Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Bagian 1
. 168. Kitab Naga Jongrang ~ Bag. 1-3
5. Februar 2015 um 07:13
1 ? "Kebakaraaannn...!"
"Cepat padamkan api...!"
Teriakan membahana bernada perintah terdengar, ketika si jago merah meliuk-liuk, melahap salah satu sudut sebuah bangunan kuil yang terletak di pinggiran Kadipaten Pacitan. Bangunan kuil yang dikenal bernama Kuil Kiambang Lima tampak diselubungi asap hitam dengan lidah api sekali-kali menguak.
Para penduduk yang tinggal di sekitar kuil berlarian ketakutan. Namun ada pula yang ikut bahu-membahu membantu penghuni kuil untuk memadamkan api yang terus berusaha melahap apa saja yang mudah terbakar.
Belum juga beres mereka memadamkan api, mendadak....
"Kejar...!"
"Jangan biarkan lolos...!"
Kembali terdengar teriakan dari belakang kuil yang disusul dengan berlariannya dua puluh lima orang berpakaian pendeta, yang mengejar seorang pemuda berpakaian pendeta pula.
Pemuda berkepala gundul berusia lima belas tahun itu terus berlari dengan napas terengah-engah, berusaha meninggalkan bangunan Kuil Kiambang Lima ini.
Sebelah tangannya mendekap buntalan kain yang dirapatkannya ke dada. Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang. Wajahnya yang pucat telah dibanjiri keringat. Teriakan-teriakan itu membuat jantungnya berdegup kencang, menggambarkan ketakutan semakin dalam yang menyeruak dari hatinya.
"Heaaa...!"
Salah seorang pendeta yang mengejar melompat gesit ketika pemuda gundul itu sudah berlari lima puluh tombak jauhnya dari Kuil Kiambang Lima. Tubuhnya berputar beberapa kali, lalu mendarat ringan tiga tombak di depan pemuda berkepala gundul.
"Berhenti kau, Sancaka...!" bentak pendeta itu. "Hih!"
Bahkan seketika sebelah telapak tangan pendeta itu menghentak ke depan.
Wusss...! Saat itu juga meluncur serangkum angin kencang ke arah pemuda yang dipanggil Sancaka.
Cepat bagai kilat Sancaka bergerak ke samping, sehingga pukulan itu luput beberapa rambut di sisinya.
Pada waktu yang bersamaan, para pendeta yang lain telah sampai di tempat ini. Mereka langsung bergerak melingkar, membuat kepungan. Wajah Sancaka tampak semakin pucat. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya, ketika menyadari kalau tidak ada celah sedikit pun untuk lolos.
"Celaka! Mana mungkin aku mampu menghadapi mereka semua...!" desis pemuda gundul ini pelan.
"Mau lari ke mana lagi kau sekarang. Murid Durhaka" Serahkan kitab itu. Dan, jangan coba-coba melawan!" hardik pendeta yang menghadang Sancaka tadi.
"Guru! Aku justru tidak tahu, kenapa tiba-tiba dikejar dan dituduh pencuri...?" sanggah pemuda itu.
Orang yang dipanggil Sancaka dengan sebutan Guru adalah laki-laki berusia empat puluh empat tahun. Dan pemuda itu tahu kalau nama laki-laki di depannya ini adalah Binareksa.
Kedudukan pendeta Binareksa di Kuil Kiambang Lima, memang sebagai wakil Wiku Dharmapala dalam memberikan ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan lain. Selain kepandaiannya cukup tinggi, Pendeta Binareksa memang cukup disegani.
Sedangkan Wiku Dharmapala sendiri sudah berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Kepandaiannya sangat tinggi, namun sangat arif dan bijaksana.
Sudah dua puluh lima tahun dia memimpin Kuil Kiambang Lima ini, sejak menggantikan ayahnya.
"Celaka kau, Sancaka! Apakah kau tidak mau mengaku juga"!" desak Pendeta Binareksa.
"Guru.... Aku tidak merasa mencuri apa-apa...," desah Sancaka.
"Tangkap dan geledah seluruh tubuhnya!" perintah pendeta bertubuh tinggi.
Saat itu juga para pendeta yang rata-rata masih muda melompat menyergap Sancaka. Mereka segera merampas buntalan yang berada di tangan pemuda ini. Sementara yang lain memeriksa sekujur tubuhnya.
"Guru, dia tidak membawa apa-apa. Isi buntalan ini hanya pakaian kotor...," lapor salah seorang pemuda pendeta, yang juga asuhan Pendeta Binareksa.
"Mustahil! Kalian pasti salah periksa...!" sergah pendeta itu.
Segera Binareksa bergerak menghampiri Sancaka. Diperiksanya sendiri Sancaka dengan rasa penasaran. Tapi apa yang dikatakan murid-muridnya memang benar. Isi buntalan itu hanya berisi pakaian kotor. Diperiksanya tubuh Sancaka dengan lebih cermat Dan ketika benda yang dicari tidak kunjung ditemukan, maka dicengkeramnya leher baju pemuda ini.
"Sancaka! Di mana kau sembunyikan kitab itu"! Jangan main-main! Kau bisa dihukum berat karenanya!" desis Pendeta Binareksa dengan wajah menyeringai geram.
"Guru! Aku tidak tahu, apa yang kalian maksudkan" Kitab apa" Aku sama sekali tidak mencuri apa-apa!" tandas Sancaka, meyakinkan.
"Kurang ajar! Kau masih mau mungkir, he"! Lalu, siapa yang membakar kuil. Dan kenapa kau begitu ketakutan, sehingga perlu menyelamatkan diri keluar kuil?" cecar Pendeta Binareksa.
"Itu karena murid-murid lain menuduhku membakar kuil. Mereka mendesak dan bermaksud memukuliku. Dan ketika mencoba menyelamatkan diri, mereka malah berteriak menuduhku maling. Aku tidak mencuri apa-apa! Dan Guru telah melihatnya pula. Lalu, apa yang harus kuakui?" tangkis pemuda itu.
Pendeta itu terdiam. Dipandanginya Sancaka seperti hendak meneliti kejujuran pemuda tanggung itu.
"Dia berdusta, Guru!" tuding salah seorang pendeta berusia dua puluh tahun. "Aku lihat sendiri, dia mengendap-endap ke ruang perpustakaan dan mencuri sebuah kitab. Dan setelah itu, membakar salah satu gedung untuk menarik perhatian. Sementara, dia berusaha kabur!"
"Balaga! Bagaimana kau bisa menuduhku demikian"! Apa buktinya" Mana buku yang kucuri itu"!" bantah Sancaka.
"Sekarang mungkin tidak ada padamu, tapi bisa jadi kau sembunyikan di suatu tempat!" tukas pemuda berusia dua puluh tahun yang dipanggil Balaga.
"Kalau memang kau yakin, kau cari saja! Sesuai hukum yang pernah kita pelajari, maka menuduh seseorang tanpa bukti sama artinya memfitnah. Dan..., hukuman fitnah, tanyakan sendiri pada Guru!" dengus Sancaka, seraya menoleh pada Pendeta Binareksa.
Sejenak suasana sunyi, seketika belum ada yang angkat bicara.
"Apa yang kau katakan benar. Namun kau lupa..., hukuman bagi seorang pembohong pun tidak kalah beratnya ketimbang hukum memfitnah," tambah Pendeta Binareksa, memecah keheningan.
"Apakah Guru hendak mengatakan bahwa aku pembohong" Aku membohongi kawan-kawan serta guruku sendiri" Oh, Jagad Dewa Batara! Betapa tercelanya perbuatan itu. Dan aku tidak ingin menjadi orang tercela!" desah Sancaka seraya menggeleng.
"Aku tidak menuduhmu pembohong. Tapi, nantilah para guru akan menanyaimu. Nah, sekarang kembalilah ke kuil. Kau harus menjelaskan semua kejadian ini. Kalau kau memang tidak melakukannya, tidak usah takut."
"Aku tidak takut, Guru! Kalian telah mengajarkan hal-hal yang benar. Dan lagi pula, aku memang tidak berbuat kesalahan apa-apa!" sahut pemuda itu mantap.
*** Usul Pendeta Binareksa agar Sancaka diperiksa dan diadili di depan dewan guru, tidak disetujui Wiku Dharmapala. Orang tua arif berusia lebih dari tujuh puluh tahun yang mengepalai Kuil Kiambang Lima ini ingin menyelesaikan persoalan ini berdua saja dengan Sancaka. Dan tempatnya pun tidak di ruangan khusus, tapi di taman belakang.
Melihat Sancaka bukan seperti diadili, para dewan guru dan para pendeta pelajar merasa iri dan cemburu. Mereka melihat Sancaka malah seperti mendapat pengampunan dari maha guru Wiku Dharmapala.
Kini Wiku Dharmapala duduk di bawah sebatang pohon rindang di belakang kuil. Sementara Sancaka duduk di sebelahnya.
"Sancaka.... Tahukah kau, kenapa kuajak ke sini?" tanya maha guru Kuil Kiambang Lima ini.
Pemuda itu menggeleng lemah.
"Atau barangkali, kau bisa menduga" Katakanlah...," ujar Wiku Dharmapala.
"Ng..., soal kemarin sore, Guru?" tanya Sancaka.
"Kenapa kau menduga begitu?" Wiku Dharmapala balik bertanya, sekaligus memancing.
"Biasanya Guru jarang turun tangan sendiri, bila persoalannya tidak begitu penting."
"Jadi, kau setuju kalau kejadian kemarin sore itu suatu hal yang penting?"
"Semua membicarakannya. Dan mereka resah, cemas, serta geram, ini kejadian langka, dan jelas amat penting."
Wiku Dharmapala tersenyum.
"Kau pintar, Sancaka. Tahukah kau, bahwa salah satu yang kusukai darimu adalah kepintaranmu" Dalam segala hal, kau punya kelebihan. Kemauanmu kuat. Dan kau pun sangat rajin," puji maha guru ini.
"Terima kasih. Guru...," ucap Sancaka.
"Karena kepintaranmu itulah aku ingin meminta pertolonganmu. Apakah kau bersedia melakukannya?"
"Pertolongan apa yang bisa kulakukan. Guru?"
"Carilah pencuri itu. Dan kembalikan kitab Naga Jonggrang ke kuil ini!"
Sancaka terkesiap.. Dipandanginya orang tua itu sekilas. Lalu kepalanya kembali menunduk, ketika mata Wiku Dharmapala menatap tajam. Seakan-akan sang maha guru itu hendak menelan bulat-bulat tubuhnya, melalui sorot matanya.
"Kenapa Sancaka" Kau menolak?" tanya Wiku Dharmapala.
"Eh! Ti.., tidak. Guru. Hanya..., apakah kitab itu demikian penting bagi kuil kita?" Sancaka malah balik bertanya, dengan suara tergagap.
"Kitab Naga Jonggrang ditulis oleh buyutku yang bernama Sangkakala Naga yang juga pendiri kuil ini. Kitab itu berisi pengetahuan tentang segala ilmu silat yang dimilikinya. Juga terdapat pengetahuan tentang obat-obatan dan ilmu perang. Kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah, maka akan sangat berbahaya," jelas Wiku Dharmapala, memberi alasan.
"Tapi, Guru.... Kalau ada yang mencurinya, pastilah dia orang hebat karena mampu lolos dari pengawasan kita semua," tukas Sancaka.
"Ya, mungkin saja. Tapi..., mungkin juga pencuri itu tidak hebat melainkan cerdik. Dia mengerti keadaan kuil ini, sehingga tahu persis kapan harus mencuri kitab ini," kilah Wiku Dharmapala.
"Tapi..., kalau benar dia berilmu tinggi, bagaimana mungkin aku bisa merebut kitab itu darinya, Guru?"
"Pikirkanlah, Sancaka. Aku hanya ingin mendengar jawaban darimu sekarang juga. Bisakah kau membawa kitab itu kembali ke kuil ini?"
"Kalau memang demikian titah Guru, aku akan berusaha mendapatkannya kembali...," desah Sancaka.
"Bagus!" sambut Wiku Dharmapala.
Sebelum Sancaka terdiam. Sepertinya dia ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Tapi, aku perlu waktu, Guru...," desah Sancaka, akhirnya.
"Berapa lama waktu yang kau minta?" tanya sang maha guru.
"Entahlah. Pekerjaan ini berat. Sehingga waktu yang kuperlukan mungkin cukup lama," sahut Sancaka.
"Kalau begitu kau kuberi kelonggaran waktu yang cukup lama," ujar Wiku Dharmapala.
"Terima kasih, Guru."
"Dan waktu itu akan semakin lama, Sancaka...."
"Maksud, Guru?"
"Carilah kitab itu. Dan bila belum juga menemukannya, jangan kembali lagi ke sini."
"Guru...!"
Sancaka tercekat. Kata-kata Wiku Dharmapala jelas bernada pengusiran terhadapnya secara halus. Dipandangnya orang tua itu sesaat. Namun Wiku Dharmapala telah bangkit berdiri dan berbalik.
"Cepatlah kemasi barang-barangmu. Kau akan berangkat sebelum tengah hari!" ujar orang tua itu, sambil melangkah pergi.
Sementara itu Sancaka masih termangu. Tak percaya dengan keputusan maha gurunya.
*** Pagi baru saja beranjak menuju siang. Sinarnya menyorot, menembus celah-celah pepohonan di tepian Hutan Tiga Dewa. Seorang pemuda berpakaian pendeta dengan kepala gundul terlihat berjalan santai menyusuri jalan setapak ini.
Pemuda yang tak lain Sancaka ini merasa seperti ada tiga sosok yang berkelebat mengikutinya dari tempat tersembunyi. Sesekali pemuda itu menoleh ke belakang seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun keadaan tetap sunyi, kecuali nyanyian burung-burung hutan. Padahal nalurinya yang tajam mengatakan bahwa perjalanannya belum aman. Sampai Sancaka tiba di tepian sungai kecil, di kaki Gunung Mahameru, belum terlihat sosok-sosok yang mengikutinya.
Pemuda itu lantas berhenti istirahat untuk membuka bekalnya. Perlahan-lahan dia mulai bersantap sambil menikmati hembusan angin sejuk. Meski matahari telah bersinar garang, namun hawa di kaki gunung ini masih terasa sejuk.
"Suit...! Suit...!"
Sancaka bersiul perlahan-lahan beberapa kali seperti menikmati indahnya alam. Sementara itu matanya tidak pernah berhenti mengawasi seluruh tempat ini.
Baru saja gema siulan itu menghilang, sebuah bayangan hitam berkelebat ke arah Sancaka. Semakin dekat semakin jelas kalau yang berkelebat itu adalah seekor monyet yang bergelantungan dari satu dahan pohon ke pohon lain. Kemudian dengan sigap binatang itu melompat ke pangkuannya.
"Bagaimana, Sobat" Sudah kau sembunyikan titipanku semalam?" tanya Sancaka pada monyet kecil itu.
"Nguk! Nguk...!"
Monyet berbulu hitam itu mengangguk seperti mengerti ucapan Sancaka. Mulutnya menyeringai lebar, sehingga dahinya berkerut-kerut, Matanya berkedip-kedip sebentar sebelum berpindah ke pundak kiri pemuda itu.
"Bagus! Kerjamu memang hebat, Cakil! Nah, sekarang mari kita pergi. Nanti sewaktu-waktu bila kuperlukan, maka ambilkan barang titipanku itu padaku, ya?"
"Nguk! Nguk!"
Monyet itu mengangguk, lalu pindah ke pundak kanan pemuda itu. Dan Sancaka segera bangkit.
"Ayo, mari kita pergi, Cakil...!" ajak pemuda itu seraya melangkah. Namun baru beberapa tindak Sancaka melangkah....
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan lantang menggelegar, membuat Sancaka terjingkat kaget Seketika tubuhnya berbalik. Kini, tampak dua sosok tubuh bergerak cepat ke arahnya. Gerakan mereka cepat dan gesit, sehingga sebentar saja sudah tiba di depan pemuda itu berjarak lima tombak.
Sancaka menatap tajam, memperhatikan dua laki-laki bermuka seram yang tegak berdiri juga menatapnya. Yang seorang berbaju hijau. Di pinggangnya tampak sebilah tongkat kecil. Sementara yang seorang lagi berbaju kuning. Di punggungnya tersampir sebilah pedang. Sikap mereka jelas tidak bersahabat Namun begitu, Sancaka berusaha tenang.
"Kisanak berdua siapa" Dan mengapa kalian menghadang perjalananku?" sapa Sancaka ramah disertai tersenyum kecil.
"Aku Rupaksa! Dan saudaraku Rupaksi. Sebaiknya, kau tak usah banyak tanya! Serahkan saja Kitab Naga Jonggrang pada kami!" bentak laki-laki berbaju hijau yang bernama Rupaksa.
"Perlu kutambahkan, kau saat ini tengah berhadapan dengan Iblis Kembar Selatan. Jadi, tak perlu macam-macam. Sedikit saja buat kesalahan, maka nyawamu akan kucabut!"
Sesuai nama dan gelar yang disandang, mereka memang bersaudara. Kepandaian mereka cukup tinggi, namun memiliki watak kejam. Tidak peduli siapa yang dihadapi. Bila maksud belum tercapai, maka mereka akan menghalalkan segala cara. Meski, harus membuat orang kehilangan nyawanya.
"Aah! Kitab Naga Jonggrang" Hm..., baru sekali ini aku mendengarnya! Kenapa kalian berdua mengira kalau kitab itu ada padaku?" tanya Sancaka, polos.
"Kurang ajar! Sudah kukatakan, jangan main-main dengan kami. Kau akan menyesal nanti! Ayo, berikan kitab itu!" dengus Rupaksi.
"Kisanak! Aku sungguh tidak tahu tentang kitab yang kalian maksudkan. Bahkan melihatnya pun belum. Bagaimana aku bisa memberikannya pada kalian?" tukas Sancaka, mulai ikut keras nada suaranya.
"Kalau begitu kau mesti mati!" desis Rupaksi.
"Eee, tunggu dulu! Barangkali aku bisa sedikit membantu. Umpamanya, mencarikan kitab itu untuk kalian!" seru Sancaka, seraya mengangkat tangannya.
Iblis Kembar Selatan itu saling berpandangan. Lalu, Rupaksi terlihat menggeleng kecil. Dan Sancaka segera mengerti, kata-katanya tidak mempengaruhi niat mereka.
"Aku sendiri sebenarnya memang tengah diperintah mencari kitab itu! Dan kalau kalian mau membiarkan aku pergi, maka setelah kitab itu kudapatkan, akan kuberikan pada kalian!" tambah pemuda itu belum berputus asa.
Rupaksa yang telah mencabut tongkat kecil di pinggangnya terdiam sesaat. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.
"Di mana kau akan mencari kitab itu?" tanya Rupaksa, kemudian.
"Aku sendiri tidak tahu...," sahut Sancaka, polos.
"Kalau begitu kau tidak berguna. Dan, lebih baik mati!" desis Rupaksa, hendak mengayunkan tongkat kecilnya.
"Eee, tunggu! Meski tidak tahu pasti, namun aku mengenali wajah pencuri kitab itu...!" tukas Sancaka, menahan gerakan Rupaksa.
"Apa maksudmu" Jangan coba-coba menipu! Bukankah kau sendiri yang mencuri kitab itu"!" hardik Rupaksi.
"He, apa maksudmu" Aku pencurinya"! Gila! Ini fitnah. Aku murid yang baik di Kuil Kiambang Lima. Dan semua guruku memuji demikian. Aku tidak pernah mencuri. Bahkan kalau menemukan sesuatu, pasti akan segera kuberikan pada dewan guru. Lagi pula, untuk apa aku mencuri kitab itu" Dan apa gunanya bagiku?"
Kembali Rupaksa dan Rupaksi saling berpandangan untuk sesaat. Mereka mulai bingung mendengar keterangan pemuda ini.
"Nah! Karena hanya aku yang melihat wajah pencuri itu, maka guru menyuruhku untuk menguntit ke mana larinya. Sekaligus, mencari tahu siapa dia sebenarnya. Dan kalau bisa, membawa pulang kitab itu. Jika kalian tidak percaya, datang saja ke kuil. Tanyakanlah pada semua pendeta yang berada di sana," lanjut pemuda itu mulai mempengaruhi.
"Kalau begitu, tunjukkan pada kami ke mana pencuri itu pergi!" ujar Rupaksa.
"Inilah yang sulit. Aku hanya tahu wajahnya. Dan, sama sekali tidak tahu siapa dia. Menurut guru, pencuri itu sangat lihai dan cerdik. Dia pasti bersekutu dengan orang dalam. Dan siapa pun orang dalam itu, pasti mencari kambing hitam. Dan kambing hitam yang empuk untuk disalahkan adalah aku. Sebab, selama ini aku menjadi kesayangan guru-guru," jelas Sancaka, meyakinkan.
Kembali Iblis Kembar Selatan saling pandang. Wajah mereka yang garang, pelan-pelan berubah bingung.
"Siapa pun orangnya yang jelas dia sengaja memfitnahku. Dan kalian lantas menduga kalau akulah pencurinya. Sementara, orang yang mencuri tenang-tenang menyembunyikan kitab itu," lanjut Sancaka.
Rupaksa dan Rupaksi masih belum begitu percaya dengan ocehan pemuda ini. Namun begitu, mereka tidak terlalu menuduh seperti tadi.
"Kalau kau tak tahu pencuri itu, bagaimana mencarinya" Lalu kalau kau memang yakin bahwa pencurinya bekerja sama dengan orang dalam, kenapa kau yang harus sibuk" Bukankah kau bisa bicara dengan guru-gurumu, agar mereka mencari orang dalam itu. Lalu, memaksanya untuk mengatakan, siapa pencuri Kitab Naga Jonggrang!"
"Hal itupun sudah kupikirkan. Tapi, aku terikat pada peraturan. Kami tidak boleh menuduh sembarangan tanpa bukti jelas. Kalau aku menuduh salah seorang murid, maka bisa saja mereka kembali menuduhku memfitnah. Dan hukuman fitnah sangat berat. Maka bagaimanapun juga, aku terpaksa harus mencari sendiri pencuri itu. Kalau kalian memang kenal salah seorang murid di kuil itu yang mengatakan bahwa aku pencurinya, maka bukan tidak mungkin dialah orang dalam yang kumaksudkan tadi. Tangkap dan paksa saja untuk mengaku, siapa pencurinya. Dengan begitu, kalian akan lebih jelas mengetahui pencurinya," papar Sancaka panjang lebar.
"Betul juga katanya...," gumam Rupaksa.
Rupaksi tidak menjawab. Dia masih belum percaya sepenuhnya pada cerita pemuda berkepala gundul itu.
*** 2 ? Belum ada yang membuka suara lagi, mendadak berkelebat tiga sosok bayangan ke arah Sancaka dan Iblis Kembar Selatan.
"Sancaka! Apa yang kau katakan kepada mereka"!"
Terdengar bentakan nyaring, begitu tiga sosok bayangan itu berhenti tiga tombak di samping Sancaka.
Iblis Kembar Selatan, dan terutama Sancaka, begitu terkejut melihat tiga sosok yang baru datang. Mereka ternyata tiga laki-laki setengah baya berpakaian pendeta dengan kepala gundul. Memang, tiga sosok pendeta inilah yang tadi mengikuti Sancaka. Dan pemuda itu mengenal mereka dengan nama Setiawangsa, Logawa, dan Wisnupati.
"Ampun, Guru! Aku tidak mengatakan apa-apa...!" sahut Sancaka seraya menjura hormat.
"Kau berani berdusta, he"! Kami tadi mendengar semua yang kau bicarakan!" bentak pendeta yang bernama Logawa.
Sancaka diam saja tidak menjawab.
"Katakan pada kami, siapa orang dalam yang kau maksudkan itu"!" timpal Setiawangsa.
"Guru, aku tidak tahu...," sahut Sancaka, gusar.
"Kau berdusta lagi! Kepada orang luar kau beberkan semua mengenai keadaan kuil kita. Sedang kepada gurumu sendiri, malah main sembunyi-sembunyi!" tambah Wisnupati, sambil melangkah menghampiri.
"Guru.... Aku sama sekali tidak menceritakan apa-apa. Mereka sendirilah yang tahu soal kitab itu. Dan aku hanya menjawab sejujurnya," kilah Sancaka.
"Siapa orang dalam yang berkomplot dengan pencuri itu?" desah Wisnupati.
"Guru, aku tidak bisa menuduh sembarangan, sebab sama saja fitnah. Lagi pula aku tidak tahu pasti, siapa orangnya. Kalau guru ingin tahu juga, sebaiknya tanya saja kepada kedua orang ini!" tunjuk Sancaka kepada dua lelaki bertampang seram itu. "Mereka menuduhku pencuri. Dan hal ini hanya diketahui penghuni kuil. Kalau mereka berdua tahu, pastilah ada orang dalam yang membocorkannya. Dan orang dalam itu pasti mengetahui, siapa saja yang berkomplot dengan pencuri kitab itu!"
"Apakah kata-katamu bisa dipertanggungjawabkan?" tanya Logawa dengan bibir tersenyum sinis.
"Aku berusaha untuk tidak berbohong, Guru. Lagi pula, mana mungkin aku berbohong pada guruku sendiri," tandas Sancaka.
Ketiga pendeta itu terdiam. Lalu mereka menoleh kepada dua orang berwajah kembar.
"Kisanak! Aku kenal siapa kalian. Dan persoalan kami adalah persoalan antara penghuni kuil Jadi, kuharap jangan ikut campur. Dan sebaiknya katakan, siapa penghuni Kuil Kiambang Lima yang mengatakan bahwa Sancaka telah mencuri Kitab Naga Jonggrang?"
Logawa yang paling tua di antara ketiga pendeta itu mengarahkan tatapan pada Rupaksi dan Rupaksa berganti-ganti.
"Kami tidak berurusan denganmu!" sahut Rupaksi, mendengus sinis.
"Pergilah kalian. Dan jangan coba-coba mendikte kami!" timpal Rupaksa.
"Kisanak! Kami berusaha bersikap hormat Ini masih wilayah Kuil Kiambang Lima. Jadi cobalah bersikap sopan kepada penghuninya!" ujar Wisnupati bernada lunak.
"Huh! Peduli apa" Wilayah ini bukan milik Kiambang Lima. Hanya kalian saja yang mengaku-aku. Lagi pula, kenapa kami mesti bersikap sopan segala?" dengus Rupaksi.
"Baiklah, kalau memang begitu anggapan kalian. Dan jika tidak bersedia membantu..., kami permisi dulu!" ucap Wisnupati mengalah.
Ketiga pendeta itu hendak berbalik, setelah memberi hormat Namun baru saja berjalan dua langkah....
"Hei"! Siapa suruh kalian meninggalkan tempat ini!"
Bentakan yang meluncur dari mulut Rupaksa, membuat ketiga pendeta ini menghentikan langkah. Dan secara hampir berbarengan mereka berbalik.
"Apa mau kalian sebenarnya, Kisanak?" tanya Logawa dengan kening berkerut.
"Huh! Sudah lama sekali tanganku gatal ingin menjajal kemampuan penghuni Kuil Kiambang Lima. Menurut kabar, berkepandaian hebat sekali!" kata Rupaksa, bernada menantang.
"Kami tidak bermaksud cari gara-gara, Kisanak. Maaf.... Kami tidak bisa meladeni keinginan kalian...," timpal Wisnupati.
"Pendeta sombong! Kau kira bisa begitu saja menghindar dari kami"!" desis Rupaksi. "Yeaaa...!"
Begitu kata-katanya selesai, Rupaksi langsung meluruk ke arah Wisnupati dengan satu hantaman telapak tangan.
"Uts!"
Melihat serangan cepat itu, Wisnupati cepat pula menggeser tubuhnya ke kanan sambil mengibaskan tangan kiri untuk memapak.
Plak! Dan bersamaan dengan itu, Rupaksi melepaskan tendangan menggeledek.
Dengan sebisanya, Wisnupati mencelat ke belakang. Namun, Rupaksi terus mengejarnya seperti tak ingin memberi kesempatan.
"Mau lari ke mana kau, Botak?" ejek Rupaksi sambil terus melancarkan serangan gencar secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya.
"Kisanak, jangan keterlaluan dan memaksaku!" seru Wisnupati mengingatkan, sambil terus menghindar.
"He he he...! Hanya segini saja kemampuan penghuni Kuil Kiambang Lima. Ayo, keluarkan seluruh kemampuanmu. Lawan aku! Atau, kupecahkan kepalamu yang botak itu!"
Saat Rupaksi berhadapan dengan lawannya, rupanya tangan Rupaksa pun ikut-ikutan gatal. Seketika diserangnya Logawa dan Setiawangsa. Maka pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi. Meski ketiga pendeta itu berusaha untuk tidak melakukan perlawanan, namun Iblis Kembar Selatan betul-betul membuat jengkel. Bukan saja berusaha menghajar, tapi juga disertai ejekan yang membuat telinga panas.
"Hm..., mereka saling baku hantam! Aku tidak boleh lama-lama di sini...!" gumam Sancaka.
Secara diam-diam pemuda itu meninggalkan tempat ini sambil menyambar monyet kesayangannya. Mula-mula dia melangkah mundur secara perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tapi begitu jarak telah jauh, dia langsung lari sekencang-kencangnya.
*** Di ruangan khusus Kuil Kiambang Lima, Wiku Dharmapala kelihatan gundah sekali. Padahal belum pernah hatinya merasa serisau hari ini. Hilangnya Kitab Naga Jonggrang, membuatnya tidak bisa tenang. Orang tua itu berusaha bersemadi di tempat yang gelap ini. Sementara di depannya terpasang lebih dari selusin lilin.
"Guru...!"
Wiku Dharmapala membuka pejaman matanya ketika terdengar sebuah suara memanggilnya. Seketika semadinya disudahi, kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan ini. Ternyata di depan pintu telah berdiri beberapa orang murid dengan kepala menunduk dalam.
"Ada apa?" tanya Wiku Dharmapala.
"Ampun, Guru., Tiga paderi yang diperintahkan menguntit Sancaka telah kembali!" sahut salah seorang murid.
"Secepat itukah?"
"Mereka..., mereka terluka."
Wiku Dharmapala menghela napas panjang. Dipandanginya murid-murid yang berada di depannya.
"Kenapa mereka terluka?"
"Mereka bentrok dengan Iblis Kembar Selatan."
"Apa..."!"
Maha guru Kuil Kiambang Lima ini tersentak kaget bukan main. Betapa tidak" Dengan ikut campurnya pihak lain, berarti hilangnya Kitab Naga Jonggrang telah tersebar di luaran dan sampai ke telinga tokoh-tokoh sesat macam Iblis Kembar Selatan.
*** Setelah mengobati luka tiga murid utama yang tak lain Logawa, Setiawangsa, dan Wisnupati, Wiku Dharmapala memerintahkan dewan guru dan murid-murid kuil untuk berkumpul di ruang utama.
Semua murid dan para dewan guru telah menunggu, apa yang hendak dibicarakan maha guru mereka. Sementara wajah sang Wiku Dharmapala tampak keruh. Beberapa kali orang tua itu menghela napas panjang. Sepertinya ada beban yang menghimpit hatinya.
"Aku mendapat firasat, dengan hilangnya Kitab Naga Jonggrang, malapetaka akan datang bagi kita semua. Orang-orang luar mungkin akan berdatangan ke sini, bermaksud mencari tahu soal kitab itu. Aku menduga, secara langsung maupun tidak, ada di antara kita yang membocorkan kejadian kemarin kepada mereka...," kata Wiku Dharmapala, membuka pembicaraan.
"Guru.... Siapa pun yang mencoba mengusik harus kita hadapi!" sahut salah seorang murid dengan suara lantang.
"Betul, Guru! Kalau mereka berani mengusik ketenangan, maka kami akan melawan meski harus mengorbankan nyawa!" timpal yang lain, dan disetujui oleh mereka yang hadir di sini.
"Terima kasih! Kalian memang murid-murid yang berbakti. Tapi aku sama sekali tidak bermaksud mengajarkan kalian untuk berbuat kasar. Kita harus menghadapi mereka dengan kebaikan serta keramahan...," ucap maha guru itu dengan penuh kebijakan.
"Guru.... Untuk apa kita memperlakukan dengan baik, kalau nyatanya mereka hendak menimbulkan kekacauan di sini?" tanya seorang murid, dengan sedikit tersaput kekecewaan.
Wiku Dharmapala tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Kuil ini didirikan atas dasar cinta kasih. Itu adalah ketentuan yang berlaku di sini. Adalah suatu keharusan bagi kita untuk memberi pelajaran yang baik kepada mereka yang bodoh. Juga mengupayakan kesembuhan bagi orang-orang yang sakit. Demikian pula bagi orang-orang yang tidak mengerti. Mereka harus kita sadarkan dengan lemah lembut. Mereka adalah api. Penuh amarah serta hawa nafsu. Itulah sebabnya, kita tidak boleh melawan dengan api pula," papar Wiku Dharmapala penuh kearifan.
Semua yang hadir di ruangan ini terdiam mendengar wejangan dari maha guru mereka.
"Namun begitu, apa yang terlalu besar akan membakar kita. Dan pada saat itu, kita tidak bisa berdiam diri. Artinya ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Memadamkan api sebisanya, serta menyelamatkan diri dengan membawa barang-barang berharga. Apakah barang berharga yang kalian miliki" Itu tidak lain dari iman di dada!" lanjut Wiku Dharmapala.
"Tapi..., apakah Guru yakin mereka akan datang ke sini?" tanya seorang murid.
"Aku tidak berhak menjawabnya. Keyakinan yang pasti, bukan milik manusia...," sahut orang tua ini, lembut.
"Tapi mereka akan ke sini, bukan?" tanya murid yang lain masih penasaran.
"Begitulah kira-kira. Kitab Naga Jonggrang pernah dikenal selama beberapa ratus tahun. Lalu, tiba-tiba saja hilang dari pemberitaan. Mereka hanya tahu, bahwa kitab itu ditulis Sangkakala Naga. Namun mereka tidak tahu, kalau sebenarnya Sangkakala Naga adalah pendiri Kuil Kiambang Lima. Sampai kejadian kemarin, mereka jadi tahu dan yakin kalau kita mempunyai Kitab Naga Jonggrang."
Wiku Dharmapala terdiam beberapa saat sebelum kembali meneruskan bicara.
"Setelah berkumpul di sini, maka kita semua harus bersiap-siap menyambut tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka yang datang ke sini adalah orang-orang tamak, yang akan mencari apa yang diinginkan dengan menghalalkan segala cara!"
"Guru memiliki kepandaian hebat. Dan semua kalangan persilatan mengakuinya. Apakah mereka tidak memandang sebelah mata sedikit pun untuk menyatroni kita?" tanya seorang murid dengan nada heran.
"Apa yang paling menakutkan di dunia ini selain hawa nafsu" Hawa nafsu yang berlebihan, akan mengacaukan segalanya bila tidak terkendali. Akan membuat si penakut menjadi pemberani. Dan akan membuat si lemah menjadi kuat. Bahkan mereka yang baik menjadi jahat. Sehingga bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, maka meski sepuluh harimau menghadang, akan terlihat seperti sepuluh ekor kambing saja."
Baru saja Wiku Dharmapala selesai bicara mendadak....
"Hua ha ha...! Benar apa yang kau bicarakan, Dharmapala! Apa yang mesti ditakutkan dari seekor harimau ompong yang tulang-tulangnya telah rapuh?"
Terdengar sebuah gelak tawa yang disusuli dengan kata-kata bernada menghina dari arah luar. Begitu kuatnya tenaga dalam yang terkandung, membuat para murid dan dewan guru yang memiliki tenaga dalam rendah sampai ambruk lemas. Walaupun tak sampai pingsan.
Bahkan Wiku Dharmapala sendiri sampai merasa bergetar dadanya. Namun sebagai tokoh tingkat tinggi, dia cepat menguasai keadaan. Cepat disalurkannya hawa mumi untuk memunahkan kekuatan yang merasuk dadanya.
"Resi Jagadni...!" desis sang Wiku Dharmapala, mengenali suara tawa itu.
*** Belum sempat para penghuni Kuil Kiambang Lima berbuat apa-apa, sudah berkelebat bayangan hitam ke dalam ruangan utama ini. Begitu mendarat, tampak wujud sosok itu. Ternyata yang muncul adalah seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Bajunya hitam. Lehernya dihiasi kalung kepala tengkorak yang dikenakan. Mukanya bersih dan kulitnya sedikit putih pucat. Rambutnya digelung rapi. Dan dia tidak membawa senjata apa-apa. Namun begitu, Wiku Dharmapala kelihatan khawatir.
Para murid dan para dewan guru yang sudah bisa menguasai keadaan, langsung bangkit berdiri dan membuat kepungan. Mereka hendak bertindak, melihat sosok yang begitu tak sopan di hadapan maha guru mereka. Namun, Wiku Dharmapala langsung mencegah dengan mengangkat tangannya sebagai isyarat.
"Telah lama kita tidak bertemu, Resi. Apa gerangan yang membuatmu berkunjung ke tempatku ini?" sapa Wiku Dharmapala, bernada bersahabat.
"He he he...! Tidak usah berbasa-basi, Dharmapala. Kedatanganku ke sini karena tertarik pada Kitab Naga Jonggrang...!" sahut laki-laki tua yang bernama Resi Jagadni tanpa tedeng aling-aling, setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Amitabha...! Hanya untuk benda tidak berharga itukah kau jauh-jauh melakukan perjalanan ke Kuil Kiambang Lima?" tanya Wiku Dharmapala bernada terkejut.
"Menurutmu benda itu tidak berharga?" Resi Jagadni malah balik bertanya.
"Nafsu keduniawian adalah musuh utama kesucian. Dan kami di sini berusaha membersihkan hati dari sifat-sifat seperti itu," sahut maha guru di Kuil Kiambang Lima ini.
"Aku tidak peduli segala khotbahmu. Kalau memang kitab itu tidak berharga, maukah kau memberikannya kepadaku?"
"Resi.... Kepandaianmu sangat tinggi. Dan semua orang mengetahuinya. Apakah kau hendak merendahkan martabatmu dengan menginginkan kitab yang tidak berharga?"
"Kenapa kau begitu peduli tentang diriku" Serahkan saja kitab itu padaku, kalau memang tidak berharga untuk kalian!" desak Resi Jagadni, mulai meninggi.
"Hm.... Agaknya kau hendak memaksakan kehendak. Baiklah, kalau memang itu keinginanmu. Tapi, sayang sekali. Kitab itu tidak ada di sini. Seseorang telah mencurinya kemarin sore...," jelas Wiku Dharmapala.
"Kau kira aku percaya dengan segala omong kosong itu"!" dengus Resi Jagadni.
"Hm. Aku tidak menyuruhmu untuk percaya, Resi. Tapi begitulah kejadiannya."
"Jangan menipuku, Dharmapala! Berikan kitab itu. Dan aku akan segera pergi secepatnya. Kalau tidak, kau akan tahu apa akibatnya!" dengus Resi Jagadni lagi.
Setelah berkata begitu, laki-laki tua berbaju hitam ini bersuit nyaring.
"Suiiit...!"
Belum juga gema suara suitan itu hilang, berkelebat tiga sosok memasuki ruangan utama ini. Begitu cepat gerakan mereka, tahu-tahu sudah mendarat ringan di samping Resi Jagadni. Dua di antara mereka, tidak lain dari Iblis Kembar Selatan. Sedang yang seorang lagi adalah seorang wanita tua. Tubuhnya kecil dan agak bongkok. Orang persilatan mengenalnya sebagai si Nenek Bongkok Sakti.
"Hm.... Apa maksudmu dengan semua ini, Resi Jagadni?" tanya Wiku Dharmapala dengan suara demikian tenang disertai senyum.
"Aku terpaksa bertindak bila kau coba menyembunyikan kitab itu. Dan bila aku bertindak, maka mereka pun akan turun tangan!" sahut Resi Jagadni lantang, sambil melirik tiga orang yang baru datang.
Sementara itu para murid dan dewan guru belum ada yang bertindak sebelum mendapat perintah dari Wiku Dharmapala.
"Amitabhaaa...! Apakah kalian tetap memaksa kehendak" Bukankah aku telah menceritakan yang sesungguhnya?" seru Wiku Dharmapala agak gusar.
"Siapa yang peduli segala omong kosong itu"! Meski kau seorang maha guru, tapi suka berbohong! Aku tidak pernah percaya padamu!" desis Resi Jagadni.
"Amitabha...! Kehadiran kami di kuil ini untuk membersihkan diri. Dan satu di antaranya adalah menghindari perbuatan bohong. Kisanak semua.... Bila kalian menghendaki Kitab Naga Jonggrang, sesungguhnya tidak ada pada kami," jelas Wiku Dharmapala masih bernada rendah.
"Dharmapala...!" hardik Resi Jagadni. "Sekali lagi kuminta baik-baik padamu! Jangan memaksaku untuk bertindak keras. Apakah kau mau memberikan kitab itu atau tidak"!"
"Resi Jagadni.... Meski kau berusaha dengan segala cara, tetap tidak bisa kupenuhi permintaanmu. Kitab Naga Jonggrang tidak ada di sini. Kitab itu telah dicuri orang kemarin sore. Itulah kejadian yang sebenarnya."
"Kalau begitu, kau memang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Maka, jangan salahkan kalau aku bertindak keras!" dengus Resi Jagadni.
Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu selesai kata-katanya, telapak tangan kiri Resi Jagadni menghentak ke samping.
"Hih!"
Wusss...! Saat itu juga meluncur serangkum angin keras berkekuatan tenaga dalam tinggi. Dan....
Jderrr...! Terdengar bunyi ledakan dahsyat ketika tembok ruangan utama di kuil ini hancur berantakan, begitu pukulan jarak jauh Resi Jagadni menghantamnya.
"Heaaa...!"
Mendadak para murid dan dewan guru yang tak bisa lagi menahan kemarahan segera menyerang pada tamu tak diundang itu.
"Amitabhaaa...! Kejam sekali perbuatanmu, Resi Jagadni! Apakah kau hendak merusak tempat ibadah ini untuk memuaskan hawa nafsumu?" desis Wiku Dharmapala.
"Bukan cuma kuil ini. Tapi, juga semua penghuninya!" dengus Resi Jagadni.
Bersamaan dengan itu. Resi Jagadni langsung menyerang Wiku Dharmapala. Maka pertarungan pun tak bisa dicegah lagi. Para murid dan dewan guru Kuil Kiambang Lima yang sudah bertekad membela maha gurunya langsung mengeroyok Iblis Kembar Selatan dan Nenek Bongkok Sakti.
*** 3 ? Di dalam kancah rimba persilatan. Iblis Kembar Selatan bukanlah tokoh sembarangan. Demikian pula si Nenek Bongkok Sakti. Mereka semua termasuk dalam jajaran tokoh-tokoh golongan hitam yang amat ditakuti. Bagi mereka, membunuh suatu hal yang biasa. Mereka tidak pernah memandang, apakah korban itu orang baik atau jahat. Begitu pula halnya ketika mulai menghajar para pendeta penghuni Kuil Kiambang Lima ini. Satu persatu para pendeta tewas di tangan mereka.
"Ha ha ha...! Kau lihat, Orang Tua Botak" Seperti kataku, seluruh penghuni isi kuil ini akan kubinasakan karena sikap keras kepala yang kau tunjukkan. Tapi, masih belum terlambat untuk mencegahnya, kalau kau bersedia memberi kitab itu padaku!" ujar Resi Jagadni sambil tertawa lebar.
"Percuma saja kau menginginkan kitab itu. Aku telah berkata yang sebenarnya. Dan ternyata kau mendengarnya bukan dengan hati nurani, tapi dengan nafsu angkara murka," sahut Wiku Dharmapala.
"Sial! Kalau begitu, kau akan mampus di tanganku, Dharmapala!" dengus Resi Jagadni.
"Apakah yang kutakuti dari kematian" Semua orang kelak akan mengalaminya. Cepat atau lambat."
"Jangan berkhotbah di depanku! Terima ini, yeaaa...!"
Resi Jagadni kembali menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...! Saat itu juga meluncur serangkum angin berkecepatan dahsyat mengandung tenaga dalam tinggi.
Namun dengan gerakan mengagumkan, Wiku Dharmapala melompat ke kanan. Sehingga, angin keras yang menderu tajam itu hanya lewat di sisinya.
"He he he...! Hebat kau, Dharmapala. Tapi, itu belum seberapa. Dan kau jangan girang dulu!"
"Resi Jagadni! Lebih baik kalian pergi meninggalkan tempat ini. Sebab bila hanya Kitab Naga Jonggrang yang kalian inginkan, akan percuma saja...," ujar maha guru Kuil Kiambang Lima itu.
"Tutup mulutmu! Huh! Aku tidak pernah percaya ocehanmu. Kau harus serahkan kitab itu, atau mampus!" sentak Resi Jagadni!
"Heaaa...!"
Gerakan Resi Jagadni cepat dan berbau maut ketika tubuhnya meluruk melepaskan sambaran-sambaran tajam lewat tangan dan kakinya.
"Amitabhaaa...! Kau terlalu memaksa dan membuatku harus mempertahankan diri...."
Wiku Dharmapala menyadari bahwa tidak mungkin harus terus menghindar. Maka dengan sangat terpaksa dia mulai memapak setiap serangan dengan gerakan amat cepat pula.
Plak! Plak! Namun dengan gerakan tak terduga, Resi Jagadni membuat lentingan ke atas dengan meminjam tenaga papakan tadi. Gerakannya gesit sekali. Dan begitu tubuhnya meluruk kembali ke bawah, tahu-tahu kedua telapak tangannya silih berganti melepaskan pukulan berganti-ganti ke punggung Wiku Dharmapala. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Des! Des! "Uhhh...!"
Wiku Dharmapala kontan terjajar ke depan disertai keluhan tertahan begitu telak sekali hantaman Resi Jagadni mendarat di punggung dan tengkuknya. Orang tua itu seperti mendapat hantaman yang beratnya puluhan kati.
Baru saja Wiku Dharmapala memperbaiki keseimbangannya, seraya berbalik....
"Heaaa...!"
Resi Jagadni meluruk disertai bentakan keras dengan kedua tangan sudah berwarna merah membara. Dari serangan ini jelas kalau Resi Jagadni tidak ingin berlama-lama lagi. Tangan yang meluncur deras dengan kekuatan tenaga dalam sangat tinggi, menandakan kalau dia menghendaki kematian Wiku Dharmapala.
Begitu cepatnya serangan laki-laki tua berpakaian serba hitam, membuat Wiku Dharmapala tak mungkin untuk menghindar. Tak ada kesempatan lagi baginya, kecuali memapak serangan dengan menyiapkan pukulan bertenaga dalam tinggi dalam waktu singkat. Dan...
"Hiaaa...!"
Jderrr...! "Aaakh...!"
Terdengar ledakan dahsyat, ketika dua pukulan yang sama-sama berisi kekuatan penuh beradu di tengah-tengah. Namun nasib naas menimpa Wiku Dharmapala. Tubuhnya langsung terlempar ke belakang sambil menjerit kesakitan. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Yeaaa...!"
Baru saja maha guru dari Kuil Kiambang Lima itu mencium tanah. Resi Jagadni sudah kembali melesat, memburu ke arahnya. Keadaan Wiku Dharmapala sangat memprihatinkan. Dan dia hanya bisa melotot melihat Resi Jagadni meluncur cepat. Lalu....
Krek! "Aaa...!"
Wiku Dharmapala kontan menjerit tertahan begitu telapak kaki Resi Jagadni tepat mendarat di lehernya. Tanpa ada rasa kasihan sedikit pun, Resi Jagadni langsung mengerahkan tenaga dalam pada kakinya, membuat tulang leher maha guru Kuil Kiambang Lima itu berpatahan.
Setelah menggelepar sesaat, tubuh Wiku Dharmapala meregang kaku, diam tak berkutik lagi. Lidahnya agak menjulur keluar dengan mata melotot. Dari hidung, telinga, dan mulut mengalir darah segar.
Begitu puas memandangi mayat lawannya Resi Jagadni menoleh. Tampak semua pendeta telah bergeletakan tak berdaya. Iblis Kembar Selatan dan si Nenek Bongkok Sakti rupanya baru saja menyelesaikan korban yang terakhir.
"Yang lainnya kabur...," ujar Rupaksa.
"Tidak apa. Periksa semua isi kuil. Cari Kitab Naga Jonggrang! Kumpulkan semua benda berharga, lalu bakar semua yang tersisa!"
"Beres, Resi...!"
*** "Benar, Jengkara! Resi Jagadni tidak main-main dengan ucapannya! Dia akan terus mencari pemuda bekas murid Kuil Kiambang Lima yang bernama Sancaka. Diduga, dialah yang membawa Kitab Naga Jonggrang."
Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun tampak berapi-api bercerita di depan tiga orang temannya di dalam kedai.
Sedangkan di sudut ruangan kedai, tampak seorang pemuda terkesiap. Nyaris makanan yang bernada di mulutnya muncrat keluar ketika mendengar ocehan barusan. Tanpa sadar, ditekannya caping lebar yang dikenakan untuk menyembunyikan wajah dan sekaligus kepalanya yang botak.
"Jangan ribut! Tenang-tenang saja, Cakil! Cepatlah kau dulu pergi dari tempat ini!" bisik pemuda itu pada monyet yang berada di dekatnya. Seketika, monyet itu melompat dan terus berlari keluar kedai.
Sementara itu, empat orang laki-laki tadi terus bercerita penuh semangat.
"Kalau pemuda itu ketemu, pasti akan mati! Resi Jagadni tidak akan pikir panjang lagi!" lanjut laki-laki tadi. Tubuhnya kurus, sehingga tulang-tulang pipinya tampak menonjol keluar.
"Tapi apa mereka yakin, kalau Kitab Naga Jonggrang ada di tangan pemuda itu, Kurawa?" tanya laki-laki yang dipanggil Jengkara.
"Entah. Tapi setelah mengacak-acak seluruh isi kuil, mereka tidak menemukannya. Lalu, Resi Jagadni merasa yakin kalau pemuda itu telah menyembunyikannya," sahut laki-laki yang dipanggil Kurawa.
"Lalu ke mana pemuda itu sekarang?" tanya seorang laki-laki bertubuh pendek.
"Tidak seorang pun yang tahu, Gandung!" sahut Kurawa, pada temannya yang bernama Gandung.
"Tapi kudengar bukan hanya Resi Jagadni yang mencari pemuda itu?" timpal laki-laki yang berkumis lebat.
"Benar, Pamitra. Saat ini hampir semua tokoh persilatan berniat memiliki kitab pusaka itu," sahut Kurawa.
"Kasihan sekali pemuda itu...," desah Pamitra, lirih.
Belum tuntas pembicaraan mereka, mendadak muncul seorang laki-laki berambut panjang terurai di ambang pintu kedai. Sebelah matanya picak. Tangan kanannya dalam sikap siap mencabut golok panjang yang terselip di pinggang.
Pada saat yang sama, pemuda bertudung lebar telah berjalan hendak ke luar kedai, dengan kepala menunduk. Sehingga....
"Oh, maaf...!" ucap pemuda itu buru-buru, ketika hampir menabrak lelaki bertampang seram di depannya. Segera pemuda itu bergeser ke kiri. Namun....
Bret! "Ohhh...!"
Pemuda bercaping itu terkejut ketika punggung bajunya tiba-tiba saja dicengkeram laki-laki seram di depannya. Bahkan dengan kuat laki-laki itu menyentakkannya ke luar kedai.
Sambil melindungi tudungnya agar jangan terjatuh, pemuda itu melenting dan berjumpalitan dua kali. Kemudian kakinya hinggap beberapa tombak di luar kedai.
"He he he...! Punya kepandaian juga rupanya. Aku ingin lihat wajah di balik tudungmu itu!" desis laki-laki picak itu, setelah berbalik.
Begitu kata-katanya selesai, sebelah tangan laki-laki picak ini mendadak menyerang pemuda bercaping sambil melepaskan cengkeraman bertubi-tubi.
Namun dengan gesit sekali, pemuda itu menggeser kakinya ke samping kanan. Dengan begitu dia lolos dari sergapan. Bahkan seketika, tubuhnya berbalik hendak melesat pergi. Namun....
"Hup!"
Baru saja pemuda bercaping mengempos tenaganya, mendadak laki-laki picak itu telah melenting ringan dan mendarat di depannya.
"He he he...! Kau semakin membuatku penasaran. Ingin kulihat, siapa kau sebenarnya!"
Kembali laki-laki picak itu menerjang, namun kali ini melepaskan tendangan ke arah dagu pemuda bercaping di depannya. Namun hanya dengan mengegos ke samping kiri, pemuda bercaping ini berhasil menghindarinya.
Mendapati serangannya gagal, cepat bagai kilat laki-laki bermata picak itu memutar balik sebelah kakinya yang sudah berada di udara.
Inilah serangan yang tak terduga. Pemuda bercaping itu hanya terkesiap, melihat kecepatan serangan laki-laki bermata picak yang cepat bukan main. Sehingga....
Duk! Prak! "Aaakh...!"
Pemuda itu terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Tudung di kepalanya hancur berantakan terkena sabetan kaki yang cepat tak terkira. Dari mulutnya muncrat darah segar. Dan dengan susah payah dia berusaha bangkit.
"Hm.... Kepalamu gundul. Kau pasti pendeta muda yang tengah dicari-cari!" dengus laki-laki picak itu.
"Siapa yang kau maksudkan" Aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya. Kenapa kau bertindak kasar padaku?" tanya pemuda yang ternyata Sancaka.
"Kau tidak perlu bertanya begitu padaku, Bocah! Jengger Ireng selalu mendapatkan apa yang diinginkannya!" dengus laki-laki picak yang mengaku berjuluk Jengger Ireng.
"Hei"! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan..."!" sergah Sancaka.
"Tidak usah berpura-pura! Kau saat ini sedang diburu lebih dari dua puluh tokoh persilatan. Di mana kau sembunyikan kitab pusaka itu"! Lekas berikan padaku! Atau, kupecahkan batok kepalamu!" hardik Jengger Ireng.
"Kitab pusaka" Kitab yang mana" Mungkin kau salah alamat, Kisanak. Aku sama sekali bukan pendeta. Kalaupun kepalaku gundul, itu karena penyakit panas yang telah merontokkan rambut di kepalaku...," kilah Sancaka.
"Wueeeh, sial! Kau mencoba menipuku, he"!" dengus Jengger Ireng disertai seringai lebar.
"Untuk apa aku membohongimu" Kau bisa tanyakan pada kedua orang tuaku. Rumahku tidak jauh. Ayo, kuantarkan kau ke sana!" ajak Sancaka.
Jengger Ireng terdiam. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama. Pandangannya tampak curiga. Tapi, juga menyiratkan kebingungan.
"Jangan coba-coba membohongiku, Bocah! Kau akan menyesal sendiri nantinya!"
"Untuk apa aku membohongimu" Kedua orangtuaku orang terpandang di desaku."
"Hm.... Tampaknya kepandaianmu tidak rendah. Siapa yang mengajarkanmu?" tanya Jengger Ireng, memancing.
"Tentu saja ayahku!" sahut Sancaka cepat.
"Siapa nama ayahmu" Dan julukannya?"
"Eh"! Ayahku tidak dikenal kalangan persilatan...!"
"Hm, jangan berdusta! Aku seperti mengenali jurus-jurus yang kau mainkan."
"Tentu saja! Sebab bocah ini dari Kuil Kiambang Lima!"
Mendadak saja terdengar suara menyahuti, membuat Jengger ireng dan Sancaka menoleh ke arah suara.
"Heh"!"
"Ohhh...!"
Jengger Ireng terkesiap. Sedangkan Sancaka terkejut, ketika melihat siapa yang tiba-tiba saja muncul di tempat ini.
*** "He he he...! Selamat bertemu kembali, Bocah!" seru salah seorang dari dua laki-laki yang muncul.
"Iblis Kembar Selatan...!" desis Sancaka.
"Bagus! Rupanya kau masih ingat kami, ya?" ujar laki-laki berbaju hijau yang bernama Rupaksa sambil tersenyum kecil.
"Kali ini kau tidak akan lolos lagi, Bocah!" dengus Rupaksi.
"Iblis Kembar Selatan! Hm..., jadi benar bocah ini murid dari Kuil Kiambang Lima?" tanya Jengger Ireng.
"Tentu saja! Bocah ini licik. Dia pernah mengecoh kami!" jawab Rupaksa.
"Kurang ajar! Kau berani membohongi Jengger Ireng, Keparat! Akan kubeset dadamu!" dengus Jengger Ireng, menyeringai lebar.
Laki-laki bermata picak itu baru saja hendak melompat untuk membuktikan kata-katanya, tapi dengan sigap Rupaksi menyilangkan sebelah tangan untuk menghadang.
"Jangan campuri urusan ini. Dia jadi urusan kami!" dengus Rupaksi.
"Bocah ini telah berdusta padaku. Dan dia harus mendapat ganjaran!" bantah Jengger Ireng.
Rupaksi kelihatan tidak senang mendengar ucapan Jengger Ireng. Dipandanginya orang itu sambil menyipitkan mata.
"Kau mau cari urusan dengan kami"!" desis Rupaksi dingin.
Jengger Ireng terdiam. Agaknya, dia tidak bisa memandang remeh terhadap dua orang ini. Mungkin disadari kalau kemampuannya tidak setimpal dibanding Iblis Kembar Selatan.
"Bagus kalau kau tahu gelagat...," ujar Rupaksi pendek, seperti bisa membaca jalan pikiran Jengger Ireng.
"Kini giliranmu, Bocah! Serahkan kitab pusaka itu. Atau, kau akan mampus sekarang juga"!" dengus Rupaksa, begitu menatap Sancaka.
"Kenapa kalian mengira bahwa kitab pusaka itu ada padaku?" kilah Sancaka.
"Jangan coba-coba mengelabui kami!" bentak Rupaksi.
"Hei"! Mana berani aku mengelabui orang gagah seperti kalian! Aku bicara apa adanya," sahut Sancaka lagi.
"Kurang ajar! Berikan kitab itu. Atau, kau akan mampus sekarang juga!" dengus Rupaksi yang sudah tidak sabar lagi.
Dibanding saudaranya, Rupaksi memang lebih pemarah. Maka dengan sekali menggenjot, tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Sancaka. Langsung dicengkeramnya leher baju pemuda itu.
Sancaka bukan tidak bisa menghindar. Tapi kalau sekali hal itu dilakukannya, maka Rupaksi pasti akan semakin geram.
"Eee..., eh! Baiklah. Akan kuberikan kitab itu. Tapi, lepaskan dulu cengkeramanmu...!" ujar Sancaka, tergagap.
"Jangan macam-macam kau!" desis Rupaksi seraya mendekatkan mukanya ke wajah Sancaka dengan seringai lebar. "Katakan sekarang, atau kupecahkan kepalamu!"
"Kitab itu telah kuberikan padanya...!" tunjuk Sancaka pada Jengger Ireng.
"Heh"!"
Jengger Ireng yang belum beranjak dari tempatnya, terkejut mendengar ucapan Sancaka.
"Keparat! Bocah busuk! Jangan mengada-ada kau!" gertak Jengger Ireng.
"Lihat! Dia marah, bukan" Itu karena takut ketahuan oleh kalian. Sebenarnya, sejak tadi aku sudah mau mengatakannya. Tapi, diancam oleh si Jengger Ireng...!" lanjut Sancaka semakin ditambah-tambah.
"He, yang benar bicaramu?" dengus Rupaksa ikut-ikutan geram.
"Untuk apa berdusta" Dia menyembunyikannya di dalam kedai itu!" tunjuk Sancaka, ke arah kedai yang tadi dimasukinya.
Iblis Kembar Selatan sedikit bingung. Sedangkan Jengger Ireng memandang pemuda itu penuh dendam. Kalau tidak ingat peringatan Iblis Kembar Selatan tadi, mungkin batok kepala Sancaka akan dipecahkannya. Atau barangkali akan dirobeknya mulut pemuda itu lebih dulu.
Sementara itu, penduduk Desa Klari ini yang sejak tadi berkerumun ketika menyaksikan pertarungan antara si Jengger Ireng melawan Sancaka, semakin ramai saja berdatangan. Mereka kenal si Jengger Ireng yang berangasan. Namun, tidak kenal dengan kedua orang tokoh kembar itu. Kalau Jengger Ireng yang berangasan saja takut, pasti kedua tokoh yang belakangan muncul itu mempunyai tingkatan kepandaian lebih tinggi.
"Jengger Ireng! Benarkah kata-kata bocah ini?" tanya Rupaksi.
"Celakalah dia! Bocah ini sungguh licik dan pandai memutar balikkan keadaan. Dia hendak mengadu domba kita berdua. Aku tidak pandai bersiasat. Tapi kalau kitab itu sudah kudapatkan, mana mungkin mau berlama-lama di sini?" sahut Jengger Ireng, lantang.
Rupaksi memandang laki-laki bermata picak itu beberapa saat. Dia tidak begitu kenal Jengger Ireng. Tapi, dia tahu bagaimana watak orang-orang sepertinya. Orang ini memang kasar dan berangasan. Apa yang diucapkannya biasanya juga tersirat di hati.
"Kalau begitu, kau pasti mendendam pada bocah ini?" tanya Rupaksi.
"Huh! Akan kurobek mulutnya terlebih dulu!" dengus Jengger Ireng.
"Kenapa tidak sekarang saja kau lakukan?"
"Hei"!"
Jengger Ireng terkesiap. Dia seperti mendapat peluang. Benarkah kedua tokoh ini menyerahkan urusan membereskan bocah ini padanya" Rasanya sulit dipercaya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" desah Rupaksi.
Seketika wajah Jengger Ireng berseri-seri. Dipandanginya Sancaka disertai seringai lebar.
"Hari ini kau tidak akan selamat, Bocah. Pertama-tama, akan kurobek mulutmu yang kurang ajar itu. Lalu kubeset-beset tubuhmu!" dengus laki-laki bermata picak itu geram.
Sancaka terkejut, lalu memandang Iblis Kembar Selatan.
"Kenapa kalian ini" Inikah balasan yang kalian berikan, setelah aku memberitahu di mana kitab pusaka itu berada?" tanya Sancaka.
"Aku akan menanyaimu lagi nanti di akherat!" sahut Rupaksi dingin.
*** ? Bersambung ke Bagian 4-6
? Kitab Naga Jonggrang
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 168. Kitab Naga Jonggrang ~ Bag. 4-6
5. Februar 2015 um 07:14
4 ? Sancaka merutuk habis-habisan di dalam hati. Percuma saja coba berdalih, sebab kedua Iblis Kembar Selatan itu kelihatan tidak mau percaya lagi dengan ocehannya. Dan kini, Jengger Ireng yang menahan geram akibat ucapannya tadi, pasti akan menghajar habis-habisan.
"Kalau aku mati, kalian pasti yang paling menyesal. Sebab tak seorang pun yang tahu, di mana kitab pusaka itu berada. Tapi kalau kalian bisa diajak kerjasama, tentu akan senang hati kuberikan kitab itu...!" ujar Sancaka, coba menggugah hati kedua tokoh yang bersaudara kembar itu.
"Kau hanya berusaha menipu kami. Bocah...!" sahut Rupaksa.
"Aku bicara yang sesungguhnya!"
"Tahan dulu. Jengger Ireng!" tukas Rupaksi.
"He, kenapa" Apakah kalian berubah pikiran?" tanya Jengger Ireng.
"Aku akan memberi kesempatan sekali lagi padanya," sahut Rupaksi.
Jengger Ireng tampak kecewa mendengar keputusan itu. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menunggu kesempatan kedua untuk membereskan pemuda ini.
"Katakan, apa yang bisa kau beri pada kami" Tapi kalau kau hendak mengulur-ulur waktu, lebih baik kau mampus saja!" dengus Rupaksa.
"Aku akan menyerahkan kitab pusaka itu dengan satu syarat...," kata Sancaka, enteng.
"Apa syaratmu?" tanya Rupaksa, tak sabar.
"Kalian harus menyerahkan batok kepala Jengger ireng padaku," sahut Sancaka semakin berani.
"Heh, Keparat!" desis Jengger ireng semakin geram.
Permintaan bocah itu bukan hal sulit. Tapi bukan itu yang membuat kedua Iblis Kembar Selatan ini tersenyum sinis mendengarnya.
"Kau tidak berhak mengajukan syarat...," ujar Rupaksa.
"Karena, nyawamu masih untung tidak kami cabut!" timpal Rupaksi. "Jangan coba macam-macam. Berikan kitab pusaka itu. Dan, akan kuampuni nyawamu sebagai imbalannya!"
"Aku hanya mengajukan syarat mudah. Dan orang seperti kalian tidak mampu melakukannya" Huh, sungguh memalukan! Apa kata orang nanti, kalau Iblis Kembar Selatan ternyata tidak berdaya menghadapi Jengger ireng!" cibir Sancaka, merendahkan.
"Kurang ajar kau, Bocah! Tutup mulutmu yang lancang itu!" hardik Jengger Ireng dengan amarah menggelegak dalam dada.
"Huh! Kau hanya berani denganku yang tidak berdaya! Kalau memang merasa hebat, coba lawan si Iblis Kembar Selatan!" balas Sancaka.
"Hhhmmmhhh...!"
Jengger Ireng mendengus geram, lalu menoleh ke arah si Iblis Kembar Selatan.
"Iblis Kembar! Biar kubereskan bocah ini secepatnya!"
Iblis Kembar Selatan tidak langsung menjawab. Rupaksa melirik dulu pada saudaranya. Tampak Rupaksi mengangguk pelan.
"Silakan saja...!"
Wajah Jengger Ireng kembali berseri mendengar jawaban itu.
"Tapi dengan satu syarat. Jangan sampai kau buat dia mati!" lanjut Rupaksa. "Baginya, mati terlalu enak. Aku akan menyiksanya. Dan mungkin, dia akan mati perlahan-lahan penuh penderitaan."
"Kalian tidak bisa berbuat begitu padaku! Atau, kitab pusaka itu tidak akan kuberikan"!" teriak Sancaka mengancam.
"Aku bisa berbuat apa saja kepadamu. Bocah. Dan untuk saat ini, yang perlu bagiku hanya ingin melihat penderitaanmu agar kau tidak bisa menipu lagi!" dengus Rupaksi.
"Kalian salah! Aku tidak pernah menipu siapa pun...."
Percuma saja Sancaka berdalih, sebab saat itu juga Jengger Ireng telah melompat menyerang.
"Simpan saja ocehanmu, Bocah!"
"Ups!"
Terpaksa Sancaka melompat ke belakang, lalu terus bergeser ke samping untuk menghindari serangan. Tapi, Jengger Ireng yang begitu mendendam, sangat bernafsu menghajarnya. Maka tidak heran langsung dikerahkannya segenap kemampuan yang dimiliki.
Wut! Sancaka melompat ke atas, tatkala Jengger Ireng menyodok dadanya. Namun ketika pemuda ini melompat turun, laki-laki bermata picak itu berputar. Sebelah kakinya cepat menghajar pinggang Sancaka.
Begkh! "Aaakh...!"
Sancaka menjerit kesakitan begitu tendangan Jengger Ireng tepat mendarat di pinggangnya. Tubuhnya kontan terjerembab ke depan.
"Heaaa...!"
Belum sempat Sancaka bangkit berdiri. Jengger Ireng telah melompat menyerang kembali.
"Hup!"
Sancaka terpaksa bergulingan untuk menghindarinya. Kemudian secepat itu pula bangkit berdiri.
"Modar kau!"
Disertai bentakan keras, Jengger Ireng telah mengayunkan tendangan. Secepat kilat, Sancaka mengayunkan tangannya untuk menangkis.
Plak! Akibat tangkisan itu, tubuh Sancaka sempat terhuyung. Pada saat itu pula Jengger Ireng berputar. Kakinya yang sebelah lagi cepat menghantam dadanya.
Des! "Aaakh...!"
Kembali Sancaka memekik kesakitan begitu tendangan itu mendarat telak. Tubuhnya terjerembab tak berdaya.
Sementara itu, Jengger Ireng telah bersiap kembali, hendak menghabisinya.
"Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras. Jengger Ireng mencabut goloknya. Dia bermaksud mematahkan kedua kaki pemuda itu. Sedangkan saat ini Sancaka tidak kuasa menghindar. Begitu serangan beberapa rambut lagi sampai di kakinya, mendadak berkelebat satu sosok bayangan putih yang langsung menyambar tubuh Sancaka.
"Heh"!" Jengger Ireng terkejut. Juga Iblis Kembar Selatan.
"Kurang ajar...!"
Saat itu juga Iblis Kembar Selatan mengejar sesosok bayangan putih yang telah menyelamatkan Sancaka. Sedangkan Jengger Ireng mengikuti dari belakang.
*** Sancaka kini merasakan kalau degup jantungnya biasa kembali, setelah sebelumnya berdegup kencang saat melihat ancaman Jengger Ireng. Dia bersyukur bisa selamat. Namun hatinya merasa bingung. Siapa tokoh yang telah menyelamatkannya" Tubuh Sancaka yang diletakkan di pundak, membuatnya tak bisa mengamati wajah penolongnya.
Di pinggiran Sungai Camal yang berair jernih, sosok bayangan putih itu berhenti. Diturunkannya Sancaka dari pundaknya. Dan saat itu, Sancaka merasakan sakit kembali di tubuhnya.
"Aduuuh...!" desah pemuda itu.
"Duduk bersila. Dan kosongkan pikiranmu. Pejamkan mata!" ujar sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung tampak bertengger di punggungnya.
Sancaka segera menuruti kata-kata pemuda berbaju rompi putih ini. Disadari, pemuda di depannya tidak bermaksud mencelakai. Buktinya, buat apa susah-susah menolongnya pada saat nyawanya berada di ujung tanduk sewaktu Jengger Ireng menghajarnya. Hanya saja masih belum bisa ditebak, apa maksud pemuda berbaju rompi putih itu menolongnya. Apakah juga mengincar Kitab Naga Jonggrang"
Belum sempat Sancaka berpikir lebih jauh, tiba-tiba tubuhnya terasa hangat, lalu panas. Dan dia merasakan sebentuk tenaga halus bergerak kencang dari arah punggung menuju pusarnya. Berputar-putar sebentar pada bagian bawah perut, lalu menyebar ke segala arah.
Tubuh Sancaka terasa segar, peredaran darahnya pun seperti mengalir kencang. Tenaga halus yang diyakini adalah sebentuk hawa mumi kembali meluncur deras ke bawah perut dan kembali berputar-putar. Pada saat itulah perutnya terasa dikocok-kocok. Lalu, sesuatu yang kuat bergerak ke atas seperti sebuah gunung yang memuntahkan lahar.
"Hoekh...!"
Sancaka memuntahkan darah segar berkali-kali. Dan saat ini tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Tapi, peredaran darahnya mengalir lancar. Sedangkan rasa sakit di dada dan perutnya, berangsur-angsur hilang. Tanpa disuruh pun matanya membuka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak!" ucap Sancaka.
"Lupakanlah.... Sekarang beristirahatlah saja, untuk mengembalikan kesegaranmu," ujar pemuda itu.
"Hm.... Kalau boleh tahu, siapakah Kisanak?" tanya Sancaka.
"Aku Rangga," sahut pemuda berbaju rompi putih itu, pendek.
"Eng.... Aku Sancaka. Oh, ya. Bolehkah aku memanggilmu Kakang Rangga?" tanya Sancaka.
Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu menatap Sancaka. Lalu bibirnya tersenyum manis, sambil mengangguk.
"Hm.... Ada urusan apa kau sampai bentrok dengan mereka, Sancaka?" tanya Rangga.
"Mereka memang orang-orang jahat, Kakang Rangga! Mereka mencegat, dan ingin merampas barang-barang yang kumiliki. Tidak puas dengan itu, mereka malah menginginkan nyawaku pula!" sahut Sancaka bersungut-sungut.
Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum.
"Apakah kau yakin mereka kawanan perampok?" pancing Rangga.
"Kenapa tidak, Kakang Rangga" Mereka telah merampas semua harta yang kubawa!" sahut Sancaka, keras.
"Kau adalah seorang pendeta, Sancaka. Dan bila kau berjalan tanpa tudung, semua akan tahu. Apakah seorang pendeta membawa benda berharga?" tanya Rangga, menyudutkan.
"Kau salah sangka, Kakang! Kepalaku memang gundul. Tapi, aku bukan pendeta. Sewaktu kecil, aku mengidap penyakit panas. Sehingga rambutku rontok. Entah kenapa sampai sekarang tidak mau tumbuh-tumbuh lagi...!" tukas Sancaka, berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya.
"Kau tidak keberatan kalau aku memeriksanya, Sancaka" Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Siapa tahu, penyakitmu bisa kusembuhkan. Dan, rambutmu bisa tumbuh lagi," kata Rangga menawarkan diri.
"Ah! Tidak usah merepotkan, Kakang! Kau telah terlalu banyak membantuku...!"
"Kau tidak ingin rambutmu tumbuh kembali, Sancaka?"
"Aku telah merasa bersyukur dengan keadaan begini."
"Hm, ya. Terserahmu saja...."
"Boleh aku pergi sekarang, Kakang" Orang-tuaku pasti sedang kebingungan mencari-cariku!" pinta Sancaka.
"Silakan...," sahut Rangga sambil tersenyum.
Sancaka tersenyum lalu bangkit berdiri. Setelah menoleh sebentar kepada Pendekar Rajawali Sakti, kakinya melangkah lebar pergi dari tempat ini. Tapi....
"Apakah kau akan pergi sendiri tanpa mengajak monyetmu ikut serta?" tanya Rangga, membuat langkah Sancaka berhenti.
"Eh, iya!"
Sancaka seperti tersentak, lalu bersuit nyaring dengan irama panjang. Dia menunggu beberapa saat, dan kembali bersuit. Namun monyetnya tidak juga muncul.
"Mungkin dia tidak mendengarnya, Sancaka...!" gumam Rangga.
"Tidak, kakang. Cakil sangat peka dengan siulanku. Walaupun sayup-sayup, dia pasti mendengar!" sergah Sancaka.
"Hm... Jadi, nama monyetmu Cakil?" tanya Rangga.
"Eh, iya...! Eh, bukan. Maksudku, aku selalu memanggilnya apa saja. Tapi, dia hanya mengerti dengan suaraku. Dan, tidak mau diperintah orang lain!" kilah Sancaka, agak tergagap.
"Hm, hebat sekali! Dia pasti amat berharga bagimu, Sancaka"
"Benar, Kakang. Dia sahabatku sejak kecil. Lebih berharga ketimbang harta benda seperti emas dan berlian."
"Kalau begitu, anggap saja dia sebagai bayaran untukku," sahut Rangga pendek.
"Eh"! Apa maksudmu, Kakang..."!" sentak Sancaka, terkejut.
"Aku telah menolongmu, Sancaka. Maka kau harus membayarnya. Karena, harta bendamu telah dirampas ketiga orang tadi, maka monyetmu kuambil sebagai gantinya," kata Rangga, seraya berbalik dan meninggalkan tempat ini.
"Eh, tunggu! Tunggu...!"
Sancaka terperanjat. Buru-buru disejajarinya Pendekar Rajawali Sakti dan berdiri menghadap di depannya.
"Ada apa, Sancaka?" tanya Rangga pendek, setelah menghentikan langkahnya.
*** "Kau tidak boleh mengambil monyet itu dariku, kakang. Akan kuberikan apa saja yang kau minta. Uang, emas, berlian..." Atau, apa saja yang kau inginkan. Asal, kembalikan monyet itu padaku!" pinta Sancaka, penuh harap.
Pedang Kiri 22 Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Iblis Segala Amarah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama