Ceritasilat Novel Online

Orang Orang Atas Angin 1

Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin Bagian 1


" . 150. Orang-Orang Atas Angin Bag. 1 dan 2
18. Dezember 2014 um 08:36
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Orang-Orang Atas Angin
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? "Dasar anak keras kepala! Mau apa dia..." Anak perempuan mau belajar ilmu olah kanuragan segala! Memangnya mau jadi ahli berkelahi"!" gerutu orang laki-laki setengah baya berpakaian indah sambil mondar-mandir di ruang tengah yang tertata apik.
Laki-laki berusia lima puluh tahun yang adalah Adipati Bagelan ini menghela napas panjang. Kemudian dia duduk di kursi besar yang menghadap ke depan. Tidak lama, masuk seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Setelah memben hormat, wanita itu duduk di depan adipati yang bernama Sutawijaya.
"Ampun, Gusti Adipati. Adakah sesuatu yang harus hamba kerjakan sehingga Gusti Adipati berkenan memanggil hamba...?" tanya wanita berpakaian seperti emban di istana itu dengan suara halus.
"Hm, ya...."
"Apakah gerangan, Gusti Adipati...?"
Adipati Sutawijaya menarik napas panjang, sambil memperhatikan wanita tua itu dengan seksama.
"Nyai Larasati.... Sudah berapa lama kau mengasuh putriku Sekarmayang?" tanya laki-laki itu.
"Sejak dia masih bayi merah. Gusti Adipati," sahut emban bernama Nyai Larasati.
"Ya! Dan bahkan, sampai saat ini Sekarmayang begitu dekat denganmu. Dia selalu menurut pada kata-katamu. Malah kau lebih berpengaruh dibanding ibundanya sendiri...," kata Adipati Sutawijaya seperti menyesalkan kalau anaknya dididik oleh seorang emban.
Nyai Larasati terdiam. Wanita ini menunggu majikannya meneruskan kata-kata meski dia mulai tahu ke mana arah pembicaraan itu sendiri.
"Tahukah kau, apa yang merisaukanku saat ini tentang Sekarmayang?"
"Ampun, Gusti Adipati. Mana mungkin hamba mengetahuinya...."
"Coba dengar, Nyai Larasati. Putriku ingin per-gi ke padepokan dan belajar ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian lainnya. Apakah menurutmu pantas dilakukan oleh seorang gadis putri seorang adipati?" tanya Adipati Bagelan ini.
Nyai Larasati menundukkan kepala. Dia tidak berani menjawab pertanyaan itu. Sebab kalau saja salah menjawab, pasti akan membuat sang adipati gusar.
"Hal itu tidak pantas dan memalukan!" sahut adipati itu menjawab sendiri pertanyaanya. "Aku tidak suka melihat putriku berkeinginan yang aneh-aneh. Ilmu olah kanuragan itu hanya patut dituntut oleh laki-laki, bukan wanita. Kau dengar, Nyai Larasati! Aku dan ibundanya telah berusaha membujuk. Namun, dia tetap keras kepala dan tidak mau menurut. Nah! Sekarang, pergilah padanya. Bujuk dia, untuk mengurungkan niatnya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Gusti Adipati!" sahut Nyai Larasati.
"Bagus! Aku tahu, dia menghormatimu. Dan selama ini, dia mau mendengar kata-katamu. Bujuk dan katakan, bahwa hal seperti itu tidak pantas dilakukan seorang wanita. Apalagi, wanita terhormat sepertinya," ujar Adipati Sutawijaya tegas.
"Baiklah. Akan hamba coba untuk membujuk-nya. Tapi, Gusti Adipati?"
"Apa"!"
"Bagaimana kalau Sekarmayang tidak mau menurut kata-kata hamba...?"
"Usahakan sebisamu! Aku percaya, dia akan menurut kata-katamu!" tandas laki-laki setengah baya ini.
Nyai Larasati terdiam sejenak, tidak berani memandang wajah majikannya. Tugas ini sebenarnya mudah saja baginya. Tapi soal keberhasilannya, itulah hal yang sulit. Sejak kecil dia mengasuh Sekarmayang. Sehingga kenal betul watak putri sang adipati ini. Gadis belia itu berwatak keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Bila tidak, maka akan melakukan apa saja sebagai sikap unjuk rasanya.
"Apa lagi" Apakah kau tidak mampu melakukannya?" tanya sang adipati ketika wanita setengah baya itu belum juga beranjak dari tempatnya.
"Eh! Bukan begitu, Gusti Adipati. Tapi... Sekarmayang mempunyai sifat keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Hamba khawatir, dia berbuat nekat jika dicegah...," kilah Nyai Larasati, takut-takut.
"Nyai Larasati! Kupercayakan kau mengerja-kan tugas ini, karena aku tahu bahwa kau mampu melakukannya!" tandas sang adipati dengan suara ditekan sedemikian rupa, guna menegaskan perintahnya.
Nyai Larasati mengangguk dalam. Dia me-ngerti, tidak ada gunanya lagi mengemukakan alasan.
"Baiklah, Gusti Adipati. Hamba akan menco-banya...," sahut Nyai Larasati seraya menghatur sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Dan wanita itu pun mohon diri dari ruangan ini.
"Ingat! Usahakan kau berhasil membujuknya," ujar adipati itu lagi.
Adipati Sutawijaya tersenyum seraya menghela napas panjang. Kemudian dia memilin-milin kumisnya sambil menyandarkan punggung ke kursi.
*** ? Sekarmayang menangis terisak di tempat tidurnya. Wajahnya ditelungkupkan ke bantal. Beberapa kali ibundanya mengetuk pintu, namun tidak dihiraukannya. Hatinya kesal sekali, karena keinginannya untuk menimba ilmu olah kanuragan tidak terpenuhi. Bahkan kedua orangtuanya menentang dengan keras. Dan tidak habis pikir apa salahnya seorang wanita belajar ilmu silat" Gadis ini sering melihat para pengawal kadipaten berlatih satu sama lain. Gerakan-gerakan mereka terlihat indah di matanya, sehingga merangsang hatinya untuk ikut belajar. Benaknya, langsung membayangkan orangtuanya akan bangga bila dia memiliki kepandaian hebat. Namun ketika niatnya dikemukakan, impiannya pun sirna. Ternyata kedua orangtuanya menolak, bahkan dengan keras melarangnya.
Jiwa gadis cantik berusia tujuh belas tahun itu memberontak. Dan bahkan secara sembunyi-sembunyi, dia belajar dari Jaka Anggada, putra Panglima Gendaran yang menjadi kepala pasukan pengawal kadipaten. Namun suatu ketika, Sekarmayang tertangkap basah sedang berlatih. Maka sang adipati pun langsung menyekapnya. Gadis itu tidak diperbolehkan keluar dengan bebas lagi dari kamarnya. Setiap ada urusan, maka diwajibkan menyertakan dua orang pengawal yang selalu mengawasinya.
Sekarmayang merasakan hal itu sebagai hu-kuman berat, sehingga membuatnya kesal. Bela-kangan ini, dia jarang keluar dari kamar. Bahkan tiga hari terakhir, sama sekali tidak mau keluar. Dan yang mencemaskan kedua orangtuanya, Sudan dua hari ini Sekarmayang menolak makan. Kedua orangtuanya telah hilang akal untuk membujuknya. Sebab, Sekarmayang hanya mau makan, bila keinginannya belajar ilmu silat di Padepokan Kembang Wangi dipenuhi. Dan belum habis gadis itu menuntaskan tangisnya mendadak...
Slap! "Ohhh...!"
Sekarmayang yang baru saja bergerak telen-tang, kontan terkejut ketika satu cahaya merah laksana nyala api berkelebat ke dalam ruangan. Ruangan kamarnya yang gelap jadi terang oleh nyala api sebesar kepala, yang tergantung di hadapannya. Gadis itu beringsut ke pojok tempat tidur dengan wajah pucat.
"Oh! Apa ini" Pergi...! Pergiii...!" teriak Sekarmayang keras dan bingung.
Belum sempat Sekarmayang berbuat apa-apa, nyala api itu berkelebat dan menyambar ubun-ubunnya. Tubuh gadis itu kontan menggeliat, seperti cacing kepanasan. Dia bergulingan sambil berteriak tidak karuan. Namun tidak lama, teriakannya terhenti. Tubuhnya tergolek lemah. Dan tak lama perlahan-lahan, dia bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur sambil memandang ke seluruh ruangan kamar. Tiba-tiba...
Bruak! Pintu kamar Sekarmayang hancur dijebol ke-kuatan dari luar. Gadis itu langsung mengarahkan pandangannya ke pintu yang dijebol. Tampak lima orang pengawal menerobos masuk. Salah seorang mendekatinya. Sementara, yang lainnya memeriksa seluruh ruangan.
"Ampun, Gusti Ayu. Kami mendengar teriakan dari luar. Apakah Gusti Ayu baik-baik saja...?" tanya pengawal yang mendekati seraya menjura hormat.
Sekarmayang tersenyum.
"Kau lihat" Aku baik-baik saja, bukan...?"
"Tapi..., teriakan tadi?" tanya pengawal itu, seraya memandang ke arah rekan-rekannya. Seo-lah, dia minta dukungan.
"Oh, itu. Aku hanya mimpi. Tidak ada apa-apa...," kata Sekarmayang, disertai senyum manis. Namun sorot matanya seperti menyimpan sesuatu.
Sedangkan Kelima pengawal itu kini mengha-turkan sembah.
"Baiklah... Kalau memang tidak ada apa-apa, kami mohon diri. Maafkan, kami terpaksa mendo-brak pintu...," ucap si pengawal tadi.
'Tidak apa. Nanti ayahanda akan memerintah-kan orang untuk memperbaikinya..."
Begitu kelima pengawal itu meninggalkan kamar, Nyai Larasati tergopoh-gopoh menghampiri didampingi Adipati Sutawijaya dan istrinya, Nyai Sutawijaya.
