Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi Bagian 2
"Hiiih!"
Laki-laki bersurjan itu tidak peduli. Tubuhnya langsung mencelat mengejar.
Secepat kilat Dara mengibaskan pedangnya untuk menghalau serangan namun entah bagai-mana caranya, laki-laki itu mampu berkelit. Dan tahu-tahu, dia telah melakukan tendangan kilat ke arah perut.
Dara terkesiap. Gadis itu coba menghindar dengan memiringkan tubuh. Tapi begitu tendangannya luput, laki-laki itu justru memutar tubuhnya dengan satu totokan. Begitu cepat gerakannya, sehingga"
Tuk! "Uhhh Dara kontan ambruk tak berdaya begitu satu totokan mendarat di bawah ketiaknya.
"He he he"! Sudah kukatakan, kau akan aman bila bersamaku. Kenapa malah bersikap kasar" Kini, apa dayamu" Tapi kalau kau memang ingin sekali berada dalam pelukanku, maka kau harus tunggu giliranmu. Sebab, di balik semak semak itu masih ada satu lagi gadis yang menungguku. He he he...!" kekeh Bajingan Gunung Merapi.
"Bajingan laknat! Kau tidak akan lepas dari tanganku!" bentak gadis itu garang.
"He he he..! Kau pernah lihat, aku datang dan pergi sesuka hatiku. Tak seorang pun yang bisa menghalangi!"
"Tapi kurasa dia benar. Kau tidak akan mudah lepas begitu saja...!"
Tiba-tiba terdengar suara, yang membuat Bajingan Gunung Merapi tersentak kaget.
Sementara pemuda itu berjalan tenang meng-hampiri. Sepasang matanya tajam mengawasi laki-laki di depannya. Rangga yang sejak tadi berada di situ, sengaja membiarkan Dara bertarung. Pendekar Rajawali Sakti memang ingin lebih yakin lagi kalau laki-laki bersurjan kuning itu memang orang yang berjuluk Bajingan Gunung Merapi.
"Hm" Jadi kau sekarang mengawalnya ke mana-mana" He he he"! Bagaimana rasanya" Nikmat, bukan?" kata Bajingan Gunung Merapi berusaha menutupi kekagetannya. Apalagi saat menatap sorot mata pemuda di depannya.
"Aku akan merasa lebih nikmat kalau sudah memecahkan kepalamu!"
"Memecahkan kepalaku" Aduh, jangan! Apakah kau tidak kasihan denganku?" ejek Bajingan Gunung Merapi, mulai bersikap berani.
"Ya, aku kasihan padamu kalau dibiarkan hidup. Oleh sebab itu aku ingin mengirimmu ke neraka!" sahut Rangga tenang.
"Hm... Ingin kubuktikan, apakah kata katamu juga sebesar nyalimu! Heaaat...!"
Saat itu juga, Bajingan Gunung Merapi mener-jang Pendekar Rajawali Sakti dengan satu tendangan dahsyat.
Namun Rangga tidak bergeming sama sekali. Baru ketika serangan itu dekat, tangannya bergerak memapak.
Plak! "Uhhh...!"
Bukan main kagetnya Bajingan Gunung Merapi ketika merasakan tenaga dalam pemuda itu yang kuat luar biasa. Bahkan tangannya kontan terasa kesemutan, dengan dada bergetar. Belum lagi dia sempat melakukan serangan susulan, Rangga telah lebih dulu melakukan tendangan geledek. Sehingga, terpaksa laki-laki bersurjan ini melompat ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun. Begitu melihat lawan sedikit keteter, dia terus mendesak dengan pukulan dan hantaman tangan yang bertubi-tubi. Sesekali, kakinya mencuat melepaskan tendangan geledek.
Bajingan Gunung Merapi terpaksa menangkis. Dan dia terus berusaha menghindar dan serangan yang bertubi-tubi.
Rangga terus mendesak. Bahkan saat Bajingan Gunung Merapi mencelat ke atas, pemuda itu telah lebih dulu melompat melepaskan tendangan.
"Uts!"
Tendangan Rangga dapat dihindari Bajingan Gunung Merapi dengan memutar tubuhnya. Rangga terus mengejar, tubuhnya ikut berputar bagai gasing, lalu meliuk tajam melepaskan pukulan ke dada lewat jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dan"
Des! "Aaakh ? *** ? 5 ? Bajingan Gunung Merapi menjerit kesakitan begitu dadanya terhantam pukulan Rangga. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke belakang. Namun begitu dia cepat bangkit. Wajahnya tampak meringis sebentar, kemudian mendengus geram memandang pemuda itu.
"Keparat! Siapa kau, he"!" bentak Bajingan Gunung Merapi.
Tak perlu bajingan tengik sepertimu menge-nalku!"
"Sombong! Hm... Aku akan menuliskan na-mamu pada nisanmu, Goblok!"
"Aku ditakdirkan tidak mati di tanganmu. Jadi tidak usah repot-repot," sahut Rangga enteng.
"Kau akan lihat, aku mampu mengubah tak-dir!" dengus Bajingan Gunung Merapi seraya me-narik napas panjang.
Kedua tangan laki-laki bergerak ke bawah perut dan kembali ke atas. Lalu kedua tangannya berhenti di dada, dan dengan cepat dihadapkan ke Pendekar Rajawali Sakti. Seketika telapak tangannya keluar angin kencang menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
Wus! Rangga cepat bagai kilat melenting ke atas, sehingga pukulan jarak jauh Bajingan Gunung Merapi menghantam angin.
Jder! Satu batang pohon yang cukup besar di belakang Rangga roboh terhantam pukulan jarak jauh Bajingan Gunung Merapi.
Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau pukulan yang dilancarkan laki-laki itu cukup hebat, dan bertenaga dalam tinggi. Untuk itu. Rangga tidak bisa gegabah. Dalam keadaan marah begini, Bajingan Gunung Merapi agaknya akan mengumbar seluruh kemampuannya.
"Yeaaa...!"
Kembali laki-laki berkumis tipis itu menebar pukulan mautnya. Dan sekali lagi, Rangga mampu menghindar. Tubuhnya cepat mencelat ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya menukik tajam dengan tangan dihentakkan ke depan lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Hiyaaa...!"
Wusss! Saat itu juga meluruk sinar merah membara dari telapak tangan Rangga, yang mengarah ke Bajingan Gunung Merapi.
Bajingan Gunung Merapi kalang kabut melenting ke udara menghindari cahaya merah itu meluruk ke arahnya.
Jder! Betapa kagetnya Bajingan Gunung Merapi melihat tanah tempatnya tadi berdiri telah berlubang sebesar kubangan kerbau, terhantam sinar merah tadi. Barulah laki-laki bersurjan ini sadar kalau yang dihadapinya bukan orang sembarangan.
Srang! "Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Bajingan Gunung Merapi garang begitu mendarat dan langsung mencabut kerisnya.
"Heaaa...!"
Bajingan Gunung Merapi langsung meluruk sambil mengebut-ngebutkan kerisnya.
Wut! Sring! Dengan terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil jungkir balik menghindari serangan. Begitu mendarat di tanah secepat kilat Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabutnya. Bahkan langsung dibabatkan ke arah keris dalam genggaman Bajingan Gunung Merapi.
Trang"! "Heh"!"
Baru melihat cahaya biru yang memancar dari pedang pemuda itu saja. Bajingan Gunung Me-rapi terperanjat. Apalagi ketika senjatanya berbenturan. Untung saja, Rangga tidak mengerahkan jurus tenaga dalamnya.
Sebaliknya, Rangga pun merasa kagum melihat kehebatan senjata keris hitam berlekuk dua belas itu. Ternyata senjata itu tidak bisa dianggap sembarangan. Masih terasa getaran aneh tatkala senjatanya beradu. Namun dia tidak mau membuang-buang kesempatan. Karena pada saat itu, Bajingan Gunung Merapi masih terhuyung-huyung menjaga keseimbangan. Secepat kilat, dilepaskannya satu tendangan menggeledek.
Begkh! Aaakh...! Untuk kedua kalinya Bajingan Gunung Merapi terjungkal roboh tak berdaya sambil memekik kesakitan. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar. Laki-laki itu cepat bangkit seraya memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan tajam.
"Kuakui kau hebat. Tapi tidak berarti kau mampu meringkusku! Bajingan Gunung Merapi tidak boleh tertangkap siapa pun!"
Belum sempat Rangga menjawab ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari balik ce-lana dan melemparkannya ke depan.?
Busss"! Benda sebesar jempol kaki itu langsung mele-dak. Dan dengan cepat menebarkan asap hitam yang menghalangi pandangan.
"Ufff. Keparat?" maki Rangga geram seraya menutup pernapasannya.
Asap hitam itu bukan saja menghalangi pandangan, tapi juga menebar racun cukup ganas. Buru-buru Rangga menyelamatkan Dara serta seorang gadis lain yang nyaris menjadi korban Bajingan Gunung Merapi di balik semak-semak.
Sambil membopong kedua gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat menjauhi tempat itu dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat sempurna. Baru ketika telah cukup jauh, larinya dihentikan.
"Kenapa kau biarkan dia kabur begitu saja!" semprot Dara ketika telah diturunkan dari pondongan dan telah dibebaskan totokannya.
"Berbahaya kalau menerobos asap beracun itu?"
"Seharusnya tidak kau biarkan dia lolos." Dara masih menggerutu kesal.
"Aku punya cara sendiri meringkusnya. Dan setelah mengetahui wajahnya, maka kurasa kau tidak perlu lagi ikut. Pulanglah. Dan, cari Lastri! Aku berjanji membawa kepala Bajingan Gunung Merapi ke tempatmu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Dara hendak berseru mencegah, tapi Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat menghampiri kudanya. Dara bahkan masih termangu, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
? *** ? Bajingan Gunung Merapi jalan tersaruk-saruk melewati pinggiran hutan kecil. Pada suatu tempat yang rapat ditumbuhi pepohonan, dia berbelok dan menerobos hutan. Beberapa kali tubuhnya ambruk dan jatuh tersungkur. Namun dia cepat bangkit kembali seraya menggeram untuk menguatkan semangatnya.
Melewati hutan kecil ini, Bajingan Gunung Merapi tiba di kaki Gunung Merapi. Tak jauh dari situ, tampak sebuah pondok kecil.
"Oh, Guru.... tolong aku...! Tolong aku, Guru...!" seru Bajingan Gunung Merapi berulang.
Bruk! Kembali laki-laki ini tersungkur dua tombak di depan pondok. Dengan susah payah dia berusaha bangkit dan mulai merangkak mendekati pondok.
"Guru, tolong aku...! Tolong aku, Guru...!" seru laki-laki itu kembali.
Bruk! Bajingan Gunung Merapi ambruk. Dari mulutnya keluar rintihan pelan.
Pada saat itu, muncul sesosok tubuh yang bergerak amat cepat ke arah pondok. Seketika disambarnya tubuh Bajingan Gunung Merapi, dan dibawa masuk ke dalam pondok.
"Anak goblok! Tolol! Baru menerima pukulan begini saja sudah mau mati! Weleh, edan...!" sem-prot sosok itu, seraya melemparkan tubuh Bajingan Gunung Merapi ke pojok ruangan.
Gubrak! "Aduuuh...!" rintih Bajingan Gunung Merapi.
"Jangan menjerit! Atau, ingin kupecahkan ke-palamu"!" dengus sosok ini.
Seketika Bajingan Gunung Merapi terdiam. Wajahnya meringis, dan bola matanya sesekali di-kerjap-kerjapkan.
Kini di samping Bajingan Gunung Merapi berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Saking kurusnya, tulang rusuknya tampak bertonjolan. Sesekali orang tua ini memercikkan ludah merah ke dinding ruangan. Kemudian dia mondar-mandir mencari sesuatu dan menumbuk beberapa ramuan obat. Sementara mulutnya tak henti mengunyah sirih. Dan sesekali tangannya sibuk membetulkan letak celananya yang kedodoran.
"Baringkan tubuhmu yang betul!" hardik laki-laki tua itu seraya mendekati Bajingan Gunung Merapi.
"Baik, Ki...! sahut Bajingan Gunung Merapi sambil berbaring seperti yang diminta laki-laki tua.
Tiba-tiba sebelah telapak tangan orang tua itu menghantam perut dan jidat Bajingan Gunung Merapi yang tengah terbaring.
Pak! Buk! 'Hoanakh"!
Karuan saja pemuda berkumis tipis itu terpekik kesakitan. Dan mulutnya termuntah darah segar kehitam-hitaman.
"Dengan siapa kau berkelahi?" tanya laki-laki tua ini.
"Entahlah. Aku tidak mengenalnya. Ki...," sahut Bajingan Gunung Merapi, mendesah.
Kau bisa menyebut cin-cirinya, Goblok!"
Bajingan Gunung Merapi menjelaskan ciri-ciri lawan yang telah melukainya.
"Hm" Aku tahu siapa bocah itu"!" gumam orang tua berambut ikal sambil mengangguk dan tersenyum sinis.
"Ki Rekso kenal dengannya?" tanya Bajingan Gunung Merapi.
"Tentu saja! Dia berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti" Apakah dia tokoh hebat, Ki?"
"Ya! Kata orang dia memang tokoh hebat. Tapi..., tentu saja tidak sehebat diriku. Reksodipuro alias si Mayat Hidup! Hek hek hek...!" sahut orang tua yang rambut, jenggot, dan kumisnya telah memutih itu sambil bernada jumawa.
Bajingan Gunung Merapi terkekeh hendak me-nimpali. Tapi"
Des! Tiba-tiba saja kembali orang tua aneh yang mengaku bernama Reksodipuro dan berjuluk si Mayat Hidup itu menghantam dada Bajingan Gunung Merapi. Karuan saja, laki-laki bersurjan kuning ini memekik setinggi langit.
"Hoekh...!"
Dari mulutnya kembali memuntahkan darah segar.
"Ampun. Ki Tukup!" ratap Bajingan Gunung Merapi lemah.
"Cukup bapak moyangmu! Kau telah mempermalukan! Sebagai murid si Mayat Hidup, masa' kau bisa dikalahkannya"!" semprot si Mayat Hidup dengan mata melotot lebar dan wajah berkerut geram.
"Tapi..., dia memang hebat, Ki...," kilah Ba-jingan Gunung Merapi yang ternyata murid Ki Reksodipuro yang berjuluk si Mayat Hidup.
"Apa kau bilang" Berani kau katakan dia hebat di depanku" Mau kuhajar lagi kau, he"!" dengus Ki Reksodipura.
"Ampun, Ki! Ampuuun...! Maksudku, tentu sa-ja Ki Reksodipura lebih hebat ketimbang bocah itu! Nah! Bila Ki Reksodipura datang menghadapinya, bocah itu pasti lari terkencing-kencing karena ketakutan...!" oceh Bajingan Gunung Merapi, berusaha meredam kemarahan laki-laki tua ini.
"Hek hek hek...! Kau benar, Bocah Tolol! Tapi..., apa urusannya sampai kau bentrok dengan bocah itu?"
"Ng... anu, Ki. Dia terlalu sombong dan menge-jekku. Dia katakan, murid si Reksodipuro itu tidak ada apa-apanya. Apalagi, gurunya yang segede cacing itu! Dengan sekali tiup, pasti akan mampus" sahut Bajingan Gunung Merapi berdusta, untuk memanas-manasi.
"Apa"! Dia berani menghinaku"!" geram Ki Reksodipuro dengan suara meledak-ledak.
"Benar, Ki! Aku dengar sendiri dia berkata begitu!" jawab Bajingan Gunung Merapi, mantap.
"Keparat! Akan kucincang bocah itu!" dengus Ki Reksodipuro langsung disambarnya sebatang tombak di dekatnya.
Tombak itu berwarna hitam mengkilap. Dan pada ujungnya berlekuk seperti keris. Ini adalah senjata kebanggaan si Mayat Hidup yang selalu dibawa ke mana saja bila bepergian.
"Ki Rekso akan mengejarnya?" tanya Bajingan Gunung Merapi.
"Tentu saja, Goblok! Apa kau kira aku akan diam saja menerima penghinaan ini"!" bentak laki laki tua itu.
"Kalau begitu aku ikut saja, Ki..."
Baru saja Bajingan Gunung Merapi hendak bangkit, ujung tombak orang tua itu telah menempel di lehernya.
"Minum obatmu. Dan, sembuhkan lukamu du-lu! Kalau tidak, kau boleh sekalian mampus sekarang juga!" dengus Ki Reksodipuro bernada memerintah.
Bajingan Gunung Merapi tergagap. Dan sece-pat kilat kembali berbaring sambil meraup mangkuk berisi ramuan obat, dan menenggaknya sampai tuntas.
Dan pengaruh ramuan obat itu sendiri sungguh hebat. Sekujur tubuh Bajingan Gunung Merampi langsung kejang. Hawa panas hebat yang bergolak membuatnya berteriak-teriak kesakitan.
"Aaakh"! Aduuuh, tobaaat"! Ki Rekso, tolooong"!"
"Hek hek hek"! Obat itu sangat ampuh, meski pengaruh pertamanya seperti itu. Tahanlah. Karena kau akan segera merasakan manfaatnya!"
Setelah berkata begitu, Ki Reksodipuro berke-lebat meninggalkan pondok ini. Sementara Ba-jingan Gunung Merapi masih mengerang-erang kesakitan.
? *** ? Seorang laki-laki setengah baya berdiri tegak depan pintu rumahnya. Wajahnya tampak angker bercampur geram.? Tangan kanannya menggeng-am sebilah pedang pendek. Sementara dari dalam terdengar isak tangis yang saling bersahutan. Agaknya, isak tangis ini yg membuat detak jantungnya semakin kencang. Sehingga membuat kegeramannya semakin bertambah saja.
Bajingan terkutu"! umpat laki-laki tua itu dengan bibir bergetar.
Pada saat yang sama dari kejauhan terlihat seorang penunggang kuda menuju ke arahnya. Dan penunggang kuda itu berhenti di depan laki-laki setengah baya ini. Setelah menambatkan kudanya, dia menjura hormat.
"Bagaimana, Karpan?" tanya laki-laki setengah baya ini pada penunggang kuda yang telah berdiri di depannya.
"Belum, Ki Rungkut!" sahut pemuda berusia dua puluh lima tahun yang dipanggil Karpan. 'Tapi ada perkembangan baru, Ki"
"Perkembangan apa?" tanya laki-laki setengah baya bernama Ki Rungkut dengan kening berkerut.
"Seseorang saat ini tengah mengamuk di pa-sar!" sahut Karpan.
"Siapa dia?"
"Entahlah" dia akan membunuh siapa saja yang berani mencari Bajingan Gunui Merapi."
"Dia tidak menyebutkan siapa dirinya?"
"Kalau tidak salah, namanya Ki Reksodipuro" jelas Karpan dengan telunjuk menempel di kening.
"Ki Reksodipuro?" ulang Ki Rungkut, terma-ngu sesaat lamanya.
"Kenapa, Ki" Apakah kau mengenalnya?"
"Sebentar! Aku coba mengingat-ingatnya... Ng... Kau ingat almarhum Kiai Tambak, Karpan?"
"O.... Orang tua yang dituduh memiliki ilmu gaib itu?" jawab Karpan, begitu teringat.
"Benar!"
"Tapi, apa hubungannya dengan Ki Reksodipuro ini. Ki?"
"Menurut apa yang kudengar, Ki Tambak mempunyai seorang saudara angkat yang telah dianggap sebagai saudara kandung. Orang itu bernama... Ki Reksodipuro!" jelas Ki Rungkut.
"Jadi, dia hendak membalas kematian saudara angkatnya yang mati karena dikeroyok orang-orang kampung, Ki?"
"Bisa jadi begitu...!"
"Tapi, apa hubungannya dengan Bajingan Gunung Merapi?"
"Bajingan Gunung Merapi hanya dijadikan alat saja, untuk membuat kabur penilaian orang ter-hadapnya..."
"Dari mana Ki Rungkut tahu?"
"Kudengar, dia kabur setelah bertarung me-lawan Pendekar Rajawali Sakti..."
Karpan mengangguk pelan.
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki?"
"Kita ke sana. Siapkan kudaku, Karpan!"
"Ki Rungkut akan menghadapinya?"
"Ya."
"Tapi, Ki... Orang itu berkepandaian tinggi!" seru Karpan mengingatkan.
"Kau merendahkan kemampuanku, Karpan?"
"Sama sekali tidak, Ki! Kau cukup hebat dan terbukti mampu membunuh Ki Tambak tujuh tahun lalu. Tapi, orang ini memiliki ilmu yang lebih hebat ketimbang Ki Tambak!"
"Tidak usah menakut-nakutiku, Karpan! Ambilkan kudaku. Dan, bawa ke sini."
"Baiklah, Ki..."
Karpan segera beranjak dari tempatnya. Dan sesaat saja, dia telah kembali bersama seekor kuda coklat berbelang putih.
"Kau yakin akan menghadapinya, Ki?" tanya Karpan lagi, seperti hendak meyakini.
"Bagaimanapun, bajingan keparat itu harus kutemukan. Dia telah menodai putriku yang masih bau kencur. Dan untuk itu, dia harus mati!" dengus Ki Rungkut geram.
"Tapi tidak dengan cara menghadapi Ki Reksodipuro, Ki. Orang itu selain berilmu tinggi, juga agak sinting. Dia membunuh siapa saja yang di-temuinya. Aku melihat sendiri. Dengan sekali me-ngibaskan tangan, maka orang-orang terpental di buatnya!"
"Aku juga bisa membuatmu terpental, kalau kau terus bicara tentang kehebatannya!"
"Eh! Maaf, Ki Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."
"Kalau begitu, tidak usah banyak bicara lagi. Kau boleh tinggal di sini kalau takut!" ujar Ki Rungkut seraya melompat ke punggung kudanya.
"Aku ikut, Ki!" seru Karpan seraya ikut melompat pula ke punggung kudanya. Segera disusulnya Ki Rungkut yang telah lebih dulu pergi dari tempat ini.
"Heaaa"!"
Wajah Ki Rungkut tidak berubah. Tetap seram dengan api dendam yang belum padam di hatinya. Laki-laki setengah baya itu menggebah kudanya dengan kencang.
? *** 6 ? Ki Rungkut cepat mengetahui, di mana Ki Reksodipuro berada. Ini tidak mengherankan, sebab pasar satu-satunya di desa ini kelihatan porak-poranda. Keramaian yang biasanya mengisi tempat ini, mendadak sepi. Tempat-tempat mereka? berdagang hancur berantakan. Dan beberapa sosok mayat bergelimpangan.
Di satu sudut pasar tampak sebuah kedai yang telah ditinggal pergi pemiliknya. Di situ tampak sesosok tubuh kurus mengapit sebatang tombak yang ujung-ujungnya berlekuk-lekuk seperti keris. Kedua tangannya silih berganti memasukkan makanan ke mulut. Kedua pipinya sudah menggembung namun terus disimpul makanan. Bahkan dalam keadaan begitu dia masih bias terkekeh-kekeh.
Begitu tiba di depan kedai. Ki Runggut turun dari kudanya. Perlahan didekatinya laki-laki itu. Di belakangnya menyusul Karpan pada jarak yang agak jauh.
Sementara orang-orang desa yang melihat kehadiran orang tua itu, perlahan-lahan mendekat. Namun, tentu saja pada jarak yang masih cukup jauh dan tersembunyi. Agaknya mereka tidak mau ambil celaka untuk kedua kali diamuk laki-laki gila itu.
"Reksodipuro! Di mana kau sembunyikan Bajingan Gunung Merapi?" teriak Ki Rungkut lantang.
? *** ? Laki-laki kurus bernama Reksodipuro sama sekali tidak menoleh. Dia terus bersantap seperti hendak memenuhi lambungnya sampai padat.
"Reksodipuro! Kurasa kau tidak tuli! Sekali lagi kutanyakan, di mana kau sembunyikan Bajingan Gunung Merapi"!" bentak Ki Rungkut.
Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup menoleh sambil menyipitkan mata. Kelihatan menganggap enteng sekali. Apalagi dengan sebuah pisang yang masih menyumbat mulutnya, sehingga kedua pipinya menggembung.
"Di mana bajingan laknat itu kau sembunyikan"!" hardik Ki Rungkut mulai geram melihat kelakuan laki-laki kurus ini.
Glek! Ki Reksodipuro menelan semua makan yang masih berada dalam mulutnya. Lalu bibirnya ter-senyum lebar seraya beranjak dari duduknya.
"Kau bicara apa, Monyet" Mendekatlah. Teli-ngaku agak tuli sedikit," sahut si Mayat Hidup sambil berkacak pinggang.
"Jahanam! Tidak usah bermain-main segala. Katakan padaku, di mana kau sembunyikan keparat itu?" dengus Ki Rungkut.
"Apa" Kurang rapat?"
Ki Reksodipuro pura-pura tuli seraya menun-jukkan lubang telinganya.
"He he he...! Nah, betul kataku. Kau memang monyet, bukan?" ejek si Mayat Hidup.
"Setan!" maki Ki Rungkut geram.
Wajah laki-laki setengah baya ini menyeringai buas. Gerahamnya berkerokotan menahan amarah melihat laki-laki kurus ini mempermainkannya.
"Apa" Setan"!"
"Makan olehmu sendiri...!" hardik Ki Rungkut seraya menghentakkan tangannya ke depan. Di-hantamnya si Mayat Hidup dengan pukulan jarak jauh.
Wusss! Ki Reksodipuro tidak beranjak sedikit pun. Bahkan dia hanya mengibaskan tangan seperti hendak menangkap lalat. Dan...
Deb! Pukulan Ki Rungkut kandas begitu saja. Pada-hal jelas, angin terdengar bersiur kencang tatkala pukulan itu melesat. Itu menandakan kalau pukulan jarak jauh yang dilepaskan Ki Rungkut tidak bisa dianggap main-main.
"Hek hek hek"! Inikah ketan yang kau katakan" Lezat sekali!" ejek Ki Reksodipuro.
"Kurang ajar! Kau betul-betul ingin menguji kesabaranku rupanya. Baiklah Kalau itu yang kau inginkan, makan dulu ini!"
Begitu kata-katanya selesai, Ki Rungkut mencabut pedangnya. Langsung dia melompat menyerang.
"Heaaa"!
Namun Ki Reksodipuro tidak kalah sigap. Orang tua kurus seperti tengkorak itu serentak mengayunkan tombaknya, memapak
Trang! Trang! "He he he...! Telah cukup lama aku tidak ber-latih. Mudah-mudahan kau akan menjadi kawan berlatih yang cukup pantas!" leceh si Mayat Hidup sambil terkekeh-kekeh. Sementara sebelah tangannya secara bergantian menggenggam tongkat untuk menangkis kelebatan pedang Ki Rungkut.
"Di mana kau sembunyikan bajingan keparat itu?" tukas Ki Rungkut tidak peduli dengan ocehan laki-laki kurus ini.
"Bajingan mana yang kau maksud?"
"Tentu saja Bajingan Gunung Merapi!"
"O, dia. Ada urusan apa kau dengannya?" tanya Ki Reksodipuro santai.
"Bajingan keparat itu telah menodai putriku!"
"Namanya bukan bajingan keparat. Tapi, Bajingan Gunung Merapi. Karena, dia memang bera-sal dari Gunung Merapi," sahut Ki Reksodipuro.
"Eh, apa katamu" Dia memperkosa putrimu" He he he...! Berapakali" Sekali" Dua kali..." Atau, sepuluh kali"!"
"Terkutuk!" dengus Ki Rungkut geram.
Tangan kanan laki-laki setengah baya ini me-mainkan pedang dengan lincah. Sedangkan telapak kirinya menghantam dengan pukulan maut. Namun, Ki Reksodipuro betul-betul menganggap sepi serangan itu. Dia mampu menghindari setiap serangan dengan melompat ke sana kemari. Gerakannya ringan bagai sehelai kapas tertiup angin.
"Mampuslah kau, Iblis Terkutuk!" desis Ki Rungkut ketika melihat kesempatan baik.
Saat itu juga telapak tangan kiri Ki Reksodipuro menghantam tepat ke jantung. Namun secepat kilat, Ki Reksodipuro memapak lewat telapak tangan kanan.
Plak"! Ki Rungkut terkesiap. Sungguh tak disangka kalau si Mayat Hidup mampu bergerak secepat itu. Kini pedangnya diayunkan. Namun, tombak Ki Reksodipuro cepat menangkis.
Tring! Dari benturan itu, Ki Rungkut terjajar mundur. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, tombak si Mayat Hidup telah cepat berputar. Lalu"
Crap! "Aaa...!"
Ki Rungkut memekik nyaring. Dari punggung-nya orang-orang melihat ujung tombak Ki Rekso-dipuro menyembul.
Sras! Sekali cabut, tubuh Ki Rungkut ambruk tak berdaya. Jantungnya kontan hancur tersodok tombak. Tampak darah mengucur deras dari tempat lukanya. Nyawa orang tua itu melayang, setelah menggelepar beberapa saat kemudian.
Dengan tenang Ki Reksodipuro membersihkan ujung tombaknya yang masih berlumuran darah. Sebentar dia memandangi mayat lawannya, lalu bergerak ke mejanya tadi. Kemudian acara santapnya yang tadi tertunda segera dilanjutkan. Sikapnya tenang sekali seperti tidak terjadi apa-apa.
Sedang orang orang yang berada di sekitartempat itu tersentak kaget. Ki Rungkut adalah orang yang dihormati di desa ini, karena kepandaiannya yang hebat. Tapi kini orang tua itu terbaring tak berdaya. Lalu, siapa lagi yang bisa mereka andalkan untuk menghalau si Mayat Hidup"
Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Astaga..."!" Karpan terbelalak kaget melihat majikannya tewas.
Dia tidak tahu harus bagaimana. Mengambil mayat Ki Rungkut, bukan tidak mungkin akan mengusik perhatian Ki Reksodipuro. Dan kalau dia sempat terusik, bukan tidak mungkin nyawanya akan sama seperti majikannya.
? *** ? "Nyiii...! Nyi Sekar...!" teriak Karpan sebelum sampai di rumah kediaman Ki Rungkut.
Dari dalam terlihat seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun keluar tergopoh-gopoh, dan menunggu di ambang pintu.
Karpan langsung melompat sebelum menam-batkan kudanya. Napasnya terengah-engah dan mukanya pucat.
"Celaka, Nyi" ! Ki Rungkut.... Ki Rungkut..."
"Kenapa suamiku, Karpan" Kau tidak ber-samanya?" tanya perempuan setengah baya ber-nama Sekar.
"lya, Nyi! tapi kini di...," kata-katanya terputus.
"Bicara yang benar, Karpan! Apa yang terjadi dengan suamiku?" desak Nyi Sekar.
"Beliau tewas, Nyi"!" jelas Karpan membe-ranikan diri.
"Astaga! Yang betul bicara, Karpan!"
Nyi Sekar buru-buru mendekat, langsung mengguncang-guncang pundak Karpan. Wajahnya tampak cemas. Dan, nada suaranya bergetar. Wanita itu tampak mulai bingung.
"Betul, Nyi"! Aku tidak bohong!" sahut Karpan.
"Di mana" Dan, siapa yang membunuhnya"!"
"Di pasar. Yang membunuh bernama Ki Reksodipuro..."
"Cepat ambil kudaku, Karpan! Tunjukkan pa-daku, di mana mayatnya berada!
Karpan bergegas berlari ke istal kuda di sam-ping rumah besar ini. Dan sebentar saja, dia telah kembali bersama sekor kuda tegap berwarna putih.
Nyi Sekar tampak terburu-buru menaiki kuda yang diambil Karpan.
"Ayo, Karpan! Cepat naik...!"
"Ba", baik, Nyi!"
Dengan setengah tergagap, Karpan melompat ke punggung kudanya. Dan wanita itu pun langsung menggebah kudanya dengan kencang, diikuti Karpan.
Hati Karpan agak khawatir juga. Bagaimana bila Nyi Sekar gegabah, dengan menantang Ki Reksodipuro"
"Nyi... Orang itu berkepandaian tinggi...!" jelas Karpan.
"Aku tidak peduli! Apakah dia manusia atau setan sekalipun!" sentak Nyi Sekar.
"Tapi dia sinting, Nyi! Kelakuannya aneh. Dia bisa membunuh Nyai nantinya!" ingat Karpan lagi.
"Tutup mulutmu, Karpan!?"
"Tapi, Nyi...!"
"Sudah, sudah"! Aku tidak mau dengar lagi!' tukas Nyi Sekar.
Karpan hanya bisa menghela napas sesak. Ha-tinya gelisah tidak menentu. Dalam bayangannya, Nyi Sekar pasti kalap dan melabrak Ki Reksodipuro. Dan..., Mayat Hidup itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Dia pasti akan membunuh Nyi Sekar. Oh! Apa jadinya nanti" Mestikah suami istri ini mati sia-sia"
"Di mana, Karpan!" bentak Nyi Sekar, begitu telah memasuki kawasan pasar.
"Eeehhh...!"
Karpan tersentak dari lamunannya. Namun Nyi Sekar agaknya tidak perlu jawaban. Di satu sudut pasar yang telah porak-poranda, banyak orang berkumpul. Buru-buru wanita ini melompat dan berlari-lari menghampiri. Langsung disibaknya kerumunan orang.
"Oh, tidak! Tidaaak..!" jerit wanita itu ketika melihat jenazah orang yang tengah dikerumuni.
Tanpa terasa airmata Nyi Sekar meleleh mem-basahi kedua pipi, dan jatuh membasahi permu-kaan tanah. Dipeluknya jasad yang mulai membeku dengan hati remuk redam.
"Heh"!"
Seperti tersentak sesuatu, wanita itu terkesiap. Matanya langsung memandang liar ke sekeliling tempat itu. Dan perlahan-lahan dia bangkit mencari-cari sesuatu.
"Mana" Ke mana keparat itu"! Ayo, tunjukkan batang hidungmu...!" teriak wanita itu dengan suara lantang.
"Dia telah pergi, Nyi..." sahut seorang penduduk.
Wanita itu menghampiri dan mencengkeram leher baju laki-laki yang tadi bicara. Wajahnya tampak seram, menyeringai penuh dendam.
"Ke mana dia"!" desak Nyi Sekar.
"Eh! Aku..., aku tidak tahu, Nyi..."
"Katakan! Ke mana dia pergi"!" hardik Nyi Sekar.
Laki-laki itu tampak mulai gemetar ketakutan. Beberapa penduduk desa yang berusia lanjut coba menyadarkannya.
"Nyi, jangan menyalahkannya. Dia memang tidak tahu, ke mana Ki Reksodipuro pergi..."
"Kalian pasti tahu ke mana dia pergi!" teriak wanita itu seraya melepaskan cengkeraman.
Sepasang mata Nyi Sekar liar memandang mereka satu persatu. Beberapa orang coba mendekati. Namun laksana seekor hewan liar yang terluka, wanita itu menggeram dan mengancam.
"Tunjukkan padaku, di mana dia"! Di mana dia"! Akan kubunuh keparat itu! Akan kubunuh dia...!" teriak Nyi Sekar berulang-ulang.
Dan melihat orang-orang desa itu hanya me-mandangi dengan tatapan kasihan, Nyi Sekar ter-paku. Setelah memandang mereka sekilas, wanita ini berlutut. Dan dia kembali menangis terisak seraya mendekap wajah dengan kedua telapak tangan.
"Sudahlah, Nyi. Mari kita pulang untuk mengebumikan Ki Rungkut selayaknya...," ajak Karpan.
Nyi Sekar masih tidak peduli dan terus mena-ngis. Lama Karpan membujuknya, baru wanita itu mau beranjak dan meninggalkan tempat ini dengan membawa jenazah Ki Rungkut.
? *** ? Senja merah mewarnai pelataran Desa Sem-bayan. Seorang pemuda tampak menghentikan langkah kudanya beberapa saat di mulut desa kemudian memandang keadaan di sekelilingnya.
"Desa ini kelihatan sepi...," gumam pemuda berbaju rompi putih ini.
Pemuda yang tak lain Rangga, melangkah beberapa tindak. Sepasang mata dan telinganya dipasang tajam-tajam, mengamati keadaan sekeli-ling tempat ini. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan kudanya yang bernama Dewa Bayu di suatu tempat. Agaknya dia sekarang lebih memilih untuk tidak mengendarai kuda. Bagi Rangga menunggang kuda terlalu lama sama saja akan memanjakan kakinya.
"Hm...," gumam Rangga. Tidak berapa jauh, Pendekar Rajawali Sakti mulai mendengar suara seperti orang-orang yang bergumam. Ramai sekali! Rangga cepat berkelebat disertai ilmu meringankan tubuh. Ketika semakin mendekat, tampak penduduk Desa Sembayan ini berkumpul di satu tempat sambil duduk bersila. Di depan mereka terbaring beberapa sosok tubuh yang tertutup kain panjang. Jelas, para penduduk tengah mengadakan upacara kematian.
"Hm... Beberapa orang mati. Apa yang telah terjadi di sini...?" tanya Rangga dalam hati, begitu menghentikan kelebatan tubuhnya.
Rangga tidak habis pikir melihat keadaan desa ini. Kebetulan saat itu ada dua penduduk desa yang mungkin ketinggalan untuk menghadiri upacara itu.
"Maaf, Kisanak! Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga dengan sopan.
Kedua orang itu tidak langsung menjawab, melainkan memperhatikan pemuda itu dengan seksama.
"Kau bukan penduduk desa ini...?" tanya salah seorang penduduk yang bertubuh gemuk.
"Betul. Aku seorang pengembara?""
"Pantas kau tidak tahu. Seseorang telah datang ke sini dan mengacau. Beberapa penduduk desa tewas di tangannya," jelas laki-laki gemuk ini.
"Siapa orang itu?"
"Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup."
"Oh! Kukira si Bajingan Gunung Merapi....?"
"Ki Reksodipuro justru mengancam. Siapa saja yang berurusan dengan Bajingan Gunung Merapi, akan mampus di tangannya!" jelas laki-laki satunya yang bertubuh kurus.
"Hei, benarkah" Siapa Ki Reksodipuro itu" Apakah dia kawan si Bajingan Gunung Merapi?"
"Tidak ada yang tahu. Namun, Ki Rungkut mungkin mengetahuinya..."
Ki Rungkut" Siapa dia?"
"Beliau orang yang dihormati penduduk desa ini."
"Di mana beliau sekarang?"
"Tewas dibunuh Ki Reksodipuro."
"Astaga! Sungguh keji orang ini. Di mana Ki Reksodipuro itu berada?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada seorang pun yang tahu. Dia datang dan pergi sesuka hatinya. Apakah kau akan menghadapinya, Anak Muda?"
"Sebaiknya tidak usah," sahut yang bertubuh kurus. "Ki Rungkut yang berilmu tinggi saja, mati begitu mudah di tangan iblis itu."
"Mungkin saja aku akan menghadapinya. Tapi tujuan utamaku adalah mencari si Bajingan Gunung Merapi."
"Kalau kau bisa memaksa Ki Reksodipuro, mungkin saja kau bisa mengetahui Bajingan Gunung Merapi itu berada," jawab laki-laki gemuk.
"Ya! Dan itulah persoalan sulit. Aku tidak tahu, di mana Ki Reksodipuro berada...."
"Kenapa tidak tanya Nyi Sekar saja?"
"Siapa Nyi Sekar itu?"
"Istri Ki Rungkut"
"Di mana rumahnya?"
"Jalanlah terus melalui jalan ini. Lalu ketika bertemu persimpangan, beloklah ke kiri. Rumah-nya, agak terpencil dan sedikit jauh dari keramaian Desa Sambayan ini.
"Baiklah. Kalau demikian, aku akan coba tanya padanya. Terima kasih, Kisanak!" ucap Rangga.
"Sama-sama...!"
Rangga langsung berkelebat ke arah yang ditunjukkan dua laki-laki tadi.
? *** ? Kediaman Ki Rungkut ditempuh Rangga dalam waktu singkat, karena Pendekar Rajawali Sakti melesat demikian kencang. Namun setiba di sana Rangga tertegun. Dia melihat seorang wanita tengah bertarung melawan seorang laki-laki bertubuh ceking dengan bagian dada terbuka lebar. Wanita itu bersenjata pedang, sedang laki-laki lawannya menggenggam sebatang tombak yang ujungnya berlekuk-lekuk seperti batang keris.
Rangga segera melangkah lebih dekat untuk mencari tahu, siapa kedua orang itu.
"Keparat terkutuk! Kau tidak akan lolos dari-ku!" dengus wanita berusia setengah baya.
Dari suaranya terasa kalau wanita itu memendam kebencian yang teramat mendalam terhadap lawannya.
"Hek hek hek"! Kau semakin lucu saja. Mana mungkin aku meloloskan din karena aku datang ke sini atas kemauanku sendiri!" sahut laki-laki kurus lawannya.
"Tutup mulutmu! Kau harus menebus kema-tian suamiku sekarang juga!" dengus wanita itu.
"Jadi, si tua bangka Rungkut itu suamimu" He he he"! Kebetulan sekali. Sekarang dia sudah mati. Dan kau sendiri belum terlalu tua. Kalau kau mau, aku bisa menggantikan kedudukannya di tempat tidur!" leceh laki-laki tua kurus yang tak lain Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup.
"Cis! Bajingan kotor, tutup mulutmu!" maki wanita yang tak lain Nyi Sekar. Dan dia semakin geram saja, karena setiap serangan serangannya selalu kandas.
Sementara Mayat Hidup sesekali menghindari serangan lawan dan sesekali menangkis. Padahal, Nyi Sekar telah mengerahkan seluruh kemampu-annya.
"Hm.... Kepandaian wanita itu tidak seberapa. Kalau mau, laki-laki kurus itu dengan mudah menjatuhkannya sejak tadi...," gumam Rangga di balik persembunyiannya.
Sejauh ini, Rangga belum mau ikut campur sebelum tahu benar duduk persoalannya. Meski dari percakapan antara keduanya, Rangga sedikit mengerti apa yang menyebabkan kemarahan wanita itu.
"Ki Reksodipuro! Aku bersumpah akan mem-bunuhmu dengan tanganku sendiri!" bentak Nyi Sekar, garang.
Dan mendengar nama itu Rangga terkesiap.
"Jadi, ini orangnya yang bernama Reksodipuro...?" dengus Rangga. "Dan kalau aku tidak salah duga, wanita itu pasti Nyi Sekar!"
Setelah yakin, Pendekar Rajawali Sakti men-dekati pertarungan. Persis saat itu, terdengar jerit kesakitan. Nyi Sekar tampak terlempar beberapa langkah, jatuh tepat di dekatnya.
"Huh!"
Wanita itu cepat bangkit seraya mendengus geram. Sikapnya hendak menghadapi lawannya kembali.
"Nyi Sekar! Bolehkah aku menyela sedikit pertarungan kalian?" tanya Rangga sopan.
Wanita itu menoleh, dan langsung memandang tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau"!"
"Aku seorang pengembara yang punya urusan dengan Bajingan Gunung Merapi," sahut Rangga, langsung.
"Siapa yang punya urusan dengan Bajingan Gunung Merapi akan mampus di tanganku!"
Sebelum wanita itu menjawab, tiba tiba terdengar si laki-laki kurus tadi membentak.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 166. Bajingan Gunung Merapi Bag. 7 - 8 (Selesai)
29. Januar 2015 um 10:16
7 ? "Dan siapa pun yang menghalangiku untuk meringkusnya, dia boleh mampus!" desis Rangga, dingin.
"Hek hek hek...! Ternyata nyalimu besar juga, Pendekar Rajawali Sakti..."
"Hei" Ternyata kau tahu tentang diriku"
"He he he... Kuakui, namamu dan ciri-cirimu telah terukir dalam dunia persilatan. Tapi berhadapan denganku, kau akan mampus! Jangan mu-ridku yang bukan tandinganmu yang kau lawan!" sindir Ki Reksodipuro.
"Boleh jadi aku akan mampus. Tapi tidak di tanganmu!"
"Tanganku jadi gatal-gatal ingin melihat apakah nama besar yang kau sandang sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!"
Setelah berkata begitu, mendadak Ki Reksodipuro melesat secepat kilat menyerang Rangga.
"Heaaa...!"
Namun, Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat mencelat ke belakang sambil berputaran di udara. Dan begitu mendarat di tanah...
"Tahan dulu...!" bentak Rangga, nyaring.
"Mau apa kau"!"
"Sebenarnya aku tidak berurusan denganmu. Tapi karena kau guru si Bajingan Gunung Merapi, maka kau harus berjanji sebelum kepalamu kupenggal!"
"Setan! Aku yang mengajukan kesempatan pa-damu, sebelum kau mampus di tanganku!" dengus si Mayat Hidup.
"Apa pun itu namanya, kau harus berjanji akan menyerahkan si Bajingan Gunung Merapi bila kau kalah"
"Bocah dungu! Bagaimana mungkin aku bisa menepatt janji padamu, karena aku tidak bakal kalah! Kalaupun bisa kutepati janjiku, maka itu nanti. Setelah seratus tahun lagi aku menyusulmu ke akherat! He he he...!" sahut Ki Reksodipuro, tertawa mengejek.
Dan sebelum Rangga coba mengalihkan per-hatian, si Mayat Hidup kembali melompat menye-rang
"Yeaaa...!"
"Uts! Hup!"
Rangga mencelat ke belakang. Tapi seketika itu juga ujung tombak si Mayat Hidup nyaris merobek tenggorokan kalau edak cepat berkelit ke samping.
Rangga tidak menyangka kalau laki-laki kurus ini mampu bergerak secepat itu. Sehingga untuk berikutnya dia tidak mau gegabah. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan ujung tombak si Mayat Hidup.
"He he he...! Kau coba menguji ilmu tombak-ku, he"! Gurumu saja belum tentu mampu mematahkannya. Apalagi kau yang masih hijau dan mentah!"
Pendekar Rajawali Sakti agaknya mengerti kalau ingin menguji kesabarannya.
"Maaf, Kisanak. Kau masih buta tentang guru ku!" sahut Rangga, enteng.
"Aku tahu semua tokoh-tokoh persilatan," kata si Mayat Hidup sombong.
Ki Reksodipuro kini semakin memperhebat se-rangannya. Ujung tombaknya mengurung Rangga dengan ketat. Sehingga membuat Pendekar Raja wali Sakti sulit mengembangkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dikerahkannya. Bahkan dari angin sambaran tombak si Mayat Hidup, Rangga mencium adanya racun keras yang amat mematikan.
"Keparat! Orang ini ternyata amat licik dan berbahaya!" desis Rangga geram, seraya memindahkan napasnya ke perut.
Sring! Seketika itu juga sambil berkelit menghindar, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan langsung memapak serangan.
Trang! Trang! "He he he...! Kenapa tidak sejak tadi kau cabut pedangmu" Menunggu saat kepepet, he"!" ejek Ki Reksodipuro.
"Tertawalah sampai di neraka sana!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Rangga tidak habis pikir. Selama ini senjatanya tidak pernah luput membabat semua senjata lawan-lawannya. Hanya satu atau dua saja yang mampu menandingi. Dan itu bila senjata senjata lawan memiliki kelebihan pula. Sementara tombak di tangan Ki Reksodipuro ini kelihatan biasa-biasa saja. Bahkan seperti sudah rapuh. Tapi ternyata mampu menahan gempuran pedangnya!
"Kau bingung melihat tombakku?" sahut Ki Reksodipuro seperti mengerti jalan pikiran pemuda itu. "Tombak ini senjata langka yang tercipta dari bebatuan berusia seratus tahun, terpendam dalam lahar mendidih. Kukerjakan bertahun-tahun pula, sehingga berbentuk seperti ini. Tombak ini istimewa. Dan terbukti, pedangmu tidak mampu me mutuskannya!"
Ki Reksodipuro amat bangga dengan senjatanya. Dan kalau bisa, ingin dipamerkannya kepada semua orang. Melihat pemuda ini sama sekali tidak peduli, maka amarahnya meledak ledak.
"Hm, sekarang akan kurobek jantungmu.... Heaaa...!"
*** ? Dengan amarah meluap, serangan-serangan Ki Reksodipuro semakin gencar dan nyaris membuat Pendekar Rajawali Sakti kalang kabut.
Trang! Trang! Beberapa kali Rangga berhasil menangkis. Dan, beberapa kali pula pemuda itu menghela na-pas sesak, melihat ujung tombak si Mayat Hidup merobek-robek sekujur tubuhnya.
Terkadang tombak di tangan Ki Reksodipuro menyerang dengan ujungnya silih berganti. Tapi sering juga salah satu ujungnya dipegang dengan kedua tangan lalu mengepruknya.
"Yeaaat...!"
Senjata Ki Reksodipuro menderu-deru tajam. Kalau sudah begini maka bumi seperti bergetar apabila tombak itu menghantam tanaman. Bahkan pepohonan roboh dihajar senjata itu. Kemana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak, ujung tombaknya selalu saja mengikuti.
"Hhh...!"
Rangga mendengus, lalu melenting ke belakang dengan berputaran beberapa kali. Ki Reksodipuro hendak mengejar. Tapi saat itu juga Rangga telah mendarat seraya menghentakkan kedua tangannya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
"Hiyaaa...!"
Ki Reksodipuro terkesiap, saat selarik cahaya merah menerpanya. Tubuhnya cepat berkelit gesit sambil terkekeh-kekeh.
"He he he"! Baru mau mengeluarkan pukulan andalan" Kenapa tidak dari tadi"!" ejek si Mayat Hidup.
"Hih...!"
Saat itu Ki Reksodipuro menghantamkan tangan kirinya melepaskan pukulan maut. Maka dari telapaknya keluar cahaya merah kekuning-kuningan. Hawa panas yang ditimbulkannya terasa menyengat. Dan apa saja yang diterjangnya hangus terbakar. Sementara Rangga hanya ternganga takjub. Namun dia cepat menggeser tubuhnya, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama ujung tombak si Mayat Hidup kembali meliuk-liuk mengancam jantung dan tenggorokannya.
Cepat bagai kilat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkis.
Trang! Begitu terjadi benturan senjata, Rangga balas menyerang. Tubuhnya melenting ke atas, lalu menukik tajam menyambar leher.
Si Mayat Hidup coba menangkis.
Trang! Namun, ujung pedang itu sempat menyerem-pet pangkal lehernya.
Bret! "Aaakh! Keparat...!" desis Ki Reksodipuro geram.
Si Mayat Hidup menyeringai buas. Dan secepat itu pula telapak tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejak tanah.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting dan berputaran beberapa kali. Begitu serangan lewat dan kakinya mendarat, Rangga telah memasukkan pedangnya ke dalam warangka dengan gerakan mengagumkan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan dengan tangannya. Sebentar tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan, dengan kaki terpentang lebar. Tepat ketika si Mayat Hidup melancarkan serangan, Rangga telah tegak kembali, dengan kedua tangan terselimut cahaya biru berkilauan.
Sementara dari telapak tangan Ki Reksodipuro telah meluncur cahaya kuning kemerah-merahan ke arah Rangga. Dan begitu serangan si Mayat Hidup dekat...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" bentak Rangga nyaring, sambil menghentakkan kedua tangannya. Maka dari kedua telapaknya, meluncur sinar biru terang memapak laju sinar kuning kemerahan.
Jderrr...! "Aaakh...!"
"Hoeeekh...!"
Seketika terdengar ledakan keras. Kedua orang yang bertarung tampak terpental ke belakang disertai jerit kesakitan.
Ki Reksodipuro tampak menggigil. Tombak dalam genggamannya telah terlepas. Sepasang matanya melotot tidak karuan. Sebagian tubuhnya tampak menghitam. Orang itu terus menggigil beberapa saat, sebelum akhirnya diam tak bergerak.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah parah. Dari mulutnya termuntah darah kental kehitam-hitaman. Pemuda itu tampak kepayahan.
"Kisanak, kau tidak apa-apa"!" seru Nyi Sekar yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan dari depan rumahnya.
? *** ? Rangga mengerjap-ngerjapkan bola mata. Pan-dangan matanya terasa kabur. Dadanya terasa nyeri hebat.
"Ohhh...!"
"Jangan bangkit dulu!"
Sebuah tangan dengan jari-jari lentik menahan Rangga yang coba bangkit untuk duduk.
"Siapa kau" Dan, di mana kau...?"
Rangga coba menegaskan pandangan saat me-rebahkan diri.
"Aku Anggraeni. Kau berada di rumahku...."
Pendekar Rajawali Sakti memandang ke seke-liling ruangan yang bersih dan terawat rapi. Kemudian kembali memandang gadis di sisinya. Kali ini dia bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Cantik, berambut panjang, dan sederhana.
"Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Rangga.
"Kami yang membawamu ke sini..."
"Kami siapa?"
"Aku dan ibuku... Nyi Sekar," jelas gadis itu.
? "Ohh?"
Rangga baru mengerti.? Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu.
Bagaimana Ki Reksodipuro .?"
"Dia sudah mati dan dikebumikan dua hari yang lalu?"
"Dua hari yang lalu" Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
"Dua hari. Tubuhmu panas dan sering muntah-muntah. Kau tidur sambil mengigau tidak karuan..."
"Aku mengigau" Mengigau apa?" Gadis itu tidak menjawab ketika Nyi Sekar muncul di ambang pintu. Wajahnya tampak cerah dihiasi senyum kecil. ketika mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Syukurlah kau siuman. Aku khawatir jiwamu tidak tertolong. Tapi daya tahan tubuhmu menga-gumkan sekali. Kubuatkan ramuan obat untuk memperlancar peredaran darahmu. Minumlah," ujar wanita setengah baya itu seraya menyodorkan sebuah cawan berisi ramuan obat.
"Terima kasih..."
Rangga menerima dan langsung meneguknya sampai habis.
"Bagaimana, eh! Maksudku??? Nyisanak telah mengebumikan Ki Reksodipuro?" tanya Rangga.
"Ya," sahut Nyi Sekar, pendek
"Kita harus menyebarkan berita tentang kema-tiannya untuk memancing kehadiran Bajingan Gunung Merapi. Katakan, bahwa Ki Reksodipuro mati di tanganmu. Kalau dia dengar gurunya mati di tanganku, orang itu tidak akan muncul," ujar Rangga.
"Sebaiknya jangan pikirkan hal itu dulu. Kau masih belum sehat betul..."
"Kita tidak punya banyak waktu, Nyi. Semakin ditunda, maka semakin bertambah korban yang ditimbulkan keparat itu!"
Nyi Sekar terdiam. Dia mendesah pelan, lalu berbalik. Matanya kini memandang keluar lewat jeruji jendela.
"Apakah omonganku menyinggung perasaan-mu, Nyi Sekar" Aku minta maaf..."
"Tidak. Justru ucapanmu menggugah hatiku."
Rangga diam tak menjawab. Tampak wanita itu berbalik, lalu kembali menghampirinya.
"Putri bungsuku saat ini mengurung diri terus di kamarnya. Dia berusaha bunuh diri berkali-kali.
"Kenapa?"
"Bajingan keparat itu telah merenggut kehor-matannya!" dengus Nyi Sekar.
"Ohhh...!"
"Kisanak! Aku berharap besar padamu!" kata Nyi Sekar.
"Apa maksudmu, Nyi Sekar?" tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Kau harus membunuh bajingan keparat itu!"
'Tenanglah, Nyi...," ujar pemuda itu lemah ketika melihat wanita itu mulai menampakkan ke geramannya.
"Ibu, sabar. Sabaaar...!"
Anggraeni berusaha menenangkan ibunya.
Pendekar Rajawali Sakti 166 Bajingan Gunung Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyi Sekar menarik napas panjang, lalu menatap lirih kepada pemuda itu.
"Maafkan sikapku. Kejadian ini membuatku hampir gila. Dinar adalah anak yang manis dan lugu. Tapi, keparat itu tidak peduli dan tega betul berbuat begitu padanya...."
"Nyi! Aku telah bersumpah akan membunuh-nya. Tidak usah khawatir!" tegas Rangga.
"Tapi dalam keadaan begini...?"
"Tidah usah khawatir. Aku akan sembuh dalam waktu singkat..." potong Rangga.
"Tapi lukamu cukup parah?"
"Percayalah padaku! Sebarkan saja berita ke-matian Ki Reksodipuro yang tewas di tanganmu. Kuharap dalam satu atau dua hari ini, Bajingan Gunung Merapi akan muncul."
"Baiklah. Aku akan suruh Karpan.
"Siapa dia?" tanya Rangga.
"Orang kepercayaan kami. Sebentar, aku akan memberi perintah padanya sekarang juga!"
Nyi Sekar buru buru beranjak keluar.
"Kasihan Nyi Sekar. Dia tertekan sekali..." desah Rangga.
"Ya! Ibu memang terpukul sejak kejadian itu. Apalagi ketika mengetahui kematian ayah. Jiwanya semakin guncang saja...," sambung Anggraeni.
"Aku lupa! Kau mau menolongku?"
"Apa yang bisa kutolong?"
"Carikan ramuan obat yang berasal dari akar-akaran serta dedaunan. Mudah-mudahan di tempat ini ada," jelas Rangga seraya menyebutkan nama akar-akaran serta dedaunan yang dimaksud.
"Di dekat sungai di belakang rumah kami mudah-mudahan bisa kutemukan," kata Anggraeni.
"Kau bisa meramunya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Sedikit-sedikit...," sahut Anggraeni, malu-ma-lu.
"Tidak apa. Nanti kuajarkan."
"Biar kucari sekarang!" kata gadis itu.
"Boleh juga..."
Gadis itu tidak langsung angkat kaki. Dan ma-tanya melirik Rangga beberapa saat. Lalu dengan langkah ragu, ditinggalkannya ruangan ini.
Rangga menghela napas, kemudian duduk di dipan sambil bersila. Dan kini dia mulai mengatur pernapasan. Sesaat masih terasa nyeri di bagian dadanya. Namun tak lama mulai berkurang.
"Aku bawakan bubur untukmu...!" seru Nyi Sekar yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu, ketika Rangga baru saja menyelesaikan semadinya.
"Terima kasih. Aku tentu amat merepotkan ke-luarga di sini...," ucap Rangga.
"Tidak. Makanlah selagi masih hangat."
Tanpa basa-basi lagi, Rangga menyantap bubur hangat itu dengan lahap. Karena, kebetulan perutnya sudah melilit sejak tadi.
? *** ? 8 ? Waktu terus bergulir. Matahari telah terbenam, dan kegelapan pun mulai menyeruak. Di depan rumah Nyi Sekar, tampak telah berdiri sosok tubuh.
"Nyi Sekar, keluar kau! Kau harus memper-tanggung jawabkan perbuatanmu!" bentak sosok itu garang.
Tidak lama, Nyi Sekar muncul di ambang pintu disertai senyum.
"Ada apa berteriak-teriak di luar rumah orang, Bajingan Gunung Merapi"!" dengus Nyi Sekar.
"Kau tahu akibat perbuatanmu, he"!" hardik laki-laki berkumis tipis yang tak lain memang Ba-jingan Gunung Merapi sambil melangkah mende-kati.
"Perbuatan apa yang kau maksud?"
"Kau telah meracuni guruku! Untuk itu, kau akan mati di tanganku!"
Bajingan Gunung Merapi bermaksud melompat menyerang tapi saat itu juga berkelebat satu sosok bayangan dan mendarat di samping Nyi Sekar. Satu sosok yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Masih ingat padaku, Sobat?"
"Huh! Bagaimana mungkin aku bisa melupa-kan wajahmu yang busuk!" dengus Bajingan Gunung Merapi. "Pantas saja wanita itu berani, rupanya ada kau di belakangnya."
"Kau salah! Dia yang justru berada di bela-kangku. Ketahuilah, gurumu terbunuh olehku!" kata Rangga, langsung memanas-manasi.
"Huh! Omong kosong apa lagi yang hendak kau ceritakan" Guruku tidak mungkin terbunuh oleh orang sepertimu!" sangkal Bajingan Gunung Merapi.
"Kau kira siapa yang menyebar cerita palsu itu" Akulah yang membunuhnya! Kepalanya kutebas dan jantungnya kukorek lalu kumakan!" ejek Rangga lagi makin memanas-manasi.
Bajingan Gunung Merapi mendengus geram. Kalau saja belum merasakan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti mungkin sudah sejak tadi diterjangnya. Tapi untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Kenapa" Kau mulai takut mati, he"! Atau ba-rangkali mau coba-coba kabur dengan cara seperti dulu" Silakan coba. Dan kau akan mampus lebih cepat!"
"Kalau kau mau tahu, aku justru tengah memikirkan dengan cara apa sebaiknya kau kukirim ke neraka!" sahut Bajingan Gunung Merapi, mencoba mengusir rasa kegentarannya.
"Silakan saja, Kisanak!" tantang Rangga.
"Heaaa...!"
Tiba-tiba saja Bajingan Gunung Merapi mencabut kerisnya, lalu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Sring! Pendekar Rajawali Sakti tidak mau kalah sigap Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti untuk menangkis serangan.
Trang! Trang..!
"Uhhh...!"
Bajingan Gunung Merapi mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan senjata. Tangannya terasa gemetar sampai ke ulu hati. Dan berikutnya ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah mengurungnya, meski dia berusaha menghindar.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melenting ke atas. Begitu tubuhnya meluruk kembali, Rangga cepat menyambarkan pedangnya ke arah leher.
Trang! Bajingan Gunung Merapi masih sempat me-nangkis. Bahkan saat Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan susulan lewat tendangan menggeledek, dia masih mampu berkelit, Tapi, tiba-riba ujung pedang Rangga berkelebat menyambar ke arah dada. Begitu cepat serangan ini, sehingga"
Cras! "Aaakh...!"
Bajingan Gunung Merapi yang tadi mencoba melompat ke belakang, namun justru perutnya yang jadi sasaran. Dia menjerit kesakitan. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.
"Hiyaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun. Kembali tubuhnya mencelat menerjang. Dan pedangnya langsung menghantam keris Bajingan Gunung Merapi hingga terpental. Bahkan cepat sekali pedang itu meluruk, menebas leher.
Cras' "Hekh!"
Bajingan Gunung Merapi cuma sempat terpekik sesaat. Dan kepalanya langsung menggelinding. Darah tampak mengucur deras dari lehernya.
Tepat ketika Rangga menjejak tanah sambil memasukkan pedangnya ke warangka di pung-gung, Bajingan Gunung Merapi ambruk di tanah tanpa kepala lagi.
"Ohhh...!"
Mendadak Rangga mengeluh kesakitan. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk
"Kau tidak apa-apa, Rangga...?" tanya Nyi Sekar dengan wajah cemas.
Pendekar Rajawali Sakti berusaha berdiri tegak seraya menarik napas panjang. Kemudian dia mengambil kepala Bajingan Gunung Merapi.
"Tenagaku banyak terkuras. Dan, luka dalam-ku belum sembuh betul. Tapi kalau tidak begitu, aku khawatir dia punya kesempatan untuk menjatuhkanku... "
"Sebaiknya kau istirahat saja dulu di dalam."
"Tidak, Nyi. Terima kasih. Aku telah berjanji pada seseorang untuk membawa kepala bajingan ini padanya. Aku harus memberikan kepadanya sekarang juga!" tolak pemuda itu.
"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas segala pertolonganmu!" Tanpa menunggu jawaban Nyi Sekar, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat meninggalkan tempat ini, walaupun dengan membawa luka dalam.
Nyi Sekar hanya bisa termangu memandang kepergian pemuda itu. Dari dalam rumah perlahan-lahan Anggraeni beranjak keluar mendampingi ibunya.
? *** ? Sementara, seorang gadis tampak tengah du-duk termangu. Tatapan matanya kosong meman-dang kegelapan malam. Penduduk Desa Ben-dungan telah tertidur. Dan sebagian lagi lelap dalam mimpinya masing-masing. Namun mata gadis ini tidak kunjung bisa dipejamkan. Berkali-kali dia menghela napas panjang.
"Kau belum tidur juga, Dara...?" tanya seorang wanita setengah baya seraya mendekati gadis yang ternyata putri satu-satunya. Dia adalah Dara.
"Tidurlah. Hari telah larut malam...."
Gadis itu diam membisu.
"Apa lagi yang menggayuti pikiranmu...?" tanya wanita setengah baya itu seraya beranjak mendekatinya.
Dara menoleh, lalu kembali memandang ke lu-ar lewat celah-celah jendela.
"Dua hari lagi, si Lastri dilamar. Dan sekarang kelihatannya dia mulai bisa melupakan kenangan buruk itu. Kau pun harus demikian. Anggaplah itu suratan takdir yang tidak bisa dielakkan..."
"Iya, Bu. Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan dengan selalu berdoa dan bersabar diri..."
"Lalu apa lagi yang menggelisahkan hatimu?" Gadis ini menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Kemudian dipandanginya wanita setengah baya itu.
"Seseorang telah berjanji akan membawa ke-pala bajingan terkutuk itu ke sini. Aku tengah menunggunya, Ibu...," jelas Dara.
"Kau yakin dia akan berhasil?"
"Entahlah. Semula aku tidak begitu kenal. Tapi sepanjang perjalanan pulang, kudengar kalau ternyata pemuda itu adalah pendekar nomor satu di negeri ini. Dia pasti berhasil!" sahut Dara, yakin.
"Mungkin saja dia berhasil. Tapi, apakah kau yakin dia akan ke sini?"
"Dia baik. Dan..., meski sedikit kaku serta kasar, tapi kurasa dia pasti akan menepati janjinya."
"Jangan terlalu yakin. Kelak kau akan sangat kecewa, kalau ternyata dia tidak kunjung datang."
"Entahlah. Rasanya aku yakin dia akan datang..."
"Sampai kapan kau akan menunggunya?"
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin sampai bosan. Tapi saat ini, aku belum bosan juga..."
Wanita setengah baya itu menarik napas. "Tidurlah, Nduk"," ujar wanita itu.
"Aku akan tidur setelah bertemu dengannya, Ibu...," sahut Dara.
"Sudah berapa lama kau tidak tidur. Bola matamu mulai kelihatan cekung dan wajahmu tampak kusut..."
"Tidurlah Ibu lebih dulu. Aku akan menyusul..."
Wanita setengah baya itu kembali menghela napas. Kemudian dipandangnya Dara beberapa saat, sebelum keluar dari ruangan ini.
Gadis itu menutup pintu rapat-rapat, lalu kembali termangu di depan jendela kamarnya yang terbuka.
Bintang-bintang di langit tampak bercahaya dan udara tidak begitu dingin. Cahaya bulan memantul ke mana-mana. Namun, hati gadis itu terasa gelisah tak menentu. Tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya.
"Rangga... Kau pasti datang menepati janjimu. Datanglah. Aku menantimu siang dan malam. gumam gadis itu lirih."
Belum habis kata-kata gadis itu, mendadak sesuatu melintas persis di depan wajahnya, dan jatuh di bawah jendela bagian luar. Dara terkesiap, lalu cepat melompat mundur. Segera pedang yang terletak tidak jauh darinya disambarnya.
Sring! "Hup!"
Dengan gesit gadis itu melompat keluar, seraya mengibaskan pedang. Namun tak seorang pun yang menyerangnya. Dan di tempat itu tidak ada siapa-siapa, selain seorang penunggang kuda yang diam mematung memperhatikan.
"Siapa kau"! Jangan coba berbuat macam-macam! Atau, pedangku akan menebas lehermu!" hardik Dara.
"Kau lupa padaku, Dara?" sapa penunggang kuda itu.
"Rangga" Benarkah kau itu?" tanya gadis itu dengan hati diliputi kegembiraan.
"Ya! Aku datang untuk menepati janjiku. Bungkusan itu berisi kepala Bajingan Gunung Merapi. Sekarang, kau boleh merasa tenteram. Nah! Aku permisi dulu!" sahut penunggang kuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.
"Tunggu...!"
Dara terkesiap dan coba menahan, namun penunggang kuda itu sudah menggebah kudanya kencang sekali. Dan dia sekejap hilang dari pandangan.
Dara menghentak-hentakkan kaki dengan kesal memandang kepergian Rangga. Meski telah berusaha mengejar, tapi agaknya lari kuda itu lebih kencang ketimbang larinya.
"Kenapa"! Kenapa kau pergi begitu saja, setelah menampakkan diri"! Tidak tahukah kau, apa yang ada di hatiku tentang dirimu?"" keluh Dara, pendek.
Parcuma saja gadis itu diam mematung. Rangga tidak akan datang lagi padanya. Maka dengan langkah lunglai, Dara beranjak meninggalkan tempat Ini, kembali ke kamarnya.
? SELESAI ? Scan by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Runtuhnya Sebuah Kerajaan 2 Pendekar Cambuk Naga Misteri Goa Malaikat Bangau Sakti 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama