Ceritasilat Novel Online

1000 Kutu Di Kepala 5

1000 Kutu Di Kepala Anakku Karya Isbedy Istiawan Bagian 5


"Aku memang tak tahu, tapi kulihat penampilan abangmu memang kaya. Mobilnya pun bermerek mahal," kata Nur berkomentar lagi.
"Syukurlah kalau itu benar& "
"Sepertinya, kau tak bangga melihat abangmu sukses, kaya" Ada apa dengan kau, Mar?" sela Nur.
"Siapa yang tak senang. Aku bangga sekali," jawabku malas. Kutinggalkan Nurhajijah yang hendak berucap. Aku ke belakang, merapikan meja makan sehabis ditinggal Abang Yun dan tamu.
Aku kembali ke ruang tengah dengan membawa teko berisi kopi dan puluhan gelas kosong. Kemudian kukeluarkan beberapa toples kue dan sepiring bolu. Kuletakkan di atas meja. "Silakan yang mau ngopi. Kuenya juga dimakan," ujarku menawarkan.
Abang Yun memanggilku dan menyerahkan uang Rp 100.000 untuk membeli beberapa bungkus rokok. Aku segera ke warung sebelah. Kubelikan 10 bungkus rokok filter, 7 bungkus kretek 234, dan sepuluh rokok Jamboe Bol. "Sisanya kau simpan," kata Abang Yun begitu kembalian akan kuserahkan. Wak Herman tertawa dan mengedipkan mata padaku seperti berkata: "Asyik, dapat untung& ."
ABANG Yun harus kembali ke kota, tiga hari setelah Idul Fitri. Ia tak mengajak serta anak Wak Herman, alasannya ke Medan dulu mau ke rumah orangtua Mbak Mita. Pesan Abang Yun kepada Wak Herman, nanti orang suruhannya akan menjemput Iful begitu ia sampai di kota. Wak Herman manggut-manggut, tampak sangat berharap janji Abang Yun jadi kenyataan. Uang bantuan sebesar Rp 2 juta untuk pembangunan masjid diserahkan kepada Wak Herman, sementara Rp 2 juta lagi untuk ibu, ia titipkan kepadaku.
"Saya berharap uang Rp 2 juta itu bisa menambah penyelesaian pembangunan masjid kita, Wak. Doain saya dapat rezeki banyak, biar bisa membantu lagi," kata Abang Yun sebelum menghidupkan mesin mobil subuh tadi.
"Tentu& tentu. Kami selalu mendoakan kau sukses. Selama ini juga kami berdoa agar kau selamat. Betul Yun, padahal kepada warga yang lain kami tak lakukan& " jelas Wak Herman. Dalam hati, aku berkata, "Pasti itu basa-basi, cuma untuk menyenangkan hati Abang Yun."
Sepergi Abang Yun, Wak Herman meminta restu dariku sebagai adik Abang Yun, jika uang bantuan masjid itu berlebih, maka kelebihannya untuk kantong Wak Herman. Ia juga berpesan jangan diberi tahu orang lain kalau Abang Yun memberi bantuan Rp 2 juta untuk pembangunan masjid.
"Biar Wak saja yang menjelaskan pada mereka," kata Wak meminta pengertianku.
Mendengar itu, hatiku bergolak. "Tidak bisa Wak. Besar bantuan Abang Yun harus dijelaskan kepada jemaah masjid lainnya. Bukan kami mau dibesar-besarkan dari corong masjid, tapi supaya diketahui yang lain. Biar Wak juga tidak disangka mencari untung," kataku kemudian.
Wak Herman merasa tersindir dengan ucapanku. "Kalau bukan Wak yang meminta langsung padanya, mana mungkin abangmu mau membantu masjid!"
"Betul, Wak, tapi uang itu untuk pembangunan masjid. Wak kan sendiri dengar tadi," jawabku tak mau kalah.
Wak Herman bersungut-sungut meninggalkan pekarangan rumahku. Kepada ibuku juga tidak pamit. Sambil berjalan ia meracau, "Wak seperti tidak tahu saja pekerjaan abangmu. Ini uang panas." Meski pelan, aku masih bisa mendengar.
Karena aku tak ingin bertengkar, tak kutanggapi meracaunya. Aku naiki tangga rumah, menemui ibu dan menjelaskan kalau uang ibu dari Abang Yun biar aku yang menyimpan. Ibu mengangguk. Kutuntun ibu kemudian masuk. Kami seperti sedang bermimpi, 15 tahun lebih merasa Abang Yun sudah tiada lagi di dunia karena tak ada sesobek kabar pun, kini pulang dalam keadaan sehat. Tuhan juga masih melindungi Abang Yun, kepulangannya tidak untuk menyerahkan jasad di depan warga kampung seperti yang dialami warga lain senasib Abang Yun.
"Tuhan mengabulkan doa ibu, yang ibu minta setiap malam," bisik ibu. Aku mengangguk. Kupeluk erat tubuh ibu. Aku menangis dan juga tersenyum. Tak lama kami berpelukan, tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Segera aku membukakan pintu.
"Maaf, Bu, ini rumah orangtua Yun Kampak?" tanya salah seorang dari dua tamu yang berdiri di ambang.
"Bukan. Ini rumah orangtua Yunizar Salim," kataku meralat. Kupikir tamu itu pasti salah alamat.
"Ya& ya, itu. Benar. Yunizar Salim nama aslinya," jelas yang satu lagi. "Apa benar, dia bersembunyi di rumah ini?"
"Abang saya mudik. Memangnya, kalau boleh saya tahu kenapa dengan abang saya, Pak. Dan, bapak-bapak ini dari mana dan mau apa?" tanyaku ingin secepatnya tahu.
"Kami dari kepolisian."
Detak jantungku seperti hendak berhenti.
"Yunizar orang yang kami cari selama ini. Dia pen& " "Ah, sudahlah kami permisi. Ke mana dia pergi?" kata temannya. Aku tak menjawab. Tubuhku lemas seketika, sekejap kemudian melorot di lantai. Dalam benakku, aku menerjemahkan sendiri ucapan petugas kepolisian yang terpotong itu: "Dia pen& "
Mungkinkah Abang Yun penjahat" Benarkah Wak Herman tahu banyak soal abangku di perantauan" Mungkin Wak Herman tidak memfitnah, kalau subuh tadi ia mengingatkan, "Ini uang panas." Entahlah. Kuharap ibu tak bertanya tentang kedatangan tamu itu. (*)
Lampung, 2 Syawal 1424 H/26-11-2003
Aku Mamamu, Lara... Post : 11/19/2003 Disimak: 220 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Padang Ekspres, Edisi 11/16/2003
Balam, PostHH, anggota Dewan dari Fraksi ACDB tertangkap basah mengonsumsi ineks di ruang karaoke YY, kemarin malam. Polisi menyita 20 butir pil jenis pink lady dari saku celana. HH digerebek saat berkaraoke di tempat hiburanitu bersama dua rekannya dan teman kencannya.
BERITA di sebuah koran harian lokal itu benar-benar mengejutkan. Ica, perempuan bersuai 27 tahun, hampir saja pingsan kalau tak cepat menyadari ia sedang berada di pasar. Ia lipat koran itu sampai empat bagian, kemudian ia masukkan ke dalam tas. Segera ia menuju taksi yang telah menunggu di bawah tangga swalayan. "Ke Ratulangi& "
"Enggak pakek argo ya Nyonya& 20 puluh ribu& " kata supir taksi. "Ya sudah, cepat. Antarkan saya ke Ratulangi& " jawab Ica. Ia tak ingin lamalama berdebat dengan supir taksi itu. Sudah lama taksi di sini mematikan mesin penghitung jarak. Main tembak: 20 ribu rupiah. Masyarakat sempat protes, bikin surat pembaca di koran, tapi para supir taksi tetap tak menghidupkan argonya.
Ica yakin inisial HH itu adalah nama anggota Dewan yang amat akrab dalam hidupnya. Seorang pria yang dikenalnya di sebuah ruangan karaoke lalu menjalin kasih hingga membuahkan anak perempuan yang diberi nama Larasati Hikmat Hadi. Kini berusia tiga tahun.
Pria itu seorang politisi dari partai ABC, seorang ayah dari tiga anak dari perkawinan dengan istri pertama. Sejak menjadi anggota Dewan kerap berkunjung ke tempat-tempat hiburan malam. Suatu malam yang menawan, Ica berkenalan dengan lelaki itu. Sejak itu ia sering menjemput Ica untuk berkaraoke.
"Entah kenapa akhirnya saya jatuh cinta dengannya," kata Ica suatu hari. "Padahal ia tidak tampan& Saya juga tahu kalau Hikmat sering gonta-ganti perempuan untuk menemaninya ke tempat hiburan. Bahkan saya tak bisa mengelak ketika ia mengharapkan anak dari rahim saya& "
Pengakuan itu meluncur deras dari mulut Ica saat Hikmat tertangkap karena kedapatan menyimpan ineks di bawah jok mobilnya. Ia katakan itu karena kesal. Hikmat ingkar janji padanya. Suaminya, ah tepatnya suami selingkuhnya, pernah berjanji setelah mendapatkan anak darinya tak akan bersenang-senang lagi di tempat hiburan dan mengonsumsi narkoba.
Kenyataannya, ia berbohong. Desis Ica. Baru dua bulan usia Larasati, Hikmat terkena razia aparat keamanan di kamar hotel bersama wanita. Sialnya, petugas menemukan barang bukti dua butir ekstasi di bawah bantal tidurnya. Ia pun digiring ke Kantor Polisi, tapi kemudian dilepas malam itu juga setelah menyerahkan jaminan uang Rp 2 juta.
Enam bulan kemudian, lagi-lagi Hikmat tertangkap. Inilah saat kekesalannya memuncak. Saat itu ia meminta cerai tepatnya berpisah karena ia dinikahi di bawah tangan setelah kehamilannya berumur tiga bulan dengan catatan Hikmat tetap memberikan uang untuk Larasati.
"Banyak ketidakcocokan di antara kita. Ternyata kau tetap bergelantung dengan perempuan-perempuan lain. Sekarang saya minta kau jangan menggangu saya, biarkan saya hidup sendiri. Tapi, kau harus tetap membantu uang untuk Larasati& " kata Ica mantap. Lalu meninggalkan ruang pemeriksaan.
Hikmat mengangguk. Kemudian menunduk. Sebatang rokok yang masih panjang di tangannya ia lepaskan di lantai. Setelah itu sepatu kanannya menginjak rokok itu sampai lumat.
Penangkapan yang baru dia baca dari koran, adalah yang kelima kali. Benarbenar bakat. Ica bergumam. Hampir menyamai prestasi Jidan, anggota DPRD Kota yang telah enam kali terkena razia saat mengonsumsi ineks.
*** KINI koran Bandar Post tergeletak di tempat tidurnya. Wajah HH, suaminya (ah, lagi-lagi tak pantas ia klaim lelaki itu sebagai suaminya, sebab laki-laki itu sudah mempunyai istri sah!), jelas dalam koran itu. Digelandang petugas keluar dari ruang karaoke. Tiba-tiba dua tetes air jatuh dari bola mata Ica.
Kenapa aku menangis" Ragu pertanyaan itu meluncur. Segera ia menghapus airmatanya. Tak urung tetes air berikutnya jatuh lagi. "Bajingan tak boleh ditangisi!" ia mengutuk dalam hati.
Larasati masuk. Segera ia melap air mata. Koran yang masih di atas ranjang, cepat-cepat ia lipat dan masukkan ke balik bantal.
"Ada apa Lara" Kalau masuk ketuk pintu dulu dong& " "Kakak dipanggil Ibu. Maafin Lala ya& ?"
Ah. Setiap kali bocah itu menyapanya dengan sebutan kakak, rasanya hatinya teriris-iris. Perasaan sebagai ibu terusik. Seperti dicampakkan. Ingin ia pegang pipi anaknya lalu mengguncang-guncangkan tubuhnya sambil mengingatkan, "Ini ibumu. Aku ibumu, Lara& "
Tapi, apakah bocah itu akan percaya" Apa lantas akan berubah secepat itu" Ica tak yakin itu. Peranan ibunya amat kuat dalam diri Lara. Menancapkan ajaran dan ujaran tentang hidup ini. Ibunya pula yang tahu segala rahasia ihwal Lara, bahkan sampai kini ayahnya tak tahu kalau Lara sesungguhnya anak Ica. Keluarganya hanya tahu: Lara adopsi dari anak teman Ica.
"Kasihan, ayah, orang tuanya tak mampu. Lagian ibu ingin menggendong anak& " kata ibu. Ayah yang pensiunan pegawai pemerintah itu memaklumi Larasati adalah bagian dari keluarganya.
Sejak itu ibu merekayasa Larasati sebagai anaknya. Adik Ica. Karena itu, Larasati harus memanggilnya dengan sapaan kakak dan Ica selalu menganggap Lara sebagai adik. Oh, betapa pedihnya. Ia membatin. Padahal kerinduan seorang perempuan yang telah melahirkan, ketika anaknya memanggilnya, "Mama& mama& "
Sandiwara itu berjalan baik. Ayahnya sampai kini tak pernah tahu kalau Lara adalah cucunya. Ibu memang piawai sekali menyembunyikannya. Karena memang, di rumah ini, ibu justru yang menjadi motor. Ayah tak bisa berbuat apa-apa, jika ibu sudah menginginkan A, B, atau C. Anak-anak jadi dekat sekaligus takut pada ibu, ketimbang ayah.
Ibu pula yang menyewakan rumah bagi Ica tatkala ia tengah hamil. Ketika ayah bertanya, ibu cuma menjawab: "Sengaja ibu sewakan rumah di sana biar dekat dengan tempat kerjanya." Sampai beberapa bulan setelah melahirkan, barulah Ica kembali ke rumah. Menggendong si bayi Lara sebagai adik angkatnya.
"Kakak, ibu panggil& "
Ica terkaget. Ia menatap Lara yang masih berdiri dekat pintu. Memainkan kunci hingga menimbulkan suara.
"Kakak nangis" Kenapa" Ibu yang malah ya?" tanya Lara lagi. Ica segera memegang matanya, menghapus air mata yang tengah mengalir. "Enggak. Mata kakak masuk kotoran."
Ica bangkit dari tempat tidurnya. Menuntut Lara menemui ibunya. Pasti ibu juga sudah membaca koran hari ini. Tenryata itulah yang ditanyakan ibu padanya. Ibu juga mengkhawatirkan dengan kejadian itu, Lara tak lagi mendapat bantuan. Itu berarti, Ica harus bekerja keras mencari uang untuk membeli susu dan keperluan Lara.
Terkadang Ica merasa ibu tak adil. Lara tak pernah disuruh memanggilnya mama. Namun untuk seluruh keperluan Lara, dibebankan padanya. Jangankan untuk membelikan susu, membelikan permen saja ibu tak pernah. Ibu juga tak pernah memperhatikan apakah Lara sudah mandi. Semua diserahkan pada Ica, atau kepada adiknya. Kecuali malam, Lara harus tidur bersama ibu. Ica juga kerap merindukan tidur bersama Lara. Memeluknya jika dingin, merapikan selimut agar tetap hangat. Ia juga ingin diam-diam menciumi Lara dengan kasih sayang seorang ibu. Atau membawa Lara ke laut atau ke tempat bermain anak-anak di hari Minggu. Hanya sampai kini tak pernah. Ibu selalu melarang. Ibu menginginkan Lara tetap tak boleh tahu kalau Ica adalah mamanya. Para tetangga pun tak boleh tahu. Permainan ini tak boleh berakhir dibaca orang. Demikian sautu hari ibu berujar. Rekayasa ini terus berjalan. "Toh kau tetap bisa menyayangi Lara?"
*** ICA tak bergairah ketika seorang lelaki separuh baya mengajaknya masuk ke bilik karaoke. Malam ini ia malas bekerja. Tak ada gairah untuk menembangkan sebuah lagu pun. Boleh jadi, inilah malam terakhir Ica berada di tempat hiburan karaoke itu sebagai teman menyanyi para tamu.
Esok malam dan esok malam hingga malam-malam seterusnya, Ica berpindahpindah tempat hiburan. Ibu selalu menyindir, "Kalau tak menghasilkan, buat apa setiap malam keluar rumah. Lihat tuh Yuni, penghasilannya gede meskipun jarang pulang." Ica paham apa yang ada dalam benak ibu. Yuni yang dijadikan contoh itu memang mampu menghidupi dua anaknya dengan berkecukupan. Ica juga tahu siapa Yuni. Ia sering melihatnya keluar dari kamar hotel&
Lampung, 2003-09-24 Orang Kaya yang Selalu Berderma
Post : 10/27/2003 Disimak: 254 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Riau Pos, Edisi 10/26/2003
SEJAK seorang kaya itu menempati rumah mewah bertingkat dua dan satusatunya termewah di jalan ini, kami seperti kedatangan seorang penyelamat. Belum lagi genap sepekan menjadi warga baru di kompleks perumahan Type 21 ini, ia sudah menyumbang tian lampu penerang jalan. Kalau seragam, kan enak dipandang, katanya. Ia juga menyumbang 30 tong sampah di depan rumah masing-masing warga.
Sejak itu orang kaya itu seperti menjadi wara nomor satu di RT Kami. Setiap pulang atau hendak keluar rumah, warga selalu menyambut setidaknya dengan senyuman atau anggukan kepala. Tetapi ia tetap seperti pertama kali kami kenal, tidak sombong. Selain itu ia akan menjalani mobil blazer-nya amat pelan, sebagai ujud menghormati kami yang rata-rata hanya mempunyai kendaraan roda dua.
Sudah tujuh bulan orang kaya itu tinggal bersama kami, tapi satu pun warga tahu dengan tepat siapa namanya. Pak RT sendiri hanya tahu; Zon. Cuma itu, ia memperkenalkan diri saat melapor sebagai warga baru. Ya, saya juga enggak tanya banyak. Habis beliau sendiri hanya menyebutkan namanya segitu... kata Pak RT.
Terkesan kalau warga baru yang kaya itu dihormati, pak RT selalu menyebutnya dengan beliau. Misalnya, kalau ada perayaan Agustusan, pak RT menyuruh para pemuda untuk meminta bantuan kepadanya. Jangan lupa ke rumahnya, beliau pasti membantu dan tak kecil, begitu pak RT selalu mengingatkan.
Anehnya dia tak keberatan, bahkan mengaku senang. Alasannya apa yang bisa dia bantu sesuai kemampuan akan dibantu. Tolong menolong adalah kewajiban kita bermasyarakat, kata pak Zon, suatu kesempatan mengobrol malam hari ketika bulan berparasa penuh di langit.
Pak Zon, orang kaya yang selalu sederhana, tak cuma dikenal di jalan Eks ini saja, melainkan sudah ke jalan sebelah dan dibawah. Itu sebabnya, kadang mereka kerap mengedarkan list untuk meminta bantuan kepadanya setiap Agustusan atau acara lainnya. Pengurus Risma dari beberapa masjid di kompleks perumahan ini, juga mengharap bantuan pak Zon. Singkatnya, pak Zon benar-benar sebagai penyelamat dan penderma di kompleks perumahan ini.
tahu pasti. Hanya kami menduga, ini dari suaranya, kalau Pak Zon adalah suku Minang. Benar atau tidak dugaan kami ini, tak bisa dibuktikan. Soalnya yang bersangkutan tak pernah memberi keterangan. Kami juga tak pernah bertanya sampai sejauh itu, apalagi sampai ingin melihat KTP-nya. Memangnya kami intel, informan, detektif"
Kadang aku memperhatikan rumah Pak Zon dengan perasaan kagum. Rumahnya bertingkat dua, megah, dan meski halaman depannya kecil namun ada kolam ikan dan taman yang menurutku asri. Istri pak Zon yang selalu memandangi taman itu, setiap pagi dan menjelang senja. Istri pak Zon yang usianya 24 tahun dibawah usia suaminya, seperti bahagia. Aku rasakan itu dari senyumnya. Ya, perempuan mana yang tidak senang menjadi isteri orang kaya" Pikirku.
Istri pak Zon memang cantik. Penilaian seperti itu hampir diakui semua warga di sini. Ia juga masih muda, paling-paling baru berusia 12 tahun. Itu sebabnya, terkadang perempuan itu lebih terkesan masih remaja ketimbang sebagai istri. Kalau saja ia jalan sendiri, tentu anak muda iseng banyak yang menggodanya
Tetapi, kami menghormatinya, terutama karena ia adalah istri Pak Zon. Seperti juga suaminya, perempuan itu kerap menolong ibu-ibu. Ia juga murah tangan, suka membagi-bagi uang seribuan kepada anak-anak seperti juga dilakukan Pak Zon.
Sejak kehadiran keluarga Pak Zon, tentu saja yang paling diuntungkan keluargaku. Sebagai tetangga di sebelah kiri dari rumahnya, Pak Zon suka berkunjung ke rumahku. Istrinya juga suka memberi sepotong atau dua potong ikan, katanya kepada istriku. Saya beli ikan kebanyakan, di rumah cuma yang makan dua orang. Lalu, istri ku mengambil dan mengucapkan terimakasih.
Ibu Zon, demikian kami memanggil istri pak Zon, memang jarang mengobrol dengan ibu-ibu. Maklum ia selalu perg, setelah beberapa menit Pak Zon meninggalkan rumah. Kepergian istri Zon kadang diantar oleh supir pribadi, namun lebih banyak dijemput taksi. Kami tak tahu pekerjaan ibu Zon sehingga sering meninggalkan rumah. Istriku yang sering mengobrol dengannya tak tahu, kecuali hanya sedikit. Kayaknya dia bisnis perhiasan dan pakaian mahal, kata istriku suatu malam.
Meski aku penasaran dengan keluarga Pak Zon, tapi aku beruntung tidak menjadikan misteri keluarga ini sedap untuk digosip. Persetan dengan pekerjaan orang lain, selagi tak mengganggu ketentraman kita. Itulah yang selalu ditekankan istriku. Tetapi, berbeda dengan tetanggaku di depan. Ibu Tutik itu memang penggosip ulung, suka ngerumpi dan nomor wahid berkelahi dengan tetangga.
Dengarlah apa yang digosipkan Ibu Tutik kepada istriku. Ibu Zon itu madu, istri simpanan. Perempuan enggak beres, katanya sih Pak Zon temu istrinya itu di tempat hiburan. Ini kata seseorang kepadaku, bukan kataku. Jangan sebarkan kepada ibu-ibu lain ya" Nanti saya dikira penyebar gosip, kalau tidak benar... kata Ibu Tutik, selain kepada istriku juga kepada Ibu Desi, ibu Rinas dan ibu Seta.
Ibu Tutik itu aneh, komentarku. Katanya jangan disebarkan, tapi dia cerita dengan beberapa ibu. Apa dia bisa jamin para ibu disini tak menyebarkan gosip itu sambil berpesan. Jangan sebarkan ya, aku enggak sama Ibu Tutik... dan seterusnya. Selain itu, ini masih kata isteriku, keesokan harinya, Ibu Tutik cerita lagi yang sama kepada ibu-ibu lain.
Mudah-mudahan gosip itu tak sampai terdengar keluarga Zon, kataku. Ya, enggak enak kalau sampai ia dengar. Mereka terlalu baik pada warga, sambut istriku. Tapi pa... istriku hendak melanjutkan, tapi tak jadi. Tapi, apa" aku mengejar.
Kayaknya apa yang dikatakan Ibu Tutik itu benara. Kalau benar kenapa" Kalau tidak, juga apa untungnya buat kita" Ya, enggak apa-apa sih, pa... jawab istriku hati-hati. Lalu terdiam. Untuk beberapa hari lamanya kami tak membicarakan keluarga Zon. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Tetapi yang namanya kompleks perumahan yang dindingnya saling dempet, jarum jatuh di rumah sebelah pun terdengar. Karena itu, aku mulai merasakan kalau Pak Zon jarang pulang. Istrinya pergi setiap pagi dan kembali malam harinya. Tak pernah diantar oleh supir pribadinya. Kemana" Bisnis"
Ketika penemuan ini ingin kuceritakan pada istriku ingin tahu apakah ia juga mendengar gosip dari ibu-ibu lain, justru istriku menyoalku yang selalu di rumah. Tugas papa di rumah hanya mau urusan orang lain, ya"
Lo, maksudmu, Ma" Buktinya, kok yang diurus tetangga sebelah" lanjut istriku seperti tak menyukai pembicaraanku. Kalau benar kenapa" Kalau tidak, juga apa untungnya buat kita" katanya mengutip ucapanku sepekan lalu.
Memang sih tak ada untung dan rugi buat kita, kata merendahkan suara. Tapi, kayaknya keluarga sebelah kita ini unik dan menarik. Setidaknya....
Dasar pengarang" gerutu istriku. Selalu menjadikan sesuatu sebagai inspirasi. Eh, pa, tak baik setiap persoalan dipandang sebagai cerita. Aku tersenyum.
Istriku menambahkan, tapi terkesan bagiku mengancam. Makanya pa, punya kantor. Biar papa pergi pagi ke kantor, dan pulang sore hari. Seperti dulu, sebelum dipecat karena Papa protes pada pimpinan!
Kini wajahku masam. Kutinggalkan istriku yang melanjutkan membersihkan halaman depan. Aku masuk ke kamar. Menghidupkan komputer. Aku harus merampungkan makalah untuk seminar sastra di Universitas Anu. Aku pun melupakan persoalan keluarga Pak Zon.
PAK ZON datang ke rumahku, malam ini. Ia mengantar lima buah durian. Katanya, baru ia belu di kota Agung. Anakku tertua mengambil dan mengucapkan terimakasih pada Pak Zon. Aku menyilakan dia duduk.
Dari dinias luar, Pak, kayaknya pulang malam terus" kataku memulai. Hatihati. Sengaja aku menggunakan kata dinas luar dan pulang malam terus, padahal aku tahu kalau sepekan ini Pak Zon tak pulang.
Pak Zon mengangguk. Habis melihat rumah makan saya di Kota Agung, jawabnya. Pak Zon mengambil sebatang rokok filter, meletakkan di bibir kemudian menyulutkannya. Sekarang ini, para pekerja tak bisa dipercaya seratus persen. Kalau tak sering dilihat, bisa-bisa habis uang tak disetor ke kita...
Oooo... aku mengangguk-angguk.
Kemudian, tanpa kuminta, Pak Zon menjelaskan biasa mengontrol sebulan dua kali atau kadang setiap pekan. Katanya bisnis yang dikelola oleh orang lain kadang mengkhawatirkan. Bisa-bisa perputaran uang tidak jelas. Itu sebabnya, ia sering mengontrol langsung.
Aku mengangguk-angguk lagi. Pantas kalau Pak Zon sering meninggalkan istrinya di rumah, acap untuk beberapa hari lamanya. Memang beberapa hari belakangan ini, aku sering memergoki istri Pak Zon duduk sendiri di teras pada malam hari; seperti melamun. Untunglah istriku suka menemaninya, dan ia sangat senang. Karena ini, Pak Zon merasakan kalau kami sangat dekat dengan keluarganya.
Meskipun, ia tak pernah menitip pesan kalau harus meninggalkan istrinya beberapa hari. Ya, soal sikap. Mungkin juga menyangkut privasi dia. Aku menganalisa. Tapi, aman-aman saja kan pak di sini" Pak Zon memecah kesunyian. Aku segera mengangguk. Bapak-bapak disini masih suka begadang, biasa berdomino. Apalagi kalau disediakan organ, wah bisa joget sampai pagi! kataku sambil tertawa. Pak Zon ikut tersenyum.
Kalau begitu, saya siap menyediakan organ tunggal, Agustusan nanti" Senang sekali! Pak RT pasti menyambut. Soalnya dia paling getol dengan dandut, juga si Abdilah...Wah, itu orang, bisa-bisa lupa sama istri.... sambutku bersemangat.
Ah, bisa saja pak Is ini, Masak iya?"
Aku cuma tersenyum. Lalu menyilakan Pak Zon untuk meminum kopi yang disediakan istriku. Obrolan yang ngalor-ngidul malam itu benar-benar cair. Tertawa. Diam sejenak. Ngobrol lagi. Apalagi sejam kemudian, muncul Suratin dan Pak RT. Untung Idong sedang ke luar rumah, sebab tetanggaku yang satu itu hobinya domino dan nenggak vigour!
Jam 12 malam, Pak Zon permisi pulang. Itu diikuti Suratin dan Pak RT. Kata Pak Zon ia harus bangun pagi-pagi karena mau mengontrol bisnis bengkel mobilnya di Krui, Lambar. Memang pagi-pagi sekali, suara mobil Pak Zon sudah menderu. Aku lihat jam dinding di kamarku jam 04. Sepagi ini ia meninggalkan istrinya" Menggumam.
Setelah itu, aku kembali terlelap. Terbangun pukul 07 pagi, ketika terdengar teriak-teriak dari rumah Pak Zon. Istriku sudah pergi ke kantor. Aku enggan ke luar rumah untuk melihat apa penyebab keributan itu. Dari sela-sela jendela ruang tamu, aku masih mendengar dengan jelas. Sambil menikmati segelas kopi dan sebatang rokok filter, aku bagai mendengar drama radio.
Dasar perempuan sundel, biasanya ngerebut suami orang!
Eh, siapa yang rebut suami orang" Suami kamu itu yang ngejar-ngejar saya! Makanya, kasih yang enak, biar suami enggak cari lain! Dasar...
Kamu aja yang genit. Sudah tahu lelaki orang, kenapa masih juga disamber"! Eh, ngaca! teriak istri Pak Zon, tetanggaku, tak mau kalah. Lihat tuh diri kamu, masih gairah enggak"
Memang saya bukan seperti kamu, perempuan pel... Kata-kata yang seronok dan ktoro itu terhenti karena istri Pak Zontetanggaku menampar mulut perempuan yang satunya, yang kutahu dari omongannya adalah istri pertama Pak Zon. Setelah itu, keduanya berkelahi, saling menjambak rambut, bergumul di halaman rumput rumah Pak Zon. Tak ada yang berani melerai. Pak RT pasti masih di kantor. Hanya anak-anak berusia belum sekolah yang menonton dari jalan.
Istriku pasti rugi tidak melihat setelah didamprat istir pertama Pak Zon. Selain itu ia akan memintaku bercerita. Ah, tiba-tiba saja aku merasa bangga sebagai pengarang!***
Bulan Rebah Di Meja Diggers
Post : 09/26/2003 Disimak: 215 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 09/21/2003
"seorang merpati mengepak
di cakrawala ingatan menuju bulan..."
MALAM menggayut. Bulan tersenyum menggantung di langit. Angin berulangulang mengelus tubuh Vivi. Meja besi. Kursi besi. Makanan tersaji di atas. Segelas juice pokat, seporsi pisang bakar, sepiring kentang goreng.
Mengambil tempat paling sisi. Menghadap kota, di bawah sana Telukbetung bagai dikerubungi kunang-kunang. Ah, tidak. Seperti jutaan bintang yang jatuh lalu menyelimuti kota tua itu. Nun di bawah sana, tampak laut ditaburi lampion dari kapal atau perahu.
Waktu merambat. Tak lama lagi Kafe Diggers di atas bukit Pahoman yang juga kerap disebut kafe Hollywood ini akan tutup. Ia tak mungkin menambah waktu lagi sementara kafe akan menghabisi jam bukanya. Tak mungkin pekerja di tempat itu mau dibayar lebih hanya menunggu sampai ia beranjak. Tak mungkin.
Jam 12 malam harus tutup. Ya, tak mungkin ditawar-tawar lagi. Seorang perempuan tambun, mungkin pemilik kafe, mulai memerintah anak buahnya untuk merapikan gelas dan piring yang masih tersisa di atas meja tamu. Tinggal beberapa pengunjung, termasuk dia, sepertinya masih betah di kursinya.
Di meja lain, di bagian atas kafe ini, tampak masih asyik mengobrol. Sekitar 10 orang, barangkali rombongan, asyik berdiskusi. Kadang suasanya sampai ke telinga Vivi. Sayup-sayup ia mendengar, mereka membicarakan politik, budaya, dan kesenian. Ah, rombongan itu mungkin para seniman.
Tak salah, Vivi membatin. Ia mengenali salah seorang di antaranya. Itu Rendra. Cuma ia enggan memperkenalkan diri, bersalaman, atau sekadar mengucapkan selamat datang di Kota BL ini. Apa pentingnya" "Aku bukanlah seniman," gumamnya.
Sejak ia biasa mengunjungi tempat ini beberapa bulan lalu, beberapa kali memergoki seniman dari J, Y, atau B. Sekali waktu ia pernah melihat Agus Noor, Jamal, Cecep, Slamet, juga Hae yang kemudian menulis puisi.1
Vivi melentikkan rokok mild-nya ke tepi jurang. Mencomot bungkus rokok dan menarik sebatang lagi. Sekejap saja rokok bernikotin 1,0 MG itu menyala terjepit di kedua bibirnya. Mungkin sudah 10 batang ia ludeskan di tempat itu. Ataukah lebih"
Peduli apa ia menghitung berapa batang atau berapa bungkus rokok telah ia habiskan dalam beberapa jam. Sebab, selama ini Vivi tak pernah menghitung batang perbatang. Kalau habis, tinggal panggil pedagang rokok. Dua bungkus kadang ia beli sekaligus.
Ini kali sudah tujuh kali Vivi ke kafe ini. Seperti, pertama kali tak sengaja ke tempat ini, langsunt ketagihan keesokan dan keesokan malamnya ingin ke sini. Dan, setiap kali pulang dari kafe ini, di rumah ia merasa segar kembali. Pikiran-pikiran kusut karena persoalan rumah tangga, seperti lenyap.
Terlalu mendesak beban dalam dirinya. Soal putri satu-satunya yang diambil paksa oleh mertuanya hingga kini tak mampu ia rebut kembali. Tentang suaminya, Mas Amran, yang diam-diam mencintai teman sekantornya. Bahkan sudah merencanakan untuk menikah, demikian suatu kesempatan ia menemukan surat dari Lia kekasih suaminya, di saku celana Amran.
Tatkala membaca surat itu, hatinya terasa teriris-iris. Indin sekali ia berteriak dan mencambak rambut suaminya. Sayangnya Amran sudah berangkat ke kantor, justru ketika ia masih tidur. Kalau masih ada dirumah, bakal perang baratajudha meletus pagi itu. Vivi ingin memburu Amran di kantor, pun menyambangi Lia./ Perempuan sundal itu mesti dilabrak, didamprat, dijambak rambutnya, dan kalau perlu anunya dan anunya dirobek-robek!
Dasar sundal! Apa dia pikir Amran adalah laki-laki yang belum punya istri" Apa dia kira, Amran sudah duda" Dia mestinya tahu kalau Amran masih punya tanggungan: isteri dan seorang anak di rumah" Uh! Perempuan tak tahu malu, biasanya hanya merebut suami orang. Mengingat-ingat kejadian itu, dadanya kembali menyesak.Ia ambil sebatang rokok yang ke-12. Sekejab kemudian telah menyala lagi. asapnya mengepul dan terbang ke udara jadi gumpalan menyatu dengan embun yang mulai luruh. Meja sudah mulai basah.
Tak ia pikirkan kalau di rumah kini suaminya tengah menanti. Duduk diruang tengah sambil menonton televisi atau membaca koran yang belum habis dibacanya di kantor. Mungkin pula sudah tertidur sambil menunggunya pulang. Ah, masabodo, maunya apa dia di rumah atau di luar rumah!
Kalau rumah tangganya diibaratkan sebuah kapal, maka kapal itu sekarang sudah bocor oleh gesekan batu karang tajam. Air laut mulai merembes ke dalamkapal. Dan, ia yakin, lambatlaun kapal itu akan dipenuhi air. Lalu karam. Lesap ke dalam air.
Alangkah bodoh nakhoda jika membiarkan kapalnya karam secara pelan-pelan. Alangkah dungunya penumpang, jika tak segera ikut menyelamatkan kapal itu sebelum benar-benar karam. Karena apabila kapal karam, penumpang akan ikut tenggelam. Di tengah lautan seperti ini, sangat sulit mencari tempat untuk menyelamatkan diri. Kecuali ikut tenggelam bersama karamnya kapal.
Membayangkan itu, Vivi teringat kisah kapal zaman nabi Nuh. alangkah sombong dan bodohnya putra Nuh yang atak mau menaiki kapal, padahal ayahandanya berkali-kali memerintahkan agar ikut, sementara banjir tak bisa lagi dibendung. Akhirnya anak Nuh terseret banjir dan mati. Kapal Nuh terdampar di puncak bukit, di sebuah batu besar.
Tetapi, tak mungkin akan sebanding menyamakan peristiwa rumah tangganya yang kini telah dilanda badai dengan sejarah banjir di zaman nabi Nuh. Itu sebabnya, Vivi selalu menanam ke paling dalam tanah apa-apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Betapa pun itu terasa perih dan menyakitkan!
Ia seperti memanggul perahu. Sebuah perahu tua besar dari atas bukit untuk kemudian diarungkan di payau atau kuala. Biarlah perahu mendedah lautan biru. Biarlah perahu yang telah tua itu terdampar kalau memang harus terdampar kembali di bukit yang juga telah tua itu, tetapi jangan terdampar di dasar lautan. Kalau demikian, ia akan menenggelamkan para penumpangnya. Tak.
Itu jangan terjadi. Cuma sudah tak terhitung lagi oleh bilangan atau hitungan, pasangan keluarga berantakan di dasar lautan. Mereka karam sebelum terlihat pulau tujuan. Mereka tenggelam, justru pantai masih jauh dari tatapan mata.
Vivi tak menutup mata. Ia pernah menjadi pendengar setia ketika temannya, Erma, sebagai pendongeng mengisahkan dengan menarik tentang rumah tangganya yang nyaris kandas. Kata Erma, baru empat tahun perkawinannya, ketahuan kalau suaminya bermain cinta lagi dengan perempuan sekantor.
Semula Erma sabar. Ia menerima suaminya setiap pulang kerja. Ia tetap memasak untuk suaminya, menyiapkan sarapan pagi jika suaminya hendak ke kantor, dan menyiapkan makan malam apabila suaminya pulang menjelang tidur. Meski pun makanan yang dimasaknya sendiri itu tak pernah lagi disentuh suaminya, sejak ia biasa makan di restoran bersama kekasih barunya.
"Saya tetap sabar, Mbak," kata Erma suatu siang. "Perempuan diciptakan Tuhan memang dibekali dengan kesabaran tak berbatas. Ia tak boleh menuntut macam-macam, dilarang menangis, meski hatinya terluka dan berdarah-darah. Tak boleh. Bahkan, kalau pun ia harus menjadi istri pertama, kedua, atau istri simpanan sekali pun..."
Tidak adil" "Mana ada laki-laki yang adil terhadap perempuan di dunia ini, Mbak. Laki-laki sepertinya ditakdirkan lahir dengan membawa kebohongankebohongan bagi perempuan. Ia bahkan berdusta ketika mengatakan perempuan terbuat dari tulang iganya yang diambil, hanya untuk mengatakan kalau ia diperbolehkan untuk mencari dan merebut kembali iganya yang hilang itu!"
Ah, terlalu dramatis. Ia kemudian malas mendengar dongeng yang sudah didramatiskan itu. Erma, suatu ketika, kemudian diusir dari rumahnya. Ia katakan jangan menjadi pendongeng, kalau kisah itu justru akan melukai hati perempuan sendiri.
Menurut Vivi waktu itu. Perempuan mesti tegar. Harus berani melawan kalau dizalimi laki-laki. Tidak boleh pasrah, jangan menyerah. Kalau laki-laki memperlakukan ketakadilan, perempuan harus membalasnya dengan bentuk yang sama.
Dan, benar. Ketika mas Amran ketahuan ada main cinta lagi dengan perempuan sekantornya, Vivi mulai berulah. Ia langsung memverbal suaminya. Ia introgasi habishabisan. Sampai suaminya tak punya kata-kata untuk membela. Tak berkutik dan akhirnya mengaku: "Maafkan aku. Sepertinya aku diguna-gunai, sampai aku tak bisa menghindar..."
"Taik kucing! Dasar laki-laki!" hardiknya.
Vivi tahu sesungguhnya mas Amran yang mengejar-ngejar perempuan itu. Karena sememangnya ia menyadari, orang tua Amran tak menyetujui kehadirannya di keluarga besar Raden Mas Sastrohadibroto Yasirpranyoto Bulaksono, yang semua orang tahu adalah berdarah biru.
Tapi, apakah cinta hanya dimiliki oleh seorang" Apakah orang semacam Lia, Yuli, Susi, Sri, dan entah siapa lagi, tak punya hak yang sama untuk menikmati cinta dan dicintai" Cinta, sejatinya, suci dan tidak berpihak pada seseorang atau dua orang. Ia netral untuk singgah ataupun menetap tinggal di hati setiap orang.
Ah! Layaknya Shakespeare yang tengah menafsir cinta dan maut dalam sejumlah karya-karya sastranya. Membuat Vivi menjadi sentimentil dan melankolis.
Dan, sejak itu Vivi menjadi frustrasi menjalani hari-harinya sebagai istri. Bangun pada saat matahari di atas kepala. Menuju pesawat telepon. Menghubungi berbagai relasi. Janjian bertemu di suatu tempat, di suatu jam yang ditentukan. Kemudian mandi. Berpakaian. Meninggalkan pesan pada Bik Inah jika suaminya bertanya katakan: ke tempat anu, ke rumah si anu, jalan bersama anu, dan pulang malam nanti. "Paling cepat jam delapan malam sudah di rumah..."
Begitulah. Tapi, sekarang sudah jam berapa" Vivi tinggal seorang diri di kursi besi meja besi Kafe Diggers ini. Angin menampar tubuhnya. Ia terbatuk-batuk. Orang yang ditunggu, kali ini tak menepati janji.
Ia meninggalkan tempat duduknya, begitu pelayan kafe mengingatkan: "Maaf, Mbak, sudah jam satu, kafe sudah ditutup sejak tadi. Sudah tinggal Mbak seorang..."
Ya, ampun. Ia menggeser tubuhnya. Berdiri lalu beranjak dari sana, setelah memberi tip selembar Rp 50 ribu kepada bujangan kafe itu.
Malam telah benar-benar singgah ke dalam tubuhnya. Bulan berkabut rebah di meja. Ke mana langkah kaki ia akan arahkan" Kompas telah tenggelam bersama karamnya kapal. Sedari tadi, sejak ia membunuh keinginan setiap kali ini pulang. Kata itu, belakangan ini, demikian menyiksanya!
Beringinraya, 2003-15-10, 20.30
Si Pendongeng Post : 06/15/2003 Disimak: 220 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Jawa Pos, Edisi 06/15/2003
Cerpen ini juga dimuat di Harian Riau Pos, 15 Juni 2003.
SI PENDONGENG itu datang lagi. Seperti waktu-waktu sebelumnya, ia pasti telah menyiapkan banyak dongeng tentang keluarganya: suaminya, anak-anaknya, mertuanya, atau perempuan muda yang kini menjadi kekasih gelap suaminya. Tetapi, kali ini aku sedang malas mendengarnya. Haruskah aku menolak kedatangannya" Menutup pintu dan berpura-pura pergi atau tidur"
Si Pendongeng itu sudah berdiri di depan pintu. Tangan kirinya meraba sesuatu di tiang dekat pintu. Menekan. Terdengar suara "Assalamu alaikum& " dari bel. Aku tegerap. Gelisah. Aku diamkan dia untuk beberapa jenak.
