Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila Bagian 2
"Kurang ajar! Apa katamu, he"!"
"Bukankah kau takut padaku, sehingga perlu berlindung di belakang seorang gadis tidak berdaya dengan menyanderanya?" ejek Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau kira aku takut denganmu" Phuih! Seribu orang sepertimu akan kuhabisi dalam sekejap mata!" bentak Kamajaya dengan wajah berkerut geram.
"Kalau begitu lepaskan dia. Dan, hadapi aku," sahut Rangga tenang.
"Phuih! Kau coba mengakaliku, he"!"
"Nama Pendekar Suling Emas begitu menjulang. Tapi sejauh ini, belum kubuktikan kehebatannya. Kalau ternyata nama itu tidak sepadan keadaan sebenarnya, sudah tentu amat memalukan."
"Kalau begitu, kau boleh menunggu kematianmu, sementara aku bersenang-senang dengan gadis ini!" ujar Kamajaya terkekeh kecil.
"Sayang sekali, aku tidak bisa menunggu...," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian memungut sebilah pedang yang mungkin milik salah seorang mayat yang tergeletak di dekatnya.
"Aku tidak peduli, kau akan menyandera gadis itu atau tidak. Dan aku juga tidak peduli, kau menjadikannya tameng bagi seranganku. Yang jelas, kau hanyalah seorang pengecut!" lanjut Rangga, langsung melompat menyerang.
"Kurang ajar!"
Mendengar kata-kata pedas itu, panas juga telinga Kamajaya. Apalagi ketika Rangga langsung melompat menyerang. Mungkin apa yang dikatakannya benar. Dia sama sekali tidak peduli bila gadis ini celaka. Dan bila menjadikannya perisai, hanya akan merepotkannya saja. Tapi yang terpenting, tentu saja, dia tidak ingin disebut pengecut.
"Huh! Akan kulihat, sampai di mana kebenaran bacotmu itu, Setan!" desis Pendekar Suling Emas seraya mendorong gadis itu.
Gadis manis ini jatuh terjerembab. Namun, hatinya lega. Maka buru-buru dia bangkit menghampiri orangtuanya.
"Oh! Kau tidak apa-apa. Nak...?" tanya laki-laki tua itu, khawatir.
"Tidak, Ayah. Aku..., aku hanya takut..."
"Maafkan Ayahmu yang tidak berguna ini. Nak. Aku tidak mampu melindungimu dengan baik...," ucap orangtua itu, masghul.
"Ayah, apakah tidak sebaiknya kita segera pergi selagi mereka berkelahi....?" usul gadis itu.
"Ya! Memang sebaiknya begitu!" sahut laki-laki tua ini.
Orang tua itu sempat melirik ke arah pertarungan, sebelum akhirnya buru-buru kabur bersama putrinya.
Sementara itu, pertarungan berlangsung seru dan cepat Pendekar Suling Emas, berkali-kali mendengus geram. Hatinya kesal bukan main. Betapa tidak" Sampai saat ini dia belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, perlahan-lahan serangannya ditingkatkan. Bahkan akhirnya telah mengerahkan jurus-jurus andalannya.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang tidak bergeming sedikit pun, masih mampu mengimbangi serangan dengan mantap.
"Heaaat...!"
Sekali lagi, Pendekar Suling Emas berusaha mendesak. Dan kali ini suling yang dijadikannya senjata berusaha menerobos pertahanan Pendekar Rajawali Sakti, mengincar ke jantung. Namun, hal itu tidak mudah dilakukannya. Pedang di tangan pemuda berbaju rompi putih ini mampu bergerak cepat, menangkis semua serangannya. Bahkan balas menyerang dengan hebat.
Sambil mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" untuk menjajaki kepandaian lawannya. Rangga meliuk-liukkan tubuhnya dengan indah. Dan tiba-tiba, pedangnya terhunus menyambar batok kepala Kamajaya. Namun Pendekar Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya. Pada saat yang bersamaan, satu tendangan keras menghantam dada. Kamajaya masih mampu berkelit. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi serangan susulan yang begitu cepat lewat kakinya yang satu lagi. Dan...
Duk! "Hugkh...!"
? *** ? Pendekar Suling Emas menjerit kesakitan, begitu pinggangnya terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah. Dengan cepat dia bangkit Wajahnya tampak memerah menahan malu, sekaligus amarah.
"Kurang ajar! Kau akan rasakan balasanku, Keparat!" dengus Kamajaya.
"Tidak usah banyak bicara. Seandainya kau memang menjual, aku siap membeli," sahut Rangga, tenang.
Kamajaya menggeram. Lalu dia melompat menerjang sambil membentak nyaring.
"Yeaaa...!"
Trang! Bet! Suling di tangan Pendekar Suling Emas meluncur, mengancam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa mengalami kesulitan. Rangga menangkisnya dengan mantap. Dan ketika Kamajaya menyodok perutnya lewat satu tendangan keras, tubuhnya berkelit ke samping dan balas menyikut muka.
"Uhhh...!"
Kamajaya mengeluh kaget. Nyaris wajahnya jadi sasaran hantaman Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak membungkuk dan bergeser ke samping. Hebat! Bersamaan dengan itu Kamajaya masih sempat mengebutkan ujung senjata ke dada Rangga. Tapi secepat kilat, tangan kiri Rangga menangkapnya.
Tap! "Hiiih!"
Saat itu juga Rangga menarik suling. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya berkelebat menyambar leher Pendekar Suling Emas. Bukan main kagetnya Kamajaya melihat keadaan itu.
"Yaaap!"
Terpaksa Pendekar Suling Emas melepaskan sulingnya kalau mau selamat Dan seketika itu pula dia melompat ke belakang. Tapi begitu serangannya gagal, maka secepat itu pula Rangga jungkir balik mengejar seraya melakukan tendangan kilat Dan...
Begkh! "Aaargkh...!"
Dan untuk kedua kalinya serangan itu tak dapat dielakkan. Kamajaya jatuh tersungkur disertai jerit kesakitan. Dia berusaha bangun dengan wajah berkerut menahan sakit Namun tahu-tahu sesuatu menahan gerakannya, ternyata ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti telah menyentuh lehernya! Sekali lagi Kamajaya dibuat kagum. Betapa tidak" Ternyata Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat bergerak. Bahkan sebelum dia sempat menyadari!
"Tetap di tempatmu kalau ingin hidup lebih lama...!"
"Eh, oh...."
"Tidak usah takut Aku bukan pembunuh kejam. Kecuali kalau kau memaksa...," ujar Rangga ketika melihat wajah Kamajaya pucat ketakutan.
Bahkan suaranya nyaris tidak keluar dari kerongkongan.
"Apa..., maumu?" tanya Kamajaya.
"Bukankah kau sudah tahu?"
"Eh! Tapi..., tapi aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya. Apa kau datang untuk membalas dendam...?"
"Boleh juga dibilang begitu. Berapa banyak wanita yang telah menjadi korban lelaki hidung belang sepertimu?" tanya Rangga, dingin.
"Eh! Aku..., aku...."
"Lima, tujuh, atau barangkali dua puluh..."!"
"Eh! Ng..., aku...."
"Mungkin lebih dua puluh. Tapi masih ada kesempatan bagimu untuk bertobat," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik membelakangi Kamajaya. Lalu, dilemparkannya suling di tangannya.
"Pergilah! Dan, jangan ulangi perbuatan bejadmu itu. Kalau tidak, aku akan datang menagih nyawamu!"
Pendekar Suling Emas cepat memungut suling, lalu bangkit perlahan-lahan. Dalam keadaan begitu saja, dia bisa membokong Pendekar Rajawali Sakti. Namun itu tidak dilakukannya. Memang sebagai seorang tokoh silat yang sedikit banyak telah berpengalaman, dia tahu betul kalau pemuda di depannya ini pasti bukan tokoh sembarangan.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang menghampiri kudanya. Namun tangannya masih menggenggam pedang, tetap menjaga kewaspadaannya.
"Hup!"
Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Lalu dihampirinya Pendekar Suling Emas setelah melihat bapak dan anak yang ditolongnya telah pergi dari tempat ini.
"Ingat baik-baik pesanku tadi...," ulang Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Kamajaya, tidak mempedulikan kata-kata pemuda itu.
"Untuk apa" Kau masih penasaran?"
"Hari ini aku kalah. Tapi lain waktu, aku akan mencarimu untuk menebus kekalahan hari ini!" tandas Pendekar Suling Emas.
"Hm.... Terlalu banyak manusia keras kepala sepertimu di dunia ini. Seharusnya kubunuh saja sekarang juga."
"Kalau memang kau pengecut, bisa saja melakukannya sekarang juga. Aku memang kalah dan tak bakal menang. Tapi dengan begitu, aku tahu kalau kau memang penakut. Takut oleh pembalasan yang kulakukan kelak terhadapmu!" dengus Kamajaya.
Rangga tertawa kecil mendengar ocehan pemuda itu. Sama sekali amarahnya tidak terpancing oleh pemuda itu. Namun begitu dia tetap mengangguk dan mengabulkan keinginan Pendekar Suling Emas.
"Kisanak, dengan senang hati tantanganmu kuterima. Tapi bila sekali lagi kau berhadapan denganku, maka saat itu hanya ada dua kemungkinan bagi kita. Kau atau aku yang bakal mampus! Nah! Kau boleh mencari Pendekar Rajawali Sakti nantinya...!"
Setelah berkata begitu. Rangga menggebah kudanya. Hewan berbulu hitam itu berlari kencang, meninggalkan suara derap yang keras serta debu mengepul di udara.
"Pendekar Rajawali Sakti..." Pantas saja...!" desis Kamajaya termangu.
Pendekar Suling Emas memandang Pendekar Rajawali Sakti sampai hilang di tikungan jalan. Lalu dia menarik napas panjang. Wajahnya tampak tegang dan bibirnya menyungging senyum sinis.
"Huh! Peduli kau iblis dari perut bumi sekalipun, Kamajaya akan membalas dendam! Tunggu saja! Kau akan merasakan akibatnya berani mengusik-usikku!" dengus Pendekar Suling Emas menggeram.
? *** ? Sore baru saja berganti. Dan malam belum lagi pekat. Namun manakala angin bertiup, terasa begitu dingin menyengat sampai ke tulang sumsum. Suasana seperti ini membuat orang-orang enggan keluar rumah. Mereka lebih memilih berkerumun di tempat tidur, atau bercakap-cakap sambil menghirup kopi panas dan singkong rebus.
Namun keadaan seperti itu tidak berlaku bagi sesosok tubuh berpakaian kuning. Dia melompat ringan sekali, melewati dahan-dahan pohon. Lalu tubuhnya melenting gesit bagai seekor tupai, kemudian hinggap di genteng rumah. Dan dia terus mencelat ke genteng rumah lainnya. Arah yang dituju ke selatan. Bila dia seorang pencuri, sudah pasti yang ditujunya adalah rumah Juragan Anggada. Sebab dia merupakan orang terkaya di desa ini. Rumahnya besar dan hartanya banyak.
Sesosok tubuh itu memang hinggap di genteng rumah juragan Anggada. Namun, hanya sebentar. Matanya memandang ke sekeliling, lalu kembali mencelat bagai seekor katak.
Tidak jauh di belakang rumah Juragan Anggada, lebih kurang sekitar dua puluh tombak, terdapat sebuah bangunan cukup besar dan memiliki halaman luas. Bangunan berpagar di sekelilingnya itu hanya bisa ditempuh lewat satu jalan. Yaitu, melalui pintu gerbang depan. Namun, itu pun harus melewati pemeriksaan beberapa orang penjaga.
Bila orang biasa yang tidak memiliki urusan penting, maka jarang bisa bertemu pemilik bangunan itu.
Semula, bangunan itu sendiri tidak begitu istimewa. Hanya sebuah padepokan silat bernama Gunung Kembang yang dipimpin Ki Raja Mulih. Namun beberapa tahun belakangan, padepokan ini mengalami kemajuan amat pesat Betapa tidak" Sebagian besar muridnya yang telah menamatkan pelajaran, kini telah bergabung dengan prajurit Kerajaan Tulang Bawang. Dan keandalan mereka sudah teruji. Ketika terjadi beberapa kali peperangan, ternyata dimenangkan oleh kerajaan ini. Dan itu memang tidak terlepas dari jasa para prajuritnya. Kepercayaan Gusti Prabu Syailendra semakin bertambah. Dan sebagai wujud nyatanya, dia mengirim beberapa orang panglima serta putra-putranya untuk belajar ilmu olah kanuragan di tempat ini. Kehadiran orang-orang penting di kerajaan itulah yang membuat Padepokan Gunung Kembang berbeda dengan padepokan lainnya. Dan akibatnya, orang tidak lagi bisa bebas keluar masuk seperti dulu.
"Hei, siapa itu"!" teriak seorang penjaga.
Dua orang penjaga lainnya mengikuti arah telunjuk itu. Dan mereka melihat sesosok tubuh berpakaian kuning melayang menghampiri mereka, bagai selembar daun kering tertiup angin.
"Pengacau keparat! Hajar dia...!" sentak orang tadi, memberi perintah pada kawannya.
Mereka menyambar tombak. Sementara seorang lagi mencabut pedang yang terselip di pinggang.
Wuk! Klap! Sesosok tubuh berpakaian kuning itu berkelit demikian ringan, menghindari sambaran senjata para murid padepokan ini. Tubuhnya lantas bergerak gesit balas menyerang.
Bret! "Wuaaa...!"
Sesaat terdengar pekik kematian. Dua orang roboh dengan cakar di lehernya!
Teriakan tadi membuat murid-murid lain tersentak kaget. Mereka yang tengah terlelap, atau bermalas-malasan, segera bangkit dan menyambar senjata dengan sigap. Dalam waktu singkat, mereka telah menyerbu keluar dan mengurung si pengacau!
Malam yang mulai gelap di sekitar tempat ini, seketika terang-benderang oleh puluhan obor yang dibawa murid-murid Padepokan Gunung Kembang. Sehingga kini bisa terlihat jelas, siapa si pengacau itu.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kurus. Rambutnya pendek serta tumbuh jarang-jarang dan kelihatan nyaris botak. Tubuhnya tertutup rompi kuning terbuat dari kulit binatang. Celananya pendek. Kulitnya hitam legam seperti pantat kuali. Kuku jari-jari kedua tangan dan kaki panjang lagi runcing. Mulutnya menyeringai lebar, memandangi orang-orang yang mengelilinginya. Sedikit pun tidak terlihat bias ketakutan di wajahnya.
"He-he-he...! Kalian semua keluar untuk meringkusku" Ayo, tunggu apa lagi" Cepat lakukan! Telah kubunuh dua orang kawan kalian. Dan kini, siapa lagi yang akan menyusul"!" kata laki-laki berbaju kulit binatang itu sambil terkekeh-kekeh.
"Siapa kau sebenarnya"! Dan apa maksudmu mengacau di sini"!" bentak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.
Laki-laki yang merupakan salah satu murid utama ini bernama Sela Katiran. Perawakannya gagah dan tubuhnya kekar. Sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya. Tangan kirinya menggenggam sebilah pedang yang warangkanya berukir indah keemasan. Kepandaiannya terhitung cukup tinggi.
"He-he-he...! Aku Jingga Kalamanda. Dan tak perlu tahu segala urusanku! Ayo, perintahkan kawan-kawanmu untuk mengeroyok. Atau, barangkali kau sendiri yang ingin maju" He-he-he...!"
"Kisanak! Kami bukanlah orang-orang liar sepertimu. Segala urusan harus ada dasarnya. Kau datang menyelinap, lalu membunuh dua orang murid padepokan ini. Apa alasannya"!" tanya Sela Katiran.
"Alasan" Kau menanyakan alasanku"! He-he-he...! Bocah tengik! Kau tanyakan pada gurumu, apa alasanku datang ke sini! Mana si tua bangka Raja Mulih"! Kenapa tidak keluar menemuiku" Atau barangkali bersembunyi ketakutan" He-he-he...!" ejek laki-laki nyaris botak bernama Jingga Kalamanda.
"Kisanak! Bicaramu semakin ngawur tak karuan! Kalau kau sengaja hendak berbuat keonaran, maka kami tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Guru kami bukan takut padamu. Tapi menghadapi orang sepertimu, dia tidak perlu turun tangan!" sahut Sela Katiran menahan amarah di dadanya.
Laki-laki itu kemudian memberi isyarat Maka dua orang murid padepokan ini segera melompat ke depan, menghadang Jingga Kalamanda.
"He-he-he...! Dua kunyuk ini yang kau hadapkan padaku" He-he-he...! Ayo, maju! Pertahankan dirimu baik-baik!" ujar orang berkulit legam itu terkekeh nyaring.
Baru saja Jingga Kalamanda selesai bicara, tubuhnya telah berkelebat bagaikan kilat Dan....
Bret! "Aaa...!"
Dua orang murid di padepokan kontan terjungkal seraya memekik nyaring. Di tenggorokan mereka terlihat luka cakar menganga. Tentu saja hal ini amat mengagetkan yang lainnya. Sebab mereka tahu, dua orang yang tewas barusan bukan murid sembarangan.
"Ringkus pengacau ini!" bentak Sela Katiran. Serentak, lebih dari lima belas murid Padepokan Gunung Kembang melompat dengan senjata terhunus. Dan mereka langsung menyerang Jingga Kalamanda.
"Heaaat..!"
? *** ? 6 ? "Huh!"
Jingga Kalamanda yang berusia sekitar lima puluh tahun itu mendengus sinis. Matanya tajam mengawasi murid-murid padepokan yang semakin dekat. Lalu....
"Guaaargkh...!"
Diiringi raungan keras bagai lolongan serigala buas, tubuh Jingga Kalamanda melompat tinggi. Lalu dia jungkir balik, menerobos para pengepungnya. Tangannya yang kurus berkali-kali menangkis tombak bahkan menahan laju mata pedang. Sehingga murid-murid Padepokan Gunung Kembang ternganga kagum. Bukannya tangan Jingga Kalamanda yang terluka. Malah para murid yang menebas tersentak. Betapa tidak" Senjata mereka bergetar!
Dan sebelum orang-orang itu menyadari apa yang terjadi, Jingga Kalamanda telah menyambar menggunakan cakar kuku tangan dan kaki.
Bret! "Aaa...!"
Sebentar saja terdengar pekik kematian. Beberapa orang ambruk dengan luka mengerikan. Leher robek, isi perut terburai, atau tulang rusuk patah.
"Kurang ajar!" maki Sela Katiran geram.
Bersama murid-murid lain yang seangkatan. Sela Katiran menyerang orang tua aneh itu.
"Yeaaat...!"
"He-he-he...! Kau ingin ikut kemeriahan juga" Kenapa tidak dari tadi" Ayo, sini mendekat padaku! Mendekat, Bocah...!" ejek orang tua itu sembari terkekeh.
Jingga Kalamanda melompat gesit dengan tubuh ditekuk. Dia melayang bagai seekor tupai. Tapi saat menerjang, amat ganas laksana seekor serigala kelaparan. Orang tua itu agaknya memiliki tubuh alot, tak mempan senjata tajam. Terbukti beberapa kali senjata para murid Padepokan Gunung Kembang menghantam ke bagian tubuhnya, namun tidak membuatnya bergeming. Bahkan beberapa kali kepalan murid-murid padepokan ini yang berisi tenaga dalam kuat menghantam punggung atau tengkuknya, tidak dirasakannya sama sekali. Sebaliknya, bila serangannya datang, tidak seorang pun yang mampu menahan.
Bret! Prak! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Sekali cakarnya terayun, dua atau tiga nyawa melayang. Begitu pula bila tangannya terkepal dan menghantam. Maka beberapa orang tewas dengan dada remuk atau kepala pecah.
"He-he-he...! Ayo, maju semua. Ayo, ramaikan suasana ini! Kenapa diam"! Tangkap aku! Tangkaplah! Aku telah membunuh kawan-kawan kalian. Tidakkah itu cukup menjadi alasan untuk meringkusku"!" teriak Jingga Kalamanda sembari tertawa nyaring.
Kelihatan sekali kalau Jingga Kalamanda memandang enteng pada lawan-lawannya. Padahal, jumlah mereka cukup banyak. Dan orang-orang itu pun bukan tokoh sembarangan. Namun melihat korban yang jatuh, dan sejauh ini belum juga serangan-serangan mereka membawa hasil, membuat yang lain tertegun menghentikan serangan. Demikian pula Sela Katiran sendiri. Dia tidak tahu, tindakan apa lagi yang harus dilakukan.
"Mundurlah kalian semua...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara. Pelan, namun lantang. Para murid berpaling dan segera memberi hormat kepada orang tua berbaju serba putih dan bersorban putih yang berdiri tegak di beranda depan.
"Guru...!"
"Sudahlah, Sela. Aku tahu kesulitan kalian. Lawanmu bukanlah orang sembarangan. Meski kalian maju bersama belum tentu mampu menandinginya...," sahut orang tua yang ternyata Ketua Padepokan Gunung Kembang. Tangannya memberi isyarat, langsung menghentikan kata-kata muridnya.
Ketua Padepokan Gunung Kembang yang tak lain dari Ki Raja Mulih ini melangkah pelan menuruni anak tangga. Lalu didekatinya orang tua yang membikin kekacauan di tempat ini. Sejenak mereka saling bertatapan ketika orang tua bersorban putih itu berhenti. Jarak mereka kali ini hanya terpaut beberapa langkah saja.
"Akhirnya kau muncul juga, Jingga Kalamanda...," desah Ki Raja Mulih.
"He-he-he...! Tua bangka bau tanah! Kau kira aku apa, he"! Justru aku yang seharusnya bertanya begitu padamu. Sejak tadi, kau tahu kehadiranku. Tapi, malah bersembunyi di balik ranjang. He-he-he...! Semakin tua, ternyata nyalimu semakin kecil saja. Atau barangkali segala kekayaan dan ketenaran membuatmu takut mati"!" ejek Jingga Kalamanda.
Orang tua bersorban putih itu menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menepis amarah yang mulai memercik hatinya, mendengar penghinaan laki-laki tua aneh berkulit hitam ini.
"Jingga Kalamanda! Kita sudah sama-sama tua. Dan sebentar lagi, akan masuk liang kubur. Apa gunanya mempersoalkan rasa takut segala" Umur di tangan Yang Maha Kuasa. Dan, tiada seorang pun yang bisa menentukannya. Selagi nyawa masih di kandung badan, alangkah bijaksana bila kita menghabiskannya untuk hal-hal yang berguna...," ucap orang tua itu bijak, berusaha melunakkan hati Jingga Kalamanda.
"He-he-he...! Mungkin benar katamu. Tapi sebelumnya, segala hutang harus dilunasi. Nyawa muridku yang kau bunuh, harus ditebus dengan nyawa busukmu. Dan setelah itu, barulah kita akan sama-sama menghabiskan sisa umur ini...," sahut Jingga Kalamanda, terkekeh mengejek.
"Muridmu tewas, karena kebandelannya sendiri. Aku telah memperingatkannya. Tapi, dia keras kepala. Membunuh kepala desa yang tidak bersalah, itu adalah perbuatan kaji. Tidakkah kau bisa mengerti?" balas Ki Raja Mulih.
"Siapa yang mempersoalkan keji atau tidak" Yang kuinginkan saat ini adalah, tanggung jawabmu. Hutang nyawa bayar nyawa. Dan sekarang, akan kuambil darimu!" desis Jingga Kalamanda.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja orang tua aneh itu melolong nyaring laksana seekor serigala di tengah kegelapan malam. Bersamaan dengan lolongannya, tubuhnya mencelat menerjang Ki Raja Mulih dengan raungan dahsyat.
"Grauuungrr...!"
? *** ? Ketua Padepokan Gunung Kembang telah bersiap sejak tadi. Sehingga ketika Jingga Kalamanda menyerang, dengan gesit ditangkisnya.
Plak! Plak! "Hup!"
Dua serangan Jingga Kalamanda berhasil ditangkis. Bahkan Ki Raja Mulih masih sempat mengirim tendangan ke perut. Namun tubuh kurus dan hitam itu telah melejit ke atas, sehingga tendangannya hanya menerjang angin.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Ki Raja Mulih berbalik. Kembali dilepaskannya satu tendangan lewat kakinya yang lain, sambil memiringkan tubuh. Sehingga, ujung kakinya ke atas lebih tinggi.
Jingga Kalamanda menjatuhkan diri menghindarinya. Dan tahu-tahu, dia telah berada di bawah mengincar selangkangan lawan lewat cakar mautnya.
Karuan saja, hal itu membuat Ki Raja Mulih terkesiap. Buru-buru tubuhnya mencelat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda mengimbangi dengan cakar kakinya seraya berputar cepat.
Bret! "Uhhh...!"
Celana di bagian paha kiri Ki Raja Mulih robek, menggurat kulit dagingnya sedikit. Meski tidak berbahaya, namun khawatir menyelinap di dadanya jika membayangkan racun yang ada di kuku kaki orang aneh ini. Lebih dari itu, juga cukup membuktikan kalau Jingga Kalamanda mampu bergerak lebih cepat dibandingkan dirinya.
"Tidak usah cemas. Cakar kuku-kuku milikku tidak kububuhi racun. Aku suka kedua tangan dan kakiku berkubang darah lawan-lawanku. He-he-he...! Berhati-hatilah kau. Salah sedikit, nyawamu akan melayang...," ejek Jingga Kalamanda.
Orang tua aneh itu tetap tegak di tempatnya, tidak melanjutkan serangan. Itu dilakukan untuk memberi kesempatan bagi Ketua Padepokan Gunung Kembang ini bersiap kembali. Dengan begitu, dia ingin mempermalukan Ki Raja Mulih di depan murid-muridnya sendiri.
"Cabut pedangmu kalau kau tidak ingin celaka!" bentak Jingga Kalamanda.
"Huh! Kurasa masih belum perlu! Aku masih mampu menghadapimu!" dengus Ki Raja Mulih.
Jingga Kalamanda terkekeh mengejek.
"Dengan menggunakan jurus "Kuda Melompati Sungai" kau berharap bisa menjatuhkanku" Ha-ha-ha...! Kau boleh bermimpi. Tua Bangka Kunyuk!" ejek Jingga Kalamanda, sangat memandang rendah.
"Tutup mulutmu! Kau akan rasakan setelah menerima akibatnya!" desis Ki Raja Mulih.
Kali ini terlihat, Ki Raja Mulih mulai terpancing amarahnya. Setelah tadi kecolongan, kemudian mendengar ejekan-ejekan Jingga Kalamanda, pelipisnya menggembung dan gerahamnya berkerotokan. Didahului bentakan nyaring. Ketua Padepokan Gunung Kembang ini menerjang lebih dulu.
"Heaaa...!"
Serangan Ki Raja Mulih cepat dan berisi tenaga dalam kuat Jurus-jurus yang disebut "Kuda Melompati Sungai" termasuk jurus hebat dan sangat diandalkan. Gerakannya terlihat kaku. Namun, seketika bisa luwes seperti tengah menari. Sehingga untuk beberapa saat, terlihat Jingga Kalamanda sedikit kerepotan. Saat menangkis sodokan, maka sebelah kaki Ki Raja Mulih menyambar tengkuknya sambil melompat Dan ketika membungkuk untuk menghindarinya, Ki Raja Mulih telah berada di selangkangan dan melakukan tendangan keras ke arah perut.
"Hiyaaa...!"
Jingga Kalamanda mencelat ke atas, sehingga mencapai sekitar dua tombak lebih. Hal itu menimbulkan kekaguman murid-murid padepokan ini. Ki Raja Mulih berusaha mengejar. Namun sebelum sampai menyentuh, Jingga Kalamanda mengibaskan tangannya.
Plak! Rrap! "Heh..."!"
Ki Raja Mulih terkesiap. Begitu menangkis, cakar Jingga Kalamanda langsung mencengkeram pergelangan tangannya dan membetotnya dengan keras. Meski berusaha menahan, tidak urung keadaan Ki Raja Mulih menjadi goyah. Pada saat itu, sebelah kaki Jingga Kalamanda menyambar dada.
