Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah Bagian 1
. 135. Peri Peminum Darah Bag. 1
26. Oktober 2014 um 05:55
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: PERI PEMINUM DARAH
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Pagi hening dan berkabut saat ini menyelimuti Desa Karang Asem. Orang-orang sepertinya enggan keluar rumah. Jalanan terlihat lengang sepi. Sesekali terdengar lenguh pendek seekor sapi. Udara dingin yang menerpa begitu menggigit tulang sum-sum. Sehingga hewan ternak itu beberapa kali berputar-putaran di dalam kandangnya, kemudian merungkut di tumpukan jerami yang paling tebal.
Seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus tampak keluar dari pintu belakang rumah biliknya sambil membawa obor pendek di tangan. Diperhatikannya keadaan di sekitar kandang. Diperiksanya tiga ekor sapinya, berikut beberapa ekor kambing, dan belasan ekor ayam. Kepalanya mengge-leng lemah. Disertai dengusan kesal, dia kembali masuk ke dalam, lewat pintu dapur.
"Kasihan, mereka kedinginan," gumam laki-la?ki setengah baya itu pelan, begitu berada di dapur.
"Kenapa tidak dibuat perapian di sekitarnya...?" kata istrinya yang sedang merebus air di dapur.
"Oaaah...!" Orang tua berjenggot putih dan pendek ini menguap panjang seraya menggeliatkan tubuhnya.
"Aku masih ngantuk..."
"Dasar pemalas!" gerutu istrinya.
Orang tua itu tidak peduli. Dia segera mendekati ranjang dan berbaring di situ. Diselimuti tubuh?nya dengan sarung.
"Lasmi...!" teriak wanita itu.
Dari kamar depan, seorang gadis belia berkulit sawo matang buru-buru menghampiri.
"Ada apa, Bu!" sahut gadis berparas cantik itu seraya menggelung rambutnya yang panjang terburai.
"Coba bakar sampah di dekat kandang kambing dan kerbau itu."
"Bikin kopi Ayah dulu!" potong laki-laki setengah baya itu.
Gadis belia berwajah manis itu terdiam sesaat dengan wajah bingung.
"Sudah! Bakar sampah sana. Biar kopi ayahmu Ibu yang buatkan," kata ibunya menengahi.
Gadis itu mengangguk. Kemudian dia berlalu lewat pintu belakang setelah menyambar lampu dinding.
"Apa-apa harus si Lasmi yang mengerjakan. Lalu, apa yang bisa kau kerjakan, Kang?" gerutu wanita itu sambil mengomel dan menuangkan air panas ke dalam cangkir berisi kopi.
Sementara itu, sang Suami duduk di tepi ran?jang sambil membetulkan letak sarungnya. Tubuhnya menggeliat sebentar, kemudian tersenyum kecut.
"Badanku pegal-pegal sehabis menggarap ladang kemarin siang..."
"Baru kerja begitu Kakang sudah mengeluh...."
Laki-laki setengah baya itu tersenyum kecil, ke?mudian beranjak meraih kopinya.
"Singkongnya belum direbus?" tanya sang Suami.
"Sebentar lagi matang...."
Laki-laki itu menyeruput kopinya, kemudian bangkit berdiri. Segera dia beranjak ke belakang.
"Biar aku membantu si Lasmi...," kata laki-laki setengah baya itu seperti pada diri sendiri.
Istrinya menoleh sekilas, kemudian beranjak ke kamarnya.
Laki-laki setengah baya yang dikenal dengan nama Kusno ini baru saja berada di ambang pintu ketika serangkum angin dingin menerpa. Subuh terasa masih gelap dengan kabut semakin tebal. Pada jarak lima langkah, yang terlihat hanya lampu yang dibawa Lasmi. Tapi, tampak bergoyang-goyang!
"Ayaaah...!" mendadak Lasmi menjerit tertahan.
Ki Kusno terkesiap. Seketika dia melompat seraya menyambar cangkul yang berada di dekatnya.
"Ayaaah...!"
Sekali lagi gadis belia itu menjerit. Lalu, terlihat lampu di tangannya terlempar.
"Kurang ajar! Siapa kau"! He, tunggu...! Tunggu! Apa yang kau lakukan pada anakku"!" teriak Ki Kusno kalap ketika melihat sekelebat bayangan yang membuat tubuh anaknya seperti melayang tertiup angin.
"Lasmi! Lasmiii...!" Ki Kusno berteriak, lan sung berlari kesana kemari mencari anaknya yang telah lenyap entah ke mana.
Angin dingin berhembus menimbulkan bunyi desau menyayat. Kini Ki Kusno hanya tertunduk lesu sambil melangkah pelan. Dipungutnya lampu yang tergeletak di tanah. Nyala apinya mulai mengecil, lalu padam. Langkah laki-laki setengah baya itu gontai menuju pintu belakang.
"Kang, ada apa" Apa yang telah terjadi"! Mana Lasmi" Mana anak kita..."!" teriak Nyi Kusno sam?bil berlari tergopoh-gopoh menghampiri.
Ki Kusno hanya diam membisu. Sedikit pun tak ada suaranya. Tubuhnya berguncang ketika is?trinya mulai kalap dengan mencengkeram bajunya.
"Mana Lasmi"! Mana dia..."! Lasmi! Lasmi...!"
Wanita setengah baya itu berteriak nyaring. Dia langsung berlarian ke sekitar halaman belakang rumahnya.
Sementara, Ki Kusno masih diam mematung tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Istrinya tampak menghampiri dengan wajah pucat dan bibir bergetar. Sepasang matanya telah dibasahi air mata yang menetes jatuh membasahi pipinya yang mulai terlihat keriput.
"Anak kita, Kang...! Anak kita...," kata Nyi Kusno, lirih seraya mendekap wajahnya. Lalu dia duduk bersimpuh menumpahkan kesedihan.
Laki-laki setengah baya itu tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Dia juga tidak tahu, apa yang harus dikatakannya untuk menghibur hati istrinya. Hatinya bagai hancur berkeping-keping atas kejadian yang menimpa dirinya. Anaknya telah hilang dicuri orang!
? *** ? Belakangan ini di Desa Karang Asem sering terjadi penculikan terhadap gadis-gadis belia. Dan kebanyakan, yang diculik adalah perawan berusia sekitar lima belas sampai tujuh belas tahun. Tidak ada seorang pun yang diculik itu selamat. Mereka tewas dengan tubuh pucat bagai mayat, karena darahnya terisap habis. Dan mayat mereka dibiarkan tergeletak begitu saja di sembarang tempat oleh penculiknya. Di bagian lehernya. terdapat dua buah luka kecil yang agak dalam, seperti tertusuk benda tajam runcing. Dan masyarakat Desa Karang Asem menyebut penculik itu sebagai si Peminum Darah....
Hal ini tentu saja amat menggelisahkan penduduk desa itu. Tidak jarang mereka yang memiliki anak gadis perawan, menjaganya dengan ketat. Pa?ra gadis dilarang untuk pergi jauh dari rumah. Selama ini, belum ada yang bisa bertindak untuk mencegah, sebab si Penculik bertindak demikian cepat bagai bayangan hantu.
Tak heran kalau penculik itu juga dinamakan Peri Peminum Darah. Namun, tidak semua orang percaya kalau yang melakukan adalah makhluk halus. Sementara kalangan rimba persilatan yang tahu betul soal keanehan tokoh-tokoh silat, merasa yakin kalau hal itu perbuatan seorang bajingan yang berhati keji dan biadab. Maka mereka menyebut Peri Peminum Darah!
Para korban Peri Peminum Darah ternyata ti?dak hanya dari rakyat jelata, tapi juga dari kalangan lain. Tidak peduli gadis anak seorang adipati, putri seorang tokoh silat ternama atau juga dari kalangan hartawan. Maka tentu saja ini amat menjengkelkan semua pihak.
Dan kejadian yang sama juga telah menimpa seorang laki-laki bertubuh gemuk berusia sekitar lima puluh tahun. Dia adalah seorang hartawan ternama di Desa Parang Kesuma. Bahkan orang paling kaya di dua belas desa yang termasuk wilayah Ka?dipaten Beringin Wetu. Rumahnya besar dan selalu dijaga para tukang pukul yang bersenjata lengkap.
Malam ini di rumah hartawan yang bernama Ki Dawang Rejo itu terlihat ramai. Hanya saja keramaian itu tidak seperti biasanya. Betapa tidak" Rumah Ki Dawang Rejo kian ramai oleh tangis istrinya yang tidak kunjung usai sejak pagi tadi. Sejak putrinya yang bernama Rukmini tidak pulang ke rumah, setelah bepergian ke ibukota kadipaten. Se?mentara Ki Dawang Rejo tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali menggeram habis-habisan. Padahal, Rukmini tidak pernah bepergian seorang diri. Hari itu dia dikawal lima orang tukang pukul Ki Dawang Rejo. Tapi pada malam harinya, hanya dua orang yang kembali. Dan kedua tukang pukul itu menceritakan kalau seseorang telah menculik Rukmini. Bahkan menewaskan tiga orang lainnya, ketika mereka berusaha membantu.
"Tidakkah kalian tahu siapa penculik itu...?" tanya orang tua itu lirih, seraya menghenyakkan pantatnya di kursi ruang depan.
Kedua tukang pukul yang menceritakan peristiwa itu menggeleng lemah dengan wajah tertunduk.
"Dia berkerudung hitam. Sehingga hanya sepasang matanya saja yang terlihat. Namun itu pun hanya sebentar. Gerakannya cepat sekali, Ki...," jelas salah seorang.
"Mungkinkah Rukmini diculik Peri Peminum Darah...."
"Ki Dawang Rejo! Sebaiknya jangan berpikir jauh dulu. Mungkin Rukmini diculik penjahat kelas teri yang hanya menginginkan sedikit kepingan emas untuk ditukar dengan putrimu...," sahut tu?kang pukul yang bernama Ki Warso.
Ki Dawang Rejo menghela napas panjang. Memang biasanya kata-kata Ki Warso amat diperhatikannya. Apalagi, orang tua itu bukan satu atau dua tahun saja ikut bersamanya. Bahkan telah mengabdi sejak masih muda. Tapi kali ini, kata-kata Ki War?so dianggapnya sebagai penghibur belaka. Malah keresahan hatinya tidak juga sirna.
"Ki Warso! Tahukah kau, siapa saat ini yang paling bisa diandalkan...?"
"Maksud, Ki Dawang?"
"Maksudku, siapa saat ini yang paling bisa di?andalkan untuk mencari dan menemukan putriku kembali?" ulang Ki Dawang Rejo, dengan mata menatap tajam Ki Warso.
"Ki Dawang Rejo memiliki anak buah yang banyak. Dan di antara mereka, tidak sedikit memiliki ilmu olah kanuragan tinggi. Kenapa tidak diperintahkan mereka untuk mencarinya?"
"Sudah. Aku telah mengirim sepuluh orang yang dipimpin Ki Sukaya...."
"Ki Sukaya" Hm ... Aku tahu, dia memang me?miliki kemampuan hebat!"
Ki Dawang Rejo menghela napas seraya mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Tampak bahwa sebenarnya, laki-laki itu tidak merasa puas akan usaha anak buahnya.
"Ki Dawang Rejo tampaknya tidak yakin?"" tanya Ki Warso menduga.
"Ki Sukaya memang hebat. Namun, apakah dia mampu bergerak secepat angin seperti yang dilakukan penculik putriku" Kalau dia tidak mampu berbuat seperti itu, mana mungkin akan menemu?kan putriku kembali...," keluh Ki Dawang Rejo de?ngan wajah muram.
"Jangan dulu berkecil hati, Ki Dawang Rejo. Cerita orang mengenai si Peri Peminum Darah bisa saja terlalu dilebih-lebihkan. Ki Sukaya adalah orang yang tepat untuk tugas ini. Dia hebat. Dan ilmu olah kanuragannya bisa diandalkan!"
Ki Dawang Rejo terdiam. Bukan menyetujui kata-kata Ki Warso, tapi memang kata-katanya se?perti sudah kering.
"Siapa sebaiknya orang itu, Ki Warso...?"
"Maksud, Ki Dawang Rejo..?"
"Orang yang pantas mencari anakku. Dan ka?lau memungkinkan, dari kalangan para pendekar?"
"Kita tidak bisa menentukan. Karena di kalang?an persilatan, banyak sekali orang hebat"
"Aku hanya ingin seorang yang bisa diandalkan! Apa pun yang diminta pasti segera akan kukabulkan!"
Ki Warso terdiam beberapa saat. Benaknya menerka mengingat-ingat, pendekar mana yang bisa melakukan tugas ini.
"Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Ki War?so, seperti berkata pada diri sendiri.
"Siapa"!"
"Pendekar Rajawali Sakti...," ulang Ki Warso.
Ki Dawang Rejo mengangguk pelan. Meskipun hanya sebagai pedagang yang sering bepergian dari satu tempat ke tempat lain, namun orang tua ini sering pula mendengar berita yang terjadi di rimba persilatan. Dan nama tokoh yang disebutkan Ki Warso memang tidak asing lagi di telinganya.
"Di mana kita bisa menemuinya?" desak Ki Dawang Rejo. Wajahnya sedikit cerah, seolah ada harapan di hatinya kalau tokoh yang disebutkan Ki Warso mampu mengembalikan putrinya.
"Itulah yang agak merepotkan, Ki Dawang Rejo. Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh yang menetap di satu tempat. Dia adalah pendekar pengembara. Dan yang lebih penting, dia tidak pernah menerima upah atas pertolongan yang diberikan pada orang lain," jelas Ki Warso.
"Jadi menurutmu, dia tidak mau membantu ki?ta?"
"Bukan begitu, Ki Dawang Rejo. Tapi yang pasti, memang agak sulit mencarinya "
"Aku tidak peduli. Pokoknya, sekarang juga perintahkanlah lima orang untuk mencari pendekar itu. Katakan padanya, bahwa aku memerlukan pertolongannya!"
"Baiklah kalau itu keinginan, Ki Dawang. Akan kuperintahkan lima orang untuk mencarinya...," sahut Ki Warso.
? *** ? Matahari tepat berada di tengah-tengah. Sinarnya yang begitu garang, menjilati atap sebuah padepokan yang berpagar tembok setinggi setengah tombak. Di beranda bangunan utama padepokan, tampak seorang yang telah lanjut usia, duduk bersila berhadapan dengan lima orang laki-laki berba-dan kekar.
"Hm. Ada apa guru kalian mengundangku...?" tanya orang tua berusia sekitar enam puluh enam tahun itu tersenyum kecil.
"Kami tidak tahu, Ki Ageng Sela," sahut salah satu dari lima orang berbadan kekar yang bertindak sebagai juru bicara.
"Kelihatannya ada sesuatu yang penting. Hm, berapa orang yang beliau undang?" tanya orang tua yang ternyata bernama Ki Ageng Sela.
Ki Ageng Sela memang terkenal sebagai Pemimpin Padepokan Teratai Putih. Sementara kelima tamunya saat ini bermaksud mengundangnya, karena memang ada sesuatu yang penting dalam dunia persilatan.
"Pada saat kami berangkat, empat kelompok dari teman-teman kami mendapat tugas yang sama. Hanya saja, kami tidak tahu ke mana mereka pergi?"
"Oh, begitu. Baiklah. Katakan pada guru ka?lian, aku akan datang memenuhi undangannya..."
"Baiklah. Kalau demikian, kami pamit dulu, Ki," sahut si Juru Bicara itu seraya bangkit berdiri, diikuti keempat kawannya.
Mereka segera menjura memberi hormat. Dan orang tua itu hanya tersenyum seraya mengangguk pelan.
Ketika kelima orang itu keluar, Ki Ageng Sela mengantarkan sampai ke pintu depan. Di depan sana, kuda-kuda telah menunggu. Begitu naik ke punggung kuda masing-masing. kelimanya segera menggebah. Baru ketika mereka hilang dari pandangan, orang tua itu beranjak masuk ke dalam bangunan utama padepokan lagi.
"Sumaji...!" teriak Ki Ageng Sela, begitu berada di dalam.
Tak lama, seorang pemuda berusia tiga puluh tahu bertubuh tegap menghampiri dari arah bela?kang dan dia langsung memberi salam hormat.
"Guru memanggilku?" kata pemuda yang dipanggil Sumaji.
Orang tua itu mengangguk.
"Ke mana Nila Dewi..?" tanya Ki Ageng Sela.
"Adik Nila Dewi masih berada di taman bela?kang..."
"Hm...!" Orang tua itu bergumam sesaat"
"Perlukah kupanggilkan, Guru. .?" tanya Su?maji.
"Tidak usah. Biar aku yang ke sana...." kata Ki Ageng Sela seraya melangkah pelan ke arah pintu belakang.
Halaman belakang rumah ini memang luas. Apalagi di sebelah kiri pada jarak lima belas tombak dari bangunan belakang, terdapat sebuah kebun bunga yang cukup luas dan tertata asri. Di tengah-tengah, terdapat sebuah kolam ikan yang dipenuhi berbagai macam ikan hias warna-warni. Begitu indah dilihatnya.
Walaupun hanya beberapa pohon saja yang berbunga, sementara yang lainnya masih kuncup, tapi tidak mengurangi keindahan taman ini. Dari beberapa bagian yang belum teratur, agaknya taman bunga ini baru saja dibuat. Dan sejak cucu satu-satunya yang belakangan ini sering murung dan mengurung diri di kamarnya, Ki Ageng Sela menemukan cara untuk menghibur Nila Dewi. Kebetulan, gadis itu senang akan keindahan. Maka dibuatkan taman bunga untuk Nila Dewi. Orang tua itu berharap, gadis belia ini akan terhibur. Dan nyatanya, Nila Dewi memang menyukainya. Namun, ternyata itu pun tidak menghilangkan kemurungannya. Taman bunga itu malah dijadikan sebagai pelarian yang lain, di samping mengurung diri di kamar.
Kini Nila Dewi yang berbaju biru dengan rambut panjang terurai itu tengah menjulurkan kaki kirinya, mempermainkan air kolam. Sementara dagunya bersandarkan di lutut kanan yang ditekuk di bibir kolam. Sejak tadi dia berbuat begitu tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
"Ehem..."
Gadis itu menoleh sekilas, tampak Ki Ageng Sela yang mendehem tadi telah berada di belakangnya. Namun kembali kakinya mempermainkan air kolam, tanpa peduli pada orang tua itu sedikit pun.
Ki Ageng Sela segera mendekat dan duduk di sampingnya. Kepalanya lantas mendongak ke atas, melihat langit berwarna cerah. Awan putih berkelompok kecil-kecil, berusaha menghalangi bias biru di langit yang bersih. Sesekali terlihat sekawanan burung kecil melintas.
Orang tua itu menghela napas pendek. Kemudian pandangannya beralih ke dalam kolam. Tampak tujuh ekor ikan mas sebesar telapak tangan berenang ke sana kemari, seolah ketakutan karena merasakan air kolam sejak tadi berguncang terus. Sementara, seekor ikan mas berbadan paling besar yang berwarna merah belang-belang hitam, dengan tenang berenang di sudut lain yang agak jauh dari riak air akibat ayunan kaki gadis itu.
"Ketujuh ekor ikan mas ini sebenarnya dari induk yang berbeda. Ketika ditangkap, mereka telah kehilangan induknya. Entah ke mana. Mungkin di?tangkap orang lain, kemudian dimasak. Siapa yang tahu...," kata Ki Ageng Sela membuka pembicaraan.
Nila Dewi sama sekali tidak mempedulikan. Bahkan sedikit pun tidak meliriknya.
"Tiba di kolam ini, mereka menjadi kompak dan bersatu serta menganggap yang lainnya adalah saudara. Juga ikan mas yang besar itu. Sama sekali bukan induk atau saudaranya. Namun mereka menganggap induk pada ikan yang paling besar. Coba lihat. Mereka berenang mendekatinya, dan merasa tenteram berada di dekatnya...," lanjut orang tua itu.
Tetap saja Nila Dewi sama sekali tidak terusik deh kata-kata Ki Ageng Sela itu.
"Kehilangan dan merasa hidup tidak berguna, adalah hal yang salah. Mereka tidak tahu apa yang terjadi esok hari. Mungkin ada seorang kelaparan yang kebetulan lewat sini, ikan itu lantas ditangkapnya. Kemudian, dibakar lalu disantapnya. Namun ikan-ikan ini tetap merasa kalau mereka harus mengisi hidupnya dengan penuh kegembiraan, tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi kemu?dian. Sebab, segala sesuatunya bukan kuasa mere?ka..."
"Eyang.... Aku perlu waktu untuk melupakan Kakang Bayu...," sahut gadis itu, seperti mengerti ke mana tujuan perkataan orang tua itu.
Ki Ageng Sela menghela napas. Kemudian dielus-elusnya rambut cucunya itu.
"Kehilangan orang yang dicintai memang menyakitkan. Namun tidak berarti kalau kita harus menyakiti diri terus. Segala sesuatu alam semesta ini telah diatur Hyang Widhi. Kita harus tabah menerima segala sesuatu, meskipun terasa menyakit?kan...."'
"Kematian Kakang Bayu amat menyakitkan, Eyang " "
"Aku tahu, Cucuku. Tapi bukankah dia telah menemukan ganjaran atas perbuatannya...?"
Nila Dewi terdiam beberapa saat.
"Sudahlah. Kau harus melupakan peristiwa yang menyakitkan ini perlahan-lahan dan jangan menyiksa diri dengan terus bersedih..."
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Eyang...."
"Bukankah kau tidak hidup sendiri" Ada Eyang yang selalu menjagamu" Tidakkah kau merasakannya?"
Gadis belia itu mengangguk pelan. Langsung menatap wajah Ki Ageng Sela.
"Maafkan kalau aku telah banyak menyusahkan, Eyang..."
"Kau tidak menyusahkanku, Cucuku. Nah, cobalah perlahan-lahan menghapus rasa sedih di hatimu...," ujar orang tua itu, lembut.
Nila Dewi kembali mengangguk lemah.
"Tiga hari lagi, Eyang akan ke Padepokan Merak Emas memenuhi undangan mereka. Di sana banyak murid wanitanya. Kau boleh ikut, kalau suka. Karena di sana kau bisa memperoleh banyak kawan...," ajak Ki Ageng Sela seraya tersenyum.
"Eyang inginkan aku ikut?"
"Pilihan itu terserah padamu"
Nila dewi tersenyum.
"Baiklah... Aku akan ikut," ujar gadis itu sambil mengangguk pelan.
"Begitu lebih baik. Nah, ayo kita makan siang bersama," ajak orang tua itu seraya bangkit berdiri.
Nila Dewi bangkit berdiri. mengikuti Ki Ageng Sela yang telah lebih dulu melangkah.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 135. Peri Peminum Darah Bag. 2
26. Oktober 2014 um 05:56
2 ? Sebenarnya, Ki Ageng Sela bukanlah tokoh si?lat papan atas. Namun demikian kepandaiannya cukup tinggi sehingga dia juga cukup disegani. Ha?nya saja, dia lebih suka hidup menyendiri, menjauhi urusan dunia luar. Dan belakangan ini, Ki Ageng Sela malah lebih suka mengurus padepokannya. Dan karena Ki Bagong Udeg yang kini menjadi Ketua Padepokan Merak Emas adalah sahabatnya, maka undangan itu tidak kuasa ditolaknya. Meski mengetahui apa maksudnya, namun sudah bisa diduga kalau urusan tidak jauh dari persoalan rimba persilatan.
Kini Ki Ageng Sela telah berada di dalam kereta yang ditarik seorang kusir bersama Nila Dewi. Di kiri dan kanan kereta, tampak dua orang ikut mengiringi dengan kuda yang selama ini sudah dianggap sebagai anak sendiri. Mereka adalah Sumaji dan Wibowo yang usianya tidak terpaut jauh. Sejak kecil, mereka memang telah ikut bersama orang tua itu.
"Kalau Eyang kurang berkenan mencampuri urusan rimba persilatan, kenapa harus memenuhi undangannya...?" tanya Nila Dewi, memecah kehe?ningan.
"Seorang sahabat tetaplah sahabat. Bahkan bisa menjadi seperti saudara. Kesulitannya adalah kesulitanku juga, Nila," sahut Ki Ageng Sela dengan suara pelan.
"Apakah menurut Eyang, Ki Bagong Udeg mengalami kesulitan?"
"Entahlah. Mungkin dia sekadar ingin mencari jalan keluar yang terbaik. Atau juga, sekadar ingin beramah-tamah karena kami sudah lama tidak bertemu," kilah Ki Ageng Sela.
'Tapi kalau beliau ingin beramah-tamah, tidak semestinya mengundang Eyang. Beliau tentu bisa datang sendiri. Kecuali kalau memang ada acara besar atau istimewa yang sedang dilakukannya," pancing gadis itu.
"Kau benar. Mungkin juga ada sesuatu yang lebih dari sekadar istimewa, sehingga beliau tidak datang sendiri" "
"Maksud, Eyang?"
"Mungkin ada keadaan genting yang dialami...," sahut Ki Ageng Sela menduga.
"Keadaan genting bagaimana, Eyang?" tanya Nila Dewi ingin tahu.
"Yang pasti, menyangkut urusan dunia persi?latan."
"Apa tidak merisaukan Eyang" Karena yang kutahu, Eyang telah lama tidak ikut campur dalam rimba persilatan.?" tanya Nila Dewi khawatir.
Ki Ageng Sela tersenyum seraya memeluk cucunya.
"Yang kukhawatirkan di dunia ini adalah kehilanganmu. Jika kau sedih, maka akan sedih pula hatiku. Jika pergi atau menghilang, maka itu bagai kematian bagiku..."
"Eyang...." Nila Dewi tersenyum seraya menyandarkan kepala di pundak orang tua itu.
Dan baru saja Nila Dewi melepaskan rasa kasihnya pada Ki Ageng Sela, mendadak kusir kereta menghentikan laju kudanya. Cepat Ki Ageng Sela membuka tirai jendela kereta. Sementara Sumaji pun mendekah jendela kereta.
"Ada apa?" tanya orang tua itu.
"Seseorang menghadang perjalanan kita, Gu?ru," sahut Sumaji.
"Siapa?"
"Entahlah. Kami tidak tahu. Guru. Tampaknya orang bertopeng hitam itu bermaksud tidak baik terhadap kita," duga Sumaji sambil melayangkan matanya ke arah depan.
"Hm, biar kulihat...," kata orang tua itu seraya membuka pintu kereta.
"Guru, biar kami selesaikan. Guru dan Adik Nila Dewi diam saja di dalam kereta ," ujar Sumaji, langsung menggebah kudanya ke depan.
Sementara di depan pada jarak lima belas langkah, berdiri tegak seseorang bertubuh tegap terselimut kain hitam sampai ke kepalanya. Yang terlihat hanya sepasang mata yang menyorot tajam dari dua buah lubang pada bagian wajah. Dari caranya berdiri di tengah jalan sudah pasti kalau orang bertopeng itu memang sengaja mencegat.
"Kisanak, menepilah! Kami sedang terburu-buru...!" ujar Sumaji lantang.
"Hm..."
Orang bertopeng itu hanya mendengus sinis, dengan mata tetap menatap tajam pada Sumaji.
"Kisanak! Apa yang kau inginkan, sehingga mencegat perjalanan kami?"
"Berikan gadis yang dalam kereta itu padaku!" sahut orang bertopeng itu, dingin.
"Apa"!" tanya Sumaji dengan wajah berang.
"Berikan orang itu!" ujar orang bertopeng itu, kini suaranya terdengar lantang.
"Kurang ajar! Agaknya kau sejenis hidung belang yang tidak tahu diri. Enyahlah! Dan, jangan sampai kami bertindak keras kepadamu!" gertak Sumaji, mulai kesal.
"Hi hi hi..! Keledai dungu! Kau kira bisa berbuat apa padaku" Berikan apa yang kumau kalau kalian tidak ingin celaka!" sahut si Orang Bertopeng seraya tertawa nyaring.
"Setaaan! Kau kira bisa berbuat seenaknya, heh"! Rupanya orang sepertimu memang perlu dihajar!"
Sumaji agaknya tidak bisa menahan diri. Dan dia sudah langsung melompat menyerang orang bertopeng hitam itu.
"Huh, cari penyakit!"
Begitu serangan mendekat. Orang bertopeng itu hanya mengibaskan tangan kirinya, menangkis kepalan Sumaji.
Plak! Bahkan dengan gerakan tak terdengar, kepalan tangan kanan orang itu cepat bagai kilat menyodok ke arah dada Sumaji.
Duk! Krak! "Aaakh...!"
Terdengar suara berderak dari tulang dada Su?maji yang patah. Pemuda itu sendiri kontan memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal ke tanah persis di depan kereta kuda, dan tewas beberapa saat setelah meregang nyawa. Tulang dadanya remuk, melesak ke dalam sehingga jantungnya pe-cah. Tampak darah meleleh dari mulutnya.
"Sumaji?"!" seru Wibowo kaget. Demikian juga kusir kereta itu.
Sementara Ki Ageng Sela dan Nila Dewi bu?ru-buru keluar begitu mendengar suara ribut-ribut.
? *** ? Ki Ageng Sela dan Nila Dewi berseru kaget, ketika melihat mayat Sumaji tergeletak dengan ke?adaan menyedihkan. Mereka segera menghampiri dan memeriksa tubuh kaku yang tidak berdaya itu. Kemudian dengan wajah berang orang tua itu memandang ke arah orang bertopeng yang berdiri angkuh delapan tombak di depannya.
"Kisanak! Kau telah bertindak telengas pada orangku. Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
Orang bertopeng itu tidak langsung menjawab, pandangannya yang tajam malah di arahkan ke Nila Dewi.
"Kau ikut aku!" ujar orang itu dingin tanpa menoleh pada Ki Ageng Sela.
"Aku" Apa yang kau inginkan?" dengus Nila Dewi garang.
"Jangan banyak tanya! Kalau tidak, akan jatuh korban lagi!"
"Aku tidak suka diancam! Dan jangan coba-coba berbuat seenakmu sendiri!" sahut Nila Dewi tegas.
"Gadis dungu! Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku. Setahun lalu, kepandaianmu hanya seujung kuku. Dan apa kira kini telah maju pesat" Huh! Lebih baik menurut saja!"
Mendengar itu Nila Dewi tersentak. Setahun la?lu" Apakah dia pernah bertemu orang bertopeng ini" Siapa dia sebenarnya"
"Siapa kau?" tanya Nila Dewi dingin.
"Kau tidak perlu tahu, siapa aku. Tapi yang perlu kau ketahui, aku cukup berbaik hati pada ka?lian dengan memberi kesempatan bicara banyak. Biasanya aku tidak pernah berbasa-basi mendapatkan korbanku. Nah, jangan berpanjang urusan. Ikut denganku, atau kalian semua celaka!"
"Iblis keji! Kau tidak bisa berbuat sesuka hatimu!"
Wibowo yang sejak tadi tidak bisa menahan amarahnya, sudah melangkah lebar. Dia bermaksud menghajar orang bertopeng itu.
"Sabar, Wibowo...," cegah Ki Ageng Sela, seraya merentangkan sebelah tangan menahannya.
'Tapi, Guru. Orang ini sungguh keterlaluan. Dia telah membunuh Kakang Sumaji. Dan kini, hendak meminta Adik Nila Dewi. Bukankah itu sangat keterlaluan"!" sergah Wibowo. Agaknya, da?rah mudanya telah telanjur menggelegak ke kepala.
Ki Ageng Sela kembali menahan ketika Wibo?wo telah menghunus pedang di punggungnya. Orang tua itu maju dua langkah langsung memandang tajam orang bertopeng di depan.
"Kisanak! Kau sungguh keterlaluan. Aku tidak bisa memenuhi keinginan gilamu itu. Dan karena kau telah membunuh muridku, maka terpaksa aku harus menghukum setimpal atas perbuatanmu!" kata Ki Ageng Sela dingin.
"Huh! Orang tua tidak tahu diri! Kau kira dirimu sudah hebat, heh"! Sepuluh orang sepertimu, belum tentu mampu menghadapiku!" dengus orang bertopeng itu bernada sombong.
"Kau boleh mencobanya...!" sahut Ki Ageng Sela tenang, seraya mencabut pedang di pinggang.
Sring! "Huh! Orang bertopeng itu hanya mendengus dingin. Langsung dia bersiap, menerima serangan.
"Bersiaplah kau, Kisanak" Yeaaat!"
Wuk! Wuk! Pedang Ki Ageng Sela berkelebat cepat bagai kilat menyambar pinggang dan leher lawannya.
"Yeaaa!"
Namun dengan gerakan mengagumkan, orang bertopeng itu langsung melenting dan berjumpalitan, menghindari kelebatan pedang Ki Ageng Sela. Bahkan mendadak tubuhnya melesat gesit, bagai seekor walet menyambar orang tua itu. Kaki kanannya menghantam ke muka. Dan bersamaan dengan itu, kepalan kirinya siap menyodok ke arah perut.
Wukkk! Ki Ageng Sela cepat mengibaskan pedangnya. Namun cepat sekali orang bertopeng itu menarik tendangannya. Bahkan langsung menyodokkan ke?palan tangannya ke perut. Orang tua itu terkesiap. Dan dia berusaha menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Des! "Akh!"
Ki Ageng Sela terpekik dengan tubuh terhuyung-huyung. Sungguh tak diduga kalau tenaga da?lam orang itu demikian tinggi.
"Eyaaang...!" Nila Dewi berseru kaget.
Buru-buru gadis itu menghampiri kakeknya yang terhuyung-huyung ke belakang, begitu ta?ngannya habis berbenturan
"Yeaaa!"
Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan belum lagi Ki Ageng Sela siap, orang ber?topeng itu sudah kembali menyerang.
"Huh!"
Nila Dewi mendengus. Cepat disadari kalau orang itu sudah melanjutkan serangan ke arah ka?keknya. Cepat pedangnya dicabut hendak dipapas serangan itu.
Sring! "Bangsat terkutuk! Lihat serangan... Yeaaat!"
Nila Dewi langsung meluruk bagai panah lepas dari busur, sambil mengibaskan pedangnya dengan gerakan laksana kilat.
Wat Wut! Bet! Pedang di tangan gadis itu seperti hendak mengurung gerak tubuh lawannya. Namun orang ber?topeng itu terlihat mampu menghindari dengan meliukkan tubuhnya ke sana kemari. Cerakannya ter?lihat indah.
"Nila Dewi! Jangan membuatku kesal. Menyerahlah! Atau, aku akan bertindak keras padamu"!" hardik orang bertopeng itu mulai kesal. Agaknya, dia telah mengenal betul dengan gadis itu.
"Huh! Siapa kau ini sebenarnya"! Kau tahu namaku, dan aku tak mengenalmu. Tapi, jangan harap aku akan menyerah begitu saja!" dengus Nila Dewi tegas.
"Adik Nila Dewi, jangan khawatir! Biar kita hadapi si Keparat ini bersama-sama!" teriak Wibowo seraya melompat menyerang sambil mencabut pe?dangnya yang tadi sudah tersimpan di pinggang.
Sret! Bet! Bet! Pedang Wibowo menyambar cepat ke arah lawan. Namun seperti tadi, orang bertopeng itu sama sekali tidak merasa terdesak dikeroyok seperti ini.
"Huh! Hanya buang-buang waktu saja!" de?ngus orang bertopeng itu geram seraya merubah gerak jurusnya.
Kali ini orang bertopeng itu mulai melompat ke belakang. Lalu dia kembali melayang ke muka, menyambut kedua lawannya yang terus mengejar. Gerakannya begitu gesit. Bahkan nyaris Wibowo dan Nila Dewi tidak mampu melihat, apa yang dilakukan orang bertopeng itu. Dan mendadak saja....
"Heaaat..!"
Orang bertopeng itu cepat bagai kilat meluruk deras ke arah Wibowo dan Nila Dewi. Tangan kanannya tertuju ke dada murid Ki Ageng Sela ini. Sementara, tangan kirinya melayang ke bahu Nila Dewi. Begitu cepat gerakannya sehingga...
Des! Tuk! "Aaa...!"
"Oh...!"
Wibowo memekik kesakitan begitu pukulan orang bertopeng itu mendarat di dadanya. Tubuhnya kontan terjungkal ke samping dengan pedang terpental entah ke mana. Begitu ambruk di tanah tubuhnya menggelepar sesaat, kemudian tak ba-ngun-bangun lagi. Mati. Apa yang dialaminya tidak jauh berbeda dengan Sumaji. Tulang dada di bagian kirinya melesak ke dalam, dan jantungnya langsung pecah.
Sementara Nila Dewi merasakan tahu-tahu saja pedangnya terlepas dari genggaman. Dan tubuhnya mendadak lemas karena tertotok.
Orang bertopeng itu segera menghampiri Nila Dewi yang terbaring lemas. Langsung dibopongnya gadis itu, dengan sebelah tangan.
"Bangsat! Lepaskan aku!" teriak Nila Dewi.
Dan baru saja orang bertopeng itu hendak membawa lari Nila Dewi, mendadak....
"Lepaskan wanita itu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, yang disusul oleh kelebatan sebuah bayangan putih yang cepat bagai kilat ke arah orang bertopeng itu.
"Heh"!"
Orang bertopeng itu terkesiap kaget. Cepat dia berbalik sambil mengebutkan tangan kirinya.
Namun bayangan putih itu agaknya sudah menduga. Maka tubuhnya langsung meliuk, seraya menyorongkan kaki kanannya ke wajah.
"Hih!"
? *** ? Orang bertopeng itu berusaha mengayunkan tubuh Nila Dewi dalam kepitannya, untuk dijadikan perisai. Namun bayangan putih itu cepat menarik pulang serangannya. Kakinya langsung ditekuk, dan seketika dilayangkan ke pinggang dengan gerakan tidak terduga. Gerakan ini membuat orang bertopeng itu terkejut bukan main. Terpaksa kepitan pada tubuh Nila Dewi dilepaskan, dan tangan kanannya bergerak menangkis.
Plak! "Ukh...!"
Orang bertopeng itu mengeluh tertahan, begitu tangannya menangkis tendangan bayangan putih yang menjadi lawannya ini. Tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah. Sungguh tak disangka kalau tenaga dalam lawannya sangat tinggi.
Sementara itu Nila Dewi yang sudah tergolek di tanah langsung disambar bayangan putih tadi, setelah gadis itu berada di tempat aman, dia lang?sung berbalik menghadap ke arah lawannya.
"Huh! Kau rupanya ..!" desis orang bertopeng itu ketika mengetahui, siapa orang yang telah mencampuri urusannya.
Sedangkan Nila Dewi hanya terpana untuk sesaat, ketika menyadari kejadian yang demikian cepat. Bahkan dia sendiri baru sadar telah berada di tempat yang aman, dan melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang telah menolongnya.
"Oh! Kau" Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti..."!" seru gadis itu.
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu memandang Nila Dewi beberapa saat. Kemudian bibirnya tersenyum kecil.
"Hm... Nisanak! Rasanya kita pernah berjumpa. Di manakah itu?" Rangga malah balik bertanya sambil berusaha mengingat-ingat.
Namun baru saja kata-kata Rangga kering, kesempatan itu digunakan si Orang Bertopeng untuk berkelebat cepat.
"Kisanak! Orang itu melarikan diri...!" kusir kereta langsung berteriak memberitahu.
"Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut. Dan dia hanya sempat melihat sekelebatan bayangan hitam yang mencelat bagaikan kilat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh orang itu. Sehingga Rangga tak sempat mengejar.
"Pendekar Rajawali Sakti! Belum saatnya kita berhadapan. Suatu saat, aku akan mencarimu un?tuk menyelesaikan hutang lama" !"
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara orang bertopeng itu.
Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu tercekat. Memang percuma Pendekar Ra?jawali Sakti mengejar, karena orang bertopeng itu telah hilang dari pandangan. Dia hanya tidak habis pikir, siapa orang itu sebenarnya" Dan, hutang apa yang disebutkannya tadi"
"Pendekar Rajawali Sakti, kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib cucuku ini...," ucap Ki Ageng Sela yang telah sehat kembali. Dihampirinya pemuda itu bersama Nila Dewi.
"Tahukah kalian, siapa sebenarnya orang ber?topeng itu?" tanya Rangga.
"Entahlah. Dia tiba-tiba saja datang menghadang, lalu membunuh kedua muridku...."
"Apakah dia hendak merampok?"
"Dia menginginkan cucuku...
"Cucumu" Untuk apa?"
"Sudah pasti bisa ditebak, bajingan pemetik bunga sepertinya pasti sudah jelas maksudnya. Un?tuk apa dia menculik, Cucuku!" desis Ki Ajeng Sela masih terselip nada gusar dalam ucapannya.
"Siapa yang kau maksud bajingan pemetik bunga itu, Kisanak?" tanya Rangga bdak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan orang bertopeng itu!"
"Orang bertopeng itu" Mungkinkah seorang wanita melampiaskan nafsu setannya pada wanita pula" Hm.??? Barangkali mengidap kelainan jiwa," sahut Rangga, menjawab sendiri pertanyaannya.
"Wanita" Siapa yang kau maksud wanita itu?" Kali ini Ki Ageng Sela yang tampak bingung.
"Orang bertopeng itu. Dia seorang wanita. Apakah kalian tidak tahu?"
Ki Ageng Sela dan Nila Dewi terdiam dan saling pandang sejenak. Lalu, terlihat orang tua itu meng?angguk pelan.
"Mataku memang telah lamur...," gumam Ki Ageng Sela seraya tersenyum kecut.
"Aku tidak tahu siapa dia. Namun, agaknya orang itu mengenalku...," kata Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti lalu berbalik. Sebentar dia terdiam, kemudian bersuit pendek. Tak lama, dari kejauhan terlihat seekor kuda berbulu hitam berlari menghampiri. Begitu tiba di dekatnya, dia melompat ke atas punggung Dewa Bayu.
"Eh, Nisanak. Maafkan aku. Namun, tolong beritahu di mana kita pernah ketemu..!" lanjut Rangga seraya tersenyum.
"Ingatkah peristiwa setahun lalu. Kau dulu pernah menolongku dan Roro Intan...?" tanya Nila Dewi seraya tersipu malu.
Rangga berpikir sejenak. Kemudian bibirnya tersenyum lebar seraya mengangguk kecil.
"Ah, aku baru ingat! Ya, kaulah orangnya!" seru Pendekar Rajawali Sakti.
Nila Dewi tersenyum seraya menundukkan wa?jah.
"Nah, Kisanak dan kau juga Nisanak. Aku tidak bisa lama. Kudengar Peri Peminum Darah berkeliaran di sekitar daerah ini. Aku ada sedikit urusan dengannya!" lanjut Rangga seraya menggebah ku?danya. Sebentar saja dia berlalu dari tempat itu, meninggalkan kepulan debu di jalan.
"Peri Peminum Darah" Siapa yang dimaksudkannya?" gumam Ki Ageng Sela bingung.
Tapi Nila Dewi dan kusir kereta mereka tidak kalah bingung. Untuk sesaat mereka membisu, sebelum akhirnya mengurus jenazah Sumaji dan Wi?bowo.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 135. Peri Peminum Darah Bag. 3
26. Oktober 2014 um 05:57
3 ? Sesosok tubuh terus berkelebat cepat dengan gerakan ringan, memasuki sebuah hutan lebat. Tanpa menoleh ke sekeliling, sosok terbungkus pakaian serba hitam dan mengenakan topeng hitam pula, melesat ke dekat salah satu pohon yang berukuran besar. Begitu sampai, dia berdiri agak lama seperti memasang pendengarannya baik-baik. Setelah merasa yakin kalau tidak ada seorang pun yang mengikuti, ditariknya salah satu akar pohon itu. Se?hingga terbukalah sebuah pintu rahasia di batang pohon yang besarnya tiga kali pelukan orang de-wasa. Orang bertopeng itu segera masuk ke dalamnya. Dan begitu dia masuk, pintu rahasia itu menutup kembali tanpa bekas.
Orang bertopeng itu langsung menuruni bebe?rapa buah anak tangga menuju ke bawah, yang terdapat tiga buah pintu. Dia segera menerobos lewat pintu kiri memasuki sebuah lorong sempit yang agak panjang. Dan akhirnya lorong itu menjadi buntu ketika sebuah pintu menghadangnya. Tanpa ragu-ragu, dibukanya pintu itu. Lalu, ditutupnya dengan cepat
Di dalam, terdapat sebuah ruangan mirip goa yang dinding-dindingnya terasa pengap dan lembab. Di tengah-tengah, terlihat sebuah kolam yang airnya seperti mendidih, lengkap dengan uap yang mengepul ke atas. Persis di seberang kolam yang berbentuk lingkaran, terdapat sebuah altar batu pualam agak tinggi. Sehingga, perlu dibuat bebera?pa undakan anak tangga untuk naik ke atasnya. Altar batu itu bersambung dengan sebuah patung wanita telanjang yang sedang menari. Di bawah pa?tung, suasana tampak suram. Namun jelas terlihat ada sebuah kursi agak lebar yang di atasnya duduk seseorang dengan sikap menekur. Wajahnya tertekuk ke bawah. Sehingga sulit dikenali. Dan yang lebih menakjubkan..., orang itu sama sekali tidak berpakaian! Kulitnya pucat bagai tidak dialiri darah sedikit pun. Sedangkan rambut yang menutupi wa?jahnya berwarna keemasan.
Sementara itu orang bertopeng ini membuka selubung wajahnya. Demikian juga kain hitam yang melibat tubuhnya, sehingga yang melekat hanya baju tipis tembus pandang. Rambutnya yang pan?jang sepunggung, dibiarkan begitu saja. Sehingga apabila berjalan, sempurnalah orang ini sebagai seorang gadis jelita laksana bidadari!
"Guru... Hari ini aku gagal mendapatkan persyaratan itu...," desah gadis itu lirih, seraya bersimpuh di depan wanita berambut keemasan
"Tahukah kau bahwa darah itu sangat dipedu?likan bagi kesaktianmu. Semakin banyak kau mengirup darah, maka tenaga dalammu akan semakin bertambah...," sahut suara parau yang keluar bagai dari kerongkongan orang tengah tercekik.
"Aku tahu, Guru...," kata gadis itu.
"Lalu, kenapa bisa gagal"!" desah wanita yang duduk di kursi lebar itu.
"Aku berhadapan dengan pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti."
Wanita di hadapan gadis itu terdiam beberapa saat, tanpa memperlihatkan wajahnya.
"Roro Inten! Aku merasakan kalau hatimu di-liputi rasa kasih terhadap pemuda itu...."
"Bukan begitu maksudku, Guru!" tukas gadis itu cepat. "Aku hanya merasa, belum waktunya membalas dendam itu."
"Hm.... Hati-hatilah kau dalam soal ini. Ibumu menemui ajal di tangannya. Dan kau harus balas kematiannya, agar roh ibumu merasa tenang. Ja?ngan campurkan masalah pribadi dengan soal ini!"
Gadis yang ternyata bernama Roro Inten itu terdiam. Kepalanya tetap tertunduk, seperti menekuri altar.
"Sanggupkah kau menghukum pemuda itu"!"
"Dengan seizin Guru, tentu saja sanggup!" sa?hut Roro Inten mantap.
"Bagus! Bagus, Roro Inten. Kau bisa balaskan kematian ibumu. Tapi, ingat! Jangan bertindak gegabah. Musuhmu bukanlah orang sembarangan. Dan untuk itu, kau harus menambah bekal yang lainnya...."
"Terima kasih. Guru."
"Berendamlah kau ke dalam kolam itu selama tiga hari tiga malam. Di situ ada tantangan serta ujian yang harus dihadapi. Pada hari pertama, kau akan merasakan hawa dingin yang amat menyengat. Lalu pada hari kedua, kau akan merasa tubuhmu seperti terbakar api. Keduanya akan meresap ke dalam tubuhmu dan mengendap menjadi pukulan dahsyat. Lalu pada hari ketiga, kau harus menahan pusaran air kolam yang bergerak ke bawah. Kau tidak boleh terhanyut. Dan bila hal itu terjadi, maka kau akan binasa. Mengerti, Roro Inten"!" jelas wanita yang ternyata guru Roro Inten.
"Mengerti, Guru!"
"Bagus! Ingatlah baik-baik, karena ujian ini tergantung dari hatimu. Bukan dari kekuatanmu. Jika hatimu keras dan semangatmu menyala-nyala, ma?ka dengan sendirinya ujian itu akan kau jalani de?ngan mudah. Tapi jika semangatmu lemah, maka yang kau rasakan hanya penderitaan," jelas wanita berambut keemasan itu lagi.
Roro Inten kembali mengangguk cepat.
"Kau boleh saja berhenti mencari korban. Na?mun dengan begitu, kau harus siap menerima kematian di tangan pemuda itu. Karena tenaga dalammu akan kalah tinggi. Darah perawan suci yang kau minum, sesungguhnya menambah tenaga dalammu. Maka makin banyak yang kau hirup, akan semakin bertambah tenaga dalammu. Itulah ciri khas aji 'Gandar Wesi' yang kuajarkan padamu."
"Guru, aku akan selalu mengingat pesanmu. Dan akan kujalankan dengan sebaik-baiknya!"
"Berhati-hatilah jika berhadapan dengannya. Jangan merasa bahwa kau mampu menaklukannya dengan mudah. Kesombongan akan mencelakakan diri sendiri, seperti yang dialami ibumu. Dia terlalu yakin mampu mengalahkan lawan. Dan akibatnya, dia harus menerima kematian!" kata wanita itu memberi pesan.
Roro Inten mengangguk.
"Nah! Tengah malam nanti, kau sudah boleh mulai merendam dirimu ke dalam kolam itu!"
Kembali gadis itu mengangguk, seraya bersujud memberi hormat. Kemudian perlahan-lahan ditinggalkannya altar, dan berlalu dari ruangan ini.
? *** ? Padepokan Merah Emas yang dipimpin Ki Ba?gong Udeg terlihat sedikit ramai daripada biasanya. Di halaman depan, beberapa ekor kuda tengah ditambatkan. Sementara lebih dari dua puluh orang murid-muridnya berjaga-jaga dengan senjata lengkap. Hari ini, orang tua berusia sekitar enam puluh delapan tahun itu tengah mengumpulkan beberapa orang sahabatnya, untuk bermusyawarah. Semula, tidak ada seorang pun yang tahu, apa sebenarnya yang hendak dibicarakannya. Namun mereka se?mua menduga kalau Ki Bagong Udeg sedikit ba?nyak pasti ingin membicarakan masalah perkembangan dunia persilatan yang terjadi belakangan ini. Beberapa tahun lalu, hal ini pernah dibahas, meski salah seorang sahabat dekatnya yang bernama Ki Ageng Sena tidak hadir.
Mereka berkumpul di dalam sebuah ruangan istana yang berukuran besar. Di tengah-tengahnya terdapat meja persegi panjang yang agak besar, lengkap dengan enam buah kursi. Dan kini lima tokoh persilatan yang merupakan kawan baik Ki Bagong Udeg telah mengambil tempat masing-masing. Dan sisanya, untuk Ki Bagong Udeg sendiri.
"Sahabat-sahabatku semua. Maafkan kalau aku tidak memberitahu, apa sebenarnya maksud tujuan undanganku yang disampaikan murid-muridku," kata Ki Bagong Udeg.
"Benar, Ki Bagong. Kami sendiri bertanya-tanya, apa sebenarnya yang kau inginkan dari pertemuan ini?" tanya laki-laki tinggi kurus terbungkus pakaian hijau. Di punggungnya tampak sebilah pe?dang. Di kalangan persilatan dia dikenal dengan nama Ki Panjaran.
"Apakah kalian mendengar apa yang terjadi belakangan ini" Seorang tokoh yang disebut Peri Peminum Darah, telah merajalela dengan menculik dan membunuh gadis-gadis perawan," kata Ki Ba?gong Udeg menjelaskan.
"Ya, aku pernah mendengarnya...." sahut laki-laki bertubuh pendek gemuk. Dia dikenal nama Ki Tabong. Sementara seorang laki-laki yang wajah?nya tampak lebih muda daripada usianya yang se?benarnya, hanya mengangguk-angguk. Sedangkan laki-laki yang seluruh rambutnya telah memutih seperti tenang-tenang saja. Mereka masing-masing bernama Ki Waskita dan Ki Panaka.
"Peri Peminum Darah" Hm... Tadi pun Pende?kar Rajawali Sakti menyebut nama itu. Siapa se?benarnya Peri Peminum Darah"!" gumam Ki Ageng Sela sambil memandang sahabat-sahabatnya de?ngan wajah bingung.
"Apakah Ki Ageng Sela pernah bertemu de?ngan orang itu?" tanya Ki Bagong Udeg.
Ki Ageng Sela kemudian menceritakan peristiwa yang dialami ketika mengadakan perjalanan ke tempat ini.
"Astaga! Sesungguhnya orang itulah si Peri Pe?minum Darah!" seru Ki Bagong Udeg kaget.
"Dari mana kau tahu kalau orang itu Peri Pe?minum Darah?" tanya Ki Ageng Sela.
"Aku pernah melihatnya dari dekat ketika dia menculik dua orang muridku. Gerakannya cepat sekali, bagai angin. Sehingga aku kehilangan jejak, ketika mencoba mengejarnya," jelas Ki Bagong Udeg.
"Apakah Peri Peminum Darah tidak tahu kalau sesungguhnya tengah berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Panaka dengan wajah heran.
"Rasanya. Pendekar Rajawali Sakti tidak mengenal Peri Peminum Darah. Kalau tidak, mana mungkin dibiarkan lolos begitu saja," sahut Ki Ageng Sela.
Ki Bagong Udeg menghela napas sesak. Ditatapnya kawan-kawannya satu persatu.
"Karena persoalan inilah, maka aku mengun dang kalian. Dan aku mengharapkan bantuan ka?lian untuk mengatasinya..."
"Orang itu memang memiliki kepandaian he?bat. Buktinya dalam waktu singkat, aku dapat di jatuhkannya dengan mudah. ," desah Ki Ageng Sela pelan.
"Aku juga merasakannya, Ki Ageng. Ilmu meringankan tubuhnya luar biasa. Dan lebih dari itu, gerakannya gesit sekali sahut Ki Bagong Udeg putus asa.
Mereka terdiam sesaat. Dan suasana pun jadi hening.
"Padahal menurut Pendekar Rajawali Sakti, orang itu adalah wanita...," kata Ki Ageng Sela pe?lan, namun cukup untuk mencegah kebisuan.
"Wanita" Hm, hebat sekali! Ini mengingatkanku pada peristiwa setahun lalu ." sahut Ki Ba?gong Udeg dengan wajah berkerut.
"Maksud Ki Bagong?" tanya Ki Waskita.
"Ingatkah kalian ketika si Hantu Putih Mata Elang membuat kerusuhan?"
Seketika yang diberi pertanyaan mengangguk serempak.
"Kita tidak tahu, apakah keduanya memiliki hubungan satu sama lain atau tidak. Namun, kejadian kali ini menimpa di wilayah yang sama. Dan hal ini membuatku curiga...," cetus Ki Bagong Udeg.
"Maksudmu, si Peri Peminum Darah memiliki hubungan erat dengan Hantu Putih Mata Elang?" tanya Ki Tabong, ingin menegaskan.
"Hm.... Mungkin muridnya, anaknya, atau saudara dekatnya...." sambung Ki Panjaran.
"Mungkin juga bisa begitu. Sebab ketika kabur, orang bertopeng itu mengancam Pendekar Rajawali Sakti," jelas Ki Ageng Sela.
"Hantu Putih Mata Elang tewas di tangan Pen?dekar Rajawali Sakti. Kalau si Peri Peminum Darah memiliki hubungan erat dengan Hantu Putih Mata Elang, bisa memang mempunyai dendam kesumat," kata Ki Bagong Udeg menduga.
"Dan rasanya, Pendekar Rajawali Sakti mung?kin merasakannya. Sehingga, dia harus mencari si Peri Peminum Darah," timpal Ki Panaka.
"Betul, Ki Panaka," sahut Ki Ageng Sela. "Perlukah kita beritahukan pemuda itu agar tidak ke?hilangan arah mencari lawannya" Padahal, dia telah bertemu dan bertarung sejenak dengan Peri Pemi?num Darah?"
"Tapi, di mana kita harus mencarinya?" tanya Ki Waskita.
"Ki Waskita dan juga yang lain, memiliki jumlah murid yang cukup banyak. Kulihat, Pendekar Raja?wali Sakti mencari ke arah barat. Bagaimana kalau kalian sebar murid-murid kita, untuk menyampaikan pesan padanya agar sudi bergabung dengan kita dalam menghadapi si Peri Peminum Darah?" kata Ki Ageng Sela memberi usul.
"Itu usul yang bagus!" seru Ki Bagong Udeg dengan wajah cerah.
Yang lain pun segera menyambut baik usul Ki Ageng Sela, seraya mengangguk.
"Tidak usah ditunda lagi, Ki Bagong. Saat ini juga, kau boleh memberi perintah pada murid-muridmu untuk mencari pemuda itu!" kata Ki Tabong.
"Baiklah," kata Ki Bagong Udeg, seraya menepuk tangan dua kali.
Tak lama seorang murid Ki Bagong Udeg ma?suk ke dalam ruangan. Orang tua itu lantas membe?ri perintah sesuai apa yang disepakati bersama.
"Ajak sepuluh orang di bawah pimpinan Soma Manggala...!" ujar Ki Bagong Udeg mengakhiri perintahnya.
"Baik, Guru!" sahut murid itu cepat, seraya berlalu dari ruangan setelah memberi hormat.
"Nah! Kurasa tidak ada yang dibicarakan lagi. Sepulang dari sini, murid-muridku akan kuperintahkan untuk ikut mencari Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Panjaran.
"Ya, kami juga begitu," kata yang lain hampir bersamaan.
"Setelah berhasil menemukan Pendekar Raja?wali Sakti, kita akan berkumpul lagi di sini untuk membicarakan langkah selanjutnya!" kata Ki Ba?gong Udeg mengakhiri pertemuan.
? *** ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah menggebah kuda hitamnya perlahan-lahan, memasuki sebuah desa yang tidak begitu ramai. Suasana tampak sepi. Hanya satu dua orang saja yang lalu lalang di jalan. Mereka melirik pemuda dengan pedang bergagang kepala burung itu sekilas, kemudian buru-buru menyingkir ke dalam rumah. Sepertinya, mereka takut dengan pemuda yang tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan beberapa anak kecil yang tengah bermain di jalan, buru-buru ditarik orangtuanya ke dalam rumah.
"Hm.... Kenapa mereka tampaknya takut denganku" Apakah wajahku menyeramkan?" gumam Rangga seraya tersenyum pahit.
Sementara itu seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun bertelanjang dada, tampak berdiri tegak, memandangi pemuda itu tanpa berkedip. Tu?buhnya kurus dan perutnya sedikit buncit. Kedua tangannya berada di belakang. Rangga tersenyum, lalu menghampiri. Begitu tiba di dekat bocah itu, dia turun dari punggung Dewa Bayu.
"Siapa namamu...?" sapa Pendekar Rajawali Sakti ramah.
"Jatmika...," sahut si Bocah tanpa takut sedikitpun.
"Kau tidak takut padaku...?" tanya Rangga lagi.
Bocah itu tersenyum lebar.
"Apakah kau setan pemakan anak sepertiku.?" sahut bocah itu balik bertanya.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng lemah.
"Kalau begitu, aku tidak takut padamu," sahut si Bocah Jatmika polos, bernada mantap.
"Lalu, kenapa orang-orang itu takut melihatku...?"
"Mereka mengira kau adalah Peri Peminum Darah...."
"Peri Peminum Darah?"
Jatmika mengangguk yakin
"Apakah kau pernah melihatnya?"
Bocah itu menggeleng.
"Apakah mereka juga pernah melihatnya?"
Bocah itu kembali menggeleng.
"Lalu, kenapa musti takut padaku. Bahkan menyangka aku ini Peri Peminum Darah?"
"Tadi pagi ada yang diculik..."
"Diculik" Siapa yang diculik!"
"Nyi Surti, anak Ki Dirja...."
"Siapa yang menculiknya?"
"Kata orang-orang", Peri Peminum Darah itu."
"Lalu?"
Bocah itu terdiam seraya memandang wajah Rangga. Wajahnya yang tadi cerah, kini terlihat curiga. Pendekar Rajawali Sakti memang banyak ber?tanya. Dan itu justru membuat Jatmika sedikit takut. Namun sebentar kemudian. Rangga tersenyum ke?tika telah menemukan akal. Dikeluarkannya dua keping uang perak, langsung diangsurkannya pada bocah itu.
"Ambillah...!"
Jatmika memandang Rangga dengan wajah berseri. Seumur hidup belum pernah dia melihat uang sebanyak itu.
"Ambillah" Ini untukmu!" ujar Rangga ketika melihat bocah itu masih ragu-ragu mengambilnya.
"Jatmika...!"
Pada saat itu terdengar bentakan keras. Tak lama seorang wanita muda tergopoh-gopoh meng?hampiri bocah bernama Jatmika ini.
Bocah itu melirik. Dan seketika wajahnya kelihatan takut. Dipandangnya beberapa saat ke arah Rangga.
"Apakah dia ibumu?"
Jatmika mengangguk.
"Anak nakal! Apa yang kau lakukan di sini, heh"! Bisa-bisa kau diculik nanti. Ayo, masuk! Ma?suk...!" teriak wanita itu seraya mencengkeram pergelangan tangan anaknya. Segera diseretnya Jat?mika dari tempat itu.
"Nisanak! Anakmu tidak berbuat apa-apa pa?daku...!" ujar Rangga.
"Huh! Dia memang tidak berbuat apa-apa. Ta?pi, kaulah yang nanti akan menculik dan mengisap darahnya!" desis wanita itu garang.
"Menculik dan mengisap darah anakmu" Apa maksudmu?" tanya Rangga bingung.
"Huh! Pura-pura bodoh! Kau kira kami tidak tahu tipu muslihatmu" Kau berpura-pura baik, tapi diam diam nanti menculik semua anak-anak dan gadis di desa ini untuk diisap darahnya! Dasar iblis keparat!" maki wanita itu tidak karuan, segera menyeret anaknya buru-buru ke dalam rumah.
Pendekar Rajawali Sakti jadi tercenung. Dan belum juga rasa bingungnya hilang, tampak bebe?rapa orang perlahan-lahan mulai mendekatinya dengan senjata terhunus. Rupanya laki-laki dewasa di desa itu sudah sejak tadi memperhatikan Rangga. Dan mereka siap menghajarnya dengan wajah sinis penuh dendam. Rangga menghitung dalam hati. Dan jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang.
"Kisanak! Ada apa ini" Mengapa aku dikurung seperti ini?" tanya Rangga ramah dengan sikap tenang.
"Jangan berpura-pura! Kedatanganmu ke sini pasti hendak menculik beberapa gadis desa ini lagi. Tapi, jangan harap kami akan tinggal diam begitu saja!" sahut salah seorang, mendengus sinis.
"Rupanya kalian menduga kalau aku adalah si Peri Peminum Darah. Padahal, justru aku sedang mencari orang itu," sahut Rangga.
"Huh! Bisa saja kau berpura-pura baik. Pada?hal, di hatimu tersimpan niat busuk!" desis orang itu lagi.
"Sudah, jangan banyak bicara! Tangkap saja dia. Dan, kita gantung ramai-ramai...!" teriak bebe?rapa pemuda. Agaknya, dia sudah tidak sabar lagi, ingin buru-buru meringkus pemuda berbaju rompi putih itu.
"Betul! Jangan tunggu lama-lama lagi. Nanti dia keburu kabur!" umpal yang lain.
Dan secara serentak. Lima orang pemuda de?ngan golok terhunus langsung melompat menye?rang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yaaat!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 135. Peri Peminum Darah Bag. 4
26. Oktober 2014 um 05:57
4 ? Rangga hanya mampu menggeleng lemah me?lihat kenekatan penduduk desa ini. Agaknya mere?ka begitu dendam pada Peri Peminum Darah yang telah menculik beberapa gadis desa ini. Sehingga kemunculannya di sini, dianggap orang asing yang akan mendatangkan bencana. Dan lebih gila lagi, mereka menuduhnya sebagai Peri Peminum Darah!
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Dan tahu-tahu, tubuhnya meluruk deras sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Begitu cepat gerakan?nya, dan tahu-tahu...
Plak! Wuuut! Tap! "Heh"!"
Kelima pemuda desa yang mengeroyok kontan terkejut setengah mati karena tahu-tahu saja, pergelangan tangan mereka masing-masing terasa kesemutan. Dan ketika menyadari apa yang terjadi, golok-golok itu telah berada di tangan Pendekar Raja?wali Sakti yang berdiri tegak pada jarak tiga langkah di belakang mereka.
"Sedikit pun tidak ada maksud jahat di hatiku. Tapi kalau aku mau, mudah saja menebas leher kalian," Rangga menggertak, berusaha menyadarkan kelima pemuda itu.
"Lihat! Dia benar-benar penculik keparat itu! Gerakannya cepat, seperti tadi pagi saat menculik putri Ki Dirja. Tunggu apa lagi" Ayo, ringkus dan jangan biarkan dia lolos!" teriak seseorang dengan wajah semakin geram.
"Sial!" rutuk Rangga, kesal.
Pada saat itu juga, beberapa pemuda segera maju menyerang tanpa mengenal rasa takut.
"Yaaat!"
"Bunuh dia...! Bunuh penculik keparat itu!"
"Cincang dia!"
Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga cepat bagai kilat melompat ke bela?kang, sambil melempar kelima golok di tangannya satu persatu ke arah orang-orang yang menyerbu.
Wut! Beberapa orang jadi terkesiap. Dan mereka merasa kalau sebentar lagi akan jatuh korban ketika golok-golok itu melesat kencang. Namun....
Trak! Tak! Ternyata golok-golok yang dilemparkan Pende?kar Rajawali Sakti sengaja diarahkan pada senjata-senjata di tangan para pengeroyok hingga berpentalan. Namun tindakan itu sama sekali tidak membuat mereka terkejut. Justru sebaliknya, mereka malah menyerang pemuda itu dengan kalap.
"Yeaaa!"
"Hhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi mendengus kesal. Dan dengan gerakan mengagumkan, dia melompat ke samping sambil menangkis kelebatan senjata yang terdekat dengan tangan kanan. Lalu tanpa diduga sama sekali ujung kakinya menyodok ke dada.
Plak! Begkh! "Akh!"
Seorang pengeroyok langsung mengeluh tertahan begitu dadanya terkena tendangan Rangga tan?pa pengerahan tenaga dalam. Tubuhnya kontan terjerembab ke belakang, menimpa dua orang kawannya. Sedang, golok di tangannya terpental jauh. Dan Pendekar Rajawali Sakti kembali bergerak gesit, melepaskan dua pukulan tanpa tenaga dalam ke arah dua orang pengeroyok. Kembali, dua orang roboh seperti kawannya tadi.
"Setan! Serang terus! Lama-lama dia pasti akan kehabisan tenaga!" teriak seseorang memberi semangat.
Rangga mendengus dingin, seraya melirik ke arah orang yang berteriak tadi. Sejak tadi, agaknya orang itu yang banyak bicara. Dan kawan-kawannya pun selalu mematuhinya. Maka setelah menghalau dua orang yang menyerang ganas, Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati orang yang berteriak tadi.
"Hiiih!"
Orang yang berteriak tadi agaknya memiliki se?dikit kepandaian. Buktinya dia mampu berkelit, meski agak terkesiap. Dia memang kaget luar biasa, melihat kelebatan pemuda itu yang cepat bukan main.
Wuuut! Namun belum juga rasa kaget itu hilang, ta?hu-tahu Pendekar Rajawali Sakti telah kembali berkelebat cepat. Dan Rangga langsung mencengkeram leher bajunya, dan langsung melipat kedua tangannya ke belakang.
Krep! "Uhhh...!"
Orang itu jadi mengeluh kesakitan.
"Kalau kalian memaksa juga, aku tidak akan segan-segan mematahkan leher orang ini!" teriak Pendekar Rajawali Sakti mengancam.
Kali ini ancaman Rangga berhasil. Tampak para pengeroyoknya jadi ragu-ragu bertindak.
"Apa yang kalian tunggu"! Jangan pedulikan aku. Tangkap pemuda ini. Dan, bunuh dia! Ayo, lakukan...!" teriak laki-laki berusia empat puluh ta?hun yang tengah dicengkeram Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi, Ki Garba! Kau akan celaka...." sahut sa?lah seorang dengan sikap ragu-ragu.
"Jangan peduhkan aku! Bunuh! Atau dia akan terus mengacau desa kita ini!" teriak laki-laki se?tengah baya yang dikenal dengan nama Ki Garba itu garang.
Namun sebelum mereka berbuat sesuatu....
"Dengar kalian semua! Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini. Tapi kalian telah menuduhku yang bukan-bukan. Maka bila kalian memaksa, ma?ka aku tidak punya pilihan lagi selain membela diri! teriak Rangga, lantang.
Para pengepung untuk beberapa saat terdiam, saling melempar pandang. Demikian juga Ki Garba yang masih dalam cengkeraman Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?" tanya salah seorang dengan suara lebih lunak.
Belum juga Rangga sempat menjawab, saat itu juga terdengar derap beberapa ekor kuda mendekati. Tampak lima penunggang kuda yang ma?sing-masing berusia sekitar dua puluh tahun dengan pedang di punggung mulai memperlambat kuda-kudanya. Kelima orang itu persis berhenti di tempat Rangga terkurung, kemudian turun dari punggung kuda. Dan mereka langsung menjura dengan merapatkan kedua tangan ke dada, ketika berada di depan pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kisanak! Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti" Terimalah salam hormat kami," kata salah seorang penunggang kuda
? *** ? "Pendekar Rajawali Sakti...?"
Beberapa orang penduduk desa yang ikut me?nyerang Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Seketika mereka memandang Rangga dengan wa?jah tidak percaya.
Rangga segera melepaskan cengkeraman pada Ki Garba. Lalu dibalasnya salam penghormatan itu dengan menjura pula.
"Kisanak! Ada keperluan apa, sehingga kalian seperti sengaja menemuiku?"
"Ah! Sungguh kebetulan! Kami adalah murid Ki Bagong Udeg, dari Padepokan Merah Emas. Gu?ru kami menyampaikan salam hormat padamu, serta sangat berharap agar Kisanak sudi menemui undangannya, untuk datang ke padepokan kami..."
"Hm, ya... Aku kenal padepokan kalian. Tapi aku belum pernah mengenal guru kalian. Ada apa?kah sehingga beliau berkenan mengundangku ke tempatnya?" tanya Rangga.
"Beliau hendak bermusyawarah dengan Kisa?nak, soal si Peri Peminum Darah " jelas orang itu.
"Peri Peminum Darah" Apakah gurumu tahu, di mana orang itu bersembunyi?"
"Kami tidak mengetahuinya. Namun jika Kisa?nak hendak mengetahui lebih banyak, sudilah memenuhi undangan guru kami."
Rangga berpikir sejenak matanya menyapu mereka satu persatu. Kemudian, kepalanya meng?angguk pelan.
"Baiklah.... Kita berangkat bersama-sama...," desah Pendekar Rajawali Sakti.
Penduduk desa yang tadi menyerang Rangga kini berkumpul di dekatnya. Sementara Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring, memanggil kudanya. Tak lama, Dewa Bayu muncul. Pemuda itu pun se?gera melompat ke punggung kudanya. Sedangkan wajah para penduduk desa tampak tertunduk. Dan Rangga belum juga menggebah kudanya. Matanya masih merayapi para penduduk, lalu tersenyum.
"Terima kasih. Pada akhirnya, kalian mengerti kalau aku tidak bermaksud jahat"
Baru saja kata-kata Rangga selesai, Ki Garba maju ke depan. Kemudian dia menjura hormat.
"Pendekar Rajawali Sakti, aku atas nama pen?duduk Desa Kuripan memohon maaf atas segala kekeliruan yang telah kami lakukan terhadapmu... " kata laki-laki setengah baya itu lirih.
"Sudahlah... Yang penting kalian telah menyadari kekeliruan itu. Lain kali, hendaknya periksa dulu orang asing yang memasuki wilayah kalian. Dan, jangan main hantam saja."
"Baik, Tuan Pendekar. Oh, ya. Apakah Tuan Pendekar hendak mencari si Penculik itu" Tolonglah kami. Orang itu telah kelewat batas. Bukan ha?nya kami yang menjadi korbannya. Namun di ba?nyak tempat, dia telah membuat kekacauan yang amat meresahkan. Terutama, penduduk yang me?miliki anak gadis yang mulai dewasa. Pendekar Ra?jawali Sakti, nama harummu telah sering terdengar. Kau adalah pendekar besar. Dan untuk itu, tolonglah kami dalam menangkap si Penculik!" pinta Ki Gorba.
"Kisanak! Aku hanya manusia biasa yang punya batas kemampuan. Namun begitu, aku me?mang berniat hendak menangkap si Peri Peminum Darah. Nah! Aku pergi dulu," pamit Pendekar Ra?jawali Sakti, segera menggebah kudanya. Semen?tara, kelima orang penjemputnya yang berasal dari Padepokan Merak Emas telah sejak tadi berlalu.
Sedangkan orang-orang Desa Kuripan memandangnya sampai mereka menghilang dari pandangan.
? *** ? Rangga dan kelima murid Padepokan Merak Emas belum jauh berjalan menelusuri tepian Hutan Lawangan yang cukup lebat. Begitu tiba di perempatan jalan, dari arah samping terlihat tiga pengendara kuda yang melaju kencang ke arah mereka. Tapi karena tidak mempunyai urusan, Rangga dan kelima orang penjemputnya tidak mempedulikan.
Dan ketika telah berada pada jarak pandang, ketiga penunggang kuda itu berhenti. Untuk sesaat mereka memperhatikan. Kemudian, salah seorang memberi perintah untuk mengejar Rangga dan ke?lima orang itu.
"Hiya! Kisanak semua, tunggu dulu...!"
Salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu berteriak memanggil. Maka, seketika keenam pe?muda yang berada di depan menghentikan laju ku?da. Mereka segera berbalik, menghadap ke arah orang yang segera mendatangi.
"Maaf mengganggu perjalanan kalian. Kami hendak bertanya padamu, Kisanak," tanya orang yang berteriak tadi pada Rangga.
"Apa yang bisa kubantu?" tanya Rangga.
"Apakah kau Pendekar Rajawali Sakti?"
"Betul. Dialah Pendekar Rajawali Sakti. Ada urusan apa kalian dengannya?" sahut salah seorang murid Padepokan Merak Emas, balik bertanya.
"Ah, kebetulan sekali! Telah lama kami mencari-cari. Dan terakhir kami mendapat berita kau menuju ke arah sini. Pendekar Rajawali Sakti, kami adalah utusan Ki Dawang Rejo. Beliau ingin sekali bertemu denganmu."
"Ki Dawang Rejo" Siapakah beliau" Baru kali ini aku mendengar namanya," sahut Rangga de?ngan wajah bingung.
"Ah, ya... Maaf. Kisanak tentu bisa mengenalnya. Beliau adalah seorang pedagang dan hartawan ternama. Ada sesuatu yang beliau ingin bicarakan dengan Kisanak. Jika Kisanak berkenan, beliau ingin bertemu di mana saja, yang Kisanak sukai," kata orang itu.
Rangga tersenyum.
"Kisanak! Aku bukanlah seorang pedagang. Dan tidak ada sesuatu yang ingin kubeli atau ingin kujual pada beliau...."
"Maaf, Pendekar Rajawali Sakti. Ki Dawang Rejo tidak bermaksud berdagang padamu."
"Lalu?"
"Beliau memohon pertolonganmu, mengenai putrinya yang diculik seseorang. Dan sampai kini, putrinya belum kembali..."
"Kenapa tidak meminta bantuan ke kadipaten?"
"Beliau tidak yakin prajurit kadipaten mampu menangkap si Penculik..."
"Hm, siapa sebenarnya si Penculik itu?"
"Peri Peminum Darah."
Rangga berpandangan sejenak dengan murid-murid Padepokan Merak Emas. Lalu matanya beralih memandang kepada lawan bicaranya.
"Kisanak, sampaikan pada majikanmu. Saat ini aku memang tengah mengejar orang itu."
"Tapi beliau ingin bertemu dengan, Kisanak. Katanya ingin memohon pertolonganmu secara langsung, untuk menemukan putrinya."
"Aku tidak bisa menolongnya secara khusus. Dan kalau dia ingin bertemu denganku, temui aku di Padepokan Merak Emas," kata Rangga.
"Baiklah. Terima kasih, Kisanak. Kami akan sampaikan hal ini pada beliau," sahut salah seorang utusan Ki Dawang Rejo. Kemudian mereka meng?gebah kuda masing-masing, setelah memberi salam penghormatan.
? *** ? Pada masa ini siapa pun orangnya akan beranggapan kalau Padepokan Kilat Buana memiliki murid-murid hebat. Karena tidak seorang pun yang tidak mengenalnya. Ketenarannya tidak hanya meliputi wilayah selatan, namun juga menjalar ke berbagai tempat. Hal ini tidak mengherankan, sebab padepokan ini dipimpin seorang tokoh sakti yang namanya amat dikenal di kalangan rimba persilatan. Namanya, Ki Pagut Geni.
Kemelut Di Majapahit 12 Pendekar Gila 34 Nenek Bongkok Kasih Diantara Remaja 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama