Ceritasilat Novel Online

Neraka Kematian 2

Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Bagian 2


"Hm, sudah kuduga kalau fitnah murahan itu telah sampai di telingamu, Ki. Dan mungkin sikapmu sama seperti Pendekar Gelang Putih. Apakah kalian percaya begitu saja kalau aku telah berbuat demikian hina?" gumam Rangga, mencoba melihat sikap orang tua itu.
"Bila semua orang menuduh begitu, apa dikira mereka sepakat untuk berbohong dan menyudut-kanmu?" sahut Ki Satria Kendeng tajam.
"Kau dikenal sebagai pendekar berbudi luhur. Namun menjulang karena sepak terjangmu yang memerangi kejahatan dan ketidakadilan. Orang-orang menyukaimu dan mencintaimu. Lalu, apa kau kira mereka sepakat untuk memfitnahmu"!" timpal Pendekar Gelang Putih.
"Aku tidak bermaksud membela diri. Tapi jika percaya, saat ini aku tengah mencari orang-orang yang telah memfitnahku," balas Rangga, kalem.
"Bicaramu manis sekali. Tapi, jangan harap kami bisa dikelabui! Banyak orang yang telah melihat kelakuanmu. Dan mereka yakin, kaulah orang itu!" tuding Pendekar Gelang Putih.
"Tutup mulutmu! Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Lagi pula apa urusanmu dalam soal ini"!" kali ini Pandan Wangi yang menyahuti dengan suara geram.
"Urusanku sama dengan urusan kekasihmu dulu! Setiap kejahatan harus dilenyapkan. Dan kekasihmu ini telah menjadi orang berbahaya. Kalau didiamkan saja, maka akan jatuh korban lebih banyak!"
"Omong kosong!"
"Nisanak, tidak perlu berdebat. Tak ada guna nya saat ini. Kalau kau hendak membela, maka kau sama bejatnya dengan kekasihmu!" selak Ki Satria Kendeng,
"Aku akan membela meski nyawa taruhannyal Dan kalian orang-orang picik. Jangan harap bisa memaksakan kehendakmu!" sahut Pandan Wangi lantang.
"Kalau begitu, sudah jelas. Maka jangan salah-kan kalau kami bertindak keras. Pendekar Gelang Putih, kau boleh ringkus dia! Biar Pendekar Rajawali Sakti jadi bagianku!" ujar Ki Satria Kendeng.
"Baik, Ki!" sahut Pendekar Gelang Putih. Seketika Pendekar Gelang Putih langsung melompat mendekati Pandan Wangi.
"Huh! Kau kira aku takut menghadapimu" Ayo, maju! Tunjukkan kepandaianmu!" desis Pan-dan Wangi seraya melompat dan mencabut senjata kipas mautnya.
Sret! "Yeaaa...!"
Tanpa basa-basi lagi gadis itu langsung menyerang Pendekar Gelang Putih dengan sengit. Namun, laki-laki itu telah bersiap dengan pedangnya.
"Hiaaa...!"
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Sementara Rangga tidak bisa mencegahnya. Sebab saat itu juga, Ki Satria Kendeng telah melompat menyerangnya.
"Kau boleh cabut pedangmu dan perlihatkan kehebatanmu selama ini!" ujar orang tua itu bernada dingin.
"Aku tidak ingin melukaimu, Ki. Juga, tidak ingin bertarung denganmu. Ini hanya fitnah. Dan kuharap kau bisa berpikir jernih...," Rangga masih juga mencoba mencegah.
"Sudahlah. Tidak usah berbasa-basi lagi! Sebaiknya kau pertahankan saja dirimu. Dan aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke akherat!" tandas Ki Satria Kendeng, memotong pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti.
? *** Rangga sebenarnya masih berusaha menahan diri, dan selalu menghindari serangan-serangan. Bagaimanapun, Ki Satria Kendeng adalah tokoh tua yang disegani kalangan persilatan golongan putih. Dan terlebih dari itu, dia selalu memerangi tokoh-tokoh hitam tingkat tinggi. Rupanya orang tua ini juga termakan fitnah. Sedang keadaan Rangga saat ini amat sulit untuk menjelaskan persoalan sebenarnya.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga tidak terus-menerus menghindar, sementara orang tua ini seperti berusaha membunuhnya. Kepandaian Ki Satria Kendeng cukup hebat. Dan bila Rangga tidak membalas, maka tokoh tua itu akan leluasa membangun serangan-serangannya. Bahkan bukan tidak mungkin dirinya akan celaka sendiri!
Kini Rangga tampak berusaha menghindar, ketika Ki Satria Kendeng melepaskan tendangan ke arah dada. Tubuhnya cepat melenting ke atas, lalu melesat menjauh. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki, orang tua itu telah berkelebat melepaskan tendangan melayang. Dengan untung-untungan, Rangga menangkis.
Plak! Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menangkis, kembali sebelah kaki Ki Satria Kendeng menyapu pahanya. Dan Rangga cepat menghindar dengan mengangkat kakinya yang menjadi sasaran ke atas. Dan tanpa diduga sama sekali, begitu tendangannya luput Ki Satria Kendeng memutar tubuhnya sambil melepaskan pukulan telak ke perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Des! "Uhhh...!"
Rangga mengeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung, begitu satu kibasan tangan Ki Satria Kendeng mendarat telak di perutnya. Dan sebelum Rangga bisa mengatur jalan napasnya, Ki satria Kendeng sudah menghentakkan tangan kanannya ke depan.
"Heaaa...!"
Orang tua itu agaknya bermaksud membukti-kan kata-katanya. Kini satu pukulan jarak jauhnya yang membawa sinar kekuningan disertai serangkuman angin menderu meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Dengan sebisanya, Rangga bergulingan, sehingga pukulan luput beberapa rambut di sisinya.
Jderrr! Sinar kuning itu terus melesat, menghajar se-buah batu besar yang seketika hancur berkeping-keping. Itu membuat para penduduk desa yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu, menjadi takjub dan mendecah kagum.
"Chiaaat...!"
Kini Ki Satria Kendeng mencelat, mengirim tendangan ke arah kepala Rangga yang baru saja bangkit berdiri. Dan tidak seperti tadi, kali ini Rangga tetap berdiri tegak Baru ketika tendangan itu tiba, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengibas-kan tangannya yang telah teraliri tenaga dalam tak sepenuhnya.
Plak! Plak! "Uhhh...!"
Ki Satria Kendeng kontan terhuyung-huyung disertai keluhan tertahan, begitu kakinya menjejak tanah. Rupanya, tenaga dalamnya masih di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga waktu terjadi benturan, dia terpaksa menelan kenyataan pahit. Bahkan sebelum orang tua itu bersiap, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah kakinya dengan serangan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
"Heup! Maaf, Ki. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi, kau terlalu memaksaku. Tak ada jalan lain...!" ucap Rangga, sambil melepaskan kibasan-kibasan tangan yang berbahaya.
"Sudah kukatakan, tidak usah berbasa-basi Toh, kau tahu maksudku. Melawan atau tidak, aku tetap akan meringkusmu. Bahkan kalau kau berkeras dan menyulitkan, aku tidak segan-segan membunuhmu!" balas Ki Satria Kendeng sambil terus menghindar.
"Aku punya cara sendiri untuk membersihkan namaku. Dan ternyata, kalian malah berusaha menyulitkan. Sekali lagi, maaf. Aku terpaksa harus melumpuhkanmu "
"Ha ha ha...! Kesombonganmu mulai terlihat. Kau kira demikian mudah melumpuhkanku" Ayo, lakukanlah!"
Rangga tidak menjawab. Begitu habis melepaskan satu kebutan tangannya, tubuhnya mencelat ke atas. Lalu setelah membuat putaran beberapa kali, kemudian tubuhnya menukik tajam ke bawah dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
"Yeaaa...!"
Ki Satria Kendeng terkejut. Dengan sebisanya, dia menangkis kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Plak! "Uhhh...!"
Saat itu juga, Ki Satria Kendeng merasakan dorongan tenaga dalam kuat saat kedua telapak tangan membentur kepalan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan Rangga tidak berhenti sampai di situ. Begitu mendarat di tanah, sebelah kakinya me-nyambar ke leher. Kembali orang tua itu tersentak kaget. Kalau saja tidak cepat melompat ke belakang, mungkin kepalanya akan menggelinding.
"Hiyaaat...!"
Rangga terus mengejar dengan kedua kaki bergantian melayang menghajar Ki Satria Kendeng. Meski telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja orang tua itu tidak mampu mengimbangi permainan jurus-jurus Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga keadaannya benar-benar terdesak.
Serangan yang bertubi-tubi, membuat Ki Satria Kendeng kalap. Dan dalam kemarahannya, seluruh kemampuannya segera dikerahkan.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti"
"Hm...!"
Rangga menghentikan serangannya, ketika Satria Kendeng mencelat ke belakang untuk mengambil jarak. Dan baru saja kakinya menyentuh tanah, kedua telapak tangan Ki Satria Kendeng tahu-tahu menghentak. Saat itu juga dari telapaknya yang terbuka meluruk selarik sinar kuning berkilauan disertai deru angin tajam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga yang memang telah bersiap menghadapi serangan cepat melenting ke atas dengan gerakan mengagumkan. Sehingga serangan itu luput.
Jgerrr! "Uhhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan begitu menjejak tanah. Meski berhasil menghindar, namun tak urung hawa panas dari serangan itu terasa menyengat. Rasanya seperti terpanggang di atas api yang menyala-nyala.
Rangga segera melirik ke tanah, tempatnya berpijak tadi. Dan hatinya jadi tercekat, melihat lubang sebesar kubangan kerbau telah terkuak, akibat pukulan jarak jauh Ki Satria Kendeng yang dikenalinya bernama Kepalan Neraka. Pukulan itu memang tidak bisa dianggap enteng. Selain hebat, juga dikerahkan oleh tokoh yang memiliki tenaga dalam tinggi seperti Ki Satria Kendeng.
Bila saja tidak ingat kalau orang tua ini adalah tokoh golongan lurus, ingin rasanya Rangga membalasnya dengan aji 'Cakra Buana Sukma'. Tapi, itu akan berakibat kematian bagi Ki Satria Kendeng.
Dan Rangga harus menemukan cara untuk melumpuhkan orang tua ini. Biar bagaimanapun, dia harus menolong Pandan Wangi yang kini terdesak hebat, lalu pergi dari sini menghindari orang-orang yang dinilainya berpikiran pendek.
"Hiyaaat..!"
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'. Seketika tubuhnya berubah menjadi banyak. Sementara Ki Satria Kendeng jadi terkejut dengan kening berkerut. Terus terang, baru kali ini dia bertarung dengan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi baru kali ini pula dia menghadapi jurus itu.
"Kurang ajar...!"
Bukan main geramnya orang tua itu. Saat tubuh berputaran mengelilingi Ki Satria Kendeng, Pendekar Rajawali Sakti menghujaninya dengan? batu sebesar kepalan tangan. Sementara Ki Satria Kendeng sendiri bingung, ke mana pukulan pukulan 'Kepalan Neraka'nya harus diarahkan, karena lawan yang dihadapi berubah menjadi banyak.
Dan di tengah kesibukan orang tua itu, Pendekar Rajawali Sakti mendekat dan menyerang dengan gerakan cepat dari jarak dekat lewat satu tendangan menggeledek berisi tenaga dalam sempurna. Ki Satria Kendeng terkesiap, tanpa bisa nangkis.
Begkh! "Hougkh...!"
Ki Satria Kendeng kontan terjungkal ke bela- kang sambil mengeluh kesakitan, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya. Dari mulutnya tampak menyembur darah segar.
Tapi ternyata Rangga tidak mempedulikannya. Langsung tubuhnya berkelebat ke arah Pandan Wangi yang saat itu tengah berhadapan dengan Pendekar Gelang Putih.
"Pandan, menyingkirlah...!" teriak Rangga.?
Si Kipas Maut terkesiap. Namun sebaliknya Pendekar Gelang Putih menggunakan kesempatan itu untuk menghajar dengan pukulan jarak jauh. Masih untung Rangga bertindak cepat. Cepat didorongnya tubuh kekasihnya, sehingga pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pendekar Gelang Putih luput dari sasaran.
"Pergilah lebih dulu.Dan, jangan membantah!'' bentak Rangga sengit.
Kembali Pandan Wangi terkejut mendengar bentakan itu. Hatinya mangkel, namun diturutinya perintah Rangga. Dengan serta merta, dia melompat ke punggung kudanya dan berlari secepat mungkin dari tempat itu.
Sementara penduduk desa yang melihatnya hanya bisa terpaku. Sedang Ki Satria Kendeng yang berusaha menghadang, terpaksa menyingkir karena Pendekar Rajawali Sakti telah menghentakkan tangannya melepaskan pukulan dan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Hiiih...!"
Pada saat yang bersamaan Pendekar Gelang Putih melepaskan senjata rahasianya untuk membokong Rangga dari belakang.
Sebagai pendekar yang telah banyak makan asam garam, Rangga sama sekali tak lenyap kewaspadaannya. Begitu terdengar desir halus di belakang, Pendekar Rajawali Sakti mendengus sinis. Cepat digeser tubuhnya dengan kepala sedikit miring. Sehingga, senjata rahasia berupa gelang-gelang yang amat tajam lawan luput dari sasaran. Tapi Pendekar Gelang Putih tidak berhenti sampai di situ. Secepat mungkin dia melompat dan menyerang dengan pedang terhunus.
Wuuut! Klap! Dua kali babatan pedang Pendekar Gelang Putih ke leher dan pinggang mudah sekali dielakkan Pendekar Rajawali Sakti dengan satu lesatan ke atas. Dan setelah berputaran beberapa kali tubuhnya meluruk menerjang. Pedang Pusaka Rajawali Sakti langsung tercabut dari warangka, menimbulkan sinar biru berkilauan. Dan saat itu pula pedangnya langsung berkelebat ke arah Pendekat Gelang Putih.
"Hiyaaat!"
Pendekar Gelang Putih terkesiap melihat selarik sinar biru terang yang secepat kilat melesat ke leher. Dia melompat ke belakang untuk berkelit sambil mengibaskan pedangnya.
Tras! "Heh"!"
Dan kembali Pendekar Gelang Putih dibuat terkejut tatkala pedangnya putus dipapas senjata Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum habis rasa kaget laki-laki itu, Rangga telah bergerak melepaskan satu pukulan dahsyat ke dada. Lalu....
Des! "Aaakh...!"
Pendekar Gelang Putih menjerit kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang ketika satu pukulan keras menghantam dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah segar. Sementara wajahnya berkerut menahan sakit.
"Bila aku bermaksud membunuhmu, semudah membalikkan tangan. Tapi aku tidak sembarang membunuh orang seperti yang kalian tuduhkan!" ucap Pendekar Rajawali Sakti, dingin? menggetarkan.
Setelah berkata begitu Pendekar Rajawali Sakti berbalik, dan melesat ke arah punggung kudanya, tanpa seorang pun yang berani menghadangnya! Agaknya mereka menyadari tak ada gunanya lagi menghalangi.
? *** Rangga terus menggebah Dewa Bayu menuju ke arah timur. Arah yang tadi dituju Pandan Wangi. Gadis itu tengah menunggunya di pinggiran padang rumput yang cukup luas. Kekesalan hatinya masih tampak dari wajahnya yang masih tetap cemberut.
"Ayo...!" ajak Rangga, memperlambat derap langkah Dewa Bayu.
Pandan Wangi mengikuti tanpa banyak tanya. Sementara Rangga meliriknya sekilas, dan seperti tahu apa yang dirasakan kekasihnya itu.
"Maaf, Pandan. Aku sama sekali tidak bermaksud menghalangimu..."
Pandan Wangi tetap diam membisu. Rangga menghela napas pendek. Sekali lagi matanya melirik Pandan Wangi.
"Kalau kita berlarut-larut dengan mereka, maka persoalan tidak akan selesai. Dan entah kapan, serta siapa lagi yang akan muncul. Itu bisa merugikan kita sendiri...," lanjut Rangga.
"Aku hanya kesal mendengar sesumbarnya itu...," desah Pandan Wangi.
"Pendekar Gelang Putih?"
"Siapa lagi"!"
"Mudah-mudahan pelajaran yang kuberikan bisa menyadarkannya walau sedikit...." ujar Rangga berharap.
"Aku belum puas kalau orang itu belum merasakan hajaranku!" desis gadis berbaju biru ini.
"Sudahlah. Bukankah persoalannya kembali padaku" Kita tidak perlu menghiraukan mereka. Kedua orang itu, dan mungkin entah berapa tokoh silat lainnya, hanya termakan fitnah. Kita tidak perlu terlalu meladeni mereka...."
"Kau terlalu lemah, Kakang. Mereka tidak segan-segan menginginkan kematianmu? Dan kau malah memandang sebelah mata terhadap ancaman itu! Berapa orang lagi yang akan kita hadapi" Dan, sampai kapan kau akan bertahan" Apa kau ingin mati sebelum teka-teki ini terungkap?" dengus Pandan Wangi kesal.
Rangga terdiam mendengar nada bicara kekasihnya yang meledak-ledak bercampur amarah.
"Sekarang apa yang ingin Kakang kerjakan.
"Akan kucari orang itu sampai dapat!"
"Sampai kapan" Sementara kau mengejar mereka yang tidak pasti siapa orangnya, maka tokoh-tokoh golongan putih mengejar-ngejarmu. Mereka hendak menangkap, bahkan membunuhmu!"
"Ya, aku tahu itu!" sahut Rangga mendengus kecil.
"Kau harus cepat bertindak. Dan, jangan lemah terhadap mereka. Kau tidak perlu mengalah bila mereka ingin membunuhmu, Kakang!"
"Aku mengerti apa yang akan kulakukan, Pandan...!"
"Tapi... Kejengkelan gadis itu sudah mulai meledak. Namun kata-katanya terputus ketika keduanya mendengar derap kuda yang mendekati tempat itu.
"Sebaiknya kita sembunyi!"
"Tidak!" sahut Pandan Wangi menegaskan.
Gadis itu menolak dengan tegas, dan malah berdiri tegak menghadang penunggang kuda yang nyata-nyata menuju ke arah mereka.
"Pandan! Aku tidak ingin cari masalah!"
"Akan kita lihat, siapa yang mencari masalah. Kita atau mereka!" sentak gadis itu.
Rangga menghela napas. Terpaksa dia mengalah ketimbang berdebat dengan gadis yang keras kepala ini.
"Hooo...!"
"Heh"!"
? *** ? Kembali ke Bagian 4
Selanjutnya Bagian 6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 159. Neraka Kematian Bag. 6
4. August 2014 um 20:47
6 ? ? ? Di hadapan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi kini tampak dua penunggang kuda. Namun ketika melihat siapa yang menghadang jalan mereka, kedua penunggang kuda itu berhenti. Mereka langsung melompat turun seraya menjura hormat.
"Ampun, Gusti Prabu..!"
"Bangkitlah. Ada apa kalian menyusul kami? sini?" tanya Rangga, setelah mengetahui kedua penunggang kuda itu ternyata prajurit Karang Setra.
"Kami berhasil meringkus seseorang," sahut seorang dari mereka menjelaskan.
"Siapa?"
"Seorang maling yang biasa menyatroni rumah-rumah penduduk di wilayah Kerajaan Swandana!"
"Bagus. Di mana maling itu sekarang?"
"Sedang dijaga dua prajurit lainnya."
"Apa kehadiran kalian menarik perhatian?"
"Kami rasa tidak Gusti Prabu! Dengan penyamaran sebagai rakyat jelata, orang tidak akan menyangka kalau kami para prajurit Karang Setra."
"Bagus! Lalu, dari mana kalian bisa menemukan kami di sini?"
"Di belakang tadi, kami mendengar keributan. Dan menurut mereka, Gusti Prabu telah menghajar dua tokoh silat itu. Kemudian, kami menuju ke arah ini. Itulah yang membawa kami ke sini!"
"Hm.... Ayo kita berangkat sekarang!" sahut Rangga setelah mengangguk kecil.
Mereka semua segera menggebah kudanya dengan kencang. Dan dalam waktu singkat mereka telah meninggalkan tempat ini meninggalkan debu tipis yang mengepul di angkasa.
*** ? Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan dua prajurit Karang Setra tiba di tujuan beberapa saat kemudian. Di bawah sebuah pohon besar, terlihat dua orang bersenjata golok di pinggang berada di dekat dua ekor kuda yang tertambat di batang pohon. Seorang pemuda berbaju hitam duduk di bawah dengan kedua tangan dan kaki terikat.
"Itu dia orangnya, Gusti Prabu...!" tunjuk salah seorang prajurit.
Rangga dan Pandan Wangi turun dari kudanya. Dua prajurit yang tadi di dekat pohon besar menghampiri lalu menjura hormat. Setelah membalas penghormatan itu, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi menghampiri pemuda berbaju hitam yang tengah terikat.
"Siapa namanya...?"
"Dia tidak mau mengaku, Gusti Prabu...," jelas seorang prajurit.
Rangga hanya menggumam, lalu mendekati pemuda berambut panjang itu.
"Siapa namamu...?" tanya Rangga datar.
"Phuih!"
Pemuda itu meludah sambil menunjukkan wajah menantang. Dan Rangga hanya menarik napas, menahan amarah.
"Siapa namamu" Bila kau penduduk Karang Setra, maka jawab pertanyaanku!"
"Huh! Apa peduliku?"
"Tahukah kau hukuman berat bagi pengkhianat negeri!" sahut Rangga mulai mengancam.
Pemuda itu tidak menjawab.. Dan dia hanya mendengus sinis seraya memandang tajam kepada Raja Karang Setra ini.
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti perlahan- lahan berubah, seiring hatinya yang mulai jengkel melihat ulah pemuda itu. Dan mendadak tangannya bergerak cepat, menotok bagian pundak pemuda ini.
Tuk! "Akh...!"
Pemuda itu menjerit. Wajahnya kontan berke-rut menahan rasa sakit hebat.
Pendekar Rajawali Sakti memang baru saja menotok jalan darah menuju jantung, sehingga pemuda berambut panjang itu amat menderita.
"Kalau kau tidak bicara, maka penderitaanmu akan bertambah!" ujar Rangga dingin.
"Keparat! Aku tidak ada urusan denganmu. Bunuh saja kalau memang ingin membunuhku...!" dengus pemuda berbaju hitam itu.
"Membunuh soal mudah. Tapi kau harus jawab pertanyaanku lebih dulu...!"
Rangga kembali menotok.
Tuk! "Aaakh...!"
Pemuda berbaju hitam itu kontan menjerit kesakitan.
"Bicaralah! Atau kau ingin mati pelan-pelan" Dalam keadaan begini maka sore nanti nyawamu akan melayang, setelah mengalami penderitaan berat. Tapi kalau kau mau menjawab pertanyaanku, bukan tidak mungkin akan kubebaskan...."
"Uhhh...."
Pemuda berbaju hitam itu terengah-engah menarik napas. Wajahnya terlihat kuyu dan pucat.
"Tidak ada waktu bagimu untuk berpikir. Putuskan sekarang! Ingin selamat, atau nyawamu melayang perlahan-lahan?" desak Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda berbaju hitam itu mendengus sinis, lalu memalingkan wajahnya.
"Baiklah. Kau telah menentukan pilihan...," desah Rangga datar.
Pendekar Rajawali Sakti lantas berbalik, diikuti Pandan Wangi.
"Ayo, tinggalkan tempat ini! Biarkan dia mati. Barangkali sebelum nyawanya putus, kawanan serigala akan merencahnya beramai-ramai!" ajak Rangga pada yang lain.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti melangkah, sekonyong-konyong....
"Baiklah, aku akan buka mulut...!" teriak pemuda itu.
"Bagus! Kau telah menentukan pilihan yang baik!" kata Rangga.
*** "Jangan coba-coba membohongiku, sebab aku tidak akan kepalang tanggung untuk membunuhmu!" ingat Rangga.
Pemuda itu mengangguk.
"Siapa namamu?"
"Nambe...."
"Dari mana asalmu...?"
"Dari..."
Kata-kata pemuda itu terputus, dan malah menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti sejurus lamanya.
"Kau berasal dari Alas Karang, bukan?" lanjut Rangga menduga.
"Ya...," sahut pemuda berbaju hitam bernama Nambe, mengangguk.
"Sudah kuduga. Kau suruhan rajamu?"
Nambe kembali mengangguk.
"Berapa orang kalian bekerja?"
"Ada dua puluh satu...."
"Lalu, siapa orang yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Sakti?"
Nambe terdiam. "Jawab...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, menggelegar.
"Eh! Aku..., aku tidak tahu!"
"Hm.... Aku tahu, menyembunyikan sesuatu dariku. Nah! Lebih baik, jawab pertanyaanku sejujurnya. Atau, kau akan mampus seperti tadi!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, mengancam.
Nambe terdiam sesaat. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.
"Jawab sekarang!"
"Mereka orang-orang terpercaya Gusti Prabu Bre Redana...!"
"Bagus sekali. Berapa jumlah mereka?"
"Ti..., tiga...."
"Kau telah memilih jalan hidupmu. Aku berjanji, kau akan kubiarkan hidup. Tapi sebelum semua ini selesai, kau harus tetap bersamaku. Patuhi semua yang kuminta. Sebab bila tidak, aku tidak akan segan-segan mengirimmu ke neraka!" desis Pendekar Rajawali Sakti.
"Eh! Ba..., baiklah."
"Bawa dia!" ujar Rangga pada seorang prajurit.
"Baik, Gusti Prabu!"
"Eh! Mau dibawa ke mana aku?" tanya Nambe memandang bingung dan berusaha berontak.
Rangga menatap tajam ke arah Nambe.
"Aku telah berjanji membiarkan kau hidup di hadapan mereka. Janjiku pasti. Maka turuti saja perintahku kalau ingin selamat!"
Nambe terdiam. Namun wajahnya tetap bingung, ketika orang-orang Karang Setra ini justru membawanya ke arah Kerajaan Swandana.
Raja Swandana berkenan menerima Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi di balairung utama. Raja berusia sekitar tiga puluh sembilan tahun itu kelihatan kaget sekali, melihat siapa yang datang. Sebab sebelumnya para pengawal mengatakan, kalau yang datang adalah utusan Karang Setra. Tapi yang dilihatnya justru Raja Karang Setra sendiri.
Sebagai sebuah kerajaan yang bertetangga, tentu saja mereka sudah saling kenal. Meski jarang saling mengunjungi, namun hubungan antara kedua kerajaan ini tetap baik tanpa perselisihan apa pun.
"Ini suatu kehormatan bagiku menerima kun-jungan dari seorang tetangga dekat. Silakan...!" sambut Raja Swandana.
"Terima kasih, Kakang Prabu Sri Rajagatna! Kakang ternyata begitu ramah dan bijaksana!" sa-hut Rangga, membalas salam hormat Raja Swandana itu. Lalu dia duduk di tempat yang telah disediakan.
Pandan Wangi duduk di dekatnya. Sedang ke-empat prajurit Karang Setra bersama tawanan menunggu di luar.
"Apa gerangan yang kau bawa untuk kami, Sahabatku?"
Rangga menghela napas pendek, sebelum menyahut.
"Kurasa mungkin Kakang telah mendengar berita mengenai diriku belakangan ini. Aku berterima kasih, sebab Kakang tetap menerimaku dengan keramahtamahan. Dan kedatanganku ke sini ingin menjelaskan persoalan itu, Kakang. Kurasa kau bisa membantuku...," jelas Rangga.
"Apa gerangan hal itu, Dimas Rangga. Memang kudengar berita buruk tentangmu. Tapi, aku tidak mempercavainya begitu saja. Bertahun-tahun kau memerintah Karang Setra. Dan, selama ini namamu tetap terpuji. Mustahil seorang raja sepertimu melakukan perbuatan rendah. Kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan bila hanya sekadar harta atau kesenangan dunia"," kata Raja Swandana yang bernama Sri Rajagatna.
"Benar sekali yang kau katakan. Dan bukan sekadar aku saja yang difitnah. Tapi, juga penduduk negeriku. Mungkin Kakang pernah mendengar bahwa belakangan ini banyak penduduk Karang Setra tertangkap basah merampok di wilayahmu. Perlu kujelaskan, bahwa hal itu tidak benar. Kami berhasil menangkap salah seorang dari mereka, dan me-maksanya untuk mengaku. Dan kurasa, Kakang akan terkejut mendengarnya. Karena, mereka ber asal dari Alas Karang...."
"Alas Karang..."!" Sri Rajagatna terkejut.
"Benar!"
"Hm, sungguh keji mereka! Bila apa yang Dimas katakan benar, maka mereka berusaha mengadu domba kita berdua!"
"Aku juga berpendapat begitu, Kakang."
"Bisakah kau bawa orang itu ke sini?"


Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja!"
Rangga bertepuk dua kali. Maka empat prajuritnya segera masuk bersama tawanan itu.
Setelah mendengar keterangan Nambe, Raja Swandana itu yakin dengan kata-kata Rangga.
"Hm.... Aku yakin, Dimas memang benar," ujar Gusti Prabu Rajagatna setelah mempersilakan tawanan itu kembali keluar.
"Syukurlah bila Kakang berpendapat begitu. Hatiku lega mendengarnya, karena punya sahabat yang mau mempercayai..."
"Lalu, langkah apa selanjutnya yang akan Dimas jalankan?"
"Begini, Kakang. Kudengar mereka pun ber-ulang kali mencari gara-gara di wilayah kerajaanmu. Dan mereka coba pula hal itu kepadaku. Namun, dapat kupatahkan. Dan kini agaknya mereka menggunakan cara baru untuk melumpuhkan kita berdua. Bre Redana itu amat licik. Kita harus bersatu untuk menghadapinya!"
"Aku setuju dengan usulmu itu!" sahut Prabu Sri Rajagatna cepat.
"Bantulah aku meyakinkan rakyat di negerimu. Juga, tokoh-tokoh persilatan agar mereka percaya kalau aku serta rakyatku tidak pernah melakukan perbuatan keji kepada rakyat kalian," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
'Sudah tentu hal itu akan kulakukan secepat nya!"
"Ah...! Semakin lega saja hatiku mendengar nya!"
"Sudahlah, tidak perlu kau berkata begitu. Dimas. Sejak semula aku percaya, kau tidak melakukan perbuatan keji itu. Yang terpenting saat ini kita harus kerja secepat mungkin. Bre Redana dengan seluruh orang di kerajaannya, begitu bernafsu untuk menguasai kita. Mereka harus dihancurkan! tandas Raja Swandana, bersemangat.
"Kalau begitu tekadmu, maka sekarang juga akan kubeberkan rencana serta langkah-langkah untuk menghadapi mereka!"
"Baiklah. Karena ini rahasia, maka kita bicara di tempat yang rahasia pula...," ujar Prabu Sri Rajagatna, seraya bangkit dan mengajak kedua tamunya ke sebuah kamar khusus.
? *** ? Bre Redana yang memiliki sepasang alis ber-warna kuning tersenyum sambil mengangguk-angguk menerima laporan dari dua prajuritnya.
"Kerja kalian bagus. Katakan pada mereka bahwa aku akan memberi hadiah besar. Tetaplah seperti itu, untuk beberapa waktu sampai saat yanq kutentukan!"
"Baik, Gusti Prabu!"
"Nah! Kalian boleh pergi sekarang!"
Kedua orang itu menjura hormat, lalu beringsut ke belakang dan menghilang dari ruangan ini.
Bre Redana masih tersenyum-senyum sendiri, sepeninggal kedua orang tadi.
"Kau jangan dulu merasa puas, Kakang!" kata gadis yang duduk tidak jauh darinya, dan tak lain dari Ayu Larasati.
"Kenapa tidak" Pendekar Rajawali Sakti telah cemar namanya. Kini dia diburu kawan-kawannya sendiri. Banyak yang mulai menjauhinya. Aku tidak perlu turun tangan sendiri untuk membunuh bangsat itu!" tegas Bre Redana yakin.
"Bagaimana kalau dia punya akal lain untuk berkelit dari tuduhan itu?"
"Dia tidak akan sempat memikirkannya. Persoalan itu pasti membuatnya goncang, sehingga tidak mampu berpikir yang lain."
"Sebaiknya kau jangan terlalu yakin, Kakang. Pastikan hal itu agar rencanamu tidak lagi berantakan."
"Pasukan kita semakin banyak dan terlatih. Kekayaan mulai mengalir ke negeri ini. Kita mulai tumbuh kuat. Dan dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi yang kutakuti!"
Ayu Larasati mencibir melihat kakaknya yang kelihatan tengah kegirangan.
"Ayo! Bergembiralah, Adikku! Apalagi yang kau pikirkan" Sebentar lagi kita akan menduduki Swandana. Lalu, tidak lama kemudian Karang Setra. Kita akan menjadi sebuah kerajaan besar. Dan kau adalah adik dari seorang raja besar! Ha ha ha...!" ujar Bre Redana, jumawa.
Ayu Larasari bangkit dari duduknya, lalu menghampiri jendela. Dari situ, matanya bisa memandang keluar. Di halaman depan terlihat banyak sekali prajurit yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan.
Pemandangan seperti itu memang hampir setiap hari terlihat. Kerajaan Alas Karang boleh bangga, sebab dalam waktu singkat memiliki prajurit tangguh dengan jumlah cukup banyak. Namun entah kenapa hati Ayu Larasati masih waswas. Gadis ini tidak terhibur, apalagi terhanyut kegembiraan kakaknya, Bre Redana!
"Pemuda itu tidak bisa dianggap enteng, Kakang. Kau tidak bisa menganggap sebelah mata padanya...,"kata Ayu Larasari lagi, mengingatkan.
"Siapa yang kau maksud" Raja Karang Setra itu?"
"Ya."
"Orang tahu, kalau dia Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun kini termakan berita itu. Apalagi yang kau risaukan" Apa kau kira dia dewa yang bisa menyihir keadaan seperti ini menjadi keajaiban" Aib yang diterima sulit dihapuskan. Dan dia akan menderita, meski nyawanya telah melayang sekalipun!" tandas Bre Redana, semakin yakin.
"Kenapa kau begitu yakin" Apakah terpikir akan keadaan yang lain?"
"He he he...! Adikku, Adikku...! Kini aku bangga mempunyai adik sepertimu. Sejak kembali ke istana ini, watakmu berubah banyak. Kau de-wasa. Dan akalmu semakin panjang. Tapi tidak ada yang perlu dikhawarirkan. Percayalah! Segalanya akan beres!"
Ayu Larasari terdiam. Namun, pandangannya tetap tertuju keluar.
Bre Redana bangkit dan mendekari adiknya. Lalu ditepuk-tepuknya pundak gadis itu.
"Sudahlah, tidak usah khawatir. Semuanya akan beres. Percayalah...."
Baru saja kata-kata itu habis mendadak dua orang prajurit masuk ke dalam ruangan seraya bersujud hormat.
"Ampun, Gusti Prabu! Maafkan karena kami mengganggu ketenangan Paduka...!" ucap prajurit itu, berbarengan.
"Tidak apa. Nah, ada apa?" sahut Bre Redana tersenyum seraya duduk kembali di tempatnya semula.
"Kami membawa berita buruk, Gusti Prabu...," sahut salah seorang dengan suara lirih.
"Berita buruk apa"! Katakanlah cepat!" sentak pemuda beralis kuning itu.
Kedua prajurit itu tersentak, dan cepat-cepat menunduk. Sesaat mereka diam membisu.
"Kenapa diam"! Ayo katakan, berita buruk apa yang kau bawa"!" bentak Bre Redana.
"Para prajurit kita yang mengemban tugas rahasia telah tertangkap, Paduka... "
"Tertangkap" Apa maksudmu"!"
"Kalau saja orang-orang desa yang menangkap, mereka akan segera melepaskan diri. Tapi yang menangkap adalah orang-orang tangguh. Mereka disekap, dan kami tidak mengetahui dibawa ke mana...."'
"Kurang ajar!" dengus Bre Redana geram.
Wajah pemuda itu berkerut geram dengan kedua tangan terkepal. Hela napasnya terasa memburu. Ditatapnya kedua prajurit itu, dalam-dalam.
"Bagaimana dengan Sanjaya, Warakitri, dan Setiaki?"
"Kami belum bertemu, Gusti Prabu!"
"Bodoh! Apakah kajian tidak menyiapkan pasukan perlindungan bagi mereka?"
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi dalam beberapa hari keributan, kami kehilangan jejak mereka..."
"Sial!"
Bre Redana langsung menghantam kursinya pelan, untuk melampiaskan kekesalannya. Lalu, kembali ditatapnya kedua prajurit itu lekat-lekat, seraya menarik napas dalam-dalam.
