Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng Bagian 1
Serial Pendekar Rajawali Sakti eps Sepasang Pendekar Bertopeng download dan baca
secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana
Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank... Ebook by syauqy_arr
TITISAN ANAK SETAN
oleh Teguh S. Cetakan pertama,
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Sepasang Pendekar Bertopeng
128 hal.; 12 x 18 cm
Ebook by syauqy_arr
1 Dua bocah kecil tengah berlari tersuruk-suruk
menembus lebatnya ilalang dan ranting-ranting pohon
yang sering menghambat jalan. Sesekali mereka
tampak menoleh ke belakang, untuk memastikan
apakah telah aman. Bocah perempuan yang berlari di
belakang sudah terengah-engah dengan napas
hampir putus. Sesekali tubuhnya terjungkal, namun
bocah laki-laki yang berlari di depannya tak mempedulikan. Meski di belakang tak
terlihat apa-apa dia
terus berlari sekuat tenaga. Sementara bocah
perempuan itu sudah bangkit kembali dengan susah
payah. Lututnya terlihat berdarah. Sedang kulit bahunya luka-luka kecil akibat
tergores ranting-ranting
pohon. "Kakang Panjalu, berhentilah sejenak. Aku sudah
tak kuat lagi. Napasku sesak...!" teriak bocah
perempuan itu. Namun agaknya bocah laki-laki yang dipanggil
Panjalu tak hendak menghentikan larinya. Bahkan tak
menoleh ke belakang sama sekali.
"Aduh...!"
Bocah perempuan itu mengaduh kesakitan ketika
kembali.terjerembab. Barulah bocah laki-laki itu menoleh dan menghampirinya.
"Ismi...! Ayo, cepat! Kau tak ingin mereka mengejar
dan membunuh kita, bukan"!"
"Aku tak kuat lagi, Kang...," keluh bocah
perempuan yang dipanggil Ismi.
Panjalu tampak kesal sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal. Bola matanya liar menatap
ke belakang berkali-kali dengan wajah cemas.
"Ayo, naik!" ujarnya sambil berjongkok, bermaksud menggendong adiknya.
"Kang! Kita istirahat dulu. Aku lapar dan haus...,"
keluh Ismi. "Aduuuh! Coba tahan dulu rasa lapar dan hausmu
itu. Mereka akan terus memburu dan membunuh
kita. Bahkan...," Panjalu tak meneruskan katakatanya.
Panjalu menatap wajah adiknya lekat-lekat.
Sementara Ismi sama sekali tidak bergerak, dan
hanya menunduk.
"Baiklah.... Kita bersembunyi di tempat yang aman
dan menelan buah-buahan yang bisa dimakan...,"
lanjut bocah laki-laki berusia sekitar empat belas
tahun itu, seraya menggandeng tangan adiknya.
Mereka terus melangkah, memasuki semak belukar yang banyak ditumbuhi pohon buahbuahan. Sambil mencari tempat berlindung, Panjala mulai
mencari buah yang banyak tumbuh di sekitarnya.
Sementara, Ismi duduk pada akar pohon yang
cukup besar ke?ka melihat kakaknya memanjat sebatang pohon. Wajah bocah
perempuan itu tampak
pucat bagai tak berdarah. Sekujur badannya kotor
dan penuh bercak-bercak hitam yang tak berdarah
ditambah koreng-koreng yang belum sembuh.
Demukian pula kakaknya. Kedua bocah itu memang
mengidap penyakit kusta.
Ismi begitu asyik memperhatikan kakaknya yang
sudah berada di atas pohon, memetika buah jambu
air yang ranum-ranum. Namun belum lagi buah itu
dilemparkan ke arahnya, mendadak...
"Ha... ha... ha...! Mau lari ke mana lagi kalian
sekarang"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras bercampur
tawa kegirangan dan belakang bocah perempuan
berusia dua belas tahun itu. Kemudian berlompatan
lima sosok laki-laki berwajah seram, mengelilingnya.
"Kakang Panjalu!"
Ismi tersentak kapet. Dan sambil menjerit
memanggil kakaknya, dia bangkit dan bermaksud melarikan diri.
"Tangkap bocah itu!"
Salah seorang dan kelima pengepung telah
mencegat sambil menyodorkan golok, begitu mendengar perintah.
"Ayo! Jangan coba-coba melarikan diri! Diam di
tempat!" bentak orang itu pada jarak satu tombak
Laki-laki berkumis melintang itu memang tak mau
berdekatan dengan bocah bernama Ismi, karena
takut ketularan penyakitnya. Sementara bola mata
bocah perempuan itu menatap tajam dengan
perasaan takut, namun penuh kebencian.
"Mana kakakmu"!" gertak laki-laki berkumis
melintang itu lagi.
Ismi hanya diam seribu bahasa.
"Sial! Hei"! Apa telingamu tuli"! Mana kakakmu"!
Ayo, jawab! Kalau tidak, kupancung kepalamu!"
"Aku di sini!" sahut Panjalu, tiba-tiba melompat
turun dan atas pohon.
Sebenarnya, Panjalu bisa saja bersembunyi dan
menyelamatkan diri dan incaran kelima orang yang
seluruhnya mengenakan seragam hitam itu. Namun
bocah ini tahu betul kalau mereka sangat kejam.
Mereka tak segan-segan untuk membunuh, walapun
yang dihadapi hanya bocah kecil. Itulah sebabnya, dia
lebih memilih turun dan menghampiri adiknya.
Perasaan sebagai kakak, tak rela adiknya bakal
menjadi bulan-bulanan nanti.
"Bagus! Rupanya kau sayang pada adikmu, ya"
Nah, ayo tunjukan pada kami. Di mana kitab itu!"
bentak laki-laki yang berkepala botak.
Panjalu memeluk adiknya, seraya menatap kelima
orang itu satu persatu. Telinganya memang merasa
tidak asing lagi mendengar pertanyaan itu.
Sehingga, tak ada alasan baginya untuk mengatakan tak tahu. Percuma saja.
Memang, semua orang
merasa yakin kalau bocah itulah yang mengetahui, di
mana kitab ilmu silat yang amat langka dan banyak
dicari tokoh persilatan.
"Ayo, katakan cepat!" bentak laki-laki berkepala
botak itu lagi. Keempat kawannya menatap garang
kedua bocah itu.
"Baiklah. Mari ikut kami...," sahut Panjalu sambil
melangkah pelan.
"Tunggu! Mau ke mana kau"!" bentak laki-laki
berkumis melintang seraya mengacungkan golok
dengan tatapan curiga.
"Bukankah kalian menginginkan kitab itu?" sahut
Panjalu, enteng.
"Hm.... Jangan coba-coba mengakali kami.
Tunjukkan saja, di mana tempatnya!" desis laki-laki
yang berwajah penuh bopeng.
"Apakah kalau kutunjukkan tempatnya, lantas
kalian percaya dan mau melepaskan kami?"
Mendengar pertanyaan itu, laki-laki berwajah
bopeng ini menoleh kepada kawan-kawannya.
Mereka berpikir sesaat.
"Baiklah. Tapi, awas! Kalau sampai berani menipu
kami, kalian berdua akan mampus, tahu"!" kata lakilaki yang berkumis melintang,
memberi keputusan.
"Tentu...," sahut Panjalu sambil tetap merangkul
pundak adiknya. Kini kakak beradik itu melangkah
paling depan di antara kelima orang berpakaian serba
hitam yang berada di belakang.
*** Sepanjang perjalanan, Panjalu tak henti-henti-nya
memutar otak agar bisa lepas dari kelima orang ini.
Namun semua jalan yang dipikirkan buntu. Sedang
kelima orang itu tenis mendesak, sehingga pikirannya
jadi kacau. "Bagaimana nasib kita sekarang, Kang ...?" lirih
suara Ismi. "Entahlah...," desah Panjalu.
"Kenapa Kakang mengatakan kalau kita
mengetahui kitab itu...?"
"Ssst...! Jangan keras-keras! Nanti terdengar
mereka." "Lama-kelamaan mereka akan tahu kalau Kakang
berbohong. Bahkan sebenarnya tak tahu apa-apa soal
kitab yang dicari itu...," keluh Ismi.
"Aku tak tahu harus mengatakan apa kepada
mereka," balas Panjalu.
"Katakan saja, Kakang tak tahu-menahu soal kitab
yang mereka cari-cari."
"Hush! Kau mau mereka membunuh kita" Coba
saja lihat, apa yang kita alami sekarang" Semua itu
karena kebencian mereka terhadap keluarga kita.
Orang-orang membakar kedua orang tua kita hiduphidup. Sementara, kita dikejarkejar karena mengidap
penyakit kusta yang dianggap berbahaya. Kita tak
ubahnya seperti anjing kurap yang bisa dibunuh
kapan saja dan oleh siapa saja. Masih untung mereka
percaya kalau kita mengetahui tempat kitab yang
dicari-cari itu. Jadi apa salahnya bila kita berbohong
agar bisa selamat," jelas Panjalu berbisik-bisik.
"Tapi kalau mereka mengetahuinya... ?" tanya
bo cah perempuan itu, tampak masih cemas.
"Tenang sajalah dulu. Aku sedang mencari akal,
balaimana caranya agar bisa lepas dari mereka."
"Hei"! Apa yang kalian bisik-bisikkan"!" bentak
salah seorang kawanan itu, yang memakai ikat
kepala kuning dengan suara keras dan wajah
beringas. "Eh! Ti..., tidak. Aku sedang membujuk adikku agar
jangan menangis. Di..., dia lapar dan haus...," sahut
Panjalu terbata-bata.
"Huh! Biar sekalian saja mampus!" dengus yang
memakai anting-anting di telinga sebelah kiri.
"Enak saja kau bicara, Patingga. Bocah-bocah ini
tak boleh mampus, sebelum kitab itu berada di
tangan kita!" bentak laki-laki yang berkumis melintang.
"Lalu bagaimana Kurawa. Apakah kita harus
memberi mereka makan?" tanya laki-laki yang
memakai anting-anting dan bernama Patingga.
"Ya, kita harus memberi mereka makan...," sahut
laki-laki yang dipanggil Kurawa.
"Kurawa! Kau hanya diperbudak bocah buduk itu
saja! Untuk apa meladeni mereka" Anak-anak itu
masih kuat berjalan. Dan kalau sudah sampai tujuan,
biarkan mereka mampus!" sahut yang berkepala
botak dan bertubuh pendek. Namanya, Kunto.
"Betul, Kurawa. Kalau sampai adiknya mampus,
biarkan saja. Toh yang dibutuhkan hanya abangnya,"
timpal Patingga.
Kurawa yang berkumis melintang, menatap ke
arah laki-laki yang berikat kepala kuning. Dia bernama Goro. Kemudian tatapannya
berpindah pada kawannya yang bertubuh kurus dan berwajah bopeng. Dia sering dipanggil dengan
nama Durga. Meskipun Kurawa yang menjadi pimpinan dalam
kawanan ini, tapi masih meminta pendapat pada dua
orang kawannya.
"Sebaiknya dia memberi makan adiknya," sahut
Goro, yang akhirnya tak setuju juga.
"Benar! Kalau adiknya sampai mampus, dia akan
macam-macam. Dan dia ini, aku tahu ingin kitab itu
lenyap begitu saja. Telah bertahun-tahun kita mencari
dan menantinya. Apakah untuk waktu yang sesaat
saja kita tak bisa bersabar?" tambah Durga. Seperti
ikut menyokong Goro.
Dan ketika Kurawa mengambil sikap tegas,
Patingga dan Kunto yang mulanya tak setuju,
akhirnya tak bisa berbuat apa-apa.
Kurawa memandang kepada Panjalu.
"Hei, Bocah! Kau lihat pohon itu" Nah, buahnya
banyak bergelantungan. Panjatiah sendiri dan beri
makan adikmu," ujar laki-laki berkumis melintang itu.
"I..., iya! Terima kasih...," sahut Panjalu sambil
bergerak cepat, dan memanjat pohon yang ditunjuk
Kurawa. Sebentar saja Panjalu telah turun, lalu berjalan
sambil membawa banyak buah-buahan yang dapat
dimakan berdua adiknya.
Kelima orang itu hanya mengawasi pada jarak satu
tombak. Sejak tadi, tak seorang pun dari mereka yang
mau mendekat. Alasannya sudah jelas. Takut
ketularan penyakit kusta yang diderita kakak beradik
itu. "Sudah! Ayo, cepat! Kalian bisa makan sambil
jalan!" bentak Kunto garang.
Kakak beradik itu cepat bangkit dengan wajah
takut-takut. "Berapa lama lagi perjalanan kita?" tanya Kurawa,
agaknya sudah tak sabaran.
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh! Ng..., tak lama lagi. Di balik bukit itu...," tunjuk
Panjalu. Kelima orang itu memandang ke arah yang
ditunjuk Panjalu, lalu mereka saling pandang dengan
wajah curiga. Sebentar kemudian, tatapan mata
mereka tertuju pada bocah itu.
"Eh, Bocah! Jangan main-main kau. Tahukah kau,
apa yang ada di sana" Di balik bukit itu hanya ada
sebuah kampung. Dan rasanya mustahil kalau kitab
langka itu disembunyikan di tempat ramai begitu!"
bentak Kunto menggelegak.
Panjalu tersentak mendengar bentakan itu. Bukan
saja merasa kalau kebohongannya akan terungkap.
Tapi juga sungguh tak tahu kalau di balik bukit sana
terdapat sebuah kampung. Memang ketika melihat
bukit itu, dia hanya sembarang tunjuk.
"Aku hanya mengatakan apa yang kuketahui.
Kalian percaya atau tidak, ya! Terserah!" kilah Panjalu
enteng, seraya mengangkat kedua bahunya.
Bocah itu memang cukup cerdik. Sehingga, dia tak
pernah kehilangan akal.
"Di mana kitab itu berada"! Setiap sudut di wilayah
itu, aku mengetahuinya dengan jelas!" desak
Patingga. "Eh! Di..., di suatu tempat yang tersembunyi...,"
sahut Panjalu semakin gelagapan.
"Setan! Kau dengar kataku, heh"! Setiap sudut
desa itu kuketahui pasti! Karena, aku lahir dan dibesarkan di sana!" bentak
Patingga semakin geram.
Keempat kawan Patingga yang lain kini menatap
kepada dua bocah itu dengan wajah geram. Panjalu
tampak ketakutan. Sedangkan adiknya mulia
menangis dengan sekujur tubuh gemetar.
"Kau hendak mempermainkan kami, Bocah"! Kau
akan terima kematianmu!" dengus Kunto dingin,
sambil mengacungkan golok tinggi-tinggi.
Sejak tadi Kunto memang sudah tak sabar melihat dua orang bocah itu. Dan hanya
karena kehadiran kawan-kawannya saja yang membuatnya
bisa sabar. Dan kali ini, terlihat keempat kawannya
tak memberi tanggapan melihat tindakannya.
Kunto memang dikenal sangat bengis dan tak
mengenal kasihan. Maka bisa dipastikan kedua
bocah itu akan menjadi korban goloknya yang tajam
berkilat sesaat lagi. Namun sebelum hal itu terjadi....
"Ha ha ha...! Baru kali ini kutahu bahwa Lima Iblis
Maut punya kebiasaan menyiksa bocah tak berdaya!"
Mendadak terdengar suara nyaring yang menusuk
telinga mereka, karena disertai pengerahan tenaga
dalam. "Heh!"
*** Tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang demudan cepat. Dan tahu-tahu di depan
mereka berdiri tegak seorang pemuda tampan memakai baju putih
bersenjatakan pedang. Alisnya tebal, dan matanya
tampak juling. Rambutnya yang gondrong, diikat
sehelai pita merah.
"Kaliambar! Apa maumu menghadang perjalanan
kami?" tanya Kurawa dingin, ketika mengenali
pemuda itu. "Ha ha ha...! Pertanyaanmu tak bersahabat, Sobat.
Kenapa" Apakah urusan kalian takut kuganggu?"
"Siapa yang peduli denganmu!" dengus Kurawa
menunjukkan ketidaksenangannya secara terangterangan.
"Ha ha ha...! Begitukah sikapmu" Kalau demikian,
aku juga tak peduli pada kalian. Aku hanya menginginkan kitab itu," kata
Kaliambar, sinis.
"Hm.... Kau boleh mencarinya sampai akhir umurmu!" sahut Kunto cepat.
"Ha ha ha...! Kalian pikir, aku dungu dan tak tahu
siapa kedua bocah itu, heh"! Mereka adalah anak Ki
Dewoko dan Nyi Kuniasi yang sudah mampus itu.
Orang-orang tolol itu malah membakar mereka hiduphidup, sebelum kitab itu
ditemukan. Phuih! Serahkan
kedua bocah itu padaku, atau kalian akan berurusan
denganku!"
Kali ini agaknya pemuda yang bernama Kaliambar
tak mau lagi berbasa-basi. Wajahnya terlihat sangat
ahgker. Sepertinya, dia ingin menunjukkan pada
kelima orang ini, kalau niatnya untuk mengambil
kedua bocah itu tak akan bisa dihalangi.
Sementara Kurawa sudah mengetahui kalau
pemuda itu memiliki ilmu silat tinggi. Jika berhadapan
satu lawan satu, bisa dipastikan mereka tak akan
memang. Tapi cara keroyokan, apa yang musti ditakutkan" Dan Kurawa pun mendengus
sinis dengan sikap menantang.
"Kau boleh mengambilnya, setelah melangkahi
mayat Lima Iblis Maut!" tantang Kurawa dingin.
"Hm, bagus! Nyalimu semakin besar, karena kalian
kini berlima. Tapi ingin kulihat, sampai di mana
kesombongan Lima Iblis Maut," sahut Kaliambar.
Seketika itu pula tubuh pemuda juling ini melesat
menyerang kelima lawannya. Pedangnya yang sudah
dicabut dari warangka, segera dibabatkan ke masingmasing orang itu.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
"Setaan..!"
Kelima orang yang ternyata berjuluk Lima Iblis
Maut memaki kesal sambil jungkir balik menyelamatkan diri.
"Yeaaa...!"
Begitu telah berdiri tegak kembali, Kurawa dan
Kunto berteriak berbarengan. Dan mereka segera
meluruk, berusaha menyergap lawan dari belakang.
Kurawa membabatkan goloknya ke kepala, sedangkan Kunto membabat pinggang.
Melihat hal itu, Kaliambar melompat tinggi sambil
berputar beberapa kali laksana gasing. Kemudian
tubuhnya melesat turun bagaikan elang menyambar
anak ayam. Begitu mendarat di tanah, kelima lawannya telah menyambut dengan
tebasan golok. Terpaksa pemuda itu memapak dengan pedangnya.
Trang! Trang! "Heh"!"
Dua benturan terjadi ketika pedang milik
Kaliambar membabat dua golok Kurawa dan Patingga
Kedua orang itu terkejut setengah mati, begitu
merasakan tenaga dalam Kaliambar yang sudah
demikian tinggi. Dan lebih terkejut lagi, ketika pedang
itu terus meluncur dan menusuk ke arah Durga yang
tak sempat berkelit, sehingga....
Cras! "Aaa...!"
Durga berteriak menyayat begitu lehernya terbabat pedang milik Kaliambar.
Tubuhnya langsung
terhuyung-huyung, dengan tangan memegangi leher
yang telah mengucurkan darah. Sebentar kemudian
tubuhnya ambruk dan langsung menggelepar tak
berdaya. Dia tewas beberapa saat kemudian, dengan
leher masih buntung.
Sementara di lain tempat kedua bocah itu amat
ketakutan melihat pertarungan itu. Terlebih-lebih
Ismi, meski belakangan ini sering melihat, namun
darahnya masih tersirap menyaksikan orang terluka
menyemburkan darah dan menggelepar seperti ayam
dipotong. Tubuhnya kontan menggigil. Namun,
Panjalu cepat menenangkannya. Dan bocah laki-laki
itu melihat peluang untuk melarikan diri dari tempat
itu. "Ayo, cepat! Mereka sedang sibuk. Ini kesempatan
untuk kabur!"
Panjalu segera menarik tangan adiknya. Langsung
diajaknya Ismi berlari meninggalkan tempat itu, disaat
pertarungan antara Lima Iblis Maut yang kini berjumlah empat orang melawan
Kaliambar. Maka
dengan langkah tersaruk-saruk, Ismi mengikuti kakaknya yang berlari sekencangkencangnya. "Pelan-pelan saja, Kang! Kakiku sakit..," keluh
bocah perempuan itu.
"Ayo! Kau harus menguatkan semangatmu. Jangan
mengeluh. Kalau kita tertangkap lagi, habislah riwayat
kita. Siapa pun yang menang, sama saja. Mereka
tetap akan membunuh kita!"
Ismi tak membantah. Air matanya kini meleleh
menahan perih di kakinya. Persendian lututnya
seperti mau lepas ketika dibawa lari sedemikian
kencang dan dalam keadaan terpaksa begini. Tapi
hatinya berusaha dikuatkan. Benaknya terus membayangkan, kalau saja mereka
sampai tertangkap,
maka golok atau pedang yang tajam akan segera
menggorok leher. Dan membayangkan hal itu,
langkahnya semakin cepat.