"Anakku! Kau..., kau tidak apa-apa"!" tanya Nyai Sutawijaya dengan wajah cemas seraya me-meluk Sekarmayang.
"Ibu...."
"Kami sangat khawatir begitu mendengar te-riakanmu tadi...," desah wanita berusia empat puluh lima tahun itu, yang telah mendampingi Adipati Sutawijaya sejak berusia sembilah belas tahun.
"Aku tidak apa-apa, Ibu...," sahut Sekarmayang seraya tersenyum dan memandang pada Nyai Larasati dan sang adipati.
"Hm.... Ya, sudah...," sahut Adipati Sutawijaya pelan, hendak berlalu dari kamar ini. "Kami mengira ada apa-apa denganmu. Ayo, Bu. Biar kita tinggalkan mereka berdua."
"Kenapa Ayah dan Ibu buru-buru" Tidakkah ingin menemaniku di sini?" tanya Sekarmayang.
Adipati Sutawijaya memandang putrinya heran. Demikian pula istrinya. Untuk sesaat, kedua suami istri itu malah berpandangan.
"Ada apa, Ibu...?"
"Ah, tidak ada apa-apa! Kau malah membuat kami gembira!" sahut wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu disertai senyum lebar. "Setelah beberapa hari kau tidak mau bicara pada kami, kini akhirnya mau juga...."
"Kenapa aku musti tidak mau bicara pada Ibu?"
Sang adipati dan istrinya kembali berpandangan. Dan mereka saling tersenyum kecil.
"Hm... Kau mau berbaikan lagi dengan kami, bukan?" tanya Nyai Sutawijaya.
"Berbaikan" Apakah selama ini aku memusuhi Ibu?" Sekarmayang malah balik bertanya.
Pertanyaan Sekarmayang semakin membuat mereka heran.
"Sekarmayang... Meski begitu, tetap saja aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu!" tukas Adipati Sutawijaya, cepat.
"Keinginan apakah itu?" tanya Sekarmayang dengan wajah heran.
"Ya, keinginan konyolmu untuk belajar ilmu olah kanuragan! Itu tidak pantas bagi seorang wanita. Apalagi, bagi putri seorang adipati!" sahut sang adipati tandas.
"Oh, itukah sebabnya?" Sekarmayang tersenyum geli. "Jangan khawatir... Aku akan menurut"
"He" Apa maksudmu" Bukankah sebelumnya niatmu begitu menggebu-gebu" Bahkan sampai unjuk rasa segala. Bahkan sudah dua hari ini kau tidak makan, sehingga membuat kami semua khawatir!" tanya ibunya dengan wajah heran.
"Oh, baru kuingat! Ibu... Kini perutku lapar sekali. Bolehkah aku makan sekarang?"
'Tentu! Tentu, Anakku!" sahut Nyai Sutawijaya cepat seraya berpaling ke arah Nyai Larasati. "Nyai, antarkan Sekarmayang ke ruang makan!"
"Baik, Gusti Ayu!" sahut wanita tua itu seraya mengajak Sekarmayang.
Sang adipati dan istrinya menghela napas le-ga meski mereka sedikit bingung. Apa yang telah terjadi pada Sekarmayang" Kenapa sikapnya be-rubah. Sampai saat ini, tak seorang pun mampu menjawabnya.
*** ? Perubahan sikap yang terjadi pada Sekarmayang agaknya bukan hanya kedua orangtuanya yang dibuat heran. Tapi juga Nyai Larasati. Sejak tadi, kelihatannya gadis itu tidak begitu acuh padanya. Bahkan terkesan tak mau berdekat-dekatan.
Mereka berdua kini berada di halaman depan Istana Bagelan. Dan Sekarmayang begitu senang melihat beberapa pengawal kerajaan tengah berlatih perang-perangan. Dan di sudut lain, beberapa orang berlatih ilmu olah kanuragan, dibimbing oleh seorang pemuda berwajah gagah dan bertubuh kekar.
"Nyai, siapa nama pemuda itu...?" tanya Sekarmayang.
Nyai Larasati mendengar pertanyaan itu jadi terkejut bercampur heran. Keningnya tampak ber-kerut. Namun dia cepat tersenyum.
"Apakah Gusti Ayu tengah menguji hamba?"
Sekarmayang balas tersenyum.
"Yah, katakanlah begitu..."
"Dia Jaka Anggada, putra Panglima Genda-ran...."
"Ah, iya! Jaka Anggada... Aku baru ingat! Hebatkah ilmu silatnya?"
"Cukup hebat juga. Tapi.., sebaiknya Gusti Ayu tidak usah kelihatan terlalu dekat dengannya."
"Kenapa?"
"Apakah Gusti Ayu lupa" Ayahandakan telah melarangmu. Beliau beranggapan, keinginanmu untuk? mempelajari ilmu olah kanuragan karena sering berada dekat dengan Jaka Anggada...."
"Hm, begitu" Jangan khawatir. Aku telah ber-janji pada ayahanda, bukan?"
"Syukurlah.... Tapi, benarkah Gusti Ayu su-dah tidak tertarik lagi?"
"Kenapa" Apakah Nyai tak percaya?"
'Terlalu aneh. Sebab, biasanya Gusti Ayu akan bertahan dan berkeras terus jika kemauanmu tidak dituruti."
Sekarmayang tertawa kecil.
"Aku menyadari, apa yang dikatakan ayahanda itu benar. Dan, tidak ada salahnya kuturuti. Lagi pula apa hebatnya kepandaian mereka."
"Gusti Ayu... Di seluruh kadipaten ini, Jaka Anggada tidak terkalahkan. Dia murid kesayangan Ki Danuwiryo yang menjadi pimpinan Padepokan Kembang Wangi!" jelas Nyai Larasati.
"Apakah Ki Danuwiryo itu seorang yang he-bat?" tanya Sekarmayang.
Nyai Larasati kembali tersenyum.
"Hamba jadi malu," ujar wanita tua itu pelan.
"Kenapa?"
"Bukankah Gusti Ayu sendiri yang mengatakan demikian" Bahkan Gusti Ayu justru tertarik belajar di padepokan itu, setelah mendengar cerita Jaka Anggada."
"Ah! Lagi-lagi aku lupa!" seru gadis itu tertawa kecil, seraya beranjak ke halaman.
"Hendak ke mana, Gusti Ayu?"
"Akan kutemui Jaka Anggada. Dan ingin kubuktikan, sampai di mana kehebatannya," sahut Sekarmayang enteng.
"Jangan terus menggoda hamba, Gusti Ayu," ujar Nyai Larasati sambil mengikuti dari belakang.
"Siapa yang menggodamu" Aku berkata sung-guh-sungguh!" tegas Sekarmayang.
"Gusli Ayu hendak mengujinya" Dengan cara bagaimana?"
"Kuajak dia bertarung denganku."
Nyai Larasati terhenyak mendengar jawaban itu. Mana mungkin Sekarmayang mampu" Dia menduga, gadis itu sedang mengerjainya lagi. Tapi, wajah Sekarmayang tampak sungguh-sungguh. Jelas, dia tidak main-main dengan ucapannya.
"Jaka Anggada, kemari kau...!" teriak Sekarmayang, begitu tiba di tengah tengah halaman.
Mendengar namanya dipanggil, pemuda ber-nama Jaka Anggada menghentikan latihannya. Setelah berpaling, tergopoh-gopoh dihampinnya gadis itu.
Begitu sampai di depan Sekarmayang, Jaka Anggada menjura hormat.
"Ada apa, Gusti Ayu?"
"Aku ingin menguji, sampai di mana kemam-puanmu!" sahut Sekarmayang tanpa basa-basi.
"Gusti Ayu.... Hamba tidak mengerti...," sahut pemuda itu bingung.
"Begini. Kuajak kau bertarung. Dan kau harus mengeluarkan seluruh kemampuan yang kau miliki untuk menjatuhkanku," jelas gadis itu.
'Tapi, Gusti Ayu. Itu tidak mungkin...."
"Kenapa" Kau merendahkanku" Menganggap-ku remeh?" biding gadis itu sinis.
"Gusti Ayu.... Bagaimana mungkin aku bisa menyerangmu jika kau...."
'Turuti kata kataku! Hei, dengar! Belum tentu kau mampu menjatuhkanku dalam sepuluh jurus!" potong Sekarmayang, membakar jiwa pemuda itu.
"Gusti Ayu... Hamba tidak mungkin melakukannya. Bukan saja Gusti Ayu tidak mempunyai kemampuan apa-apa, tapi Gusti Adipati sendiri telah memperingatkan hamba, agar tidak membicarakan hal-hal seperti itu denganmu...," tolak Jaka Anggada, halus.
"Jaka Anggada, dengarkan! Aku yang bertang-gung jawab jika ayahanda marah padamu. Lagi pula aku ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu yang sering digembar gemborkan. Atau barangkali, segala cerita itu hanya isapan jempol belaka" Sebab, yang sebenarnya kau adalah seorang pengecut?" ejek Sekarmayang, memanasi.
Jaka Anggada terdiam sesaat. Dia tidak percaya Sekarmayang bisa bersikap seperti itu. Bahkan mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Padahal seingatnya, gadis ini tidak pemah berkata kasar padanya. Sekarmayang selalu berbicara lemah lembut. Bukan saja kepadanya, tapi juga kepada semua orang. Meski hatinya terbakar mendengar ejekan tadi, namun pemuda itu masih tetap bisa menahan diri. Sebab, dia lebih mematuhi perintah sang adipati ketimbang menuruti hawa amarah di hatinya.
"Gusti Ayu Sekarmayang, tidak patut rasanya kau bicara seperti itu...."
Nyai Larasati berusaha menengahi, membujuk gadis itu dengan menggamit lengannya.
Namun dengan kasar gadis itu menepisnya. Lalu ditudingnya wanita tua itu.
"Orang tua! Tidak perlu kau ikut campur! Per-gilah! Ini urusanku!"
"Gusti Ayu! Kau..., kau..."
Nyai Larasati terperangah mendengar bentakan itu. Dari kecil, belum pernah sekalipun gadis ini bicara keras padanya. Tapi kali ini benar-benar membuatnya sangat terkejut.
"Hei, Jaka Anggada! Jangan dikira kau bisa menganggap enteng padaku. Kalau kau memang tidak mau menyerangku, maka coba tahan seranganku!" desis gadis itu dengan tangan kiri berkacak pinggang dan tangan kanan menuding.
"Ampun, Gusti Ayu. Jika memang Gusti Ayu mengharapkan kemenangan dari hamba, maka hamba mengaku kalah...," sahut pemuda itu, merendah.
Tapi jawaban itu bukan membuat Sekarmayang menjadi lunak. Sebaliknya, gadis itu jadi naik pitam. Sepasang matanya melotot garang, dan wajahnya berkerut geram.
"Bocah sombong! Kau kira kepandaianmu su-dah sedemikian tinggi, heh"! Kau hanya seekor keledai dungu, Jaka"!" bentak Sekarmayang, seraya melompat menerjang.
"He"!"
*** ? 2 ? Semula Jaka Anggada begitu yakin kalau Sekarmayang hanya ingin menumpahkan kekesalannya saja, sebab keinginannya tidak dipenuhi kedua orangtuanya. Sehingga, gadis ini mencak-mencak tak karuan untuk menarik perhatian kedua orangtuanya. Tapi bukan main kagetnya Jaka Anggada ketika melihat gadis itu melompat, lalu membuat putaran beberapa kali di udara. Gerakannya begitu ringan seperti sehelai daun kering tertiup angin. Hal ini membuat Jaka Anggada jadi lengah. Dan tiba-tiba....
Duk! Des! "Augkh!"
Pemuda itu kontan melenguh. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada dan perutnya yang terasa sakit bukan main.
"Huh! Hanya sebegitu sajakah kemampuanmu"!" dengus Sekarmayang sambil berkacak pinggang.
Jaka Anggada mendengus gusar. Rasa malu dan amarah menjadi satu di hatinya. Beberapa orang pengawal yang berada di tempat itu menjadi kaget sambil tersenyum-senyum geli. Namun di antara mereka, agaknya ada yang mengerti ke-adaan. Sehingga apa yang dilakukan putri junjungannya tadi adalah yang luar biasa. Bahkan tak seorang pengawal pun yang mampu bergerak seperti gadis itu. Di mana Sekarmayang berguru" Lalu..., kapan" Tidak heran kalau Jaka Anggada heran dan akhirnya membuatnya lengah.
"Ada apa ini..."!"
Tiba-tiba terdengar suara lantang Adipati Sutawijaya yang tahu-tahu telah berada di tempat ini, bersama seorang laki-laki bertubuh besar dengan cambang serta jenggot yang terawat rapi.
Laki-laki berusia lebih tua sedikit dari adipati itu adalah kepala pasukan pengawal di kadipaten ini. Namanya, Panglima Gendaran. Di samping Panglima Gendaran, berdiri seorang tua kurus bertubuh kecil dan berjenggot pendek yang telah memutih. Orang tua ini bernama Kiai Mugi. Kedu-dukannya di Kadipaten Bagelan ini penasihat.
"Aku tengah menguji, apakah si Jaka Anggada pantas menjadi tangan kanan panglima atau tidak. Kata orang dia memiliki kepandaian hebat. Tapi nyatanya, hanya omong kosong belaka," sahut Sekarmayang sebelum Jaka Anggada berkata apa-apa.
"Apa yang kau lakukan, Sekarmayang" Ayo, masuk ke kamarmu! Bukankah kau berjanji untuk tidak membicarakan masalah keinginanmu itu" Kau harus tepati janjimu!" hardik Adipati Sutawijaya.
Mendengar hardikan itu, Sekarmayang hanya tersenyum kecil.
"Ayahanda, jangan khawatir. Bukankah aku tidak melanggar keinginanmu" Kau hanya tidak ingin, aku belajar ilmu olah kanuragan dan membicarakan soal itu. Nah bukankah aku tidak melanggarnya" Yang kubicarakan dengan Jaka Anggada bukan soal kepandaian. Tapi aku hanya ingin tahu, sampai di mana kehebatannya sehingga begitu banyak orang memuji-mujinya. Dan ternyata, hal itu cuma omong kosong belaka...," sahut gadis itu santai tanpa merasa bersalah.
"Dasar anak nakal! Kau kira bisa berdalih begitu" Ayo, masuk ke kamarmu! Kau akan mera-sakan hukuman berat atas perbuatanmu hari ini. Masuk ke kamarmu atau mesti dipaksa"!" hardik adipati itu tidak mempedulikan pembelaan putrinya.
"Ayahanda ingin memaksaku" Cobalah jika bisa...," sahut Sekarmayang enteng sambil tersenyum.
"Pengawal! Tangkap dia. Bawa ke kamarnnya, dan sekap. Jangan diperbolehkan dia keluar!" teriak sang adipati kesal, mendengar jawaban putrinya.
Dua orang pengawal segera bergerak menang-kap kedua pergelangan tangan Sekarmayang. Namun dengan ringan gadis itu mengibaskan kedua tangannya ke depan. Di luar dugaan, kedua pengawal itu jatuh terjungkal. Tentu saja hal ini membuat mereka yang hadir di situ terkejut. Bagaimana Sekarmayang melakukan hal itu"
'Tangkap dia, cepaaat!" teriak Adipati Sutawijaya penasaran.
Dua orang pengawal lain kembali mencobanya. Kali ini, mereka bersungguh-sungguh hendak meringkus gadis itu. Namun seperti kedua kawannya yang pertama, gadis itu mudah sekali mengelak. Bahkan Sekarmayang kemudian menangkap kedua pergelangan tangan mereka, lalu membantingnya.
Bukan main terkejutnya sang adipati melihat kemampuan putrinya. Namun justru hal itu membuatnya semakin geram. Sekarmayang seperti tengah mempermainkannya.
"Anggada, tangkap dia!" perintah Adipati Sutawijaya.
"Baik, Gusti Adipati," sahut pemuda itu, seraya melangkah mendekati Sekarmayang.
"Betul, Anggada. Ayo, tangkap aku! Buktikan kehebatanmu!" timpal gadis itu mengejek.
"Maaf, Gusti Ayu...!" seru Jaka Anggada seraya melompat mengirim tendangan.
Sebenarnya, tindakan Jaka Anggada sekadar menipu, agar Sekarmayang menghindar. Lalu dia melanjutkan dengan gerakan sesungguhnya untuk meringkus gadis itu.
Tapi Sekarmayang cepat maju dua langkah.
Langsung ditangkisnya tendangan Jaka Anggada dengan tangan kiri.
Plak! "Heh"!"
Ketika Jaka Anggada hendak berputar kakinya telah dicengkeram kuat oleh Sekarmayang. Dan gadis itu langsung menarik kaki pemuda itu dengan keras. Sehingga membuat tubuh Jaka Anggada terjungkal ke belakang Sekarmayang.
"Huh! Percuma buang-buang waktu di sini! Ternyata yang ada hanya keledai-keledai dungu yang tidak punya kemampuan apa-apa!" dengus Sekarmayang.
Sementara, Jaka Anggada yang terpuruk di ta-nah menjadi sangat heran, merasakan tenaga dalam gadis itu kuat bukan main. Rasanya tidak masuk di akal. Bagaimana mungkin Sekarmayang mampu melakukannya" Seminggu yang lalu, sebelum mengurung diri di kamar, dia adalah gadis manja yang tidak tahu apa-apa soal ilmu olah kanuragan. Apalagi, memiliki tenaga dalam sedahsyat ini.
"Ayahanda, sampaikan salamku pada ibu. Aku akan jalan-jalan keluar untuk beberapa hari!" seru Sekarmayang seraya melesat cepat dari tempat itu.
"Sekarmayang, tunggu...!"
Sang adipati berusaha menahan, namun gerakan gadis itu cepat bukan main. Malah sampai membuatnya terpana. Demikian pula orang-orang yang berada di tempat ini. Tidak mungkin Sekarmayang mampu bergerak laksana tiupan angin begitu.
"Kejar dia! Dan, awasi setiap gerak-geriknya!" teriak Adipati Sutawijaya pada para pengawalnya.
"Baik, Gusti Adipati...!"
Dalam sekejapan mata sosok gadis itu telah hilang dari pandangan mata. Masih terbayang oleh adipati itu, bagaimana Sekarmayang melompati tembok pagar setinggi satu tombak lebih. Suatu tindakan yang tidak mampu dilakukan para pengawal lainnya. Adipati Sutawijaya hanya mampu menggeleng.
"Sekarmayang anakku..., apa yang telah terjadi padamu...?" gumam sang adipati pelan.
*** ? 'Tidak usah kalian bingungkan soal itu. Carilah Eyang Selaksa Bayu. Setelah kalian temukan tempat tinggal orang tua itu, maka laporkanlah padaku!"
Suara bemada perintah itu datangnya dari se-buah ruangan besar dari sebuah padepokan. Na-manya Padepokan Golok Terbang. Para murid padepokan itu memang tengah berkumpul, untuk menerima tugas dari gurunya yang bernama Ki Sapta Guna.
Namun, para murid Padepokan Golok Terbang merasa tak habis pikir. Untuk apa guru mereka memerintahkan mencari seorang tokoh sakti yang tengah puluhan tahun tidak pernah muncul di dunia persilatan itu" Apakah Ki Sapta Guna punya urusan dengannya" Atau barangkali masih punya hubungan sanak saudara"
"Kalau aku tahu di mana dia berada, maka kalian tidak usah kuminta untuk mencarinya!" sahut Ki Sapta Guna, bernada kesal.
"Dengar! Kalau kalian diminta Guru untuk mencari orang tua itu, maka kerjakan sekarang juga. Bawa orang secukupnya!" sambung seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Dia adalah murid tertua yang amat dekat dengan Ki Sapta Guna. Namanya, Subangun.
'Tapi, Kakang Subangun... Kalau semua murid dikerahkan, bagaimana kita menghadapi mereka?" tanya seorang murid yang lain.
"Apa maksudmu?" tanya Subangun.
"Apa Kakang lupa" Dua hari yang lalu, telah terjadi bentrokan kecil antara dua orang murid padepokan kita dengan seorang murid padepokan Angsa Biru. Dalam bentrokan itu, murid Padepokan Angsa Biru menderita luka parah. Mereka pasti tidak akan tinggal diam begitu saja...," jelas murid itu.
"Lalu?"
"Entah hari ini atau besok, mereka akan dating membuat perhitungan dengan kita. Jika semua murid padepokan ini tidak ada di tempat, apa jadinya?"
"Huh! Apa hebatnya mereka" Seorang diri saja aku mampu menyapu bersih semuanya!" dengus Subangun, menganggap enteng.
Semua murid jadi terpaku, kecuali Ki Sapta Guna dan seorang murid tertua lainnya. Dia juga amat dekat dengan Ketua Padepokan Golok Terbang ini. Namanya Kalangga.
"Kenapa" Kenapa kalian memandangku dengan aneh"!" tanya Subangun heran.
"Kakang Subangun, Padepokan Angsa Biru bukanlah nama kosong. Mereka termasuk padepokan terbesar di seluruh empat kadipaten. Dan murid yang dihajar oleh dua orang murid padepokan kita, bukanlah murid biasa. Tapi murid pemula," jelas sang murid tadi.
"Huh! Peduli apa dengan mereka"! Jika mereka datang ke sini membuat gara-gara, mereka hanya mencari mati!" desis Subangun.
"Itu tidak mungkin, Kakang Subangun. Guru saja menyegani mereka...."
"Kata siapa aku segan terhadap mereka"!" bentak Ki Sapta Guna lantang dengan mata melotot garang.
'Tapi, Guru...."
"Sudah! Jangan banyak mulut!" hardik Ki Sapta Guna.
Semua terdiam mendengar bentakan orang tua itu. Mereka tidak habis pikir, kenapa tingkah Ki Sapta Guna mulai aneh. Dua hari yang lalu saja, ketika mereka melaporkan peristiwa perkelahian antara kedua murid dengan seorang murid Padepokan Angsa Biru, Ki Sapta Guna tampak cemas. Waktu itu, guru mereka menyadari kalau Padepokan Golok Terbang tak ada seujung kuku dibanding Padepokan Angsa Biru.
"Sudah! Jangan khawatirkan soal itu. Sekarang kalian buat beberapa kelompok. Lalu, cari orang yang bernama Eyang Selaksa Bayu itu!" lanjut Kalangga.
"Baiklah kalau demikian...," sahut murid tadi.
Namun sebelum ada yang membuka suara lagi, mendadak seorang murid tergopoh-gopoh memasuki ruangan besar ini. Cepat dia menjura hormat pada Ki Sapta Guna.
"Ada apa?" tanya Ki Sapta Guna.
"Celaka, Guru! Beberapa orang murid Padepokan Angsa Biru tengah menuju ke tempat kita!" lapor murid yang baru datang ini.
"He! Apa katamu" Kurang ajar! Kenapa kau katakan celaka" Ayo, buka pintu gerbang lebar-lebar. Dan, biarkan mereka masuk!" sentak Ki Sapta Guna.
'Tapi, Guru...."
"Ada apa" Kau khawatir" Biarkan mereka ma-suk! Kita lihat, apa yang mereka inginkan. Kalau cari gara-gara, maka Subangun dan Kalangga akan membereskannya!" tandas Ki Sapta Guna.
"Baiklah, Guru...," sahut murid itu.
Meski ragu-ragu, namun wanita itu akhirnya menuruti apa yang diperintahkan gurunya. Dia segera berlari ke halaman, dan memerintahkan murid yang menjaga pintu untuk membukanya.
Pintu gerbang Padepokan Golok Terbang dibuka lebar-lebar. Sementara Sapta Guna serta dua murid utamanya dan beberapa murid lain, sudah menunggu di beranda depan.
*** Rombongan Padepokan Angsa Biru dipimpin seorang pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya yang tinggi tegap, terbungkus baju biru. Di punggungnya tampak bertengger sebilah pedang. Wajahnya yang kasar, menyiratkan jiwanya yang keras. Dia sama sekali tidak mau turun dari punggung kudanya, ketika berhadapan dengan Ki Sapta Guna pada jarak sembilan langkah dari beranda depan. Di belakangnya, terlihat tujuh orang murid Padepokan Angsa Biru yang rata-rata berbaju biru dan menyandang pedang.
"Siapa di antara kalian yang bernama Ki Sapta Guna...?" tanya pemuda itu bemada angkuh.
"Ada urusan apa kau dengannya?" tanya Ki Subangun.
"Aku mencari ketuamu untuk meminta per-tanggungjawabannya atas apa yang dilakukan dua orang muridnya. Apakah kau Ki Sapta Guna?"
"Bukan. Aku pembantu terdekatnya. Kalau kau punya urusan dengan beliau, kau boleh berurusan denganku!"
"Huh! Hanya seorang pembantu" Minggirlah kau. Dan, cepat panggil gurumu!" dengus pemuda dari Padepokan Angsa Biru yang kerap kali di-panggil Sawung itu.
"Dengar, Bocah! Untuk orang sepertimu, seorang pembantu sepertiku sudah lebih dari cukup untuk mengurusinya!" sahut Subangun tidak kalah sinis.
"Brengsek! Rupanya kalian memang sengaja mencari gara-gara dengan padepokan kami. Huh! Baik! Majulah kau biar mudah aku menampar mulutmu itu!" tantang Sawung.
"Keledai dungu! Kaulah yang ke sini! Jika ta-kut, cepat kembali dengan merangkak!" sahut Subangun.
"Kurang ajar! Sentot! Beri dia pelajaran!" teriak Sawung gusar.
Salah seorang murid Padepokan Angsa Biru yang dipanggil Sentot segera turun dari punggung kudanya. Dan dia segera melangkah gusar mendekati. Beberapa murid Padepokan Golok Terbang sudah hendak menghadang, namun Subangun langsung mencegah.
'Tidak perlu! Kalian lihat, bagaimana aku mengurus kerbau-kerbau ini!"
"Setan! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa, he"!" hardik Sentot. Murid Padepokan Angsa Biru itu segera mengayunkan tangan, menghantam Ki Subangun ketika sudah berjarak dekat.
Plak! "Dasar kerbau dungu! Kau kira bisa bertingkah di depanku, he"!" geram Subangun seraya menangkap kepalan Sentot. Lalu dengan keras dicengkeramnya tangan Sentot.
Wuuut! Sentot terkejut. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan tangan terkilir.
"Kurang ajar! Bereskan mereka...!" bentak Sawung geram, memberi perintah pada anak buahnya yang lain.
"Kakang Subangun! Biarkan kami membantu-mu!" teriak seorang murid, diikuti yang lain dengan sikap berang.
"Berhenti kalian! Hanya bikin malu aku saja. Apa kalian kira aku tidak mampu melumpuhkan mereka" Huh! Kerbau-kerbau dungu ini hanya mainan kecil bagiku!" hardik Subangun seraya menjentikkan kuku. Langsung tubuhnya melompat dan menerjang tanpa menunggu lawan-lawannya bergerak.
Wuuut! Plak! Duk! Dua orang murid Padepokan Angsa Biru ter-jungkal roboh. Laki ketika Subangun berputar, dua lainnya terjengkang tidak berkutik. Sementara dua orang lawannya yang tersisa mencabut pedang dan menyerangnya dengan ganas.
Sring! "Yeaaa...!"
"Ha ha ha...! Ayo, keluarkan semua kepandaian kalian!" ejek Subangun tidak berusaha menghindar.


Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika sedikit lagi kedua pedang murid-murid Padepokan Angsa Biru memenggal leher dan ping-gangnya, Subangun melejit ke belakang sambil membuat dua kali lompatan.
"Hiiih!"
Tiba-bba saja Subangun mencelat ke depan sambil mengibaskan kedua tangan.
Plak! Begkh! "Aaah...!"
Kedua murid padepokan itu terkesiap. Dan tahu-tahu, mereka terpekik ketika suatu hantaman keras mengarah ke dada.
"Yeaaa...!"
Sementara, Sawung tidak menunggu waktu lagi. Melihat ketujuh anak buahnya tidak berkutik, dia langsung melompat. Dengan ganas diterjangnya Subangun sambil mencabut pedang.
Sring! "He"! Rupanya kau sudah tidak sabaran merasakan hajaranku juga?" ejek Subangun.
"Tutup mulutmu! Kau akan merasakan bagaimana ketajaman pedangku!" dengus pemuda itu geram sambil membabatkan pedangnya.
"Pedangmu tajam" He he he"! Apa kau kira aku tidak berani menangkisnya dengan tanganku" Buka matamu baik-baik?" sambut Subangun.
Setelah berkata demikian, Subangun mengi-baskan tangan menangkis kelebatan pedang murid utama Padepokan Angsa Biru itu.
Trak! Prep! "Heh"!"
Sawung tersentak kaget. Ternyata murid utama Padepokan Golok Terbang itu betul-betul membuktikan kata-katanya. Dengan seenaknya, pedangnya ditangkis tanpa mengalami luka sedikit pun. Lalu dengan cepat dicengkeramnya. Dan...
"Hiiih!"
Sawung langsung merasakan tenaga sentakan luar biasa. Tubuhnya terdorong ke muka. Sudah tak ada waktu untuk melepaskan gagang pedangnya. Dan tahu-tahu kaki kanan Subangun menghantam dadanya.
Begkh! "Aaakh!"
Sawung memekik kesakitan, dan terjungkal lima langkah. Dari sudut bibirnya, tampak darah segar menetes.
"Pergilah! Dan katakan pada guru kalian agar tidak usah mencari gara-gara dengan Padepokan Golok Terbang. Kecuali, kalau kalian menginginkan kematian!" dengus Subangun seraya melemparkan pedang di muka Sawung yang tadi berhasil dirampasnya.
Sawung bangkit tertatih seraya mengambil pedangnya. Lalu diajaknya ketujuh anak buahnya untuk segera berlalu. Wajahnya tampak mencerminkan kegeraman menghampiri kudanya.
"Ingat! Persoalan ini belum selesai. Guru kami tidak bisa menyudahinya begitu saja. Kalian akan merasakan pembalasannya nanti!" kata Sawung, seraya menaiki kuda dan menggebahnya.
Subangun hanya tertawa kecil mendengar an-caman itu. Matanya tak lepas memperhatikan murid murid Padepokan Angsa Biru yang melarikan kudanya, lantas menghilang ketika berbelok ke kanan.
"Kakang Subangun! Kau hebat sekali. Kami tidak tahu kalau kau memiliki ilmu kebal!" seru seorang murid dengan wajah kagum.
"Ya! Kami tidak tahu. Apakah Guru yang mengajarinya" Kenapa kami tidak diajarkan pula?" tanya yang lain.
"Sudah, jangan banyak tanya! Kalian tidak perlu tahu. Yang penting, tidak perlu takut pada siapa pun. Siapa saja yang coba mengusik Padepokan Golok Terbang, dia boleh menerima akibatnya!" kata Subangun, lalu menghampiri Ki Sapta Guna. Dan dia segera duduk di sebelah Ketua Padepokan Golok Terbang itu.
"Nah! Kalian sudah lihat, bukan" Tak ada yang perlu ditakuti. Sekarang juga, bentuk beberapa kelompok. Dan, menyebarlah kalian! Cari orang yang bernama Eyang Selaksa Bayu !" ujar Ki Sapta Guna.
"Baik, Guru! Akan segera kami kerjakan !" sahut murid-murid padepokan itu tersentak.
Mereka segera membagi tugas, dan memben-tuk beberapa kelompok. Tiap kelompok berjumlah sekitar empat atau lima orang.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 150. Orang-Orang Atas Angin Bag. 3 dan 4
18. Dezember 2014 um 08:38
3 ? Seorang gadis tengah memacu kuda perlahan-lahan, ketika yang dituju telah terlihat di depan mata. Sebuah bangunan besar yang berpintu ger-bang besar, dinaungi pohon beringin. Tampak sebuah menara yang lebih tinggi daripada tembok pagar segera menjadi perhatiannya. Di sana, terlihat dua orang yang juga tengah memperhatikannya.
"Aku ingin bertemu Kiai Danuwiryo, Ketua Padepokan Kembang Wangi!" teriak gadis itu.
"Siapa namamu. Dan, apa keperluanmu?" tanya salah seorang yang ada di atas menara dari kayu itu.
"Tidakkah kalian tahu siapa yang datang" Cepat buka pintu! Katakan putri Adipati Bagelan yang datang!" ujar gadis yang tak lain Sekarmayang dengan suara keras.
Demi mendengar nama itu, segera salah seorang berteriak ke bawah. Tidak lama kemudian, pintu gerbang terbuka. Dua orang penjaga segera memberi hormat dengan membungkukkan tubuh.
"Benarkah putri Adipati Sutawijaya yang ber-kunjung ke Padepokan ini?" tanya salah seorang penjaga.
"Hm.... Apakah kalian tidak mengenaliku?" sahut Sekarmayang tanpa turun dari kudanya.
Dua orang murid Padepokan Kembang Wangi segera beranjak memasuki bangunan utama padepokan ini. Sementara Sekarmayang diminta untuk tunggu di depan pintu gerbang. Tak lama kedua orang itu telah kembali ke hadapan Sekarmayang, seraya menjura memberi hormat.
"Gusti Ayu Sekarmayang, silakan. Ki Danuwiryo telah menunggu di beranda depan."
Gadis itu segera turun dari kudanya dan me-langkah ke dalam. Sambil memperhatikan keadaan sekitarnya, dia melangkah dengan tangan kiri menuntun kudanya. Semua murid di padepokan ini memperhatikannya.
Dari beranda, tampak seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun melangkah keluar menghampiri gadis itu. Rambutnya yang sebagian telah memutih, digelung ke atas. Sekarmayang memperhatikan sejenak. Wajah orang tua ini kelihatan bersih dengan cambang rapi.
"Sungguh suatu kehormatan bagi kami mendapat kunjungan putri Gusti Adipati Sutawijaya. Sekarmayang, aku Ki Danuwiryo Ketua Padepokan Kembang Wangi. Silakan masuk!" sambut orang tua itu, setelah menjura memberi hormat.
'Tidak perlu repot-repot, Ki Danuwiryo. Keda-tanganku hanya sebentar. Ada hal yang perlu kubuktikan," kata Sekarmayang.
"Hm.... Lebih enak rasanya bila kita berada di dalam. Ayo, mari!"
'Tidak perlu!" tegas Sekarmayang.
Dahi orang tua itu berkerut seraya tersenyum lebar. Hal ini adalah sikap yang tidak sopan. Apa-lagi, bagi seorang putri adipati. Namun Ki Danuwiryo berusaha bersikap sabar.
"Baiklah kalau kau memang tidak sudi, aku tidak memaksanya. Nah, apa yang bisa kubantu untukmu, Sekarmayang?" tanya Ki Danuwiryo.
"Kudengar kau memiliki kepandaian hebat. Benarkah itu?" tanya Sekarmayang tanpa basa-basi.
Ki Danuwiryo kembali tersenyum. Pertanyaan gadis ini rasanya aneh. Apalagi, diucapkannya bernada angkuh seperti hendak menyelidik.
"Ah, itu tidak benar, Sekarmayang. Kepandai-anku biasa-biasa saja. Murid-muridku pun sekadar mendapat pelajaran untuk membela diri dari orang-orang yang hendak berniat jahat," sahut orang tua ini merendah.
"Hm... Kalau begitu, aku salah tempat...," gumam Sekarmayang kecewa.
"Apa maksudmu, Sekar...?"
"Jaka Anggada... Bukankah dia murid terbaik-mu?" Sekarmayang malah balik bertanya.
"Hm, Jaka Anggada" Ya... Dia memang salah seorang muridku. Ada apa gerangan dengannya" Apakah dia berbuat salah?"
"Tidak Dia hanya berdusta. Aku tahu tempat ini dari dia. Katanya, padepokan ini memiliki mu-rid-murid hebat, sebab dilatih oleh seorang guru berkepandaian tangguh. Namun, nyatanya hanya omong kosong belaka. Dia tidak mampu mengha-dapiku hanya dalam satu jurus!"
"Sekar, ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan lainnya bukanlah untuk membuat kita menjadi sombong, lalu menjajal setiap orang. Aku hanya mengajarkan pada murid-muridku sekadar untuk bisa membela diri dari orang-orang yang berniat jahat...," lagi-lagi Ki Danuwiryo mengulang kata-katanya bernada merendah.
"Hm" Semua pengecut dan tukang omong besar memang pada akhirnya selalu berkata seperti itu, untuk menutupi kekurangannya!" ejek Sekarmayang sinis.
Beberapa orang murid padepokan yang mendengar kata-kata gadis ini menjadi panas. Jelas, kata-kata itu ditujukan pada guru mereka, dan umumnya untuk padepokan ini. Jika saja tindakan beberapa murid utama lainnya tidak tertahankan, niscaya akan langsung melabrak Sekarmayang. Sekali pun, gadis itu adalah putri Adipati Bagelan.
Sementara itu Ki Danuwiryo tetap tenang mendengar kata-kata Sekarmayang yang pedas itu.
"Sekar, apakah sebenarnya yang kau kehen-daki dari semua ini" Dan, apa maksudmu yang sebenarnya...?" tanya orang tua itu datar.
"Aku tengah mencari seseorang yang berkepandaian hebat, dan berjiwa tangguh untuk diajak bertarung!"
"Hm.... Tindakan itu seperti menyombongkan diri, Sekar. Dan sifat sombong senantiasa men-celakakan kita pada akhirnya...," Ki Danuwiryo coba menasihati.
"Ki Danuwiryo! Tidak usah menasihatiku. Aku tahu, apa yang kulakukan. Kalau memang kau tidak memiliki kepandaian hebat, maka sia-sia saja kedatanganku ke sini!" sentak gadis itu garang.
Ki Danuwiryo tersenyum kecil. Terlintas dalam benaknya bahwa gadis ini mungkin perlu sedikit diberi pelajaran.
"Baiklah.... Aku coba memenuhi keinginanmu. Seorang muridku akan menjajal kemampuan-mu...," ujar Ki Danuwiryo.
'Tidak!" sahut Sekarmayang cepat. Dan telun-juknya langsung menuding orang tua itu. "Kaulah yang maju dan berhadapan denganku!"
"Hm.... Kalau itu yang kau inginkan, baiklah. Kau boleh mulai..."
"Ingat, Ki Danuwiryo! Jangan sekali-sekali berani memandang enteng padaku. Sebab, kau akan celaka sendiri seperti muridmu si Jaka Anggada itu!"
"Baiklah, kalau memang begitu maumu..."
? *** ? "Ki Danuwiryo, lihat serangan!" Sekarmayang langsung mengirimkan tendangan berputar dengan kaki kanan.
"Heup!"
Ketua Padepokan Kembang Wangi ini pasang kuda-kuda, siap menangkis.
Plak! Wuuut! "Heh"!"
Ki Danuwiryo terkesiap. Baru saja selesai menangkis, orang tua itu dihadapkan pada serangan selanjutnya. Dengan kaki kiri Sekarmayang kembali berputar. Dan kini kaki kirinya nyaris menyabet kepala orang tua itu. Untung saja, Ki Danuwiryo cepat menundukkan kepala, lalu melompat ke belakang. Dan Ketua Padepokan Kembang Wangi tak habis pikir, bagaimana mungkin Sekarmayang mampu bergerak demikian cepat"
"Hati-hati, Ki! Aku telah memperingatkanmu!" seru Sekarmayang.
Sebenarnya bukan gerakan gadis itu yang membuat Ki Danuwiryo kaget. Tapi, bagaimana mungkin Sekarmayang mampu melakukannya" Sebab meski jarang bertemu, namun dia tahu kalau putri Adipati Bagelan ini sama sekali tidak pernah mengenal ilmu olah kanuragan. Maka melihat kenyataan ini, mau tak mau sikapnya tidak bisa main-main dalam meladeni.
"Heaaat...!"
Serangan Sekarmayang kembali datang dengan gencarnya. Kali ini, kepalan tangannya meluncur deras ke arah dada Ki Danuwiryo. Cepat orang tua itu berkelit ke samping, dan Ki Danuwiryo bermaksud menangkap pergelangan tangan gadis itu.
Tapi, apa yang direncanakan orang tua itu tidak berjalan lancar. Sekarmayang lebih cepat menangkap tangannya. Ki Danuwiryo tak hilang akal. Langsung dikirimkannya satu tendangan lurus ke pinggang. Tapi bersamaan dengan itu tubuh Sekarmayang jungkir balik ke depan. Akibatnya Ki Danuwiryo pun tersentak. Lalu tiba-tiba saja satu hantaman keras melanda dadanya.
Des! "Aaakh...!"
Orang tua itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan.
"Apakah hanya segitu kemampuanmu, Ki Danuwiryo?" tanya Sekarmayang, tersenyum meng-ejek.
Ki Danuwiryo bangkit perlahan sambil mendekap dadanya. Kalau tidak mengalami sendiri, sulit dipercaya kalau dirinya bisa dikalahkan oleh gadis semuda ini. Dari mana Sekarmayang memiliki pukulan sekeras itu" Padahal dirinya telah dilindungi tenaga dalam kuat. Sehingga bila seekor banteng pun menyeruduknya, tidak akan membuatnya goyah.
"Sekarmayang! Aku belum merasa kalah. Ber-siaplah kau!" sahut orang tua itu, langsung mem-buka jurus baru.
Sepasang mata Ki Danuwiryo menatap tak berkedip ke arah kaki dan tangan Sekarmayang. Lalu dengan gerakan lincah, tubuhnya mencelat ke sana kemari dengan arah yang past yaitu menyerang lawan.
Sepintas jurus Ki Danuwiryo ini terlihat asal-asalan. Namun sesungguhnya gerakan-gerakan dari jurus 'Jejak Seribu, Kera' ini mengutamakan kecepatan bergerak yang dibarengi tenaga dalam kuat. Di dalamnya terdapat gaya serangan yang sekaligus untuk menghindari.
"Yeaaat...!"
Satu tendangan keras meluruk ke arah perut Sekarmayang.
"Heup!"
Sekarmayang mencelat ke samping. Namun kepalan kanan Ki Danuwiryo telah cepat mengejar. Gadis itu tersenyum kecil. Lalu dengan ringan dia telah melejit ke belakang. Saat serangan orang tua itu mengikutinya, tahu-tahu Sekarmayang hilang dari pandangan. Dan....
Duk! "Aaakh...!"
Untuk yang kedua kalinya Ki Danuwiryo ter-pental sambil menjerit kesakitan. Kali ini, keadaannya lebih parah daripada yang pertama. Dari sudut bibirnya menetes darah segar. Dan orang tua itu berusaha bangkit, dibantu dua orang muridnya.
"Maaf, Ki. Kurasa aku telah membuktikannya sendiri. Sesungguhnya aku tidak ingin bertindak kasar padamu...," ujar Sekarmayang pelan.
Ki Danuwiryo masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin gadis ini mampu menghindari jurus andalannya dengan mudah. Bahkan bukan sekadar itu. Ternyata Sekarmayang pun telah memunahkan jurusnya. Hal ini jarang terjadi. Meski seorang tokoh berkepandaian tinggi sekalipun, pasti memerlukan waktu untuk menjatuhkannya bila Ki Danuwiryo sudah menggunakan jurus tadi.
Sekarmayang telah melompat ke punggung kudanya. Dan dia bersiap hendak berlalu dari tempat ini.
"Ki Danuwiryo...! Tahukah kau, siapa tokoh berkepandaian tinggi di negeri ini?" tanya gadis itu.
"Aku tak bisa menyebutkannya satu persatu,"sahut orang tua itu lemah.
"Kau bisa sebutkan satu atau dua orang yang namanya amat tersohor."
"Entahlah.... Mungkin... Pendekar Rajawali Sakti. Sepengetahuanku, dia tidak pernah terkalahkan..."
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm, terima kasih atas keteranganmu. Akan kucari orang tua itu," sahut Sekarmayang, segera menggebah kudanya.
"Sungguh gila! Dari mana dia memperoleh tenaga dalam setinggi itu..?" desah Ki Danuwiryo memandang kepergian Sekarmayang yang telah cukup jauh.
"Kenapa, Guru" Apakah ada sesuatu yang aneh dengan gadis itu?" tanya seorang muridnya.
"Tentu saja. Jaka Anggada pernah cerita bah-wa gadis itu ingin belajar ilmu silat. Namun, orangtuanya melarang. Dan tahu-tahu, dia telah setangguh itu. Hm... Aku sendiri tidak bisa menduga, apa yang tengah dicarinya setelah memiliki kepandaian sehebat itu...," sahut Ki Danuwiryo lirih.
"Kurasa dia hanya ingin mencari nama saja, Guru."
"Yaaah, mungkin juga...," sahut orang tua itu, seraya melangkah ke dalam dengan tertatih-tatih.
? *** ? Sebuah kedai yang ramai oleh pengunjung pada hari ini, tampaknya kelihatan tertib. Sedikit pun tak terlihat orang yang ugal-ugalan.
Empat orang laki-laki muda bersenjata golok di pinggang masing-masing, berada pada sebuah meja yang terletak sedikit di tengah ruangan. Di atas meja, terlihat beberapa bakul nasi dan lauk-pauk. Juga, terlihat beberapa buah kendi yang nyaris habis tersantap. Agaknya keempat orang ini telah melakukan perjalanan jauh, sehingga membuat mereka lapar dan haus. Apalagi ketika memperhatikan pakaian yang dikenakan lusuh dan penuh debu.
"Huaaah! Bukan main pegalnya tubuhku ini. Entah sampai kapan ini semua akan berakhir...!" seru seorang dengan wajah kesal.
"Bukan kau saja yang lelah Suminta. Aku juga merasakannya!" timpal laki-laki bertubuh agak kurus.
Laki-laki yang dipanggil Suminta menenggak isi kendi terakhir. Dan, terdengarlah helaan napas kepuasannya.
"Di mana lagi harus kita cari orang yang ber-nama Eyang Selaksa Bayu itu?" sungut Suminta kesal.
Pada saat Suminta menyebutkan nama itu, seorang gadis berbaju serba putih yang duduk tidak jauh dari situ, melirik dengan dahi berkerut.
"Kurasa orang itu tidak pernah ada," kata seorang laki-laki berbaju biru lusuh.
"Maksudmu, dia hanya dongeng saja, Seno?" tanya laki-laki bertubuh kurus.
"Begitulah, Sajiman!" sahut laki-laki berbaju biru yang bernama Seno, acuh tak acuh.
"Jangan berpikir begitu. Meski bagaimana pun, kita harus mencarinya sampai ketemu!" sela laki-laki berkumis lebat yang sejak tadi lebih banyak berdiam diri. Dia sering dipanggil kawan-kawannya dengan nama Gobang.
"Aku bingung dan tidak habis mengerti, mau apa sebenarnya Ki Sapta Guna mencari orang itu?" tanya Suminta sedikit kesal.
"Apa gunanya kita tanyakan" Toh, Ki Sapta Guna tidak akan memberitahu. Yang kupikirkan hanya, bagaimana mungkin guru kita itu mempu-nyai sikap aneh!" ujar Seno.
"Aneh bagaimana maksudmu?" tanya Suminta dan laki-laki bernama Sajiman, hampir bersamaan.
"Apakah kalian tidak memperhatikannya" Se-mula, dia segan terhadap Padepokan Angsa Biru. Lalu kemudian tiba-tiba saja sesumbar. Itu bukan merupakan kebiasaannya," jelas Seno.
"Ya! Kakang Subangun dan Kakang Kalangga pun bersikap sama. Mereka begitu percaya dengan kemampuannya. Malah sedikit tidak peduli lagi terhadap kita. Mereka juga mulai galak!" sahut Sajiman.
"Lagi pula, aku tidak pernah mengetahui, di mana Kakang Subangun belajar ilmu kebal. Dan", dari mana dia memperoleh jurus-jurus aneh yang digunakannya saat bertarung melawan murid-murid Padepokan Angsa Biru," timpal Suminta.
"Sudahlah. Untuk apa kita urusi soal itu. Kita hanya melaksanakan tugas apa yang diperintah-kan...," kata Gobang.
"He, Gobang! Apa yang kau katakan memang benar. Tapi coba pikir. Sudah dua hari kita mencari orang yang bernama Eyang Selaksa Bayu itu. Tapi, apa yang kita peroleh" Nihil. Tidak seorang pun tahu, di mana dia berada. Dan lagi pula..., beberapa orang mengatakan kalau kita sebenarnya mencari orang yang tidak pernah ada. Sebab Eyang Selaksa Bayu hanya sekadar dongeng. Nama yang dikarang-karang saja!" selak Seno.
"Orang yang kita cari memang benar-benar ada. Aku percaya...," Gobang berusaha meya-kinkan.
"Dari mana kau tahu?" tanya Suminta.
"Kakekku pernah cerita...."
"Siapa orang itu sebenarnya" Dan, kenapa Ki Sapta Guna menyuruh kita mencarinya?" tanya Sajiman.
"Dia seorang tokoh hebat. Dan pada zaman-nya, dia belum pernah terkalahkan sekalipun...."
"Lalu, apa sebenarnya yang diinginkan Ki Sapta Guna darinya?" tanya Sajiman.
"Entahlah ... Mana kutahu?"
"Apakah kakekmu tidak pernah cerita, di mana orang itu berada"
Gobang menggeleng lemah.
"Eyang Selaksa Bayu tiba-tiba saja menghilang seperti ditelan bumi. Tak ada seorang pun yang tahu, apa sebabnya. Malah banyak kalangan per-silatan yang menganggapnya telah tiada...."
"Hm.... Lebih baik kita pulang, dan katakan saja bahwa orang itu telah mati!" sahut Suminta.
"Ya, lebih baik begitu. Daripada kita susah-susah!" timpal Sajiman.
"Ayolah, kita berangkat sekarang!" ajak Seno.
"Aku khawatir. Jangan-jangan Ki Sapta Guna tidak mempercayai kita...," desah Gobang.
"Beliau tidak akan tahu kalau di antara kita tidak ada yang bicara!" sergah Seno. "Atau..., barangkali kau menginginkan agar kita terus mencarinya dengan sia-sia" Padahal, kita tidak tahu sama sekali, di mana dia berada."
"Baiklah...," sahut Gobang akhirnya menyetu-jui rencana itu.
Segera beranjak, dan keluar dari kedai setelah membayar harga makanan. Mereka langsung me-naiki kuda masing-masing. Dengan membawa niat seperti itu, mereka merasa tidak perlu terburu-buru pulang. Apalagi, setelah perut terisi penuh. Keempatnya kini menghela kuda perlahan-lahan. Tapi....
Set! "Heh"!"
Mendadak keempat orang yang memang dari Padepokan Golok Terbang itu menghentikan lang-kah kuda, ketika seorang gadis cantik berbaju serba putih tahu-tahu telah menghadang di depan.
"Nisanak! Siapa kau" Dan, apa maksudmu menghadang perjalanan kami?" tanya Suminta.
"Kudengar ketika di kedai tadi, kalian tengah mencari Eyang Selaksa Bayu...," sahut gadis itu sambil menatap tajam ke arah mereka satu persatu.
"He he he...! Apakah kau pun tertarik dengan-nya?" tanya Sajiman, sambil cengar-cengir.
"Itu bukan urusanmu! Yang kutanya, untuk apa mencari Eyang Selaksa Bayu"!" sentak gadis itu dengan nada dingin.
"Nisanak! Itu bukan urusanmu!" sahut Sajiman, merasa tidak senang dengan sikap gadis ini.
"Hm.... Kalian berusaha mencari susah payah, tapi tidak menemukannya. Lalu, kalian berencana untuk membohongi guru sendiri. Bila aku mem-beritahukannya pada guru kalian, kira-kira apa yang akan dilakukannya untuk murid-murid pembohong?" balas gadis itu, tersenyum sinis.
Keempat orang itu terhenyak. Sesaat mereka saling berpandangan. Lalu Suminta yang merasa bertanggung jawab atas rencana itu, menatap tajam pada gadis di depannya.
"Nisanak! Apa yang kau inginkan dari kami sebenarnya?"
"Aku yakin kalian tidak tuli. Coba dengar sekali lagi. Aku ingin tahu, untuk apa kalian mencari Eyang Selaksa Bayu?"
? *** ? 4 ? Keempat murid Padepokan Golok Terbang se-saat saling berpandangan, seperti hendak menyatukan pendapat.
"Tak ada gunanya kita sembunyikan. Toh, kita tidak tahu untuk apa Ki Sapta Guna mencari orang itu...," bisik Seno.
'Tapi, bukankah ini rahasia padepokan?" selak Gobang pelan.
"Tapi kalau gadis ini mengadukan pada Ki Sapta Guna, kita akan celaka!" timpal Suminta.
"Baiklah, kita beritahu saja. Daripada kena hukuman," balas Sajiman.
Suminta dan Sena mengangguk. Sedang Go-bang diam saja. Lalu Suminta kembali menoleh pada gadis itu.
"Nisanak! Kami tidak tahu untuk apa. Tapi guru kami hanya memerintahkan mencarinya...," jelas Suminta.
"Siapa guru kalian?"
"Ki Sapta Guna..."
"Ki Sapta Guna?" gadis itu mengerutkan dahi. "Untuk apa dia mencari Eyang Selaksa Bayu" Apakah dia saudaranya?"
"Kami tidak tahu..."
"Jangan coba-coba membohongiku!"
"Nisanak! Kawanku berkata yang sesungguhnya. Kami memang tidak tahu, untuk apa guru kami menyuruh mencari orang itu." timpal Sajiman.
"Hm..., baiklah. Apa nama padepokan kalian?"
"Kami dari Padepokan Golok Terbang...," sahut Suminta.
'Hm... Apakah gurumu tidak menyinggung nama Imas Nandini?"
"Tidak. Sama sekali tidak pernah. Siapa orang itu sebenarnya?" tanya Suminta.
"Kalian tidak perlu tahu! Nah! Terima kasih atas keterangannya!" sahut gadis itu ketus. Lalu tiba-tiba saja, gadis itu mencelat begitu cepat. Keempat orang ini sampai terperangah, karena gadis itu hilang begitu saja.
"He, ke mana dia"!" seru Suminta.
"Gila! Jangan-jangan dia kuntilanak!" sahut Sajiman.
"Mustahil! Mana mungkin kuntilanak menapak tanah!" sela Seno.
"Sudahlah. Lebih baik kita cepat pulang. Se-kalian laporkan kejadian ini pada Ki Sapta Guna," kata Gobang.
Keempatnya segera menggebah kudanya, ber-lalu dari tempat ini.
Tanpa sepengetahuan mereka, tampak sepa-sang mata sejak tadi tengah mengawasi dari balik sebatang pohon besar di sisi jalan. Sosok berbaju rompi putih ini langsung berkelebat, mengikuti arah lesatan gadis yang menghadang empat murid dari Padepokan Golok Terbang.
Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung itu memang sejak dari kedai mengikuti mereka. Dia tak lain adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Rangga langsung tertarik dengan pembicaraan empat murid Padepokan Golok Terbang itu, sehingga langsung mengikutinya.
? *** ? "Hm.... Kalian tidak bertemu dengannya"!"
Suara Ki Sapta Guna terdengar dingin ketika menerima laporan murid-muridnya yang ditugasi mencari Eyang Selaksa Bayu.
"Tapi, Guru...."
"Jangan coba-coba menipuku!" potong Ki Sapta Guna, mendesis geram.
"Ehhh...!"
"Aku paling benci pada murid-murid yang berdusta. Kalian akan mendapat hukuman berat!" sentak orang tua itu.
Suminta, Seno, Gobang, dan Sajiman terkejut. Mereka saling berpandangan dengan wajah tampak kecut.
"Eh! Ma..., maafkan aku, Guru. Aku yang salah...," sahut Suminta lemah.
"Hm...!"
Orang tua itu mendengus dingin seraya memandang tiga muridnya yang lain.
"Apa..., apakah seorang gadis berbaju putih yang telah memberitahukannya?" tanya Suminta curiga.
"Aku tidak perlu diberitahu orang lain untuk mengetahui kebohongan kalian! Sebab, aku punya cara sendiri. Nah, katakan! Gadis berbaju putih mana yang kau maksudkan"!" ujar Ki Sapta Guna.
Dengan wajah takut dan suara sedikit tersendat, Suminta menceritakan pertemuan mereka dengan seorang gadis berbaju serba putih yang menanyakan tujuan mereka.
"Begitulah, Guru. Kami tidak mengenalnya. Bahkan namanya pun kami tidak tahu..."
"Hm, begitu" Lalu, apa lagi katanya?"
"Dia menyebutkan nama...," Suminta ber-usaha mengingat-ingat. "Ya! Dia menyebut nama Imas Nandini. Kenalkah Guru dengannya?"
Mendengar nama itu, terlihat Ki Sapta Guna tersenyum kecil seraya menoleh ke arah Subangun dan Kalangga. Kedua murid utamanya ini ikut tersenyum. Sedang Suminta bersama tiga kawannya memandang dengan wajah bingung.
"Dengar! Sekarang juga, kalian kembali ke tempat itu. Dan, cari gadis berbaju putih itu. Ingat! Jangan kembali sebelum menemukannya. Ringkus dia, dan bawa ke sini!" lanjut Ki Sapta Guna.
'Tapi, Guru. Kami..."
"He"! Kalian berani membantah"!" sentak Ki Sapta Guna dengan mata mendelik garang.
"Ba..., baiklah, Guru..."
"Bagus! Begitu lebih baik, daripada kalian menjalani hukuman. Nah, pergilah sekarang juga!"
"Baik, Guru...," sahut Suminta seraya menjura hormat. Lalu segera dia mengajak ketiga kawannya berlalu.
"Subangun! Ikuti mereka. Dan kau, Kalangga! Bawa kawan-kawan kita yang lain ke sini. Mereka harus berkumpul di bawah pimpinanku!" ujar Ki Sapta Guna setelah keempat muridnya berlalu.
"Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.
"Hati-hati, Subangun. Aku yakin, gadis itu putri dan si Selaksa Bayu. Kau bisa celaka bila bertindak ceroboh. Bagaimanapun, dia memiliki ilmu hebat."
"Huh! Tanganku sudah gatal ingin menghajar-nya! Jangan kira dia bisa bertindak seenaknya menghajar orang-orang kita!" dengus Subangun.
"Kau tidak perlu menghadapinya seorang diri.
Dia terlalu berbahaya. Cukup kau ketahui tempatnya, lalu laporkan padaku. Aku tidak mau kau bertindak ceroboh. Kita harus berhasil dalam tugas ini!" tegas Ki Sapta Guna.
"Kita lihat saja nanti"," sahut Subangun, seraya berlalu dan ruangan ini. Segera disusulnya Kalangga yang telah lebih dulu keluar ruangan.
? *** ? "Sial! Ke mana perginya gadis itu" Seperti hantu saja menghilangnya!" sungut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain dari Pendekar Ra-jawali Sakti.
Tengah Rangga celingukan, mendadak dari atas pohon meluruk sosok bayangan. Indah sekali gerakannya. Sehingga ketika menjejak tanah, tak terdengar suara sedikit pun.
"Huh! Apa maksudmu menguntitku?" dengus sosok yang ternyata gadis yang dikuntit Pendekar Rajawali Sakti.


Pendekar Rajawali Sakti 150 Orang Orang Atas Angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga tersenyum kecil.
"Maaf, Nisanak Aku tidak bermaksud mengun-titmu...," sahut Rangga berbohong.
"Coba berdalih, he"! Apa kau kira aku tidak tahu sejak di kedai tadi"!" dengus gadis berbaju putih itu lagi.
"Hm..."
Rangga bergumam. Tiada disangka kalau gadis ini ternyata amat waspada. Padahal dia telah mengukur jarak agar tidak terlihat curiga. Namun tetap saja gadis ini mengetahuinya.
"Tidak usah senyum-senyum begitu. Kau kira tampangmu bagus" Huh! Segala cecunguk picisan sepertimu hendak berlagak di depanku!"
"Oh, maaf kalau memang kau tak suka tam-pangku. Kalau begitu, aku cepat-cepat pergi supaya kau tidak muntah melihat tampangku."
Rangga segera berbalik dan bermaksud segera berlalu. Namun....
"Berhenti!" sentak gadis itu galak.
"Lho" Ada apa lagi, Nisanak?" tanya Rangga segera berbalik dan memandangnya dengan bi-ngung.
"Huh! Setelah menguntitku dan ketahuan, kau kira semudah itu pergi?" dengus gadis berbaju putih ini.
"Lho" Apa maksudnya?"
"Kau belum jawab pertanyaanku. Siapa kau"! Dan, apa maksudmu menguntitku" Awas! Berani berdusta, maka akan kupotong lehermu!"
"Astaga! Kejam sekali kau, Nisanak" Bukankah kau telah tahu bahwa aku ini cecunguk. Dan, juga telah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud menguntitmu. Hanya saja, kebetulan arah kita sama," sahut Rangga enteng.
"Kurang ajar! Kau berani berbohong, he"!" dengus gadis itu. Tiba-tiba saja dia melompat me-nyerang dengan gerakan kilat.
"Eee..."
Buk! "Aduuuh!" Rangga mengeluh kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terhajar gadis ini.
"Rasakan akibatnya bagi orang yang coba membohongiku!"
"Tidak kusangka gadis secantikmu ternyata mempunyai sifat jahat...," sahut Rangga, mengge-leng lemah.
"Aku bisa lebih jahat. Bahkan bisa membunuhmu kalau kau tak segera menjawab pertanyaanku dengan jujur!"
"Apa yang mesti kujawab jika aku telah menjawab jujur" Kecuali kalau kau mau kubohongi?"
"Kurang ajar! Agaknya kau betul-betul ingin dihajar sekali lagi supaya kapok, he"!"
Gadis berbaju serba putih itu agaknya tidak main-main. Wajahnya yang cantik kelihatan galak. Kemudian dibukanya satu jurus dan kembali menerjang Rangga.
"Hiiih!"
"Uts!"
Rangga melompat ke belakang. Lalu dia jum-palitan beberapa kali ke kiri dan kanan, saat gadis itu terus mencecarnya. Kali ini Pendekar Rajawali Saketi tidak mau menganggap enteng, setelah melihat kenyataan bahwa gadis ini ternyata memiliki kemampuan hebat.
"Nisanak! Maafkan kelakuanku. Sungguh, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu...," kata Rangga berusaha menghentikan tindakan gadis itu.
"Banyak mulut! Kalau sudah dihajar, baru kau mau mengaku!"
"Huuu, susah ..!" Rangga menghela napas.
Tak ada gunanya Pendekar Rajawali Sakti meredakan amarah gadis itu. Malah alasannya saja tak digubris. Daripada memperpanjang urusan, maka lebih baik menghindar. Itu yang terlintas di benaknya.
Rangga langsung memasang muka angker. Lalu dia melompat menyerang.
"Haaat...!"
"Hm, bagus! Rupanya setelah terpepet, kau melawan juga, ya?" dengus gadis itu sinis.
Gadis berbaju putih ini telah bersiap menyam-but serangan Rangga. Tangan kirinya langsung menghantam, saat tendangan pemuda itu menyapu ke arah kepala.
Plak! Wuuut! Saat terjadi benturan, Rangga menggunakannya sebagai pijakan. Sehingga tubuhnya langsung melejit jauh. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti terus melarikan diri mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Kurang ajar! Kau kira bisa kabur begitu saja"! Huh! Dasar pengecut hina!" hardik gadis itu, langsung mengejar dengan gerakan gesit.
Rangga menyadari kalau gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga dia tidak mau bertindak sembarangan. Maka langsung dikerahkannya seluruh kemampuannya. Memang sampai saat ini, tak ada seorang pun yang mampu menandingi ilmu meringankan tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tak heran kalau gadis itu kehilangan jejak.
"Brengsek! Dasar pengecut busuk! Dia telah kabur entah ke mana?" dengus gadis itu, setelah cukup jauh berkelebat, tapi tak juga menemukan Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan membawa hati kesal, gadis itu berbalik. Kemudian dia kembali ke tujuannya semula.
*** ? "He he he...! Mangsa empuk...
Kata-kata itu keluar dari seorang laki-laki ber-tampang kasar, ketika melihat seorang gadis ber-jalan sendiri di pinggir hutan sepi. Laki-laki itu ditemani tiga orang yang juga bertampang kasar.
Mata laki-laki itu tak henti-hentinya menjilati setiap lekuk tubuh si gadis dengan bibir tersenyum. Sayang, senyumnya lebih mirip seringai serigala liar.
"Biar aku yang akan menangkapnya...!" kata seorang dari mereka.
Rambut orang itu pendek dan kaku. Dua buah gigi depan bagian atasnya telah tanggal. Sehingga ompongnya terlihat jelas, saat mulutnya sedikit terbuka. Agaknya dia sudah tidak sabar betul me-nunggu saat yang tepat. Atau juga, takut didahului kawan-kawannya.
"Dasar Degong rakus!" umpat kawannya.
"Huh! Dia kira tampangnya bisa dijadikan alat untuk memikat gadis itu!" timpal seorang lagi, ikut-ikutan kesal.
"Sudahlah, kita lihat saja. Selama ini, Degong hanya banyak lagak. Dan kebanyakan, dia selalu celaka..." ujar kawannya yang bertubuh tinggi.
Sementara itu, tanpa peduli pada ketiga kawannya, laki-laki ompong yang bernama Degong mengintil di belakang gadis itu sambil cengar-cengir. Dia batuk-batuk kecil, tapi gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya. Merasa kalau isyaratnya tidak dipedulikan, Degong semakin berani. Langkahnya dipercepat, sedikit di belakang gadis itu agak ke samping. Sehingga meski gadis itu tidak melirik, pasti mengetahui kehadiran laki laki itu.
"Ekhm! Ekhm...!" Degong kembali berpura-pura batuk.
Kali ini, isyarat laki-laki itu mengena. Gadis ini berhenti dan menoleh padanya seraya memberi senyum. Melihat gelagat baik begitu, Degong semakin berani saja. Dadanya mengembang lebar dan keberaniannya semakin memuncak.
"Eh! Maaf, Nisanak. Hendak ke manakah tu-juanmu?" tanya Degong.
"Aku?"
"Ya!" Degong mengangguk cepat, tanpa menghilangkan senyumnya.
"Hm.... Mungkin kau bisa menolongku...."
"Oh, tentu! Tentu saja, Nisanak. Degong dengan senang hati bersedia membantumu.
"Namamu Degong?" tanya gadis itu tersenyum lucu, seperti mengejek.
Ditanggapi dengan wajah seperti itu, sebenarnya Degong tersinggung juga. Tapi dia memang pintar menahan diri, sehingga tidak segera menunjukkan kekesalan hatinya.
"He he he...! iya. Nah! Katakanlah apa yang bisa kubantu" Eh! Sebelumnya, bolehkah aku mengetahui namamu, Nisanak?"
"Namaku.... Sekarmayang!"
"Sekarmayang. Hm.... Nama yang indah sekali! Nah, Sekarmayang. Katakanlah, apa yang bisakubantu untukmu?" lanjut Degong dengan sikap semakin percaya diri.
Degong langsung mengerling sekilas pada ketiga kawannya, seraya tersenyum mengejek. Ketiga kawannya malah tidak sempat memperhatikan ejekan Degong. Mereka masih tidak percaya kalau Degong mampu mendekati gadis itu. Padahal, gadis yang tampangnya rusak sekalipun, akan berpikir tiga kali untuk didekati Degong!
"Tahukah kau, di mana aku bisa bertemu Pen-dekar Rajawali Sakti?" tanya gadis yang ternyata Sekarmayang.
"Oh, Sekarmayang ternyata tengah mencari Pendekar Rajawali Sakti" Kalau boleh kutahu untuk keperluan apa?"
Alap Alap Laut Kidul 10 Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing Hamukti Palapa 4

Cari Blog Ini