Ceritasilat Novel Online

Pemuas Nafsu Iblis 1

Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas Nafsu Iblis Bagian 1


. 153. Pemuas Nafsu Iblis Bag. 1 dan 2
28. Dezember 2014 um 07:57
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Pemuas Nafsu Iblis
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Desa Dukuh Barus tampak sepi, sejak kematian kepala desanya akibat suatu penyakit aneh. Ki Janggir, kepala desa yang malang itu, dihinggapi penyakit yang tak dapat disembuhkan. Seluruh tubuhnya kembung. Kemudian ketika pecah, keluar cairan nanah bercampur darah!
Keadaan seperti ini berlangsung sejak satu bu-lan belakangan ini. Bahkan disusul kematian be-berapa penduduk desa lain. Kebanyakan kematian mereka hampir sama dengan kematian Ki Janggir. Yaitu, diserang penyakit aneh yang selama ini belum pernah dikenal.
Ada yang percaya kalau wabah penyakit itu disebabkan oleh kutukan. Akibatnya, sebagian besar penduduk Desa Dukuh Barus mengungsi ke tempat lain. Saat ini, yang tinggal di desa itu hanya para orang tua dan mereka yang tidak mempunyai sanak saudara di tempat lain, serta orang-orang yang berada di bawah lindungan Nyai Dukun Sirah. Wanita tua itu adalah dukun sakti yang telah banyak membantu para penderita penyakit aneh. Orang-orang berlindung di bawah ketiak Nyai Dukun Sirah inilah yang senantiasa membujuk penduduk lain, agar tidak perlu mengungsi.
"Nyai Dukun Sirah orangnya baik, Kang Suminta. Lagi pula di bawah lindungannya kita akan aman!" tegas seorang pemuda, meyakinkan sebuah keluarga yang hendak meninggalkan desa ini.
Seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun kepala keluarga di rumah ini yang dipanggil Suminta kelihatan mendengus sinis. Sudah banyak cerita yang didengarnya tentang wanita tua itu. Dan kebanyakan, adalah cerita buruk.
"Gondo! Kau masih termasuk saudaraku. Ja-ngan kau bujuk aku untuk mendukung wanita gila itu! Dia penipu! Mungkin, dialah sebenarnya yang menyebarkan penyakit di desa kita ini. Lalu dengan cara menyembuhkan orang-orang yang sakit, wanita tua itu mengeruk harta mereka sampai ludes!" tegas Suminta.
"Jangan berkata begitu, Kang Suminta! Nyai Dukun Sirah punya seribu telinga. Kalau dia mendengar, kau akan celaka sendiri!" ujar laki laki bernama Gondo.
"Huh! Aku tidak takut! Desa ini sudah seperti neraka. Semua orang pergi mengungsi. Untuk apa aku berlama-lama di sini"!" dengus Suminta.
"Apakah kau tidak kasihan pada Jumadi putramu itu" Dia tengah sakit. Jangan-jangan...," tukas Gondo.
"Apa"! Kau ingin mengatakan anakku akan mati bila aku tidak datang memohon pertolongan wanita sial itu"!" cibir Suminta dengan mata melotot garang.
"Aku tidak berkata begitu. Tapi...," desah Gondo, terputus.
"Sudah! Lebih baik kau angkat kaki dari ru-mahku! Kau sama saja dengan yang lain. Menjadi budak penyihir gila itu! Pergi! Ayo, cepat pergi!" bentak Suminta garang.
Melihat gelagat yang tidak baik, Gondo segera angkat kaki.
"Aku hanya memperingatkanmu. Tapi bila kau tidak percaya, maka boleh tanggung sendiri akibatnya." Pemuda itu masih sempat memperingatkan Suminta, ketika tubuhnya telah rnenghilang di balik pintu.
"Phuih! Aku tidak butuh nasihatmu!" dengus Suminta, kesal.
Sepeninggal Gondo, seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun tergopoh-gopoh meng-hampiri Suminta dari belakang, Wajahnya kelihatan pucat dan bibirnya gemetar.
"Jumadi...! Jumadi anak kita, Kang. Dia.., dia..."!" kata wanita yang rupanya istri Suminta, terbata-bata. Ditariknya lengan suaminya agar buru-buru mengikuti ke kamar belakang.
"Ada apa dengan Jumadi, Warsih"!" tanya Suminta, kaget.
"Dia muntah-muntah dan mengeluarkan darah!" kata wanita itu.
"Apa"!"
Suminta terlonjak kaget. Segera dia mengham-bur ke kamar putranya.
Warsih tidak dapat menahan diri. Begitu masuk kamar, dia langsung menangis tersedu-sedu sambil memegangi sebelah tangan bocah laki-laki berusia delapan tahun yang terbaring di tempat tidur.
Bocah bernama Jumadi itu tampak mengge-lepar sambil menggerung-gerung kesakitan. Tubuhnya penuh keringat. Kulitnya pucat dan menggembung. Suminta berusaha sekuat tenaga menenangkan putranya dengan segala macam cara. Namun, bocah kecil ini tidak juga kunjung diam. Dia malah berteriak-teriak, merasakan sakit yang hebat. Jumadi melenguh panjang dengan tubuh kejang, lalu lunglai tak bergerak-gerak lagi.
Warsih kontan memekik, seraya memeluk tubuh putranya. Tangisnya berderai tidak tertahankan. Sementara, Suminta hanya bisa menunduk lesu dengan wajah penuh duka. Putranya telah meninggal di hadapannya. Dan dia tidak mampu berbuat apa pun untuk menolong!
? *** ? Setelah kematian anak Suminta, keadaan Desa Dukuh Barus semakin kisruh. Suminta yang menjadi ketua desa ini, berusaha menenangkan orang-orang yang mulai resah oleh ganasnya wabah penyakit. Di samping itu, kehadiran Nyai Dukun Sirah mampu mengobati mereka yang menderita penyakit, menjadikannya sebagai wanita tua yang memiliki pengaruh hebat. Orang-orang mulai berdatangan kepadanya dan menaruh hormat. Tapi secara tidak sadar mereka masuk ke dalam jerat, karena Nyai Dukun Sirah meminta bayaran tinggi. Sehingga tidak jarang, penduduk desa ini terpaksa harus menjual hewan ternak. Bahkan menggadaikan sawah ladangnya.
Munculnya pengikut Nyai Dukun Sirah yang terus bertambah, juga semakin membuat resah. Pada mulanya, mereka terdiri dari orang-orang desa ini. Tapi lambat laun, pengikutnya sama sekali bukan penduduk desa ini. Mereka berbuat sewenang-wenang, dengan merampas apa saja yang dimiliki keluarga si penderita yang berobat pada Nyai Dukun Sirah, yang tidak mampu bayar. Tentu saja hal ini menimbulkan ketidaksenangan penduduk lain. Namun mereka tidak berani berontak. Sebab siapa saja yang ketahuan menentang Nyai Dukun Sirah, bisa dipastikan nyawanya tidak akan selamat.
Sehingga secara diam-diam, banyak penduduk desa ini yang mengungsi.
Sementara di rumah Suminta sendiri, suasana semakin bertambah panas saja. Rupanya, kematian anaknya yang bernama Jumadi, membuat Suminta terus memikirkannya. Apalagi, setelah diyakini kalau Nyai Dukun Sirahlah otak semua ini.
"Keparat! Aku akan buat perhitungan pada iblis durjana itu!" dengus Suminta, geram.
"Kang, mau ke mana"! Kang Suminta"!" te-riak Warsih kaget, melihat suaminya keluar dari kamar ini dengan langkah lebar-lebar.
Wanita itu seperti bisa menduga apa yang akan dilakukan suaminya. Makanya, dia segera mengejar. Dan dugaannya memang benar. Suminta tampak menyambar golok yang terselip di dinding ruangan tengah, lalu bergegas keluar rumah.
Warsih terus berusaha mengejar. Dan dia bermaksud mencegah niatnya sambil menjerit- jerit dengan suara cemas. Namun, Suminta yang telah di bakar amarah tidak mempedulikannya lagi. Tujuannya sudah bulat seperti tekad di hatinya. Nyai Dukun Sirah harus mampus di ujung goloknya, demi membayar nyawa putranya!
? *** ? Suminta tiba di halaman depan rumah Ki Janggir, yang kini ditempati Nyai Dukun Sirah, sejak kematian kepala desa itu.
"Nyai Dukun Sirah! Keluar kau! Wanita iblis, keluar! Kau harus mempertanggungjawabkan per-buatanmu atas kematian anakku! Keluaaarrr...!"
Dari dalam rumah, tak lama berlompatan beberapa sosok pemuda anak buah Nyai Dukun Sirah menyambut kedatangannya.
"Mau apa kalian"! Minggir! Aku hanya ber-urusan dengan setan betina itu. Minggir kataku!" gertak Suminta, garang.
"Urusan dengan Nyai Dukun Sirah, adalah urusan kami juga. Kang Suminta! Jangan cari ga-ra-gara. Pulanglah segera!" sahut salah seorang.
"Bukankah kau Sitok, anak Ki Sadin" Heh"! Jangan coba halangi aku! Wanita iblis itu telahmembunuh anakku. Suruh dia keluar! Akan kucincang tubuhnya!"
Setelah berkata begitu, Suminta langsung menghambur hendak memasuki rumah itu. Namun para penghadangnya telah membuat pagar betis.
"Kang Suminta! Pulanglah! Dan, jangan cari keributan!" teriak pemuda bernama Sitok kembali. Nadanya kali ini lebih keras.
"Kurang ajar! Kiranya kau sama saja dengan iblis wanita itu! Ayo! Siapa yang berani mengha-langiku, boleh mampus di ujung golok ini!" geram Suminta sambil mengayun-ayunkan golok di ta-ngannya.
Tindakan Suminta ternyata tidak membuat para penghadang menjadi takut. Mereka malah semakin kesal dan gusar.
"Kurang ajar! Dikasih hati malah minta jantung. Bunuh saja!" dengus salah seorang penghadang Suminta.
Kata-kata itu seperti sebuah aba-aba. Dengan tiba-tiba, mereka menyerang. Dan hanya dalam sekejap, Suminta mulai keteter.
Kemampuan ilmu olah kanuragan Suminta memang sangat rendah. Sedang saat ini, para pe-ngeroyok seperti kesurupan setan. Mereka tidak peduli pada Suminta yang makin terdesak.
Cras! "Akh...!"
Suminta memekik kesakitan, begitu sebuah senjata merobek perutnya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perut. Namun sesaat kemudian, dua kali bacokan golok menyambar pinggang dan dadanya. Sekali lagi, Suminta menjerit panjang. Dia berusaha berdiri. Namun darah yang mengucur deras, membuat keseimbangan tubuhnya mulai goyah.
"Kaaang...!"
Sementara itu Warsih yang persis tiba di tempat ini kontan menjerit kaget melihat keadaan suaminya. Wanita itu menghambur, dan langsung memeluk suaminya sambil menangis keras. Tubuhnya ikut bersimbah darah. Suminta yang tersungkur ke tanah. Masih sempat Suminta berkata lirih. Namun, suaranya tercekat di kerongkongan. Lalu tubuhnya mengejang, dan nyawanya melayang. Warsih kembali menjerit menyayat.
Pada saat itu di pintu depan berdiri seorang wanita tua berbaju hitam dekil. Tangannya memegang tongkat yang ujungnya terdapat sebuah tengkorak kepala manusia. Di bawah tengkorak, bergantung lonceng kecil berjumlah tujuh buah. Bibirnya menyungging senyum.
"Bawa wanita itu ke dalam,"? ujar wanita tua itu, pada para pemuda yang mengeroyok Suminta.
"Baik, Nyai...!"
Para pemuda anak buah wanita tua itu segera memberi perintah lagi pada kawannya. Maka tiga orang pemuda lain bergerak menghampiri Warsih seraya mencekal kedua tangannya. Warsih ber-usaha berontak sambil memaki-maki geram. Namun ketiga pemuda itu sama sekali tidak peduli. Dengan kasar mereka membawa Warsih ke dalam lewat pintu samping.
? *** ? Warsih dibaringkan pada sebuah tempat tidur. Kedua tangan dan kakinya diikat pada masing-masing kaki tempat tidur dalam keadaan telentang. Mulutnya pun disumbat kain.
Seorang wanita tua tampak berdiri memperha-tikan dari ambang pintu sambil terkekeh-kekeh. Setelah para pemuda itu selesai membereskan Warsih, wanita tua ini memberi isyarat. Maka ketiga anak buahnya segera meninggalkan ruangan setelah menjura hormat.
"He he he...! Jadi kau yang bernama Warsih, istri Suminta itu, ya?" tanya wanita tua yang tak lain Nyai Dukun Sirah, mendekati Warsih yang terikat setelah mengunci pintu.
"Ufh"! Ufhhh!"
Mata Warsih melotot garang penuh amarah yang tersirat dari wajahnya.
"He he he...! Akan kulepaskan sumbat di mu-lutmu, kalau kau berjanji tidak akan ribut...," kata Nyai Dukun Sirah.
Namun bola mata Warsih semakin lebar melotot. Dan dari mulutnya yang tersumbat, keluar umpatan yang tidak dimengerti. Sementara wanita tua itu malah terkekeh girang.
"Oh! Galak juga rupanya kau, ya" Hm, wanita sepertimu pasti akan hebat sekali dalam meng-gairahkan laki-laki."
"Ufh! Ufhhh...!"
Nyai Dukun Sirah duduk di dekat Warsih, dan mulai meraba-raba tubuhnya. Bibirnya selalu menyungging senyum. Tentu saja hal ini membuat Warsih bergidik ngeri. Usapan serta rabaan wanita tua ini jelas saja aneh. Dan ini hanya pantas di lakukan seorang laki-laki! Bukankah Nyai Dukun Sirah adalah seorang wanita"
"Kau tahu kalau aku Nyai Dukun Sirah, bukan" Aku hendak berbuat baik pada keluargamu Tapi, sayang Suamimu selalu curiga. Dia patut mendapat ganjaran atas perbuatannya," ujar wanita tua itu seraya membuka sumbat di mulut Warsih.
Begitu sumbat di mulut terbuka, sumpah serapah segera keluar dari mulut Warsih.
"Iblis! Kau betul-betul manusia iblis! Kau pem-bunuh anakku! Dan kini, kau bunuh suamiku! Terkutuklah kau...!"
Mendapat makian itu, Nyai Dukun Sirah te-nang-tenang saja. Bahkan orang tua itu tersenyum-senyum, sehingga membuat kemarahan Warsih semakin menjadi-jadi.
"Iblis keparat! Lebih baik kau bunuh saja aku! Ayo, bunuh saja! Aku tidak takut denganmu! Bunuh aku...!"
"Membunuhmu" He he he...! Sungguh tindakan tolol. Melihat wajahmu yang cantik dan tubuhmu yang indah, sayang rasanya bila dilewatkan begitu saja...," sahut Nyai Dukun Sirah sambil mengelus-elus paha Warsih. Dan Warsih semakin bingung saja.
"Apa yang kau lakukan padaku"! Cih, aku jijik bersentuhan denganmu! Lepaskan tanganmu!"
"He he he...! Semakin kau berteriak begitu, semakin bergairah rasanya aku memandangmu. Apalagi menatap tubuhmu yang aduhai...!" kata Nyai Dukun Sirah dengan pandangan jalang. Lalu, tangannya bergerak cepat. Dan...
Bret! "Aouw! Jahanam! Apa yang kau lakukan" Pe-rempuan sinting, enyahlah kau!"
Warsih berteriak kaget, ketika tiba-tiba Nyai Dukun Sirah merobek bajunya.
Bret! "Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku"! Iblis gila! Apakah kau tidak waras" Kurang ajar! Pergi kau! Pergi...!"
"He he he...! Tenanglah, Manis. Kau nanti akan tahu, apa yang kuinginkan darimu."
"Bola mata Nyai Dukun Sirah makin melotot lebar memandang tubuh Warsih yang kini terbuka lebar. Kulitnya putih, Payudaranya besar menantang. Kedua tangan Nyai Dukun Sirah seperti tidak sabar. Dan tiba-tiba, diremasinya dada Warsih, sambil mencumbu.
"Ouw, kurang ajar! Iblis cabul keparat! Apa yang kau lakukan"! Apakah otakmu tidak waras"! Jahanam! Hentikan perbuatanmu! Hentikan perbuatan terkutukmu ini"!" teriak Warsih berusaha berontak.
Namun tali-tali pengikat kedua tangan dan kaki istri almarhum Suminta begitu kuat. Sehingga meski Warsih berusaha berontak, tidak juga putus. Wanita itu berusaha menggelinjang ke sana kemari untuk menghempaskan tubuh Nyai Dukun Sirah yang telah menindih tubuhnya.
Wajah Warsih berkerut dan perutnya terasa mual melihat kelakuan wanita tua ini. Beberapa kali muka Nyai Dukun Sirah diludahi dan terus berontak, namun Nyai Dukun Sirah seperti kesetanan dan tidak peduli.
Bret' "Ouw !' Untuk yang kesekian kalinya, Warsih menjerit kaget. Kali ini Nyai Dukun Sirah merobek kain penutup tubuh bagian bawah. Dan terakhir, disingkapnya penutup tubuh di bawah perut!
"Iblis! Apa yang akan kau lakukan padaku"! Sinting! Apakah otakmu tidak waras" Sadarkah kau dengan keinginan gilamu"! Iblis keparat, pergi...! Pergi!"
"He he he...! Sebentar lagi kau akan mengerti. Kau akan mengerti, Manis...," sahut Nyai Dukun Sirah seenaknya.
Kini dengan leluasa, Nyai Dukun Sirah meng-gerayangi tubuh Warsih dengan mata melotot lebar. Wajah istri Suminta ini semakin bergidik, bercampur geli. Dia mengerti, apa yang akan dilakukan wanita tua ini terhadapnya. Hanya saja, perbuatan itu tidak wajar dan amat menjijikkan. Bukankah Nyai Dukun Sirah seorang wanita" Kecuali kalau benar-benar sinting. Dan kelihatannya orang tua ini memang sinting. Dia begitu menikmati apa yang dilakukannya terhadap Warsih. Padahal, Warsih begitu jijik. Sampai-sampai dia hendak muntah melihat kelakuan wanita ini terhadapnya.
"Nyai Dukun Sirah! Kalau benar suka terhadap wanita, kumohon jangan lakukan itu terhadapku. Aku betul-betul jijik dan ingin muntah! Carilah wanita lain yang bisa memenuhi seleramu" ujar Warsih di antara rasa putus asanya untuk menghindar dari perbuatan keji wanita tua ini.
"He he he...! Kaulah yang mampu memenuhi seleraku, Anak Manis..."
"Kau mungkin sinting. Aku tidak sudi diperlakukan begini!" dengus Warsih, geram.
"He he he...! Apakah menurutmu aku sinting?"
"Kau memang sinting! Gila...! Tapi aku tidak sudi ketularanmu! Iblis cabul lepaskan aku!"
"He he he...! Aku mengerti apa yang kau pikirkan. Tapi, sekarang kau akan mengerti...," sahut Nyai Dukun Sirah, tenang.
Nyai Dukun Sirah kini membuka pakaiannya. Dan Warsih pun terperangah melihat sesuatu. Wajah pucat dan mulutnya sedikit terbuka. Dia betul-betul tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dan tanpa sadar, pikirannya melayang entah ke mana.
Kini Nyai Dukun Sirah tidak membuang-buang waktu. Secepat kilat ditubruknya Warsih dan ditindihnya dengan pelukan erat-erat. Dari mulutnya keluar erangan laksana seekor harimau yang menggeram yang mengiringi helaan napasnya yang kasar.
Warsih betul-betul kaget, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kejadian ini cepat sekali berlangsung. Dan yang mampu dilakukannya hanya menjerit!
? *** ? ? 2 ? Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun bangkit, langsung meraih cangkulnya. Lalu ditinggalkannya tempat ini dengan langkah gontai tersaruk-saruk, setelah seharian bekerja di sawah.
Kini pemuda itu mendaki sedikit pada dataran yang agak tinggi. Di situ terdapat hutan kecil yang biasa dilalui penduduk desa untuk ke sawah. Rumahnya agak ke pinggir. Sehingga bila melewab jalan biasa, akan memakan waktu lama dan berputar, maka diputuskannya untuk mengambil jalan memotong.
Dia berbelok ke kanan. Dan di sini, pepohonan lebih lebat dan semak belukarnya pun lebih banyak. Sesaat tengkuknya merinding ngeri dan bulu kuduknya berdiri. Menurut cerita orang kampung, tempat ini banyak dihuni makhluk halus.
Tapi hari belum terlalu gelap. Dan mungkin setan-setan itu masih enggan keluar dari sarangnya. Lagi pula, di ujung hutan ini terdapat sebuah desa yang cukup ramai, yaitu Desa Dukuh Barus. Dia tinggal berbelok ke kiri sekali lagi, dan tidak lama akan sampai di rumah.
Duk! "Uh, sial! Apa ini...?" gerutu pemuda itu kesal, ketika kakinya tersandung sesuatu.
Dia mengamati dengan seksama. Dan seketika wajahnya tampak kaget. Pemuda itu coba memas-tikan. Digulirnya sesosok tubuh yang tertelungkup di dekatnya.
"Astaga! Apa yang terjadi dengannya"! Kenapa orang ini bisa berada di sini"!" seru pemuda itu kaget.
Tidak terasa, bulu kuduk pemuda itu kembali meremang. Darahnya tersirap deras, serta jan-tungnya berdegup kencang. Sesaat kepalanya celingukan memandang keadaan di sekelilingnya.
Ketakutannya yang semula berusaha ditepis, kini semakin menjadi-jadi. Di depan pemuda itu tergeletak sesosok mayat wanita yang seluruh ku-litnya menggelembung. Bahkan sebagian telah meletus mengeluarkan nanah bercampur darah yang menebar bau tidak sedap. Pikiran pemuda itu berkecamuk, dan menduga yang bukan-bukan.
"Apakah ini perbuatan penunggu hutan...?" tanya hati pemuda ini.
Kakinya tersurut mudur ke belakang. Lalu dengan cepat dia memutuskan untuk kembali kejalan yang biasa dilalui dengan berlan-lari kencang sambil berteriak-teriak.
'Tolong...! Tolooong...!"
Suara pemuda itu bergema. Sementara keta-kutan hebat terus bergolak di hatinya. Beberapa kali kakinya tersandung akar pohon, namun tidak dipedulikannya. Dia terus kabur tanpa menoleh ke belakang lagi. Namun begitu mendekati perkampungan penduduk, hatinya tercekat. Seketika larinya dihentikan. Di depan sana, terdengar jeritan yang sama. Bahkan lebih memilukan hati. Beberapa orang kabur. Sementara yang lain mengejar. Ada jerit tangis anak-anak yang tercampur jeritan dan pekikan kematian wanita.
Pemuda itu bersembunyi di balik pohon besar, mengamati dengan seksama.
"Oh! Apa yang terjadi! Apakah mereka kawan-an perampok...?" gumam pemuda itu dengan napas tersengal.
Jeritan itu semakin membuatnya pilu. Namun, pemuda ini tidak mampu berbuat apa-apa. Semangatnya semakin ciut melihat pemandangan yang terjadi di depannya.
Namun dengan tiba-tiba Bidin tercekat. Tampak seorang wanita muda tengah diseret-seret oleh tiga orang pemuda lain sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Wanita muda itu berusaha meronta. Namun ketiga pemuda itu mencengkeramnya kuat-kuat. Dua orang memegang kedua tangannya, sementara yang seorang memeluknya dari belakang. Wajah pemuda yang bersembunyi di balik pohon itu berkerut menahan geram. Api amarah memercik dalam hatinya. Dan tanpa sadar, dia mendengus kasar.
"Kurang ajar! Apa yang mereka lakukan terhadap Marni?"!"
Tanpa sadar, pemuda itu melompat seraya mengayunkan cangkul.
"Bangsat terkutuk! Mampuslah kalian semua ...!"
"Heh"!"
Ketiga pemuda yang tengah menyeret wanita itu terkejut mendengar teriakan seseorang. Namun mereka cepat bergerak menghindar, melihat serangan. Bahkan mereka langsung mencabut golok yang terselip di pinggang.
"Setan alas! Mau cari mampus dia rupanya!" desis salah seorang dari ketiga pemuda itu.
Mereka terpaksa melepaskan cengkeramannya pada gadis yang dipanggil Marni. Kini, pemuda itu langsung mencengkeram tangan gadis ini.
"Kang Bidin! Oh, syukurlah kau cepat da-tang...!" seru Marni dengan wajah gembira seraya memeluk pemuda bernama Bidin yang telah menolongnya.
"Marni, awas! Jangan jauh-jauh dariku!" ujar Bidin memperingatkan.
Bidin melepaskan pelukan Marni, ketika melihat ketiga pemuda itu telah melompat menyerang. Namun Bidin cepat mengibaskan tangannya, untuk menangkis.
Trak! Trak! "Yeaaa...!"
Begitu habis terjadi benturan senjata. Bidin balas menyerang. Cangkul di tangannya berubah menjadi senjata yang mematikan. Dan membuat ketiga pemuda pengeroyoknya bertambah geram dan penasaran
? *** ? "Kurang ajar! Lebih baik kau menyerang, Keparat! Kalau tidak, kau akan celaka sendiri!" desis salah seorang pemuda yang bercelana pendek dengan wajah berkerut geram.
"Huh! Aku tidak takut pada kalian! Siapa pun yang coba menyentuh kekasihku, dia boleh mampus di tanganku!" balas Bidin tidak kalah geram.
"Hm... Jadi, gadis itu kekasihmu" Bagus! Kami akan merebutnya. Dan akan kau lihat pemandangan mengasyikkan di depan matamu, setelah kau sekarat!"
"Langkahi dulu mayatku, bila kalian hendak berbuat tidak senonoh padanya!" dengus Bidin.
"Baik! Kau boleh mampus sekarang!"
Setelah itu, pemuda bercelana pendek ini memberi isyarat pada kedua kawannya. Dan kini, mereka segera merubah siasat. Ketiganya mengitari Bidin yang telah bersiap menyambut dengan cangkul.
Marni yang berada di belakang Bidin mulai ke-cut hatinya. Wajahnya tampak pucat. Dalam pan-dangannya, ketiga pemuda itu tidak beda dengan hewan-hewan buas yang siap menerkam mangsa.
"Yeaaa...!"
Dua orang menerkam disertai bentakan nya-ring. Yang seorang dari depan, dan seorang lagi dari samping kanan. Sementara, orang ketiga berusaha meringkus Marni.
"Setan!" maki Bidin.
Pemuda itu memegang cangkul dengan kedua tangan, lalu menangkis serangan yang datang dari kanan. Tubuhnya langsung berputar setengah lingkaran ke kiri dengan tubuh membungkuk sedikit. Langsung disabetnya salah seorang lawan dengan mata cangkul.
Trak! Tak! Dua orang yang mengeroyok tersentak. Golok mereka nyaris terpental dihantam cangkul Bidin. Rencana mereka gagal, sebab Bidin mengetahui-nya. Sehingga dia lebih merapatkan diri pada Marni. Bahkan ketika seorang lawan yang berada di sebelah kanan berusaha mencuri kesempatan untuk menarik Marni, ujung cangkulnya menyodok ke perut.
Des! "Akh...!"
Orang itu menjerit kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung ke belakang.
"Heh"!"
"Hiiih!"
Kedua pengeroyok tercekat. Dan Bidin tidak menyia-nyiakan kesempatan di saat mereka lengah. Ujung cangkulnya cepat menghajar keduanya sekaligus. Yang seorang cepat mengelak dengan melompat ke belakang. Namun yang seorang lagi bernasib sial. Karena...
Krak! "Aaakh...!"
Cangkul Bidin telah menyerempet dada orang itu, dan merobek kulit tubuhnya. Orang itu memekik setinggi langit. Beberapa tulang rusuknya patah. Darah tampak mengucur deras ketika tubuhnya terjungkal ke belakang, dan langsung menghantam sebatang pohon.
"Heaaa!"
Sekali lagi Bidin melihat kesempatan baik dan tidak mau disia-siakannya sedikit pun. Melihat lawan yang seorang lagi berusaha bangkit, dia telah melompat menerjang. Kedua kakinya tepat menghujam ke dada.
Des! "Aaakh!"
Kembali orang itu dibuat terbanting keras sambil menjerit kesakitan.
"Ayo Marni! Kita harus kabur secepatnya dari sini!" seru Bidin seraya menarik lengan Marni.
"Tapi, Kang...! Ayah dan ibuku...," sergah Marni.
"Jangan pikirkan mereka dulu! Ayo, selamat-kan dirimu!"
Bidin tidak mempedulikan alasan kekasihnya. Diseretnya Marni dan kabur dari tempat ini, sebe-lum ketiga lawannya bangkit dan mengejar ataumemanggil kawan-kawannya yang lain.
"Kang! Mau ke mana kita" Ayah dan ibu...!
Mereka..., mereka...," ujar Marni bingung, seraya menoleh ke belakang beberapa kali.
"Sudah! Jangan pikirkan mereka! Kau bisa ce-laka! Kita akan kabur sejauh-jauhnya dari desa ini!" ujar Bidin.
"Tapi, Kang! Orang-orang desa tengah dilanda bahaya. Bukankah sebaiknya Kakang menolong mereka?"
"Aku tidak bisa, Marni! Mana mungkin" Jumlah mereka sangat banyak. Lagi pula, mereka amat ahli ilmu kanuragan!"
"Tapi, Kakang! Bukankah kau pun memiliki kepandaian hebat" Kau murid Padepokan Cagak Layung. Seharusnya kau ikut membantu yang lain menghadapi mereka. Bukannya malah kabur dan menyelamatkan diri sendiri!" sanggah Marni dengan wajah bersungut-sungut.
"Marni! Aku tidak bisa.
"Huh! Aku tidak suka melihat kekasihku seorang pengecut! Sementara pemuda-pemuda lain-nya berjuang melawan mereka, kau malah mela-rikan diri!" umpat Marni, semakin kesal.
"Marni! Sudah kukatakan, itu tidak mungkin. Jumlah mereka banyak. Sia-sia saja melawan..."
"Aku tidak peduli! Aku tidak sudi ikut denganmu!" sentak Marni.
Gadis itu tiba-tiba melepaskan cekalan Bidin. Dan tubuhnya langsung berbalik meninggalkan pemuda itu.
"Marni, tunggu! Tungguuu...! Kau tidak boleh kembali ke sana'" teriak Bidin berusaha mengejar.
Namun, gadis itu tidak menghiraukan teriakannya. Dan terus saja berlari menembus semak belukar dan kegelapan malam.
Bidin tercekat, begitu kehilangan jejak Marni. Tapi, mendadak terdengar jeritan Marni. Dia segera memburu. Namun langkahnya terhenti, ketika melihat tujuh orang lelaki bertubuh besar tengah menyergap Marni.
Bidin menarik napas panjang. Dia berusaha menahan gemuruh di hatinya mendengar jeritan Marni yang ketakutan bercampur gelak tawa laki-laki yang meringkusnya. Dia memalingkan muka, dan terduduk lesu. Pikirannya kalut dan tidak menentu. Antara keinginan menyelamatkan Marni dari cengkeraman mereka, dan rasa takut di hati melihat jumlah lawan yang tidak sepadan. Tidak ada yang bisa diperbuatnya selain mengutuk geram, dan memukul-mukul batang pohon dengan kepalan tangan.
Dari kejauhan masih terdengar jerit Marni, penuh ketakutan.
? *** ? Seorang pemuda tengah menggebah pelan kudanya yang berbulu hitam berkilat. Hewan itu mendengus kecil, lalu melangkah agak kencang. Di depan terlihat batas sebuah desa. Pemuda itu mengernyitkan dahi sekilas, kemudian kembali menggebah kudanya.
"Sebentar lagi malam, Dewa Bayu. Mudah-mudahan di desa itu ada yang berbaik hati mene-rima kita untuk menginap," ujar pemuda berbaju rompi putih itu lirih pada hewan tunggangannya yang dipanggil Dewa Bayu.
"Hieee!"
Hewan berbulu hitam itu meringkik pelan seraya menggoyang-goyangkan kepala.
Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pende-kar Rajawali Sakti tersenyum. Matanya tajam me-mandang ke depan, seperti hendak menembus ke-remangan senja. Jalan tampak sepi. Tidak seorang pun yang berpapasan dengannya.
Jarak batas desa dengan perkampungan pen-duduk cukup jauh. Namun Rangga menempuhnya dalam waktu singkat. Dari kejauhan mulai terlihal atap-atap rumah penduduk serta obor yang menyala di tiap-tiap depan rumah. Namun, sungguh aneh. Ternyata tak seorang pun yang ditemuinya berkeliaran di desa ini. Dan Rangga pun menghentikan langkah kudanya.
"Hm.... Apa gerangan yang terjadi" Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres...," gu-mam Pendekar Rajawali Sakb lirih, sambil memperhatikan dengan seksama.
Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya. Dituntunnya Dewa Bayu memasuki sebuah pekarangan rumah. Kakinya melangkah hati-hati mendekati pintu, lalu mengetuknya.
Tidak terdengar sahutan dari dalam. Kembali Rangga mengetuk.
"Sampurasun... Selamat malam. Kisanak yang berada di dalam, bolehkah aku menumpang menginap barang semalam?"
Hening. Tak ada sahutan. Namun, pemuda itu yakin kalau rumah ini tidak kosong. Rangga men-desah pelan. Diputuskannya untuk mengetuk pintu rumah yang lain, karena menduga kalau pemilik rumah ini tidak bersedia menerimanya.
Namun ketika Rangga berbalik, di halaman depan telah berdiri tegak lima lelaki berbaju hitam yang masing-masing membawa golok di pinggang. Pendekar Rajawali Sakti tersenyum dan berusaha bersikap ramah.
"Siapa kau"! Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya salah seorang dari mereka dengan nada datar.
"Namaku, Rangga. Dan aku seorang pengem-bara. Karena kemalaman, aku bermaksud mengi-nap. Namun pemilik rumah ini agaknya tidak bersedia menerimaku," sahut pemuda itu, jujur.
Kelima orang ini tidak langsung menyahut kembali. Dua orang yang berada di belakang laki-laki yang pertama bicara segera mendekat dan membisikkan sesuatu. Sesaat kemudian, laki-laki itu mengangguk dan memandang kepada Rangga.
"Hm... Kalau kau hendak menginap, kenapa tidak mampir saja ke tempat kami?"
"Oh, terima kasih! Apakah kalian penduduk desa ini?"
"Ya!"
"Baiklah..."
"Mari ikut denganku!" lanjut laki-laki itu. Rangga segera mengikuti mereka seraya me-nuntun kudanya. Kelima orang itu tidak banyak bicara. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, apa yang harus dibicarakan terhadap mereka. Sehingga mereka hanya berdiam diri selama perjalanan.
Mereka membawa Pendekar Rajawali Sakti pada sebuah rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu dengan atap terbuat dari ijuk. Halamannya cukup luas. Di beranda depan, terlihat beberapa orang sedang duduk. Mereka segera berpaling, begitu melihat kedatangan keenam orang ini.
"Tunggu sebentar! Aku akan bicara pada pemilik rumah ini...!" kata laki-laki yang bicara padanya tadi.
"Maksudmu, aku boleh menginap di sini?" tanya Rangga.
"Ya."
Orang itu mengangguk, lantas beranjak ke dalam. Sedang, tiga kawannya bergabung dengan yang lain. Sementara yang seorang lagi mengajak Rangga duduk di undakan anak rangga.
Tidak lama kemudian, laki-laki tadi keluar bersama seorang lelaki gagah berkumis tebal baju putih. Pada wajahnya terdapat beberapa guratan bekas luka. Sepasang matanya tampak sedikit merah. Di pinggangnya terselip sebilah golok bergagang perak, berbentuk tengkorak.
"Mari, Kisanak. Silakan masuk! Jadi kaukah orangnya yang hendak menginap di sini?" sapa laki-laki berkumis tebal itu dengan wajah ramah dan senyum lebar.
"Benar. Apakah Kisanak tidak keberatan?" ujar Rangga, sambil mendekat.
"Oh, tidak! Sama sekali aku tidak keberatan. Rumahku besar dan kamarnya banyak. Kau boleh menempati salah satu kamar "
"Terima kasih...."
Rangga mengikuti pemilik rumah ini ke dalam. Meski suaranya terdengar kasar, namun laki-laki berkumis tebal itu tampaknya ramah. Dia berusaha sebaik mungkin memperhalus kata-katanya.
"Kau tentu lelah setelah melakukan perjalanan jauh, bukan" Nah! Ikutlah denganku. Kita minum dulu, sebelum kutunjukkan kamar yang pantas untukmu!" kata laki-laki berkumis tebal itu.
Rangga tidak bisa menolak. Apalagi pemilik rumah ini bersama beberapa pembantunya telah mengajaknya memasuki sebuah ruangan. Di situ telah tersedia sebuah meja makan yang lengkap dengan beberapa hidangan buah-buahan dan arak.
"He he he...! Silakan, dan jangan malu-malu. Kebetulan sekali kau datang saat kami hendak bersantap. Aku orang yang paling menghormati tamu.
Jadi, jangan merasa sungkan. Ayo, duduklah!"
Pendekar Rajawali Sakti mengambil tempat tepat berhadapan dengan pemilik rumah ini. Se-dang yang lainnya berada di kanan dan kirinya. Rangga menghitung, kursi di meja makan ini hanya enam. Maka tiga orang lain yang tidak kebagian tempat, hanya bisa berdiri. Dua menjaga di pintu, dan seorang lagi berdiri di belakang laki-laki berbaju putih ini.
"Namaku Jembor. Dan mereka semua adalah pekerjaku. Aku mempunyai banyak sawah dan kebun di sini. Dan kebanyakan dari mereka, mengawasinya...," jelas laki laki bernama Jembor itu seraya menuang arak ke cawan.
Rangga mengangguk, dan tersenyum kecil.
"Kelihatannya, kau bukan sembarang pengelana, Rangga. Apakah ada sesuatu yang kau tuju di desa ini?" tanya Ki Jembor, seraya mengerling pada tamunya.
"Tidak. Hanya kebetulan saja lewat di sini. Tu-juanku hanya mengikuti ke mana saja kakiku melangkah."


Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas Nafsu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, sayang sekali. Anak muda seusiamu menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tapi kalau kau suka, aku akan menawarkan pekerjaan padamu...," kata Ki Jembor.
"Pekerjaan apa yang hendak kau tawarkan padaku?"
"He he he...! Sebaiknya kita minum dulu se-belum membicarakan soal itu" "
Set! Setelah tertawa begitu, tiba-tiba Ki Jembor mendorong cawan berisi arak ke arah Rangga. Seketika cawan itu bergeser cepat. Namun, tidak ada setetes pun yang tertumpah.
"Silakan diminum, Rangga!"
Rangga tersenyum. Diketuknya meja dengan satu jari. Dan mendadak, cawan yang bergerak ke arahnya itu melompat ke atas. Namun, Ki Jembor tidak membiarkannya begitu saja. Telapak tangannya langsung diayunkan ke depan. Dan dari situ, melesat angin kencang menerpa cawan.
Ternyata Rangga pun tidak kalah sigap. Telun-juknya cepat menyambar bagian bawah cawan. Bahkan, cawan itu tetap berada di atas telunjuknya dengan berputar akibat hantaman Ki Jembor. Arak yang berada di dalam cawan sama sekali tidak tertumpah. Bahkan dengan tenang Rangga menenggak isinya sampai tandas!
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 153. Pemuas Nafsu Iblis Bag. 3 dan 4
28. Dezember 2014 um 08:00
3 ? "Terima kasih atas kemurahan hatimu, Ki Jembor!" ucap Rangga.
"Tapi aku masih kurang. Bolehkah minta sedikit lagi?"
Bersamaan dengan itu, Rangga mengibaskan tangannya. Seketika itu cawan melayang ke arah Ki Jembor.
Wuuut! Ki Jembor terkejut. Cawan itu bergerak cepat dan terasa dihempaskan oleh tenaga dalam tinggi. Dalam kegugupannya, dia tidak mampu menangkap. Yang bisa dilakukannya hanya menepis, membuat cawan itu pecah terhantam tangannya!
Prak! Wajah Ki Jembor tampak merah, menahan malu. Matanya langsung melirik sekilas pada Rangga, lalu berpaling kepada anak buahnya. Tak ada seorang pun yang berani buka suara. Malah, anak buahnya yang berdiri di belakang, buru-buru memberikan cawan pengganti.
"Ah, sayang sekali. Akibat kelalaianku, maka cawanmu pecah. Maafkan kekurangajaranku, Ki Jembor!" kata Rangga merasa bersalah.
"Tidak apa...," sahut Ki Jembor, sedikit gugup.
"Hm.... Lebih baik kita minum bersama! Mari, Rangga!" seru salah seorang anak buah Ki Jembor seraya menuang arak dan mengajak yang lainnya untuk minum bersama.
Sementara, anak buah Ki Jembor yang lain segera menyediakan cawan bagi Rangga, lalu me-nuangkan arak ke dalamnya. Rangga tersenyum sambil menunggu yang lain minum bersama. Bagaimanapun, dia tidak pernah mempercayai mereka seorang pun!
"He he he...! Ayo, mati kita minum, Rangga!" ajak Ki Jembor seraya menenggak isi cawannya.
Anak buah Ki Jembor yang lainnya mengikuti. Rangga sendiri sebenarnya sudah menangkap ge-lagat tak baik. Namun dia ikut pula menenggak arak.
"Tambah lagi, Rangga!" ujar anak buah Ki Jembor yang berada di dekatnya, seraya mengisi cawan yang berada dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm, kurasa cukup. Aku tidak biasa mabuk..."
"Ha ha ha...! Arak ini tidak akan memabukkan, bila secawan atau dua cawan!" timpal Ki Jembor.
Yang lain ikut menanggapi. Sehingga mau tidak mau, Rangga terpaksa menenggak kembali isi cawan dalam genggamannya. Apalagi, ketika yang lain menenggak arak tanpa ragu-ragu dari guci yang sama.
Namun ketika mereka hendak mengisi cawan untuk yang ketiga kali, Rangga menahannya.
"Kurasa sudah cukup, bila sekadar untuk menghilangkan rasa haus...."
"Ha ha ha...! Arak ini amat langka. Jadi, sayang sekali bila kau mencicipinya sedikit. Minumlah sepuasmu! Aku masih punya persediaan banyak!" sahut Ki Jembor.
"Betul, Rangga! Kenapa ragu" Ki Jembor amat pemurah. Jadi jangan disia-siakan kesempatan ini!" timpal seorang anak buah Ki Jembor.
Rangga tidak langsung menjawab. Dan mendadak saja dia mengerjap-ngerjapkan matanya, seperti orang mabuk. Ki Jembor sendiri melihat pemuda itu seperti menderita pening yang hebat.
"Kenapa, Rangga" Apa yang kau rasa?" tanya Ki Jembor.
"Entahlah... Pandanganku seperti menga-bur...," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti sadar, kalau arak yang disuguhkan mengandung suatu racun jahat. Kalau toh yang lain minum dari guci yang sama, pasti mereka telah minum obat pemunah yang sebelumnya. Tapi biar bagaimanapun, Rangga sejak dulu telah kebal racun. Sejak di Lembah Bangkai dulu, Pendekar Rajawali Sakti sering makan jamur yang membuat tubuhnya kebal racun. Dan karena ingin tahu apa yang akan dilakukan Ki Jembor selanjutnya, Rangga terpaksa berpura-pura, seolah dirinya kini telah teracuni.
"Oh! Kepalaku... sakit sekali...," keluh Pendekar Rajawali Sakti, seraya bangkit berdiri dan memijit-mijit keningnya.
"Mungkin kau terlalu lelah, Rangga. Sebaiknya, istirahatlah dulu. Anak buahku akan menunjukkan tempatmu...!" ujar Ki Jembor.
"Mungkin juga...."
Dua orang anak buah Ki Jembor mengapit dan membawa Rangga ke suatu tempat. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti menuruti saja.
? *** ? Byur! "Ohhh...!"
Seember air disiramkan ke muka Rangga. Pen-dekar Rajawali Sakti pura-pura gelagapan, Sementara kedua tangan dan kakinya telah terikat kuat pada dinding di belakangnya.
"Siram lagi!" perintah satu suara.
Lalu seember kecil lainnya mengguyur wajah Rangga. Pemuda itu kembali pura-pura gelagapan. Padahal, dia telah memindahkan pernapasannya ke perut, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengerjap-ngerjapkan mata.
Beberapa orang kini telah berdiri di depan Rangga.
"Kau sudah sadar, Rangga?" tanya sebuah suara.
"Ki Jembor...," kata Rangga, pura-pura.
"Ha ha ha...! Benar! Ternyata kau telah sadar rupanya...!"
Rangga kembali mengerjap-ngerjapkan mata. Tampak Ki Jembor mondar-mandir di depannya. Di belakang orang itu berdiri lima orang anak buahnya. Mereka adalah yang tadi ikut dalam perjamuan.
"Ki Jembor, apa maksudmu dengan semua ini?" tanya Rangga, terus bersandiwara, seraya melirik kedua tangan dan kakinya yang dirantai.
"Sekadar penjagaan saja."
"Penjagaan apa" Aku tidak bermaksud buruk padamu. Kenapa kau perlakukan aku begini?" sesal Pendekar Rajawali Sakti
"Itu persoalan mudah. Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu. Yaitu, maukah kau bekerja padaku?"
Rangga tersenyum.
"Jadi, hanya untuk itukah kau menawanku?"
"Ha ha ha...! Ketahuilah. Aku tidak suka pe-nolakan. Semua yang kuinginkan dari seseorang harus, terpenuhi. Atau..., orang itu harus mati!"
Wajah Ki Jembor tampak terlipat geram, setelah semula tertawa girang. Sekadar menunjukkan pada pemuda itu, kalau dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
"Tapi, tidak perlu dengan cara begini. Kau bisa memintaku dengan secara baik-baik..."
"Huh! Kenapa aku harus memintamu" Itu hanya basa-basi saja. Sebab, apa pun jawabanmu kau harus bekerja dan menuruti perintahku. Atau, barangkali kau sudah bosan hidup"!" dengus Ki Jembor geram seraya mendekatkan wajahnya.
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kau telah mendengarnya. Dan keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi!" sahut Ki Jembor, seraya membelakangi tawanannya.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
"Kulihat, kepandaianmu hebat. Sehingga orang sepertimu pantas menjadi anak buahku"
Rangga tersenyum kecil.
"Kepandaianku tidak seberapa dibandingkan denganmu atau semua anak buahmu. Kau telah memiliki mereka. Dan kukira, mereka bukanlah orang-orang bodoh. Sebab bila bodoh, kau tidak mungkin menjadikan mereka anak buah. Jumlah mereka telah cukup banyak. Dan dengan bertam-bahnya aku, tidak akan membuat kekuatanmu goyah. Aku hanya orang biasa...."
Ki Jembor berbalik. Dan wajahnya jelas terlihat tidak senang mendengar jawaban pemuda itu.
"Kau pandai bersilat lidah. Tapi, aku tidak pe-duli. Kau boleh jawab tawaranku, atau terima ke-matianmu. Dan aku tidak memberi pilihan, selain dari itu!" sahut Ki Jembor menegaskan.
"Kenapa aku musti ragu" Bila benar kau amat menginginkan aku bekerja untukmu, tentu saja dengan senang hati kuterima!" sahut Rangga, dengan wajah gembira.
"Bagus! Kau telah menyelamatkan dirimu. Tapi, bukan berarti aku bisa percaya begitu saja. Kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku tidak percaya kalau kau mau menjadi anak buahku. Oleh sebab itu, kau harus membuatku percaya," jelas Ki Jembor.
"Hm" Bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu percaya?"
Ki Jembor memberi isyarat. Tak lama, seorang anak buahnya mendekat, membawa sebuah cawan berisi arak. Ki Jembor mengambil, lalu mengamati isi cawan itu. Kemudian matanya memandang Rangga sambil tersenyum-senyum.
"Arak ini telah kububuhi racun ganas yang mematikan. Namun, kerjanya lama sekali. Dia akan menggerogoti isi tubuh perlahan-lahan. Hanya aku yang memiliki obatnya. Nah! Kau harus meminumnya. Dalam waktu satu bulan, kau harus membuktikan kesetiaanmu padaku. Sebab bila tidak, maka kau akan mati percuma. Tidak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan dari racunku ini!" jelas Ki Jembor.
? *** ? "Ki Jembor! Bila kau melumpuhkan semua te-nagaku dengan racunmu, maka untuk apa lagi kau menginginkanku bekerja denganmu" Bukankah pekerjaan yang kau berikan padaku membutuhkan tenaga?"
"Ha ha ha...! Tidak semudah itu, Rangga," kata Ki Jembor, disertai tawa terbahak.
"Lalu apa yang harus kulakukan lagi?"
"Minum ini!" sahut Ki Jembor, mengangsurkan cawan arak di tangannya.
Rangga terdiam. Disadari, dia tidak akan terpengaruh oleh racun itu. Tapi penjagaan di sini terlalu ketat. Dan bila Pendekar Rajawali Sakti berusaha melepaskan diri secara paksa, maka akan celakalah dirinya. Dan Rangga berniat mengatur siasat. Dia menunggu saat-saat yang tepat, untuk membebaskan diri.
Di tengah-tengah Rangga sedang mengatur siasat, mendadak.
"Kebakaran! Kebakaran...!"
Terdengar teriakan keras dari arah luar rumah ini.
"Apa"!"
Ki Jembor tampak kaget. Dia segera melompat keluar, diikuti anak buahnya yang lain.
"Hei"! Kau jaga di sini!" teriak laki-laki berkumis itu memerintah pada seorang anak buahnya.
"Beres, Ki!"
Ki Jembor dan yang lainnya baru saja keluar dari ruangan ini, mendadak sesosok tubuh melayang dari wuwungan.
"He, siapa kau"!" bentak anak buah Ki Jembor yang berada di sini.
Di hadapan orang itu berdiri sesosok tubuh berselubung kain hitam, mengenakan penutup muka. Seketika anak buah Ki Jembor mencabut golok, langsung menyerang orang bertopeng ini.
Orang bertopeng itu berkelit ke samping. Lalu tangannya mengibaskan, menghantam pergelangan anak buah Ki Jembor.
Wut! Plak! Golok di tangan anak buah Ki Jembor terlepas. Sementara orang bertopeng itu sudah berbalik. Lalu sebelah kakinya menyodok ke dada.
Des! "Aaakh!"
Anak buah Ki Jembor mengeluh kesakitan begitu kaki orang bertopeng bersarang telak di da-danya. Tubuhnya terbanting keras menghantam dinding, dan jatuh ke lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Sementara saat terjadi pertarungan, Rangga berusaha melepaskan rantai besi yang mengikat kedua tangan dan kakinya.
Tring! Tring! "Siapa kau?" tanya Rangga, begitu ikatan pada tangan dan kakinya terlepas.
Orang bertopeng itu hanya memandangi Rangga dengan takjub, namun tidak menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Mari ikut aku, Kisanak!" ajak orang bertopeng itu.
Mereka kemudian berkelebat, berusaha keluar dari rumah ini.
"Hei, siapa kalian"!"
Seorang anak buah Ki Jembor memergoki mereka. Orang bertopeng itu menoleh. Dan tahu-tahu, dari sebelah tangannya melesat beberapa batang jarum halus ke arah anak buah Ki Jembor.
Wer! "Aaa...!"
Tanpa mempedulikan anak buah Ki Jembor yang terjungkal dan sekarat orang bertopeng itu terus berlari bersama Pendekar Rajawali Sakti melewati pagar samping. Mereka terus berusaha menjauh dari tempat ini.
"He, siapa itu"! Berhenti...!" teriak seseorang.
"Kurang ajar! Hentikan dia!" timpal yang lain.
"Tawanan kita kabur! Kejar! Hentikan mereka!" teriak yang lain pula.
Lebih dari dua puluh orang anak buah Ki Jembor berlompatan mengejar orang bertopeng yang berlari bersama tawanan mereka.
Namun, Rangga yang memiliki ilmu meri-ngankan tubuh yang sudah sangat sempurna, tidak kehabisan akal. Segera dicekalnya tangan orang bertopeng itu. Lalu tubuhnya berkelebat sangat cepat ke arah selatan. Di malam yang gelap ini, Rangga pun mengerahkan aji 'Tatar Netra'. Sehingga mereka dengan leluasa dapat berlari di malam yang gelap begini.
Dan kini para pengejarnya telah tertinggal jauh, tanpa dapat mengejar lagi.
? *** ? 4 ? "Namaku Rangga. Siapa namamu, Kisanak?" tanya Pendekar Rajawali Sakti ketika mereka ber-dua telah tiba di rumah yang ditunjuk orang bertopeng itu.
"Aku..., Bidin," sahut orang bertopeng itu, dengan perasaan enggan.
"Terima kasih atas bantuanmu," ucap Pendekar Rajawali Sakti.
Orang bertopeng itu diam saja.
"Bidin..."
"Ya."
"Ini rumahmu?"
"Hanya untuk sementara ..."
"Untuk sementara" Lalu, di mana rumahmu yang sesungguhnya?"
Bidin tidak menyahut. Buru-buru dia masuk ke dalam sebuah ruangan. Dan dia kembali membawa cangkir dari bumbung bambu yang berisi air minum.
"Minumlah. Mungkin kau haus. .!"
Rangga menerima dan menenggak isinya sam-pai ludes.
? *** ? Rangga melirik dan memperhatikan wajah di balik topeng. Usianya tidak jauh berbeda dengan-nya. Juga, tidak terlalu buruk!
"Sebenarnya apa yang terjadi di desa ini, Bidin. Kulihat orang-orang enggan menampakkan diri. Dan yang kulihat di luaran hanya orang telengas saja.
Bidin tersenyum pahit. Lalu wajahnya me-nerawang seperti hendak menembus atap gubuk ini.
"Sebuah malapetaka telah terjadi di desa ini. Dan aku kini adalah jadi seorang pengecut," sahut Bidin, menyesali diri sendiri.
"Apa maksudmu?"
Bidin tidak menyahut. Malah bibirnya tersenyum pahit seperti tadi.
"Apakah kau kenal Ki Jembor?" tanya Rangga berusaha mengalihkan perhatian.
"Dia hanya salah seorang kaki tangan Nyai Dukun Sirah, orang yang membuat malapetaka di desa ini."
"Nyai Dukun Sirah" Siapa dia?"
"Dukun wanita sakti yang menguasai beberapa desa, termasuk desa ini," sahut Bidin, datar.
"Menguasai beberapa desa" Hm, hebat sekali!"
"Dia bahkan membuat repot Kanjeng Adipati..."
"Luar biasa! Apa sebenarnya yang diinginkan wanita itu?"
"Dia ingin menjadi rata?"
"Perbuatan ini sungguh nekat! Wanita itu ter-lalu gegabah!"
Bidin tersenyum mendengar tanggapan pemuda itu.
"Apakah kau sungguh tidak tahu?"
"Apa?"
"Nyai Dukun Sirah tidak seceroboh yang kau duga"
"Hm, lalu...?"
"Kawasan Kadipaten Sanggriang sepertinya mendapat ancaman Nyai Dukun Sirah. Sang Adi-pati sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Nyai Dukun Sirah telah membangun angkatan perang. Dan setiap saat, selalu mendesak kekuasaan Adipati Rapaksa," jelas Bidin.
"Apakah Adipati Rapaksa tidak meminta bantuan pada kerajaan?"
"Tidak bisa. Sebab, semua tempat di seluruh kadipaten ini berada dalam jangkauan Nyai Dukun Sirah. Apalagi, perempuan tua itu memiliki seribu telinga. Mata-matanya tersebar di mana-mana. Pernah beberapa kali Adipati Rapaksa mengirim utusan rahasia kepada kerajaan. Namun, tidak seorang pun yang pernah kembali. Diduga, mereka binasa atau ditawan Nyai Dukun Sirah..." lanjut Bidin.
"Hm, ternyata kekuatan Nyai Dukun Sirah tidak bisa dianggap main-main!" desah Rangga.
Bidin terdiam. Wajahnya muram seperti saat bercerita.
"Apakah Nyai Dukun Sirah menyengsarakan rakyat?"
"Ya! Rakyat merasa tertekan sekali. Mereka memungut pajak semaunya Dan anak buahnya sering berbuat keonaran. Banyak di antara penduduk desa berusaha kabur dan pindah ke desa lain. Namun, tidak semuanya selamat. Nyai Dukun Sirah tidak kenal ampun. Semua orang yang membangkang dijatuhi hukuman mati.
"Apakah tidak ada rakyat yang memberon-tak?"
"Tidak. Mereka tidak berani melawan..."
"Para pemudanya?"
Bidin terdiam. Kepalanya tertunduk. Lalu pan-dangannya dibuang ke tempat lain. Tidak terasa, malam telah berlalu. Dan subuh mulai datang ketika dari kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahutan. Namun, keduanya masih terdiam.
Rangga mulai merasa yakin kalau Bidin me-nyimpan satu rahasia terhadapnya. Wajah pemuda itu tampak suram, menyiratkan kesedihan yang dalam di hatinya. Perasaan putus asa dan nelangsa.
"Selama ini apa yang kau lakukan...?" tanya Rangga hati-hati.
'Tidak ada apa-apa..."
"Apakah keluargamu ada yang menjadi korban kekejaman mereka?"
Bidin kembali terdiam.
"Kau ingin menuntut balas terhadap mereka" Aku bersedia membantumu," lanjut Rangga, merasa yakin kalau kesedihan yang dirasa Bidin pasti berkaitan dengan ulah Nyai Dukun Sirah.
Bidin menoleh dengan wajah suram.
"Apa maksudmu?"
"Kalau benar apa yang kau katakan, maka Nyai Dukun Sirah bukanlah orang baik-baik. Dia penindas. Dan orang seperti dia harus dilenyapkan dari muka bumi. Nah! Bila kau berpikiran sama, maka aku bersedia membantumu," sahut Rangga menegaskan.
"Nyai Dukun Sirah hebat, dan sakti. Kita hanya berdua. Mana mungkin bisa melawannya..."
"Apakah tidak terpikir untuk menggerakkan semangat rakyat dalam melawan Nyai Dukun Si-rah" Lagi pula, kita punya dukungan. Yaitu, dari sang adipati sendiri!"
Bidin menghela napas. Berat.
"Kenapa" Kau tidak setuju?" desak Rangga.
"Aku terlalu pengecut untuk berbuat seperti itu...," sahut Bidin lirih.
"Kenapa" Semua orang mampu melakukannya bila dalam dirinya ada sedikit semangat untuk membela kaum lemah!"
"Tidak! Tidak...!" bentak Bidin keras.
Pemuda itu bangkit, lalu menghantam dinding di dekatnya hingga jebol. Kemudian, kakinya me-langkah lebar keluar.
Rangga segera menyusul dan menghadang di depannya.
"Ada apa, Sobat" Apakah kau tidak ingin berbuat sesuatu bagi desa atau orang-orangmu?" tanya Rangga, mencoba memompa semangat Bidin.
"Aku tidak mampu! Aku tidak bisa...! Jangan halangi. Aku harus pergi! Aku sendiri pengecut..!"
Bidin kembali berteriak. Dan dengan kasar, ditepisnya tangan Rangga. Lalu dia berlari kencang, ke mana saja kakinya melangkah.
Namun baru saja sepuluh tindak melangkah, mendadak beberapa sosok tubuh menghadang.
"Berhenti...!" bentak salah seorang penghadang.
"Setan alas! Minggir kalian...!" balas Bidin, langsung mengayunkan kepalan tangan pada orang yang berada di dekatnya.
Wut! Sodokan Bidin ditangkis dengan sigap oleh orang itu.
Plak! Namun Bidin langsung berputar. Kemudian sebelah kakinya tepat menghantam dada.
Des! Orang itu mengeluh kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada.
"Kurang ajar! Pasti kau orang bertopeng yang membuat kekacauan, sehingga tawanan kita lari!" bentak yang lain geram.
Seketaka lima orang serentak menyerang Bidin.
"Heaaa...!"
Bidin terkesiap, saat golok-golok lawan me-nyambar ke arahnya. Dia melompat ke belakang, sambil menangkis beberapa hantaman serta ten-dangan lawan.
Plak! Plak! Dan seketika itu pula, Bidin mencabut golok yang terselip di pinggang.
? *** ? Trang! Empat senjata para pengeroyok berhasil ditangkis Bidin. Namun wajahnya berkerut seperti menahan beban berat. Lawan-lawannya ini agaknya bukanlah orang sembarangan. Tenaga dalam mereka kuat. Bahkan berada di atasnya. Sehingga, pemuda itu terus meringis setiap kali senjatanya beradu. Bahkan telapak tangannya mulai terkelupas. Dan beberapa kali golok di tangannya nyaris terpental. Namun begitu, dia masih mampu bertahan dengan semangat menyala-nyala.
"Heaaa!"
Pada saat itu, Rangga datang membantu. Dia melompat melenting tinggi. Setelah berputaran di udara, Pendekar Rajawali Sakti menyerang salah seorang lawan.
Orang itu langsung menyambut Rangga dengan sabetan golok. Namun, Rangga berkelit lin-cah. Bahkan tangan kanannya cepat menangkappergelangan tangan lawan. Pada saat yang bersa-maan, seorang lawan yang lain menyergap dari belakang.
"Hiiih!"
Rangga mencengkeram tangan lawan yang ke-mudian ditariknya ke belakang. Pada saat yang sama, tubuhnya membungkuk dan maju ke depan. Lalu....
Wut! Bres! "Aaa...!"
Golok itu meluncur ke belakang, dan menan-cap di jantung lawan yang berada di belakang Rangga. Terdengar jeritan panjang. Dan orang itu ambruk beberapa saat, sambil mendekap dada ki-rinya yang mengucurkan darah segar.
Sementara lawan Rangga yang tangannya masih dicengkeram tersentak kaget. Namun, Rangga tidak mempedulikannya. Ditekuknya lengan orang itu hingga terdengar tulang berderak patah.
Krak! Rangga tidak berhenti sampai di situ, tangan kanannya cepat bergerak.
Des! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang. Dan tubuh orang itu kontan terjungkal. Begitu mencium tanah, tubuhnya menggelepar beberapa saat, lalu diam tidak bergerak.
"Yeaaa!"
Pada saat itu juga dua lawan lain melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kalap. Kematian dua orang kawan mereka, membuat amarah pengeroyok itu semakin berkobar.
Bet! Bet! "Uts...!"
Dua golok berkelebat menyambar Rangga. Namun dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali Sakti menghindarinya lewat gerakan-gerakan manis yang sulit ditebak.
Tap! Wut! Salah seorang membabat leher. Secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti membungkuk. Lalu tubuhnya dengan cepat, menangkap pergelangan salah seorang lawan dengan tangan kiri. Dan secepat itu pula, tangan kanannya menghantam dada.
Des! "Aaakkh...!"
Orang itu menjerit kesakitan. Dan ketika seorang lagi menyerang, Rangga menyorongkan lawan yang dicengkeramnya, ke arah orang yang menyerangnya.


Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas Nafsu Iblis di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh"!"
Bles! "Aaa...!"
Bukan main terkejutnya lawan yang tengah menyerang Rangga. Goloknya ternyata menembus kawannya sendiri. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti mengangkat orang yang dibuatnya sebagai tameng. Seketika Rangga melompat ke atas sambil mengangkat orang yang masih dicengkeramnya. Dan seketika itu pula orang itu dihantamkan pada kawannya yang masih terpaku. Lalu...
Prok! Aaakh....!"
Kedua kepalan mereka saling berbenturan hingga terdengar bunyi berderak. Keduanya kembali memekik. Darah kontan mengucur deras dari batok kepala mereka. Keduanya ambruk dan tewas seketika itu pula.
Tiga orang lawan yang tersisa sangat terkejut melihat sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti yang pernah mereka tawan. Bahkan salah seorang yang tengah mengeroyok Bidin, berusaha kabur dari tempat ini.
Rangga menendang salah satu golok lawanyang tergeletak di tanah. Seketika, golok itu meluncur deras dan tepat menancap di punggung orang yang berusaha kabur.
Creb! "Aaa...!"
Orang itu memekik, langsung tersungkur ke depan.
Melihat tidak ada lagi kesempatan untuk kabur, dua orang yang tersisa menghentikan perlawanan. Mereka segera membuang golok masing-masing pertanda menyerah.
Pendekar Rajawali Sakti mendekati mereka dengan tatapan dingin.
'Kalian tahu" Aku tidak biasa berbuat kejam seperti tadi, kecuali bagi orang-orang yang berbuat jahat terhadapku. Seharusnya kalian berdua kubunuh!" ancam Rangga, dingin.
"Oh, ampun! Ampuni kami, Tuan Pendekar..!" ratap mereka serentak seraya berlutut.
Sepak terjang Rangga barusan membuat mereka bergidik ngeri. Pemuda itu bertindak tidak kepalang tanggung. Bahkan dengan mudah mem-binasakan kawan-kawannya.
"Kuampuni kalian. Kembalilah. Dan, katakan pada majikanmu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan tutup mata melihat kebatilan! kata Ranggatanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Eeeh! Ba..., baik..."
"Cepat pergi!" bentak Rangga.
Tanpa menoleh lagi kedua orang itu langsung kabur dengan terbirit-birit.
Sementara itu Bidin masih terpaku di tempat nya. Dia tidak percaya, pemuda itu mampu mem-bereskan lawan dalam waktu singkat. Tapi hal yang membuatnya kaget adalah, ketika Rangga menyebutkan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" gumam Bidin saat Rangga tersenyum memandangnya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 153. Pemuas Nafsu Iblis Bag. 5 dan 6
28. Dezember 2014 um 08:02
5 ? "Jadi, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Bidin, berusaha meyakini.
"Ya...," sahut Rangga sambil mengangguk.
"Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi?"
"Rasanya itu terlalu berlebihan." sahut Rangga, merendah.
"Lantas, bagaimana kau sampai berada di wi-layah kekuasaan Ki Jembor?" tanya Bidin.
"Aku sebenarnya tertarik dengan cerita orang, yang mengatakan kalau di daerah ini terjadi wabah penyakit. Kemudian aku mencoba mencari keterangan, sampai akhirnya ditawan oleh Ki Jembor. Sengaja aku tak melawan, agar mudah memperoleh keterangan," jelas Rangga.
Namun Bidin diam saja. Dan dia tersenyum pahit.
"Dan ternyata, aku mendapat kepastian da-rimu, kalau wabah penyakit dan segala malapetaka yang terjadi di desa ini adalah ulah wanita yang kau sebut Nyai Dukun Sirah," lanjut Rangga.
'Apakah kau sungguh-sungguh hendak mem-bantuku melawan Nyai Dukun Sirah?" tanya Bidin, ingin memastikan.
Rangga mengangguk
Bidin kembali tersenyum.
"Ketika kulihat mereka membawamu, kukira kau adalah kawan-kawan mereka. Tapi aku pena-saran. Dan kuikuti kalian. Belakangan baru kuketahui kalau mereka ingin memperdayaimu. Kemudian kucari akal untuk mengalihkan perhatian mereka...," jelas Bidin seperti bicara pada diri sendiri.
"Jadi kau yang membuat kekacauan itu?"
"Ya. Kubakar ruangan dapur. Lalu aku bergerak ke atas, bermaksud membebaskanmu. Sepanjang hidupku rasanya itulah perbuatanku yang paling hebat. Tapi nyatanya, kulihat kau sebenarnya mampu membebaskan diri sendiri."
"Tidak usah terlalu dipikirkan. Aku sebenarnya hanya berpura-pura saat hendak diperdaya. Aku memang sudah curiga. Maka kuputuskan untuk membiarkan diriku tertawan.
Bidin kembali tersenyum pahit. Ada satu ganjalan yang masih tertahan di lubuk hatinya. Terutama ketika dirinya dituduh pengecut oleh Marni, kekasihnya.
"Ada suatu kenyataan yang begitu pahit kura-sakan. Sehingga, aku tidak punya keberanian untuk menolongnya...," tiba-tiba Bidin bergumam.
"Siapa yang kau maksud?"
"Marni, kekasihku. Dia ditangkap oleh anak buah Nyai Dukun Sirah. Sampai sekarang, jeritannya masih terngiang. Sehingga membuat hatiku pilu. Aku memang pengecut, dan sama sekali tidak berguna!" desis Bidin geram. Kembali tangannya menghantam dinding gubuk ini untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
"Kita masih bisa menyelamatkannya, Bidin," sahut Rangga hendak menggugah semangat kawan barunya.
Bidin tersenyum pahit mendengar kata-kata itu.
"Peristiwa itu terjadi kira-kira dua minggu lalu. Saat ini aku tidak tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Oh! Seandainya pun dia hidup, tentu amat menderita! Anak buah Nyai Dukun Sirah pasti mempermainkannya setiap saat! Bajingan...!" Bidin kembali menggeram.
"Kita akan mencari tahu, apakah Marni masih hidup atau tidak. Aku akan membantumu!" tegas Rangga.
"Betulkah...?"
Bidin memandang pemuda itu sejurus lamanya dengan wajah penuh harap.
Rangga mengangguk mantap. Namun, wajah Bidin yang mulai berseri kembali redup. Bahkan berganti dengan kedukaan.
"Kenapa" Kau tidak suka kita mencari tahu keadaan Marni?"
"Selama ini, aku berkeliaran seorang diri. Dan sejauh ini pula, kuketahui bahwa anak buah Nyai Dukun Sirah amat rakus dan biadab. Mereka mempermainkan seorang wanita seenaknya saja. Bahkan menggilirnya satu persatu, kemudian di-jadikan sebagai pemuas nafsu iblis!" jelas Bidin dengan wajah geram.
"Biadab! Mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal!" desis Rangga ikut-ikutan geram.
Mereka terdiam sejenak. Di luar, udara pagi mulai merasuk ke dalam gubuk sejak tadi. Namun kini tidak sedingin tadi, sejak di ufuk timur matahari mulai muncul. Suara burung pun berkicau mulai riuh terdengar.
Pendekar Jembel 14 Pendekar Gila 50 Prahara Di Gunung Kematian Tengkorak Maut 22

Cari Blog Ini