Mereka terus berlari menelusuri kaki bukit, dan
mendaki gunung tinggi yang tampak di depan. Tidak
dipedulikan lagi onak duri dan batu-batu gunung
sebesar kerbau, serta jurang yang menganga di
kanan dan kiri. Mereka terus berlari seperti tak mau
berhenti. "Kakang, berhenti dulu. Napasku mau putus
rasanya...!" keluh Ismi terengah-engah.
"Iya, iya.... Aku pun capek sekalL.," sahut Panjalu
sambil menghentikan langkah.
Bocah laki-laki itu melihat adiknya terduduk di
bawah sebuah batu besar dengan napas kembang
kempis. Segera dihampirinya Ismi, lalu berusaha
untuk duduk bersandar di sebelah adiknya. Kedua
bocah itu memandang jauh ke depan, sambil sesekali
melirik ke arah yang tadi dilalui dengan hati was-was.
Di depan mereka, terbentang jurang lebar dan dalam.
Dari atas terlihat kehijauan gerumbulan dedaunan
lebat di bawah sana. Sementara di dekat mereka,
terdapat jalur dua arah yang harus dilalui. Dan, entah
menuju ke mana.
"Kang, kira-kira siapa yang menang di antara
mereka...?" tanya Ismi.
"Siapa" Orang yang berkelahi itu?" Panjalu malah
balik bertanya.
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Entah. Orang berbaju putih itu hebat. Meski
dikeroyok lima orang, tepi tak takut. Bahkan berhasil
membunuh se?rang musuhnya...."
"Dia jahat juga, Kang?"
"Orang-orang itu semuanya jahat pada kita, Ismi!
Mereka tak boleh dipercaya."
"Aku dendam pada mereka, Kang! Apalagi, pada
orang-orang yang telah membunuh kedua orangtua
kita!" dengus bocah perempuan itu tiba-tiba dengan
mata berkilat tajam.
"Aku juga. Kalau sudah besar nanti, aku akan
mencari guru yang hebat dan berlatih ilmu olah
kanuragan. Akan kuhajar mereka semuanya!" sahut
Panjalu geram. "Aki ikut, Kang!"
"Tentu. Kau akan kuajak juga!"
Mendadak, saat itu muncul di hadapan kedua
bocah itu seorang pemuda berbaju putih.
Kedatangannya bagai hantu saja, sehingga kedua
kakak beradik itu terkejut kaget, dan buru-buru
bangkit sambil berjalan mundur menjauh.
"Heh"!"
2 "Kakang...," desah Ismi lirih dengan wajah pucat
ketakutan. "Tenanglah, Ismi...."
"Laki-laki ini yang tadi...."
"lya, aku tahu. Kelima orang tadi barangkali telah
mati di tangannya," sahut Panjalu.
"Hua ha ha...! Hei, Bocah! Mau ke mana kalian" Ke
sini lebih dekat padaku. Jangan takut. Aku tak akan
menyakiti kalian!"
Pemuda berbaju putih yang tak lain Kaliambar itu
tertawa keras. Kemudian dengan muka manis, dia
berusaha membujuk kedua bocah itu sambil mengulurkan tangan: Sedangkan Panjalu
dan Ismi tak bergeming. Wajah mereka ditekuk sedemikian rupa,
dengan sorot mata tajam tak percaya.
"Ayo, ke sini. Aku ingin minta tolong sesuatu pada
kalian," bujuk Kaliambar.
"Tidak! Kau jahat sama seperti mereka!" sahut
Panjalu tegas, sambil terus mundur ke belakang.
"Eee...! Siapa yang mengajarimu berkata begitu"
Ayo, ke sini kataku!" bentak Kaliambar, mulai hilang
kesabarannya melihat sikap bocah itu.
"Tidak! Kau jahat, dan pasti akan membunuh
kami!" "He he he...! Siapa yang mengatakan begitu"
Untuk apa aku meski membunuh kalian" Dan kalau
aku ingin membunuh, maka sudah sejak tadi
kulakukan. Tapi buktinya aku tidak melakukannya,
kan" Nah! Itu berarti aku memang tak berminat
membunuh kalian," bujuk Kaliambar lagi.
Panjalu diam mendengar kata-kata itu. Namun,
otaknya terus berputar. Pengalaman yang didapat
pada hari-hari belakangan ini sangat menjadi
pelajaran baginya untuk tidak mempercayai siapa pun
di dunia ini. "Nah! Sekarang kalian percaya, bukan" Aku hanya
ingin minta tolong saja," lanjut Kaliambar sambil
tersenyum kecil.
"Menolong apa?" tanya Panjalu.
Sebenarnya bocah itu sudah menduga, apa yang
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diiinginkan pemuda ini. Tadi pun ketika bertarung,
sudah jelas terdengar kalau keinginan pemuda ini
pasti adalah kitab yang sama sekali tidak diketahuinya.
"Bagus. Kalau bisa menolongku, kalian akan kubebaskan. Bahkan akan kulindungi.
Siapa pun yang berani mengganggu kalian, akan kutebas lehernya,"
lanjut Kaliambar.
Mendengar kata-kata itu, Ismi tampak gembira.
Kecemasan di hatinya berangsur-angsur hilang. Perlahan-lahan dilepaskannya
pelukan pada kakaknya.
Tapi, tidak demikian halnya Panjalu. Rasanya
semanis apapun yang keluar dari mulut laki-laki itu,
tak akan mengubah pendapatnya kalau semua orang
jahat dan memusuhi mereka.
"Apa yang bisa kami tolong?" Panjalu mengulangi
pertanyaannya. "Singkat saja. Semua orang tahu, orang tua kalian
menyimpan sebuah kitab berisi pelajaran ilmu silat
tingkat tinggi dari seorang tokoh terkenal yang
dititipkan padanya. Nah! Tahukah kalian, di mana
kitab itu disembunyikan?" tanya Kaliambar sambil
tersenyum lebar.
"Kitab itu tak ada padaku. Juga, kedua orang tua
kami tak bercerita apa-apa tentang hal itu...," sahut
Panjalu pelan. "Hm.... Jangan membohongiku."
"Tuan! Kakangku berkata yang sebenarnya. Kami
tak tahu-menahu soal kitab itu. Sekarang, tolong
lepaskan kami...," sahut bocah perempuan itu cepat.
Wajah Kaliambar tampak berubah. Senyumnya
seketika hilang.
"Katakan, di mana kitab itu berada! Atau, kalian
akan kusiksa," ancam Kaliambar, datar.
Ismi kembali memeluk tubuh kakaknya mendengar
ancaman itu. Ketenangan hatinya kembali berkecamuk. Dan kepercayaannya pada
laki-laki itu hilang seketika.
"Ayo, katakan! Di mana kitab itu berada!" bentak
Kaliambar garang dengan mata melotot
"Kami sungguh-sungguh tak tahu di mana kitab Itu
berada...," sahut Panjalu.
"Setan!"
Sring! "Kakang, aku takut..."
Ismi merinding ketakutan sambil menyembunyikan
wajahnya ke balik punggung Panjalu, ketika melihat
pemuda itu mencabut pedangnya dan diacungkan ke
arah mereka. "Ayo, katakan cepat! Atau, kalian akan mampus
sekarang juga"! Cepat jangan sampai kesabaranku
hilang!" Panjalu tergagap mendengar bentakan itu, namun
sebisa mungkin berusaha menenangkan diri. Matanya sekilas ke belakang. Dan
memang, jalan telah
buntu, karena jurang menganga lebar. Diam-diam, dia
mengeluh dalam hati.
Sementara Ismi sudah menangis sesegukan
menahan rasa takut yang amat sangat. Saat itu pula
tubuh Panjalu bergetar hebat, seperti kehilangan
akal. Memang tak ada lagi jalan keluar bagi mereka di
tempat ini. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba saja
melintas pikiran nekat di hati bocah laki-laki itu.
Seketika tubuh adiknya dipeluk erat-erat. Kemudian
sambil mendengus garang ditatap pemuda berbaju
putih itu tajam-tajam.
"Kau boleh berkata sesukamu. Tapi, jangan harap
bisa memaksaku!"
"He. Bocah Setan! Kau pikir aku tidak berani
membunuhmu!" gertak Kaliambar, berang.
Mata pemuda itu melotot lebar dan gerahamnya
bergemeretak. Agaknya, dia bukan sekadar menggertak. Nyatanya perlahan-lahan
kakinya melangkah
mendekati kedua bocah kecilitu. Namun....
"Hup!"
"Heh"!"
Tak disangka-sangka, Panjalu melompat ke dalam
jurang di belakangnya, sambil memeluk adiknya.
Kaliambar tercekat kaget, dan tak keburu menangkap
mereka. "Aaa...!"
Pemuda itu hanya bisa mendengar jeritan panjang
kedua boah yang diincarnya. Sambil menggerutu
kesal, kembali pedangnya disarungkan sambil
melongok ke dalam jurang.
"Bocah goblok! Mampuslah kau di bawah sana!"
dengus Kaliambar geram, sambil berlalu dari tempat
itu. *** Sebelas tahun telah berlalu, ketika orang-orang
persilatan meributkan sebuah kitab pusaka, sehingga
mengakibatkan dua bocah yang tak tahu apa-apa
hilang tak tentu rimbanya. Tak banyak yang tahu
kejadiannya. Kaliambar sendiri yang menyebabkan
kedua bocah bernama Panjalu dan Ismi terperosok
dalam jurang, tak banyak bicara. Memang sesudah
kejadian itu, Kaliambar masih berusaha mencari-cari
kitab itu. Namun hasilnya nihil. Akhirnya, orang tak
pernah lagi mendengar namanya. Banyak yang
menduga kalau Kaliambar mengasingkan diri sambil
memperdalam ilmu silatnya.
Sementara kedua bocah itu pun banyak dicari
tokoh persilatan untuk mendapatkan keterangan
tentang kitab itu. Namun tak seorang pun berhasil
menemukan. Banyak yang menduga mereka telah
tewas. Bisa karena sakit kusta yang diderita, dima,
kan binatang buas, atau paling tidak dibunuh
beberapa tokoh persilatan. Dan sampai sejauh ini tak
terdengar berita kalau kitab itu telah diketemukan.
Dan kini benda itu masih menjadi teka-teki yang
belum terungkap.
*** Siang itu udara tak terlalu kering. Dan matahari
yang bersinar cerah, terhalangi oleh awan-awan
kelabu. Di kaki langit. sebelah selatan, mendung
mulai tebal. Barangkali sudah turun hujan di sana.
Sementara di jalan yang membentang lurus ini dari
kejauhan terlihat dua ekor kuda berlari kencang.
Setelah dekat, terlihat jelas kalau penunggangnya
adalah sepasang anak muda. Pemuda berbaju rompi
putih dengan sebuah pedang berhulu kepala rajawali
terembul di balik punggung itu memacu kudanya
sedang-sedang saja.
Sementara, gadis berbaju biru muda dengan kipas
baja berwama keperakan yang terselip di pinggang itu
juga seperti tak ingin meninggalkan pemuda yang
berkuda di sampingnya.
"Berhenti, Pandan!" ujar pemuda itu sambil
mengangkat sebelah tangannya.
"Ada apa, Kakang?" tanya gadis yang ternyata
memang Pandan Wangi.
Memang, pemuda berbaju rompi putih itu adalah
Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti. Agaknya gadis itu tak perlu bertanya lebih lanjut,
ketika Rangga menatap tajam ke depan. Tampak
pada jarak lima tombak di depan, bergelimpangan
mayat-mayat yang sudah menyebarkan bau anyir.
Setelah Pandan Wangi menghitung mayat yang
berjumlah lima orang, matanya memandang sekilas
pada Rangga. Sedangkan pemuda itu turun dari
punggung kuda hitamnya. Dan Pandan Wangi segera
mengikuti, lalu berjalan di sebelahnya.
"Hati-hati, Kakang...!" ujar gadis itu memperingatkan, ketika Rangga memeriksa
mayat itu satu persatu. "Rupanya ada yang masih hidup...," sahut Rangga,
ketika melihat salah seorang masih bernapas lemah.
Pandan Wangi mendekat, begitu Rangga mengangkat tubuh kekar berotot dari seorang
pemuda yang berpakaian lusuh itu. Luka-luka di tubuhnya tak
terlalu parah. Hanya sedikit goresan-goresan kecil di
kulitnya yang sawo matang. Bisa jadi, dia hanya
pingsan tadi. Buktinya setelah Rangga mengurut-urut
bagian tertentu di tubuhnya, pemuda berhidung kecil
mancung itu perlahan-lahan membuka kelopak
matanya dengan pandangan heran.
"Ohhh...! Di mana aku..." Apa..., apakah aku sudah
berada di akherat...?" desah pemuda berwajah
persegi dan berambut pendek ini.
Rangga menatap pemuda itu sambil tersenyum
manis. Baju pemuda itu lusuh. Pendekar Rajawali
Sakti sedikit heran, mengapa pemuda itu bisa pingsan. Padahal, tak terlihat
tanda-tanda luka di
tubuhnya. Bisa jadi dia memang anak petani dan
sama sekali tak mengerti ilmu silat, kemudian
dihadang perampok yang mahir ilmu silat. Sehingga,
pemuda ini dibuat tak berdaya.
"Kisanak! Namaku Rangga. Dan ini kawanku,
Pandan Wangi. Kau masih berada di dunia. Apa yang
terjadi di sini?" tanya Rangga setelah memperkenalkan diri.
"Aku..., eh! Kami diserang perampok ganas.
Semua kawanku tewas. Sedangkan aku terkena
pukulan hingga tak sadarkan diri. Kisanak, terima
kasih atas pertolonganmu...," sahut pemuda itu
memberi hormat.
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Rangga.
"Kira-kira, pagi tadi...," sahut pemuda itu.
"Kau tahu, ke mana kira-kira perampok itu pergi?"
Pemuda itu menggelengkan kepala. "Aku tak
sadarkan diri ketika itu...."
"Hm... lya, ya.... Kulihat lukamu tak parah, jadi bisa
pulang ke desamu. Eh, siapa namamu...?"
"Namaku Soreang. Oh, ya. Kalau boleh tahu,
siapakah kalian" Maksudku, julukan kalian. Kulihat,
kalian membawa senjata. Aku yakin kalian adalah
pendekar-pendekar hebat. Jadi hanya sekadar untuk
kuingat, bahwa kalian telah menyelamatkan nyawaku...," ujar laki-laki bernama
Soreang itu. "Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi lebih dulu membuka suara. Padahal,
tadinya Rangga tak akan menyebutkan siapa dirinya.
Dia mengharap, Soreang cukup hanya mengenal
nama saja. "Pendekar Rajawali Sakti" Oh! Julukanmu sering
kudengar, Pendekar Rajawali Sakti. Tak sangka, aku
bisa bertemu pendekar besar di sini. Sekali lagi,
terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Terima kasih....!" ucap Soreang, sambil
membungkukkan badan berkali-kali.
"Soreang! Aku tak membantu apa-apa padamu.
Tanpa kubantu pun, kau akan sadarkan diri beberapa
saat kemudian. Nah, jangan terlalu berlebihan seperti
itu," ujar Rangga, seraya membangunkan pemuda itu.
"Tidak! Walau bagaimanapun, kau adalah
penolongku. Perampok itu pasti ketakutan ketika
melihat kalian datang!" sahut Soreang yakin.
Rangga tersenyum kecil. Dia bangkit sambil
menoleh sekilas pada Pandan Wangi. Dan gadis itu
hanya mengangguk seperti memberi isyarat
Kemudian kembali ditatapnya Soreang.
"Kisanak! Kukira, kami tak bisa berlama-lama di
sini karena akan melanjutkan perjalanan," kata
Rangga sambil naik ke punggung kudanya, diikuti
Pandan Wangi. Soreang membungkuk hormat. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan,
Kisanak." "Sudahlah. Nah, hati-hati di jalan!" sahut Pandan
Wangi sambil menghela kudanya.
Kedua anak muda itu beberapa saat telah berlalu
dari hadapan Soreang. Sementara, pemuda bernama
Soreang itu segera menoleh ke arah mayat-mayat
yang bergelimpangan, lalu tersenyum kecil. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi sudah cukup jauh dari tempat ini. Mereka terus
menjalankan kudanya perlahan-lahan, sambil berbincang-bincang.
"Kakang, kenapa kau diam saja sejak di sana
tadi...?" tanya Pandan Wangi melihat pemuda itu
diam saja seperti termenung.
"Aku sedang berpikir...," sahut Rangga.
"Apa yang kau pikirkan?"
"Orang tadi. Kenapa dia merasa tak sedih melihat
kawan-kawannya binasa" Wajahnya sama sekali tidak
menyiratkan kesedihan...," duga Rangga.
"Aku juga sudah curiga. Kurasa, dia berpurapura."
"Apa maksudmu?"
"Jangan-jangan, malah dia pembunuhnya!" tuduh
Pandan Wangi. Rangga tersenyum kecil.
"Entah.... Tapi kalau ternyata kelak terbukti, toh dia
tak akan selamat dari hukuman," sahut Rangga dan
segera menghela Dewa Bayu lebih kencang.
Kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi
terkejut dan berusaha sekuat tenaga mengimbangi
derap langkah kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.
Kedua binatang tunggangan itu berlari seperti
berpacu, meninggalkan debu yang membubung tinggi
di sepanjang jalan yang dilalui.
*** Desa Gudang Banyu terletak di antara dua gunung
yang menjulang tinggi. Suasananya tak begitu ramai.
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Desa itu pada mulanya adalah jalan penghubung
antara mereka yang berada di barat, dan timur.
Namun sejak ada jalan lain yang lebih singkat, maka
desa ini jarang disinggahi. Bukan saja karena
jaraknya yang jauh dan berliku-liku, namun karena
masih banyak perampok berkeliaran.
Di beranda sebuah rumah yang paling besar dan
mewah di Desa Gudang Banyu seorang laki-laki
setengah baya tampak tengah bersiul-siul menggoda
burung perkututnya. Dia memang mempunyai banyak
perkutut yang setiap hari digantung pada tonggak
kayu di halaman depan rumahnya. Tak heran kalau di
halaman rumahnya terdapat tonggak kayu untuk
menggerek sangkar berisi perkutut. Biasanya, pembantunyalah yang mengurusi
burung-burungnya itu.
Namun sesekali, dia pun suka pula ikut mengurusi.
Kesibukannya sebagai kepala desa agaknya tak
menjadi halangan baginya untuk sesekali ikut
mengurusi perkutut-perkututnya.
"Ayo, Tukong. Kau harus pandai manggung yang
merdu. Jangan seperti burung hantu begitu!" teriak
Kepala Desa Gudang Banyu itu pada seekor perkutut
yang baru saja dikerek turun.
Perkutut yang dipanggil Tukong itu diam membisu,
dengan mata menatap tajam ke arahnya. Kemudian
kedua sayapnya digoyang-goyangkan dan terbang ke
sana kemari di dalam sangkar seperti gelisah.
"Warso...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara pelan, namun
membuat kepala desa itu tersentak kaget. Tak jelas
dari mana datangnya, tahu-tahu saja di dekatnya
telah berdiri tegak dua sosok tubuh berpakaian coklat
dan kuning. Wajah mereka tak jelas, karena seluruh
kepalanya terbungkus kain warna merah. Hanya ada
dua lubang pada bagian mata mereka yang menatap
tajam ke arah kepala desa itu. Sementara dengan
cepat laki-laki berusia lima puluh tahun itu melompat
berbalik, dan surut ke belakang dengan siaga.
"Kenapa" Kau kelihatannya ketakutan sekali,
Warso" Ayo, panggillah tukang-tukang pukul dan
jagoan-jagoan silat bayaranmu itu untuk melindungi
dirimu," ejek salah seorang dari kedua sosok bertopeng itu.
"Siapa kau"!" beritak Warso.
"Hm.... Apakah kau sungguh-sungguh ingin tahu"
Ingatlah peristiwa sebelas tahun yang lalu, ketika dua
orang bocah berpenyakit kusta yang dikejar-kejar
untuk dibunuh. Orang tuanya difitnah, dengan
mengatakan kalau mereka memiliki kitab ilmu silat
yang menghebohkan. Sehingga banyak tokoh silat
yang ikut tertarik dengan fitnah itu. Lalu kau, anak
buahmu, dan tokoh-tokoh silat akhirnya membakar
mereka hidup-hidup. Kau ingat itu, Warso" Dan hari
ini, adalah hari pembalasan atas semua perbuatanperbuatan yang terkutuk itu,"
sahut orang bertopeng
itu dingin. "Ka..., kau Panjalu dan Ismi, putra-putri Ki Dewoko
dan Nyai Kurniasih...?" tanya Warso, seperti ingin
meyakinkan. "Itu bukan urusanmu!"
Mendengar jawaban itu, Warso tersentak. Mendadak dia seperti ingat terhadap
harga dirinya. Mana
mungkin dia menunjukkan rasa keterkejutannya di
depan kedua orang bertopeng ini" Apapun yang
terjadi, mereka tak bisa begitu saja menggertaknya.
Maka dengan sikap jumawa dan suara yang dibuat
sedemikian rupa, keberaniannya berusaha ditunjukkan.
"Huh! Kalian pikir dengan menceritakan peristiwa
itu, akan membuatku takut" Phuih! Biarpun Ki
Dewoko hidup lagi, tak bakal aku akan lari. Mereka
memang sudah selayaknya mampus, karena akan
membawa malapetaka saja!" dengus Warso, lambil
berkacak pinggang.
Bersamaan dengan itu, kepala desa itu bersuit
nyaring. Maka dalam beberapa saat saja, terlihat
beberapa orang laki-laki berwajah kasar telah berkumpul di tempat itu, siap
dengan senjata masingmasing. Kesombongan Warso semakin bertambah
saja melihat anak buahnya telah mengepung kedua
orang bertopeng itu.
"Ha ha ha...! Warso! Apakah jumlah ini tak bisa
diperbanyak lagi" Ayo, panggil semua tukang
pukulmu! Tapi, jangan harap nyawamu akan kulepaskan begitu saja. Kau akan
mampus, Warso!"
Kedua orang itu malah tertawa ketika dikurung
sedemikian rupa. Dari nada bicara mereka, jelas
kalau kedua orang bertopeng itu sama sekali tidak
takut. Bahkan malah menganggap enteng para
tukang pukul Kepala Desa Gudang Banyu itu.
"Keparat! Menyerahlah. Kalian sudah terkepung!"
dengus Warso. "He he he...! Kesombonganmu mulai terlihat,
Warso! Apakah kau pikir sudah yakin akan mampu
menangkapku?" ejek yang berbaju coklat.
"Hm, kehapa tidak" Pengacau busuk seperti kalian
tak akan kuampuni. Kalian akan dihukum berat!"
balas Warso. "Sepertinya kau bicara tentang keadilan. Tapi, kau
sendiri lupa kalau telah bertindak tak adil sebelas
tahun lalu. Kedua bocah itu hidup sengsara, dan
mereka tak mengerti apa-apa. Tapi dengan
kekejamanmu yang seperti binatang, kau mengejar
mereka seperti anjing buduk. Apa salah mereka,
Warso" Dan, mana keadilan untuk mereka?" sindir
yang berbaju kuning.
"Huh! Kau menginginkan keadilan" Inilah keadilan
untukmu!" sahut Warso. Seketika diberinya isyarat
pada anak buahnya untuk menangkap kedua orang
bertopeng itu. Maka seketika anak b?ah kepala desa itu bergerak ke arah kedua orang bertopeng
ini, dengan senjata terhunus. Kelihatannya, mereka tak akan
memberi ampun bila kedua orang itu tertangkap.
"Ha ha ha...! Kau tak akan sempat menyesal atas
semua ini, Warso! Kau tak akan sempat menyesal!"
teriak orang bertopeng yang memakai baju coklat
sambil tertawa-tawa.
Kedua orang bertopeng itu segera melompat ke
sana kemari menghindari tebasan senjata tajam yang
melesat gencar.
*** 3 Orang bertopeng yang menggunakan baju coklat
itu melompat tinggi menghindari sabetan golok yang
menghajar pinggang. Dan seketika kaki kanannya
mengayun ke depan, langsung menghajar dagu salah
seorang pengeroyok.
Duk! "Argkh!"
Orang itu kontan terpukul sambil menjerit
kesakitan. Tulang dadanya seketika patah akibat
tendangan orang berbaju coklat Tubuh pengeroyok itu
terhuyung-huyung, kemudian ambruk ke tanah.
Setelah menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong,
dia diam tak bergerak lagi.
Orang bertopeng yang bertubuh tegap itu tak
sempat memperhatikan lawannya yang terjungkal,
ketika dua orang pengeroyok yang lain kembali
menyerang ganas. Yang seorang menusuk tepat ke
arah jantungnya, sedangkan yang seorang lagi
menyambar perut.
"Hup!"
Untung saja orang bertopeng dan berpakaian
coklat itu lebih cepat bertindak. Tubuhnya segera
bergerak ke kanan, menghindari tusukan yang
mengarah ke jantung. Dan seketika tangannya menangkap pergelangan tangan
pengeroyok yang
mengarah ke perut, sambil menarik tangan itu
dengan keras untuk diadu dengan lutut kirinya,
seketika dilepaskan tendangannya kaki kirinya ke
perut lawan yang akan menusuk jantungnya tadi.
Begitu cepat gerakan orang bertopeng itu, sehingga...
Krak! Begkh! "Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan tanpa
dapat meneruskan pertarungan. Yang seorang
tangannya patah, dan seorang lagi terjungkal ke
tanah tak bangun-bangun lagi.
Sementara itu orang bertopeng berbaju kuning
yang sejak tadi tak banyak bicara, tampak meliukliukkan tubuhnya. Gerakannya
begitu gesit, seperti
burung walet. Bahkan ilmu silatnya amat tinggi, tak
kalah dengan pasangannya. Dalam beberapa saat
saja dua orang lawan telah dijatuhkannya.
Bahkan orang bertopeng yang bertubuh ramping
itu kelihatannya lebih kejam. Lawan yang mendekat,
tak kepalang tanggung dihajar sampai mati. Kedua
telapak tangannya sangat berbahaya. Sehingga akan
menimbulkan luka hangus yang berbau busuk bila
menyentuh lawan.
"Iblis pengacau, mampuslah kau! Hiyaaat...!" teriak
seorang lawan pengeroyok sambil mengayunkan
golok di tangan. Sementara, kedua kawannya membantu dan belakang dan samping.
"Hup!"
Sosok ramping berpakaian kuning itu menggeser
tubuhnya ke kiri, ketika salah seorang pengeroyok
berusaha memapak punggung kanan dari belakang.
Tubuh rampingnya berputar cepat ke atas, sementara
ketiga lawannya terus mengejar. Dan dengan satu
gerakan bersalto yang indah, kakinya mendarat
empuk di tanah.
"Yeaaa...!"
Seorang pengeroyok meluruk deras dengan golok
menyambar kepala orang bertopeng yang berbaju
kuning itu. Namun serangan itu mudah sekali
dielakkan. Bahkan orang bertopeng dengan pakaian
kuning itu berhasil menangkap tangannya, seraya
menghantamkan pukulan ke arah dada kiri. Begitu
cepat gerakannya, sehingga....
Plak! Plakkk...! "Aaa...!"
Si pengeroyok itu terpekik dan terjengkang ke
tanah beberapa tombak ketika sebuah pukulan mendarat di dada. Tampak tanda lima
jari yang hitam
seperti terbakar tergambar di dadanya. Tubuhnya
kelojotan sambil berguling-gulingan sejenak. Beberapa saat kemudian diam tak
bergerak. Bahkan
bau busuk langsung menyeruak, dan menyengat
hidung akibat pukulan itu.
Seorang pengeroyok lain mencoba mencuri
kesempatan dengan menebaskan golok ke punggung,
ketika orang berpakaian kuning itu melihat akibat
pukulannya pada lawannya tadi. Namun serangan itu
kandas, karena orang berpakaian kuning itu ce-pat
membungkuk. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya
menghantamkan pukulan ke jantung pembokongnya.
Begkh! "Aaakh!"|
Kembali terdengar pekikan kesakitan, begitu
pembokong ini dadanya terhantam pukulan. Seketika
dadanya hangus terbakar dan menimbulkan bau
busuk menyengat Orang itu langsung ambr?k, dan tak
berkutik lagi. Warso terperangah kaget melihat para anak
buahnya sama sekali tak berdaya meringkus kedua
orang bertopeng merah darah itu. Bahkan satu persatu mereka tewas di tangan kedua lawannya. Diamdiam, hatinya ciut juga dan
bermaksud melarikan diri.
Sebagai kepala desa, Warso memang cukup punya
kepandaian lumayan. Namun justru dari situlah bisa
dinilai, kalau kepandaiannya kalah jauh dibandingkan
dua orang bertopeng itu. Maka diam-diam, saat anak
buahnya sibuk melawan dua manusia bertopeng,
Warso menyelinap ke dalam rumahnya. Begitu
sampai di dalam rumahnya, istri dan kedua anaknya
yang sejak tadi ketakutan melihat keributan di luar
segera diajak untuk cepat angkat kaki.
"Mau ke mana kita, Kang?" tanya istri kepala desa
itu dengan tubuh gemetar, ketika mereka berada di
kamar. "Sudah. Pokoknya jangan banyak tanya. Ayo,
beresi cepat barang-barang berharga milikmu!"
dengus Warso membentak.
Laki-laki setengah baya itu tak peduli lagi pada
kedua anaknya yang masih muda. Mereka tampak
gemetar ketakutan dan tak berdaya melakukan apaapa. Warso segera menarik salah
seorang, seraya
berjalan dengan langkah lebar. Sementara istrinya
menarik anaknya yang lain.
"Ayo, Laksi! Cepat!"
"Iya, iya...!"
Dengan tergopoh-gopoh mereka bergegas keluar
kamar, dan menuju pintu belakang. Namun begitu
menyelinap keluar, alangkah kagetnya Warso ketika
melihat salah seorang dari manusia bertopeng itu
telah berdiri tegak menghadang mereka. Maka buruburu istri dan kedua anaknya
diajak berbalik, hendak
lari. Namun niatnya pupus begitu manusia bertopeng
yang seorang lagi telah menghadang. Wajah Warso
tampak pucat. Malah istrinya terduduk lemas di
tanah. Sementara kedua anaknya bersembunyi di
pinggang kanan dan kiri perempuan berusia kurang
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari empat puluh tahun itu.
*** "Hm.... Mau mencoba melarikan diri, heh"!"
dengus manusia bertopeng yang berbaju coklat,
dingin. "Jangan harap kau bisa lolos dari kami," sahut
manusia bertopeng yang bertubuh ramping terbungkus pakaian kuning.
"Kau lihat, Warso" Anak buahmu tak berarti apaapa. Mereka hanya kantung-kantung
nasi yang tak berguna. Sekarang kau sendiri dan tak seorang pun
yang bisa menyelamatkan diri dari cengkeraman
kami," lanjut orang bertopeng berbaju coklat.
"Eh! Ng..., lepaskanlah kami. Dan, ambillah semua
harta benda ini, asal kalian mau mengampuni
kami...," ratap Warso terbata-bata, sambil menoleh ke
arah dua manusia bertopeng itu bergantian. Emas
permata miliknya yang berada dalam sebuah kantung
lain diangsurkannya.
"Nyawa Ki Dewoko dan Nyi Kurniasih yang
diperlakukan secara kejam dan tak berperikemanusiaan, tak sepadan dengan harta
benda sebanyak apa pun. Demikian pula nasib Panjalu dan Ismi yang
sengsara dan dikejar-kejar bagai anjing kudisan.
Semuanya tak akan bisa kau bayar dengan apa pun,
kecuali nyawamu, Warso!" desis orang bertopeng
yang berbaju coklat.
Darah Warso tersirap. Wajahnya seketika pucat
bagai mayat, mendengar kata-kata itu. Tak ada jalan
lagi baginya, selain pasrah atau..., melawan!
Melawan" "Bersiaplah menerima kematianmu!" dengus
manusia bertopeng yang berbaju coklat sambil
melangkah pelan mendekatinya.
"Tuan, tolonglah kami. Jangan bunuh suamiku.
Ampunilah kami...."
Istri Warso merangkak sambil bersujud di depan
manusia bertopeng itu. Tapi....
Plak! "Aaa...!"
Perempuan itu terpekik! Sungguh tak disangkasangka manusia bertopeng berbaju
coklat itu mengebutkan tangannya, dan mendarat telak di
batok kepala istri kepala desa itu. Kulit kepalanya
hangus terbakar dan darah kental kehitaman
mengucur deras. Tubuhnya langsung ambruk ke
tanah dengan nyawa melayang.
"Bedebah! Kubunuh kalian! Kubunuh kalian...!"
teriak Warso kalap.
Dengan nekat kepala desa itu meluruk, langsung
menyerang manusia bertopeng yang telah membunuh
istrinya. Kepalan tangannya diarahkan ke wajah!
Namun mudah sekali orang bertopeng berbaju coklat
itu mengelak ke kanan. Seketika kaki kanannya
diayunkan menghajar ke arah dada.
Wuttt! "Hup!"
Warso berhasil menghindar dengan menjatuhkan
diri ke lantai. Seketika kakinya menyapu lutut
belakang lawan dengan keras. Namun mudah sekali
manusia bertopeng yang bertubuh kekar itu melenting ke atas. Bahkan cepat sekali
kakinya terayun
kembali ke dada kepala desa itu.
Namun tentu saja Warso tidak sudi dadanya
terhantam kaki lawan. Sambil mundur selangkah ke
belakang, tangan kanannya segera bergerak cepat,
memapak serangan.
Warso berhasil menangkis dengan tangannya.
Namun mulutnya jadi meringis kesakitan. Disadari
kalau pergelangan tangannya telah patah. Dan dia
tak ingin mempedulikannya. Bahkan kepala desa itu
menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan
mendekati lawan, sambil menghantamkan pukulan
ke bawah perut. Namun manusia bertopeng berpakaian coklat itu terdengar
mendengus pelan.
Tubuhnya seketika bersalto, dengan kepalan tangan
kanannya langsung ke arah punggung kiri kepala
desa yang tengah bergulingan itu.
"Hiyaaa...!
Begkh! "Aaakh...!"
Warso kontan terjerembab ke tanah, disertai
jeritan kesakitan begitu punggung kirinya terhantam
pukulan yang dilepaskan sambil bersalto dari orang
bertopeng itu. "Bapaaak...!
Kedua anak kepala desa itu menjerit mendapatkan ayahnya menggelepar-gelepar
kesakitan. Dan ketakutan mereka pun sirna. Wajah mereka berubah
merah membara, membawa api dendam. Dan begitu
mengetahui ayahnya telah tewas, ditatapnya kedua
orang bertopeng yang sudah berdiri berdampingan.
Kedua pemuda tanggung itu tampak berdiri tegak
dengan sikap menantang.
"Setan keparat! Kalian harus membayar nyawa
kedua orang tuaku!" dengus salah seorang.
"Yeaaa...!"
Dengan gerakan nyaris bersamaan mereka menerjang, namun kedua manusia bertopeng itu mudah
sekali menghindari. Apalagi, kedua pemuda tanggung
itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat Pukulan yang
dilakukan hanya disertai pengerahan tenaga kasar
belaka. Sedangkan manusia bertopeng itu agaknya
sedikit pun tak mau memberi hati. Begitu pukulan
dua anak muda itu luput, sekali menggerakkan
tangan saja kedua orang bertopeng itu sudah unggul
di atas segala-galanya. Sehingga....
Prak! Prak! "Aaakh... !"
Kedua anak muda tanggung itu kontan terjengkang dengan kepala pecah, begitu satu
pukulan keras mendarat di sasaran. Mereka ambruk di tanah,
bermandikan darah.
"Mampus!" dengus manusia bertopeng yang
bertubuh kekar sambil sinis.
"Habislah sudah keluarga mereka. Kakang, siapa
lagi yang akan didatangi?" sahut orang bertopeng
yang bertubuh ramping.
"Banyak lagi, Ismi. Mereka semua harus mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan
lebih menyakitkan dan apa yang pernah dilakukan terhadap
kita!" sahut manusia bertopeng yang berbaju coklat.
Memang, dia sebenarnya Panjalu. Sedangkan yang
bertubuh ramping adalah Ismi.
'Ya, Kakang. Rasanya aku pun sudah tak sabar
ingin menghajar mereka semua!" tambah Ismi
dengan geram. "Kalau begitu mari kita berangkat!"
"Baiklah!"
Kakak beradik itu segera berlalu dari tempat
kediaman Kepala Desa Gudang Banyu ini. Tatkala
angin berhembus, bau anyir darah dan bau busuk
menyeruak dan mayat-mayat itu.
*** Hari ini, di Perguruan Kijang Kencana tak seperti
biasanya. Perguruan yang diketuai Ki Ajar Ningrat ini
agaknya banyak didatangi beberapa tokoh persilatan.
Mereka berkumpul dan duduk bersila di ruang
utama padepokan yang cukup besar dan luas. Ki Ajar
Ningrat sendiri tak mau banyak berbasa-basi dalam
pertemuan itu. "Kisanak semua. Seperti diketahui belakangan ini,
kita mendengar kabar kalau Ki Kaliambar ternyata
telah menemukan kitab pusaka yang banyak dicari
berbagai kalangan persilatan. Menurut apa yang
kudengar, kitab itu berisi ilmu silat tingkat tinggi yang
belum ada tandingannya. Namun konon pula, bisa
mempengaruhi orang yang mempelajarinya menjadi
liar dan beringas. Bahkan nafsu membunuh dalam
diri orang yang mempelajari kian menggelegak. Hal ini
tentu saja-amat membahayakan bagi kita semua. Ki
Kaliambar adalah tokoh golongan hitam. Dan kalau
betul kitab itu jatuh ke tangannya, maka celakalah
dunia persilatan nantinya. Tentu dia akan membuat
gelisah orang di mana-mana. Ada pun maksud dari
pertemuan ini adalah untuk mencari jalan keluar dan
mengatasi masalah itu," jelas Ki Ajar Ningrat.
"Ki Ajar! Dari mana kau tahu kalau Ki Kaliambar
telah mendapatkan kitab itu?" tanya seorang bertubuh gemuk dan pendek, dengan
kepala besar serta
dahi lebar. Dia bernama Paluh Dugan, salah seorang
tokoh persilatan yang cukup disegani di kawasan
sebelah barat. "Tentu saja dari orang-orang yang bisa kupercaya.
Kesimpulan itu diambil, ketika terakhir kali Ki
Kaliambar mengejar putra-putri Ki Dewoko dan Nyi
Kurniasih. Setelah itu kedua bocah tersebut lenyap
tiada berita. Jadi, apalagi kalau bukan tewas dibunuh
olehnya" Mustahil Ki Kaliambar membunuh kedua
bocah itu, kalau belum mendapatkan kitab pusaka
yang dimaksud. Dan hal ini perlu kubicarakan lagi,
sebab belakangan mulai terungkap adanya kematian
beberapa tokoh persilatan, yang berawal dari Kepala
Desa Gudang Banyu beserta seluruh keluarganya
dalam keadaan mengenaskan. Bukankah itu dilakukan orang yang menganut ilmu
iblis?" sahut Ki Ajar
Ningrat panjang lebar.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan" Menghukum Ki
Kaliambar?" tanya salah seorang dengan suara datar.
Orang itu memakai baju hijau dan berdada bidang.
Namanya, Ki Mangsa Totok.
"Apa yang bisa kita lakukan selain itu?" timpal
yang lain, bertanya.
"Itu tidak mudah. Kepandaian Ki Kaliambar cukup
hebat. Dan setelah mempelajari isi kitab pusaka itu,
sudah pasti kepandaiannya bertambah hebat lagi,"
sahut Ki Paluh Dugan.
"Bagaimana, Ki Ajar?" tanya seorang tokoh
bertubuh kecil dan berkumis tipis. Namanya Ki
Pandanaran. "Yah.... Kita memang tak punya jalan lain...," sahut
Ki Ajar Ningrat lemah.
"Tunggu dulu!"
Mendadak seorang memotong pembicaraan.
Orang itu bermuka lonjong. Sorot matanya tajam,
dengan kumis tebal yang telah memutih, seperti
rambut kepalanya. Tubuhnya agak tinggi dan kurus.
"Apakah Ki Cokorda punya usul?" tanya Ki Ajar
Ningrat datar. Agaknya orang tua itu sedikit tak
senang mendengar bicaranya diputus begitu saja.
"Beginikah keputusan yang diambil tokoh-tokoh
yang menyatakan dirinya sebagai kaum lurus"
Rupanya kalian lebih suka mengambil keputusan
sepihak, tanpa bukti jelas" Kita tidak bisa menghukum manusia seenaknya saja.
Kaliambar belum
tentu bersalah, sebelum diketemukan bukti yang
jelas. Jangan sampai kita membunuh orang yang tak
bersalah," sahut orang yang dipanggil Ki Cokorda.
"Hm.,.. Alasan Ki Cokorda memang benar. Tapi
jangan lupa, Ki Kaliambar adalah tokoh golongan
hitam yang selalu berbuat semaunya. Ada atau tidak
kitab itu, tetap saja merupakan kewajiban kita untuk
memberi pelajaran padanya. Bukankah begitu,
Kisanak semua?" sahut Ki Ajar Ningrat seraya
mengedar pandang kepada yang lain.
Sebagian membenarkan pendapat Ki Ajar Ningrat,
tapi sebagian lagi membenarkan apa yang dituturkan
Ki Cokorda. Ki Ajar Ningrat agaknya tak puas dengan
hasil itu. Dipandangnya Ki Cokorda.
"Ki Cokorda! Bagaimana kalau aku dapat membuktikan kalau Ki Kaliambar memang
bersalah?"
tantang Ki Ajar Ningrat, agak ketus.
"Akan kulihat, apakah bukti itu benar," balas Ki
Cokorda. "Kalau ternyata benar?"
"Kau tak perlu memaksaku. Tanpa diminta pun,
aku akan turun tangan menghukum orang itu!" tegas
Ki Cokorda. "Hm, baiklah. Kalau demikian, beri aku waktu tiga
hari untuk membuktikan kebenaran pendapatku,
bahwa Ki Kaliambar memang suatu ancaman. Bukan
saja bagi tokoh-tokoh persilatan, tapi juga bagi semua
orang!" Ki Cokorda hanya tersenyum kecil. Dia tak tahu,
kenapa Ki Ajar Ningrat begitu bernafsu untuk
Memburuk-burukkan Kaliambar. Yang jelas, ketika
heboh tentang kitab pusaka yang banyak diperebutkan orang, Ki Ajar Ningrat
termasuk tokoh yang
menginginkannya. Namun, ternyata Kaliambar yang
beruntung bertemu kedua bocah itu.
"Bagaimana kalau ternyata tuduhanmu tak
benar?" tanya Ki Cokorda, balik bertanya.
Ki Ajar Ningrat tersenyum kecil.
"Ki Cokorda! Apakah kini kau telah berubah dan
membela orang yang sebenarnya tak patut dibela?"
"Aku tak berpikir begitu. Tapi hanya meluruskan,
bagaimana menilai seseorang dengan cara benar.
Meskipun, orang itu selalu berbuat onar," sahut Ki
Cokorda singkat, namun cukup mengena. "Lagi
pula...." "Awas!"
Teriak seseorang, sehingga memutuskan ucapan
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Cokorda, memang mendadak saat itu melesat
sesuatu dan luar. Maka begitu mendengar teriakan
itu, seketika mereka semua berusaha menghindar.
Bahkan kening Ki Ajar Ningrat nyaris tertancap
kalau saja tak cepat-cepat bergeser ke samping.
Mereka benar-benar tersentak kaget, ketika menoleh
dan melihat sebuah ranting kayu yang tertancap
papan di belakang Ki Ajar Ningrat Di situ teriilit
selembar kulit kambing berukuran kecil dan tipis. Ki
Ajar Ningrat segera mengambil benda itu, dan
membukanya. Tampak beberapa baris tulisan tertera
di dalamnya. Ada yang menuduhku berbuat keji dan hendak
memburuk-burukkan namaku. Dan dia akan mampus
sesaat lagi. Kaliambar "Huh! Dikira aku takut dengan ancamannya ini!
Phuih!" geram Ki Ajar Ningrat, kesal.
Ditunjukkannya isi tulisan itu kepada yang lain.
Dan mereka segera membaca dan cepat mengetahui
isinya. Ki Ajar Ningrat memanggil beberapa orang
muridnya yang memerintahkan untuk menean orang
yang telah melemparkan ranting tadi. Setelah
memberikan perintah, kembali dia memandang tamutamunya satu persatu. Dan
terakhir dia memandang
ke arah Ki Cokorda.
"Apa yang akan Ki Cokorda katakan setelah
membaca tulisan ini?" tanya Ki Ajar Ningrat, dingin.
*** 4 Ki Cokorda diam beberapa saat seperti sedang
berpikir. Dia memang tak tahu, sampai di mana kemampuan orang yang bernama
Kaliambar. Tapi dari
ranting kayu yang mampu menembus dinding papan
tepat di belakang Ki Ajar Ningrat, bisa dipastikan
orang yang melakukannya memiliki tenaga dalam
hebat. Apa betul kitab yang banyak dicari-cari tokoh
persilatan itu telah jatuh ke tangan Kaliambar" Dan,
apakah semua isinya telah dipelajari selama sebelas
tahun, sehingga mampu berbuat seperti ini"
Kemudian terbayang dalam benak Ki Cokorda, apa
yang dikatakan Ki Ajar Ningrat tadi. Bisa jadi,
memang demudan. Buktinya Kaliambar bukanlah
tokoh golongan lurus. Bukan saja akan menjadi
ancaman tokoh-tokoh persilatan golongan lurus, tapi
akan membuat keonaran bagi orang yang tak tahu
apa-apa. "Bagaimana, Ki Cokorda?" Ki Ajar Ningrat
mengulangi pertanyaannya dengan suara datar.
"Baiklah. Siapa yang bersedia bergabung denganku?" sahut Ki Cokorda sambil
bangkit berdiri.
"Apakah Ki Cokorda akan mendatangi tempat Ki
Kaliambar dan menghukumnya?" tanya salah
seorang. Namanya Kertosono.
"Ya!" sahut Ki Cokorda mantap.
"Kalau begitu, aku ikut!" sahut Kertosono.
"Aku juga!" sahut Ki Paluh Dugan, diikuti yang lain.
Jumlah yang ingin membuat perhitungan pada
Kaliambar kini berempat Sementara, sisanya diam
tak bicara. Mungkin ada yang tak setuju dengan
rencana itu. Tapi, Ki Cokorda tak menyinggung lebih
lanjut. Padahal, pada mulanya mereka tadi begitu
menggebu-gebu ingin membunuh dan menghukum
Kaliambar. "Kami akan mencari cara lain, meski tujuan kita
sama...," sahut Ki Ajar Ningrat pelan seperti mewakili
yang lain. "Baiklah. Kalau demikian, kami permisi dulu!"
sahut Ki Cokorda, seraya bangkit berdiri.
Dan bersama ketiga orang kawannya, Ki Cokorda
meninggalkan ruangan utama padepokan itu dengan
langkah tergesa-gesa. Ki Ajar Ningrat sendiri
tampaknya tak berusaha menghalang-halangi. Sejak
tadi, kelihatannya memang sudah timbul perang
dingin di antara mereka. Hal itu memang tak heran,
karena sejak dulu telah tertanam rasa persaingan di
antara mereka. Dan tentu saja persaingan dalam hal
kedigdayaan. *** "Eyang Guru! Eyang Guru...!"
Salah seorang murid Ki Ajar Ningrat tergopohgopoh mendatangi ruang utama itu.
Setelah menjura
hormat, wajahnya diangkat dengan napas tersengal.
Ki Ajar Ningrat yang saat itu sedang tersenyum
kecil, seketika kaget melihat kedatangan seorang
muridnya. "Ada apa"!"
"Kakang Prawiro dan empat orang murid lain yang
tadi disuruh berkeliling, kedapatan telah tewas
dengan luka mengerikan," lapor murid itu, terbata.
"Apa"!"
Sepasang alis Ki Ajar Ningrat terangkat tinggi.
Orang tua itu langsung bangkit dengan wajah kaget.
Begitu pula ketiga orang tamunya yang masih berada
di ruangan itu.
"Siapa yang melakukan semua itu?" bentak Ki Ajar
Ningrat. "Eh! TI..., tidak tahu, Eyang. Me..., mereka tewas
dengan tubuh hampir membusuk dan menyebarkan
bau yang menyengat hidung...," sahut murid itu.
"Bedebah!" Ki Ajar Ningrat menggeram.
Ketiga tamunya saling berpandangan dengan
wajah heran. "Apakah itu bukan perbuatan Ki Kaliambar?" tanya
Ki Mangsa Totok.
"Pasti dia! Siapa lagi yang memiliki ilmu iblis itu
kalau bukan dia!" dengus Ki Ajar Ningrat, dengan
wajah geram dan kemarahan meluap.
"Apa yang kita lakukan sekarang terhadapnya, Ki?"
tanya Ki Pandanaran.
"Sebaiknya, kita bergabung dengan Ki Cokorda
dan yang lain. Dengan begitu akan lebih mudah
membinasakannya!" usul Ki Mangsa Totok.
"Tidak! Kita harus bersabar sampai menunggu
hasil kerja mereka. Setelah itu, baru kita pikirkan
langkah yang tepat!" tegas Ki Ajar Ningrat
"Tapi untuk apa lagi bersabar, Ki" Semua sudah
jelas. Dan kesabaran kita toh, tak akan membuat Ki
Kaliambar surut atau menghentikan sepak terjangnya. Lebih baik, kita bergabung
saja dengan Ki Cokorda dan kawan-kawannya!" sambung Ki
Pandanaran. Dan baru saja Ki Ajar Ningrat akan bersuara....
"Aaa...!"
Tiba-tiba dari luar terdengar jeritan melengking
tinggi. "Heh"!"
Mereka semua terhentak kaget Tapi, Ki Ajar
Ningrat telah lebih dulu melompat keluar.
"Keparat! Tikus itu rupanya mau bermain-main
denganku, huh!"
Begitu tubuh Ki Ajar Ningrat keluar, ketiga orang
tamunya ikut melesat untuk melihat apa yang telah
terjadi. Dan begitu mereka tiba di halaman depan, tampak
banyak murid Ki Ajar Ningrat tengah mengerubungi
tujuh orang murid lain yang berada di pagar depan,
yang kedapatan tewas. Tampak dada kiri mereka
hangus seperti terbakar, serta mengeluarkan bau
busuk yang menusuk hidung. Ki Ajar Ningrat
memandang ke sekeliling murid-muridnya yang
berada di situ.
"Siapa yang melakukan semua ini"!" dengus orang
tua itu, garang.
Namun tak satu pun dari muridnya yang menjawab. Wajah mereka tertunduk lesu dan
takut-takut "Tolol! Apa mata kalian buta tak bisa melihat,
siapa yang melakukannya, hah"!" bentak Ki Ajar
Ningrat garang.
"Ha ha ha...! Orang tua dungu! Kaulah sebenarnya
yang tolol!"
"Heh"!"
Ki Ajar Ningrat dan beberapa orang yang berada di
tempat itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar
suara tawa yang diiringi ejekan. Tampaknya suara itu
disertai tenaga dalam, sehingga menggema ke
seluruh sudut-sudut tempat itu.
"Orang tolol memang patut mampus dan tiada
gunanya hidup!"
Kembali terdengar suara bernada ejekan, yang
belum diketahui jetas asalnya.
"Pengecut hina! Tunjukkan dirimu! Kaukah yang
melakukan ini terhadap murid-muridku"!" bentak Ki
Ajar Ningrat disertai tenaga dalam, sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Sementara ketiga tamu Ki Ajar Ningrat juga sama
belum bisa mengetahui, di mana orang yang
mengirimkan suara itu bersembunyi. Padahal dalam
dunia persilatan, mereka bukanlah orang sembarangan. Namun suara tadi seperti dikeluarkan
dari arah yang berbeda!
"Ha ha ha...! Tua bangka busuk! Kaulah yang
pengecut! Dan bagi seorang pengecut, hanya ada
satu jalan keluar. Mati!"
Kembali terdengar suara yang seperti bergaung di
tempat itu. Hal ini tentu saja membuat Ki Ajar Ningrat semakin geram, karena merasa
dipermainkan. "Kalau memang merasa berani, tunjukan dirimu!
Ingin kulihat, bagaimana muka orang sombong
sepertimu!" bentak Ki Ajar Ningrat semakin geram.
"Baiklah. Nah! Ikutlah denganku. Dan urusan kita
diselesaikan berdua. Kau tentu tak akan menolak,
bukan" Aku yakin, kau seorang tokoh pemberani dan
tak mengenal takut! Ha ha ha...!"
Brusss! "Heh"!"
Ki Ajar Ningrat sempat melihat sekelebatan
bayangan dan sebatang pohon berdaun rimbun di
depan pondoknya yang melesat cepat ke arah
selatan. Ki Ajar Ningrat mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mengejar.
Bersamaan dengan itu pula,
terlihat beberapa orang murid utamanya menyertai
dan belakang, karena merasa khawatir akan
keselamatan gurunya.
Baru saja Ki Ajar Ningrat lenyap bersama muridmuridnya, sekonyong-konyong
melesat satu bayangan
coklat mengenakan selubung kepala warna merah
darah. Sebentar saja, sosok berpakaian coklat itu
mendarat di depan ketiga tamu Ki Ajar Ningrat
Badannya tegap, dan sorot matanya yang terlihat dan
dua belah lubang di topeng begitu tajam menusuk.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Siapa sangka
han ini pekerjaanku akan sedemikian mudah
dilakukan" Dalam sekali tepuk, banyak nyawa
melayang!" kata orang berbaju coklat dan bertopeng
itu tertawa lebar.
"Siapa kau"!" bentak Ki Mangsa Totok garang.
"Aku malaikat maut yang akan mencabut
nyawamu!" sahut orang bertopeng merah itu, mendengus sinis.
"Kurang ajar! Jangan sembarangan kau bicara!"
Sret! Dengan wajah berang Ki Mangsa Totok langsung
mencabut golok dan bersiap akan menyerang orang
bertopeng itu. Namun yang akan diserang teriihat
tenang-tenang saja; seperti tak takut sedikit pun.
"Tahan, Ki Mangsa! Bersabarlah, jangan gampang
terpancing," cegah Ki Pandanara. Orang tua berusia
empat puluh tahun yang bertubuh kecil dan berkumis
tipis itu agaknya menangkap gejala aneh dari
kemunculan manusia bertopeng ini.
"Untuk apa" Sudah jelas tujuannya ingin
mengacau di sini," ujar Ki Mangsa Totok, sedikit
kecewa. Ki Pandanaran tak menghiraukan kata-kata
sobatnya. Dipandangnya orang bertopeng itu dengan
sorot mata curiga.
"Hm.... Kau sengaja memancing Ki Ajar Ningrat,
bukan" Apa maksudmu" Siapa sebenarnya yang kau
inginkan. Kami, atau Ki Ajar Ningrat" Aku tak tahu,
bagaimana cara kau melakukannya. Namun, kupuji
kepandaianmu," kata Ki Pandaran, datar.
"Kau sungguh cerdik, Kisanak. Tapi itu bukan
berarti kau akan luput dari tanganku. Aku tak
memilih-milih korban. Yang jelas, siapa pun orangnya
yang ikut dalam pembantaian terhadap Ki Dewoko
dan Nyi Kumiasih, akan mampus di tanganku!" sahut
orang bertopeng itu dingin.
Ketiga orang itu tercekat kaget. Ki Pandanaran
berusaha menahan keterkejutannya, dan menarik
napas dalam-dalam dengan tenang.
"Siapa kau sebenarnya. Dan, apa hubunganmu
dengan Ki Dewoko dan Nyi Kumiasih?" tanya Ki
Pandaran, agak tercekat suara?ya.
"Kau tak perlu tahu. Sekarang, bersiaplah untuk
Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima kematian kalian, Anjing-anjing Geladak!"
dengus orang bertopeng yang sebenarnya Panjalu itu.
"Kurang ajar! Kau pikir, siapa dirimu berani
berkata begitu!" maki Ki Mangsa Totok.
Dengan geram, orang tua itu langsung mengayunkan goloknya ke arah Panjalu dengan
cepat dan bertenaga dalam tinggi, disadari kalau orang
bertopeng itni bukanlah orang sembarangan. Itulah
sebabnya, dia tak mau gegabah dengan meladeninya
secara sembarangan. Dalam serangan awal saja Ki
Mangsa Totok telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Namun sampai sejauh ini, orang tua itu belum bisa
menjatuhkan lawannya. Manusia bertopeng itu
bergerak amat lincah dalam menghindari setiap
serangan-serangan berbahaya.
"Keparat! Kali ini kau tak akan lolos dari golokku.
Yeaaa...!"
Golok di tangan Ki Mangsa Totok menyambar ke
arah leher. Namun Panjalu cepat bergerak mundur
sambil mengayunkan kaki kanannya ke lambung.
"Hiyaaa...!"
Ki Mangsa Totok cepat menyabetkan goloknya,
hendak membabat buntung kaki orang bertopeng
yang hendak terayun. Namun di luar dugaan, Panjalu
cepat melenting ke atas melewati kepala orang tua
itu. Begitu cepat gerakannya, ketika Panjalu
melepaskan satu pukulan ke arah kepala, saat
tubuhnya berada di udara. Sehingga....
Prak! "Aaa...!"
Ki Mangsa Totok menjerit melengking tinggi ketika
kepalanya remuk terhantam pukulan Panjalu.
Tangannya yang memegangi kepala telah berlumuran
darah. Sebentar saja tubuhnya ambruk, dan tak
bangun-bangun lagi.
Melihat keadaan ini, Ki Pandanaran dan rekannya
yang bemama Ki Rampak terkejut setengah mati.
Namun, mereka tidak menampakkan pada raut
wajah. *** "Huh! Kau memang tak bisa dikasih hati. Tapi
jangan harap kami takut ancamanmu!" dengus Ki
Pandanaran, siap memasang kuda-kuda untuk
menyerang lawan. Demikian pula Ki Rampak, yang
telah siap menggunakan pedangnya. Sementara Ki
Pandanaran hanya mengandalkan tangan kosong.
"Tak usah berbasa-basi, Orang Tua. Kehadiranku
ke sini memang untuk mencabut nyawa busukmu!"
sahut Panjalu dingin.
"Sombong! Lihat serangan!" bentak Ki Rampak.
"Yeaaa...!"
Pada saat yang sama Ki Pandanaran juga
menyerang. Orang bertopeng yang di dalamnya tersembunyi
Wajah Panjalu tersenyum dingin. Tubuhnya bergerak
ke samping, menghindari tebasan pedang Ki Rampak
sambil menangkis pukulan Ki Pandanaran dengan
tangan kanan. Wut! Plak! "Ukh...!"
Ki Pandanaran seketika terjajar mundur beberapa
langkah. Mulutnya meringis, karena tangannya terasa
kesemutan akibat benturan tadi. Dan dari situ bisa
diketahui kalau tenaga dalam lawan berada di
atasnya. Diam-diam hatinya mengeluh. Dia tak tahu,
bagaimana kalau lawan mengerahkan tenaga
sekuatnya" Rasanya sulit membayangkan hal itu.
Sementara itu Ki Rampak tampak mulai terdesak
hebat. Serangan gencar Panjalu yang menuju arah
jantung dan ulu hati membuatnya jungkir-balik. Dan
begitu telah mempunyai jarak yang cukup, Ki Rampak
kembali melesat dengan sambaran pedang ke leher.
Namun, agaknya orang bertopeng itu telah
memperhitungkannya. Maka dengan gesit, tubuhnya
bergerak ke belakang sambil merendahkan kepala.
Lalu dia cepat melompat ke samping kanan disertai
satu ayunan kaki bertenaga dalam menuju ke rahang
Ki Rampak. "Yeaaa...!"
"Eh, hup!"
Ki Rampak tersentak kaget Buru-buru pedangnya
diayunkan untuk menebas kaki Panjalu. Namun
manusia bertopeng itu cepat menarik kakinya. Dan
tanpa disangka-sangka, kepalan tangan kirinya
diayunkan ke arah dada. Begitu cepat gerakannya,
sehingga tak sempat lagi dihindari Ki Rampak.
Maka.... "Hihhh!"
Begkh! "Aaa...!"
Ki Rampak memekik nyaring sambil mendekap
dadanya. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk
dan berkelojotan. Tak lama kemudian, nyawanya
melayang. Maka seketika bau busuk menyeruak dari
tubuhnya ke sekitarnya.
"Keparat! Kau harus membayar kematiannya!
Yeaaa..." bentak Ki Pandanaran garang.
Orang tua itu segera melompat mengerahkan satu
pukulan mautnya yang bernama 'Pikul Kematian' Dari
telapak tangannya menderu seberkas cahaya
berwarna keperakan menerpa orang bertopeng itu.
"Hup!"
"Mampus!"
"Belum, Sobat. Ka?lah yang akan menerimanya
sebentar lagi," sahut Panjalu kalem, sambil melompat
menghindar. Langsung dibalasnya serangan itu
dengan menghantamkan pukulan mautnya.
"Rasakan pukulan 'Angin Sesat' ini!" dengus orang
bertopeng itu geram. "Yeaaa...!"
Begitu tangan Panjalu terhentak, seberkas cahaya
kelabu agak kehitaman melesat, bagai ujung cambuk
yang menderu ke arah Ki Pandanaran. Bahkan
serangan itu menimbulkan angin kencang berhawa
panas. "Heh"!"
Ki Pandanaran terkejut setengah mati, melihat
serangan orang bertopeng itu. Seketika tubuhnya
melenting tinggi, menghindari ancaman maut itu.
Werrr...! Brukkk! Tepat ketika cahaya kelabu agak kehitaman itu
menghantam sebuah pohon hingga hancur, kakinya
mendarat di tanah.
"Uhhh...!"
Jantung Ki Pandanaran berdegup kencang, setelah
baru saja terlepas dari serangan maut yang
dilancarkan orang bertopeng itu. Hal itu tentu saja
membuat Ki Pandanaran bergidik ngeri. Bagaimana
mungkin" Padahal pukulan orang bertopeng itu kelihatan tidak begitu keras.
Dan belum lagi keterkejutannya lenyap, orang
bertopeng itu sudah bergerak cepat ke arah Ki
Pandanaran. Orang tua itu baru menyadari, ketika
kepalan tangan lawan hampir menghantam batok
kepalannya. Maka buru-buru kepalanya ditundukkan.
Namun.... Des! "Aaakh...!"
Tak urung pelipis Ki Pandanaran terkena hajaran
dengan telak. Orang tua itu memekik kesakitan
dengan tubuh terjungkal ke belakang. Namun, orang
bertopeng itu agaknya tak mau menyia-nyiakannya.
Tubuhnya langsung mencelat sambil mengayunkan
kaki kanan, sebelum Ki Pandanaran menyentuh
tanah. Begkh! "Ekh...!"
Ki Pandanaran hanya bisa mengeluh kecil, ketika
tubuhnya kembali terjungkal terkena tendangan
Pembunuh Dari Jepang 2 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemanah Rajawali 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama