Ceritasilat Novel Online

Cakar Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut Bagian 2


Bersama beberapa murid, tamu-tamu, serta kedua putranya, Ki Mugeni ikut berkunjung ke pekuburan. Sikapnya berusaha untuk tidak peduli mendapatkan pandangan sinis murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Bahkan dia berdiri di tempat yang tidak begitu jauh dari Imas Pandini yang saat itu tengah menunduk dengan air mata meleleh pelan-pelan, memandangi dua buah gundukan tanah di depannya.
"Kami ikut berduka atas kematian beliau...," ucap Ki Mugeni, lirih.
Namun gadis itu seperti tidak mempedulikannya. Jangankan menyahut. Menoleh pun tidak.
"Kita memang bermusuhan. Tapi, percayalah.... Bukan hal seperti ini yang kuinginkan," lanjut Ketua Perguruan Pedang Kilat itu.
Imas Pandini diam saja dengan bibir terkatup rapat. Kesedihan hatinya belum lagi larut. Dan meski kata-kata Ki Mugeni cukup menaruh perhatian, tetapi belum cukup mengusiknya.
Ki Mugeni menarik napas panjang, kemudian memberi penghormatan kepada kedua gundukan tanah yang masih baru. Perbuatannya itu diikuti tamu-tamu, kedua putranya, dan murid-muridnya.
Tidak berapa lama setelah memberi penghormatan, mereka meninggalkan tempat itu diikuti pandangan sinis beberapa orang murid utama Perguruan Rebung Koneng.
"Orang-orang licik yang berhati busuk!" dengus salah seorang murid utama yang berada di dekat Imas Pandini.
Gadis itu masih tetap membisu seraya menaburkan lagi beberapa bunga harum pada dua pusara di depannya.
Melihat itu, yang lainnya tidak berani mengusik. Dan, mereka hanya mendiamkan saja, sampai gadis itu berdiri dan mengajak berlalu dari pekuburan.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Imas?" tanya Wiriaraja, salah seorang murid utama Ki Sanjaya.
"Aku akan balas kematian mereka!" dengus Imas Pandini.
"Tapi bagaimana caranya" Kita tidak tahu siapa dia. Juga seandainya tahu, bagaimana mungkin kita bisa membalaskan kematian Guru dan Baladewa" Orang itu berkepandaian tinggi. Seluruh murid dikerahkan, tidak akan mampu meringkusnya," ujar Wiriaraja lagi, bernada putus asa.
"Aku tahu itu, Kakang Wiriaraja."
"Lalu, apa rencana kita?"
"Kita harus pakai akal."
"Maksud Imas?"
"Aku akan minta bantuan Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Imas Pandini mantap.
"Apakah dia bersedia" Bukankah kita sama-sama mendengar dari Baladewa, bahwa beliau tidak akan ikut campur dalam urusan ini?"
"Benar! Tapi sekarang persoalannya berbeda. Baladewa terbunuh. Dan sedikit banyak, adikku pernah mendapat pelajaran darinya. Sehingga boleh dikatakan, Pendekar Rajawali Sakti itu gurunya. Apakah seorang guru akan mendiamkan saja muridnya tewas tanpa sebab-sebab yang jelas?" kilah Imas Pandini, meyakinkan.
"Tapi apa dia mau menerima alasan seperti itu?"
"Aku akan memaksanya!"
"Imas...," kata Wiriaraja, terdengar ragu-ragu.
"Tidak ada cara lain, Kakang. Aku harus meminta pertolongannya. Kalau dia menolak, aku akan terus memaksa!" tegas gadis itu.
Wiriaraja terdiam. Langkah yang akan di ambil putri mendiang gurunya itu mungkin tidak berkenan di hatinya. Tapi seperti yang dikatakan Imas Pandini, mereka memang tidak punya cara lain.
"Baladewa telah berusaha menghubungi kawan-kawan Ayah. Namun tak seorang pun yang bersedia membantu. Mereka telah termakan fitnah yang dilontarkan pihak Ki Mugeni. Kita tidak punya jalan lain, Kakang ..," lanjut gadis itu, menekankan kembali keputusannya.
"Kalau sudah begitu keputusanmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kita memang menyadari tidak mampu melawan mereka dengan kekuatan seperti sekarang," sahut Wiriaraja lesu.
"Terima kasih, Kakang. Kuharap yang lain pun bisa mengerti."
"Aku yakin mereka mengerti. Kapan rencananya kau akan berangkat menemui Pendekar Rajawali Sakti?"
"Hari ini juga!"
"Pendekar Rajawali Sakti sulit ditemui. Bagaimana caranya kau menemuinya?"
"Baladewa menceritakan padaku, bahwa Pendekar Rajawali Sakti pernah mengundang ke tempatnya...."
"Di mana?"
"Istana Karang Setra."
"Istana Karang Setra" Apa maksudnya" Apakah dia panglima di kerajaan itu" Atau, barangkali rajanya?"
"Entahlah. Aku sendiri tak tahu banyak. Siapa pun dia, dan apa pun jabatannya, tidak akan membuat surut tekadku!"
"Aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Pendekar Rajawali Sakti mau membantu kita."
"Terima kasih. Kalau begitu aku bergegas saja. Karang Setra cukup jauh dari sini. Dan sebelum malam, aku harus tiba di sebuah desa untuk menginap," ujar gadis itu, seraya bergegas ke perguruan mereka untuk berkemas.
? *** Menjelang senja rasanya Pendekar Rajawali Sakti akan tiba di Karang Setra. Sehingga, langkah kudanya dipercepat. Tapi begitu melewati tepi sebuah hutan kecil, Rangga tertegun. Di depannya terlihat seorang laki-laki kurus menghadapi keroyokan lima orang. Hebatnya, laki-laki tua itu menghadapi keroyokan itu dengan sebelah tangan saja. Karena tangan kirinya buntung.
"Heaaat!"
Wuuut! Tubuh laki-laki buntung itu bergerak lincah menghindar, lalu balas menyerang. Tapi kelima lawannya agaknya bukan orang sembarangan. Kepandaian mereka cukup tinggi. Terlebih lagi menggunakan senjata golok. Sehingga, cukup membuat orang tua itu kerepotan.
Sementara, Rangga memperhatikan penuh perhatian. Kelihatannya orang tua itu cukup lincah menggunakan tangannya yang tinggal sebelah. Tapi tidak demikian kedua kaki yang kelihatan lemah, seperti orang lumpuh yang terseret-seret.
Mulanya, kelemahan tidak diperhatikan lawan-lawannya. Tapi salah seorang dari mereka agaknya mulai mengamati, setelah serangan pada bagian atas tidak menemui sasaran.
"Serang bagian bawah...!" teriak orang itu mengingatkan.
"Yeaaa!"
Keempat orang lainnya segera menyerang gencar ke bagian bawah tubuh, membuat orang tua itu terkesiap. Karena rahasianya terbongkar, dia berusaha menghindar mati-matian. Tapi memang dasar kedua kakinya tidak mampu bergerak cepat, maka akibatnya mesti ditanggung sendiri. Sehingga....
Plak! "Aaakh...!"
Sebelah kaki orang tua itu kena tersapu salah seorang lawannya, hingga membuatnya mengeluh tertahan. Pada saat itu juga seorang lawan yang lain menyodok perutnya dengan lutut.
Des! "Aaakh...!"
Kembali orang tua itu terpekik dan terhuyung-huyung ke belakang.
"Yiaaat!"
Melihat kesempatan ini dua orang lawan lainnya segera melompat bersamaan. Langsung mereka melepaskan tendangan ke arah orang tua itu. Untung saja, laki-laki buntung itu berhasil menangkis dan langsung mengelak.
Plak! Wut! Tapi pada saat laki-laki buntung itu mengelak, kembali datang satu tendangan kilat dari salah seorang lawannya lagi. Begitu cepat datangnya serangan, dan...
Des! "Aaakh...!"
Laki-laki tua bertangan buntung itu kontan terpekik dengan tubuh terbanting di tanah, begitu tendangan yang sangat cepat tadi mendarat di dadanya.
"Habisi dia!"
Belum juga orang tua itu bangkit, sudah terdengar teriakan bernada perintah dari salah seorang pengeroyok.
"Heaaa!"
"Ohhh...!"
Laki-laki tua bertangan buntung itu terkesiap.
Dan matanya hanya terpejam, pasrah menerima nasib, ketika para pengeroyoknya telah siap menghabisi dengan senjata di tangan.
Tapi saat itu juga....
"Pengecut hina, hentikan perbuatan kalian!"
"Heh"!"
Kelima orang itu terkejut. Namun belum tuntas keterkejutan mereka, berkelebat cepat satu sosok bayangan putih. Dan begitu mereka menoleh, satu sambaran kaki sosok bayangan itu menghantam mereka.
Uts! Dua orang berhasil mengelak. Tapi dua lainnya....
Des! "Akh...!"
Dua pengeroyok kontan tersungkur ketika muka mereka terhantam tendangan sosok bayangan putih itu.
