang ini, dan lemparkan ke jurang!"
"Kenapa kalian masuk ke sini...?"
Kelima prajurit istana itu segera membungkuk memberi hormat, ketika tahu-tahu saja Cempaka Sari telah berada di tempat itu.
"Hormat kami, Kanjeng Gusti Ayu...!" ucap prajurit yang tadi memberi perintah untuk membuang mayat.
"Hm.....Kalian belum menjawab pertanyaanku.
Keputren terlarang dimasuki laki-laki. Kenapa kalian begitu cepat berada di sini?" tanya Cempaka Sari curiga.
"Ampun, Kanjeng Gusti Ayu. Hamba mengerti. Namun Kanjeng Gusti Prabu memberi perintah agar di sekeliling keputren dijaga ketat. Beliau mengkhawatirkan keselamatanmu, Kanjeng Gusti Ayu. Dan..., ternyata kekhawatirannya terbukti oleh kemunculan pemuda bertopeng ini. Maaf, kami terlambat datang...," sahut prajurit istana itu.
Setelah berkata begitu, mereka segera berlalu meninggalkan Cempaka Sari yang masih diam mematung dengan wajah kesal. Sedangkan Pandan Wangi tersenyum kecil, langsung membimbingnya kembali ke kamar.
"Kita akan selidiki sampai tuntas...," hibur Pandan Wangi.
Tapi Cempaka Sari mendengus geram.
"Akan kucari semua pengkhianat yang ada dalam istana kerajaan ini!"
'Tentu saja! Bukankah itu yang menjadi keinginanmu menemuiku" Tapi, jangan tunjukkan kecurigaanmu. Sebab, mereka akan semakin berhati-hati karenanya...," ujar Pandan Wangi.
Cempaka Sari hanya mengangguk pelan.
? *** ? Desa Gimus terletak di sebelah tenggara Kadipaten Kadung Gede, yang masih termasuk wilayah Kerajaan Kertaloka. Desa ini sekaligus berbatasan dengan wilayah kerajaan lain, sehingga tidak heran bila suasananya cukup ramai, karena sering dilalui orang yang hendak keluar masuk Kerajaan Kertaloka. Sebagai wilayah perbatasan, penjagaan di berbagai tempat kelihatan cukup ketat. Itu terlihat dari jumlah pasukan kadipaten yang terbilang banyak.
Melihat kemakmuran kadipaten itu membuat Katut Denowo selalu mengincar daerah ini untuk ditaklukkan. Tapi itu pun bukanlah pekerjaan muda. Melalui penasihatnya, Katut Denowo mendapat siasat yang jitu. Maka disusupkannya beberapa orang mata-mata, untuk mencari kelemahan pasukan prajurit.
Setelah memperoleh keterangan lengkap maka pada suatu pagi, pasukan para pemberontak mulai menyerang Desa Gimus, sebagai serangan awal untuk menaklukkan kadipaten.
Tentu saja serangan mendadak ini membuat penduduk Desa Gimus tersentak kaget. Betapa tidak" Lebih dari lima puluh pasukan pemberontak bersenjata lengkap telah mengepung wilayah itu. Bahkan mereka telah membunuh rakyat yang tidak berdosa, serta membakar rumah-rumah penduduk.
Keadaan ini membuat seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang selama ini dipercaya sebagai Kepala Desa Gimus, sibuk menyiapkan pasukannya yang terdiri dari rakyat biasa, ditambah para prajurit penjaga perbatasan. Namun kebanyakan dari mereka tewas sia-sia.
Untung saja, sebelum para pemberontak berhasil menaklukan desa itu, mendadak dari arah timur menyerbu sepasukan berkuda. Dan seketika mereka menghantam para pemberontak dengan sebuah serangan dahsyat.
'Yeaaa!" "Heh"!"
Seorang laki-laki bertubuh besar dengan sebilah golok besar di tangan, terkejut setengah mati. Laki-laki pemimpin pemberontak yang bernama Ki Danang Pura ini begitu geram mendapat serangan yang tak terduga.
"Kurang ajar! Pasukan dari mana mereka"!" bentak Ki Danang Pura geram.
"Ki Danang! Kami tidak tahu dari mana mereka berasal!" sahut seorang anak buahnya.
"Apakah mereka tidak membawa panji kerajaan?"
"Tidak. Malah mereka sama sekali tidak berseragam prajurit. Pakaian mereka sebagaimana layaknya para petani. Namun, kemampuan mereka hebat bukan main. Bahkan pasukan kita banyak yang tewas!" sahut anak buahnya menjelaskan.
"Keparat! Akan kupancung pemimpinnya agar tahu siapa kita!" desis Ki Danang Pura. Langsung kudanya digebah, mencari pemimpin kawanan berkuda yang menyerang pasukannya.
Tak lama Ki Danang Pura telah melihat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun, tengah mengamuk dahsyat dengan pedangnya. Sambil mengendalikan kudanya yang berbulu coklat, pedangnya terus berkelebat, maka dalam waktu singkat sudah setengah pasukan pemberontak yang tewas.
"Bocah Edan! Kau cari mampus rupanya. Lawanlah aku!" seru Ki Danang Pura, langsung melompat dari punggung kudanya. Segera laki-laki itu melompat menyerang pemuda tampan ini dengan golok besar terhunus.
Begitu mendengar bentakan, pemuda itu cepat berbalik. Perhatiannya dialihkan pada lawan barunya. Lalu, dia juga melompat dari punggung kudanya.
"Yeaaa...!"
Ki Danang Pura tampak begitu bernafsu untuk menghabisi pemuda itu secepatnya tanpa mempedulikan kemampuan. Dengan mengerahkan segenap kepandaiannya diharapkan pemuda yang dianggap sebagai pemimpin yang telah mengacau kerjanya ini, akan binasa dalam waktu singkat
Namun serangan Ki Danang Pura tampaknya akan sia-sia saja. Bukan hanya tidak mampu membinasakan pemuda itu dalam waktu singkat, tapi justru dia yang terdesak habis-habisan. Permainan pedang pemuda itu hebat bukan main. Bahkan kelebatan pedangnya mampu mengurung sekujur tubuh Ki Danang Pura yang mulai berkeringat dingin itu.
Trang! Golok besar di tangan Ki Danang Pura langsung nyaris terlepas dari genggaman, begitu memapak serangan pemuda itu. Bahkan tangannya sampai bergetar seperti kesemutan. Tidak sampai di situ saja. Pemuda itu cepat melepaskan tendangan dahsyat yang berisi tenaga dalam tinggi. Buru-buru orang tua itu menunduk, menghindari serangan.
Begitu berhasil menghindari serangan, Ki Danang Pura langsung membabatkan goloknya ke arah perut pemuda itu sambil tetap merundukkan tubuh.
Wuttt! Namun, cepat sekali tubuh pemuda itu mencelat ke samping. Dan pada saat yang sama pedangnya juga berkelebat cepat bagai kilat ke arah perut Begitu cepatnya, sehingga kelebatan pedangnya tak bisa dihindari ?lagi.
Bret! "Aaa...!"
Ki Danang Pura kontan terpekik. Perutnya robek dan isinya terburai keluar, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya. Darah langsung mengucur deras dari sela-sela jari tangan kiri yang mendekap lukanya, begitu mata pedang pemuda itu membabatnya.
Dan ketika tubuhnya terhuyung-huyung, satu tendangan menggeledek kembali mendarat di dadanya.
Des! "Aaakh!"
Ki Danang Pura menjerit tertahan. Dan begitu tubuhnya ambruk mencium tanah, tak ada gerakan lagi. Mati.
"Ki Danang Pura tewas...!" teriak seorang anak buahnya.
Begitu mendengar teriakan, para pemberontak yang lain menjadi terkejut setengah mati. Dengan serentak mereka berbalik hendak melarikan diri. Namun pemuda yang menjadi lawan Ki Danang Pura tidak tinggal diam begitu saja. Bersama kawan-kawannya, dia menghajar para pemberontak hingga tercerai-berai. Sebagian ada yang berhasil melarikan diri dari desa itu. Sementara beberapa orang tidak sempat menyelamatkan diri, binasa di tangan pasukan itu.
Bandar Hantu Malam 1 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Pendekar Pedang Pelangi 5

Cari Blog Ini