Ceritasilat Novel Online

1000 Kutu Di Kepala 2

1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan Bagian 2


Yang paling kusukai dari Kartini kini istriku ialah aktivitasnya di kampus dan di luar kampus. Aku membayangkan ia bakal menjadi perempuan karier kemudian hari. Meski kutahu, kesibukannya itu dapat menyita banyak waktunya. Tetapi, untungnya, hatinya masih memberi tempat bagi kehadiranku. Ia masih butuh cinta, kasih sayang, dan ini yang paling kusuka: amat romantis.
"Kesibukan tak harus mematikan cinta toh" Setiap orang merindukan kasih sayang, cinta, dan romantis," katanya. Aku tersenyum. Ia menunjuk Raden Ajeng Kartini. Meski ia memperjuangkan emansipasi demi kesetaraan antara perempuan dengan pria, dia tetap bersuami, mengurus suami, ingin dicintai dan mencintai. "Artinya sesibuk apa pun perempuan, kodrat dan hakikat hidup itu tak dapat diabaikan."
Lalu, Kartini Pratiwi lebih jauh mengatakan tepatnya berharap lelaki yang akan dijadikan suaminya kelak mestilah memahami apa yang hendak dilakukannya.
Tidak semena-mena membunuh cita-citanya sebagai perempuan. Jangan sampai rumah tangga kemudian membelenggu untuk maju. "Aku tak menginginkan pria yang terlalu banyak mencampuri perempuan, apalagi sampai ringan tangan," katanya kemudian.
Entah mengapa aku menyetuji. Bahkan, tak jarang aku memberi support agar ia tetap beraktivitas. Terkadang aku menungguinya sampai ia menyelesaikan tugasnya, setelah itu kami jalan atau aku mengantarnya pulang. Aku tak pernah iri pada setumpuk aktivitasnya, meski aku juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampusku.
Karena itu, aku tak pernah memintanya untuk mempertimbangkan betapa sepinya rumah tangga kami nanti jika ia banyak sibuk di luar rumah. Aku biarkan pada waktu saja yang mengubah atau menetapkan jalan hidup kami kelak. Aku berpikir, sekiranya kelak Kartini Pratiwi diutus Tuhan menjadi istriku sementara ia tetap ingin menjadi perempuan karier, toh perannya di rumah dapat dikerjakan seorang pembantu.
"Kenapa tidak?" aku membela Kartini sewaktu Daniel temanku sekampus, mintaku mempertimbangkan cita-citaku memilih Kartini sebagai istriku.
"Ya, ini saranku. Kau bisa pertimbangkan di rumah, tak harus sekarang keputusanmu," kata Daniel lagi. "Kau akan merasa kesepian di rumah, sementara istrimu sibuk di luar. Cukup banyak keluarga berantakan karena istri hanya sedikit waktunya berada di rumah," ia menambahkan sekejap jeda.
"Aku sudah pertimbangkan dengan matang. Sekali perahu kukayuh, pantang surut ke pantai& ." Tandasku. "Bukan kuantitas pertemuan dan dialog satu-satunya yang bisa mempertahankan rumah tangga, kualitas juga amat menentukan. Untuk apa sering bertemu kalau isinya cuma pertengkaran" Lagi pula masih banyak juga keluarga yang tetap utuh, meski keduanya berkarier. Jangan lupa itu, Bung!"
"Ya, sudah, aku kan hanya memberi saran. Kau mau menerima atau tidak, itu soal lain."
* * * BULAN-BULAN pertama perkawinan kami, memang aku sempat merasa kesepian menanti setiap menanti kedatangan Kartini. Sebagai pegawai negeri aku sampai di rumah pukul 15.00, sementara istriku yang memegang jabatan di sebuah perusahaan besar baru tiba sekitar pukul 18.00 bahkan tak jarang pukul tujuh malam.
Namun, tak pernah kuutarakan perasaanku itu pada Kartini. Apalagi setiap pulang dari bekerja, senyumnya tak pernah layu. Wajahnya selalu ceria. Dan, kata salam tak pernah alpa, ditambah beberapa kalimat mesra: "Enggak bosen kan menunggu aku, Mas" Nanti kubuatkan teh hangat ya, sebentar aku ganti pakaian." Aku menyambutnya dengan senyum. Tak lama istriku keluar dari kamar dengan daster amat tipis. Pandanganku tembus&
"Liburan besok kita ke pantai ya, yang" Refreshing& mau kan?" Kartini menawarkan. Aku mengangguk. Memang setiap liburan, kami selalu menghabiskan waktu di luar rumah. Berdua. Setelah itu bertiga dengan anak kami, kemudian berempat ketika kami dikaruniai lagi seorang putra.
Kesibukan Kartini sebagai perempuan karier, kiranya tidak mengganggu rumah tangga kami. Antara karier dan rumah tangga, antara pekerjaan dan tugas pada keluarga sama-sama berjalan semestinya. Jadi, kekhawatiran Daniel yang kunilai berlebihan benar-benar meleset. Lalu pentingkah kuingat-ingat bagaimana Daniel menerorku, meski terornya itu tak pernah kuanggap sebagai ancaman"
Ah, entah di mana sahabatku itu kini" Aku hanya pernah dapat informasi kalau rumah tangganya kandas hanya tempo dua tahun. Padahal ia baru menikah selepas usianya 36 tahun, lantaran kebanyakan menimbang dan memilah-milih. Shinta, istri Daniel yang kemudian bercerai, adalah perempuan keempat yang menjadi kekasihnya. Istrinya itu adalah perempuan rumahan, tetapi tak bisa mengurus keluarga. Konon, dari informasi yang dapat kupercaya, Shinta sering keluyuran begitu suaminya melangkahkan kaki ke kantor. Dan, ia kembali menjelang Daniel pulang. Kemudian ia menyuruh suaminya membeli nasi di warung.
Setiap kuceritakan nasib rumah tangga Daniel pada Kartini, istriku tak pernah merespons. Ia hanya tersenyum, kemudian berlalu.
* * * KALAU ada kekhawatiran yang sulit sekali kuredam, inilah yang pertama selama aku berumah tangga! Betapa tidak" Hampir 12 tahun Kartini menjadi istriku tak pernah membuatku cemas (tepatnya perasaan cemburu) mengganggu pikiranku. Hal itu berdampak pada pekerjaanku dan juga rumah tanggaku.
Sebulan terakhir ini, Kartini sering pulang melampaui waktu kebiasannya. Ia pernah sampai di rumah ketika aku dan kedua anakku sudah terlelap: pukul 01.02. Dengan wajah yang tampak letih dan tanpa ganti pakaian lebih dulu, ia langsung rebah di ranjang. Sekejap kemudian terdengar dengkurnya. Ia juga sering ke luar kota untuk beberapa hari lamanya. Aku tak dapat menahan untuk tidak melanggar kesepakatan antara kami, untuk tidak menanyakan hal-hal yang bukan prinsip dan urusan pekerjaan. Tetapi, suami mana yang mampu memendamnya"
Pada kesempatan yang kurasa tepat, kutanyakan perubahan yang terjadi padanya belakangan ini" Sungguh, aku tak menyangka jawaban Kartini amat melukai perasaanku. Telingaku tak mendengar suaranya yang syahdu, mataku tak melihat wajahnya yang ceria, rambutnya yang bergoyang manja. Adakah orang maksudnya lelaki lain telah menggoda dan bersemayam di hatinya" Mungkinkah aku sudah tak lagi menarik baginya, karena ada lain pria yang serba lebih"
"Maafkan aku Kar, kalau pertanyaanku ini menyinggungmu," ujarku pelan. "Tetapi, apa aku salah sebagai suami, menanyakan ini padamu?"
Ia menggeleng. "Tapi, aku tak kusuka kau sudah mencurigaiku yang tidak-tidak. Kau menuduhku."
"Aku tak menuduhmu. Aku hanya bertanya. Apa pertanyaanku salah?" "Sudahlah, jangan diperuncing. Aku capek, mau istirahat& "
"Kau belum jawab pertanyaanku. Kenapa kau sering terlambat pulang akhirakhir ini?" aku segera memotong. Aku mulai tersinggung. Sepertinya, Kartini sudah tidak lagi menghargaiku.
"Pekerjaanku menumpuk di kantor. Atasanku sering mengumpulkan pegawainya untuk rapat atau meeting secara tiba-tiba. Juga& ."
"Kenapa kau tidak menelepon" Kan itu mudah buatmu, sehingga kami di rumah tak waswas dan menungguimu dengan khawatir," ujarku.
"Tak sempat." "Bohong!" tandasku.
"Kau sudah tak percaya lagi denganku?"
Aku diam. Ingin aku menjawab "ya", tetapi itu akan memperparah suasana. Akhirnya aku cuma diam. Ikut merebahkan tubuhku di ranjang. Menghadap ke kiri, ketika ia sudah lebih dulu memiringkan badannya ke kanan. Sebelum ia benar-benar terlelap, ia berujar: "Besok aku ke Medan, ada rapat holding."
Aku tak menjawab. * * * SUDAH tiga hari Kartini di Medan. Aku benar-benar dihantam kesepian yang sangat. Aku mengurus keperluan kedua anakku, sebab pembantu untuk sementara kusuruh pulang ke kampung. Aku tak ingin ada perempuan lain di rumahku selagi aku sendirian. Akibatnya aku sangat sibuk. Itu sebabnya, aku izin tak masuk ke kantor. Alasannya, kurang sehat.
Tiba-tiba aku teringat Daniel. Kutelepon dia. Kepadanya, kukatakan kalau siang nanti aku akan ke rumahnya. Daniel menyambut rencanaku dengan tertawa (sesungguhnya tawanya itu telah menyinggung perasaanku, namun tak kuhiraukan), dan aku mengulang ucapanku dengan serius.
* * * SEKARANG kau membenarkan ucapanku dulu, kan?" Daniel menyambutku dengan pertanyaan yang langsung menusuk. Aku terpana. Sebuah pertanyaan yang tidak kuduga. Tergagap aku. "Kartini sering banyak di luar rumah ya" Sudah banyak kesibukan, sehingga tugas-tugas keluarga jadi terganggu?" Daniel melanjutkan.
Aku hanya mengangguk. "Tidak itu saja, dia sering tak beri tahuku dulu. Padahal, mudah saja bagi dia untuk meneleponku. Aku jadi& ."
"Lalu, kau datang ke sini, mau apa?"
"Minta saranmu& "
"Aku bukan orang pintar , kau akan syirik," jawab Daniel enteng. "Rumah tanggaku saja berantakan, bagaimana mungkin bisa memberi saran padamu?"
Suaraku tercekat. Aku baru saja disadarkan bahwa Daniel bukan tempat yang tepat untuk dimintai saran atau nasihat. Segera aku pamit pada Daniel. Ia kini balik terlongo. Kubiarkan ia terbengong, menatapku dengan pandangan kosong.
Di kendaraan menuju rumah, kutelepon Kartini. Ia menyambut dengan mesra. Kudengar suara riuh seperti orang sedang rapat masuk ke handphoneku. "Ada apa, Mas" Apakah Nisa dan Obi sakit?"
"Tidak, tidak. Aku hanya& " "Kangen?" potong Kartini. "Besok pagi aku pulang kok, dengan pesawat pertama. Sudah ya sayang, masih rapat nih& "
"Ya& ya& " Aku benar-benar bahagia. Di hatiku, perahu yang hampir karam kini mengayuh kembali& .
Lampung, 28 April-1 Mei 2005
Perempuan Taman Post : 04/04/2006 Disimak: 233 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Kedaulatan Rakyat, Edisi 04/02/2006
Kau kenal perempuan itu" Tertarik"
Aku sering melihatnya di sini, cuma sampai saat ini saya belum mengenalnya secara dekat. Ia bagaikan burung dan dengan sayapnya akan segera terbang setiap aku ingin menangkapnya. Boleh jadi ia tak menyenangi kedatanganku, barangkali saja wajahku tak menarik baginya. Lain dengan laki-laki yang selalu disebutnya, sekitar delapan pada dua bulan lalu&
JIKA kau datang ke taman itu waktu senja atau di batas malam, kau akan melihat seorang perempuan duduk di bawah pohon di kafe itu. Atau kau akan dapati dia sedang berjalan mencangking sebuah tas kecil. Kadang sendiri ia berjalan, tapi sering pula didampingi lelaki.
Ia menjadi begitu penting. Karena ia disenangi banyak lelaki terutama telah berusia, maka sepertinya ia menjadi penting. Berbeda di mata para istri, ia diabaikan bahkan mungkin dikucilkan.
Padahal ia tak cantik, tak pula manis. Namun setiap kali ia mengunjungi taman itu, selalu para lelaki di situ mencoba menggodanya. Ia akan tersenyum. Entah siapa pula di antara lelaki itu yang akan mengajaknya pergi. Ah, tepatnya, lelaki mana yang akan diajaknya menyelinap.
Sekali lagi, ia tak cantik. Tak pula manis. Tapi mengapa para lelaki ingin sekali mendekatinya. Dari yang berusia muda sampai yang mendekati kubur. Dan, ia amat menyukai lelaki yang berusia jauh di atas usianya. Katanya, banyak pengalaman. Para lelaki bau kubur ternyata menyukai hal-hal yang bisa membuatnya riang. Keriangan itu cuma ada pada perempuan belia. Dan, itu kiranya ada pada diri perempuan yang kita bicarakan ini.
Kau tahu, ia kerap meracau. Setiap duduk di kursi yang ada di pojok kafe tepat di bawah pohon, sering kudengar ia meracau. Sambil memainkan ujung-ujung rambutnya yang hitam dan tak begitu panjang, ia sering menyebut-nyebut nama lelaki. Beberapa bulan lalu sekitar enam nama lelaki disebutnya. Dan, ketika kujumpai dia lagi lima hari yang lampau, kudengar sembilan nama lelaki meluncur dari bibirnya. Karena demi keamanan dan privasi tak kusebutkan di sini kesembilan nama itu.
"Orang yang meracau tak bisa dimintakan pertanggungjawaban," Amran mengomentari. Aku tahu nama sahabatku ini sempat disebut perempuan itu. "Sama saja kita meminta orang yang tidur atau gila untuk bertanggung jawab atas kematian seseorang, padahal jelas dia yang membunuh."
"Meskipun dia benar& "
"Tak ada yang menjamin ucapannya itu benar. Dia meracau. Dia& " "Kau ingin katakan kalau dia gila?" aku menyanggah. "Kalau ia gila, mengapa banyak lelaki dia menyebut kemarin ada sembilan yang menggodanya lalu mengajakknya jalan, entah ke mana. Kenapa bisa begitu?"
"Mungkin karena ingin pengalaman lain. Pengalaman yang baru& ." "Dengan perempuan itu?"
"Kenapa pula perempuan itu?"
"Lo" Kau sendiri bilang ia sering meracau. Tak bisa dipercaya, tak bisa diminta pertanggung jawabannya."
"Maksudku, mengapa kita bicarakan perempuan itu. Memangnya tak ada lagi perempuan lain yang layak dibicarakan?"
"Dari awal kita memang membicarakan dia. Perempuan yang duduk di bawah pohon itu. Masih juga kau tak paham?" nadaku meninggi. Perempuan itu menoleh. Tentulah suaraku sampai ke telinganya, sehingga ia terusik.
Aku tersenyum ketika ia memandangku aneh. Lalu menatap teman bicaraku. Ia tersenyum. Kali ini aku menafsir di balik senyumnya: ia menggoda. "Lihat dia memandangmu aneh. Menggoda sekali," aku menggoda temanku.
Amran menggeleng. Lalu ia katakan, kalau sasaran perempuan itu adalah aku. Kutampik. "Aku bukan lelaki yang masuk hitungan dia. Ia menyukai sekali orang seperti kau; energik meski sudah berumur!"
Amran membantah. "Kita seusia kawan. Hanya selisih bulan aku lebih tua." Aku tak menyahut. Memandangi perempuan itu lebih menggoda ketimbang berdebat soal perempuan dan usia. Aku menerka-nerka kesembilan lelaki yang disebut dia. Apakah nama-nama itu bukan fiktif" Adakah nama-nama lelaki yang disebutnya itu yang sering ke mari dan mampir untuk minum ataupun makan di kafe ini" Orang-orang yang selalu datang setiap senja dan meninggalkan taman ini saat malam di ambang batas"
Suatu kesempatan, perempuan itu meracau. Ia pernah dibonceng motor seorang lelaki. Pada malam lain ia masuk ke dalam mobil dan menuju arah Barat. Lain malam, ketika ia tak berani pulang karena kemalaman, ia diselematkan lelaki tua ke sebuah hotel. Pada lain waktu, ia belajar tentang hidup pada seorang lelaki tua yang sudah bau kubur.
"Tetapi, mereka tak memperlakukan aku seperti pelacur," kata perempuan itu. Pastilah setiap yang dikatakan selalu dianggap meracau oleh orang lain. Kecuali aku yang tetap mempercayai bahwa ia jujur. "Para orang tua itu amat menyayangi aku. Dan aku merasa terlindungi setiap kali bersama mereka& "
Ingin sekali aku mendengar setiap kata yang diucapkannya. Aku hendak merekam dalam benakku setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya. Karena itu, aku mendekatkan kursiku dengan tempatnya duduk.
"Kau mau tahu, hanya saja para lelaki tua itu suka meminta lebih dariku. Mereka memang melindungiku, tapi juga ingin mencicipi tubuhku. Tentu aku menolaknya," perempuan itu melanjutkan. "Berbeda dengan yang lebih muda. Sepertinya aku tak menggiurkan mereka. Para lelaki muda itu hanya ingin mendengar ceritaku. Ihwal perjalananku hingga berada di taman ini& "
"Oh, begitukah?" aku bertanya.
Aku berani mengajukan pertanyaan itu, karena merasa aku sudah mengenalnya. Ia juga seperti merasa sudah dekat denganku. Setelah 100 malam dari pertama kali perkenalan kami, di kafe ini di taman yang tak pernah sepi saban malam.
Perempuan itu mengaku, meski Amran mengingatkan jangan mempercayai perempuan itu sebab ia suka membuat cerita tak benar, pada suatu malam yang membuatnya kemalaman sehingga tak mungkin pulang datanglah seorang lelaki berumur kepadanya. Lelaki yang berdarah Timur itu menawarkan bantuan.
"Jangan pulang, ini sudah malam. Akan membahayakan keselamatanmu. Perjalanan menuju rumahmu sangat berisiko bagi seorang perempuan sepertimu," kata lelaki tua itu.
"Aku tahu itu. Aku memang tak mungkin akan pulang. Lagipula tak akan ada kendaraan lagi ke arah rumahku. Kereta juga tak ada. Tetapi& ."
"Kau ikut aku saja."
"Ke rumah bapak?" tanyanya bergetar.
"Tentu saja tidak. Bisa perang dengan istriku," lelaki itu tersenyum. "Bagaimana kalau kita& ." lelaki itu membisikkan sesuatu ke telinga perempuan itu. Ia lalu tersenyum. Melentikkan ujung rambutnya yang hampir menutupi wajahnya. Kemudian pergi dari kafe itu. Meninggalkan taman itu yang pelan-pelan sepi&
JIKA kau datang ke taman itu waktu senja atau malam hari, seorang perempuan akan kau lihat duduk di kafe itu. Kursi di bawah pohon itu selalu ia duduki. Kalau tidak di situ, akan kau dapati ia sedang berjalan mencangking tas kecil. Dalam kesendirian, namun tak jarang bersama seorang lelaki.
Jangan heran kalau lelaki bersamanya selalu berganti. Tetapi, percayalah, ia bukan perempuan yang bisa kaudapati di rumah bordil, pub, ataupun diskotek. Sebab ia bukan pelacur maupun berjenis kupu-kupu malam. Ia cuma serupa laron, tapi sayapsayapnya tak bisa luruh lantaran cahaya lampu. Meskipun ia dengan mudah dapat larut oleh sembarang lelaki.
Kau tahu, sudah sembilan lelaki tercatat di benaknya. Aku mengetahuinya ketika ia menyebut nama-nama lelaki, kemudian kuhitung ada sembilan. Banyak sekali. Ya, begitulah ia telah membawa dan dibawa oleh sembilan lelaki. Tentu saja lelaki-lelaki itu tak akan bisa mencicipi tubuhnya. Konon ia begitu perkasa untuk mudah diperdaya. Konon pula ia akan teliti sebelum bersedia. Atau hati-hati memilih lelaki&
Hanya, seperti diakuinya, ia menyenangi lelaki yang usianya setara bapaknya. Selain sudah dewasa, ia rindu sekali diperlakukan sebagai anak. Maklum, bapaknya meninggal ketika ia berumur tujuh tahun. Keperempuanannya dirampas oleh berandal di terminal saat usianya belum 11 tahun atau setelah menerima haid yang kedua. Cerita ini bukan dia buat-buat. "Bukan karena ingin dikasihani, cerita getir ini saya kabarkan ke setiap lelaki," katanya. Kisah ini kutahu dari Amran yang sempat menemaninya suatu malam.
Perempuan itu tidak cantik, tak pula buruk. Wajahnya juga tak begitu manis. Tetapi, ia disenangi. Karena itu ia menjadi penting. Setidaknya oleh para lelaki yang sering berkunjung ke taman itu, di kafe yang akan tutup menjelang pukul 01.00. Ia tiba di taman itu menjelang sore. Lalu menuju kursi yang seakan menunggunya sudah lama.
Tempat tinggalnya amat jauh dari taman itu. Barangkali berkilo-kilo meter. Beberapa kali naik turun bis, atau bila menggunakan kereta ditambah sekali lagi naik angkutan kota. Kemudian membelah tanah lapang sebelum menyeberangi sungai. Di dekat pohon waru besar, di situlah rumahnya. Ia tinggal bersama ibu dan seorang adik.
Taman itu sangat disukainya. Selain pengunjungnya ramai, acap banyak kegiatan: film layar tancap, komidi puter, pentas teater, pembacaan puisi, sirkus jalanan, pertunjukan musik, diskusi dan perdebatan berbagai bidang. Meski ia suka taman itu, tak saban malam ia datang. Namun setiapkali kedatangannya, bagaikan malam menjadi benderang. Kalau di langit ada bulan tentu tumbuhan dan pungguk merasa riang. Bahkan jika langit berselimut pekat, gemiris seperti sungkan segera mengguyur.
Kehadiran perempuan itu seperti dinanti-nanti. Ia menjadi penting di taman itu. Di kursi yang ada di kafe itu. Orang-orang akan bersenandung. Para lelaki yang tak lagi muda akan bersiul-siul, sambil mencabuti ubannya. Seperti membenci setiap helai warna putih yang menghiasi kepalanya.
"Mereka tak ingin disapa bapak. Tak mau dikatakan tua. Makanya mereka mencabuti setiap helai rambutnya yang putih. Padahal, kita tahu, setiap helai uban adalah seribu rahmat dari Tuhan," kata perempuan itu.
Seperti biasa, ia akan menyebut nama-nama lelaki. Dan, setiap nama lelaki yang disebutnya, aku sangat mengenalnya. Mereka tidak asing karena sering berkunjung ke taman ini. Tak jarang semeja. Berdendang bersama.
Begitulah, sampai sekarang ia tak tertandingi. Perempuan itu menjadi begitu penting. Siapa pun lelaki pastilah menyenanginya. Sedang para istri akan mencurigai dan membencinya. Perempuan itu tetap acuh setiapkali para istri mencemburuinya. Ia juga seperti kebal hal-ihwal gosip.
Para lelaki akan datang dan pergi dari sisinya. Setiap kali ia setia menanti di kursi itu, atau saat menyusuri luas taman itu. Lalu, namanya akan tercatat dan disebutsebut setiap ada kesempatan. Orang-orang yang ada di situ akan mendengarnya, mengingat setiap nama yang dijejerkan satu persatu melalui bibirnya. Para lelaki yang pernah membawa atau dibawanya selalu berharap namanya tak terdata, tapi perempuan itu tak akan pernah lupa dan alpa untuk menyebut sekadar nama awal.
Sebab itu, para lelaki akan menjauh dan berusaha seolah-olah tak mengenalnya lagi setelah membawa atau dibawanya, supaya tak sering namanya disebut. Namanya tak masuk sebagai salah satu tokoh setiap kali perempuan itu bercerita. Meski dijauhi dan diasingi, ia akan tetap menyebut setiap nama lelaki yang pernah akrab dengannya. Betapapun keakraban itu sebatas mengenal, jalan bersama, makan bareng, atau duduk berdekatan saat menonton sirkus jalanan. Tak jadi soal baginya. Ia akan menyebut nama, dan lelaki yang disebut akan risih. Malu berkelamaan. Orang-orang kemudian akan membubuhi agar makin menarik jika diceritakan ulang.
Kau tahu, kemarin malam ia menyebut namaku sebagai lelaki ketiga belas. Ia berujar, "Bomar adalah lelaki terakhir yang pernah singgah. Permainannya di panggung sangat bagus. Aku dan ratusan penonton terkesan, ia bermain mengesankan."
Seperti biasanya, ia mengulang nama-nama: Jang, Man, Ran, Za, Ham, War, Sut, Jon, Am, Ed, Dan, Seh, Mar, dan seterusnya sampai yang ketiga belas: Bom. Sungguh, aku benar-benar tak mengerti. Alasan apa ia mencatat lalu menyebutnya dalam berbagai kesempatan ia meracau"
"Ia sudah lama sakit. Ada kebanggaan jika sudah menyebut nama-nama lelaki yang telah dikenalnya. Semakin banyak deretan nama yang diingatnya, makin terpuaskan hatinya. Bagi perempuan yang tak secantik selebritis, apalagi kalau tak menceritakan perkenalannya dengan banyak lelaki" Itulah kebanggaan paling tinggi untuknya," ucap Amran mengutip psikolog
Kau tahu, aku lelaki ketiga belas. Namaku paling akhir disebutnya, tapi katanya paling mengesankan. Aku sendiri tidak tahu, apa yang telah kulakukan sehingga ia begitu berkesan" Jika suatu hari kau berkenalan dengannya, mintalah ia bercerita tentang diriku. Aku yakin ia akan bangga menceritakannya. Seperti pernah dia lakukan untuk lelaki lain& .
Kau mengenal perempuan itu"
Aku tak pernah dekat dengannya, kecuali selalu kulihat perempuan itu ada di taman ini. Seperti burung yang amat merindukan taman. Selain itu, aku tak tahu namanya sehingga aku tak pernah memanggilnya.
Lampung, Juli-September 2005
Desember Hujan, Aku pun Gegas
Post : 04/04/2006 Disimak: 218 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Horison, Edisi 04/01/2006
Desember hujan, aku pun gegas merapikan sisa jejak yang tanggal lalu menyusunnya jengkal-sejengkal
MALAM merambat amat letih. Langit bertabur hitam. Jalan basah, dan aku harus bergegas memacu mobil dalam guyuran hujan yang masih menampakkan runcing pisau.
Desember, seperti tahun-tahun lalu, memang akrab sekali dengan hujan, Jalan basah, dan gigil. Terutama sejak sore hingga malam.
Aku siapkan payung dan mantel, meski tak yakin apakah alat itu berguna untuk menghindar dari air yang muntah dari langit" Tetapi, setidaknya, aku sudah menyiapkan jika suatu waktu diperlukan. Kupacu mobil dengan ukuran sedang. Tape mengalunkan musik lembut. Di sisi kiriku, Shinta istriku, tak mengerjap: tetap menatap ke depan. Seperti masuk ke dalam selimut hujan.
Hari ini, 30 Desember 1985. Tepatnya tiga tahun setelah kami mengucap sumpah setia sebagai suami istri baik dalam suka maupun duka. Sebagai sepasang merpati yang bersumpah selalu setia mengarungi kehidupan ini dalam pekat maupun benderang. Karena itu, kami tetap tegar menembus walau hujan sejak sore tadi tiada tanda akan berhenti. Langit pekat sejak senja.
Shinta masih diam, walau berkali-kali siulku menjerit-jerit seperti hendak mengalahkan musik klasik nan lembut dari tape mungil di mobil. Entahlah, apa pula yang bersarang di benaknya. Adakah ia tengah menikmati senandung hujan yang begitu mengasyikkan, tatkala bersentuhan dengan atap mobil" Ataukah ia sedang memandangi jejak air yang luruh setelah dihapus wiper" Sekali lagi, ya sekali lagi, entahlah.
Dan, aku tak hendak mengusiknya. Biarlah ia bermain dengan kupu-kupu yang bersarang di benaknya. Atau sekawanan burung kenangan yang memainkan ingatannya. Hidup memang selalu dipenuhi oleh metafora dan ingatan, begitu kata para seniman, walau aku tak pernah bisa menafsir makna itu semua. Aku hanyalah pebisnis, seorang yang senantiasa hidup dalam khasanah praktis. Karena itu pula segala yang terasa indah seperti musik klasik yang sebetulnya aku yang menghidupkan tak sampai sebagai keindahan. Atau kaki hujan yang melangkah di atap mobil juga tetesan air yang merangkak di kaca setelah dileburkan wiper tiada juga sanggup mengusikku. Bukan tersebab aku tak menyenangi sesuatu yang indah dan mengasyikkan.
Aku selalu menyukai perjalanan seperti ini, saat hujan mengguyur Desember dan malam bertabur kelam. Dan, aku selalu merindukan susanasa semacam ini. Jadi tak beralasan kalau aku tak menyenangi sesuatu yang asyik dan menyenangkan, meski aku tak tahu adakah itu bagian dari keindahan"
Yang pasti aku menyukai pantai dengan lautnya yang biru, bebukitan dengan rerumputan hijau, bungalow menghadap ngarai, dan kehijauan ladang di perdesaan. Dan, Shinta, tetaplah membisu. Hening&
Malam merangkak amat lamban. Langit bertabur kelam. Tak berbintang. Aku telah mengambil payung dan mantel dari dalam mobil. Duduk di teras bungalow. Di dekatku setumpuk kembang api yang sebentar lagi akan kunyalakan, lalu pecah di langit hening. Tapi mungkinkah kembang api akan terbang dan menaburkan cahayanya di pekat malam, saat hujan seperti ini" Udara lembab dan amat basah.
Aku pandang Shinta. Ia mengerjapkan bola matanya. "Apa yang kau pikirkan?" aku membuka suara. "Maksudku, kau& ." "Aku tak apa-apa."
"Kau pasti ada apa-apa. Aku mampu menyelam ke dalam perasaanmu, Shinta& ."
"Aku hanya kurang sehat."
"Kenapa kau tak katakan tadi sewaktu di rumah" Kita bisa batalkan ke sini. Kita habisi malam Tahun Baru di rumah saja," kataku kemudian. Aku menyesal mengapa tak kutahu perasaan Shinta saat di rumah tadi" Kalau benar ia kurang sehat, lebih baik urung ke tempat ini. Aku terlalu yakin bahwa Shinta akan senang kuajak ke tempat ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia selalu beriang. Sampai kami kembali ke rumah, dan esok lusa ia akan bercerita kepada teman-temannya di kantor ihwal keindahan bermalam Tahun Baru di bungalow.
Ah! Kini ia tak akan bisa bercerita tentang keriangannya. Shinta tak mendapatkan keceriaan itu, lalu bagaimana ia mampu mengungkapkannya" Kisah akan menarik didengar, apabila si pencerita mengetahui dan menguasai apa yang ingin diceritakan. Dan itu, ini kesempatan, tak didapatnya.
"Tak apa. Mungkin sebentar lagi juga akan membaik," katanya setelah hening. Aku mengangguk. Menanti dia mengusir kabut dari wajahnya. Kuhidupkan sebatang rokok filter lagi, ini sudah batang kesembilan. Sekadar mengusir gelisah yang kian merambat di dalam diriku. Ah. benarkah aku gelisah" Kukira tidak. Sebenarnya sepi tengah menyergap kami. Ya! Tiga tahun malam Tahun Baru kami habisi di bungalow ini tanpa suara kanak-kanak, tiada keriangan anak-anak yang bermain di bawah hujan bertabur kembang api.
Ya! Sekali Shinta hamil namun gugur, setelah itu kandungannya selalu kempis. Aku tentu saja Shinta lebih dari itu amatlah merindukan seorang anak di antara kami. Shinta, beberapa kali, mengharap (tepatnya meminta) kandungannya berisi janin dari benihku. Hanya saja, harapan itu tinggal harapan. Kandungannya tak berbuah janin. Padahal, beberapa dokter kandungan telah kami sambangi untuk meminta "petunjuk" dan obat paling khasiat mendapatkan anak. Bahkan, aku tahu kemudian, diam-diam Shinta pernah pula mencari pengobatan alternatif kepada orang yang diyakini pintar. Tapi, sekali lagi ya sekali lagi, Tuhan belum merestui kami.
Dan, kini pada tahun ke tujuh dari perkawinan kami: Desember 1989, kami pilih kembali bungalow ini untuk menghabisi malam Tahun Baru. Tapi tidak dengan berisik anak-anak. Kami kembali mendekap sepi. Dan, Shinta tetap tidak bisa riang. Sebagaimana langit yang kini kutatap dari bebukitan ini: kelam. Hanya wajah istriku masih membiaskan sinar. Itulah bintang cinta yang terbit dari hatinya. Dari kerlip bintang itu, aku seperti memasuki dunia jauh.
"Kadang aku rindu ke mari ditemani anak-anak," tiba-tiba Shinta bersuara. Malam terasa sunyi. Merambat amat lamban, layaknya siput yang berjalan.
Aku terjaga. Ya, beberapa detik lalu kiranya aku pun digayuti kerinduan yang sama. Aku sangat ingin menggendong, digelayuti oleh tangan mungil, dan ingin sekali bermain dengan anak-anakku. Di sini. Saat kami merayakan malam Tahun Baru, seperti juga jutaan orang lain melakukannya. Entah di jalan raya, tepi pantai, kafe, bioskop, hotel, vila, ataupun bungalow.
Ah ya! Di bungalow lain, aku memang mendengar tawa sebagai tanda riang ketika kembang api meluncur dan pecah bersama taburan cahaya di cakrawala pekat. Lalu, anak-anak mereka berlarian seakan ingin mengejar pecahan bintang.
"Kau lihat mereka, betapa bahagianya?" Aku mengangguk.
"Mungkin suatu ketika, entah tahun muka, kita pun akan seperti mereka." Shinta tertunduk. Ingin menyembunyikan kabut yang meruap di wajahnya& . HARI ini, 30 Desember 2005. Tepatnya dua puluh tiga tahun setelah kami mengucap sumpah setia sebagai suami istri baik dalam suka maupun duka. Sebagai sepasang kekasih yang bersumpah setia mengarungi hidup ini dalam pekat maupun benderang. Karena itu, dengan tegar kami tetap menembus walau hujan sejak sore tadi tiada tanda akan reda. Sejak senja langit begitu pekat.
Shinta masih tertunduk. Membiarkan helai-helai rambutnya yang tampak memutih menutupi separuh wajahnya. Sementara bola mata kirinya di balik kacamata plus menatap lantai. Tak bergerak. Tak berkerjap.
"Kamu seperti masih menyesali hidup, kau kecewa dengan perkawinan kita?" aku bertanya amat hati-hati, tak ingin hatinya terluka. "Sudahlah jangan terlalu berharap lagi. Mungkin Tuhan belum mengizinkan kita punya anak. Tuhan lebih tahu mana hambanya yang sanggup diuji dengan anak dan mana yang tidak. Barangkali, kita termasuk hamba-Nya belum bisa diuji& ."
"Kenapa?" ia mengangkat wajahnya. Menatapku lekat. "Apakah aku tak mampu mengasuh dan membesarkan anak?"
"Bukan cuma itu yang dimaksud ujian Tuhan itu, tapi& ."
"Karena kau pikir aku tak bisa jadi ibu?" Shinta kini menudingku. Aku tergagap, kini aku merasa bersalah. "Kalau saja aku diberi hamil dan punya anak, aku juga bisa menjadi ibu. Setiap perempuan pasti bisa jadi ibu dan mampu mengasuh atau membesarkan anaknya. Cuma& ."
"Jangan menyesali hidup Shinta, jangan kecewa kalau saat ini kau belum hamil& ." ujarku tersekat sebab ia segera memotong.
"Mungkin tahun depan, tahun depannya lagi. Begitu yang akan kau katakan?" Aku tediam. Malam berselubung pekat merangkak amat lamban. Udara basah. Bungalow-bungalow di perbukitan ini berselimut kabut, layaknya si tua janggut berbungkus kain putih. Kupandangi wajah Shinta yang kembali menunduk kini. Jemari kakinya bergoyang pelan. Lalu, ia mendesah. Panjang.
"Lupakan duka. Mari kita beriang. Mari Shinta& ." ucapku mengharap sembari mengembangkan kedua tanganku. Seperti sayap burung yang hendak terbang. "Kalau kau tahu dengan perasaanku kini, dengan suara hatiku saat ini, sesungguhnya aku juga berduka. Tetapi, apakah hanya karena duka segalanya akan berubah" Hidup ada yang menentukan, dan kita sudah ada dalam ketentuan-Nya," lanjutku di dalam hati.
"Mari Shinta, mari kita beriang," kataku lagi. "Kalau kehadiran anak-anak di tengah kita saat ini akan membuat malam tahun Baru ini menjadi sempurna, marilah kita angankan mereka ada di dekat kita sekarang. Mereka, anak-anak kita, ikut bermain dan mengejar pecahan kembang api. Ikut beriang dan tertawa. Lihatlah& ."
"Aku melihatnya. Ya melihat mereka, Kanda. Anak-anak kita. Mereka berlarian dan saling berkejaran. Memburu pecahan kembang api. Seperti serpihan bintang pecah."
"Ya," kataku turut memberi semangat. Lalu aku berlari kian ke mari, seperti sedang berkejaran dengan anak-anakku. Shinta juga mengikuti langkahku. Menguntit jejakku.
"Jangan cepet-cepat, Kanda& ." harap Shinta.
"Larimu lebih cepat lagi, supaya tak tertinggal jauh," seruku. Aku seperti menunjuk ke depan, ke anak-anak kami. "Jangan sampai kita kalah dengan mereka." "Tapi aku sudah letih."
"Kau harus bergegas. Kuatkan dirimu. Jauhkan lagi langkahmu," kataku bersemangat. Meski begitu, aku maklum usis Shinta kini 48 tahun dan aku berumur 50 tahun.
"Aku tak bisa." "Harus bisa!" "Tak bisa." "Kau bisa!"
Ah, lalu Shinta terkulai. Rebah di rerumputan basah. Aku memburu dan rebah pula di sisinya. Malam ini kulihat wajah Shinta makin cantik, sebagaimana kulihat kali pertama pada 24 tahun lalu.
Ketika hendak kukecup pipi dan bibirnya, ia bergegas bangun. Kemudian lari ke sebelah bungalow. Hendak bersembunyi, seperti mengajakku main umpetan. Aku mengejarnya. Namun Shinta menghindar dari sana, mencari persembunyian di sebatang pohon di tepi bebukitan. Kuburu ia segera. Tiba-tiba aku benar-benar khawatir karena ia berada di tepi tanah yang curam.
"Awas Shinta, nanti& ." Aku terpana. Geming. Bersitatap dengan kelam. Malam begitu lamban merangkak. Saatnya kini Desember sungguh-sungguh tanggal dari kalender. Berhujan. Kelam berselimut kabut. Pekat amat.
Entahlah, apakah aku sanggup mengumpulkan jejak demi jejakku yang patah. Sisa dari serpihan harapan.
Pandangku buram. Harapku kelam & .
Lampung, 17-18 Desember 2005
Melepas Burung Post : 03/21/2006 Disimak: 192 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Pikiran Rakyat, Edisi 03/18/2006
SETIAP pagi Mat Kribo melepas burung. Keempat jantan burung dara piaraannya itu lalu akan membelah pagi beku. Setelah itu ia akan mengambil si betina dari sangkarnya: satu di kiri dan satunya lagi di tangan kanan. Sementara dua lainnya dilepas di tanah. Tak lama berselang kedua tangannya akan berkibar-kibar, mengepakkan sayap kedua merpati itu.
Kesukaan melepas burung ke udara sudah dilakoni Mat Kribo sejak lajang. Tapi ketika ia berkeluarga dan waktunya habis untuk bekerja di pabrik, hobi itu sementara dia lupakan. Ketika tempat bekerjanya mem-PHK Mat Kribo, tiba-tiba saja kesukaannya kambuh lagi. Padahal, Mirah-istrinya, berkali-kali menyuruhnya mencari pekerjaan lain, dan Mat Kribo tak peduli.
"Mau kerja apa" Cari pekerjaan di mana?" Mat Kribo balik tanya. Ketus. Pesimistis. "Tak ada pabrik yang mau menerima pegawai yang sudah di-PHK seperti aku!"
"Siapa yang bilang?" Mirah tak mau kalah. "Pabrik mana yang sempatsempatnya tanya soal PHK atau tidak di-PHK pada pelamar. Kalau memang ia butuh pegawai, ya diterima saja. Tak ada tanya-tanya masa lalu!" lanjut Mirah sewot.
Mat Kribo hanya tersenyum. Ia lepaskan keempat jantan merpati di tangannya ke udara. Pagi beku. Pohonan memutih. Bukit Sukmahilang ditutupi kabut. Dari lereng dan rerumputan yang melebat, segerombol perempuan menggendong bakul membelah tanah lapang. Di antara para perempuan yang setiap pagi menebus pagi beku ada yang membawa payung. Mereka bergegas seperti setengah berlari....
Perempuan-perempuan perkasa, demikian Hartoyo Andangjaya, mau ke mana mereka" Sepagi yang beku, sudah harus meninggalkan rumah, anak, dan suami yang berada di ladang. Di dalam bakul mereka ada sayur-sayuran, buah pisang, pepaya, mentimun, dan sebagainya. Mereka akan menjajakan hasil tanamnya itu di kompleks perumahan. Pulang bila matahari berada tepat di atas ubun-ubun.
Mat Kribo masih menanti keempat merpatinya kembali ke tangan. Ia menoleh kesana-kemari. Tapi tak gusar. Dalam penantian itu, ia bisa menghidupkan sebatang rokok yang biasa diselipkan di antara telinganya. Kini rokok terakhir dari sebelah kiri telinganya yang dinyalakannya. Hisapan pertama amat dalam, lalu ia tumpahkan ke udara kosong. Asap rokok berupa bundaran pun terbang untuk lalu buyar. "Sampai kapan kau bermain dengan burung-burung itu?" Mirah berteriak dari
dapur. "Jangan openi aku Mirah. Perempuan itu kerjanya di dapur. Istri itu tugasnya memasak buat suaminya, bukan ngopeni suami!" Mat Kribo tak kalah berteriak. "Pamali ngeributin suami, tahu!"
"Aku tahu!" Mirah membentak. "Tapi kalau suaminya tak tahu diri, apa istri boleh membiarkan" Memangnya yang mau dimasak tak perlu dibeli dulu" Dengan uang dari mana kalau suaminya menganggur seperti kau!"
"Sudah diam, jangan banyak bicara!" Mat Kribo berkeras. Empat merpatinya belum juga tampak. "Kamu masak saja Mirah kalau masih ada yang bisa dimasak. Kalau sudah tidak ada lagi, kau ambil batu di kali itu!"
"Baik! Tapi kau yang memakannya ya! Kami tak sudi!"
"Diam kau Mirah!" ia naik pitam. Semula Mat Kribo hendak mengambil sebilah kayu dan urung melempar ke dinding rumahnya karena ia keburu melihat anak sulungnya, Yanto (Mat Kribo punya dua putra yang satu lagi baru berusia 5 tahun), berlalu di dekatnya.
"Saya ke sekolah, Abah. Assalamu'alaikum...," Yanto pamit sembari menggamit lengan Mat Kribo dan mencium.
"Ya. Waalaikumsalam. Hati-hati. Belajar yang benar biar besarnya jadi pintar. Kalau kau pandai, bisa jadi pemimpin...."
Yanto tersenyum. Memutar wajahnya, melengos dari tatapan Mat Kribo. Ia tak berkedip memandang anak sulungnya yang baru kelas 3 SD itu menjauh. Mat Kribo memang berharap besar kepada anak lelaki pertamanya itu, kelak jika sudah besar. Harapannya Yanto tidak bernasib seperti dia. Yanto mesti mendapatkan ijazah SMA, dan kalau memungkinkan dapat meneruskan ke bangku kuliah. Selesai sebagai sarjana. Seperti anak tetangga yang baru diwisuda sebagai sarjana teknik kimia. Atau anak dari kakaknya yang lulus menyandang sarjana pertanian.
Mat Kribo tak pernah membeda-bedakan sarjana. Apa pun bidang atau jurusan yang dipilih Yanto kelak, yang terpenting bagi Mat Kribo adalah sarjana. Setiap lulusan pasti tersedia peluangnya, sebab terpenting adalah kemauan.
KEMAUAN" Mat Kribo gelisah. Ia merasa kini ia sudah tak lagi punya kemauan, itu sebabnya ia tak bersemangat mencari pekerjaan. Padahal, sudah berulangulang Mirah menyuruhnya bekerja atau mencari kerja. "Tapi kalau pun aku masih punya kemauan, kalau lowongan kerja tidak ada juga aku tetap menganggur!" batin Mat Kribo.
"Jadi, jangan salahkan aku Mirah kalau aku tak mau bekerja. Soalnya di zaman yang serbasulit ini, mana ada perusahaan yang membuka lowongan?" ujar Mat Kribo suatu kesempatan. Sejatinya ia hendak membela diri, bahwa ia bukan tak mau bekerja.
Dan, mendengar suaminya itu Mirah makin nyerocos, "Alasan! Kau pikir aku tak tahu kalau kau memang pemalas. Makanya kau dulu dipecat! Kamu hanya ingin numpang makan sama istri. Aku yang kerja, cari cucian sana sini...."
"Siapa bilang aku tidak dipecat! Pabrikku bangkrut. Apa kau tak ngerti juga: aku dipecat, mengerti kau"!"
"Tapi kalau kau punya kemauan, 'kan bisa cari kerjaan yang lain. Banyak mas kalau kau mau. Kau bisa jadi buruh, bisa jadi kenek bangunan rumah, atau apa saja. Kau juga bisa mbecak, yang penting bawa pulang uang halal," masih kata Mirah.
Mat Kribo diam. Ia pandangi kedua merpati betina di tangannya. Burung saja yang cuma punya dua kaki dan dua sayap bisa mencari makan. Lalu mengapa ia hanya mengandalkan hidup dari istri" Kenapa ia yang dianugerahi Tuhan dengan dua kaki, dua tangan, satu mulut untuk bicara, dikasih dua mata untuk melihat, dan yang terpenting adalah otak untuk berpikir dan menimbang serta otot-ototnya yang bertenaga, mengapa pula tidak didayagunakannya" Mat Kribo menimbang. Ia pun bimbang.
Bukan soal tak mau bekerja, bukan pula karena ia malas mencari lowongan pekerjaan. Terlalu sering ia mendapat kabar kalau teman-temannya yang dulu sesama buruh di pabrik sepatu, sampai kini masih menganggur. Mereka sudah berkali-kali mengganti surat lamaran, sudah berpuluh melemparnya ke berbagai perusahaan. Teman-temannya kemudian mendapat jawaban serupa hingga terdengar klise, "Maaf perusahaan kami, untuk sementara, belum menerima karyawan. Barangkali lain waktu Anda bisa bergabung dengan kami di perusahaan ini...." Yang ditandatangani oleh kepala bagian personalia.
Ia tak hendak dipermainkan bagian personalia seperti itu. Tak pernah ikhlas kalau dirinya menjadi bulanan dan pembohongan yang dibungkus basa-basi yang sudah basi itu, hanya untuk menolak lamarannya! Keberuntungan dan kegagalan hanya selapis kue lapis. Ia membatin.
"Kalau kau terus-terusan nganggur, mau makan apa kita, Mas?" Mirah kembali menggelegar.
Mat Kribo tersadar. Sekejap memandang istrinya, lalu melengos ke udara seperti mencari sesuatu. "Kenapa belum kembali?"
Mirah seperti tahu apa yang dipikirkan suaminya, lalu berujar, "Burung saja bisa minggat kalau tak diberi makan!"
"Apa?" tersentak. Mat Kribo menujah tatapnya ke wajah Mirah. "Kalau burung saja tak diumpani makan bisa minggat, apalagi...," Mirah sengaja mengulang.
"Hei, kalau ngomong dengan suami jangan sembarangan, bisa kualat! Tahu!" sentak Mat Kribo.
Istrinya tertunduk. "Itu kalau suaminya menafkahi istri dan anak-anaknya, selalu setia dan sayang pada keluarga. Nah, kalau tak memperhatikan keluarga?" ucap Mirah lembut.
Mat Kribo makin membuka lebar matanya. Wajahnya merah. Dan, Mirah berlalu dari hadapan suaminya. Ke kamar mandi dan mencuci pakaian.
MAT KRIBO --ia disapa begitu karena rambutnya kribo kalau sedang gondrongkembali mengepakkan kedua merpati di tangannya. Ke udara kosong. Namun, ke empat burung yang dilepasnya beberapa menit lalu tak juga tampak. Ia mulai gelisah. "Jangan-jangan benar minggat," gumamnya.
Menuju ke belakang rumah. Pandangnya mendongak ke bubungan rumah, di sana tak ada keempat merpatinya bertengger. Ke dahan pohon mangga di samping rumah tetangganya, juga tak terlihat. Lalu ia mencoba melihat ke dalam sangkar yang terbuat dari papan, ia makin kecewa. Tiada pula merpati kesayangannya di situ.
Ia segera memanggil istrinya. Mirah keluar. Ia mendamprat Mirah, menuding istrinya yang membuat empat ekor merpatinya kini benar-benar minggat. "Karena doamu tadi, sekarang burung-burungku hilang!" teriaknya.
Mirah protes. Ia tidak mendoakan agar piaraan suaminya hilang. Mirah hanya mengatakan, burung pun akan minggat kalau tidak pernah diumpanin. Cuma itu. "Kalau burungmu hilang, ya bukan lantaran ucapanku. Sudah takdir!" Mirah dengan enteng menjawab, lalu kembali ke kamar mandi.
Mendengar itu, Mat Kribo semakin berang. Mirah tak kalah marah. Ia kecam suaminya yang hanya memikirkan burung ketimbang keluarga. Lebih sayang kepada piaraannya daripada mengurus dan mencari nafkah buat keluarga. Mat Kribo tak tahan mendengar kecaman istrinya, kemudian ia diam dan pergi. Mencari keempat merpatinya yang belum kembali.
NIAT Mirah sudah bulat. Tak bisa hanya bertahan sebagai pencuci pakaian tetangga untuk menambal kebutuhan keluarga. Yanto harus bisa menyelesaikan sekolahnya, setidaknya, sampai SMA. Adiknya, Manto, juga tidak bisa tidak tahun ini harus disekolahkan. Mirah tak dapat membayangkan, apa jadinya Manto kalau tidak di sekolahkan: sepanjang hayat akan menanggung sesal.
"Aku tak mau batalkan, Mas," Mirah kembali menegaskan. Pekan depan ia sudah berangkat ke Arab, menjadi tenaga kerja wanita (TKW): sebagai pembantu rumah tangga. Segala sesuatu untuk urusan keberangkatannya sudah beres. Orang tua Mirah --mertua Mat Kriboyang memberi modal. "Apa kata orang tuaku, kalau ini kubatalkan. Mereka telah membantu mengurusku," lanjut Mirah.
"Arab itu tidak dekat, apalagi kontrakmu itu tiga tahun?" Mat Kribo memelas. Ia berupaya menggagalkan kepergian istrinya menjadi TKW. "Cobalah kau berpikir lagi sebelum berangkat, Mirah" Bagaimana Yanto dan Manto, mereka pasti sangat kehilanganmu...."
"Tapi, apa yang kulakukan ini juga untuk mereka. Aku bekerja demi membahagiakannya. Aku akan mengirim upahku setiap bulan. Hanya tiga tahun aku dikontrak, setelah itu aku pulang dan tak lagi ke sana," jawab Mirah. Sebenarnya ia berat juga meninggalkan kedua anaknya, tapi bertahan hanya mengandalkan penghasilan dari mencuci pakaian tentulah tidak akan pernah cukup. Ditambah lagi suaminya yang menganggur dan malas mencari pekerjaan. Hanya asyik dengan burungburungnya.
Ya, ibarat seekor burung, sekarang Mat Kribo benar-benar akan melepas Mirah. Terbang melintasi negara. Teramat-sangat jauh. Ia tak dapat memastikan apakah burung yang dilepas itu akan kembali atau tersasar di rimba yang asing. Seperti banyak nasib para pekerja lain di luar negeri.
Dan, burung itu kini benar-benar sudah ia lepas. Hanya lambaian, cuma kepakkan sebagai harapan agar merpati pulang ke tangan. Ini kali Mat Kribo merasa benar-benar kehilangan. Rasanya lebih menyedihkan dibanding keempat merpatinya yang tak kembali lagi beberapa hari lalu setelah ia lepas ke udara.
Pagi yang lalu, pagi kini. Sangat besar jurang bedanya.
*** Lampung, 21-23 Desember 2005
Batas Rencana Post : 02/27/2006 Disimak: 227 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Pembaruan, Edisi 02/26/2006
/1/ "AKU selalu berencana. Entah itu awal bangun tidur pagi hari atau malam menjelang mengatupkan mata. Rencanaku selalu yang besar-besar. Sebab aku meyakini bahwa dengan rencana yang besar, maka peluang kegagalan dalam hidup makin kecil."
"Kalau aku lebih percaya dengan rencana-rencana kecil, yang sederhana. Ingatlah dengan penyanyi Ebiet G Ade, ia punya renana yang selalu sederhana. Kehidupannya pun sederhana. Tetapi, kini dia sukses-setidaknya sebagai penyanyi..."
"Aku tak sependapat denganmu. Aku percaya dengan falsafah orang-orang besar: berpikirlah besar, berencanalah yang besa-bersar. Karena apa yang kaupikirkan, apa yang kau rencanakan niscaya itulah yang didapat."
/2/ "ABANG aman-aman saja, selamat. Tapi keluarganya tak bisa tertolong, hilang..." katamu.
Waktu itu tampak sekali kau terpukul. Pandangmu kosong. Kau sakit" Stres. Bencana itu telah merontokkan rencana-rencana yang telah dibuat.
Kau sadar kini. Betapa pun teliti dan besarnya rencana, dapat saja sekejap berantakan karena kekuatan lain di luar kemampuan manusia. Kau pernah membanggakan segala rencanmu yang besar itu. Segala urusan untuk penyambutan abang dan keluarganya sudah disiapkan.
Katamu, "Untuk Ibu dan Ayah sudah kusiapkan kamar di depan. Spresi, selimut, bantal, guling... Semuanya baru kubeli dan sudah rapi kusimpan di lemari. Sedang untuk Abang sudah pula kusiapkan kamar di tengah. Kami di kamar belakang. Ayam kampung sudah kubeli dan kini masih kupelihara di kandangnya. Aku ingin setiap hari, keluarga abang makan daging ayam..."
Kemudian kau lisankan rencana-rencana besar lainnya. Misalnya, soal prosesi perkenalan antara keluarga Abang dengan keluargamu. Kau mau mengundang seluruh tetangga dekatmu untuk menyambut keluarga Abang. Meski hanya lamaran, kau tak menghendaki kesan dipersiapkan sekadarnya. "Aku ingin tetap meriah, riuh, dan ramai," katamu berencana.
"Bukankah yang penting diramaikan saat menikah?" tanyaku. Aku menyarankan daripada prosesi lamaran dimeriahkan, lebih baik biaya tersebut disimpan saja untuk pernikahan atau untuk modal memulai rumah tangga.
Kau berang. Tidak menerima saranku. Kau bilang, "Ini hanya sekali dalam hidup. Kenapa tidak dimanfaatkan" Lamaran dan resepsi pernikahan sama bernilainya bagi seseorang!"
Menurutmu, untuk apa bekerja kalau bukan untuk mendapatkan uang" Untuk apa uang kalau tidak digunakan hal-hal yang bahagia" Dan, paling bahagia dalam hidup perempuan adalah saat dilamar dan dinikahi. "Aku ingin saat-saat berbahagia itu tidak aku sia-siakan. Aku senang uang simpananku habis, asal hari bahagiaku terlaksana dengan sukses," ujarmu.
Kau berencana, setelah menikah akan kau boyong Abang ke rumah yang dibeli dari tabunganmu bertahun-tahun. Bukan sebaliknya, kau yang diboyong Abang ke tempat tinggalnya. Tegasnya, kau menolak tinggal di rumah orangtuamu atau menumpang di rumah orangtua Abang setelah menikah. "Seindah-indah tinggal di rumah orangtua, lebih indah dan bahagia menyewa rumah. Di rumah sendiri, kita diajarkan hidup mandiri. Tidak cuma menyusu dari orangtua..."
Aku tak setuju pada pendapatmu. Banyak pengalaman orang yang baru beurmah tangga tidak bisa hidup mandiri, karena pasangan itu belum dewasa. Tetapi, banyak pasangan muda yang justru sukses tinggal bersama orangtuanya. Jadi, semua itu tergantung dari orangnya. Bukan tempat atau rumah di mana ia menetap. "Kalau dasarnya memang pemalas, ya di mana pun tak akan sukses," kataku.
Benar. Kau menyetujui pendapatku. Hanya saja, katamu, orang yang tidak berakallah yang akan menelantarkan rumah tangganya. Kalau menumpang di rumah orangtua, sebab dasarnya pemalas maka dia akan makin pemalas. Sebab dia selalu mengandalkan kekayaan orangtuanya.
"Berbeda kalau tidak menumpang di rumah orangtua. Kita akan berpikir bagaimana hari ini atau besok harus makan. Bagaimana mengisi perabot rumah tangganya. Kita juga dituntut untuk membeli pakaian, ranjang, kasur, bantal," katamu. "Kalau genting bocor, kita berpikir untuk menutup atau menambalnya supaya tidak kebanjiran..."
Rencana-rencana itu selalu kau kibarkan. Rencana-rencana besarmu yang kau yakini bakal terwujud. Tetapi, bencana besar itu kini telah menghancurkan rencanamu. Mengoyak hingga tak ada lagi kepingannya.
/3/ SUDAH kuingatkan, bahkan berkali-kali, jangan terlampau besar berencana. Tidak setiap rencana menghantar kita menjadi sukses. Sebab banyak pula orang yang malah tak memiliki rencana-rencana, kemudian menjadi orang sukses" Ada orang yang sejak kecil tak bercita-cita-juga rencana-menjadi presiden, nasib lain menghantarnya ke kursi kepresidenan.
Itu sebabnya, aku menaruh simpati dan salut pada anak-anak yang menggeleng jika ditanya oleh orangtuanya, "Apa cita-citamu kalau sudah besar?"
Aku mencurigai adanya campurtangan orangtua atau orang-orang dewasa untuk menentukan cita-cita seorang anak. Karena itu, anak-anak dengan fasih dan angkuhnya saat menyebut cita-citanya saat besar kelak. Misalnya, ingin jadi dokter, menteri, presiden, gubernur, walikota, bupati, peragawati, artis, perawat, guru, hakim, pengacara. Pernahkah anak-anak bercita-cita menjadi seniman, preman, ustad, ataupun pendeta" Bahkan, belum pernah kudengar anak-anak melontarkan cita-citanya kelak menjadi diri sendiri. Sungguh, aku punya dugaan yang besar bahwa peran dan campur tangan orang dewasa telah memengaruhi rencana anak-anak. Aku tak menyukai cara orang dewasa mencekoki jiwa anak-anak!
Batas itu terbukti dari rencana-rencana yang dicapai. Sebab itu, aku tak bosan dan segan mengingatkanmu, akan batas rencana itu. "Semakin besar rencanamu, kian besar pula lubang kekecewaanmu jika tak tercapai. Jadi, rencana itu sederhanasederhana saja. Yang kau yakin pasti dapat tercapai. Sehingga kalau pun tak tercapai, sederhana pula kekecewaanmu," kataku, suatu kesempatan.
Tetapi kemudian, kau melengos. Pergi untuk meninggalkan aku sendiri di kursi ini. Minuman yang belum kau sentuh, kau tinggalkan. Sungguh mengecewakan. Hanya aku suka pada sikapmu. Ketegasanmu. Dan, hingga kapan pun, kau tetap mempertahankan rencana-rencana besarmu. Maksudku menyampaikan rencana-rencana besarmu, seraya kau meyakini bahwa rencana-rencanamu itu pasti kesampaian. Tak berbatas. Seperti pepatah, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Apakah dan di manakah batas langit itu" Tak terbilang bukan"
Maka aku hanya diam ketika kau berencana ingin membangun rumah mewah, begitu kau telah menikah kelak. Di lantai dua rumahmu akan dibuatkan sebuah kolam renang. Di sanalah, jika penat dan pikiran kacau maka kau akan menceburkan dirimu. Berenang hinga sepuas-puasanya. Sampai badanmu dingin. Hingga pikiranmu kembali segar. Lalu kau naik dari kolam renang itu, menggandeng suamimu ke kamar. Handuk masih melilit tubuhmu ketika kau mengajak suamimu bercengkerama...
