Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan Bagian 1
. 154. Pangeran Dari Kegelapan Bag. 1 dan 2
1. Januar 2015 um 07:57
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pangeran Dari Kegelapan
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Suasana malam kian ramai, ketika senja telah berlalu. Hari ini di setiap sudut Desa Tunjungan orang-orang merayakan keberhasilan panen de-ngan pesta meriah! Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun, sehingga menjadi hari yang ditunggu-tunggu semua orang. Semua penduduk keluar dari rumahnya, menikman tontonan. Atau, sekadar berjalan-jalan bersama keluarga.
Yang menjadi pusat keramaian adalah halaman rumah kepala desa ini. Di situ, digelar pertunjukan tari-tarian yang diiringi seperangkat tetabuhan dan gamelan. Mereka sengaja didatangkan dari jauh. Dan selama ini, sering menghibur kalangan bangsawan. Untuk mendatangkan mereka tidak sedikit uang yang dikeluarkan Kepala Desa Tunjungan yang bernama Ki Kasmanu ini. Namun orang tua berumur sekitar empat puluh tahun itu tidak mempedulikannya. Memang, yang menjadi tujuan utamanya adalah, agar penduduk desa ini bisa turut bergembira.
Sementara pada kelompok-kelompok kecil la-innya, berkumpul bandar judi yang siap mengeruk keuntungan dari mereka yang berharap bisa melipatgandakan uangnya secara mudah.
"Sial! Aku kalah lag!"
Sebuah umpatan kesal keluar dari mulut se-orang pemuda disertai garukan kepala yang tak gatal.
"He he he...! Kalau tidak ada uang, barang berharga juga boleh dijadikan taruhan. Asal, nilainya tidak di bawah taruhan yang diinginkan...," sahut seorang bandar judi yang cepat tanggap akan kesulitan pemuda itu.
"Huh! Jangankan barang berharga. Hidupku saja pas-pasan!" gerutu pemuda itu.
"Kalau begitu, berikan giliranmu pada orang lain yang mencoba peruntungannya," ujar bandar judi itu menegaskan sambil mengocok dadu.
"Heh"! Tidak bisa begitu! Aku telah kalah ba-nyak malam ini. Apakah kau tidak bisa memberi utangan?"
"Maaf, Anak Muda! Kalau ada uang kau boleh main. Dan kalau tidak silakan menyingkir!" sahut si bandar judi berusia sekitar empat puluh tujuh tahun itu.
Kali ini nada kata-kata laki-laki itu lebih tegas. Matanya melirik sekilas pada pemuda itu sambil mendengus. Lalu sikapnya cepat berubah, ketika meladeni para petaruh lainnya.
"Ayo, coba lagi! Siapa tahu kali ini kalian ber-untung! Ayo, siapa lagi?"!"
"Setan!" maki pemuda yang kalah judi itu, kesal.
Amarahnya segera meluap melihat sikap bandar judi itu. Ketika tadi pertama datang dengan uang banyak, bandar judi ini menyambutnya dengan ramah. Namun kini setelah uangnya amblas, bandar judi ini sama sekali tidak peduli. Bahkan terang-terangan mengusirnya dari sini. Maka kemarahannya yang menggelegak ini harus dilampiaskan. Seketika dia bangkit berdiri. Lalu, kakinya bergerak cepat. Dan"
Prak! "Hei"!"
Si bandar judi dan para petaruh menjadi kaget, ketika pemuda itu tiba-tiba saja menendang meja kecil tempat pertaruhan sampai berantakan.
"Kurang ajar! Urus dia...!" dengus si bandar judi, langsung memberi perintah pada seorang laki-laki tegap yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Huh! Majulah kalau memang kau ingin mampus?" dengus pemuda itu menantang, segera mencabut goloknya.
Srang! "Yeaaa...!"
Laki-laki tegap yang agaknya adalah tukang pukul si bandar judi itu mendengus sinis. Tangannya cepat bergerak, menangkis pergelangan tangan pemuda itu sambil membungkuk.
Plak! Golok pemuda itu terlepas saat pergelangan tangannya terhantam. Belum sempat pemuda itu berbuat sesuatu, kepalan tangan kanan laki-laki tegap itu menghantam ke dada.
Duk! "Aaakh...!"
Pemuda itu mengeluh tertahan. Tubuhnya ter-huyung-huyung ke belakang, langsung membentur seseorang yang sejak tadi berdiri tegak memperhatikan.
Buk! "Uhhh, kurang ajar!" maki pemuda itu kesal.
Sementara orang berpakaian compang-cam-ping yang tertabrak sama sekali tidak bergeming. Malah, pemuda itu sendiri yang kembali tersungkur ke depan. Dia merasa kalau orang itu berada di pihak si bandar judi yang telah sengaja memukulnya. Maka kemarahannya kini ditumpahkannya pada orang berpakaian compang-camping dan bertopi caping lebar itu.
"Bangsat! Kau rasakan hajaranku!" teriak pemuda itu, kalap. Langsung melepaskan tendangan keras ke arah laki-laki bercaping.
Laki-laki bercaping itu sama sekali tidak bergeming. Namun saat tendangan pemuda ini nyaris mengenainya, dia menghindar ke samping. Dan tiba-tiba tongkat runcing dalam genggamannya berkelebat cepat.
Wut! Cras! "Aaa...!"
Tahu-tahu saja pemuda itu terjungkal roboh disertai pekik kesakitan.
"Heh"!"
? *** ? Semua orang yang berada di keramaian ini ter-kejut. Pemuda itu tewas setelah menggelepar sesaat. Darah segar tampak mengucur dari luka panjang yang menggaris dari dada sampai ke perut. Mereka segera berpaling pada lelaki aneh berpakaian compang-camping itu.
"Kisanak! Aku berterima kasih, karena mem-bantuku. Tapi tidak perlu membunuhnya!" kata tukang pukul bertubuh tegap tadi dengan nada menyesal.
"Dia telah membunuhnya! Dia telah membu-nuh orang ini"!" teriak seseorang sambil menuding ke arah laki-laki berpakaian compang-camping.
Yang lainnya segera berpaling. Dan dalam se-kejap, keramaian itu berubah menjadi kegemparan. Beberapa saat pemuda desa yang tidak senang melihat kejadian ini sudah langsung menyergap orang bercaping lebar.
"Kisanak! Kau telah membunuh seorang penduduk desa ini! Serahkan dirimu untuk diadili!" bentak seseorang, garang.
Orang bertopi raping itu hanya mendengus sinis. Lalu tubuhnya berbalik dan bermaksud pergi dari tempat ini.
"He, berhenti!" bentak pemuda desa tadi.
Namun laki-laki yang wajahnya tidak terlihat karena tertutup tudung di kepalanya sama sekali tidak menoleh, apalagi menghentikan langkahnya. Dan ini membuat kalap para pemuda Desa Tunjungan ini. Mereka segera melompat menghadang dan mengurungnya.
"Kurang ajar! Kau kira bisa berbuat sesuka hatimu di sini"! Serahkan dirimu! Atau, terpaksa kami yang musti melakukannya!" bentak seorang pemuda yang lain.
"Huh! Kecoa-kecoa busuk, dikira bisa berbuat apa padaku"!" dengus laki-laki bersenjata tongkat runcing ini. Suaranya berat, tertahan.
"Kurang ajar! Dia memang sengaja mencari ga-ra-gara! Ayo, tangkap orang ini!" teriak pemuda tadi, memberi perintah pada kawan-kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, para pemuda Desa Tunjungan langsung melompat menyergap laki-laki itu.
"Yeaaa!"
"Huh!"
Namun di luar dugaan, tongkat laki-laki bercaping itu berkelebat cepat, dan tak mampu dihindari lagi.
Bret! "Aaa...!"
Empat pemuda desa ini kembali terjungkal ke tanah disertai pekikan setinggi langit. Mereka tewas bersimbah darah, dengan luka memanjang di dada.
"Heh"! Orang ini pembunuh! Dia telah mem-bunuh lima orang! Dia pembunuh...!" teriak sese-orang. Maka semakin hebohlah tempat ini.
Keramaian segera terhenti. Dan semua orang sudah mengelilingi laki-laki bercaping itu sambil berteriak-teriak kalap. Namun begitu, tidak ada seorang pun yang berani bertindak. Kematian lima pemuda tadi sudah cukup membuat ciut nyali mereka.
"Minggir! Minggir...! Ki Kasmanu mau lewat!" teriak seseorang ketika seorang laki-laki setengah baya berusaha menyeruak di antara keramaian.
"Ada apa" Apa yang terjadi di sini?" tanya laki-laki setengah baya yang dipanggil Ki Kasmanu.
"Orang ini! Dia telah membunuh lima pemuda desa kita, Ki!" teriak seseorang.
"Betul! Dia pembunuh yang sengaja mengacau di sini!" timpal yang lain.
"Orang itu harus digantung! Dia pembunuh...!" teriak yang lain pula.
Ki Kasmanu tiba di depan kerumunan. Diper-hatikannya dengan seksama laki-laki yang menjadi biang keladi persoalan ini.
Laki-laki bercaping itu tampak berdiri tenang. Sama sekali tidak menunjukkan kegentarannya atas kerumunan serta teriakan-teriakan penduduk desa.
"Siapa kau, Kisanak" Dan, benarkah kau telah membuat kerusuhan di tempat ini dengan mem-bunuh lima pemuda desa?" tanya Ki Kasmanu, datar.
"Aku seorang Pangeran sahut orang ber-tudung lebar itu.
"Pangeran" Pangeran dari mana"! Dan, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Ki Kasmanu dengan wajah heran.
Semua orang yang berada di sini juga dikung-kungi rasa heran. Mereka nyaris tidak percaya dengan pendengarannya. Orang ini seorang pangeran" Bisa celaka kalau mereka mengeroyoknya ramai-ramai.
"Aku Pangeran dari Kegelapan," sahut laki-laki bercaping itu, enteng.
"Kisanak! Jangan main-main! Kau telah mem-bunuh lima warga desa ini. Dan kesalahan itu hanya bisa ditebus dengan nyawamu!" ujar Ki Kasmanu, sedikit merasa kesal mendengar jawaban itu.
"Nyawaku" Kau ingin mencabut nyawaku" Ha ha ha...!"
Laki-laki bertopi lebar yang menutupi wajahnya itu tergelak.
"Kurang ajar! Kalau begitu jelas sudah, keda-tanganmu ke sini untuk mengacau!" bentak Ki Kasmanu.
Begitu kata-katanya selesai, laki-laki setengah baya itu langsung memberi perintah pada para pemuda lainnya untuk menangkap sosok yang mengaku sebagai Pangeran dari Kegelapan ini
"Ringkus dia!"
'Tapi, Ki..."
"Kenapa kalian ragu"!" hardik Ki Kasmanu ge-ram, menyadari tak seorang pun dari pemuda itu yang berani bergerak.
"Ha ha ha...! Ayo tangkap aku! Ringkus aku! Bukankah kalian ingin menghukumku" Ayo! Atau, barangkali kalian hanya sekumpulan kerbau dungu yang tidak bernyali"! Ha ha ha...!" ejek Pangeran dari Kegelapan.
Kurang ajar!" Ki Kasmanu menggeram.
Wajah orang terpandang di Desa Tunjungan ini berkerut. Hela napasnya terasa memburu. Sepasang matanya melotot garang ke arah Pangeran dari Kegelapan.
"Rupanya harus aku sendiri yang menangkap mu!" desis Ki Kasmanu garang.
"Ha ha ha...! Sungguh kasihan. Seorang kepala desa harus bekerja sendiri, karena semua penduduknya pengecut!" ejek Pangeran dari Kegelapan.
"Kisanak, tutup mulutmu! Aku tidak perlu belas kasihan darimu! Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah, sebelum aku bertindak kasar!" bentak Kepala Desa Tunjungan itu.
"Huh! Kau hanya seekor tikus busuk di hadapanku! Jangan bertingkah seperti harimau yang coba menakut-nakutiku! Hiiih!"
Ki Kasmanu tidak dapat menahan amarahnya. Dia langsung melompat menyerang.
Wut! "Uts!"
Begitu dekat, tongkat Pangeran dari Kegelapan segera berkelebat. Namun Ki Kasmanu tak kalah sigap. Tubuhnya segera membungkuk, dan mencelat ke samping. Langsung goloknya dicabut.
"Yeaaat!"
? *** ? Apa yang dilakukan Ki Kasmanu membuat yang lain terkejut. Sama sekali tidak disangka kalau orang tua itu berkepandaian cukup hebat. Tubuhnya tampak berputar bagai gasing saat menyerang. Kemudian, mampu bergerak secepat kilat. Padahal, selama ini tidak seorang penduduk desa ini pun yang tahu kalau Ki Kasmanu memiliki ilmu olah kanuragan sehebat itu.
"Gila! Dari mana Ki Kasmanu memiliki kepan-daian sehebat itu?" desis seseorang sambil mendecak kagum.
"Selama ini kita tidak tahu. Mungkin sebelum menjadi kepala desa, beliau adalah seorang tokoh silat!" sahut yang lain menduga.
Namun apa pun yang diduga penduduk desa ini, yang jelas apa yang dilakukan Ki Kasmanu malam ini memang mengejutkan. Permainan goloknya terus berusaha mendesak Pangeran dari Kegelapan dengan gencar. Namun begitu, tidak sekalipun mampu melukai lawannya. Bahkan Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak merasa terdesak. Sehingga, hal ini membuat Ki Kasmanu semakin jengkel.
"Kurang ajar! Apakah kebisaanmu hanya menghindar, he"!" bentak orang tua itu sengit.
"Ha ha ha...! Kau kira begitu, Kunyuk" Pangeran dari Kegelapan telah memberi kesempatan hidup padamu barang sesaat. Dan kini, bersiaplah untuk mampus!" sahut laki-laki bercaping itu.
Begitu habis kata-katanya, Pangeran dari Kegelapan cepat berputar bagai gasing. Lalu terdengar bentakan nyaring.
"Yeaaa!"
Wut! "Uh"!"
Ki Kasmanu terkesiap. Ujung tombak Pangeran dari Kegelapan yang runcing nyaris menyambar tenggorokannya.?? Untung dia melompat ke belakang.
Kini laki-laki bertudung lebar itu, segera melanjutkan serangan berupa sodokan keras tangan kiri yang cepat, terarah ke dada.
"Uts!"
Ki Kasmanu mencoba berkelit ke samping. Namun saat itu juga, Pangeran dari Kegelapan membabatkan tongkatnya.
Cras! "Aaa..!"
Ki Kasmanu memekik keras. Tubuhnya kontan terjungkal ke samping dengan darah mengucur deras membasahi bumi. Perutnya robek lebar. Tampak isinya terburai keluar. Orang tua itu menggelepar setiba di tanah, dan diam tidak berkutak lagi.
"Heh"!"
"Ki Kasmanu mati!" jerit seseorang yang berge-rak mendekati tubuh orang tua itu, dan memeriksanya sekilas.
"Kurang ajar! Orang ini telah membunuh Ki Kasmanu! Dia telah membunuh kepala desa kita! Orang seperti ini tidak patut dikasih hati. Dia harus dihukum!" teriak seorang pemuda seraya menuding garang.
Kata-kata pemuda itu keras. Wajahnya berke-rut geram dengan tubuh gemetar menahan amarah. Dengan serta merta goloknya dicabut untuk membakar semangat kawan-kawannya yang lain.
"Ayo, tangkap dia! Bunuh dia...!"
Mendengar teriakan itu, yang lain segera men-cabut golok. Dan diawali pemuda pertama tadi, mereka menyerang orang bercaping lebar itu ber-sama-sama.
"Yeaaa...!"
"Bunuh dia...! Cincang...!"
Namun, Pangeran dari Kegelapan sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan tidak berusaha kabur melihat jumlah pengeroyoknya yang banyak. Dia tetap tenang sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya ke tanah. Namun, begitu para pengeroyoknya telah mendekat, tiba-tiba saja tubuhnya berputar. Gerakannya sangat cepat dengan ujung tongkat menyambar ke arah lawan-lawannya.
"Hiiih!"
Trang! Bret! Cres!
"Aaa...!"
Seketika terdengar suara senjata beradu yang diiringi pekik kesakitan. Lima orang pemuda desa ini terpental dengan robekan lebar di perut. Golok-golok melayang ke udara. Sementara pekik kematian terus berkumandang ketika orang bertopi lebar itu mengamuk dahsyat. Dalam waktu singkat, lebih dari lima belas orang telah menjadi korbannya. Dan ini membuat yang lain menjadi ketakutan.
"Lari...! Orang ini bukan manusia tapi iblis...!" teriak seseorang.
Dan serentak, orang-orang serabutan melarikan diri tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Ada yang menabrak kawannya hingga jatuh terjungkal bersama-sama. Dan yang lain berusaha sikut-sikutan, untuk lebih dulu menyelamatkan diri.
"Ha ha ha...! Ayo kabur! Kaburlah sejauhnya dari sini!" teriak Pangeran dari Kegelapan seraya tertawa terbahak-bahak.
Laki-laki bercaping itu hanya berdiri tegak. Sama sekali dia tidak bermaksud mengejar.
Para penduduk desa ini langsung menuju ru-mah masing-masing, dan menutup serta mengunci pintu rapat-rapat. Maka dalam waktu singkat, keramaian ini berubah secara cepat. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran. Kecuali..., para pemain tetabuhan yang tadi bermain di halaman rumah Ki Kasmanu!
Mereka bingung membenahi alat-alat tetabuh-annya. Bahkan tidak tahu harus ke mana. Yang bisa dilakukan adalah bersembunyi di rumah Ki Kasmanu. Namun, itu pun hanya bisa di beranda depan. Sebab, keluarga Ki Kasmanu telah mengunci pintu rapat-rapat.
Orang bertopi lebar itu mendengus dingin. Lalu kakinya melangkah ke tempat mereka perlahan-lahan.
? *** ? 2 ? "Kang, aku..., aku takut...," keluh seorang wanita pesinden berusia sekitar tiga puluh tahun lebih, melihat Pangeran dari Kegelapan datang menghampiri.
Pangeran dari Kegelapan terus melangkah, mendekati rombongan pemain gamelan yang merapat ketakutan di depan rumah Ki Kasmanu. Sementara, pemimpin rombongan yang bernama Ki Gandawaru hanya menatap. Tubuhnya dirapati oleh wanita yang tadi ketakutan.
Dan empat orang wanita lainnya pun duduk tidak jauh di dekat Ki Gandawaru. Sedangkan para nayaga laki-laki berdiri memagari. Jantung mereka berdegup kencang tatkala melihat lelaki bertopi lebar itu terus melangkah memasuki halaman depan rumah ini.
"Ki" Dia menuju ke sini!" bisik salah seorang nayaga laki-laki yang berdiri tegak menghalangi para pesinden.
"Celaka! Dia betul-betul ke sini. Apa maunya orang itu?" desis Ki Gandawaru seraya mengintip sekilas.
Jantung laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu semakin kencang berdetak memikirkan nasib dirinya dan anak buahnya. Di antara mereka adalah keluarganya sendiri. Yaitu, istrinya serta tiga orang anak-anaknya. Dua perempuan dan seorang pemuda.
Tubuh mereka gemetar. Dan mereka semakin gemetar, saat Pangeran dari Kegelapan telah berdiri di depan mereka. Dia diam sesaat seperti mengawasi orang-orang ini.
"Ke sini!" ujar Pangeran dari Kegelapan pendek, sambil menuding dua orang gadis pesinden yang duduk mendekap Ki Gandawaru serta istrinya.
"Ampun, Kisanak! Mereka anak-anakku. Kami bukan penduduk desa ini, dan tidak ada urusan denganmu. Aku mohon, jangan ganggu kami...!" ratap Ki Gandawaru dengan suara gemetar.
"Hm."
Orang bertopeng itu tidak menjawab. Dia mendengus sinis seraya mengacungkan tongkatnya ke arah dua orang gadis tadi.
"Ke sini kalian!"
Suara Pangeran dari Kegelapan terdengar keras, dan setengah memaksa. Sehingga membuat kedua gadis pesinden itu semakin menggigil ketakutan. Wajah mereka pucat-pasi dan mulai tampak menangis dengan tubuh menggigil penuh rasa takut.
Melihat itu, Ki Gandawaru segera mengambil tindakan untuk mencegah segala kemungkinan buruk. Disuruhnya yang lain untuk bersimpuh. Sedang, dia sendiri berlutut di hadapan laki-laki bertopi lebar ini seraya merangkapkan kedua tangan.
"Kisanak, ampunilah kami. Kami sama sekali tidak ikut-ikutan dengan mereka. Ampuni kami, Kisanak. Mohon jangan ganggu kami. Kami betul-betul bukan penduduk desa ini...," ratap Ki Gandawaru, memohon.
"Huh!"
Namun jawaban Pangeran dari Kegelapan ter-nyata berupa sebuah totokan tongkatnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Blesss! "Aaa...!"
Tubuh Ki Gandawaru yang membungkuk tak ayal tertembus ujung tongkat Pangeran dari Kege-lapan yang bergerak cepat dan menancap sampai menembus ke jantungnya. Ki Gandawaru memekik setinggi langit, dan tersungkur di tanah. Dia meregang nyawa, saat tongkat laki-laki itu tercabut. Lantai di beranda rumah kepala desa ini seketika bersimbah darah. Kejadian ini membuat yang lain makin terkesiap dengan wajah pucat pasi.
"Heh"!"
"Kakang...!"
"Ayaaah...!"
Istri dan anak-anak Ki Gandawaru segera mengerubungi sambil memekik menyayat. Demikian juga anggota yang lain. Namun laki-laki berpakaian compang-camping ini sama sekali tidak peduli. Tongkatnya bergerak cepat, menotok kedua gadis yang tadi ditunjuknya.
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Kedua gadis pesinden itu terkulai lemah. Dan Pangeran dari Kegelapan langsung membopong di kedua pundaknya, lalu meninggalkan tempat itu dengan tenang.
Perbuatan laki-laki bertopeng itu tentu saja tidak bisa diterima yang lain. Setelah membunuh Ki Gandawaru, kini seenaknya saja membawa kedua putri Ki Gandawaru.
Salah seorang pemuda yang tidak lain dari putra Ki Gandawaru langsung berdiri tegak seraya mencabut golok. Bersama empat orang kawannya, mereka langsung menghadang Pangeran dari Kegelapan.
"Pembunuh keparat! Hentikan langkahmu. Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus putra Ki Gandawaru.
Orang bertopi lebar itu hanya mendengus dingin. Sama sekali tubuhnya tidak bergeming dari tempatnya.
"Huh!"
"Mampus!"
Pemuda itu menggeram, tidak mampu lagi menahan diri. Dia melompat menerjang dengan golok terhunus. Dan sikapnya langsung diikuti kawan-kawannya.
"Yeaaa...!"
Trang! Namun Pangeran dari Kegelapan tak kalah sigap. Tubuhnya cepat diputar dengan tongkat terayun.
Sesaat terdengar suara senjata beradu. Tampak golok-golok berpentalan. Belum sempat para pengeroyok berbuat sesuatu, Pangeran dari Kegelapan telah cepat membabatkan tongkatnya.
Bret! "Aaa...!"
Seketika terdengar pekik kemarjan. Kelima orang nayaga itu roboh bermandikan darah dengan luka memanjang di dada.
Istri Ki Gandawaru tercekat. Demikian pula dua wanita lainnya. Dengan isak tangis dan suara menyayat, mereka berlari-lari kecil menghampiri para korban.
Sementara itu Pangeran dari Kegelapan melenggang tenang dengan bahu memanggul dua gadis pesinden. Kelihatannya dia tak berlari. Namun dalam sekejapan mata telah lenyap dari tempat itu. Pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi. Yang ditinggalkannya kini hanya malam sepi bercampur bau anyir darah, dan isak tangis keluarga korban yang ditinggalkan...!
? *** ? Tiga orang tengah menggebah kencang kuda-kudanya melewau jalan besar di tepi sebuah hutan kecil. Jauh di depan terlihat sebuah gunung menjulang tinggi. Di kaki gunung itu terdapat sebuah lembah yang subur. Dan selama ini, dikenal sebagai Lembah Seribu Dara. Nama lembah ini amat dikenal dalam dunia persilatan. Malah semua tokoh persilatan tahu kalau di lembah itu tinggal seorang tokoh silat terkenal. Namanya, Nyai Ratmi Sukaesih yang bergelar Ratu Maut Pedang Sakti!
Sesuai namanya, Nyai Ratmi Sukaesih me-mang ahli menggunakan pedang. Dan selama ini, hanya beberapa tokoh saja yang dianggap mampu mengimbangi ilmu pedangnya. Usianya sekitar lima puluh tahun. Sehingga dia digolongkan kepada tokoh tua yang kini jarang muncul di dunia persilatan. Namun begitu, keharuman namanya tak punah begitu saja. Sebab, penerus-penerusnya selalu mengingatkan orang akan kehebatan tokoh satu ini.
Banyak orang tahu kalau di lembah itu Nyai Ratmi Sukaesih membangun sebuah padepokan silat yang diberi nama Mawar Merah. Tidak seperti yang lainnya, maka padepokan ini hanya dikhususkan bagi wanita saja. Tak heran kalau, nama Lembah Seribu Dara amat cocok bagi lembah itu.
Dan melihat arah yang dituju jelas kalau tiga penunggang kuda tadi menuju ke sana. Kemudian bila melihat dan dekat, nyata kalau mereka terdiri dari tiga orang gadis berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Mereka semua memakai baju merah. Dan pada ikat kepalanya, terlihat bunga mawar berwarna merah. Dan ini adalah ciri khas yang menandakan kalau mereka adalah murid-murid Padepokan Mawar Merah.
"Hooo...!"
Salah seorang murid Padepokan Mawar Merah itu berteriak keras, seraya menarik tali kekang. Dua kawannya juga mengikuti. Ternyata di depan mereka berdiri seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan bercaping lebar. Ketiga gadis itu bermaksud menghindari namun orang itu bergerak menghadang. Hal itu tentu saja membuat mereka jengkel.
"Kisanak! Maaf, kami terburu-buru! Harap jangan menghalangi jalan," ujar salah seorang dari gadis itu.
Orang itu diam saja.
"Kisanak! Mungkin kau tuli, sehingga tidak bisa mendengar kata-kata kawanku! Tapi, kami tidak bermaksud mengganggu. Nah! Jangan mencari persoalan!" seru gadis lainnya dengan perasaan jengkel.
Ketiga gadis itu menarik tali kekang, bermaksud menghindari orang itu. Namun seperti tadi, laki-laki bercaping itu terus menghadang. Mereka bermaksud ke kanan dia pun bergerak ke kanan. Sehingga jelas, orang ini memang bermaksud menghadang.
Gadis yang berada di tengah menghela napas panjang. Diamatinya laki-laki itu dengan seksama. Orang ini membawa tongkat di tangan kanannya. Dari tubuhnya tercium bau tak sedap. Mungkin dari pakaiannya. Rambutnya yang panjang, menjela hingga ke punggung.
"Mungkin kau lapar. Tapi, kami tidak bawa makanan. Nih, ada sedikit uang! Pergilah! Dan, beli makanan di kedai terdekat," ujar gadis yang berada di kanan seraya merogoh saku dan melempar beberapa keping uang perak.
Kepingan uang itu jatuh di dekat kaki, namun orang itu tidak juga beranjak. Bahkan sama sekali tidak peduli pada kepingan perak yang bernilai cukup banyak itu.
Tentu saja hal ini membuat ketiga gadis ini kehilangan akal. Maka kesabaran mereka pun ada batasnya. Gadis yang berada di sebelah kanan langsung menuding sinis.
"Hei, Gembel! Enyahlah kau! Tidak tahu diri! Pergi! Atau kami akan memaksamu dengan keke-rasan!" dengus gadis itu.
Namun orang berpakaian penuh tambalan itu sama sekali tidak peduli. Dan hal ini sudah membuat gadis itu marah bukan main.
"Huh! Jangan salahkan kalau aku bertindak kasar padamu! Kami telah memperingatkan. Dan agaknya kau tetap membandel!" lanjut gadis itu mendengus.
"Hiiih!"
Gadis ini segera menghentakkan tangan kanannya, melepaskan pukulan jarak jauh. Dan dia menggunakan sedikit tenaga dalamnya, agar orang itu terlempar ke belakang.
Deb! Serangkum angin kencang seketika melesat ke arah orang bercaping itu, dan tepat mengenai da-danya. Namun jangankan terjungkal. Bahkan laki-laki itu bergeser pun tidak. Dan kejadian ini membuat gadis yang tampak marah itu semakin berang saja.
"Kurang ajar! Rupanya kau memang sengaja mempermainkan kami, he"! Baik, kalau itu yang kau inginkan. Rasakan ini! Hih!"
Gadis itu kembali menghentakkan tangan kanannya dengan kekuatan dilipatgandakan. Kembali serangkum angin kencang menerpa laki-laki bercaping itu.
Deb! Namun seperti tadi laki-laki itu seperti batu karang kokoh. Dia tetap berdiri tegak walau disapu badai topan.
"Keparat!" Gadis itu mendengus geram. Lang-sung pedangnya dicabut.
"Lestari, tahan dulu!" gadis lain yang berada di sebelahnya berusaha menahan.
Namun, gadis bernama Lestari agaknya tidak dapat menahan diri lagi. Dengan pedang terhunus, dia langsung melompat dari punggung kuda. Diserangnya laki-laki bercaping itu.
"Yeaaa!"
Pedang Lestari berkelebat cepat menyambar leher, namun laki-laki bercaping ini berkelit sedikit ke samping. Sehingga pedang itu hanya menebas angin. Dan seketika itu pula tongkat laki-laki ini cepat memapaki.
Wut! Trang! Gadis itu terkejut melihat pedangnya terlepas dari genggaman. Belum lagi disadari apa yang ter-jadi, ujung tongkat laki-laki itu kembali menyambar.
Cras! "Aouw...!"
? *** ? Bukan main kagetnya Lestari melihat apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Karena dalam sekejapan mata, pakaiannya tercabik-cabik di sana-sini tersambar ujung tongkat yang runcing. Gadis itu berteriak kaget. Segera ditutupinya bagian tubuhnya yang terlihat.
"Kisanak! Kau sungguh keterlaluan! Kami tidak bisa membiarkan begitu saja sikapmu yang kurang ajar!" dengus salah seorang kawan Lestari dengan wajah gemas.
"Hati-hati, Nirmala!" ujar gadis satunya lagi, mengingatkan.
"Jangan khawatir, Anggraini," sahut gadis yang barusan mendengus.
Gadis bernama Nirmala melompat turun dari punggung kudanya. Dilemparkannya selimut pada Lestari untuk menutupi tubuhnya.
Namun sebelum selimut itu sampai pada Lestari, serangkum angin kencang menerbangkannya.
Wuer! "Hei"!"
Ketiga gadis itu tersentak kaget. Mereka meno-leh. Dan jelas, angin kencang tadi adalah perbuatan orang berbaju penuh tambalan itu.
"Kurang ajar!" maki gadis yang tadi dipanggil Anggraini seraya melompat turun. Dan dia bermaksud memungut selimut itu. Tapi...
Wut! Seperti yang telah diduga bersama, orang itu pasti menghalanginya. Dan dugaan mereka ternyata benar. Orang bertopi lebar ini bergerak cepat, namun kedua gadis ini pun telah bersiaga.
"Haiiit!"
Mereka langsung mencabut pedang dan me-nyerang bersamaan. Namun laki-laki bercaping ini tak kalah sigap. Seketika tongkatnya berkelebat cepat.
Trang! "Ohhh...!"
Anggraini dan Nirmala berseru kaget. Bukan saja serangan mereka kandas. Tapi, kedua pedang dalam genggaman terpental oleh suatu tenaga kuat luar biasa. Dan sebelum kedua gadis itu berbuat apa-apa tongkat laki-laki gembel ini telah kembali berkelebat. Lalu...
Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bret! "Ouw..!"
Kedua gadis itu terkejut bukan main. Seperti apa yang dilakukan terhadap Lestari, maka pakaian mereka pun terlihat robek di sana-sini. Sehingga, terpaksa keduanya berbalik seraya menutupi bagian tubuhnya yang terlarang.
"Hua ha ha...! Gadis-gadis manis! Kalian kira tengah berhadapan dengan siapa saat ini" Aku Pangeran dari Kegelapan. Dan tak ada seorang pun boleh menghinaku. Demikian pula dengan kalian!" kata orang bertudung lebar itu disertai tawa keras.
'Kisanak! Apa maumu" Apa yang kau ingin-kan" Bukankah kami telah berbaik hati" Dan kau yang mencari gara-gara!" sentak Nirmala dengan nada berang.
"Apa yang kuinginkan" Ha ha ha...! Pertanyaan bodoh! Kau kira apa yang diinginkan seorang laki-laki sepertiku, terhadap wanita cantik bertubuh bagus seperti kalian"! ha ha ha...!" sahut laki-laki yang ternyata Pangeran dari Kegelapan dengan tawa terkekeh penuh nafsu.
"Chuih! Tutup mulut kotormu! Kau kira kami perempuan murahan"! Aku lebih baik mati daripada dijamah laki-laki sepertimu!" sahut Anggraini.
Pangeran dari Kegelapan menoleh meski gadis itu berpaling.
"Huh! Kau boleh menemui ajalmu sekarang juga!" dengus Pangeran dari Kegelapan sinis.
Tiba-tiba laki-laki itu berkelebat cepat, disertai sabetan tongkatnya. Anggraini yang tak menduga datangnya serangan, terkesiap kaget. Dan...
Wut! Bret! "Akh!"
Mendadak tongkat Pangeran dari Kegelapan telah menyayat leher gadis itu. Dan tahu-tahu, gadis yang bicara lantang menjerit tertahan. Tubuhnya ambruk bersimbah darah. Lehernya nyaris putus oleh babatan ujung tongkat yang runcing milik Pangeran dari Kegelapan. Nyawanya putus seketika!
"Anggraini...!" Nirmala dan Lestari berseru kaget.
Tanpa mempedulikan keadaan diri, Nirmala dan Lestari bermaksud memburu Anggraini yang tewas.
"Huh!"
Namun laki-laki bertopi lebar ini segera menangkap Nirmala. Dan...
Tuk! Seketika tubuh Nirmala lemas tak berdaya, tertotok Pangeran dari Kegelapan. Laki-laki itu langsung merebahkannya di atas rumput.
"Ha ha ha...! Hm... Wajahmu cantik dan tu-buhmu montok! Kulitmu pun mulus. Kau tentu bisa memuaskan seleraku!" kata Pangeran dari Kegelapan dengan mata liar bagai serigala melihat domba gemuk yang siap disantap. Dijamahnya tubuh gadis yang berbaring tak berdaya dengan pakaian robek di sana-sini ini.
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan" Ouw, Keparat! Kurang ajar! Hentikan perbuatan kotormu! Hentikan...!" maki Nirmala dengan wajah ketakutan bercampur amarah meluap.
"Heh"!"
Sementara. Lestari terkejut. Ditinggalkannya Anggraini yang telah mati. Dan dengan geram di-pungutnya salah saru pedang yang tergeletak di dekatnya. Lalu dengan langkah pelan dan wajah geram, didekatinya Pangeran dari Kegelapan. Dia bermaksud memancung kepala laki-laki itu dengan sekali hajar.
"Mampus kau! Hiiih!"
Gerakan gadis itu cepat dan bertenaga kuat. Sehingga bila orang biasa yang menjadi sasarannya, maka kecil kemungkinan untuk lolos. Namun yang terjadi saat ini sebaliknya. Sebelum pedang itu menyambar batok kepala, tongkat Pangeran dari Kegelapan telah lebih dulu menangkis.
Tring! Senjata di tangan Lestari terpental. Belum sempat gadis itu berbuat apa-apa tiba-tiba tongkat Pangeran dari Kegelapan telah berkelebat.
Bret! "Aaakh...!"
"Lestari...!" Nirmala yang tertotok terpekik.
Tampak terhuyung-huyung ke belakang sambil memegang perutnya dengan kedua tangan. Dari sela-sela jarinya menetes darah segar. Mukanya pucat. Wajahnya berkerut seperti menahan rasa sakit hebat.
Namun laki-laki bertopi lebar itu tidak mem-pedulikannya. Dan segera niatnya yang tadi sempat tertunda diteruskan.
Sementara itu Nirmala terus memaki-maki dan berusaha melepaskan diri. Namun totokan di tubuhnya kuat bukan main. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga gadis itu sama sekali tidak berdaya melawan keinginan laki laki yang bermaksud tidak senonoh ini.
Sedang Lestari terus mengeluh tertahan. Segera didekatinya salah seekor kuda. Dia mendengar jeritan Nirmala saat laki-laki itu membuka penutup kepala. Kini, kawannya itu tampak terdiam. Tidak sadarkan diri setelah melihat pemandangan yang mungkin menakutkan baginya. Lestari hanya mampu memejamkan mata. Dia tidak kuat menahan perasaannya saat melihat laki-laki itu mulai membuka pakaian, kemudian menindih tubuh kawannya untuk melampiaskan nafsu iblisnya.
Lestari segera melompat pelan ke punggung kuda dengan tangan kiri mendekap perutnya yang robek. Sementara tangan kanan menarik tali kekang kudanya. Matanya melirik sekilas. Kemudian dengan membentak keras, kudanya dilarikan jauh-jauh dari tempat itu.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 154. Pangeran Dari Kegelapan Bag. 3 dan 4
1. Januar 2015 um 08:00
3 ? Pangeran dari Kegelapan menarik napas lega. Dia bangkit berdiri sambil memungut bajunya. Diliriknya sekilas gadis yang tergolek di tanah. Sambil terkekeh-kekeh, pakaiannya dikenakan.
"He he he...! Betul juga. Kau hebat dan luar biasa, meski tidak sepenuhnya meladeniku karena keburu pingsan. Hua ha ha...! Sayang rasanya jika aku tidak mencicipi tubuhmu lagi. Tapi, setiap wanita yang menjadi korbanku, dia harus mampus!"
Pangeran dari Kegelapan mengenakan kembali tudung lebar yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu kembali dipandanginya gadis yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Gadis yang tak lain dari Nirmala tergolek dengan muka pucat. Sama sekali tubuhnya tidak bergerak seperti layaknya orang mati.
"Selamat tinggal, Cah Ayu...!"
Baru saja Pangeran dari Kegelapan hendak mengangkat tongkat untuk membunuh Nirmala mendadak terdengar derap langkah kuda yang berlari kencang mendekatinya. Laki-laki itu menoleh.
"Huh!" dengus Pangeran dari Kegelapan begitu melihat serombongan orang berkuda.
Laki-laki itu melihat para penunggang kuda yang berhenti di dekatnya itu lebih dari dua puluh orang. Mereka semua terdiri dari wanita. Dengan gerakan mantap, para wanita yang memang berasal dari Padepokan Mawar Merah ini melompat turun.
Berada paling depan adalah seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Rambutnya yang panjang dan sebagian telah memutih, disanggul agak ke atas. Tampak beberapa buah konde menghiasinya. Pakaiannya merah, memakai celana pangsi. Sebilah pedang tampak berada dalam genggaman tangan kanannya.
"Kisanak! Kau telah membunuh dua muridku. Dan kini..., apa yang telah kau lakukan terhadap seorang muridku lagi"!" dengus wanita tua itu, sambil melirik ke arah gadis yang tergolek tidak sadarkan diri.
"Guru, itu Nirmala! Astaga! Apa yang dilakukan iblis ini terhadapnya"!" seru gadis kepada wanita tua yang ternyata guru mereka dengan wajah kaget penuh kegeraman.
Tiga orang gadis langsung melompat hendak mendekati. Namun, laki-laki bertudung lebar itu langsung menghalangi.
"Jangan coba-coba mendekati kalau tidak ingin mampus!"
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan terhadap kawan kami, he"!" bentak salah seorang dari gadis itu.
"He he he...! Kurasa kalian tidak tolol. Melihat keadaannya, kalian tentu tahu apa yang telah ku-lakukan. Dia kini tawananku. Dan aku bebas berbuat apa saja terhadapnya!" sahut Pangeran dari Kegelapan enteng.
"Bedebah busuk! Bangsat cabul...! Terkutuklah kau!" bentak gadis itu seraya mencabut pedang. Langsung diserangnya laki-laki bercaping itu.
Namun meski gerakan gadis itu terhitung cepat, gerakan Pangeran dari Kegelapan pun ternyata tidak kalah cepat. Dia cepat menangkis pedang murid Padepokan Mawar Merah.
Tring! Tindakan itu benar-benar di luar perhitungan gadis ini. Sebab begitu selesai menangkis pedangnya tongkat laki-laki itu langsung bergerak menyambar leher.
Bret! "Aaakh...!"
Gadis itu memekik tertahan. Tubuhnya ambruk dengan leher nyaris putus mengeluarkan darah. Nyawanya melayang setelah menggelepar beberapa saat.
"Heh"!"
Kematian gadis itu membuat para murid Padepokan Mawar Merah tersentak. Dan ini lebih mengagetkan wanita tua yang tak lain dari Nyai Ratmi Sukaesih. Dia langsung memberi isyarat agar kedua muridnya yang berada di depan, segera mundur.
'Tapi, Guru! Dia telah membunuh..."
"Dia bukan tandingan kalian. Mundurlah!" sahut Nyai Ratmi Sukaesih, menahan amarah terpendam.
Perlahan-lahan wanita tua itu melangkah. Lalu dia berhenti saat jaraknya terpaut sekitar lima langkah dengan Pangeran dari Kegelapan. Sinar matanya tajam seperti hendak membetot sukma laki-laki itu.
"Kisanak! Aku tidak ada permusuhan denganmu. Bahkan siapa pun kau, aku sama sekali belum kenal. Tapi hari ini, perbuatanmu terhadap murid-muridku sungguh kurang ajar dan tidak bisa kumaafkan. Seorang muridku kau bunuh. Lalu yang lain kau perkosa. Dan seorang lagi, luka parah kemudian tewas tidak lama setelah tiba di tempatku. Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami?" tanya Nyai Ratmi Sukaesih, dingin.
"Pangeran dari Kegelapan tidak perlu alasan untuk sepak terjangnya. Aku bebas melakukan apa saja yang kusuka, tanpa seorang pun boleh menghalanginya. Siapa pun yang menghalangiku, dia boleh mampus!" sahut laki-laki bertudung lebar itu enteng, tanpa merasa bersalah.
"Aku telah malang melintang di dunia persilatan. Baik tokoh tua maupun angkatan sekarang, aku mengenalnya dengan baik. Dan, tidak seorang pun yang menjadi musuhku. Tapi kau mengaku sebagai Pangeran dari Kegelapan" Hm, nama yang asing bagiku. Mungkin bila kau menunjukkan wajahmu, aku bisa menebak pengecut mana yang telah membunuh murid-muridku!" sindir Nyai Ratmi Sukaesih, tajam.
"Ha ha ha...! Kau ingin melihat wajahku" Jangankan dirimu. Malaikat sekalipun, tidak akan sanggup melihatnya!" sahut Pangeran dari Kegelapan, takabur.
"Huh! Dasar iblis! Omongan kacau. Dan otak-mu mungkin sinting! Tapi tidak berarti aku membiarkan saja urusan kita. Kau harus mati untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" dengus Nyai Ratmi Sukaesih, kesal karena kesabarannya telah habis.
"He he he...! Banyak mulut! Cabut pedangmu. Dan, bunuh aku kalau memang mampu!" sahut Pangeran dari Kegelapan, menantang.
"Huh!"
Srang! ? *** ? Wanita yang dalam dunia persilatan bergelar Ratu Maut Pedang Sakti ini agaknya tidak mau bermain-main lagi. Dan sebenarnya pedang itu hanya tercabut bila dalam keadaan terdesak hebat. Namun melihat gerakan laki-laki itu yang cepat saat membunuh seorang muridnya tadi, telah meyakinkan Nyai Ratmi Sukaesih untuk tak bisa menganggap enteng. Paling tak kepandaian tokoh berjuluk Pangeran dari Kegelapan ini hebat dan tak berada di bawahnya makanya dia langsung mencabut pedang, karena ingin membereskan lawan secepatnya.
"Iblis keparat! Lihat serangan!" bentak Pangeran dari Kegelapan nyaring.
Nyai Ratmi Sukaesih melompat gesit. Pedangnya berputar menyambar Pangeran dari Kegelapan dengan gerakan kilat.
Trang! Wut! Pedang di tangan wanita itu berkelebat, membuat beberapa kali gerakan kilat dalam satu serangan. Sehingga, membuat laki-laki itu terlihat kerepotan untuk sesaat. Namun, tidak berarti kalau Pangeran dari Kegelapan menjadi terdesak. Beberapa kali tongkatnya berhasil menangkis. Dan di lain saat, dia menghindar dari babatan senjata wanita itu.
"Hm, tidak buruk! Tidak buruk...!" puji Pangeran dari Kegelapan sambil terus menghindar dari setiap serangan.
Namun pujian itu dianggap suatu penghinaan bagi Nyai Ratmi Sukaesih. Karena sampai saat ini, jurus-jurus terhebatnya, sudah dikerahkan. Namun laki-laki itu belum juga kelihatan terdesak.
"Keparat! Hari ini aku akan mengadu jiwapadamu. Kau atau aku yang mesti terkapar di sini!" geram wanita tua itu seraya melipatgandakan tenaga dalamnya.
"Yaaat"!"
Bet! Wut! "Uts! Belum kena!" ejek Pangeran dari Kegelapan seraya menghindari dari tebasan pedang Ratu Maut Pedang Sakti.
Bukan main geramnya Nyai Ratmi Sukaesih mendengamya. Namun dia tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab meski telah mengerahkan kemampuan tertingginya, laki-laki itu belum juga mampu didesaknya. Bahkan setelah lewat empat jurus, Pangeran dari Kegelapan mulai balas menyerang dengan sengit.
Trang! Tring! "Uhhh...!"
Wanita tua itu mengeluh tertahan, saat terjadi benturan senjata. Dan lama-kelamaan, tangannya terasa bergetar sampai ke jantung. Hal itu menandakan kalau tenaga dalam Pangeran dari Kegelapan kuat luar biasa. Padahal pedang di tangan wanita itu bukanlah senjata biasa. Namun, yang terasa adalah sebaliknya. Tongkat milik Pangeran dari Kegelapan yang runcing dan permukaannya tidak rata, sepertinya senjata remeh. Namun dalam genggaman pemakainya, bisa menjadi senjata ampuh yang tak tertandingi.
Trang! Sekali lagi senjata mereka beradu, maka setiap kali pula Pangeran dari Kegelapan berusaha men-curi kesempatan. Sehingga bila Nyai Ratmi Sukaesih tidak cepat menghindar, maka ujung tongkat laki-laki itu akan menyambar leher atau dadanya. Namun kali ini, terasa benturan itu amat berat. Maka dengan sejadi-jadinya, dia berusaha menghindar saat ujung tongkat Pangeran dari Kegelapan menyambar ke pinggang.
"Uhhh...."
Nyai Ratmi Sukaesih melompat ke samping, lalu melenting ke belakang. Namun, Pangeran dari Kegelapan mengimbangi dengan tubuh berputar ke belakang disertai kibasan tongkatnya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Bret! "Akh...!"
Ratu Maut Pedang Sakti mengeluh tertahan begitu pinggangnya robek mengucurkan darah segar, tersabet tongkat Pangeran dari Kegelapan. Beberapa muridnya berseru kaget. Namun, Nyai Ratmi Sukaesih berusaha menghilangkan kekhawatiran murid-muridnya. Begitu menjejakkan kakinya di tanah, dia langsung menghantam laki-laki itu dengan pukulan jarak jauh.
"Heaaa...!"
Slap! Selarik cahaya merah seketika menyambar deras ke arah Pangeran dari Kegelapan. Namun, wanita itu jadi kecewa. Ternyata laki-laki itu lenyap entah ke mana. Dan tahu tahu terasa angin sambaran dari sebelah kanan. Seketika Nyai Ratmi Sukaesih berbalik, seraya mengayunkan pedang.
Wuk! Pedang Nyai Ratmi Sukaesih hanya menyambar tempat kosong. Sementara, sambaran angin tadi telah cepat berpindah ke belakang.
Bret! "Aaakh...!"
