Ceritasilat Novel Online

Tengkorak Hitam 1

Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Bagian 1


1 Siang ini teramat panas. Tanah kelihatan merekah kekurangan air.
Rerumputan meranggas kering kerontang. Bangkai-bangkai binatang tampak bergeletakkan di sepanjang jalan tanah berdebu yang panas terbakar matahari. Entah,
sudah berapa lama kemarau ini berlangsung, seolah tidak akan pernah berakhir.
Langit selalu terlihat bening, tanpa sedikit pun awan menggantung. Angin yang
bertiup, menyebarkan udara kering. Sehingga tidak ada satu makhluk pun yang bisa
bertahan hidup di claerah ini.
Namun di bawah sengatan matahan yang panas dan tanah merekah ini, terlihat
sepasang kaki kekar melangkah tegap menelusuri jalan tanah berdebu yang pecah
terbakar teriknya sang Mentari. Sepasang kaki kekar milik seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun itu, seakan tidak peduli pada keadaan
sekelilingnya. Kakinya terus melangkah terayun mantap, dengan tatapan mata tajam tertuju lurus
ke depan. Seakan-akan ada satu harapan yang sedang dituju laki-laki berbadan
tegap dan berbaju dari kulit binatang itu di depan sana.
Wajah yang seharusnya tampan, tidak lagi terlihat
ketampanannya, karena tertutup debu yang melekat bercampur keringat. Entah,
sudah berapa hari tubuhnya tidak pernah dibersihkan lagi. Rambut-rambut kasar
sudah terlihat hampir memenuhi seluruh wajahnya. Tapi, keadaan dirinya sama
sekali tidak dipedulikaa Dia terus berjalan dengan ayunan kaki mantap, menapak
tanah merekah terbelah dibakar terik matahari. Namun tiba-tiba saja, ayunan
langkahnya terhenti. Seketika, kepalanya bergerak miring ke kiri.
"Hm.... Aku seperti mendengar suara aliran air dari sebelah kiri...,"
gumam laki-laki itu perlahan, bicara pada diri sendiri.
Sebentar laki-laki berbaju kulit binatang itu terdiam, menajamkan
pendengarannya. Suara gemericik air yang semula hanya sayup-sayup, kini semakin
jelas sekali mengusik telinganya. Entah kenapa, tiba-tiba saja bibirnya yang
sudah kering dan pecah-pecah
menyunggingkan sebuah senyum tipis. Kemudian, kakinya kembali terayun
menghampiri arah gemericik air yang terdengar tadi.
Semakin jelas suara itu terdengar, semakin cepat saja ayunan langkah kakinya.
"Ah! Tidak salah pendengaranku. Ada sungai di depan sana...,"
desah laki-laKi itu gembira.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki muda berbaju kulit binatang berbulu
putih itu langsung berlari cepat, menghampiri sungai kecil yang berada tidak
begitu jauh lagi di depannya. Namun belum juga sampai ke sungai itu, tiba-tiba
saja.... "Wusss...!"
"Heh..."! Hup!"
Cepat pemuda itu melompat sambil memutar tubuhnya ke belakang, begitu tiba-tiba
terlihat sebatang tombak panjang melesat begitu cepat dari depan. Dan tombak itu
menancap tepat di tanah, tempat dia berdiri tadi. Lalu kakinya manis sekali
menjejak kembali di tanah. Namun belum juga bisa menarik napas, dari balik
bebatuan yang ada di te-pian sungai kecil itu berlompatan lima orang laki-laki
berusia lanjut, dengan pakaian sudah compang-camping tidak berbentuk lagi.
Mereka semua menggenggam tombak kayu yang cukup panjang ukurannya.
Gerakan-gerakan mereka begitu ringan. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun
juga, kaki mereka menjejak secara bersamaan, sekitar tujuh langkah lagi di depan
pemuda ini. Lima orang tua itu seperti gelandangan saja. Tapi, dari cara berge
rak tadi, sudah bisa dipastikan kalau mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Ilmu meringankan tubuh mereka sudah cukup tinggi tingkatannya. Hingga tidak
menimbulkan suara sedikit pun saat melompat dari balik batu, dan menjejakkan
kakinya di tanah tadi.
"Siapa kalian" Kenapa tiba-tiba menyerangku..?" tanya pemuda berbaju kulit
binatang itu dingin nada suaranya.
"Pergilah, Orang Asing! Kami tidak mengharapkan kedatanganmu di sini!" bentak
salah seorang, kasar.
"Maaf.... Apakah kedatanganku mengganggu kalian?" tanya pemuda itu, mencoba
ramah. Namun, tetap terdengar dingin nada suaranya.
"Semua orang yang datang ke tempat ini hanya akan membawa bencana. Sebaiknya,
cepat pergi, sebelum kami bertindak keras padamu!" bentak orang tua itu lagi,
masih dengan suara kasar.
"Aku tidak akan mengganggu kalian. Aku hanya ingin melepaskan dahaga saja. Boleh
minta sedikit air sungai itu...?"
"Air itu milik kami. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya. Sebaiknya,
cepat pergi, Anak Muda. Jangan membuat kesabaran kami hilang!"
Kening pemuda berbaju kulit binatang itu jadi berkerut Walaupun masih bisa
bertahan tanpa air, tapi untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh dan harus
melintasi daerah sangat kering ini, rasanya dia tidak akan mungkin bisa bertahan
lebih lama lagi. Sekarang pun, tenggorokannya sudah terasa begitu kering.
Mungkin hanya dengan setetes air saja, bisa menambah daya tahannya dalam
melanjutkan perjalanan, agar bisa keluar dari daerah yang sangat gersang ini.
Tapi, tampaknya tenggorokannya yang kering tidak mudah begitu saja disegarkan.
Lima orang tua ini sudah tentu tidak akan membiarkan air sungai itu tersentuh
olehnya. "Kisanak! Aku hanya menginginkan sedikit saja air sungai itu. Dan aku akan
segera pergi dari sini tanpa harus membuat kerugian pada kalian," kata pemuda
itu lagi, masih mencoba tidak bermain kasar.
"Sudah kukatakan, tidak ada air untukmu. Anak Muda! Cepatlah pergi, sebelum
kepalamu terpisah dari leher!"
"Hm..."
Kembali kening pemuda itu jadi berkerut, mendengar ancaman yang tidak bisa
dipandang main-main lagi. Dan tampaknya, lima orang tua ini juga tidak suka
berbaik hati untuk membagi airnya.
Sedikit pemuda itu mengangkat bahunya, kemudian melangkah menuju sungai, tanpa
mempeduli-kan lima orang tua yang langsung mendelik.
"Anak muda keparat...! Rupanya kau keras kepala juga, heh..."!"
bentak salah seorang dari lima orang tua itu geram.
Tapi pemuda berbaju kulit binatang berbulu pu tih itu Bdak lagi mempedulikannya
Kakinya terus saja melangkah, melewati kelima orang tua itu. Tapi belum juga
sampai ke sungai, lima orang tua itu sudah cepat berlompatan menghadangnya.
Malah salah seorang langsung saja memberi sodokan tangan kiri yang sangat cepat
dan keras ke arah dada.
"Haiiit...!"
*** Namun dengan gerakan gesit sekali, pemuda itu berhasil menghindari sodokan orang
tua berbaju compang-camping dan kotor itu. Dan sambil memutar tubuhnya,
dilepaskannya serangan balasan berupa satu pukulan keras, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi pada orang tua yang menyerangnya tadi
"Hap!"
Namun orang tua itu tidak berusaha berkelit menghindarinya.
Bahkan pukulan itu langsung ditangkis dengan tangan kiri, hingga pukulan tangan
kanan pemuda ini jadi menghantam tangan kiri orang tua ini dengan keras.
Plak! "Ikh..."!
Pemuda itu jadi terpekik kaget. Cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah.
Tapi, orang tua itu juga tersentak kaget setengah mati. Sungguh tidak disangka
kalau kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini sungguh luar biasa. Malah
bibirnya sampai meringis ketika tubuhnya melompat ke belakang dan berputaran di
udara tiga kali, sebelum menjejak tanah. Empat orang tua lainnya juga tampak
terkejut melihat adu kekuatan tenaga dalam tadi.
Mereka juga tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki kekuatan tenaga dalam
tinggi. "Seraaang...!"
Belum lagi lenyap teriakan orang tua yang tadi mengadu kekuatan tenaga dalam,
empat orang tua lainnya langsung cepat berlompatan menyerang secara bersamaan.
Namun, pemuda berbaju kulit binatang itu memang bukanlah pemuda sembarang-an.
Dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah, semua serangan dari empat orang
tua ini berhasil dielakkannya. Bahkan cepat bisa melancarkan serangan balasan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Akibatnya, orang-orang tua itu jadi terkejut setengah mall.
Sungguh tidak disangka kalau mereka akan mendapat balasan yang begitu hebat.
"Beri dia pelajaran! Hiyaaat...!"
"Yeaaa...!"
Kini pemuda itu dikeroyok lima orang tua yang semuanya menggunakan senjata
tombak Tentu saja dia juga tidak mau mati konyol di tempat gersang yang sangat
asing bagi dirinya. Maka pedangnya yang sejak tadi tersandang di punggung cepat
dicabut. Kini kilatan cahaya putih keperakan dari pedang itu tampak bergulung-gulung
cepat sekali, menyambar setiap hujaman tombak yang mengancam tubuhnya.
Tring! Trang! "Ikh..."!"
Pemuda itu jadi terkejut setengah mati, ketika pedangnya beberapa kali
berbenturan dengan tombak-tombak lawannya.
Sungguh tidak disangka kalau tombak-tombak yang kelihatannya terbuat dari kayu
rapuh, ternyata memiliki kekuatan tidak kalah dari besi baja. Dan setiap kali
terjadi benturan, tangan pemuda itu terasa jadi bergetar. Saat itu juga, cepat
disadari kalau lima orang tua yang menjadi lawannya ini, memiliki kepandaian
yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Awas kaki...!"
Tiba-tiba saja, salah seorang laki-laki tua itu membentak nyaring.
Dan tombaknya langsung dikebutkan berputar, menyambar ke arah kaki. Namun,
pemuda itu manis sekali melompat menghindarinya.
Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali orang tua lainnya sudah
melompat sambfl melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kiri dari arah
samping kanan. "Huphs...!"
Cepat-cepat pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang, hingga pukulan orang tua
itu hanya lewat di depan dada. Namun, ketika satu tendangan lawan lain meluncur
deras dari arah belakang tidak bisa lagi dihindarinya. Hingga...
Dugkh! "Akh...!"
Keras sekali tendangan yang mendarat di punggung pemuda itu, hingga membuatnya
jatuh tersungkur. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah yang kering dan berdebu
ini, namun cepat bisa bangkit berdiri kembali. Dan belum juga bisa menegakkan
tubuhnya, salah seorang lawan sudah melompat cepat bagai kilat Bahkan langsung
melepaskan satu tendangan menggeledek, disertai teriakan keras menggelegar.
"Hiyaaat..!"
Begitu cepat serangan itu berlangsung, hingga pemuda berbaju kulit binatang yang
belum juga siap ini tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....
Duk! "Akh...!"
Kembali pemuda itu memekik keras, begitu tendangan bertenaga dalam cukup tinggi
mendarat telak di dadanya. Seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang,
dan jatuh menghantam tanah dengan keras. Maka kembali terdengar suara pekikan
agak tertahan. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Dan pada saat itu juga, lima orang
tua ini sudah berlompatan secara bersamaan. Dan
bersamaan pula, mereka menjejakkan kaki di sekeliling pemuda berbaju kulit
binatang itu. Ujung tombak mereka yang runcing dan terhunus, langsung menempel
di dada yang terbuka dan menggeletak menelentang di tanah.
Namun, tidak seorang pun yang menghujamkan tombak, sehingga pemuda itu jadi tak
mengerti tanpa bisa berbuat sesuatu. Dan dia hanya bisa mendelik matanya
memandangi wajah-wajah tua keriput yang siap menghujamkan tombak ke dada nya.
"Kenapa tidak membunuhku..."! Ayo, lakukan! Kalau itu yang kalian inginkan!"
bentak pemuda itu, pasrah.
Tapi, tetap saja tidak ada seorang pun yang menghujamkan tombaknya. Malah mereka
menarik kakinya ke belakang, dan menarik tombak dari dada pemuda itu. Sikap
orang-orang tua itu membuat pemuda ini jadi tidak mengerti. Dia beringsut
sedikit, lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. Sambil meraih pedangnya yang
tergeletak di sampingnya, perlahan dia kembali berdiri tegak.
Kedua bola matanya yang tajam, memandangi wajah lima orang tua yang kini sudah
kembali berada di depannya, berjarak sekitar lima langkah saja. Mereka juga
memandangi pemuda itu dengan sinar mata tidak kalah tajamnya.
"Kenapa kalian tidak membunuhku" Apa kalian tidak berani lagi membunuh orang
kalah...?" desis pemuda itu, dingin bernada mengejek.
"Kau memang keras kepala, Anak Muda. Tapi kepandaianmu sangat kami hargai Dan,
orang se-pertimulah yang kami tunggu-tunggu sejak lama," kata orang tua yang
berdiri di tengah-tengah.
"Apa maksudmu...?" tanya pemuda itu jadi tidak mengerti
*** "Dengar, Anak Muda. Kami adalah lima orang tua yang sudah kehilangan masa
kejayaan, dan tidak bisa lagi menikmati indahnya dunia. Kami terpaksa harus
mengasingkan diri ke tempat yang kering dan mematikan ini. Terus terang, kami
berlima membutuhkan
seorang anak muda sepertimu. Berbakat, keras kepala, dan punya keberanian yang
tidak dimiliki orang lain."
Pemuda itu hanya diam saja mendengarkan. Namun, masih belum juga bisa dipahami
kata-kata orang tua yang mengenakan baju wama hitam, kotor, dan compang-camping
itu. Sedangkan empat orang tua lain hanya diam saja. Seakan, mereka tidak punya
hak untuk bersuara.
"Sudah beberapa orang yang datang ke sini dan membutuhkan air dari sungai ini.
Tapi, mereka semua langsung lari tunggang langgang begitu mendengar ancaman
kami. Dan ternyata, kau tidak. Anak Muda.... Kau malah menentang kami, dan bisa
menahan lima jurus.
Pemuda sepertimulah yang diharapkan bisa mewarisi ilmu-ilmu kami, dan meneruskan
cita-cita kami untuk menguasai seluruh rimba persilatan," lanjut orang tua itu.
"Apa..."!"
Pemuda itu jadi tersentak kaget setengah mati, mendengar kata-kata orang tua
yang tadi menjadi lawannya bertarung. Sungguh tidak disangka, kalau lima orang
tua yang memiliki kepandaian sangat tinggi ini, sebenarnya sedang mencari
seorang murid yang bisa mewarisi ilmu-ilmunya. Entah, perasaan apa yang ada
dalam dada pemuda itu. Dipandanginya wajah-wajah tua itu satu persatu. Slivir
matanya seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Berlututlah kalau kau memang ingin mewarisi ilmu-ilmu dari lima Pemimpin Partai
Tengkorak Hitam yang pernah menguasai lima penjuru dunia persilatan," kata orang
tua berbaju hitam compang-camping itu dengan suara agak berat.
"Oh..."!"
Entah kenapa, pemuda itu jadi terlongong bengong. Seakan tidak dipercayai kalau
sekarang benar-benar menghadapi sebuah kenyataan. Bukan hanya mimpi belaka!
Tidak pernah terlintas dalam angan-angannya, bisa bertemu lima Pemimpin Partai
Tengkorak Hitam yang namanya sangat ditakuti semua tokoh persilatan di lima penjuru rimba
persilatan di muka bumi ini.
Namun, memang sudah sepuluh tahun ini nama Partai Tengkorak Hitam menghilang
dari rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang tahu, apa sebabnya. Semua
orang hanya tahu kalau kakuatan Partai Tengkorak Hitam dilima penjuru rimba
persilatan sudah dihancurkan para pendekar golongan putih yang bergabung menjadi
satu. Dan selama sepuluh tahun ini, tidak ada seorang pun yang pernah lagi
mendengar keberadaan mereka. Tapi sekarang, mereka berada di tempat ini, di
daerah gersang yang sedikit pun tidak ada napas kehidupannya Dan mereka kini
berhadapan dengan seorang pemuda tangguh, yang diharapkan bisa mewarisi ilmuilmu mereka. "Bagaimana, Anak Muda..." Kau bersedia menjadi murid kami, dan mewarisi ilmuilmu gabungan dan lima Pemimpin Partai Tengkorak Hitam .?" tanya orang tua itu,
setelah cukup lama terdiam membisu.
"Aku... aku tidak tahu...,'' ujar pemuda itu jadi tergagap. Pemuda berbaju kulit
binatang itu memang kelihatan kebingungan sekali. Sulit untuk langsung bisa
memutuskan, menerima atau menolak tawaran lima orang tua yang dalam waktu
sepuluh tahun lalu menguasai seluruh rimba persilatan ini. Memang sulit untuk
bisa memutuskan, karena semua orang tahu, siapa orang-orang tua ini Mereka
tentulah orang-orang yang sangat kejam. Bahkan kekejamannya melebihi iblis-iblis
neraka. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja yang tidak disukai. Bahkan
kesalahan yang hanya sedikit saja, membuat nyawa manusia melayang. Itulah
sebabnya, kenapa para pendekar golongan putih begitu membenci. Tak heran kalau
para pendekar bergabung menjadi satu, menghancurkan partai mereka di lima
penjuru dunia persilatan. Malah, tak sedikit dari pengikut Partai Tengkorak


Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hitam yang memberontak, karena tidak tahan menerima perlakuan kejam kelima orang
tua ini. Mereka memang tak segan-segan membunuh anak buahnya sendiri, walau
hanya sedikit saja kesalahan yang dilakukan.
"Bagaimana, Anak Muda..." Kau bersedia menerima tawaranku?"
desak orang tua itu lagi.
"Kalau aku menerima, apa yang harus kulakukan?" pemuda itu malah balik bertanya.
"Membangun kembali masa kejayaan Partai Tengkorak Hitam."
"Lalu...?"
"Hanya kau pemimpin tunggalnya. Karena, tidak lama lagi kami berlima akan
meninggalkan dunia ini. Kau bisa mengumpulkan sisa-sisa pengikut setia kami yang
kini tercerai berai."
"Hm.... Bagaimana mereka tahu aku yang menjadi pemimpinnya nanti?"
"Kau akan mendapatkan sebuah tanda kepemimpinan tertinggi dari kami berlima.
Dengan tanda itu, mereka semua tidak ada yang berani lagi menentang semua
perintahmu. Kau akan kami jadikan seorang pemimpin besar. Bukan hanya menguasai
lima penjuru rimba persilatan, bahkan seluruh dunia persilatan. Kau akan
menguasai semua raja yang ada di muka bumi ini. Partai Tengkorak Hitam akan
kembali bangkit di tanganmu, Anak Muda."
Pemuda itu jadi terdiam membisu Keningnya tampak berkerut.
Entah, apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Sedangkan lima orang tua yang
dikenal sebagai Pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu masih tetap sabar menunggu
jawaban. "Baiklah. Tawaran kalian kuterima," kata pemuda itu akhirnya.
"Bagus...."
Lima orang tua itu tersenyum cerah, mendengar kesediaan anak muda ini menjadi
muridnya. Seketika pemuda itu langsung menjatuhkan diri, berlutut di depan lima
orang tua Pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu.
"Guru... Terimalah sembah hormat muridmu"
"Ha ha ha...!"
Lima orang tua itu tertawa terbahak-bahak, melihat sikap murid tunggal mereka.
Suara tawa keras mereka menggema bagai hendak meruntuhkan langit Sedangkan anak
muda berbaju kulit binatang itu
masih tetap berlutut, dengan kedua telapak tangan merapat di depan dada. Dan
tubuhnya baru bangkit berdiri setelah diperintahkan salah seorang guru barunya.
"Mulai sekarang, kau menjadi pewaris tunggal Partai Tengkorak Hitam," kata lakilaki tua berbaju hitam yang pada bagian punggungnya bergambar kepala tengkorak
berjumlah lima.
"Siapa namamu?" tanya orang tua yang pakaiannya bergambar kepala tengkorak
berjumlah empat.
"Bragata."
"Dengar, Bragata. Kau tidak boleh tahu nama kami yang sebenarnya. Kau hanya
boleh memanggil kami dengan sebutan Eyang, berdasarkan urutan. Aku Eyang
Lima..." "Aku Eyang Empat."
"Dan aku...,"
Lima orang tua itu masing-masing menyebutkan nama
panggilannya. Sementara pemuda yang mengaku bernama Bragata hanya memandangi
saja satu persatu. Tidak sulit untuk membedakan, walaupun semua mengenakan baju
warna hitam. Karena di punggung mereka tertera gambar kepala tengkorak yang jumlahnya
berlainan. Mungkin. Gambar itu yang menunjukkan tingkatan kepemimpinan mereka.
Semakin banyak jumlahnya, semakin tinggi tingkatannya.
"Aku bersumpah akan selalu mematuhi perintahmu, Eyang," ucap Bragata.
"Ha ha ha...!"
*** 2 Dunia persilatan memang sejalan dengan warna kehidupan. Hitam dan putih. Ada
kejahatan dan kebaikan. Tidak pernah damai dan
tenteram sepanjang zaman. Walaupun sudah banyak partai besar golongan hitam yang
hancur, tapi masih saja ada yang tumbuh kembali. Bahkan, partai kecil beraliran
hitam pun tidak sedikit jumlahnya, membuat dunia persilatan terus bergolak. Di
sisi lain, tidak sedikit bermunculan pendekar muda beraliran putih yang
berkepandaian tinggi. Dan semua pertentangan itu membuat dunia persilatan
semakin ramai, penuh segala macam persaingan.
Sehingga, membuat tanah tidak pernah kering oleh siraman darah yang selalu
tumpah setiap saat.
Dan kini dunia para pendekar penegak keadilan kembali digemparkan oleh munculnya
Partai Tengkorak Hitam yang pada masa dua puluh tahun lalu pernah pudar namanya.
Kelompok itu semakin hari semakin bertambah besar dan kuat. Bahkan, mereka kini
sudah menguasai empat penjuru rimba persilatan, dengan jumlah yang semakin
bertambah besar. Kelompok-kelompok kecil golongan hitam satu persatu mulai
menggabungkan diri dengan Partai Tengkorak Hitam, selalu membuat keonaran di
mana-mana. Mereka selalu bertindak kejam, tidak peduli yang dihadapi. Siapa pun yang
mencoba menentang, tidak pernah diberi kesempatan hidup lagi. Bahkan dalam waktu
tidak begitu lama, sudah tidak terhitung lagi, berapa jumlah pendekar yang mati
di tangan pemimpin tunggal mereka. Lebih jauh lagi, tidak sedikit padepokan
silat yang dihancurkan!
Munculnya Partai Tengkorak Hitam yang semakin bertambah kuat, tentu saja membuat
semua tokoh persilatan golongan putih jadi resah. Bahkan, kabar tentang partai
aliran hitam itu juga sampai di Karang Setra. Raja Karang Setra yang juga
dikenal dengan nama Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, kelihatan
gelisah mendengar kekuatan Partai Tengkorak Hitam. Walaupun belum menjarah
sampai ke Karang Setra, tapi kemunculan mereka yang semakin kuat itu cukup
menggegerkan juga. Dan ini harus diwaspadai.
"Beberapa hari ini kau kelihatan gelisah saja Kakang. Apa yang membuat hatimu
resah....'' tegur Pandan Wangi, ketika sore itu melihat Rangga duduk sendiri di
dalam taman Istana Karang Setra.
Memang, sudah sejak pagi tadi Rangga duduk menyendiri di sana.
Bahkan tidak mengisi perutnya barang sedikit pun juga. Pendekar Rajawali Sakti
yang juga Raja Karang Setra ini mematingkan kepala sedikit, mencoba tersenyum
saat melihat, Pandan Wangi yang sudah berada di sampingnya. Duduknya segera
bergeser sedikit, memberi tempat pada gadis cantik yang dikenal berjuluk si
Kipas Maut. Pandan Wangi mengambil tempat di samping Rangga.
Diperhatikannya wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tampak gelisah sekali. Jelas,
ada sesuatu yang membuatnya jadi resah begitu.
"Kau sudah mendengar apa yang sedang terjadi di luar sana, Pandan...?" ujar
Rangga, malah balik bertanya.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi tidak mengerti.
"Kabar yang selama beberapa hari ini, membuat semua orang dilanda ketakutan,"
kata Rangga, mencoba menjelaskan pertanyaannya tadi.
"Tentang munculnya Partai Tengkorak Hitam itu, Kakang...?"
Pandan Wangi ingin memperjelas.
Rangga hanya mengangguk sedikit saja. Dan Pandan Wangi menghembuskan napas
panjang. Gadis ini kini tahu, apa yang menjadi penyebab keresahan hati Raja
Karang Setra itu. Rupanya kemunculan Partai Tengkorak Hitam-lah yang membuatnya
jadi gelisah seperti ini.
Memang, dalam beberapa hari saja, Partai Tengkorak Hitam yang dalam waktu dua
puluh tahun lalu sudah musnah, kini kembali bangkit menjadi sebuah partai
golongan hitam yang teramat kuat.
Bahkan jumlah pengikutnya lebih besar daripada jumlah prajurit sebuah kerajaan
besar sekalipun.
"Aku juga sudah mendengar banyak tentang mereka, Kakang. Dan kabarnya. Partai
Tengkorak Hitam sekarang ini hanya dipimpin satu orang saja. Tidak seperti
ketika dua puluh tahun lalu. Ada lima orang pemimpinnya. Tapi, tampaknya mereka
sekarang lebih besar lagi.
Bahkan hampir menguasai seluruh penjuru rimba persilatan," jelas Pandan Wangi.
"Itulah yang membuatku jadi tidak tenang, Pandan. Tindakan mereka terlalu brutaL
Walaupun aku sendiri belum melihat, tapi terus terang saja, aku tidak bisa
tinggal diam terus di sini. Aku harus keluar menghancurkan mereka, sebelum
semuanya semakin bertambah parah," kata Rangga agak bergetar nada suaranya..
"Kapan kau akan pergi?" tanya Pandan Wangi ikut semangat.
"Malam ini," sahut Rangga langsung, tanpa berpikir lagi.
"Kalau begitu, aku menyiapkan kuda dulu, Kakang," kata Pandan Wangi.
Belum juga Rangga bisa bersuara, Pandan Wangi sudah bangkit berdiri. Dan kakinya
langsung melangkah, meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri di dalam taman.
Sebentar saja, gadis itu sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Dan Rangga
segera bangkit berdiri, lalu melangkah meninggalkan taman ini. Tampak ada
perubahan pada raut wajahnya. Kini pada wajahnya tidak lagi terlihat kegundahan.
Rangga terus melangkah tegap memasuki istananya yang megah ini. Dua orang
prajurit penjaga pintu taman segera membungkukkan tubuh memberi hormat.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menuju kamamya, dan segera mengunci pintu kamar
itu setelah berada di dalam. Entah, apa yang dilakukannya di dalam kamar itu.
Sementara itu dari ujung lorong, terlihat Cempaka dan Danupaksi berjalan
beriringan menuju kamar peristirahatan Raja Karang Setra itu. Mereka berhenti
melangkah, setelah tiba di depan pintu kamar yang tertutup. Dua orang penjaga di
samping pintu kamar itu segera membungkuk memberi hormat. Dan Danupaksi langsung
mengetuk pintu kamar itu.
"Siapa...?"
"Hamba, Gusti Prabu. Danupaksi dan Cempaka."
"Masuk."
Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu segera membuka pintu kamar, lalu
melangkah masuk ke dalam. Mereka melihat Rangga
sudah kembali mengenakan pakaian pengembaraannya, dengan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti sudah tersandang di punggung.
Mereka tampak heran melihat Raja Karang Setra ini sudah siap hendak melakukan
pengembaraannya kembali. Padahal, baru satu pekan berada di istana ini
"Kakang akan pergi...?" tanya Cempaka langsung.
"Benar, malam ini juga aku harus pergi," sahut Rangga seraya merapikan diri.
"Tapi baru tujuh hari Kakang berada di sini. Kenapa sekarang akan pergi
lagi...?" ujar Cempaka, seakan ingin mencegah kepergian kakak tirinya.
Rangga hanya tersenyum saja, lantas melang kah menghampiri kedua adik Arinya.
Kemudian diajaknya mereka duduk, melingkari meja kecil yang terbuat dari kayu
jati berukir. Dipandanginya mereka satu persatu dengan bibir terus
menyunggingkan senyum.
"Ada sesuatu yang harus kukerjakan di sana, Cempaka. Dan ini kurasakan sangat
penting dan tidak bisa ditunda lagi," kata Rangga coba menjelaskan.
"Tapi, Kakang...."
"Aku sama sekati tidak mengkhawatirkan kera-jaan ini, selama kalian berdua masih
tetap tinggal di sini. Kalian tentu bisa memahami tugasku di dunia persilatan.
Aku sama sekali tidak bisa berpangku tangan dan berdiam diri di balik dinding
Istana ini, sementara di luar sana begitu banyak orang yang membutuhkan bantuan.
Pahamilah aku, Cempaka.... Aku memang bukan seorang raja yang baik. Jiwaku
memang tidak berada dalam istana ini. Dan aku lebih bisa merasakan kedamaian
jiwa, bila berada di luar istana. Di sanalah kehidupanku, Cempaka. Bukan di
dalam istana ini...," kata Rangga mencoba meminta pengertian adik tirinya.
Cempaka hanya diam saja membisu. Walaupun sebenarnya ingin selalu bersama-sama
kakak tirinya, tapi dia harus bisa menyadari kedudukan Rangga yang sebenarnya.
Sebagai seorang pendekar, sudah barang tentu Rangga tidak mungkin tenis menerus
berada dalam istana, walaupun sebenarnya seorang raja. Dan kedudukannya di
istana ini, sudah dilimpahkan pada kedua adik tirinya. Mereka berdualah yang
selama ini memimpin Karang Setra. Sedangkan Rangga sendiri, lebih banyak hidup
dalam pengembaraan, daripada tinggal dalam istananya yang megah.
"Aku pergi malam ini," kata Rangga sambil bangkit berdiri.
"Bersama Kak Pandan, Kakang...?" selak Danupaksi yang sejak tadi diam saja.
"Ya," sahut Rangga, seraya tersenyum.
"Ke mana tujuanmu sekarang, Kakang" Kalau ada sesuatu yang mendesak di sini, aku
bisa lebih mudah menghubungimu," tanya Danupaksi.
"Ke. arah matahari terbit," sahut Rangga.
'Tidak ada tujuan yang pasti?" desak Danupaksi.
"Aku akan terus berjalan ke arah matahari terbit, sampai kembali lagi ke sini,"
sahut Rangga, kembali tersenyum.
Danupaksi kembali terdiam. Memang sulit bisa dipastikan, ke mana seorang
pengembara pergi melangkah. Dan biasanya, seorang pengembara tidak pernah punya
tujuan pasti. Tapi memang seperti biasa, tidak akan sulit menghubungi Rangga,
walaupun tidak jelas tahu ada di mana. Danupaksi cukup mengirimkan utusan untuk
menghubungi Pendekar Rajawali Sakti. Dan biasanya sebelum utusan itu bisa
menemukannya, justru Rangga yang menemui utusan itu lebih dulu.
"Aku pergi dulu," pamit Rangga.
Danupaksi dan Cempaka tidak bisa lagi mencegah. Mereka mengantarkan Pendekar
Rajawali Sakti sampai ke bagian belakang istana ini. Ternyata di sana Pandan
Wangi sudah menunggu dengan dua ekor kuda tunggangan masing-masing yang sudah
siap pelananya.
Sementara saat ini, malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan
Karang Setra ini. Rangga dan Pandan Wangi keluar dari istana itu melalui jalan
rahasia di belakang istana, diantar kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti.
*** Malam sudah sangat larut, ketika Rangga dan Pandan Wangi sampai di luar
perbatasan Kerajaan Karang Setra. Namun kuda mereka masih terus dipacu cepat,
semakin jauh meninggalkan kerajaan yang selalu damai dan tenteram itu, karena
dikelilingi para pendekar berkepandaian tinggi. Sehingga, tidak mudah bagi pihak
luar untuk mengacau.
Sementara kedua pendekar muda dari Karang Setra yang sudah ternama di kalangan
orang-orang persilatan itu, terus memacu cepat kudanya, menyeberangi sebuah
padang rumput yang tidak begitu luas, dan langsung menerobos masuk hutan.
Sang Dewi Malam sudah berada tepat di atas kepala, ketika sepasang pendekar muda
itu tiba di tepi sebuah sungai kecil, yang merupakan tepi hutan yang baru saja
dilewati. Saat itu Rangga menghentikan lari kudanya, tepat di tepian sungai
kecil ini. Pandan Wangi juga ikut menghentikan lari kudanya. Dan sesaat mereka
saling berpandangan, kemudian Rangga melompat turun dari punggung kuda hitam
tunggangannya. Bergegas Pandan Wa ngi ikut turun dan langsung melangkah
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk sesaat, mereka terdiam. Pandangan
mereka tertuju ke seberang sungai yang tidak begitu dalam di depan.
"Kau dengar sesuatu, Pandan?" tanya Rangga tiba-tiba, dengan suara pelan dan
agak ditekan. "Ya, seperti suara pertarungan," sahut Pandan Wangi, juga pelan suaranya.
"Arahnya dari seberang sungai ini, Pandan. Aku rasa cukup jauh dari sini," kata
Rangga mengira-ngira.
Pandan Wangi hanya membisu saja. Dan tanpa bicara lagi, mereka kembali
berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing, dan
langsung cepat menggebahnya. Diseberanginya sungai yang tidak begitu besar ini.
Sebentar saja, mereka sudah berada di seberang sungai. Kuda mereka terus digebah
cepat menuju arah sumber suara yang terdengar sayup-sayup.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Rangga semakin cepat menggebah kudanya, saat suara yang terdengarnya semakin
jelas. Sehingga Pandan Wangi yang menunggang kuda putih jadi tertinggal. Memang,
tidak mungkin bisa mengimbangi lari kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti. Karena, kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu bukanlah kuda sembarangan.
Sedangkan Rangga yang menunggangnya terus semakin cepat menggebahnya. "Hiya!
Hiyaaa...!"
Rangga terus memacu kudanya semakin cepat, ketika tidak jauh di depannya
terlihat kobaran api dari sebuah desa kecil yang sering disinggahinya, setiap
kali pergi mengembara. Dan suara jeritan-jeritan serta denting senjata beradu
yang ditingkahi teriakan-teriakan pertarungan, begitu jelas terdengar. Tampaknya
semua orang di desa itu sedang mempertahankan desanya yang digempur orang-orang
tidak dikenal. "Hup! Hiyaaat...!"
Begitu sampai, Rangga langsung melompat dari punggung kudanya yang masih terus
berlari cepat. Kuda hitam itu seketika menghentikan larinya, sambil meringkik
keras dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, begitu penunggangnya
tidak ada lagi di punggungnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berlompatan,
menghajar orang-orang berpakaian serba hitam yang sedang menyerang desa itu.
"Menyingkir kalian semua...! Selamatkan keluarga kalian masing-masing...!" seru
Rangga, menyuruh penduduk desa yang sedang bertempur untuk menyingkir.
"Hiyaaat...!"
Cring! Bet! Menyadari jumlah lawan yang sangat besar, Rangga langsung mencabut pedang


Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusakanya. Hingga seketika itu juga, malam yang semula begitu gelap jadi terang
benderang oleh cahaya yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak lantang menggelegar, Rangga melompat menerjang orang-orang
berpakaian serba hitam. Pedangnya berkelebatan begitu cepat, membuat jeritanjeritan melengking tinggi terdengar menyayat saling sambut. Dan pada saat itu,
terlihat Pandan Wangi sudah sampai di desa ini. Gadis itu langsung menerjang
orang-orang berbaju serba hitam dari punggung kudanya.
Dengan senjata kipas andalannya, dia mengamuk sambil mengendalikan kuda putih
tunggangannya. Semua penduduk Desa Kandaga yang melihat munculnya dua orang pendekar muda
tangguh yang sudah dikenal baik itu, langsung bersorak gembira. Seketika
semangat mereka bangkit Dan mereka tidak mau tinggal diam begitu saja, walaupun
Rangga sudah menyuruh menyingkir. Sambil berteriak-teriak penuh semangat, mereka
membantu kedua pendekar muda itu menghajar orang-orang yang menyerang desanya.
Maka jeritan-jeritan kemauan pun yang semakin sering terdengar saling
bersahutan. Dan tubuh-tubuh bermandikan darah semakin banyak berjatuhan saling
tumpang tindih.
Rangga yang melihat semua penduduk Desa Kandaga terus merangsek membela desa
kelahirannya, tidak bisa lagi mencegah.
Maka gerakan-gerakannya semakin dipercepat membuat tubuhnya bagai lenyap ditelan
gulungan cahaya biru yang memancar dari mata pedangnya.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti memang sulit
dibendung lagi. Terlebih, Pandan Wangi ikut terjun ke dalam pertarungan.
Sehingga, membuat orang-orang asing berpakaian serba hitam itu jadi kalang
kabut. Dan pada saat itu, terdengar suara teriakan memberi perintah yang sangat
lantang menggelegar. Dan ternyata teriakan itu membuat orang-orang berpakaian serba
hitam lari tunggang langgang meninggalkan desa ini. Namun beberapa di antaranya
masih ada juga yang ambruk, terkena lemparan tombak maupun golok para penduduk.
Cring! Rangga langsung memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di
punggung. Saat itu, Pandan Wangi sudah turun dari kudanya. Langsung dihampirinya
Pendekar Rajawali Sakti, bersamaan dengan seorang laki-laki tua berjubah putih
yang juga menghampiri Rangga sambil menggenggam sebilah golok berlumuran darah.
Sementara semua penduduk desa tampak bersorak sorai gembira dapat mengusir para
penyerang itu. "Sungguh kebetulan kalian datang tepat pada waktunya. Kalau tidak, pasti desa
ini sudah rata dengan tanah," kata orang tua berjubah pulih yang ternyata Kepala
Desa Kandaga. Namanya Ki Kahuri.
Kepala Desa Kandaga itu memang sudah sangat kenal pada kedua pendekar muda ini.
Karena, mereka memang sering singgah di desa ini. Hanya saja, dia tidak tahu
kalau kedua pendekar muda itu berasal dari Karang Setra. Rangga dan Pandan Wangi
juga sudah mengenal baik dengan orang tua ini
"Siapa mereka itu, Ki?" tanya Rangga langsung.
"Mereka itu yang disebut Partai Tengkorak Hitam," sahut Ki Kahuri memberi tahu.
"Oh...," Rangga hanya bisa mendesah saja. Memang baru kali ini Rangga bisa
bertemu langsung partai golongan hitam yang sudah menggemparkan dunia persilatan
dalam kemunculannya yang baru seumur jagung. Rupanya, mereka sudah begitu dekat
dengan Karang Setra. Buktinya mereka malam ini hampir saja menghancurkan Desa
Kandaga, yang merupakan desa terdekat dengan Kerajaan Karang Setra.
"Mereka pasti akan kembali lagi dengan kekuatan lebih besar.
Mereka sudah sampai ke sini, setelah menghancurkan Desa Lampik dan Desa Seratak," jelas Ki Kahuri lagi.
Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Memang jelas sekali, kalau orang-orang dari
Partai Tengkorak Hitam itu sedang menuju Karang Selra. Tapi untunglah, Rangga
lebih cepat menghadang di Desa Kandaga ini. Kalau mereka sampai bisa
menghancurkan desa ini, tentu akan mudah bisa masuk ke Karang Setra. Karena,
tinggal desa ini saja yang menjadi pintu gerbang masuk ke Karang Setra.
"Ki.... Sebaiknya tenangkan dulu pendudukmu. Dan singkirkan mayat-mayat ini.
Nanti kita bicara lebih banyak lagi di rumahmu,"
kata Rangga. "Baik, Den. Aku senang kalau kalian berdua bersedia tinggal di desa ini, sampai
pengacau-pengacau itu tidak ada lagi. Aku yakin, mereka tidak akan puas sebelum
bisa menghancurkan desa ini.
Apalagi, tujuan mereka ke Karang Setra. Mereka hendak menguasai Karang Setra,"
kata Ki Kahuri.
Seketika itu juga, seluruh aliran darah di tubuh Rangga jadi berdesir cepat.
Tapi, Ki Kahuri tidak sempat melihat perubahan wajah Pendekar Rajawali Sakti,
karena sudah meninggalkannya. Laki-laki setengah baya itu kembali ke penduduknya
yang masih dilanda ketakutan. Hanya Pandan Wangi yang bisa melihat perubahan
raut wajah Pendekar Rajawali Sakti. Dan menggenggam tangannya erat-erat. Seakan,
ingin diberinya kekuatan pada pemuda yang dicintainya ini. Rangga hanya
tersenyum sedikit. Segera tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya.
Pandan Wangi mengikuti langkah Pendekar Rajawali Sakti sambil menuntun kuda
tunggangannya. "Pandan.... Sebaiknya kau kembali ke Karang Setra malam ini juga," kata Rangga
setelah berada di samping kuda tunggangannya.
"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi terkejut tidak mengerti.
"Beritahu Danupaksi untuk melipat gandakan penjagaan di setiap perbatasan.
Mungkin mereka bukan hanya dari sini masuknya. Aku
tidak ingin Karang Setra membara," kata Rangga, langsung memerintah.
"Lalu kau sendiri?" tanya Pandan Wangi lagi, meminta penjelasan lebih jauh.
"Aku akan berusaha menghadang mereka dari sini. Kalau perlu, menghancurkannya,"
sahut Rangga tegas.
"Hanya seorang diri...?"
"Sejak kapan kau meragukan kemampuanku, Pandan" Aku bisa menjaga diriku sendiri.
Sebaiknya, cepat kembali ke Karang Setra.
Katakan pada Danupaksi untuk segera mempersiapkan seluruh prajurit. Dan katakan,
aku meminta satu pasukan prajurit pilihan ke desa ini secepatnya," perintah
Rangga tegas. Pandan Wangi tidak bisa lagi bersuara. Bisa dirasakan apa yang sedang terjadi di
dalam dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik
yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung melompat naik ke punggung
kudanya. Sejenak ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti, lalu digebahnya kuda putih
itu cepat meninggalkan Desa Kandag'a ini. Kepergian Pandan Wangi tentu saja
mendapat perhatian dari Ki Kahuri. Kepala Desa Kandaga itu bergegas menghampiri
Rangga yang rrasih berdiri di samping kudanya. Rangga hanya melirik saja
sedikit, saat menyadari Ki Kahuri sudah berada di sampingnya.
"Akan ke mana Nini Pandan Wangi, Den?" tanya Ki Kahuri langsung.
"Ke Karang Setra," sahut Rangga singkat, tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Untuk apa?"
"Memberitahu pihak istana untuk bersiap-siap menghadapi orang-orang Partai
Tengkorak Hitam. Aku juga meminta prajurit dari sana, untuk menjaga desa ini,
Ki," jelas Rangga singkat.
"Oh! Kau cepat sekali bertindak, Den. Mereka memang kuat dan banyak sekali.
Perlu satu pasukan prajurit terlatih untuk menghadapi
mereka. Aku yakin, para prajurit Karang Setra mampu menghancurkan mereka," kata
Ki Kahuri gembira. "Semua penduduk desa ini akan kukerahkan untuk membantu,
Den." Rangga hanya tersenyum kecil saja, tapi terasa hambar sekali.
Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menilai, bagaimana kekuatan orang-orang
Partai Tengkorak Hitam Walaupun hanya sebentar saja memukul mundur mereka, tapi
sudah bisa mengukur kekuatannya.
Partai Tengkorak Hitam memang terdiri dari orang-orang persilatan yang
berkepandaian tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apalagi, mereka sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi segala macam bentuk
pertempuraa Entah kenapa, Rangga sendiri jadi ragu akan kemampuan prajuritnya
sendiri dalam menghadapi Partai Tengkorak Hitam. Tapi, Raja Karang Setra ini
sendiri tidak ingin orang-orang berhati iblis itu sampai menginjakkan kakinya di
Karang Setra. *** 3 Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahaya di ufuk timur,
pasukan prajurit Karang Setra yang berjumlah dua ratus orang sudah berada di
Desa Kandaga ini. Mereka dipimpin langsung oleh Panglima Wirasaba. Namun orang
tua itu sama sekali tidak memandang Rangga sebagai raja di desa ini. Dan memang
selalu begitu yang terjadi kalau Rangga berada di luar istananya.
Rangga tidak mau diperlakukan sebagai raja, kalau sedang mengembara.
Pendekar Rajawali Sakti langsung membawa Panglima Wirasaba ke rumah Ki Kahuri,
setelah menempatkan prajuritnya di perbatasan desa ini yang dilalui orang-orang
Partai Tengkorak Hitam semalam.
Ki Kahuri begitu senang sekali menerima kedatangan Rangga dan Panglima Wirasaba
yang merupakan panglima tertinggi di Kerajaan
Karang Setra. Namun, Rangga, dan Panglima Wirasaba tidak lama berada di rumah
kepala desa ini, karena harus kembali bergabung bersama para prajurit penjaga
perbatasan yang sudah mendirikan tenda-tenda di sana. Sementara, pemuda-pemuda
desa yang memang sudah diperintahkan Ki Kahuri, ikut membantu memperkuat
prajurit yang akan menyelamatkan desa ini dari kehancuran orang-orang Partai
Tengkorak Hitam.
"Kau datang tidak bersama Pandan Wangi, Paman. Di mana dia...?" tanya Rangga
langsung, begitu berada dalam tenda yang disediakan untuk Panglima Wirasaba.
"Raden Danupaksi meminta Nini Pandan Wangi membantunya mengatur penjagaan di
seluruh gerbang masuk ke Karang Setra,"
sahut Panglima Wirasaba.
"Apakah sudah ada tanda-tanda mereka berada di sekitar Karang Setra, Paman?"
tanya Rangga lagi.
"Belum," sahut Panglima Wirasaba. "Aku hanya berharap, mereka memang hanya
melalui desa ini saja. Sehingga kita bisa lebih mudah memukul mundur mereka,"
ujar Rangga agak mendesah, seperti bicara pada diri sendiri.
"Mudah-mudahan saja begitu, Gusti Prabu," sahut Panglima Wirasaba.
"Jangan menyebutku begitu, Paman. Panggil saja aku Rangga.
Kau tahu, kan.." Aku tidak ingin semua orang di desa ini tahu, siapa aku
sebenarnya, " kata Rangga, langsung menegur.
"Oh, maaf," ucap Panglima Wirasaba jadi tersipu.
"Ah, sudahlah.... Yang penting sekarang, kita hrus mempersiapkan diri menghadapi
serangan mereka. Aku berfirasat malam nanti mereka akan kembali menyerang desa
ini," kata Rangga tidak ingin memperpanjang.
"Tapi yang kudengar, mereka tidak selalu bergerak malam hari, Rangga. Kapan pun
mereka mau, pasti akan menyerang dan menghancurkan desa atau kota-kota yang
dilalui. Mereka sepertinya
ingin menguasai seluruh dunia ini," kata Panglima Wirasaba yang rupanya sudah
tahu tentang Partai Tengkorak Hitam.
"Kalau begitu, semua prajurit harus tetap disiagakan siang dan malam," kata
Rangga. "Memang begitu yang diperintahkan Raden Danupaksi," sambung Panglima Wirasaba.
Rangga mengangguk-angguk.
Rupanya Danupaksi juga begitu
cepat menanggapi akan bahaya
ini. Adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung menyiagakan
seluruh prajurit Karang Setra.
Tindakan yang diambil
Danupaksi membuat Rangga
menjadi lebih lega perasaannya.
"Aku pergi dulu, Paman," kata
Rangga sambil bangkit berdiri.
Dan sebelum Panglima
Wirasaba bisa bertanya, Rangga
sudah melangkah keluar dari tenda. Sementara, Panglima Wirasaba mengikuti dari
belakang. Seorang prajurit langsung menghampiri Pendekar Rajawali Sakti sambil
menuntun kuda hitam Dewa Bayu.
Rangga menerima tali kekang kuda tunggangannya, dan cepat melompat naik.
Sebentar ditatapnya Panglima Wirasaba, kemudian kudanya diputar berbalik.
"Hiyaaa...!"
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga langsung menggebah cepat kudanya meninggalkan
pcrbatasan Desa Kandaga yang kini dijaga dua ratus orang prajurit dari Karang
Setra, dipimpin langsung Panglima Wirasaba. Sengaja Rangga menelusuri arah yang
dilalui orang-orang Partai Tengkorak Hitam semalam. Masih begitu jelas terlihat
jejak-jejak mereka yang terus menembus hutan.
"Hooop...!"
Rangga menghentikan lari kudanya, setelah tiba di tengah hutan.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dengan gerakan begitu ringan.
Begitu banyak jejak kaki tertera di dalam hutan ini, dan sangat jelas terlihat.
Sambil menuntun kudanya, Rangga berjalan mengikuti jejak-jejak kaki itu yang
semakin jauh masuk ke dalam hutan ini.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti berhenti, setelah sampai di tepi hutan. Tampak
di depannya sebuah padang rumput yang sangat luas, membentang bagai tidak
bertepi. Seketika itu juga seluruh aliran darahnya berdesir, begitu melihat di
tengah-tengah padang rumput itu berdiri sebuah bangunan berbentuk benteng yang
sangat besar. Dan di tengah-tengah benteng itu, terlihat sebuah umbul-umbul
berwarna hitam, yang bagian tengahnya bergambar tengkorak manusia dengan dua
buah pedang tersilang.
"Tengkorak Hitam...," desis Rangga perlahan.
*** Sama sekali Rangga tidak menduga kalau Partai Tengkorak Hitam sudah mendirikan
benteng pertahanan, tidak jauh dari Karang Setra.
Padahal, hanya dibutuhkan setengah hari saja untuk sampai ke Karang Setra dari
tempat ini. Sementara, halangan satu-satunya adalah Desa Kandaga. Walaupun
sekarang sudah diperkuat dua ratus prajurit pilihan, tapi masih juga terselip
keraguan di dalam hati Pendekar Rajawali Sakti melihat bangunan benteng di
tengah padang rumput itu sangat besar. Sudah tentu benteng itu bisa memuat
ribuan orang. Sedangkan jumlah prajurit Karang Setra seluruhnya tidak sampai tiga ribu orang.
Kalau digempur dengan kekuatan sangat besar, apalagi mereka dari kalangan
persilatan, rasanya sulit untuk bisa bertahan Rangga bisa menyadari ancaman yang
tidak bisa dipandang sebelah mata ini. Bahkan Suatu ancaman yang bisa membuat
runtuhnya Karang Setra, dari orang-orang yang berada di bawah naungan Panji
Tengkorak Hitam
"Tidak kusangka rnereka begitu besar kekuatannya, " gumam Rangga bicara pada
diri sendiri. Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti mengamati keadaan sekitar bangunan
benteng di tengah padang rumput yang luas bagai tidak bertepi ini. Sunyi sekali
keadaannya, seperti tidak berpeng-huni sama sekali. Tapi dia yakin, tempat itu
teijaga sangat ketat, dan tidak mungkin bisa mudah didekati. Mereka yang ada di
dalam benteng itu sudah barang tentu bisa cepat mengetahui, siapa saja yang
datang. Bangunan seperti benteng pertahanan itu berdiri di tengah-tengah padang rumput
yang sangat luas, hingga tidak mungkin didekati secara sembunyi-sembunyi.
"Hm, ada yang keluar...," kembali Rangga menggumam.
Terlihat pintu benteng itu terbuka perlahan-lahan. Kemudian, tampak serombongan
orang berpakaian serba hitam keluar dari dalam bangunan berpagar tinggi dari
balokan kayu pohon yang sangat kokoh itu. Entah, berapa orang yang keluar. Tapi
yang pasti, jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan mereka semua menunggang
kuda. Saat itu juga, jantung Rangga seakan jadi berhenti berdetak, melihat
rombongan kuda yang ditunggangi orang berpakaian serba hitam bergerak menuju ke
arahnya dengan cepat.
"Uh! Mereka akan menyerang Desa Kandaga lagi," dengus Rangga dalam hati.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, cepat Rangga
melompat naik ke punggung kudanya. Lalu, digebahnya Dewa Bayu dengan kecepatan
tinggi. Langsung diterobosnya hutan yang tidak begitu lebat ini. Sementara,
rombongan orang berbaju serba hitam dari Partai Tengkorak Hitam terus bergerak
menuju Desa Kandaga seperti dugaan Rangga tadi.
Sedangkan Rangga sendiri sudah terlalu jauh memacu kudanya, menembus hutan yang
tidak begitu lebat ini. Begitu cepat Dewa Bayu berlari, hingga sebentar saja
sudah dekat dengan perbatasan Desa Kandaga.
Rangga melihat semua prajurit Karang Setra yang ditempatkan di desa itu masih
tetap berjaga-jaga. Dan terlihat Panglima Wirasaba berada di antara prajuritnya
bersama Ki Kahuri. Melihat kedatangan


Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga yang memacu cepat kudanya, mereka bergegas
menghampiri. "Hup!"
Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah berada dekat di
depan Panglima Wirasaba dan Ki Kahuri. Kuda hitam tunggangannya berhenti cepat
sekali, tanpa mengeluarkan ringkikan sedikit pun juga.
"Ada apa, Rangga" Kenapa seperti dikejar setan...?" tanya Panglima Wirasaba
langsung. "Siapkan semua prajuritmu, Paman. Mereka sedang menuju tempat ini," kata Rangga
memberi-tahu. "Apa..."!"
Ki Kahuri jadi terbeliak mendengar laporan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh
tidak disangka kalau Partai Tengkorak Hitam akan menyerang kembali malam ini
juga. Padahal, menurut perkiraannya mereka tentu akan datang kembali besok
malam. Sementara itu Panglima Wirasaba sudah mengumpulkan seluruh prajuritnya yang ada.
Kemudian diaturnya para prajurit untuk mengadakan penyergapan di perbatasan desa
ini Sebentar saja, semua prajurit Karang Setra sudah tidak terlihat lagi,
bersembunyi di balik pohon dan gerumbul semak untuk menyergap orang-orang dari
Partai Tengkorak Hitam.
Panglima Wirasaba kembali menghampiri Rangga setelah merasa prajuritnya sudah
menempati tempat yang diinginkan. Sedangkan Ki Kahuri sendiri sudah pergi untuk
mengamankan penduduknya, setelah mendapat perintah dari Pendekar Rajawali Saka.
Malam itu juga, Desa Kandaga kembali terlihat riuh oleh suara orang-orang yang
bergerak menjauhi desa ini, ke tempat yang lebih aman dari jangkauan pertempuran
yang pasti bakal terjadi. Ki Kahuri sendiri bersama para pemuda desa sudah siap
membantu para prajurit Karang Setra yang akan menyergap orang-orang dari Partai
Tengkorak Hitam.
"Berapa orang kekuatan mereka, Rangga?" tanya Panglima Wirasaba.
"Mungkin lebih dari seratus orang," sahut Rangga.
"Hm," Panglima Wirasaba hanya menggumam sedikit.
"Tapi jangan menganggap enteng mereka, Paman. Mereka orang-orang persilatan yang
kemampuannya sudah pasti berada di atas rata-rata kemampuan prajurit terlatih.
Kau harus membuat siasat, agar mereka tidak sampai menjarah desa ini. Juga tidak
mengorbankan prajurit terlalu banyak," kata Rangga memberi pendapat.
"Aku tahu, Rangga. Itu sebabnya, aku persiapkan pasukan panah lebih dulu, untuk
menghadang mereka di depan. Kalau jumlah mereka sudah berkurang, baru kukerahkan
pasukan penyerbu dari segala arah. Bahkan aku sudah mengatur, supanya mereka
berada di tengah-tengah," kata Panglima Wirasaba memberitahukan semua siasatnya.
"Bagus! Aku ingin mereka semua musnah, agar pemimpin mereka berpikir seribu kali
untuk menyerang Karang Setra. Mereka harus tahu kalau Karang Setra tidak semudah
yang dikira untuk diserang begitu saja," sambut Rangga mantap.
"Aku akan hancurkan siapa saja yang mencoba mengganggu ketenteraman Karang
Setra, Rangga," tegas Panglima Wirasaba.
Rangga tersenyum senang mendengarnya. Dan saat itu terdengar suara menggemuruh
dari hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat dari dalam hutan Dan tidak lama
kemudian, terlihat orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam bermunculan dari
dalam hutan sambil memacu kudanya begitu cepat. Mereka berteriak-teriak sambil
mengangkat senjata masing-masing. Gerakan mereka begitu cepat, seperti hendak
menyerang sebuah benteng pertahanan.
"Pasukan panah, siaaap...!" teriak Panglima Wirasaba langsung memberi perintah.
Saat itu juga, dari balik pepohonan bermun culan para prajurit Karang Setra
dengan anak panah terpasang dibusur. Sekitar dua puluh orang prajurit pemanah
sudah siap menunggu perintah.
Sedangkan Panglima Wirasaba menunggu sampai orang-orang berpakaian serba hitam
itu berada dalam jangkauan anak panah prajuritnya.
"Seraaang...!" teriak Panglima Wirasaba tiba-tiba. Suaranya keras dan lantang
menggelegar. Dan seketika itu juga, puluhan batang anak panah berhamburan menghujani orangorang berkuda yang semuanya berbaju hitam gelap. Serangan panah itu sama sekali
tidak terduga, sehingga mereka yang berada di depan tidak sempat lagi
menghindarinya. Dan malam ini, kembali dipecahkan oleh jeritan-jeritan menyayat
mengiringi kematian. Ringkikan kuda berbaur menjadi satu dengan teriakanteriakan pembangkit semangat pertempuran.
Namun sungguh tidak diduga sama sekali. Walau dihadang puluhan panah yang
meluncur bagai hujan itu, mereka tetap bergerak maju penuh semangat. Tidak
dipedulikan lagi teman-teman mereka yang berjatuhan tertembus panah. Dan pada
saat mereka sudah masuk ke dalam perangkap yang dibuat, Panglima Wirasaba
langsung memberi perintah dengan suara lantang menggelegar bagai guntur membelah
angkasa. "Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dari balik gerumbul semak belukar dan pepohonan berlompatan
prajurit-prajurit Karang Setra dari segala arah. Kemunculan para prajurit, tentu
saja membuat orang-orang berpakaian serba hitam ini jadi terkejut setengah mati.
Tapi, mereka tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Prajurit-prajurit pilihan dari
Karang Setera itu begitu cepat bergerak, menyerang dari segala penjuru.
Maka, pertarungan tidak dapat lagi dihindari. Sedangkan pasukan panah sudah
tidak lagi melepaskan anak-anak panahnya. Mereka kini
sudah siap dengan pedang di tangan, menunggu perintah dari panglimanya.
Jeritan-jeritan panjang melengking mengiringi kematian terdengar saling sambut,
ditingkahi denting senjata dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur.
Tampak dalam waktu tidak begitu lama, orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam
sudah tidak berdaya lagi menghadapi gempuran prajurit pilihan Kerajaan Karang
Setra. Mereka juga mendapat kesulitan untuk keluar dari ajang pertarungan ini.
Sepertinya, semua sudut sudah dikuasai para prajurit. Tapi, beberapa orang
berhasil juga melepaskan diri dari ajang pertarungan.
Mereka yang berhasil lolos segera memacu cepat kudanya kembali ke benteng
pertahanan di tengah padang rumput yang ada di balik hutan itu.
"Mereka tidak mau menyerah juga, Rangga," desis Panglima Wirasaba, saat melihat
orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang sudah berkurang jauh jumlahnya
masih saja tetap mencoba bertahan. Padahal, mereka sudah tidak mungkin lagi
memenangkan pertarungan ini.
"Sudutkan mereka ke hutan," perintah Rangga.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Panglima Wirasaba segera berteriak memberi
perintah untuk menyudutkan lawannya ke hutan.
Maka kini semua prajurit segera mengatur tempat masing-masing sambil terus
merangsek lawan. Sedikit demi sedikit orang-orang berpakaian serba hitam itu
bergerak mundur mendekati hutan.
"Siapkan pasukan panah, Paman," ujar Rangga memberi perintah lagi.
Panglima Wirasaba segera berteriak memberi perintah pada pasukan panah.
"Perintahkan prajuritmu mundur," perintah Rangga lagi.
"Munduuur...!" teriak Panglima Wirasaba.
"Serang mereka dengan panah, Paman!"
"Pasukan panah, seraaang...!"
Wusss! Wing...! Crab! Jleb! "Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar, saat
prajurit panah Karang Setra menghujani orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam.
Begitu cepat serangan itu berlangsung, hingga tidak ada satu pun yang sempat
menyadari. Hingga dalam waktu yang tidak lama, mereka semua sudah ambruk
tertembus panah yang mematikan. Sedangkan Panglima Wirasaba segera memerintahkan
prajuritnya untuk berhenti menyerang.
Seketika itu juga, suasana jadi sunyi tanpa terdengar suara pertarungan sedikit
pun juga. Sementara Rangga yang masih tetap didampingi Panglima Wirasaba,
memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di tempatnya.
Dalam pertarungan itu, hanya sepuluh orang prajurit yang terbunuh. Dan, hanya
lima orang saja yang menderi luka ringan Siasat yang dijalankan Panglima
Wirasaba memang sangat handal. Sehingga, tidak perlu mengorbankan banyak
prajurit untuk menghancurkan orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam.
"Singkirkan mereka, Paman. Sementara, aku akan mengawasi sarang mereka lagi,"
kata Rangga sambil melompat naik ke punggung kudanya.
Tanpa banyak bicara lagi, Panglima Wirasaba segera
memerintahkan prajuritnya untuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sedangkan saat ini, Rangga sudah memacu kudanya dengan cepat, meninggalkan
perbatasan Desa Kandaga, langsung masuk ke dalam hutan yang tidak seberapa lebat
itu. Sementara itu, Ki Kahuri mengerahkan penduduk desanya untuk membantu prajurit
Karang Setra menyingkirkan mayat-mayat itu Ketika semua sibuk membersihkan ajang
pertarungan dari mayatmayat yang bergelimpangan, Rangga sudah kembali berada di tepi padang rumput
untuk mengawasi benteng pertahanan Partai Tengkorak Hitam. Pendekar Rajawali
Sakti masih sempat melihat sekitar lima belas orang yang berhasil lolos dari
kepungan prajurit Karang Setra, kembali masuk ke dalam benteng di tengah padang
rumput itu. "Biar mereka terbuka matanya, kalau tidak mudah menyerang Karang Setra...!"
dengus Rangga, bernada sinis.
*** 4 Tidak ada seorang pun lagi yang keluar dari dalam bangunan berbentuk benteng di
tengah padang rumput itu, sampai matahari naik tinggi menerangi jagad raya ini.
Sementara, Rangga masih tetap mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi. Dan
di sampingnya kini sudah ada Panglima Wirasaba bersama Pandan Wangi yang datang
kembali ke Desa Kandaga pagi-pagi tadi, dengan membawa tambahan prajurit
sebanyak tiga ratus orang.
Pandan Wangi sendiri sudah mengamati semua gerbang masuk ke Karang Setra. Dan
gadis itu tahu kalau tidak ada satu kelompok pun dari Partai Tengkorak Hitam di
sana. Mereka memang semua ber-ada di tempat ini.
Partai Tengkorak Hitam mencoba menyerang Karang Setra dari Desa Kandaga, karena
memang bisa dikatakan sangat lemah pertahanannya. Untung saja, Rangga dan Pandan
Wangi cepat mengetahui. Sehingga, mereka tidak sempat mendekati Karang Setra.
Dan tampaknya, mereka kini benar-benar mendapat rintangan.berat untuk menaklukan
Karang Setra. "Kakang, apa tidak sebaiknya kita pusatkan saja pertahanan di sekitar daerah
ini..?" ujar Pandan Wangi memberi saran.
"Tidak mudah bertahan di tempat terbuka seperti ini, Pandan.
Mereka bisa dengan mudah menerobos dari bagian lain. Aku kira,
bertahan di Desa Kandaga lebih baik. Mereka tidak akan bisa masuk dari arah
lain. Hanya hutan ini satu-satunya yang bisa dilewati," kata Rangga langsung
menentang saran Pandan Wangi.
"Benar, Nini Pandan. Hutan ini diapit jurang-jurang yang dalam, dan tidak bisa
dilalui seorang pun. Kalau mereka memilih menyerang dari sebelah timur, harus
melewati bukit itu lebih dulu," sambung Panglima Wirasaba, seraya menunjuk
sebuah bukit batu yang menjulang tinggi di sebelah timur.
"Kalau mereka pergi juga ke sana, itu lebih baik lagi, Paman.
Mudah bagi kita untuk menghancurkannya. Karena di sana ada lembah buntu yang
bisa digunakan untuk menyudutkan mereka,"
sambung Rangga.
"Benar, Gusti. Tapi yang pasti, mereka tidak bodoh untuk ke sana, dan tentu akan
terus berusaha menggempur dari sini. Karena, jalan ini yang termudah ke Karang
Setra," kata Panglima Wirasaba lagi
"Tapi kalau mereka melalui sebelah barat, bagaimana...?" tanya Pandan Wangi
"Aku sudah mengirim seorang utusan untuk Danupaksi, agar memusatkan pertahanan
di sebelah barat. Di sana memang mudah dilaluinya," jelas Rangga.
"Benar, Gusti Prabu. Tapi, mereka harus menyeberangi Sungai Nagarawi lebih dulu.
Jadi, sudah tentu prajurit kita bisa mudah menghalau mereka, sebelum sampai
menyeberangi sungai," selak Panglima Wirasaba. "Aku kira, mereka tidak akan
menempuh jalan lain lagi. Mereka pasti akan tetap menyerang dari sini dengan
segala cara. Apalagi, mereka sudah mendirikan benteng pertahanan di sini.
Sudah pasti semua kekuatan sekarang berada di tempat ini."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak menyerang saja lebih dulu, Paman?" kembali
Pandan Wangi memberi saran.
"Tidak semudah seperti bayanganmu, Pandan. Kau lihat sendiri keadaannya. Belum
juga sampai ke sana, pasti prajurit kita sudah habis dibantai dengan panah,"
kata Rangga. Pandan Wangi jadi tertegun. Memang serba sulit keadaan ini Mereka tidak bisa
menyerang benteng itu Tapi, orang-orang di dalam benteng itu |nqa mendapat
kesulitan untuk menyerang Karang Setra.
Karena, memang hanya satu jalan ini yang mudah untuk masuk ke Karang Setra.
Sedangkan untuk melalui jalan lain, mereka tentu tidak mau mendapat bahaya yang
terlalu besar. Dan Pandan Wangi cepat menyadari keadaannya.
"Kakang, coba lihat di sana...!" seru Pandan Wangi seraya menunjuk ke kanan.
Rangga dan Panglima Wirasaba segera melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk
si Kipas Maut. Seketika kedua bola mata mereka jadi tercengang, melihat
serombongan orang berpakaian serba hitam yang begitu besar jumlahnya, bergerak
menuju benteng Partai Tengkorak Hitam. Dan saat itu, pintu pagar benteng terbuka
lebar. Rombongan orang-orang berpakaian serba hitam yang berjumlah sangat besar itu
langsung masuk ke dalam benteng pertahanan di tengah-tengah padang rumput yang
sangat luas ini. Tampak di antara mereka terlihat sebuah kereta kuda yang sangat
indah, ditarik delapan ekor kuda putih. Di dalam kereta itu, duduk seorang
pemuda berwajah tampan, berpakaian indah seperti seorang raja yang dikawal
ratusan orang berpakaian serba hitam.
Tak lama rombongan itu pun masuk ke dalam bangunan benteng di tengah padang
rumput ini. Pintu gerbang benteng itu kembali tertutup perlahan-lahan, setelah
semuanya masuk. Entah berapa jumlah mereka yang baru datang itu. Tapi, Rangga
sudah bisa memperkirakan kalau jumlah mereka lebih dari dua ratus orang. Dan
semuanya tertampung di dalam benteng yang sangat besar itu.
Untuk beberapa saat, mereka bertiga jadi terdiam. Tidak bisa dibayangkan, berapa
jumlah kekuatan Partai Tengkorak Hitam yang ada di dalam benteng itu. Sedangkan
mereka yakin, jumlah itu mungkin belum ada setengahnya dengan mereka yang masih
berada di seluruh penjuru rimba persilatan. Rangga jadi berdecak sambil
menghembuskan napas panjang.
"Kakang.... Apakah kita mampu menghadapi mereka...?" ujar Pandan Wangi dengan
nadi terdengar ragu, melihat kekuatan lawan yang begitu besar.
"Hhh...!"
Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menghembuskan napas
panjang-panjang dan begitu dalam.
Pendekar Rajawali Sakti sendiri juga tidak tahu, apakah jumlah prajurit Karang
Setra yang mungkin hanya kurang dari setengahnya bisa menghadang orang-orang
Partai Tengkorak Hitam" Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Tapi yang
pasti, kejayaan Karang Setra kini benar-benar terancam. Apakah Pendekar Rajawali
Sakti mampu mempertahankan tanah kelahirannya dari
kehancuran..."
Sementara mereka bertiga tengah terdiam membisu, dari arah lain muncul rombongan
lagi dan orang-orang berpakaian serba hitam yang jumlahnya tiga kali lipat dari
jumlah tadi. Mereka juga masuk ke dalam benteng itu. Dan saat itu juga,
terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dari dalam benteng.
Tidak lama kemudian, kembali terlihat satu rombongan lain lagi datang ke benteng
dengan jum-lah tidak kalah besar. Dan kali ini, mereka tidak masuk ke dalam
benteng, melainkan mendirikan tenda tenda di sekeliling benteng yang mungkin
sudah padat. Pintu gerbang pun kini terbuka lebar-lebar. Mereka kini benar-benar
bagai pasukan prajurit sebuah kerajaan yang sangat besar, hendak menggempur
Karang Setra. Entah, berapa ribu orang yang ada sekarang. Sedangkan saat ini
masih saja ada yang berdatangan, walau lebih sedikit. Dan Rangga sudah
memperkirakan kalau jumlah mereka lebih dari sepuluh ribu orang. Hal ini tentu
saja membuat harinya semakin gelisah saja. Dibanding kekuatan prajurit Karang
Setra yang hanya berjumlah tidak lebih dari dua ribu, rasanya sangat sulit
menghadapi gempuran Partai Tengkorak Hitam yang berlipat ganda itu.
"Ah! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga dalam hati.
*** Kali ini Rangga benar-benar diliputi kegelisahan yang amat sangat, melihat
jumlah yang akan menyerang tanah kelahirannya demikian besar. Bahkan berlipat
ganda daripada prajurit yang ada di Karang Setra. Dan Pendekar Rajawali Sakti
sendiri, tidak mungkin bisa menghadapi orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam


Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang diri saja. Walaupun dirinya seorang pendekar digdaya pilih tanding,
tetap saja seorang manusia yang memiliki keterbatasan.
Rangga hanya bisa memerintahkan Panglima Wirasaba untuk menarik sebagian besar
prajurit Karang Setra ke Desa Kandaga.
Karena, memang hanya dari desa ini saja orang-orang Partai Tengkorak Hitam bisa
masuk ke Karang Setra. Bahkan Danu-paksi dan Cempaka juga sudah berada di desa
ini bersama para panglima Kerajaan Karang Setra. Danupaksi sendiri mengerahkan
satria-satria Karang Setra, untuk memperkuat pertahanan di Desa Kandaga ini.
Sehingga desa yang semula selalu sunyi, kini ramai dihuni para prajurit dari
Karang Setra dan para satria yang dibawa Danupaksi.
Sedangkan Rangga sendiri tidak lepas, selalu mengamati segala bentuk kegiatan
yang terjadi di sekitar bangunan besar berupa benteng yang dihuni orang-orang
Partai Tengkorak Hitam itu.
"Hhh...! Mungkinkah ini akhir dari kejayaan Karang Setra...?"
desah Rangga mengeluh lirih.
"Belum, Kakang," tandas Pandan Wangi Rangga melirik sedikit pada gadis cantik
yang selalu mendampinginya. Terdengar tarikan napasnya yang begitu dalam dan
terasa berat. Sedangkan Pandan Wangi sendiri hanya memandangi raut wajah tampan
Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga. Bisa
dirasakan keresahan yang melanda hati pemuda ini. Keresahan yang teramat sulit
digambarkan dengan kata-kata. Beberapa kali Karang Setra dilanda kerusuhan dan
serangan dari luar. Tapi, tidak sehebat kali ini. Dan selama itu, mereka selalu
dapat menghalau para perusuh yang mencoba mengganggu ketenteraman kerajaan ini
Rangga sendiri sebelumnya belum pernah terlihat resah seperti sekarang.
Seakan-akan sudah bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi pada kerajaan yang
didirikan dengan pengorbanan darah itu.
"Kau lihat, Pandan.... Jumlah mereka lebih dari lima kali lipat jumlah prajurit
yang kumiliki. Dan mereka rata-rata dari kalangan persilatan yang sudah
berpengalaman dalam segala bentuk pertempuran," ujar Rangga lagi bernada
mengeluh. "Tapi kita memiliki banyak satria yang berkepandaian tinggi, Kakang," sambung
Pandan Wangi, kembali memberi dorongan semangat
"Hanya lima puluh orang satria yang ada di Karang Setra sekarang ini, Pandan.
Dan itu tidak cukup untuk menghadapi ribuan orang yang sudah berpengalaman dalam
pertempuran."
"Kakang... Kenapa kau jadi ragu dengan kekuatan sendiri..." Kau seperti bukan
seorang pende kar yang kukenal," dengus Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.
Sedikit Pendekar Rajawali Sakti kembali melirik gadis cantik di sebelahnya ini.
Entah kenapa, hatinya jadi begitu ragu untuk bisa mempertahankan Karang Setra
sekarang ini. Perasaan yang sama sekali belum pernah ada dalam hati sebelumnya.
Rangga sendiri tidak tahu, apa yang menjadi penyebab dari kegundahan hatinya.
Sementara Pandan Wangi sendiri cepat bisa menangkap kegundahan itu. Dan ini
membuat si Kipas Maut menjadi gusar.
Seakan-akan kegagahan yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah sirna dari
dalam dirinya. Dan gadis itu tidak ingin Rangga kehilangan-semua yang dimiliki
selama ini. "Kakang.... Apa tidak sebaiknya kita mencoba mengurangi jumlah kekuatan
mereka...?" ujar Pandan Wangi memberi usul.
"Maksudmu?" tanya Rangga tidak mengerti.
"Seperti yang sudah-sudah, Kakang. Menghancurkan sedikit demi sedikit, sambil
menggoyahkan keyakinan mereka," sahut Pandan Wangi mencoba menjelaskan.
Rangga terdiam dengan kening sedikit berkerut. Sebentar dipandanginya wajah
Pandan Wangi. Kemudian tatapannya beralih ke
arah bangunan benteng besar yang berdiri di tengah-tengah padang rumput dan
dikelilingi ratusan tenda itu Jelas sekali kalau saat itu Rangga sedang
merenungkan kata-kata Pandan Wangi barusan.
Kata-kata yang mengingatkan dirinya sebagai seorang pendekar digdaya, yang tidak
pernah kehilangan akal dan keke-iriannnya. Dan tiba-tiba saja, seulas senyuman
mengukir bibirnya yang sejak tadi selalu berkerut mencerminkan keresahan. Lalu,
kepalanya berpaling, kembali menatap Pandan Wangi dengan wajah cerah. Saat itu
juga. Pandan Wangi memberi senyuman lebar. Entah, apa arti senyuman gadis yang dikenal
berjuluk si Kipas Maut itu.
"Kau benar, Pandan. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa mengusir mereka dari
sini," ujar Rangga, bernada penuh semangat kembali.
"Kita berdua saja pasti mampu membuat mereka harus berpikir seribu kali untuk
menyerang Karang Setra, Kakang," kata Pandan Wangi, terus mengobarkan api
semangat Pendekar Rajawali Sakti yang sudah kembali menyala.
"Ya.... Seperti biasa.... Kita berdua yang akan menghadapi mereka," ujar Rangga
semakin lebar senyumnya.
Pandan Wangi langsung mengangguk setuju.
"Ayo, Pandan. Kita cari tempat lapang dan jauh dari penglihatan orang lain,"
ajak Rangga. "Untuk apa?" kali ini Pandan Wangi yang jadi tidak mengerti.
"Untuk mengurangi dan membuat gentar hati mereka, kita membutuhkan bantuan
Rajawali Putih. Kita obrak-abrik mereka, lalu kita pergi menghilanq untuk
sementara. Begitu seterusnya, sampai mereka gentar. Lalu kita pergi dari sini,"
kata Rangga menjelaskan rencananya.
"Bagus, Kakang. Mereka pasti tidak mampu menahan gempuran Rajawali Putih,"
sambut Pandan Wangi gembira.
"Ayo, Pandan. Selagi masih pagi, kita hancurkan mereka sedikit demi sedikit,
sampai tuntas semuanya."
Pandan Wangi mantap menganggukkan kepala Dan tanpa banyak bicara lagi, mereka
kemudian bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Tepat pada saat kedua pendekar
muda itu menghilang ditelan lebatnya hutan, muncul Panglima Wirasaba bersama
Danupaksi dan Cempaka. Mereka tampak heran, tidak melihat Rangga dan Pandan
Wangi berada di tempat ini. Padahal, mereka tahu Pandan Wangi dan Rangga selalu
berada di tempat ini mengawasi bangunan benteng yang menjadi markas Partai
Tengkorak Hitam. Tapi belum juga mereka bisa menghilangkan rasa keheranannya,
tiba-tiba saja Cempaka sudah berseru sambil menunjuk ke langit.
"Lihat...!"
"Oh..."!"
*** "Khraaagkh...!"
Di langit yang bening dengan sedikit awan berarak tertiup angin, terlihat seekor
burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan yang melesat begitu cepat dari
arah selatan. Dan burung rajawali raksasa itu langsung menukik turun dengan
kecepatan kilat menuju tengah hutan. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan
mata saja sudah lenyap. Binatang itu bergerak bagai menembus bumi di tengah
hutan lebat, yang menjadi pembatas dari Desa Kandaga dengan padang rumput yang
kini sudah dikuasai orang-orang Partai Tengkorak Hitam.
Namun tidak lama menghilang di tengah hutan, burung raksasa berbulu putih
keperakan itu sudah kembali terlihat. Dia melesat tinggi ke angkasa dengan
kecepatan bagai kilat, disertai teriakan yang begitu keras bagai guntur membelah
angkasa. Tampak di punggung burung rajawali raksasa Itu duduk Rangga dan Pandan
Wangi. Mereka kini langsung melesat cepat sekali hingga menembus awan. Sebentar saja
burung rajawali raksasa itu sudah berputar-putar di atas bangunan benteng yang
berada di tengah-tengah padang rumput ini. Sementara, Panglima Wirasaba,
Danupaksi, dan Cempaka terus mengawasi dengan mata tidak berkedip dan dada
berdebar keras. Mereka ingin tahu, apa yang akan dilakukan Rangga dan Pandan
Wangi bersama burung rajawali putih raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Rangga yang berada di punggung Rajawali Putih, terus mengawasi bagian
dalam benteng itu. Kini sudah dapat diketahui persis, bagai mana kekuatan yang
dimiliki Partai Tengkorak Hitam.
Dan keyakinan dalam hatinya semakin bertambah kuat. Tidak mungkin prajurit
Karang Setra menghadapi mereka dengan jumlah yang begitu besar. Dan kekuatan itu
harus dikurangi seperti yang diusulkan Pandan Wangi tadi.
"Siapkan senjatamu, Pandan," ujar Rangga meminta.
"Baik," sahut Pandan Wangi, langsung mencabut pedangnya.
Sedangkan senjata Kipas Mautnya tetap terselip di pinggang.
"Serang mereka yang ada di dalam benteng, Rajawali!" seru Rangga langsung
memberi perintah.
"Khraaagkh...!"
Tanpa diperintah dua kali, burung rajawali raksasa itu langsung berteriak
nyaring. Dan bagaikan kilat, dia meluruk deras ke bawah.
Teriakan Rajawali Putih yang begitu keras bagai guntur membelah angkasa, membuat
orang-orang yang berada dalam benteng itu jadi terkejut setengah mati. Dan
begitu mendongak ke atas, seketika itu juga kedua bola mata mereka jadi
terbeliak lebar dengan mulut ternganga. Seakan tak dipercayai apa yang sedang
disaksikan. Dan belum juga rasa keterkejutan mereka lenyap, Rajawali Putih sudah berada
tepat di atas kepala mereka semua. Sayapnya yang lebar dan kokoh langsung
dikibaskan. Sementara Rangga sendiri sudah melesat turun dari punggung burung
rajawali raksasa itu, sambil mencabut senjata pedang pusaka dari punggung.
"Kau tetap bersama Rajawali Putih, Pandan. Hyaaat...!" teriak Pendekar Rajawali
Sakti memberi perintah.
Tring! Bet! Seketika itu juga, kilatan cahaya biru terang menyilaukan yang memancar dari
pedang pusaka Itu berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, membukit beberapa orang yang berada
dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya serangan Itu hinqga
beberapa orang tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan mereka langsung
menjerit nyaring, dengan tubuh terbelah terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti
yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan.
"Khraaagkh...!"
"Hiyaaat...!"
Sementara Rajawali Putih terus berkelebatan sambil cepat mengibaskan kedua
sayapnya. Rangga juga berlompatan sambil mengecutkan pedang dengan kecepatan
bagai kilat. Kini jeritan-jeritan melengking tinggi yang begitu menyayat semakin
sering terdengar saling bersahutan. Sedangkan Pandan Wangi sendiri tidak mau
ketinggalan. Sambil berdiri mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi di
atas punggung Rajawali Putih, pedangnya juga cepat dikebutkan membabat orangorang berbaju serba hitam itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga kembali melesat tinggi ke atas. Langsung kakinya menjejak di punggung
Rajawali Putih dengan manis dan ringan sekali, setelah berhasil merobohkan
puluhan orang dalam waktu singkat.
"Cepat pergi, Rajawali...!" seru Rangga keras.
"Khraagkh...!"
Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat tinggi ke angkasa,
disertai jeritan yang begitu keras memekakkan telinga.
Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap di balik
awan yang menggantung di angkasa. Sementara kilatan cahaya biru yang memancar
dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti juga lenyap di angkasa.
Sementara itu, mereka yang berada dalam benteng jadi kalang kabut, melihat
begitu banyak yang ambruk bergelimang darah mendapat serangan mendadak yang
begitu cepat dan tidak terduga.
Hanya dalam waktu singkat saja, hampir seratus orang yang mati bersimbah darah.
Rasa terkejut masih tersirat di wajah mereka.
Namun tidak seorang pun yang bisa berbuat sesuatu. Dan beberapa orang terlihat
mendongakkan kepala ke atas, seakan ingin memastikan kalau burung rajawali
raksasa yang ditunggangi sepasang anak muda itu tidak akan kembali lagi.
Dan saat itu, dari seberang padang rumput tempat benteng besar itu berdiri,
terlihat Danupaksi dan Cempaka yang didampingi Panglima Wirasaba, gembira
melihat raja mereka sudah mulai melakukan serangan ke benteng Partai Tengkorak
Hitam dengan menunggang burung rajawali raksasa. Walaupun tidak lasa melihat apa
Pemburu Dosa Leluhur 1 Gento Guyon 23 Racun Darah Geger Pedang Inti Es 2

Cari Blog Ini