"Bukankah itu indah" Siapa pun akan menyukai suasana seperti itu. Entah itu pengantin baru atau suami istri yang telah beruban!" tegasmu.
Aku diam. Sebab, tiba-tiba gelombang besar yang dimuntahkan oleh laut meluluh-lantakkan segala renacamu. Seluruh impianmu. Rumahmu hancur hingga rata dengan tanah. Buku tabunganmu. Buku cek yang menyimpan uangmu di bank hanyut. Juga bank beserta uang di teller lenyap.
"Takdir menentukan lain. Tetapi, aku tetap punya rencana. Rencana yang sangat besar. Aku tak akan pernah mati berencana. Orang hidup harus berencana, jika tak ingin dikatakan dia telah mati," ujarmu lagi.
/4/ AKU perempuan. Lalu, salahkah aku mencatat segala rencanaku" Rencanarencana yang besar" Apakah hanya lelaki yang boleh dan dihalalkan berencana, sementara perempuan cukup punya rencana sebagai ibu rumah tangga, hanya bercita menjadi istri yang baik yang tak pernah abai mengurus suami, memasak yang enak buat suami dan anak-anaknya" Melahirkan, menyusui, mengasuh anak-anak" Jadi ibu rumah tangga di rumah, tak perlu menjadi wanita karier, sebab karier seorang perempuan sebatas dapur-sumur-kasur"
Sungguh tidak adil! Itu peraturan-peraturan yang sengaja dibuat kaum lelaki. Koridor-koridor itu, petuah-petuah itu, sengaja dibuat lelaki agar para perempuan membunuh rencana-rencananya. Perempuan tak boleh memiliki rencana!
Karena itukah Tuhan tak mengutus nabi dari kalangan perempuan" Politik selalu menutup pintunya bagi perempuan. Parlemen hanya sedikit dimasuki perempuan. Jabatan-jabatan empuk dan strategi bukan diserahkan pada perempuan. Karena perempuan dianggap tabu memiliki rencana. Sejak kecil perempuan hanya dibelikan boneka dan perabot masakan oleh para orangtua. Berbeda dengan anak-anak lelaki. Mereka dibelikan pistol-pistolan, mobil-mobilan, pesawat terbang, helikopter, panser, dan kursi.
Kursi" Ya sengaja kursi dibelikan oleh para orangtua untuk anak lelaki. Karena kursi itu simbol bagi kedudukan. Dan, itu kemudian yang selalu dikejar oleh para lelaki. Meninggalkan perempuan yang memang kodratnya lamban bergerak, karena sejak kecil hanya dijejali dengan mainan boneka dan masak-masakan. Mainan-mainan itu cukup dimainkan sambil duduk-duduk. Tidak seperti mainan para lelaki: selalu membutuhkan energi. Bergerak.
Bayangkanlah. Bukankah itu tidak adil"
/5/ KINI kau tak lagi dapat merebut kembali rencana-rencana besarmu yang tersapu air besar itu yang datang tiba-tiba. Calon mertuamu-juga bakal adik iparmu-menjadi korban atas bencana itu. Semua mati. Ketika abangmu (kau selalu menyebut kekasihmu seperti itu) sampai di rumah dari kepergiannya ke luar kota, hanya mendapatkan lantai bekas rumah dan secarik kain sobek milik Ibu.
Kau menangis. Airmatamu mengalir deras. Ketika Abang mengabarkan nelelui telepon genggam dini hari, kau tak mampu menahan untuk tidak menangis. Kemudian berulang-ulang kau ingatkan abang harus tegar menerima kenyataan itu. Pasrah. Manusia datang dari Allah dan akan dipanggil-Nya kembali. Segala yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Hanya kematian bisa di mana saja dan pada saat apa saja. Orang bisa mati di lautan, di air yang menghitam, di kasur saat tidur atau sedang bercinta, di rumah sakit, di kenderaan, di pesawat terbang, juga di semak-semak, hotel, kompleks pelacuran... ("Tapi aku ingin mati saat beribadah, dalam keadaan tunduk pada-Nya," kataku tegas. Kau mengangguk).
Lalu bayangan kedua orang dan adik abang seperti berkelebat di benakmu. Mereka datang dengan pesawat terbang-karena memang kotanya sangat jauh dan harus ditempuh oleh pesawat terbang-membawakan oleh-oleh untuk lamaran. Kau menerimanya dengan sukacita. Kau sumringah. Meski airmatamu mengalir, tapi itu tangisan bahagia. Aku merasakan itu.
Kau menerima lamaran keluarga abang. Ditetapkan tanggal, bulan, dan pada tahun ini berlangsung pernikahanmu. Sudah terbayang rumah mewah dengan kolam renang di lantai dua. Kau menggandeng abang yang menyambutmu di tepi kolam sambil menyerahkan handuk. Kemudian kau menggandeng abang memasuki kamar.
Entah mengapa secepat itu kau menangis. Tersedu-sedu. Kaututup kedua wajahmu. Mungkin malu, mungkin tak sanggup menerima kenyataan. Keluarga abang tak pernah datang. Mati ditelan bencana. Hari perkenalan dan lamaran batal dilangsungkan. Entah pula, apakah pernikahan bakal dibatalkan"
Abang pergi setelah air bah menyusut. Mengembara tanpa arah yang pasti, karena tak ada lagi kenangan dan harapan di kota kelahirannya ini. Salahkah abang" Kau menggeleng. Rabiah al-Adawiyah saja ikhlas melajang sampai mati.
Aku tak begitu yakin, itu sebuah jawaban yang telah kaupertimbangkan secara masak. Seperti juga rencana-rencana besarmu. Begitu cepat menderas. Seperti hujan. Seperti tiada batas...
Lampung, Desember 2004-Januari/ Februari 2005
Penyanyi Kafe Post : 11/16/2005 Disimak: 288 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 11/13/2005
SEBAGAI Di kompleks perumahan ini ia mengontrak selama dua tahun, dan ia menempati rumah yang terletak di paling kiri jalan itu baru 6 bulan. Di rumah itu ia sendirian. Hanya sesekali, ada perempuan yang menemaninya. Mungkin temannya sesama penyanyi kafe.
Meski jarang berkunjung ke rumah tetangga atau sekadar mengobrol di halaman depan, ia masih murah senyum dan sapa. Meski hanya sesekali menghadiri pertemuan arisan ibu-ibu, ia paling rajin mengirim uang setiap minggu pertama bulan yang berjalan. Ibu-ibu di kompleks ini memakluminya, sebab sedikit sekali waktu siang yang dimilikinya. Bagi Linda, kecuali bukan hari libur, siang adalah malam yang harus dimanfaatkannya untuk tidur.
Ia tak pernah diantar atau dijemput oleh lelaki. Karena itu, aku orang yang pertama membantah jika ada tetangga lain mengatakan Linda datang atau pergi dengan seorang lelaki. Linda juga tak berpakaian sebagaimana lazimnya penyanyi kafe. Pakaian yang dikenakannya tak seronok, apalagi sampai mengundang berahi lelaki yang memandangnya. Pilihan warna pakaiannya juga tak mencolok. Bahkan warna gelap dan putih seakan menguasai seluruh pakaiannya.
Pernah seorang tetangga menyebar isu penyanyi kafe itu diantar seorang lelaki, masih pula ditambah bumbu-bumbu: "Sepertinya yang mengantar sampai masuk ke dalam rumahnya," katanya.


1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku segera membantah, mengingatkan tetangga itu jangan menyebar isu yang belum pasti kebenarannya. Awalnya ia hendak mengucapkan sumpah, tapi segera kusela: "Apa" Mau bersumpah demi Tuhan kalau kau benar-benar melihatnya" Jangan cepat-cepat main sumpah, nanti kau dimakan sumpah& ."
Setelah itu kutahu kalau tetangga itu pernah kecewa pada Linda, karena tak diacuhi ketika ia menggoda. Tetanggaku yang membujang-lajang tua-tertarik pada penyanyi kafe itu, namun seperti kata tetangga lainnya hanya bermodal cekak. Wajah pas-pasan, isi dompet sering kosong.
"Mana mau perempuan dengan pengangguran!"
"Sama saja pungguk merindukan bulan," kata yang lain.
"Maman& Maman, mestinya dia berkaca dong. Siapa diri awak, siapa pula si Linda& ."
"Maksud hati ingin jadi Romeo, apa daya Juliet tak mau meminum racun& " "Ah, tak nyambung kau! Hebat kali Maman disamakan dengan Romeo& " sanggah tetangga lain.
Aku hanya tersenyum. Percakapan sewaktu ronda memang mengasyikkan. Setidaknya, dapat melupakan dingin dan kantuk.
LINDA adalah penyanyi kafe. Hanya ia tidak seperti kebanyakan penyanyi kafe. Ia tampak ramah dan sopan, setidaknya di kompleks perumahan ini. Ia tak pernah berpakaian seronok dan menyala sehingga mengundang mata para suami yang kesepian. Pakaiannya sederhana. Sering menyapa dan tersenyum, terutama kepada ibu-ibu. Ia biasa membeli di warung yang cuma satu-satunya di blok kami. Tetapi, ia mengurangi canda.
"Aku suka dengannya. Meski penyanyi kafe, sehari-harinya sederhana," kata istriku suatu pagi sehabis bertemu Linda di warung Nenek Ali. "Waktu ibu Tituk nyerempet-nyerempet bicara porno, dia hanya diam."
"Pasti mama kan malah ikut nimbrung?" potongku. "Kok nuduhku begitu?"
"Bukan menuduh, siapa tahu. Kalau tidak, ya baguslah& " "Tapi, aku meragukan apa benar dia tak seperti penyanyi-penyanyi kafe?" "Maksudmu?" aku seolah-olah tak mengerti maksud istriku itu. "Ah, baiknya jangan berprasangka buruk pada orang lain."
"Aku tak berburuk sangka," potong istriku. "Siapa tahu ia berperilaku ramah dan sopan itu, hanya untuk menutupi perilaku ia sesungguhnya."
"Itu sama saja berburuk sangka, Leha& " kataku sambil menggeleng dan tersenyum.
Istriku juga tersenyum. Meski terasa hambar.
PADA suatu malam Linda diantar seorang lelaki. Aku yakin pengantar itu bukan kekasihnya, karena menakar-nakar usia keduanya berselisih sangat besar. Lelaki itu lebih cocok sebagai bapaknya atau pamannya, ketimbang calon ataupun suaminya.
Lelaki itu tak turun dari sedan Toyota Camry ketika Linda membuka pintu sebelah kiri dan membiarkan Linda masuk ke rumahnya. Hanya sekejap Linda menoleh dan tersenyum kepada pengantar yang masih duduk di belakang stir, kemudian menutup pintu.
Para peronda, kecuali aku, memandang adegan itu dengan cemas. Mereka berharap lelaki pengantar Linda itu turun lalu masuk ke dalam rumah untuk beberapa waktu lamanya. Mungkin mereka ingin memergoki atau menggerebek sebagaimana sering diberitakan di koran-koran lokal. Apalagi malam itu, Maman dapat giliran ronda. Ia paling bersemangat untuk menggerebek.
"Perempuan itu sudah mengotori kampung. Harus diberi pelajaran& " kata Maman memanasi peronda lainnya.
Aku tertawa mendengar ocehannya.
"Kalaum pak Yono tidak berani, serahkan saja kepada warga!" kata Maman lagi. "Harus pak Yono, sebagai ketua RT di sini, memberi semangat kami dong untuk berbuat baik bagi kampung kita. Jangan& ."
Aku makin mengumbar tawa.
"Kau ini aneh, Man. Jangan soal pribadi dicampuraduk begitu dong!" kataku santai. "Siapa yang telah berbuat kotor" Apakah perempuan itu sudah kau lihat dengan mata kepalamu mengotori kampung kita" Tidak kan?"
"Apakah dengan memasukkan lelaki lain yang bukan suaminya belum dianggap mengotori?"
"Lalu, apa kau pikir salah, kalau Linda diantar pulang oleh lelaki" Lagi pula ia tak turun, apalagi sampai masuk rumah?"
"Sekarang memang tidak. Besok, lusa, atau pada hari lainnya, apakah tidak mungkin" Boleh jadi mereka pernah tidur serumah, hanya kita saja yang tidak tahu?"
"Jangan menduga-duga, Man," sergahku tak suka karena ia mulai ingin memvonis orang lain. "Caramu itu sudah memfitnah, bukan lagi berniat baik& " "Seharusnya ini tugas ketua RT, bukan& " Maman tetap bersikukuh. "Saya tahu apa yang harus saya kerjakan sebagai ketua RT. Tapi, bukan dengan cara emosi dan apalagi karena dengki!" kataku meninggi.
"Siapa yang dengki?"
"Sudahlah, tak perlu kau tutup-tutupi kalau kau tertarik dengan Linda. Siapa pun orangnya di RT ini tahu& "
"Bapak jangan mengungkit-ungkit soal pribadi saya. Ini soal ketenteraman kampung kita."
"Ketenteraman?" tanyaku sambil tertawa. Dalam hati aku mengumpatnya dengan licik: membalas kedengkiannya karena keinginannya tak terjawab ia menghalalkan segala cara. "Sudah. Saya tak mau melihat warga kita berbuat semeberono dan sia-sia. Menghukum orang tanpa ada kesalahan yang pasti."
Setelah itu Maman terdiam. Peronda lain kembali ke pos. Aku meminta dua atau tiga orang berkeling untuk mengontrol. Maman duduk termenung di pos ronda. Aku pun pulang, setelah berpesan: "Saya siap dibangunkan kalau ada apa-apa."
LINDA bertamu ke rumahku, sebelum aku ke kantor. Tentu saja aku terkejut, karena ia tak biasa sudah keluar rumah pada pukul 06.30. Selama ia mengontrak rumah itu, aku tak pernah sekali pun melihatnya terbangun dan keluar rumah sepagi ini.
"Maaf pak, saya mengganggu. Saya khawatir bapak sudah pergi ke kantor& " katanya tak lupa menguar senyumnya. Ramah.
Istriku segera menyambut. Aku tahu Leha tak ingin kami berlama-lama di depan pintu. "Masuk Linda, masuk& . Ada apa ini, seperti penting sekali."
Ia mengangguk. Lalu, ia utarakan maksud kedatangannya kepada istriku. Aneh juga, sebagai ketua RT, aku malah menjadi pendengar yang baik percakapan istruku dengan penyanyi kafe itu. Maksud kedatangannya pagi ini, meminta bantuanku membuat surat pengantar ke Kantor Kelurahan.
"Insya Allah bulan depan, saya menikah," katanya setelah beberapa lama ia bercerita ke sana ke mari, juga soal lelaki yang mengantarnya semalam. "Mungkin bapak melihat saya semalam diantar, itulah lelaki calon suami saya. Usianya memang lebih pantas menjadi bapak atau paman saya& " lanjutnya tanpa ada rasa sungkan. "Calon suami Linda sudah bekerja?"
"Dia pengusaha, ibu. Ia sudah sepuluh tahun menduda karena istrinya meninggal. Mas Jon banyak berjasa dengan saya. Dialah yang membiayai kuliah saya& "
"Kamu masih kuliah?"