"Sekarang juga kalian cari mereka. Perintahkan ketiganya kembali menghadapku!" ujar Bre Redana.
"Baik, Gusti Prabu!" sahut kedua prajurit cepat. Segera setelah menjura hormat, mereka beringsut meninggalkan tempat ini. Sementara itu, wajah Bre Redana yang tadi riang gembira kini berubah kelam penuh kejengkelan!"
? *** ? Kembali ke Bagian 5
Selanjutnya Bagian 7
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 159. Neraka Kematian Bag. 7
4. August 2014 um 20:48
7 ? ? ? Dua anak muda menggebah kudanya pelan- pelan. Yang seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya panjang. Dia memakai baju rompi putih. Sementara seorang lagi adalah gadis cantik berbaju serba biru. Di pinggangnya terselip sebuah kipas terbuat dari baja putih. Dan di punggungnya tampak sebilah pedang bergagang kepala naga. Mereka tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
"Kakang, kenapa kita berkuda lambat-lambat" Bukankah orang itu akan kabur lebih cepat" Sebaiknya kita cepat mengejamya sebelum dia menghilang!"
"Dia tidak akan menghilang, Pandan. Percayalah!"
"Kenapa Kakang begitu yakin?"
"Sebab pasukan Kerajaan Swandana telah mengepung daerah itu rapat-rapat. Orang itu seperti kabur mendekati perangkap, namun tidak disadarinya," jelas Rangga.
"Hm... Aku tidak tahu soal ini!" dengus Pandan Wangi bersungut-sungut dengan wajah cemberut.
Setahu Pandan Wangi, Rangga belum membi-carakan soal itu pada Raja Swandana. Sebab se-lama mengadakan pembicaraan, gadis ini selalu ikut hadir dan mendengarkan. Sehingga, dia tahu betul rencana apa saja yang akan dijalankan.
"Aku mengirim seorang kurir untuk memberitahukannya. Tapi bukan berarti aku bermaksud merahasiakannya darimu. Tapi, karena ada tugas lain yang mesti kukerjakan secepatnya. Dan kebetulan aku belum sempat menjelaskannya padamu," ujar Rangga, seperti bisa mengetahui apa yang tengah dirasakan gadis itu.
Pandan Wangi diam saja, meski hatinya masih kesal. Dia memang ingin tahu semua persoalan yang dihadapi kekasihnya. Dan, sebisa mungkin membantu untuk menyelesaikannya bersama-sama. Tapi entah lupa atau disengaja, Rangga tidak menceritakan beberapa persoalan kepadanya. Dan itu membuat si Kipas Maut jengkel.
"Sudahlah. Ini memang salahku. Tapi sekarang, kau kan telah mengetahuinya. Itu berarti aku tidak menyembunyikannya, bukan?" lanjut pemuda itu tersenyum-senyum, berusaha mencairkan kejengkelan Pandan Wangi.
Pandan Wangi hanya menoleh sebentar, kemudian terus mengalihkan perhatian ke depan. Pada saat yang sama, terdengar ribut-ribut. Tidak jauh dari tempat mereka. Keduanya saling pandang sesaat. Lalu dengan cepat Rangga memacu Dewa Bayu bagai lesatan angin tajam.
"Heaaa...!"
Sementara Pandan Wangi segera mengikuti.
Sebentar saja, mereka telah tiba di suatu tem-pat yang agak luas di pinggiran sebuah hutan kecil. Tempat itu telah dikepung pasukan bersenjata lengkap berjumlah sekitar tiga puluh orang. Sementara di tengah mereka, terlihat dua prajurit Kerajaan Swandana tengah bertarung melawan pemuda berambut panjang dan., memakai rompi putih!
"Keparat!" desis Rangga geram, melihat kenyataan itu.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti terkepal. Wajahnya menggeram. Seketika dia turun dari kudanya, dan menguak kerumunan.
"Minggirlah. Biar bajingan ini bagianku!" ujar Rangga dengan sorot mata tajam.
Ini tidak mengherankan lagi. Baru tadi pagi pun, Pendekar Rajawali Sakti telah meringkus se-orang pemuda yang wajahnya mirip sekali dengannya. Dari orang itu, diketahui kalau jumlah mereka tiga orang. Dan selama ini, mereka menggunakan nama Pendekar Rajawali Sakti dalam sepak terjangnya. Jadi jelas, fitnahan itu kini terbukti.
"Kau adalah keparat kedua yang kutemui. Dan, jangan harap bisa lolos dari tanganku!" desis Rangga tajam seraya mendekati pemuda berambut panjang itu pelan pelan.
Pemuda yang mirip Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap. Dan sesaat matanya melihat ke kanan dan kiri, seperti berusaha mencari jalan untuk lolos. Mukanya tampak pucat, dan tubuhnya gemetar.
Wajah, bentuk tubuh, dan cara berpakaian orang ini betul-betul mirip Pendekar Rajawali Sakti. Juga senjata yang digunakan. Sehingga para prajurit yang berada di sekitar tempat ini akan pangling untuk membedakannya. Hanya saja sekarang lebih mudah, sebab Pendekar Rajawali Sakti palsu kelihatan seperti orang yang menderita demam hebat!
"Kau mencari kawan-kawanmu" Jangan harap! Mereka telah diringkus prajuritku. Kau lihat, mereka berada di sekitar ini. Dan di sini, kau terkurung para prajurit Swandana. Tidak ada jalan lolos lagi bagimu. Maka cabutlah pedangmu. Dan, pertahankan nyawamu!"
Pendekar Rajawali Sakti gadungan itu terkesiap!
Tidak jauh dari tempat itu terlihat sekitar dua puluh lima orang-orang bersenjata. Mereka berpencar, namun tidak saling berjauhan. Sehingga satu sama lain masih terlihat mengurung daerah ini. Sedang para prajurit Swandana mengurungnya lebih dekat. Sehingga sedikit pun tak ada jalan keluar.
"Cabut pedangmu!" sentak Rangga geram.
Namun Pendekar Rajawali Sakti gadungan tetap berdiam diri dan tidak kelihatan tanda-tanda akan menyerang lebih dulu. Dan ini membuat Rangga menjadi semakin geram saja.
"Huh! Kau telah cemarkan nama baikku. Dan ganjarannya, kau patut mampus!" dengus Rangga dingin.
Rangga bersiap seraya memasang kuda-kuda Namun saat itu....
"Ha ha ha...!'
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang disusul berkelebatnya sesosok tubuh ke tengah lingkaran yang dibuat para prajurit Swandana. Mereka terkejut dan bersiap menyerang. Demikian pula halnya para prajurit Karang Setra yang tadi mengikuti rajanya dengan sembunyi-sembunyi.
"Tahan...!" bentak Rangga.
? *** ? Tidak jauh di dekat Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak seorang tua berjenggot panjang dan telah memutih, memakai baju hijau. Tangan kanannya menggenggam sebatang tombak kayu yang mirip ranting.
"Ki Satria Kendeng! Kau lagi! Apakah kali ini kau akan mengacau"!" seru Rangga dengan wajah kesal.
"Ha ha ha...! Jangan marah dulu, Sobat. Maafkan kekasaranku tempo hari. Kini aku mulai menyadari, bahwa kau memang di pihak yang benar. Nah! Kini, kusaksikan sendiri hal itu. Untuk menebus kesalahanku, maka biar bajingan ini menerima hajaranku!" ujar orang tua yang ternyata Ki Satria Kendeng.
"Orang ini telah memfitnahku habis-habisan. Maka, dia menjadi bagianku, Ki!"
"Ah! Apakah kau betul-betul tidak memaaf-kanku" Berikan kesempatan padaku untuk mene-bus kesalahan dengan menghajar keparat ini," kata Ki Satria Kendeng, memohon.
"Maaf, Ki. Soal itu aku telah memaafkanmu. Tapi urusan dengannya, tidak bisa kuwakilkan padamu. Dia harus menebusnya dengan nyawanya sendiri!"
"Kau hendak membunuhnya" Hm, begitu mudah! Apakah tidak berpikir untuk mengorek keterangan lebih lanjut?"
"Keterangan apa?"
"Dia pasti tidak bekerja sendiri. Nah! Cari tahu siapa dalangnya, dan apa maunya!"
"Aku sudah dapatkan dalangnya...."
"Benarkah"! Hm.... Kalau begitu, aku keting-galan berita. Siapa?"
"Coba tanyakan padanya."
Ki Satria Kendeng menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti palsu dengan langkah lebar.
"Keparat busuk! Katakan padaku, siapa ma-jikanmu"! Apa maksudmu memalsukan nama Pendekar Rajawali Sakti"!"
"Huh! Aku tak ada urusan denganmu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti gadungan.
"Eee, kurang ajar! Kau belum kenal siapa aku, he"!"
Ki Satria Kendeng gusar bukan main mendengar jawaban itu. Secepat kilat, diterjangnya pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hei, Ki! Apa yang kau lakukan?" sentak Rangga.
Tapi akhirnya Rangga hanya bisa menahan jengkel, sebab orang tua itu sama sekali tidak mempedulikan peringatannya. Dan dia terus menyerang.
"Brengsek!"
"Huh! Kenapa mesti pakai tata krama segala" Kerubuti saja biar cepat mampus!" desak Pandan Wangi.
"Sebagai tokoh silat yang mengerti aturan tidak semestinya mengeroyok lawan. Apa kata orang bila melihat Pendekar Rajawali Sakti mengeroyok seorang tokoh kelas rendah?" kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Memang aku tidak mengerti. Tapi apa pedu-linya kata-kata orang lain" Apa kata mereka saat kau difitnah" Mereka berduyun-duyun mencari, mengepung, mengejar-ngejar, bahkan ingin mem-bunuhmu! Dan kau masih mempedulikan aturan mereka. Kalau begitu, biar aku saja yang mengeroyoknya!" ujar Pandan Wangi mantap.
Begitu selesai dengan kata-katanya, si Kipas Maut langsung mencabut kipasnya. Tubuhnya se-ketika mencelat menyerang Pendekar Rajawali Saks gadungan yang tengah bertarung dengan Ki Satria Kendeng.
'Pandan...!" cegah Rangga.
Tapi percuma saja. Sebelum sempat mencekal lengannya, Pandan Wangi telah lebih dulu melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti gadungan.
"Heaaa...!"
"He he he...! Bagus, Kipas Maut. Hitung-hitung kau mewakili kekasihmu untuk membalaskan dendamnya!" sambut Ki Satria Kendeng kegirangan.
Gadis itu tak menyahut. Dan perhatiannya terus terpusat untuk menyerang serta mendesak Pendekar Rajawali Sakti gadungan secepatnya.
Meski dikeroyok, kelihatan Pendekar Rajawali Sakti gadungan cukup tangguh juga. Terbukti, dia masih mampu meladeni.
Tapi sepertinya, hal itu tidak akan berlangsung lama. Meski berusaha mendesak lewat permainan pedangnya, tetap saja Pendekar Rajawali Sakti gadungan tidak mampu. Pandan Wangi berkali-kali berhasil menangkis pedangnya. Sementara kedua kaki gadis itu lincah mencari-cari sasaran dengan melakukan tendangan-tendangan keras. Belum lagi serangan-serangan yang datangnya dari Ki Sabda Kendeng. Meski tanpa senjata, tapi orang tua itu memiliki gerakan gesit dan selalu berhasil menghindar dari tebasan pedang. Kemudian, tubuhnya melesat bagai kilat, menyerang dengan ganas.
Trak! Wut! Kipas Pandan Wangi berhasil menangkis tusukan pedang. Kemudian secepat kilat pedang itu bergerak menyambar ke wajah, ketika gadis itu mencelat ke atas.
"Yeaaa!"
Pada saat yang sama Satria Kendeng melakukan tendangan ke arah dada. Dan meski terkejut, Pendekar Rajawali Sakti gadungan berhasil menghindari dengan melompat ke belakang. Tapi, Pandan Wangi ternyata telah menunggu. Senjata di tangannya bergerak sedemikian cepat. Lalu....
Bret! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti gadungan memekik kesakitan. Pergelangan tangannya yang menggenggam pedang putus. Dan belum lagi bersiap, Pandan Wangi telah mengirim serangan susulan lewat, tendangan ke arah pinggang.
Des! "Uhhh...!"
"Itu hadiah untuk kebejatanmu!" desis Pandan Wangi.
Sementara itu Ki Satria Kendeng melompat. Dan seketika kedua kakinya menghantam telak ke dada Pendekar Rajawali Sakti gadungan yang berusaha bangkit.
Begkh! "Aaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti palsu itu kontan memekik. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sepasang matanya melotot dan wajahnya menegang, kemudian terkulai lesu ketika nyawanya melayang.
"Huh! Itu balasan dari kawanku yang namanya telah kau gunakan untuk memfitnahnya!" dengus Ki Satria Kendeng.
Rangga hanya menghela napas pendek, kemudian memberi isyarat pada para prajuritnya untuk mengurus mayat itu.
"Nah, dengan begitu urusan beres! Lalu, apa rencanamu sekarang" Eh, tunggu dulu! Kau belum mengatakan siapa majikan si keparat itu?" ujar Ki Satria Kendeng menagih.
"Bre Redana..., yang kini berkuasa di Alas Karang."
"He, diakah orangnya"!"
Rangga mengangguk
"Kudengar keributan antara kau dengannya. Hm.... Tidak heran kalau dia dendam padamu. Tapi banyak tokoh silat yang membantunya!"
"Benar. Orang itu gila kekuasaan. Dan dia menggunakan segala cara untuk mendapatkanya...."
"Dari mana kau bisa menduga begitu?"
? *** ? Rangga memandang Ki Satria Kendeng sejurus lamanya. Lalu bibirnya tersenyum tipis.
"Aku punya banyak bukti. Dan Raja Swandana telah mengetahuinya pula. Bre Redana mengirim beberapa anak buahnya yang berilmu hebat, untuk merampok tambang emas di wilayah Kerajaan Swandana. Anak buahku telah memergokinya dan menangkap mereka. Juga, entah berapa rumah para penduduk yang mereka rampok. Dengan harta itu, dia menarik tokoh-tokoh persilatan untuk bekerja dengannya. Apa tanggapanmu sekarang!" jabar Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau benar begitu, maka orang ini betul-betul terkutuk!" maki Ki Satria Kendeng.
"Kita tidak perlu lagi memaki. Saat ini yang diperlukan adalah tindakan!"
"Apa maksudmu, Sobat?"
"Prajurit-prajurit Swandana dan Karang Setra telah sepakat untuk menyerang mereka. Bila kau merasa sebagai tokoh silat aliran lurus, maka ini kesempatan bagimu untuk ikut ambil bagian.
"Maksudmu?"
"Ajak tokoh-tokoh persilatan lainnya, untuk bergabung bersama kami!"
"Tapi..., mereka akan melihat bahwa ini per-soalan antara kerajaan dan bukan persoalan umum. Mana mungkin mereka mau...."
"Ini persoalan umum. Dan bila mereka ber-kuasa, maka rakyat di wilayah mana pun akan sengsara. Sehingga, kezaliman akan merajalela. Sekarang saja mereka berani menghalalkan segala cara, untuk mencapai cita-citanya. Kau bisa melihat sendiri contohnya. Dia mengirim tiga Pendekar Rajawali Sakti palsu untuk berbuat keji terhadap rakyat yang tak berdosa. Apakah itu urusan antara kerajaan" Mereka merampok. Dan yang menjadi korban adalah rakyat tak berdaya. Bukankah itu sumber kejahatan?"
Ki Satria Kendeng terdiam merenungi kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak memaksa agar kau membantuku, Ki. Tokoh-tokoh silat lainnya telah siap berdiri di belakangku. Mereka ikut bertempur, karena menyadari bahwa yang diperangi adalah kebathilan...," lanjut Rangga.
"Benarkah..." Berapa orang?"
"Banyak. Dan itu tidak perlu kusebutkan satu persatu!"
"Baiklah. Aku mendukungmu! Lalu, kapan se-rangan itu dilakukan?"
"Malam ini juga!"
"Hm, ya. Aku akan datang bersama kawan-kawan yang lain!"
"Syukurlah akhirnya kau mengerti. Bawalah sebanyak-banyaknya. Dan, kurasa mereka lebih bisa mengerti!"
"Kalau begitu, aku pergi dulu. Aku akan mem- beritahukan yang lainnya. Kami akan datang ke medan pertempuran secepatnya!"
Rangga mengangguk. Dan secepat itu Ki Satria Kendeng berkelebat, lalu menghilang dari pandangan.
"Orang tua yang aneh...," gumam Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum kecil, lalu memberi isyarat pada para prajurit Swandana.
"Katakan pada panglima bahwa rencana akan berlangsung seperti semula. Aku perlu prajurit prajurit tangguh yang mampu bergerak cepat Kirimkan mereka secepatnya dalam barisanku!" ujar Rangga pada pemimpin pasukan.
"Baik, Gusti Prabu!"
"Kalian boleh kembali sekarang. Sampaikan salam hangatku buat raja kalian!"
Kepala pasukan prajurit itu mengangguk, ke- mudian menjura hormat. Lalu pasukannya disiap kan, untuk kembali ke Kerajaan Swandana.
*** ? Kembali ke Bagian 6
Selanjutnya Bagian 8
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 159. Neraka Kematian Bag. 8 (selesai)
4. August 2014 um 20:49
8 ? ? ? Sejak tadi Bre Redana mondar-mandir tak ka-ruan. Wajahnya keruh dengan kedua tangan ter-kepal berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah tidak karuan.
"Keparat! Kurang ajar...!"
"Sudah! Tak ada gunanya memaki segala. Sekarang yang lebih baik adalah, menyusun rencana secepatnya dan mempertahankan diri dari serangan mereka...," ujar Ayu Larasati datar.
"Kenapa bisa begini"! Aku telah menyusun rencana serapi mungkin!" kata Bre Redana, seperti berkata pada diri sendiri.
"Kakang kurang teliti dan tidak cepat tanggap. Cepat puas dengan hasil yang diperoleh, tanpa menyadari kalau lawan mampu membalas dengan perhitungan lebih baik..."
Bre Redana terdiam seraya menghempaskan diri di kursi.
"Bukankah aku telah memperingatkan" Raja Karang Setra itu tidak bisa dipandang enteng. Ta-pi kau tidak mengindahkannya. Dan..., beginilah jadinya," kata Ayu Larasati, menyudutkan kakaknya.
"Tidak usah menyesali, Ayu Larasati! Yang kita butuhkan saat ini adalah siasat untuk memukul mereka!"
"Aku tidak tahu...," sahut gadis itu datar, lalu duduk di dekat kakaknya.
Bre Redana menghela napas panjang. Lalu ta-ngannya menepuk. Tak lama, seorang pengawal muncul dan menyembah hormat.
"Ampun, Gusti Prabu...!"
"Sudahkah para panglima menyiapkan segala sesuatunya?"
"Sudah, Gusti Prabu. Pertahanan kita cukup kuat. Dan di setiap sudut kerajaan rasanya sulit ditembus musuh dari mana pun!"
"Bagus! Siapkan kuda. Aku akan berangkat sekarang juga!"
"Baik, Gusti Prabu!"
Pengawal itu menjura hormat, lalu tubuhnya berbalik. Sedang Bre Redana sendiri menghela napas kembali, seraya mondar-mandir di ruangan ini. Sementara Ayu Larasati hanya diam memper- hatikan. Juga saat pemuda itu masuk ke dalam kamar dan keluar membawa pedang kebanggaan nya.
"Aku berangkat sekarang...," pamit Bre Reda- na seraya memandang adik perempuannya seje- nak.
"Aku akan menyusul secepatnya, Kakang.... ujar Ayu Larasati.
Bre Redana mengangguk, lalu melangkah lebar keluar ruangan.
? *** ? Di halaman depan istana telah menunggu be-berapa prajurit Alas Karang bersenjata lengkap, tampak seekor kuda kebesaran persis berada di depan pintu. Bre Redana melompat, lalu menatap jauh ke depan. Matahari akan tenggelam. Dan si-narnya yang kemerahan menyapu seluruh permu-kaan bumi. Dihelanya napas panjang.
"Bagaimana laporanmu, Gandara...?" tanya Bre Redana datar.
Seorang bertubuh tegap seketika menjura hormat.
"Semuanya baik, Gusti Prabu!"


Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurutmu mereka akan menyerang malam ini?"
Gandara mengangguk
"Mata-mata kita melaporkan, bahwa Karang Setra dan Swandana telah mempersiapkan pasukannya...."
"Hm.... Kau bisa menentukan atau menduga jalan mana yang mereka tempuh untuk menyerang kita?" tanya Bre Redana.
"Kemungkinan bila mereka melakukan serang-an malam hari, maka dengan cara menyusup lewat celah-celah pebukitan...."
"Nah! Jagalah seketat mungkin daerah-daerah itu! Bunuh siapa saja orang asing yang tidak kenal!" ujar Bre Redana, mantap.
"Baik!"
"Bagaimana dengan penjagaan di tempat lain?"
"Kami bekerja sebaik mungkin, Gusti Prabu sahut Gandara.
"Bagus!"
"Gusti Prabu bisa memeriksanya sekarang juga!"
"Ya!"
Bersama para punggawa kerajaan, Bre Redana mengendarai kuda, memeriksa persiapan pasukannya. Setelah kejadian bersama prajurit-prajurit Karang Setra beberapa waktu lalu, maka saat itu dia diuji kembali. Pasukan yang ditempanya dengan keras, akan membuktikan ketangguhan mereka menghadapi dua gempuran sekaligus.
Baru saja mereka berjalan kurang lebih dua puluh tombak, mendadak terjadi keributan dari jalan utama menuju istana kerajaan. Orang-orang kelihatan kalang kabut. Sementara para prajurit Kerajaan Alas Karang dibuat bingung, karena tidak tahu harus berbuat apa. Sedang keributan terus terjadi.
"Kurang ajar! Ada apa..."!" bentak Bre Redana geram.
Baru saja Gandara hendak memeriksa apa yang terjadi, mendadak seorang prajurit menggebah kudanya dengan kencang menghampiri mereka dari arah berlawanan.
"Ampun, Gusti Prabu! Hamba membawa berita buruk...!" ujar prajurit yang baru datang setelah melompat dan seketika menjura hormat.
"Lekas katakana! Berita apa yang kau bawa"!"
"Sekawanan kerbau berbondong-bondong me-masuki jalan utama, menuju istana kerajaan. Di belakang mereka, terlihat pasukan musuh!"
"Bedebah!" maki Bre Redana geram.
Pemuda penguasa Alas Karang itu sama sekali tidak menduga kalau musuh mempunyai akal secerdik itu. Dengan bantuan kawanan kerbau, mereka menyerang lewat jalan utama untuk menghindari korban lebih banyak. Dengan begitu, semangat pasukan mereka akan tetap menyala-nyala.
"Siagakan pasukan! Dan, hadapi mereka! Tarik sebagian pasukan yang menjaga di celah-celah bukit untuk membantu di sini!" perintah Bre Redana.
"Baik, Paduka!"
Gandara segera memberi perintah pada anak buahnya. Dan untuk sesaat, mereka kelihatan sibuk membenahi pertahanan. Namun sebelum segala sesuatunya berjalan, kawanan kerbau dikatakan tadi telah memasuki wilayah Alas Karang.
"Heaaa...!"
? *** ? Rangga yang memimpin pasukan berada di depan. Di belakangnya mengikuti sekitar seratus prajurit Karang Setra yang bercampur dengan ratusan prajurit Swandana.
"Suruh menyingkir para perempuan dan anak-anak. Juga, penduduk yang tidak ikut berperang! Tapi, bunuh saja mereka yang coba-coba melawan kita!" teriak Rangga ketika mulai memasuki perkampungan.
Sekitar dua puluh prajurit berpisah dari pasukan induknya untuk menjalankan perintah Raja Karang Setra. Sementara, Rangga dan yang lain meneruskan perjalanan memasuki ibukota kerajaan sambil menggiring kawanan kerbau di depan.
"Pasukan pemanah! Kalian boleh berpencar sekarang juga!" perintah Rangga kembali, ketika mulai mendekari sasaran.
"Siap!"
Seketika tiga puluh pasukan pemanah segera memisahkan diri, dan mencari tempat yang tepat untuk melancarkan serangan. Sedang saat itu, dari pasukan Kerajaan Alas Karang telah siap menghadang.
"Bunuh hewan-hewan celaka itu! Takut-takuti mereka agar berpencar...!" teriak Gandara yang berpangkat panglima.
Maka seketika itu juga, pasukan pemanah menghujani anak panah berapi ke arah kawanan kerbau. Dalam waktu singkat, kawanan kerbau itu terkejut dan lari cerai-berai. Dan ini membuat pasukan Rangga terkejut. Namun, pemuda itu ce-pat bertindak.
"Berikan isyarat agar pasukan yang berada di celah-celah bukit segera turun!"
"Baik!"
Salah seorang prajurit Karang Setra menge-luarkan sebuah serunai dari rumah kerang laut berukuran besar. Lalu, meniupnya. Suara yang keluar dari benda itu membuat pasukan musuh tersentak. Dan kembali mereka dibuat kaget, ketika dari arah belakang terdengar derap langkah pasukan yang berjumlah banyak mengepung istana Kerajaan Alas Karang. Bersamaan dengan itu, Rangga langsung memulai pertempuran dengan menyerang lebih dulu.
"Heaaa...!"
Pertempuran memang tidak dapat dihindarkan lagi. Jumlah pasukan Alas Karang memang lebih sedikit. Namun begitu, mereka terdiri dari prajurit-prajurit pilihan yang telah digembleng ilmu peperangan dengan keras, sehingga menghasilkan prajurit-prajurit tangguh. Dan agaknya, Rangga telah memperhitungkannya. Dan dia menggunakan siasat untuk menjatuhkan semangat mereka. Buktinya gebrakan itu sedikit membawa hasil.
Kini setelah mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti, Pendekar Rajawali Sakti mulai memporak-porandakan prajurit-prajurit Alas Karang, Dalam waktu singkat, belasan prajurit tewas di tangannya Dan itu membuat nyali prajurit musuh menjadi ciut. Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak berhenti sampai di situ. Dia terus menyerang ganas. Tindakan Rangga membuat semangat prajurit-prajuritnya berkobar-kobar.
"Pendekar Rajawali Sakti! Akulah lawanmu!"
Tiba-tiba terdengar satu teriakan menggelegar.
Pendekar Rajawali Sakti menoleh. Dan tidak jauh dari situ tampak berdiri tegak orang yang tadi membentaknya. Dialah Bre Redana, dengan pedang di tangan! Batang pedangnya memancarkan warna merah, seperti nyala api. Bahkan begitu menyolok mata di malam hari begini.
Dengan langkah lebar Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Langkahnya berhenti setelah berja-rak lima tombak di hadapan Bre Redana. Rangga kini berdiri tegak, menatap tajam ke arah penguasa Alas Karang itu.
"Hari ini akan kita akhiri semuanya. Kau atau aku yang binasa!" desis Bre Redana dingin.
"Yang binasa kebathilan. Dan, kaulah orang-nya!" tuding Rangga.
"Huh, banyak mulut! Aku sudah tak sabar ingin memotes lehermu!" dengus Bre Redana.
Bersamaan dengan itu, telapak kiri Bre Redana menghentak ke depan. Maka dari telapaknya yang terbuka, selarik sinar bercahaya merah melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun secepat kilat Rangga melenting ke atas, lalu berputaran beberapa kali.
"Hm.... Aji 'Cakar Langit! Kalau begitu kau murid Ki Satya Ning Wilwatika!" gumam Rangga, begitu kakinya mendarat di tanah.
"Bagus! Agaknya kau kenal juga guruku. Maka, kau akan tahu bahwa Bre Redana akan membinasakanmu hari ini!"
Begitu melihat ajiannya luput, Bre Redana langsung berkelebat sambil mengayunkan pedangnya yang berkobar bagai api!
"Yeaaat!"
"Huh! Kau tidak pantas menjadi murid orang tua suci itu. Beliau welas asih dan bijaksana bagai dewa. Sedang kau berjiwa iblis!"
"Keparat! Mampus kau...!" bentak Bre Redana sambil mengebutkan pedangnya.
Wung! "Uts!"
Rangga cepat melompat mundur, menghinda-rinya.
Bre Redana betul-betul dikuasai nafsu amarahnya, sehingga langsung mengerahkan segenap kemampuan untuk membinasakan Pendekar Rajawali Sakti secepat mungkin. Namun sesungguhnya dia tidak menyadari bila hal itu amat merugikannya. Sebab lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti bukanlah tokoh sembarangan. Rangga akan mempelajari jurus-jurus lawan terlebih dulu dan terus menghindar meski kerepotan. Namun bila telah menemukan titik kelemahannya, maka saat itulah akan menyerang sehebat-hebatnya.
Dan yang terlihat saat ini memang demikian. Meski terdesak hebat saat menghindar serangan- serangan, namun Rangga terus bertahan dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Kemudian setelah dirasakannya cukup, dia mulai balas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat menyambar-nyambar ke arah Bre Redana.
Trang! Trang! Terdengar bunyi cukup keras, ketika kedua senjata itu berbenturan. Rangga tidak terlalu ter kejut. Disadari, pedang yang digunakan Bre Redana bukanlah senjata sembarangan.
"Heaaat...!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti harus meng- gunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Dan perlahan-lahan, terlihat Bre Redana mulai kerepotan. Dia merasakan kalau semangat bertarungnya mendadak lenyap. Jiwanya terasa seperti terpecah-pecah, tanpa mengerti harus berbuat apa. Sedikit demi sedikit, dia mulai terdesak hebat. Meski begitu, Bre Redana masih terus mengumbar aji 'Cakar Langit' untuk balas menyerang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti selalu mampu menghindarinya.
"Hiyaaat!"
Mendadak Rangga mencelat ke atas. Lalu ketika tubuhnya meluruk digunakannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Seketika tangan kanannya yang telah berubah merah membara dihentakkan ke arah Bre Redana. Maka seketika itu selarik sinar merah meluruk deras ke arah Bre Redana, Raja Alas Karang itu terkesiap, dan cepat melompat untuk menghindari.
Tapi baru saja melompat, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah cepat menyambar punggung pemuda itu.
Cras...! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti merobek punggung kanan Bre Redana yang kontan memekik kesa-kitan. Seketika rasa nyeri bercampur hawa panas menyengat sampai ke tulang sumsumnya.
Wut! Wut! Sementara Rangga tak memberi kesempatan sedikit pun. Pedangnya bergerak amat cepat, membingungkan Bre Redana yang terus menghindar dengan bergulingan dan berusaha menangkis sebisa-sanya.
Namun, saat Bre Redana berusaha bangkit, satu tendangan keras menghantam perut.
Des! "Augh!"
Kemudian disusul cepat dengan tebasan pedang Pendekar Rajawali Sakti yang menyambar jantung.
Bret! "Aaa...!"
Bre Redana memekik setinggi langit, ketika tubuhnya terhempas ke belakang sambil terhuyung-huyung.
"K... Kau... Ohhh!"
Bre Redana masih sempat menuding dengan tangan kanan, sementara tangan kiri mendekap jantungnya. Kemudian, dia roboh bermandikan darah.
"Bre Redana telah mati! Raja Alas Karang itu telah mati..:!" teriak seorang prajurit Karang Setra.
"Heh"!"
Berita itu amat mengejutkan pasukan Alas Ka- rang. Mereka yang tadi mati-matian memperta- hankan diri, kini semangatnya kian kendor mendengar berita itu. Meski begitu, sebagian dari mereka ada yang tidak percaya dan meneruskan perlawanan.
"Bre Redana telah mati...!" teriak para prajurit Karang Setra dan para prajurit Swandana.
Bersamaan beberapa orang prajurit lain, mereka mengangkat mayat Bre Redana yang bersimbah darah tinggi-tinggi. Sehingga, yang lainnya bisa melihat.
Setelah melihat bahwa berita itu benar, maka satu persatu pasukan Alas Karang melempar senjata tanda menyerah. Tak ada gunanya lagi melakukan perlawanan jika Raja Alas Karang itu binasa.
Namun begitu sebagian kecil prajurit musuh ada yang melarikan diri dengan menerobos per-tahanan. Sementara pasukan yang dipimpin Rangga bermaksud mengejarnya. Namun, pemuda itu buru-buru mencegahnya.
"Biarkan saja. Tidak usah dikejar!"
"Tapi jumlah mereka cukup banyak juga, Gusti Prabu!" sahut salah seorang kepala pasukan.
"Berapa?"
"Sekitar dua puluh lima orang!"
"Dan mereka dipimpin adik perempuan Bre Redana!" sambung seorang prajurit yang lain.
"Tidak apa. Biarkan saja. Bereskan keadaan di sini. Dan, jaga tawanan baik-baik. Sebab, aku akan ke istana mereka!"
"Baik, Gusti Prabu!"
"O, ya. Jangan lupa! Utus beberapa prajurit menemui Prabu Sri Rajagatna dan beritahu tentang kemenangan kita! Dan bila beliau berkenan, silakan datang ke sini!"
"Baik...!"
Setelah prajurit itu menjalankan perintahnya Rangga bergegas ke Istana Alas Karang yang telah tak berpenghuni lagi. Tampak beberapa prajurit mengikutinya dari belakang.
Sementara tidak jauh di antara pebukitan yang mengelilingi Alas Karang, berdiri beberapa sosok tubuh memperhatikan dari kejauhan. Salah seorang bertubuh ramping berambut panjang. Dia berdiri tegak pada sebongkah batu besar. Matanya seperti tak berkedip, memandang jauh ke bawah. Dan sesekali angin semilir mengibarkan helai-helai rambutnya.
"Sudahlah, Gusti Ayu. Kita masih punya ke-sempatan lain untuk meneruskan cita-cita Gusti Bre Redana...," ujar salah seorang seraya mendekati gadis yang tak lain Ayu Larasati.
Ayu Larasati menoleh. Tampak seorang laki- laki berusia lima puluh tahun bertubuh sedang berdiri di belakangnya. Dia kembali melengos dan memandang ke bawah, seraya mengusap beberapa tetes airmata yang mulai membasahi pipi.
"Bukan itu yang kusesali, Paman Widura...."
"Kita telah berusaha sekuat tenaga. Tapi, apa daya" Sebab, lawan demikian kuat dan cerdik...."
"Kakang Bre Redana terlalu dibuai keberhasilannya, sehingga lupa kalau lawan mampu melihat sudut-sudut kecil kelemahannya..."
"Bre Redana memang cerdas. Tapi, dia punya batas. Kita tidak bisa menyalahkannya...."
"Memang.... Tapi, telah berkali-kali kuingatkan. Namun, tidak diindahkannya. Dia selalu curiga dan marah, karena menganggap aku membesar-besarkan kemampuan lawan. Akibatnya, seperti ini...."
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang...?"
Ayu Larasati berbalik, lalu memandang Paman Widura lekat-lekat.
"Paman! Pergilah dan kembali ke tempat kalian masing-masing. Hiduplah dengan tenang, tanpa membawa persoalan-persoalan rumit!"
"Apakah kau tidak berniat meneruskan ren-cana Bre Redana?"
Gadis itu menggeleng disertai senyum kecil.
"Tidak. Selama ini, aku hanya mendukung rencananya. Kini dia telah tewas. Maka, aku akan menentukan jalan hidupku sendiri. Aku akan pergi ke suatu tempat atau ke mana saja kakiku melangkah. Aku akan hidup tenang, tanpa persoalan-persoalan seperti dulu...," ucap gadis itu lirih.
Paman Widura terdiam beberapa saat, kemu-dian mengangguk lemah.
"Baiklah. Kalau begitu kemauanmu, kita berpisah di sini...."
Ayu Larasati mengangguk.
"Katakan pada yang lainnya, Paman," tambah gadis itu.
"Baik!"
Ayu Larasati hanya memperhatikan langkah kaki Paman Widura menghampiri kawan-kawan-nya. Mereka berunding, dan terlihat terkejut. Dan tatkala memandang padanya, Ayu Larasati terse-nyum sambil mengangguk. Pelan-pelan mereka menghampiri dan memberi penghormatan.
Ayu Larasati membalas hormat. Kemudian mereka satu persatu meninggalkannya. Itu adalah penghormatan terakhir dari mereka yang mungkin diterimanya. Dia mendesah pelan, dan masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula. Pebukitan itu terasa sunyi. Dan saat angin bertiup, beberapa helai rambutnya berkibar-kibar.
? SELESAI ? ? http://duniaabukeisel.blogspot.com
? Kembali ke Bagian 7
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Tusuk Kondai Pusaka 15 Boma Gendeng 4 Muridku Macho Jodoh Rajawali 10

Cari Blog Ini