Suara bel terdengar lagi setelah tangan kirinya memencet tombol yang kupasang dekat pintu. Ini bel yang kedua. Aku gelisah. Antara ingin membuka dan pura-pura tak ada di rumah. Terdengar suara tetangga depan rumah yang mengatakan pemilik rumah ada di dalam. Si Pendongeng itu kembali memencet tombol bel. Aku hendak keluar dan membuka pintu baginya. Tetapi, untuk apa" Bukankah saat ini aku malas menjadi pendengar setia si pendongeng itu"
Aku duduk lagi sofa ruang tengah. Membuka-buka tabloid wanita. Tak membaca beritanya. Hatiku tidak ke halaman tabloid itu. Bel kembali bersuara. Itu karena tetangga yang meminta Si Pendongeng untuk kembali menekan tombol bel. Ah! Sekiranya tak ada pendongeng, apakah dunia ini dijamin sepi" Pendongeng sudah dari dulu ada. Bayangkan jika tak ada para pendongeng, mana mungkin cerita "Malin Kundang" atau "Siti Nurbaya" di ranah Minang bisa seperti benar-benar ada dan terkenal sampai sekarang"
Kesimpulanku: pendongeng diperlukan kalau menginginkan dunia tidak sepi dari cerita atau legenda. Maka aku bukakan pintu bagi Si Pendongeng itu. "Maaf ketiduran, jadi tak terdengar ada tamu& "
"Oh, enggak apa-apa, Dik Atik& " Aku yakin ucapan itu basa-basi. Si Pendongeng itu tentu sudah mengetahui kalau aku memang tak suka menerima kedatangannya, hari ini. Cuma karena ia sudah kepalang berada di depan rumahku, enggan kembali pulang. Apalagi, ini kemungkinan, ia sudah membawa banyak dongeng mengenai rumah tangganya. Harus dikabarkan, mesti diberitakan. Orang lain perlu tahu. Jangan disimpan sendiri, apalagi menyangkut kesedihan. Itu pikirku mengenai Si Pendongeng itu. Maka aku tak boleh mencegah orang untuk berbagi kesedihan. Benarkah ia ingin membagi kesedihan" Benarkah aku pasti menerima bagian dari kesedihan orang lain" Aku tak yakin aku punya perasaan seperti itu.
"Masuk, Mbak. Masuk& ," kataku (sebenarnya basa-basi). "Maklum ndak ada pembantu, kerja sendiri, jadi capeknya tak bisa ditahan. Terpaksa harus istirahat, maksud saya, tidur& Nanti pukul 11.00 bangun, masak, kerja rumah tangga. Kan Mas Arman sampai di rumah dari kerjanya pukul 14.00, kebiasaannya langsung menuju meja makan."
"Wah, istri yang baik itu. Mestinya memang begitu seorang istri," kata Si Pendongeng. "Kalau ada lomba istri teladan, mestinya Dik Atik yang jadi juaranya& "
Aku tak merespon. Aku masuk ke dalam diikuti Si Pendongeng. Menyiapkan segelas air putih --bukan teh manisseperti pertama ia datang ke rumahku. "Cukup air putih saja Dik Atik," katanya seperti tahu kalau aku memang ingin mememberinya air putih.
Aku tersenyum. Seperti hendak meminta pengertiannya kalau di rumahku tak ada pembantu, sehingga aku harus bekerja sendiri. "Ada cerita yang lebih baru lagi?" kataku sambil meletakkan segelas air putih ke meja.
Dia tak langsung menyahut. Matanya tajam. Bening. Ada air mata di sana yang masih tersimpan, dan mungkin sebentar lagi akan membobol bendungannya. Seperti selama ini. Si Pendongeng memang mudah mengurai air mata. Mungkin ia penyedih, tak tahan menyimpan haru.
"Kalau tak ada cerita, ya sebaiknya memang tak ada cerita, bagaimana kalau kita main halma saja" Atau, Mbak bisa main catur" Saya ambil dulu punya anak& "
"Oh& ndak usah. Lagian aku memang tak suka main halma apalagi catur," selanya. Ia mengambil gelas dan meminum isinya. Masih tersisa sepertiga air putih di gelas itu. Lalu, ia memulai dongengnya.
Kali ini tentang pengakuan suaminya yang jatuh cinta pada seorang perempuan di kantornya. Sebuah keterusterangan, kejujuran. Tetapi, perlukah kejujuran kalau kemudian mesti menyakiti hati perempuan" Ia mulai terisak.
Memang, kata dia lagi, ia dan suaminya sejak mengikrarkan diri menjadi suami dan istri, harus mengutamakan kejujuran. Apa pun yang diterima dan dirasakan harus diberi tahu. Tetapi, katanya, "Bukan lantas ia jatuh cinta dan berselingkuh, aku sebagai istrinya harus tahu" Itu kan sama saja melukai perasaanku& "
"Nah, Mbak sendiri sudah sepakat. Sekarang suami Mbak jujur malah kecewa!" aku memotong. Kupikir rumah tangga Si Pendongeng ini benar-benar aneh.
"Itu bukan jujur, Dik! Yang kumau, misalnya, suamiku menolak cinta seorang perempuan lalu ia mengatakannya dengan jujur padaku. Kan tidak melukai perasaan perempuan, tidak seperti ini."
"Itulah resikonya kalau semuanya harus jujur, semua yang dilakukan suami harus diketahui istri. Apa yang dialami suami di kantor, istri harus tahu dan diberi tahu. Suami tak boleh bohong. Suami harus jujur mengungkapkan sesuatu yang terbenam di dalam hatinya. Jadinya ya begitu, makin runyam," kataku. Kini aku lebih agresif menasihati Si Pendongeng.
"Nanti dulu, Dik Atik. Saya belum selesai ceritanya," ia memotong. "Karena kejujurannya itu, meski hatiku luka, diam-diam aku salut pada suamiku. Kok ia berani jujur dengan istrinya" Pasti sebenarnya suamiku itu adalah tipe lelaki yang baik, yang jujur, yang tak mau melukai hati istrinya& "
"Kalau begitu, Mbak jangan kecewa. Jangan marah& " "Ini soal lain, Dik Atik. Soal perasaan perempuan, seorang istri& " Aku tersenyum. Dalam hati aku mengutuk Si Pendongeng ini. Katanya ia menginginkan suaminya jujur, bangga dengan kejujuran sang suami, tetapi malah marah dan terluka ketika kejujuran itu ia terima.
Ia diam. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku senang ia berbuat begitu. Setidaknya aku tak mendengar dongengnya, yang menurutku, tak lagi menarik. Sebaiknya memang begitu, istri tak harus mendongengkan tentang rumah tangganya. Apalagi soal privacy suami, baik di luar rumah apalagi di ranjang. Tabu. Pamali. Demikian kata orang tua. Istri, demikian aku diajarkan dalam agama, harus bisa menjaga harta yang dititipkan oleh suami. Harta bisa berarti banyak, misalnya kehormatan dan lain sebagainya.
Untuk beberapa lamanya kami membisu. Hening. Pandanganku kuarahkan ke layar kaca televisi. Masih berita Patroli. Banyak kasus di sana: kriminal, pemerkosaan, perampokan, sampai para pelacur yang digaruk aparat keamanan. Juga berita seorang ibu beranak lima tewas karena bunuh diri. Mengikat lehernya dengan kain panjang di atas kaso tiang rumah.
*** MENDONGENG memang gampang. Tak perlu keahlian khusus, misalnya tamatan dari perguruan tinggi seni khusus mendongeng. Sebab yang terpenting bagi pendongeng, ia mesti punya bahan dongengan. Cukuplah itu. Paling-paling kalau mau ditambah, ya bagaimana ia bisa mempengaruhi para pendengar. Dan, Si Pendongeng ini sudah cukup ilmunya. Terbukti aku bisa keasyikan mendengar ceritanya. Betapa pun yang diceritakannya masalah rumah tangganya: masalah suami.
Tetapi, kalau kali ini aku malas mendengar ceritanya. Bukan lantaran ceritanya yang membosankan. Hanya, maaf aku berterus terang di sini, suamiku berpesan: "Jangan sering-sering mendengar kebobrokan rumah tangga orang. Itu sama saja kita sedang menonton keaiban orang lain. Tak baik& "
Suamiku juga berpesan, sekarang kita yang mendengar keburukan rumah tangga orang. Besok-besok lagi, bisa-bisa kita yang akan mendongengkan keburukan rumah tangga kita kepada orang lain. "Seburuk-buruk rumah tangga kita, tak boleh orang lain mengetahui. Sebisa mungkin kita tutupi keburukan itu, dan sebisa mungkin pula kita memperbaikinya," suamiku berpesan.
Itu sebabnya ketika Si Pendongeng itu datang, ingin rasanya aku mengunci rapat pintu rumahku. Sayang keburu tetangga depan memberi tahu kalau aku berada di dalam. Jadilah ia kupersilakan masuk. Jadilah Si Pendongeng kini duduk di dekatku. Mungkin sebentar lagi akan mendongeng. Akan bercerita, barangkali, masalah rumah tangganya yang belakangan ini memang tampak rapuh.
"Rumah tangga kami baru berjalan lima tahun. Ibarat perahu yang hendak melayar ke lautan, baru melampaui batas pantai. Kata orang ombak di dekat pantai justru lebih besar. Itulah yang saya rasakan: goyangannya membuat perahu kami seperti hendak oleng," kata Si Pendongeng. "O iya, kalau Dik Atik sendiri sudah berapa tahun?"
"Baru sepuluh tahun!"
"Wow, sudah lebih tua dari rumah tangga saya, ya?" kata Si Pendongeng agak terkejut. "Bagaimana Dik, pernah mengalami hal serupa?"
Aku menggeleng. "Enggak pernah bertengkar?"
"Tentu pernah. Namanya juga rumah tangga. La wong piring yang tak serumah dengan gelas bisa berbenturan?"
"Pertengkarannya sampai membahayakan?" Aku menggeleng.
"Wah, kalau saya pernah bertengkar besar. Sampai-sampai saya pulang ke rumah orang tua. Tetapi, untungnya, saya dijemput lagi oleh suami. Kalau tidak mana mau saya kembali. Gengsi. Harga diri ini mau dikemanakan. Iya kan Dik" Perempuan harus menjaga harga diri kalau tak ingin diinjak-injak lelaki!"
"Itu salah kaprah," selaku. "Harga diri atau gengsi apa dan bentuknya bagaimana yang mati-matian harus kita jaga" Apalagi di hadapan suami. Yang mesti kita jaga itu keutuhan, bukan gengsi," aku menambahkan. Kini giliran aku yang menasihati Si Pendongeng. Tentu saja untuk tidak memberi ruang baginya mendongeng. Ya, mendongengkan rumah tangganya.
"Tetapi, Dik& ," katanya lagi. "Kalau Adik seperti saya, pasti juga akan melakukan seperti saya. Suami saya memang sangat lain. Keras kepala. Mau menang sendiri, tak bisa dijelaskan," dia melanjutkan.
Lalu ia menceritakan bagaimana keras kepalanya suaminya. Pernah suatu kesempatan, Si Pendongeng memergoki suaminya sedang jalan bersisihan dengan seorang perempuan. Kata suaminya, teman sekantor. Lalu, ia berondong dengan berbagai pertanyaan, seperti ke mana perginya, di mana ketemu perempuan itu, berapa kali jalan bersama, dan seterusnya.
Suaminya jujur. Sampai-sampai, saking jujurnya, diceritakan kalau suaminya pernah menonton film bareng. Sudah beberapa kali. Juga makan bareng di McDonald dan rumah makan lainnya. Ke kafe juga" Ya. Sudah tiga kali, kata suaminya ingin jujur.
"Bayangkan, Dik, bagaimana tidak sakit hati saya diperlakukan begitu. Jujur sih jujur, tapi itu kan keterlaluan. Sengaja lagi, sudah biasa lagi. Itu namanya berselingkuh yang minta dilegalitaskan. Keterlaluan. Ya, lelaki memang keterlaluan. Sepertinya diciptakan khusus untuk menyakiti perasaan perempuan!" Si Pendongeng memberondong. Ia tampak kecewa sekali.
Lalu, untuk apa kekecewaan" Untuk apa ia mendongengkan rumah tangganya, suaminya, kalau pada hakikatnya ia sebenarnya sangat kecewa dan membenci apa yang diceritakan pada orang lain"
Sungguh, aku tak bisa memahami jalan pikirannya. Bahkan ketika ia harus menyeka air matanya. Aku hanya merasakan, sama-sama perempuan, ia benar-benar kecewa. Hatinya sakit. Hanya saja, yang lebih kurasakan sakit, sebenarnya suami Si Pendongeng. Untuk apa dan manfaatnya apa ia jujur, kalau toh sesungguhnya perasaan istrinya sakit" Lebih baik tak usah jujur. Diam-diam. Main belakang&
"Saya lebih tak setuju kalau suami saya main belakang, selingkuh. Toh saya masih ada. Saya juga tak rela dibohongi. Itu malah lebih sakit," katanya kemudian. "Memangnya Dik Atik mau dibohongi suami" Tidak kan?"
"Suami saya tidak pernah berdusta, tetapi juga tak terlalu jujur. Biasa-biasa saja. Ada yang mesti diketahui oleh istri dan ada pula yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Dengan begitu, rumah tangga jadi aman. Tak goyah& "
Ternyata pandanganku dengan Si Pendongeng soal kejujuran berbeda. Juga melihat persoalan di rumah tangga. Wajar kalau kami sering berdebat. Dan, sialnya, Si Pendongeng benar-benar sudah kehilangan perasaan. Buktinya ia tak bosan-bosan datang ke rumahku, apalagi kalau bukan ingin mendongeng. Meskipun beberapa hari belakangan ini bahan dongengnya bukan soal suaminya. Melainkan soal diri Si Pendongeng: "Saya tak bisa menyembunyikan perasan saya. Saya jatuh cinta. Justru dengan teman suami saya!"
"Apakah Anda harus jujur pada suami?" tanya saya. Kini sangat hati-hati. Saya benar-benar diterpa keanehan.
"Saya bukan tipe istri yang jujur. Apa boleh buat, apalagi ini demi keutuhan rumah tangga. Suami saya pencemburu, Dik. Bagaimana kalau saya katakan apa adanya dengan dia" Bisa-bisa& "
"Baiknya Anda tutup cerita ini. Mbak harus meninggalkan kebiasaan mendongeng& ," kataku. Lalu izin alasan ke warung membeli sayur. Sebentar lagi aku harus ke dapur. Masak. Jam dinding menunjukkan pukul 11.35. Sudah terlambat 35 menit. (*)
Bandar Lampung 2003 Menuju Laut Post : 03/02/2003 Disimak: 207 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Suara Karya, Edisi 02/08/2003
Maka berlarilah aku menuju laut. Seperti Khidir yang menyusuri pantai berpasir, aku mencari seorang atau dua nelayan. Sungguh di zaman yang tak henti oleh gaduh, kenapa aku kesulitan menemukan nelayan dan perahu"Apakah nelayan telah meninggalkan laut dan pantai" Apakah perahu-perahu sudah menuju kota-kota" Aku benar-benar kesepian. Aku terlambat sampai di sini. Ternyata, mungkin, para nelayan telah pula urban mengikuti jejak para petani yang memilih menjadi abang-abang becak dan bajaj di kota.Ah, jangan-jangan mereka akan bernasib sama dengan abang-abang becak. Para pedagang kakilima, asongan, warung-warung kecil yang menyesakkan trotoar di kota. Lalu petugas ketertiban umum menggebahnya, menyangkut barangbarang mereka ke atas truk. Atau memukul para urban itu dengan pentungan kayu, jika mereka melawan.Aku terpaku. Bola mataku menusuk ke lautan maha luas itu. Kubiarkan lidah ombak menjilati kakiku. Kuberikan dadaku yang terbuka disentuh oleh pecahan ombak."Wahai laut, wahai ombak, inilah aku. Kuingin kau tak cuma menjilat dan memuncratkan airmu. Empaskan aku ke dalam gelombang besarmu. Di sisnitiada lagi perahu, maka itu pahatlah kesepianku sebagai jung, *)biar kularungi lautanmu!" Kota-kota telah membuatku bosan. aku kian kesepian di tengah-tengah kebodohan para anggota dewan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, mereka lupa pada rakyat banyak. Para pejabat hanya asyik memeluk para wakil rakyat, para anggota dewan asyik berangkulan dengan para pejabat. Lalu, setiap waktu, berlangsung unjukrasa.Maka berlarilah aku ke laut ini. Barmandi terik, bersimbah pasir. Sebagaimana Khidir, aku susuri pantai ini dan mencari nelayan dan perahu. Tetapi, perahu tiada lagi di sini, nelayan telah urban ke kota-kota impian. Meski di kota mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebab pasar-pasar tradisional telah pula digusur. Jalan-jalan tikus tertutup bagi abang-abang becak. Trotoar mesti steril dari pedagang makanan dan asongan.Wahai laut, aku kini menjelma Khidir. Kubocorkan perahu yang cuma satu-satunya tertambat di pohon bakau itu. Sebab, jika kubiarkan perahu itu berlarung maka ia akan pula tenggelam. Wahai laut, kau empaskan ke mana perahu-perahu di sisni" Wahai laut kau tenggelamkan di mana perahu-perahu berlayar di lautmu" Badai, bila waktumu akan ramah pada para nelayan"Apa pulamaksudmu membocorkan satu-satunya perahu ini, wahai Khidir" "Hatiku mengatakan jika pun perahu itu dibiarkan berlarung, ia tak akan sampaike pulau seberang. Bila pun tidak kubocorkan, ia akan tenggelam pula dan itu akanmenyengsarakan rakyat di sini" Apa kau tak punya rasa haru lagi, membiarkan rakyat berlayar denganperahu yang rapuh?" ujar Khidir.Dan akulah Khidir itu kini. Aku telah membunuh kanak-kanak yang kurus kering karena kelaparan yang ditinggal para oarang tuanya urban. Akulah yang telagh membunuh seorang bapak yang menjual anak gadisnya di rumah-rumah bordil.Kenapa kau lakukan semua itu" Kanak-kanak yang kubunuh itu karena ia akan sia-sia hidup, ia tak akan pernahmencapai dewasa. Ia tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Apa kau yakin ia akan menjadi tanggung jawab negara" Itulah kenapa kubunuh saja kanak-kanak yang tak lagi punya impian dan citacita itu. Sedang orang tua yang kucekik lehernya, karena ia tak lagi punya rasa haru dan kemanusiaan. Terbukti, ia dengan tega menjual anak gadisnya. Anak gadisnya ...Apakah karena kemiskinan membuat ia kufur" alangkah nistanya jika itu benar-benar terjadi. Lalu, apakah pantas kita membiarkan orang-orang kufur tetap hidup dan berkeliaran di muka bumi" Di mana ia simpan nurani dan iman yang dulu ia pertahankan dengan amat bangga"Mungkin aku salah. Mungkin pula aku benar. Kesalahanku adalah mendahului kodrat Tuhan. Aku telah mengambil hak Dia atas ciptaan-Nya dengan mengambil haknya hidup di bumi ini. Padahal, masa datang adalah masa yang hanya diketahui oleh Dia. Tak seorang hamba pun dapat memastikannya. Namun, kebenaranku karena aku telah memutuskan dengan tepat. Setidaknya, aku telah memutuskan kesengsaraan dan kemiskinannya yang jika dibiarkan sama artinya aku telah melakukan kezaliman. Ketepatanku membunuh orang tua yang menjual anak, dengan begitu aku telah memerdekakan anak gadisnya dari dosa zina yang berlaratlarat.Maka berlarilah aku ke tempat ini. Ke tepi pantaidi mana aku bisa mandi matahari dan simbah pasir. Aku menanti perahu Nuh yang pernah terdampar di bukit itu berabadabad lalu. Mungkin perahu Nuh masih baik, karena ia akan abadi oleh waktu dan bilangan tahun. Ia tak akan rapuh. Aku percaya itu. Perahu Huh telah tersimpan dari sejarah kitab-kitab. Aku telah membacanya itu ...Tapi, di mana harus kucari perahu Nuh" Di bukit-bukit yang telah kudaki dan kulerengi, tak pula kulihat perahu yang tertambat atau terlempar. Di pasir-pasir pantai, di semak-semak bakau, juga tiada.Wahai, pemilik semesta yang telah merestui Nuh membuat perahu ketika bah datang, mohon arungkan perahu itu ke hadapanku ... Wahai Nuh, nabi yang dicap gila oleh umatnya yang kufur dan jahiliyah, wariskan perahumu yang pernah menyelamatkan pengikutmu. Kuingin mengevakuasi seluruh rakyat di sini, para nelayan, istri-istrinya, anak-anaknya, bayi-bayinya, ternaknya, sayur-mayurnya, entah ke tanah yang mana. Di sini, di tanah yang kata tetuaku makmur dan gemah ripah loh jinawi namun beratus-ribu rakyat diterjang kemiskinan bertahun-tahun, tak bisa lagi memberi mereka harapan dan impinan untuk hidup.Kau lihatlah, betapa rakyat di sini nelangsa, kurus kering, makan tiwul, minum dari air sungai yang penuh limbah, menanam di tanah yang kerontang. Mereka akan mati satu persatu. Sementara untuk protes kepada penguasa, tiada lagi keberanian. Karena penguasa senantiasa mengintimidasi. Menghadapi rakyat bukan dengan otak yang jernih atau hati yang punya haru, tetapi dengan tangan besi. Sedangkan anggota dewan telah meninggalkan mereka, begitu mereka mendapatkan kursi. Sungguh, apakah kamu tak punya perikemanusiaan membiarkan mereka begitu"Aku, sebagaimana para rakyat, sudah tak percaya pada penguasa dan wakilnya di gedung Dewan. Pemimpin mereka sudah sama persis Firaun. Ketika berkuasa mengaku diri Tuhan, tapi kemudian terjepit oleh dua laut yang semula terbelah saat dilalui Musa. Firaun tak sanggup menyelamatkan dirinya. Apakah itu Tuhan"Lalu, Firaun Firaun yang ada kini masih dengan bangganya mengenakan baju kebeasran Tuhan. Tanpa pedang, tapi firmannya bisa membuat laut yang etnang berubah badai. Membuat rakyatnya tiba-tiba mati, sekali "kun"!Kau lihatlah, tak terhitung lagi para aktivis mati dalam tahanan, mati beku di kasur balok es, ataupun mati dengan kabel listrik melilit di tubuh dan dimasukkan di lubang duburnya! Ingin kuceritakan padamu, sesungguhnya Firaun kini sudah menua. Tetapi, sabdanya masih didengar bekas orang-orangnya. Cakar-cakar ideologinya, linggis senyum khasnya, telah menancap di seluruh gedung eksekutif dan legislatif: dari kota hingga ke pelosok kampung. Maka sebagaimana aku di tepi laut ini. Aku hendak membelah lautan menjadi dua, sebagaimana pernah dilakukan Muda. Aku akan menyeberanginya. Aku adalah Khidir itu. Membawamu untuk mencari tempat baru. Tanah baru. Penghidupan baru. Tetapi, kau jangan banyak bertanya kecuali aku memintanya. Kau jangan banyak cakap, sebelum aku memulai. Kamu berjanji"Sebab pertanyaan akan melahirkan perdebatan. Pernyataan akan membuat pembenaran berkuasa.
Lampung, 23-24 Januari 2002*) perahu (bahasa Lampung)
Rumah Segalanya Post : 11/15/2002 Disimak: 236 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Pikiran Rakyat, Edisi 11/14/2002
AKU harus pulang. Petualangan ini layaknya Ahasveros, tak pernah akan mencapai rumah. Jalan yang dulu kulalui saat meninggalkan rumah dan segala isinya, kini telah tertutup belantara. Sampai-sampai aku tak bisa lagi mengenali. Sebuah sungai memanjang yang muaranya di puncak bukit dan hulunya di kuala, sekarang sudah tiada lagi. Kecuali tanda bahwa di sekitar ini pernah ada induk sungai.Bagaimana kalau jalan saja sudah tak bisa kutandai, sungai saja sudah kehilangan tanda, belantara tak juga meninggalkan kenangan" Bayangkan! Apakah aku akan bisa pulang, menemui rumahku yang menyimpan segalanya"Rumahku menghadap lautan. Tidak begitu dekat dengan pantai. Tetapi, angin laut, suara ombak, nyanyian para nelayan setiap kali mendapatkan ikan banyak, akan sampai ke rumahku. Aku saat kanak-kanak yang tertawa riang ketika memperoleh banyak kerangakan pula sampai. Orang-orang tentu mengira penghuni rumah yakni aku adalah nelayan, setidaknya pemilik banyak perahu atau juragan ikan.Sangkaan itu jelas keliru. Aku cuma orang yang memilih membangun rumah di tempat ini. Kebetulan dekat pantai menghadap lautan, sementara di belakang dan samping rumah berderet bukit. Tak banyak yang kutahu tentang alam sekitar rumahku, kecuali seperti yang kugambarkan. Ah, tidak! Aku bukan seorang penggambar. Aku hanya manusia biasa, dari komunitas kebanyakan dan umum. Tidak lebih dari itu.Pada suatu malam aku harus berulang. Pengembaraan yang kupikir terlalu jauh dan tak berbatas. Aku heran, kenapa aku mau saja ketika diperintah untuk menjadi petualang (maaf, lebih tepatnya bukan diperintah melainkan entah kenapa ketika ada seruan untuk meninggalkan rumah, aku mau). Malam itu aku keluar dari kamar, melepaskan selimut sembarangan, membiarkan bantal terlelap sendiri. Aku buka pintu depan dan kemudian membiarkan mengembangkan. Sejak itu, bertahun-tahun aku tak mengenal rumah. Tak mengenal ranjang, kasur, selimut, dan bantal. Tak juga mengenal makan dan berak.Aku pun bertualang. Mengembara dari satu tepi pantai ke ujung pulau lainnya. Mendaki pegunungan dan menuruni lereng. Dari jalan berumput, berbatu hingga jalan hotmik kulalui. Anehnya, telapak kakiku tak luka. Tiada darah yang mengucur dari sana. Ini benar-benar sebuah keajaiban. Ajaib" Entahlah. Gaib" Aku juga tak paham. Mungkin juga suatu kebetulan, mungkin pula lantaran mukjizat. Ah, tahu apa aku tentang mukjizat" Bukankah mukjizat hanya diterima para orang suci seperti nabi atau rasul atau sufi" Aku tak begitulah kotor, tapi masih jauh dari kesucian!Malam separas legam. Hanya sedikit bintang yang menghiasai langit yang terlihat menghitam. Sesekali terdengar gemuruh kilat. Laut pasang. Debur ombak bertalu-talu saat menampar bibir pantai. Pohon bakau menari dielus oleh angin. Para nelayan terombang-ambing di lautan. Lampu yang ada di atas perahu bergoyang-goyang, layaknya seekor kunangkunang yang sedang terbang. Untuk beberapa jenak aku terkulai duduk di pinggir laut, memandang kefanaan.Hidup ini sesungguhnya fana! Tergoda aku pada suara ombak yang menjilat kakiku. Ombak akan selalu sampai di pantai melepas rindu, setelah itu ia tinggalkan bekas kecupannya. Dan, ombak akan datang lagi beberapa jenak kemudian. Rutin sekali. Tetapi, adakah ombak pernah mengucapkan bosan menjalani tugas melunasi rindu pada pantai" Tak. Setiap ia ingin menolak kehendak mencium pantai, setiap itu pula kekuatan alam mendorongnya. Lalu ia mencium, mengecup, menjilatjilat pantai. Setelah itu, ya setelah itu, ia kembali ke tengah. Bergumul dengan laitan dan ombak yang lebih besar lagi. Memain-mainkan perahu kecil milik para nelayan, bahkan menendangnya sampai jauh. Atau, ia akan mendatangi lagi pantai dan mengucapkan salam rindunya: karena pantai menabung rindu-rinduombak akan datang menyerahkan hatimengecup dan melumat bibirnyadengan rahasia percintaan abadi lalu, waktu akan melontarkan ombakke perut lautan, menggulung sisa kecupanke dalam kenangan paling rahasia... karena pantai menawarkan selalu rinduombak akan tiba lebih duludari angin dan salamsebelum dan sesudah lembaran ulu YA! Kaulah ombak yang setiap waktu menemui pantai. Menyerahkan kecupan, melupakan kabar. Lautlah kau yang tak pernah resah berjalan mencapai tepi dan kembali dengan keriangan. Anginlah kau yang selalu melontarkan ombak ke pinggir dan mengirimnya lagi ke lautan. Perahulah kau yang tak pernah jemu menyusuri lautan dan kembali ke pantai ketika penat atau isi telah penuh. Nelayanlah kau yang ingin berumah di lautan dan lelap di daratan.Maka seperti ombak, aku bangun lautan dalam diri. Aku melanglang dan bertualang mencapai benua demi benua. Aku kehidupan perahu di tanganku. Aku tinggalkan rumah. Melupakan kenangan-kenangan bahwa aku pernah terlelap dengan nyenyak di sebuah ranjang, meski bantalnya amat kerempeng. Aku melangkah meninggalkan tepi pantai, pohon bakau, batu karang, pasir-pasir, dan umang-umang yang melata di dekat kakiku.Selamat tinggal pantai. Selamat tinggal debur ombak, gemuruh laut, siul angin, syair-syair Slauerhoff, dan pikiran aneh Khidir saat membocorkan perahu. Aku akan memulai bertualang. Lalu, aku pun mengembara dan memasuki rumah-rumah yang tak pernah kukenal sebelumnya. Kumasuki rumah para orang suci, kumasuki meunasah, surau, langgar, masjid hingga gereja dan pura. Kujelajahi rumah-rumah mewah sampai ke rumah paling kumuh di tengah kota, tak lupa kujilati rumah bordil dan rumah perjudian dan hiburan. Alangkah tak sebanding jalan menuju surga dengan jalan kesesatan" Pantaslah kalau para nabi takbosan-bosan mendakwahkan kebenaran dan jalan lurus. Pantaslah para ustaz dan orang-orang suci mengajak menempuh jalan kebaikan. Lalu, apakah jalan yang Engkau sediakan selalu dua arah berlainan" Tetapi, kenapa arah yang satu lebih banyak dan lengkap menawarkan kesesatan dan kebejatan" Aku sampai begitu gamang mesti memilih karena jalan yang satu ini begitu banyak dan menggiurkan. Alangkah...Terlalu banyak bertanya, aku seperti seorang pendamping Khidir yang ditakdirkan untuk terus-terusan bertanya. Seperti si dungu yang selalu tak puas atas jawaban lalu merasa bodoh jika tak mengajukan pertanyaan. Padahal, apakah pertanyaan kemudian datang jawaban, orang akan menjadi berarti" Banyak pertanyaan yang muntah di meja-meja rapat dan hanya sedikit jawaban yang diberikan, sama saja dengan tak adanya pertanyaan. Camkanlah ketika berapa banyak rakyat kecil yang mengajukan banyak pertanyaan kepada raja atau wakilnya di parlemen, lalu tak pernah ada realisasinya bersamaan jawaban.Jadi, benarlah kalau Khidir sangat marah ketika "sang murid" selalu mengajukan pertanyaan dalam pengembangan tempo hari. Ibrahim tak pernah bertanya kepada raja tentang ratusan patung, kecuali ia merenung apa manfaatnya dari pemberhalaan terhadap patung-patung itu, "Apakah patung itu bisa memberi rezeki dan menyelamatkan manusia?" Maka tanpa bertanya, Ibrahim diamdiam memenggal seluruh kepala patung dan menggantungkan kapaknya di leher berhala itu. Baru keesokan harinya, sang raja sangat murka. Tanpa bertanya, ia langsung menuding, "Ulah ini semua pastilah Ibrahim!"Itulah kenapa akhirnya aku enggan bertanya, bahkan ketika aku kesasap entah di mana. Apalagi orang yang ingin kutanya tak ada lagi yang dapat kupercaya. Akhirnya aku merasa bahwa dalam pengembaraan di planet ini hanya seorang diri. Aku tak pernah melontarkan pertanyaan kepada lain makhluk. Itu sebabnya, aku lebih suka mendapat jawaban dari perasaanku ketimbang mengajukan pertanyaan yang menurutku seperti kesia-siaan.Boleh jadi itu sebabnya mengapa Sysyphus tak pernah bertanya pada dewa ketika ia harus berulang-ulang memanggul batu ke atas bukit lalu dewa mendorongnya lagi ke bawah. Berulang-ulang Sisyphus melakukan itu, memanggul batu itu ke bukit dan tak pernah bertanya apalagi protes tatkala dewa mendepak batu itu menuruni bukit. Ah, "Sisyphus yang dungu! Tak kau tolak juga titah itu, sebelum uban menyemai di usiamu."Seperti orang-orang yang terkenal dalam kisah legenda itu, aku sedapat mungkin meniadakan pertanyaan selama pengembaraan. Aku lumuri pikiranku dengan penegasan demi penegasan, jawabanjawaban tidak untuk sebuah petanyaan yang bagus sekalipun. Betapa nikmatnya sebuah pengembaraan tanpa dikacaukan oleh berbagai pertanyaan. Betapa indahnya perjalanan yang di setiap rambu-rambu pikiran hanya tertera jawaban-jawaban. Betapapun ini tak mungkin, tapi kenyataannya demikian.Aku mendapatkan jawaban dari seorang bocah yang dibunuh sebelum menaiki perahunya yang juga dibocorkan, aku memperoleh jawaban dari orang tua yang dibunuh dan sang anaknya dibiarkan hidup di belantara tak bertuan. Aku dikirimkan jawaban mengapa Adam dan Hawa dilempar ke planet bumi ini, setelah keduanya melakukan kesalahan yang prinsipil. Dan, masih banyak lagi jawaban yang tiba-tiba mengepungku, menenggelamkanku, melumatku, melemparku, tanpa pernah kuawali dengan pertanyaan.Berapa nikmatnya. Betapa indahnya! KALAU kini aku harus pulang, bukan karena aku kehabisan jawaban. Soalnya adalah, ini yang paling penting, tiba-tiba aku digoda oleh pertanyaan besar, "Untuk apa aku mengembara, apa pula manfaat yang kudapat dari petualangan ini?" Ombak saja akan pulang ke lautan setelah melepas rindunya pada pantai. Nelayan juga merindukan lelap di daratan setelah berwaktu-waktu berada di rumah lautnya. Sitok tiba-tiba punya pikiran hendak membangun rumah di pulau, setelah mungkin merasa bosan berumah dalam kepungan lampu-lampu kota dan asap kendaraan."Bagaimana caranya aku bisa punya rumah di pulau, menghadapi laut lepas, memandang biru laut, menatap bintang di langit biru?" ujar Sitok, si penyair dari kota besar itu, suatu malam di rumah pangggung milik si An. Sesungguhnya ini bukan ujaran, melainkan pertanyaan Sitok yang tiba-tiba memimpikan tinggal di sebuah pulau lalu menulis puisi ditemani seorang istri. Masih akta Sitok lagi untuk mempertegas impiannya. "GM saja tak punya villa di pulau..."Aku harus pulang sekarang. Petualangan ini tak pernah akan mencapai rumah, kalau sekiranya aku tak punya keinginan untuk pulang. Betapapun jalan yang dulu kulalui saat meninggalkan rumah dan segala isinya, kini telah tertutup belantara. Kukumpulkan seluruh ingatanku, tanda-tanda lambang-lmbang, rambu-rambu, dan seribuan tera.Ini sungi yang dulu pernah kusinggahi. Ini tepi pantai yang dulu aku pernah duduk berjamjam memandang perahu nelayan yang pergi dan datang. Dan, itu bukit yang serahuku mengitari sepertiga rumahku. Itulah kanak-kanak yang dulu kutinggalkan masih mencari lokan, kerang, dan membangun rumah-rumahan dengan pasir pantai. Juga para nelayan yang saat kutinggalkan dulu sedang menarik jala yang ditebar menjaring ikan di lautan.Ya, ya, Pulau kembali sepi, setelah kau menarik perahumu dari sana. Bekas jejakmu kini yang akan kujadikan tanda untuk menuju rumahku. Rontokan rambutmu di pasir membuatku terkenang kembali pada tahun-tahun tak terbilang dulu. Aku jadikan rambu dan tera bagi langkahku.Aku hampir sampai rumahku. Masih seperti dulu, hening. Pintunya yang kubiarkan terbuka tetap tak berubah. Tentu tak ada pencuri yang masuk. Tak ada binatang yang hanya untuk membuang kotoran. Tak ada, begitu bersih, apik, dan asri.Aku mengambil air membasuh tubuh seluruh. Aku gelar selembar kain di lantai, kukenakan kain sarung dan kopiah. Aku berdiri tegak, menghadap lurus arah matahari terbit. Tiba-tiba, seperti rindu ombak pada laut, aku pun merindukan ihwal seperti ini. Aku juga ingin memulangkan rindku pada-Mu. Aku ingin mengecup-Mu. Ingin terdampar di pantai-Mu. Terlelap di rumah-Mu. Memakan dari pohon di halaman- Mu. Menjadikan rumahku segalanya.Seperti Imran, seperti Mariyam... ***
Banjir Post : 10/15/2002 Disimak: 264 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Lampung post, Edisi 04/03/2002
Lenni, aku ingin menjelma jadi seorang pahlawan. Tetapi, tidak untuk menolongmu... "TEMPAT kos Lenni kebanjiran, tolong telepon ke kantor!" Kabar yang dikirim melalui SMS kuterima pagi ini. Ah! Pasti dia memanfaatkan banjir, kemudian mengatakan bahwa barang-barangnya hanyut, dan lalu "aku butuh uang, tolong kirimkan aku dong..."Apakah aku harus percaya begitu saja apa yang dikatakan Lenni" Sejak ia meninggalkanku beberapa tahun lalu, hanya dua kali kami berjumpa. Pertama, ketika ia bekerja sebagai waiters di sebuah pub di Jalan Gatot Subroto di kota J. Yang kedua, ketika aku bertugas sementara di kotanya. Ia mememberiku alamat dan nomor telepon tempat kosnya. Tetapi, aku sengaja tak mengabari kedatanganku. Aku ingin surprise, pikirku. Aku ingin tiba-tiba muncul di ambang pintu kosnya.Pagi yang ceria aku sudah berada di tempat kosnya. Aku menanyakan pada pemilik kos, karena kulihat kamar Lenni terkunci. Aku mendapat jawaban bahwa perempuan yang pernah ada di hatiku itu, kini sedang keluar. Dengan siapa?"Kekasihnya. Entah ke mana. Ia tak meninggalkan pesan..." kata pemilik kos itu ringan. Ia ingin segera kembali ke dalam. Tetapi, segera kucegah."Kalau boleh saya tahu... apa mereka biasa pergi?""Kekasihnya malah sering tidur di kamarnya..."Ah! Dadaku tiba-tiba saja seperti hendak berhenti berdegup. Kuraih segera sapu tangan di saku celanaku dan kuelap wajahku yang tampak berkeringat dingin. Sungguh, tak kukira kalau Lenni sudah memiliki kekasih baru, setelah kami tak lagi sekota.Hubunganku dengan Lenni sudah amat dekat. Walau aku sudah beristri namun tidak memengaruhi hubungan kami. Ia bahkan pernah berjanji siap menjadi istri kedua. Ia juga telah pindah ke agamaku. Sampai suatu kesempatan kami berikrar sebagai suami istri... *** ITU masa lalu kami. Hubungan kami yang hanya bertahan dua tahun, akhirnya tak hanya dipisahkan oleh prinsip, keyakinan, dan jarak. Tetapi juga oleh kekecewaan. Ia kecewa karena dari hubungan kami tak juga membuahkan anak. Padahal, dari Santi, aku kembali dikaruniai seorang anak lelaki sebagai anak ketiga. Dan, yang paling membahagiakan aku, Santi tak mengetahui hubunganku dengan Lenni. Bahkan sampai kini!Itu masa lalu kami. Ya! Masa lalu yang sebenarnya sudah lama kukubur dan tak akan kuingat lagi. Aku kecewa" Itu jelas. Siapa pun orangnya akan kecewa manakala orang yang dipercayainya berdampingan dengan orang lain. Apalagi, aku masih sering mengirimkan uang sebagai tanggung jawabku sebagai lelaki. Terakhir ia kukirim kipas angin, karena kamar kosnya gerah. Ternyata barang kirimanku itu dimanfaatkan Lenni bersama kekasihnya.Walau aku kecewa, namun aku memaafkannya. Itu sebabnya, setiap kali ia menelepon aku terima dengan riang. Hanya tidak untuk meminta bantuan, misalnya, ia memintaku mengirimkan uang untuk membayar sewa kos. "Tidak untuk yang satu itu!" aku membatin. Aku pikir apa guna kekasihnya, toh kini ia bisa meminta darinya"Begitulah ketika ia memintaku menelepon di kantornya karena tempat kosnya banjir, segera aku menelepon. Setelah diterima Lenni, aku tanyakan apa kabarnya, bagaimana keadaannya kini, dan apakah ia sudah bersuami" Jawaban Lenni stereotipe seperti yang ada di benakku: "Lenni berduka, pakaian Lenni hanya tinggal dua helai. Sampai sekarang belum terpikir untuk bersuami. Tolong kirimi aku uang dong untuk beli pakaian?""Aku tak bisa menjawab "ya" atau menolak. Aku kembali mempertanyakan keadaannya, pacar baru atau bahkan suami. Lagi-lagi ia menegaskan bahwa ia masih hidup sendiri dan merasa enjoy tanpa dikekang lelaki. Bahkan, sebenarnya, begitu katanya: ia sering meneleponku, baik ke kantor ataupun ke handphone. "Tetapi HP-mu selalu off. Di kantor tak menyambung, memangnya kau sudah tak lagi bekerja di situ?"Benarkah Lenni masih sering menghubungiku" Setahuku, HP-ku tak pernah kumatikan, kecuali pada malam hari. Selama Idul Fitri lalu, handphone selalu kuaktifkan. Entahlah, apakah ia sekadar ingin menunjukkan sebenarnya ia masih memperhatikanku atau cara dia agar aku mau menolongnya dalam setiap kesulitan" Lalu, apa ia kira aku dari badan sosial?"Kau sombong, mau melupakan Lenni ya?""Tidak. Malah aku juga ingin meneleponmu, tapi aku khawatir kau tak bisa diganggu karena sudah punya...?"Aku masih sendiri, dan belum berpikir untuk menikah!" ia menegaskan.Aku terdiam. Oke. Kukatakan bahwa dua hari lagi aku akan ke kota J. Aku berjanji akan menghubunginya. Dan, jika ada waktu aku akan menemuinya atau bertemu di suatu tempat yang telah disepakati. Tetapi, dia kemudian berpesan: "Soal uang tolong kirimkan sekarang, aku benar-benar memerlukan. Kau masih menyimpan nomor rekeningku kan?"Aku jawab "ya". Tetapi, dalam hati aku bimbang: apakah aku akan segera mengirimkan uang ke rekeningnya" Jangan-jangan aku diperdaya. Tepatnya, ia memanfaatkan musim banjir yang kini tengah melanda hampir seluruh kota J, agar aku iba. Ah! Apa peduliku" Toh, Lenni bukan istriku, bukan kekasihnya. Ia sama dengan warga kota J lainnya. Ia bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah, dari organisasi kemasyarakatan, atau dari LSM" Tiba-tiba aku diingatkan bahwa dalam hidup ini mesti saling membantu. Marilah menempatkan dia sebagai warga lain yang juga tengah tertimpa musibah banjir, dan kini membutuhkan pertolongan. Siapa saja bertanggung jawab atas orang-orang terkena musibah. Apalagi, aku adalah orang yang pernah dekat dengannya. Kenapa tak segera menolong"Soalnya, aku kini tak punya uang. Kantongku benar-benar cekak. Lalu, dengan apa aku mengirimkan uang kepadanya" Bisa saja aku pinjam dengan sahabatku, misalnya, Heru, Joni, atau Sapto. Lalu kukirimkan uang seratus atau lima ratus ribu rupiah ke rekening Lenni. Ternyata kemudian, uang itu bukan untuk membeli pakaian yang katanya rusak karena banjir. Melainkan digunakan untuk bersenang-senang dengan teman kencannya" Bagaimana perasaanku kalau ternyata itu benar" Aku tak hendak dua kali dikhianati. ***
AKU kini sudah dewasa, Lenni. Kau tak akan bisa mengkhianatiku lagi. Bahkan aku akan tertawa melihatmu dilumat banjir, mati kedinginan tanpa sehelai pakaian. Kau akan mengkeret seperti seekor tikus yang kedinginan di balik tempayan di dapur.Maka aku memutuskan untuk tidak mengirimkan uang. Aku juga tak menghubunginya ketika aku berada di kota J untuk beberapa hari. Aku juga membakar kartu namanya yang selama ini tersimpan di dompetku. Aku tenang, seperti aku tenang-tenang saja manakala menyaksikan berita di televisi tentang banjir atau membacanya di koran-koran harian.Aku tak tergugah oleh berbagai musibah yang memorak-porandakan sebagian warga kota J itu. Aku juga tak tersentuh oleh tayangan iklan peduli di hampir semua media televisi dan koran. Hatiku sudah seperti tertutup untuk membantu meringankan nasib mereka yang rumahnya terendam air, yang terancam berbagai penyakit, yang mengungsi ke tempat penampungan karena rumahnya tak bisa lagi dihuni. Aku sudah traumatik bila mengingat selama ini banyak bantuan bencana yang diselewengkan oleh petugas atau oknum tertentu. Petugas dan oknum pejabat makin kaya, sementara warga yang tertimpa musibah tetap saja nelangsa. Apa yang dilakukan Lenni, jangan-jangan bagian dari skenario untuk mencari uang!Aku kemudian benar-benar melupakan Lenni. Aku seperti meniadakan peristiwa bahwa suatu hari Lenni pernah mengirim SMS kepadaku, meminta bantuan, dan mengharap aku menghubunginya ketika aku berada di kota J. Aku benar-benar melupakan wajahnya, senyumnya, tawanya yang renyah, goyangnya di atas ranjang, jari-jarinya yang mungil ketika membelai wajahku dan mengelap bibirku seusai aku makan seperti hendak membuang bekas makanan yang menempel.Pikiranku hanya satu: Santi, istriku. Juga ketiga anakku yang kini sudah beranjak remaja. Kutumpahkan perhatian dan kasih sayangku kepada mereka. Aku selalu memperbarui suasana pertemuan dan kencanku dengan keluargaku. Perhatianku pada Santi makin kugandakan. Setiap menjelang tidur, aku lebih dulu memijit punggung Santi hingga ia terlelap. Kemudian aku mencium pipinya dengan amat lembut. Lalu aku mencium pipi anakku yang ketiga.Aku melihat wajah Santi sumringah. Ia bagai kupukupu yang penuh warna-warna. Ia tampak begitu bahagia. Hal yang sama kulihat pada wajah Doni, anakku yang ketiga yang kini baru berusia 2 tahun. Doni bagai memberikan seluruh tubuhnya untuk kudekap, kupeluk, dan kuciumi sehabis-habisnya. Sesempurna mungkin.Mungkin inilah saat yang paling bahagia dalam seluruh hidupku. Aku benar-benar menjadi suami dan bapak yang berhasil. Tidak seperti Afrizal Malna, sahabatku, yang mengaku telah gagal menjadi bapak. Atau Agus yang sebentar lagi mengaku kalah sebagai suami, karena perkawinannya yang pecah. Aku juga bukan seperti Radhar yang pada masa mudanya harus menulis sejarah luka dalam diri istri dan keluarganya, karena komplikasi dan gagal ginjal. Tidak! Aku adalah suami dan bapak yang kini telah merengkuh sukses di jagat rumah tanggaku. Betapa pun keberhasilanku itu sangat sulit jika diukur berdasar materi.Masa diam-diam berkhianat pada istri, mesti kukubur dalam-dalam. Aku lupakan Lenni yang pernah sempat singgah di sebagian hatiku. Kulupakan Arum, perempuan belia namun sudah kehilangan perawannya semasa SMP, yang juga sempat beberapa bulan singgah di hatiku. Juga untuk Donik, Yuni, dan Astuti...Wahai hati, kau singkirkan nama-nama yang pernah menggangguku. Tapi, untuk nama Santi dan nama-nama anakku, tolong makin kau tancapkan ke dalam nuraniku. Bila nama-nama yang kucinta itu benar-benar tertancap, aku akan menyuburkannya dengan pupuk kasih sayangku, hingga ia akan tumbuh subur menjadi pohon bagi kemanusiaanku berlindung.PADA suatu hari, di suatu tempat yang tak kuduga, Lenni berada di hadapanku. Wajahnya kuyu, tubuhnya pipih-kurus kering, kulitnya agak legam. Ia memandangku pana. Aku membalasnya penuh keraguan. Kucubit dagingku, aku kesakitan. Ya, aku masih hidup. Tetapi, dari mana Lenni tibatiba berada di hadapanku" Padahal, semenit tadi aku tak melihat siapa-siapa. Aku hanya sendiri di tempat ini. Mungkinkah yang kini berada di depanku adalah hantu Lenni" Aku memang pernah mendengar kabar sejak musibah banjir itu, Lenni raib dari tempat kosnya. Tak ada yang berani memastikan kepergiannya. Apakah ia mencari kos lain yang terbebas dari banjir ataukah kecewa kemudian bunuh diri karena tak juga datang bantuanku" Tak satu pun kabar yang bisa memastikan, media massa pun tak ada yang menuliskan tentang raibnya.Boleh jadi, raibnya Lenni tak begitu penting bagi pemberitaan media massa. Ia bukan pemimpin negara meski ia pernah bercita-cita ingin menjadi presiden wanita. Ia juga bukan seorang menteri ataupun pejabat, yang setiap gerak mendapat perhatian masyarakat. Ia hanyalah seorang kasir di tempat hiburan di kota J, tak lebih dari itu. Karenanya, ia bisa saja raib kemudian dilupakan begitu saja. Di negeri ini, apa peduli bagi seorang rakyat" Bahkan untuk ratusan rakyat yang kelaparan, yang terjangkit penyakit, yang tewas oleh kebringasan militer maupun karena kemiskinan. Mereka tak akan pernah terhitung dalam statistik pemerintah dan media massa.Kurasakan Lenni masih duduk di hadapanku. Menatap sinis. Wajahnya mengiba. Tanganya menengadah. Kucubit sekali lagi kulitku. Aku merasakan kesakitan. Artinya aku tidak sedang bermimpi. Aku penasaran, Lenni kuajak berdialog. Tetapi, ia hanya diam. Mematung. Bergeming. Aku mendekat, ia tak beranjak. Kusentuh tubuhnya dengan tanganku. Aku meraba hampa. Pukimak! Ia mempermainkan aku. Ia tak tersentuh, tapi tetap ada. Aku teringat David Coperfield yang bisa melakukan apa saja, bahkan yang musykil sekalipun dengan sulapnya. Boleh jadi, Lenni telah banyak belajar dari pesulap kesohor yang bisa menghilangkan patung Liberty itu."Kau jangan mempermainkan aku, Lenni. Apa yang kau ingini dariku" Kau mau apa" Uang untuk beli pakaian, sewa kos yang lain yang bebas dari banjir" Aku akan menolongmu sekarang...." kataku. Kini aku yang mengiba. "Tapi, kau jangan permainkan aku seperti ini. Maafkan kalau dulu aku tak bisa mengirimkan uang ke rekeningmu. Soalnya... soalnya... waktu itu aku benar-benar tak punya uang. Nomor rekeningmu juga aku lupa, telepon kantormu juga hilang bersama kartu namamu. Maafkan kelalaianku, keteledoranku... Percayalah, sekarang aku akan membantumu. Berapa kau perlukan. Lima ratus, sejuta, dua juta. Atau berapa" Katakanlah terus terang..."Lenni diam. Pandangannya tak berubah. Rona wajahnya dingin dan putih laksana kapas yang tersiram air. Aku kian penasaran. Ingin rasanya kupeluk tubuhnya serapat-rapatnya, kugoncang-goncangkan, kemudian aku menangis sejadinya. Ya! Kini aku menyesal, kenapa dulu aku tak segera mengirimkan uang ketika ia benar-benar amat memerlukan uluran dariku. Kenapa aku dicekam keraguan, digoda oleh keuntungan dan kerugian. Kenapa aku begitu materialistis, tidak sosialistis. Apakah ada ajaran agama membolehkan kita mengabaikan orang lain yang sesungguhnya sedang benar-benar memerlukan bantuan" Kalau ada, agama yang mana?"Lenni beri aku waktu untuk menyesali kekhilafanku. Bukalah pintu maafmu dengan menerima bantuanku. Ini aku berikan uang untukmu mencari tempat kos yang lebih baik, lebih bagus, dan bebas dari banjir. Uang ini juga cukup untuk kau belikan beberapa helai pakaian. Aku benar-benar kasihan, kau kedinginan..."Lenni bergeming. Wajahnya kulihat semakin mengapas dan mengeriput. Kulitnya yang tampak legam, bagai kulit sang mayat: anyep dan seakanakan tinggal belulang. Bahkan di antara pori-porinya, kulihat ulat bergerak-gerak. Aku tak tahu apakah binatang kecil itu adalah belatung ataukah cacing yang tengah menggerogoti dagingnya.Ah! Sungguh aku tak lagi melihat kecantikan, keayuan, dan sejenis itu pada dirinya yang dulu membuatku tergila-gila!Karena penasaran, karena ingin segera mendapatkan kepastian membuatku tak sabar. Aku segera melompat dari tempat dudukku dan secepatnya mendekap Lenni. Tapi, seperti kali pertama, aku hanya mendekap hampa. Kukucek-kucek kelopak mataku untuk meyakinkan pandanganku tak rabun. Ya! Tak ada masalah bagi mataku, aku juga belum berkacamata minus ataupun plus-bahkan cacat selinder.Sialnya, begitu kubuka mataku, aku tak lagi melihat Lenni duduk di depanku. Ia raib. Seperti ia raib seusai musibah banjir dulu. Yang kupeluk hanyalah kursi tinggi seperti yang biasa kulihat di sebuah pub. Aku malu, karena pengunjung yang tiba-tiba ramai menertawakan aku. Kulihat sebagian mereka menelentangkan jari telunjuknya di kening masing-masing, dan berdesis: "Kok, kursi dipeluk. Di sini kan banyak cewek yang tak sekadar bisa dipeluk. Takut?""Kulupakan peristiwa, kalau ini benar-benar sebuah peristiwa, pertemuanku dengan Lenni. Aku tak akan mencatatnya menjadi sebuah sejarah. Di mana pun sejarah tak berarti apa-apa. Aku, bahkan, kini hidup di luar sejarah. Aku sudah kehilangan rasa haru itu.BANJIR kiriman dari kota B diperkirakan akan pula merendam kota L, demikian kata sebuah berita. Aku membayangkan diriku akan megap-megap mencari perlindungan agar tak terbawa arus hingga ke laut lepas. Sebab, aku tak bisa berenang, dan itu berarti dua pertiga dari nyawaku telah hilang.Ah! Tiba-tiba aku membayangkan wajah Lenni yang mengiba pertolonganku. Tangannya yang melambai mengharap uluran bantuanku. Namun, tak pernah kululuskan. Dan, kini giliranku yang berteriak-teriak minta pertolongan, minta perahu atau ban yang bisa mengangkutku dari bencana banjir. Tetapi, tak seorang pun peduli. Karena orang-orang juga sibuk menyelamatkan diri masing-masing.Aku pun megap-megap. Lebih dari empat ember air yang datang entah dari comberan mana telah kuminum, hingga membuatku kehabisan daya. Entah di laut mana atau tersangkut di jembatan mana, aku berjumpa dengan Lenni. Atau barangkali tidak sama sekali.Tapi tunggu dulu. Yang jelas, lambat-laun aku akan jadi bangkai. Membusuk. Dikelimuni lalat dan ulat. Menunggu kedatangan seseorang yang kemudian menguburkan jasadku, atau setidaknya memberikan harapan baru. Betapa pun penantianku sia-sia.*)Banjir telah membuat kami kehilangan segala... Lampung, 7-12 Februari 2002*)
Reinterpretasi dari dialog Estragon dan Vladimir dalam "Menunggu Godot" karya Samuel Becket dan dipentaskan Teater Satu (Lampung) di TUK Jakarta, 8-9 Februari 2002
Mawar Post : 10/15/2002 Disimak: 298 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Lampung post, Edisi 03/18/2002
MAWAR. Seperti namanya, lelaki mana yang tak akan mimpi pada aroma tubuhnya. Mawar tumbuh di antara ilalang di kampung kumuh itu. Tetapi, pusat kota mana yang tidak mengenal namanya. Mawar dapat menghidupkan ruang pub atau diskotek yang semula lengang dan kelam. Mawar bisa menggairahkan suasana rapat yang semula mati.Setiap kali ia berjalan, lelaki mana yang tidak meliriknya" Senyumnya. Jalannya, lenggak-lenggoknya. Tubuhnya, aduhai sensual! Bibirnya yang dipoles warna merah, membuat matahari saja iri kepadanya. Mawar tumbuh bak bunga di taman itu. Penuh warna-warni. Riuh lebah.Mawar dibawa ke kota. Ia ada di papanpapan iklan. Di ruang pub atau diskotek. Gambarnya menghiasi ruang remang yang hanya sesekali spotlight menembak. Mungkin kau tak merasakan kalau engkau sedang mencuri perhatian Mawar. Tidak. Bukan mencuri. Tetapi, ingin meraba Mawar. Mengajaknya duduk di sebelahmu. Lalu, "Kamu ingin minum apa" Bir, cocacola, atau ini..." kau menawar.Mawar tersenyum. Ia bukan perempuan perokok. Bibirnya tak tampak kebiruan layaknya para perempuan pecandu nikoten. Bahkan, lisptik selalu saja tetap di bibirnya. Tidak luntur. Padahal, kau pun tahu setiap lelaki ingin sekali menyapu lisptik di bibir Mawar dengan bibirnya. Seperti seorang kanak-kanak yang keranjingan mengenyut permen bipbop.Biarkan Mawar tetap dengan aromanya. Ia telah jauh-jauh datang dari kampung kumuh. Dari sebuah keluarga yang bertarung dengan mesin-mesin motor. Tetapi, televisi, film-film yang ditayangkan di bioskop-bioskop 21, budaya metropolis, dan juga para artis, sudah memasuki kamar Mawar.Kadang Mawar ingin sekali seperti artis. Berpakaian yang di bagian perutnya terbuka. Atau pakai celana panjang ketat warna hitam, yang bagian bawahnya seperti dirobek beberapa sentimeter. Juga berkacamata seperti Atiek CB. Atau seperti para model yang tengah bergaya."Tapi, aku tak mungkin bisa seperti itu. Perlu biaya besar. Dan, aku tak punya uang," Mawar mengigau. Bahkan, sampai bumi ini berubah kiamat pun, Mawar tak akan bisa seperti para artis di film-film itu.Bila kau banyak uang di saku, tentu kau bisa mengajak Mawar duduk di sebelahmu. Ia kemudian akan mengajakmu berdansa chacha atau berjoget ala-kesetanan. Kau juga bisa mengajaknya naik ke mobilmu dengan alasan: "Hari sudah sangat malam, bagaimana kalau kau berjumpa lelaki jahat di jalan" Kau akan ditarik ke semak-semak lalu diperkosa!Mawar akan ketakutan. Ia akan menawarkan diri untuk diantar pulang, Tetapi, tidak sampai ke ambang pintu rumahnya. Ia pasti malu memperlihatkan rumahnya yang berdinding bambu dan pintu dari kayu dicampur seng. Maka ia akan meminta kau menurunkan di depan gang.Dari sini saya berani pulang, tak ada penjahat. Saya cukup dikenal di daerah ini...Tentu itu bagian dari rencanamu. Kau tak akan langsung mengantarnya. Kau akan mengajak, kalau mungkin merayunya, agar jalan-jalan dulu menghabisi malam. Sayang kalau malam yang indah ini kita biarkan berlalu. Bagaimana kalau kita menikmati gemintang dan cahaya bulan nan menawan itu dari pinggir laut"Mawar pasti akan mengangguk. Ia berharap setelah dari pantai kau memberinya uang. Ia menerimanya dengan suka-cita. Lalu baru kau antar pulang. Pulang" Setelah aku memberinya uang" Lelaki mana yang tanpa pamrih pada perempuan"Apa maksudmu" O iya! Kau akan mengajak Mawar ke hotel, begitu" Lalu, pulang pada pagi hari ketika matahari mulai menampakkan wajahnya" "Kamu terlalu banyak minum, kau mabuk. Bagaimana kalau kita istirahat dulu"Di mana?"Aku kasihan kamu. Kalau aku biarkan kamu pulang sekarang, bagaimana kalau kau terjerembab" Kamu mabuk berat. Harus istirahat... Nah, betul kan kamu ingin muntah... katamu."Ya, aku harus istirahat. Tapi, di mana?"Bagaimana... eee, bagaimana kalau kita ke hotel" Subuh kita chekout dan kuantar sampai rumah?"Jangan sampai rumah. Cukup di depan gang saja."Baiklah." Kau bawa Mawar mencari hotel kelas melati. Kau papah tubuh Mawar agar tak jatuh, dan kau bawa ke dalam kamar. Kau rebahkan di ranjang. Kau buka sepatunya. Kau kipas-kipas badan Mawar yang berkeringatan. Kau buka jaketnya. Kau buka baju yang melapisi kaus dalamnya. Kau buka kaus tipis yang menutupi tubuhnya. Kau buka...***KAU baru tahu Mawar sangat pintar bercinta. Ia juga lihai menundukkan lelaki. Sudah lebih sepuluh lelaki yang pernah menjadi kekasihnya. Sejak SLTP, bahkan. Bayangkan baru kelas 2 SLTP, Mawar sudah pernah keluar-masuk hotel. Ia juga hafal benar tarif-tarif hotel.Kau tak menyangka" Kau sendiri tak begitu hafal hotel-hotel mana yang bisa dijadikan tempat bercinta" Mawar berkisah. Pertama kali ia mengenal lelaki ketika ia baru sebulan menginjak kelas 2 SLTP. Pacaran selama empat bulan. Kemudian kekasihnya, sepulang sekolah, menjemput Mawar di depan gang ke sekolahnya. Ia naik motor yang dibawa kekasihnya. Tak ada janji mau pergi ke mana. Tiba-tiba motor masuk gerbang hotel. Mawar sempat bengong. "Mau apa kita ke sini"Ardi, kekasih Mawar, memberikan alasan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu yang penting. Hanya di dalam hotel, pertemuan tak terganggu. Ia mencontohkan saat keduanya asyik mengobrol di pantai. Banyak sekali anak-anak yang mengganggu. Dari pedagang minuman dan makanan ringan sampai pengamen. Kapan kita bisa menikmati pertemuan ini" Guman.Benar juga, pikir Mawar. Maka ia biarkan tangannya digamit Ardi masuk ke hotel. Meninggalkan KTP dan bayar, setelah itu ia ditarik ke dalam kamar. Amboi! Itulah hari pertama Mawar layaknya menjadi istri! Aku tak menyesal karena kami lakukan atas suka sama suka. Meski aku kehilangan...Sejak itu, Mawar berganti-ganti ranting dan taman. Ia kadang ditanam di pot bunga, di taman di dekat jendela rumah, atau dipajang di pintu masuk ruang bos, diskotek, pub, dan juga di kamar hotel.Mawar yang kau temukan kemarin, Mawar yang sudah dewasa dari usianya yang semestinya. Sebelum kau, ia pernah bercinta dengan lelaki 40 tahunan. Lelaki yang usianya sama dengan bapak Mawar. Lelaki itulah yang memperkenalkan kota Jakarta kepada Mawar, ketika kekasih gelapnya itu diundang suatu seminar. Betapa senangnya Mawar tatkala diperkenalkan Om Edy kepada peserta seminar. Itu tampak dari wajahnya, dari cara jalan Mawar yang tiba-tiba lincah. Apalagi pakaian yang dikenakannya berharga mahal, membuat Mawar makin percaya diri. Di tengah perbincangan dengan teman-teman Om Edy, Mawar sesekali menyelingi menerima kabar dari handphone-nya.Kini percintaan Mawar dengan Om Edy pupus. Setelah mengumpulkan banyak pakaian dan Om Edy membelikan pula handphone, Mawar menjauh. Tetapi Om Edy tak kecewa, ia sudah mengabadikan wangi Mawar. Dia telah mencatat tahilalat di kelopak-kelopak Mawar.Kini giliran kau berada di samping Mawar. Menimati sisa-sisa aroma yang masih terasa manakala angin membelainya. Kau kini giliran yang merasakan diam-diam dompetmu menipis. Dan, kau giliran yang mengantar dan menjemput setiap pagi serta petang. Di depan gang itu. Di jalan yang itu-itu juga. Sampai suatu ketika Mawar menoreh lipstik ke wajahmu. Jadi tanda. Seperti tahilalat yang bisa dilihat oleh siapa saja. Istrimu...Mawar akan menerormu, setelah itu ia mencari sasaran lain!
Lampung, Februari 2002 Selembut Angin Setajam Ranting
Post : 10/15/2002 Disimak: 278 kali Cerpen : Isbedy Stiawan ZS
Sumber : Lampung post, Edisi 03/18/2002
KAU tak pernah menyesal bercinta dengan istri orang?"Agus menggeleng. Tersenyum. Bagai Don Quixot ia menenggak minuman yang nyaris kemarau itu. Aroma alkohol benar-benar menyengat."Kau tak takut ketahuan suaminya?"Agus menggeleng lagi. Ia malah menyalakan korek api tinggi-tinggi. Seorang perempuan, Anti yang berparas sensual, mendekatnya. Mencium pipi Agus. Lelaki yang ada di depanku menyambut ciuman Anti dengan bangga. Aku keki.Aku tendang kaki Agus dengan kaki kiriku. Ia pikir dengan cara begitu ia bisa membuat emosiku naik, lalu ikut seperti dia.Terus terang, aku berada di ruang pengap ini tak sengaja. Pulang kantor tadi, aku bertemu Agus. Dia mendekatiku. Aku memang suntuk, letih, bahkan wajahku kuyu karena tiga hari ini memang aku selalu lembur. Koran tempatku bekerja banyak order iklan warna. Karena di kota B ini belum ada percetakan berwarna terpaksa dikirim ke J. Itu sebabnya, halaman yang kebagian jatah iklan warna harus dikirim sehari sebelum beredar. Dan, kebetulan aku yang diberi tanggung jawab.Aku tak bisa mengelak ketika Agus mengajakku ke tempat hiburan diskotek ini. Dia merayu dengan mengatakan untuk menghilangkan kejenuhan, diperlukan waktu santai. Santai yang paling bagus menikmati musik dan memandang perempuan-perempuan cantik."Itu hanya di diskotek. Bukan di swalayan atau di supermarket!" kata Agus sambil tertawa.Aku tersenyum. Bimbang. Aku sudah kadung janji pada istriku akan membawakan martabak Bangka. Dia pasti amat menanti makanan kesukaannya itu. "Ayolah, sekali-kali pulang terlambat. Istrimu tak akan marah...?"Tapi, aku sudah janji akan membelikan martabak Bangka buat istriku...?"Ah, bilang saja tidak jual atau sudah tutup. Kau jangan mau jadi suami DKI.?"Apa itu DKI, aku tak mengerti," potongku. Aku tersinggung, meski aku sendiri tak tahu maksud DKI yang dikatakan Agus."Itu lo, suami Di bawah Ketiak Istri!" Agus kembali tertawa. Kali ini benar-benar lepas.Aku cuma tersenyum. Pahit. Kesal. Dan, sesungguhnya dalam hati aku marah. Tetapi, aku tahan. Agus adalah sahabatku sejak kuliah. Ia kini pengusaha. Ketua organisasi para bisnisman di kotaku. Tentu soal uang, ia tak pernah kehabisan. Teman-temannya pun pejabat, anggota legislatif, aktivis politik, dan para preman.Aku tak bisa menolak manakala ia membukakan pintu mobilnya. Aku masuk setelah menitipkan motorku dengan satpam kantor. "Tapi, jangan lebih jam dua ya!" harapku.Agus mengangguk. Aku pikir ini hanya sekali saja pulang terlambat. Lagi pula, aku ke luar kantor sudah pukul 11.30. Masak iya, baru masuk diskotek sudah minta pulang.Agus masih seperti di kampus. Don Quixot. Banyak kekasih. Bahkan, gonta-ganti. Aku pernah melihatnya, beberpaa jam di kampus bisa tiga kali menggandeng cewek. Sialnya, tak satu pun cewek-cewek itu berkelahi karena dia. Pandai sekali dia menyembunyikan kecurangannya!Dina, kembang kampus, kemudian dipilihnya menjadi istrinya. Kini ia telah dikaruniai dua anak: perempuan dan lelaki. Menurut cerita Agus, anak tertuanya kini sudah kelas dua SMU, sedang yang bungsu kelas tiga SLTP."Kau tak pernah risau dengan anakmu yang sudah remaja. Kapan kau akan berubah?" kataku di dalam mobil tadi."Anakku kan tahunya kalau aku sibuk mengurusi bisnisku. Lagipula, mereka tahunya aku pulang bawa uang. Ongkos ke sekolah tidak seret, dan kebutuhannya selalu kupenuhi. Itu saja...?"Istrimu?""Sebelum kami menikah pun, dia sudah tahu kelakuanku. Jadi, tak ada masalah," jawab Agus santai. Tampak sekali ia mengucapkan itu dengan bangga.Tak ada masalah" Bagaimana mungkin seorang istri rela dan pasrah padahal ia tahu suaminya bersenang-senang di tempat hiburan. Istri mana pun akan terpukul begitu tahu suaminya bercinta dengan perempuan lain. Jelas, bagi istri yang normal, akan menjadi masalah jika tahu suaminya sering bersenang-senang di diskotek.Karena itu, aku tak percaya kalau tak ada masah. Hanya saja, Dina yang kutahu sejak kuliah selalu ingin menghindari pertengkaran. Dengan siapa pun. Itu sebabnya, ia disenangi banyak teman perempuan dan pria. Tapi, itu bukan kepasrahan. Bukan pula karena Dina takut pada Agus."Ayo minum, jangan kau pandangi saja. Sudahlah, Is, sekali-kali kau berontak pada nuranimu. Hidup itu jangan monoton, misalnya alim terus. Sekali-kalilah keluar dari aturan dan norma. Maka kau akan banyak mengetahui persoalan hidup," Agus berbisik. Aku mencium aroma alkohol dari mulutnya."Kau memang gila!" aku mendesis."Is, kau tahu, angin saja tak selalu meniup dengan lembut. Ia bisa berubah sebagai topan, angin puyuh, atau pun bahorok. Nah, kenapa kita tidak seperti itu," katanya lagi. "Kita tak akan pernah tahu perasaan seorang penjahat, kalau kita tidak menjadi penjahat. Kita tak tahu bagaimana rasanya mabuk, kalau kita sendiri tak pernah minum alkohol. Kita juga tak bisa merasakan menjadi suami yang baik, kalau kita selalu menurut dan tak pernah selingkuh.?"Hidup ini bukan mesin percobaan, sobat! Rumah tangga juga bukan arena akrobatik dan meja permainan. Hidup adalah amanah dan kita wajib menjaganya. Rumah tangga adalah sunnah, maka bagi kita yang bisa menata dan menghidupinya sama artinya kita telah menjadi pengikut Rasulullah!" jawabku tak mau kalah."Ah teori...." kata Agus. Ringan. "Sudahlah, kita lupakan perdebatan ini. Toh kita datang ke sini ingin hiburan?" kali ini kulihat Agus seperti hendak mengoreksi pendapatnya.Jam 02.00. "Gus, sudah waktunya aku harus pulang," kataku kemudian, mengingatkan. "Kasihan istriku, pasti dia was-was menungguku pulang...?"Kau bahagia punya istri yang setia menunggumu pulang. Aku iri padmu, sobat!?"Apa maksudmu, Gus?" aku bertanya. Sungguh aku tak mengerti maksud kenapa ia mengucapkan katakata itu. "Bukankah kau sendiri juga bahagia" Punya Dina yang selalu tak punya masalah?""Justru itu masalah! Karena ia tak pernah memasalahkan apakah aku pulang cepat ataukah pagi, justru itu jadi soal buatku. Jangan-jangan istriku tak punya kekhawatiran terhadapku. Jangan-jangan ia tak setia, tak..." Agus berhenti. "Oke kita pulang, perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku ingin memarahi Dina kemudian ia menentangku, lalu kami bertengkar, ribut... Aku ingin sekali-kali ada kegaduhan di rumahku, ada yang menentangku. Dina harus menanyaiku kenapa sering pulang larut malam, mendampratku, bahkan aku ingin sekali ia melempar benda ke tubuhku. Rumah tangga yang adem-ayem saja perlu diragukan keharmonisannya. Istri yang diam meski membukakan pintu bagi suaminya yang pulang larut malam, perlu dipertanyakan kasihsayangnya.?"Aku setuju itu, Gus! Aku ingin kalian cakar-cakaran, seperti aku dengan istriku. Setelah itu baikan, bercintaan, dan pasti kalian akan harmonis. Dalam hidup ini, kita tak hanya merindukan lembutnya angin. Tetapi, kita harus pula menikmati tajamnya ranting. Itu baru hidup!" ucapku. Aku menggamit tangan Agus yang agak sempoyongan."Ke mana, kok cepet sekali?" Anti menyongsong tiba-tiba, membuatku terusik. "Anterin aku dulu dong. Iya sayang?"" pintanya pada Agus."Sorry. Aku harus buru-buru, enggak punya waktu. Maaf.?"Apa" Kau gila apa, Gus" Kau tinggalkan aku di sini sendirian" Aku ke sini karena kau mengajakku. Tidak bisa, kau harus mengantarku pulang dulu. Setelah itu kau boleh ke mana kau suka!" Anti mengancam. Suaranya agak keras. Agus menatap wajah wanita cantik itu."Maaf sayang, aku ada keperluan lain. Amat mendesak...?"Tidak bisa!! Atau..." Anti memecahkan botol. Ia mengancam Agus dengan botol yang sudah belah dua dan tentu tajam itu. "Aku tak segan-segan melukaimu, kalau kau nekat keluar dari ruangan ini sendirian!?"Persetan!" bentak Agus. "Aku tak takut ancamanmu. Pergi kau perempuan sundal, kau tak pantas menjadi istri.?"Kau juga!. Aku yang istri orang saja, masih mau. Kau yang setan!" Anti tak mau kalah. Ia kalap. Botol itu ia tancapkan ke tubuh Agus. Untung aku awas, segera kudorong tubuh sahabatku. Tapi tak ayal, pecahan botol itu menggores punggungku. Lebih perih rasanya daripada tergores tajamnya ranting. Istriku pasti menanyakan ihwal lukaku, lalu kuceritakan. Pada akhirnya, istriku tahu kalau aku ke diskotek. Aku rindu bertengkar dengan istri.
Lampung, Februari 2002 Senja Jatuh Di Pajajaran 12 Isabella Karya Maulana Mohammad Saeed Petualang Asmara 12

Cari Blog Ini