Wanita itu memekik, begitu ujung runcing tongkat Pangeran dari Kegelapan tepat menyambar leher. Dan dari tengkuknya tampak memancur darah segar. Tubuhnya ambruk dengan leher nyaris copot. Nyawanya melayang sejurus kemudian.
"Guru...!" pekik murid-murid Padepokan Mawar Merah, kaget.
Mereka berhamburan menghampiri gurunya. Namun sebagian lainnya langsung mengurung Pangeran dari Kegelapan.
"Iblis keparat! Dosamu kelewat banyak. Kau harus mampus untuk menebusnya!" dengus salah seorang murid.
"Huh!"
Pangeran dari Kegelapan hanya mendengus sinis. Dan ini membuat salah seorang dari mereka tidak peduli. Dia langsung memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk menyerang.
"Heaaat...!"
"Mampuslah kau, Durjana Keparat!"
Disertai bentakan nyaring serta sumpah sera-pah, murid-murid Padepokan Mawar Merah me-nyerang bersamaan.
Namun baru saja mereka melompat maju, maka tongkat Pangeran dari Kegelapan telah menyambar cepat.
Trang...! Beberapa bilah pedang terpental. Dan bersamaan dengan itu, tongkat Pangeran dari Kegelapan terus berkelebat.
Bret! "Aaa...!"
Terdengar pekikan menyayat yang disusul am-bruknya beberapa sosok tubuh dengan luka me-manjang di dada.
"Heh"!"
"Kurang ajar!"
Murid-murid yang lainnya terkesiap melihat kejadian itu. Dan mereka segera bangkit serta ikut menyerang. Sehingga dalam waktu singkat, Pangeran dan Kegelapan telah terkurung rapat. Laki-laki itu mendengus sinis. Sama sekali tubuhnya tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Tapi begitu para murid itu melompat menyerang, Pangeran dari Kegelapan langsung berputar disertai ayunan tongkat.
"Yeaaa...!"
Cras! "Aaa...!"
Kembali terdengar pekik kematian. Beberapa orang gadis kembali ambruk, tewas bermandikan darah. Tidak seperti tadi. Kali ini Pangeran dari Kegelapan langsung mengamuk dahsyat. Sehingga tidak ada seorang murid Padepokan Mawar Merah pun yang mampu menahannya. Mereka bagaikan daun-daun kering yang beterbangan tertiup angin. Dan laki-laki itu sama sekali tidak mau memberi ampun, sampai tidak ada seorang pun yang mampu bangkit berdiri lagi.
? *** ? Seorang pemuda tampan berpakaian rompi putih terkejut saat menyaksikan mayat-mayat wanita bergeletakan di tempat ini dalam keadaan menyedihkan. Dia turun dari punggung kudanya yang berbulu hitam pekat. Diperiksanya mereka satu persatu.
"Astaga! Apa yang telah terjadi" Sungguh bia-dab orang yang telah melakukan pembantaian ini!" dengus pemuda itu dengan pedang bergagang kepala burung rajawali itu.
Kebanyakan dari wanita wanita yang berge-letakan telah tidak bernyawa. Namun sampai pada sesosok tubuh, pemuda itu tertegun. Segera kepalanya berpaling ke arah lain.
Ternyata ada sesosok yang mengeluh pelan. Sosok gadis itu mengerang halus. Namun bukan itu yang menyebabkan pemuda itu berpaling Melainkan, karena gadis itu sama sekali tidak mengenakan pakaian.
"Nisanak! Aku tidak bermaksud jahat. Cobalah kau berpakaian dulu, baru kemudian kita bicara ..." ujar pemuda tampan itu.
Tidak ada sahutan. Pemuda itu curiga. Kembali kata-katanya diulang. Dan untuk yang kedua kalinya, tetap saja tidak ada sahutan. Sementara pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti ini menggerutu kesal sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Huuu, entahlah. Mungkin kau bisu. Atau juga sinting. Kalau tidak, mana mungkin kau sudi bertelanjang begitu di antara tumpukan mayat?" gumam Rangga, seraya beranjak dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Kisanak...," panggil gadis itu lirih.
"He, ternyata kau tidak bisu! Tapi, aku malu berbalik. Pakailah bajumu, agar aku bisa bicara denganmu," sahut Rangga.
"Aku..., aku tidak bisa ..."
"Kenapa?"
"Aku.... aku tertotok..."
"Oh...!"
Rangga terkejut. Segera kekeliruannya disadari. Pikirannya langsung melayang, dan menduga kalau sesuatu yang buruk telah menimpa gadis itu. Maka sambil melangkah mundur, didekatinya gadis itu.
"Maaf, aku akan membebaskan totokanmu...," ucap Rangga sambil mengibaskan tangannya ke belakang. Dan...
Tuk! Begitu totokannya terlepas, gadis itu cepat bangkit dan mencari pakaian yang pas untuk me-nutupi bagian tubuhnya. Sementara Rangga masih tetap dalam sikap membelakangi. Namun pendengarannya yang tajam menangkap denting sebilah pedang. Dan dengan cepat tubuhnya berbalik karena menduga kalau gadis itu akan menyerangnya.
"Nisanak, kau...! Hiiih!"
Tak Wut! Apa yang diduga Pendekar Rajawali Sakti ternyata salah. Gadis itu memang memungut pedang, tapi bukan untuk menyerangnya. Melainkan, untuk bunuh diri. Rangga tidak bisa membiarkan begitu saja. Dengan cepat tubuhnya bergerak, langsung menendang batang pedang yang siap menghujam jantung gadis itu.
"Kenapa"! Kenapa kau cegah" Biarkan akumati! Biarkan aku mati daripada menanggung hina ini...!" jerit gadis itu seraya menangis tersedu-sedu sambil menelungkupkan wajahnya ke tanah.
Rangga berdiri persis di dekatnya. Diperha-tikannya gadis itu sesaat.
"Nisanak" Aku tidak tahu, apa yang telah me-nimpamu. Namun aku bisa merasakan kesedihanmu yang dalam. Tapi, kematian bukanlah jalan pintas untuk keluar dari kesulitan...," hibur Pendekar Rajawali Sakti, halus.
Gadis itu masih membisu. Isak tangisnya belum reda. Rangga beranjak. Segera dikumpulkannya semua senjata yang berada di tempat ini. Lalu Pendekar Rajawali Sakti mulai menggali sebuah lobang yang cukup besar.
Menjelang senja, lobang itu telah tergali cukup dalam. Pendekar Rajawali Sakti mulai mengubur-kan mayat-mayat ke dalam lobang. Lalu ditancap-kannya semua pedang di atas pusara yang masih baru itu.
Sementara. gadis itu tertegun. Namun isak tangisnya masih terdengar meski halus. Wajahnya kemudian terangkat. Lalu perlahan-lahan dia bangkit mendekati pusara yang baru saja dibuat pemuda itu. Tak lama, dia duduk bersimpuh di sebelah Rangga. Bola matanya berkaca-kaca. Beberapa tetes airmata kembali jatuh, membasahi pusara yang masih baru ini.
"Guru...! Saudara-saudaraku..! Maafkan aku. Kalian tewas dengan sia-sia. Maafkan... Aku murid yang tidak berguna. Dan tidak sepatutnya hidup. Namun, percayalah. Dengan kehinaan yang kutanggung, akan kubalas perbuatan iblis biadab itu! Akan kutuntut nyawanya di tanganku!" desah gadis itu.
Rangga masih diam. Dia hanya mendengarkan dengan seksama apa yang diucapkan gadis itu.
Gadis murid Padepokan Mawar Merah ini berdiri. Lalu dipandangnya Pendekar Rajawali Sakti sejurus lamanya.
"Kisanak. Terima kasih atas semua pertolongan yang kau berikan. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus pergi secepatnya...," ucap gadis itu.
"Hm" Tidak usah berkata begitu. Sudah selayaknya kita hidup saling tolong-menolong. Kalau boleh kutahu. apa yang telah terjadi?" tanya Rangga.
Gadis itu terdiam dan menunduk sesaat. Lalu wajahnya diangkat dan dipalingkan pada pusara itu.
"Ini rahasia keluarga kami. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Maaf, aku harus berangkat...," sahut gadis ini singkat.
Setelah itu, murid Padepokan Mawar Merah ini menuju pada salah seekor kuda. Lalu dia melompat ke punggungnya. Masih sempat kepalanya menoleh ke arah Rangga, sebelum memacu kencang kudanya.
Rangga termangu memandangi gadis itu. Ada duka teramat dalam di wajah cantik itu, hingga menyuramkan sedikit kecantikannya. Pemuda itu menghela napas panjang, lalu beranjak. Dan dia segera melompat ke punggung Dewa Bayu. Seje-nak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, seperti ada yang terlupa.
"Heh"! Aku tidak tahu, siapa namanya. Dan, dari padepokan mana dia berasal...?" gumam Pen-dekar Rajawali Sakti pelan.
Namun sesaat kembali Pendekar Rajawali Sakti menghela napas disertai gelengan lemah. Kemudian kudanya digebah untuk segera berlalu dari tempat ini.
? *** ? 4 ? Entah kenapa, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti ternyata searah dengan gadis itu. Pa-dahal, Rangga tidak merencanakannya. Dia hanya merasakan kedukaan gadis itu telah mengusik hatinya. Juga, kejadian yang tadi sempat terlihat. Suatu hal yang mengerikan. Dan gadis tadi menyebutnya sebagai urusan keluarga. Dan entah kenapa, rasanya Rangga tidak bisa percaya begitu saja!
Sengaja Pendekar Rajawali Sakti mengatur langkah Dewa Bayu sedemikian rupa agar tidak sampai menyusul gadis tadi. Namun mendadak pendengarannya yang terlatih menangkap suara suara ribut tidak jauh di depannya.
Rangga segera menghentikan laju kudanya ketika melihat gadis yang dikuntitnya tengah dihadang empat orang laki-laki. Dengan gerakan indah, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari kudanya. Dia cepat mengendap-endap, mendekati. Kemudian dengan gerakan ringan, tubuhnya mencelat ke atas pohon, dan terus melompat ke dahan pohon lain tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak pada sebuah cabang pohon. Diperhatikannya keadaan di bawahnya.
"Huh! Jangan coba-coba menggangguku! Lebih baik kalian enyah sebelum aku bertindak!" bentak gadis itu galak seraya menghunuskan pedang.
"Ha ha ha...! Gadis galak! Kau kira kami takut ancamanmu itu" Hm... Semakin galak sikapmu, semakin berhasrat aku untuk memeluk tubuhmu erat-erat!" sahut salah seorang penghadang disertai seringai lebar.
Laki-laki yang barusan berkata-kata berkepala botak, namun memiliki kumis dan cambang bauk tebal. Sepasang kelopak matanya bulat dengan biji matanya besar. Begitu pula hidungnya. Ketika tertawa, gigi-giginya yang hitam kotor dan tanggal beberapa buah. Tubuhnya gemuk. Dia memakai kalung yang terbuat dari untaian tulang. Di pinggangnya, terselip sebilah gdok panjang.
"Sudah... serahkan saja pada kami untuk membereskan, Ki Kebo!" ujar salah seorang kawannya
"Jangan, Mahesa Burik! Dia terlalu galak. Aku khawatir, kalian tidak bisa menahan diri. Biar aku saja yang meringkusnya!" sahut laki-laki botak yang dipanggil Kebo Sawangan.
"Phuih! Lebih baik kalian maju semua, agar lebih mudah bagiku memberi pelajaran!" dengus gadis itu disertai semburan ludah.
"He he he...! Dia tak tahu, tengah berhadapan dengan siapa! Sehingga berani buka bacot se-enaknya. Hei! Kau tengah berhadapan dengan Kebo Sawangan, tahu"! Banyak orang yang lebih memilih menyingkir, daripada harus berurusan denganku. Karena, mereka tahu. Aku lebih suka menghirup darah manusia, ketimbang arak!" dengus Kebo Sawangan menggeram disertai ancam-an.
"Kebo Sawangan atau Kebo Gundul, apa be-danya" Di mataku, kau hanya badut murahan!" ejek gadis itu.
"Kurang ajar! Huh! Agaknya orang sepertimu mesti dikasih adat! Kau rasakan hajaranku! Hiiih!" geram Kebo Sawangan, langsung melompat menerjang.
Wut! Namun gadis itu tidak kalah gesit. Pedangnya. langsung menyambut. Cepat bagai kilat Kebo Sa-wangan membatalkan serangan dan langsung melompat ke samping. Dan kembali tubuhnya mencelat lewat bagian belakang lawannya untuk melakukan hajaran kilat. Namun gadis itu cepat memutar tubuhnya dan terus mengayunkan pedang.
Bet! "Uts! Weeeh! Ternyata kau memang galak, Cah Ayu! He he he...! Tapi jangan bangga dulu. Lihat seranganku!" bentak Kebo Sawangan, langsung mencabut goloknya.
Srang! "Huh!"
Kebo Sawangan mendengus sinis, kemudian membuka jurus baru. Disertai geraman buas, tubuhnya melompat menerjang.
Namun gadis itu bergerak gesit ke samping. Kemudian, tubuhnya melenting ke atas, langsung menangkis senjata Kebo Sawangan yang coba menyambar perut.
Trang! "Uhhh...!"
Si gadis mengeluh tertahan, saat terjadi benturan senjata. Dia merasakan tenaga dalam laki-laki itu menindihnya dengan kuat. Dan saat senjata mereka kembali beradu, wajahnya, berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Yeaaa. .!"
Baru saja gadis itu mendarat di tanah, Kebo Sawangan mengejar. Laki-laki itu mulai melihat kalau keadaan lawan melemah. Golok di tangannya cepat menyambar ke arah leher.
Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, gadis itu terpaksa kembali memapak serangan golok Kebo Sawangan.
Trak! "Uhhh..."
Pedang di tangan gadis itu terpental oleh sambaran senjata Kebo Sawangan. Dan belum lagi ke seimbangannya sempat diperbaiki, laki-laki botak itu telah melepaskan satu tendangan geledek ke perut. Dan...
Des! "Aaakh!"
Si gadis mengeluh tertahan, begitu perutnya telak terhantam tendangan Kebo Sawangan. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi sempat menguasai diri, laki-laki botak itu telah melompat sambil mengayunkan tendangan ke dada.
Duk! "Akh!"
Kembali gadis itu menjerit kesakitan. Kali ini tubuhnya terjungkal keras. Dan sebelum sempat bangun, golok di tangan Kebo Sawangan telah menempel di tenggorokannya.
"He he he...! Apa kataku! Kau tidak akan mampu berkutik melawanku! Kini, apalagi yang bisa kau lakukan" He he he...!" ejek Kebo Sawangan, merasa menang.
"Phuih! Babi busuk! Kau kira aku takut de-nganmu" Ayo bunuh! Bunuh saja! Aku tidak takut mati!" sentak gadis itu galak.
"Ha ha ha...! Terlalu enak bagimu untuk mati. Kau akan merasakan sesuatu yang nikmat. Dan mungkin, belum pernah kau rasakan. Ha ha ha...! Aku akan mencicipi tubuhmu yang montok itu, Cah Ayu!" kata Kebo Sawangan sambil menyeringai lebar, mirip serigala kelaparan.
Gadis itu memaki-maki. Namun Kebo Sawangan cepat menekan mata goloknya. Sehingga leher gadis itu mulai mengeluarkan darah. Dan laki-laki botak itu cepat memerintahkan ketiga kawannya untuk mengikat kedua tangan dan kaki gadis ini.
Namun sebelum hal itu dilakukan, tahu-tahu telah berdiri tegak satu sosok di belakang mereka.
"Iblis jahanam, lepaskan gadis itu!"
"Heh"!"
? *** ? Kebo Sawangan berpaling. Demikian pula ketiga kawannya. Dan mereka melihat seorang pemuda tampan berambut panjang berdiri pada jarak kurang lebih sembilan langkah dari mereka. Bajunya rompi putih dengan sebilah pedang tersandang di punggung.
"Bocah edan! Hei, Kunyuk! Enyah dari sini, sebelum kupatahkan lehermu!" bentak Kebo Sa-wangan dengan mata mendelik garang.
"Biar kubereskan kunyuk ini, Ki!" dengus dua orang teman Kebo Sawangan, langsung melompat mencabut golok.
"Uruslah! Dan kalau perlu, pancung kepalanya biar penasaran di akherat Sana!" sahut Kebo Sawangan, tidak peduli.
Kebo Sawangan berbalik. Dia bermaksud me-neruskan niatnya. Tapi saat itu juga, terdengar pekikan kedua anak buahnya yang kesakitan.
"Heh"! Kurang ajar...!"
Kebo Sawangan terkejut, dan kembali berbalik. Tampak kedua kawannya terjungkal dengan wajah meringis menahan rasa sakit di dada. Mereka berusaha bangkit dengan tertatih-tatih.
"Lepaskan gadis itu. Dan, pergilah dari sini!" ujar pemuda yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan alas! Hei, Kunyuk Pentil! Kau kira siapa dirimu"! Baru kenal sejurus dua jurus ilmu silat, mau berlagak di depan hidungku"! Monyet buduk!" maki Kebo Sawangan garang. Kembali dia memberi perintah pada seorang kawannya lagi, untuk membereskan Pendekar Rajawali Sakti.
"Beres, Ki! Biar kucongkel biji matanya. Mau usil saja dengan urusan orang tua!" sahut laki-laki bernama Mahesa Burik. Langsung dia melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Lebih baik urungkan niat busuk kalian. Dan, pergilah dengan tenang." ujar Rangga memperingatkan.
"Kadal buduk! Wueh! Kau boleh mampus oleh golokku ini! Simpan saja khotbahmu untuk kawan-kawanmu di akherat Sana!" sahut Mahesa Burik, geram.
"Mahesa Burik langsung mencabut golok, dan menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa!"
"Uts!"
Rangga mendengus sinis. Tubuhnya lantas berkelit gesit sambil membungkuk. Sehingga, golok Mahesa Burik menyambar tempat kosong. Dan pada saat laki-laki itu meneruskan serangan dengan memapas kakinya, Rangga melompat ke atas. Seketika itu pula diayunkannya satu tendangan ke punggung. Mahesa Burik cepat bergerak ke samping. Tapi Rangga sudah memutar tubuhnya dan terus mengayunkan kaki dari bawah menghantam ke perut.
Duk!
Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hugkh!"
Ujung kaki Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam ke perut, hingga Mahesa Burik me-ngeluh tertahan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Dia berusaha menyerang Pendekar Rajawali Sakti, namun gerakannya yang lambat membuat Kebo Sawangan jadi kesal sendiri.
"Minggir, Mahesa! Dasar tolol! Menghadapi kunyuk satu ini saja kalian tidak becus. Lihat, bagai mana aku akan meringkusnya!" bentak Kebo Sawangan garang, langsung melompat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak! Masih ada kesempatan bagimu untuk pergi. Di antara kita tidak ada urusan. Aku hanya minta, kalian tidak mengganggu gadis itu...," ujar Rangga, nadanya datar serta berusaha tersenyum.
"Kurang ajar! Kunyuk pentil, tutup mulutmu! Aku tidak butuh nasihatmu!" sahut Kebo Sawa-ngan, makin panas saja.
Setelah berkata begitu, Kebo Sawangan melompat. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti setelah mencabut goloknya.
"Yeaaa!"
Bet! Wut! Senjata di tangan Kebo Sawangan menyambar cepat menimbulkan desir angin kencang. Dia berusaha menghabisi pemuda itu dengan cepat untuk menunjukkan pada kawan-kawannya kalau dirinya mampu membuktikan kata-katanya.
Dan Rangga bukannya tidak merasakan. Di-banding ketiga kawannya, Kebo Sawangan, me-mang memiliki kepandaian lebih tinggi. Namun begitu, bukan berarti mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti.
Meski telah mengeluarkan seluruh kemampu-an, namun Rangga sama sekali tidak mampu di-sentuh. Ini membuat Kebo Sawangan penasaran dan sekaligus geram
"Heaaa...!"
Kebo Sawangan mengamuk sejadi-jadinya. Se-hingga dengan begitu, dia berharap pemuda itu akan bingung.
Rangga hanya tersenyum. Kakinya diayunkan, dan cepat menariknya kembali saat Kebo Sawangan memapak dengan tebasan golok. Pemuda itu bergerak ke samping kanan. Cepat bagai kilat Kebo Sawangan mengibaskan goloknya. Namun senjatanya mengenai tempat kosong, ketika tahu-tahu pemuda itu berkelebat sangat cepat, seperti lenyap dan pandangan. Dan"
Duk! Satu hantaman keras mendera pundak Kebo Sawangan. Laki-laki botak itu mengeluh tertahan. Dan berbalik cepat. Tapi saat itu juga...
Begkh! "Wuakh...!"
Kebo Sawangan menjerit keras, saat tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan sudut bibirnya menetes darah segar. Dengan tangan kiri mendekap dada, dia berusaha bangkit. Tatapan matanya menyiratkan keheranan bercampur kegeraman.
"Bocah! Tidak sembarang orang bisa menga-lahkanku. Kau pasti bukan tokoh sembarangan. Siapa kau sebenarnya"!" tanya Kebo Sawangan, agak tercekat di tenggorokan.
"Orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti" Oh, benarkah"!" se-ru Kebo Sawangan kaget.
Kedua kawan Kebo Sawangan pun sama-sama terkejut. Mereka memandang pemuda itu dengan wajah setengah percaya.
"Hm, maafkan. Ternyata kami tengah berha-dapan dengan seorang pendekar besar. Aku tidak perlu merasa malu dijatuhkan olehmu!" seru Kebo Sawangan, langsung memberi hormat.
"Tidak usah terlalu menghormat begitu rupa, Kisanak. Aku malah bersyukur kalau kalian tidak lagi keras kepala mencari permusuhan. Nah, Kisanak. Biarkanlah gadis itu bersamaku. Sebab, kami telah saling mengenal...," sahut Rangga.
? *** ? Kebo Sawangan dan ketiga kawannya tidak banyak bicara lagi. Mereka segera berlalu mening-galkan Rangga dan gadis itu.
'Terima kasih...," sahut gadis itu setelah Pendekar Rajawali Sakti membantu mengangkatnya berdiri.
"Sebenarnya hendak ke mana tujuanmu, Nisa-nak?""
Gadis itu terdiam, tapi kakinya melangkah pelan. Hanya beberapa langkah, lantas berhenti.
Kini terlihat dia termenung. Malam telah merambat semakin gelap. Hewan malam pun mulai berkeliaran di tempat itu.
"Hari telah malam. Sebaiknya kau tunda lebih dulu kepergianmu sampai esok hari?" ujar Rangga memberi saran.
Gadis itu tidak menjawab, melainkan melangkah ke bawah sebuah pohon. Dan dia duduk de-ngan wajah lesu. Rangga beranjak lantas mengumpulkan kayu kering yang banyak berserakan di tempat itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Dan tak lama muncul seekor kuda berbulu hitam, bernama Dewa Bayu.
Api mulai memercik kecil. Pendekar Rajawali Sake segera menambahkan dedaunan kering, se-hingga nyala api semakin besar. Baru kemudian diletakkannya ranting-ranting yang cukup besar, untuk mempertahankan nyala api. Cahayanya menjilat mereka berdua, dan juga kuda berbulu hitam yang sesekali mendengus kasar.
"Namaku Rangga...," ujar pemuda itu, meme-cah kesunyian.
Gadis itu meliriknya. Lalu, kembali diperhati-kannya nyala api di depannya.
Rangga menarik napas panjang
'Maaf, kalau memang kau anggap aku usil. Namun aku sama sekali tidak bermaksud buruk. Baiklah. Kalau kau memang tidak suka dengan kehadiranku di sini, aku akan pergi...," lanjut Rangga seraya bangkit berdiri. Dan dia bermaksud melompat ke punggung kudanya.
"Kisanak...," ujar gadis itu lirih.
"Hm...."
Rangga berbalik.
"Aku tidak bermaksud begitu. Dan, tidak juga berprasangka buruk terhadapmu. Tapi, aku telah berhutang banyak padamu. Dan aku tak tahu, bagaimana harus membalasnya?"
"Pertolongan yang kuberikan hanya sebatas kewajaran sebagai sesama manusia yang harus saling tolong-menolong. Dan sama sekali aku tidak bermaksud mengharap pamrih darimu..," desah Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis itu kembali terdiam. Dipandangnya pemuda itu sejurus lamanya. Lalu wajahnya berpaling disertai desahan pelan.
"Aku..., aku hanya merasa tidak pantas mene-rima kebaikanmu. Kita tidak saling mengenal. Dan semestinya, kau tidak mempedulikan aku...."
"Nisanak..."
"Panggil saja aku, Nirmala!" potong gadis itu memberitahukan namanya.
"Namamu bagus!" puji Rangga disertai senyum kecil.
"Terima kasih. Tapi menyandang nama bagus, tidak berarti nasibku bagus pula... "
"Kau tidak perlu berkecil hati, Nirmala...."
"Aku bukan berkecil hati. Namun, merasa kalau hidupku tidak berarti sama sekali!"
"Setiap orang punya masalah yang berbeda. Hanya mereka yang berjiwa besar saja yang mam-pu mengatasi segala masalahnya...."
"Apakah kau kira begitu" Aku wanita. Dan, kau laki-laki. Apakah kau kira setiap persoalan yang dialami sama?"
"Maksudmu?"
"Pernahkah kau merasakan bagaimana sakit-nya bila menjadi korban pemerkosaan" Dan aku merasakannya. Tanpa daya, lalu menanggung aib!" sahut Nirmala dengan suara keras.
Rangga terdiam. Matanya melirik gadis itu se-kilas, kemudian mengalihkan perhatian pada nyala api di hadapan mereka. Lalu ditambahkannya ranting ranting kayu ke dalamnya.
Suasana hening untuk beberapa saat. Nirmala duduk dengan dagu diletakkan pada kedua lutut. Bola matanya yang mulai berkaca-kaca, terjilat cahaya api.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu... "
"Tidak apa. Aku mulai terbiasa untuk menahan perasaan?"
"Siapa yang telah melakukan hal itu padamu?"
Orang itu berjuluk Pangeran dan Kegelapan"
"Dan orang-orang yang terbunuh itu apamu?"
"Mereka adalah guru dan saudara-saudara se-perguruanku dari Padepokan Mawar Merah..."
"Oh! Jadi, kau murid Ratu Maut Pedang Sakti?" seru Rangga.
Nirmala tersenyum pahit.
"Dulu, nama itu amat kubanggakan. Tapi ki-ni..., apa yang bisa kubanggakan lagi" Semua orang akan mencemooh dan mengatakan kalau riwayat kami telah tamat!"
"Nama baik akan selalu dikenang sepanjang masa, meski si empunya nama telah tiada. Namun kita harus menyadari kalau di antara sekian banyak orang yang menyukai kita, maka ada yang membenci. Nah! Tidak usah berkecil hati menerima penghinaan dari mereka yang membenci. Itu semacam kodrat hidup manusia yang harus diha-dapi..."
Nirmala tersenyum, namun terasa pahit di hatinya mendengar kata-kata pemuda itu. Meski dalam hatinya membenarkan, namun rasanya sulit dilakukan.
"Jadi kau bermaksud membalas dendam pada orang yang menamakan dirinya Pangeran dari Kegelapan?" tanya Rangga.
"Orang itu sudah sepatutnya menerima hu-kuman!"
"Jika gurumu sendiri tewas di tangannya, bagaimana mungkin kau mampu membalaskan dendamnya?"??
"Aku akan melakukan segala cara agar iblis itu terbunuh!"
Rangga terdiam. Lalu dia menghela napas panjang.
"Apakah sebelumnya ada pertikaian antara guru atau padepokan kalian dengannya?"
"Pertikaian" Bertemu saja baru hari ini. Dan orang itu memang sengaja mencari urusan!" sahut Nirmala dengan nada sewot.
Kemudian gadis itu menceritakan secara sing-kat awal kejadian yang dialaminya. Rangga manggut-manggut. Dipandangnya pada bola mata gadis itu sejurus lamanya. Ada kejujuran di sana, yang tidak mungkin bisa disembunyikan.
"Nirmala... Aku akan membantumu menghadap iblis itu'' sahut Rangga singkat.
"Kau..."!"
Gadis itu terkesiap. Dipandangnya pemuda itu dengan wajah ragu.
Namun Rangga mengangguk dan tersenyum kecil untuk meyakinkan atas keputusannya tadi.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 154. Pangeran Dari Kegelapan Bag. 5 dan 6
January 1, 2015 at 8:02am
5 ? Rangga dan Nirmala telah memasuki Desa Branjangan, ketika hari menjelang siang. Suasana kelihatan sepi. Beberapa orang berkumpul di satu tempat dan saling bercerita. Setelah berjalan beberapa langkah, mereka melihat banyak orang berkumpul di halaman sebuah rumah. Dan di tempat lain, juga terlihat hal yang sama. Dan ini amat menarik perhatian kedua anak muda itu.
Lambang Naga Panji Naga Sakti 11 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Terbang Harum Pedang Hujan 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama