Ceritasilat Novel Online

Pasukan Alis Kuning 1

Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Bagian 1


" . 158. Pasukan Alis Kuning Bagian 1
4. August 2014 um 19:55
1 ? ? Serombongan orang berkuda tampak memasuki sebuah desa yang agak terpencil. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Dua pemuda berkuda paling depan. Di antara mereka, berkuda di tengah-tengah seorang dara cantik berusia sekitar dua puluh tahun.
Tiga orang yang berkuda paling depan ini memakai baju indah, juga berwarna kuning. Pakaian mereka pun terbuat dari sutera halus yang mahal harganya. Di antara ketiga orang itu, agaknya pemuda yang berada di tengah sebagai pemimpin gerombolan. Wajahnya tampan dengan rambut tidak begitu panjang diikat pita kuning. Kelihatan ramah ketika mengumbar senyum kepada penduduk desa yang keluar rumah memperhatikan mereka. Anehnya, sepasang alisnya tebal. Dan..., berwarna kuning!
Sementara itu di belakang mereka, terlihat orang-orang berseragam prajurit warna kuning dengan senjata berbeda. Mereka seperti prajurit suatu kerajaan. Itu terlihat dari umbul-umbul bergambar lambang kerajaan.
"Apa nama desa ini, Kakang Joko Dentam" " tanya pemuda beralis kuning dengan nada halus pada pemuda tegap di sampingnya.
"Desa Ketakus, Kanjeng Gusti Bre Redana!" jawab pemuda tegap yang dipanggil Joko Dentam.
"Desa Ketakus...?" gumam pemuda yang dipanggil Kanjeng Gusti, seraya mengangguk.
"Kakang! Kulihat desa ini amat terbelakang. Penduduknya miskin. Tubuh mereka pun kurus-kurus," ujar gadis yang ada di sebelah kiri pemuda yang ternyata Bre Redana.
"Kau benar, Ayu Larasati. Aku berniat untuk bertemu kepala desanya," sahut Bre Redana.
"Biar kutanyakan pada seorang penduduk!" ujar gadis yang dipanggil Ayu Larasati.
Gadis itu kemudian turun dari kudanya. Dihampirinya penduduk yang berdiri di pinggir jalan. Seorang kakek dengan bocah laki-laki usia sekitar tujuh tahun dalam gendongannya. Melihat Ayu Larasati mendekat, wajahnya yang semula memelas semakin memelas lagi.
"Sedekah, Den Ayu...! Berilah hamba sedekah...!" pinta orang tua itu, memelas .
Ayu Larasati tersenyum. Dan tangannya berusaha menepis halus saat tangan orang tua itu mengusik-usik pinggangnya. Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan ketidaksenangan orang-orang yang berseragam kuning. Seketika salah seorang segera menghampiri kakek itu.
"Orang tua! Jangan kurang ajar pada junjungan kami! Tidak seorang pun boleh mengganggunya seperti itu!" bentak orang berpakaian kuning seraya mengangkat tangannya.
"Jangan bersikap kasar seperB itu, Birawa...," cegah Ayu Larasati.
Kalau saja gadis itu tidak mencegah, pasti si kakek sudah terkena hajaran tangan prajurit ini.
"Tapi, Kanjeng Gusti! Dia telah berbuat kurang ajar padamu...," kilah prajurit bernama Birawa. Ayu Larasati tersenyum.
"Aku yakin, dia tidak bermaksud begitu. Sudahlah, tidak usah diambil hati. Kau boleh kembali ke tempatmu," ujar Ayu Larasati lembut.
Dengan hati mangkel, Birawa kembali ke tempatnya. Sementara Ayu Larasati mengeluarkan beberapa keping uang perak, lalu memberikannya pada orang tua itu.
"Oh, terima kasih! Terima kasih, Den Ayu...!" seru si kakek dengan wajah sukacita.
"Sudahlah.... Aku ingin tanya padamu. Tahukah kau, di mana kami harus menemui kepala desa" "
Sebelum pertanyaan Ayu Larasati terjawab, bebeapa orang desa lain telah berkerumun. Mereka menadahkan tangan, berusaha mendesak gadis itu untuk memberi sedekah pula.
Ayu Larasati tersenyum. Dan tahu-tahu tubuh-nya mencelat ke atas dengan ringan sekali, lalu kembali ke punggung kudanya.
"Hei..."!"
"Astaga...!"
Para penduduk terkejut. Mereka memandang dengan mata melotot lebar, tidak percaya dengan apa yang terlihat tadi. Semuanya mengeluarkan seruan takjub, sekaligus heran. Dan benak mereka pun mulai menduga. Siapa gerangan wanita ini"
"Tidak usah berprasangka buruk. Kami akan memberi sedekah secara adil, bila cara kalian baik dan tertib. Tidak seperti tadi, saling berebutan serta bersikut-sikutan...!" lanjut Ayu Larasati mengumbar senyum.
"Siapa kalian sebenarnya...?" tanya salah seorang penduduk.
Orang itu berusia sekitar empat puluh tahun. Perawakannya sedang, bermuka agak lebar. Dia maju ke depan memberanikan diri, sedang yang lainnya bergerombol di belakang.
"Kami orang-orang dari Kerajaan Pagar Ageung...."
"Kerajaan Pagar Ageung" Di mana itu...?"
? ? *** ? ? Laki-laki bermuka lebar yang bertanya tadi mengernyitkan dahi mendengar nama kerajaan asing di telinganya.
"Tidakkah kalian tahu" Padahal kerajaan itu semula amat terkenal di seantero negeri!" sahut Ayu Larasati dengan wajah tidak kalah heran.
"Desa ini terpencil dan jauh dari keramaian. Penduduknya pun jarang bepergian. Kami memang tidak tahu perkembangan dunia luar. Maafkan kebodohan kami, Nisanak...," sahut laki-laki itu.
"Tidak apa, Paman. Kami bisa memakluminya" balas gadis itu.
"Lalu, dalam rangka apa kalian mengunjungi desa kami ini...?"
"Itulah yang menjadi penyebabnya. Kerajaan kami diserang sebuah kerajaan besar yang dipimpin raja yang amat lalim. Pasukan mereka demikian kuat, sehingga kami tidak mampu bertahan. Kanjeng Gusti Prabu tewas beserta beberapa punggawa kerajaan. Hanya kami yang berhasil selamat...," jelas Ayu Larasati, masghul.
"Apakah pasukan mereka mengejar kalian?"
Ayu Larasati tidak langsung menjawab. Diperhatikannya raut wajah lawan bicaranya yang terlihat khawatir serta waswas. Dia kembali tersenyum.
"Mungkin juga. Tapi, kalian tidak perlu takut. Mereka tidak akan mengejar ke sini, sebab menyangka kalau kami semua telah mati," jelas Ayu Larasati menenteramkan hati lawan bicaranya.
Orang itu terdiam, kemudian memandang para penduduk yang ada di belakang. Meski demikian, tetap saja terlihat wajah mereka masih khawatir.
"Paman, bolehkah kami tahu namamu?" tanya Ayu Larasati.
"Eh! Aku..., Samin...," sahut laki-laki berwajah lebar yang mengaku bernama Samin.
"Oh, Paman Samin.... Kami ingin bertemu kepala desa. Dapatkah kau mengantarkan kami?" lanjut gadis itu.
"Kepala desa..." Ng.. Saat ini, desa ini tidak memiliki kepala desa...," jelas Ki Samin, takut-takut
"Kenapa bisa begitu?" desak Ayu Larasati.
"Kepala desa yang lama mati karena usia tua. Tapi banyak yang berpendapat, kalau dia mati dibunuh Sangkil Bawen...," jelas Ki Samin.
"Sangkil Bawen" Siapa dia?"
"Dia bersama anak buahnya serine, ke sini. Mengambil apa saja yang diperlukan. Bahkan tidak jarang membawa, serta memperkosa para wanita," jelas Ki Samin.
"Hm. Sungguh biadab orang itu!" rutuk Ayu Larasati.
"Apakah kalian tidak berusaha melawan?" Kali ini yang bicara adalah pemuda tampan bernama Bre Redana yang sudah berada di sebelah gadis cantik itu. Sementara Ki Samin menoleh.
"Tidak. Kami tidak berdaya melawan mereka...," sahut orang tua itu, menggeleng lemah.
"Setelah kepala desa wafat, apakah kalian tidak menunjuk penggantinya" Seseorang yang cakap lagi disegani, serta bisa diandalkan untuk membawa para penduduk melawan Sakil Bawen?" tanya Bre Redana lagi.
"Tidak mungkin...," desah Ki Samin dengan kepala menunduk dan menggeleng agak kencang.
"Kenapa tidak mungkin, Paman?" Desak Bre Redana dengan dahi berkerut.
"Sangkil Bawen akan membunuh siapa saja yang berani menjadi kepala desa. Sebab, dia telah menetapkan dirinya sebagai penguasa desa ini. Siapa saja melawan. Dia akan membunuh kami satu persatu!"
Pemuda berpakaian indah mendecah seraya ini menggeleng lemah.
"Hm.... Sungguh biadab perbuatannya! Orang seperti itu sudah semestinya dilawan...," dengus Bre Redana geram.
Kemudian pemuda itu menatap Ki Samin seraya menunjukkan wajah manis.
"Apa pendapatmu jika aku menangkap orang Itu. dan menghukumnya bagi kalian...?" tanya Bre Redana.
"Tidak mungkin, Anak Muda. Sangkil Bawen memiliki kepandaian hebat. Dan di samping itu, anak buahnya banyak. Meski kau dan kawan-kawanmu berani memerangi mereka, pasti akan di tumpas!"
Beberapa orang prajurit yang ada di belakang Bre Redana menggeram marah karena merasa disepelekan. Bila saja pemuda itu tidak memberi isyarat agar mereka tidak macam-macam, niscaya para prajurit itu segera melompat menghampiri Ki Samin.
"Maafkan kelakuan para prajuritku, Paman. Mereka merasa tersinggung, karena kau tidak memandang sebelah mata. Tapi aku sama sekali tidak berkecil hati bila kau menduga seperti itu. Hanya saja ingin kuketahui jawaban kalian, bila orang bernama Sangkil Bawen itu berhasil kusingkirkan?"
"Kami akan sangat berterima kasih...," sahut Ki Samin.
Yang lain menyahut dengan nada bersemangat. Pemuda itu tersenyum, dan kembali melanjutkan ucapannya setelah suara ribut-ribut berhenti.
"Hanya itu saja...?" tanya Bre Redana.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Ki Samin, mewakili para penduduk.
"Hm.... Seperti yang telah diceritakan adikku, kami adalah pelarian. Kami butuh tempat tinggal untuk membangun kekuatan. Apakah kalian menginginkan kami tinggal di desa ini sebagai imbalannya?" lanjut pemuda itu.
"Kenapa tidak" Kami bahkan senang sekali! Kalau bisa membereskan Sangkil Bawen, sudah tenru keberadaan kalian di desa ini bisa melindungi kami semua!" sahut Ki Samin cepat.
"Ya! Kami akan senang sekali menerimanya...!" timpal yang lain.
Sementara para penduduk desa ini juga memberi jawaban sama. Mereka bersemangat sampai beberapa kali mengacungkan kepalan ke atas.
"Baiklah.... Kami berterima kasih sekali atas sambutan ini. Sekarang juga tunjukkan, di mana Sangkil Bawen dan anak buahnya berada"!" tanya Bre Redana.
"Kunyuk busuk! Tidak usah kau banyak mulut dan repot-repot mencariku! Aku di sini dan siap merobek mulutmu yang sombong itu...!"
Mendadak saja, terdengar bentakan keras menggelegar, yang mengejutkan semua orang.
"Ohhh!"
? ? *** ? ? Wajah penduduk Desa Ketakus seketika pucat ketakutan. Mereka cepat berkumpul di dekat Ki Sain. Memang, setelah kepala desa mati, tumpuan mereka satu-satunya hanya Ki Samin. Apalagi orang tua itu dipandang bijaksana, serta sedikit memiliki kepandaian.
Sementara sebaliknya, Bre Redana beserta anak buahnya tenang-tenang saja. Mereka segera berpaling ke arah asal suara tadi. Tampak seseorang menghampiri di antara kerumunan penduduk tadi, lalu berhenti di hadapan Bre Redana.
Kini mereka bisa melihat seraut wajah bulat dipenuhi cambang bauk tebal dan nyaris menutupi bibirnya. Tubuhnya besar lagi gemuk. Sepasang matanya liar. Pada bagian yang berwarna putih, berubah merah bagai saga.
"Hei, Samin! Sudah kau katakan pada mereka, apa akibatnya jika berani melawanku..."!" bentak laki-laki bercambang bauk yang baru datang ini.
Mendengar suara besar dan menggelegar, Ki Samin kelihatan tidak berdaya. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan mata orang yang kelihatan garang dan ganas ini.
"Ayo, katakan cepaaat..! Atau barangkali kau bisu, he"! Biar kupotong lidahmu sekalian...!" dengus laki-laki seram itu.
Srang! Begitu teriakannya selesai, orang ini mengeluarkan sebilah pedang besi berukuran besar. Tanpa basa-basi lagi, langsung diayunkannya pedang itu ke leher Ki Samin.
Wajah orang tua itu sendiri kelihatan pucat, tidak tahu harus berbuat apa. Menghindar pun tak ada gunanya. Sebab cepat atau lambat, laki-laki bercambang bauk itu akan mampu membunuhnya. Dan sebelum pedang menemui sasaran, tiba-tiba berkelebat satu bayangan kuning, langsung memapak.
Plak! Laki-laki bercambang bauk kontan terjajar beberapa langkah, begitu tangannya seperti ada yang menyambar. Setelah mampu menjaga keseimbangan, dia berdiri tegak dengan wajah garang. Matanya melotot pada pemuda berbaju kuning yang tak lain dari Bre Redana.
"Keparat! Sudah bulat tekadmu untuk mampus, he"!" geram lelaki bercambang bauk pada pemuda berbaju kuning.
"Mampus" Hm, siapa yang sudi. Barangkali kau yang paling diharapkan mampus lebih dahulu..." sahut Bre Redana.
"Setan alas!"
Laki-laki bercambang bauk itu menggeram, lalu mengayunkan pedang besarnya.
Wuk! Untung saja Bre Redana cepat melenting ke belakang. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat di tanah.
"Hop, tunggu dulu! Aku tengah berhadapan dengan orang yang bukan kuharapkan. Kalau kau bukan Sangkil Bawen, sebaiknya menyingkir saja!" teriak Bre Redana.
"Keparat busuk! Kau tengah berhadapan dengannya!" sahut laki-laki berkumis tebal itu.
"Hm.... Jadi, kau yang bemama Sangkil Bawen" Tidak kusangka kalau aku harus menghadapi seorang banci. Padahal, kukira aku akan berhadapan dengan seorang tokoh hebat berkepandaian tinggi...," ujar pemuda itu sambil tertawa.
Tampang laki-laki berkumis tebal yang ternyata Sangkil Bawen amat garang. Sama sekali tidak terlihat kalau kebanci-bancian. Kalau Bre Redana mengatakan begitu, sudah barang tentu agar Sangkil Bawen menjadi semakin marah. Dan agaknya, pancingannya mengena. Tampang Sangkil Bawen yang penuh amarah, semakin menggeram saja. "Keparat..!"
Sangkil Bawen langsung melompat menerjang. Pedangnya berkelebat menyambar. Sementara Bre Redana bergerak amat lincah dengan meliukkan tubuhnya untuk menghindar. Dan sedikit pun senjata Sangkil Bawen tidak mampu menyentuhnya. Sehingga, membuat laki-laki seram itu berang bukan main.
"Cukup! Sekarang giliranku yang menyerang...!" bentak Bre Redana.
Sangkil Bawen terkesiap. Mendadak, pemuda itu berkelebat cepat saking cepatnya, dia seperti hilang dari pandangannya. Dan tahu-tahu....
Duk! "Akh...!"
Satu hantaman keras menghajar dada Sangkil Bawen. Tubuhnya kontan terlempar ke belakang sambil menjerit kesakitan.
Dengan wajah gusar, Sangkil Bawen cepat bangkit. Lalu dia bersuit nyaring. Seketika itu juga berlompatan lebih dari empat puluh orang berkuda dari balik pepohonan di sekitarnya. Mereka bergerak cepat, membuat penduduk desa ini semakin ketakutan saja. Seperti malaikat maut yang telah biasa menakut-nakuti mereka. Bahkan tidak segan-segan mencabut nyawa.
"Bereskan kawanan rakus itu! Sapu bersih dan jangan ada yang tersisa!" teriak Bre Redana.
"Heaaa...!"
Sring! Seketika pasukan berseragam kuning serentak menjura hormat. Lalu disertai bentakan keras serempak mencabut senjata masing-masing, mereka membuat serangan. Jumlah para prajurit kelihatan tidak seimbang.
Anak buah Sangkil Bawen yang datang kelihatan garang dengan teriakan gegap gempita sambil mengacung-acungkan senjata. Sebaliknya pasukan berseragam kuning itu hanya berteriak sesekali. Lalu....
"Yeaaa...!"
Trang! Bret! Bras!
"Aaa...!"
Pertempuran sengit tidak dapat dielakkan lagi. Suara beradunya senjata serta jerit kematian mulai mewarnai. Sementara teriakan pembangkit semangat bertarung terus mengiringi.
Sangkil Bawen terkesiap. Aliran darahnya seperti tersirap menyaksikan pertempuran. Ternyata orang-orang berseragam kuning mampu membantai anak buahnya dengan mudah. Setiap senjata mereka melayang, maka satu atau dua jiwa ikut melayang. Anak buahnya tidak mampu menahan amukan para prajurit yang semakin ganas saja.
Pertarungan berjalan singkat. Dalam beberapa saat saja, jumlah anak buah Sangkil Bawen berkurang banyak. Dan yang ada saat ini hanya tinggal setengahnya saja. Sehingga keadaan sekarang menjadi terbalik. Pertarungan mereka pun dengan semangat yang sudah patah.
"Hentikan! Hentikan mereka...!" teriak Sangkil Bawen tiba-tiba.
"Mereka tidak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai...," sahut Bre Redana tenang.
"Apa maumu"!"
"Kalian harus mati. Atau tunduk pada perintahku!" desis pemuda itu.
Wajah Sangkil Bawen menggeram mendengar kata-kata Bre Redana. Namun telinganya perih mendengar teriakan-teriakan anak buahnya yang amat menderita.
"Baiklah, aku menyerah...," desah Sangkil Bawen lemah.
Begitu selesai ucapannya, maka saat itu juga Bre Redana bersuit nyaring. Pasukannya langsung menghentikan pertarungan, lalu menggiring lawannya.
? ? *** ? Selanjutnya Bagian 2
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 158. Pasukan Alis Kuning Bagian 2
4. August 2014 um 19:59
2 ? ? Bre Redana dan rombongannya menempati sebuah rumah yang cukup besar, hadiah dari para penduduk. Rumah itu sendiri meskipun besar, namun secara keseluruhan terlihat rapuh. Tiang-tiangnya sudah keropos. Sebagian besar gentengnya pecah dan tidak bisa terpakai lagi. Namun dengan sukarela, para penduduk desa membantu untuk memperbaikinya. Dan Bre Redana agaknya cukup murah hati untuk memberikan imbalan seperti yang telah dijanjikan.
"Ki Samin, kami sangat berterima kasih atas kemurahan hati kalian...," ucap Bre Redana menyalami Ki Samin, setelah rumah itu selesai diperbaiki.
"Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula!" kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami"!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang-orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan" Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
? ? *** ? ? Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...?" tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak biasanyanya Sangkil Bawen membangunkannya. Namun ketika melirik kawan-kawannya yang lain, kecurigaannya seperti menemukan jawaban. Meskipun, masih samar.
"Kau membangunkan yang lain, apa mau kabur dari sini?" lanjut Sangkot berbisik.
"Kabur" Huh! Aku tidak akan kabur dari tempat ini!" dengus Sangkil Bawen geram.
"Lalu...?" tanya Sangkot, makin heran.
"Apakah kau tidak tahu kalau kita sekarang menjadi budak mereka?" dengus Sangkil Bawen, tetap berbisik.
"Bukankah itu kemauanmu?"
"Tolol! Kulakukan itu untuk menyelamatkan kalian...!"
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Kita harus membunuh orang orang itu sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, seraya mengepalkan buku-buku jarinya.
"Membunuh mereka" Apakah sudah kau perhitungkan baik-buruknya?"
"Apa maksudmu"!"
"Coba dengarkan baik-baik! Mereka memiliki anak buah yang hebat dan tangkas. Majikannya tentu lebih hebat pula. Kita akan celaka bila mereka tahu! Lagi pula, toh tidak ada ruginya kita bekerja dengan mereka. Kita diberi gaji, dan mereka menjamin hidup kita."
"Dasar tolol! Kau kira enak hidup di bawah perintah orang lain"!"
"Sangkil! Kami terbiasa hidup di bawah perintahmu. Lalu, kini berpindah di bawah perintah mereka. Lantas apa bedanya?" kata Sangkot.
Mendengar jawaban itu, Sangkil Bawen menggeram.
"Sudahlah! Sekarang kau putuskan saja. Ikut denganku untuk membunuh keparat-keparat itu, atau hubungan di antara kita putus!"
Sangkot menghela napas panjang. Terasa berat apa yang dirasakan saat ini. Dipandangnya sahabatnya itu lekat-Iekat.
"Sobat! Persahabatan kita telah demikian erat. Dan rasanya, seperti saudara saja. Tapi kau membawa kami ke jurang kematian. Apakah itu masih dinamakan sahabat lagi?"
"Bicara apa kau" Siapa yang akan membawa kalian ke jurang kematian"!" desis Sangkil.
"Membunuh mereka adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan sama saja bunuh diri. Kita telah melihat kehebatan mereka. Dan, masih tegakah kau membiarkan kawan-kawanmu, sementara mereka masih ingin mengecap kenikmatan hidup?" kilah Sangkot.
"Hm.... Sekarang aku tahu keputusanmu. Baiklah. Hari ini juga hubungan kita putus! Kau boleh menentukan langkah hidupmu sendiri!" sentak Sangkil Bawen.
Sangkot mendesah pelan.
"Sobat! Kau terburu-buru mengambil keputusan. Tapi aku tahu, keputusanmu tidak bisa ditarik lagi. Hanya aku ingin, agar kau pun memberi kebebasan pada yang lain untuk menentukan pilihan hidup mereka...," pinta Sangkot.
"Huh! Kurasa mereka akan mengikutiku! Bukankah begitu"!" tanya Sangkil Bawen pada yang lain.
Sebagian mengangkat tangan tanda setuju dengan wajah bersemangat. Namun sebagian lain terdiam dengan menundukkan kepala. Sangkil Bawen mengulang pertanyaannya, namun sikap anak buahnya tetap seperti tadi.
"Aku tidak memaksakan keputusan kalian. Siapa yang ikut denganku, maka berada di pihakku. Siapa yang tidak setuju, boleh tinggal dan memilih hidup diperbudak!" tegas Sangkil Bawen.
Setelah berkata begitu, laki-laki bercambang bauk ini melangkah ke kanan. Sementara sekitar sepuluh orang sudah mengikutinya. Sedangkan sisanya sekitar delapan orang, tetap tegak berdiri di tempatnya. Mereka menunduk, dan tidak berani memandang pemimpinnya.
"Nah! Sekarang, aku tahu siapa yang setia padaku dan siapa yang tidak! Itu lebih baik ketimbang kalian kelak menjadi duri dalam daging!" dengus Sangkil Bawen kesal seraya mengajak pergi anak buahnya yang setia.
Delapan orang yang tak satu pun melirik sekilas, kemudian menghampiri Sangkot.
"Sudahlah, tidak usah menyesal. Apa pun yang kalian putuskan, adalah benar. Kalian punya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri...," kata Sangkot berusaha menentramkan hati mereka. Orang-orang itu mengangguk pelan.
? ? *** ? ? Beberapa sosok tubuh mengendap-endap mendekati kamar Bre Redana dengan golok dan pedang terhunus. Salah seorang memberi isyarat. Lalu dengan sigap, dua orang dari mereka menerobos masuk setelah menjebol jendela. Bersamaan dengan itu, pintu masuk pun dibobol. Kemudian secepat kilat, mereka menerjang ke arah tempat tidur sambil mengayunkan senjata.
Bak! Crok! Crak...!
Dalam sekejap mata, tempat tidur Bre Redana hancur berantakan. Namun mereka sangat kecewa, Tidak ada seorang pun di tempat itu. Sebaliknya mereka terkejut ketika kamar ini telah dikepung sepuluh orang bersenjata pedang.
Tanpa banyak bicara, kesepuluh orang berseragam kuning itu langsung menghajar sosok-sosok tubuh itu.
Trang! Bret..! "Aaa...!"
Seketika terdengar denting senjata beradu serta jeritan yang saling susul-menyusul, mulai mengisi suasana malam yang semula sepi dan tenang. Beberapa sosok tubuh terlempar keluar kamar dalam keadaan mengenaskan. Mereka bersimbah darah oleh bacokan yang terlihat memenuhi sekujur tubuh.
Ber! Ber...! Beberapa buah obor seketika menyala. Dan mereka yang bertarung tersentak kaget Ternyata tempat ini memang telah terkepung. Tampak Bre Redana didampingi Ayu Larasati serta Panglima Joko Dentam, mendekati kamar. Mereka pun menghampiri salah seorang yang amat dikenalinya.
"Kau ternyata tidak dapat dipercaya, Sangkil. Aku bermurah hati memberimu kesempatan hidup. Tapi, kali ini tidak! Siapa yang mengkhianatiku harus mati!" desis Bre Redana.
Sangkil Bawen terkejut Seketika darahnya menggelegak. Wajahnya berkerut menahan geram. Rencananya gagal, karena pemuda itu telah mengetahui rencananya. Bahkan kini sepuluh anak buah yang tadi dibawa, kini tinggal dua orang lagi.
Tidak ada jalan selamat baginya. Apalagi, pemuda itu telah bertekad hendak membunuhnya. Maka dengan nekat, pedangnya diayunkan untuk memenggal kepala Bre Redana.
"Keparat! Aku tidak sudi berada di bawah perintahmu! Kau harus mampus sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, langsung menerjang.
"Heaaat..!"
Bre Redana tenang-tenang saja. Namun begitu senjata Sangkil Bawen menyambar, tubuhnya membungkuk. Lalu dengan kecepatan tinggi dia meninju dengan duah buah tangan kanan disorongkan kedepan. Dan....
Crok! Des! "Aaa...!"
Sangkil Bawen kontan memekik setinggi langit, beqitu dahi tertembus dua jari Bre Redana. Tampak dua buah lubang sebesar jari di dahi mengucurkan darah segar. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang dan menghajar dinding. Kemudian dia ambruk dengan nyawa melayang dari raga.
"Bunuh mereka...!" tuding Bre Redana kepada dua orang anak buah Sangkil Bawen yang tersisa. Nada bicaranya dingin. Sikapnya tenang saat membersihkan kedua jarinya dengan baju yang dikenakan Sangkil Bawen.
"Ohhh...!"
Dua anak buah Sangkil Bawen terkesiap. Wajah mereka pucat dengan tubuh gemetar. Keduanya melempar senjata, lalu berlutut di depan Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, maafkan kami...! Kami bertobat dan berjanji akan menjadi abdimu yang setia! Ampuni kami...! Tolong ampuni kami...!" ratap keduanya, lirih.
"Aku tidak pernah mengampuni seorang pengkhianat. Meski kalian menangis darah, tidak nantinya aku kasihan. Bunuh mereka!" dengus Bre Redana tegas.
Srang! Salah seorang prajurit langsung mencabut pedang. Lalu....
"Kanjeng Gusti Prabu, ka...!"
Bret! "Aaa...!"
Teriakan mereka berhenti, berganti pekik kematian. Kedua orang itu roboh dengan leher nyaris putus tersambar pedang salah seorang prajurit Bre Redana.
"Panggil yang lain ke sini!" lanjut Bre Redana memberi perintah.


Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu?" kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti"!"
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu"..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
? ? *** ? "Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula!" kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami"!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang-orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan" Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
? ? *** ? ? Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...?" tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak biasanyanya Sangkil Bawen membangunkannya. Namun ketika melirik kawan-kawannya yang lain, kecurigaannya seperti menemukan jawaban. Meskipun, masih samar.
"Kau membangunkan yang lain, apa mau kabur dari sini?" lanjut Sangkot berbisik.
"Kabur" Huh! Aku tidak akan kabur dari tempat ini!" dengus Sangkil Bawen geram.
"Lalu...?" tanya Sangkot, makin heran.
"Apakah kau tidak tahu kalau kita sekarang menjadi budak mereka?" dengus Sangkil Bawen, tetap berbisik.
"Bukankah itu kemauanmu?"
"Tolol! Kulakukan itu untuk menyelamatkan kalian...!"
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Kita harus membunuh orang orang itu sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, seraya mengepalkan buku-buku jarinya.
"Membunuh mereka" Apakah sudah kau perhitungkan baik-buruknya?"
"Apa maksudmu"!"
"Coba dengarkan baik-baik! Mereka memiliki anak buah yang hebat dan tangkas. Majikannya tentu lebih hebat pula. Kita akan celaka bila mereka tahu! Lagi pula, toh tidak ada ruginya kita bekerja dengan mereka. Kita diberi gaji, dan mereka menjamin hidup kita."
"Dasar tolol! Kau kira enak hidup di bawah perintah orang lain"!"
"Sangkil! Kami terbiasa hidup di bawah perintahmu. Lalu, kini berpindah di bawah perintah mereka. Lantas apa bedanya?" kata Sangkot.
Mendengar jawaban itu, Sangkil Bawen menggeram.
"Sudahlah! Sekarang kau putuskan saja. Ikut denganku untuk membunuh keparat-keparat itu, atau hubungan di antara kita putus!"
Sangkot menghela napas panjang. Terasa berat apa yang dirasakan saat ini. Dipandangnya sahabatnya itu lekat-Iekat.
"Sobat! Persahabatan kita telah demikian erat. Dan rasanya, seperti saudara saja. Tapi kau membawa kami ke jurang kematian. Apakah itu masih dinamakan sahabat lagi?"
"Bicara apa kau" Siapa yang akan membawa kalian ke jurang kematian"!" desis Sangkil.
"Membunuh mereka adalah pekerjaan sia-sia. Bahkan sama saja bunuh diri. Kita telah melihat kehebatan mereka. Dan, masih tegakah kau membiarkan kawan-kawanmu, sementara mereka masih ingin mengecap kenikmatan hidup?" kilah Sangkot.
"Hm.... Sekarang aku tahu keputusanmu. Baiklah. Hari ini juga hubungan kita putus! Kau boleh menentukan langkah hidupmu sendiri!" sentak Sangkil Bawen.
Sangkot mendesah pelan.
"Sobat! Kau terburu-buru mengambil keputusan. Tapi aku tahu, keputusanmu tidak bisa ditarik lagi. Hanya aku ingin, agar kau pun memberi kebebasan pada yang lain untuk menentukan pilihan hidup mereka...," pinta Sangkot.
"Huh! Kurasa mereka akan mengikutiku! Bukankah begitu"!" tanya Sangkil Bawen pada yang lain.
Sebagian mengangkat tangan tanda setuju dengan wajah bersemangat. Namun sebagian lain terdiam dengan menundukkan kepala. Sangkil Bawen mengulang pertanyaannya, namun sikap anak buahnya tetap seperti tadi.
"Aku tidak memaksakan keputusan kalian. Siapa yang ikut denganku, maka berada di pihakku. Siapa yang tidak setuju, boleh tinggal dan memilih hidup diperbudak!" tegas Sangkil Bawen.
Setelah berkata begitu, laki-laki bercambang bauk ini melangkah ke kanan. Sementara sekitar sepuluh orang sudah mengikutinya. Sedangkan sisanya sekitar delapan orang, tetap tegak berdiri di tempatnya. Mereka menunduk, dan tidak berani memandang pemimpinnya.
"Nah! Sekarang, aku tahu siapa yang setia padaku dan siapa yang tidak! Itu lebih baik ketimbang kalian kelak menjadi duri dalam daging!" dengus Sangkil Bawen kesal seraya mengajak pergi anak buahnya yang setia.
Delapan orang yang tak satu pun melirik sekilas, kemudian menghampiri Sangkot.
"Sudahlah, tidak usah menyesal. Apa pun yang kalian putuskan, adalah benar. Kalian punya hak untuk menentukan jalan hidup sendiri...," kata Sangkot berusaha menentramkan hati mereka. Orang-orang itu mengangguk pelan.
? ? *** ? ? Beberapa sosok tubuh mengendap-endap mendekati kamar Bre Redana dengan golok dan pedang terhunus. Salah seorang memberi isyarat. Lalu dengan sigap, dua orang dari mereka menerobos masuk setelah menjebol jendela. Bersamaan dengan itu, pintu masuk pun dibobol. Kemudian secepat kilat, mereka menerjang ke arah tempat tidur sambil mengayunkan senjata.
Bak! Crok! Crak...!
Dalam sekejap mata, tempat tidur Bre Redana hancur berantakan. Namun mereka sangat kecewa, Tidak ada seorang pun di tempat itu. Sebaliknya mereka terkejut ketika kamar ini telah dikepung sepuluh orang bersenjata pedang.
Tanpa banyak bicara, kesepuluh orang berseragam kuning itu langsung menghajar sosok-sosok tubuh itu.
Trang! Bret..! "Aaa...!"
Seketika terdengar denting senjata beradu serta jeritan yang saling susul-menyusul, mulai mengisi suasana malam yang semula sepi dan tenang. Beberapa sosok tubuh terlempar keluar kamar dalam keadaan mengenaskan. Mereka bersimbah darah oleh bacokan yang terlihat memenuhi sekujur tubuh.
Ber! Ber...! Beberapa buah obor seketika menyala. Dan mereka yang bertarung tersentak kaget Ternyata tempat ini memang telah terkepung. Tampak Bre Redana didampingi Ayu Larasati serta Panglima Joko Dentam, mendekati kamar. Mereka pun menghampiri salah seorang yang amat dikenalinya.
"Kau ternyata tidak dapat dipercaya, Sangkil. Aku bermurah hati memberimu kesempatan hidup. Tapi, kali ini tidak! Siapa yang mengkhianatiku harus mati!" desis Bre Redana.
Sangkil Bawen terkejut Seketika darahnya menggelegak. Wajahnya berkerut menahan geram. Rencananya gagal, karena pemuda itu telah mengetahui rencananya. Bahkan kini sepuluh anak buah yang tadi dibawa, kini tinggal dua orang lagi.
Tidak ada jalan selamat baginya. Apalagi, pemuda itu telah bertekad hendak membunuhnya. Maka dengan nekat, pedangnya diayunkan untuk memenggal kepala Bre Redana.
"Keparat! Aku tidak sudi berada di bawah perintahmu! Kau harus mampus sekarang juga!" desis Sangkil Bawen, langsung menerjang.
"Heaaat..!"
Bre Redana tenang-tenang saja. Namun begitu senjata Sangkil Bawen menyambar, tubuhnya membungkuk. Lalu dengan kecepatan tinggi dia meninju dengan duah buah tangan kanan disorongkan kedepan. Dan....
Crok! Des! "Aaa...!"
Sangkil Bawen kontan memekik setinggi langit, beqitu dahi tertembus dua jari Bre Redana. Tampak dua buah lubang sebesar jari di dahi mengucurkan darah segar. Tubuhnya langsung terjungkal ke belakang dan menghajar dinding. Kemudian dia ambruk dengan nyawa melayang dari raga.
"Bunuh mereka...!" tuding Bre Redana kepada dua orang anak buah Sangkil Bawen yang tersisa. Nada bicaranya dingin. Sikapnya tenang saat membersihkan kedua jarinya dengan baju yang dikenakan Sangkil Bawen.
"Ohhh...!"
Dua anak buah Sangkil Bawen terkesiap. Wajah mereka pucat dengan tubuh gemetar. Keduanya melempar senjata, lalu berlutut di depan Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, maafkan kami...! Kami bertobat dan berjanji akan menjadi abdimu yang setia! Ampuni kami...! Tolong ampuni kami...!" ratap keduanya, lirih.
"Aku tidak pernah mengampuni seorang pengkhianat. Meski kalian menangis darah, tidak nantinya aku kasihan. Bunuh mereka!" dengus Bre Redana tegas.
Srang! Salah seorang prajurit langsung mencabut pedang. Lalu....
"Kanjeng Gusti Prabu, ka...!"
Bret! "Aaa...!"
Teriakan mereka berhenti, berganti pekik kematian. Kedua orang itu roboh dengan leher nyaris putus tersambar pedang salah seorang prajurit Bre Redana.
"Panggil yang lain ke sini!" lanjut Bre Redana memberi perintah.
Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu?" kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti"!"
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu"..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
? ? *** ? Kembali ke Bagian 1
Selanjutnya Bagian 3
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 158. Pasukan Alis Kuning Bagian 3
4. August 2014 um 20:00
3 ? ? Seorang gadis cantik berbaju ketat warna biru tengah menyantap makanannya di dalam kedai. Sementara beberapa orang berbisik-bisik sambil memandang ke arahnya. Walaupun sikapnya tenang-tenang saja, tapi dia merasa kalau dirinya tengah diperhatikan.
Setelah menyelesaikan santapannya, gadis cantik berbaju biru itu bangkit. Kakinya segera melangkah mendekati laki-laki setengah baya pemilik kedai.
"Ki, apa kau pernah melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung?" tanya gadis itu.
"Hm.... Rasanya... tidak," sahut pemilik kedai.
"Hm," suara laki-laki setengah baya itu seperti tersendat. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah seorang wanita cantik berpakaian merah muda yang duduk di pojokan kiri ruangan. Dia duduk dalam satu meja bersama seorang pemuda bertampang tolol dan bermuka lebar. Tubuhnya tinggi dan besar. Bahkan melebihi ukuran yang sewajarnya. Sehingga, tidak heran bila dia menarik perhatian
orang lain. Dan di sebelahnya pun, terdapat seorang pemuda tampan berpakaian rapi. Tangan kanannya yang diletakkan di meja, menggenggam sebuah suling berwarna keemasan. Mereka inilah yang tadi berbisik-bisik sambil memperhatikan gadis berbaju biru itu.
Sementara, setelah membayar makanan, gadis berbaju biru keluar dari kedai. Tapi baru melangkah beberapa tindak, pendengarannya yang tajam merasakan kalau ketiga orang tadi mengikutinya. Gadis berbaju biru tidak mempedulikannya. Begitu tiba di luar, dia menghampiri kudanya yang berbulu putih. Dan bergegas dia melompat ke atas punggungnya.
"Heaaa...!"
? *** Setiba di luar desa gadis berbaju biru yang tadi berada di kedai, kini menghentikan lari kudanya, ketika di depan telah berdiri tiga sosok tubuh menghalangi jalan. Mereka adalah gadis berpakaian merah muda, pemuda bertubuh raksasa, dan pemuda berpakaian perlente dengan sebuah suling di tangan.
"Hm.... Sudah kuduga, kalian akan mencegatku," gumam gadis berbaju ketat warna biru. Tampak sebilah pedang bergagang kepala naga bertengger di punggungnya. Sementara di pinggangnya terselip sebuah kipas terbuat dari baja. Melihat dri-cirinya dia pasti Pandan Wangi yang berjuluk si Klpas Maut.
"Turunlah dari kudamu. Dan kita akan bicara baik-baik," ujar pemuda yang menggenggam suling.
"Aku tidak kenal dan tak punya urusan dengan kalian. Menepilah. Dan, jangan halangi jalanku!" tandas Pandan Wangi.
"Hm.... Kata-katamu ketus sekali, Nisanak. Bila kau tidak ada urusan, maka sebaliknya kami yang akan berurusan denganmu!" balas pemuda itu.
"Hebat sekali! Kalian memaksakan kehendak pada orang lain...!" cibir Pandan Wangi, segera turun dari punggung kudanya.
"Kudengar kau bertanya tentang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung, pada pemilik kedai tadi. Hm.... Apa hubunganmu dengan Pendekar Rajawali Sakti?" tanya pemuda itu tidak mempedulikan ocehan si Kipas Maut.
"Telinga kalian memang tuli. Itu urusanku. Dan itu tidak ada urusannya dengan kalian!" bentak Pandan Wangi.
"Tentu saja ada! Setiap orang yang berhubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti, harus berurusan dengan kami!"
Mendengar nada bicara pemuda itu yang sinis, Pandan Wangi malah tersenyum mengejek.
"Begitukah" Aku jadi ingin tahu, siapa kau sebenarnya hingga punya urusan dengan Pendekar Rajawali Sakti...?"
"Namaku Kamajaya. Dan orang mengenalku sebagai Pendekar Suling Emas. Dan wanita ini adalah Bidadari Tangan Api. Sedangkan si raksasa ini bernama Darmo Angkor...," jelas pemuda yang memang Kamajaya itu (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah : "Dendam Pendekar-Pendekar Gila").
"Pantas saja. Nama kalian memang tercatat sebagai tokoh terkenal dalam biang mesum!" sahut Pandan Wangi, enteng.
"Kurang ajar! Hati-hati kau bicara, Kunyuk!" bentak gadis yang tadi diperkenalkan sebagai Bidadari Tangan Api.
"Apakah bicaraku salah" Kukira semua orang telah tahu. Dan kau berusaha menutupinya setengah mati!" sahut Pandan Wangi disertai tawa sinis.
"Kakak! Apakah dia menyakiti hatimu" Biar akan kuhajar dia!" desis pemuda bertubuh raksasa yang bemama Darmo Angkor.
Wajah Darmo Angkor berubah. Kakinya langsung melangkah lebar Begitu dekat Pandan Wangi, dilayangkannya kepalan tangan kanan.
Wut! "Uts!"
Cepat bagai kilat, Pandan Wangi melenting ringan ke belakang. Setelah jungkir balik beberapa kali, kakinya berdiri tegak sambil tersenyum sinis. "Buto Ijo keparat! Ke sinilah kalau ingin kupecahkan!"
"Grr...! Huh! Akan kucabik-cabik kau...!" eram Darmo Angkor.
Pemuda bertubuh raksasa segera menerjang Pandan Wangi. Namun si Kipas Maut cepat melompat ke atas. Begitu berada di udara, tahu-tahu kedua kakinya menendang punggung Darmo Angkor.
Des! "Aaah...!"
Darmo Angkor kontan terjerembab ke depan sambil mengeluh kesakitan. Dia cepat bangkit, dengan wajah kelihatan semakin gusar.
"Kupatahkan kakimu! Kuremukkan tubuhmu..!" teriak pemuda raksasa ini berulang-ulang seraya menerkam dengan penuh nafsu.
Pandan Wangi cepat menggeser tubuhnya ke kanan menghindar dengan gesit. Dan seketika sikut kanannya menghantam dada.
Duk! "Hem...!"
Darmo Angkor seperti tidak merasakan pukulan gadis berbaju biru tadi. Bahkan sebelah tangann cepat dikibaskan, menghantam kepala Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi cepat membungkuk, lalu melompat ke belakang. Sementara, Darmo Angkor terus mengejar.
"Heaaat...!"
Maka disertai bentakan keras, si Kipas Maut yang baru saja mendarat di tanah melesat menyerang. Seketika dilepaskannya satu tendangan kilat ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga Darmo Angkor tak kuasa menghindarinya. Des!
"Aaakh...!"
? ? *** ? ? Darmo Angkor langsung menjerit keras begitu tendangan Pandan Wangi mendarat di dadanya. Tubuhnya yang besar kontan terjungkal ke belakang dan jatuh berdebum di tanah.
"Huh! Sungguh memalukan! Apakah kalian akan menggunakan tunggul kayu itu untuk menghadapiku"!" dengus Pandan Wangi sinis.
Mendengar ejekan si Kipas Maut, Bidadari Tangan Api maju ke depan.
"Hm.... Baru kuingat. Bukankah kau si Kipas Maut, gendaknya Pendekar Rajawali Sakti"!" cibir Bidadari Tangan Api seperti meremehkan.
"Mulutmu kotor sekali, Nisanak. Lidah tidak bertulang, tapi bisa membawa kematian bagi pemiliknya!" bentak si Kipas Maut.
Dugaan Bidadari Tangan Api agaknya tidak keliru. Sejak tadi, dia berusaha mengenali gadis berbaju biru muda itu. Dengan kipas baja putih yang terselip di pinggang dia yakin kalau gadis berbaju biru ini adalah si Kipas Maut alias Pandan Wangi. Apalagi, gadis berbaju biru itu mencari-cari Pendekar Rajawali Sakti. Maka dugaan itu rasanya tidak meleset.
"Hm.... Apa hebatnya kau, sehingga mesti takut denganmu" Atau barangkali karena orang memandang nama Pendekar Rajawali Sakti"!" cibir Bidadari Tangan Apa yang bernama asli Dewi Tanjung Putih sinis.
"Mulutmu semakin lancang saja! Apa maumu sebenarnya"!" dengus si Kipas Maut
"Meringkusmu untuk mengundang Pendekar Rajawali Sakti ke sini!"
"Meringkusku" Kenapa tidak kau lakukan sejak tadi" Atau barangkali kau takut, sehingga harus membawa dua orang gendakmu itu, he"! Majulah. I Dan, buktikan keinginanmu. Kau sendiri atau bertiga sekaligus!" tantang Pandan Wangi, semakin berkobar dadanya. Apalagi, dikatakan sebagai gendak Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Sebentar lagi kau akan tahu, bagai nasibmu!" dengus Bidadari Tangan Api.
"Dewi Tanjung Putih! Lebih baik kau tunggu saja di sini. Biarkan aku yang akan meringkusnya!" sahut Kamajaya alias Pendekar Suling Emas seraya tersenyum tipis.
"Huh! Kalau lihat gadis cantik, matamu selalu hijau!" dengus Bidadari Tangan Api.
Kamajaya hanya tertawa kecil tanpa menghiraukan ejekan Dewi Tanjung Putih. Pemuda berjuluk Pendekar Suling Emas mendekati Pandan Wangi. Dan bibirnya kembali tersenyum sambil menyeringai lebar.
"Kipas maut! Setelah aku meringkusmu, akan kulihat apa yang bisa dilakukan kekasihmu! Apalagi, setelah kita bersenang-senang lebih dulu...!" ejek Pendekar Suling Emas.
"Bangsat cabul! Tutup mulutmu! Lebih baik jaga kepalamu, karena kipasku akan kucabut sekarang juga!" dengus Pandan Wangi, geram.
Si Kipas Maut langsung mencabut senjata kipasnya. Dan seketika itu pula, dia melompat menerjang.
"Hih!"
"Uts! Boleh juga...!" puji Kamajaya sambil mengelak ke samping ketika ujung kipas itu mengembang dan menyambar ke leher.
Pandan Wangi semakin kalap. Dan dia terus menyerang gencar.
"Mampus...!" desis Pandan Wangi geram. Ujung senjata si Kipas Maut menyambar ke arah perut. Begitu Kamajaya mencelat ke atas, si Kipas Maut mengebutkannya ke kaki. Dan bersamaan dengan itu, Pandan Wangi mencelat ke atas sambil menyambarkan kipasnya ke pinggang.
Wut! "Hebat, hebat...!" puji Kamajaya lagi, langsung menghindar dengan berjungkir balik.
Tubuh Pendekar Suling Emas terus mencelat lu belakang, lalu berdiri tegak dengan mantap di tanah. Lalu seketika itu pula langsung ditangkis senjata si Kipas Maut dengan sulingnya.
Trang..! Senjata Kamajaya terus bergerak bagai kilat menyambar ke arah dada Pandan Wangi yang baru saja mendarat di tanah. Begitu serangannya gagal karena Pandan Wangi telah mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dia mengayunkan tendangan setengah lingkaran. Pandan Wangi menangkis.
Plak! Pada saat tubuh Pandan Wangi terhuyung-huyung ke belakang, Darmo Angkor bergerak cepat. 1angsung dipeluknya gadis berbaju biru itu dari belakang.
"Hup!"
"Uhhh...!"
Pandan Wangi mengeluh tertahan menahan jepitan kedua tangan pemuda raksasa yang kuat bukan main. Badannya terasa mau remuk. Pada saat itu, Kamajaya menggunakan kesempatan sebaiki baiknya. Dia segera melesat bermaksud menotok dada Pandan Wangi dengan sulingnya.
"Hih!"
Tapi mendadak, si Kipas Maut mengayunkan sebelah kakinya menangkis senjata Kamajaya. Sementara, kaki yang sebelah lagi menghantam ke arah dada.
Plak! Duk! Kamajaya mengeluh tertahan sambil memaki-maki tak karuan.
Sementara itu, Pandan Wangi langsung mengayunkan kakinya ke belakang sekuat tenaga. Sehingga, keseimbangan Darmo Angkor menjadi goyah. Seketika itu pula keduanya jatuh ke belakang. Namun, Pandan Wangi cepat bergulingan ketika terlepas dari cengkeraman. Dan dia langsung melenting, bangkit berdiri.
"Hiyaaat...!"
Sementara Kamajaya langsung menyerang kalap. Suling di tangannya bergerak menyambar-nyambar si Kipas Maut yang menghindari sambil sesekali menangkis.
Wut! Tak! Dalam satu kesempatan, si Kipas Maut mencelat ke belakang. Sedangkan Kamajaya telah siap menyerangnya. Namun, gadis itu pun dengan sigap menangkis. Bahkan balas menyerang!
"Kau terlalu lambat membereskannya! Biar kubantu untuk meringkusnya!"
Terdengar bentakan Bidadari Tangan Api tak sabar melihat Kamajaya seperti kewalahan. Segera dia melompat dan ikut menyerang Pandan Wangi. Dan bersamaan dengan itu pula, Darmo Angkor yang telah dua kali dikerjai, ikut menyerang dengan amarah meluap-luap.
"Huh, bagus! Kini kalian main keroyok. Tapi jangan kira aku takut..."!" dengus si Kipas Maut.
Pandan Wangi kembali melompat ke belakang, dan langsung mencabut pedangnya yang berwarna hitam. Dengan Pedang Naga Geni di tangan kanan dan Kipas Maut di tangan kiri, Pandan Wangi kembali melompat ke depan memapaki serangan lawan-lawannya.
"Yeaaat...!"
Sepasang pedang Bidadari Tangan Api berusaha mencecarnya lewat serangan-serangan gencar. Sementara si Pendekar Suling Emas berusaha mencari titik kelemahan untuk menyerang tiba-tiba.
Sedangkan si raksasa Darmo Angkor tidak mempedulikan apapun. Dalam benaknya hanya ada satu tujuan. Meringkus serta melumatkan gadis ini.
Pendekar Suling Emas dan Bidadari Tang Api bukanlah tokoh sembarangan. Mereka sebenarnya punya kemampuan hebat. Tidak heran bila dalam waktu singkat Pandan Wangi terdesak hebat Meski telah mengerahkan segala kemampuan, tidak juga cukup mempertahankan diri.
Pada saat-saat terdesak seperti ini mendadak berkelebat satu bayangan putih. Begitu dekat bayangan putih itu cepat menggerakkan tangan dan kakinya, langsung membuyarkan keroyokan itu.
Begkh! "Aaakh...!"
Tahu-tahu tubuh si raksasa Darmo Angk terjungkal, dan jatuh berdebum sambil meringis kesakitan.
? ? *** ? ? Kamajaya dan Bidadari Tangan Api terkejut ketika tangan dan kaki sosok tubuh berbaju putih itu bergerak cepat sekali. Mereka berusaha memapak, namun tetap saja serangan itu bersarang di dada masing-masing.
Des! Begkh!

Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh...!"
Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih terjungkal kesakitan. Namun begitu, keduanya cepat bangkit dan berseru kaget ketika melihat siapa yang melakukan serangan.
"Pendekar Rajawali Sakti...!"
"Kakang Rangga...!"
Sebaliknya Pandan Wangi berseru girang melihat siapa yang menolong.
"Pandan! Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghampiri Pandan Wangi.
"Tidak."
"Syukurlah. Telah lama mereka kucari. Dan tidak tahunya, malah bertemu di sini. Sungguh keterlaluan!"
"Kakang, apakah kau mengenal mereka?"
"Mereka adalah para durjana yang banyak diburu orang. Aku berjanji tidak akan mengampuni mereka lagi, bila berani bertemu denganku saat berbuat kejahatan. Dan saat ini, adalah tepat waktunya!" dengus Pendekar Rajawali Sakti geram.
"Kakang! Aku punya urusan dengan perempuan cabul itu. Dia telah menghinaku. Kau uruslah dua orang yang lain. Biar dia bagianku!" seru Pandan Wangi, geram.
aSementara itu Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih agak ketakutan ketika mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti. Dengan adanya si Kipas Maut di tempat ini, maka mereka tidak punya kesempatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti bersama-sama. Padahal itu telah direncanakan sejak lama.
"Pendekar Suling Emas, bersiaplah! Janga harap aku akan mengampunimu lagi saat ini. Telah cukup kalian kuberi peringatan, namun tetap juga membandel!" dengus Rangga.
"Huh! Kau kira dirimu malaikat pencabut nyawa"! Kau tidak lebih dari kutu busuk yang menjijikkan. Jangan dikira aku takut padamu!" balas Kamajaya dengan sikap tidak kalah garang.
Rangga tersenyum dingin. Dan seketika, dia melompat menyerang. Kamajaya yang telah bersiap, langsung menghindar. Sementara Pendekar Rajawali Sakti terus mengejarnya, dan tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi Pendekar Suling Emas untuk balas menyerang.
"Hiyaaat..!"
"Uhhh...!"
Kamajaya tahu betul kalau tidak akan bisa menang melawan Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, pemuda itu pernah menjatuhkannya. Sehingga, meski berani menghadapi, namun tetap saja semangatnya kendor. Sementara rasa was-was masih menghantuinya. Tak heran kalau ini mempengaruhi gerakan-gerakannya.
Suling di tangan Pendekar Suling Emas berusaha memapaki serangan-serangan. Namun dengan lincah Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya, lalu menyerang dengan cara tidak terduga. Hal itu sering membuat Kamajaya terkejut, Langsung menghindar sebisa-bisanya.
Kini Kamajaya berusaha balas menyerang. Suling di tangannya berkelebat menyambar ke muka, dada, serta perut. Tapi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti tidak mampu diikutinya. Dan tahu-tahu, Rangga melompat ke samping sambil bergulingan. Dan saat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! "Akh...!"
Kamajaya kontan menjerit keras dan jatuh bergulingan. Begitu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti tidak langsung mengejarnya. Kini dia menghalau Darmo Angkor yang saat itu ikut mengeroyok Pandan Wangi.
Pemuda raksasa itu agaknya tidak mau mengerti kalau si Kipas Maut hanya mau berhadapan satu lawan satu dengan Bidadari Tangan Api. Dia merasa, kakak angkatnya dalam bahaya dan memerlukan pertolongan.
"Hup!"
Plak! Darmo Angkor berhasil menangkis tendangan Rangga. Namun, secepat itu pula kaki Pendekan Rajawali Sakti yang sebelah lagi menghantam tengkuk.
Des! Si raksasa itu jatuh tersungkur ke depan. Dia cepat bangkit, dan mengejar Rangga.
"Graungrrr...!" Darmo Angkor menggeram laksana seekor harimau yang tengah murka.
Dan bersama Kamajaya, pemuda bertubuh raksasa itu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaat...!"
"Uts! Haaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. mentara Kamajaya mengejar dengan gesit. Namun tiba-tiba Rangga memutar tubuhnya bagai gasing, sehingga, sulit bagi Pendekar Suling Emas untuk menyerang. Bahkan tiba-tiba pemuda itu menukik deras ke bawah dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Kamajaya cepat mengibaskan senjata, namun Rangga cepat menarik kakinya. Belum sempat Kamajaya mengebutkan senjatanya lagi, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di dadanya.
Des! "Aaakh...!"
Kembali Pendekar Suling Emas menjerit kesakitan, dan jatuh terjungkal. Sementara Darmo Angkor coba meringkus Rangga yang telah mendarat dari belakang. Namun, Pendekar Rajawali Sakti berbalik seraya mengayunkan tendangan keras ke wajah.
Pak! "Aaakh...!"
? ? *** ? Kembali ke Bagian 2
Selanjutnya Bagian 4
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 158. Pasukan Alis Kuning Bagian 4
4. August 2014 um 20:01
4 ? ? Darmo Angkor terjungkal disertai pekik kesakitan. Kedua tangannya mendekap wajahnya yang bengap. Kepalanya pusing, dengan langkah limbung ketika berusaha bangkit. Pandangannya berkunang-kunang, sehingga tidak jelas melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Plak! Begkh...!
"Aaakh...!"
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti memang tengah bergerak menerjang. Kedua kakinya bergerak lincah, menghantam dada dan perut Darmo Angkor. Pemuda bertubuh raksasa itu kembali tersungkur. Jeritannya lebih keras terdengar. Dari sudut bibirnya tampak meleleh darah segar. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti agaknya demikian keras dan disertai tenaga dalam tinggi. Sehingga tidak mungkin Darmo Angkor menahannya. Wajahnya berkerut menahan sakit. Sedangkan telapak tangannya mendekap dada dan perut.
"Heaaat..!"
Rangga mendengus, menyadari ada satu sosok yang membokong dari belakang dengan melepaskan pukulan jarak jauh. Dengan gesit Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, sehingga serangan gelap itu luput. Lalu tubuh Rangga meluruk ke arah pembokong yang tak lain adalah Kamajaya.
Wut! "Uts...!"
Pendekar Suling Emas cepat menyambut dengan mengayunkan sulingnya. Namun Pendekar Rajawali Sakti menghindari dengan berjungkir balik sambil menekuk tubuhnya. Bahkan tahu-tahu sebelah kakinya menerjang dada Pendekar Suling Emas. Kamajaya berusaha melompat ke belakang, sementara Rangga terus mengejar dengan serangan gencar.
"Hiyaaat..!"
Kali ini Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di udara dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' melewati kepala Kamajaya. Meski Pendekar Suling Emas berusaha memapasnya dengan cepat, tetap saja tidak mampu mengimbangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan satu hantaman lagi tahu-tahu menghajar pinggangnya.
Des! "Aaakh...!"
Kamajaya tersungkur ke samping. Sementara begitu mendarat di tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah menyiapkan serangan susulan, sambil menunggu Pendekar Suling Emas bangkit berdiri.
"Yeaaat..!"
Begitu melihat Pendekar Suling Emas bangkit, Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arahnya. Agaknya tak ada harapan lagi bagi Kamajaya untuk berkelit, atau coba menangkis. Keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi. Beberapa kali hajaran Rangga terasa meremukkan tulang-belulang serta isi tubuhnya. Dan hal itu membuat gerakannya semakin lambat, serta tenaganya terkuras banyak.
"Berdoalah untuk kematianmu, Pendekar Suling Emas!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
"Uhhh,..!"
Pada saat yang gawat, Kamajaya mengumpulkan seluruh tenaga yang dimiliki. Lalu begitu serangan mendekat, dia bergulingan menghindari. Tapi tak terduga Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu dengan gerak langkah kakinya yang demikian lebar, tahu-tahu satu tendangan keras Pendekar Rajawali Sakti menghajar perut Kamajaya.
Begkh! "Aaakh...!"
Kembali Kamajaya menjerit keras. Tubuhnya terpental beberapa langkah. Sementara dari mulutnya menyembur darah segar. Tendangan yang berisi tenaga dalam tingkat tinggi terasa memporak-porandakan isi ?perutnya. Napasnya megap-megap dan mukanya pucat. Kalau saja Pendekar Suling Emas adalah pendekar kemarin sore, pasti telah mati sejak tadi.
"Kamajaya...!" seru Bidadari Tangan Api kaget, ketika sempat melirik keadaan Kamajaya.
Keadaan Dewi Tanjung Putih sendiri saat itu tidak menguntungkan. Karena, Pandan Wangi terus mendesaknya dengan gencar. Namun melihat kekasihnya dalam keadaan bahaya, dia tidak bisa berdiam diri. Maka dengan nekat tubuhnya melompat untuk memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tentu saja Pandan Wangi tidak mendiamkannya begitu saja.
"Huh! Kau kira bisa lari dariku"!" dengus si Kipas Maut.
Begitu kata-katanya selesai, Pandan Wangi segera melesat mengejar sambil mengibaskan Pedang Naga Geni.
Wut! Bidadari Tangan Api masih sempat menangkis pedang di tangan Pandan Wangi dengah sepasang pedangnya.
Trang! Tapi dengan cepat, kipas baja putih yang berada di tangan kiri Pandan Wangi menyambar sebelah kakinya
Bret! "Aaakh...!"
Bidadari Tangan Api menjerit tertahan. Betisnya terluka. Dan sebelum sempat menghindar dari serangan Pandan Wangi berikutnya, satu tendangan menggeledek telah menghantam dadanya.
Des...! "Ugkh...!"
Dewi Tanjung Putih kontan menjerit keras dan jatuh terbanting lebih kurang tujuh langkah ke belakang.
"Kau boleh mampus sekarang, Perempuan Cabul!" desis Pandan Wangi, langsung melompat menyerang Bidadari Tangan Api yang belum sempat bangkit.
Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti pun telah bersiap menghabisi Kamajaya. Agaknya tak ada jalan selamat lagi bagi keduanya selain pasrah menerima nasib. Namun. ..
Set! Set! Mendadak, melesat beberapa benda ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
"Pandan, awaaas...!" teriak Rangga memperingatkan.
Belasan benda yang ternyata batang anak panah itu melesat menerjang. Seketika itu pula Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut terpaksa menangkis dengan susah payah.
"Hup!"
"Pandan, awas! Tahan mereka...!" teriak Rangga ketika melihat beberapa sosok berbaju kuning berlompatan menyerang.
Trang! Wut! "Hih!"
? ? *** ? ? Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi sibuk meladeni sosok-sosok berbaju kuning yang datang tiba-tiba dan langsung menyerang ganas. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang dengan seragam kuning. Dan mereka agaknya berbagi tugas dengan rapi. Lima orang menyerang Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti, sementara lima lainnya menyelamatkan Kamajaya, Bidadari Tangan Api, dan Darmo Angkor.
Tentu saja hal itu membuat geram Rangga dan Pandan Wangi. Mereka berusaha mencegah, namun orang berbaju kuning yang dihadapi ternyata cukup hebat dengan senjata yang beraneka ragam.
"Kurang ajar!" desis Rangga geram.
Srang! Mau tak mau Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang langsung memancarkan sinar biru berkilauan. Seketika dipapasnya senjata orang-orang berbaju kuning. Bahkan, pedang pusaka milik Rangga terus bergerak cepat. Dan....
Brues! "Aaa...!"
Dua dari tiga orang berbaju kuning yang hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti kontan memekik setinggi langit, begitu terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Heh"!"
Melihat keadaan itu, yang lain berseru kaget. Namun agaknya mereka cukup terlatih dan cekatan. Sehingga secepat kilat tiga orang yang tersisa segera melemparkan sebuah benda sebesar kelereng ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Bus...! "Kurang ajar...!" maki Rangga ketika benda sebesar kelereng yang dilemparkan orang berbaju kuning meledak dan mengeluarkan asap kuning, sehingga menghalangi pandangan.
Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Aji 'Bayu Bajra' Heaaa...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu juga serangkum angin kencang menderu-deru, langsung menghalau asap kuning. Dalam sekejap mata, asap kuning itu sirna. Namun, orang-orang berbaju kuning ternyata telah menghilang.
"Ke mana larinya mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi, seraya menghampiri Rangga.
"Entahlah...," desah Rangga.
"Huh! Menyesal aku tidak cepat-cepat membunuhnya!" dengus Pandan Wangi menahan geram.
"Di lain kesempatan, kita pasti akan menemukan mereka lagi. Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan...," hibur Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia telah menghinaku, Kakang! Perempuan cabul itu harus mati di tanganku!" kata Pandan Wangi, bernada kecewa.
Rangga diam, tidak menanggapi kata-kata Pandan Wangi. Dan dia malah bersuit pelan. Tak lama, seekor kuda hitam terkilat berlari pelan mendekatinya. Dielus-elusnya leher kuda bernama Dewa Bayu untuk beberapa saat.
"Bagaimana Kakang sampai berurusan dengan mereka?" tanya Pandan Wangi.
"Ceritanya panjang...," sahut Rangga. Langsung diceritakannya awal mula dirinya berurusan dengan Bidadari Tangan Api dan Kamajaya tadi (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode : "Dendam Pendekar-Pendekar Gila").
Pandan Wangi manggut-manggut.
"Pantas saja mereka begitu mendendam padamu. Tapi yang seorang lagi, siapa dia...?"
"Entahlah. Aku sama sekali tidak mengenalnya...."
"Sungguh disayangkan. Orang itu memiliki kemampuan hebat. ?Namun, tidak memiliki ilmu olah kanuragan serta tenaga dalam cukup. Dia hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja. Bila kelak memiliki ilmu olah kanuragan tinggi, maka akan sulit dicari tandingannya...," desah Pandan Wangi pelan.
"Ya, aku pun berpikir begitu...."
Mereka terdiam untuk beberapa saat. Pandan Wangi memandang Rangga dengan wajah berkerut.
"Ke mana saja selama ini, Kakang" Aku mencari-cari kabar berita tentangmu, namun tidak juga kunjung dapat. Sehingga terpaksa aku sendiri turun tangan...!"
"Maaf, Pandan. Ceritanya agak panjang. Dan seperti yang kau lihat sekarang, aku toh tengah melakukan perjalanan pulang, bukan?" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau harus ceritakan semua, atau aku akan marah besar!" ancam Pandan Wangi, merajuk.
"Eee, jangan begitu! Tanpa diancam pun, aku akan menceritakannya padamu. Nah! Lebih baik kita berkuda. Selama dalam perjalanan pulang aku akan menceritakannya padamu...," ?cegah Rangga, menggoda.
"Huh...!" dengus Pandan Wangi, seraya menunjukkan wajahnya yang masih cemberut.
Rangga hanya tersenyum. Disadari betul akan watak gadis ini. Meski tengah marah, tapi masih nurut untuk dinasihati.
*** Kamajaya dan Dewi Tanjung Putih tidak tahu siapa orang-orang berseragam kuning ini. ?Setelah tadi terluka akibat bertarung dengan sepasang pendekar dari Karang Setra, mereka kini ditawan orang-orang ini. Tak ada cara melepaskan diri dalam keadaan tertotok seperti sekarang. Percuma mereka berteriak-teriak sebab orang-orang berseragam kuning ini sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan semakin kencang menggebah kudanya. Kalaupun ada yang aneh, mereka ternyata agak kesulitan menggotong si raksasa Darmo Angkor. Terpaksa digunakan dua ekor kuda untuk menariknya. Dan Kamajaya serta Bidadari Tangan Api tidak tahu, mau di bawa ke mana.
"Hei, apakah kalian tuli"! Turunkan kami! Kurang ajar...! Kau kira kami apa, he"!" teriak Bidadari Tangan Api.
Tak ada sahutan selain teriakan-teriakan yang menggebah laju kuda lebih kencang. Gadis itu putus asa. Sehingga terpaksa mendiamkan saja.
Sementara orang-orang berbaju serba kuning ini telah melintasi padang rumput yang agak luas, kemudian memasuki sebuah dataran tandus yang berada di bawah jajaran pebukitan. Tidak berapa lama, mereka memasuki sebuah desa. Penduduknya cukup ramai berlalu-lalang. Namun yang mengherankan adalah, tidak seorang pun yang merasa terkejut oleh kehadiran orang-orang berbaju kuning ini. Bahkan kegiatan mereka sama sekali tidak terusik.
Tiba di depan sebuah bangunan besar yang memiliki pekarangan luas, rombongan ini berhenti. Mereka turun dari kuda dan langsung membopong ketiga orang itu ke dalam Mereka langsung memasuki bangunan besar di depan tadi. Beberapa orang mereka saling bertegur sapa dengan beberapa penjaga yang berjaga-jaga. Keadaan di tempat ini mirip sebuah istana yang dipenuhi para prajurit. Semuanya berseragam serba kuning!
Bruk! "Setan...!" maki Bidadari Tangan Api ketika dilempar seenaknya sampai membentur dinding sebuah kamar.
Salah seorang segera membebaskan totokan.
Kini Kamajaya, Bidadari Tangan Api, dan Darmo Angkor menggeliat langsung berdiri. Kini mereka berhadapan dengan seorang pemuda bertubuh kekar dengan alis kuning. Di sekelilingnya tampak para prajurit bersenjata lengkap menjaganya dengan ketat.
Ketiga orang yang kini seperti tawanan ini mengernyitkan dahi Orang-orang di sekeliling mereka berpakaian serba kuning. Dan yang lebih aneh, mereka memiliki alis-alis berbulu kuning. Wajah-wajah ini kelihatan tidak memiliki kesan galak, sehingga ketiganya sedikit kebingungan. Sebab bila mereka kawanan rampok tentu penampilannya tidak seperti ini.
"Kisanak dan Nisanak maafkan kelakuan anak buahku. Mereka memang sangat kasar. Tapi tentu saja hal itu punya alasan kuat. Selamat datang di Kerajaan Alas Karang!" sambut pemuda bertubuh kekar yang berada di depan mereka.
Han Bu Kong 7 Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir Menembus Lorong Maut 2

Cari Blog Ini