Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Bagian 2
yang terjadi di dalam benteng itu, tapi mereka sudah bisa menduga kalau tidak
sedikit korban yang jatuh di sana.
"Huhl Biar mata mereka terbuka, siapa itu Kakang Rangga...,"
dengus Cempaka.
"Tapi itu akan membuat mereka jadi murka, Nini dan mereka tentu akan menyerang
balas habis-habisan," ujar Panglima Wirasaba jadi cemas.
"Kakang Rangga pasti akan menghalau mereka dengan burung rajawalinya, Paman.
Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi burung rajawali ralsasa tunggangan
Kakang Rangga," bantah Cempaka, tetap mengagungkan kakak tirinya.
"Aku percaya, Nini Cempaka," ujar Panglima Wirasaba.
"Kalau sudah percaya, kenapa masih ragu pada Kakang Rangga, Paman?" terdengar
agak sinis nada suara Cempaka.
"Bukannya meragukan kemampuan Gusti Prabu. Tapi, aku hanya khawatir kalau
tindakannya tadi akan membuat keadaan semakin bertambah parah."
"Aku yakin, Kakang Rangga sudah memperhitungkan semuanya, Paman."
"Mudah-mudahan saja begitu," desah Panglima Wirasaba.
Sementara Danupaksi sendiri tetap diam, seperti tidak mendengarkan semua
perdebatan ilu. Tatapan matanya terus terarah pada bangunan benteng di tengah
padang rumput di depannya.
Tampak orang-orang yang berada di luar benteng sudah ada yang masuk ke dalam.
Jelas mereka tengah terlanda kekacauan di sana.
Dan terlihat juga mereka tampak seperti bersiap-siap bertempur.
Sementara di angkasa, tidak lagi terlihat Rajawali Putih yang ditunggangi Rangga
dan Pandan Wangi. Burung rajawali raksasa itu seakan sudah pergi jauh, dan tidak
akan kembali lagi. Namun di saat ketegangan sedang melanda hati Danupaksi, tibatiba saja.... "Khraaagkh...!"
"Lihat...!" seni Cempaka tiba-tiba sambil menunjuk ke angkasa.
Saat itu, terlihat Rajawali Putih seperti muncul dari dalam gumpalan awan yang
menggantung di angkasa. Tapi, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan
itu tidak menyerang orang-orang Partai Tengkorak Hitam, melainkan hanya
berputar-putar saja di atas bangunan besar berbentuk benteng pertahanan itu,
sambil mengeluarkan suara keras memekakkan telinga, bagai hendak meruntuhkan
padang rumput di bawahnya.
"Khraaakh...!"
Di atas punggung burung rajawali raksasa itu, terlihat Rangga berdiri tegak
dengan tangan terlipat di depan dada. Aneh! Tidak terlihat Pandan Wangi di sana.
Padahal tadi ketika muncul-dan menyerang, Pandan Wangi ada bersama Pendekar
Rajawali Sakti.
Tapi sekarang, gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu tidak ada
lagi di sana. Sementara itu, bukan hanya mereka yang berada dalam bangunan benteng itu saja
yang mendongakkan kepala ke atas. Bahkan orang-orang yanq berada di luar benteng
pun ikut melihat ke alas, ke arah burung rajawali raksasa yang berputar-putar di
angkasa. Sementara Rangga masih tetap beidlrl dengan gagah di punggung burung
rajawali raksasa tunggangannya, bagai seorang dewa yang hendak menghancurkan
Partai Tengkorak Hitam.
Namun tidak lama Rajawali Putih dan Rangga muncul di angkasa, sudah kembali
melesat tinggi dengan kecepatan bagai kilat Lalu mereka menghilang begitu
menembus gumpalan awan yang menggantung di langit. Mereka tidak muncul-muncul
lagi, membuat semua orang yang menjadi anggota Partai Tengkorak Hitam jadi
bertanya-tanya. Bahkan Danupaksi, Cempaka, dan Panglima Wirasaba sendiri jadi
bertanya-tanya. Sulit dimengerti, apa yang diinginkan Rangga dengan menampakkan
diri bersama Rajawali Putih di angkasa tadi, tanpa melakukan tindakan apa-apa.
*** 5 Sementara itu, di dalam bangunan yang hanya satu-satunya di dalam benteng di
tengah-tengah padang rumput itu, terlihat seorang pemuda tampan. Berdiri tegak
di depan jendela besar sambil mendongakkan kepala memandang ke langit. Tidak
jauh di belakangnya, terlihat tiga orang laki-laki berusia setengah baya yang
bertubuh kekar duduk bersila di lantai memandangi.
Pemuda berbaju kulit binatang yang tidak lain Bragata itu baru berbalik, setelah
cukup lama berdiri di depan jendela menatap ke langit yang cerah dan hanya
sedikit awan saja. Langsung dipandanginya tiga orang yang duduk di lantai tidak
jauh di depannya. Kemudian kakinya melangkah mendekati sebuah kursi dengan
ukiran indah, lalu duduk dikursi itu dengan wajah kelihatan berselimut mendung.
Ketiga orang yang masih tetap duduk bersimpuh di lantai itu terus memandangi.
Mereka adalah tiga orang yang pertama kali ditaklukan Bragata setelah menguasai
ilmu-ilmu dari lima orang Pemimpin Partai Tengkorak Hitam, hingga menjadi
pengikutnya yang paling setia.
Sedangkan Bragata sendiri, tidak mengangkat seorang pun menjadi pendampingnya.
Apalagi orang kepercayaan. Tapi, tiga orang
bersaudara itu yang memang paling dekat dengannya. Mereka adalah Rapari, Raluga,
dan Rakapi yang semuanya memegang senjata berupa pedang berujung dua seperti
lidah ular. Dan mereka bertiga memang dikenal sebagai si Tiga Iblis Pedang Ular.
"Dia itukah yang disebut Pendekar Rajawali Sakti...?" ujar Bragata seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Benar, Yang Mulia. Dia itu satria utama Karang Setra," sahut Rapari.
"Tingkat kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari tandingannya sampai saat
ini," sambung Ratuga.
"Dan kabarnya, dia juga Raja Karang Setra. Tapi, dia lebih sering pergi
mengembara. Sementara, tampuk pimpinan digantikan adik tirinya. Nama nya
Danupaksi. Namun, tingkat kepandaiannya masih berada jauh di bawah satria itu,
Yang Mulia," sambung Rakapi menjelaskan.
"Hm.... Bagaimana kekuatan prajuritnya sendiri?" tanya Bragata dengan nada suara
setengah nenggumam.
"Itulah persoalannya, Yang Mulia. Meskipun jumlahnya sedikit, tapi mereka
memiliki kepandaian bertempur yang tidak bisa dianggap enteng. Belum lagi,
mereka memiliki para ksatria yang berkepandaian tinggi. Karang Setra memang
dikelilingi para ksatria yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Itu sebabnya,
walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil, tapi sangat disegani kerajaankerajaan lain. Bahkan beberapa kerajaan yang sudah kita taklukan, sangat menyegani Karang
Setra. Sehingga tidak ada yang berani menggempurnya. Sudah beberapa kali Karang
Setra mendapat serangan dari luar, tapi tidak ada yang berhasil menaklukannya,"
jelas Rapari panjang lebar.
"Kalian begitu banyak mengenal seluk beluk Karang Setra. Tapi, aku melihat
kalian seperti gentar menghadapinya. Kenapa...?"
terdengar agak dalam nada suara Bragata.
Tatapan mata pemuda itu pun terlihat begitu tajam, menyoroti wajah ketiga orang
yang tetap duduk bersimpuh di lantai, tidak jauh
di depannya. Dan mereka langsung menundukkan kepala, seakan menyembunyikan rasa
kegentaran dalam hati yang sudah terbaca Pemimpin Tunggal Partai Tengkorak Hitam
itu. Hingga untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara untuk
menjawab pertanyaan Ketua Partai Tengkorak Hitam.
"Seluruh kekuatan yang kumiliki, sekarang sudah berkumpul di sini. Jadi, tidak
ada alasan lagi bagi kalian untuk gentar menaklukan Kerajaan Karang Setra. Dan
satria yang menjadi kebanggaan Karang Setra, biar menjadi bagianku. Kalian hanya
memimpin semua pasukan menyerang prajurit Karang Setra. Bahkan kalau perlu,
membumihanguskan semuanya," terdengar agak lantang suara Bragata.
"Baik, Yang Mulia," sahut Tiga Iblis Pedang Ular serempak seraya menganggukkan
kepala bersamaan.
"Satria itu sudah mulai berani menyerang ke sini. Dan kita kehilangan hampir
seratus orang. Maka sudah sepantasnya kalau harus membalas, menunjukkan kekuatan
kita yang sesungguhnya.
Hancurkan Desa Kandaga hari ini juga. Kerahkan orang-orang kalian yang terbaik,"
perintah Bragata.
Tanpa diperintah dua kali, tiga orang laki-laki yang sudah dikenal di kalangan
rimba persilatan itu segera memberi hormat pada Ketua Partai Tengkorak Hitam.
Kemudian mereka bergegas keluar, meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini
Sedangkan Bragata sendiri bangkit berdiri, lantas melangkah ke jendela. Dari
jendela ini, tampak terlihat tiga orang yang dikenal sebagai Tiga Iblis Pedang
Ular tengah mengumpulkan orang-orang terbaiknya di tengah lapangan benteng itu.
Ada sekitar lima ratus orang langsung terkumpul dengan kuda masing-masing. Dan
mereka juga sudah siap dengan senjata.
Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah bergerak keluar dari dalam benteng itu
dengan menunggang kuda. Tampak berkuda paling depan adalah si Tiga Iblis Pedang
Ular. Mereka bergerak cepat, menuju Desa Kandaga yang merupakan gerbang termudah
untuk masuk ke Karang Setra. Tapi, kini bukan lagi menjadi gerbang
termudah bagi orang-orang yang tergabung dalam Partai Tengkorak Hitam, karena
ratusan prajurit pilihan Karang Setra sudah membuat benteng pertahanan di sana.
*** Sementara itu, Danupaksi, Cempaka, dan Panglima Wirasaba yang sejak tadi tenis
memperhatikan semua kegiatan yang terjadi di sekitar benteng pertahanan Partai
Tengkorak Hitam, sudah barang tentu mengetahui kedatangan orang-orang Partai
Tengkorak Hitam yang dipimpin si Tiga Iblis Pedang Ular menuju Desa Kandaga ini.
Danupaksi segera memerintahkan Panglima Wirasaba agar mempersiapkan prajurit
untuk menyambut mereka. Tanpa diperintah dua kali, Panglima Wirasaba segera
mengumpulkan prajurit-prajurit pilihannya. Langsung dibentuknya sebuah
pertahanan di tepi hutan yang langsung berbatasan dengan Desa Kandaga.
Dan pada saat yang sama, Rangga yang masih berada di angkasa bersama Rajawali
Putih, terus mengawasi gerakan orang-orang Partai Tengkorak Hitam yang semakin
dekat dengan Desa Kandaga.
Sementara, di pinggiran Desa Kandaga prajurit-prajurit Karang Setra yang
langsung dipimpin Danupaksi sudah siap menyambut serangan orang-orang dari
Partai Tengkorak Hitam. Mereka semua sudah siap dengan senjata masing-masing.
Bahkan pasukan panah pun sudah ditempatkan pada tempatnya, sehingga bisa
menghancurkan para penyerang.
Teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur sudah terdengar, bagai hendak
mengoyak habis seluruh rimba yang menjadi perbatasan dari Desa Kandaga ini. Dan
kepulan debu bercampur daun-daun kering pun sudah mulai terlihat membubung
tinggi ke angkasa. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat menembus hutan,
bagai hendak meruntuhkan bumi ini. Namun, tidak terlihat sedikit pun kegentaran
di wajah para prajurit Karang Setra yang terus menanti, menunggu perintah dari
pimpinannya. Sementara, barisan terdepan Partai Tengkorak Hitam sudah mulai terlihat keluar
dari dalam hutan. Sambil berteriak-teriak keras menggelegar, mereka terus memacu
cepat kudanya, meluruk deras
menyerang desa kecil yang menjadi gerbang masuk ke Kerajaan Karang Setra.
"Seraaang...!"
"Hancurkan...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang-orang yang semuanya berbaju hitam
bergambar tengkorak di punggung itu, langsung saja merang-sek, menyerang Desa
Kandaga yang sudah terjaga ratusan prajurit pilihan Karang Setra. Mereka
berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata, dan menggebah cepat kudanya.
Sehingga membuat debu dan daun-daun kering beterbangan, membubung tinggi ke
angkasa. Hentakan-hentakan kaki kuda yang begitu menggemuruh, membuat jantung
siapa saja yang mendengar pasti akanaergetar. Tapi, seluruh prajurit Karang
Setra sedikit pun tidak terlihat gentar. Bahkan tampaknya mereka seperti sudah
tidak sabar lagi menunggu perintah untuk menyerang.
"Perintahkan pasukan panah untuk menghambat mereka, Paman,"
perintah Danupaksi, pada Panglima Wirasaba yang berada di sampingnya.
"Baik, Gusti," sahut Panglima Wirasaba.
Dan seketika itu juga, teriakan Panglima Wirasaba yang keras menggelegar pun
terdengar bagai guntur hendak membelah mayapada. Sebuah teriakan yang begitu
keras karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi yang sejak tadi sudah
ditunggu-tunggu seluruh prajurit Karang Setra. Dan belum juga menghilang
teriakan Panglima Wirasaba dari pendengarannya, pasukan panah yang berjumlah
lebih dari seratus orang langsung cepat melepaskan anak-anak panah.
Swing...! Crab! "Aaakh...!"
Trak! Seketika itu juga, ratusan anak panah berhamburan menghujani orang-orang
berpakaian serba hitam. Dan mereka yang tidak sempat menghindar, harus terpental
dari punggung kuda dengan anak panah menembus tubuh. Tapi, tidak sedikit yang
berhasil menangkis serangan panah itu dengan senjata. Dan rupanya, prajurit
panah dari Kerajaan Karang Setra memang sudah terlatih baik Mereka cepat sekali
bisa melepaskan anak-anak panah, bagai tidak akan pernah habis dari kantung
kulitnya. Sehingga bukan lagi ratusan anak panah yang menghujani, tapi ribuan
yang datang meluruk bagai hujan yang sulit dapat dibendung lagi.
Maka kini jeritan-jeritan melengking tinggi mengiringi kematian pun semakin
sering terdengar saling bersahutan. Dan memang gerakan orang-orang berpakaian
serba hitam itu jadi terhambat oleh hujan panah ini. Bahkan terlihat tiga orang
pemimpin mereka yang dikenal berjuluk si Tiga Iblis Pedang Ular tidak dapat lagi
berbuat lebih jauh, untuk menyelamatkan orang-orangnya yang jadi kalang kabut
tidak terkendalikan lagi.
Hanya dalam waktu singkat saja, sudah terlihat lebih dari seratus orang dari
Partai Tengkorak Hitam yang ambruk bergelimpangan dengan tubuh tertembus panah.
Dan gerakan mereka benar-benar terhambat sekarang, tidak mungkin lagi bisa
bergerak maju untuk menyerang Desa Kandaga yang menjadi gerbang masuk utama ke
Kerajaan Karang Setra.
"Serang mereka dari sayap kiri, Paman," perintah Danupaksi yang tidak lepas
mengawasi pertarungan dari atas punggung kudanya.
"Baik, Gusti," sahut Panglima Wirasaba.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Panglima Wirasaba segera berteriak untuk
memerintahkan prajuritnya yang berada di sebelah kiri agar langsung menyerang.
Dan teriakan-teriakan pertempuran pun seketika terdengar membahana gegap gempita
dari para prajurit Karang Setra yang
berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka langsung melu-ruk deras,
menyerang orang-orang Partai Tengkorak Hitam yang saat itu memang sudah tidak
ter-kendalikan lagi.
"Hiyaaa...!"
"Bunuh mereka semua...!"
"Hajaaar...!"
"Seraaang...!"
"Yeaaah...!"
*** Sementara dari angkasa, Rangga tersenyum melihat keadaan begitu cepat dapat
dikuasai para prajurit Karang Setra yang tidak seluruhnya diterjunkan dalam
pertempuran. Walau dengan jumlah yang lebih sedikit, tapi memang diakui kalau
siasat yang dijalankan Danupaksi sangat ampuh untuk memukul mundur lawan.
Pertarungan tidak lama berjalan. Sementara orang-orang Partai Tengkorak Hitam
segera bergerak mundur, saat merasakan tidak mungkin lagi meneruskan
penyerangannya, sedangkan si Tiga Iblis Pedang Ular yang menjadi pemimpin dalam
penyerangan pun juga merasakan ketangguhan dari pertahanan para prajurit Karang
Setra. Kini mereka segera berteriak, memerintahkan orang-orangnya untuk mundur.
Sedikit demi sedikit, orang-orang berpakaian serba hitam itu bergerak mundur,
kembali masuk ke dalam hutan. Ditinggalkannya teman-teman mereka yang gugur
dalam pertempuran. Hanya dalam waktu tidak begitu lama, lebih dari setengah
jumlah mereka yang menyerang tewas di tangan para prajurit Karang Setra.
Sementara Panglima Wirasaba segera memerintahkan prajuritnya untuk menghentikan
pertarungan, setelah mendapat perintah dari Danupaksi. Dibiarkannya saja orangorang berpakaian serba hitam itu kembali ke benteng pertahanan yang ada di
tengah-tengah hutan ini.
"Kau hebat, Danupaksi. Siasatmu mampu memukul mundur mereka...."
"Oh..."!"
Danupaksi terkejut, saat tiba-tiba saja terdengar suara lembut seorang wanita
dari belakangnya. Dan bibirnya langsung tersenyum, begitu melihat Pandan Wangi
tahu-tahu sudah di belakangnya di atas punggung kuda putih. Gadis cantik yang
dikenal berjuluk si Kipas Maut segera menghampiri Danupaksi yang masih duduk di
punggung kudanya. Sementara, Panglima Wirasaba sudah berada di tengah-tengah
para prajuritnya. Segera diperintahkannya seluruh prajurit yang masih hidup
untuk membersihkan tempat ini dari mayat-mayat yang bergelimpangan. Dan sebagian
lagi merawat para prajurit yang terluka.
"Sejak kapan kau ada di sini, Kak Pandan?" tanya Danupaksi setelah Pandan Wangi
Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di sebelah kirinya.
"Sejak tadi," sahut Pandan Wangi singkat, sambil memberikan senyum kecil yang
manis. "Kau melihat semua pertempuran tadi?" tanya Danupaksi lagi.
"Pengaturan siasatmu pun aku tahu, Danupaksi."
Entah kenapa, Danupaksi jadi tersenyum mendengar jawaban si Kipas Maut itu. Dan
kepalanya mendongak ke atas. Tampak Rajawali Putih masih berada di angkasa,
bersama Rangga yang berada di punggungnya. Samar-samar Danupaksi melihat
lambaian tangan Pendekar Rajawali Sakti di angkasa. Dan pemuda itu langsung
tersenyum. Dia tahu, kakak tirinya memberikan salam selamat atas keberhasilannya
memukul mundur orang-orang Partai Tengkorak Hitam yang akan menyerang ke-rajaan
mereka. "Sejak tadi aku tidak melihat Cempaka. Di mana dia, Danupaksi?"
tanya Pandan Wangi setelah beberapa saat terdiam membisu.
"Aku menyuruhnya kembali ke istana, menjaga segala kemungkinan, Kak Pandan,"
sahut Danupaksi.
"Hm, bagus.... Memang istana tidak boleh dikosongkan dalam keadaan seperti ini.
Berapa kekuatan prajurit yang kau tempatkan di istana?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Sekitar lima ratus orang," sahut Danupaksi menjelaskan. "Juga di setiap pintu
masuk, ditempatkan sedikitnya seratus orang prajurit untuk berjaga-jaga,
ditambah dua puluh orang satria pilihan.
Sebagian besar satria kubawa ke sini. Dan sisanya, kutempatkan di sekitar
istana." "Kau lebih cocok menjadi Maha Patih daripada seorang raja, Danupaksi," puji
Pandan Wangi. "Terima kasih...," hanya itu yang bisa diucapkan Danupaksi, menerima pujian si
Kipas Maut. Pandan Wangi juga memberi senyuman manis sekali. Di dalam hati, dia memang
memuji tulus melihat kepandaian Danupaksi dalam mengatur siasat pertempuran.
Entah, semua itu didapatkan dari mana. Tapi memang, Danupaksi sangat berbakat
dalam mengatur para prajurit di medan laga. Dan kepandaiannya membuat Rangga
sangat mempercayakan untuk menggantikannya memimpin Karang Setra, setiap kali
pergi mengembara bersama gadis itu.
"Aku pergi dulu, Danupaksi," ujar Pandan Wangi berpamitan.
"Kau mau ke mana, Kak?" tanya Danupaksi, sebelum Pandan Wangi sempat menggebah
kudanya. "Menemui Kakang Rangga," sahut Pandan Wangi "Hiyaaa...!"
Gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut langsung
menggebah kencang kudanya, masuk ke dalam hutan. Sementara
Danupaksi tidak dapat lagi mencegah kepergian-nya. Dan pemuda itu langsung sibuk
membantu Panglima Wirasaba mengatur para prajuritnya untuk kembali berada pada
tempatnya dalam mempertahankan gerbang masuk ke Kerajaan Karang Setra ini.
Danupaksi segera mefubah keberadaan mereka, hingga tidak mungkin bisa dipelajari
pihak lawan yang pasti akan menggempur kembali.
Sementara itu, Pandan Wangi sendiri sudah sampai di pinggiran padang rumput yang
ada di tengah-tengah hutan ini. Di sanalah
benteng pertahanan Partai Tengkorak Hitam berdiri tegak, ber-sama ribuan
pengikutnya yang semuanya mengenakan pakaian serba hitam, bergambar kepala
tengkorak berwarna putih di punggungnya.
Dan baru saja Pandan Wangi turun dari punggung kuda, terdengar suara
bergemirisik dari daun-daun kering yang terpijak sepasang kaki Pandan Wangi
cepat berpaling ke belakang. Dan bibirnya langsung mengukir senyum manis, saat
melihat Rangga datang menghampiri dengan berjalan kaki. Entah, berada di mana
Rajawali Putih yang tadi bersama-sama pemuda itu
"Bagaimana..." Sudah ada gerakan lagi di sana?" tanya Rangga langsung, begitu
sampai di samping kanan Pandan Wangi.
"Aku juga baru sampai di sini, Kakang. Belum sempat memperhatikan mereka," sahut
Pandan Wangi. "Tampaknya mereka sedang mempersiapkan penyerangan lagi, Pandan," ujar Rangga
agak menggumam.
"Ya, kelihatannya memang begitu," sambut Pandan Wangi juga pelan suaranya.
Mereka memang melihat kesibukan yang terjadi di sekitar benteng pertahanan
Partai Tengkorak Hitam. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam yang berjumlah
ribuan dan bersenjatakan lengkap sudah berbaris rapi di depan bangunan besar
berbentuk benteng pertahanan. Bahkan terlihat puluhan pedati berbaris di bagian
belakang. Rupanya, kali ini mereka akan menyerang dengan kekuatan penuh.
"Lihat, Kakang. Bukankah itu pemimpinnya...?" seru Pandan Wangi agak keras
suaranya. "Hm...," Rangga rianya menggumam saja sedikit.
Mereka memang melihat seorang pemuda berbaju kulit binatang, keluar dari dalam
bangunan benteng. Dia dikawal tiga orang yang tadi memimpin penyerangan ke Desa
Kandaga. Pemuda itu menunggang seekor kuda putih yang gagah, dengan sebilah
pedang tersampir di punggung Saat itu juga, terdengar sorak-sorai dari semua
orang berpakaian serba hitam yang berbaris rapi di depan
benteng pertahanan Partai Tengkorak Hitam. Mereka mengelu-elukan pemimpin mereka
yang berada di punggung kuda putih, dikawal si Tiga Iblis Pedang Ular.
"Pandan! Beritahu Danupaksi untuk bersiap-siap menghadapi pertempuran besar.
Tampaknya mereka akan mengerahkan seluruh kekuatan untuk menyerang kita," kata
Rangga langsung memberi perintah.
"Baik, Kakang...."
Tanpa diperintah dua kali, Pandan Wangi langsung melompat naik ke punggung
kudanya. Segera kudanya digebah cepat. Sementara, Rangga sendiri bergegas
meninggalkan tempat itu, kembali ke tempat Rajawali Putih ditinggalkan tadi.
Sementara orang-orang Partai Tengkorak Hitam yang kini langsung dipimpin ketua
tunggal mereka, sudah mulai bergerak menuju Desa Kandaga. Dan memang, tepat
dugaan Rangga. Mereka kini mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk bisa
menembus pertahanan para prajurit yang menjaga gerbang masuk ke Kerajaan Karang
Setra. *** 6 Terkesiap juga hati Danupaksi, saat melihat kekuatan Partai Tengkorak Hitam yang
muncul dari dalam hutan. Walaupun sudah tahu seberapa besar jumlah kekuatan
mereka, tapi tetap saja membuat seluruh aliran darahnya bagai terbalik. Bahkan
semua prajurit yang sudah berada pada tempat masing-masing, sempat terpaku
melihat jumlah kekuatan lawan yang berlipat ganda dari jumlah yang ada sekarang
ini. Walaupun lawan yang akan dihadapi begitu kuat dan besar, sedikitpun tidak ada
kegentaran tersirat di wajah para prajurit Karang Setra. Sementara, Danupaksi
yang didampingi Panglima Wirasaba, tampak tegar menanti serangan datang di
punggung kuda. Dan hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, semakin jelas
terdengar menggetarkan bumi. Teriakan-teriakan pembangkit
semangat pertempuran pun terus terdengar saling sambut. Tampak orang-orang
berpakaian serba hitam yang semuanya menunggang kuda semakin dekat saja jaraknya
dengan perbatasan Desa Kandaga.
Sementara, para prajurit Karang Setra sudah siap menunggu perintah dengan
senjata terhunus.
"Pasukan panah, seraaang...!" seru Panglima Wirasaba begitu mendapat perintah
dari Danupaksi.
Dan seketika itu juga, puluhan prajurit panah yang sudah siap sejak tadi
langsung melepaskan anak-anak panah dengan cepat, menyambut kedatangan barisan
terdepan orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam itu. Hujan panah yang datang
cepat, membuat mereka yang berada di depan tidak sempat lagi menghindarinya.
Maka jeritan-jeritan menyayat pun seketika terdengar saling sambut, mengiringi
ambruknya tubuh-tubuh berbaju hitam dari atas punggung kuda.
Walaupun dihujani anak panah dengan gencar, tapi orang-orang Partai Tengkorak
Hitam tidak gentar. Mereka terus maju, menggebah cepat kudanya sambil berteriakteriak mengangkat senjata di atas kepala. Jeritan-jeritan panjang melengking
tinggi pun semakin sering terdengar saling sambut. Dan ketika Panglima Wirasaba
sudah mengangkat tangannya hendak memberi perintah pada prajuritnya, tiba-tiba
saja.... "Khraaagkh...!"
"Lihat...! Kakang Rangga datang dengan Rajawali Putih...!" seru Pandan Wangi
sambil menunjuk ke atas.
Memang pada saat itu, terlihat seekor burung rajawall raksasa berbulu putih
keperakan meluncur cepat bagai kilat dari angkasa, disertai suara menggemuruh
bagai guntur membelah angkasa. Di punggungnya, terlihat seorang pemuda tampan
berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bercahaya biru terang menyilaukan mata
tergenggam di tangan kanan. Pemuda itu tak lain Rangga, dan dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hancurkan mereka, Rajawali...!"
"Khraaagkh...!"
Sambil mengeluarkan suara serak dan keras menggelegar memekakkan telinga.
Rajawali Putih langsung meluruk deras. Segera disambarnya orang-orang berpakaian
serba hitam yang berada pada barisan terdepan. Kepakan sayapnya yang lebar,
membuat mereka tidak bisa menahannya. Maka tubuh-tubuh remuk berlumuran darah
berpen-talan tersambar kedua sayap burung rajawali raksasa itu.
Bahkan kedua cakarnya dan paruhnya ikut menghajar orang-orang dari Partai
Tengkorak Hitam. Sementara Rangga berdiri tegak dengan kedua kaki kokoh di atas
punggung tunggangannya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Begitu mendapat
kesempatan, cepat bagai
kilat Pendekar Rajawali Sakti
melompat dari punggung
burung rajawali raksasa
tunggangannya.' Dan
seketika Itu juga, pedang
pusakanya yang memancarkan cahaya biru
terang langsung dikibaskan
cepat dan beruntun,
membuat orang-orang dari
Partai Tengkorak Hitam
yang berada dekat
dengannya tidak sempat
lagi menyelamatkan diri.
Mereka kontan menjerit,
begitu tubuhnya tertebas pedang pusaka yang sangat dahsyat.
"Seraaang...!"
Saat itu juga Danupaksi berteriak memberi perintah prajuritnya, untuk membantu
Pendekar Rajawali Sakti dan burung rajawali raksasa tunggangannya.
Seketika itu juga, ratusan prajurit Kerajaan Karang Setra berlarian
menyerang orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Teriakan-teriakan keras
pembangkit semangat bertempur kini berbaur menjadi satu dengan jeritan-jeritan
menyayat, mengiringi tubuh-tubuh yang ambruk bersimbah darah.
Sementara Danupaksi, Panglima Wirasaba, dan Pandan Wangi juga sudah menggebah
kudanya, merangsek para penyerang dari Partai Tengkorak Hitam. Dengan senjata
masing-masing mereka menghajar para penyerang bagai banteng murka. Ringkikan
kuda membuat suasana di pinggiran Desa Kandaga ini semakin hiruk-pikuk tidak
menentu. Walaupun jumlah para prajurit jauh lebih sedikit, tapi sangat sulit bagi orangorang Parlai Teng korak Hitam untuk menembus pertahanan, terlebih lagi, Rangga
dan Rajawali Putih ikut terjun memperkuat barisan para prajurit Karang Setra.
Sehingga semakin sukar bagi orang-orang Partai Tengkorak Hitam bisa menerobos
pertahanan itu Dan sedikit demi sedikit, mereka terpaksa harus bergerak mundur
menjauhi tempat pertempuran. Tampak jelas sekali kalau mereka benar-benar tidak
mampu menggempur para prajurit Karang Setra, walau dengan jumlah berlipat ganda.
"Munduuur...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar dari arah belakang orangorang berpakaian serba hitam. Dan seketika itu juga, mereka langsung memutar
kudanya yang langsung dipacu cepat meninggalkan kancah pertarungan. Saat itu
juga, Panglima Wirasaba memerintahkan prajuritnya untuk berhenti menyerang.
Tidak ada lagi orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang tersisa di tempat
pertempuran ini. Dan jumlah mereka begitu banyak sekali yang gugur. Sedangkan
hanya sekitar lima puluh orang prajurit saja yang gugur dalam pertarungan sengit
tadi. Sementara Rangga sendiri berdiri tegak di antara mayat-mayat yang berserakan
saling tumpang tindih, dengan pedang pusaka memancarkan cahaya biru terang
tersilang di depan dada. Tidak jauh di sebelah kiri, terlihat Pandan Wangi yang
menggenggam kedua senjata pusakanya. Di tempat lain yang agak jauh, terlihat
Panglima Wirasaba bersama Danupaksi berada di punggung kuda memandangi lawan mereka yang
tenis menghilang di balik lebatnya hutan di depan.
Cring! Rangga memasukkan pedang pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Pandan Wangi |uga menyimpan kedua senjata pusaka. Lalu, dihampirinya Pendekar
Rajawali Sakti, dan berdiri di sebelah kirinya. Sejenak mereka saling
berpandangan, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ditatapinya mayat-mayat
yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya.
Sementara di tempat lain, Danupaksi dan Panglima Wirasaba sudah mulai mengatur
para prajuritnya untuk membersihkan tempat pertarungan dari mayat-mayat yang
berserakan. Rangga dan Pandan Wangi menyingkir ke garis belakang. Pendekar
Rajawali Sakti sempat mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya jadi tersenyum
melihat Rajawali Putih sudah berada tinggi di angkasa. Tapi burung rajawali
raksasa tidak meninggalkannya.
*** "Kalau begini terus, bisa habis prajurit Karang Setra, Kakang," ujar Pandan
Wangi terdengar lirih sekali suaranya.
"Hhh...!"
Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja. Raja Karang Setra ini juga tidak
ingin kehllangan prajuritnya begitu banyak dalam menghadapi orang-orang yang
berada di bawah panji Partai Tengkorak Hitam. Walaupun kemampuan prajurit dapat
diandalkan, tapi tidak mungkin bisa bertahan terus menerus menghadapi gempuran
lawan yang berjumlah sangat banyak. Bagaimanapun juga, manusia tentu memiliki
segala macam keterbatasan.
Dalam pertempuran tadi saja, sudah cukup banyak mereka kehilangan prajurit.
Walaupun, dapat memukul mundur pihak lawan.
Sulit diramalkan, apakah prajurit-prajurit Karang Setra dapat bertahan, jika
mendapat serangan kembali dengan jumlah yang sudah berkurang. Rangga sendiri
tidak dapat membayangkannya.
Tapi untuk mengadakan penyerangan, sudah barang tentu tidak mungkin dilakukan.
Pertahanan mereka begitu kuat. Terlebih lagi, mereka memiliki benteng pertahanan
yang terjaga ketat dengan persenjataan lengkap.
Pada saat kedua pendekar muda itu sedang terdiam, terlihat Panglima Wirasaba
datang menghampiri tergesa-gesa. Laki-laki berusia setengah baya dengan keringat
bercucuran membasahi sekujur tubuhnya, langsung berlutut di depan Pendekar
Rajawali Sakti. Langsung diberikannya sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung.
"Ada apa, Paman?" tanya Rangga dengan nada suara sangat berwibawa.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba kedatangan seorang utusan prajurit dari istana. Dia
menyampaikan kabar, kalau di perbatasan sebelah utara telah datang satu pasukan
berjumlah besar dari Kerajaan Pringgading," lapor Panglima Wirasaba.
"Hm.... Mau apa mereka?" tanya Rangga dengan kening berkerut
"Mereka datang untuk membantu kita. Gusti Prabu. Bahkan Prabu lndrata sendiri
yang memimpin prajurit itu," lapor Panglima Wirasaba lagi.
Rangga jadi terdiam beberapa saat dengan kening berkerut.
Memang kemunculan Partai Tengkorak Hitam sudah membuat resah seluruh kerajaan di
muka bumi ini. Bukan itu saja. Para tokoh persilatan golongan putih pun sudah
dilanda keresahan. Terlebih lagi hanya dalam beberapa hari saja. Bahkan sudah
menguasai beberapa wilayah kerajaan di wilayah selatan. Dan sekarang, mereka
berusaha menguasai wilayah kulon. Tapi, ternyata mereka justru malah terbentur
di Karang Setra, sebuah kerajaan pertama yang dipilih untuk ditaklukkan.
Sedangkan Kerajaan Pringgading sendiri, letaknya memang berbatasan dengan Karang
Setra. Dan kalau Karang Setra jatuh di tangan Partai Tengkorak Hitam, sulit bagi
Kerajaan Pringgading untuk bisa mempertahankan wilayahnya. Rupanya, ini yang
membuat Prabu Indrata, Raja Pringgading, tergerak hatinya untuk memperkuat barisan prajurit
Karang Setra. Karena, dia juga tidak ingin wilayah kerajaannya jatuh ke tangan
orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam yang kekejamannya sudah terkenal itu,
Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
walaupun belum ada satu purnama kemunculannya.
"Kirim utusan segera, Paman. Kalau mereka memang ingin membantu, segeralah
datang ke sini," perintah Rangga.
"Baik, Gusti Prabu," sahut Panglima Wirasaba, seraya memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Bergegas Panglima Wirasaba meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Dihampirinya
seorang utusan dari istana yang menunggu di samping kudanya. Hanya sebentar saja
Panglima Wirasaba berbicara, lantas prajurit utusan itu sudah langsung melompat
naik ke punggung kudanya. Cepat sekali kudanya digebah hingga berlari kencang
meninggalkan Desa Kandaga ini.
Rangga memandangi utusan ini hingga lenyap di tikungan jalan yang langsung
menuju Kota Kerajaan Karang Setra. Kemudian dihembuskannya napas panjang. Lalu
kepalanya berpaling menatap Pandan Wangi. Kemudian pandangannya beralih kepada
Danupaksi yang duduk bersandar di bawah pohon bersama empat orang panglima.
Entah, apa yang dibicarakan di sana. Tampaknya Danupaksi sedang merencanakan
sesuatu untuk menempatkan prajurit-prajuritnya dalam menghadapi serangan Partai
Tengkorak Hitam.
"Mudah-mudahan saja raja-raja lainnya yang bertetangga dengan kita, tergerak
hatinya mengikuti Gusti Prabu lndrata," desah Pandan Wangi pelan, seperti bicara
pada diri sendiri.
Rangga berpaling sedikit, lantas menatap gadis cantik kekasihnya.
Terdengar hembusan napas panjangnya. Selama berdiri, memang Karang Setra baru
kali ini mendapat serangan dari musuh yang kekuatannya begitu besar. Juga, baru
kali ini mendapat bantun dari kerajaan lain. Tapi memang, sebenarnya itu yang
sangat diharapkan.
Dengan penyatuan kekuatan, mereka akan semakin bertambah besar
dan kuat Dan bukannya tidak mungkin mereka akan menghancurkan Partai Tengkorak
Hitam sampai ke akar-akarnya.
"Kakang! Apa tidak sebaiknya kita mengirimkan utusan pada kerajaan-kerajaan lain
yang menjadi sahabat kita...?" usul Pandan Wangi selelah beberapa saat lamanya
terdiam membisu.
'Tidak perlu, Pandan," sahut Rangga tegas.
"Tapi kita memang membutuhkan bantuan, Kakang. Dengan jumlah prajurit sekarang
ini, tidak mungkin bisa bertahan lebih lama lagi. Sedangkan kau tahu sendiri,
jumlah mereka begitu besar. Dan tadi, kulihat datang lagi satu rombongan besar
memperkuat barisan mereka," kata Pandan Wangi agak keras suaranya.
"Aku tidak akan mengirimkan utusan untuk meminta bantuan.
Pandan. Tapi kalau mereka datang dan ingin bergabung, tidak akan kutolak.
Biarkan mereka berpijak pada pendiriannya sendiri. Dan aku tidak ingin mengusik
ketenteramannya," tandas Rangga tetap pada pendiriannya.
"Tapi, Kakang. Kalau Karang Setra jatuh, mereka juga akan terancam."
"Tidak, Pandan...," ujar Rangga seraya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku
tidak akan membiarkan Karang Setra runtuh. Walaupun harus mati, asalkan Karang
Setra tetap berdiri tegak."
Pandan Wangi jadi terdiam mendengar kata-kata yang bernada tegas. Memang sulit
bisa melemahkan hati Pendekar Rajawali Sakti.
Walau dalam keadaan sulit bagaimanapun juga, Rangga memang tidak akan pernah
mengemis meminta bantuan. Dan segala kesulitannya akan ditanggulangi sendiri.
Hatinya begitu yakin kalau semua ini dapat teratasi, tanpa harus mengganggu
ketenteraman kerajaan tetangganya. Malah sedikit pun tidak terbetik di dalam
hatinya untuk mengusik ketenteraman mereka.
"Ayo, Pandan. Kita awasi mereka lagi. Kalau mereka kembali bergerak akan
menyerang, kita bisa tahu dengan cepat. Sehingga
bisa mempersiapkannya dengan cepat pula," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
Pandan Wangi hanya mengangguk. Dan kini mereka melangkah bersisian tanpa bicara
lagi. Para prajurit yang dilewati langsung membungkukkan tubuh memberi hormat
Meskipun saat ini Rangga hanya mengenakan baju rompi putih seperti seorang
pendekar pengembara, tapi semua prajurit Karang Setra tetap saja mengenalinya
sebagai Raja Karang Setra. Sehingga mereka tetap bersikap hormat pada pemuda
itu. Dan Rangga juga tidak bisa melarang lagi. Bahkan Panglima Wirasaba sendiri
tidak bisa lagi bersikap biasa pada pemuda itu, karena di tempat ini begitu
banyak prajurit berkumpul.
"Kakang, kau akan ke mana...?" teriak Danupaksi saat melihat Rangga dan Pandan
Wangi hendak pergi.
Bergegas Danupaksi meninggalkan empat orang panglimanya.
Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang menjadi tulang punggung kejayaan
Karang Setra itu. Rangga dan Pandan Wangi menghentikan langkahnya, menunggu
sampai Danupaksi-dekat. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu langsung memberi
hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu sampai di
depan kedua pendekar ini.
"Aku akan mengamati mereka, Danupaksi. Kau tetap di sini bersama Panglima
Wirasaba. Kalau Prabu lndrata dan prajuritnya datang, terimalah dengan baik.
Biarkan dia menempatkan prajuritnya di mana saja semaunya, asal tidak keluar
dari Desa Kandaga ini,"
kata Rangga langsung memberi amanat.
"Baik, Kakang Prabu," sahuat Danupaksi dengan sikap hormat.
"Kalau ada yang datang lagi untuk bergabung, terima saja. Asal, kau kenal dan
mengetahui siapa mereka. Tak usah peduli, apakah itu dari pihak kerajaan
tetangga, orang-orang persilatan, atau orang orang dari padepokan silat. Kau
harus menerima maksud baik mereka dengan tangan terbuka," pesan Rangga lagi.
Danupaksi kembali menganggukkan kepala. "Nah! Aku pergi dulu.
Kalau aku tidak kembali sampai senja nanti, jangan gusar dan jangan mengirim
seorang pun untuk mencari. Aku akan berusaha melemahkan mereka. Kau yang menjadi
pimpinan utama di sini, Danupaksi. Bertindaklah adil pada siapa pun juga," pesan
Rangga lagi. "Aku akan jalankan semua pesanmu, Kakang Prabu," sahut Danupaksi sambil memberi
sembah hormat lagi.
Rangga tersenyum dan menepuk pundak adik tirinya. Kemudian diajaknya Pandan
Wangi meninggalkan Desa Kandaga ini. Danupaksi mengiringi kepergian mereka
dengan pandangan mata. Sudah bisa diduga, apa yang akan dilakukan Rangga dan
Pandan Wangi untuk melemahkan kekuatan pihak lawan. Dan dia hanya bisa berharap,
semoga kedua pendekar itu tidak mendapatkan kesulitan berarti.
Sementara itu, di dalam benteng pertahanannya, Bragata kelihatan berang
menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak diduga. Tidak disangka, tindakannya
akan mendapat batu sandungan begitu besar dari sebuah kerajaan kecil yang
dianggapnya lemah.
Untuk menembus masuk ke wilayahnya saja, sudah terasa begitu sulit. Padahal,
prajurit Karang Setra hanya sedikit. Tapi kemampuannya dalam medan pertempuran
sungguh tidak bisa dipandang sebelah mata.
Begitu geramnya, hingga Bragata menarik semua pengikutnya yang masih tersebar
untuk memperkuat benteng ini. Kini jumlah mereka semakin berlipat ganda.
Kekuatan para prajurit Karang Setra membuat Bragata jadi penasaran, dan ingin
menaklukkannya. Dia sudah bertekad harus menaklukan kerajaan kecil yang sudah
membuat gentar pengikutnya.
Sementara jauh di luar benteng besar itu, tampak Rangga dan Pandan Wangi terus
mengamati dari tempat yang cukup tersembunyi Mereka tampak tertegun, melihat
jumlah kekuatan lawan yang semakin bertambah besar saja. Bahkan masih saja
berdatangan orang-orang berpakaian serba hitam, dari segala penjuru. Dan kini,
padang rumput yang luas itu penuh tenda yang berdiri. Yang dihuni
orang-orang dari Partai Tengkorak Hitam. Mereka bagaikan sebuah laskar yang
sangat besar, ingin menggempur sebuah kerajaan kuat.
Begitu besarnya, membuat Rangga jadi meragukan kekuatan prajuritnya sendiri.
"Aku jadi khawatir, Kakang...," desah Pandan Wangi tiba-tiba, mengemukakan
perasaan harinya.
"Hhh...!"
Rangga tidak bisa mengeluarkan sapatah kata pun juga. Hanya dihembuskannya napas
panjang yang terasa begitu keras. Memang, bukan hanya Pandan Wangi saja yang
merasa cemas melihat keadaan seperti ini. Rangga juga tidak bisa lagi
menyembunyikan kecemasannya. Hatinya khawatir, Karang Setra akan jatuh ke tangan
orang-orang liar yang tergabung dalam Partai Tengkorak Hitam.
Sedangkan mereka sudah menguasai seluruh wilayah selatan. Dan sekarang, mereka
mencoba menguasai wilayah kulon ini, melalui Karang Setra yang menjadi baru
sandungan terbesar.
"Aku rasa, walaupun menggabungkan tiga kerajaan, tidak akan sanggup menghadapi
mereka, Kakang," ujar Pandan Wangi lagi, dengan suara masih tetap pelan bernada
cemas. "Aku harus menghancurkan mereka, Pandan," desah Rangga juga pelan suaranya.
"Caranya...?" tanya Pandan Wangi.
"Hhh...!"
Kembali Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan si Kipas Maut, kecuali hanya
menghembuskan napas panjang saja yang terasa begitu berat. Sukar baginya untuk
mengemukakan, apa yang menjadi ganjalan dalam hatinya sekarang ini. Sedangkan
dia sendiri belum mendapatkan cara terbaik, untuk menghancurkan orang-orang
Partai Tengkorak Hitam. Terlalu besar jumlahnya dan tidak mungkin diserang hanya
seorang diri saja.
"Pandan.... Sebaiknya kau bantu Danupaksi. Aku merasa bukan hanya dari Kerajaan
Pringgading yang datang membantu. Peristiwa
ini sudah cepat tersebar luas. Orang-orang dari rimba persilatan pun pasti
datang ke sini. Kau bantu saja Danupaksi mengatur mereka, Pandan," kata Rangga
meminta. "Lalu kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi. Rangga tidak langsung menjawab. Entah
kenapa, bibirnya hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan itu. Dan Pandan Wangi
sendiri tidak menunggu jawaban atas pertanyaannya tadi. Tanpa berkata apa pun,
tubuhnya segera berbalik dan melangkah meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti
seorang diri di tepi padang rumput yang menjadi pusat pertahanan Partai
Tengkorak Hitam. Rangga hanya berpaling sedikit, melihat Pandan Wangi yang terus
melangkah pergi meninggalkannya tanpa berkata apa pun juga.
"Hm.... Aku coba melemahkan mereka dengan caraku sendiri.
Kurasa, mereka perlu digempur lebih dulu, sebelum bisa menyerang lagi," gumam
Rangga bicara pada diri sendiri.
*** 7 Entah berapa lama Rangga berdiri tegak memandangi benteng pertahanan Partai
Tengkorak Hitam. Sedikit pun kedua bola matanya tidak dikedipkan. Sedikit
napasnya berhembus. Kemudian kedua tangannya terkepal erat, dan perlahan-lahan
bergerak naik hingga sejajar pinggang. Dan perlahan-lahan pula, kedua kakinya
bergerak merentang ke samping. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, seakan
hendak menembus pagar benteng yang tinggi dan kokoh di tengah-tengah padang
rumput sangat luas itu.
"Hooop...!"
Kembali Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam, dan menahannya hingga
urat-urat lehernya bersembulan keluar.
Wajahnya pun jadi memerah seperti kepiting rebus. Beberapa saat pemuda itu tidak
bergerak seperti patung batu. Lalu...
"'Aji Bayu Bajra'! Yeaaa...!"
Wusss! Tepat ketika Rangga berteriak sambil menghentakkan kedua tangan dengan jari-jari
terbuka lebar, seketika itu juga terjadi hempasan badai topan dahsyat disertai
angin menderu begitu keras menggetarkan jantung, menghantam seluruh padang
rumput itu. Sehingga bagai hendak menggulung rata dengan tanah. Badai topan ciptaan Pendekar
Rajawali Sakti membuat semua orang-orang di padang rumput itu jadi terkejut
setengah mati. Tapi belum juga bisa menghilangkan rasa terkejutnya, sudah terdengar jeritanjeritan panjang melengking tinggi dari mereka yang terhempas tiupan angin topan
yang sangat dahsyat ini. Tubuh-tubuh mereka kontan berhamburan bagai segumpal
kapas yang tertiup angin
Bahkan pepohonan pun ikut tercabut dari akarnya, beterbangan menghantam tendatenda dan orang-orang yang sedang dilanda kebingungan. Sementara Rangga yang
berada tidak seberapa jauh dari tepi padang rumput, terus mengerahkan aji
kesaktiannya hingga semakin dahsyat saja. Akibat nya angin topan yang
ditimbulkannya bagai hendak menghancurkan semua yang ada di sekitar padang
rumput itu. "Hiyaaa...!"
Beberapa kali Rangga berteriak keras mengngerahkan aji kesaktiannya semakin
bertambah hebat saja.
Entah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan 'Aji Bayu Bajra' yang
sangat dahsyat, karena disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan sempurna. Dan
tiba-tiba saja kedua tangannya dihentakkan ke bawah. Maka seketika itu juga,
badai topan yang mengamuk sangat dahsyat berhenti, tepat ketika kedua tangan
pemuda berbaju rompi putih itu sudah kembali terkepal erat di samping pinggang
"Hmmm.. Rangga menggumam sedikit, melihat hasil pengerahan 'Aji Bayu Bajra'. Sungguh
dahsyat luar biasa. Padang rumput itu jadi porak poranda hanya dalam waktu
singkat diterjang badai topan buatannya tadi. Bahkan tidak ada satu tenda pun
yang terlihat masih berdiri dengan utuh. Namun, Rangga jadi heran. Karena, tidak
melihat ada kerusakan sedikit pun pada bangunan benteng besar yang berdiri di
tengah-tengah padang rumput itu. Sedangkan di sekelilingnya begitu rusak,
seperti baru saja diterjang ratusan gajah liar yang marah, karena kehidupannya
terusik tangan-tangan jahil manusia.
Mayat-mayat tampak bergelimpangan di sekitar benteng itu Mereka mati dengan
kepala hancur, atau tubuh remuk terhantam batu-batuan dan pepohonan. Bahkan
tidak sedikit yang mati terhimpit pohon atau bebatuan, akibat terjangan angin
badai topan ciptaan Pendekar Rajawali Sakti tadi
Tapi, ternyata Rangga masih melihat ada yang tetap hidup dan kembali bangkit
berdiri lagi. Hanya saja tak seorang pun yang kelihatannya selamat dari amukan
badai topan, yang tidak mendapatkan luka. Mereka yang masih hidup semuanya
menderita luka yang tidak bisa dianggap ringan. Melihat kenyataan itu, Rangga
jadi tersenyum. Dengan mengerahkan 'Aji Bayu Bajra', jumlah kekuatan lawan sudah
bisa dikurangi "Sedikit demi sedikit akan kuhancurkan mereka semua...," desis Rangga dengan
suara menggumam pelan.
Dari tempat yang cukup tersembunyi, Rangga terus
memperhatikan orang-orang berpakaian serba hitam. Dan dari dalam benteng,
bermunculan teman-teman mereka. Tampaknya, mereka begitu terkejut melihat
keadaan di sekitar bagian luar bentengnya.
Hanya beberapa saat saja terjadi badai topan, sudah membuat tempat pertahanan
jadi po-rak poranda seperti ini. Saat itu, Rangga melihat Bragata keluar dari
dalam bentengnya. Dan tampaknya, hatinya begitu geram melihat orang-orangnya
bergelimpangan tak bernyawa lagi, dengan kepala dan tubuh hancur akibat
terserang badai topan tadi.
"Keparat...! Ini pasti perbuatan Pendekar Rajawali Sakti. Huh!
Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri...!" dengus Bragata, geram setengah
mari. Kedua bola mata pemuda itu tampak memerah, menerawang nyalang beredar ke
sekelilingnya. Seakan-akan ada yang tengah dicarinya. Dan tidak lama kemudian,
pandangannya tertuju langsung ke tempat Rangga berada, di balik lebatnya semak
belukar dan batu-batu menjulang cukup tinggi, yang banyak berserakan di
sepanjang pinggiran padang rumput ini. Saat itu juga seluruh aliran darah di
dalam tubuh Rangga jadi berdesir kuat Seakan, dia sudah merasa kalau tempat
persembunyiannya sudah diketahui
"Keluar kau, Pendekar Rajawali Sakti...! Hadapi aku..!" seru Bragata dengan
suara keras dan lantang menggelegar, karena disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Hm.... Rupanya dia sudah tahu tentang diriku...," gumam Rangga dalam hari.
Tapi Rangga sengaja tidak segera keluar memenuhi tantangan Pemimpin Partai
Tengkorak Hitam. Hanya diperhatikannya saja pemuda itu dari tempat
persembunyiannya. Sementara itu, Bragata sendiri terus melangkah semakin
mendekati tempat persembunyian Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, dia sudah
tahu tempat persembunyian Rangga. Tapi dari kedua bola matanya yang begitu tajam
nyalang ke sekeliling, Rangga tahu kalau Pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu
belum tahu tempat persembunyiannya.
"Phuih...! Aku tahu, di mana kau bersembunyi, Pendekar Rajawali Sakti! Keluarlah
kau, kalau tidak ingin seluruh tubuhmu kuhancurkan...!" bentak Bragata geram,
bernada mengancam.
Tapi Rangga tetap saja diam di tempat persembunyiannya dengan bibir mengulum
senyum. Dia tahu, Pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu belum tahu tempat
persembunyiannya. Dan sepertinya, Rangga memang sengaja ingin mempermainkannya
dulu, seperti ingin membuat kesabaran Bragata hilang.
Sementara Bragata sendiri sudah berhenti melangkah, tidak jauh dari pinggiran
Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padang rumput ini. Kedua bola matanya tetap nyalang, menyorot tajam mencari
Rangga. Dan pendengarannya tampak ditajamkan. Tapi memang tidak mudah mengetahui
keberadaan Pendekar Rajawali Sakti, walaupun jarak mereka cukup dekat. Dan
Rangga sendiri mengerahkan pemindahan jalan napas melalui perut.
Sehingga sulit bagi Bragata untuk mengetahui tempat persembunyiannya. Dan ini
tampaknya membuat Bragata semakin geram saja. Dia benar-benar merasa
dipermainkan kali ini.
Namun ketika Bragata baru saja kembali mengayunkan kakinya beberapa langkah,
tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Heh..."!"
Cepat sekali Bragata berpaling ke belakang. Dan kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, ketika tiba-tiba saja seekor burung rajawali raksasa menukik
cepat bagai kilat ke arah benteng pertahanannya, sambil mengeluarkan suara
sangat keras bagai guntur membelah angkasa.
Bukan hanya Bragata saja yang terkejut melihat kemunculan burung rajawali
raksasa berbulu putih keperakan itu. Bahkan Rangga sendiri sampai terlonjak
keluar dari tempat persembunyiannya.
Sungguh, burung rajawali raksasa tunggangannya tidak diperintahkan untuk
menyerang benteng pertahanan Partai Tengkorak Hitam. Tapi, tidak ada kesempatan
lagi untuk mencegah.
Rajawali Putih sudah mengamuk, menghajar pengikut Partai Tengkorak Hitam yang
berada di luar benteng.
Gerakan-gerakannya sungguh cepat luar biasa, hingga tidak ada seorang pun yang
sanggup mengelakkannya. Dan saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan melengking
tinggi yang begitu menyayat, dari mereka yang terkena sambaran kedua sayap
burung rajawali raksasa itu. Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah puluhan
orang yang ambruk bergelimpangan dengan tubuh atau kepala remuk berlumuran
darah. "Keparat...! Kubunuh kau burung setan...!" geram Bragata.
Tapi baru saja Bragata berbalik, Rangga sudah melesat cepat sekali, hingga
melewati atas kepala pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu. Dan manis sekali tepat
sekitar lima langkah lagi di depan Bragata. Kemunculan Rangga yang begitu tibatiba itu, tentu saja membuat Bragata jadi tersentak kaget setengah mati.
Sehingga, dia sampai terlompat ke belakang tiga langkah.
"Phuih...! Akhirnya kau muncul juga, Pendekar Rajawali Sakti...!"
desis Bragata sambil menyem burkan ludah dengan sengit Sementara itu, di sekitar
benteng Rajawali Putih terus mengamuk, menghajar orang-orang berbaju serba hitam
itu. Jeritan-jeritan kematjan terus terdengar saling sambut, disertai teriakanteriakan dari mereka yang berusaha menghadang. Kegaduhan itu membuat hari
Bragata jadi bimbang. Terlebih lagi, ketika melihat orang-orangnya sama sekali
tak mampu menghadapi serangan burung rajawali raksasa yang bergerak bagai kilat.
Setiap gerakannya selalu menimbulkan korban tidak sedikit. Hingga, mayat-mayat
pun semakin banyak bergelimpangan, tanpa dapat dicegah lagi. Sedangkan di
depannya, berdiri tegak seorang pendekar muda yang menjadi punggung Kerajaan
Karang Setra. "Seharusnya memang kau dulu yang kumusnahkan, Pendekar Rajawali Sakti. Baru
kerajaanmu kuhancurkan...!" dengus Bragata dingin menggetarkan.
"Kau hanya bermimpi bisa menghancurkan Karang Setra," balas Rangga tidak kalah
dingin. "Akan kubuktikan, kalau aku yang terkuat di seluruh jagad raya ini!" bentak
Bragata lantang.
Rangga hanya tersenyum tipis mendengar keangkuhan itu. Dan kedua tangannya sudah
terkepal, dengan kaki sedikit direntangkan.
Sementara Bragata sendiri sudah meloloskan pedangnya, dan dikebutkan dengan
gerakan cepat sekali, hingga tersilang di depan dada. Kilatan pedang itu memang
bisa membuat jantung siapa saja yang melihatnya jadi bergetar. Tapi Rangga hanya
tersenyum saja.
"Cabut pedangmu, Keparat...!" bentak Bragata sengit
"Menghadapimu, tidak perlu menggunakan senjata," sahut Rangga kalem.
Tapi, sambutan Pendekar Rajawali Sakti yang datar itu malah membuat seluruh
darah dalam tubuh Bragata jadi bergolak mendidih.
Gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang sudah memuncak sampai ke ujung
kepala. Dan seluruh wajahnya memerah seperti terbakar.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Sambil membentak keras menggelegar, Bragata langsung saja melompat menyerang
dengan kebutan pedang yang begitu dahsyat, mengarah langsung ke batang leher
Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! "Haiiit.!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, sabetan pedang lawan hanya
lewat sedikit di depan tenggorokan. Dan dengan gerakan manis sekali. Rangga
memutar tubuhnya, dan langsung dibungkukkan sedikit. Kedua tangannya langsung
dikibaskan dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Yeaaah...!"
Wut! "Heh..."! Hup!"
Bragata sama sekali tidak menduga mendapat serangan balik yang sangat cepat luar
biasa itu. Cepat tubuhnya melenting ke belakang, sambil berputar dua kali. Namun
baru saja kedua kakinya menjejak tanah, Rangga sudah melepaskan serangan lagi
dengan melompat sambil memberikan satu pukulan dahsyat bertenaga dalam sempurna
dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Hingga.
Angin pukulannya saja menimbulkan semburat cahaya merah bagai api yang hendak
melumat seluruh tubuh lawannya.
"Hup!"
Cepat-cepat Bragata melenting tinggi-tinggi ke atas, menghindari serangan
Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga pukulan Rangga yang begitu dahsyat hanya
menghantam tanah kosong belaka. Seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat,
akibat kilatan cahaya merah yang memancar dari kepalan tangan kanan Pendekar
Rajawali Sakti yang menghantam tanah. Tampak tanah yang terkena pukulan dahsyat
terbongkar, membuat debu beterbangan ke angkasa, membentuk sebuah jamur raksasa.
Sementara Bragata sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah, setelah melakukan
beberapa kali putaran di udara. Seketika itu juga kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, melihat tanah yang terkena pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti
tadi terbongkar, membentuk sebuah lubang besar bagai kuburan gajah. Sulit
dibayangkan jika pukulan itu sampai mengenai tubuh manusia. Mungkin akan hancur
berkeping-keping seperti tanah!
"Phuih.-.!"
Bragata menyemburkan ludahnya, untuk menghilangkan
kegentaran yang tiba-tiba saja menjalar dalam hatinya melihat kedahsyatan dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dan perlahan kakinya bergeser ke kanan,
sambil mempermainkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Rangga sendiri tetap
berdiri tegak, dengan mata tajam memperhatikan setiap gerakan Pemimpin Partai
Tengkorak Hitam itu.
"Hiyaaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggelegar, Bragata kembali melompat
menyerang. Dan kali ini pedangnya langsung dikebutkan cepat dan beruntun. Dan
ini membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Tapi dengan
mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', tidak satu pun serangan Pemimpin
Partai Tengkorak Hitam itu yang bisa menyentuh tubuhya. Gerakan-gerakan Rangga
sangat aneh, seperti bukan gerakan-gerakan seorang pendekar. Sama sekali tidak
beraturan. Tapi, itu yang membuat Bragata semakin sulit memasukkan serangannya.
Jurus demi jurus berlalu. Namun Bragata belum juga bisa mendesak Pendekar
Rajawali Sakti. Semua serangan yang dilancarkannya bisa dipatahkan dengan mudah.
Dan ini membuatnya semakin geram saja. Maka serangan-serangannya pun semakin
diperhebat, beruntun dan cepat bdyal lillal Uuglln cepat gerakan-gerakannya,
hingga bentuk tubuh dan pedangnya bagai lenyap dari pandangan. Yang terlihat
kini hanya kilatan cahaya pedang yang bergulung-gulung, mengikuti kelebatan
bayangan dari pakaian yang dikenakan Bragata. Sedangkan Rangga sendiri masih
tetap menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang semakin sulit diikuti arah
gerakannya. Dan tingkatan jurus juga semain naik, mengikuti perkembangan jurusjurus yang di gunakan lawannya.
"Phuih! Hiyaaat..!"
Bragata benar-benar geram mendapati lawan yang hanya bisa menghindar, tanpa
balas serangan sedikit pun juga. Sedangkan dia sendiri sudah menghabiskan lebih
dari dua puluh lima jurus, namun belum juga bisa mendesak. Apalagi membual
lawannya tidak berdaya. Semakin gencar serangan nya dilancarkan, semakin sulit
saja untuk mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sementara gerakan gerakan Rangga
juga semakin tidak beraturan saja, seperti orang yang kebanyakan menenggak arak
memabukkan. "Hup...!"
Hingga pertarungan sudah mencapai tiga puluh jurus, Bragata melompat keluar
menghentikan serangan Lalu manis sekali kakinya menjejak kembali di tanah.
Tampak keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Dan napasnya juga
mulai terdengar memburu dan tersengal. Sedangkan
Rangga tampak seperti tidak melakukan pertarungan saja. Sedikit pun tidak
terlihat keringat di wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga semakin tetap
teratur perlahan. Tampak seulas senyum tipis mengukir bibirnya, sehingga membuat
seluruh darah di tubuh Bragata jadi bergolak mendidih.
"Aku bosan bermain-main seperti anak kecil, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya
kita tentukan saja, siapa di antara kita berdua yang
lebih dulu masuk lubang kubur," desis Bragata dingin menggetarkan, dengan napas
masih terdengar memburu cepat.
"Hm, baik... Aku terima tantanganmu, Bragata," sambut Rangga kalem.
"Phuihl"
Cring! Bragata memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang. Kemudian
dilakukannya gerakan-gerakan perlahan dengan kedua tangan disertai liukan tubuh
yang begitu indah sekali. Seakan, dia sedang melakukan sebuah tarian yang sangat
indah. Sementara, Rangga sendiri masih lelap berdiri tegak memperhatikan tiap
gerakan lawannya. Tapi tiba-tiba saja kakinya ditarik ke belakang beberapa
langkah, dengan kening berkerut.
Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti merasakan adanya hawa racun yang menyebar
keluar dari gerakan-gerakan kedua tangan Bragata. Racun itu semakin terasa kuat
dan mematikan. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memindahkan jalan
pernapasannya ke perut.
Dan dia segera bersiap melayani tantangan Pemimpin Partai Tengkorak Hitam ini
dengan lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'
yang digabung-gabungkan.
"Haaap! Yeaaah...!"
"Hiyaaat...!"
*** 8 Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Pemimpin Partai Tengkorak
Hitam kembali berlangsung sengit. Kali ini, Rangga memang tidak hanya berkelit
dan menghindari serangan saja. Juga diberikannya serangan-serangan dahsyat yang
membuat Bragata jadi kelabakan. Dalam beberapa jurus saja, sudah tiga kali
Bragata terpaksa harus merasakan pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang keras dan
bertenaga dalam tinggi. Tapi, Pemimpin Partai Tengkorak Hitam Itu masih mampu
memberi perlawanan gigih, walaupun dari sudut bibirnya sudah mengalirkan darah
segar. Dan pada saat pertarungan sedang berlangsung sengit, terdengar hentakan-hentakan
kaki kuda yang dipacu cepat dari dalam hutan.
Tidak lama kemudian, terlihat pasukan gabungan prajurit dari Kerajaan Karang
Setra dan kerajaan-kerajaan lain yang ditambah orang-orang rimba persilatan,
tengah memacu kuda dengan cepat ke padang rumput yang menjadi pusat pertahanan
Partai Tengkorak Hitam. Di antara mereka terlihat Danupaksi, Pandan Wangi, dan
Panglima Wirasaba.
"Seraaang...!"
"Hancurkan mereka...!"
Teriakan-teriakan keras bernada perintah terdengar, mengalahkan hentakanhentakan kaki kuda yang dipacu cepat disertai teriakan-tenakan pembangkit
semangat bertempur, seketika pecah memenuhi angkasa di atas padang rumput yang
luas ini. Pasukan prajurit gabungan dari beberapa kerajaan, ditambah orang-orang
rimba persilatan itu langsung meluruk, menyerang benteng Partai Tengkorak Hitam.
Maka pertempuran pun tidak dapat dielakkan lagi Serangan dari para prajurit yang
dibantu orang-orang rimba persilatan, membuat Bragata yang sedang bertarung jadi
lengah. Dan kelengahan yang hanya sekejap saja, tidak disia-siakan Pendekar
Rajawali Sakti. Dengan gerakan cepat laksana kilat, pendekar yang juga Raja
Karang Setra ini langsung melompat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat dari
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna. Begitu cepat pukulannya, hingga Bragata tidak sempat lagi
berkelit menghindarinya. Dan...
Begkh! "Aaa...!"
Bragata jadi menjerit keras, begitu pukulan Rangga tepat menghantam dadanya.
Seketika tubuh Pemimpin Partai Tengkorak Hitam kontan terpental jauh ke belakang
deras sekali, bagai dilemparkan sepasang tangan raksasa. Dan dengan keras pula
tubuh pemuda itu menghantam sebongkah batu sebesar kerbau, hingga batu itu
hancur berkeping-keping.
Bragata jatuh bergulingan di tanah berumput yang sudah dibasahi darah ini. Di
antara mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.
"Hoeeekh...!"
Segumpal darah kental berwarna agak kehitaman teriempar keluar dari mulut
Pemimpin Partai Tengkorak Hitam itu. Beberapa kali kepalanya di-gelenggelengkan, mencoba mengusir rasa pening yang menyerang kepala, akibat pukulan
dahsyat menggeledek yang mendarat di dadanya tadi. Perlahan dicobanya bangkit
berdiri lagi. Dengan bertumpu pada ujung pedangnya yang ditancapkan ke tanah, Bragata berhasil
berdiri lagi Tampak pada dadanya sudah menghitam bangus seperti terbakar, bekas
pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Phuuuh...!"
Segumpal darah kembali menyembur keluar, ketika Bragata memuntahkannya sambil
mendenguskan napas berat. Perlahan tubuhnya ditegakkan kembali sambil menarik
napas dalam-dalam.
Dan tiga kali kepalanya menggeleng lagi. Dadanya yang terasa begitu sesak,
membuat kepalanya jadi berkunang-kunang. Tapi, tampaknya dia tidak mau menyerah
begitu saja, menghadapi lawan yang sangat tangguh ini. Meskipun dalam
pertarungan tadi semua jurus yang diterima dari para Pemimpin Partai Tengkorak
Hitam terdahulu sudah dikeluarkan, tapi tetap saja sulit untuk bisa menandingi
tingkat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
Bet! Wut...! Bragata kembali memainkan pedangnya di depan dada, setelah merasakan tarikan
napasnya kembali seperti semula. Kemudian mata pedangnya ditempatkan sejajar
garis hidungnya sendiri. Begitu tajam tatapan matanya, menyorot ke bola mata
Rangga yang berada sekitar tujuh langkah di depannya. Dan perlahan-lahan
pedangnya diangkat tinggi-tinggi, hingga seketika itu juga dari ujung mata
pedangnya meluruk secercah cahaya merah bagal api yang begitu cepat ke arah
Rangga. "Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melenting ke atas, menghindari serangan mendadak dari
lawannya. Maka cahaya merah seperti api yang meluncur keluar dari ujung pedang
Bragata, lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Rangga. Sementara, pemuda
berbaju rompi putih itu masih berjumpalitan, berputaran be berapa kali di udara,
kemudian kedua kakinya kembali menjejak tanah. Tapi belum juga tubuhnya bisa
ditegakkan kembali, sudah datang lagi serangan dari Pemimpin Partai Tengkorak
Hitam. Claaarkh! "Haiiit...!"
Rangga cepat membanting tubuhnya ke tanah, langsung bergulingan beberapa kali
menghindari serangan dahsyat itu. Dan cepat Pendekar Rajawali Sakti melopat
bangkit berdiri kembali, tepat di saat Bragata sedang menyiapkan serangan
berikutnya. "Hap!"
Rangga cepat-cepat merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, dengan kedua
kaki merentang lebar ke samping. Cepat dilakukan gerakan tubuh yang indah
sekali. Dan ketika tubuhnya kembali tegak, tampak semburat cahaya biru terang
menyilaukan mata memancar di antara kedua telapak tangan Rangga. Jelas, Rangga
Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan menghadapi lawannya ini dengan ilmu kesaktian pamungkas yang sangat dahsyat
dan belum ada tandingannya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bragata kembali melancarkan serangan, dengan mengebutkan pedang
ke depan sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur. Dan seketika itu juga,
seleret cahaya merah meluncur deras bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali
Sakti. Dan pada saat itu pula....
"'Aji Cakra Buana Sukma'...! Yeaaah...!"
Sambil berseru nyaring, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan, dengan
kedua kaki berdiri tegak terbuka lebar. Dan seketika itu juga, dari kedua
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti meluncur secercah cahaya biru terang yang
menyilaukan mata.
Begitu cepatnya, hingga kedua sinar yang berlawanan berbenturan tepat di titik
tengah. Seketika, terdengar ledakan dahsyat menggelegar.
Glarrr...!"
*** "lkh..."!"
Bragata jadi terpekik dan terdorong ke belakang beberapa langkah, begitu
serangannya dihadang Pendekar Rajawali Sakti.
Ledakan keras akibat benturan cahaya berkekuatan tinggi itu membuat cahaya merah
yang memancar dari pedang Bragata seketika lenyap, setelah berpendar ke segala
arah. Sementara cahaya biru terang yang memancar dari kedua telapak tangan
Rangga terus meluruk deras ke arah Pemimpin Partai Tengkorak Hitam ini. Begitu
cepat lesatan cahaya biru terang itu, membuat Bragata tidak sempat lagi
menghindarinya.
"Akh...!"
Pekikan agak tertahan langsung terdengar, ketika cahaya biru yang memancar dari
kedua telapak tangan Rangga menggulung seluruh tubuh Pemimpin Partai Tengkorak
Hitam itu. Tampak Bragata menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru yang
menyelimuti seluruh tubuhnya. Sekuat tenaga dicobanya untuk melepaskan diri dari
selubung cahaya biru terang ini. Tapi semakin kuat berusaha, semakin besar pula
tenaganya mengalir keluar.
Hingga akhirnya, Bragata tidak dapat lagi menguasai kekuatannya sendiri yang
terus mengalir keluar tanpa dapat dicegah lagi. Keadaan ini tentu saja
membuatnya jadi kelabakan. Tapi apa yang terjadi sebenarnya belum juga disadari.
Dan dia terus berusaha melepaskan belenggu cahaya biru yang semakin lama semakin
menyakitkan. Seluruh tubuhnya bagai dihimpit bongkahan batu. Bahkan kekuatannya yang terus
mengalir keluar deras semakin sulit dikendalikan.
"Ugkh...!"
Bragata jadi mengeluh. Sekujur tubuhnya sudah dirasakan semakin melemas dan
tidak bertenaga lagi. Gerakan-gerakannya pun semakin melemah juga. Sedangkan
kekuatan dalam tubuhnya terus mengalir keluar tanpa dapat dicegah lagi.
Sementara, Rangga sudah mulai melangkah mendekati perlahan-lahan. Malah cahaya
biru yang memancar dari kedua telapak tangannya semakin banyak menggulung
seluruh tubuh Pemimpin Partai Tengkorak Hitam ini.
"Hooop...! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga,
bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mencabut Pedang Pusaka
Rajawali Sakti dari dalam warangka di punggung. Begitu cepat sekali kebutan
pedang itu, hingga yang tedihat hanya kilatan cahaya biru yang berkelebat bagai
kilat menebas batang leher Bragata.
Cras! "Hegkh!"
Hanya sedikit keluhan keluar dari mulut Bragata dengan tubuh berdiri mematung
dan kedua bola mata terbeliak serta mulut ternganga lebar. Sementara di bagian
batang lehernya terlihat guratan kecil berwarna merah yang melingkari. Sedangkan
Rangga sudah berada sejauh lima langkah di depan, dengan pedang pusaka yang
bercahaya biru terang tetap tergenggam di tangan kanan. Bruk!
Tiba-tiba saja tubuh Bragata ambruk ke tanah. Tampak kepalanya menggelinding,
terpisah dari batang lehernya. Dan seketika itu juga
darah muncrat keluar dengan deras sekali dari batang leher yang sudah tidak
berkepala lagi. Sedikit pun tidak ada gerakan pada tubuh Pemimpin Partai
Tengkorak Hitam itu. Dia tewas seketika, begitu lehernya tersambar Pedang Pusaka
Rajawali Sakti tadi
"Bragata mati...!"
Entah siapa yang meneriakkannya. Dan teriakan itu terdengar keras seperti berada
dekat di samping Rangga, sehingga membuat orang-orang berpakaian hitam yang
tergabung dalam Partai Tengkorak Hitam jadi tersentak kaget. Akibatnya, semangat
bertempur mereka seketika lenyap. Sementara, Rangga masih berdiri tegak
memandangi tubuh lawannya yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi dengan
kepala buntung di depannya.
"Hhh...!"
Cring! Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka
Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Sementara, pertempuran masih terus
berlangsung di sekitar benteng Partai Tengkorak Hitam. Tapi sudah terlihat
jelas, kalau pasukan gabungan dari beberapa kerajaan yang membantu Karang Setra
kini menguasai jalannya pertempuran. Sementara sebagian orang-orang Partai
Tengkorak Hitam sudah mulai berusaha melarikan diri. keluar dari kancah
pertempuran. Tapi sulit bagi mereka untuk melarikan diri, karena kini sudah
sangat jauh berkurang jumlahnya.
Dan di saat semuanya serba kacau, terlihat tiga orang keluar dari dalam benteng
bagian belakang dengan menunggang kuda. Mereka tentu saja si Tiga Iblis Pedang
Ular. Karena begitu melihat keadaan tidak mungkin bisa dipertahankan lagi,
mereka memilih meninggalkan pertempuran menyelamatkan nyawa sendiri. Sementara
orang-orang terus berusaha bertahan, walau tidak mungkin lagi bisa memenangkan
pertempuran, setelah pemimpinnya tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Kepala Rangga tampak mendongakkan ke atas, melihat Rajawali Putih melayang
berputar-putar di angkasa. Rupanya burung rajawali raksasa itu langsung
meninggalkan pertarungan, ketika para prajurit datang menyerang markas Partai
Tengkorak Hitam. Pandangan Pendekar Rajawali Sakti segera beralih pada Pandan
Wangi yang berkuda menghampirinya, keluar dari kancah pertarungan. Gadis cantik
dan digdaya yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu langsung melompat turun dari
punggung kuda, setelah berada dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan
dia berdiri tegak di samping kiri pemuda yang juga kekasihnya sambil memegangi
tali kekang kuda.
"Bagaimana kau bisa membawa mereka semua ke sini, Pandan?"
tanya Rangga langsung, ingin tahu tentang kedatangan para prajurit ke padang
rumput yang menjadi pusat pertahanan Partai Tengkorak Hitam.
"Aku melihat Rajawali Putih turun, Kakang. Dan kudengar jeritan-jeritan dari
sini. Aku langsung tahu kalau kau sedang menggempur mereka dengan bantuan
Rajawali Putih. Makanya, aku langsung mengajak Danupaksi ke sini. Tapi, ternyata
mereka semua malah ingin ikut," jelas Pandan Wangi.
Rangga mengangguk-angguk, bisa menerima alasan Pandan Wangi membawa semua
prajurit menyerang Partai Tengkorak Hitam.
"Kau sendiri tidak apa-apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil memperhatikan
wajah tampan di sampingnya yang bersimbah keringat
"Tidak. Aku tidak apa-apa," sahut Rangga sambil memberi senyum sedikit
"Aku tadi melihat pertarunganmu dengan Bragata. Sangat dahsyat! Aku sendiri sempat cemas, sebelum kau mengeluarkan 'Aji Cakra Buana Sukma'," kata Pandan
Wangi langsung mengeluarkan isi hatinya.
"Dia memang tangguh, Pandan. Tapi sayang, kepandaiannya tidak digunakan pada
jalan yang benar," ujar Rangga setengah mendesah.
Sementara, pertarungan sudah tidak lagi sehebat tadi. Sudah banyak orang Partai
Tengkorak Hitam yang menyerah. Dan tidak sedikit pula vanq berhasil melarikan
diri. Tap, banyak pula yang tewas dengan tubuh bermandikan darah. Tampak
Danupaksi, Panglima Wirasaba, dan para raja yang membantu prajurit Karang Setra,
sudah tidak lagi bertarung. Tinggal para prajurit saja yang masih terus
merangsek, tanpa kenal ampun lagi. Hingga semua orang Partai Tengkorak Hitam
yang tersisa menyerah, pertarungan baru berhenti.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Kasih Diantara Remaja 12 Candika Dewi Penyebar Maut V Pedang Golok Yang Menggetarkan 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama