Ceritasilat Novel Online

Prahara Mahkota Berdarah 1

Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah Bagian 1


Pendekar Rajawali Sakti
episode: PRAHARA MAHKOTA BERDARAH
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta" download dan baca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang
Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Debu mengepul di udara ketika dua orang yang melwati tempat itu memacu kudanya
dengan kencang. Melihat debu dan keringat yang mengering di tubuh. agaknya
bisa diduga bahwa mereka telah mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Yang
berada di punggung kuda berwarna putih adalah seorang pemuda berusia sekitar
dua puluh tahun. dan berperawakan gagah serta menyandang pedang di punggungnya.
Yang seorang lagi bertubuh kurus dengan muka peot dan kumis panjang tipis-tipis.
Kulitnya hitam dan berwajah seram. Orang itu memiliki sebuah kampak besar yang
terselip di pinggangnya.
Tiba di sebuah gedung bertembok tinggi keduanya menghentikan lari kudanya. Di
pintu gerbang tampak berdiri tegak dua sosok penjaga yang mendekati mereka
dengan wajah curiga.
"Siapa kalian dan mau apa kesini?" tanya salah seorang penjaga dengan nada datar
penuh selidik. "Katakan pada majikanmu, aku Walukarnawa dan ini adikku Baladewa bermaksud
memenuhi undangannya." sahut orang yang bertubuh kurus.
Kedua penjaga itu memperhalikan mereka barang beberapa saat, kemudian salah
seorang kembali bertanya.
"Mana undangan kalian?"
"Kakang, aku mulai kesal kalau begitu caranya...," Pemuda penunggang kuda putih
yang bernama Baladewa menggerutu kesal.
Tapi abangnya yang bernama Walukarnawa itu agaknya lebih bisa bcrsikap sabar
ketimbang adiknya. Dia mcngeluarkan sehelai kulit kambing dari balik bajunya
dan menunjukkannya pada kedua penjaga itu. Setelah memeriksanya, barulah
keduanya mempersilahkan mereka masuk ke dalam.
Bangunan yang berada di dalam terlihat megah dan bertingkat dua. Halamannya
banyak ditumbuhi bunga dan beberapa kolam kecil yang berisi ikan warna-warni
yang berenang hilir mudik.
Keduanya turun dari punggung kuda dan seorang menggiring kuda itu ke dalam
kandang untuk dibersihkan dan diberi makan.
"Silahkan. Ki sanak. Ki Sobrang dan Ki Degil telah menunggu." kata seorang
bermuka hitam sambil memberi normat pada kedua tamunya itu.
Walukarnawa dan Baladewa mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka menaiki
undakan anak tangga dan terus berjalan di lorong sebelah kanan, mengikuti orang
tadi dibelakangnya.
"Silahkan...," kata orang bermuka hitam itu me-nundukkan tubuh sambil menunjuk
pada sebuah ruangan.
"Terima kasih. Siapa namamu," tanya Walukarnawa.
"Hamba hanya pelayan di sini. Nama hamba Keken...."
Walukarnawa mengangguk. kemudian mengajak adiknya melangkah masuk. Di dalamnya
terdapat sebuah pintu lagi yang dijaga oleh kedua orang bersenjata tombak.
Keduanya kembali memeriksa dan setelah yakin bahwa mereka termasuk dalam daftar
tamu yang diundang. keduanya dipersilahkan masuk.
"Ah, selamat datang Ki Walukarnawa dan...," Seorang yang duduk pada sebuah kursi
rotan besar menyambut mereka dengan suara yang agak keras.
"Ini adikku, Baladewa...," sahut Walukarnawa sambil memberi penghormatan.
Begitu juga yang dilakukan adiknya. Di depan mereka pada jarak dua tombak, duduk
pada kursi rotan yang lebar dua orang laki-laki bertampang gagah. Keduanya
memiliki kumis melintang dan tubuh tegap berisi. Yang lebih tinggi dan usianya
lebih tua bernama Ki Sobrang dan yang lebih muda bertubuh sedikit pendek
bernama Ki Degil. Di depan mereka saling berhadapan duduk bersila sepuluh orang
tokoh persilatan yang telah lebih dulu tiba. Setelah memberi penghormatan
pada yang lainnya. Ki Sobrang mempersilahkan kcdua tamunya itu untuk duduk.?"Kukira setelah kedatangan Ki Walukarnawa dan Ki Baladewa mata pertemuan itu
bisa dimulai..." lanjut Ki Sobrang.
"Kukira juga begitu, Kakang Sobrang..." sambung Ki Degil.
Ki Sobrang memandang kepada tamu-tamunya yang melihat bahwa mereka menganggukkan
kepala. Kemudian dia menepuk tangan, dan beberapa saat kemudian keluarlah
beberapa orang pelayan wanita yang membawa nampan berisi buah-buahan serta
makanan lainnya. Tak ketinggalan beberapa guci arak wangi.
"Ki sanak, silahkan dicicipi makanan dan buah-buahan ini alakadarnya. Kemudian
setelah itu, baru kita bicarakan kepentingan kita bersama!" seru Ki Sobrang
dengan ramah. Dia sendiri menuangkan arak dalam cawan, dan diikuti oleh tamu-tamunya.
"Untuk kemuliaan dan keagungan, Ki Sobrang serta Ki Degil!" ucap salah seorang
tamu. "Untuk keperkasaan. Sepasang Naga Pertala!" lanjut seorang lagi.
"Dengan ini, semoga cita-cita Ki Sobrang dan Ki Degil berhasil gemilang!" timpal
yang lainnya. Ki Sobrang dan Ki Degil mcngangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Dan beberapa
saat kemudian mereka menyantap hidangan yang telah lersedia.
"*** "Ki Sobrang dan Ki Degil memang merupakan tuan rumah yang ramah dan bersahabat.
Disamping itu mereka juga pandai mcnyelenggarakan pertemuan sehingga tanpa
menimbulkan ketegangan dan suasana yang kaku. Bahkan terlihat santai meski apa
yang dibicarakan ternyata suatu rencana yang amat berbahaya. Tapi banyak
tokoh-tokoh persilatan yang diundangnya merasa setuju. Mereka tahu dan yakin,
bahwa kedua tokoh yang bergelar Sepasang Naga Pertala itu bukanlah orang
sembarangan. Bukan mustahil kalau keduanya telah mempersiapkan segalanya dari
jauh hari dan dengan perhitungan yang matang.
Tapi meski demikian, ada juga diantaranya yang merasa sinis terhadap mereka.
Satu diantaranya adalah Baladewa, adik Walukarnawa. Sejak awal dia memang sudah
menunjukkan sikap sinis meski tak tcrang-terangan menyatakan ketidak
setujuannya. 'Untuk apa kita bermalam segala di sini" Sudah, putuskan saja bahwa kita tak mau
bergabung dengan mereka!" sentaknya kesal sambil bersungut-sungut.
"Kau harus lebih bisa mcngendalikan kesabaranmu. Baladewa...."
"Jadi Kakang setuju membantu rencana mereka"!?"" " ?" ?""Aku tak mengatakan begitu."
"Lalu untuk apa kita berlama-lama di sini" Lebih baik kita pulang malam ini
juga!" "Sabarlah Baladewa. Apakah kau pikir aku tak punya rencana untuk berbaik-baik
dengan mereka?"
"Rencana" Rencana apa maksudmu?"
Walukarnawa tak langsung menjawab. Sebaliknya dia memandang ke sekeliling tempat
itu. Beberapa orang penjaga tampak masih hilir mudik dan suasana malam
bertambah kelam dan dingin. Kemudian terdengar Walukarnawa memperkecil suaranya.
"Apa kau pikir dia saja yang berkeinginan menjadi raja?"
"He, keinginan lamamu agaknya tak pernah hilang!" Baladewa ketawa kecil.
"Tapi aku tak ingin bentrok dengan mereka!" sanggah Walukarnawa cepat.
"Jadi kau bermaksud memperalat mereka dengan cara halus?"
"Bisa dikatakan begitu. Maksudku, kalau Ki Sobrang dan Ki Degil bermaksud
merebut tahta di wilayah ini, maka sebaliknya aku lebih berminat menduduki
kerajaan di wilayah barat. Kalau hari ini kita membantu mereka, maka mereka pun tentu
akan dengan senang hati membantu kita," jelas Walukarnawa.
"Bagaimana kalau mereka tak mau?"
"Aku tahu bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil cukup bijaksana untuk tidak menolak.
Kalau kita bantu mereka. mustahil mereka tak mau membantu kita juga..."
'Kakang, kedua orang itu terkenal licik dan penuh tipu muslihat. Bagaimana
mungkin kau bisa percaya kepada mereka" Lagipula kalau hanya ingin merebut tahta
kerajaan di wilayah barat, kau tak perlu jauh-jauh meminta bantuan pada tokohtokoh di sini. Di wilayah kita pun tak kurang tokoh-tokoh yang berilmu tinggi.
Lagipula, apa yang ku-harapkan dari mereka berdua" Kurasa tingkat kepandaian
mereka biasa-biasa saja. Bahkan bukan tak mungkin mereka hanya punya pengaruh
dari nama kosong belaka untuk merangkul tokoh-tokoh persilatan agar mau membantu
rencana mereka," sergah Baladewa dengan nada sinis.
"Baladewa, kau belum banyak tahu seluk beluk dunia persilatan serta tokohtokohnya. Lebih baik kau tak keterlaluan menilai orang, sebab bisa jadi hal itu
malah mencelakakan dirimu sendiri," Walukarnawa menasehati adiknya.
"Alaaah, Kakang! Kau terlalu banyak berhati-hati, padahal sebenarnya kau pun
mengakui penilaianku itu. Apa untungnya kau mendekati mereka?"
Walukarnawa memandang adiknya itu beberapa saat dengan wajah tak senang.
Kemudian katanya dengan suara pelan namun mengandung ketegasan.
"Baladewa, apakah kau tak suka kuajak ke sini dan bergabung dengan mereka?"
"Bukan itu yang kumaksud, tapi aku tak suka kau memilih orang yang salah untuk
membantu rencanamu nanti."
"Siapa yang kau katakan orang yang salah kupilih?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Sobrang dan Ki Degil" Apa yang kau harapkan dari
mereka" Apa karena mereka kaya, berharta banyak, dan memiliki pasukan pengawal"
Aku tak yakin mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Bukan mustahil pula kalau
mereka sama sekali tak memiliki kepandaian!"
"Baladewa, hati-hati dengan ucapanmu!" Walukarnawa kembali memperingatkan ketika
mendengar suara adiknya yang kian meninggi.
"Ah, apa kau pikir aku takut kalau dia mendengarnya?"
"Apa yang dikatakan Ki Baladewa memang benar. Untuk apa takut kepada kami...."
"Heh!?"
Kedua kakak beradik itu segera menoleh ke belakang ketika mendengar satu suara
menyahuti kata-kata Baladewa. Di situ telah berdiri Ki Sobrang dan Ki Degil
sambil melipat tangan di dada. Bersama mereka terlihat beberapa orang pengawal
bersenjata lengkap.
"Ki Sobrang, Ki Degil... ah, kukira siapa tengah malam begini mengagetkan kami!"
seru Walukarnawa sambil tersenyum kecil.
Orang itu memberikan salam penghormatan. Kedua tuan rumah itu tersenyum tipis.
Mereka sempat berpaling dan melirik Baladewa diam membisu dengan wajah tak
acuh meski Walukarnawa telah menyikutnya untuk memberi isyarat agar dia
memperbatki sikap. Tapi adiknya itu agaknya memang sengaja bersikap begitu dan
sama sekali tak memperdulikan isyarat abangnya.
"Kudengar percakapan kalian dan sebagai tuan rumah, rasanya tak sopan tidur
lebih dulu daripada tamu. Oleh sebab itu kami bermaksud menemani kalian. Itupun
jika kalian merasa tak keberatan...," sahut Ki Sobrang masih menunjukkan wajah
ramah. "Ah, tentu saja kami merasa tak keberatan. Tapi sayang dan beribu sesal bahwa
kami sebenarnya akan beranjak ke dalam. Rasanya letih dan penat di tubuh ini
sudah tak tertahankan lagi." kata Walukarnawa memberi salam agar kedua orang itu
cepat berlalu dari situ.
"Hm, kalau demikian baiklah. Silahkan beristirahat Ki sanak berdua. Dan untuk Ki
Baladewa, apa yang kau ucapkan tadi benar. Kami memang tak memiliki kemampuan,
tapi hanya sekedar menggebuk anjing yang cuma bisa meng-gonggong, rasanya tak
perlu kepandaian tinggi ?"Baladewa yang memang sejak awal sudah tak suka melihat mereka berdua, jadi
bertambah ketidak sukaannya mendengar sindiran Ki Sobrang itu.
"Ki Sobrang, siapa yang kau maksud dengan anjing menggonggong itu?" tanyanya tak
senang. Ki Sobrang yang tadinya sudah akan membalikkan tubuh, tiba-tiba memandang pemuda
itu dengan sorot mata tajam. Kemudian dia tersenyum kecil.
"*** ?"Kau tentu tahu apa yang kumaksud," sahut Ki Sobrang pelan.
Baladewa mendengus geram. Matanya berkilat tajam saat memandang kepada Ki
Sobrang. Walukarnawa mencoba untuk menyabarkan amarah adiknya yang hendak
meledak ledak itu. Namun dengan kasar ditepisnya lengan abangnya itu. Baladewa maju dua
langkah sambil memandang gusar pada tuan rumah itu.
"Ki Sobrang, apakah kau merasa memiliki kepandaian setinggi langit dengan segala
cita-citamu itu" Coba buktikan agar mataku terbuka!" seru Baladewa lantang
sambil berdiri tegak.
Kata-kata yang diikuti dengan sikapnya itu menandakan bahwa Baladewa tetap siap
menantang Ki Sobrang. Walukarnawa cepat bertindak sebelum Ki Sobrang memberi
jawaban. "Baladewa. apa-apaan kau ini"! Cepat minta maaf!"
"Diamlah kau. Kakang! Apakah seorang calon pimpinan tak pantas diuji" Kalau dia
bisa mengalahkanku, bolehlah aku merasa yakin bahwa dia memang pantas menjadi
seorang pemimpin. Tapi kalau tidak, untuk apa aku mengikuti orang yang tak bisa
apa-apa." sahut Baladewa tegas.
"Ki Walukarnawa, betul kata adikmu. Nah, biarlah dia bermain-main denganku
barang beberapa jurus...," menimpali Ki Sobrang sambil melangkah ke depan hingga
jaraknya cuma lima langkah dari Baladewa.
"Silahkan...." Baladewa mulai membuka jurus.
Ki Sobrang tersenyum kecil sambil merentangkan tangan ketika melihat bahwa
Walukarnawa masih mencoba menahan niat adiknya itu.
"Ki Walukarnawa, sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Akupun ingin sekali
melihat kehebatan jurus ilmu silat dari perguruan kalian yang sudah kesohor
itu," kata Ki Sobrang dengan suara tegas dan penuh wibawa.
Kemudian setelah berkata begitu dia memandang kepada Baladewa dan melanjutkan
kata-katanya. "Kuberi kau tiga jurus untuk menyerangku, dan setelah itu maka aku akan berganti
menyerangmu!"
Kata-kata itu dalam dunia persilatan sama artinya dengan meremehkan kepandaian
lawan yang akan dihadapi. Dan Baladewa tentu saja semakin gusar mendengarnya.
Sambil mendengus kesal. dia memainkan jurus terhebatnya yang diberi nama Memukul
Angin Menyaring Awan. Jurus itu tcrdiri dari delapan tingkat, dan tiga
tingkat yang terakhir sangat ganas dan cepat diiringi tenaga dalam kuat. Jarang
sekali lawan-lawannya mampu menghadapi jurus ini. Maka dengan membentak
keras. Baladewa meluruk menghantam lawan.
"Yeaaa...!"
"Hup...."
Plak! Ki Sobrang terlihat menghadapi serangan lawan dengan mantap. Ketika kepalan
tangan lawan menghantam muka, dia memiringkan kepala men-hindarinya. Tubuhnya
langsung mencelat ke belakang ketika dengan tiba-tiba kepalan kiri Baladewa
menyusul menghantam lambung dan diikuti dengan satu tendangan kilat yang
bertenaga kuat. Baladewa mencelat dan menyusul tubuh lawan dengan gerakan laksana balingbaling. Tapi Ki Sobrang dengan ilmu peringan tubuhnya yang amat sempurna,
menghilang dari pandangan lawan. Baladewa terkejut sendiri sebab lawan telah
berdiri tegak satu tombak di belakangnya. Dengan begitu jurus pertama telah
berakhir. "Silakan Ki Baladewa...!" kata Ki Sobrang tersenyum kecil dengan sikap
merendahkan. Baladewa tak menyahut, melainkan langsung melompat menyerang lawan. Kali ini dia
betul-betul mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
"Hiyaaa...!"
Terasa angin serangannya mendesir berat manakala tubuh Baladewa bergerak cepat
menyerang lawan. Ki Sobrang sedikit terkejut, namun dia cepat menguasai diri.
Tubuhnya berkelebat dan berputar bagai gasing menghindari serangan-serangan
lawan yang gencar dan cepat bukan main. Sedikit pun tak terlihat bahwa dia
merasa kesulitan akibat serangan Baladewa itu. Tubuhnya bergerak ringan bagai
sehelai daun kering yang tertiup angin.
Wuut! "Hup!"
Bukan main penasarannya Baladewa ketika serangannya tak satu pun yang mengenai
sasaran. Dia mulai kalap dan menyerang lawan dengan membabi-buta.
Tentu saja Ki Sobrang jengkel melihat keadaan itu. Tiga jurus telah berlangsung
dan Baladewa gagal menjatuhkannya Seharusnya gilirannya yang bertahan dan
Ki Sobrang yang mulai menyerang. Tapi Baladewa seperti tak memperdulikan hal
itu. "Ki Baladewa, bersiaplah kau! Aku akan balas menyerangmu!" bentak Ki Sobrang
gemas. Selesai dengan kata-katanya itu. Ki Sobrang melompat ke atas. Sebelah kaki
Baladewa menghantam, namun dengan sigap Ki Sobrang menangkis dengan tangan
kirinya, sedang kepalan tangan kanannya bergerak menghantam dada.
Plak! Wuuut! Baladewa tersentak kaget. Masih terasa angin kencang berdesir hebat seperti
menghimpit dadanya saat serangan lawan berhasil dihindarinya dengan membuang


Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh ke kanan. Kalau saja saat itu serangan Ki Sobrang mengenai dadanya, bukan
mustahil dia akan terluka parah.
Tapi Ki Sobrang seperti tak memberikan kesempatan pada lawan. Dia terus mengejar
dengan sapuan kaki kiri menghantam pinggang. Tubuh Baladewa terangkat ke
atas. Namun dengan cepat Ki Sobrang menyambutnya dengan pukulan tangan kanannya
yang tak mampu dihindari Baladewa.
Begkh! "Aakh...!"
Baladewa mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjajar dan berdiri limbung kelika dia
mencoba menahan rasa nyeri di perutnya. Sepasang matanya menyipit melihat
lawan berdiri tegak sambil memperhatikannya dengan tersenyum kecil.
'Apakah itu cukup bagimu. Ki Baladewa...?"
"Huh, aku belum kalah!" sentak Baladewa sambil bersiap menghadapi serangan lawan
berikutnya. Ki Sobrang tak menjawab. Dia mendengus gusar, dan tiba-tiba tubuhnya telah
kembali melompat dengan satu serangan kilat. Baladewa bersiap menangkis.
"Yeaaa...!"
Plak! Wuut! Des! "Aaaakh...!"
"Hiyaaa...!"
"Cukup. Ki Sobrang...!"
Kembali Baladewa menjerit keras dan tubuhnya terbanting dengan darah menetes
dari sela bibirnya terkena hajaran lawan.
Meskipun dia berusaha menghindar, namun gerakan Ki Sobrang terlihat cepat
sekali. Bahkan Baladewa tak sempat mengetahui bagaimana caranya tiba-tiba saja
lawan berhasil menyarangkan pukulan kedadanya. Kalau saja saat itu Walukarnawa
tak cepat bergerak menahan serangan Ki Sobrang selanjutnya, niscaya Baladewa
akan menderita luka dalam yang sangat parah.
Walukarnawa memapah tubuh adiknya sambil memandang kepada Ki Sobrang yang masih
tegak berdiri di dekat mereka.
"Ki Sobrang, kukira cukuplah pelajaran yang kau berikan pada adikku yang bodoh
ini. Dia memang tidak tahu apa-apa soal ilmu silat. Harap kau menjadi maklum
adanya...," kata Walukarnawa.
"Ki Walukarnawa, aku masih menghormati kalian sebagai sekutuku, dan kuharap
jangan coba-coba merendahkan kami. Kalau saja kalian orang lain dan bukan
tamuku, niscaya adikmu itu dan kau sendiri tak akan selamat dari tanganku. Apa kalian
pikir aku tak mendengar pembicaraan kalian, he" Pergilah dari tempatku sekarang
juga. Aku tak sudi punya sekutu yang nantinya bisa menikamku dari belakang!"
sahut Ki Sobrang tegas.
Walukarnawa tak banyak kata lagi. Mendengar kata-kata tuan rumah yang tegas dan
pedas itu, mereka scgera berlalu dari tempat itu diiringi pandangan mata
sinis Ki Sobrang dan Ki Degil, serta beberapa orang pengawal mereka. Kemudian
setelah keduanya menghilang, dia memandang berkeliling dan melihat beberapa
tokoh persilatan yang tadi berkumpul di tempatnya menyaksikan peristiwa itu.
Mereka berlalu ke kamarnya masing-masing tanpa banyak bicara. Namun dengan
cara itu. Sepasang Naga Pertala seperti memberi peringatan bahwa dia tak pandang
bulu kepada siapa saja yang mencoba menentang dan meremehkannya.
2"Rumah kediaman Adipati Mungkaran terlihat ramai oleh beberapa orang prajurit
bersenjata. Hal ini tak seperti biasanya. Entah kenapa, tiba-tiba saja adipati
yang berusia sekitar empat puluh tahun itu menambah jumlah pengawalnya dua kali
lipat dari sebelumnya. Padahal selama ini para pengawalnya meski tak lebih
dari lima belas orang, namun mereka adalah orang-orang pilihan. Dia sendiri yang
menguji dan melihat bagaimana kemampuan mereka masing-masing. Dan disamping
itu pula, entah apa yang membuatnya merasa khawatir sehingga menambah jumlah
para pengawalnya. Padahal semua orang mengetahui bahwa Adipati Mungkaran
bukanlah sekedar laki-laki berkedudukan tinggi dan kaya raya, tapi juga memiliki ilmu
olah kanuragan yang cukup hebat.
Senja belum lagi gelap ketika di kejauhan terlihat dua orang penunggang kuda
mendatangi tempatnya. Yang seorang adalah gadis belia berwajah buruk rupa,
berambut panjang dan mengenakan baju ungu dengan celana panjang putih. Sedangkan
yang seorang lagi adalah laki-laki tua berambut putih memakai baju hijau.
Melihat raut wajahnya, paling tidak dia berusia diatas lima puluh tahun. Namun
tubuhnya masih terlihat tegap dan perawakannya pun gagah dengan sorot mata
tajam bagai seekor elang.
Di pintu gerbang keduanya dihadang oleh dua orang pengawal yang menyilangkan
tombak mereka. "Katakan pada majikanmu, aku Ki Ageng Tebung telah datang...!" kata orang tua
itu sebelum para pengawal menanyakan maksud tujuannya ke tempat ini.
Mendengar orang tua itu menyebutkan nama, berubahlah paras kedua pengawal itu.
Keduanya tersenyum kecil sambil menjura hormat.
"Oh, kiranya Ki Ageng Tebung yang datang. Maafkan kami yang bodoh tak bisa
mengenali orang. Silahkan, Ki Ageng, Kanjeng Adipati telah menunggu Ki Ageng
Tebung sejak tadi...!" sahut salah seorang pengawal dengan ramah.
Kawannya membukakan pintu gerbang dengan terburu-buru.
Orang tua bernama Ki Ageng Tebung itu turun dan punggung kudanya. Begitu pula
dengan gadis yang menyertainya. Seorang pengawal membawa kuda mereka ke belakang
untuk dibersihkan dan diberi makan rumput.
"Silahkan, Ki Ageng..," kata salah seorang pengawal menunjukkan jalan kepada
orang tua itu. Terima kasih...."
Namun belum lagi mereka tiba di pintu depan, seorang laki-laki berbaju mewah
telah menyambut dengan wajah gembira. Sambil berlari-lari kecil dia menghampiri
dan menjura hormat di depan orang tua itu.
"Eyang, oh syukurlah kau datang ke sini..., terimalah salam hormat muridmu!"
"Mungkaran, hmm... kau semakin gagah saja kulihat dengan pakaianmu itu.
Bangunlah!"
"Terima kasih. Eyang. Silahkan...!" sahut laki-laki yang tak lain daripada
Adipati Mungkaran sen dm.
Ketiga orang itu segera beranjak ke dalam dan diantar sendiri oleh Sang Adipati
ke dalam suatu ruangan yang mewah dengan lantainya beralaskan permadani
tebal dan hiasan-hiasan lukisan serta patung-patung kayu yang indah dan halus
buatannya. Beberapa kursi terlihat diukir indah mengelilingi sebuah meja
persegi empat. Adipati Mungkaran kemudian memanggil beberapa orang pelayannya untuk
mengeluarkan hidangan lezat dan segar bagi kedua orang itu.
"Eyang, apakah kau hendak langsung beristirahat ataukah membersihkan diri dulu,
atau...." "Ah, jangan banyak basa-basi segala. Aku ingin tahu, gerangan apa yang membuatmu
mengundangku ke sini. Isi suratmu seperti mengisyaratkan kecemasanmu akan
sesuatu. Nah, katakanlah!" sahut Ki Ageng Tebung tanpa basa-basi.
Adipati Mungkaran tak langsung menjawab. Dia melirik sekilas pada gadis berwajah
buruk disebelah gurunya. Gadis itu terlihat menundukkan kepala dipandang
begitu rupa. "Eh, ng... ini... ini..."
"Hm kau ingin mengatakan persoalan rahasia" Jangan khawatir, Putri Selari adalah
orang kita sendiri. Oh, ya aku lupa memperkenalkannya ke padamu. Beberapa
tahun lalu aku menemukannya di suatu kampung yang sedang diamuk oleh gerombolan
perampok. Aku membawanya dan kuangkat menjadi muridku...," jelas Ki Ageng
Tebung. Adipati Mungkaran tersenyum ketika gadis itu berdiri dan menjura hormat
kepadanya. "Kakang Adipati, terimalah salam hormat dari adikmu ini...," lirih terdengar
suara gadis itu.
Adipati Mungkaran tersenyum tipis. Betapapun berusaha meredakan hati, namun
tetap saja merasa risih saat memandang gadis itu. Mukanya dipenuhi kusut-kisut
seperti bekas luka. Dan di beberapa bagian malah berlubang lubang kecil seperti
bekas terkena penyakit cacar. Padahal kalau dilihat bagian tubuhnya yang
lain, seperti tangan, amat jauh sekali perbedaannya. Kulit lengan gadis itu
berwarna putih kekuning-kuningan dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Rambutnya hitam
dan lebat sertakan bau harum. Tubuhnya pun berbentuk indah dengan lekuk-lekuk
yang menawan. Kalau saja wajahnya cantik, maka lengkaplah sudah kesem-purnaan
gadis ini sebagai perawan baru mekar yang sulit dicari bandingan akan kecantikan
serta keindahan tubuhnya.
"Mungkaran, kenapa kau terdiam" Tidak sukakah kau aku mengambil Putri Selari
sebagai adik seperguruanmu?" tegur Ki Ageng Tebung.
"Eh, maafkan aku, Eyang. Pikiranku sedang kacau. Tentu saja aku senang kalau
adik Putri Selari mau menjadi adik seperguruanku," sahutnya dengan tergagap.
"Hm, agaknya pelik betul persoalan yang tengah kau hadapi. Coba katakan padaku!"
Adipati Mungkaran menghela nafas berat. Setelah membalas salam hormat gadis itu,
dia mempersilahkannya kembali untuk duduk. Dipandanginya wajah orang tua
itu sekilas, kemudian berkata dengan suara pelan namun cukup terdengar oleh
kedua orang itu.
"Aku merasa ada sekelompok orang yang akan menyingkirkanku dari kedudukanku
ini..." ***"Ki Ageng Tebung memandang heran kepada muridnya itu. Kemudian tersenyum kecil.
"Dari mana kau tahu hal itu?"
"Aku sering dihantui mimpi, Eyang..."
Kali ini orang tua itu tak dapat menahan geli. Dia tertawa sedikit keras. Dan
hal itu sudah membuat Adipati Mungkaran merasa dilecehkan.
"Eyang tak percaya dengan kata-kataku...?"
"Bagaimana aku bisa percaya" Kau justru lebih percaya kepada mimpi-mimpimu itu.
Kenapa tidak kau atasi saja dengan membuat mimpi yang lebih baik" Misalnya
kau bisa bermimpi mengusir mereka, bahkan lebih dulu menyingkirkan mereka!"
"Eyang. ini persoalan serius...!"
Ki Ageng Tebung masih memandang wajah muridnya yang serius dengan raut lucu.
Tapi kemudian dia mencoba bersikap wajar ketika melihat bahwa Adipati Mungkaran
seperti meyakini betul akan kata-katanya sendiri. Seolah-olah hal itu akan
terjadi saat ini juga.
"Hm, karena soal itukah sebabnya kau mengundangku ke sini?"
"Aku ingin minta petunjuk, Eyang...."
"Petunjuk apa?"
"Apakah Eyang mempercayai kata-kataku?"
"Cobalah kau utarakan dulu apa yang hendak kau katakana, lalu aku akan
pertimbangkan apakah kekhawatiranmu itu beralasan atau tidak...."
Adipati Mungkaran menghela nafas pendek. Kemudian terdengar dia mulai berkatakata. "Kalau hanya sekedar mimpi, barangkali aku tak terlampau khawatir, Eyang. Tapi
gejala kearah itu telah terjadi.
"Gejala apa yang kau maksud?"
"Sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang berniat menggulingkan tahta kerajaan!"
"Hm, aku semakin tak mengerti bicaramu. Tadi kau mengkhawalirkan sekelompok
orang yang akan menyingkirkan kedudukanmu. Dan sekarang kau membicarakan tahta
kerajaan. Bagaimana ini?"
"Eyang, dua-duanya benar. Aku mendengar khabar bahwa para prajurit kerajaan yang
bertugas di tapal batas, kedapatan binasa tanpa diketahui penyebabnya.
Baginda Raja telah mengirim beberapa orang utusan untuk mencari tahu apa yang
telah terjadi. Namun sampai saat ini belum terdapat khabar dari mereka. Ada
yang mengatakan kepadaku bahwa mereka tewas pula di sana...," jelas Adipati
Mungkaran. "Lalu apa hubungannya denganmu?"
"Apakah Eyang tak mengetahui di mana aku memegang kekuasaan saat ini?"
Orang tua itu berpikir sesaat. Namun tak lama kemudian dia cepat menduga ke mana
arah pembicaraan muridnya itu.
"Hm, daerah kekuasaanmu meliputi wilayah perbatasan itu?"
Adipati Mungkaran cepat mengangguk.
"Gusti Prabu telah memberi perintah padaku untuk mem-bereskan dan mengusut
sampai tuntas siapa yang berani membantai prajurit-prajurit kerajaan itu. Perlu
Eyang ketahui bahwa prajurit-prajurit yang terbunuh itu bukan para pengawalku,
melainkan mereka langsung dari kerajaan dan merupakan orang-orang pilihan.
Bahkan pimpinannya yang bernama Soma Wangsa bukanlah orang sembarangan. Dia
seorang tokoh terkenal dan memiliki ilmu silat tinggi. Tapi kalau orang itu
sampai terbunuh, sudah pasti pelakunya bukan orang sembarangan...," kata Adipati
Mungkaran. Ki Ageng Tebung mengangguk-angguk mendengar kata-kata muridnya itu. Dia mulai
percaya bahwa apa yang dikhawatirkan Adipati Mungkaran memang ada benarnya,
tapi kalau sampai merembet kepada soal tahta kerajaan, apa itu tak keterlaluan"
Siapa yang berani melakukannya" Mereka yang memiliki kemampuan hebat dan
berilmu tinggi sekalipun akan berpikir seribu kali untuk mencoba menggulingkan
kekuasaan. Sebabnya jelas sekali terlihat, dan semua orang mengetahui bahwa
di dalam kerajaan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang
selalu siap melindungi Sang Prabu dari marabahaya. Mereka juga tak segan-segan
mempertaruhkan nyawa dalam membela kerajaan, dan juga tak kenal ampun terhadap
orang-orang yang bermaksud jahat dengan membuat kerusuhan.
"Kenapa Gusti Prabu tak mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mengusut
kejadian itu?"
"Entahlah. Barangkali Sang Prabu menganggap persoalan itu masih enteng dan
merasa bahwa aku bisa menanganinya...," sahut Adipati Mungkaran lesu.
"Lalu kenapa kau yakin bahwa ada sekelompok tokoh-tokoh persilatan yang
bermaksud menggulingkan tahta kerajaan?"
"Aku hanya mencoba meluruskan firasatku belakangan ini...," sahut Adipati
Mungkaran lemah.
"Eyang, bolehkah aku bicara?" tanva Putri Selari.
"Hm, kau mau bicara apa" Bicaralah."
Gadis itu memandang kepada Adipati Mungkaran seperti meminta ijin. Dan ketika
dilihatnya laki-laki itu mengangguk kecil, dia melanjutkan kata-katanya.
"Begini, Eyang. Aku punya dugaan kuat bahwa apa yang dikatakan Kakang Adipati
Mungkaran ada benarnya. Ketika beberapa hari lalu Eyang menugaskanku untuk
mencari obat di kota, aku melihat banyak sekali tokoh-tokoh persilatan me-nuju
ke suatu tempat...."
"Itu hal yang biasa. Barangkali mereka akan mengadakan pertemuan antar perguruan
untuk mengikat persahabatan."
"Mulanya aku menduga demikian. Tapi tahukah Eyang mereka menuju ke mana?"
Laki-laki tua itu memandang serius kepada gadis itu. Demikian juga halnya dengan
Adipati Mungkaran.
"Ingatkah Eyang siapa yang dahulu pernah membuat kekacauan pada saat Gusti Prabu
yang sekarang sedang dilantik menjadi raja" Eyang sendiri yang cerita
kepadaku...."
"Dua bersaudara, Sobrang dan Degil"!" tebak Adipati Mungkaran dengan muka kaget
memandang kepada gadis itu.
"Benar...."
"Dari mana kau tahu bahwa itu kediaman mereka?"
Putri Selari tersenyum kecil. Kemudian berkata pelan, "Maaf, Eyang. Tentu saja
aku tahu karena aku masih mempunyai banyak kawan di luaran sana...."
"Budak kecil yang nakal! Aku seperti lupa pada dirimu dan siapa kau sebenarnya
sebelum ketemu aku!" sungut orang tua itu sambil tersenyum kecil.
Tinggal Adipati Mungkaran yang terbingung-bingung dan tak mengerti apa yang
dipercakapkan antara kedua orang itu. Namun belum lagi dia mengeluarkan suara
untuk mencari tahu apa yang mereka bicarakan, sekonyong-konyong terdengar pekik
kesakitan di luar sana. Dengan serentak ke-tiganya bangkit dan buru-buru
keluar ruangan."***
"Adipati Mungkaran terkejut ketika melihat para pengawalnya terlihat pertarungan
sengit dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Sekilas saja mereka sudah
dapat menilai bahwa lawan-lawan para pengawalnya memiliki kepandaian yang cukup
tinggi dan berada di atas kemampuan para pengawalnya. Terbukti dalam beberapa
saat saja banyak sudah pengawalnya yang menjadi korban dan tewas sambil
mengeluarkan jeritan kematian.
"Hentikan semua ini!!" bentak Adipati Mungkaran dengan suara menggelegar.
Serentak mereka menghentikan pertarungan, dan para pengawalnya membuat barisan
di dekat ketiga orang yang baru keluar dari pintu depan. Adipati Mungkaran
beserta dua orang disebelahnya, memperhatikan dengan seksama. Tujuh orang yang
menjadi lawan para pengawalnya berdiri tegak di dekat pintu gerbang.
"Ki sanak, siapakah kalian dan mengapa datang ke tempatku lalu membuat onar?"
tanya Sang Adipati dengan suara tak senang.
Seorang yang bertubuh besar dengan kumis tebal melintang mendengus geram. Dia
berjalan lima langkah dan menuding dengan sikap angkuh.
"Siapa kau" Apakah kau yang menjabat sebagai Adipati di sini?"


Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki sanak, dari nada bicaramu kau sama sekali tak bermaksud baik. Tapi sebagai
tuan rumah, biarlah aku mengajarkan kepadamu bagaimana caranya bersikap sopan.
Meski kau tak memperkenalkan dirimu, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu. Kalau
kalian datang hendak menghadap kepada Adipati Mungkaran maka kalian telah
berhadapan dengannya saat ini...."
"Bagus! Kami membawa pesan untukmu!"
"Pesan dari siapa gerangan?"
"Kau tak perlu tahu! Isi pesan itu mengatakan bahwa kau diberi pilihan malam ini
juga. Meninggalkan tempat ini atau kami musti meratakan tempat ini dan
memotes kepalamu. Nah, pilihlah cepat!"
Mendengar kata-kata itu, sirnalah sudah kesabaran Adipati Mungkaran. Bahkan Ki
Ageng Tebung yang sejak tadi tetap berusaha menahan sabar, mulai naik pula
darahnya mendengar dan melihat keangkuhan orang itu.
"Ki sanak, sudah jelas apa kedatangan kalian ke sini! Dan terus terang kalian
tak akan mendapatkan apapun selain hukuman berat yang akan kutimpakan kepada
kalian semua!"
"Adipati Mungkaran, ketahuilah! Kedatangan kami ke sini adalah untuk menghukummu
dan segala tikus-tikus busukmu ini. Jadi jangan harap kau bisa berbuat
sebaliknya kepada kami. Kuberi waktu sampai tiga kali hitungan dan sesudahnya
keputusan ada di tangan kami!"
"Keparat-keparat busuk, enyahlah kalian dari tempatku ini!" bentak Adipati
Mungkaran sambil memberi perintah pada para pengawalnya untuk meringkus mereka.
"Yeaaa...!"
"Huh, tikus-tikus busuk begini yang kau harapkan untuk melawan kami" Biarlah
mereka mampus atas kebodohanmu menganggap kami rendah," kata orang tadi sambil
bersiap menghadapi lawan-lawannya.
Namun bersamaan dengan itu, kawan-kawannya yang lain pun bersiap membantunya.
Sedangkan tiga orang diantaranya mencelat kedepan dengan ringan melewati para
pengawal itu dan menjejakkan kaki persis di depan Adipati Mungkaran.
"Biarlah mereka bermain-main sejenak dengan anjing-anjingmu itu, tapi kami tak
bisa bermain-main dengan kepalamu!" dengus seorang perempuan tua bertubuh
kurus dengan suara dingin mengancam.
"Nyai Sukesih, hm, kau rupanya dibalik semua ini"!" sahut Ki Ageng Tebung ketika
mengenali perempuan tua itu.
"Ki Ageng Tebung, tua bangka keparat! Rupanya kaupun telah berada di sini.
Bagus! Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Ha ha ha ha...! Siapa seharusnya yang berkata begitu" Bukankah kau yang
mestinya tak bisa lolos dari tanganku kalau saja saat itu gurumu tak ikut campur
persoalan kita dan menolongmu!" ejek Ki Ageng Tebung merendahkan.
"Tua bangka busuk! Mampuslah kau lebih dulu. Yeaaa...!"
Putri Selari sudah hendak bergerak menyambut serangan nenek itu, namun Ki Ageng
Tebung telah mengetahui gelagat dan langsung mencegah muridnya itu.
"Tahan Selari! Biarlah tua bangka kempot itu menjadi bagianku! Kau hadapilah si
bogel jelek itu sementara kakangmu akan menghadapi laki-laki bertampang
tikus ini!"
Dengan kata-katanya itu. Ki Ageng Tebung secara tak langsung telah membagi
pertarungan mereka menjadi tiga bagian. Meskipun terhadap dua orang lainnya yang
tak dikenal, namun dia menganggap bahwa Nyai Sukesih adalah tokoh yang patut
menjadi lawannya, sebab dahulu dia pernah berhadapan dengannya dan tahu betul
sampai di mana kemampuannya.
"Ke sinilah kau gadis jelek. Hidup pun tiada berguna dengan mukamu yang buruk
itu!" ejek laki-laki bertubuh kate dengan hidung besar dan bulat kepada Putri
Selari. "Kontet busuk! Apakah mukamu kelewat bagus" Biarlah kutunjukkan mukamu yang
sebenarnya!" balas gadis itu dengan sengit.
Keduanya langsung terlibat pertarungan ketika gadis itu melompat dan menyerang
lawan. Sementara itu tanpa banyak bicara, seorang laki-laki berkulit hitam dan bertubuh
kurus dengan muka seperti tikus langsung melompat menyerang Adipati Mungkaran
yang sudah sejak tadi bersiap menyambutnya.
"Mampuslah kau, Mungkaran!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
3"Pertarungan antara keempat orang tokoh persilatan itu dengan para pengawal
kadipaten terlihat sekilas memang tak seimbang. Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Bukan pihak para pengawal yang menekan mereka, melainkan merekalah yang menekan
habis-habisan para pengawal itu. Dan apa yang mereka lakukan sungguh luar
biasa dan hebat bukan main. Dalam beberapa saat saja para pengawal kadipaten
yang berjumlah belasan kali lipat dibanding mereka, tumbang satu persatu dengan
keadaan yang mengerikan. Keempat tokoh itu memang terlihat bukan orang
sembarangan dan para pengawal itu adalah lawan empuk hagi mereka. Sehingga
sebentar saja terlihat sisa para pengawal itu euma berjumlah empat orang.
"Sekarang mampuslah kalian!" seru orang yang bertubuh besar dan berkumis tebal
itu sambil melompat dan mengayunkan senjata aritnya yang melengkung.
Bersamaan dengan itu tiga orang kawannya pun langsung berkelebal dengan ringan.
Keempat pengawal kadipaten itu mencoba bertahan dan mendahului lawan dengan
menyabetkan senjata di tangan mereka kearah lawan.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Breet! Duk! Des!
"Aaaa..."
Terdengar pekik kematian yang disusul ambruknya keempat pengawal kadipaten itu
dengan tubuh bermandikan darah. Keempat orang tokoh persilatan itu langsung
melompat meninggalkan lawan-lawannya yang telah terkapar dan terus membantu tiga
orang kawannya yang lain.
"Yeaaa...!"
"Heh!"
"Mungkaran, dan kau Selari, hati-hati...!" teriak Ki Ageng Tebung memperingatkan
kedua orang muridnya itu.
"Kaulah yang patut hati-hati sehab ajalmu sebentar lagi akan datang menjemput!"
ejek Nyai Sukesih.
Apa yang dikatakan perempuan tua itu memang beralasan. Ki Ageng Tebung sendiri
terkejut menyaksikan kemajuan ilmu silatnya yang pesat selama ini. Kalau
semula dia yakin mampu menundukkan perempuan tua ini, namun saat ini dia bahkan
tak yakin bisa lolos dari serangan-serangannya yang ganas dan bertubi-tubi.
Belum lagi bantuan keempat kawan mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Sudah
barang tentu membuat ketiga orang itu semakin terjepit saja.
"Hih!"
Wuut! "Yeaaa...!"
Tiga orang yang kini mengerubutinya betul-betul bergerak cepat dan ingin
menghabisinya dengan segera. Ki Ageng Tebung jungkir balik menyelamatkan diri.
Dia mulai mengeluarkan jurus andalannya, yaitu Harimau Menerkam Mangsa. Tubuhnya
melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar. Dari mulutnya terdengar
raungan keras sebagaimana layaknya seekor harimau yang tengah mengamuk.
Perbuatannya itupun di ikuti oleh kedua muridnya.
"Graungrr...!"
Tak! "Heh!"
Breet! "Kurang ajar!" Nyai Sukesih memaki kesal ketika bajunya di bagian dada kena
dirobek lawan. Masih untung dia cepat bergerak ke belakang, sebab kalau sedikit terlambat saja,
niscaya dadanya akan robek dihajar cakar lawan. Tapi perempuan tua itu
sempat terkejut. Tongkat di tangan salah seorang kawannya yang menderu keras
menghantam, disambut oleh Ki Ageng Tebung dengan tangkisan tangannya yang
keras dan kaku bagai sebuah besi baja.
"Huh, kau pikir ilmu Tembesimu bisa diandalkan" Kau rasakanlah ini!" dengus Nyai
Sukesih sambil menyilangkan kedua tangannya.
Sorot matanya tajam dan raut wajahnya terlihat menyeramkan. Perlahan-lahan kedua
tangannya yang menyilang itu berubah ungu dan mengepulkan asap yang berbau
sangit. Ki Ageng Tebung tersentak kaget dan tak sadar mundur beberapa langkah.
"Aji Puspa Geni...!"
"Hm, agaknya kau mengenali juga ajianku ini. Tapi barangkali kau belum begitu
mengenalnya dengan baik. Nah, kau boleh mengenalnya sekarang!"
Bersamaan dengan itu tubuh Nyai Sukesih melompat menyerang lawan, dan diikuti
oleh kedua orang kawannya. Ki Ageng Tebung terlihat sangat berhati-hati sekali.
Ajian yang dikerahkan lawan bukan main-main sebab mengandung racun yang
mematikan. "Yeaaa...!"
"Uts...!"
"Mampus...!" Seorang membentak sambil mengayunkan ujung pedang menyambar ke arah
leher. Ki Ageng Tebung mundur ke belakang, dan memutar tubuh ketika seorang lawan yang
lain mengayunkan tongkat kayu dengan menyodok ke arah jantung. Meskipun
hanya tongkat kayu namun karena yang memainkannya orang yang memiliki tenaga
dalam tinggi, maka senjata itu sama ber-bahayanya dengan senjata tajam lainnya.
"Hiyaaat...!"
"Aakh...!"
Orang tua itu mengeluh kesakitan ketika pinggangnya terkena angin serangan
lawan. Buru-buru dia melompat ke belakang. Namun Nyai Sukesih mana mau
membiarkan lawan lepas begitu saja. Dia langsung melompat dan mengirim serangan susulan.
Kedudukan Ki Ageng Tebung memang benar-benar mengkhawatirkan. Dia sama sekali
tak berani memapaki serangan lawan dengan ilmu Tembesi yang dimilikinya. Selain
keras dan kaku seperti ilmu yang dimilikinya, kedua tangan lawan mengandung
hawa panas yang luar biasa dan mampu membakar kulit tubuhnya pada jarak setengah
jengkal. Orang tua itu tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila serangan
itu mengenai sasaran. Namun baru saja dia berpikir begitu terdengar jerit
kesakitan. "Aakh...!"
"Selari'.'"
Tubuh Ki Ageng Tebung mencelat tinggi dan bermaksud menyelamalkan nyawa murid
perempuannya yang tengah diambang maut. Dua orang yang mengeroyoknya dengan
sadis mengayunkan senjata kearah gadis itu yang terkapar di tanah dengan lukaluka di sekujur tubuhnya."***
?"He, kau pikir bisa lolos dari tanganku" Yeaaa...!"
Wuuut! Plak! Breees! "Aaaakh...!"
Ki Ageng Tebung menjerit keras sambil menahan sakit yang luar biasa pada raut
wajahnya. Ketika tubuhnya mencelat ke atas, perempuan tua itu menyusul sambil
mengayunkan sebelah tangan. Orang tua itu tentu saja telah menduga hal itu, dan
dia mencoba menangkis dengan ilmu Tembesi. Namun berakibat patal sebab
tangannya langsung meleleh dengan tulang remuk.
Namun meskipun begitu, semangat Ki Ageng Tebung tampak masih menyala. Sebelah
tangannya yang lain mampu menghajar seorang lawan yang hendak mengayunkan
senjatanya kepada Putri Selari. Kepala orang itu remuk sambil mcngeluarkan
jeritan kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya ambruk tak
berdaya. "Selari, cepai pergi dari sini! Ayo pergi! Selamatkan dirimu dan beri khabar
kepada orang-orang kerajaan...!" bentak Ki Ageng Tebung.
"Ta...."
"Aaaakh...!"
"Mungkaran"! Oh, celaka...!"
Belum lagi gadis itu menyahut, terdengar jerit kesakitan. Keduanya tersentak
kaget. Tubuh Adipati Mungkaran tampak terhuyung-huyung dengan sebelah lengan
putus. Dari mulutnya menyembur darah segar. Namun dengan gagahnya dia masih
memberikan perlawanan kepada lawan-lawannya.
"Cepat Selari! Tak ada waktu lagi! Pergilah kau dari sini dan selamatkan
dirimu!" bentak Ki Ageng Tebung sambil mendorong tubuh muridnya itu.
"Mau coba-coba kabur, he" Jangan harap!" ejek Nyai Sukesih sambil tersenyum
sinis. Ki Ageng Tebung memandang tajam. Kini empat orang lawan telah berdiri tegak
mengurung mereka. Dia menggigit bibir dengan geram. Kemudian berbisik pelan
kepada muridnya itu.
"Bagaimana pun kau harus menyelamatkan diri dari tempat ini. Pergilah ke
kerajaan dan laporkan peristiwa ini. Katakan, bahwa Ki Sobrang dan Ki Degil
berada di belakang semua ini!"
"Tapi Eyang...."
"Dengar! Aku tak butuh bantahanmu. Kau harus menuruti apa yang kukatakan dan
jangan coba-coba menoleh ke belakang walau apapun yang terjadi terhadap kami!
Ayo, siap!"
Putri Selari diam tak berkata apa-apa lagi. Hatinya mulai cemas bercampur sedih.
Dia tahu betul, apa yang dimaksud gurunya itu. Kedudukan mereka terjepit
dan orang-orang ini memiliki kepandaian yang hebat. Kecil sekali kemungkinan
mereka bisa kabur, bahkan rasanya tak mungkin. Kecuali..., gurunya berbuat
nekat, dan agaknya hal itulah yang akan dilakukannya kini. Bagaimana dia tak
merasa sedih" Ki Ageng Tebung bukan cuma sekedar guru, melainkan orang tua
yang selalu melindungi dan memberikan kasih sayang kepadanya selama ini. Banyak
sudah pelajaran yang didapat-nya. Dan bukan cuma sekedar ilmu olah kanuragan.
melainkan juga adab dan sopan santun serta budi bahasa yang mulia. Padahal
kebahagiaan itu baru dirasakannya seperti beberapa hari saja. Mustikah hal itu
berakhir hari ini"
"Yeaaa...!" Ki Ageng Tebung berteriak menggeledek ketika tubuhnya melompat dan
menerkam Nyai Sukesih dengan tangan terpentang dan kedua kakinya berputar
untuk menghajar kedua lawan yang berada di dekat perempuan tua itu.
Plak! Duk! Bress! "Akh...!"
"Eyang...!" Lari! La...."
"Hih!"
Bress! "Aaa...!"
Begitu melihat lawan bergerak menyerangnya dengan nekat, Nyai Sukesih langsung
menyambut dengan aji Puspa Geni. Ki Ageng Tebung mengerutkan wajah menahan
sakit. Ujung kakinya yang kanan berhasil menyambar dagu salah seorang lawan dan
membuatnya terjungkal. Namun dia sendiri tak luput dari serangan Nyai Sukesih.
Dengan geram perempuan tua itu menyodok perut lawan. Ki Ageng Tebung terpekik
ketika kepalan lawan menembus dan menjebol perutnya. Bau daging terbakar
bercampur dengan cucuran darah yang hitam. Putri Selari yang melihat itu berseru
kaget. Namun dengan suara yang terbata-bata gurunya masih sempat memperingatkan
sambil mengulurkan tangan sebelum tubuhnya ambruk. Nyai Sukesih menambahkan
dengan menghajar dada kiri lawan. Orang tua itu cuma sempat menjerit kecil.
Dia melenguh sesaat, untuk kemudian am-bruk dengan tubuh kejang membiru.
"Yeaaa...!"
Plak! Beghk! "Aaaa...!"
Putri Selari melompat dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk meloloskan
diri dari serangan lawan. Pada saat itulah tubuh Adipati Mungkaran yang tengah
terhuyung-huyung di hajar lawan, tiba-tiba saja dengan tenaganya yang ada, dia
bergerak cepat menyerbu untuk menyerang lawan gadis itu. Namun lawan dengan
cepat menghindar. Sebelah tangannya menangkis pukulan Adipati Mungkaran, dan
dengan sekuat tenaga dia mengayunkan ujung kaki menyodok dada lawan. Adipati
Mungkaran menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental, namun sebelum sempat jatuh
ketanah. Nyai Sukesih telah menyambut dengan pukulan mautnya.
"Mampus !"Hiih!"
Bress! Adipati Mungkaran tak sempat menjerit lagi sebab nyawanya telah putus sejak
ladi. "Kejar gadis itu dan jangan biarkan dia lolos!" teriak Nyai Sukesih memberi
perintah. "Kita harus berpencar!" sahut yang lainnya.
"Dia pasti belum jauh. Cari dia sampai dapat dan pastikan kalau dia mampus!"


Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjut Nyai Sukesih lagi sebelum tubuhnya melesat ke satu arah.
Sementara kelima kawannya yang lain pun telah bergerak dengan arah yang
berbeda. "* * * ?" "Putri Selari terus berlari dengan sekuat-kuatnya sambil mengerahkan segenap
kemampuannya. Dia tahu betul bahwa mereka tak mungkin akan membiarkannya begitu
saja. Dan orang-orang itu pun bukanlah tokoh-tokoh berilmu rendah. Kalau dia
berhenti sesaat saja, maka bisa jadi jarak mereka akan semakin dekat. Meski
tak tahu harus ke mana, gadis itu berlari sesuka hatinya pada satu arah yang
membawanya menerobos pekatnya malam dan diantara suara burung malam dan pohonpohon yang semakin lebat. Kakinya tersaruk-saruk dan sesekali tersandung akar pohon.
Namun dia cepat bangkit dan terus berlari. Nafasnya terasa sesak dan tersengal,
dan rasa penatnya seperti tak tertahankan lagi. Namun sekonyong-konyong
pendengarannya mengalakan bahwa beberapa orang atau seseorang dari para
pengejarnva begitu dekat dengannya. Dan hal ini malah membuatnya bertambah semangat untuk
terus berlari. Sampai di suatu tempat yang agak luas dan dipenuhi rumput-rumput, gadis itu
sedikit berseri. Ada sedikit cahaya lampu yang dilihatnya di depan sana. Pasti
sebuah desa atau perkampungan, dan dia bisa meminta perlindungan pada salah
seorang pemilik rumah itu.
"Hup!"
"Hah!"
Putri Selari terkejut setengah mati. Mukanya pucat dan langkahnya langsung
terhenti ketika sesosok bayangan berdiri tegak di depannya. Wajahnya menyeringai
buas serta memancarkan hawa pembunuhan yang sadis. Tanpa sadar gadis itu
bergerak mundur.
"He he he he...! Kau pikir bisa melarikan diri dari kami. he?" dengus orang itu
dengan suara sinis.
Gadis itu tak tahu lagi harus berbuat apa. Tenaganya telah terkuras habis.
Kalaupun dia melawan, rasanya percuma saja. Orang ini tentu dengan mudah
mengalahkannya.
Dan kalau sampai dia tewas, lalu siapa yang akan menyampaikan amanat gurunya
kepada pihak kerajaan"
Berpikir begitu semangatnya kembali bangkit. Dipandanginya laki-laki bertubuh
kurus dengan pedang berkilat tajam dalam genggaman tangan kanannya. Sorot
matanya tajam dan wajahnya sangat garang.
"Huh, kau pikir aku takut" Majulah!"
"Ha ha ha ha...! Boleh juga gertakmu itu, bocah. Tapi sadarkah kau tengah
berhadapan dengan siapa saat ini" Gurumu sendiri pun kalau masih bernyawa belum
tentu bisa berkata seangkuh itu kepadaku!"
"Siapa yang peduli denganmu" Kau dan yang lainnya hanya sekumpulan anjing busuk
yang kelaparan! Siapa yang musti takut dengan kalian."
Mendengar kata-kata penghinaan gadis itu, bukan main marahnya laki-laki itu. Dia
menggeram hebat dan siap mengayunkan pedangnya.
"Gadis hina keparat! Kau berani memaki pada Ki Langkap Bilur" Terimalah
kematianmu!"
Tubuhnya melompat sambil mengayunkan ujung pedang menyambar leher gadis itu.
Putri Selari menundukkan tubuh sambil menjatuhkan diri ke samping.
"Yeaaa...!"
Crak! Crak! "Aah...!"
Sambil berguling-gulingan dia mencoba menghindari sambaran pedang lawan yang
mencecar dengan gencarnya. Ujung kaki kanannya mencoba menghantam pangkal paha
lawan, namun laki-laki yang mengaku bernama Ki Langkap Bilur itu cepat menangkis
dengan kaki kirinya dan terus menghajar pinggang gadis itu.
Des! "Akh...!"
"Mampuslah kau sekarang! Yeaaa...!"
"Hup!"
Crak! Begkh! "Aaaah...!"
Putri Selari memekik kesakitan. Pada saat yang kritis, tubuhnya bergulingan
sehingga senjata lawan menghajar tanah. Tapi dengan cepat Ki Langkap Bilur
berbalik dan menghajar dada lawan dengan ujung kakinya. Putri Selari terjengkang dan
dadanya terasa sakit bukan main. Tak terasa dari sela bibirnya menetes darah
segar yang berusaha ditahannya.
"Kali ini mampuslah kau!" bentak laki-laki itu sambil mengayunkan pedangnya
dengan cepat. Agaknya dia tak mau lagi memberi kesempatan pada gadis itu untuk lolos dari
serangannya. Dan Putri Selari pun rasanya sulit untuk melepaskan diri dari
ancaman lawan. Dia memejamkan mata dengan sikap pasrah.
Wuuut! Tras! "Heh!?"
Ki Langkap Bilur tersentak kaget. Seberkas sinar biru menerangi tempat itu untuk
beberapa saat. Dia cuma melihat sekilas dan baru menyadari bahwa pedang
ditangannya putus dan hanya tersisa setengah jengkal dari genggamannya. Lakilaki itu cepat bergerak mundur dan melihat sesosok tubuh berdiri tegak di
dekatnya entah datang dari mana.
"Siapa kau"! Lancang betul berani mencampuri urusanku!
"Maaf Ki sanak. Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini.
Namaku Rangga...." sahut orang yang baru datang itu dengan suara halus.
Ki Langkap Bilur memandang dengan cermat. Orang yang baru datang ini hanyalah
seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang serta mengenakan rompi
putih. Kelihatannya biasa saja, tapi senjata apa yang dipergunakannya tadi"
Sudah jelas bukan senjata sembarangan. Dan kalau seorang yang telah mampu
menggunakan senjata hebat itu. pastilah dia bukan sembarangan orang. Tak terasa
Ki Langkap Bilur kecut juga hatinya. Dia berusaha bersikap setenang mungkin dan
mengeluarkan suara yang berkesan angkuh untuk memperlihatkan kepada pemuda
itu bahwa scdikit pun dia tak merasakan gentar.
4"Sementara itu si pemuda dengan wajah tak acuh berjongkok untuk memeriksa luka
yang diderita gadis itu. Tapi baru saja hal itu akan dilakukannya, kembali
Ki Langkap Bilur membentak.
"Ki sanak, kau betul-betul menghinaku tanpa memperdulikan keberadaanku di sini!
Pergilah dari sini atau aku musti menghajarmu seperti gadis celaka itu"!"
Rangga kembali berdiri dan memandang tajam kepada orang itu. Pemuda yang tak
lain daripada Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menyahut pelan.
"Ki sanak, persoalan apakah yang telah terjadi sehingga kau bermaksud hendak
mcmbunuhnya" Gadis ini kulihat telah terluka dalam. Kalau tak cepat ditolong
dia bisa tewas...."
'Huh. Apa peduliku dengan kematiannya"! Kalau dia mampus itu lebih baik.
Pergilah! Ini bukan urusanmu!"
"Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau menjelaskan apa sebenarnya yang telah
terjadi di sini dan kenapa kau begitu bernafsu untuk membunuhnya," sahut
Rangga tegas. "Bocah keparat! Rupanya kau betul-betul keras kepala dan bermaksud mencampuri
urusan Orang! Huh, kau pun boleh mampus bersama dengannya!" bentak Ki Langkap
Bilur sambil melompat menyerang pemuda itu.
Amarahnya menggelegak dan tak bisa dikendalikan lagi melihat kebandelan pemuda
di hadapannya itu. Dalam hati dia merasa ditantang dan seolah merasakan bahwa
pemuda ini sama sekali menganggapnya rendah. Hal itu sudah cukup membuat
kemarahannya semakin bergejolak. Maka tanpa memikirkan keadaan lawan lagi, dia
langsung menyerang dengan menggunakan jurus terhebat yang dimilikinya.
"Ki sanak, ternyata kaulah vang begitu bernafsu menginginkan nyawa orang. Pasti
kau pula yang begitu bernafsu mencari urusan dengan gadis itu. Dan kini
jelaslah sudah, siapa pengacau yang sebenarnya!" sahut Rangga sambil menghindar
dengan gerakan gesit atas serangan-serangan lawan yang mematikan.
"Yeaaa...! Mampus!"
"Ha ha ha ha....! Belum lagi, sobat!"
"Kurang ajar! Kau pikir bisa lolos dariku, he" Ki Langkap Bilur tak bisa kau
permainkan begitu rupa dan kau harus menggantinva dengan nyawa busukmu!"
"Hm, siapa yang mempermainkanmu" Kau sendiri yang melakukannya. Kenapa mesti
marah-marah padaku?"
"Bajingan busuk! Kusobek mulutmu nanti!" "Kau boleh melakukannya sekarang juga!"
"Hiih!"
"Uts....! Sedikit lagi, sobat!"
Bukan main kalapnya Ki Langkap Bilur dipermainkan lawan begitu rupa. Meski telah
mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, namun jangankan berhasil
melukai lawan, bahkan untuk menyentuh ujung bajunya pun dia belum mampu. Diamdiam laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu kecut juga nyalinya.
Selama ini dia jarang menemukan lawan yang setangguh pemuda ini. Padahal lawan
sama sekali belum membalas serangannya. Dia tak bisa membayangkan apakah
mampu menahannya bila kemudian pemuda ini balas menyerang.
"Ki sanak, kau terlalu memaksaku. Tak ada jalan lain bagiku selain membela diri.
Tapi kalau terus begini sungguh keterlaluan, dan agaknya kau tak segan-segan
mencelakai diriku. Mau tak mau aku mesti membalas!"
"Huh, cobalah kalau kau mampu! Kau cuma mcmpercepat kematianmu saja!"
"Ha ha ha ha...! Mungkin begitu, tapi yang jelas aku tak ingin buru-buru.
Apalagi musti mampus ditangan seekor kutu busuk sepertimu...," ejek Rangga.
"Keparat! Yeaaa...!"
"Hup! Lihat serangan!"
Sambil berkelit cepat, tiba-tiba saja Rangga menyodokkan ulu hati lawan dengan
pukulan yang keras. Ki Langkap Bilur terkejut, dan membuang diri ke samping.
Namun kaki kanan pemuda itu menyapu ke bawah menyambar punggung lawan. Tak ada
pilihan lain bagi Ki Langkap Bilur kalau tak mau celaka. Dia musti menangkis
dengan tangannya.
Bletak! "Aakh...!"
Ki Langkap Bilur menjerit keras ketika terdengar tulang berdetak patah. Belum
lagi dia sempat memperbaiki keadaan, satu tendangan keras menghantam perut
dan membuatnva tersungkur dengan tubuh jungkir balik. Sambil mengeluh kesakitan
dia berusaha bangkit sambil memegang tangannya yang patah dihajar tendangan
lawan tadi. Sorot matanya liar dan memendam amarah yang hebat.
"Kesinilah kalau memang kau masih penasaran!" kata Rangga dengan suara dingin.
"Ki sanak, biarlah kali ini aku mengaku kalah. Tapi ingat! Persoalan ini belum
selesai dan kau akan menanggung akibatnya kelak!"
"Hm, apakah itu berarti kau tak akan meneruskan urusan kita ini'.'"
Ki Langkap Bilur mendengus geram. Dia memandang sekilas. kemudian berlalu dari
tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Rangga hanya membiarkannya saja, dan
menoleh kepada gadis itu ketika lawan telah menghilang dari pandangannya.
Terlihat gadis itu masih menahan nyeri dan melangkah limbung mendekatinya.
Rangga buru-buru menangkap bahunya ketika nyaris gadis itu akan terjerembab jatuh.
Terima kasih Ki sanak. Kau... telah mcnolongku...."
"Beristirahatlah dulu. Kau terluka dalam dan tenagamu agaknya terkuras
habis...."
"Tidak. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Jumlah mereka ada enam orang.
Kalau semuanya ke sini, kita bisa celaka!"
"Tenanglah. Biar kucoba mcngatasi mereka...."
"Jangan! Kau akan celaka. Mereka berilmu tinggi dan berhati kejam. Sebaiknya
kita pergi dari sini secepatnya!"
Suara gadis itu terdengar cemas dan bingung. Dalam keadaan lemah begini tentu
akan sangat mcmpengaruhi kesehatannya. Rangga merasa tak ada salahnya dia
menuruti kata-kata gadis itu. Maka dengan sekali bergerak, dia menggendong tubuh
Putri Selari dan berkelebat cepat dari tempat itu.
"Maaf, aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu .," katanya ketika melihat
gelagat bahwa gadis itu sedikit tak senang dengan perbuatannya."*
* * ?" "Setelah sekian lama berlari dan merasa bahwa jarak mereka telah terpaut jauh
dari tempat semula, Rangga menghentikan langkah dan menyandarkan gadis itu
di bawah sebatang pohon.
"Di mana kita sekarang...?"
Rangga memandang ke sekeliling tempat itu. Dia sendiri masih merasa asing di
tempat ini. Apalagi malam semakin pekat dan sejauh mata memandang hanya terdapat
gelap diantara batang-batang pohon dan gerumbulan semak.
Dia menggeleng lemah sambil mengumpulkan ranting- ranting kayu yang terdapat di
situ. Gadis itu terdiam dan duduk bersila sambil memusatkan pikiran pada satu titik.
Kelopak matanya terpejam dan nafasnya mulai diatur sedemikian rupa untuk
mengerahkan hawa murni di bawah perut.
Rangga memandang sekilas, kemudian membuat api unggun. Tak lama suasana sedikit
hangat dan terang. Pemuda itu terkejut ketika mengetahui dengan tegas rupa
gadis itu. Kalau tadi hanya samar-samar terlihat, tapi kini jelas bahwa wajah
itu buruk sekali. Penuh kisut-kisut dan lobang-lobang kecil dengan kulit
yang kasar. Dia mencoba menekan rasa tak enak di hati, dan sambil membaringkan
tubuh agak jauh dari gadis yang masih tetap bersila.
Putri Selari merasa tubuhnya agak segar setelah beberapa saat memusatkan pikiran
dan mengatur pernafasan serta jalan darahnya. Dengan adanya api unggun
di dekatnya, hawa dingin malam sedikit terusir. Dipandanginya untuk beberapa
saat pemuda yang tadi telah menolongnya. Dia bahkan tak mengenalnya sama sekali.
Siapa orang ini dan apakah dia memang bermaksud baik kepadanya" Hm, pengalaman
selalu mengajarkannya untuk tidak percaya begitu saja kepada orang yang
baru dikenalnya. Siapa tahu pemuda ini mempunyai maksud tersembunyi, atau
barangkali dia salah satu diantara orang-orang yang akan membunuhnya. Berpikir
begitu, Putri Selari dengan hati-hati sekali bangkit dari duduknya dan bermaksud
beranjak dari situ. Namun baru saja dia melangkah dua tindak, terdengar
satu suara menegurnya.
"Ni sanak, mau kemanakah kau malam-malam begini?"
"Heh!"
Gadis itu terkejut. Dia memastikan sekali lagi dan masih melihat bahwa pemuda
itu membelakanginya sedang jarak mereka kurang lebih dua tombak. Sejak dia
bangkit pun matanya tak lepas mengawasi pemuda itu, dan sama sekali tak terlihat
dia menoleh. Sudah jelas, pemuda itu pasti memiliki pendengaran yang tajam,
pikir gadis itu. Dan hal itu membuktikan bahwa dia memang bukan orang
sembarangan. Tadi saja dia sudah melihat bahwa pemuda itu dengan mudah
mengalahkan lawannya. Tanpa sadar dia bergidik sendiri dan membayangkan, apa yang akan
dilakukan pemuda itu terhadapnya.
"Kau curiga padaku....'" tanya Rangga bangkit dan duduk bersila memandangi gadis
itu yang masih berdiri tegak dengan sikap bimbang.
Putri Selari diam tak menjawab. Rangga tersenyum tipis, lalu melanjutkan katakatanya. "Kalau memang keadaanmu sudah lebih baik, aku tak akan mencegahmu. Apalagi kalau
memang kau curiga kepadaku. Silahkan. aku tak akan menghalang-halangimu.
Tapi barangkali ada baiknya kalau kau menunggu sampai esok hari. Anggap saja ini
nasehat dariku...."
Gadis itu diam tak memberikan jawaban. Dia memandang sekilas pada pemuda itu.
Entah apa yang berkecamuk dalam benaknya, tapi kemudian terlihat dia kembali
duduk di tempatnya semula sambil memandangi jilatan api unggun.
Rangga bangkit dan duduk di depan gadis itu. Jarak mereka cuma dihalangi api
unggun. Dipandanginya sejenak gadis itu, kemudian berkata pelan.
"Namaku Rangga...."
"Ya, aku sudah dengar. Aku... Putri Selari....' sahut gadis itu lirih.
"Putri" Kau anak seorang raja atau pembesar...?"
Gadis itu tersenyum sambil menggelengkan kcpala.
"Barangkali malah sebaliknya. Aku berasal dari kalangan gembel...."
Kali ini Rangga yang tersenyum tak percaya.
"Aku berkata yang sesungguhnya. Sampai seorang yang begitu baik hati
mengangkatku menjadi anaknya dan mendidikku...."
Sampai di situ suara gadis itu terputus. Dia menundukkan wajah dan meski tak
mengetahui apa yang terjadi. Rangga dapat merasakan kepiluan hati gadis itu.
Dia menunggu beberapa saat sebelum membuka suara.
"Lalu ke mana orang itu...?"
"Dia... dia telah tiada...."


Pendekar Rajawali Sakti 120 Prahara Mahkota Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tewas maksudmu?"
Putri Selari mengangguk. Entah kenapa, tiba-tiba dia merasa percaya kepada
pemuda ini. Mungkin juga karena perasaan hatinya yang sedang sedih dan
membutuhkan seorang untuk mendengarkan, sehingga dia menceritakan apa yang terjadi pada
dirinya. Rangga mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar cerita gadis itu.
"Hm, jadi kau sekarang akan ke kerajaan" Kalau tak merasa keberatan aku bersedia
mengawanimu...."
"Terima kasih...."
'Ada satu hal yang membuatku heran. Bagaimana kau akan meyakinkan pihak kerajaan
bahwa perbuatan itu didalangi oleh dua orang yang menamakan dirinya sebagai
Ki Sobrang dan Ki Degil itu?" tanya Rangga heran.
"Aku tak tahu pasti. Yang jelas dulu mereka pernah mencoba melakukan hal itu.
Pemberontakan terhadap kerajaan, maksudku. Atau juga karena perempuan tua
yang bernama Nyai Sukesih itu berkawan akrab dengan keduanya. Guruku pernah
menceritakan hal ini, kalau tidak, tak mungkin dia bisa merasa begitu yakin
bahwa kedua orang itu adalah pelakunya. Tapi seperti apa yang kuceritakan tadi,
aku memergoki beberapa tokoh persilatan yang menuju ke tempat mereka...."
Rangga kembali menganggukkan kepala mendengar penjelasan gadis itu. Bisa jadi
apa yang diceritakannya benar, tapi tak menutup kemungkinan untuk salah. Apakah
tidak mungkin kalau itu cuma urusan dendam antara gurunya dengan orang-orang
itu" Ataukah memang benar seperti apa yang diduga gadis itu, bahwa kedua orang
yang lebih dikenal sebagai Sepasang Naga Pertala itu ingin mengadakan
pemberontakan dan merebut tahta kerajaan" Heh, ini persoalan rumit! Sungguh
nekat dan gegabah sekali kedua orang itu. Siapapun mengetahui bahwa kedudukan kerajaan
saat ini tengah kuat-kuatnya dan rasanya sulit bagi segelintir orang,
meskipun berilmu linggi, untuk mencoba menggulingkan kekuasaan yang sah atas
tahta kerajaan!"*
* * " "Menjelang tengah hari mereka tiba di kotaraja. Suasana tampak ramai dan beberapa
orang memandang mereka dengan heran. Sebagian malah menggeleng-gelengkan
kepala. Bahkan tak kurang yang begitu bertatapan dengan gadis di sebelahnya,
langsung memalingkan muka dengan perasaan jijik.
"Orang-orang memandangku dengan perasaan jijik. Apakah kau tak merasa malu
berjalan denganku...?" tanya gadis itu lirih.
Rangga memandangnya sekilas, kemudian tersenyum tipis.
"Kenapa aku harus malu" Kau toh manusia dan bukan benda yang menjijikkan seperti
kotoran atau sampah dan yang sejenisnya...."
Putri Selari tersenyum kecil.
"Kau berkata begitu tentu sekedar ingin menghiburku. bukan?"
"Apakah dengan wajahmu yang demikian berarti setiap orang yang berjalan denganmu
harus menghiburmu?"
"Kau lucu. Seharusnya pertanyaanku yang dijawab, ini malah memberikan pertanyaan
lain...." "Sudahlah, kita ke sini bukan untuk pembicaraan persoalan itu kan" Nah, di depan
sana pintu gerbang istana kerajaan sudah terlihat!"
"Mudah-mudahan mereka mau menerimaku dan mempercayai kata-kataku...!?"Keduanya melangkah dengan bergegas. Pintu gerbang itu dijaga oleh beberapa orang
penjaga. Salah seorang langsung menghadang ketika keduanya mendekat.
"Siapa kalian dan mau apa ke sini?"
"Aku.... Selari dan ini Rangga, kawanku. Kami dari tempat kediaman Adipati
Mungkaran, membawa berita untuk Gusti Prabu...."
Prajurit kerajaan itu memandang gadis itu beberapa lama dengan muka tak senang.
Kemudian dia berkata dengan tegas.
"Kalian sama sekali tak mengesankan sebagai utusan Adipati Mungkaran. Pergilah
dari sini dan jangan mengganggu. Kalau tidak, kalian akan kutuduh ingin mengacau
disini!" "Tapi Ki sanak, ini penting sekali! Aku harus menyampaikannya kepada Gusti
Prabu!" Putri Selari mencoba memaksa.
"Pergi kataku! Gusti Prabu saat ini sedang sibuk menerima tamu-tamunya, dan
kalian kesini hanya mengacau saja. Pergi kataku. sebelum aku berubah pikiran
dan menangkap kalian!" bentak prajurit kerajaan itu dengan wajah berang.
"Ki sanak, tak bisakah kau mengijinkan kami menghadap Gusti Prabu" Ini soal
penting dan menyangkut keselamatan beliau sendiri. Cobalah kau mempercayai
kami...." ujar Rangga dengan suara yang dibuat seramah mungkin.
Tapi akibatnya malah membuat prajurit kerajaan itu memandangnya garang. Sepasang
matanya melotot seperti hendak keluar dari kelopaknya. Beberapa orang kawannya
langsung mendekat ketika orang itu membentak.
"Tangkap mereka dan jebloskan ke dalam penjara...!"
"Eh, Ki sanak! Apa-apaan ini"!"
"Jangan banyak tanya! Ayo, ikut atau kalian akan dijatuhi hukuman berat!" bentak
salah seorang prajurit kerajaan sambil menghunuskan ujung tombak ke dada
Rangga. Rangga tidak tahu harus berbuat apa. Persoalan ini menjadi sangat
membingungkannya. Orang-orang mulai meributkannya dan beberapa orang prajuritprajurit kerajaan tampak mulai berdatangan menghampiri mereka. Tetapi sebelum dia
bertindak, Putri Selari sudah bergerak lebih dulu.
"Anjing-anjing busuk! Kalian memang goblok dan percuma bekerja dengan
pemerintah! Yeaaa...!"
Dua orang prajurit kerajaan yang menodongkan ujung tombaknya ke tubuh gadis itu
tiba-tiba jatuh tersungkur di tanah sambil menjerit kesakitan.
"Rangga, cepat keluar dari sini...!"
"Eh, apa...."
"Tangkap! Ada pengacau....! Ada pengacau...!"
"Hup!"
"Aakh...!"
Suasana cepat menjadi kacau. Rangga melihat gadis itu melompat dan berlari dari
tempat itu. Mau tak mau dia terpaksa mengikuti. Tapi prajurit-prajurit kerajaan
itu semakin ramai saja dan tak membiarkan mereka kabur begitu saja. Lebih dari
sebelas orang langsung mengejar mereka.
Kedua orang itu terus berlari diantara kerumunan dan lalu-lalang orang dan
rumah-rumah, serta lorong-lorong sempit. Namun setiap kali mereka hendak mencari
jalan keluar, sepertinya seluruh prajurit kerajaan telah menghadang.
"Celaka! Kita telah terkepung dan tak bisa keluar dari kotaraja ini!" umpat
gadis itu kesal.
"Bagaimana pun kita harus keluar dari tempat ini!"
"Tapi hagaimana caranya'.'! Agaknya pihak kerajaan telah menyiapkan segalanya.
Buktinya dalam waktu sekejap prajurit-prajuritnya telah bertebaran di manamana...." "Sssst...!" Rangga mendekap mulut gadis itu cepat ketika telinganya mendengar
beberapa derap langkah kaki mendekati mereka.
Keduanya bergerak perlahan melewati lorong-lorong kumuh diantara rumah-rumah
para penduduk yang berdekatan dengan sungai yang kotor dan timbunan sampah
yang menebarkan bau busuk. Rumah-rumah di sini terlihat kumuh dan tak terurus.
Beberapa orang gelandangan tampak berkeliaran dengan baju lusuh. Di antaranya
ada yang duduk termenung seperti orang bingung sambil memegangi kudis yang
membusuk di lututnya. Yang lain ada yang sedang memomong bayi kecil yang terus
menangis. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan tatapan tak peduli.
"Ke sini...!" ajak gadis itu.
"Sial! Tiga orang prajurit di sana!" tunjuk Rangga.
Keduanya kembali mencari jalan yang baik, namun di ujung jalan telah menanti
lima orang prajurit kerajaan yang berjalan dengan tergesa-gesa. Hal yang paling
menguntungkan bagi mereka adalah bahwa orang-orang itu belum melihat kepadanya.
Tapi tak lama lagi orang-orang itu pasti akan. Cuma soal waklu saja, sebab
semua jalan keluar telah tertutup rapat. Putri Selari mengeluh, dan Rangga
bertekad akan memberikan perlawanan meski akibatnya akan sangat hebat nantinya.
Melawan prajurit kerajaan. Itu sama artinya dengan melawan seluruh orang
kerajaan dan dia akan menjadi buronan selamanya!
"Ssst, lewat sini! Ayo!"
"Siapa..." Gondo, astaga! Kau ada disini"!" Putri Selari terkejut kaget ketika
seorang berbaju kumal menegur mereka dan memberi isyarat agar mereka masuk
ke dalam sebuah rumah.
Tanpa pikir panjang lagi dia menarik lengan Rangga dan kedua orang itu lenyap
dari pencarian para prajurit kerajaan ketika pintu rumah itu tertutup rapat!
5"Keduanya mengikuti laki-laki berperut agak gendut itu menuju tangga yang menuju
ruang bawah tanah. Di sana terdapat beberapa orang yang berwajah kumuh,
dengan baju lusuh yang menyambut mereka dengan pandangan heran. Tapi laki-laki
gendut yang dipanggil Gondo itu segera menempelkan telunjuknya ke bibir.
Wajahnya tampak cerah. Kemudian dengan suara pelan yang agak sedikit nyaring,
dia berkata pada orang-orang itu.
"He, kenapa kalian diam saja" Beri hormat pada junjungan kita. Putri Selari
telah berada di depan kita."
"Apa..." Putri Selari...?"
"Oh..."!"
Orang-orang itu memandang dengan wajah terkejut. Dan tidak percaya pada gadis
berwajah buruk rupa yang baru masuk itu.
"Gondo, bicara apa kau" Putri Selari adalah wanita terhormat dan berwajah amat
cantik. Bukan seperti nenek sihir begini...!" dengus salah seorang.
"Betul! Kau jangan mempermainkan kami, Gondo!"
"Jangan-jangan dia mata-mata."
Suasana di tempat itu mulai panas. Dan orang-orang yang berjumlah sekitar lima
belas orang itu berdiri tegak dengan wajah curiga. Gondo langsung melangkah
ke depan, mene-nangkan mereka.
"Tenang, tenang...! Sebentar akan kujelaskan semuanya. Dengarkan, mereka berdua
sedang dikejar-kejar pihak kerajaan. Itu membuktikan kalau mereka musuh
kerajaan. Yang kedua, siapa yang lebih tahu diantara kalian tentang putri
junjungan kita...?"
"Tentu saja kau. Sebab kau abdi dekat Gusti Putri," sahut salah seorang.
"Nah, untuk apa diributkan lagi..." Aku bersama Gusti Putri sejak beliau masih
bocah. Dan tahu betul dari ujung kaki sampai ke ujung rambut."
"Gondo, kami semua tidak memungkiri hal itu. Tapi siapa pun di sini pernah
menyaksikan kalau Gusti Putri berwajah cantik jelita. Tapi gadis yang kau bawa
ini, bahkan sama sekali tidak mirip dengan Gusti Putri." sangkal seseorang yang
disetujui yang lainnya.
"Kau terlalu gegabah mempercayai orang. Bahkan berani memasukkannya ke sini."
"Itu sangat berbahaya bagi kita, Gondo."
"Betul! Dan kau akan bertanggung jawab atas semua ini. Atau kedua orang ini
mesti dibunuh agar kita semua tidak menjadi korban "
Suasana kembali menjadi ramai, Namun sekali lagi Gondo berusaha meyakinkan
mereka. "Dengarkan..., saudara-saudaraku. Aku punya alasan membawa mereka ke sini.
Pertama, kalau memang dia orang lain yang patut dicurigai kenapa dia mengenalku
begitu pertama melihat..." Yang kedua, aku tahu betul kalau Gusti Putri memiliki
tahi lalat kecil di pangkal jempol sebelah kiri. Dan aku telah melihatnya
tadi. Sekarang ada baiknya kita menanyai lebih dulu sebelum mengadakan
keputusan."
"Baiklah, ingin kami lihat apa penjelasannya sahut salah seorang yang mewakili
lainnya. Dia memandang pada gadis itu dan melanjutkan kata-katanya.
"Ni sanak, kami tidak mengenalmu, tapi salah seorang kawan kami yakin kalau kau
adalah junjungan kami. Karena tempat ini amat rahasia, tidak ada pilihan
lain bagi kalian berdua. Daripada kami yang celaka, kaulah yang akan menjadi
korhan kalau ternyata kami anggap kalian membawa malapetaka bagi kami semua."
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Dipandanginya orang-orang itu satu
persatu. Tidak terasa, bola matanya yang jernih merembang dipenuhi air mata
yang hendak tertumpah. Ada sesuatu yang menusuk hati dan seperti menikam merobek-robek kenangan lama yang berusaha dilupakannya.
"Ni sanak, jawablah pertanyaanku. Kami tidak punya banyak waktu dan harus
secepatnya mengambil keputusan terhadap kalian."
Rangga yang sejak tadi diam saja dan tidak tahu harus berbuat apa, kini
menyadari kalau kedudukan mereka jadi terjepit. Seperti lepas dari mulut harimau,
terjebak di kubangan penuh buaya. Dia memandangi laki-laki berperut buncit yang
membawa mereka ke sini. Kemudian memandang pada yang lainnya satu per satu.
"Ki sanak semua, kami tidak tahu siapa kalian. Tapi salah seorang kawan kalian
telah menyelamatkan kami. Terus terang, kami berhutang budi padanya. Dan
sudah pasti suatu saat akan membalasnya. Tapi ketahuilah, kami tidak ingin
membuat susah pada kalian semua sedikitpun juga. Nah, untuk itu ijinkan kami
pergi dari tempat ini...,"
Tidak ada sahutan selain sorot mata yang memandang tajam pada pemuda itu. Wajah
Rangga yang dibuat seramah mungkin dengan senyum manis, mendadak sirna melihat
sikap mereka. Dia jadi salah tingkah dan tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Mari Selari, kita pergi dari sini," ajaknya.
Rangga merasa tidak ada gunanya lagi bicara pada mereka. Dengan sikap diam itu
dia berharap mereka menyetujui kalau mereka akan ke luar dari tempat ini.
Maka buru-buru dia mencekal tangan gadis itu, dan bermaksud menaiki anak tangga
yang mereka lalui tadi. Namun baru saja kakinya hendak bergerak, orang-orang
itu sudah berlompatan dengan ringan. Empat orang berjaga di anak tangga. Dan
yang lainnya mengelilingi mereka berdua.
Orang yang sejak tadi berkata pada Gondo, memandang dengan sinar tajam pada
Rangga. "Maaf, kalian tidak akan kemana-mana," katanya tegas.
Rangga mengetahui kalau kali ini mereka akan bertindak keras. Semuanya terlihat
sudah bersiap dengan senjata masing-masing. Dan hanya menunggu saja perintah
untuk meringkus.
"Ki sanak, kami tidak ingin mencari persoalan dengan kalian. Biarkan kami pergi
dengan aman."
"Aku katakan kalian tidak akan pergi kemana-mana sebelum jelas duduk
persoalannya. Dan siapa kalian scbenarnya..." Jangan sampai kami kesalahan
Kisah Si Pedang Kilat 1 Pendekar Hina Kelana 21 Prahara Rimba Buangan Sumpah Palapa 3

Cari Blog Ini