Ceritasilat Novel Online

Pemberontakan Di Kertaloka 2

Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka Bagian 2


"Biarkan! Tidak usah dikejar...!" teriak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tiba-tiba menyeruak di antara kawanan pasukan berkuda.
? *** ? Tak ada yang berani membangkang dari perintah itu. Dan kini pasukan berkuda itu berkumpul di hadapan pemuda berbaju rompi putih. Sementara pemuda yang tadi telah membinasakan Ki Danang Pura maju ke depan, lalu membungkuk memberi hormat
"Kanjeng Gusti Prabu, musuh telah berhasil dipukul mundur. Dan pemimpinnya telah kami tewaskan. Kami menerima perintahmu selanjutnya!" kata pemuda itu.
"Kerjamu sangat bagus, Bayu Umbara! Perintahkan anak buahmu untuk menemui kepala desa ini," ujar pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Namun belum pemuda yang bernama Bayu Umbara beranjak melaksanakan perintah, datang berduyun-duyun penduduk desa yang selamat dari amukan para pemberontak. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki setengah baya, yang tak lain dari Kepala Desa Gimus. Begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti laki-laki itu menjura, memberi hormat dengan telapak tangan merapat di depan dada.
"Kisanak.... Aku Ki Dipati Ukur, kepala desa ini. Atas nama semua warga desa, kami mengucapkan beribu terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan. Sehingga, para pemberontak itu dapat dikalahkan...!"
Rangga hanya mengangguk sedikit, sambil mengangkat tangan kanannya. Sementara, senyumnya selalu tak lepas tersungging di bibir.
"Kalau boleh tahu, siapakah kalian ini sebenarnya" Apakah pasukan kerajaan yang didatangkan untuk membantu kami?" tanya Ki Dipati Ukur.
"Kau tidak perlu tahu siapa kami ini, Ki. Yang penting untuk sementara, kau dan warga desamu telah aman. Para pemberontak itu memang semakin ganas saja. Dan jumlah mereka juga amat banyak. Mungkin besok atau nanti, mereka akan kembali dengan jumlah besar. Untuk itu biarlah beberapa anak buahku berada di sini untuk melatih seluruh laki-laki penduduk desa ini dalam ilmu perang. Sehingga, sepeninggal kami kalian semua mampu menjaga diri," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh, Kisanak. Jika kalian pergi meninggalkan kami, mana mungkin kami mampu menahan serangan mereka kembali?" tanya Ki Dipati Ukur dengan wajah cemas.
"Ki, kerajaan kalian terancam bahaya. Sementara, di mana-mana para pemberontak mulai mengacau. Kami berniat membantu kalian. Tapi, bukan berarti harus membantu satu wilayah. Maka, kalian juga harus ikut membantu sekuat daya kemampuan. Untuk itu, perintahkanlah beberapa orang pemuda desa ini untuk meminta bantuan pada prajurit kadipaten. Sehingga kalian cukup mempunyai orang-orang yang berkemampuan tinggi!" ujar Rangga.
Ki Dipati Ukur terdiam kemudian mengangguk lemah.
"Nah, Ki. Kami harus pergi. Terimalah beberapa orang anak buahku. Lalu, kumpulkan seluruh laki-laki di desa ini untuk bergabung bersama mereka untuk berlatih ilmu perang!"
Setelah berkata begitu, Rangga dan prajurit yang dipimpinnya segera menggebah kudanya. Sebentar saja mereka telah berlalu dari tempat ini, meninggalkan debu-debu yang membubung tinggi ke angkasa.
? *** ? Rangga memang sengaja membawa sekitar tiga puluh prajurit Kerajaan Karang Setra. Para prajurit itu dipimpinnya sendiri, dibantu beberapa perwira tangguh memimpin beberapa orang tamtama. Sehingga, pasukannya dapat dibagi menjadi beberapa pasukan kecil. Para prajurit Karang Setra ini memang sengaja tidak memakai seragam kerajaan. Karena, Rangga yang juga Raja Karang Setra tak ingin dituduh telah melanggar wilayah kerajaan lain. Dengan pakaian seperti rakyat biasa, para prajurit akan lebih leluasa memasuki kerajaan lain, tanpa dituduh melakukan pelanggaran wilayah.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga menyebar mata-mata ke segala penjuru Kerajaan Kertaloka. Sehingga bisa didapat keterangan jelas, wilayah mana saja yang menjadi sasaran para pemberontak.
Sebenarnya jumlah mata-mata yang disebar hampir menyamai jumlah pasukan yang dibawa. Kerja mereka berantai sehingga berita lebih cepat diterima oleh Rangga. Dengan demikian memudahkan bagi mereka untuk menyerang para pemberontak itu di tempat wilayah yang akan dikuasai para pemberontak.
Dan kini telah didapat berita kalau Desa Taram Goro yang berada di selatan Kadipaten Kadung Gede ini akan diserbu pemberontak. Maka Pendekar Rajawali Sakti dan pasukannya segera bergerak ke arah selatan untuk menghadapi pasukan pemberontak yang akan menguasai desa itu.
Dan memang, apa yang dilaporkan mata-mata itu benar adanya. Begitu mereka tiba di sana, keadaan desa itu serupa dengan apa yang dialami Desa Gimus.
"Bagi dua daerah penyerangan! Satu ke arah kiri dan satu lagi dari belakang!" teriak Rangga, memberi perintah.
"Siap, Kanjeng Gusti Prabu!" sahut keempat prajurit yang memimpin pasukan kecil dan terdiri dari enam prajurit.
Serentak para prajurit bergerak bersamaan. Dua belas orang menggempur dari arah kiri. Sementara yang lain berputar lewat jalan samping, untuk mengejutkan pasukan pemberontak dari belakang.
Rangga sendiri maju paling depan langsung mengobrak-abrik pasukan pemberontak. Tindakan ini membuat orang-orang itu terkejut. Bahkan beberapa orang tewas terjungkal diiringi jeritan panjang.
"Kurang ajar! Siapa orang yang mencari mati, hingga berani-beraninya mengacau kita"!" dengus kepala pasukan pemberontak yang berjumlah sekitar tiga puluh lima orang. Langsung kudanya digebah, menghampiri Rangga, diiringi sepuluh orang pasukannya.
Mereka cepat bagai kilat bergerak, mengurung Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan menggenggam sebilah pedang yang dipinjamnya dari seorang. prajurit, Pendekar Rajawali Sakti cepat memapak serangan para pemberontak.
Trang! 'Yeaaa!" Tombak di tangan ketua pemberontak itu berkelebat cepat, menyambar leher dan dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan bagai kilat, pemuda itu melompat dari punggung kuda hitamnya sambil mengibaskan pedang. Mendapat serangan kilat ini, ketua pemberontak itu cepat menangkis. Dan begitu Rangga mendarat di tanah, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada pemberontak.
"Aaakh...!"
Ketua pemberontak itu kontan terjajar beberapa langkah. Dan belum juga sempat menyadari apa yang terjadi, pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat. Sehingga orang itu tak bisa menghindarinya. Dan....
Brettt! "Aaa...!"
Kepala pasukan pemberontak itu langsung terjungkal ke tanah, dan tewas dengan perut robek.
"Kurang ajar! Serang dia...!" teriak salah seorang pemberontak itu garang.
"Aaa...!"
Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengar teriakan gegap gempita yang disusul tewasnya beberapa orang pasukan pemberontak. Dua belas pasukan berkuda telah menghajar mereka dengan ganas. Orang-orang itu terkejut. Dan dengan kemarahan meluap, mereka mengalihkan perhatian untuk menyerang kedua belas penunggang kuda yang datang dari belakang. Tapi baru saja mereka menyusun kekuatan, sekonyong-konyong sepasukan lain menyerang dari samping.
Pasukan pemberontak kembali tersentak kaget. Dan dalam keadaan tidak siap, banyak di antara mereka yang terbunuh. Hal itu membuat pertahanan mereka kacau. Dengan kalang kabut mereka menghadapi gempuran yang tiba-tiba. Kini dengan meninggalkan kawan-kawannya yang terluka dan terbunuh, sisa-sisa pasukan pemberontak itu melarikan diri.
"Ayo, kita kejar mereka...!" teriak Rangga.
Sebelumnya, Pendekar Rajawali Sakti telah meninggalkan satu pasukan kecil di desa ini, untuk melakukan apa yang telah dilakukan di Desa Gimus. Yaitu, menghimpun kekuatan yang terdiri dari penduduk desa ini untuk diberi pelajaran ilmu perang.
? *** ? 5 ? ? Kali ini wajah Katut Denowo tampak garang mendengar laporan yang diberikan anak buahnya. Sebelumnya, tidak pernah dia semarah ini. Buah dalam genggamannya yang siap dikunyah, langsung dilemparkannya ke dinding sampai hancur berantakan. Kemudian, dia bangkit berdiri dan menuding garang.
"Kurang ajar! Apa yang bisa kalian lakukan, heh"! Kalian katakan, jumlah pasukan itu kecil. Tapi kenapa mampu mengalahkan jumlah kalian yang lebih besar!" hardik Katut Denowo.
Beberapa orang anak buahnya yang bersimpuh di atas permadani tebal, hanya diam sambil menundukkan kepala. Keheningan kini menjalari semua orang yang hadir dalam ruangan itu.
"Pasukan dari mana mereka" Apakah pasukan kerajaan"!" tanya Katut Denowo membentak.
"Kami tidak tahu, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Tolol! Apakah kalian tidak bisa melihat tanda-tanda yang dibawa, atau seragam yang dikenakan"!"
"Mereka tidak membawa tanda apa-apa. Juga tidak memakai seragam. Seperti kawanan petani, atau barangkali para perampok...."
"Dasar tolol! Mana mungkin mereka kawanan perampok. Aku telah memerintahkan Jambuka Ireng kawanan perampok yang kini menguasai Desa Kampar, untuk tidak mengganggu prajuritku. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu!"
Anak buah Katut Denowo yang bersimpuh di depan, diam tidak menjawab. Mereka semakin dalam menundukkan kepala.
Katut Denowo menghela napas sesak. Wajahnya tampak semakin geram bercampur amarah memuncak
"Indra Paksi! Apakah sudah kau periksa, siapa yang memimpin pasukan itu sebenarnya?" tanya Katut Denowo pada penasihatnya.
"Maaf, Kakang Katut Denowo. Aku belum mengetahui pasukan dari mana yang telah menghajar pasukan kita. Tapi segera akan kuselidiki siapa sebenarnya mereka," sahut Indra Paksi.
"Maaf, Gusti Prabu Katut Denowo. Bolehkah aku berbicara...?" Terdengar suara menyela, membuat Katut Denowo berpaling ke arah datangnya suara.
"Hm.... Apa yang hendak kau katakan, Singkil Wadaya" Katakanlah segera!"
"Menurutku, kemungkinan besar pasukan itu dipimpin Pendekar Rajawali Sakti...," sahut orang yang ternyata Ki Singkil Wadaya.
"Apakah menurutmu Suryalaga meminjamkan prajuritnya untuk memerangi kita dengan cara menyamar?"
Ki Singkil Wadaya tersenyum seraya menggeleng.
"Lalu, apa maksudmu?" desak Katut Denowo.
"Menurut yang kudengar, Pendekar Rajawali Sakti itu adalah seorang raja..."
"Seorang raja" Dari kerajaan mana?"
"Dia adalah Raja Karang Setra," kali ini Indra Paksi yang menjawab.
"Hm... Berarti Karang Setra telah melanggar batas wilayah Kerajaan Kertaloka! Kurang ajar! Mereka harus diberi pelajaran pahit!" desis Katut Denowo garang.
"Maaf, Kakang Katut Denowo. Kita tidak punya bukti soal itu. Mereka tidak berseragam prajurit. Jadi, tidak bisa menuduh begitu saja. Kalau kita menyerang Karang Setra, maka ada dua hal yang akan kita peroleh. Pertama, harus menghadapi pasukan besar yang terlatih, sebab Karang Setra saat ini adalah kerajaan terkuat. Yang kedua, Karang Setra memiliki banyak sahabat di sekelilingnya. Dan bila diserang, maka kerajaan lain di sekelilingnya pasti akan membantu. Maka kemungkinan menang bagi kita sangat tipis. Bahkan bisa jadi kehancuran bagi kita...," jelas Indra Paksi mengemukakan pendapatnya.
Katut Denowo tampak kesal sekali mendengar penjelasan itu. Namun demikian, dia bisa mengerti meski harus memendam perasaan geram.
"Kau katakan bisa menahan Pendekar Rajawali Sakti. Nah! Sekarang, menjadi urusanmu! Kuperintahkan padamu untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Katut Denowo, dengan wajah gusar.
'Tentu saja, Kakang!" sahut Indra Paksi sambil tersenyum kecil.
"Indra Paksi! Bagaimana caramu membinasakan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Singkil Wadaya, bernada sinis.
"Itu urusanku!" sahut Indra Paksi enteng.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring memenuhi ruangan itu. Tawa itu berasal dari seorang wanita kurus berusia lima puluh tahun. Sejak tadi, dia memang diam saja mendengar pembicaraan itu. Wanita tua itu memiliki sejumlah gelang yang berderet di kedua lengan dan pergelangan kedua kakinya. Sehingga ketika kedua tangannya bergerak-gerak, suara gemerincing gelangnya terdengar hampir sama kuat dengan tawanya.
"Hi hi hi...! Kenapa repot-repot mengurusi Pendekar Rajawali Sakti" Serahkan bocah ingusan itu padaku. Maka segalanya akan menjadi beres!" kata wanita tua itu.
"Nyi Kincring! Kuserahkan pemuda itu menjadi urusanmu, setelah Indra Paksi mencobanya!" ujar Katut Denowo.
"Hi hi hi...! Kenapa harus berlama-lama segala?" tanya wanita yang bernama Nyi Kincring, jumawa.
Katut Denowo bukannya tidak mengerti. Dia tahu, wanita ini memiliki kesaktian hebat yang tidak bisa diragukan iagi. Dan semua tokoh persilatan yang dikumpulkannya sekarang ini, merasa sungkan kalau harus berbantahan dengannya. Tapi selama ini, dia merasa yakin kalau Indra Paksi jarang gagal dalam menangani tugasnya. Entah bagaimana caranya dia akan membinasakan si Pendekar Rajawali Sakti. Namun, Katut Denowo terus memberi kesempatan padanya.
"Begitu Indra Paksi gagal, Maka Nyi Kincring boleh langsung mengambil alih tugasnya. Inilah keputusanku!" tandas Katut Denowo.
"Hi hi hi...! Kalau Kanjeng Gusti Prabu telah menetapkan seperti itu, maka aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mudah-mudahan Indra Paksi bisa menyelesaikan tugasnya. Sebab kalau tidak, maka kepala bocah ingusan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti akan menggelinding di sepanjang wilayah Kerajaan Kertaloka! Hi hi hi...!" seru wanita tua itu seraya tertawa nyaring.
? *** ? Wajah Cempaka Sari tampak gelisah. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya. Namun, Pandan Wangi tersenyum berusaha menepis kecemasan Cempaka Sari.
"Kau yakin, Pandan...?"
"Kau meragukan kemampuanku?"
'Tapi, istana dijaga ketat. Dan kau bisa celaka kalau ketahuan."
"Maka doakanlah. Mudah-mudahan saja aku selamat"
Cempaka Sari cepat mengangguk.
'Tapi, aku tetap saja cemas...."
Pandan Wangi kembali tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Kau telah bicara dengan Ayahanda. Dan beliau terkejut oleh kenaikan pajak yang semakin cepat Kau katakan pula kalau hal itu di luar sepengetahuannya. Kebijaksanaannya selalu dijalankan Patih Narasoma. Maka, orang itu patut dicurigai. Apa sebabnya dia berbuat seperti itu dan dengan dasar apa?"
Cempaka Sari terdiam.
"Sudahlah ... Jangan terlalu banyak dipikirkan. Kita harus mencari tahu, siapa saja di dalam istana ini yang berkomplot menggulingkan kekuasaan ayahmu. Kau telah menanyakan pelayan yang membawa makanan pada kita. Namun, dia sama sekali tidak tahu-menahu soal racun dalam makanan. Mungkin dia benar, kalau ada orang lain yang memperalatnya. Tapi mungkin juga dia berdusta. Kita harus tetap waspada. Nah, aku pergi dulu...," jelas Pandan Wangi.
Begitu selesai dengan kata-katanya, si Kipas Maut langsung melesat ke atas, memasuki lubang wuwungan kamar untuk menuju ke luar. Dia memang berniat mencari keterangan tentang semua yang terjadi di kerajaan ini. Wajahnya kini ditutupi topeng hitam. Begitu juga sekujur tubuhnya yang memakai pakaian hitam pula. Di luar terlihat gelap. Malam belum lagi terlalu larut. Penjagaan berlangsung terus-menerus di setiap halaman istana kerajaan. Begitu menginjakkan kakinya di atap, Pandan Wangi berkelebat cepat, dan sesaat hilang dari pandangan.
Si Kipas Maut terus berkelebat dari satu atap ke atap lain. Pandangannya dipasang setajam mungkin, mengawasi setiap prajurit istana yang sedang berjaga. Lalu ketika melihat suasana telah aman, gadis itu melesat ke bangunan bertingkat tiga yang terletak di samping bangunan utama. Di situlah Patih Narasoma tinggal!
"Hup!"
Gadis itu melompat ringan ke serambi samping bangunan yang paling atas. Menurut Cempaka Sari, Patih Narasoma tinggal di tingkat ini. Tubuhnya terus melesat ke atas, dan hinggap di atap sebuah kamar. Lalu dibukanya sebuah genteng.
Di dalam ruangan terlihat seorang laki-laki berusia empat puluh tahun berpakaian bagus. Dia duduk mengelilingi sebuah meja. Di samping kiri dan kanan, nampak dua orang laki-laki berwajah kasar. Sedangkan di depannya, terlihat seorang pemuda berpakaian bagus. Tadi, Cempaka Sari sempat memperkenalkan pemuda itu, yang tak lain dari Pangeran Andang Jaya. Sedangkan orang tua berpakaian bagus itu jelas Patih Narasoma. Namun keempat laki-laki yang lain, sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dari cara berpakaian dan senjata yang dikenakan, bisa diduga kalau mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. Entah apa yang dikenakan di tempat ini. Paling tidak, kehadirannya adalah atas undangan Patih Narasoma.
"Kurang ajar! Jadi, Pendekar Rajawali Sakti telah mengacaukan pasukan kita"!" desis Patih Narasoma, dengan wajah geram. Kepalan tangannya dipukulkan ke telapak tangan yang satunya.
"Begitulah yang kami dengar. Indra Paksi yang akan mengurusnya. Dan kalau dia gagal, maka Nyi Kincring yang akan mengatasi pemuda itu," jelas salah seorang tamunya.
"Indra Paksi" Apa yang bisa dilakukannya" Huh! Dia hanya cari perhatian saja!" dengus Patih Narasoma.
"Katanya, dia punya cara untuk mengatasi pemuda ini...," jelas tamunya itu.
"Kami juga membawa pesan yang lain, Gusti Patih...."
"Pesan apa?"
Orang itu tidak langsung menjawab. Malah di-perhatikannya keadaan sekeliling, seraya menajamkan pendengaran.
"Apakah tempat ini aman?"
"Jambak Situs! Kau tidak perlu meragukannya! Setengah dari prajurit kerajaan berada di tanganku!" sahut Patih Narasoma, memberi jaminan.
"Bagaimana dengan Panglima Panji Dharmala?"
"Jangan pedulikan! Dia terlalu setia pada si Suryalaga. Tapi kedua kaki tangannya telah berada dalam genggaman kita!"
"Hm, bagus! Kerjamu sangat bagus, Gusti Patih!" puji Jambak Situs.
"Nah! Sekarang katakan, pesan apa lagi yang kau bawa dari Kanjeng Gusti Prabu Katut Denowo?"
"Sehubungan ulah si Pendekar Rajawali Sakti, maka beliau menginginkan agar rencana dipercepat. Sebelum fajar, beliau menginginkan agar kerajaan ini harus jatuh. Untuk itulah kami berada di sini, membawa Kebo Ungu dan Singkil Wadaya guna membantu gerakan kita," jelas Jambak Situs.
"Baiklah kalau hal itu yang diinginkannya. Maka malam ini juga, semua pasukan akan disiagakan!" sahut Patih Narasoma.
Laki-laki itu segera berpaling pada pemuda di depannya sambil tersenyum kecil.
"Bagaimana dengan kawan si Cempaka Sari, Kanjeng Pangeran?"
"Seperti yang Paman lihat sendiri, anak buahku telah gagal membunuhnya. Dia akan menjadi duri di dalam daging...," sahut Pangeran Andang Jaya, mengeluh pelan.
Patih Narasoma tersenyum.
"He he he...! Tidak apa kalau kau tidak bisa menjalankan tugasmu dengan baik. Serahkan saja urusan gadis itu pada Paman. Besok sebelum fajar, dia akan terima kematiannya seperti yang lain."
'Tapi, Paman Patih. Apakah..., apakah kau akan membunuh ayah dan ibuku juga...?"
"He he he...! Jangan khawatir, Pangeran. Beliau akan selamat, asal tidak berbuat macam-macam."
'Tapi...."
"Sudahlah. Tak usah dikhawatirkan. Akan kujamin keselamatan mereka. Dan setelah semua ini selesai, akan segera kukirim utusan untuk melamar putri dari negeri Tiongkok yang kau inginkan itu! Ha ha ha...!"
Pangeran Andang Jaya tersenyum seraya mengangkat guci berisi arak di depannya.
"Mari kita minum untuk kejayaan bersama!"
"Mari...!" sambut yang lain seraya menenggak isi guci masing-masing.
? *** ? Malam semakin bertambah pekat. Dan di sekitar keputren terlihat sepi. Beberapa prajurit yang tadi berjaga, mendadak saja meninggalkan tempatnya.
Bukan hanya di sekitar keputren saja yang terlihat sepi. Namun juga di sekitar bangunan utama juga terlihat senyap. Hanya terlihat beberapa orang prajurit saja yang berjaga di setiap pintu masuk.
Malam terus bergulir. Dan dari kejauhan, terdengar sayup-sayup ayam jantan berkokok. Tampak beberapa bayangan mengendap-endap memasuki keputren yang biasa dijaga ketat. Dan pada saat yang bersamaan, lebih dari dua puluh orang melangkah pelan mendekati bangunan utama.
Set! Mendadak berkelebat beberapa batang anak panah ke arah prajurit penjaga. Dan...
Crab! "Aaa!"
Dua batang anak panah langsung menancap tepat di jantung dua orang prajurit yang berjaga di pintu utama. Sementara, prajurit-prajurit lain mendapat bagian yang sama. Saat itu juga berlompatan beberapa bayangan yang tadi mengendap-endap. Mereka memasuki pintu dengan mendobrak, lalu disertai teriakan lantang menyerbu ke dalam.
"Seraaang!"
"Heaaa!"
Namun bersamaan dengan itu, terdengar teriakan lain. Ternyata puluhan prajurit penjaga langsung menyambut serangan itu dari dalam dengan gencar. Beberapa orang yang tadi menyerang jadi terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika datang serangan mendadak dari arah belakang. Obor-obor tampak mulai menyala hampir bersamaan dan mengurung dari segala penjuru. Kini orang-orang yang tadi mengendap-endap terjepit di tengah-tengah.
"Hajar mereka...!"
Terdengar teriakan berkumandang yang dikeluarkan seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun lebih. Tangan kanannya mengangkat sebilah pedang sebagai isyarat. Dan dia adalah Panglima Panji Dharmala.
Set! Set! Seketika datang serbuan panah yang memang telah disiapkan prajurit penjaga.
Crab! Crab! "Aaa...!"
Puluhan batang anak panah kontan menghajar orang-orang yang tengah terkepung. Mereka berlarian ke sana kemari dengan kalang kabut. Namun begitu, yang lain berusaha melawan. Melihat keberanian ini, orang-orang yang tadi nyalinya mulai ciut kembali bangkit untuk mengadakan perlawanan.
"Yeaaat!"
Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Jeritan panjang dan tubuh-tubuh bersimbah darah mulai mewarnai pagi yang masih gelap.
Di salah satu pojok pertempuran, terlihat empat orang mengamuk hebat, sehingga banyak menewaskan prajurit kerajaan. Tak lama, sesosok tubuh ramping langsung berkelebat ke arah empat orang itu.
Trak! Wuuut! "Heh"!"
Dua orang dari mereka terkejut ketika senjata masing-masing ditangkis sosok tubuh ramping yang tidak lain dari Pandan Wangi.
"Sial! Rupanya kau perempuan brengsek itu, heh"!" geram orang bertubuh besar dan berkulit hitam. Senjatanya yang berupa tombak diayunkan.
"Hup!"
Pandan Wangi melejit ke atas, menghindari serangan.
"Kalian mencariku di keputren, bukan" Tapi yang kalian temukan di sana hanya bantal-bantal berselimut. Rencana busuk kalian tidak ada artinya. Dan hari ini, para pemberontak busuk seperti kalian akan mendapat hukuman setimpal!" kata Pandan Wangi, sinis.
"Kurang ajar! Kau telah tahu rencana kami"!" hardik seorang lagi.
Orang itu bertubuh pendek dengan kepala sedikit botak. Senjata andalannya yang berupa rantai besi panjang dan berujung runcing, melesat sambil meliuk-liuk menyambar Pandan Wangi.
Srak! Trak! Pandan Wangi segera mencabut kipas di pinggang. Langsung ditangkisnya senjata laki-laki itu. Tubuhnya sendiri mencelat ke samping sambil berputar dua kali untuk menghindari serangan tombak lawan yang lain.
"Hm.... Rencana busuk kalian akan terbongkar hari ini!" dengus si Kipas Maut.
"Huh! Kau kira semudah itu, Gadis Liar"!
Meski yang lainnya binasa, tapi kau akan segera menyusul di tangan Kebo Ungu!" desis laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu yang mengaku sebagai Kebo Ungu.
"Bagus! Aku ingin lihat, sampai di mana kemampuan para pemberontak seperti kalian!" sahut Pandan Wangi.
Bisa jadi Kebo Ungu memiliki kemampuan ilmu olah kanuragan yang hebat. Namun pengalamannya dalam bertarung agaknya masih kurang. Dia tak begitu banyak mengenal tokoh persilatan. Bahkan cenderung menganggap dirinya paling hebat. Namun saat Pandan Wangi mulai mendesaknya, Kebo Ungu kalang kabut sendiri. Masih untung, kawannya yang tidak lain dari Ki Singkil Wadaya cukup merepotkan gadis itu.
"Sial!"
Gadis itu memaki geram. Kipasnya nyaris menyambar Kebo Ungu yang sudah kalang kabut menyelamatkan diri. Namun, ujung senjata Ki Singkil Wadaya cepat meliuk menyambar perutnya, seperti mulut seekor ular. Terpaksa dia harus menangkis serangan itu lebih dulu.
"Hm.... Aku semakin yakin kalau kau adalah si Kipas Maut. Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa bertarung denganmu," kata Ki Singkil Wadaya dengan nada merendah.
Pujian itu mungkin akan membuat lawan besar kepala dan akhirnya akan menganggap enteng. Tapi, Pandan Wangi sama sekali tidak menghiraukannya. Dia sedang berpikir keras, bagaimana cara menalukkan kedua lawannya. Lalu setelah mendapat keputusan, dia segera melompat tinggi. Lalu diserangnya Ki Singkil Wadaya dengan gencar.
"Yeaaa!"
Kipas Mautnya terus menangkis, dan cepat balas menyerang. Untuk menghadapi Kebo Ungu, Pandan Wangi hanya mengelak. Dan perhatian serangannya dipusatkan pada Ki Singkil Wadaya.
"Heaaa!"
Trak! Wuuut! Ujung rantai Ki Singkil Wadaya menyambar ke arah pinggang. Tapi cepat bagai kilat gadis itu mengibaskan senjata kipas di tangan. Lalu kaki kanannya menendang ke arah dada. Ki Singkil Wadaya terpaksa melompat ke belakang. Namun, ujung kipas Pandan Wangi telah mencelat mengejar lehernya. Untung saja pada saat itu juga Kebo Ungu mengibaskan tombaknya ke arah gadis itu.
"Yaaat!"????
*** ? 6 ? ? Cepat sekali Pandan Wangi membungkuk, kemudian bergerak ke samping. Pada saat yang bersamaan, kipasnya berkelebat ke perut Kebo Ungu.
Bret! "Aaakh!"
Laki-laki bertubuh besar dan berkulit hitam itu terpekik keras. Tubuhnya terjungkal ke tanah bermandikan darah dengan perut robek.
Pandan Wangi segera tahu kalau pertahanan Kebo Ungu sangat buruk. Dia terlalu bernafsu menyerang tanpa menghiraukan serangan balik yang tiba-tiba. Pandan Wangi memang sengaja mencecar Ki Singkil Wadaya, dan merencanakan untuk mengincar kelengahan Kebo Ungu. Maka ketika kesempatan itu tiba, tanpa membuang-buang waktu lagi dibabatnya perut Kebo Ungu.
"Kurang ajar! Kau harus membayar kematiannya, Gadis Liar!" desis Ki Singkil Wadaya geram.
"Huh! Kalau mampu, cepat lakukanlah!" balas Pandan Wangi garang.
Kali ini, si Kipas Maut tidak terlalu kerepotan untuk memapak serangan Ki Singkil Wadaya. Meski senjata laki-laki bertubuh pendek itu meliuk-liuk menyambar, tapi gesit sekali gadis itu mengelak.
Bahkan sesekali menangkis dengan Kipas Mautnya.
"Hiaaat!"
Bet! Ki Singkil Wadaya melompat sambil berputaran. Begitu meluruk, kaki kirinya dihantamkan ke arah pinggang Pandan Wangi. Cepat bagai kilat gadis itu menangkis dengan kipasnya. Tentu saja Ki Singkil Wadaya tak ingin kehilangan kakinya. Cepat kedua kakinya ditekuk sambil berjumpalitan ke belakang. Sementara ujung rantainya menyambar deras ke arah dada Pandan Wangi.
"Hup!"
Gadis itu mencelat ke atas. Kemudian, tubuhnya menukik deras sambil menghunuskan ujung kipasnya.
Trak! Trak! Wusss! Bret! Senjata Ki Singkil Wadaya dihantam Pandan Wangi dengan kipasnya, yang kemudian menyambar ke arah leher. Ki Singkil Wadaya terkejut. Laki-laki itu berusaha menghindar ke belakang. Namun bersamaan itu, tubuh Pandan Wangi mencelat deras. Langsung kipasnya disabetkan ke arah perut laki-laki itu.
Bret! "Aaa!"
Orang tua bertubuh pendek itu kontan terpekik nyaring, begitu tersambar kipas Pandan Wangi di perutnya. Begitu ambruk di tanah, dia tewas bersimbah darah. Pandan Wangi mendengus sambil memandang ke sekeliling. Lalu, dia kembali mengamuk hebat menghajar pihak pemberontak yang dipimpin langsung Patih Narasoma.
Pertempuran berlangsung singkat. Panglima Panji Dharmala berhasil mengatasi dua pentolan pemberontak. Para prajurit kerajaan yang ikut dalam pemberontakan juga menyerah, digiring ke ruang tahanan. Sementara prajurit kerajaan yang masih setia pada Prabu Suryalaga bersorak-sorak menyambut kemenangan.
Sementara itu Cempaka Sari berlari-lari kecil menghampiri Pandan Wangi. Kemudian dipeluknya erat-erat sahabatnya itu.
'Terima kasih, Sahabatku! Terima kasih...! Aku tidak tahu harus bagaimana membalas budi baikmu. Kalau saja kau tidak lekas-lekas memberitahu hal ini, maka tidak tahu apa yang bakal terjadi pada kami semua...."
Pandan Wangi hanya tersenyum-senyum ketika gadis itu membawanya menghadap Prabu Suryalaga. Laki-laki tua itu berdiri menyambut di ambang pintu bersama Panglima Panji Dharmala.
"Pandan Wangi! Seluruh rakyat Kerajaan Kertaloka dan aku sendiri, mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas pertolonganmu," ucap sang Prabu.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba merasa senang bisa ikut membantu menumpas para pemberontak.
Tapi ini baru sebagian kecil. Sebab menurut hamba yang lainnya akan segera menyusul...."
"Ya! Aku mengerti. Semua pasukan kerajaan akan disiapkan untuk menyambut serangan para pemberontak lainnya."
'Pasukan Kanjeng Gusti Prabu telah berkurang banyak. Dan yang tersisa amat sedikit. Sedangkan kita tidak tahu, bagaimana kekuatan pasukan pemberontak lainnya...."
Sang Prabu terdiam beberapa saat. Sebelum menjebloskan Patih Narasoma dan yang lain ke dalam penjara, Panglima Panji Dharmala sempat menanyai soal jumlah pasukan pemberontak lainnya. Sehingga, bisa disadari bila pasukan pemberontak menyerbu ke kotaraja ini, maka sulit bagi pasukan kerajaan untuk mempertahankan diri. Karena, jumlah pemberontak cukup banyak.
"Pandan Wangi, apakah Kakang Rangga...."
"Mudah-mudahan dia cepat tiba di sini bersama pasukannya," sahut Pandan Wangi, cepat memotong pembicaraan Cempaka Sari yang kelihatan sungkan.
'Pasukan" Pasukan dari mana?" tanya Prabu Suryalaga heran.
Cempaka Sari lantas menceritakan pertemuan serta pembicaraannya dengan Pandan Wangi dan Rangga. Juga bantuan yang akan diberikan pasukan Karang Setra kepada Kerajaan Kertaloka.
"Jadi..., ah! Semestinya aku merasa malu karena tidak menghormatimu...," kata Prabu Suryalaga ketika Cempaka Sari menceritakan kalau Pandan Wangi adalah kekasih Raja Karang Setra.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti menggebah kuda hitamnya perlahan-lahan menuju kotaraja. Untuk tiba di sana, akan memakan waktu setengah harian. Namun, Rangga tidak ingin beristirahat. Padahal, saat ini telah lewat tengah malam. Pikirannya gelisah tidak menentu. Dia mengkhawatirkan keadaan Pandan Wangi di Istana Kerajaan Kertaloka. Keadaan di sana tidak aman. Dan entah, apa yang akan terjadi. Mungkin para pengkhianat yang berpihak pada Katut Denowo mencurigainya. Lalu, berupaya untuk melenyapkannya. Atau mungkin juga Pandan Wangi dan Cempaka Sari tidak sampai di istana kerajaan, karena mendapat hambatan di tengah jalanan.
"Hhh...!" Rangga menghela napas panjang.
Langkah Dewa Bayu membawanya ke sebuah kampung kecil. Tempat ini berada dalam wilayah Kadipaten Pakasan, agak ke sebelah utara. Dari sini, setelah menyeberangi sebuah hutan kecil maka akan tiba di pinggiran kotaraja.
"Lebih baik aku beristirahat barang sejenak...," desah Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat beberapa penduduk telah bangun. Bahkan satu atau dua orang telah duduk-duduk di beranda depan rumahnya.
Pemuda itu hendak memasuki sebuah rumah. Namun saat itu terdengar derap langkah kaki kuda dari belakang. Dengan sigap, Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Tampak penunggang kuda itu tersungkur sambil mengeluh kesakitan. Rangga buru-buru menghampiri, untuk melihat keadaan orang yang bersimbah darah itu.
"Nisanak! Astaga! Apa yang terjadi padamu..."!" seru Rangga kaget seraya memapah tubuh wanita itu.
"Aku..., aku diserang ka... kawanan pemberontak! Dan... oh, tolong...," suara wanita itu terdengar tersendat-sendat.
Rangga segera membopong tubuh wanita itu. Dia bermaksud membawanya ke dalam rumah salah seorang penduduk yang saat ini tengah berdiri dan langsung berlari-lari kecil menghampiri.
"Astaga! Apa yang telah terjadi..."!"
"Kisanak! Bolehkah menumpang di rumahmu" Wanita ini terluka parah"!" kata Rangga.
"Oh, silakan! Silakan...!" sahut orang itu seraya mengajak mereka ke dalam.
Namun, mendadak saja....
Crab! Des! "Aaakh!"
Rangga mengeluh tertahan. Dan seketika tubuhnya terlempar sampai berguling-gulingan. Begitu bangkit di tanah, Rangga terkesiap kaget. Tangan kanannya yang mendekap perut di bagian kiri tampak mengucurkan darah. Dan dadanya terasa nyeri akibat hantaman pukulan yang keras bukan main. Sementara wanita yang tadi dibopongnya mencelat ringan dan berdiri tegak sambil menyeringai lebar. Tangan kanannya menggenggam sebilah belati yang masih berlumur darah.
"Keparat! Siapa kau..."!" bentak Pendekar Rajawali Sakti geram seraya berusaha berdiri. Langsung diberikannya beberapa totokan di bagian sekitar lukanya.
"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Ajalmu sebentar lagi akan tiba. Sayang, orang segagah sepertimu harus mati karena perbuatamu yang sok pahlawan...," sahut wanita berambut panjang itu seraya tertawa nyaring.
Orang desa yang bermaksud hendak menolong jadi terkejut. Dan dia buru-buru masuk ke dalam rumahnya, langsung menutup pintu. Wajahnya tampak terkejut, sekaligus ketakutan. Dari lubang di sela-sela dinding rumahnya, dia mengintip apa yang terjadi selanjutnya.
"Apa maksudmu"!" sentak Rangga.
"Maksudku, kalau saja kau berada di pihak kami, maka sudah tentu aku tidak akan membiarkanmu mati secara amat menyedihkan...," sahut wanita itu.
"Kurang ajar! Jadi kau dari pihak pemberontak?" sentak Rangga.
"Hi hi hi...! Ternyata kau telah semakin pintar.
Nah! Sekarang, tidak usah banyak bicara lagi. Katakan saja satu keinginanmu, sebelum kau mati di tanganku!"


Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga menyeringai menahan sakit pada lukanya.
'Tidak semudah itu kau bisa membunuhku!" kata Rangga dingin.
"Begitukah menurutmu" Kita lihat sekarang," sahut wanita itu enteng.
Tiba-tiba saja, wanita itu melompat ringan. Lalu disambarnya Pendekar Rajawali Sakti sambil menghantam lewat satu tendangan menggeledek.
"Yaaa...!"
"Hup!"
Cepat bagai kilat Rangga bergerak ke kiri. Sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Dan Pendekar Rajawali Sakti terus menundukkan kepala, ketika wanita itu melakukan serangan berikut lewat tendangan kaki kiri. Begitu kedua tendangannya dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti, wanita itu mendengus geram. Lalu dikirimkannya sodokan keras ke arah dada. Rangga cepat melompat ke belakang, namun wanita itu mengejarnya disertai lemparan dua bilah pisau ke arah dada dan perut.
"Hiiih!"
Pendekar Rajawali Sakti terpaksa menjatuhkan diri ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga kedua pisau itu luput dari sasaran. Namun baru saja dia bangkit berdiri, wanita itu telah mengirim serangan susulan lewat dua bilah pisau yang meluncur deras ke arah tengkuk dan punggung kiri.
Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru berkilauan. Begitu tercabut, pedang itu langsung dikibaskan ke arah pisau-pisau yang meluncur ke arahnya.
Sring! Tras! Kelebatan pedang pusaka di tangan Pendekar Rajawali Sakti kontan membabat dua bilah pisau hingga hancur berantakan. Kemudian tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat, menghadang tubuh wanita itu.
Wanita itu jadi terkejut. Bukan saja karena batang pedang Pendekar Rajawali Sakti yang bersinar kebiru-biruan di malam gelap menjelang subuh ini, tapi juga karena Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak cepat meski tubuhnya telah terluka.
"Yeaaa!"
Wuuuk! Ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar leher wanita itu, membuat darahnya jadi tersirap dan mukanya pucat. Seketika terasa hawa panas yang menyengat tubuh manakala pedang itu berkelebat di sisi tubuhnya. Namun belum lagi keterkejutannya hilang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengirimkan satu tendangan menggeledek lewat jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Duk! "Akh!"
Tubuh wanita itu kontan terjerembab, diiringi jeritan tertahan. Dan baru saja dia hendak bangkit, ujung pedang Rangga sudah mengancam tenggorokannya.
"Katakan! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku"!" ancam Rangga.
"Bunuh! Ayo, bunuhlah aku! Percuma saja, karena aku tidak akan memberitahumu!" sentak wanita itu garang.
? *** ? 'Telah banyak orang binasa di tanganku. Dan membunuh satu orang sepertimu bukanlah hal yang sulit. Tapi, itu terlalu enak. Dan aku ingin kau mati perlahan-lahan. Nah! Katakan, sebelum kau merasakannya nanti!" ancam Pendekar Rajawali Sakti sambil menekan tenggorokan wanita itu dengan pedangnya.
"Apa maksudmu...?"
"Maksudku jelas. Kau akan binasa secara menjijikkan. Bayangkan! Kau akan menjadi santapan serigala liar di hutan depan sana, dalam keadaan terikat!" desis Rangga geram.
Wanita itu terkejut. Dan seketika, wajahnya kembali berubah.
"Kau tidak bersungguh-sungguh, bukan?" tanya wanita cantik ini, seperti meminta harapan hidup.
"Aku akan melakukannya kalau kau tidak mau bicara. Nah, katakan sekarang! Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Lalu kalau aku mengaku, apakah akan dilepaskan?"
Rangga tersenyum kecil.
"Bila kau kulepaskan, betapa bodohnya aku. Sebab, kau akan mengincarku untuk membunuhku lagi."
"Siapa yang ingin membunuhmu"!" tanya wanita cantik itu sengit.
"Huh! Seperti yang kau lakukan tadi!"
"Kalau aku memang berniat membunuhmu, tentu kutikam jantungmu. Dan, itu sangat mudah bagiku," kata wanita ini.
"Lalu, kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga sedikit tertegun.
"Entahlah.... Aku..., aku tidak tega...."
Pemuda itu terdiam, lalu menyarungkan pedangnya. Sementara gadis itu bangkit perlahan-lahan, sambil memandang Rangga dengan wajah takut. Rangga berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Sedangkan matanya memandang gadis itu dengan tajam.
"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku?" ulang Pendekar Rajawali Sakti dengan nada lebih lunak.
"Kenalkah kau dengan Gusti Indra Paksi?" wanita itu malah balik bertanya.
"Siapa orang itu. Dan, dia itu apamu?" "Sudah kuduga! Kau tidak akan kenal dengannya...," wanita itu tersenyum kecil.
"Siapa dia?" Rangga tidak mempedulikan ocehan gadis itu.
"Dia..., ya yang menyuruhku untuk membunuhmu!" sahut wanita itu tersenyum kecil.
"Jangan main-main! Aku tidak kenal orang itu. Lalu, kenapa dia menginginkan kematianku?"
"Katanya kau berbahaya baginya...."
"Jangan bertele-tele! Katakan yang benar! Aku tidak kenal orang itu!" sentak Rangga mulai kesal.
"Mana aku tahu! Dia hanya berkata begitu, lalu menyerahkan imbalan untukku!" sahut wanita ini menjelaskan.
Rangga memandang wanita itu sesaat, kemudian menangkap kedua tangannya. Lalu dengan kasar dilepaskannya tali kekang kuda wanita itu, untuk mengikat kedua tangannya. Dan dengan kasar, dinaikkannya wanita itu ke punggung Dewa Bayu. Rangga sendiri melompat ke belakang, lalu menggebah kencang kudanya.
"Hiya!"
"Hei"! Mau kau bawa ke mana aku"!" teriak wanita itu.
"Di depan sana ada hutan kecil. Kukira, kawanan serigala tengah menunggu santapan pagi. Kau akan menjadi makanan lezat bagi mereka," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku telah berkata yang sebenarnya padamu!" teriak wanita ini kesal di antara laju kuda yang kencang.
"Kau akan berkata lebih jujur lagi, di depan mulut serigala-serigala itu."
"Apa lagi yang kau ingin ketahui?" tanya wanita ini lagi.
"Siapa Indra Paksi itu"! Dan, kenapa dia menginginkan kematianku?"
"Aku tidak tahu dia. Nyi Lasmi hanya mengatakan kalau dia orang terhormat, dari keluarga kerajaan. Dan aku harus meladeninya dengan baik."
"Siapa Nyi Lasmi?"
"Pimpinanku..."
"Pimpinanmu?"
"Ya! Dia yang memiliki rumah hiburan tempatku bekerja."
Rangga terdiam. Mulai diduga, siapa orang yang bernama Indra Paksi itu.
"Hm. Gerakanmu bagus dan ilmu silatmu pun tidak rendah. Kenapa kau bekerja di tempat seperti itu?"
"Kau kira, siapa yang mengajarkan" Nyi Lasmi itu memiliki ilmu olah kanuragan yang hebat. Dia mengajarkan semua anak buahnya ilmu bela diri, untuk menghajar tamu-tamu kurang ajar," sahut wanita itu.
"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku berada di desa itu?"
"Mana kutahu! Yang jelas aku ditugaskan ke Desa Wedu tadi, untuk menunggu dan membunuhmu. Sebelumnya, mereka memberitahu kalau kau memiliki kepandaian hebat. Aku sendiri takut. Maka kugunakan akalku. Kutangkap seekor kambing milik penduduk desa, lalu kutaburi pakaianku dengan darah segar, terlihat seperti luka."
"Apa hubungan Nyi Lasmi dengan Indra Paksi?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia langganan tetap kami."
"Hm.... Kenalkah kau dengan Katut Denowo?" pancing Rangga.
"Siapa yang tidak kenal orang itu" Belakangan ini, namanya amat terkenal. Dia bermaksud menggulingkan kekuasaan Kanjeng Gusti Prabu. Tapi, aku tidak peduli soal itu. Siapa pun yang berkuasa di negeri ini, toh nasibku tidak akan lebih baik...!"
Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian laju kudanya dihentikan.
"Kau tidak akan membunuhku, bukan?" tanya wanita itu berharap, dengan nada lirih.
Rangga tidak sempat menjawab. Karena pendengarannya yang tajam merasakan sesuatu berkelebat ke arah mereka.
"Awaaas...!"
Teriak Pendekar Rajawali feakti seraya mendorong gadis itu. Rangga sendiri melompat ke bawah, lalu buru-buru bangkit dengan sikap waspada.
"Hi hi hi...! Jadi beginikah cara si Indra Paksi hendak menangani Pendekar Rajawali Sakti?"
*** ? Kembali ke Bagian 1-3
Selanjutnya ke Bagian 7-8 (selesai)
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 ?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"": ?"?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" "
?"?"?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"" ?"?"?""
?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?""
134. Pemberontakan di Kertaloka Bag. 7-8 (selesai)
23 ?"?"?" 2014 ?"?" 17:23 ".
7 ? ? Mendadak sosok bayangan kurus melesat turun dari salah satu cabang pohon, tepat di belakang Rangga. Begitu menyentuh tanah, dia berdiri tegak di depan Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dia seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, dengan rambut panjang disanggul. Kedua pergelangan tangan dipenuhi gelang. Demikian juga pergelangan kedua kakinya.
"Siapa kau?" tanya Rangga dingin.
"Hi hi hi...! Tidak kenalkah kau dengan Nyi Kincring?"
"Aku lebih mengenalmu sebagai Setan Gelang Maut.
"Hi hi hi...! Agaknya kau kenal juga denganku, Bocah!"
"Nyi Kincring! Apa maksudmu berada di sini, dan menghadang perjalananku?"
"Untuk memastikan kalau kau tidak ikut campur dalam persoalan besar ini," jawab wanita tua yang memang Nyi Kincring.
"Apa maksudmu"!"
"Hi hi hi...! Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu ikut campur dalam urusan orang. Dan itu membuat Katut Denowo tidak senang. Maka jika kau ingin selamat, pergilah. Dan, jangan campuri urusannya!"
Pemuda itu tersenyum.
"Hm, jadi Katut Denowo yang menyuruhmu" Bagus. Kau boleh kembali. Dan katakan padanya kalau aku tidak pernah diperintah orang lain. Apalagi orang-orang sepertimu!"
"Hm.... Agaknya kau terlalu merendahkanku. Kau boleh terima kematianmu sekarang juga!"
Wanita tua itu mendengus geram. Kemudian tiba-tiba saja dia mencelat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga melompat ke samping. Namun wanita berjuluk Setan Gelang Maut itu telah mengikuti. Pemuda itu terkesiap. Setiap kali datang serangan, selalu saja gelang-gelang wanita tua itu terbang dan menyambar ke arahnya pada jarak dekat. Beberapa kali, muka dan tubuhnya nyaris tersambar.
Set! Set! "Sial!" maki Pendekar Rajawali Sakti geram.
"Hi hi hi...! Kau menganggap enteng padaku, Bocah" Sekarang rasakanlah!" dengus Setan Gelang Maut.
Berkali-kali wajah Rangga berkerut menahan rasa sakit di perut sambil menghindari setiap serangan yang semakin gencar. Sementara darah kembali merembes dari lukanya di pinggang. Pemuda itu menggigit bibirnya sendiri, lalu melompat ke belakang sambil membuat gerakan jungkir balik beberapa kali.
Sring! Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang pusaka saat Nyi Krincing mengejar dengan beberapa buah gelang mautnya yang berdesing ke arahnya.
Wung! Trang! Lima buah gelang. putus dan rontok seketika begitu Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedangnya yang bersinar biru berkilauan. Rangga tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung melompat menyerang Setan Gelang Maut.
"Hiyaaa!"
Wuk! Nyi Kincring terkejut. Buru-buru dia melompat ke samping. Namun, pedang Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya. Cepat-cepat kepalanya di-tundukkan, kemudian tubuhnya jungkir balik ke kanan sambil melemparkan beberapa buah gelang di tangan.
"Hiiih!"
Tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat ke atas, sehingga senjata itu luput dari sasaran. Kini ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti bergulung-gulung menyambar ke mana saja wanita itu bergerak menghindar. Sampai saat ini, Pendekar Rajawali Sakti hanya mengerahkan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang digabung-gabungkan.
"Uhhh...."
Nyi Kincring menjatuhkan diri, ketika senjata Pendekar Rajawali Sakti menyerang bagian atas tubuhnya. Sedikit pun tidak diberi kesempatan untuk bernapas. Dan mendadak saja kaki kiri wanita tua itu menyabet pinggang, tapi Rangga menangkis dengan pedangnya. Wanita itu terkesiap, langsung menarik pulang tendangannya. Dan tubuhnya langsung bergulingan, kemudian melejit ke atas. Tapi, Rangga telah menunggunya. Seketika satu tendangan menggeledek dilepaskan ke arah dada wanita bertubuh kerempeng itu. Dan....
Begkh! "Akh!"
Nyi Kincring kontan mengeluh tertahan begitu dadanya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam sempurna. Tubuhnya terjajar ke belakang. Namun sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, dia mampu menjaga keseimbangannya.
Dan baru saja dia bersiap, saat itu pula pedang Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah perut dengan kecepatan yang sulit diduga. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga....
Crasss! "Aaa...!"
Wanita tua itu terpekik. Darah mengucur deras dari perutnya yang robek, terbabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah kaget dan mata terbelalak. Kedua tangannya mendekap perut dan berusaha menghalangi darah yang terus mengucur.
"Heaaa!"
Sementara Rangga melompat lagi. Dan kali ini, tendangannya di arahkan ke kerongkongan. Maka....
Desss! "Hugkh!"
Wanita tua itu kembali mengeluh tertahan. Tubuhnya terjerembab keras di tanah. Sebentar dia menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
"Uhhh...!"
Rangga menjatuhkan pantatnya, duduk bersandarkan pohon. Pedangnya telah dimasukkan dalam warangkanya kembali. Talapak tangan kanannya terus mendekap perutnya yang tadi terluka dan kembali mengucurkan darah. Wajahnya berkerut menahan rasa sakit. Keringat dingin mulai menetes membasahi kening dan sebagian wajah. Pemuda itu duduk bersila. Pikirannya dipusatkan untuk menyalurkan hawa murni pada telapak kanannya, kemudian ditempelkan di perut agar lukanya cepat mengering.
? *** ? Sementara itu, wanita yang pertama kali menyerang Pendekar Rajawali Sakti kini mendekat. Wajahnya kembali dibayangi perasaan ngeri bercampur kasihan. Disekanya keringat yang mengucur membasahi wajah Rangga. Kemudian, dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dia hanya duduk bersila di hadapan Rangga yang saat itu tengah memejamkan mata. Tadi ikatan pada tangannya memang telah dibuka Rangga.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok. Dan waktu terus merambat. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti bersikap seperti tadi. Sedangkan gadis itu tetap tidak beranjak dari duduknya. Rangga membuka kelopak matanya, menghela napas panjang.
"Maafkan aku...," ucap wanita itu lirih.
"Kau punya kesempatan untuk lari. Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga pelan.
"Entahlah..."
"Kini kau bebas pergi ke mana saja yang kau kehendaki. Dan aku tidak akan menahanmu...," ujar Pendekar Rajawali Sakti, menawarkan.
Tapi wanita itu terdiam. Sedikit pun tidak beranjak dari duduknya. Kepalanya agak tertunduk ke dalam.
"Ayo, aku tidak menjebakmu. Kau boleh pergi sekarang...," kata Rangga.
"Aku tidak tahu harus pergi ke mana...," desah wanita itu lirih.
"Apakah kau tidak ingin kembali ke tempatmu semula?"
Kembali wanita itu terdiam.
"Aku telah gagal menjalankan tugas. Dan kalau kembali, percuma saja. Nyi Lasmi akan menghukumku dengan berat..," desah wanita itu.
"Katakan saja kalau kau telah berhasil membunuhku...."
Wanita itu tersenyum.
"Sampai kapan dia tahu kalau aku berbohong" Begitu mendengar kalau kau masih hidup, maka saat itu juga kematianku sudah ditentukan. Tapi sebenarnya bukan itu yang kupikirkan...," jelas wanita ini.
"Lalu?"
"Aku juga ingin hidup sebagaimana layaknya wanita baik-baik. Punya suami, punya anak, dan hidup tenang...," sahut wanita cantik ini semakin lirih.
"Hm... Lalu, kenapa tidak segera kau lakukan?"
"Dengan masa lalu yang silam, siapa laki-laki yang sudi padaku?"
"Kau masih muda. Dan..., cantik. Lagi pula, tidak semua laki-laki berpikiran seperti itu. Masih banyak laki-laki yang mampu melihat kenyataan kalau masa silam yang hitam, bisa saja kembali ke jalan benar," kata Rangga bijak.
"Benarkah?"
Rangga mengangguk seraya tersenyum dengan wajah mayakinkan.
Kini wanita itu bangkit berdiri. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun kembali wajahnya tertunduk.
"Apa lagi?" tanya Rangga seraya ikut berdiri.
"Aku akan mencoba hidup dengan dunia baru...."
"Nah! Itu pikiran bagus."
"Ng.... Bolehkah kutahu, siapa namamu?" tanya wanita itu, langsung memandang Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum manis.
"Rangga...."
"Rangga..." Ng.... Bila kelak aku mempunyai anak, bolehkah kunamai anakku seperti namamu?"
'Tentu saja boleh...."
'Terima kasih, Rangga. Eh! Sekali lagi, maafkan kesalahanku. Aku betul-betul menyesal telah membuatmu terluka..."
Rangga hanya tersenyum.
"Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Hari masih gelap, sedang kudaku tidak ada..."
"Aku antar kau sampai di pinggiran kotaraja. Dan setelah itu, kau bisa melanjutkan perjalanan...," kata Rangga, juga bergegas bangkit.
Baru saja mereka bangkit dan hendak melangkah, di kejauhan terdengar derap langkah dua ekor kuda menuju ke arah mereka. Rangga buru-buru mengajak wanita itu bersembunyi di balik semak-semak yang ada di kiri dan kanan jalan ini. Dan ketika kedua penunggang kuda ini hampir mendekat, Pendekar Rajawali Sakti keluar dari persembunyian.
"Berhenti...!"
"Hieee!"
Kedua penunggang kuda itu tersentak. Langsung laju kuda mereka dihentikan, dan segera melompat turun. Seketika pedang masing-masing dicabut dengan sikap bersiaga.
"Kurang ajar! Siapa yang berani menghadang perjalanan kami"!" hardik salah seorang penungang kuda.
Namun ketika melihat wajah pemuda berbaju rompi putih itu, seketika wajah mereka terkejut. Kemudian buru-buru mereka berlutut dengan sikap menghormat
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Maafkan kesalahan kami!" ucap kedua orang itu serentak setelah menyarungkan pedang.
Rangga hanya tersenyum. Kemudian sebelah lapak tangannya diangkat sebagai isyarat.
"Bangkitlah, kesalahan kalian kumaafkan, kalian memang harus waspada terhadap segala sesuatu. Oh, ya. Berita apa yang kalian bawa?"
Kedua orang itu bangkit. Kemudian salah seorang kembali memberi hormat.
"Pasukan Parwata berhasil menghajar kawanan perampok Jambuka Ireng yang menguasai Desa Kampar di wilayah Kadipaten Wales. Dan kawanan perampok itu sendiri merupakan kaki tangan Katut Denowo!" jelas orang itu.
"Bagus. Yang lainnya?"
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu. Tanpa izin, kami telah mengambil tindakan sendiri. Sebab keadaan betul-betul darurat!" jelas orang yang satu lagi dengan wajah takut.
'Tindakan apa yang kalian ambil?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, dengan dahi berkerut.
"Kami telah melihat sendiri kalau pasukan para pemberontak yang dipimpin Katut Denowo, telah bergerak menuju kotaraja. Sehingga seperti apa yang Kanjeng Gusti Prabu katakan, kami memberanikan diri memanggil pasukan-pasukan kita yang ditempatkan di berbagai wilayah, untuk berkumpul di pinggiran kotaraja Kerajaan Kertaloka guna menahan serangan mereka...," jelas orang itu.
"Apakah mereka sekarang sudah berangkat?"
"Sudah, Kanjeng Gusti Prabu!"
"Bagus. Tindakanmu kupuji. Nah! Sekarang, katakan berapa jumlah pasukan pemberontak itu?"
"Sekitar dua ratus orang, Kanjeng Gusti Prabu."
"Hm.... Cukup banyak juga..."
"Kami menunggu perintah apa yang selanjutnya harus kami lakukan, Kanjeng Gusti Prabu?"
? *** ? Rangga terdiam beberapa saat berpikir. Kemudian ditatapnya dua orang yang selama ini menjadi mata-matanya.
"Baiklah. Sekarang juga, kalian pergi ke Istana Kerajaan Kertaloka. Cari tahu soal Pandan Wangi. Kemudian lihat, apakah keadaan aman atau tidak. Bila istana kerajaan aman, maka temui Prabu Suryalaga. Katakan padanya, mengenai serangan yang akan dilakukan para pemberontak. Juga katakan kalau kita siap membantu. Suruh mereka kirim setengah dari pasukannya, sementara setengah lagi menjaga istana kerajaan. Kita gempur pasukan pemberontak itu dari dua jurus, seperti yang biasa sering kita lakukan. Mengerti?" jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Mengerti, Kanjeng Gusti Prabu! Lalu, bagaimana seandainya istana kerajaan telah dikuasai pihak pemberontak?"
"Tunggulah aku di tempat yang telah ditentukan. Akan kita serang para pemberontak yang ada di istana kerajaan itu, untuk mengamankan. Baru setelah itu, kita hadapi pasukan pemberontak lain yang sedang bergerak," jelas Rangga lagi.
"Kami mengerti, Kanjeng Gusti Prabu!"
"Nah! Pergilah kalian sekarang juga. Dan, sampaikan salamku pada Prabu Suryalaga!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Baik, Kanjeng Gusti Prabu!"
Kedua mata-mata itu segera melompat ke punggung kuda masing-masing, setelah memberi hormat pada Rangga. Lalu mereka menggebah kencang kuda masing-masing meninggalkan tempat ini.
Sementara itu, wanita yang tadi bersembunyi itu keluar dari semak-semak. Dipandanginya pemuda itu dengan wajah tak percaya.
"Kanjeng Gusti Prabu" Apakah kau seorang raja, ataukah saudara raja?" tanya wanita itu ingin tahu.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Ayo, naik ke punggung Dewa Bayu. Sebentar lagi, hari akan terang. Mudah-mudahan kita sampai ke kotaraja sebelum matahari membentuk bayangan panjang...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Wajah wanita itu tampak masih menyimpan penasaran. Dan sesekali, mencuri pandang ke arah pemuda itu. Tapi dia akhirnya naik juga ke punggung Dewa Bayu. Kemudian baru Pendekar Rajawali Sakti mengikuti. Tapi baru saja Rangga menghenyakkan pantat di punggung kuda hitamnya, mendadak....
"Heh"!"
Rangga buru-buru membalikkan kudanya. Seketika Dewa Bayu dihela kencang, mengejar sosok bayangan kuda yang sejak tadi mengintai.
"Ada apa, dan mau ke mana kita?" tanya wanita itu bingung, karena belum mengetahui apa yang terjadi.
Rangga tidak menjawab. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar seseorang yang sudah menggebah kudanya pada jarak dua puluh lima tombak di depan.
"Hiya! Hiya...!"
Sementara, wanita itu benar-benar takjub pada keperkasaan kuda tunggangan pemuda ini. Meski membawa beban dua orang, namun mampu lari kencang melebihi kecepatan angin. Tak heran kalau dalam waktu singkat, Rangga berhasil menyusul penunggang kuda di depan.
"Hiiih!"
"Oh"!"
Gadis itu terkejut. Karena tiba-tiba saja penunggang kuda yang nyaris sejajar, mengibaskan sebilah golok ke arah mereka.
Sring! Namun Pendekar Rajawali Sakti bertindak tidak kalah sigap. Langsung pedangnya dicabut, memapak sabetan golok itu. Lalu dalam waktu yang demikian cepat, Rangga langsung membabat pinggang penunggang kuda itu.
Bret! "Aaa...!"
Orang itu menjerit tertahan dan tubuhnya terjungkal dari punggung kudanya yang terus berlari kencang.
Rangga menghentikan lari kudanya. Lalu dia melompat turun dari kudanya, langsung menghampiri orang yang terkapar bermandikan darah itu. Segera ujung pedangnya ditodongkan ke leher orang yang sudah tidak berdaya itu.
"Siapa yang menyuruhmu"!"
"Ehk... ah...."
Orang itu mengeluh tertahan dengan wajah berkerut. Mulutnya hendak terbuka mengatakan sesuatu. Tapi, napasnya keburu putus.
Rangga kembali menyarungkan pedangnya disertai helaan napas pendek.
"Mungkin dia utusan yang sama...," kata wanita itu, pelan. "Padahal, tadi kau bisa melukai dan tidak membunuhnya..."
"Untuk apa" Bukankah kau sudah menduga, kalau dia utusan Katut Denowo untu memata-matai. Lagi pula, kalau dia dibiarkan hidup, kau akan celaka...."
"Celaka bagaimana?"
"Mereka akan mengatakan pada Indra Paksi, kalau kau tidak membunuhku. Dan hidupmu tidak akan tenang, karena dikejar-kejar mereka."
"Benar juga...," sahut wanita ini, mengangguk.
"Dia membahayakan kita. Dan orang itu patut dibunuh...," lanjut Rangga.
Untuk sesaat keduanya terdiam.


Pendekar Rajawali Sakti 134 Pemberontakan Di Kertaloka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa namamu?" tanya Rangga, pelan.
"Eh, apa?"
"Sejak tadi aku tidak tahu namamu...."
"Namaku Pratiwi...."
"Hm, nama yang bagus!" puji Rangga.
Wanita itu jadi tersipu malu. Matanya langsung merayap ke sekeliling untuk menyembunyikan wajahnya yang berubah merah dadu.
"Terima kasih...," kata wanita itu pelan.
? *** ? ? 8 ? ? Di balairung utama Istana Kerajaan Kertaloka, telah berkumpul beberapa pejabat istana, beberapa perwira, dan Prabu Suryalaga sendiri. Tak ada yang membuka suara sampai dua orang gadis masuk ke dalam ruangan itu. Setelah memberi salam hormat, kedua gadis itu mengambil tempat duduk yang telah disediakan, sejajar Prabu Suryalaga. Sedangkan tepat di depan Raja Kertaloka ini, duduk dua pemuda dengan sikap hormat.
"Ada apakah gerangan Ayah memanggil kami?" tanya salah seorang gadis yang tidak lain Cempaka Sari.
"Dua orang utusan ini mengaku membawa pesan dari Raja Karang Setra. Aku hanya ingin memastikan kalau ini bukan tipu muslihat para pemberontak. Dan Pandan Wangi berasal dari Karang Setra. Maka tentu bisa membuktikan kebenaran mereka," jelas Prabu Suryalaga.
Prabu Suryalaga kemudian menatap Pandan Wangi. Sementara yang ditatap seperti tak peduli. Matanya terus memperhatikan dua pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, bersenjatakan pedang. Keduanya memakai pakaian yang biasa dikenakan orang-orang persilatan.
"Pandan Wangi... Apakah kau kenal orang-orang yang mengaku sebagai utusan Karang Setra ini?" tanya Prabu Suryalaga.
"Kanjeng Gusti Prabu. Suruhlah mereka memperlihatkan kalung tanda pengenalnya. Sebab aku tahu, utusan Karang Setra memiliki tanda pengenal khusus," jelas Pandan Wangi.
Prabu Suryalaga mengangguk, kemudian berpaling pada kedua orang itu.
"Nah, tunjukkanlah tanda pengenal kalian!" ujar laki-laki tua itu.
Kedua utusan itu segera mengeluarkan kalung bermatakan perak, sebesar genggaman tangan, berlambang Kerajaan Karang Setra.
"Kanjeng Gusti Prabu. Mereka memang utusan Karang Setra...," kata Pandan Wangi meyakinkan.
"Hm, baiklah. Sekarang jelaskan apa yang kalian bawa dari Karang Setra."
"Ampun, Gusti Prabu. Raja kami menawarkan bantuan tanpa imbalan apa pun, selain persahabatan. Dan karena berita ini darurat, maka kami langsung saja pada tujuannya. Maaf, Kanjeng Gusti Prabu. Selama ini tanpa pemberitahuan secara langsung, kami telah memerangi pemberontak yang telah menguasai sebagian dari Kerajaan Kertaloka. Raja kami berbuat seperti itu, atas permintaan putrimu yaitu Gusti Ayu Cempaka Sari. Dan ini di-anggap mewakili keputusanmu. Dan setelah menghalau pasukan pemberontak, ternyata kami dengar mereka menghimpun diri. Pasukan pemberontak pada hari ini bermaksud menyerang kotaraja, dan hendak merebut istana kerajaan pada pagi ini juga. Oleh sebab itu, raja kami memberitahu agar Gusti Prabu bersiaga menyambut mereka," tutur salah seorang utusan.
"Cobalah kalian jelaskan bagaimana rencana rajamu itu?" pinta Prabu Suryalaga.
"Gusti Prabu Karang Setra menginginkan agar pasukan kerajaan ini dibagi dua. Setengahnya yang terdiri dari pasukan panah berada dalam istana, untuk berjaga di sekelilingnya. Sebagian lagi bersembunyi di luar bangunan istana, siap menyergap mereka. Tunggulah pasukan pemberontak itu sampai mendekati bangunan istana kerajaan. Dan apabila mereka sudah berhadapan dengan pasukan panah, maka saat itu juga pasukan lain menyerbu. Sedangkan pasukan Karang Setra yang berjumlah sekitar tiga puluh orang akan mengejutkan mereka dengan serangan dari belakang. Sehingga, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk kabur," jelas utusan itu, singkat.
Prabu Suryalaga dan yang lain terdiam mendengarkan rencana itu.
"Bagaimana, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi.
"Apakah Raja Karang Setra yakin kalau siasatnya akan berhasil?" tanya sang Prabu setengah yakin.
"Percayalah, Gusti Prabu. Kemenangan berada di pihak pasukan yang bersemangat dan yakin akan mengalahkan musuhnya! Begitulah yang dikatakan raja hamba. Meski pasukan pemberontak lebih banyak, namun kita harus yakin akan memenangkan pertempuran," tegas utusan itu, meyakinkan.
"Baiklah. Kalian boleh istirahat, karena sekarang juga akan kusiapkan pasukan untuk menghadapi para pemberontak itu!" sahut Prabu Suryalaga bersemangat.
Kedua utusan itu segera bangkit berdiri, dan langsung memberi hormat. Dan dengan diantar dua orang prajurit, mereka segera menuju ruang peristirahatan bagi para tamu kerajaan. Sementara itu Prabu Suryalaga memerintahkan para prajurit yang hadir di situ untuk menyiapkan pasukan.
*** Para prajurit Kerajaan Kertaloka menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar dan gelisah. Demikian pula para prajurit dan para panglima perangnya. Pasukan pemberontak yang dinantikan belum juga kelihatan. Sementara itu, kotaraja kelihatan sedikit sepi. Seluruh rakyat telah bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Mereka memang telah dikabari kalau akan terjadi peperangan dahsyat.
Sementara itu Prabu Suryalaga menambahkan siasat baru. Lebih dari empat puluh pasukannya yang diberi pakaian biasa, diperintahkan untuk bertingkah seolah-olah sebagai penduduk biasa yang sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Dengan begitu diharapkan pasukan pemberontak akan lengah. Cukup lama mereka menunggu. Dan ketika matahari baru saja mengintip di balik bukit...
"Heaaa! Heaaa...!"
Apa yang ditunggu-tunggu mulai terlihat. Dari kejauhan, terdengar derap langkah kuda yang dipacu kencang bersama teriakan-teriakan membahana. Prajurit-prajurit yang tengah menyamar sebagai rakyat biasa, seketika pura-pura berlarian ke sana kemari, dengan sikap ketakutan. Sementara beberapa orang dari pasukan pemberontak berusaha menyerang. Namun para prajurit yang menyamar itu tidak berusaha melawan. Mereka hanya melarikan diri sekencang-kencangnya. Karena jika mereka melawan, maka perhatian pasukan akan pecah. Bahkan akibatnya, penyergapan akan kacau. Sebab, pasukan pemberontak masih jauh dari jangkauan pasukan panah di benteng istana kerajaan.
"Hancurkan mereka! Bunuh seluruh penghuni kerajaan ini...!" teriak seorang laki-laki berpakaian mewah. Dia tidak lain dari Katut Denowo, memberi semangat.
Namun sebelum mereka berhasil mendobrak pintu gerbang kerajaan, sekonyong-konyong hujan panah telah menyambut
Twang! Cras! Crab! "Aaa...!"
Beberapa orang pemberontak langsung terkejut, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Dan mereka hanya terbeliak ngeri disertai jeritan tertahan, begitu anak-anak panah menembus dada.
"Hancurkan mereka! Jumlah kita lebih besar. Apa yang kalian takutkan"! Hancurkan gerbang ini, dan hajar mereka...!" kembali Katut Denowo ber-teriak memberi semangat
"Yeaaa!"
Pasukan pemberontak kembali berteriak saling sambung-menyambung, berupaya mendobrak pintu gerbang. Tapi saat itu juga, hujan anak panah kembali menyerbu. Dan kali ini datangnya dari samping kiri dan kanan, ditambah pasukan yang berada di atas benteng istana kerajaan.
"Serbuuu...!"
Terdengar teriakan dari arah kanan. Bersama sekitar dua puluh lima orang, menyerang pasukan pemberontak itu dengan semangat menyala-nyala.
Pada saat yang bersamaan, kembali menyerbu sejumlah pasukan ke arah pasukan pemberontak yang sempat terkejut. Pertarungan memang tak bisa dielakkan lagi. Beberapa orang pemberontak sudah sejak tadi menjadi korban di tangan pasukan kerajaan. Namun, pasukan pemberontak masih berusaha balas menyerang. Terutama setelah menyadari kalau pasukan kerajaan berjumlah lebih sedikit Tapi yang lebih mengejutkan lagi....
"Heaaa...!"
"Heh"!"
Tiba-tiba terdengar teriakan panjang membahana. Tampak sebuah pasukan lain yang berjumlah sekitar tiga puluh orang datang menyerbu menyerang para pemberontak. Pasukan itu dipimpin seorang pemuda berbaju rompi putih yang duduk di atas kuda hitamnya. Mereka menyerang dari belakang, pasukan pemberontak itu terkejut.
Sementara itu, pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya ke arah Katut Denowo. Rangga memang telah mengenali ciri-cirinya, walaupun belum pernah bertemu.
"Katut Denowo! Menyerahlah... Pasukanmu telah kocar-kacir. Tak ada lagi kesempatan bagimu untuk merebut kerajaan ini!" ujar Rangga.
"Bangsat! Jadi, rupanya kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti! Huh! Sebaiknya kau tidak mencampuri urusan kerajaan lain. Ini bukan Karang Setra, jadi sebaiknya tarik pasukanmu!" sentak Katut Denowo.
"Siapa yang membawa prajurit" Yang kubawa hanya jago-jago Karang Setra saja, mereka bukan prajurit. Dan mereka juga jijik melihat tindakanmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Kau memang patut dihajar, Pendekar Rajawali Sakti! Heaaat..!"
Di atas punggung kudanya, Katut Denowo langsung membabatkan pedang ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti. Namun di luar dugaan, pemuda itu melenting tinggi ke atas mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega". Begitu berada di udara, dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya meluruk deras ke belakang Katut Denowo yang berada di punggung kuda. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Katut Denowo tak bisa menghindar. Lalu....
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Katut Denowo yang kepandaiannya jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti ambruk ke tanah dengan tubuh lemas, begitu totokan Rangga mendarat di punggungnya. Pemimpin pemberontak itu agaknya langsung pingsan. Sehingga ketika Rangga berkelebat menyambar tubuhnya, rasanya seperti menyambar karung basah saja.
Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting sambil membopong Katut Denowo, membawanya ke atas atap sebuah rumah penduduk.
"Berhenti!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, lantang menggelegar. Seketika seluruh pertempuran berhenti. Semua mata seketika memandang ke arah datangnya suara lantang tadi.
"Lihat! Pemimpin kalian telah berada di tanganku, maka sebaiknya kalian menyerah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Melihat pemimpinnya tertangkap, pasukan pemberontak itu jadi hilang semangat. Beberapa orang mulai meletakkan senjata. Tapi sebagian besar telah tewas terbunuh. Dan begitu ada yang meletakkan senjata, yang lain segera menyerah.
"Hidup Prabu Suryalaga! Hidup Kerajaan Kertaloka...!" teriak para prajurit kerajaan yang setia pada Prabu Suryalaga.
Rangga segera membawa tubuh Katut Denowo untuk diserahkan pada pihak Kerajaan Kertaloka. Sedangkan para tokoh hitam yang ikut membantu pemberontakan, dengan kepandaiannya yang tinggi berhasil meloloskan din dari kepungan jago-jago Karang Setra.
Sementara itu, para perwira Kerajaan Kertaloka segera menangkapi para pejabat istana yang terlibat dalam pemberontakan. Ada yang ditangkap saat peperangan, ada pula yang ditangkap setelah peperangan.
Dengan diiringi para prajurit Kerajaan Kertaloka dan pasukannya sendiri, Rangga memasuki gerbang kerajaan untuk menyerahkan biang kerusuhan pada Prabu Suryalaga.
? ? SELESAI ? ? Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (Zinc Ziko)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
? Kembali ke Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?""
?"" ?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?""
?"?"?"
?"?"?"?"?""
?"?""
?"" ?"?"?""
?"" ?"?"?"?"?"?"?"
?"?""
?"?""
?"?"?"?""
?"?" ?"?"?"?""
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?"?""
?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
?"?"?"?"?"
?"?"?"?"?"?""
? 2017 Tiga Dara Pendekar 25 Candika Dewi Penyebar Maut I Senopati Pamungkas 28

Cari Blog Ini