"Saya kuliah ekstension, sore hari. Dari kampus saya langsung bekerja sebagai penyanyi kafe."
"O," hanya itu yang keluar dari bibirku dan istriku. Kami, sungguh-sungguh, terlongo.
"Alhamdulillah, bulan lalu saya diwisuda. Setelah menikah nanti, saya akan pindah dari sini dan akan bekerja di anak perusahaan milik suami saya," katanya kemudian.
Sungguh, aku tak mampu lagi berucap. Leha tampak sesekali tertunduk, mungkin ia merasa malu karena pernah berburuk sangka pada penyanyi kafe itu. Setelah kuberikan selembar pengantar ke Kantor Kelurahan, Linda pun pergi. "Aku meragukan keramahannya, mungkin hanya basa-basi& "
"Kau menyindirku ya?" Leha tersenyum. Malu. Ia kemudian beryukur Maman tak melakukan keonaran pada Linda. Ya, aku tak bisa bayangkan kalau semalam warga terpengaruh lalu menggerebek Linda. Yang malu bukan saja Maman dan warga lainnya, melainkan aku yang bertanggung jawab!
Lampung, 23 September 2005
penyanyi kafe di sebuah tempat hiburan malam, Linda selalu pulang menjelang fajar. Tak jarang ketika ia membuka pintu rumahnya, adzan subuh terdengar dari specker kubah masjid. Setelah itu, rumahnya akan kembali terbuka seusai zuhur.
Kalaupun Mati, Aku Mau dalam Dekapan Ibu
Post : 10/31/2005 Disimak: 296 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Media Indonesia, Edisi 10/30/2005
BUKAN karena Ayah aku mau mudik, melainkan tersebab Ibu yang telah berkali-kali meneleponku dan mengharap sekali agar aku berlebaran di rumah. Katanya, "Ibu sudah sangat rindu, Nak. Mungkin kesempatan berkumpul hanya sekali ini, entah Idul Fitri tahun depan apakah Ibu masih ada atau..."
Aku sempat menitikkan air mata mendengar suara Ibu. Aku tak bisa menjawab apa-apa, bahkan sepatah kata. Tubuhku gemetar seperti Ibu mengirimkan arus litrik. Telepon selulerku seakan pula bergetar meski tak kuaktifkan vibrasinya. Tanpa jawaban, aku sempat mengangguk.
Karena Ibu, ya karena Ibu, aku mau mudik setelah enam tahun tak menjalani ritual tahunan semenjak aku menarik kakiku dari rumah berukuran besar itu. Aku bertekad (mungkin bersumpah"), tak akan pulang selagi Ayah masih hidup atau aku belum berhasil di perantauan.
Keberhasilan yang kumaksud di sini ialah aku sukses di karier dan berhasil membangun keluargaku. Kalau belum, demikian janjiku dalam hati waktu itu, tak akan pulang meski harus berkalang tanah di perantauan. Dan sejak itu pula, entah kenapa, aku begitu benci kepada Ayah. Aku ingin membuang jauh kenangan dan wajah Ayah dari dalam batinku. Tetapi, setiap kali itu juga wajahnya membayang-bayang. Sepertinya melekat, mengikat, dan mengikuti ke mana aku melangkah.
Ayah bukan tipe ideal di hatiku. Ia sangat keras, kaku, dan pendoktrin ulung. Sehingga Ibu dan anak-anaknya (aku hanya dua bersaudara) bagai berada di dalam cengkeramannya. Seperti robot yang dikendalikan oleh sebuah remote yang berada di tangan Ayah. Jika sedikit saja keluar dari sistem yang diinginkannya, Ayah akan murka. Benar juga gurauan, "Surga di telapak kaki Ibu, lalu neraka di kaki Bapak!" Itu sebabnya, tiada jarang tubuh kami menjadi sansak bagi kaki atau tangan Ayah. Terlalu sering Ibu ditendang dan ditampar Ayah, hanya lantaran kesalahan kecil dan sangat sepele. Kami sering memergoki Ibu sedang menangis di kamar ataupun di meja makan sesudah menerima kekerasan dari Ayah. Sebagai anak lelaki--adikku yang perempuan cuma bisa ikut tersedu kalau Ibu menangis--pernah ingin membela Ibu, tetapi apa yang terjadi" Apa yang dilakukan Ayah kepadaku" Ia melempar kursi makan ke tubuhku hingga aku harus diurut. Sejak itu, aku yang masih berumur 11 tahun tak berani lagi menjadi pahlawan bagi ibuku. Kami menyembunyikan wajah jika Ibu sedang menerima kekerasan dari Ayah.
Sampai suatu peristiwa tidak terduga, aku merasa telah dewasa karena aku dapat menahan kursi yang dilempar Ayah ke tubuh Ibu. Ayah benar-benar berang. Ia tampak sekali murka. Aku sudah tak tahan melihat Ibu dianiaya. Lalu aku berteriak sembari berdiri di depan Ibu, "Berhenti, Ayah! Lebih baik bunuh aku daripada Ibu sakit!"
Hanya sekali bentak, lalu Ayah melemparkan kursi lain yang telah diangkatnya. Kursi itu kembali ditujukan ke Ibu, tapi karena masih membentengi Ibu aku yang menahan laju kursi itu. Segera kukembalikan kursi itu dan mengenai tepat tubuh Ayah. Ia meringis kesakitan, beberapa langkah mundur. Ibu segera menghampiri Ayah hendak menolongnya yang nyaris terjerembap. Ibu balik memarahiku karena ulahku yang dianggapnya berlebihan. Aku serbasalah. Diam. Masuk kamar dan mengunci pintu. Tetapi, aku tak kecewa dimarahi Ibu.
Kukira Ibu benar aku memang berlebihan. Mengapa tidak kutahan saja laju kursi itu agar tidak mengenai tubuh Ibu, tanpa harus melempar kembali ke arah Ayah. Cuma aku sudah tak tahan menyaksikan penganiayaan Ayah terhadap Ibu. Kupikir Ayah juga sudah kelewat batas. Sudah tak berperikemanusiaan. Sadistis. Maka, apakah aku salah kalau memberi pelajaran" Ayah memang harus dikasih pelajaran. Mesti dilawan. Untuk menyudahi kekerasan, kadang diperlukan kekerasan pula. Aku pernah mendengar peribahasa seperti itu, kendati aku tak tahu apakah itu benar ataukah salah.
Cuma pada waktu itu aku memang telah menghentikan kekerasan Ayah terhadap Ibu. Ia meringis kesakitan meninggalkan kami, lalu mengunci kamarnya. Baru malam harinya ia mendekatiku, serta mengeluarkan satu perintah: "Pergi kamu dari rumahku ini, dan jangan pulang lagi!"
*** Aku hidup dalam keluarga yang tak sepi dari kekerasan. Aku ditempa oleh sikap seperti itu. Ayah yang selalu menganiaya Ibu. Kami yang senantiasa ditampar, ditendang, dan dimaki oleh Ayah. Ibu yang selalu tersedu tanpa terlihat lagi air matanya. Sepertinya tangis Ibu sudah terkuras. Kekerasan (kalau boleh kukatakan sadistis) seperti itulah yang menempa kehidupanku. Aku terdidik dan hidup dari peristiwa kekerasan demi kekerasan. Di dalam rumah.
Karena itu wajar jika kemudian aku pun menjalani hidup di perantauan dengan cara-cara yang amat keras. Aku jadi perampok yang tak jarang mengakhiri para korbanku dengan membunuh. Aku juga sudah kehilangan kasih sayang--apalagi cinta. Para perempuan yang kujadikan korban perampokan tak kuberi kesempatan selamat. Akan kutinggalkan ia setelah kuperkosa. Aku lebih kejam daripada bandit sekelas Kusni Kasdut atau Joni Indo maupun para bandit kelas paus lainnya.
Pada suatu peristiwa di sebuah petang yang tenang, aku beroperasi di pasar yang ramai. Tanpa teman kumasuki sebuah toko emas. Kuberondong pelayan dan pemilik toko dengan pistol kecil. Darah membuncah di lantai toko itu. Layaknya air berwarna merah siap membanjiri toko itu. Menggenang dan muncrat di mana-mana. Setelah kuyakini pemilik toko dan pelayan itu mati di tempat, aku pun menguras emas di balik kaca. Hanya sekali pukulan, kaca itu berantakan. Kusambar emas dalam bentuk cincin, gelang, dan anting-anting. Juga, tak lupa, emas batangan. Kumasukkan ke ransel yang sudah kusiapkan. Sebelum meninggalkan toko emas itu, aku masih sempat mengembat istri pemilik toko.
Persetan dengan tangis dan permohonan encik itu. Kutelanjangi perempuan berparas putih dan bermata sipit itu di hadapan suaminya yang sudah tak bernapas lagi. Setelah puas melampiaskan syahwat binatangku, lalu kutinggalkan toko emas itu. Menghilang di dalam keramaian pasar. Keesokan harinya, seluruh media memberitakan peristiwa perampokan itu. Tak satu pun berita yang memihak kepadaku, bahkan cenderung bertendensi: aku sebagai perampok sadis yang tak berperikemanusiaan.
Aku hanya tersenyum membaca berita-berita itu. Aku sudah terbiasa hidup dengan kekerasan. Sejak kecil aku saksikan kekerasan dengan mata kepala dan hatiku. Aku tumbuh oleh peristiwa-peristiwa seperti itu. Hidupku jauh dari cinta kasih. Lalu, apakah aku salah kalau kini aku mewujudkannya dalam kehidupanku" Anak akan belajar dari pengalaman yang amat dekat dengannya. Manusia belajar dari peristiwa dan apa-apa yang mendidiknya. Pendidikan yang telah membuat seseorang dari tidak tahu menjadi mengerti. Karena Ayah mendidikku dengan perlakuan keras, itulah yang kupahami dan kujalani kini.
Sebagai penjahat, penjara adalah hotel gratis. Bui adalah kamarku untuk istirahat dari perbuatan jahatku. Di dalam penjara aku seperti sedang jeda untuk merampok, membunuh, dan memerkosa. Sebab, begitu aku bebas akan kulakukan lagi pekerjaan yang sudah kuanggap profesi itu. Ya. Profesiku memang perampok dengan cara membunuh dan memerkosa para korban. Rasanya tubuhku akan terasa ngilu kalau aku merampok tanpa menganiaya. Seakan merampok dan menganiaya dua sisi mata uang. Tak bisa dipisahkan. Betapa pun korban tak melawan.
Mira adalah korban kesekian. Sebelum kujadikan istri, ia adalah mangsaku. Karyawati sebuah bank yang kujarah sewaktu membawa uang itu lalu kularikan ke dalam mobilku. Di suatu tempat pengasingan ia kuperkosa. Entah mengapa tiba-tiba timbul rasa cintaku kepadanya. Akhirnya kutawan di bawah ancaman akan kubunuh jika ia berani lari dariku. Ia amat ketakutan sehingga tak berani melarikan diri. Di bawah ancaman pula, Mira terpaksa hidup serumah denganku. Sampai suatu kesempatan ia memintaku untuk menikahinya. "Aku rela menjadi istrimu, tapi nikahi aku dulu. Aku tak mau hidup sebagai pezina!"
Aku tersenyum sinis. Meski tak urung aku pun menikahi Mira hanya di hadapan seorang kiai. Kuikrarkan janji setiaku dan berjanji tak ingin menyakiti hati dan tubuhnya di hadapan kiai. Sejak itu Mira sah menjadi istriku. Entah mengapa semenjak saat itu, aku tak pernah berbuat kasar kepada istriku. Tetapi, aku tak bisa meninggalkan sikap itu kepada korban-korbanku. Alasannya, seperti sudah kukatakan, ini profesiku.
Selain itu, yang sulit kuingkari, setiap menatap Mira seakan aku sedang berhadapan dengan ibuku. Bagaimana mungkin aku menyakiti hati dan tubuh Ibu" Bagaimana berani aku berlaku kasar kepada seorang ibu" Ibu amat kukasihi, sangat kucintai. Itu sebabnya Ibu sangat kubela habis-habisan setiap Ayah menganiayanya. Biarlah aku mati daripada ibu menderita. Demikianlah sikapku kepada Mira.
*** Peristiwa nahas kuterima. Saat aku merampok sebuah bank aku pun melakukan kesalahan fatal sehingga aku tertangkap. Habis tubuhku dihabisi massa. Hampir setiap senti dari tubuhku penuh luka. Bahkan, aku nyaris dibakar jika pihak keamanan tak cepat tiba di tempat kejadian. Aku pun digelandang ke kantor polisi. Seorang intel lalu menyarangkan sebutir timah panas, setelah ia memverbalku. Setelah menembak kakiku, ia keluar ruangan menjumpai para wartawan. Aku tahu dari berita media massa keesokan harinya, polisi itu menyatakan telah menembakku karena aku mau melawan untuk lari.
Benarkah aku melawan" Mungkinkah aku bisa melarikan diri" Sedangkan aku digelandang ke kantor polisi dalam keadaan tak bertenaga dan hampir mampus" Polisi paling pintar membohongi publik, aku bergumam. Kakiku ditembak di ruang pemeriksaan tanpa bisa bergerak, ia katakan aku mau melawan dan melarikan diri. Sungguh, suatu kebohongan yang tak bisa kuterima. Cuma aku tak bisa membantah. Aku dalam keadaan teraniaya dan tak berdaya. Para wartawan itu juga tak berani menanyakan langsung kepadaku tentang kejadiaan sebenarnya. Wartawan acap takut membongkar kebohongan para polisi.
Sebiji melinjo besi yang bersarang di kaki kananku membuatku pincang seumur hidup. Sebiji mata kiriku juga tak bisa berfungsi. Aku keluar setelah tiga tahun dalam penjara. Aku pulang tanpa lagi menjumpai Mira. Menurut tetanggaku, istriku meninggalkan rumah setelah sebulan aku tak pulang. Mereka terheran-heran dengan kelainan di tubuhku. Ketika para tetangga bertanya dari mana saja aku menghilang dan pulang dalam keadaan cacat, kujawab pendek: "Kecelakaan sewaktu bekerja di pelabuhan kapal."
Mereka tak lagi bertanya. Para tetangga itu seperti melupakan. Seperti tiada kejadian apa-apa padaku. Meski kemudian aku hidup menyendiri untuk beberapa hari. Sampai pada suatu malam, kutinggalkan rumahku itu. Aku mencari kontrakan baru. Aku hidup dengan sisa uangku yang masih ada.
Aku kesepian. Aku amat kangen kepada Ibu. "Ibu, kurindu kabarmu..." batinku.
Pada keadaan seperti ini, Ibu seakan menjadi sangat berarti. Mengapa dulu tak kubawa serta saja Ibu" Mungkinkah Ayah masih tetap berlaku kasar kepadanya" Menganiaya Ibu dan adik perempuanku" Apakah Ayah maish hidup, atau jangan-jangan sudah mampus karena keberatan dosa" Seperti diriku yang sekarang sakit-sakitan. Badanku kian kurus, wajahku pucat dan terlihat pipih.
Hanya karena semangat hidupku yang lebih besar, akhirnya bisa menunda maut untuk menghampiriku. Aku selalu berharap, kalau kumati, sebaiknya ambillah nyawaku ketika aku berada di depan Ibu. Aku tak menginginkan mati di perantauan, nisanku jauh dari kampung kelahiranku. Hanya itu harapanku. Aku tak lagi punya harapan atau citacita lain. Juga tak memiliki kekuatan--apalagi keberanian--untuk hidup sebagai perampok, pembunuh, dan pemerkosa!
Entah dari mana Ibu mengetahui nomor telepon selulerku. Mungkin karena hati Ibu yang tulus dan ikhlas, Ibu lebih tahu keadaan anaknya betapa pun tidak dekat dengannya. Itu sebabnya, ia meneleponku--juga dengan pengharapan yang besar--agar aku pulang pada Idul Fitri ini.
"Ibu sudah sangat rindu, Nak. Mungkin kesempatan berkumpul hanya sekali ini, entah Idul Fitri tahun depan apakah Ibu masih ada atau..." katanya di telepon selulerku, tapi suaranya seperti sangat dekat.
Aku seperti melihat dengan jelas maut membayang dari wajah Ibu. Ya kalaupun maut menjemputku, biarlah aku mati di dalam dekapan Ibu. Atau setidaknya, dalam pengawasan mata Ibu. Atau saat tangannya membelai rambutku sembari melafazkan takbir. Ah, aku seperti memimpikan kanak-kanak lagi. Meski saat ini usiaku 37 tahun! Mudik ini layaknya perjalanan tobat seorang hamba...
Lampung, Oktober 2005 Karena Rambut Mira Post : 10/31/2005 Disimak: 284 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Pikiran Rakyat, Edisi 10/29/2005
MUDIK dan Idulfitri seperti dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Sebagaimana penggalan dari sebuah cerita, keduanya saling melengkapi. Karena itulah, setiap Idulfitri selalu diikuti tradisi mudik, seperti kewajiban. Meski dengan mudik ia berarti harus berdesak-desakan, kelelahan, menguras tabungan, dan entah apa lagi.
Cuma untuk silaturahim" Tidak semata. Mudik tidak cuma perjalanan ritual, tetapi juga pengharapan maaf dan mengharap pujian....
Inilah sepenggal dari banyak cerita mengenai mudik di hari lebaran Idulfitri.
/satu/ Mira pulang dengan penampilan yang berbeda. Dino memandang istrinya dengan tatapan aneh. Ia hendak mengajukan pertanyaan, tetapi Mira sudah lebih dulu mengatakan kalau ia dari salon kecantikan.
"Maaf, aku tidak izin dulu. Habis tak tahan, rambutku sudah kelewat panjang," Mira menjelaskan dan meminta pengertian Dino. "Bagaimana Mas, bagus tidak rambutku seperti ini?"
Dino tak menyahut. Ia masih kesal. Tanpa menoleh lagi pada Mira, ia melanjutkan membaca koran yang masih terbuka di tangannya. Meskipun sebenarnya ia tak lagi konsentrasi menyimak berita-berita yang ada di harian itu. Misalnya, soal antre BBM yang setiap harinya semakin memanjang. Berita penyanderaan mobil tangki BBM oleh pendemo di beberapa kota, pun soal penyegelan SPBU. Berita-berita seperti itu rasanya sudah tak menarik lagi bagi Dino, bahkan tentang kenaikan harga BBM hingga lebih 50 persen. Berita-berita seperti itu, ia menggumam, makin menunjukkan pemerintah tak sanggup menyejahterakan rakyat. Hanya omong kosong janji sewaktu kampanye dulu.
"Bagaimana potongan rambutku, Mas?" Mira kembali mengusik begitu keluar dari kamar, lalu duduk di depan suaminya. "Kok diam aja sih, marah, ya?"
Dino bergeming. Ia tenggelamkan wajahnya ke halaman koran di depannya, meski sebenarnya ia tak membacanya serius. Ia kecewa karena sudah sering meminta Mira agar tidak memotong rambutnya, apalagi sependek itu. Bagi Dino, penampilan Mira dengan rambut sebahu sangat dia sukai. Setiap kali membelai rambut istrinya, selalu timbul hasrat mengencaninya. Nah, kalau sekarang sudah pendek seperti itu, adakah hasrat lagi akan muncul"
"Aku lebih menyukai rambutmu sebelum dipotong," kata Dino setelah beberapa lama terdiam. Ternyata ia tak sampai hati juga tak mengacuhkan Mira. "Aku 'kan sudah berkali-kali melarangmu memotong rambutmu, karena aku menyukai istri yang berambut panjang. Setidaknya...."
"Kau bisa membelai rambutku, begitu maksudmu" Egois!" Mira mengentak. Dino terperanjat. "Tetapi, kau tak mau tahu keadaanku. Kau tahu mas, aku sudah gerah dengan rambutku yang panjang. Sudah menggangguku sewaktu di kantor," kata Mira kemudian.
"Mengganggu?" Dino heran. "Memangnya kau bekerja di bagian mesin?" suaranya meninggi dengan tekanan sinis.
"Memangnya hanya pekerja di bagian mesin yang wajib berambut pendek" Memangnya sesekali tak boleh ganti mode rambut?" ujarnya tak mau kalah. "Lagipula musim kemarau dengan rambut pendek kepala tak gerah."
"Ah, alasan yang dicari-cari!" Dino membantah.
"Ya sudah, kalau kau ingin menyalahkan aku saja karena rambutku ini," Mira mulai kesal. "Suka atau tidak suka dengan mode rambutku ini, bagaimana lagi sudah kupotong. Terserah...."
Diam. Memang benar, rambut Mira tak bisa dikembalikan seperti semula. Tak mungkin Dino menyambung kembali rambut yang sudah terpotong. Suka tak suka harus diterimanya mode rambut istrinya yang dilihatnya saat ini. Pendek sekali.
Mengamati rambut Mira, Dino teringat mode rambut Kak Ubiet. Ya. Penyanyi yang beberapa waktu lalu menjadi pengajar di AFI. Tetapi potongan rambut seperti itu bagi Mira tak cocok, malah kelihatan nganeh untuk ukuran wajahnya. Mira sangat pas dengan mode rambut sebahu, atau lebih. Itu ihwalnya mengapa Dino tak menyetujui rambut istrinya dipotong sependek itu....
/dua/ SEJAK istrinya berpenampilan lain, Dino malah makin khawatir. Tak cuma khawatir sebenarnya, diam-diam ia mencurigai keinginan Mira yang tiba-tiba memotong rambut sependek itu. Dengan mode seperti itu, yang tak pernah dilakukan istrinya selama ini. Ya, kalaupun ke salon, paling-paling istrinya hanya memotong rambutnya beberapa sentimeter saja. Atau merapikan ujung rambut yang kelihatan bercabang. Selebihnya, creambath.
Tetapi, kalau kini memotong pendek rambut" Sungguh ada sesuatu yang lain, sesuatu perubahan yang semestinya diwaspadai. Waspada" Dino memang harus meragukan istrinya yang belakangan ini suka berdandan aneh. Mira suka mengecat sekilas rambutnya dengan warna cokelat atau merah-pirang.
Jangan-jangan Mira.... Ah, ia tak mau membayangkan hal-hal yang aneh. Dino tak mau disergap oleh pikiran aneh, apalagi terhadap Mira --istrinya yang dikawininya sudah 10 tahun. Bagaimana pun ia masih merasakan getar cinta yang dialirkan oleh Mira ke hatinya. Lalu, untuk apa Mira mengubah mode rambutnya" Hanya karena gerah dengan rambut panjang" Itu alasan yang dibuat-buat. Bukankah selama ini, bahkan semenjak Mira remaja, ia terbiasa berambut sebahu"
Tetapi, sudahlah, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Begitu pikir Dino. Ia juga tak hendak bertengkar yang membuat perjalanan mudik esok ke kampung istrinya menjadi tak senyaman dan seindah yang dia bayangkan. Lebaran tahun ini memang giliran mudik ke kampung Mira, sebab tahun lalu mereka berlebaran di kampungnya di Sungailimau, Pariaman.
"Apa salahnya aku menyenangkan hatinya?" Dino berpikir. "Toh, tak lama rambut Mira akan panjang lagi, akan sebahu lagi. Dan, ia akan kembali membelainya setiap ingin bercengkerama?"
"Sepertinya kau kecewa dengan rambutku, ya?" Mira kembali membuka percakapan ihwal rambutnya yang sudah dipotong pendek bak Kak Ubiet itu. Ia merasa kalau Dino masih kecewa atas rambutnya.
"Sudahlah, tak perlu dibahas lagi," elak Dino. "Tapi, kau seperti tak menerima sih?" Dino menarik napas sekejap. Ia isap rokok yang tinggal sedikit itu, kemudian asapnya ia muntahkan ke udara.
"Aku sudah menerima kok." "Belum sepenuh hati...."
"Sepenuh hati. Aku ikhlas...," jawab Dino kemudian. Lalu, ia meminta Mira untuk tidak lagi membicarakan soal rambutnya. Ia mengajak Mira untuk memberesi pakaian yang akan dibawanya mudik esok. "Jangan sampai lupa baju baru milik Obi dimasukkan ke dalam tas," imbuh dia. Obi adalah putranya yang kini berusia 8 tahun.
Mira mengangguk. Tersenyum. Tanpa disadari jemari tangan kirinya membelai rambutnya. Kini Dino berganti tertawa.
"Kau kira rambutmu masih panjang?" "Hehehe..."
/tiga/ MIRA tampak tak merasa gerah, tidak sepereti ketika rambutnya masih panjang. Sepanjang perjalanan mudik, meski antre, berdesakan, dan udara yang panas, Mira tak merasa kepanasan. Bahkan, layaknya perempuan tomboy, ia amat sigap.
Dalam hati Dino merasa beruntung. Tahun-tahun lalu, Mira sangat cerewet sepanjang perjalanan. Panaslah. Gerahlah. Terganggu oleh rambutnya yang panjanglah. Kini" Sepertinya Mira enjoy sekali.
"Kau sepertinya happy dengan rambutmu itu, ya?" Mira menatap suaminya. Kemudian tersenyum.
"Jadi, tak salah 'kan aku memotong seperti ini?" Mira balik bertanya. Ia ingin Dino mengakui bahwa apa yang dilakukannya atas rambutnya adalah benar, bukan karena terpaksa.
Dino mengangguk. "Ya, tak salah. Cuma...." "Maksudmu?"
"Kamu tak lagi tampak kewanitaannya...." "Seperti lelaki" Tomboy?"
"Aku tak mengatakan itu," jawab Dino pendek. "Ah, tapi aku suka dengan mode rambutmu itu. Kau kelihatan lincah, dan yang terpenting tak lagi gerah...." "Makanya...."
"Ya." /empat/ Selepas Isya sampai. Mereka disambut kedua orang tua dan keluarga Mira. Rumah panggung di Kampung Tulungbuyut itu penuh, bahkan hingga larut. Dino tak sempat istirahat lagi karena harus melayani. Sudah beberapa kali ayah mertuanya memberi isyarat agar tamu pulang, sehingga Dino bisa masuk ke kamar.
"Tak apa Ayah, saya belum letih benar. Hanya sesekali," bisik Dino sambil menyerahkan uang Rp 200 ribu kepada salah seorang pemuda untuk membeli rokok. "Ya, belikan semua...."
Lalu mengobrol lagi. Dino sudah beberapa kali menguap. Orang tua Mira kembali menyuruhnya ke kamar. "Kau istirahatlah dulu Dino. Kau letih dan sudah mengantuk sekali," kata ayah mertuanya.
Dino mengangguk kecil. Mira sudah masuk ke kamar tidur. Mungkin sudah mendengkur. Ia hendak menyusul, tapi seorang pria seusianya datang. Menyalami Dino, lalu bertanya, "Mana Mira, apa dia ikut?"
Dino mengangguk. Ingin tersenyum menyambut senyuman lelaki itu, namun urung ketika mendengar mertuanya berujar....
"Oh, kau Taufik."
Dino mengenal sekali nama itu. Sebuah nama yang rasanya tak mungkin akan hilang dari benaknya sepanjang hidupnya. Ya, Taufik. Mira pernah bercerita tentang lelaki itu. Sebelas tahun lalu. Tersebab lelaki itu, Mira akhirnya meninggalkan kampung kelahirannya di Tanggamus ini. Lelaki itu menikah diam-diam, meninggalkan Mira yang waktu itu kadung mencintainya. Mira kecewa. Ia pergi dari kampungnya agar melupakan penggalan kisah cintanya.
Di Bandung kami berjumpa. Di kota ini pula aku menikahi Mira, setelah beberapa bulan aku bersabar menanti ia menerima cintaku. Aku paham perempuan yang pernah kecewa pada lelaki, tak semudah pria ketika putus cinta. Dari Mira aku tahu kalau Taufik (lelaki yang kini duduk di depanku) telah mengkhianati cintanya. Mira kemudian frustrasi dan meninggalkan kampung halamannya. Sampai cukup lama aku membujuknya untuk mau menjenguk kedua orang tuanya pada hari lebaran Idulfitri.
"Kita mudik bukan karena Taufik, tapi karena ingin bersilaturahmi pada orang tua," kataku pada suatu kesempatan. Waktu itu, Mira tetap bersikeras tak akan lagi menginjakkan kakinya ke kampungnya. Maka beberapa kali kedua orang tuanya bertandang ke rumah kami waktu lebaran.
Sampailah pada lebaran tahun ini, hati Mira mencair. Ia mau mudik. "Aku ingin tahu, bagaimana kampungku kini" Mungkin sudah berubah?" Ternyata bukan hanya kampung kelahirannya yang kini sudah benar-benar berubah. Tetapi, perubahan juga terjadi pada Taufik. Ia kini menduda. Istrinya meninggal setelah tiga tahun mengidap kanker payudara. Ini kutahu dari ayah mertuaku, setelah kepergian Taufik seraya ia berjanji akan datang lagi besok selepas salat Idulfitri....
"Apakah karena Taufik duda, Mira memotong rambutnya" Biar kelihatan muda dan cantik?" aku membatin.
Cuma segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Aku tak ingin mudik dan lebaran di kampung ini kehilangan makna. Bagaimana pun, kuyakini mudik adalah bagian dari ritual-sakral, perjalanan untuk mendapatkan ampunan-Nya. Bukan dengki, puji, apalagi cemburu....
*** Lampung, 22-25 Oktober 2 Aku Betina Kau Perempuan Post : 10/25/2005 Disimak: 321 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Koran Tempo, Edisi 10/23/2005
di taman ini kau kelihatan makin indah sayapmu cepat sekali tumbuh untuk membawaku terbang& .
KAU memang indah, tubuhmu berwarna-warni. Cantik nian. Manisnya aduhai. Tetapi, pada waktu yang lain kau terlihat anggun dan gagah. Di taman ini kau adalah pusat perhatian itu.
Aku memandangmu sangat lama. Ekor mataku berkeliaran sejak dari ujung sepatu sampai ujung rambutmu yang tumbuh di ubun-ubun. Mataku tak berkedip tapi tubuhku beringsut sedikit ke belakang, ketika kusaksikan kedua tanganmu menjelma sayap. Tumbuh menyerupai sayap.
"Sudah waktunya. Kita harus tinggalkan taman ini." "Terbang?" aku tak mengerti.
Kau mengangguk. Tersenyum. Kedua sayapmu, tapi aku masih ragu menyebutnya sayap sebab aku yakin itu adalah tanganmu, mengembang seakan ingin menarik tubuhku lalu melindungiku di dalam selimut sayapmu. Seperti para burung sewaktu mendekap anaknya dari rasa dingin, lapar, dan kantuk.
"Ke mana kita menuju" Segala tempat yang nyaman sudah tiada. Seluruh gedung sudah penuh karena itu tak ada lagi kamar untuk di isi," aku mengimbuh ketika kau tak berkata.
Sejak kau begitu indah di taman ini, dan kedua tanganmu menjelma jadi sayap sesungguhnya ada pula yang berubah dari kebiasaanmu. Kau amat lain. Kau asing sekali. Hanya beberapa kata yang kaugunakan setiap berucap. Kalau tidak, cuma mengangguk atau tersenyum. Selebihnya adalah gerakan tubuhmu yang penuh rahasia itu.
Maka aku menjadi ragu, ketika kau ingin sekali mengajakku terbang. Untuk menolak ajakanmu-ah tepatnya, rayuanmu-aku ajukan alasan-alasan. Seperti kota ini yang tak lagi punya tempat untuk dua orang yang bercanda, atau setiap gedung yang tak lagi menyediakan ruang pertemuan, dan kamar yang sudah terisi.
"Mau ke mana lagi kita, kalau kamar pun tak menerima kehadiran kita?" "Apakah pertemuan harus memiliki tempat" Kamar atau ruang pertemuan, misalnya?"
"Lantas kalau tidak di sini, di mana kita bisa mengurai percakapan?" "Bumi ini begitu luas. Di mana pun kita singgah, di situ tersedia tempat bagi orang-orang yang ingin bercakap. Mungkin juga bercinta& ."
"Bercinta?" aku terpana.
Bercinta. Ini kata yang sudah sangat lama kulupakan dari kamus di kepalaku sehingga aku tak lagi mengenalnya. Tapi sekarang kata itu menggodaku. Ya. Sejak orang yang kucintai habis-habisan, telah pergi entah ke mana dan tanpa tanda pula. Aku juga pernah kecewa lantaran kata itu yang sering dimaknai secara tak beradab. Aku ditinggalkan lalu aku kembali sendiri mengembara di bumi ini. Bertahun-tahun aku tak bersentuhan dengan perempuan dan lelaki.
"Kau sediakan cintamu untukku, walau hanya sekejap" Hanya semalam, meski harus berkurang beberapa jam oleh perjalanan?"
"Akan kusediakan," jawabmu lirih. "Kemarilah, aku memang sudah amat kesepian."
"Benarkah begitu, Sunyi?" "Ya, aku sangat sunyi."
Sekali lagi kaukembangkan sayapmu, menyilakan aku masuk ke dalam dekapan sayapmu yang kuangankan sebagai selimut itu. Ah tidak. Aku seperti kanak-kanak yang membayangkan sebuah kain ayunan jika matanya terasa berat mengantuk. Sang ibu kemudian akan menyanyikan nina bobo hingga ia terlelap.
Aku ingin sekali seperti itu. Di dalam dekapan sayapmu.
di taman ini kau terasa amat lain dari kedua tanganmu tumbuh sayap amat luas
hingga dapat menenggelamkan tubuhku dan membawaku terbang& .
MALAM mulai berembun. Di taman ini, kau rasakankah, ada kabut luruh. Tubuhmu memutih di bawah cahaya lampu yang tampak meredup. Tetapi, aku masih dapat melihat senyummu. Anggukanmu. Dan, aku juga masih mampu menciumi aroma tubuhmu.
"Aku hanya singgah sebentar. Kalau engkau mau, pergilah bersamaku. Sekarang
juga!" "Tapi, aku masih ingin menatapmu lama, Sunyi," erangku. "Berilah aku waktu sedikit lagi untuk menikmati indahnya pertemuan ini."
Ingin tanganku memegang kedua sayapmu. Aku mau kau tetap di sini, di taman ini. Jangan cepat berlalu atau pun pergi. Seperti para peri yang melangkah dengan kakinya yang ringan. Datang dan pergi. Seperti para kekasih dan pecinta yang menggandeng sekarung cinta. Menonton film di gedung itu. Memainkan satu reportoar di panggung pertunjukan itu. Seperti para seniman yang menghujankan karya adiluhungnya. Seperti Adam yang setia mengembara mencari Hawa. Seperti Hawa yang harus kehilangan buah cintanya lalu ikut pula melata di padang-padang. Seperti Zulaikha yang membiarkan jarinya terluka di hadapan Yusuf.
KALAU kini aku betina maka kau si perempuan.
"Sunyi, bawakan aku sepi paling sunyi dari hari-harimu. Akan kukecap seluruh aromanya," bisikku merapat di telingamu. Tersenyum. Kedip matamu menggoda. "Aku akan mencintainya setuntas malam dan siang."
"Baik, Riuh. Sedari tadi aku sudah siapkan tubuhku untukmu," jawabmu dengan pelan pula. "Ke mana kita cari persinggahan?"
"Kota ini tak lagi menyediakan tempat. Sudah kukatakan sejak tadi, gedunggedung tak lagi memberi ruang pertemuan, kamar-kamarnya sudah tak ada lagi yang kosong."
"Lalu apakah kita di sini saja" Sayapku sudah ngaceng untuk terbang!" sontakmu. Suaramu mengguntur. Aku merapat di sebatang pohon. Kepalaku terbentur. Tangan kananku mencecap cairan merah yang keluar dari belakang kepalaku.
Aku haus. Maka kuminum cairan darah segar di tanganku ini. Warnanya merah, Sunyi. Dan kautahu, tiada darah berwarna biru di bumi ini" Selumur darah telah mengusir hausku. Aku menjadi segar kembali. Bisakah kau bayangkan, sesungguhnya orang-orang akan merasa segar dan kembali menjadi segar setelah mengeluarkan darah dari dalam tubuh orang lain" Itukah sebabnya, orang menjadi menjadi pembunuh".
"Jangan kau ucapkan itu di depanku, Riuh. Perutku mual setiap kali mendengarnya. Jangan sampai ceritamu menghilangkan seleraku untuk bercengkerama," pesanmu.
"Tapi Sunyi, tidakkah kau mengubah dulu dirimu menjadi jantan" Biar pertemuan kita makin indah."
"Kenapa tidak kau saja melepas kebetinaanmu?"
Tiada jawaban. Isa, si lelaki yang pandai membuat burung dari tanah, sudah lama sekali menghilang dari taman ini. Padahal orang-orang amat membutuhkan keahliannya: membuat patung-patung burung, burung-burung yang bisa terbang, taman yang dipenuhi burung-burungan.
"Tak mungkin aku berganti kelamin!"
"Aku pun sudah ditakdirkan bukan jantan," sungutku.
Lalu, apakah mungkin betina bertemu betina dalam sebuah pertemuan amat indah" Atau jantan mencari cinta dalam tubuh si jantan" Percakapan purba ketika Adam pertama kali bertatapan dengan Hawa selepas Tuhan meniupkan napas ke dalam tubuh manusia itu, ialah "apakah kau perempuan?" Lalu Hawa berujar, "Tuhan berjanji akan menghadiahiku seorang lelaki."
Sebagaimana kutahu pula dari kitab lama bahwa sejak pertemuan yang pertama dan purba itu, keduanya memilih tempat lain di luar taman penuh pesona itu. Alasannya saru apabila diintip penghuni taman, juga Tuhan yang sangat suci hanya untuk menyaksikan sebuah percintaan. Kalau kini kau menginginkan aku menjadi jantan, adakah aku menyalahi keputusan" Ihwal, bagaimana juga tak berani kutentang dan kutantang.
"Kecuali kau yang berkenan, Sunyi?" Kau menggeleng.
"Aku tak pernah bayangkan sebagai jantan. Jadi, bagaimana mungkin aku meminta ganti kelamin" Aku paling membenci jantan dan kejantanan. Mereka yang berjenis itu seolah segala-galanya dan selalu ingin berkuasa. Tengoklah alam ini rusak oleh tangan-tangan mereka& "
"Betina juga bisa melakukan yang sama, Sunyi. Para perempuan melahirkan bayi-bayi yang hanya akan merusak semesta ini. Memanipulasi, menumpahkan darah, meracik peradaban. Menanam penjahat di mana-mana. Membuka ladang ganja dan membangun pabrik minuman dan obat," aku membantah. "Lalu anak-anak yang dilahirkan dari rahim betina itu, menyebarkan racun ke sembarang makhluk."
"Cuma tak separah apa yang dilakukan jantan, Riuh. Para jantan hanya menabung spermanya ke betina, kemudian mereka pergi. Meranalah betina. Melatalah para betina& ."
Melankolis. "Kau terlalu romantis." "Tidak juga, Riuh. Aku hanya bicara fakta."
Hening. Taman ini mulai ditinggalkan cahaya. Satu persatu lampu dimatikan. Hanya lampu yang dianggap vital tetap dihidupkan. Tubuh kita mulai mengelam. Aku mencuri pandang ke wajahmu. Kau juga mencari-cari cahaya di dalam wajahku. Lalu saling meraba. Tanganmu lekat di dadaku. Jariku meremas dadamu.
Sebentar lagi sayapmu terbentang. Kau akan ajakku terbang. Kita akan meninggalkan landasan.
"Ke mana?" tanyamu mengingatkan, ketika kita mulai meninggalkan pucuk pohon di taman ini.
"Entahlah. Kota sudah kehilangan tempat singgah. Gedung-gedung tak lagi menyediakan ruang bagi pertemuan. Dan kamar akan terisi hingga beberapa hari lagi. Apakah kau mempunyai usul?"
Kau kembali menggeleng. "Kita bisa cari benua lain," tiba-tiba kau bersuara, selepas hening beberapa lama. "Setahuku sudah tak ada lagi benua di semesta ini. Semuanya telah terhapus oleh beberapa kali bah sejak Nuh dulu& "
"Jangan meracau!" kau mengancam. Tanganmu mencengkeram leherku. Gigimu sudah dekat mendarat di leherku. Bertaring dan laksana ulu pisau.
"Gigimu bisa birahi?"
"Bahkan mampu melumatmu," katamu ringkas. "Kau tahu aku sudah bernafsu." "Aku juga."
"Di mana kita singgah?" "Maumu?"
"Kau ganti kelamin dulu," kau kembali tersadar kalau kita sama-sama betina. "Tak mungkin," sergahku. "Tapi biarlah, betina bercinta dnegan betina." "Asyikah itu?"
Malam yang semakin larut membuat kita malas bercakap. Kau terus membawaku terbang kian meninggi. Entah sudah berapa kota kita lalui. Sungai-sungai memanjang. Waktu yang tak lagi berbilang.
Kau makin rapatkan pelukanmu. Aku semakin masuk ke dalam sayapmu.*
Lampung, 20 September 2005
Parang Pos : 09/05/2005 Disimak: 226 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Sinar Harapan, Edisi 09/03/2005
SUNGGUH! Jangankan melihat parang (tajam dan mengkilat lagi), melihat pisau silet saja aku amat takut. Pernah aku menyaksikan ayahku terluka oleh silet saat mencukur kumis dan jambangnya. Mungkin karena abai atau melamun, pipi ayah terkelupas oleh silet itu. Darah pun mengaliri pipi ayah. Aku segera menutup mata, tak berani melihat warna darah.
Tetapi, justru ayah cuma tersenyum. Ia mengambil kapas kemudian mengelap darah yang ada di pipinya. Ayah berkata, Luka adalah hal biasa. Setiap orang pasti akan mengalami, lalu mengapa kau takut"
Bagi ayah memang hal biasa. Aku membatin. Tetapi, tidak bagiku. Luka dan darah sangat menakutkan. Kekerasan amat kuhindari. Itu sebabnya, aku bersyukur bahwa aku hidup dalam lindungan keluarga yang selalu damai. Ayah selalu bertutur lembut, dan ibu tak pernah lepas dari senyum.
Tetapi, nasihat ayah tidak mengubah ketakutan pada benda yang dapat melukai. Sampai kini aku masih trauma. Kalau tidak karena terpaksa, aku tak ingin mengiris bawang atau sayuran dengan pisau. Lebih fatal lagi, setiap kali melihat darah tubuhku segera gemetar. Lemas. Bahkan aku pernah pingsan manakala anak lelakiku satusatunya bocor di kepalanya karena jatuh. Untunglah, tetangga sebelah membawa Rio ke puskemas terdekat. Aku siuman setelah Rio pulang dengan perban menempel di kepalanya.
Traumatikku yang akut itu, membuatku tak berani menonton film-film keras: perkelahian atau pertikaian yang menggunakan senjata tajam juga pistol. Aku juga akan menghindar jika di jalan kusaksikan terjadi kecelakaan.
Itu sebabnya, semasa remaja dulu aku pernah membayangkan ingin mendapatkan suami seperti ayah. Selalu kutepis khayalku pada lelaki yang kejam pada perempuan, kubuang jauh-jauh begitu anganku tertuju pada suami yang selalu menganiaya istrinya. Seperti tetanggaku sebelah dulu, yang setiap hari menindas dan menindak istrinya.
Pernah kukatakan pada ibu, kalau aku berada pada posisi seperti perempuan tetangga sebelah tentu secepatnya aku angkat kaki dari rumah. Apakah cuma lelaki itu seorang di dunia dapat dijadikan suami" Memangnya perempuan tak boleh melawan" Lebih baik aku hidup menjanda, daripada dianiaya terus! aku menggerutu.
Setiap orang tak sama nasibnya. Mungkin perempuan itu bernasib seperti itu, punya suami yang suka menindas& ujar ibu lembut. Membelai rambutku. Nasihat ibu merasuki batinku.
Hanya saja aku tetap tak sepakat dengan pendapat ibu. Nasib dapat kita ubah, kalau kita mau keluar dari sana. Cuma hal itu tak sanggup kuucapkan. Aku bahagia melihat rumah tangga ibu. Aku ingin suamiku seperti ayah. Aku ingin punya suami, selembut ayah, ujarku pelan. Ibu tersenyum. Katanya kemudian, Amin.
Pada kesempatan lain kukatakan pada ayah, mengapa lelaki sering menindas istri" Ayah tertawa, setelah itu membantah. Ia tak sependapat pada anggapan bahwa lelaki identik superior dan suka menindas perempuan. Kamu hanya melihat satu kasus. Padahal banyak lelaki atau suami yang sangat menyayangi perempuan& Maksudnya, seperti ayah"
Ayah mengangguk. Tersenyum.
Ayah pengecualian. Jangankan menganiaya ibu, berkata kasar pun tidak pernah. Ayah malah selalu mengalah&
Tapi, bukan berarti ayah kalah kan"
Kini aku yang tersenyum. Aku mengangguk. Tentu ayah, tentu. Ayah tidak akan pernah kalah di hadapan ibu. Ayah hanya menempatkan diri sebagai suami yang menyayangi dan menjaga cinta. Aku menggumam. Ayah memang lelaki idolaku. Membuatku selalu ingin dekat dan rindu pelukannya.
Suamiku kelak, kuharap seperti ayah& desisku. Kau sudah berpikir rumah tangga" ayah mendelik. Wajahku menunduk. Aku enggan menatap mata ayah. Maafkan Niken, ayah&
Tiba-tiba ayah terbahak. Ooo tak apa-apa, ayah tidak marah, ujar ayah kemudian. Itu artinya, kau sudah besar. Jika seseorang sudah berbicara soal rumah tangga, pertanda ia sudah layak dikatakan dewasa&
Kembaran Ketiga 7 Mustika Lidah Naga 3 Hantu Pegunungan Batu 1

Cari Blog Ini