"Kurang ajar! Siapa kau"!" bentak pengeroyok yang agaknya bertindak sebagai pemimpin, ketika tahu-tahu sosok bayangan putih itu sudah mendarat mantap di depannya.
Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya tampak tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tidak perlu tahu! Pergilah kalian!" sahut Rangga dingin dengan tatapan tajam.
"Setan! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa, He" Aku Gagak Lumayung, penguasa Hutan Loyang! Semua orang akan berpikir dua kali bila mengusik urusanku!" ujar salah seorang pengeroyok yang berperawakan besar.
"Dengan siapa pun aku berhadapan, jika di depanku ada ketidakadilan, aku tidak akan tinggal diam!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Keparat!" dengus Gagak Lumayung, menggeram penuh amarah.
Dengan serta-merta Gagak Lumayung memberi isyarat pada anak buahnya. Seketika mereka melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaat!"
Wut! Bet! Beberapa buah golok berseliweran ke arah Rangga, namun mampu dihindari dengan gesit. Pendekar Rajawali Sakti lantas mencelat ke atas, lalu menukik tajam ke bawah. Salah seorang pengeroyok bersiap hendak menebas. Namun sebelum hal itu dilakukannya, kepalan tangan Rangga telah lebih dulu menggedor dadanya.
Begkh! "Aaagkh!"
Orang itu terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Tidak sampai di situ saja tindakan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika salah seorang lawannya menyerang, pemuda itu kembali mengibaskan kaki.
Des! "Oaaakh...!"
Kontan orang itu terjungkal disertai semburan darah segar. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa sesak sekali.
Rangga terus melompat dan berjumpalitan ketika dua golok menebasnya dari arah berlawanan. Begitu berada di udara, dua kakinya terbuka lebar, dan tepat menghantam muka kedua lawan.
Duk! Bug! "Akh.... Akh...!"
Mereka terpekik disertai muntahan darah segar. Keduanya terjungkal bersamaan.
"Yeaaat!"
Baru saja Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Gagak Lumayung melompat menerjang sambil mengayunkan golok tepat ke dada. Namun Pendekar Rajawali Sakti sudah bergeser sedikit ke samping. Kemudian sebelah tangannya menangkap pergelangan tangan laki-laki itu.
Tap! Saat itu juga lutut Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke pangkal lengan Gagak Lumayung hingga golok di tangan lawan terlepas. Dan lutut itu langsung menghantam ke dada.
Des! "Ugh...!"
Kemudian Rangga menyusuli dengan pukulan tangan kiri ke arah leher.
Tak! "Aaagkh...!"
Gagak Lumayung kontan terjungkal ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Dia berusaha bangkit, namun sekujur tubuhnya terasa sakit bukan main.
"Pergilah! Atau barangkali ingin kutambah beberapa kali lagi"!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Ti..., tidak," sahut Gagak Lumayung lirih.
Dia lantas memberi isyarat pada anak buahnya. Dan segera mereka menggotongnya, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tergopoh-gopoh.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dingin seraya mengikuti mereka beberapa saat dengan pandangan matanya. Kemudian dihampirinya orang tua itu untuk membantu berdiri.
"Siapa namamu, Ki" Dan apakah kau tidak apa-apa?" tanya Rangga.
"Aku Linggawisnu. Terima kasih atas bantuanmu, Nak. Kalau kau tidak ada, pasti aku telah terbujur kaku di sini...," sahut orang tua bernama Linggawisnu, lemah.
"Siapa mereka" Dan, kenapa mereka mengeroyokmu, Ki?"
? *** "Ah! Mereka hanya berandalan tengik yang hendak merampas perbekalanku!" umpat Ki Linggawisnu sambil memungut buntalan kain yang sempat tercecer.
"Mudah-mudahan kejadian tadi membuat mereka kapok," gumam Rangga.
"Kalau saja kedua kakiku tidak lemah, mereka tidak akan bisa berbuat seenaknya padaku!" dengus Ki Linggawisnu, penuh kegeraman.
"Kuperhatikan sejak tadi, kau sepertinya sulit menggerakkan kedua kaki. Kenapa kedua kakimu?"
Ki Linggawisnu langsung menyingkap celana hingga ke pangkal paha. Saat itu juga Rangga terkejut ketika melihat pangkal paha orang tua itu hanya tinggal tulang-tulangnya saja, dengan sedikit daging yang kehitam-hitaman.
"Aku terpaksa menotok kedua belah bagian kaki itu agar racunnya tidak menjalar ke mana-mana. Kemudian, dagingnya kukerat sebelum menular ke bagian lain. Tapi itu pun tidak menolong banyak, meski jiwaku selamat. Dan, beginilah jadinya. Seumur hidup aku berusaha melawan racun ganas di kedua kaki ini," jelas Ki Linggawisnu.
"Racun apa gerangan yang membuatmu demikian?"
"Cakar Maut."
"Cakar Maut"!" ulang Rangga sedikit terkejut.
"Kenapa kau kelihatan terkejut" Apakah belum pernah mendengar nama itu?"
"Bukan begitu. Kemarin, aku bertemu seseorang. Dia menceritakan, bahwa Cakar Maut akan datang ke daerahnya," sahut Rangga singkat.
"Celaka! Mereka akan celaka semua...!" sentak Ki Linggawisnu, juga terkejut.
"Celaka bagaimana yang kau maksudkan, Ki?"
"Korban-korban akan berjatuhan di tangannya...!"
Rangga memandang orang tua itu dengan wajah heran.
"Si Cakar Maut selalu mencari korban setiap dua hari sekali, sebagai tumbal dari kepandaiannya yang dahsyat itu!" jelas Ki Linggawisnu.
Rangga mengangguk mengerti.
"Jadi, kau pun pernah bertarung dengannya?" tanya Rangga.
"Ya. Tapi, sayang. Dia dapat mengalahkanku. Orang itu memang hebat!"
Pendekar Rajawali Sakti terdiam beberapa saat Dia terbayang kata-kata Baladewa yang ditemuinya kemarin, yang mengatakan bahwa si Cakar Maut membantu orang-orang Perguruan Pedang Kilat.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Linggawisnu membuyarkan lamunan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kawanku dalam bahaya. Aku harus menolongnya," sahut Rangga, cepat.
"Kau akan menolongnya" He-he-he...! Apa kau sudah bosan hidup, Anak Muda?"
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku saja tidak mampu menghadapinya. Bahkan terpaksa harus kehilangan sebelah tangan, serta kedua kaki yang hampir lumpuh. Apalagi kau! Lebih baik tidak usah cari penyakit dengannya," jelas Ki Linggawisnu, berusaha meyakinkan.
Rangga hanya tersenyum.
"Menurutmu, apakah si Cakar Maut itu tokoh sesat?" tanya Rangga setelah beberapa saat.
"Dia bukan hanya tokoh sesat. Tapi, manusia bejat! Bukan hanya lawan-lawannya saja yang dibantai. Tapi, kawan sendiri pun rela dibunuhnya. Orang itu membunuh tanpa sebab, dan semata-mata menuruti hawa nafsu belaka, selain untuk tumbal ilmu iblisnya itu," sahut Ki Linggawisnu.
"Menurutmu apakah orang sepertinya harus dibasmi walau nyawa taruhannya?"
"Tentu saja! Tapi, hanya orang sinting yang mau berurusan dengannya."
"Tapi, aku bukan orang sinting."
"Kau tidak akan menantangnya, bukan?"
"Mungkin saja. Aku khawatir keselamatan mereka. Dan bisa jadi, aku akan turun tangan bila si Cakar Maut mengusik mereka."
"Mereka" Siapa yang kau maksud?"
"Kawanku itu...."
"Kau memang gila, Anak Muda! Kau akan mengorbankan jiwamu demi seorang kawan?"
"Kebatilan harus dilawan meski nyawa taruhannya. Bila tidak ada yang berani melawannya, maka orang-orang akan terus dilanda bahaya dengan kehadirannya. Harus ada yang bertindak!" sahut Pendekar Rajawali sakti, tegas.
"Kupuji semangat dan keberanianmu. Tapi sebelum bertindak, pikirkanlah baik-baik. Masih ada waktu untuk mempertimbangkan niatmu itu. Cakar Maut bukanlah tokoh biasa. Mungkin saja kau memiliki kepandaian hebat. Tapi, kau bukan tandingannya," kata Ki Linggawisnu, bernada prihatin melihat sikap Rangga.
Rangga tersenyum.
"Terima kasih atas perhatianmu, Ki. Tapi aku akan tetap ke sana."
"Hm.... Kau memang keras kepala. Apa boleh buat" Terserah kamu jika memang niatmu sudah bulat. Aku telah memperingatkanmu."
Ki Linggawisnu itu menggeleng lemah seraya menghela napas panjang.
"Jangan khawatir, Ki. Aku bisa jaga diri," ujar Rangga tersenyum.
"Bagaimanapun, aku berterima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Mudah-mudahan kau selamat."
"Ah.... Lupakanlah, Ki."
*** ? 6 ? Ketika hari sebentar lagi akan gelap, Pendekar Rajawali Sakti memutuskan untuk mampir dan menginap di desa terdekat. Dan bila perjalanannya dilanjutkan, mungkin tengah malam baru akan tiba di Perguruan Rebung Koneng.
Di desa pertama yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti singgah di sebuah kedai makan untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Kedai itu kecil namun cukup ramai pengunjungnya. Dan Rangga mengambil tempat di sudut kanan kedai itu. Saat pandangannya beredar ke sekeliling, Rangga melihat seorang gadis berwajah cantik dengan sebilah pedang dan buntalan kecil yang tengah duduk tak jauh di sebelah kanannya. Melihat senjata itu saja bisa ditebak kalau gadis itu tidak bisa dibuat main-main. Mungkin karena itu pula tidak ada seorang pun yang berani mengusiknya.
"Makan apa, Den?" tanya seorang laki-laki setengah baya dengan nada ramah. Rupanya, dialah pelayan kedai ini.
Rangga menyebutkan pesanannya.
"Aden kelihatan lelah. Habis melakukan perjalanan jauh?" tanya pelayan kedai itu seraya mempersiapkan pesanan pemuda itu.
"Iya," sahut Rangga, singkat.
"Jika bermaksud bermalam, kami memiliki beberapa buah kamar lagi yang bisa disewakan."
"Oh, ya" Terima kasih. Aku memang bermaksud menginap barang semalam."
"Harganya tidak mahal! Mau ke mana tujuanmu, Den?"
"Desa Ganur...."
"Desa Ganur" Apa yang akan kau cari di sana?"
Wajah pelayan kedai itu sedikit kaget ketika mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga jelas dapat mengamatinya, sebab saat itu si pelayan kedai tengah menyediakan hidangan pesanannya.
"Seorang kawan," sahut Rangga singkat.
Bagi Pendekar Rajawali Sakti pelayan kedai ini kelewat ramah, hingga terkesan ingin tahu urusan orang.
"Kelihatannya Aden seorang ahli silat. Sebaiknya hati-hati! Di sana tengah berkecamuk perang antara dua perguruan. Yaitu, Perguruan Rebung Koneng dengan Perguruan Pedang Kilat. Baru saja terdengar berita bahwa Ketua Perguruan Rebung Koneng serta putranya tewas secara aneh!"
"Apa"! Tewas" Siapa nama putra Ketua Perguruan Rebung Koneng itu?"
"Siapa, ya" Ng.... Kalau tidak salah... Baladewa. Ya, Baladewa!"
"Baladewa tewas...?" gumam Rangga tercenung mendengarnya.
"Kenapa" Apakah Aden mengenalnya?"
"Dia kawanku. Siapa yang membunuhnya?"
Belum juga pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti terjawab gadis yang tadi duduk di sebelah kanannya berpaling dan memperhatikannya dengan seksama.
"Entahlah.... Tak seorang pun yang tahu. Kabarnya mereka terbunuh oleh orang bertopeng."
Rangga kembali terdiam. Selera makannya kontan hilang mendengar berita itu. Dan laparnya seketika lenyap entah ke mana.
"Benarkah kau masih memiliki beberapa kamar" Tolong tunjukkan, karena aku bermaksud menginap," pinta Rangga pada si pelayan kedai.
"Eh, benar! Ayo...!" ajak pelayan kedai itu dengan wajah berbinar.
? *** Yang dikatakan kamar, ternyata adalah rumah pelayan kedai itu sendiri yang berukuran cukup besar. Di sana sini terlihat kamar yang bersekat-sekat dengan pintu menuju luar. Sehingga apabila si penyewa hendak keluar, tidak mesti melewati rumah induk.
Ruangan kamar kelihatan kotor dan tempat tidurnya pun tidak kokoh. Sebagian kayunya kelihatan sudah lapuk. Banyak sarang laba-laba yang berada di sudut ruangan. Namun melihat keadaan rumah-rumah penduduk yang tadi dilewati, rasanya pondokan seperti ini memang sudah memadai. Tak satu pun rumah-rumah penduduk di sini mengesankan kalau mereka tergolong orang mampu.
Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti akan merebahkan diri....
Tok! Tok! "Siapa?" tanya Rangga dari dalam kamar.
Tak terdengar jawaban. Rangga menyangka mungkin si pelayan kedai itu yang akan membawakan sesuatu baginya. Entah bantal yang bagus, atau air minum. Buru-buru dia bangkit dan membukakan pintu. Kini tampak seraut wajah yang tidak diduga muncul, dengan kepala tertunduk.
"Nisanak siapa" Dan ada keperluan apa denganku?" tanya Rangga, setelah mengamati sosok di depannya.
Ternyata, dia adalah gadis cantik yang tadi duduk di bangku kedai sebelah kanan Rangga. Perlahan-lahan, gadis itu mengangkat wajahnya.
"Kisanak... Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu, berkesan hati-hati.
"Benar. Siapa Nisanak ini?" sahut Rangga, kemudian balik bertanya.
"Aku Imas Pandini. Kakak Baladewa," jawab gadis yang ternyata Imas Pandini, putri Ketua Perguruan Rebung Koneng yang telah meninggal dunia itu.
"Oh, benarkah"!"
Imas Pandini mengangguk. Lalu dia melangkah masuk, ketika pemuda itu mengajaknya ke dalam dan menutup pintu kembali.
"Eh! Ng..., kau mendengar cerita pelayan kedai itu, bukan?"
Imas Pandini mengangguk.
"Apakah itu benar?"
Gadis itu kembali mengangguk.
"Siapa yang membunuhnya?"
*** Imas Pandini tidak langsung menjawab. Wajahnya tampak muram, dan bola matanya berkaca-kaca.
"Maaf, aku tidak bermaksud membangkitkan kedukaanmu," ucap Rangga, pelan.
"Tidak apa-apa," sahut gadis itu seraya menyeka air matanya yang mulai bergulir di pipi.
Rangga mendiamkannya beberapa saat.
"Mungkin kehadiranku tidak pantas di sini. Dan mungkin juga akan menuduhku perempuan rendah. Tapi aku sungguh-sungguh membutuhkan pertolonganmu...!" kata Imas Pandini dengan suara serak bercampur isak tangis halus.
"Aku tidak menganggapmu begitu. Percayalah! Pertolongan apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku ingin agar kau mencari pembunuh adik dan ayahku itu. Dan, membalaskan dendam kami...!" pinta gadis itu dengan suara bergetar.
Imas Pandini menatap penuh harap pada pemuda di depannya. Bola matanya tampak berair, seperti ingin memastikan jawaban pemuda itu sekarang juga.
"Kau harus membantu kami! Aku tidak mau dengar bila kau menolaknya. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk menuntut balas atas kematian mereka berdua!" desak gadis itu dengan suara sedikit lantang.
"Tapi, Imas! Aku...."
"Tidak! Aku tidak mau dengar penolakanmu! Apa pun yang kau inginkan, akan kupenuhi. Asal, kau memenuhi keinginanku!" tukas Imas Pandini cepat.
"Tenanglah, Imas...."
"Aku tidak akan tenang, sebelum kau mengabulkan permintaanku!" potong gadis ini cepat.
Suara Imas Pandini terdengar mulai keras. Sehingga, Rangga jadi tidak enak hati, khawatir bila ada yang mencurigai mereka berdua dalam satu kamar.
Dan benar saja! Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang demikian tajam mendengar suara mencurigakan di balik dinding depan kamarnya. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga beranjak disertai ilmu meringankan tubuhnya ke dinding. Lalu....
Salah satu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat menampar dinding yang dicurigai.
Plak! "Adooouw!"
Tiba-tiba terdengar seseorang menjerit dari arah luar. Dan Imas Pandini yang semula tak mengerti maksud Rangga, jadi kaget. Isak tangisnya mendadak berhenti, berganti dengan perasaan terkejut.
"Ayo kita keluar!" ajak Rangga.
"Ke mana?"
Pendekar Rajawali Sakti tidak menjawab, melainkan bergegas keluar. Sementara Imas Pandini mengikutinya dari belakang. Mereka masih sempat melihat si pengintip tadi lari tunggang-langgang, tapi Rangga tidak mempedulikannya.
Begitu berada di luar, Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Sebentar saja, tampak kuda hitam bernama Dewa Bayu menghampiri.
"Kau berkuda?" tanya Rangga, begitu Dewa Bayu di sisinya mendengus-dengus kecil.
"Eh, ya...!" sahut Imas Pandini.
"Ambillah. Kita akan melakukan perjalanan malam ini juga!"
"Ke mana?"
"Kenapa bertanya lagi" Tentu saja ke tempatmu."
"Oh, sungguhkah" Kau bersedia menolong kami"!" seru gadis itu dengan wajah gembira.
Rangga mengangguk.
Gadis itu setengah berlari mengambil kudanya. Sementara, Rangga kembali menemui pelayan kedai pemilik rumah sewaan itu. Setelah membayar secukupnya, dia menunggu Imas Pandini.
"Kenapa buru-buru, Kisanak" Kamar belum lagi dipakai?" tanya si pemilik kedai, yang ternyata mengikuti Rangga dari belakang.
Rangga tidak menjawab. Tapi begitu melihat Imas Pandini menghampiri, pemilik kedai merasa maklum.
"Kalau cuma untuk itu, ada kamar tertutup yang bisa kusediakan, Kisanak," ujar si pelayan kedai sambil mesem-mesem.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga sinis.


Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, bukankah kalian akan mencari tempat yang aman agar tidak terganggu...?" kata si pelayan kedai.
Sring! Imas Pandini langsung mencabut pedang. Dan, cepat sekali ujungnya menempel ke tenggorokan pemilik kedai itu.
"Sekali lagi bicara kotor, akan kutebas lehermu!" dengus gadis itu geram.
"Eh! Ampun..., ampun, Nisanak! Aku tidak bermaksud begitu. Ampunkan kelancanganku...!" ratap si pemilik kedai, langsung mengkeret hatinya.
"Huh!"
Gadis itu masih mendengus, meski pedangnya telah disarungkan kembali.
"Kisanak! Sebaiknya kau jangan sering-sering berpikir buruk begitu. Jagalah mulutmu, dan jangan asal bicara!"
"Eh, ba... baik."
"Ayo, Imas. Kita bergegas!"
Gadis itu mengangguk. Dan segera melompat ke punggung kudanya. Dan dia segera menggebah tunggangannya, ketika Pendekar Rajawali Sakti telah berjalan cukup jauh.
? *** Imas Pandini masih merasa takjub mendengar dan melihat kesediaan pemuda itu membantunya. Apakah karena terharu melihatnya" Atau, barangkali memang telah berniat sejak semula" Ingin rasanya hal itu ditanyakannya. Namun, dia khawatir kalau pemuda itu mengurungkan niat gara-gara itu.
Hari telah malam, ketika kedua anak muda itu telah jauh dari desa yang disinggahi tadi. Dan sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti diam saja. Tidak ada yang dibicarakan, sehingga membuat gadis itu jadi salah tingkah.
"Kau lelah?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.
"Eh, apa"!" Imas Pandini terkesiap.
Rangga tersenyum.
"Kau lelah?" ulang Rangga.
"Tidak," sahut gadis itu singkat.
"Sebentar lagi malam semakin larut, hawa dingin akan bertambah."
"Kalau kita berkuda cepat, maka sebelum tengah malam akan sampai," jelas Imas Pandini.
"Kau yakin tidak lelah?" tanya Rangga lagi, ingin memastikan.
"Tidak. Aku masih kuat...!" sahut gadis itu cepat.
Tiba-tiba gadis itu menoleh. Langsung dipandangnya pemuda itu dengan muka kasihan.
"Atau barangkali kau yang lelah?" tanya Imas Pandini.
Rangga kembali tersenyum seraya menggeleng.
"Tidak."
"Maaf, aku amat merepotkanmu," ucap gadis ini lirih sambil menunduk.
"Tidak."
"Aku ingin agar persoalan ini cepat selesai."
"Menurutmu, siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan terhadap mereka?"
"Aku tidak bisa menduga. Tapi mungkin saja pihak Perguruan Pedang Kilat."
"Bagaimana luka mereka" Apakah akibat senjata tajam. Atau...."
"Tidak! Mereka luka akibat cakaran. Mengerikan sekali...! Seperti cakar seekor harimau besar," potong Imas Pandini cepat, memberi penjelasan.
"Hm...." Rangga mulai menduga-duga.
"Kenapa" Apakah kau bisa mengenali luka seperti itu?"
"Belum."
"Apakah tidak mungkin orang yang memiliki serangan khas seperti itu adalah si Cakar Maut?"
"Cakar Maut" Dia telah berada di sana?"
"Ya! Almarhum ayahku telah mengatakan kalau dia memiliki ilmu silat hebat dan tak tertandingi...!"
"Aku pernah dengar itu."
Imas Pandini melirik Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayahku juga mengatakan, bahwa kau hebat."
Rangga tersenyum.
"Itu bohong. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa mati seperti yang lainnya," sahut Rangga merendah.
"Apakah itu berarti kau tidak yakin bisa mengalahkan si Cakar Maut?"
"Kenapa kau menanyakannya?"
"Entahlah. Pada malam terbunuhnya Ayah, kami tengah bercakap-cakap. Ayah kelihatan gelisah. Sudah tiga malam beliau bermimpi buruk. Banyak hal yang kami bicarakan. Tentang si Cakar Maut, juga tentangmu. Sebelum akhirnya, orang bertopeng itu muncul dan mengacaukan segalanya," jelas Imas Pandini.
"Dia menggunakan jurus cakar...?"
"Kelihatannya begitu. Dia mampu menahan pedang ayahku dengan jari-jarinya," lanjut Imas Pandini.
"Orang itu pasti memiliki tenaga dalam hebat...," gumam Pendekar Rajawali Sakti.
"Kelihatannya begitu," tambah Imas Pandini, pelan.
Kedua anak muda itu terdiam beberapa saat.
"Kalau boleh kutahu, apa penyebab pertikaian perguruanmu dengan orang-orang Pedang Kilat itu?" tanya Rangga.
"Entahlah, kami tidak tahu pasti. Hanya saja, ketika pada suatu malam di desa ada keramaian, murid-murid Perguruan Pedang Kilat yang saat itu ada di sana, menyalahkan murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Mereka mengatakan, salah seorang dari pihak kami memukul murid Perguruan Pedang Kilat. Tapi ketika ayahku mendesak muridnya untuk berkata jujur, ternyata murid itu berani bersumpah kalau tidak pernah mengusik siapa pun. Sejak itu, pertikaian kecil-kecilan sering terjadi," jelas Imas Pandini.
"Sebelum itu apakah ada suatu peristiwa yang penting antara kedua belah pihak?" desak Rangga, semakin tertarik.
"Memang ada."
"Apa itu?"
"Beberapa bulan sebelumnya, Ki Mugeni datang dan bermaksud melamarku untuk putra tertuanya. Tapi, Ayah menolaknya."
"Dan kau?"
"Semula aku tidak tahu apa alasan Ayah. Tapi setelah beliau mengatakannya, aku baru mengerti dan bisa menerima keputusan beliau."
"Kalau boleh kutahu, apa alasan ayahmu?"
"Ayah mengatakan, mereka bukan keturunan baik-baik. Terlebih lagi, putra Ki Mugeni yang hendak dijodohkan padaku. Yaitu, Brajadenta yang tengah berguru pada tokoh sesat, si Cakar Maut. Ayah tahu, si Cakar Maut dengan ilmu iblisnya itu bisa menimbulkan malapetaka bagi siapa saja," jelas Imas Pandini.
"Ayahmu benar. Dia punya alasan kuat."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Aku bertemu seseorang yang menjadi korban ilmu si Cakar Maut. Dia cerita banyak tentang tokoh sesat itu. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Baladewa."
"Dia tentu akan gembira kalau mengetahui kau memenuhi permintaannya."
"Sayang.... Anak itu telah tiada...," ucap Rangga, getir.
Imas Pandini terdiam. Dan perasaan sedih itu kembali menyelinap ke hatinya. Rangga bukannya tidak menyadarinya, ketika melihat bola mata Imas Pandini yang berkaca-kaca diterangi sinar rembulan.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih," ucap Rangga, lirih.
"Tidak apa," sahut Imas Pandini.
Mereka kembali terdiam. Dan yang terdengar hanya derap langkah kuda yang berjalan pelan. Namun ketika salah satu ada yang hendak bicara....
"Awaaas!" Tiba-tiba Rangga berteriak sambil mendorong tubuh Imas Pandini di sebelahnya.
"Ohhh...!"
Imas Pandini terjungkal dari punggung kudanya. Sedang Pendekar Rajawali Sakti sendiri menjatuhkan diri ketika satu sosok bayangan menyambar ke arah mereka dengan cepat.
Siuuut! Begitu sambarannya gagal, sesosok bayangan tadi berbalik cepat. Dan kali ini sasarannya semakin jelas. Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaat...!"
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " . 163. Cakar Maut Bag. 7 - 8 (Selesai)
18. Januar 2015 um 07:14
7 ? Rangga cepat bagai kilat melenting ke belakang untuk menghindari terjangan sosok bayangan hitam yang terus menyerangnya. Bahkan baru saja kakinya menjejak tanah, satu kibasan tangan menderu ke dadanya. Cepat Rangga menangkis.
Plak! "Hah"!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika merasakan tangannya seperti menghantam sebatang besi. Rangga mengkertak rahang, ketika sosok itu telah menyerangnya kembali dengan cepat dan ganas.
Plak! Plak! Wuuut! Dua hantaman lawan berhasil ditangkis Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan kini Rangga balas menyerang dengan menyodokkan kepalan tangan kanan ke dada. Namun sosok berbaju hitam dengan topeng sebagai penutup wajah itu melompat ke belakang dengan gesit meski Pendekar Rajawali Sakti melanjutkan serangan dengan tendangan kaki kiri.
"Heaaat...!"
Disertai bentakan nyaring, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat mengejar sosok bertopeng hitam itu. Sesaat terjadi saling serang dan tangkis pada jarak dekat dengan cepat sekali. Dari situ, Pendekar Rajawali Sakti bisa menyadari kalau kedua tangan sosok berbaju hitam itu membentuk cakar yang kelihatan keras. Bahkan tercium bau racun ganas yang sempat menusuk hidung. Maka buru-buru pernapasannya dipindahkan ke perut.
"Hih!"
Kini sosok bertopeng kain hitam itu melepaskan pukulan jarak jauh yang amat cepat dan dahsyat. Tampak dua larik sinar kekuningan meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti disertai angin menderu tajam.
"Uts! Sial...!" desis Pendekar Rajawali Sakti, seraya menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan.
Bukan saja pukulan itu cepat luar biasa. Tapi, juga mengandung racun hebat luar biasa. Baunya menusuk hidung, serta hawa panas menyengat menjadi pertanda kalau pukulan itu mengandung racun ganas. Bahkan batang pohon yang terkena pukulan itu seketika ambruk. Daun-daunnya dengan cepat menjadi layu dan kering.
"Heat!"
Begitu melenting bangkit, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali". Saat itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka melesat dua sinar berwarna merah bara dan berhawa panas.
Namun, sosok berpakaian serba hitam ini agaknya tidak gentar mendapat serangan dua cahaya merah yang bergerak cepat ke arahnya. Tubuhnya langsung melenting ke udara.
Tapi, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyerangnya dari jarak dekat. Barulah, orang bertopeng itu benar-benar terkejut. Dalam keadaan di udara, mana mungkin bisa menghindar. Apalagi serangan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar cepat. Akibatnya....
Begkh! "Akh...!"
Orang bertopeng itu menjerit tertahan begitu dadanya terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya kontan melayang ke belakang. Tapi, dia masih sempat mematahkan lontaran tubuhnya dengan berjumpalitan. Kemudian dia mendarat di tanah dengan bahu turun naik dengan cepat. Itu menandakan pernapasannya kacau akibat pukulan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Hebat juga kau! Tapi, tidak usah sombong! Sebab, aku masih memberi kesempatan padamu untuk hidup!" dengus orang bertopeng itu.
"Kisanak! Aku tidak mengerti bicaramu. Tapi yang jelas hidup matiku tidak tergantung padamu," sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.
"Keparat! Rupanya kau benar-benar sombong!" desis orang bertopeng itu langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan kilat.
"Huh!"
Rangga mendengus sinis, bersiap menangkis serangan. Begitu serangan mendekat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat.
Plak! Plak! Bet! "Uhhh...."
Pendekar Rajawali Sakti sadar, kalau kali ini orang bertopeng itu bermaksud menjatuhkannya. Maka untuk itu Rangga pun telah bersiaga. Ketika kedua tangan orang bertopeng terpentang hendak menyambar ke arahnya, dia menjatuhkan diri sambil bergulingan.
"Hup! Yeaaa...!"
Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting, dan langsung berjumpalitan dua kali ke atas. Kemudian tubuhnya menukik tajam menyerang orang bertopeng laksana seekor Rajawali yang hendak menerkam mangsa.
Orang itu kelihatan agak gugup. Dan sebisanya, dia menangkis.
Plak! Baru saja orang bertopeng itu menangkis, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengayunkan sebelah kaki. Masih untung dia mampu mencelat ke belakang. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti yang sudah makin gemas terus mengejar dengan satu hantaman dahsyat yang tak terelakkan lagi.
Begkh! "Aaakh...!"
Orang bertopeng itu mengeluh kesakitan ketika kepalan Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dadanya dengan cepat. Tubuhnya terus meluncur. Namun begitu mendarat di tanah, dia langsung berkelebat melarikan diri. Sebentar saja, tubuhnya lenyap dalam kegelapan malam.
"Kenapa diam saja"! Orang itu pembunuh Ayah dan adikku!" seru Imas Pandini merasa gemas, melihat pemuda itu mendiamkan saja lawannya lolos.
"Tenang saja, Imas! Tenanglah," ujar Rangga seraya menangkap pergelangan tangan Imas Pandini yang hendak mengejar orang bertopeng itu.
"Kau membiarkan dia lepas begitu saja" Padahal, orang itu ada di depan hidungmu sendiri"!" desis gadis itu jengkel.
"Imas, tenanglah! Dia akan datang lagi padamu. Percayalah! Dia akan datang lagi!" sentak Rangga berulang-ulang.
"Huh!"
? *** Imas Pandini bersungut-sungut kesal seraya memalingkan wajahnya. Hatinya masih jengkel dan tidak mudah hilang begitu saja meski menyadari kalau memang tidak berhak memaksa pemuda itu.
Tetapi dia yakin, orang bertopeng tadi adalah pembunuh ayah serta adiknya. Dan, bukankah untuk urusan itu pemuda ini datang ke tempatnya"
"Dia terluka dalam akibat pukulanku. Akan kita selidiki, siapa orang di balik topeng itu. Kalau dalam sehari atau dua hari tidak muncul, maka berarti memang dia pembunuh Ayah dan adikmu. Tapi kalau dia muncul pada malam berikutnya, berarti bukan dia pembunuh yang kita cari," jelas Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kudanya.
Imas Pandini mengikuti, dan tidak banyak bicara.
"Maaf, mungkin kau sangat kecewa padaku. Tapi kita tidak boleh salah membunuh orang," lanjut Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
Imas Pandini masih diam membisu. Dan itu membuat Rangga jadi tidak enak hati.
"Kedatanganku kali ini atas undanganmu. Kalau saja Baladewa masih ada, aku mungkin masih bisa menekan rasa sungkan. Tapi kali ini, kaulah tuan rumahnya. Biarlah kuselesaikan ini dengan caraku sendiri. Dan rasanya, tidak perlu kau menjadi tuan rumah bagiku."
Gadis itu menoleh. Dan wajahnya tampak murung.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa asing."
Imas Pandini tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan tertunduk lesu.
"Aku tahu, kau sedih dan juga kesal melihat sikapku tadi. Tapi selain alasan yang telah kukatakan tadi, kita pun harus mempertimbangkan akibat-akibat lain. Mungkin dia menjebak, atau memancing. Dan kalau itu benar, maka sia-sialah kedatanganku ke sini...," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah.... Soal itu aku tidak marah. Maafkan sikapku kalau tidak menyenangkanmu."
"Tidak apa...."
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Sebentar lagi kita sampai," ujar gadis itu membuka pembicaraan kembali.
"Di depan itu?" tunjuk Rangga ke arah sebuah bangunan bertingkat yang seluruhnya dipagar rapat oleh kayu-kayu setinggi dua tombak. "Ya."
Wajah Imas Pandini berkerut heran begitu memasuki halaman perguruan. Saat ini, malam sudah larut. Tapi, murid-murid Perguruan Rebung Koneng kelihatan sibuk. Sementara cahaya obor dari halaman begitu banyak. Gadis itu buru-buru ke dalam. Beberapa murid terkejut, namun segera menarik napas lega begitu mengetahui siapa yang muncul.
"Ada apa" Kenapa kalian berkumpul tengah malam begini?" tanya Imas Pandini.
Pertanyaan gadis itu sedikit terjawab, ketika melihat beberapa sosok mayat bergelimpangan yang dikumpulkan di satu tempat. Buru-buru menghampirinya. Dan wajahnya pun kembali terkejut.
"Siapa" Siapa yang melakukan perbuatan keji ini"!" desis Imas Pandini seraya memandang murid-murid Perguruan Rebung Koneng yang berada di dekatnya.
"Orang bertopeng itu, Den," sahut salah seorang dari mereka.
"Bangsat terkutuk itu"! Dia datang lagi" Jahanam...!" desis Imas Pandini memaki.
Wajah gadis itu berubah kelam. Hawa amarah telah menguasai isi dadanya. Napasnya terasa sesak. Namun begitu, dia masih berusaha untuk menahan diri.
"Den Imas...," sapa salah seorang murid.
"Hm, ya. Ada apa?"
"Banyak murid yang merasa takut. Mereka..., mereka bermaksud pergi esok hari," lapor murid itu.
"Pergi" Kalian akan meninggalkanku seorang diri, setelah peristiwa ini"!" seru gadis itu dengan suara nyaring.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng menunduk ketika Imas Pandini memandangi satu-persatu.
"Di mana kesetiaan kalian" Apakah nyali kalian telah ciut menghadapi tantangan seperti ini"!" lanjut gadis itu.
Tidak ada seorang pun yang berani angkat kepala dan buka mulut. Semuanya tertunduk, membisu. Sementara gadis itu masih bersungut-sungut kesal.
"Biar aku bicara pada mereka," kata Rangga pelan.
"Terserah kamu saja...."
"Kisanak semua." Pendekar Rajawali Sakti mulai bicara pada mereka. "Kehadiranku di sini adalah atas kehendak Imas Pandini. Adapun tujuannya, agar aku membantu mengatasi petaka yang menimpa orang-orang di sini. Untuk itu, aku berharap kalian mau bekerja sama. Jika kalian ketakutan, maka mungkin saja keinginan orang itu berhasil. Yaitu, memang sengaja menakut-nakuti murid Perguruan Rebung Koneng. Dan, akhirnya kalian berpecah-belah. Itukah yang diinginkan Ki Sanjaya" Tentu tidak, bukan" Telah banyak yang menjadi korban. Dan kita harus membalasnya. Agar mereka yang telah mendahului tidak mati sia-sia."
Rangga mengakhiri kata-katanya, kemudian memandang mereka satu-persatu. Sepertinya, dia hendak meyakinkan bahwa kata-katanya tadi bisa menyadarkan semangat mereka yang kendor untuk berkobar kembali.
"Orang bertopeng itu memiliki ilmu tinggi. Dan kami tidak ada harapan untuk bisa meringkusnya. Apalagi membunuhnya," sahut salah seorang murid bernada lesu.
"Hanya satu orang. Sedangkan jumlah kita banyak. Lantas, apakah tidak mungkin bisa meringkusnya?"
"Itu telah dicoba. Dan hasilnya, malah Ki Sanjaya dan Baladewa tewas, ditambah beberapa murid lainnya. Lalu belum lama orang itu muncul, dan menewaskan beberapa murid lainnya. Apakah ini berarti kita akan menyediakan diri sebagai korbannya secara percuma?"
"Tidak! Kita akan melawannya. Dan aku akan membantu kalian!"
"Apa yang bisa kau bantu" Guru kami saja tewas di tangannya."
"Tidakkah kalian tahu, siapa pemuda ini"!" teriak Imas Pandini dengan suara nyaring.
Semua murid Perguruan Rebung Koneng terdiam. Dan memang sebenarnya tak seorang pun yang tahu siapa pemuda yang bersama putri almarhum Ki Sanjaya itu.
"Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti! Pernahkah kalian mendengar nama itu?"
"Pendekar Rajawali Sakti" Benarkah..."!"
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng itu terkejut. Dan di antaranya saling bergumam dengan suara ribut seperti kawanan lebah.
"Bagaimana keputusan kalian sekarang?" tanya Imas Pandini.
? *** "Apakah dia yakin bisa mengalahkan orang bertopeng hitam itu?" tanya salah seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
"Ya! Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan iblis bertopeng hitam itu?" tanya yang lain mengikuti.
"Aku telah melihat sendiri. Dan dia mampu mengalahkannya! Sebelum tiba di sini, kami dihadang orang bertopeng hitam itu. Dan dia terlibat pertarungan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu kemudian kabur, setelah Pendekar Rajawali Sakti menghajarnya!" sahut Imas Pandini, mantap.
"Oh, maaf!" tukas Rangga cepat, "Apa yang dikatakan Imas memang benar. Tapi, itu bukan berarti aku menjanjikan mampu mengalahkannya. Aku hanya berusaha. Dan itu harus dibantu kalian semua. Karena seperti kalian juga, aku adalah manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Bila tidak ada kerja sama di antara kita, maka aku akan sulit bekerja sendiri. Tapi bila kalian membantu, segalanya akan terasa ringan dan mudah!"
"Apa yang kau katakan benar! Kami akan mendukungmu!" sahut satu suara.
"Ya! Kita akan mendukungnya! Lagi pula ini adalah persoalan kita. Kita harus mendukungnya!" sambut yang lain.
Kemudian serentak semua murid Perguruan Rebung Koneng memberi dukungan satu-persatu.
Imas Pandini tersenyum haru. Diajaknya dua orang murid Perguruan Rebung Koneng serta Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruangan utama. Sedang, yang lain membereskan mayat-mayat kawannya yang tadi masih berserakan.
"Kakang Wiriaraja telah gugur secara ksatria. Maka, kalian berdua kuanggap sebagai murid utama. Oleh sebab itu yakinkan sekali lagi pada murid-murid lainnya agar mereka bersatu. Kita tidak boleh berpecah-belah. Orang-orang Pedang Kilat memang menginginkan hal itu!" ujar Imas Pandini, begitu berada di dalam ruangan utama.
"Akan kami usahakan, Den!" sahut salah seorang murid utama.
"Bagus, Setiaki dan Darmaja! Ingat! Mereka tidak boleh mati sia-sia!" Imas Pandini kembali menegaskan.
Dan kedua murid utama itu mengangguk cepat.
"Lalu langkah apa yang akan kita lakukan sekarang, Den?" tanya murid yang dipanggil Darmaja.
Imas Pandini menoleh kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga pun agaknya cepat tanggap.
"Begini, Darmaja," kata Pendekar Rajawali Sakti. "Seperti yang tadi dikatakan Imas, aku memang telah berhadapan dengan orang bertopeng itu. Kurasa setelah mengacau di sini, dia menghadang kami berdua. Jarak kami dengan tempat ini sedikit jauh. Mestinya dia harus kabur ke tempat utara. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Orang bertopeng itu berlari ke selatan!" tuding Rangga.
Kedua orang itu berpikir sebentar. Demikian pula halnya Imas Pandini.
"Tahukah kalian, apa yang ada di selatan sana?"
"Itu tempat Perguruan Pedang Kilat...!" seru Imas Pandini.
"Nah! Aku pun berpikir begitu."
"Apa maksudmu?"
"Kurasa bukan hanya aku yang berpikir, bahwa semua ini ada kaitannya dengan permusuhan kalian berdua. Sebab yang menjadi sasaran hanya perguruan ini...."
"Ya! Aku tidak mendengar kehebohan penduduk di sekitar desa ini akibat ulah orang bertopeng itu!" sahut murid utama yang bernama Setiaki.
"Nah! Berarti kecurigaan pertama kita tujukan pada mereka!"
"Lalu tindakan kita?" tanya Imas Pandini.
"Apakah pertandingan yang pernah disebutkan Baladewa padaku kini menjadi batal?"
"Tidak jelas. Tapi dengan adanya kejadian yang menimpa kami, agaknya mereka tidak pernah mempersoalkan itu lagi," sahut Setiaki.
"Kalau begitu pergilah besok pagi-pagi sekali ke tempat mereka. Katakan, pertandingan itu kita laksanakan esok hari!"
"Tapi...."
"Jangan memotong dulu, Imas!" sahut Rangga cepat "Aku tahu, mungkin kau khawatir siapa yang akan menghadapi mereka. Aku yang akan menggantikan Ki Sanjaya melawan Ki Mugeni. Aku juga yang akan menggantikan Baladewa, serta aku juga yang akan menggantikanmu untuk menghadapi lawanmu!"
"Itu tidak bisa! Aku harus menghadapi lawanku sendiri!" tukas Imas Pandini.
"Imas! Jangan salah menilai. Aku tidak bermaksud merendahkan kemampuanmu. Dengan cara seperti itu, aku ingin memancing kemarahan mereka. Bukan tidak mungkin si Cakar Maut pun akan turun tangan. Saat itu akan kulihat, apakah memang dia orang bertopeng itu atau bukan!" jelas Rangga.
"Bagaimana cara mengenalinya?"
"Aku mengenali dari jurus-jurusnya. Juga, pancaran matanya. Dan yang lebih penting, aku telah membuat ciri khusus padanya."
"Apa itu?"
"Goresan luka di lehernya. Itu kulakukan dengan kuku. Dan luka seperti itu tidak mudah hilang meski kecil dan kelihatan tak berarti!"
Imas Pandini mengangguk. Dan diam-diam dia merasa bersalah, karena tadi tidak percaya terhadap rencana Rangga yang melepaskan orang bertopeng itu. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ini urusan antara kami dan mereka. Ki Mugeni tentu tidak suka orang lain ikut campur tangan," kata Imas Pandini.
"Kenapa tidak kau katakan kalau aku pamanmu?"
"Ki Mugeni tahu semua saudara ayahku."
"Kalau begitu, katakan saja aku saudara ibumu!"
"Itu lebih tidak mungkin. Sesungguhnya, antara almarhumah Ibu dan Ki Mugeni masih ada pertalian saudara meski jauh. Tapi, itu tidak membuat Ki Mugeni tak mengenal saudara-saudara almarhumah ibuku. Dia mengenalnya dengan baik."
"Kalau begitu, katakan saja aku calon suamimu!" sahut Rangga enteng.
Wajah gadis itu seketika bersemu merah mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa sadar, dia jengah sendiri sambil menundukkan kepala.
"Benar! Aku setuju!" sahut Setiaki.
"Ya. Aku pun setuju. Brajadenta pasti akan geram bukan main mendengar ini!" timpal Darmaja.
"Nah! Bagaimana, Imas?" tanya Rangga.
"Ya, terserah saja," sahut gadis itu, pelan.
*** ? 8 ? Ki Mugeni sama sekali tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih itu mengalahkan dua murid utamanya dengan mudah. Bahkan kurang dari satu jurus. Dan yang lebih membuatnya tidak habis pikir, pemuda itu pun mampu mengalahkan Santang Praja. Juga, dengan waktu singkat!
"Siapa lagi yang akan melawanku?" tanya pemuda tampan berambut panjang yang memakai rompi putih itu, seperti hendak memancing kemarahan lawan.
Brajadenta yang duduk di sebelah Ki Mugeni menggeram sinis. Kalau saja ayahnya tidak melarang, ingin rasanya dia turun tangan menghadapi pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Biar aku yang memberi pelajaran padanya!" sahut Ki Rampengan alias si Cakar Maut yang sejak tadi sudah mengepal-ngepalkan kedua tangan menahan geram.
"Belum saatnya, Ki. Biar aku saja yang menghadapinya," sahut Ki Mugeni, langsung bangkit dan mengambil pedangnya.
Ketua Perguruan Pedang Kilat itu melangkah lebar ke halaman perguruan seraya menatap tajam-tajam Pendekar Rajawali Sakti. Jelas dia amat geram pada pemuda yang dinilainya angkuh ini. Berani-beraninya mengajukan diri sebagai lawan tunggal untuk menghadapi mereka semua! Dan yang membuat hatinya panas adalah, ketika murid-murid Perguruan Rebung Koneng yang hadir di tempat itu, bersorak-sorai gembira begitu melihat Rangga menjatuhkan lawan-lawannya.
"Sialan. Kau boleh lebih dulu, Anak Muda!" dengus Ketua Perguruan Pedang Kilat itu.
"Kau lebih tua dariku, Ki. Silakan!" ujar Pendekar Rajawali Sakti yang sudah menggenggam pedang yang disodorkan salah seorang penyelenggara pertandingan ini.
Tanpa basa-basi lagi Ki Mugeni menyerang Rangga dengan mengerahkan kepandaiannya. Pedangnya langsung berkelebat menyambar.
"Heaaa!"
"Uts!"


Pendekar Rajawali Sakti 163 Cakar Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga cepat mengelak dengan menggeser kakinya ke samping seraya mengibaskan pedangnya untuk menangkis serangan.
Trang! Wut! Baru saja senjata mereka beradu, pedang Pendekar Rajawali Sakti berkelebat menyambar ke arah leher. Ki Mugeni terkesiap. Cepat-cepat tubuh diputar. Namun pedang pemuda itu terus mengikutinya. Bahkan saat dia melompat untuk menjatuhkan diri, Pendekar Rajawali Sakti mengikuti gerakannya. Dan tahu-tahu, telah menghunuskan pedang ke leher.
Maka cepat Ki Mugeni memapak senjata pemuda itu.
Trang! Namun pedang Pendekar Rajawali Sakti terus berputar, dan kembali ke tempat semula mengancam leher.
"Ini pertandingan jujur, Ki Mugeni. Kalau tidak, akan kutebas lehermu sejak tadi!" desis pemuda itu.
Ki Mugeni mengeluh tertahan dengan wajah pucat menahan malu. Di depan sekian banyak muridnya, dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Bahkan ujung pedang mengancam lehernya.
Hal itu tidak terlalu mengherankan. Sebab melalui dua murid sebelumnya, serta setelah berhadapan dengan Santang Praja, Rangga lebih banyak tahu ciri khas ilmu silat lawan-lawannya yang memang bersumber dari Ki Mugeni. Sehingga tidak sulit baginya untuk mematahkan perlawanan mereka.
"Akulah lawanmu, Keparat! Heyaaa...!"
Dalam pada itu, Brajadenta segera melompat seraya membentak nyaring.
Wut! Pendekar Rajawali Sakti cepat mendorong tubuh Ki Mugeni, dan langsung mengibaskan pedang menyambut serangan. Tapi dengan lincah Brajadenta berkelit. Dan dia bermaksud meneruskan serangan. Namun sebelum dilakukan, Pendekar Rajawali Sakti telah lebih dulu bergerak menyerang.
"Heaaa...!"
"Hup!"
Brajadenta coba bertahan dan balas menyerang. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Dia terus menyerang dengan gencar. Ujung pedangnya berkelebatan cepat menyulitkan Brajadenta. Putra tertua Ki Mugeni itu menggeram, kemudian melompat tinggi. Begitu berada di udara, cepat tubuhnya meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan kedua tangan terpentang setelah melempar pedang.
"Yeaaat!"
"Hm.... Kau mau mempergunakan jurus "Cakar Maut?" Baik, akan kuladeni apa kemauanmu!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, kedua tangan yang membentuk cakar itu mencoba menyambar dada dan leher Rangga. Namun dengan gesit, Pendekar Rajawali Sakti menangkisnya.
Plak! Plak! Bahkan Rangga balas menyerang seraya menyodokkan kepalan tangan kanan. Kemudian cakar tangan kirinya menyambar leher Brajadenta.
"Apa kau kira hanya kalian saja yang bisa bangga dengan jurus "Cakar Maut?" aku pun mampu melakukannya! Sesungguhnya orang-orang yang memiliki jurus "Cakar Maut" seperti kalian, hanyalah pengecut-pengecut yang bersembunyi di balik topeng!" desis Rangga mengejek.
"Keparat! Akan kutunjukkan padamu, bagaimana kami mengurus bedebah sombong sepertimu!" dengus Brajadenta semakin geram.
? *** Brajadenta bermaksud mendesak Rangga dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya. Namun hal itu ternyata tidak mudah. Sebab Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawan yang mudah dikalahkannya begitu saja.
Kini Brajadenta baru sadar kalau jurus "Cakar Maut" yang dibanggakannya tidak mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, jurus yang membuat kedua tangannya sedikit menghitam dan berhawa racun ganas itu sangat mematikan, bila mengenai anggota tubuh lawan. Dan Pendekar Rajawali Sakti agaknya mengetahuinya. Sehingga dengan gesit mampu menghindar, lalu balas menyerang lewat tendangan-tendangan gencar.
"Hih!"
Rangga melompat ke atas menghindari sambaran kedua cakar Brajadenta.
Dan bersamaan dengan itu, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti menyambar ke arah dada. Brajadenta berkelit ke belakang. Namun, Rangga ternyata bergerak berputar. Lalu, kakinya yang satu lagi menghantam muka Brajadenta dengan telak.
Diegh! "Aaakh...!"
Putra Ki Mugeni itu mengeluh tertahan, dan berusaha agar tidak roboh.
"Hea!"
Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya terus melesat mengejar. Tangan kirinya merobek baju lawan di bagian leher.
Brettt! Kemudian Rangga cepat menyusuli dengan kepalan tangan kanan yang menghantam dada.
Begh! "Aaah...!"
Brajadenta terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar akibat luka dalamnya. Beberapa giginya rontok dan berdarah. Demikian pula dari lubang hidungnya, akibat tendangan Rangga. Bahkan membuat tulang hidungnya patah.
"Itu belum seberapa dibanding kekejianmu terhadap Perguruan Rebung Koneng!" desis Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak orang-orang yang melihat pertandingan itu terkejut.
"Kau adalah orang bertopeng yang menyerang kami tadi malam! Aku kenali tatapan matamu, dan jurus-jurusmu. Aku kenali juga goresan di lehermu yang tidak kau sadari! Kau mungkin saja pembunuh keparat yang menyebabkan kematian Ki Sanjaya dan Baladewa, serta beberapa murid Rebung Koneng lainnya!" lanjut pemuda itu lantang, begitu kembali menatap Brajadenta.
Mendengar itu murid-murid Perguruan Rebung Koneng jadi heboh. Mereka berteriak-teriak marah. Sedang Ki Mugeni dan murid-muridnya terkesiap. Untuk sesaat, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Selamanya mereka yang mempelajari jurus "Cakar Maut", selalu meminta korban darah untuk kelanggengan ilmunya. Dan di tempat ini, cuma kau dan gurumu yang celaka itu! Kalian berdua telah mencari korban terhadap orang-orang Perguruan Rebung Koneng, karena di antara kalian memang telah ada pertikaian!" teriak Pendekar Rajawali Sakti lantang.
"Bocah keparat! Kau kira bisa berlagak jago dengan cara-caramu itu" Boleh jadi kau bisa menjatuhkan mereka. Tapi kepadaku, jangan coba-coba!" dengus si Cakar Maut yang agaknya sudah tidak bisa menahan sabar lagi.
Sejak tadi Ki Rampengan alias si Cakar Maut memang sudah marah dan gusar melihat kelakuan pemuda yang dianggapnya sombong dan besar mulut. Hanya saja, dia masih merasa malu dan sedikit segan pada Ki Mugeni serta beberapa tamunya. Dia merasa sebagai tamu yang sungkan bila ikut campur dalam pertandingan ini. Tapi dengan adanya sindiran-sindiran tajam yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti, membuatnya seperti punya alasan untuk tampil ke arena pertandingan. Bahkan tubuhnya langsung berkelebat menyerang Pendekar Rajawali Sakti!
"Heaaa...!"
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Cakar Maut tidak dapat dielakkan lagi. Ki Rampengan menyerang dengan cepat. Agaknya dia ingin menjatuhkan Pendekar Rajawali Sakti secepatnya, agar orang-orang yang berada di tempat itu menyadari siapa dirinya sebenarnya. Namun si Cakar Maut jadi kecewa sendiri, sebab pemuda yang menurut perkiraannya mudah ditaklukkan, ternyata cukup gesit. Bahkan mampu mengimbangi gerakannya. Hal ini tentu saja membuatnya semakin geram saja.
"Hih! Mampus kau, Bocah Gendeng!" dengus si Cakar Maut, geram sambil menghentakkan tangan kanannya ke depan.
Dalam pada itu, Ki Rampengan telah melepaskan pukulan maut yang berbentuk cahaya kuning. Cahaya itu terus melesat cepat ke arah Rangga disertai aroma busuk yang menyengat hidung.
"Awas! Racun...!" teriak orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.
Segera orang-orang itu berdesak-desakan mundur dan menjauhi arena pertarungan.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas sambil mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru berkilauan.
Sring! Glaaar! Pukulan Ki Rampengan yang luput dari sasaran, menghantam salah satu batang pohon hingga hancur berantakan. Daun-daunnya langsung kering dan layu dalam waktu singkat. Tentu saja hal itu mengagetkan mereka yang menyaksikan.
"Astaga! Pendekar Rajawali Sakti akan binasa di tangannya!" seru seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
Imas Pandini yang mendengar seruan itu diam membisu dengan hati penuh harap dan cemas. Kalau saja pemuda itu tewas, dia pasti akan merasa bersalah. Sebab, persoalan ini sama sekali tidak ada sangkut-paut dengannya!
Sementara itu Rangga sama sekali belum merasa terdesak oleh serangan gencar si Cakar Maut. Dia masih mampu berkelit lincah ke sana-kemari.
"Ki Rampengan! Ajalmu sudah di depan mata. Apakah kau tidak ingin mengakui dosa-dosa yang telah kau lakukan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
"Bocah busuk! Bicara apa kau"! Kaulah yang akan mampus di tanganku!"
"Hm.... Jurus "Cakar Iblis" yang kau miliki memang terkenal. Dan menurut sebagian orang memang sangat hebat! Tapi aku belum melihat kehebatannya, selain perbuatanmu yang pengecut dan menyerang pihak lawan dengan menggunakan topeng. Tapi, jangan kira tidak ada yang mengetahui perbuatan busukmu!"
"Bocah gendeng, bicaramu semakin ngawur! Barangkali karena ajal akan menjemputmu sebentar lagi!" desis Ki Rampengan, berusaha mendesak dengan serangan-serangan gencar.
Kedua tangan si Cakar Maut perlahan-lahan berubah merah membara laksana bara api hingga sebatas siku. Raut mukanya pun memancarkan bias menggiriskan laksana iblis neraka. Dengan kedua tangan terpentang dan muka berkerut geram penuh amarah, dia bermaksud merobek-robek Pendekar Rajawali Sakti dalam waktu singkat.
"Heaaa...!"
? *** Kembali Ki Rampengan menghentakkan tangan kanannya. Maka kembali sinar kuning ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan melenting ringan Rangga mampu menghindarinya. Dan akibatnya pagar kayu di halaman luar rumah Ki Mugeni hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh itu. Sudah barang tentu hal ini semakin membuat Ki Rampengan geram bukan main.
"Bocah busuk! Apakah kebisaanmu hanya menghindar seperti monyet"! Ayo, lawan aku kalau memang mampu!" bentak Ki Rampengan alias Cakar Maut.
"Sayang sekali, apa yang ingin kulawan darimu" Aku hanya ingin berhadapan dengan tokoh yang telah membunuh Ki Sanjaya dan Baladewa. Kata orang, dia hebat dan sakti mandraguna. Bila berhadapan dengan orang itu, tentu akan puas sekali hatiku," sahut Rangga, berusaha untuk terus memancing kemarahan.
"Keparat! Aku mampu membuat kau mampus seperti si tua Sanjaya dan putranya itu!"
"Kau mampu melakukannya seperti orang bertopeng itu" Silakan saja...!" cibir Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Rampengan adalah tokoh yang berwatak kasar dan mau menang sendiri. Maka mendengar pemuda itu menganggap enteng dirinya, sudah membuatnya gusar sekali.
"Kalau kau mau tahu, akulah orang bertopeng yang kau maksudkan! Aku yang membunuh si Sanjaya dan putranya itu!" ujar Ki Rampengan lantang.
Dan tanpa sadar dia telah membuka kedoknya sendiri.
"Kau" Mana mungkin" Apakah berarti muridmu tidak ikut andil" Sebab, aku yakin dia yang menyerangku tadi malam, setelah memporak-porandakan Perguruan Rebung Koneng."
"Huh! Apa pedulimu"! Yang jelas, si Sanjaya mampus di tanganku. Demikian pula putranya. Dan kau pun akan mampus di tanganku!" desis si Cakar Maut geram.
"Begitukah...?" sahut Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum dingin.
Kemudian mendekatkan pedang pusakanya ke wajah yang saat itu penuh perbawa!
"Cakar Maut! Aku telah bersumpah akan membunuh mereka yang telah membunuh Baladewa. Bersiaplah menjemput ajalmu!" desis Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Bocah keparat! Kesombonganmu akan berakhir di tanganku!" bentak Ki Rampengan geram seraya melompat menyerang.
"Hih!"
Rangga tidak berdiam diri. Tubuhnya langsung berkelebat menyambut serangan.
Pedang Pusaka Rajawali Sakti bergerak menyambar pinggang. Namun dengan gesit, Ki Rampengan mengelak dengan bergerak ke atas. Tapi saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya melepaskan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali", dalam jarak dekat.
Dan pukulan yang bergerak cepat, membuat si Cakar Maut kelabakan. Dengan susah payah dia menjatuhkan diri ke bawah. Dan saat itu juga senjata Pendekar Rajawali Sakti menyambar secepat kilat.
Crasss! "Aaakh...!"
Ki Rampengan kontan memekik keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada. Dan Pendekar Rajawali Sakti tak memberi ampun lagi. Langsung dikirimkannya satu tendangan keras ke arahnya.
Des! "Aaa...!"
Nyawa si Cakar Maut langsung melayang dari tubuhnya, sebelum mencapai tanah.
"Guru...!"
Bersamaan dengan itu Brajadenta terkejut dan berteriak keras seraya menghampiri mayat gurunya. Wajahnya tampak kalap. Amarahnya menggelegak ketika melihat gurunya telah menjadi mayat. Seketika dia berpaling dan langsung melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau harus mampus keparat! Yeaaat...!"
Tapi Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Tubuhnya cepat berkelebat menyambar dengan pedangnya, menyambut kedua tangan Brajadenta yang terpentang membentuk cakar. Dan...
Brues! "Aaa...!"
Pemuda itu memekik keras. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di perutnya yang terkoyak lebar akibat tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti. Masih sempat dia memandang penuh dendam ke arah Rangga dengan kedua tangan meregang, sebelum akhirnya diam tidak berkutik.
Rangga termangu sesaat. Dan dia masih belum sadar sepenuhnya setelah Ki Mugeni dan yang lainnya merubungi mayat Brajadenta dengan bersimbah air mata.
Pendekar Rajawali Sakti baru tersadar, ketika melihat Imas Pandini ikut dalam kerumunan. Gadis itu berjongkok memandangi mayat Brajadenta. Wajahnya tampak muram dan sedih.
Trek! Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan pedangnya di punggung. Masih sempat dia bertatapan dengan Imas Pandini yang memandang kosong. Lalu pelan-pelan gadis itu kembali memandangi mayat Brajadenta. Tidak ada sedikit pun yang menunjukkan pernyataan terima kasih terhadap Pendekar Rajawali Sakti yang telah membunuh dua orang yang telah banyak membunuh murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Bahkan yang telah menyebabkan kematian adik serta ayahnya!
Rangga melangkah pergi tanpa menghiraukan mereka diiringi pandangan mata beberapa murid Perguruan Rebung Koneng. Dia tidak peduli, apakah gadis itu senang atau benci tindakannya. Kalau ternyata Imas Pandini tidak suka, toh hal itu tidak membuat hatinya merasa bersalah. Karena gadis itu sendiri yang memintanya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang pembunuhan terhadap ayah dan saudaranya, serta beberapa orang murid Perguruan Rebung Koneng. Dan Rangga yakin, di lubuk hati Imas Pandini yang paling dalam, terselip rasa cinta terhadap Brajadenta, pemuda yang hendak melamarnya itu.
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
? ISTANA TULANG EMAS?
? ? Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 7 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Naga Pembunuh 18

Cari Blog Ini