Bret! "Uhhh...!"
Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Dadanya robek terkena cakar kaki Jingga Kalamanda. Namun begitu, dia masih sempat mencabut pedang dan langsung menyambar ke arah leher.
Sring! "Hiiih!"
Jingga Kalamanda terpaksa melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya kemudian melejit ke bawah, menghindari sambaran senjata Ki Raja Mulih. Sementara Ketua Padepokan Gunung Kembang itu tidak mau ketinggalan dan terus mencecar. Kab ini, dilepaskannya pukulan maut ke arah si tua aneh berkulit hitam.
"Heaaat...!"
Seketika selarik cahaya putih yang menyilaukan pandangan menyambar bagai kilat.
"Uts!"
Jlegar! Jingga Kalamanda bergulingan untuk menghindarinya. Dan bekas tempatnya berpijak semula, tampak hancur menimbulkan lubang yang dalam akibat hantaman pukulan Ki Raja Mulih.
"He-he-he...! Sungguh hebat pukulan "Bandul Jagad"mu itu, Kunyuk. Tapi jangan dikira bisa menakut-nakuti aku. Pukulanmu tak seujung kuku!" ejek Jingga Kalamanda sambil terkekeh kecil.
"Tertawalah sepuas hatimu. Sebentar lagi, kau tidak akan sempat melakukannya lagi!"
Mendengar itu, Jingga Kalamanda malah ketawa makin keras. Sehingga, membuat kaget orang-orang yang berada di sekitarnya.
"Hi-hi-hi...! Ha-ha-ha...!"
"Ohhh...!"
Para murid Padepokan Gunung Kembang mendekap telinga dan tubuhnya gemetar. Wajah-wajah mereka berkerut menahan sakit. Suara tawa itu memang berisi tenaga dalam tinggi. Bagi mereka yang memiliki tenaga dalam rendah, akan langsung kelojotan. Dari lubang telinga, hidung, mata serta pori-pori, meleleh cairan darah. Tidak berapa lama kemudian, mereka tewas dengan cara mengerikan.
"Iblis keparat! Hentikan perbuatan biadabmu!" desis Ki Raja Mulih geram, langsung menerjang dengan mengerahkan seluruh kemampuan.
"Mundur kau...!" bentak Jingga Kalamanda seraya menyorong telapak tangan kanan ke depan. "Hih...!"
? *** ? Angin topan bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Jingga Kalamanda dan langsung melesat kencang menghantam Ki Raja Mulih. Orang tua itu terkesiap, tak mampu menghindar.
Des! "Aaakh...!"
Ketua Padepokan Gunung Kembang terpental ke belakang disertai jerit kesakitan. Dari sudut bibirnya meleleh darah segar. Belum lagi sempat bangkit, Jingga Kalamanda kembali menerjang dengan kecepatan kilat.
"Heaaat..!"
Ki Raja Mulih menyabetkan pedangnya. Namun, Jingga Kalamanda telah melejit ke atas dengan tubuh bergulung. Sebelah kakinya menghantam ke muka, membuat laki-laki aneh itu terpaksa bergulingan untuk menghindarinya.
"Graungrrr...!"
Jingga Kalamanda meraung keras dan kembali menerjang. Sepasang matanya berkilau tajam, dan sesekali menyeringai lebar memperlihatkan deretan giginya yang runcing laksana taring serigala. Saat itu pula, tangannya bergerak mengibas.
Splak! Satu hantamannya berhasil ditangkis Ki Raja Mulih. Namun, mendadak cengkeraman tangan Jingga Kalamanda yang satu lagi meliuk ke bawah. Dan bersamaan dengan tubuhnya yang berpindah ke samping, cakar mautnya merobek perut tanpa bisa dihindari Ki Raja Mulih.
Bret! "Uhhh...!"
Ki Raja Mulih mengeluh tertahan. Sebelah tangannya mendekap perut, ketika terhuyung-huyung ke belakang. Darah tampak menetes deras dari luka di perut Wajahnya berkerut menahan sakit Saat itu pula dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia melepaskan pukulan "Bandul Jagad" ke arah Jingga Kalamanda yang telah berkelebat menerjangnya.
"Hih...!"
Jingga Kalamanda agaknya tidak bodoh. Segera disiapkannya pukulan andalan untuk mengimbangi serangan Ki Raja Mulih. Maka ketika kedua pukulan mereka beradu.
Jger! Kedua tokoh sakti itu sama-sama mengeluh saat pukulan mereka beradu dan menimbulkan suara keras. Hanya saja, Jingga Kalamanda masih mampu tegak berdiri dengan mantap sambil tertawa mengejek melihat Ki Raja Mulih terjungkal dan muntah darah.
"He-he-he...! Kematianmu hanya soal waktu, Tua Bangka Kunyuk! Luka dalammu cukup parah. Dan tak seorang pun yang mampu bertahan dari pukulan "Topan Siluman"-ku!"
"Keparat!" desis Sela Katiran yang saat itu sudah memapah gurunya.
Murid utama ini mendengus geram pada Jingga Kalamanda. Setelah meletakkan Ki Raja Mulih di tempat yang aman, bersama yang lain dia bersiap hendak mengadakan pembalasan. Namun....
"Tahan, Sela...," cegah Ki Raja Mulih, sambil mengangkat tangan kanannya.
"Tapi, Guru! Dia telah mencelakakanmu! Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!" sentak Sela Katiran dengan tubuh gemetar menahan amarah.
Ki Raja Mulih yang telah duduk bersila dikelilingi muridnya, hanya tersenyum kecut. Mukanya pucat. Beberapa kali dia terbatuk-batuk dengan darah kental menyembur.
"Tak ada gunanya kalian melawan. Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan meski ditambah jumlah dua kali lipat, kalian tidak akan mampu. Dia hanya menginginkan aku. Maka setelah keinginannya terpenuhi, dia tidak akan mengganggu kalian...," lanjut Ketua Padepokan Gunung Kembang itu terputus-putus.
"Huh!" Sela Katiran hanya mendengus geram seraya mengepalkan tangan.
Masih sempat murid utama itu mengepalkan tangan sambil memandang penuh kebencian terhadap Jingga Kalamanda yang masih terkekeh mengejek. Orang tua aneh itu sama sekali tidak peduli. Dan kehadirannya di tempat ini seperti hendak mencari gara-gara.
"He-he-he...! Kenapa diam" Ayo, serang aku! Tangkap aku! Guru kalian sebentar lagi mampus. Dan itu karena ulahku. Tidakkah kalian berniat membalas dendam"!" teriak Jingga Kalamanda memancing keributan baru.
Beberapa murid Padepokan Gunung Kembang memperlihatkan muka marah. Dan kalau saja guru mereka tidak memperingatkan, rasanya mereka tidak akan peduli keselamatan sendiri.
"Jangan pedulikan dia. Dan, jangan terpancing ejekannya. Dia sengaja mencari kesempatan untuk membantai kalian...," ingat Ki Raja Mulih.
"Guru, jumlah kita banyak. Tidak mungkin dia bisa mengalahkan kita..."!"
"Tahukah kau, siapa dia sebenarnya" Orang itu bergelar Serigala Muka Hitam. Sesuai julukannya, dia memiliki keahlian memanggil kawanan serigala yang bisa digunakan untuk membunuh lawan-lawannya. Sanggupkah kalian melawannya.... Hugkh...!"
Suara Ki Raja Mulih terhenti ketika memuntahkan darah kental. Tubuhnya mengejang. Sepasang bola matanya membelalak lebar. Bersamaan dengan itu, semua muridnya terkejut. Sesaat mereka menjerit keras ketika orang tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
"He-he-he...! Hutang nyawa bayar nyawa. Dan nyawa busuk itu telah membayarnya! He-he-he...!" teriak Jingga Kalamanda langsung mencelat dari tempat itu meninggalkan suara tawanya yang nyaring.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?""
? 2017 "
Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
. 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Bag. 7 dan 8 (Selesai)
8. Januar 2015 um 00:01
7 ? Satu sosok berpakaian kuning bergerak begitu gesit, melayang-layang memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Kadang tubuhnya mencelat dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya. Dan di lain saat, dia melewati beberapa cabang pohon dan terus mencelat ke cabang pohon lainnya. Dia melesat semakin jauh meninggalkan desa itu. Rasanya akan sulit bagi orang biasa untuk bisa menyusulnya.
Mendadak langkah sosok berbaju kuning itu terhenti ketika terasa seseorang mengejarnya dari belakang. Dia berhenti di salah satu cabang pohon, dan memandang ke sekeliling tempat. Lalu tubuhnya melesat ke cabang pohon yang lebat, dan diam memperhatikan.
Apa yang dirasakannya ternyata benar. Beberapa saat kemudian terlihat sesosok tubuh di tempat itu. Sosok yang ternyata seorang pemuda ini berdiri tegak di bawah pohon tempat sosok berbaju kuning tadi berada. Matanya memandang ke segala penjuru. Pendengarannya dipertajam, namun tidak juga menemukan apa yang dicarinya.
"Brengsek! Ke mana larinya dia..."!" dengus pemuda itu seraya memukul-mukul telapak tangannya. Tiba-tiba...
Krosak! "Ehhh!"
Pemuda itu terkejut ketika dari atasnya mencelat turun seorang laki-laki tua berpakaian kuning. Langsung diserangnya pemuda itu dengan ganas. Namun, pemuda ini pun ternyata mampu mengelak dengan gesit. Tubuhnya mencelat ke belakang. Saat laki-laki berbaju kuning hendak menerjangnya lagi.
"Paman Jingga Kalamanda hentikan! Aku Kamajaya...!" teriak pemuda berbaju jubah panjang.
"Kamajaya"! He-he-he...! Dasar kunyuk kecil! Apa kerjamu menguntit he"!" sahut lelaki tua berbaju kuning yang ternyata Jingga Kalamanda, langsung menghentikan serangan.
Pemuda yang memang Kamajaya mendekat dan wajahnya tampak muram.
"Ada apa, he"!" sentak Jingga Kalamanda.
"Aku..., aku...."
"Minta bantuanku lagi"!" tebak laki-laki tua aneh ini.
Kamajaya mengangguk lemah.
"Soal apa lagi?"
"Seseorang telah menghinaku...."
"He, sungguh mengherankan! Siapa yang berani menghinamu. Dan, kenapa didiamkan saja"!" dengus Jingga Kalamanda.
"Aku hendak menghajarnya. Tapi, dia hebat. Dan akhirnya, akulah yang dihajarnya...," ujar pemuda itu lirih.
"Kurang ajar! Siapa orang itu"!"
"Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm...!" ulang Jingga Kalamanda, berusaha mengingat-ingat. Pelan-pelan terlihat bibirnya tersenyum kecil.
"Kenapa Paman terdiam" Apakah takut padanya?" usik Kamajaya.
"Kunyuk kecil! Jangan memanas-manasiku! Aku tahu apa yang akan kulakukan!" dengus Jingga Kalamanda.
"Jadi Paman akan menghajarnya"!" seru pemuda itu, mulai berseri.
Jingga Kalamanda tersenyum. Dipandangnya keponakannya itu sekilas seraya menepuk-nepuk pundaknya.
"Telah lama tanganku gatal untuk merasakan kehebatannya. Kata orang, dia sakti mandraguna. Tapi Jingga Kalamanda harus membuktikannya!" sahut orang tua aneh itu dingin.
"Betul, Paman! Dia harus dihajar! Kalau tidak, dia akan besar kepala!" timpal Kamajaya memanas-manasi.
"Huh, Kunyuk Sialan! Sudah kubilang jangan memanas-manasiku! Aku melakukannya untuk diriku sendiri!" dengus Jingga Kalamanda lagi.
"Eh, iya, iya...! Maaf, Paman. Terserah alasannya apa. Yang jelas, dia harus dapat pelajaran pahit. Eh, kenapa tidak sekalian dibunuh saja. Paman?"
Jingga Kalamanda mendelik garang. Dan wajah Kamajaya langsung mengkeret. Lagi-lagi dia terlupa, telah menggurui pamannya.
"Dasar anak manja! Kalau saja ayahmu masih ada, kau tentu akan dicincangnya! Cengeng, dan klemar-klemer seperti banci!"
Kamajaya terkekeh kecil.
"Kau tentu membuat kesalahan, sehingga dia turun tangan menghajarmu?"
"Ah, tidaaak...!"
"Kunyuk kecil, berani kau bohong padaku!" bentak Jingga Kalamanda kembali sepasang bola matanya melotot garang.
"Eh, i-iya. Paman. Tapi, tidak banyak. Dan memang dia saja yang cari gara-gara. Apakah Paman tidak tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti itu paling suka mencari gara-gara?" kata Kamajaya menutup-nutupi kebusukannya.
"Apa peduliku dengan kelakuan orang lain"! Yang kupedulikan hanya kau, Keponakanku! Aku tidak suka kecengenganmu itu!"
"Maafkan aku, Paman. Aku akan berusaha. Dan selama ini juga, selalu berusaha mematuhi semua nasihatmu...," ucap pemuda itu lirih.
"Hm, sudahlah! Sekarang tunjukkan padaku, di mana Pendekar Rajawali Sakti itu berada"!"
"Terakhir aku bertemu di wilayah selatan. Dan rasanya bila dugaanku benar, dia akan menuju Timur Laut. Sebaiknya, kita menuju satu arah dengannya, Paman!"
"Ayo! Kau adalah penunjuk jalanku!" sahut Jingga Kalamanda, seraya menepuk pundak keponakannya.
Kamajaya tersenyum lega. Selesai sudah satu urusan, membujuk pamannya! Urusan lain akan mudah diselesaikan bila pamannya ada di sampingnya. Dia yakin betul kalau pamannya mampu melakukan apa saja demi kepentingannya.
? *** ? Dua sosok berjalan. Namun kelihatannya aneh sekali. Yang seorang berwajah cantik, mengenakan pakaian ketat berwarna merah muda. Sehingga, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sementara yang seorang lagi memiliki muka lebar dan tubuh raksasa. Tinggi wanita itu hanya sebatas pinggang pemuda di sampingnya.
Mereka tidak lain dari Dewi Tanjung Putih alias Bidadari Tangan Api dan Darmo Angkor. Keputusannya sudah bulat ketika bertemu pemuda itu, dan melihat kehebatannya. Meski agak tolol, namun Darmo Angkor yang amat patuh padanya, bisa dimanfaatkan untuk membantunya guna membalaskan dendam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Akan ke mana tujuan kita sekarang. Kak...?" tanya Darmo Angkor.
"Kita akan menemui seseorang...," sahut Dewi Tanjung Putih.
"Kawan Kakak...?"
"Bukan."
"Kalau begitu... musuh" Orang jahat?"
"Bisa dibilang begitu!"
"Kakak hendak menghajarnya?"
"Ya!"
"Biar nanti kubantu Kakak menghajarnya. Tapi...."
Wajah Darmo Angkor tiba-tiba meringis.
Pemuda itu melirik Bidadari Tangan Api malu-malu sambil tersenyum-senyum kecil.
"Kenapa kau?" tanya Bidadari Tangan Api.
"Anu..., perutku lapar...."
"Dasar rakus! Baru saja makan, sudah lapar lagi!"
Darmo Angkor tertawa lebar.
"Kakak tahu" Makan kita tadi belum seberapa. Biasanya, sekali makan aku mampu menghabiskan seekor kambing serta lima piring nasi dalam bumbung besar. Dan ketika memperoleh seekor kerbau, aku mampu menghabiskannya dalam waktu sehari," papar pemuda bertubuh raksasa ini bangga.
Dewi Tanjung Putih mendecah sambil tersenyum kecil.
"Sudahlah. Nanti kita akan cari apa yang kau suka di desa terdekat...."
"Aku ingin seekor kambing, atau anak kerbau...!" ujar Darmo Angkor.
"Ya, ya.... Akan kucarikan nanti untukmu," sahut Bidadari Tangan Api.
Wajah pemuda tolol itu tampak gembira. Seolah-olah laparnya hilang dan terbayang hidangan lezat di depan matanya. Dia suka jalan bersama Dewi Tanjung Putih, sebab segala apa yang diinginkannya tidak pernah dibantah. Gadis yang dianggapnya kakak sendiri ini selalu mengabulkannya. Sehingga, dia tidak merasakan kesedihan ditinggal mati orangtuanya.
Kurang lebih sepeminum teh, mereka akan tiba di sebuah desa terdekat. Di tempat itu, Bidadari Tangan Api berharap bisa mendapat keterangan tentang Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum tiba di perbatasan desa, gadis ini terkesiap. Jantungnya kontan berdetak kencang, menandakan bahwa ada firasat tidak enak. Beberapa orang penunggang kuda melintasi jalan ini di depannya dari arah yang berlawanan.
Firasat Bidadari Tangan Api semakin mendekati kenyataan ketika jarak mereka terpaut semakin dekat. Rombongan berkuda tampaknya tidak memberi jalan. Bahkan beberapa orang di belakang yang mengikuti rombongan itu dengan berjalan kaki, tiba-tiba saja menyebar membentuk setengah lingkaran. Tidak ada jalan lagi ke depan, selain harus melewati mereka.
"Kita berhenti dulu, Darmo...," ujar Bidadari Tangan Api memberi isyarat.
Pemuda dungu itu bingung. Dipandangnya kakak angkatnya dengan wajah tidak mengerti. Lalu perhatiannya beralih ke depan.
"Ada apa. Kak...?" tanya Darmo Angkor.
"Orang-orang jahat itu hendak mengganggu kita...," sahut Bidadari Tangan Api, kalem.
"Huh! Apakah kau ingin agar mereka kuhajar"!" dengus Darmo Angkor seraya mengepalkan kedua tangan.
"Kita akan menghajar bersama-sama jika mereka berani mengganggu."
"Ya, ya...!"
Dewi Tanjung Putih menyipitkan mata memandang pada mereka. Berada paling depan adalah tiga orang tua berusia rata-rata lima puluh tahun lebih. Yang berada di tengah bersenjata pedang. Di sebelah kirinya menggenggam ruyung. Dan yang berada di sebelah kanan memegang tongkat bambu.
"Nisanak! Kaukah Bidadari Tangan Api?" tanya orang tua yang berada di tengah.
"Benar, akulah orangnya. Sebaliknya, siapa kalian" Dan, ada maksud apa mencariku?"
"Aku Ki Dewa Subrata. Di sebelah kiriku Ki Paksi Jaladara. Dan di kananku adalah Ki Teja Rukmana...," jelas orang tua yang mengaku bernama Ki Dewa Subrata.
"Hm.... Ki Dewa Subrata adalah Ketua Padepokan Ulat Sutera. Sedang Ki Paksi Jaladara adalah Ketua Padepokan Ruyung Langit. Dan yang satu lagi. Pendekar Bukit Rebung. Alangkah hebatnya kalian berkumpul di sini. Dan lebih hebat lagi, karena kalian bersama-sama mencariku. Kalau boleh kutahu, urusan besar apakah gerangan?"
"Kau telah membunuh murid kesayanganku yang bernama Jaka Lola. Dia adalah putera Ki Teja Rukmana, keponakan Ki Paksi Jaladara. Kami telah bersepakat menurunkan kepandaian kami padanya, sebab dia amat berbakat. Dia bam sedikit belajar dariku...," jelas Ki Dewa Subrata.
"Hm, itu rupanya. Muridmu itu memang berbakat sekali. Tapi, dia amat usil dan menggangguku. Sehingga terpaksa harus kuberi pelajaran. Dan sekarang kalian datang beramai-ramai mencariku" Hm.... Hendak mengeroyokku" Sungguh hebat!" ujar gadis itu seraya tersenyum sinis.
"Nisanak! Penduduk desa tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak usah kau mungkir. Lagi pula, tidak perlu kau takut. Kami tak akan mengeroyokmu. Kehadiran kami dengan jumlah banyak sama sekali tidak direncanakan untuk mengeroyokmu. Kebetulan saja, aku hendak mengajak mereka guna menziarahi kuburan Jaka Lola, lalu bertemu denganmu di sini. Maka suatu kebetulan sekali. Aku masih mampu memberi pelajaran padamu," kata orang tua bernama Ki Dewa Subrata itu seraya melompat turun dari punggung kudanya.
"Hm.... Kuragukan kata-katamu itu. Aku tidak pernah mempercayai setiap orang...," sahut Dewi Tanjung Putih mencibir sinis.
"Tidak perlu banyak bicara. Hanya mengulur waktu saja! Cabut pedangmu. Dan, hadapi aku!"
Sring! Ki Dewa Subrata tidak mempedulikan ocehan Bidadari Tangan Api. Saat itu juga, pedangnya dicabut, langsung menyerang.
"Hiyaaat!"
Klap! Wuk! ? *** ? "Uts, hap!"
Bidadari Tangan Api tidak terlalu terkejut mendapat serangan mendadak begitu. Dengan tenang tubuhnya melejit ke atas menghindari sambaran pedang Ki Dewa Subrata. Namun Ketua Padepokan Ulat Sutera itu tidak berhenti sampai di situ. Dia terus merangsek dengan serangan-serangan gencar.
Darmo Angkor semula terpana melihat keadaan begitu. Namun otaknya bekerja cepat. Peristiwa yang menimpa orangtuanya, kembali melintas dalam benaknya. Mereka tenggelam ke dalam rawa dikerubuti orang-orang. Dan dia diam saja tidak memberikan pertolongan. Padahal, dia mampu melakukannya. Kini Bidadari Tangan Api yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri, tengah bertarung. Kalau diam saja, bukan tidak mungkin kakaknya akan mati oleh pedang lawan. Dan dia akan kehilangan orang yang menyayanginya. Maka berpikir begitu, Darmo Angkor langsung menerjang Ki Dewa Subrata.
"Heaaat...!"
"Darmo! Kau tidak perlu ikut campur lebih dulu! Tetaplah di tempatmu!" teriak Dewi Tanjung Putih memperingatkan.
Namun pemuda bertubuh raksasa itu tidak mempedulikannya. Dia terus menghantam Ki Dewa Subrata dengan tenaganya yang kuat.
Wut! Ki Dewa Subrata menghindari serangan lawan barunya dengan mudah. Meski terasa sambaran angin serangan pemuda raksasa itu kencang, namun dia mampu berkelit lincah dan balas menyerang lewat babatan pedangnya.
Tak! "Heh"!"
Alangkah kagetnya orang tua itu, menyadari kalau pedangnya seperti menghantam benda keras saja. Kulit pemuda raksasa itu sama sekali tidak terluka!
Kekagetan itu membuat Ki Dewa Subrata lengah. Dan tahu-tahu kepalan pemuda raksasa itu menghantam perutnya.
Begkh! "Akh...!"
Ki Dewa Subrata terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan. Masih untung, dia mampu berdiri tegak setelah bersalto beberapa putaran.
Pukulan Darmo Angkor memang tidak berisi tenaga dalam kuat. Tapi, cukup membuat isi perutnya terasa mau pecah. Napasnya pun turun naik tidak beraturan.
"Biar kami urus dia, Ki...!" sahut salah seorang anak buah Ki Dewa Subrata.
"Hm.... Uruslah dia baik-baik!" sahut orang tua itu.
Ki Dewa Subrata sebenarnya penasaran, sekaligus geram terhadap pemuda raksasa itu. Namun kepentingannya pada Bidadari Tangan Api lebih diutamakannya. Sehingga agar pemuda itu tidak mengganggunya, langsung disetujui usul anak buahnya tadi.
Setelah mendapat izin dari orang tua itu, beberapa orang langsung menyergap Darmo Angkor dengan senjata terhunus.
"Yeaaat...!"
"Hmh...!" dengus Darmo Angkor geram.
Sebelum senjata menyentuh kulitnya, Darmo Angkor sudah langsung melompat menerjang.
Tak! Blap! "Heh"!"
Para pengeroyok menjadi terkejut ketika menyadari senjata mereka tak berpengaruh apa-apa di tubuh pemuda raksasa ini.
Sementara, kepalan tangan yang besar dan keras milik Darmo Angkor mulai meminta korban.
"Uhhh...!"
"Aaa...!"
Beberapa pengeroyok langsung menemui ajal disertai pekik setinggi langit. Orang-orang itu tewas dengan cara amat mengerikan. Kepala remuk, dan tulang-tulang rusuk patah.
"Heh, gila"!" desis yang lain.
Kejadian ini mengejutkan yang lain. Bukan hanya Ki Paksi Jaladara dan Ki Teja Rukmana saja yang terkesiap, tetapi juga Ki Dewa Subrata yang tengah berhadapan dengan Bidadari Tangan Api.
"Biar kuurus gajah bengkak ini!" seru Ki Paksi Jaladara dengan wajah geram.
Seketika Ki Paksi Jaladara melompat turun. Tanpa banyak bicara, kepalan tangannya menghantam ke perut Darmo Angkor. Tentu saja pemuda raksasa ini tidak tinggal diam. Tangannya cepat memapak.
Plak! Orang tua itu terkejut. Tangannya sampai bergetar akibat benturan tadi. Seketika tenaganya dilipatgandakan. Lalu diayunkannya tendangan ke dada Darmo Angkor.
"Uts!"
Darmo Angkor berkelit ke samping, langsung menangkis tendangan itu dengan telapak tangannya. Tubuhnya bergetar dan sedikit terdorong ke belakang. Wajahnya berkerut menahan sakit Pemuda itu tahu kalau tidak boleh sembarangan menahan serangan. Sehingga ketika Ki Paksi Jaladara melompat dan menerjangnya, dia tidak berusaha memapak, melainkan menghindar serta menangkis bila dirasa perlu.
Sementara itu, Ki Teja Rukmana yang sejak tadi diam di tempatnya dan memandang pertarungan dengan hati geram, agaknya tidak lagi dapat menahan diri. Amarah serta dendam yang menggelora di dada meletup-letup hebat Sehingga beberapa saat kemudian, dia melompat dari punggung kudanya.
"Ki Dewa Subrata! Aku tidak bisa menahan diri lagi! Dia harus mati di tanganku!" desis Ki Teja Rukmana geram.
"Ki Teja Rukmana! Kau tidak perlu repot-repot! Aku masih mampu mengatasinya. Lagi pula apa kata orang nanti bila kita mengerubuti seekor tikus" Sangat memalukan!" sahut Ki Dewa Subrata.
"Aku tidak peduli! Dia telah membunuh putraku! Perempuan ini harus mati di tanganku!" desis Ki Teja Rukmana, tidak mempedulikan kata-kata Ki Dewa Subrata.
Orang tua bergelar Pendekar Bukit Rebung itu langsung menyerang. Tongkat bambunya sudah berkelebat menyambar Bidadari Tangan Api.
Wut! "Hi-hi-hi...! Dugaanku ternyata tidak keliru. Orang-orang seperti kalian memang hanya punya kebiasaan main keroyok. Tapi meski begitu, jangan kira aku takut. Meski maju semua menghadapiku, jangan harap aku akan mundur!" teriak wanita itu, seraya melompat menghindari serangan.
Dewa Subrata jadi tidak enak hati mendengar ejekan wanita itu. Bahkan sejak Ki Teja Rukmana turun tangan tadi. Maka, seketika tubuhnya mencelat ke belakang. Dibiarkannya Ki Teja Rukmana seorang diri menghadapi Bidadari Tangan Api. Namun sebelum hal itu dilakukannya.
"Ha-ha-ha...! Tua bangka tak tahu diri. Tidak malu mengeroyok seorang gadis...!"
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu.
"Hm!"
? *** ? 8 ? Pertarungan berhenti seketika. Namun tidak demikian halnya Darmo Angkor. Dia tidak peduli pada apa dan siapa pun. Sebelum lawan binasa semua di tangannya, maka dia tidak akan berhenti.
Sementara itu, melihat seorang pemuda tampan berpakaian rapi dan membawa-bawa sebuah suling. Bidadari Tangan Api cepat mengenalinya.
"Kakang Kamajaya...," gumam Dewi Tanjung Putih pelan.
Orang yang muncul itu tidak lain memang Kamajaya alias si Pendekar Suling Emas, dan seorang tua berkulit legam memakai rompi kuning. Celananya pendek sebatas paha. Kuku-kuku tangan dan kakinya panjang lagi runcing. Siapa lagi kalau bukan Jingga Kalamanda. "Paman, kenalkanlah. Ini kekasihku. Namanya, Dewi Tanjung Putih. Dia cantik, bukan?" ujar Kamajaya seraya tersenyum-senyum.
Pendekar Suling Emas seolah tidak mempedulikan orang lain yang berada di sini. Bibirnya tersenyum mengenalkan gadis itu pada pamannya. Sementara Jingga Kalamanda tidak begitu mempedulikannya. Matanya hanya melirik sekilas, lalu menatap tajam pada dua orang tua yang tadi mengeroyok Bidadari Tangan Api.
"Huh, Pengecut-pengecut Busuk! Tak punya malu mengeroyok seorang wanita...!" dengus Jingga Kalamanda alias Serigala Muka Hitam mencibir sinis.
"Kisanak! Kau tidak usah ikut campur, jika tidak tahu urusan orang lain!" sahut Ki Teja Rukmana garang.
"Tidak seorang pun boleh bicara begitu padaku, kecuali sudah bosan hidup!" dengus Serigala Muka Hitam seraya menatap tajam kepada Ki Teja Rukmana.
"Huh! Tidak usah banyak bicara! Enyahlah dari sini. Atau, kalian boleh mampus bersama wanita iblis itu!"
Sikap Ki Teja Rukmana semakin garang mendengar ocehan orang tua berkulit legam itu.
"Kurang ajar!" Jingga Kalamanda menggeram.
Dan bersamaan dengan itu, Serigala Muka Hitam langsung melompat menerjang.
Ki Teja Rukmana terkesiap. Gerakan laki-laki hitam ini cepat bukan main. Namun begitu dia masih sempat menangkis.
"Hih!"
Plak! "Uhhh...!"
Ki Teja Rukmana alias Pendekar Bukit Rebung mengeluh tertahan. Tangannya terasa linu ketika beradu dengan tangan Serigala Muka Hitam. Belum lagi sempat membalas serangan, Jingga Kalamanda telah berkelebat melakukan tendangan ke arah kepala. Dan saat Ki Teja Rukmana menepisnya dengan ayunan senjata. Serigala Muka Hitam sama sekali tidak berusaha menarik pulang kakinya.
Krak! Sungguh luar biasa! Senjata Ki Teja Rukmana kontan patah begitu menghantam kaki Jingga Kalamanda. Bahkan lutut Serigala Muka Hitam terus berkelebat dengan tendangan terus meluncur menghajar dada. Akibatnya....
Diegkh! "Aaakh...!"
"Ki Teja...!" teriak Ki Dewa Subrata kaget. Langsung dia menghambur ke arah jatuhnya Ki Teja Rukmana yang memuntahkan darah segar.
"Heaaat...!"
Sementara, Jingga Kalamanda tidak diam sampai di situ. Tubuhnya langsung berkelebat menerjang lawannya yang belum siap bangkit. Melihat keadaan itu, mau tidak mau Ki Dewa Subrata terpaksa turun tangan. Segera pedangnya dikibaskan untuk menghalau serangan.
"Hiiih!"
"Uts!"
Serigala Muka Hitam melejit cepat, menghindari tebasan senjata. Tahu-tahu dia telah berada di samping kiri Ki Dewa Subrata sambil berusaha menyikut dada.
Ki Dewa Subrata cepat melompat ke kanan dengan sambaran pedang ke leher Jingga Kalamanda. Namun Serigala Muka Hitam itu telah melompat mengikuti gerakannya, sambil melakukan tendangan ke punggung.
"Uhhh...!"
Ki Dewa Subrata terkesiap. Meski berhasil bergulingan menghindari, namun tak urung angin serangan lawan yang kencang sempat dirasakannya. Dan baru saja hendak bangkit, kepalan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat ke arah Ketua Padepokan Ulat Sutera ini.
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Dewa Subrata kontan terjungkal ke belakang disertai muntahan darah segar begitu pukulan Jingga Kalamanda yang keras bukan main menghantam telak dadanya.
Serigala Muka Hitam mendengus sinis dan siap menerjang kembali. Namun sebelum Serigala Muka Hitam melakukannya....
"Alangkah pengecutnya bila seseorang menghabisi lawan yang tengah tak berdaya...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang disusul berkelebatnya sosok berbaju rompi putih. Dan sosok itu mendarat lalu tegak berdiri di depan Ki Dewa Subrata.
Melihat siapa yang muncul, Kamajaya mendengus sinis. Sementara Bidadari Tangan Api ikut tersenyum sinis, sambil melangkah mendekati Kamajaya.
"Paman, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...," tunjuk Kamajaya.
? *** ? Serigala Muka Hitam mendelik tajam. Namun sebelum berkata sesuatu, Dewi Tanjung Putih telah lebih dulu memberi isyarat pada Kamajaya.
"Kakang Kamajaya! Jangan campuri urusanku. Pemuda ini adalah bagianku. Dia punya hutang yang harus dibayar!" ujar Bidadari Tangan Api seraya memberi isyarat pada Darmo Angkor yang masih asyik membantai lawan-lawannya.
"Ada apa. Kak?" tanya pemuda tolol itu dengan napas sedikit terengah-engah, setelah menghampiri.
"Ingatkah kau dengan orang jahat yang kukatakan" Nah! Itulah orangnya!" tunjuk Dewi Tanjung Putih pada pemuda yang bam muncul, dan tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
Darmo Angkor memandang pemuda itu. Wajahnya berkerut menahan geram. Lalu kakinya melangkah lebar, mendatangi Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebelum berjalan dua langkah, sebelah tangan Jingga Kalamanda yang direntangkan menghalangi jalannya.
"Jangan campuri urusanku, Buto Ijo!" dengus Serigala Muka Hitam dingin.
Darmo Angkor menggeram. Dan kalau saja Bidadari Tangan Api tidak melarangnya, sudah pasti pemuda raksasa itu akan menyerang Serigala Muka Hitam. Dewi Tanjung Putih, tahu siapa orang tua itu. Dan dia tidak mau Darmo Angkor celaka begitu saja. Padahal, mereka di pihak yang sama.
"Kalau tidak salah, kau pasti Serigala Muka Hitam, Paman Kamajaya yang merupakan kawan baikku. Dan karena aku punya sedikit urusan dengan pemuda itu, harap jangan menghalanginya...," ujar Dewi Tanjung Putih dengan wajah manis.
Jingga Kalamanda melirik sekilas, namun sorot matanya tajam menusuk.
"Hei! Aku tak peduli apa yang kau bicarakan! Aku akan berurusan dengannya. Bila ikut campur, maka kau yang akan berurusan denganku lebih dulu!" dengus Serigala Muka Hitam.
Dewi Tanjung Putih tersedak mendengar kata-kata Jingga Kalamanda. Dia tak berani menyahut Bahkan sampai orang tua itu meninggalkannya untuk menghampiri pemuda tampan berambut panjang yang baru saja muncul.
"Kenapa Kakak takut dengannya" Biar kuhajar orang tua hitam itu"!" dengus Darmo Angkor, gusar.
"Ssst! Sudahlah, dia masih kawan kita...," sahut Bidadari Tangan Api memberi isyarat agar pemuda raksasa itu tidak lagi banyak bicara.
"Maafkan aku, Dewi. Paman memang berwatak keras. Tidak seorang pun bisa menghalanginya. Tapi ngomong-ngomong, punya urusan apa kau dengan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Kamajaya, seraya mendekati gadis itu.
"Itu urusanku, bukan urusanmu!" sahut Bidadari Tangan Api, mendengus sinis.
"Kau masih marah padaku...?" tanya Kamajaya, sambil tersenyum kecil.
Tanjung Putih tidak menjawab. Malah perhatiannya dipalingkan ke depan.
Jingga Kalamanda telah tegak berdiri pada jarak lima langkah dengan pemuda berbaju rompi putih yang membawa sebilah pedang bergagang kepala burung di punggungnya.
"Hm.... Kaukah Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Serigala Muka Hitam, sinis.
"Begitukah orang menjuluki aku...!"
"Telah lama kunantikan saat seperti ini. Dan, siapa nyana kau datang sendiri menemuiku. Ha-ha-ha...! Kudengar tentang kehebatanmu. Dan, kudengar pula tentang sepak terjangmu belakangan ini. Itu membuatku tersinggung. Dan kau mewujudkannya, saat mengganggu keponakanku. Bocah! Tak seorang pun berani berbuat begitu terhadap Serigala Muka Hitam!"
"Serigala Muka Hitam! Sedikit pun aku tak menyinggung perasaanmu. Dan soal keponakanmu, adalah kesalahannya sendiri. Barangkali sebagai pamannya, kau bisa memberi pelajaran padanya," sahut Rangga.
"Tutup mulutmu! Kunyuk buduk! Siapa suruh menasihatiku"! Bedebah! Phuih!" maki Jingga Kalamanda sambil meludah tak karuan.
Kemarahan orang tua berkulit hitam itu seketika berlanjut, saat melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Mulutmu harus dirobek agar kau bisa belajar sopan sedikit!" desis Serigala Muka Hitam geram.
Rangga memberanikan diri, berusaha memapak pukulan Serigala Muka Hitam untuk menjajaki kemampuannya.
Plak! "Uhhh...!"
Namun wajah Rangga jadi berkerut. Pemuda itu mengeluh pelan, ketika telapak tangannya terasa perih saat menangkis kepalan Jingga Kalamanda yang berjuluk Serigala Muka Hitam.
"Yeaaat..J"
Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan.
Dia yakin mampu mengatasi pemuda itu dalam waktu singkat. Dalam gebrakan pertama saja, dia agaknya berada di atas angin. Apalagi ketika pemuda itu belum juga memberi serangan balasan, selain terus menghindar dari serangannya. Dalam perkiraannya, pasti pemuda itu agak keteter. Dan sebentar lagi, tentu dengan mudah dijatuhkannya.
Apa yang diperkirakan Serigala Muka Hitam setengahnya mungkin saja benar. Rangga yang saat itu mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" memang merasakan serangan-serangan dahsyat yang berisi tenaga dalam kuat. Dan sejauh ini, dia memang terus mengelak sambil menjajaki kemampuan lawannya. Namun melewati tiga jurus pertama, Pendekar Rajawali Sakti mulai balas menyerang.
"Heaaat!"
Rangga melompat ke belakang. Namun, Jingga Kalamanda tidak mau memberi kesempatan. Kedua cakar tangan serta kakinya bergerak cepat, menyambar Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga Rangga melenting ke atas. Setelah berputaran tubuhnya menukik laksana kilat membuka jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Begitu cepat gerakannya, sehingga Serigala Muka Hitam hanya mampu terkesiap. Dan....
Duk! "Uhhh...! Kurang ajar!"
Jingga Kalamanda memaki ketika kecolongan. Kedua tangan pemuda itu telak sekali menghantam ke batok kepala. Tubuhnya sempat terhuyung-huyung, namun cepat menjaga keseimbangan.
Jingga Kalamanda menggeram. Seketika dikeluarkannya raungan laksana serigala mengamuk. Sinar matanya tajam menusuk. Wajahnya berkerut menggiriskan. Dan seketika itu pula Serigala Muka Hitam melompat menerkam dengan amarah meluap-luap dalam dada.
Rangga yang baru saja menjejak tanah memandangnya dengan kening berkerut. Namun dia tak bisa terpaku lebih lama lagi, karena serangan Serigala Muka Hitam telah meluncur cepat. Maka dengan nekat ditangkisnya tangan laki-laki berkulit hitam itu.
Plak! Bahkan Serigala Muka Hitam melanjutkan serangan berupa tendangan ke perut.
"Hup!"
Rangga cepat melompat ke belakang untuk menghindarinya. Dan pada saat yang sama pula. Serigala Muka Hitam mengikuti gerakannya dengan mencelat ke atas sambil jungkir balik. Lalu disambarnya punggung Pendekar Rajawali Sakti.
Bret! "Aaakh...!"
Rangga mengeluh tertahan, ketika punggungnya tersambar tangan Serigala Muka Hitam. Tampak darah mengalir dari punggungnya yang terluka.
"Yeaaa!"
Serigala Muka Hitam tidak berhenti sampai di situ. Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menyiapkan serangan, Jingga Kalamanda telah menghentakkan tangan kanannya begitu mendarat di tanah.
"Hih...!"
"Uts!"
Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti bergulingan menghindarkan diri, begitu merasakan angin sambaran yang keluar dari telapak tangan Serigala Muka Hitam.
Jder...! ?
Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** ? Apa yang diperbuat Serigala Muka Hitam sungguh hebat. Beberapa orang yang berada di sekitar tempat itu terpental, terkena angin serangannya. Pepohonan serta kerikil-kerikil sebesar kepalan tangan lebih, terbang dan melayang.
Sementara itu, setelah bergulingan beberapa kali. Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Sring! Melihat itu, Jingga Kalamanda terkekeh nyaring sambil mengejarnya dari belakang.
"He-he-he...! Kenapa tidak sejak tadi menggunakan senjata bututmu itu. Bocah" Kau mulai gelisah" Mulai ketakutan" He-he-he...!" ejek Serigala Muka Hitam.
Pendekar Rajawali Sakti tidak menyahut. Dia hanya menatap dingin. Wajahnya kini menyiratkan perbawa kuat. Bahkan sebenarnya mampu meruntuhkan nyali Serigala Muka Hitam.
Jingga Kalamanda sebenarnya sudah jatuh nyalinya. Namun karena malu dia berusaha menutupi dengan berkata-kata seperti itu.
Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan itu kini jadi amat luar biasa di tangan Rangga. Bahkan ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengebutkan pedang. Serigala Muka Hitam harus mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Wung...! "Uhhh...!"
Kembali Serigala Muka Hitam terkesiap. Suara berdengung dan hawa panas seketika menyengat sekujur tubuhnya. Bahkan sampai menusuk-nusuk pendengarannya, ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti nyaris menyambar lehernya.
Jingga Kalamanda mendengus geram. Dia memiliki pukulan "Topan Siluman". Dan selama ini, telah terbukti kehebatannya. Lebih dari itu, dia pun memiliki ajian yang membuat tubuhnya kebal segala jenis senjata tajam. Meskipun melihat pedang pemuda itu, dia tidak begitu yakin kalau aji kebalnya mampu menahannya.
Berpikir begitu kembali. Serigala Muka Hitam mengerahkan pukulan mautnya. Seketika tangan kanannya menghentak ke depan.
"Heaaat..!"
Rangga sengaja tidak meladeni. Dan dia lebih memilih untuk menghindarinya.
Apa yang terjadi kini terulang kembali. Mereka yang telah mengetahui kehebatan pukulan "Topan Siluman", buru-buru menyingkir dari tempat itu. Dan mereka hanya melihat pertarungan dari jarak yang cukup jauh.
Melihat serangannya kembali luput dari sasaran, Jingga Kalamanda mendengus geram. Seketika dilepaskannya pukulan andalan kembali sebelum pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah.
"Yeaaat..!"
Namun, agaknya Rangga tidak mau terpedaya. Sejak berada di udara tadi, dia memang telah mengusap batang pedangnya. Sehingga sinar warna biru kini berkumpul di tangan kanannya. Lalu cepat sekali Rangga memasukkan pedangnya ke dalam warangka. Tepat begitu pukulan Serigala Muka Hitam meluncur datang, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan.
"Aji "Cakra Buana Sukma"...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga, meluncur sinar biru dari telapak tangan Rangga, memapak pukulan Serigala Muka Hitam.
Siut...! Jder! "Aaa...!"
Jingga Kalamanda kontan memekik setinggi langit. Tubuhnya tampak terpental beberapa tombak ke belakang, dan diam tidak berkutik. Dari mulut, hidung, mata, serta seluruh pori-porinya keluar cairan darah. Serigala Muka Hitam tewas dengan tubuh makin menghitam. Tercium bau hangus terbakar yang berasal dari tubuhnya.
Srak! Rangga menyarungkan pedang. Kakinya melangkah, mendekati Serigala Muka Hitam untuk meyakinkan kematiannya.
"Maaf, Sobat. Aku tidak bermaksud begini. Tapi, kau terlalu memaksa...," ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.
Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh ke belakang. Tampak Ki Dewa Subrata serta yang lainnya telah berada di situ.
"Pendekar Rajawali Sakti, kami amat berterima kasih atas bantuanmu...," ucap Ki Dewa Subrata seraya menjura hormat, diikuti yang lainnya.
"Kisanak, tidak usah begitu. Sudah kewajiban kita selaku manusia untuk saling tolong-menolong...," sahut Pendekar Rajawali Sakti merendah.
"Hm.... Kau rendah hati sekali. Tidak salah bila banyak orang yang memujamu...."
"Jangan keterlaluan memuji orang, Kisanak. Aku tidak beda dengan yang lain. Seperti kalian juga...," sahut Rangga, lagi-lagi merendah.
Kemudian pandangan Rangga beredar ke sekeliling mencari-cari si Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan pemuda bertubuh raksasa tadi. Namun mereka tidak terlihat lagi di tempat itu.
"Sebentar tadi kami pun mencari-cari. Mungkin mereka kabur setelah mengetahui kematian Serigala Muka Hitam...," jelas Ki Dewa Subrata. "Oh, ya. Sekali lagi kami berterima kasih karena kau telah memberi pelajaran pada Bidadari Tangan Api. Wanita itu telah membunuh murid kami, Jaka Lola...."
"Ah, Jaka Lola.... Ya! Aku pernah mendengarnya. Maafkan, Kisanak. Sebab aku terlambat menolong muridmu...."
"Sudahlah. Segalanya telah berlalu. Mungkin telah ditakdirkan kalau hari itu adalah naas bagi Jaka Lola...."
Mereka terdiam sejenak, sampai Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Tampak seekor kuda hitam menghampirinya. Begitu dekat, pemuda itu langsung melompat ke punggungnya. Kemudian dia segera berlalu dari tempat itu.
"Kisanak! Tidak ada lagi urusanku di sini. Aku mohon pamit!"
Setelah itu, Dewa Bayu berlari kencang, meninggalkan kepulan debu yang sesaat menghalangi pandangan.
? SELESAI ? Berhasilkah Pendekar Rajawali Sakti menemukan Bidadari Tangan Api, Kamajaya, dan Darmo Angkor untuk mencegah sepak terjangnya" Untuk mengetahui jawabannya....
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
? PASUKAN ALIS KUNING
? ? ? ? Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
Pdf by Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Kisah Para Pendekar Pulau Es 14 Joko Sableng Pedang Keabadian Bara Dendam Menuntut Balas 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama