Ceritasilat Novel Online

Rahasia Patung Kencana 1

Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana Bagian 1


. 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 1
28. April 2014 um 11:09
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: RAHASIA PATUNG KENCANA
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Cahaya matahari pagi bersinar cerah dan burung-burung yang baru keluar dari sarangnya bersiul saling bersahutan. Sesekali terlihat angin semilir menggoyang-goyang ranting dan dedaunan di sebuah lembah yang subur.
Seorang penunggang kuda tampak di kejauhan. Lari kudanya tak terlalu kencang. Bah-kan bila diperhatikan dengan seksama terlihat bahwa kuda berbulu putih itu berjalan dengan santai. Penunggangnya adalah seorang gadis ber-paras jelita mengenakan baju biru muda. Di ping-gangnya terselip sebuah kipas putih keperakan dan sebatang pedang. Pandangannya menyapu ke sekeliling lembah ini ketika sebelah tangannya menarik tali kekang.
"Kita berhenti dulu di sini, Sobat. Sudah seharian kau tak beristirahat. Kau pasti lelah. Nah, makanlah rumput di sini sepuasmu setelah itu ki-ta akan mencari mata air untuk pelepas dahaga," kata gadis itu.
Kuda itu seperti mengerti apa yang dikatakan majikannya. Dia meringkik kecil sambil meng-ayun-ayunkan kepalanya.
Gadis itu menghela nafas sambil menyandar-kan punggung pada sebatang pohon. Wajahnya terlihat muram dan sorot matanya sayu. Bibirnya yang indah terlihat mendesah lembut.
"Kakang Rangga, di mana kau sekarang..." Telah sekian lama tak kudengar khabarmu...."
Lama gadis itu termangu dan melamun sen-diri, sampai dia dikejutkan oleh ringkik kudanya yang keras.
"Heh!"
Mendadak di tempat itu berkelebat tiga sosok tubuh di dekat kudanya. Wajah mereka terlihat kasar dan seram. Yang bertindak sebagai pemim-pin agaknya seorang yang bertubuh tinggi mema-kai kalung di lehernya, yang tersusun dari un-taian tulang-tulang. Ketiganya membawa golok berukuran agak panjang yang terselip di ping-gangnya.
"Hm, kuda bagus! Sama dengan pemiliknya. He, Mantingan, menurutmu bagaimana"!" terde-ngar suara si tinggi kurus yang serak dan berat kepada salah seorang kawannya yang memakai baju hitam.
"Betul, Kertapati. Aku setuju dengan pen-dapatmu. Tapi bila dibandingkan dengan pe-miliknya, aku setuju sepuluh kali lipat bahwa pemiliknya lebih berharga dan menggairahkan!"
"Benar yang kalian katakan. Tapi apakah tu-juan utama kita lebih utama dari semua ini?" sahut si baju merah yang berdiri di sebelah orang yang dipanggil Kertapati itu.
"Gondewa, kau ini terlalu serius makanya raut mukamu cepat tua. Coba sekali-sekali kau santai dan mencari hiburan!" kata Mantingan.
"Ha ha ha...! Betul, Gondewa. Urusan bisa di-kesampingkan dulu, tapi makanan empuk di de-pan mata masak harus kita lewatkan begitu saja" Ayolah, sekali-sekali kau boleh menghibur dirimu
agar tak cepat tua!" timpal Kertapati.
Gondewa tersenyum kecil. Meskipun dia tak begitu setuju dengan niat kedua orang kawannya itu, namun dia tak bisa berkata apa-apa.
Sementara gadis berbaju biru muda yang tadi bersandar, kini berjalan pelan mendekati kuda-nya. Kemudian memandang mereka satu persatu.
"Siapa kalian dan ada keperluan apa ke sini?" tanyanya datar.
"Ha ha ha...! Aku Kertapati, dan kedua ka-wanku ini Mantingan dan Gondewa. Siapakah kau Ni sanak dan kenapa bersunyi-sunyi di tempat begini?"
Ketiga orang itu cengar-cengir dengan sorot mata liar menyapu seluruh bagian tubuh gadis itu. Tentu saja hal itu membuat si gadis merasa tak enak dan sudah menduga bahwa ketiga orang di depannya bukanlah orang baik-baik. Ditambah lagi dengan penampilan mereka yang mengesan-kan demikian.
"Namaku Pandan Wangi. Aku kebetulan 1ewat di tempat ini dan sedang menunggu kawan. Tapi agaknya dia tak memenuhi janjinya, maka aku bermaksud hendak berlalu dari sini. Maaf Ki sa-nak, aku harus buru-buru!" Gadis itu melompat ke punggung kudanya.
Namun sebelum gadis itu menghela kudanya, Mantingan telah lebih dulu bertindak setelah di-beri isyarat oleh Kertapati. Dia melompat dan memegangi tali kekang di leher kuda si gadis. Se-nyumnya terlihat lebar dengan wajah me-nyiratkan kelicikan.
"Maaf Ni sanak, kau telah melanggar per-aturan. Dan mau tak mau kau harus membayar denda!"
"Apa maksudmu?"
"Kau telah memasuki tanah majikan kami tanpa ijin, sedangkan kami diperintahkan untuk menangkap siapa saja yang memasuki daerah ini dan menyerahkannya kepada beliau untuk mem-bayar denda."
"Ki sanak, jangan bermain-main! Siapa yang mengaku memiliki lembah ini" Tempat ini milik semua orang karena kalau pun ada yang menga-ku memilikinya, pastilah itu pihak kerajaan!" sa-hut gadis itu sengit.
"He he he...! Kau boleh saja berkata begitu, ta-pi nyatanya majikan kamilah yang memiliki lem-bah ini. Sudahlah, Ni sanak. Kalau memang kau tak punya uang barangkali majikan kami bisa bermurah hati mengampuni asalkan kau mau minta maaf dan menghadap kepadanya."
"Maaf Ki sanak semua. Kulihat kalian begitu bermurah hati. Kalau demikian kalian tolonglah aku dan sampaikan pada majikan kalian permin-taan maafku sebab aku tak ada waktu untuk ikut dengan kalian. Sekali lagi maaf...!" sahut gadis bernama Pandan Wangi itu tegas.
Setelah berkata demikian dia menghela ku-danya sambil mengayunkan sebelah kaki menen-dang tangan Mantingan yang masih memegangi tali kekang kudanya.
"Hup!"
"Tap!"
"Hiiih!"
Plak! ? * * * ? Dengan cepat Mantingan menarik tangannya menghindari tendangan gadis itu. Namun mendadak tubuhnya melompat dan bermaksud hing-gap di belakang Pandan Wangi dengan sebelah tangan menyerang ke pundaknya. Tapi gadis itu agaknya bukan sembarangan. Dia langsung men-gerti gelagat dan sudah mengayunkan kepalan ki-rinya menghantam dada. Mantingan tak mau me-nanggung akibatnya sehingga dia menangkis se-rangan gadis itu. Tapi alangkah terkejutnya dia manakala merasakan tangannya terasa nyeri aki-bat beradu tadi. Wajahnya berkerut menahan sa-kit.
Bukan saja niatnya untuk mengerjai gadis itu dengan menotoknya gagal, tapi dia sendiri harus menanggung akibat yang mulanya tak diduga sama sekali.
"Ki sanak, jangan coba-coba berbuat kurang ajar terhadapku. Aku tak segan-segan mengambil tindakan keras kepada kalian!" kata Pandan Wangi tegas.
"Ha ha ha...! Hebat sungguh hebat kau, Ni sa-nak. Pernah kudengar seorang gadis berparas jeli-ta yang memiliki kepandaian tinggi. Dan me-lihat kepada dua buah senjata yang kau miliki, baru-lah ingatanku pulih. Kalau tak salah, bukankah kau si Kipas Maut?" tanya Kertapati sambil terkekeh kecil. "Hm, kau sungguh bermata jeli. Nah, setelah mengetahui siapa aku apakah kalian bermaksud hendak mengeroyokku?" sahut Pandan Wangi cu-riga sambil memandang mereka satu persatu.
Gadis itu memang Pandan Wangi alias si Kipas Maut yang selama ini dikenal sebagai kekasih Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Ke-curigaannya memang beralasan. Setelah menge-tahui siapa dia yang sebenarnya, tak sedikit pun terlihat keterkejutan di wajah mereka. Bahkan la-ki-laki tinggi kurus yang bernama Kertapati itu malah seperti menganggapnya remeh. Terbukti ketika dia kemudian berkata.
"Kenapa kami musti mengeroyokmu" Nama Kipas Maut memang mampu membuat tikus-ti-kus sawah menggigil ketakutan. Tapi bagiku hal itu cuma nama kosong belaka. Bagaimanapun kau harus ikut dengan kami dan mempertang-gung jawabkan perbuatanmu!"
"Huh, pintar kau bicara mengatasnamakan kesalahanku yang kalian buat-buat! Ki sanak, di antara kita tak ada saling permusuhan dan tak ada yang dirugikan. Lebih dari itu aku tak ingin membuat permusuhan dengan kalian. Maka seka-li lagi kuminta, biarkan aku pergi dengan tenang dari sini," sahut Pandan Wangi dengan wajah si-nis.
Setelah berkata begitu dan tanpa mendengar jawaban ketiganya, si Kipas Maut langsung me-narik tali kekang kudanya sambil menyentak ke-ras.
"Pergi dari sini tak semudah apa yang kau kira, Kipas Maut!"
"Yeaaaah...!"
Trang! "Heh"!"
"Kejar dia!" teriak Mantingan sambil melompat dari situ dan berlari ke satu arah. Tak berapa lama terlihat dia kembali menaiki seekor kuda sambil membawa dua ekor kuda lainnya.
Kertapati bersungut-sungut dan langsung me-lompat ke salah satu punggung kuda berwarna coklat. Bukan main gusar hatinya saat itu. Den-gan satu kelebatan kecil tahu-tahu golok yang di-tebaskannya ke leher kuda Pandan Wangi ditangkis dengan cepat dan kuat oleh pedang lawan.
Bukan saja dia terkejut karena merasakan telapak tangannya terasa kesemutan akibat himpitan tenaga dalam gadis itu yang kuat luar biasa, tapi juga saat itu Pandan Wangi telah melesat cepat meninggalkan mereka.
"Cepat! Kita harus mendapatkannya!" bentak Kertapati geram.
"Heaaah...!"
Namun meskipun ketiga pengejarnya itu berusaha memacu kudanya agar lebih kencang, mereka tak juga bisa menyusul gadis itu. Malah ter-lihat semakin lama kuda berbulu putih milik si Kipas Maut terus melesat kencang meninggalkan mereka. Sehingga di suatu tempat mereka kehilangan buruannya itu.
Kertapati mencak-mencak tak karuan sambil mendengus geram.
"Kurang ajar! Ke mana perginya kuntilanak itu"!"
"Bagaimana kalau kita berpencar saja?" usul Mantingan.
"Hm, begitu lebih baik. Kira-kira sepe-minuman teh kita berkumpul lagi di sini!" sahut Kertapati.
Tanpa meminta persetujuan Gondewa, mereka terus memacu kudanya ke arah yang berlawanan. Kertapati ke kanan dan Mantingan ke kiri. Gondewa yang menggelengkan kepala dengan wajah kesal. Sambil bersungut-sungut dia memacu kudanya ke arah depan.
Gondewa memacu kudanya lambat-lambat dan tak bersemangat. Dia memang tak seperti kedua kawannya itu. Baginya urusan satu ini hanya membuang-buang waktu belaka. Itulah sebabnya dia tak terlalu bernafsu untuk menemukan gadis itu.
"Heh"!" Mendadak dia melompat dari pung-gung kuda dan menjatuhkan diri ke tanah berumput ketika sebuah bayangan melesat cepat me-nyambar ke arahnya.
"Hup!"
"Yeaaah!"
Baru saja dia bermaksud bangkit, bayangan itu telah kembali menyerangnya. Terpaksa Gon-dewa bergulingan untuk menyelamatkan diri. Namun gerakan bayangan itu cepat luar biasa dan sulit diimbanginya. Dia menyadari hal itu, dan pada satu kesempatan tangan kanannya te-rayun untuk memapaki serangan lawan. Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menyapu sam-bil mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya.
Plak! Bletak! "Akh...!" Gondewa menjerit keras. Pergelangan tangannya terasa sakit bukan main. Lebih-lebih dengan tulang kering di kakinya. Saat tadi me-nendang kakinya seperti menghantam benda keras. Belum lagi dia menyadari keadaan, satu to-tokan bersarang di bawah lehernya, dan mem-buatnya tak mampu bergerak juga mengeluarkan suara. Sepasang matanya melotot garang ketika mengetahui siapa yang melakukan semua itu.
"Nah, diam-diamlah kau di sini. Sebentar lagi kawanmu akan ada yang membereskan. Setelah itu giliran si Kertapati!" ujar Pandan Wangi alias si Kipas Maut.
Gadis itu bersiul pelan, dan tak berapa lama terlihat seekor kuda berbulu putih menghampiri. Diangkatnya tubuh Gondewa, kemudian diteng-kurapkannya di atas punggung kuda. Pandan Wangi sendiri naik ke punggung kudanya dan di-am beberapa saat seperti menunggu seseorang. Tak berapa lama kemudian muncul seorang pe-muda berwajah tampan dengan rambut panjang terurai serta mengenakan baju rompi putih. Pe-muda yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu berada di punggung kuda ber-bulu hitam yang tak lain dari Dewa Bayu, kuda kesayangannya. Berjalan pelan di sampingnya seekor kuda berbulu kelabu membawa sesosok tubuh yang tengah tak sadarkan diri di punggungnya. "Kau telah berhasil membuatnya tertidur, Kakang?"
"Seperti yang kau lihat...."
"Hm, mari kita ke sana menunggu si keparat itu. Kemudian baru kita selesaikan urusan kita!" sahut si gadis tegas.
Rangga mendecah kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya tampak muram mengikuti langkah kuda Pandan Wangi.
? ** * ? Kertapati bersungut-sungut kesal. Dia sudah mencari ke pelosok tempat pada arah yang di tu-junya, namun gadis itu sama sekali tak terlihat jejaknya. Dengan putus asa dia kembali ke tem-pat semula. Mendadak wajahnya tampak cerah ketika melihat orang yang diburunya duduk den-gan tenang sambil tersenyum kecil di punggung kudanya. Persis di tempat mereka tadi berpencar!
Dengan cepat dia memacu kuda dan berhenti di depan Pandan Wangi yang tersenyum-senyum kecil.
"Apa kataku, kau tak akan pergi ke mana-mana...."
"Tentu saja. Mana mungkin aku bisa tenang pergi ke mana-mana sebelum kalian enyah dari hadapanku," sahut Pandan Wangi.
"He he he...! Hayalanmu terlalu muluk. Jan-gan harap aku akan membiarkan kau pergi begitu
saja. Sekarang juga kau akan mengetahuinya!" dengus Kertapati geram.
Dia kemudian bersuit nyaring memanggil ke-duanya. Pandan Wangi tersenyum kecil. Ke-mudian terdengar dia bersiul kecil. Dari balik se-mak-semak di belakangnya, terlihat Rangga ke-luar menuntun dua ekor kuda yang masing-masing memanggul dua sosok tubuh.
"Kedua orang inikah yang kau cari?"
"He, kurang ajar! Kalian apakan mereka"!" bentaknya dengan wajah terbelalak menahan ge-ram.
"Kau pikir hukuman apa yang pantas bagi manusia usil semacam kalian?" Pandan Wangi balik bertanya dengan santai.
"Hu! Sehelai rambut mereka putus maka nya-wa kalian jadi taruhannya!"
"Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Ki sa-nak. Nah, aku telah memutuskan beberapa helai rambut mereka. Dan sekarang akan kutambah lagi dihadapanmu!" sahut Rangga tenang.
Pemuda itu meminjam pedang Pandan Wangi, kemudian dengan cepat memapas ujung-ujung rambut kedua orang yang tak berdaya di pung-gung kuda itu.
Cras! "Keparat! Mampuslah kau!" bentak Kertapati sambil mencabut golok dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan gerakan cepat.
"Uts... sabar, Sobat! Kau hanya membuang-buang tenaga. Dan salah serangan malah bisa mencelakakan kawanmu sendiri," sahut Pendekar
Rajawali Sakti sambil melompat turun dari ku-danya.
Dengan ringan dia memiringkan kepala, ke-mudian bergerak cepat ke depan untuk meng-hadapi serangan lawan. Kertapati tak mampu mengikuti dengan pandangan matanya. Tahu-tahu goloknya terpental dan lepas dari geng-gamannya. Belum lagi habis rasa terkejutnya, saat itu juga terasa sesuatu menghantam ulu ha-ti. Kertapati terpekik. Tubuhnya limbung ke bela-kang.
"Pilihlah cara kematiaamu sendiri. Kukorek jantungmu atau kutebas kepalamu?" Tanya pen-dekar Rajawali Sakti sambil menyorongkan ujung pedang Pandan Wangi yang masih digenggamnya dan di arahkan ke dada lawan.
Kertapati gelagapan. Mukanya pucat dan jan-tungnya seperti hendak berhenti berdetak. Kerin-gat sebesar butiran jagung mulai keluar dari pori-porinya. Tak terasa kedua lututnya tertekuk dan tubuhnya ambruk. Kepalanya tertunduk me-nekuri tanah.
"Huh! Hari ini biarlah nyawa busukmu kuampuni. Tapi sekali lagi bertemu muka denganku kau tak akan selamat!" dengus Rangga sambil melempar pedang Pandan Wangi.
Gadis itu menangkapnya dengan wajah cem-berut kesal. Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu meninggalkannya dan berjalan pelan menaiki kudanya. Pandan Wangi terpaksa menyusul dari belakang.
"Kenapa tak kau habisi saja orang itu?"
"Untuk apa?"
"Dia hendak mempermalukan aku, tahu"!"
Rangga terkekeh kecil.
"Kakang, urusan kita belum selesai. Kau jangan coba-coba mengalihkan perhatian!"
"Siapa yang hendak mengalihkan perhatian" Bukankah kau yang mulai tadinya?"
"Eh, enak saja melimpahkan kesalahanmu! Ke mana saja Kakang selama ini dan kenapa tak mau mengajakku" Takut kuikuti, atau takut ku-awasi kau menggoda gadis-gadis cantik?"
"Lho, kenapa menuduh begitu" Aku sudah katakan padamu bahwa kepergianku ke daerah Uta-ra dalam rangka suatu tugas tertentu. Bukankah kau pun mengetahuinya?"
"Kau selalu berdalih tugas, urusan, persoal-an. Apa semua itu lebih menyita waktumu ketim-bang aku" Coba sadari, telah berapa lama kau pergi meninggalkan Karang Setra" Dan mungkin selama itu pun telah lupa padaku...," sahut Pan-dan Wangi dengan wajah cemberut.
"Wah, pantas! Apakah kau tak tahu" Aku baru saja dari Karang Setra. Dan mengetahui kau tak ada di sana, itulah sebabnya aku kembali me- ngembara untuk mencarimu. Dasar jodoh, ter-nyata tak usah bersusah payah akhirnya kau kutemukan!" Rangga berusaha tersenyum lebar, namun Pandan Wangi sama sekali tak terpengaruh.
Pada saat dia memacu kudanya dengan kencang, saat itulah Rangga muncul. Agaknya pemu-da itu telah mengetahui apa yang sedang menimpa kekasihnya. Dialah yang mengatur rencana tadi. Pandan Wangi hanya menyetujuinya saja, dan pemuda itu cepat berlalu menghajar Mantin-gan. Dia tak sempat menumpahkan kesal. Dan setelah segalanya beres barulah dia keluarkan se-gala keluh kesal di hatinya yang telah tertanam beberapa bulan ini.
Keduanya kembali terdiam. Rangga hanya mendiamkan saja sikap Pandan Wangi yang te-rus-menerus mengomel tak karuan sepanjang perjalanan. Melihat sikap pemuda itu yang demikian, lama kelamaan habis juga uneg-uneg di ha-tinya tak berbuntut lagi. Rangga mengetahui ka-lau dia terus-menerus menggoda gadis itu, bisa jadi Pandan Wangi akan mengomel seharian pe-nuh. Dengan berdiam diri seperti ini agaknya memang" cara yang jitu.
"Ayo bicara! Apa pembelaan dirimu"!" sentak Pandan Wangi dengan suara yang masih kesal.
"Baiklah, aku tak akan berusaha membela diri. Aku salah dan minta maaf yang sebesar-be-sarnya...."
"Tidak cukup begitu!"
"Lalu bagaimana...?"
"Kau harus berjanji tak akan mengulanginya lagi!"
"Ya, aku berjanji...."
"Kalau ternyata kau mengulanginya lagi, dan kemudian kabur dengan diam-diam untuk me-nemui kekasih gelapmu, hukuman apa yang pan-tas untukmu"!"
"Duh, berapa kali aku musti menjelaskan agar
kau percaya?"
"Huh, mempercayaimu tak main gila di bela-kangku" Siapa yang bisa percaya hal itu" Kau pergi begitu lama tanpa khabar berita!" dengus Pandan Wangi.
Rangga cengar-cengir sambil menghela nafas berkali-kali. Dia menggeleng-gelengkan kepala he-ran.
"Pandan, apakah pertemuan ini harus kita isi dengan sikap marah dan kekesalanmu" Padahal kalau kau tahu, betapa selama ini aku memen-dam rindu kepadamu. Tidakkah kau bisa merasakan bahwa di dunia ini tak ada seorang gadis pun yang bisa memikat hatiku selain dirimu...," ucap Rangga lirih.
"Jangan merayu, Kakang! Kalau berharap aku akan tenang dalam waktu singkat, jangan harap!" sahut Pandan Wangi masih bernada kesal.
"Baiklah. Kalau memang dalam waktu singkat kau tak bisa tenang dan memaafkanku, maka akan kutunggu sampai kapan pun!"
"Huh!" Pandan Wangi cuma mendengus pelan. Kemudian memacu kudanya dengan kencang.
Kembali Rangga menghela nafas pendek sebelum menepuk leher Dewa Bayu, kuda tung-gangannya, agar merendengi lari kuda Pandan Wangi.
** * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 2
28 avril 2014, 11:11
2 ? Kertapati bersungut-sungut kesal. Sejak per-pisahan dengan Mantingan dan Gondewa pun dia masih bersikap begitu. Gondewa berharap bahwa Kertapati tak akan melupakan rencana mereka semula. Tapi jawaban Kertapati sungguh mem-buatnya kesal.
"Untuk apa aku mengajak kalian" Tak becus dan tak punya kemampuan apa-apa buat dian-dalkan. Cuma menghadapi perempuan dan pe-muda yang masih bocah saja kalian tak mampu!"
"Kertapati, mereka bukan orang sembaran-gan...," Gondewa coba mengalihkan.
"Lalu bagaimana cara kita menghadapi tokoh-tokoh persilatan lain yang akan memperebutkan benda itu" Apa kalian kira mereka cuma kantong-kantong nasi saja"! Barangkali belum sampai ke tujuan kita sudah keburu mampus!"
"Lalu sekarang bagaimana...?"
"Terserah kalian sajalah! Aku mau pulang dan tidur yang pulas! Kalau kalian merasa mampu, carilah sendiri!"
"Tapi tanpamu, mana kami tahu harus menca-ri ke mana...?" tanya Mantingan lesu.
"Betul Kertapati. Ada baiknya kau pertim-bangkan dulu. Kalau kau hendak mengurungkan niat mencari benda itu, siapa tahu orang lain bakal menemukannya. Kau pernah katakan bah-wa tak semua orang mengetahui di mana benda itu berada, dan kau sendiri bilang bahwa kau
mengetahui benda itu. Apakah kau tak tergiur untuk memiliki benda itu dan kemudian menjadi seorang pendekar ternama yang tiada bandingan-nya?" bujuk Gondewa.
"Aaah, sudah kukatakan tidak, ya tidak! Aku mau pulang! Terserah kalian sekarang. Kalau mau mencari benda itu, carilah sampai ketemu. Aku tidak perduli lagi!"
Setelah berkata begitu Kertapati langsung memacu kudanya kencang-kencang meninggal-kan kedua kawannya yang termangu tak tahu apa yang harus mereka kerjakan.
"Bagaimana Mantingan" Apakah kau setuju kalau kita berdua mencari benda itu?" tanya Gon-dewa sepeninggal Kertapati.
"Aku setuju saja, tapi di mana kita akan men-carinya" Rasanya secara diam-diam kini semua orang sudah mengetahui prihal Patung Kencana yang menghebohkan itu. Siapa yang tak bernafsu untuk memiliki benda yang berisi pelajaran ilmu silat tingkat tinggi itu. Dan apa kau pikir Kertapa-ti akan rela melepaskan begitu saja patung yang telah lama diincar-incarnya itu?"
"Jadi kau beranggapan bahwa Kertapati se-ngaja bekerja sendiri tanpa mengikut sertakan ki-ta?"
"Begitulah kira-kira...."
"Tapi apa kau yakin bahwa dia mengetahui di mana letak patung itu berada?"
"Dia cuma banyak bicara! Aku tak yakin dia mengetahuinya. Barangkali dia hanya tahu pe-tunjuknya belaka."
"Petunjuk bagaimana?"
"Ya, barangkali mencari orang yang mengeta-hui di mana letak patung itu, atau mencuri de-ngar dari orang lain!"
"Hm, dia bisa berbuat begitu, kenapa kita ti-dak?"
"Kalau sudah keras kemauanmu untuk men-dapatkan patung itu, kenapa tidak lekas men-carinya saja?"
"Apakah kau setuju?"
"Kau sudah siap menghadapi segala rin-tangannya?"
"Aku tak perduli!"
"Bagus! Kalau demikian kita harus saling ba-hu membahu. Kau adalah sahabatku, demikian pula sebaliknya. Apa yang kau punya adalah mi-likku dan apa yang ku punya adalah milikmu. Demikian juga bila aku dalam bahaya hendaknya kau membantuku, begitu pula bila kau dalam ba-haya sudah pasti aku akan membantumu. Dan berjanjilah bila patung itu kita temukan maka tak boleh ada pertengkaran di antara kita. Kalau be-nar apa yang dikatakan Kertapati bahwa patung itu mempunyai petunjuk untuk mendapatkan il-mu silat yang amat tinggi, kita harus mempelaja-rinya bersama kemudian memusnahkannya. Ba-gaimana, kau setuju?"
"Aku setuju! Kita akan menjadi sepasang pen-dekar yang tak terkalahkan. Dan akan ku-balaskan sakit hatimu kepada pemuda berbaju rompi putih itu!" sahut Gondewa cepat.
"Hus, jangan ngaco! Kalau kemampuanmu
sama denganku untuk apa aku meminta ban-tuanmu menghajarnya" Kau boleh menonton sa-ja, dan keduanya akan kulumpuhkan. Lalu sete-lah itu si gadis yang berwajah cantik itu akan ku-sekap sehari semalam!" teriak Mantingan sambil ter-tawa lebar.
Mendengar itu Gondewa ikut-ikutan tertawa dengan suara keras.
"Ayo, mari kita berangkat segera. Jangan sam-pai didahului oleh si Kertapati. Dia telah mengu-sir kita dan tak akan ada urusan lagi de-ngannya!" ajak Gondewa.
"Betul katamu, Gondewa. Si Kertapati memang sial! Mau enaknya tapi tak mau susahnya. Mu-dah-mudahan kita lebih beruntung dan dia akan menyembah-nyembah ke kaki kita untuk minta belas kasihan agar diikut sertakan mempelajari ilmu silat yang ada dalam patung yang telah kita dapatkan! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha....!"
Kedua orang itu kemudian memacu kuda-kudanya dengan kencang menuju satu arah. De-bu mengepul di udara dan tanah yang kering se-ketika berubah kelabu. Diiringi derap kaki kuda yang semakin menjauh, tempat itu perlahan-la-han kembali senyap. Debu-debu kembali ber-jatuhan, sementara sebagian lainnya di sapu an-gin yang berhembus pelan.
? ** * ? Dugaan Mantingan memang tak salah. Kerta-pati bukannya pulang ke rumahnya melainkan te-rus memacu kudanya menuju suatu kaki bukit. Hatinya masih terus mengumpat kedua kawannya yang dinilainya tak becus apa-apa. Marah dan kesal serta dendam, berbaur menjadi satu. Kalau terus mengajak mereka, rencananya hanya akan menjadi berantakan saja. Tapi kalau melakukan-nya sendiri, dia ragu. Sekian banyak tokoh persi-latan yang pasti mendengar berita itu, pasti tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Dan diantara mereka sudah pasti banyak yang memiliki kepan-daian tinggi. Hm, bagaimana dia bisa memper-oleh benda yang diidam-idamkannya bila salah seorang tokoh berkepandaian tinggi merebut dari tangannya" Akan sia-sialah perjuangannya. Se-dangkan menghadapi dua muda-mudi saja dia jungkir-balik tak berdaya. Dia harus mencari ban-tuan dari orang yang berilmu tinggi dan sekaligus bisa dipercaya. Siapa lagi kalau bukan Paman Durgandana, adik Ibunya yang berjuluk Tupai Maut Tongkat Sakti.
Setelah berkuda setengah harian, Kertapati ti-ba di tempat pamannya itu menjelang sore hari. Saat itu Durgandana yang berusia sekitar empat puluh tahun itu sedang membelah kayu dan baru saja selesai ketika Kertapati persis berada di de-katnya.
"Kertapati, he apa khabarmu" Sudah lama kau tak ke sini. Pastilah ada urusan yang amat penting!" teriak pamannya itu sambil memanggul kapaknya ke pundak.
Kertapati turun dari kudanya dan menambat-kannya ke salah satu tiang penyangga rumah yang berada di beranda depan. Kemudian setelah memberi penghormatan kepada pamannya itu, mereka duduk di bale-bale depan.
Laki-laki berperawakan besar itu mengipas-ngipas tubuhnya yang basah oleh keringat. Ke-mudian berteriak keras dengan suara meng-geledak. Kertapati sedikit tersentak. Sudah lama dia tak berkunjung ke tempat pamannya itu, dan mulai melupakan adat pamannya yang buruk itu, yaitu selalu berteriak bila memanggil seseorang.
"Sebentar lho, Kang! Eh, Kertapati..., kapan datang?"
Seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam. Rambutnya yang panjang belum lagi dis-anggul dan bajunya masih tak beraturan. Da-rah Kertapati tersirap ketika matanya sempat me-nangkap pemandangan indah di balik kutang pe-rempuan itu yang sedikit tersibak. Buru-buru dia menyalami perempuan itu dengan jantung berde-bar kencang.
Istri pamannya ini memang cantik dan bertu-buh sintal. Meskipun dia hanya perempuan desa, tapi pamannya sangat pemilih. Lima tahun lalu keadaannya masih seperti sekarang dan seperti tak berubah sedikitpun. Kulitnya mulus dan tu-buhnya terawat baik. Padahal mereka telah dika-runiai dua orang bocah.
"He, ceritakan apa maumu ke sini!" sentak Durgandana.
Kertapati sedikit gugup. Tapi dia cepat menguasai diri. Sambil tersenyum lebar dia mende-kati pamannya itu sambil menggeser duduknya.
"Ada berita bagus buat, Paman...."
"Hm, berita apa?" tanya Durgandana dengan suara di hidung.
"Itulah salahnya. Paman terlalu banyak me-ngurung diri di tempat terpencil begini. Bagaima-na bisa mengetahui keadaan dunia luar. Banyak sudah...."
"He, Kertapati! Bicara jangan berbelit-belit! Apa yang hendak kau katakan kepadaku"!" po-tong Durgandana dengan suara keras.
Kertapati diam beberapa saat ketika istri pa-mannya datang dan menyuguhkan dua cangkir kopi serta singkong rebus. Perempuan itu kemu-dian masuk ke dalam. Dia amat patuh pada Dur-gandana dan tabu tugasnya untuk tidak men-dengarkan dan hadir diantara tamu-tamu suami-nya. Sebab Durgandana paling tidak suka istrinya keluar bila dia sedang menerima tamu, meskipun itu keponakannya sendiri!
"Apakah Paman masih berniat menambah ke-pandaian ilmu olah kanuragan...?"
"Apa kau pikir aku begitu lemah sekarang ini, he"!"
"Bukan begitu. Paman cukup hebat dan memi-liki ilmu olah kanuragan yang tiada tandingan-nya. Tapi tahukah Paman bahwa belakangan ini banyak tokoh-tokoh sakti bermunculan" Juga pendekar-pendekar sakti berusia muda. Orang-orang itu sering bertindak semaunya dan me-nonjolkan diri. Lama-kelamaan orang seperti Paman tak akan dipandang sebelah mata oleh me-reka...."
"Setan! Siapa yang berani memandang sebelah mata kepadaku"!" geram Durgandana.
"Aku tak bisa menyebutkan satu persatu, tapi yang jelas hal itu akan semakin memuncak kalau didiamkan terus. Paman harus bertindak dan ke-luar dari persembunyian."
"Bangsat! He, kau ikut aku Kertapati dan tun-jukkan kepadaku, siapa saja orang yang berani meremehkanku!" sentak Durgandana sambil be-ranjak ke dalam.
Kertapati mengikuti dari belakang sambil terus menyulut pamannya yang memang penaik darah dan tak mau ada orang lain menyaingi ke-hebatannya.
"Paman betul-betul ingin menemui mereka?"
"Tentu saja! Akan kuhajar mereka biar melek matanya dan tak menganggap rendah padaku."
"Kalau Paman mencari mereka satu persatu akan memakan waktu lama. Sebaliknya sekaligus saja."
"Sekaligus bagaimana?" Durgandana menga-lihkan perhatian sambil mengenakan baju yang baru saja diambilnya dari lemari.
"Begini. Saat ini ada suatu benda yang banyak diminati oleh banyak kalangan persilatan. Benda itu adalah Patung Kencana. Konon menurut beri-ta, patung itu menyimpan rahasia tentang pelaja-ran ilmu silat langka yang tiada bandingan. Nah, kalau kita mengetahui di mana benda itu berada, tentu banyak tokoh persilatan yang akan menuju
ke sana. Hanya sayang, aku belum mengetahui tempatnya sebab banyak diantara mereka yang mengetahui kemudian menyembunyikannya seca-ra diam-diam untuk dirinya sendiri. Tapi aku ya-kin banyak yang telah mengetahuinya. Selain bisa menghajar mereka, paman juga bisa menda-patkan patung itu dan mempelajari ilmu silat yang terdapat di dalamnya. Tapi... tentu saja akupun akan minta sedikit bagian," jelas Kertapa-ti sambil cengar-cengir.
Durgandana meraih tongkat hitam yang ben-tuknya seperti batang kayu yang berusia ratusan tahun. Penuh dengan urat-urat yang menonjol dan berkilat. Panjangnya sekitar serentengan dua buah tangan orang dewasa, dan besarnya sema-kin mengecil dari atas ke bawah. Dimulai dari ujung yang berbentuk sedikit bulat sebesar kepa-lan tangan, terus turun ke bawah berbentuk lan-cip.
Brak!!! Sebuah meja kayu hancur ketika ujung tong-kat itu dihantamkan Durgandana. Kertapati sem-pat terkejut dan mengusap-usap dada. Dua orang bocah yang berada di dalam pelukan isteri Dur-gandana menyembunyikan wajah mereka di perut Ibunya.
"Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan aku, he Kertapati"!"
"Mempermainkan bagaimana?"
"Kau memperalatku untuk mencapai ke-inginanmu"!"
"Ya, ampun. Mana aku berani berbuat demikian. Yang kukatakan adalah hal yang sebenar-nya, Paman!"
Durgandana memperhatikan untuk beberapa saat wajah keponakannya itu. Ketika merasa ya-kin bahwa Kertapati memperlihatkan muka yang bersungguh-sungguh, dia segera melangkah lebar ke luar rumah.
"Ayo kita berangkat, dan cari tahu di mana tempat patung itu berada!"
Kertapati bersorak dalam hatinya dan buru-buru mengikuti dari belakang.
? ** * ? Pedati yang ditarik dua ekor kerbau itu berja-lan dengan cepat. Terlihat sesekali miring ke kiri dan kanan ketika melewati jalan yang berbatu dan tak rata. Namun seorang laki-laki tua yang duduk sebagai kusirnya terus menghela kedua kerbau itu agar berjalan lebih cepat.
"Ayah, hentikan! Kalau sampai kedua kerbau itu mengamuk pedati ini akan terbalik dan kita bisa celaka!" jerit seorang gadis belia dengan sua-ra cemas.
Namun laki-laki bertubuh kurus dengan kulit hitam kecoklatan itu seperti tak memperdulikan teriakan putrinya itu. Dia terus menyabet ker-bau-kerbau itu dan membuat kedua hewan itu la-ri terpontang-panting.
"Ayah, kedua roda pedati telah berderit-derit! Lebih baik kita jalan kaki saja! Aku tak mau tersungkur di sini!" teriak gadis belia itu sekali lagi.
"Tenanglah Ningsih. Kita tak bisa berhenti se-lagi keparat-keparat itu mengejar kita terus!"
"Tapi kedua hewan itu bukan kuda yang biasa berlari kencang. Mereka hanya dua ekor kerbau yang terbiasa membajak sawah. Mereka tak ter-biasa digunakan untuk berlari kencang. Mereka akan...."
"Ningsih, cepatlah melompat!"


Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaah...!"
Ucapan gadis itu terputus ketika dengan tiba-tiba Ayahnya berteriak. Dengan gerakan ringan dia menembus tirai pedati yang terbuat dari any-aman bambu. Pedati itu miring ke kiri dan terus terjungkal ketika dua ekor kerbau itu saling me-misahkan diri. Agaknya kedua hewan itu tak bisa mengendalikan diri ketika laki-laki tadi terus memukul mereka semakin keras. Tali pengikat mereka putus, dan pedati itu sendiri terus tergu-ling-guling menuruni tanah yang rendah.
"Hup!"
"Ha ha ha...! Tua bangka sial! Kau pikir bisa lari ke mana dari kejaranku" Larilah sesuka hati-mu tapi kau tak akan bisa ke mana-mana. Lebih baik kau beritahu di mana Patung Kencana di sembunyikan atau kau dan putrimu akan mam-pus seperti anjing kudisan!"
Kedua orang itu memandang ke sekeliling. Tempat itu telah dipenuhi oleh beberapa orang penunggang kuda. Berada di dekat mereka wa-jahnya terlihat seram dengan rambut kaku diikat oleh sehelai kain lebar berbunga-bunga warna
kuning dan biru. Sebelah matanya lebar dan ber-air. Terlihat bagian putih matanya kini berubah merah dan membuat wajahnya menjadi semakin menakutkan. Di tangannya tergenggam sebuah cambuk.
"Layang Seta, keparat kau!" geram kusir pedati tadi sambil mendekap putrinya erat-erat.
"Sudahlah, Karta. Untuk apa kau pertahan-kan benda itu" Serahkan pada kami peta yang menunjukkan di mana Patung Kencana itu bera-da."
"Huh, Patung Kencana tak berhak dimiliki oleh orang-orang seperti kalian!"
"Hm, keras kepala juga rupanya kau. Tapi in-gin kulihat sampai di mana keras kepalamu kalau ternyata melihat putrimu celaka!" dengus orang yang dipanggil Layang Seta sambil memberi isya-rat pada salah seorang anak buahnya.
Karta bersiap ketika salah seorang melompat ke arahnya.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Plak! "Ayaaaah...!"
"Ningsih"!"
"Ha ha ha...! Putrimu kini berada di dalam genggaman tanganku, Nah, kau boleh menen-tukan sendiri lewat sikapmu, apa kira-kira yang akan kami perbuat terhadap putrimu yang cantik rupawan ini," sahut Layang Seta tersenyum sinis.
Karta menggeram hebat. Pada saat dia tengah memapaki serangan orang tadi, seorang lagi anak
buah Layang Seta bergerak amat cepat dan me-misahkan Karta dengan putrinya, lalu me-nelikung kedua tangan gadis itu. Ningsih bukan-lah gadis desa biasa, tapi Karta mengetahui bah-wa orang-orang ini memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali bukan tandingan mereka. Tak heran bila dia menyadari bahwa Ningsih tak mampu berbuat apa-apa untuk melepaskan diri. Lebih dari itu, dia tahu betul bahwa Layang Seta bukanlah manusia baik. Orang itu tak lebih dari seorang kepala perampok yang bengis dan tak kenal betas kasihan. Siapa yang tak mengenal Begal Mata Setan, gerombolan perampok yang di-takuti oleh kalangan persilatan" Dan hari ini me-reka telah berurusan dengan orang-orang itu!
"Bagaimana Karta" kuberi kau waktu sampai hitungan ketiga. Kalau tidak..., he he he!" Layang Seta tertawa terkekeh dengan wajah penuh kelici-kan.
"Keparat kau, Layang Seta! Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku!"
"Hm, kita lihat saja nanti. Satu...!"
Breet! "Aouw...!"
"Ningsih...!"
"Dua!" Kembali Layang Seta menghitung den-gan suara keras dan wajah menyeringai lebar. Karta terpaku dengan kedua mata melotot nya-lang. Wajahnya berkerut menahan geram. Salah seorang anak buah Layang Seta merobek baju ba-gian depan putrinya. Ningsih menjerit keras den-gan muka pucat ketakutan. Dan ketika pada hitungan kedua juga tak terlihat reaksi, anak buah Layang Seta kembali berbuat kasar. Di ca-biknya baju bagian depan gadis itu dari atas ke bawah hingga terlihat dada, perut dan pangkal kedua be-lah paha. Tubuh Ningsih sebagaimana layaknya seorang perawan yang baru mekar di pertonton-kan di depan orang ramai itu membuat para anak buah Layang Seta menelan ludah dengan wajah penuh nafsu. Mata mereka tiada henti menatap setiap sudut di tubuh gadis itu.
"Keparat kau Layang Seta!"
"Huh!"
Plak! Des! "Aaaakh...!"
"Ayaaah...! Ayaaah...!"
? ** * Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 " . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 3
28. April 2014 um 11:13
3 ? "Apakah sekumpulan anjing liar tak beradab akan dibiarkan begitu saja merajalela di muka bumi ini tanpa seorang pun yang menghalau me-reka dan menempatkannya di tempat yang se-suai?"
"Tentu saja ada!"
"Heh"!"
Plak! Des! "Aaakh"!"
Salah seorang anak buah Layang Seta yang menelikung Ningsih menjerit keras. Dan seorang lagi yang tadi mencabik baju gadis itu mengalami hal yang sama. Tubuh mereka terjengkang. Pa-dahal baru saja Layang Seta menghajar Karta yang melihat putrinya diperlakukan demikian su-dah langsung kalap dan menerjang. Tapi apalah artinya tenaganya dibandingkan dengan kepan-daian Layang Seta. Dengan sekali kibas tubuhnya terjungkal sambil menjerit keras. Ningsih cuma berteriak-teriak keras tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Dia menyadari betul, bahwa keadaan mereka sangat buruk. Bukan saja dirinya yang akan mengalami bencana mengerikan bagi seo-rang gadis, tapi nyawa ayahnya pun bisa jadi akan melayang setiap saat. Mendadak muncul dua suara yang saling bersahutan. Layang Seta terkejut, dan ketawa mereka yang keras langsung berhenti. Tahu-tahu Ningsih telah terbebas dan disambar seseorang. Begitu juga halnya dengan Karta. Di depan Layang Seta berdiri gagah sepa-sang muda-mudi. Yang pemuda berwajah tampan dengan rambut panjang terurai dan memakai ba-ju rompi putih, dan yang wanita adalah gadis berwajah cantik sekali memakai baju biru muda.
"Kurang ajar! Dua keledai dungu hendak un-juk kepandaian di depan hidungku! He, bocah! Apa kau sudah bosan hidup"!" bentak Layang Se-ta geram.
"Siapakah orangnya yang sudah bosan hidup" Kalau kami tentu saja tidak. Tapi biasanya orang
yang berkata begitulah yang sebenarnya meng-inginkan apa yang diucapkannya," sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar hal itu bukan main geramnya Layang Seta. Kedua bola matanya terbelalak lebar dan gerahamnya berkerokotan dengan wajah ber-kerut-kerut. Selama ini siapa yang tak mengenal dirinya" Nama Begal Mata Setan sudah dikenal seantero tempat dan merupakan sebuah nama yang membuat ciut banyak tokoh persilatan. Tapi hari ini dua orang muda-mudi yang tak dikenal-nya sama sekali enak saja petantang-petenteng seolah tak menganggap sebelah mata sedikit pun kepadanya. Bahkan berani meng-ucapkan kata-kata yang baginya sangat merendahkan dirinya.
Ctaaaar...! Cambuk Layang Seta mengeluarkan suara ke-ras seperti hendak membelah angkasa ketika dengan geram diayunkannya ke atas. Kemudian disusul dengan suara yang keras mengguntur.
"Bocah-bocah busuk, kalian pikir siapa yang berani bicara begitu di hadapan Begal Mata Se-tan"!"
"Oh, inikah orangnya yang bernama Begal Ma-ta Setan" Aduhai, kenapa tiba-tiba aku hendak tertawa karena merasa lucu?" sahut si gadis ber-baju biru yang tak lain dari Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah jengkel dan geram melihat sikap dan perlakuan orang-orang ini se-hingga ucapannya tak ada berbasa-basi lagi. Den-gan jawaban seperti itu sama artinya dia merendahkan Layang Seta secara langsung.
"Gadis tak tahu diri, mampuslah kau!"
"Ctaaar...!"
"Hup!"
Ctaaaat...! Dengan kalap Layang Seta menghajar Pandan Wangi dengan cambuknya. Udara seketika terasa hangat dan daun-daunan berguguran ketika ujung senjatanya itu melecut-lecut dan mengejar lawan ke mana saja bergerak, Agaknya dalam puncak kejengkelannya itu Layang Seta begitu bernafsu untuk menghabisi gadis itu secepatnya. Kalau gadis itu mampus, barulah dia bisa ber-nafas lega dan tinggal menggertak si pemuda.
"Ki sanak, kami sangat berterima kasih atas pertolongan yang kau berikan ini. Tapi Layang Se-ta adalah perampok ganas dan berkepandaian tinggi. Kawanmu itu tentu akan binasa dihajar-nya. Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini kalau ingin selamat," kata Karta dengan suara cemas kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi pemuda itu hanya tenang-tenang saja memperhatikan sambil tersenyum kecil. Dipan-danginya laki-laki itu dan putrinya bergantian. Kemudian ka tanya pelan.
"Terima kasih, Ki sanak. Tapi kurasa kawan-ku itu bisa menjaga dirinya. O, ya. Kenapa kau tak membantu putrimu untuk mencarikan pe-nutup tubuhnya lebih dulu" Biarlah mereka akan kami urus."
"Oh iya. Sekali lagi terima kasih atas bantuan kalian berdua," sahut Karta sambil membalikkan
tubuh dan mengajak putrinya menuju pedati me-reka yang tadi terjungkal.
"Berhenti! Selangkah lagi kalian maju, jangan harap kepala kalian masih utuh di tempatnya!" bentak salah seorang anak buah Layang Seta sambil mengayunkan goloknya yang tajam berki-lat.
Beberapa orang kawannya lagi langsung me-lompat dari punggung kuda dan menghadang Karta dan putrinya. Keduanya terkejut dan wajah mereka seketika pucat. Tapi saat itu juga Rangga melompat dan berdiri di depan mereka sambil memandang orang-orang itu dengan sorot mata tajam.
"Siapa saja yang mencoba mengganggu mere-ka boleh berhadapan denganku!"
"Setan keparat! Kau boleh tahan ini!" Bentak salah seorang anak buah Layang Seta yang ber-diri paling depan dan langsung menyerang Pen-dekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Dengan cepat Rangga memiringkan tubuhnya sambil mengibaskan sebelah tangannya. Orang itu memutar tubuhnya dan kembali menebas pinggang lawan setelah serangan pertama-nya dapat dihindari dengan mudah. Pendekar Rajawa-li melompat ke atas dengan kaki kanan menyam-bar pergelangan tangan lawan, sementara tangan kirinya menghajar ke arah tengkuk.
Plak! "Ugkh...!"
Orang itu mengeluh kesakitan ketika tubuhnya ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi. Entah pingsan atau tewas. Goloknya telah terpental se-jak tadi.
Melihat itu kawan-kawannya bukan merasa takut melainkan bernafsu untuk menghabisi la-wan secepatnya sambil menggeram hebat.
"Bocah keparat! Mampuslah kau!"
"Yeaaah...!"
Pendekar Rajawali Sakti bersiap. Lebih dari tu-juh orang lawan melompat ke arahnya sambil mengayunkan golok mereka yang tajam berkilat. Wajah mereka menyeringai sadis dengan nafsu membunuh.
"Hiyaaat...!"
Plak! Duk! "Hup!"
Dengan bergerak gesit Pendekar Rajawali Sakti menghindari setiap serangan lawan dengan ma-nis. Tubuhnya menyelip ke sana ke mari diantara golok-golok tajam yang bersiuran. Sesekali dia menangkis pergelangan tangan lawan, kemudian dengan satu tendangan bertenaga kuat terdengar beberapa orang memekik nyaring dengan tubuh terjungkal kesakitan.
Anak buah Layang Seta memang memiliki ke-pandaian yang tinggi, namun yang mereka hadapi kali ini bukanlah orang sembarangan. Sehingga dalam beberapa saat saja mereka dibuat tak ber-kutik.
"Siapa yang sudah bosan hidup, boleh maju kesini!" kata Pendekar Rajawali Sakti dengan suara dingin. Sorot matanya tajam memandang lawan-la-wannya satu persatu. Wajah mereka kelihatan meringis dan memandang kawannya satu sama lain. Kelihatannya mereka jerih dan ciut nyalinya melihat gebrakan pemuda itu. Tapi siapa yang be-rani melarikan diri dari tempat itu" Kalau Layang Seta sampai mengetahui, kematian mereka cuma menunggu waktunya saja. Orang-orang itu bang-kit dengan takut-takut. Namun sebelum mereka melakukan sesuatu, mendadak Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget.
Cambuk Layang Seta yang melecut-lecut seo-lah membelah angkasa dan tempat di situ meng-iris-iris hatinya. Meskipun sampai saat ini Pan-dan Wangi belum terdesak oleh lawan, namun dia sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasih-nya itu. Maka sambil membentak keras tubuhnya melompat menghadapi Layang Seta.
"Pandan Wangi, berilah kesempatan padaku untuk bermain-main barang sebentar kepada-nya!"
"Kakang Rangga, aku belum puas kalau belum menghajar si keparat ini!"
"Cukuplah kau telah membuka matanya yang selama ini tertutup kepicikannya. Nah, uruslah orang-orang itu sementara aku akan mengurus-nya!"
Sambil bersungut-sungut kesal gadis itu ter-paksa mengikuti apa yang dikatakan Rangga. Ta-pi dia cepat berbalik dengan mata melotot garang ketika Layang Seta mengejek dengan suara sinis.
"Dasar bocah-bocah tak tahu diri! Apa kalian pikir dengan seorang diri mampu menjatuhkan-ku" Huh, sepuluh orang seperti kalian dengan mudah akan kubabat!"
"Keparat busuk! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu" He, apakah kau punya derajat ber-hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti"!" ben-tak Pandan Wangi garang.
"Pendekar Rajawali Sakti" Kau maksudkan kekasihmu yang geblek ini Pendekar Rajawali Sakti" He he he...! Ingin kulihat bagaimana ke-hebatan leluconmu itu!" ejek Layang Seta sambil terkekeh geli.
Mendengar nada mengejek begitu, panas juga hati Rangga. Sambil menggeram kesal dia melom-pat menghindari serangan cambuk lawan, dan mengerahkan tenaga dalam hebat pada kedua be-lah tangannya.
"Ctaaar...!"
"Hup!"
"Hiyaaa...!"
Prrrrt! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Layang Seta melihat apa yang dilakukan oleh lawannya itu. Ketika ujung cambuknya menghajar Rangga, pemuda itu melenting ke atas, kemudian bagai anak panah lepas dari busurnya dia melesat cepat dan me-nangkap bagian tengah cambuk lawan kemudian menyentak dengan kuatnya. Layang Seta tak ku-asa menahan. Tubuhnya terangkat tinggi tanpa keseimbangan. Saat itu pula tubuh Rangga mencelat ke atas mengikuti lawan sambil mengirim serangan.
"Yeaaah...!"
Plak!' Des! "Akh...!"
Layang Seta berusaha untuk menangkis den-gan sebelah tangan, namun kepalan tangan Pen-dekar Rajawali Sakti yang lain menghajar dada-nya. Orang itu menjerit keras sambil memuntah-kan darah segar. Ketika tubuhnya menyentuh ta-nah dengan keadaan limbung, barulah disadari-nya bahwa cambuknya telah berpindah tangan. Dan pemuda berbaju rompi putih di depannya siap mengayunkan cambuk itu kepadanya.
"Jangan katakan aku tak mampu mengguna-kan senjata ini. Tapi kalau hendak meneruskan urusan, kau boleh merasakan kehebatan senja-tamu sendiri!" kata Pendekar Rajawali Sakti din-gin.
Layang Seta diam tak menjawab. Sorot ma-tanya tajam menusuk. Perlahan-lahan dia bangkit dan berkata dengan suara datar.
"Ki sanak, biarlah hari ini aku mengalah pa-damu. Tapi urusan ini tak akan selesai begitu sa-ja. Sebutkan kau punya nama agar suatu saat nanti aku mudah menagih hutang ini."
"Kau telah mengetahuinya...," sahut Rangga sinis.
"He, jadi benar kau Pendekar Rajawali Sakti" Baiklah, suatu saat nanti aku akan datang men-carimu!"
"Kapan saja kau siap boleh mencariku. Aku tak akan mundur!"
Layang Seta mengumpulkan anak buahnya dan berlalu dari tempat itu.
Karta dan putrinya menghampiri kedua muda-mudi itu. Kemudian sambil memberi hormat, Kar-ta kembali berkata dengan wajah cerah dan pe-nuh puji syukur.
"Ki sanak, terima kasih sekali lagi kami ucap-kan atas pertolongan kalian yang tiada ter-hingga...!"
"Sudahlah, tak perlu dibesar-besarkan hal itu. Kalau kalian hendak melanjutkan perjalanan, si-lahkan!" sahut Rangga dengan suara rendah.
"Ki sanak, kalau tak salah, bukankah kau yang sering disebut orang sebagai Pendekar Raja-wali Sakti?" lanjut Karta dengan wajah penuh ha-rap.
? ** * ? Rangga tak langsung menjawab. Dahinya se-dikit berkerut dan mencoba mencerna apa kira-kira yang diinginkan laki-laki ini darinya" Namun melihat paras wajahnya yang manis dan penuh harap, bahkan sama sekali tak mengandung mak-sud-maksud tertentu yang akan menjebaknya, Rangga menjawab pendek.
"Betul, Ki sanak...."
"Oh, syukurlah!"
"Lho, kenapa?"
"Ki sanak, maukah kau membantuku untuk kedua kalinya?"
"Bantuan apa yang kau kehendaki?"
"Soal Patung Kencana."
"Patung Kencana" Kenapa dengan patung itu?"
"Apakah Ki sanak tak mendengar berita itu?"
Rangga menggeleng. Sebaliknya Pandan Wangi ikut mendengarkan dengan serius.
Orang itu menghela nafas pendek, kemudian memeluk pundak putrinya. Dia mengajak kedua muda-mudi itu duduk di sebuah batang kayu yang telah rubuh.
"Tahukah Ki sanak tentang seorang tokoh yang bernama Ronggo Lawe?" tanya laki-laki itu pelan.
"Hm, siapa yang tak kenal dengan tokoh sakti itu" Hanya sayang aku tak sempat bertemu de-ngan beliau, sebab aku hanya mendengar cerita-nya saja. Konon khabarnya beliau hidup berpu-luh-puluh tahun lalu?"
"Benar. Beliau mempunyai beberapa orang murid, namun tak satu pun dari murid-muridnya yang mewariskan seluruh kepandaiannya. Menu-rut apa yang kudengar, beliau belum menemu-kan seorang murid yang pantas mewariskan selu-ruh kepandaiannya. Namun beliau menyadari bahwa usianya tak akan cukup untuk menemu-kan orang yang dicarinya. Oleh sebab itu beliau menuangkan seluruh kepandaiannya dalam se-buah patung yang konon khabarnya berwarna kuning keemasan. Patung itulah yang dinamakan Patung Kencana," jelas Karta.
Rangga mendengarkan dengan seksama sam-bil mengangguk-anggukkan kepala.
"Lalu pertolongan apakah yang bisa kuberi-kan kepadamu?"
"Ronggo Lawe mempunyai murid enam orang dan semuanya mendapat pesan untuk menjaga pusaka yang ditinggalkannya itu. Mereka menda-pat kewajiban agar kelak bila menemukan seseo-rang yang pantas dengan ciri-ciri yang di-tentukannya, harus menyerahkan Patung Ken-cana kepada orang itu. Patung itu tidak boleh ja-tuh ke tangan yang salah sebab kelak akan me-nimbulkan kekacauan dan malapetaka. Keenam murid Ronggo Lawe itu sedikit pun tak me-ngetahui di mana letak patung itu berada. Mereka hanya dibekali masing-masing sebuah peta yang menunjukkan di mana tempat patung itu disembunyikan. Namun sepeninggal Ronggo Lawe ter-nyata empat orang muridnya berkhianat dan hendak menyerakahi pusaka yang bukan hak me-reka. Syukur yang dua orang lagi cepat bertindak dan mendahului mereka untuk memindahkan tempat patung itu berada. Mereka lalu membuat peta yang baru lagi. Perbuatan mereka diketahui oleh empat saudara seperguruannya yang akhir-nya menimbulkan perkelahian diantara mereka. Kedua orang itu tewas, namun peta itu tak mereka temukan juga...," lanjut Karta dengan wajah lesu.
Rangga mengerutkan dahinya. Dia masih be-lum mengerti apa yang diinginkan laki-laki ini da-rinya.
"Ki sanak, salah seorang dari dua murid Rong-go Lawe itu adalah majikanku. Aku meng-ikutinya sejak kecil. Kepadakulah dia menyam-paikan amanat yang kuanggap di mana Patung Kencana itu berada dan memberikannya kepada orang yang tepat sesuai dengan amanat guru beliau. Ketika beliau tewas, banyak murid-muridnya yang kabur. Namun sebagian yang lain berkhia-nat dan menuding bahwa akulah yang mengeta-hui di mana letak peta itu berada. Itulah sebab-nya aku dikejar dan diburu-buru di mana pun aku berada. Ki sanak, namamu telah lama dikenal dan orang sepertimulah yang diinginkan oleh Eyang Ronggo Lawe. Oleh sebab itu tolonglah aku untuk mencari Patung Kencana, kemudian jagalah dengan baik sambil mempelajari pelajaran yang terkandung di dalamnya, kemudian amalkan untuk kebaikan dengan menegakkan kebenaran dan membela keadilan," kata Karta sambil menye-rahkan selembar kulit kijang yang berisi petunjuk ke suatu tempat di mana letak Patung Kencana itu berada.
"Ki sanak, aku..., aku tak bisa menerima anu-gerah yang begitu besar ini...," tolak Rangga ha-lus.
"Duhai Ki sanak, kalau bukan kepadamu lalu kepada siapakah lagi yang pantas menerimanya" Jalan hidupmu telah jelas diketahui orang ba-nyak. Apakah itu belum pantas" Lagipula kalau patung itu jatuh ke tangan orang yang salah, du-nia akan ditimpa malapetaka karena pusaka itu disalahgunakan..."
Pada mulanya Rangga menolak, namun ketika orang itu memaksanya terus akhirnya dia tak punya pilihan selain menerimanya.
"Entahlah, apakah aku bisa menerima amanat ini atau tidak, tapi jelas aku akan berusaha men-jaga dan mengerjakannya sekuat ke-mampuanku," kata Rangga.
"Terima kasih, Ki sanak. Sebaiknya kau harus cepat-cepat mencari patung itu. Berita yang ter-akhir kudengar adalah banyak orang yang telah mengetahui tempat itu...."
"Lho"!" Rangga tersentak kaget.
"Tak perlu kaget. Peta itu selain dimiliki maji-kanku, juga dimiliki oleh seorang saudara seper-guruannya yang lain. Bisa jadi murid-muridnya menyelewengkan kepercayaan yang diberikan oleh gurunya. Tapi yang jelas, dari pihakku peta ini belum jatuh ke tangan siapapun!" jelas Karta.
Rangga mengangguk-angguk mendengar pen-jelasan itu. Tak berapa lama kemudian kedua orang itu melanjutkan perjalanan mereka tanpa menggunakan pedati. Rangga memandang me-reka sampai keduanya hilang di tikungan jalan.
? ** * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 4
28. April 2014 um 11:17
4 ? Pandan Wangi mencubit pinggang pemuda itu dan membuat Rangga terkejut sambil mengaduh kesakitan.
"Ada apa sih main cubit segala?"
"Matamu itu!"
"Lho, kenapa dengan mataku?"
"Jelalatan lihat gadis tadi!" kata Pandan Wangi ketus.
"Aduuuh...!" keluh Rangga sambil mengge-lengkan kepala dan tersenyum kecil.
"Aduh, aduh kenapa" Memang betul, kan"!" tuduh Pandan Wangi.
"Kenapa kamu selalu menuduh begitu?"
"Karena kulihat matamu tak berkedip meman-dang perempuan tadi!"
"Pandan, coba dengar. Jangan terlalu curiga. Untuk apa aku musti melirik gadis itu" Kalaupun memang betul, bukan berarti aku suka atau nak-sir dengannya. Mestikah aku menutup mata saat bicara dengan mereka" Kenapa kamu selalu ber-pikir bahwa aku naksir dengan setiap gadis yang kutemui" Apakah kau tak percaya, jika kukata-kan bahwa aku belum perlu mereka" Aku masih punyai kau, yang tak kalah cantik, tak kalah pin-tar dan yang lebih penting adalah mencintaiku dan kucintai."
Pandan Wangi memandang wajah pemuda itu untuk beberapa saat. Untuk kemudian diam sambil menundukkan kepala. Kata-kata Rangga yang dikeluarkan dengan suara keras dan tegas menyadarkan dirinya, bahwa pemuda itu memang mencintainya dan tak berubah sedikitpun sejak semula.
"Nah, masihkah kau tak percaya padaku?"
tanya Rangga dengan suara lunak.
"Kakang, maafkan kecurigaanku yang terlalu berlebihan...."
Rangga tersenyum tulus, kemudian merang-kul pinggang ramping gadis itu hingga mereka saling berhadapan.
"Maaf itu belum cukup bila tak dibuktikan dengan perbuatan...."
"Maksudmu?"
"Maksudku begini...."
Pemuda itu bergerak cepat. Ditariknya tubuh Pandan Wangi hingga tubuh mereka saling ber-himpitan. Kemudian dengan cepat disambarnya bibir gadis itu dan dikecupnya dengan gemas, sampai Pandan Wangi gelagapan sendiri. Tapi akhirnya gadis itu ikut-ikutan membalas perbuatan Rangga.
"Nah, itu sedikit dari banyak yang kumaksud-kan," kata Rangga kesudahannya.
"Dasar genit! Kau memang mau mencari ke-sempatan saja!" sahut Pandan Wangi sambil mencubit pinggang pemuda itu sekali lagi.
Rangga tertawa lebar, dan Pandan Wangi me-mukulnya pelan berkali-kali. Tapi tidak lagi dengan perasaan kesal, melainkan bahagia yang tiada terkira.
"Bagaimana tentang peta ini?" tanya Rangga ketika keduanya telah berada di punggung kuda masing-masing.
"Kenapa" Apakah Kakang tak bermaksud mencari Patung Kencana itu?"
"Aku hanya tak ingin dianggap serakah..." sahut Rangga masghul.
"Kakang, itu bukan serakah namanya melainkan menjalankan amanat seseorang! Kenapa Kakang malah memikirkan perasaan orang yang sama sekali tak berkepentingan dengan urusan itu?"
"Aku tak bisa mengabaikan begitu saja, Pandan. Aku yakin bahwa bukan hanya kita saja yang akan mencari patung itu, tapi banyak tokoh-tokoh lain yang menginginkannya. Kau ingat cerita orang itu" Murid Ronggo Lawe ada enam orang. Empat orang berkhianat dan ingin memiliki patung itu, sedangkan dua orang mengamankannya. Kita mendapat peta ini secara tak langsung dari salah seorang murid Ronggo Lawe, dan orang tadi mengatakan kemungkinan bahwa murid Ronggo Lawe yang seorang lagi peta pada orang yang salah sehingga berita itu tersebar keluar. Siapa tahu murid-murid dari keempat murid Ronggo Lawe itupun menginginkan patung itu pula," kata Rangga kembali menjelaskan.
"Lalu apa urusannya dengan mereka" Toh, Kakang telah mendapatkan amanat dari orang yang sah."
"Benar. Tapi kebanyakan dari manusia itu se-lalu serakah, dan aku mendapat firasat bahwa benda itu akan membuat bencana bagi tokoh-tokoh persilatan sebab banyak yang akan mem-perebutkannya."
"Lalu, bagaimana kehendak Kakang selanjutnya?"
"Entahlah, aku sendiri bingung..." sahut Rangga ragu.
"Tapi Kakang telah berjanji pada orang itu, dan janji seorang pendekar tak boleh ditarik kem-bali. Lagipula Kakang punya kewajiban untuk merebut patung itu agar tak jatuh ke tangan orang yang salah. Dan kalau benar dugaan Ka-kang bahwa saat ini banyak orang yang mencari patung itu, maka seyogyanya Kakang harus ber-tindak cepat agar tak didahului mereka," kata Pandan Wangi.
Rangga menganggukkan kepala setelah berpikir beberapa saat.
"Kurasa persoalan ini akan ricuh dan menimbulkan keributan. Apakah ada baiknya kau tak ikut serta dulu dan menungguku di Karang Setra?" tanya Rangga.
"Hm, kau ingin membuatku marah lagi, Kakang"!"
"Ini untuk keselamatanmu sendiri. Pandan...."
"Tidak. Apapun yang terjadi aku akan me-nyertaimu! Apa Kakang pikir aku tak bisa menja-ga diriku sendiri!" sahut Pandan Wangi tegas.
Rangga menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi memang agak keras kepala kalau me-nyangkut keinginannya. Dan kalau dia sudah berkata demikian, rasanya kecil kemungkinan Rangga bisa membujuk selain memenuhi keingi-nannya.
"Baiklah kalau memang kau memaksa. Tapi jangan menyalahkan kalau ternyata aku bertemu dengan gadis cantik yang naksir aku!" goda Rangga sambil ketawa kecil.
"Tidak. Tapi kalau kau yang naksir, awas saja!" sahut gadis itu kesal.
Rangga tertawa terkekeh sambil menyentak-kan kudanya. Pandan Wangi mengikuti di sebelahnya.
? ** * ? Kertapati diam memperhatikan pertunjukan yang berada di depan mereka. Tapi Durgandana telah gatal tangannya untuk menghajar mereka. Kedua orang yang sedang bertarung itu seperti menyombongkan diri sendiri dan menganggap bahwa merekalah yang paling tangguh. Mereka sendiri tak mengetahui apa sebabnya kedua orang yang masih berusia muda itu berkelahi. Ketika ti-ba di desa ini, keduanya memang telah bertarung dan ditonton banyak orang. Mulanya memang Kertapati yang mengajak pamannya untuk me-nonton sebab dari keterangan beberapa orang yang ditanya, keduanya bertarung karena me-nyangkut benda yang sedang diincarnya, yaitu Patung Kencana.
"Kenapa kau selalu menahanku" Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa semua orang harus dibuka matanya terhadap Tupai Maut Tongkat Sakti!'" Dengus Durgandana gusar ketika Kertapati selalu menghalangi keinginannya untuk menghajar kedua orang yang sedang bertarung itu.
"Sebab mereka bukanlah tandingan, Paman. Mereka cuma keroco-keroco yang tak berguna. Untuk apa Paman meladeni mereka" Kalaupun menang bukan kebanggaan yang akan diperoleh, melainkan olok-olok!"
Durgandana terdiam sesaat mendengar penjelasan keponakannya itu.
"Lalu apa yang akan kita lakukan di sini?"
"Tunggu dan lihat, lalu coba dengar apa yang menyebabkan mereka berselisih," kata Kertapati sambil tersenyum kecil.
Durgandana diam memperhatikan dan kemudian mendengarkan dengan seksama.
"Soal Patung Kencana itu?"
"Nah, ternyata paman cukup mengerti kini. Coba dengarkan. Pemuda yang memakai ikat ke-pala kuning itu terlihat ngotot dan menyalahkan pemuda yang bersenjata pedang soal tempat Pa-tung Kencana berada...."
"Apa urusannya dengan patung itu" Aku perlu mengajar siapa saja yang meremehkanku!" sahut Durgandana kesal.
"Betul! Tapi apakah paman tak ingat kata-kataku" Kalau Paman mendatangi mereka satu persatu, itu akan banyak menguras tenaga dan waktu. Tapi, he! Kalau dengan cara begini tentu banyak orang mengetahui di mana letak patung itu sebenarnya dan sudah pasti akan mengun-dang tokoh-tokoh persilatan ke tempat itu. Nah, di sanalah Paman bisa bertindak," jelas Kertapati.
Durgandana mengangguk dan membenarkan kata-kata Kertapati. Mereka kembali menyaksikan pertarungan itu dengan seksama.
Dua orang yang sedang berkelahi itu terlihat sama-sama ngotot. Usia mereka hampir sebaya, dan demikian pula kepandaian masing-masing. Sampai sejauh itu belum ada seorang pun yang celaka atau terkena senjata lawan. Pemuda yang berikat kepala kuning dan bersenjatakan sepa-sang trisula terlihat begitu bernafsu untuk segera menghabisi lawannya.
"Sekali ini kau tak akan kuampuni lagi, Su-griwa!" desisnya sambil melompat dan melakukan serangan hebat.
"Kau pikir aku akan menyerah begitu saja" Huh, sedikitpun aku tak takut denganmu, Praboko! Kalau kau hendak menghajarku sampai te-was, tentu saja aku tak akan berdiam diri. Jaga-lah dirimu jangan sampai pedangku ini merobek jantungmu!" sahut orang yang dipanggil Sugriwa itu tak kalah sengitnya.
"Setan! Kaulah yang bakal mampus karena berani menipuku!"
"Huh, siapa yang menipumu" Kaulah yang memaksaku berbuat begitu. Padahal sudah jelas kau ketahui bahwa hal itu dipercayakan kepada-ku masih juga kau memaksa."
"Pfuiiih! Kau pikir aku tak tahu dimana letak patung itu" Aku telah mengetahuinya dari orang lain. Tapi karena kau telah menipuku ke tempat yang salah sehingga nyaris nyawaku tak akan se-lamat, maka kaulah yang harus menanggung akibatnya!"
Praboko terus mendesak Sugriwa habishabisan. Tapi agaknya kepandaian Sugriwa tak berada di bawah kepandaiannya, sehingga dia sedikit mengalami kesulitan untuk mendesak la-wan. Namun pada saat berikutnya terdengar dia membentak nyaring.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Trak! Wuuut! "Aaaah!"
Sugriwa mengeluh ketika salah satu trisula Praboko menangkis pedang dan langsung me-nguncinya. Dia berusaha menahan sentakan la-wan, namun saat itu juga dengan cerdiknya Pra-boko terus menyerangnya dengan trisula di tan-gannya yang lain ke arah leher lawan. Terpaksa Sugriwa membagi perhatiannya menjadi dua ba-gian kalau tak ingin nyawanya melayang. Justru hal itulah yang diharapkan Praboko sebab dengan cara itu berarti dia lebih mudah mendesak lawan. Dan itu terbukti sebab dengan tiba-tiba kembali dia menyentak keras, dan membuat pedang lawan terlepas dari genggaman. Kemudian dengan suatu serangan yang tiada terduga, kedua senjatanya menyambar ke arah jantung dan perut.


Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeaaah...!"
Sugriwa terkejut sekali dan coba membuang diri sambil bersalto ke belakang sehingga lawan luput dari sasarannya. Namun ternyata serangan itu cuma tipuan belaka, sebab dengan cepat sebe-lah kaki Praboko menyambar pinggang bagian be-lakang dan tak dapat tertahan oleh lawan.
Bes! "Aaaaakh...!"
"Yeaaah...!"
"Mampus!"
Tubuh Sugriwa terjungkal sambil menjerit ke-sakitan. Tulang pinggangnya terasa hendak pa-tah menerima hantaman yang keras itu. Masih untung dia memiliki tenaga dalam yang cukup hebat, tapi jelas hal itu mengurangi kegesitannya bergerak. Dan ketika Praboko mengirim serangan susulan, Sugriwa berusaha menyelamatkan se-lembar nyawanya sambil berguling-gulingan. Na-mun hal itu cukup merepotkan baginya. Apalagi ketika tubuhnya tersandung sebuah batu yang cukup besar. Pemuda itu cuma bisa menutup ma-ta ketika kedua senjata lawan mengarah ke arah-nya dengan cepat.
Crep! Jresss! "Aaaa...!"
Sugriwa menjerit setinggi langit. Bagian jan-tung dan ulu hatinya ditikam berkali-kali oleh la-wan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah. Dan nyawanya lepas beberapa saat saja. Orang-orang yang menonton pertarungan itu sebagian me-malingkan muka melihat kesadisan Praboko.
"Huh, mampuslah bagian orang yang berani menipuku!" dengus Praboko sambil membersih-kan senjatanya dari noda darah.
Sambil melangkah gusar dia memandang orang-orang yang berada di sekeliling tempat itu dengan tatapan sinis. Namun baru saja berjalan kira-kira tujuh langkah, berdiri dua sosok tubuh
menghadangnya. Praboko cepat menghentikan langkah dan sambil menyipitkan mata dia membentak kedua orang yang tak dikenalnya itu.
"Keledai dungu mana lagi yang berani meng-hadang langkahku"!"
? ** * ? "Bocah keparat! Kau pikir dirimu sudah paling jago di kolong langit ini, he"!" sahut salah seorang dari dua penghadangnya itu dengan suara keras dan lancang, penuh dengan nada geram.
Mendengar itu bukan main geramnya Praboko. Ditatapnya orang bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok itu dengan seksama. Dia mengenakan destar hitam di kepalanya dan me-megang sebuah tongkat hitam pula. Di sebelahnya terlihat seorang laki-laki tinggi, mema-kai kalung yang terbuat dari tulang-belulang. Di pinggangnya terselip sebatang golok. Orang ini tak lain dari Kertapati, dan yang menyahut tadi adalah pamannya, yaitu Durgandana.
"Sial! Sudah bosan hidup rupanya kau, he"!"
"Jahanam! Berani kau bicara begitu terhadap Tupai Maut Tongkat Sakti"! Mampuslah bagianmu!"
"Paman, tahan dulu!"
"Yeaaah...!"
Kertapati berteriak dan bermaksud men-cegah pamannya, tapi si Tupai Maut Tongkat Sakti ma-na mau mendengar teriakannya itu. Hatinya sudah panas betul melihat dan mendengar tingkah polah pemuda yang dianggapnya sok jago itu. Maka dengan sekali lompat, tubuhnya yang besar itu melesat lincah dan begitu ringan-nya menye-rang lawan.
Praboko sendiri tercekat kaget dan baru me-nyadari dengan siapa saat ini dia tengah ber-hadapan. Nama Tupai Maut Tongkat Sakti me-mang tak begitu menghebohkan dunia persilatan karena kemunculannya yang jarang terjadi. Na-mun bukan berarti nama itu tak membuat gentar beberapa tokoh persilatan kelas atas, sebab sekali dia muncul maka boleh dibilang akan terjadi ke-gemparan karena sepak terjangnya. Dan tak ja-rang kebanyakan tokoh persilatan enggan beru-rusan dengannya itu. Bukan saja orangnya yang terkenal galak dan berangasan, tapi juga karena kelihaian dan kepandaian ilmu silatnya yang ting-gi.
Hal itu terlihat ketika dia menyerang Praboko tanpa kenal ampun. Tak peduli lawannya siap atau tidak. Dia akan terus merangseknya dengan ganas. Sehingga terlihat dalam beberapa gebra-kan saja lawan telah terdesak hebat. Praboko co-ba menahan serangan tongkat lawan yang lihai dan dengan cepat bukan main dengan sepasang trisulanya.
"Yeaaah...!"
"Kutu busuk! Segala mainan anak kecil begini akan kau pamerkan kepadaku! Hiiih!"
Trak! Breeet! "Aaakh...!"
Praboko menjerit kesakitan ketika ujung tong-kat lawan yang runcing itu dengan cepat me-nyambar bagian perut dan membuatnya robek sehingga menimbulkan luka yang cukup parah. Padahal tadi dia berusaha untuk menangkisnya dengan kedua senjatanya. Namun dengan sekali bantam terlihat tenaga dalam lawan berada di atasnya. Kedua senjatanya dengan mudah dihan-tam dan dibuat terpental.
"Yeaaah...!"
Beghkh! "Aaakh...!"
Dalam keadaan tak siap dan terhuyung-huyung begitu, Praboko kembali merasakan ha-jaran keras dan melanda dadanya. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar.
"Mampuslah kau, bocah sombong!"
"Paman, tahan!"
Trak! Sebelum tubuh Praboko menyentuh tanah, Durgandana telah melesat cepat. Tubuhnya yang besar seolah bagai seekor tupai yang sedang melompat saja. Ujung tongkatnya siap menghunjam ke jantung lawan. Dan dalam keadaan tak ber-daya begitu bisa dipastikan Praboko tak akan mampu menghindari serangan lawan. Tongkat lawan sebentar lagi akan merenggut nyawanya. Namun pada saat yang kritis itu Kertapati cepat melompat dan menghantam ujung tongkat pa-mannya dengan golok.
"Kurang ajar! Apa maumu Kertapati"!" geram
Durgandana kesal ketika ujung tongkatnya menancap ke tanah.
"Kita harus tahu dimana letak patung itu dulu, Paman...."
Setelah berkata begitu Kertapati sengaja tak mengacuhkan pamannya dan langsung berpaling pada Praboko yang terengah-engah dengan muka pucat.
"Katakan, di mana letak Patung Kencana itu kalau kau ingin selamat"!" bentaknya.
"Aaa... aku tak tahu...."
"Hiiiih!"
"Aaaakh...!"
"Sekali tekan maka lehermu akan patah dan nyawamu putus seketika. Ayo, katakan di mana letak Patung Kencana itu berada!" ancam Kertapati sambil menjejakkan sebelah telapak kaki-nya keleher Praboko.
"Ba... baiklah. Tapi lepaskan dulu himpitan kakimu ini. Ohh... patung itu berada di sebuah goa yang berada di lereng Gunung Watu Mungkur.
Ta...." "Dusta!" potong Kertapati.
"Aaaa... aku berkata yang se... sebenarnya...."
Krek! Tanpa banyak bicara lagi Kertapati langsung menekan kakinya. Sesaat terdengar tulang leher Praboko patah seiring lenguhnya pelan. Nyawanya melayang saat itu juga. Kertapati mengajak Dur-gandana berlalu dari tempat itu sambil bergumam pelan.
"Begitu lebih baik, Paman. Usaha kita berarti tak sia-sia...."
? ** * Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 121. Rahasia Patung Kencana Bag. 5
28. April 2014 um 11:19
5 ? Rahwana berdiri tegak sambil memandang murid-muridnya dengan sorot mata yang tajam. Kulit wajahnya yang kuning penuh kerut-merut di makan usia tua tampak lebih menyeramkan di-banding biasanya. Bola matanya agak menyipit, dan beberapa helai rambut panjangnya yang telah memutih, menghalangi pemandangannya. Orang tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu tam-pak masih terlihat segar bugar dengan tubuh te-gap. Meskipun kulit di seluruh tubuhnya mulai keriput dimakan usia tua, namun otot-ototnya terlihat masih kencang menandakan bahwa tena-ganya belumlah berkurang. Apalagi ketika dia mulai berjalan sambil melangkah kecil mendekati seseorang yang berlutut pada jarak sepuluh lang-kah di depannya, terlihat gagah dan mantap.
"Siapa dia?" tanyanya pelan, namun terdengar menusuk dan nyaring.
"Eyang, dia adalah salah seorang murid Eyang Tarsiwan...," sahut salah seorang muridnya.
"Hmm...," Rahwana bergumam pelan. Kemu-dian dipandanginya laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun lebih itu. Wajahnya terlihat meringis
kecil dan takut-takut. Beberapa orang muridnya tadi memang terlihat perkelahian dengannya se-belum menghadap kepadanya.
"Siapa namamu?"
"Hamba bernama Katakili, Eyang...."
"Hm, Katakili..., ada urusan apa kau ingin ber-temu denganku?"
"So..., soal Patung Kencana itu, Eyang...."
"Katakanlah."
Tusuk Kondai Pusaka 20 Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul Bidadari Delapan Samudra 1

Cari Blog Ini