Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian Bagian 2
punggung kudanya. Begitu mendarat di tanah,
kakinya cepat melepaskan tendangan dahsyat.
Namun saat itu juga, Ki Ranta langsung turun tangan.
"Wanita iblis, terima hadiah dariku! Yeaaa...!"
Werrr! Ki Ranta langsung melepaskan pukulan di sertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga seketika menderu angin kencang laksana
badai topan kuat ke arah wanita itu.
"Hm...."
Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin,
setelah membabatkan serangannya ke arah Demung.
Tubuhnya kemudian cepat sekali meliuk, menghindari hantaman pukulan jarak jauh
Ki Ranta. Lalu dia
mencelat ke samping. Dan baru saja kakinya
menjejak, kebutan di tangannya berputar kencang.
Maka serangkum angin keras berbalik menyambar ke arah Ki Ranta.
"Setan...!" maki Ki Ranta dengan wajah gusar ketika berusaha menghindar dari
serangan lawan.
"Yeaaat...!"
Sementara Demung tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dan dengan pengerahan tenaga
dalam sepenuhnya, tangannya menyodok ke arah
pinggang sambil berputar kencang. Agaknya Demung bertindak nekat.
"Demung, kau..."! Ah..."
Bukan main terkejutnya Ki Ranta melihat apa yang dilakukan pemuda itu.
Mungkin Demung merasa yakin kalau dia mampu
melukai wanita itu. Padahal terhadap seorang seperti Dewi Tangan Darah,
perbuatannya amat berbahaya.
Wanita itu mendadak menangkis kepalan tangan
Demung dengan tangan kiri. Lalu..., cepat sekali senjata kebutan di tangan kanan
Dewi Tangan Darah menghantam ke batok kepala pemuda itu, tanpa bisa dicegah
lagi. Prok! "Aaakh...!"
Demung kontan memekik tertahan, begitu batok
kepalanya remuk terhantam senjata kebutan Dewi
Tangan Darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga, sesaat ambruk di tanah.
"Wanita iblis! Kau telah membunuhnya! Aku akan mengadu jiwa denganmu...!" geram
Ki Ranta, langsung melompat menyerang.
Dewi Tangan Darah tidak berusaha mengelak.
Malah dipapaknya serangan Ki Ranta dengan
mantap. Plak! "Uhhh...!"
Ki Ranta mengeluh kesakitan. Tangannya seperti
menghantam balok besi saja.
Belajar dari pengalaman, Ki Ranta cepat melompat ke belakang. Dugaannya memang
benar. Sebab saat
itu juga, Dewi Tangan Darah mengibaskan senjata
kebutannya. Meski mampu mengelak, namun terasa
kalau angin serangan wanita itu membuat jantungnya berdegup kencang.
"Hiiih...!"
Mendadak saja Dewi Tangan Darah mengibaskan
tangan kirinya. Maka seketika berkelebatan sinar kecil berwarna putih keperakan.
"Oh, celaka...!"
Ki Ranta terkejut ketika Dewi Tangan Darah
melepaskan jarum-jarum beracun ke arahnya. Dia
berusaha mengelak disertai hantaman pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga
dalam sepenuhnya.
"Yeaaat...!"
Werrr! Seketika bertiup angin kencang ketika telapak
tangan Ki Ranta disorong sedemikian rupa. Tubuh
orang tua itu langsung bergulingan beberapa kali, namun jarum-jarum beracun yang
dilepaskan Dewi
Tangan Darah tidak seluruhnya rontok. Bahkan hanya sebagian kecil, sebab
sebagian besar lainnya masih terus memburunya seperti tidak tertahankan.
Crep! Crep! "Aaakh...!"
Ki Ranta terpekik ketika beberapa buah jarum
beracun menancap di tubuhnya. Cepat sekali daya
kerja racun itu sehingga sekujur tubuhnya panas
bukan main seperti tengah direbus. Ki Ranta
menggelepar-gelepar sambil terus bergulingan, untuk menahan hawa racun yang
telah menjalar di seluruh peredaran darahnya. Mulutnya berbusa, dan tubuhnya
mulai membiru. Setelah meregang nyawa sesaat, orang tua itu tewas.
"Huh...!" Wanita itu mendengus dingin. Lalu tanpa menghiraukan keadaan
sekelilingnya, kembali dia
melompat ke punggung kudanya untuk meninggalkan
tempat ini. *** Seorang pemuda berwajah tampan membasuh
wajahnya beberapa kali, setelah meneguk beberapa kali air sungai yang jernih di
depannya. Sementara tiga langkah di sebelah kanan, seekor kuda berbulu hitam
mengkilat tengah meminum air sungai itu.
"Minumlah yang banyak, Dewa Bayu. Kau tentu haus sekali...," ujar pemuda itu.
Pemuda yang memang Rangga alias Pendekar
Rajawali Sakti menghela napas berat. Setelah berdiri, Rangga memandang ke
sekitarnya. Matahari tampak
mulai tenggelam di ufuk barat. Hewan-hewan malam menampakkan diri satu persatu.
Dan bersamaan dengan itu, angin kencang mulai berhembus, menerbangkan dedaunan kering serta
debu. "Hm... Malam yang tidak menyenangkan. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan
melihat mendung yang
begini tebal, sudah pasti hujan akan turun deras sekali. Aku harus cepat mencari
tempat berlindung...,"
gumam Rangga sambil menepuk-nepuk punggung
Dewa Bayu. "Hieee...!"
"Kau sudah selesai, Sobat" Kalau begitu, mari kita berangkat. Sebentar lagi
hujan lebat turun. Dan aku tidak mau basah kuyup dalam keadaan perut lapar
seperti ini," kata Rangga segera melompat ke punggung kuda. Lalu Dewa Bayu
dihela kuat-kuat,
sehingga berlari secepat kilat dari tempat itu.
Kuda berbulu hitam bernama Dewa Bayu memang
bukan hewan sembarangan. Larinya cepat bukan
main. Tak ada satu kuda pun yang mampu menandinginya. Dalam waktu singkat, mereka kini tiba di sebuah
desa. Suasana tampak lengang. Dan sebagian besar pintu rumah telah terkunci
rapat. Desa ini seperti mati, dan tidak banyak orang-orang berkumpul di
suatu tempat. Atau juga karena cuaca yang tidak
menguntungkan saat ini, sehingga mereka lebih suka berdiam diri"
Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghentikan
lari kudanya. Dan dengan gerakan ringan dia turun, lalu melangkah menghampiri
sebuah rumah vang ter-tutup rapat.
"Kisanak, selamat sore. Bolehkah aku menumpang menginap disini barang
semalam...?" tanya Rangga sambil mengetuk pintu rumah itu.
Tidak terdengar jawaban. Pendekar Rajawali Sakti mengulangi permintaannya.
Sementara pendengarannya yang tajam, dapat mendengar degup jantung
ketakutan dan langkah-langkah kaki yang berkumpul dalam satu kamar.
"Kenapa mereka" Tampaknya ketakutan sekali. Apa yang membuat mereka takut...?"
keluh Rangga bertanya pada diri sendiri.
Rangga lalu melangkah ke rumah yang lain sambil
menuntun Dewa Bayu. Dan dia melakukan hal yang
sama. Namun jawaban yang diterimanya sama saja.
Penghuni rumah itu tidak membukakan pintu. Bahkan sama sekali tidak mau menyahut
barang sepatah kata pun! Pemuda itu mencoba lagi beberapa rumah yang
lain, namun yang ditemuinya sama saja. Mereka tidak mau menerima kehadirannya.
Diakah yang ditakuti"
Atau, ada orang lain" Atau barangkali penghuni desa ini tidak ramah pada seorang
pendatang"
"Aneh...!" desis Rangga dengan langkah gontai.
Baru saja Rangga melangkah beberapa tindak....
"Hm, hujan mulai turun. Dan tidak ada seorang pun yang mau menerimamu. Kenapa
tidak bermalam saja
di sini...?"
Mendadak terdengar suara seseorang, yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget.
Rangga cepat menoleh, dan melihat sesosok tubuh
duduk dengan tenang menghadapi kobaran api
unggun di dalam sebuah kandang tua yang baru saja dilewatinya. Agaknya kandang
itu sudah tidak ter-pakai lagi. Pemuda itu melangkah ragu, namun tidak ada
pilihan lagi. Gerimis mulai turun. Dan dia tidak mempunyai tempat untuk
berteduh. Meski kandang kerbau itu hanya memiliki tiga buah dinding yang masih berdiri,
namun keadaannya
sungguh buruk. Beberapa bagian dari atapnya bocor, dan dinding-dindingnya sudah
keropos. Sebuah
dinding yang terbuka lebar, masih untung terhalang sedikit oleh sebatang pohon
mangga. Sehingga saat angin bertiup kencang, tidak begitu menyiksa.
Sosok itu adalah seorang wanita cantik berambut
panjang dengan pakaian tidak sopan. Beberapa
bagian tubuhnya yang terlarang sempat dilirik
pemuda itu, hingga membuatnya jengah. Siapa pun
akan mengatakan kalau wanita ini seperti memancing nafsu kelelakian dengan
caranya berpakaian.
"Eh! Kurasa..., lebih baik aku mencari tempat lain saja. Terima kasih...," kata
pemuda itu, hendak berlalu meninggalkan tempat ini.
Glarrr...! Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berbalik, mendadak terdengar gemuruh menggelegar. Kudanya
meringkik kaget. Demikian pula seekor kuda lainnya yang tertambat di samping
kandang kerbau ini. Angin bertiup kencang. Dan hujan turun dengan derasnya dalam
waktu singkat. Rangga terpaksa masuk ke
dalam kandang, dan berdiri dengan sikap tidak
menentu. "Duduklah. Apa kau ingin semalaman terus
begitu...?" ujar wanita itu sambil menambahkan beberapa buah ranting kering ke
dalam api unggun.
Rangga duduk dengan tenang. Sikapnya menyamping, dan sama sekali tidak ingin melirik wanita itu.
"Namaku Ayu Puspita Sari. Siapa namamu...?"
"Rangga...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Hm, Rangga. Nama itu seperti tidak asing di telingaku. Tapi, di mana aku pernah
mendengarnya...?"
"Aku hanya seorang pengembara biasa. Mana
mungkin dikenal banyak orang."
"Hm..., mungkin juga. Dari sekian banyak orang, sudah pasti ada yang memiliki
nama sama," sahut wanita bernama Ayu Puspita Sari tidak mempersoal-kan hal itu.
Matanya lantas melirik senjata di punggung pemuda itu. "Senjatamu tampaknya
bukan pedang sembarangan. Paling tidak, kau mampu
memainkannya...."
Rangga tersenyum kecil. "Sekadar mempertahankan diri dari kawanan begal picisan.
Bukankah seorang pengembara sepertiku ini sering menjadi
sasaran orang-orang seperti mereka...?" sahut Rangga enteng.
Ayu Puspita Sari tertawa kecil.
"Kenapa wanita sepertimu berada di tempat ini...?"
tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Wanita sepertiku" Apa maksudmu...?" Ayu Puspita Sari malah balik bertanya
dengan nada datar.
Rangga menoleh. Namun wajahnya dipalingkan
disertai senyum kecil menyadari kekeliruannya.
Dengan berkata seperti itu, dia telah membuat Ayu Puspita Sari merasa
tersinggung. "Maaf, aku tidak bermaksud buruk...."
*** "Tidak apa...," sahut Ayu Puspita Sari pelan.
"Maksudku, siapa kau sebenarnya" Dan apa yang hendak kau lakukan di tempat ini"
Barangkali kau hanya kebetulan lewat dan berteduh sepertiku. ..?"
"Ya, begitulah kira-kira...," desah Ayu Puspita Sari.
"Hendak ke tempat sanak keluarga...?" tanya Rangga.
"Aku ada urusan penting..."
"Hm...," Rangga mengangguk pelan.
"Sebelum ke sini, sempat kutemukan dua ekor kelinci yang gemuk dalam keadaan
tidak berdaya. Kukira, hasil tangkapan pemburu yang lupa dibawa.
Kelinci itu telah kupanggang dan sebagian telah
tandas kulahap. Kau mungkin lapar. Ambillah sisanya ini..," ujar Ayu Puspita
Sari seraya menyodorkan beberapa potong daging bakar.
"Terima kasih...."
Rangga cepat mengambil pemberian wanita itu dan
melahapnya segera.
Wanita itu tersenyum kecil seraya memperhatikan
Rangga. "Kau lugu sekali, selain... tampan...," gumam Ayu Puspita Sari pelan.
"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Rangga.
"Kau baru kenal denganku, dan sudah menerima begitu saja pemberianku. Apakah
tidak takut kalau makanan itu kuberi racun, atau sesuatu lainnya" Kau akan
celaka!" kata Ayu Puspita Sari.
Rangga tersenyum.
"Aku orang lemah dan tidak berdaya. Kalau kau hendak mencelakakanku, tentu mudah
sekali kau lakukan sejak tadi. Lalu, kenapa harus menaruh
curiga terhadap makanan yang kau berikan?"
"Dari mana kau bisa menduga demikian...?"
"Kau berjalan seorang diri. Dan..., maaf. Dengan berpakaian demikian, kau pasti
sering mendapat
gangguan dari laki-laki iseng. Hanya ada dua pilihan bagi seorang wanita. Kalau
bukan perempuan
murahan yang bisa dibayar beberapa keping uang
perak, pasti kau seorang tokoh persilatan berilmu tinggi dan mampu melindungi
diri dari niat jahat laki-laki iseng...," jelas Rangga.
Wanita itu tersenyum agak lebar.
"Lalu dari mana kau tahu kalau aku memiliki kepandaian hebat, dan bukannya
seorang pelacur
murahan...?"
"Kau tidak akan memanggilku, lalu memberinya makan," sahut Rangga singkat.
"Pintar kau, Rangga. He, berapa usiamu...?"
"Apakah kau hendak mencalonkanku untuk jadi suamimu?" sahut Rangga dengan senyum
lebar. Wanita itu pun ikut-ikutan tersenyum.
"Kau tahu, berapa usiaku saat ini...?"
"Aku tidak membatasi usia calon istriku," sahut Rangga bergurau.
Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu tersenyum pelan.
"Hampir empat puluh tahun...," kata Ayu Puspita Sari, menjawab sendiri.
"Hm... Kau kelihatan lebih muda dari usiamu yang sebenarnya. Seperti gadis
berusia belasan tahun!"
puji Rangga. "Terima kasih..."
"Ayu, eh! Aku harus panggil apa...?"
"Aku belum pernah menikah," sahut wanita itu memberitahukan kalau belum menikah.
"Ayu, aku yakin sekali kalau kau memiliki
kemampuan hebat. Dan ilmu silatmu pun tidak kalah dari tokoh-tokoh kelas satu di
kalangan persilatan.
Sedikit banyak, aku mengenal tokoh persilatan dari beberapa orang yang pemah
kutemui. Kalau boleh
kutahu, siapakah nama kebesaranmu...?"
Ayu Puspita Sari tersenyum kecil.
"Tahukah kau, bagaimana kehidupanku ketika
masih kecil?" tanya Ayu Puspita Sari seperti hendak mengalihkan pertanyaan
pemuda itu. Rangga menggeleng lemah.
"Pada usia tujuh tahun, aku bahagia sekali. Aku adalah anak satu-satunya dari
kedua orang-tuaku.
Ayahku memiliki banyak murid. Tidak hanya sekadar dari desa sekitar kami, tapi
juga dari berbagai tempat.
Aku menghormati kedua orangtuaku. Ayahku seorang yang pandai bergaul sehingga
tidak heran kalau
memiliki banyak kawan. Demikian juga ibuku. Namun, kebahagiaan kami tidak
berlangsung lama..."
Ayu Puspita Sari menghentikan ceritanya yang
tanpa diminta. Ditariknya napas dalam-dalam dengan tatapan kosong ke depan.
"Kawanan perampok ganas yang dipimpin Bagaspati datang mengacau. Semua orang
desa dibunuh- nya. Hanya sebagian yang sempat melarikan diri.
Ayah beserta murid-murid yang lain berusaha menahan, namun Bagaspati terlalu kuat. Sehingga,
mereka tewas satu persatu di depanku. Dan hal yang tidak pernah kulupakan
adalah..., keparat itu mem-perkosa ibuku sebelum dibunuhnya. Entah kenapa,
dia tidak membunuhku. Tapi malah menculikku...."
"Lalu, kau tinggal bersamanya...?" tanya Rangga ketika wanita itu menghentikan
ceritanya beberapa saat.
Ayu Puspita Sari mengangguk.
"Meski usiaku baru tujuh tahun, namun tubuhku agak bongsor dan lebih besar
dibanding anak-anak seusiaku. Bagaspati menjadikanku sebagai budak-nya, yang
harus melayani segala kebutuhan. Dan...
saat usiaku menginjak sepuluh tahun, perkembangan tubuhku sudah seperti gadis
belasan tahun. Agaknya, Bagaspati telah lama memperhatikanku. Pada suatu
malam..., dia berhasil menodaiku secara paksa...."
Wanita itu kembali menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak muram dan bola
matanya berkaca-kaca.
Rangga sengaja tidak berusaha menyelak,
Pendekar Rajawali Sakti tetap diam tidak bersuara untuk memberikan kesempatan
pada wanita itu me-numpahkan kesedihan hati.
"Dan ternyata bukan hanya sampai di situ. Bahkan berkali-kali perbuatan itu
dilakukannya, sampai akhirnya aku tidak bisa menghitung lagi. Kadang kalau
hatinya sedang gembira atas keberhasilan salah
seorang anak buahnya dalam menunaikan tugas, aku dihadiahkan pada anak buahnya
untuk beberapa minggu. Aku tidak ubahnya seperti boneka yang bisa dipakai sesuka hatinya...."
Rangga menghela napas pendek.
"Kau tidak berusaha kabur...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, lirih.
"Pernah kucoba, namun gagal. Bagaspati menyiksa-ku habis-habisan. Mulai saat
itu, aku kapok. Namun otakku cepat berpikir. Paling tidak aku harus membawa
bekal untuk kabur. Aku sering melihat
Bagaspati mengajarkan anak buahnya ilmu silat.
Maka secara diam-diam tanpa sepengetahuannya,
aku mempelajarinya. Setelah merasa aku mempunyai bekal, aku segera kabur. Dan
kali ini, tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mengejarku...."
"Lalu apa yang kau lakukan setelah terbebas dari mereka?"
"Dendamku tidak akan pernah padam. Namun
untuk membunuh Bagaspati, bukanlah persoalan
mudah. Aku segera mendatangi kawan-kawan
almarhum ayahku untuk memohon membantuku
membinasakan Bagaspati. Tapi jawaban mereka
sungguh pengecut. Tidak ada seorang pun sudi
menolongku, karena mereka takut dengan Bagaspati.
Aku menjadi putus asa. Dendam di hatiku tidak
pernah berhenti, tapi malah semakin berkobar ketika banyak pendekar hebat yang
kumintai tolong untuk melenyapkan Bagaspati, semua enggan dan menolak.
Kalau bukan karena takut, pasti mereka tidak mem-pedulikanku. Mulai saat itu aku
membenci mereka!
Tekadku sudah bulat, walau apa pun yang terjadi. Aku harus membalas sakit hatiku
seorang diri. Namun
menyadari kemampuanku saat itu, tidak mungkin
rasanya sakit hatiku bisa terbalaskan. Satu-satunya jalan, aku harus berguru
pada orang-orang berkepandaian hebat. Dan untuk yang satu ini, aku
menggunakan segala cara. Sampai..., aku tidak peduli untuk mengorbankan
kehormatanku sendiri...," jelas Ayu Puspita Sari tersenyum pahit ketika
mengakhiri ceritanya.
"Lalu...?"
Wanita itu tersenyum. Kemudian mulutnya yang
menguap lebar ditutupnya dengan tangan.
"Aku mengantuk dan letih sekali. Tidurlah. Siapa tahu, kita bisa cocok satu sama
lain...," sahut Ayu Puspita Sari pendek seraya merebahkan diri dan
tidak mempedulikan pemuda itu.
Rangga menghela napas pendek, tidak begitu
menyimak kata-kata terakhir yang diucapkan wanita itu. Perlahan-lahan tubuhnya
direbahkan, mem-belakangi wanita itu.
*** 6 Semalaman, Rangga sengaja membuat dirinya agar
terlihat tidur lelap. Sehingga sedikit pun dia tidak membuat yang mencurigakan.
Sebagai pendekar
yang berpengalaman, tentu saja Rangga tak melepas kewaspadaannya, dengan
menerima tawaran seseorang yang baru dikenalnya begitu saja.
Sementara itu Ayu Puspita Sari bangkit perlahanlahan, manakala ayam jantan mulai berkokok satu
persatu. Gerakan wanita itu ringan sekali. Dan
dengan berjingkat-jingkat, dia keluar dari kandang kerbau lalu menuntun kudanya
tanpa menimbulkan
bunyi berarti. Rangga tersenyum dalam hati. Dengan mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar
Rajawali Sakti bisa merasakan dengan jelas, apa yang diperbuat wanita itu.
Agaknya, Ayu Puspita Sari ingin meninggalkannya secara diam-diam.
Suasana kembali tenang dan sunyi. Rangga yakin,
wanita itu telah tidak ada di tempat. Maka segera dia bangkit dan memeriksa
sekeliling tempat. Lalu,
perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti keluar dan melompat ke punggung kudanya.
"Kau tentu bisa melihat, ke mana mereka pergi, bukan" Nah, Dewa Bayu. Kita akan
menyusul mereka. Jangan membuat suara yang ribut!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil
mengusap-usap leher kuda tunggangannya.
Kuda berbulu hitam dan bertubuh besar itu meringkik halus. Lalu ketika Rangga menepak punggungnya pelan, hewan itu melompat
dan berlari kencang menembus kegelapan pagi.
Rangga terus memacu kudanya, ketika matahari
mulai memperlihatkan sinamya yang cerah di ufuk
timur. Kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti seperti memiliki daya
penciuman yang tajam. Dan dia berlari terus ke arah selatan, seperti tidak mau
berhenti sebelum tujuannya tercapai.
Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti memasuki
sebuah pinggiran hutan, terdengar suara ribut-ribut di depannya. Dengan cepat
Rangga memacu kudanya.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti telah melihat dua orang tengah bertarung
di hadapannya. Rupanya Ayu Puspita Sari tengah menghadapi seorang laki-laki
berusia lanjut yang bersenjatakan tongkat. Laki-laki tua berjubah abu-abu itu
kelihatan gesit sekali
bergerak ke sana kemari menghindari terjangan
serangan wanita itu.
"Yeaaat...!"
Rangga memperhatikan seksama. Dan untuk sesaat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain mematung dan duduk tenang
di punggung kudanya.
Sementara itu Ayu Puspita Sari melompat ringan
sambil memutar sebuah senjata kebutan di tangan
kanannya. Senjata itu kelihatan ringan saja, namun sesungguhnya menjadi sangat
hebat di tangannya.
Angin yang bersiur kencang laksana badai topan,
langsung menghantam ke arah orang tua lawannya.
Namun, laki-laki tua itu pun ternyata bukan orang sembarangan. Tongkat di
tangannya diputar sedemikian rupa, seperti baling-baling. Segera dibalasnya
serangan wanita itu dengan ganas.
"Hiiih!"
Werrr...! Pada satu kesempatan, Ayu Puspita Sari melepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus ke
arah orang tua itu. Dan tindakannya sudah membuat Rangga yang berada tidak
begitu jauh, tapi cukup tersembunyi jadi terkejut!
Rangga yang sebelumnya memang sudah curiga,
semakin kuat dugaannya. Menurut apa yang didengarnya, selain berpakaian secara seronok, dan bersenjata sebuah kebutan,
wanita itu juga mempunyai senjata rahasia berupa jarum beracun yang amat ganas.
Semalam Rangga hanya melihat salah
satu ciri khasnya, yaitu cara wanita itu berpakaian.
Namun, dia tidak melihat kebutan yang disimpan
wanita itu di balik baju. Tidak salah lagi! Wanita itu pasti Dewi Tangan Darah
yang beberapa hari ini dicarinya.
"Kisanak, berhati-hatilah kau!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Teriakan Rangga yang amat keras, sudah cukup
dimengerti laki-laki tua itu. Segera tubuhnya melenting ke atas, sehingga jarumjarum beracun itu tidak sampai merajam tubuhnya.
"Hei"!"
Begitu menoleh, Ayu Puspita Sari jadi terkejut. Dan matanya yang tajam, telah
melihat sosok pemuda
yang menginap bersamanya di kandang kerbau
semalam. Dan begitu lawannya mendarat, wanita itu segera melepaskan pukulan
jarak jauh, lalu langsung mencelat kabur dengan kecepatan yang sulit diikuti
pandangan mata biasa.
"Kurang ajar...!" dengus orang tua geram, langsung menghindari diri dengan
bergulingan. "Kau kira bisa kabur begitu saja, he"!"
Begitu bangkit berdiri, orang tua itu segera
mengejar Ayu Puspita Sari yang ternyata adalah Dewi Tangan Darah.
Rangga termangu untuk beberapa saat, tidak tahu
harus berbuat apa. Namun tiba-tiba, Pendekar
Rajawali Sakti tersentak kaget. Seketika kudanya dihela kencang untuk mengejar
mereka. *** "Ayo, Dewa Bayu! Kejar mereka. .! Kerahkan seluruh kekuatanmu...!" teriak Rangga
sambil menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Hieee...!"
Baru saja Dewa Bayu melesat kencang, tiba-tiba....
"Hei, apa itu"!"
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, ketika Rangga yang tak begitu memperhatikan
sekitarnya melewati dua sosok tubuh. Dua orang yang dilewati Pendekar Rajawali
Sakti tampak begitu terkejut ketika merasakan angin kencang dari derap kuda Dewa
Bayu. Sementara yang seorang lagi secara tidak terduga melompat mengejar Rangga.
Wuuut! Rangga cukup dibuat kaget ketika tiba-tiba telinga-nya mendengar angir berkesiur
ke arah kepalanya.
Cepat kepalanya menunduk kemudian balas mengayunkan kaki menghantam ke arah sosok yang membokongnya. Plak! "Yeaaah...!"
Orang itu menangkis, dan terdengar keluhan lirih.
Namun niatnya tidak berhenti untuk mencegat
Rangga. Kembali tubuhnya berkelebat, mengejar
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Tubuh sosok itu berputaran beberapa kali, dan
mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti dengan sebatang tongkat pendek
dikibaskan. Rangga terpaksa menghentikan laju kudanya. Dan dia melihat jelas,
siapa sesungguhnya orang yang telah menghadang perjalanannya.
Tampak di depannya seorang pengemis muda
dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara
tangan kanan yang memegang tongkat, menuding ke
arah Rangga. "Dasar geblek! Hei"! Kau kira jalan ini punya nenek moyangmu..."!" maki pengemis
itu kesal. "Kisanak! Kenapa kau ini" Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba saja
menghadang perjalananku dan cari gara-gara?"
"Sial! Hei, Tolol! Siapa yang cari gara-gara" Siapa bilang tidak ada hujan"
Siapa bilang tidak ada angin"
Kau baru saja hendak melindas kami!" bentak pengemis muda itu dengan suara
lantang dan sepasang mata melotot lebar.
"Jangan mengada-ada, Kisanak. Kudaku tidak
pernah salah jalan. Dan dia pun tidak akan pernah melindas seseorang, kalau
tidak kuperintahkan.
Sekarang, menepilah. Dan biarkan aku lewat," sahut Rangga, kesal.
"Kurang ajar! Kau kira mentang-mentang anak orang kaya, bisa berbuat seenaknya,
he"! Huh! Orang sepertimu memang sudah sepatutnya mendapat
pelajaran agar tidak seenaknya berbuat seenaknya pada orang lain!" dengus
pengemis muda itu, bersiap menerjang Rangga.
"Pandir, ada apa" Kenapa kau ini...?"
Seorang gadis cantik yang agaknya kawan dari
pengemis itu baru saja tiba, setelah menyusul.
"Nisanak... Kau pun ada di sini," sapa Rangga, ketika mengenali gadis itu.
"Kau..." Hm, rasanya aku pernah mengenalmu...,"
kata gadis itu.
"Aku pernah bertemu denganmu beberapa hari lalu, setelah keluar dari kedai itu!"
jelas Rangga. "Oh, iya! Maaf, aku ingat sekarang!" sentak gadis itu.
"Mana gurumu sekarang" Eh"! Apakah beliau
gurumu...?"
Gadis yang tidak lain Ambarwati itu mengangguk
lesu. Wajahnya tampak murung.
"Dia..., telah tiada...," kata Ambarwati lirih.
"Telah tiada" Apakah dia...."
Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ambarwati mengangguk.
"Dia telah tewas..."
"Siapa yang melakukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan si keparat Dewi Tangan Darah!" nada suara Ambarwati
terdengar geram ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir.
"Dewi Tangan Darah" Astaga! Betul-betul biadab wanita itu...!" sahut Rangga,
dengan wajah kaget.
"Hei, hei...! Apa-apaan ini"! Huh! Sudah berbuat salah, kini mau basa-basi
segala. Dasar kutu busuk!
Ayo, cepat minta maaf kalau tidak kukemplang
kepalamu,'" sentak pengemis muda tadi, dengan wajah berang.
"Pandir, sudahlah...," cegah Ambarwati.
"Tidak bisa! Orang ini harus diberi pelajaran. Sebab kalau tidak, dia akan
berbuat seenaknya pada orang lain!" sentak si pengemis yang memang Pandir
Kelana, garang.
"Kisanak, maafkan kawanku ini. Dia memang
penaik darah sekali...," Ambarwati jadi tidak enak hati pada Rangga.
"Kenapa minta-minta maaf segala" Memangnya
kau pengemis" Dia yang patut melakukannya pada
kita!" desis Pandir Kelana garang saja. "Ayo cepat berlutut, sebelum aku naik
darah dan menghajarmu!"
"Kisanak, aku tidak suka bermain-main. Apalagi, meladeni segala sikapmu yang
aneh itu," sahut Rangga dingin, segera melompat ke punggung kudanya. Lalu
ditatapnya gadis itu.
"Nisanak, maaf. Aku tidak bisa berlama-lama, sebab saat ini aku harus mengejar
si De...."
Belum lagi habis kata-kata pemuda itu, mendadak
si pengemis muda melompat menyerangnya dengan
amarah meluap-luap.
"Yeaaat...!"
*** Agaknya Pandir Kelana tidak bisa menerima katakata Rangga yang terakhir. Terlebih, dari semula dia memang sudah tidak senang
melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dua hal yang dianggapnya keterlaluan,
sudah membuat amarahnya tidak terkendali lagi.
Menyadari kalau serangan pengemis itu demikian
cepat, Rangga tersentak kaget. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat dari
punggung kudanya, dan terus berputaran di udara menghindari serangan.
Sedang Ambarwati terkejut kaget melihat apa yang dilakukan kawannya.
"Pandir Kelana, apa-apaan kau ini"! Hentikan!
Hentikan semua ini sebelum ada yang terluka...!"
teriak gadis itu, kalap.
"Diamlah, Ambar!. Biar kuselesaikan dulu anak sok jago ini, biar tidak bersikap
seenak hatinya!" sahut Pandir Kelana, enteng.
"Heup!"
Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke atas begitu kedua kakinya menjejak
tanah. Sementara tongkat di tangan Pandir Kelana terus
menghantam dengan gerakan meliuk ke arah batok
kepala, dada, lalu ke perut. Semua itu dilakukan dengan gerakan cepat bukan
main. Bahkan sempat
membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir.
Semula dikira, gembel ini hanya jual lagak dan tidak punya kemampuan hebat. Tapi
setelah merasakan-nya, Rangga semakin yakin kalau gembel penaik
darah ini pasti murid orang berkepandaian tinggi.
Gerakannya lincah dan gesit. Malah tenaga dalamnya lumayan kuat. Buktinya,
tongkat di tangannya berubah menjadi senjata maut yang sewaktu-waktu
mampu membinasakannya.
"Haiiit! Uts...!"
Rangga yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega', memutar tubuhnya. Dan kini tubuhnya mengapung di udara dalam
keadaan telentang,
lalu terus mencelat ke salah satu cabang pohon
terdekat. Pandir Kelana agaknya tidak pusing-pusing memikirkan kehebatan lawan. Padahal apa yang
barusan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jarang mampu dilakukan tokoh-tokoh
lain yang memiliki
kepandaian tinggi.
"Yeaaat...! Mampus kau! Mampus...!" teriak pengemis muda itu kalap seraya
mengayunkan tongkat di tangan dan mengobrak-abrik tempat
dimana pemuda itu tadi melesat.
Rangga hanya terkekeh kecil. Lalu dia mematahkan sebuah ranting kayu yang
berukuran sedikit lebih kecil dari tongkat yang dimiliki lawan. Kemudian
tubuhnya mencelat ringan beberapa saat, sebelum
Pandir Kelana sempat menghajar.
"Gembel! Bagaimana gurumu mengajari" Kenapa batang pohon yang tidak tahu apa-apa
menjadi sasaranmu?" ledek Rangga.
"Hei, kau" Setan! Kuhajar kepalamu! Awas kau!
Kucekik nanti! Jangan lari, setan busuk! Ayo, awas kalau kau lari! Aku betulbetul tidak akan meng-ampuni...," maki Pandir Kelana, langsung memburu Rangga
sambil mengoceh tidak karuan.
Tongkat di tangan pengemis muda itu berputar
cepat dan menghantam apa saja yang berada di
dekatnya. Rangga berusaha menghindar, dalam
beberapa jurus untuk membiarkan Pandir Kelana
semakin kalap. Dan pancingannya memang
mengena. Karena pengemis itu semakin berang saja melihat sikapnya.
"Setan cilik! He, apa kebisaanmu hanya menghindar saja seperti maling jemuran"!"
maki pengemis itu kesal.
"Aku memang maling jemuran. Lalu, apa yang bisa kau perbuat terhadapku?" sahut
Rangga mengejek.
"Setan! Jahanam keparat! Betul-betul akan ku-bunuh kau...!" geram Pandir Kelana
tidak bisa lagi menahan amarah, karena dipermainkan begitu rupa.
Bahkan teriakan-teriakan Ambarwati sama sekali
tidak dihiraukannya. Padahal, selama ini dia amat patuh pada gadis itu. Segala
apa yang diinginkan Ambarwati, maka akan dipenuhinya saat itu juga. Dia betulbetul penurut. Beda betul dengan saat ini.
"Pandir Kelana, sudahlah! Jangan berbuat begitu.
Hentikan seranganmu! Ayo, hentikan...!"
"Tenang-tenang sajalah, Ambarwati. Biar kuhajar dulu bocah ini, baru setelah itu
aku berhenti!" sahut Pandir Kelana seenaknya.
"Heup!"
Rangga tampak mulai bosan. Dan kini Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa
langkah untuk balas menyerang. Ranting di tangannya yang memang sengaja terus
digenggam, diputar sedemikian rupa saat lawan sudah terus mencelat
menyerangnya. "Huh! Kau kira aku takut melihatmu bersenjata, he"
Meski kau membawa pedang yang tajam sekali pun,
tongkatku masih mampu menggebukmu!" desis
Pandir Kelana mengejek.
"Yeaaat...!"
Pengemis itu segera mengibaskan tongkatnya.
Tentu saja Rangga tidak tinggal diam. Seketika
kelebatan tongkat itu dipapak dengan ranting di
tangannya. Trak! Trak! Kedua senjata aneh di tangan mereka beradu.
Pandir Kelana mengeluh tertahan. Tongkatnya terasa perih dan bergetar hebat,
manakala beradu dengan ranting kayu di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum
lagi sempat menyerang, Rangga telah lebih
dulu menyambar lehernya dengan ranting.
Bet! "Uts!"
Kalau saja Pandir Kelana melompat ke belakang
untuk menghindarinya, maka pasti Rangga bisa
melemparkan ranting di tangannya. Dan dia akan
celaka. Maka pengemis muda itu memilih menghindar, dengan bergerak ke kanan. Lalu tubuhnya
terus bergulingan untuk menghindari serangan tidak terduga.
Wuuut! Ujung ranting itu memang menyambar ke arah
pinggang. Namun, Pandir Kelana mampu meliukkan
tubuhnya, sehingga serangan Pendekar Rajawali
Sakti luput dari sasaran. Namun secara tidak terduga, satu tendangan keras
melayang ke arah perutnya.
Desss! "Aduuuh...!"
Pandir Kelana berteriak kesakitan. Tubuhnya
langsung terjungkal beberapa langkah.
"Bagaimana, Gembel" Apakah kau ingin memberiku pelajaran atau sudah kapok?"
tanya Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan nada mengejek.
"Sial! Akan kucincang tubuhmu...!" geram Pandir Kelana setelah bangkit berdiri.
Wajahnya tampak
merah, menahan amarah yang semakin berkobar
saja. Dengan gesit, pengemis itu kembali menyerang.
Padahal, Ambarwati telah berusaha mencegahnya.
"Pandir Kelana, sudahlah! Tidak perlu diteruskan...!"
Namun pengemis muda itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Harga dirinya betul-betul tersinggung diperlakukan begitu. Apalagi sampai ter-jatuh di hadapan seorang gadis
cantik seperti Ambarwati. "Hm, bandel rupanya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Brengsek! Akan kurobek mulutmu, yeaaat..!"
Kali ini Pandir Kelana tampak lebih hati-hati.
Namun agaknya sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti telah memperhatikan dengan
seksama jurus-jurus
yang dimainkannya. Sedikit banyak, Rangga mengetahui gaya serangan maupun gaya menghindar
pengemis itu. Maka ketika menyerang dengan gencar, Pandir Kelana harus matimatian menyelamatkan diri.
Ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti dua kali mampu dihindari. Begitu juga
ketika Rangga mengayunkan tendangan. Namun ketika tubuh Pendekar
Rajawali Sakti mengejar, Pandir Kelana tampak
gelagapan. Pertarungan jarak dekat yang terjadi, membuat
Pandir Kelana semakin tidak berdaya saja. Baik
tenaga maupun gerakan Pendekar Rajawali Sakti
lebih lihai dibandingkan dengannya. Maka tidak heran kalau dia hanya mampu
menangkis dua serangan
saja. Sebab pada serangan ketiga...
Begkh! "Aaakh...!"
Tubuh Pandir Kelana kembali terjungkal disertai
jeritan keras ketika satu sodokan keras menghantam dada.
Meski demikian, pengemis muda itu berusaha
bangkit kembali dan bermaksud menyerang dengan
wajah berkerut rasa sakit. Namun, Rangga agaknya sudah tidak ingin bermain-main
lagi. Dia betul-betul tidak mau diganggu pengemis muda ini lagi. Maka
ketika pengemis itu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti kembali cepat menyerang.
Trak! Pandir Kelana hanya mampu menangkis serangan
tipuan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan serangan yang sesungguhnya, tak mampu
dielakkan. Desss! "Wuaaa...!"
Tubuh pengemis itu kembali terjerembab ketika
tendangan Rangga menyodok perut.
"He he he...! Dasar anak tolol, hei Bocah! Coba layani aku barang beberapa
jurus...!"
Mendadak saja terdengar satu suara menggelegar
disusul melesatnya sesosok tubuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"
*** 7 Sosok bayangan yang baru datang langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan angin serangan tajam
menderu ke arahnya. Ranting yang di tangannya langsung dipakai
untuk memapak. Trak! Terjadi benturan keras ketika ranting kecil di tangan Pendekar Rajawali Sakti
menghantam sesuatu. Dan
Rangga cepat memiringkan kepala, ketika kembali
terasa serangan kilat yang menghantam punggung.
Dan ketika tubuhnya tegak kembali, Rangga segera meluruk melepaskan serangan
balasan. "Hebat! Hebat...!" puji sosok itu ketika ranting di tangan Pendekar Rajawali
Sakti mengurung tubuhnya dengan gencar.
Orang itu berusaha melompat menghindar ke atas
sambil memiringkan tubuh. Namun pada saat itu
juga, kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti menderu keras ke dadanya. Dan orang
itu mencoba menangkis. Plak! "Gila! Bocah setan! Siapa kau sebenarnya..."!"
Bukan main kagetnya orang itu, ketika berusaha
menangkis dengan telapak tangan. Tubuhnya
langsung bergetar hebat, dan terdorong ke belakang dengan langkah sedikit
limbung. Rangga segera menghentikan serangan dan berdiri
tegak pada jarak tujuh langkah dari sosok itu.
Sehingga, kini Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas seorang laki-laki
berusia lanjut yang sudah dikenalnya, sebagai orang tua yang tadi tengah
bertarung melawan Ayu Puspita Sari.
"Guru...!"
Pandir Kelana berseru girang dan buru-buru menghampiri membungkuk hormat. Lalu dengan tingkah
seperti anak kecil, wajahnya meringis dan mulai
merengek. "Guru, bocah sok itu harus diberi pelajaran. Dia telah mengganggu kami. Kau
harus menghajarnya.
Kalau tidak, aku akan terus menangis...!"
"Sudah, sudah...! Nanti akan kuhajar dia. Jangan menangis. Ayo, diam. Tuh, lihat
ada gadis cantik.
Malu, kan" Eh, siapa yang kau sebut kami" Gadis
itukah kekasihmu...?" sahut orang tua itu seraya mengusap-usap kepala muridnya.
"Eh, itu... ng...," Pandir Kelana mesem-mesem, menyembunyikan wajahnya.
"Kenapa malu" Katakan saja kalau dia kekasihmu.
Aku tidak keberatan!" desak orang tua itu.
"Ambar, perkenalkanlah. Ini guruku...!" teriak pengemis muda ini tanpa
mempedulikan ocehan
gurunya. Ambarwati bukannya tidak mendengar apa yang
dikatakan orang tua itu. Hatinya jadi jengah sendiri.
Dan entah apa yang dirasakannya saat ini.
Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Murid dan guru itu seperti memiliki watak aneh.
Tapi selama beberapa hari ini berjalan bersama
Pandir Kelana, pemuda itu baik padanya. Mungkin
juga gurunya baik pula, meski menyadari kalau Pandir Kelana terkadang sering
berbuat sesuka hatinya.
Malah cenderung bersikap seperti anak kecil, seperti sekarang ini. Padahal,
usianya lebih dua puluh lima tahun!
"He he he...! Jadi, namamu Ambarwati" Muridku pasti tidak salah pilih menjadikan
kau kekasihnya.
Sebab kau sangat beruntung mendapatkannya. He he he...! Ayo, beri salam pada
bapak mertuamu...," kata orang tua itu sambil tertawa girang.
"Eh! Aku..., aku..."
"Ha ha ha...! Pandir, pintar betul kau memilih calon istrimu" Gadis ini betulbetul masih hijau dan malu-malu. Aku setuju sekali! Aku setuju! Kau pasti bisa
mengarahkannya dengan baik...!" sahut orang tua itu, memotong pembicaraan
Ambarwati. Tentu saja hal ini membuat gadis itu menjadi sebal betul. Tidak ada sedikit pun
di hatinya rasa suka terhadap Pandir Kelana. Dan kini, orang tua itu
seenaknya saja bicara begitu. Semula dia gugup,
karena merasa tidak enak hati untuk menyinggung
perasaan keduanya. Tapi kini kekesalan hatinya telah bercampur marah.
"Kisanak, maaf. Mungkin kau salah duga. Aku sama sekali bukan kekasih muridmu.
Kami hanya berkawan biasa. !" tandas Ambarwati.
"He, apa katamu..."!" Sepasang mata si orang tua mendelik garang.
Dan Pandir Kelana tampak kaget, langsung memandang Ambarwati dengan wajah tidak percaya.
"Ambar! Apa katamu" Kau kekasihku, dan aku
kekasihmu. Bukankah kita telah berjalan bersamasama" Kenapa kau berkata seperti itu di depan
guruku" Ayo, jujur saja! Beliau tidak suka kau berpura-pura seperti itu!" desak
Pandir Kelana. "Bicara apa kau ini, Pandir Kelana"!" sentak Ambarwati menunjukkan perasaan
tidak senangnya.
Mendengar itu, Pandir Kelana bukannya sadar. Dia malah mendengus geram seraya
menuding ke arah
Rangga yang tersenyum-senyum kecil melihat
kejadian ini. "Huh! Agaknya semua ini gara-gara kau, Kisanak!
Kau telah merebut Ambarwati sehingga berpaling
dariku!" desis Pandir Kelana Geram, lalu berpaling pada gurunya. "Guru! Lebih
baik kau hajar pemuda sial itu! Gara-gara dia, maka Ambarwati bersikap seperti
sekarang!"
"Pandir Kelana, jaga bicaramu! Kau semakin
keterlaluan saja. Siapa yang mengatakan kalau di antara kita ada hubungan" Kita
hanya kawan dan
tidak lebih dari itu!" sentak Ambarwati kembali.
Tapi dasar berwatak aneh, kedua murid dan guru
itu sama sekali tidak mempedulikan ocehan
Ambarwati. Orang tua itu kini malah memandang
tajam ke arah Rangga. Wajahnya berkerut geram, dan sesekali terlihat mendengus
sinis. "Hm.... Kau rupanya yang buat gara-gara, he"!
Bocah, kau telah membuat hati muridku hancur. Dan siapa pun yang menyakiti
muridku, akan berurusan denganku. Oleh sebab itu, kau harus mampus!"
dengus orang tua itu.
"Sinting!" desis Ambarwati.
Tapi, orang tua itu sudah langsung melompat
menyerang Rangga.
"Yeaaat...!"
"Guru! Aku pun harus mendapat bagian untuk
menghajarnya!" teriak Pandir Kelana, ikut melompat pula membantu gurunya.
*** "Hm... Dasar orang-orang kurang waras!" dengus Rangga kesal setelah
memperhatikan tingkah laku
mereka tadi. Murid dan guru itu sebetulnya memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan yang cukup
hebat. Kalau saja orang berkepandaian rendah, niscaya akan binasa
dalam waktu singkat di tangan mereka. Serangan
mereka kuat dan sama sekali tidak main-main. Begitu yang dirasakan Rangga,
ketika menghadapi mereka
saat ini. Bet! "Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung memainkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi kedua
lawannya. Tubuhnya meliuk indah seperti seorang
penari. Dan kedua kakinya bergerak lincah silih
berganti, mengecoh lawan-lawannya. Dan tongkat di tangan kedua lawannya sampai
saat ini belum juga mampu melukai. Dan hal ini semakin membuat murid dan guru
itu gemas serta penasaran sekali.
"Guru! Apakah kau tidak mampu menghajarnya"
Ayo, pecahkan saja kepalanya. Bocah ini sombong
sekali. Dan kalau Guru tidak memberinya pelajaran pahit, dia tidak akan pernah
jera!" geram Pandir Kelana dengan nada kesal.
"Huh! Aku akan menghilang dari kalangan persilatan, jika tidak mampu membuat
bocah ini mampus! Tidak usah ada nama Panji Untara di jagad ini!" desis orang tua yang
mengaku bernama Panji Untara.
Ambarwati yang semula khawatir melihat kedua
orang itu yang marah tidak karuan, lambat laun
merasa geli sendiri. Karena, Rangga mampu
mengecoh kedua lawannya. Padahal, gadis ini tahu dan bisa melihat kalau guru dan
murid itu memiliki kepandaian hebat. Dan agaknya, Rangga juga bukan pemuda
sembarangan pula. Sebab tidak mungkin dia mampu menahan serangan kedua lawannya
lebih dari tujuh jurus.
Tapi ketika Ki Panji Untara merubah jurus, mau
tidak mau gadis itu merasa khawatir kembali. Sebab apa yang dilakukan Ki Panji
Untara saat ini, seperti pertarungan antara hidup dan mati!
Sementara Rangga sendiri juga merasakan pertarungan ini memang telah meningkat. Ki Panji
Untara tidak main-main dengan ucapannya. Baru saja orang tua itu mematahkan
ranting di tangannya
dengan hantaman tongkat maut. Melihat itu, Pandir Kelana tertawa kegirangan.
"Ha ha ha...! Bagus, Guru! Bagus...! Sebentar lagi bocah ini bakal mampus!"
"Kisanak! Jangan keterlaluan dan membesarkan persoalan! Mengingat nama besarmu,
biarlah aku mengalah dan mengaku kalah. Kita bisa selesaikan persoalan ini baik-baik!" kata
Rangga mengingatkan.
"Phuih! Tai kucing! Kau kira aku anak kecil yang bisa dibujuk" Setelah melukai
muridku, lalu meng-hina kami. Maka tiada ampun lagi bagimu! Kau harus
mampus...!" dengus Ki Panji Untara.
Rangga menggeleng lemah mendengar kata-kata
orang tua itu. Tidak ada harapan lagi baginya untuk bicara baik-baik, sebab
tekad orang tua itu agaknya sudah betul-betul. Maka....
Sriiing! Seketika terlihat cahaya kebiruan ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang
Pusaka Rajawali
Sakti. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, dengan wajah geram. Kini pedangnya
terlintang di dadanya.
"Kisanak, kau boleh memulainya...!"
Sebaliknya begitu melihat batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, Ki
Panji Untara tersentak kaget. Rupanya dia tahu betul, siapa pemilik pedang yang
amat mengagumkan ini.
"Hei, pedang itu! Bukankah itu kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti..."!" desis Ki
Panji Untara, terkejut.
"Kau kira aku merebut pedang ini darinya, he"!"
sahut Rangga dingin.
"Jadi..., kau adalah si Pendekar Rajawali Sakti itu"!"
"Begitulah orang menyebutku..."
Ki Panji Untara seperti tidak percaya dengan
pendengarannya sendiri. Dan untuk sesaat, orang tua itu hanya bisa terdiam.
Sedangkan muridnya menjadi heran melihat tingkah gurunya. Sama sekali tidak
dirasakannya kehebatan pemuda itu, karena cerita mengenai Pendekar Rajawali
Sakti baginya hanya
dongeng belaka. Dan pedang di tangan Rangga, sama sekali tidak membuatnya aneh.
Justru, sikap gurunya yang tiba-tiba melunak dan kelihatan takut pada
pemuda itu yang membuatnya aneh.
"Guru! Kenapa diam saja" Ayo, hajar bocah geblek itu! Hajar dia dan jangan diam
saja...!" desak Pandir Kelana kembali.
"Dasar murid tolol! Diam kau...!" bentak Ki Panji Untara garang. "Kenapa tidak
kau katakan kalau dia si Pendekar Rajawali Sakti, he"! Kenapa?"
"A..., apa maksudmu...?"
"Huh, pura-pura tolol!" Ki Panji Untara menggeram.
Dan tiba-tiba saja tangannya melayang menampar
muridnya. Plok! "Aouw! Ampun, Guru! Apa salahku" Kenapa kau memukulku..."!"
Plok! Plok! "Adouw! Ampun, Guru! Ampuuun...!"
Pandir Kelana jadi bingung sendiri, kenapa gurunya berubah begitu. Bukannya
menjelaskan alasannya,
tapi tamparan lagi yang didapat. Pemuda pengemis itu berteriak-teriak kesakitan
dan melarikan diri dari tempat itu.
"Eee.... Mau melarikan diri, he" Awas kau! Awas, ya...!"
Ki Panji Untara segera mengejarnya tanpa mempedulikan Pendekar Rajawali Sakti dan Ambarwati
yang berdiri dengan wajah heran. Kedua guru dan
murid itu kini saling berkejaran!
"Dasar orang sinting!" desis Rangga pelan seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Kisanak! Apakah benar kau..., kau Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Ambarwati
setelah beberapa saat terdiam.
"Kau telah mendengarnya sendiri, bukan...?"
Ambarwati mengangguk.
"Maaf.... Karena kami, urusanmu jadi berantakan.
Melihat kau terburu-buru, pasti ada urusan amat
penting!" duga Ambarwati.
"Aku tengah mengejar Dewi Tangan Darah," jelas Rangga tenang.
"Dewi Tangan Darah" Oh, sungguh kebetulan! Aku pun sedang mencari wanita iblis
itu. Maukah Kisanak mengajakku?"' tanya gadis itu dengan wajah berseri.
"Nisanak.... Dewi Tangan Darah bukanlah orang sembarangan. Kalau gurumu tewas di
tangannya, berarti kau belum mampu membalaskan sakit hatinya. Tabahkanlah hatimu. Dan, maaf aku tidak bisa mengajakmu. Nisanak, aku
permisi dulu...!" sahut Rangga tegas.
Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Begitu melompat ke atas punggung Dewa Bayu, kuda itu dipacu hingga melesat
cepat bagaikan kilat dari tempat ini.
Ambarwati hanya bisa memaki-maki kesal dengan
wajah geram atas jawaban Rangga. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya
hanya memandang
kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot
sayu. *** Seorang laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun tengah berdiri tegak di
beranda depan padepokannya. Sementara dua orang lainnya tampak duduk di sebelah
kiri, sedangkan lebih kurang dua puluh orang juga tengah bersiaga di halaman
depan padepokan
ini. Wajah orang tua itu kelihatan gelisah. Namun dia berusaha menenangkan diri.
Demikian juga kedua
orang yang duduk di kiri dan kanannya yang rata-rata memiliki selisih usia tidak
jauh beda. Yang seorang adalah wanita setengah baya bersenjata keris di
tangan. Sementara yang seorang lagi adalah laki-laki bersenjata tombak bermata
golok. Mata mereka
tampak tidak lepas memandang jauh ke depan
dengan telinga dibuka lebar-lebar.
"Ki Gandarwita.... Apa kau yakin dia akan datang hari ini?" tanya laki-laki
bersenjata tombak, pada laki-laki yang berdiri tegak.
"Tanda telapak tangan berdarah itu tertera di pintu padepokan kemarin sore,
Batara Wiraya! Dia pasti datang siang ini...!" sahut laki-laki yang berdiri itu,
dan bernama Ki Gandarwita.
"Hm, dasar wanita iblis! Entah apa yang dicarinya dengan semua ini!" dengus
wanita yang memegang keris.
"Sudahlah, Nyai Dimpa Amogya. Tidak usah
dipersoalkan hal itu. Yang penting saat ini, kita harus bersatu-padu. Kepandaian
Dewi Tangan Darah bukan main hebat, sebab dia telah menaklukkan banyak
tokoh persilatan kalangan atas," sahut lelaki bersenjata tombak yang bemama Ki
Batara Wirya. Ki Gandarwita menghela napas pendek. Kemudian,
dia kembali duduk di kursinya. Dipandanginya kedua orang itu beberapa saat.
"Aneh...," desah Ki Gandarwita.
"Aneh kenapa?" tanya wanita bersenjata keris yang bernama Nyai Dimpa Amogya.
"Tidakkah kalian perhatikan korban-korbannya...?"
Ki Gandarwita balik bertanya.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Ki Batara Wirya dengan dahi berkerut.
"Kebanyakan dari korbannya, adalah tokoh yang kita kenal baik. Hanya sedikit
yang kurang kita kenal.
Ataukah, ini hanya kebetulan belaka?"
Kedua kawan Ki Gandarwita terdiam seperti
merenungi kata-katanya. Kemudian teriihat Ki Batara Wirya mengangguk pelan.
"Betul katamu, Ki. Kebanyakan tokoh yang tewas di tangannya, kita kenal baik.
He, padahal masih banyak tokoh lain yang memiliki kepandaian hebat. Apa yang
dicari wanita itu sebenarnya?" tanya Ki Batara Wirya seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi curiga...," kata Ki Gandarwita.
"Curiga kenapa, Ki Gandarwita?" tanya Ki Batara Wirya.
"Ingatkah kalian peristiwa beberapa puluh tahun silam" Peristiwa yang menimpa
keluarga Ki Sapta
Dewantara" Anak gadisnya diculik kawanan rampok
yang diketuai Ki Bagaspati. Lalu ketika berhasil meloloskan diri, dia meminta
bantuan pada kita!
Namun, tidak ada seorang pun dari kita yang
bersedia. Lalu..., ah! Barangkali ini hanya kecurigaan-ku semata!" jelas Ki
Gandarwita. "He, bukan tidak mungkin, Ki!" seru Ki Batara Wirya.
"Ki Bagaspati juga telah binasa di tangan Dewi Tangan Darah. Demikian pula
sebagian besar anak
buahnya. Bisa jadi memang anak itu!"
"Dan kalian ingin mengatakan kalau kedatangannya kali ini untuk membalas dendam
atas sakit hatinya pada kita, karena tidak membantunya saat itu?" tanya Nyai
Dimpa Amogya menduga.
"Hm, bisa jadi begitu!" sahut Ki Gandarwita.
"Hm.... Bagaimanapun dan siapa saja dirinya, yang jelas dia akan mengancam
keselamatan kita! Lalu, sudah sepatutnya kita membela diri. Dan kalau dia sudah
kelewatan, tidak ada jalan lain. Kita terpaksa harus membunuhnya!" tandas Ki
Batara Wirya. Mendengar itu Nyai Dimpa Amogya tersenyum kecil.
"Bicaramu sudah seperti penguasa saja. Apa dikira mudah membunuh Dewi Tangan
Darah" Heh! Wanita
iblis itu telah membunuh lebih sepuluh tokoh silat yang memiliki kepandaian
Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hebat. Dan beberapa
perguruan silat ternama, binasa di tangannya."
"Hm.... Agaknya kau merendahkan kemampuan
sendiri, Nyai...," sindir Ki Batara Wirya.
"Begitukah" Aku hanya sekadar memberitahukan kalau kekuatan lawan tidak bisa
dianggap enteng.
Kelemahan yang paling utama adalah, menganggap
enteng lawan. Dan itu bisa mencelakakan diri
sendiri," kilah Nyai Dimpa Amogya.
Ki Batara Wirya belum sempat menyahut, ketika
dari kejauhan terdengar bunyi klenengan yang sayup-sanyup.
Teng...! Teng...!
"Hm ... Dia telah tiba...," gumam Ki Gandarwita.
Orang tua itu segera memberi isyarat pada seluruh muridnya untuk bersiap-siap
menyambut kehadiran
tamu yang ditunggu-tunggu.
Teng! Teng...! Suara klenengan itu semakin dekat saja terdengar.
Wajah semuanya tampak gelisah seperti menunggu
suatu bencana hebat yang akan menimpa. Tapi siapa pun menyadari kalau mereka
tidak patut menunjukkan rasa takutnya.
"Buka pintunya...!" teriak Ki Gandarwita, ketika merasa kalau tamu yang ditunggu
tiba di pintu gerbang. Dua murid melakukan perintah Ki Gandarwita. Dan
kini di dekat pintu gerbang terlihat seorang wanita cantik menunggang seekor
kuda yang di lehernya
terikat sebuah klenengan sapi. Wanita yang berpakaian seronok itu diam mematung sambil memandang tajam ke depannya. Lalu matanya terpaku
pada ketiga orang tua yang berdiri tegak di halaman depan.. Kemudian terlihat
kepalanya mengangguk
kecil sambil tersenyum dingin. Dan kini tunggangannya melangkah pelan mendekati.
"Hm.... Agaknya kau telah mempersiapkan segalanya. Bagus. Aku jadi tidak perlu
berlama-lama membereskan kalian semua. Sekali tepuk, maka tiga nyawa yang terpenting akan
melayang!"
*** 8 Ki Gandarwita maju ke depan setelah membereskan
letak pedang yang terselip di pinggang. Jarak mereka kini hanya terpaut tiga
langkah saja. Sehingga laki-laki tua itu bisa memperhatikan wajah wanita yang
tak lain Dewi Tangan Darah dengan seksama.
"Hm, tidak salah dugaanku. Kau pasti putri Ki Sapta Dewantara...," gumam Ki
Gandarwita pelan.
Wanita itu tersenyum dingin seraya memandang
tajam ke arah orang tua itu.
"Bagus! Ternyata kau lebih pintar dari yang lainnya, Pengecut!"
"Ayu Puspita Sari, apa maksudmu dengan semua pembantaian ini?"
"Hm.... Ternyata semakin tua, otakmu semakin butek. Sudah jelas, aku ingin
kalian merasakan
betapa sakitnya hatiku saat itu. Pengecut-pengecut seperti kalian, tak
selayaknya hidup lebih lama di muka bumi ini. Aku bersumpah akan membunuh
kalian semua. Nah! Cabutlah senjatamu!" desis Dewi Tangan Darah yang bernama
asli Ayu Puspita Sari.
"Ayu, aku bisa menjelaskan semua itu...," bujuk Ki Gandarwita.
"Tidak perlu!" sentak Dewi Tangan Darah memotong. "Bersiaplah menemui ajalmu!"
Setelah berkata demikian, telapak kiri Dewi Tangan Darah dihantamkan ke depan.
Maka serangkum angin kencang langsung menderu keras ke arah Ki
Gandarwita. "Yeaaat...!"
"Uhhh...!"
Orang tua itu langsung melompat menghindar. Dan
bersamaan dengan itu, seluruh muridnya serentak
mengepung. Bahkan beberapa orang segera menyerang Dewi Tangan Darah. Tidak ketinggalan juga Nyai Dimpa Amogya dan Ki Batara
Wirya. "Hiiih...!"
Set! Set! Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Tubuhnya
langsung mencelat tinggi, lalu melepaskan jarumjarum beracunnya.
"Awas, hati-hati...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.
Crap! Crep! "Aaa...!"
Namun, tak urung beberapa orang langsung
menjerit tertahan, terkena sambaran jarum-jarum
beracun yang dilepaskan Dewi Tangan Darah. Mereka kontan ambruk di tanah dengan
tubuh membiru! "Heaaat...!"
Dewi Tangan Darah betul-betul mengamuk hebat,
tak terhindarkan lagi. Selain jarum-jarum beracun yang dilepaskan, senjata
kebutan di tangan kanannya pun bergerak lincah mencari mangsa.
Prak! Prok! "Wuaaa...!"
Beberapa murid Ki Gandarwita binasa dengan
kepala remuk, terkena hantaman senjata Dewi
Tangan Darah yang aneh namun dahsyat.
"Ayu, jangan keterlaluan kau...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.
Namun belum lagi selesai kata-kata itu, Dewi
Tangan Darah menghantamkan satu pukulan jarak
jauh ke arah Ki Gandarwita.
"Yeaaat!"
"Sial!" dengus Ki Gandarwita langsung melompat dengan gesit.
"Buat apa bicara baik-baik segala"! Sudah,
bereskan saja dia!" sentak Ki Batara Wirya.
"Tanganku sudah gatal ingin menghajar bocah kurang ajar ini!" timpal Nyai Dimpa
Amogya. Wanita tua itu sudah mencabut kerisnya.
Mau tidak mau Ki Gandarwita menjadi panas juga
hatinya. Apalagi melihat kalau dalam waktu singkat, murid-muridnya binasa secara
mengenaskan. Dewi
Tangan Darah membunuh mereka bagai menindas
sekumpulan semut saja.
"Kenapa sungkan-sungkan segala" Kedatanganku ke sini bukan untuk main-main, tapi
ingin mencabut nyawa kalian semua!" teriak wanita itu lantang, disertai senyum
mengejek. "Hm... Kalau begitu, jangan salahkan kalau kami bersikap keras padamu!"
dengusnya. "Ha ha ha...! Bisa berbuat apa kalian padaku" Si keparat Bagaspati yang kalian
takuti saja, tewas di tanganku. Apalagi menghadapi tikus-tikus pengecut seperti
kalian!" balas Ayu Puspita Sari yang berjuluk Dewi Tangan Darah.
"Yeaaa. .!"
Nyai Dimpa Amogya geram bukan main. Langsung
dilepaskannya pukulan maut jarak jauh yang bernama 'Petir Kumala'. Maka selarik cahaya kekuningan berhawa panas langsung
meluruk ke arah Dewi
Tangan Darah. Dewi Tangan Darah cepat mengelak dengan
melenting ke udara. Begitu berada di atas dia balas menyerang.
"Huh! Pukulanmu sama sekali tidak berarti. Dan terimalah hadiah dari Penghuni
Pulau Ular. Heaaat...!"
Ayu Puspita Sari membentak nyaring, melepaskan
pukulan jarak jauh ke arah Nyai Dimpa Amogya.
"Heh"!"
Wanita tua itu terkejut. Dan dia berusaha mengelak, namun terlambat.
Prasss! "Aaakh...!"
Sinar kemerahan yang keluar dari telapak Dewi
Tangan Darah lebih cepat lagi menyambar tubuh
wanita tua itu.
Seketika tubuh Nyai Dimpa Amogya terjungkal ke
tanah. Dan dia tewas seketika dengan tubuh hancur!
Bukan main geramnya Ki Gandarwita melihat itu.
Lebih-lebih lagi Ki Batara Wirya. Dia sudah langsung melejit menyerang pada
jarak dekat. Tombak bermata golok di tangan Ki Batara Wirya
menyambar ke arah leher Dewi Tangan Darah.
Namun dengan sedikit menundukkan kepala, senjata tombak luput dari sasaran.
Selanjutnya senjata
kebutan di tangan wanita itu, melibat erat.
Prrrt...! "Lepas!"
Dan dengan sekali sentak, maka tombak Ki Batara
Wirya terlepas dari genggaman. Belum sempat laki-laki itu menyadari apa yang
terjadi, satu tendangan keras dilancarkan Dewi Tangan Darah. Masih untung Ki
Batara Wirya mampu berkelit ke kiri. Namun, Dewi Tangan Darah terus mengejarnya
dengan kebutan maut di tangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang tua itu tak mungkin
menghindar. Dan..
Proook! "Aaakh!"
Ki Batara Wirya memekik keras, ketika senjata
kebutan itu mendarat dan meremukkan kepalanya.
Setelah jatuh di tanah dan menggelepar-gelepar
untuk beberapa saat, dia tewas mengenaskan. Batok kepalanya remuk dan tubuhnya
bermandikan darah!
"Sekarang giliranmu, Orang Tua...!" dengus Dewi Tangan Darah dingin, sambil
mengibas-ngibaskan
kebutannya. Wajahnya tampak dingin. Dan senyumnya mengundang hawa maut dan menggiriskan.
*** Ki Gandarwita tergagap. Dan untuk sementara, dia
tidak tahu harus berbuat apa. Kematian kedua
kawannya secara mengenaskan, sudah cukup membuat nyalinya ciut. Tidak terasa, bulu kuduknya me-rinding membayangkan nasibnya
seperti apa. Tiga
orang muridnya yang tersisa, agaknya tidak banyak membantu. Wajah mereka pucat.
Dan rasa ketakutan hebat, tergambar jelas di sinar mata mereka. Hanya karena
memandang rasa hormat saja pada gurunya,
maka mereka tidak melarikan diri. Tapi untuk berbuat sesuatu, agaknya mereka
tidak berani. "Hm, mulai ketakutan..." Bisakah kau rasakan, bagaimana ketakutannya aku saat
itu, Orang Tua"
Bagaimana ketidakpedulian kalian terhadap keluargaku" Padahal, ayahku mengatakan
kalau kalian adalah kawan baiknya. Tapi, apa yang kualami" Hanya
kepengecutan kalian belaka dengan membiarkan
hidupku terhina!" desis Ayu Puspita Sari geram.
"Ayu, dengarlah baik-baik penjelasanku. Tadi, kau katakan tentang sesuatu
mengenai Pulau Ular. Kalau benar kau berguru pada orang-orang itu, pasti hatimu
telah kerasukan setan. Sehingga, kau tidak bisa lagi berpikir secara jernih...,"
kata Ki Gandarwita, sengaja mengulurkan waktu, kalau-kalau ada kesempatan
untuk melarikan diri.
"Tutup mulutmu! Peduli apa kau, kalau aku berasal dari neraka sekali pun"
Bagiku, mereka adalah
keluargaku. Mereka telah menolongku dan menjadikanku seperti saat ini. Sedangkan kalian, hanya bisa menunjukkan sikap
pengecut!" sentak Dewi Tangan Darah.
"Itu tidak benar...," sanggah Ki Gandarwita.
"Tidak usah banyak bicara! Mainkan pedangmu.
Dan, pertahankanlah selembar nyawa pengecutmu
itu!" tandas Ayu Puspita Sari, dingin sambil melangkah pelan mendekati orang tua
itu. Ki Gandarwita pelan menelan ludah. Kali ini tidak ada lagi harapan baginya untuk
mengelak. Kepandaian kedua kawannya tidak terpaut jauh dengannya.
Dan kalau mereka dapat mudah dibinasakan, maka
nasibnya sendiri sudah bisa ditentukan. Namun
meski demikian, dia berusaha menguatkan semangatnya. Lalu, perlahan-lahan pedangnya diangkat! "Bagus! Begitu lebih baik bagimu...," kata wanita itu, tersenyum kecil.
Namun sebelum Dewi Tangan Darah melakukan
sesuatu, terdengar derap langkah seekor kuda yang berlari kencang menghampiri
tempat ini. Dewi Tangan Darah jadi terkejut, dan kelihatan ingin kabur dari
situ. Namun penunggang kuda yang baru tiba, lebih cepat lagi melompat dari
punggung kuda, langsung menghadang di depannya.
"Ayu, cukup! Hentikan semua ini...!"
Wanita itu terdiam, langsung memandang pemuda
tampan berbaju rompi putih di depannya untuk
beberapa saat. Wajahnya tampak sendu.
"Rangga, jangan campuri urusanku. Pergilah dari sini...," ujar Dewi Tangan
Darah. "Kau tidak bisa terus-menerus begini, Ayu. Sudah terlalu banyak yang menjadi
korbanmu" Lalu, sampai kapan semua ini berakhir" Hentikanlah, Ayu. Dan
hiduplah secara benar. Masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan...," bujuk
pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti.
Ayu Puspita Sari memandang Rangga, lalu tersenyum kecut. "Tahukah kau, kenapa kemarin aku meninggalkan saat pertarungan" Padahal, aku
ingin sekali memecahkan batok kepala tua bangka usil itu. Yang
jelas, aku tidak ingin melibatkanmu. Juga, saat ini.
Tolong jangan campuri urusanku...!" pinta wanita itu dengan suara rendah, namun
mengandung ke-tegasan.
"Ayu.... Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Tapi tahukah kau, bahwa belakangan ini
justru kaulah yang kucari-cari! Aku tidak bisa membiarkanmu meng-umbar dendam
dan amarah, dengan membunuh
semua orang sebagai pelampiasan sakit hatimu. Yang lalu, biarkanlah berlalu. Dan
kehidupan hari ini, seharusnya kau jalani dengan baik," bujuk Pendekar Rajawali
Sakti. "Rangga! Aku tidak akan malu-malu mengatakan kalau aku mulai menyukaimu sejak
perkenalan kita.
Kalau saja bisa kukabulkan semua keinginanmu,
tentu saja dengan senang hati akan kulakukan. Tapi, tidak untuk yang satu ini!"
desis Ayu Puspita Sari menekankan kata-katanya yang terakhir.
"Kau tidak merasakan, betapa hampa dan terhinanya aku saat itu. Mereka membisu dan menutup mata, padahal tahu bahwa saat
itu aku sangat membutuhkan pertolongan. Jika saja mereka tidak
mampu menghadapi Bagaspati seorang diri, mereka
toh bisa bersama-sama. Aku minta tolong, bukan
pada seorang. Tapi semua kawan ayahku yang
terdekat dan sering berkunjung ke rumah. Kau tidak akan tahu dan bisa merasakan,
bagaimana perihnya hatiku menerima jawaban mereka!"
"Seseorang berhak menentukan sikapnya meski tidak terpuji. Dan kita tidak berhak
mencabut nyawanya, hanya karena pendirian dan sikapnya yang buruk dan tidak bisa
diterima. Semua telah digariskan Yang Maha Kuasa, termasuk kematian orangtuamu.
Juga, nasibmu telah digariskannya. Kenapa kita hendak
menentang dan melawan" Cobalah terima kenyataan
ini dengan lapang dada...," bujuk Pendekar Rajawali Sakti lagi.
Pendekar Rajawali Sakti 144 Telapak Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rangga, maafkan. Aku tidak bisa...."
"Ayu, jangan tambah korban lagi. Karena bagaimanapun, aku akan mencegahmu!"
Wanita itu memandang Rangga, lalu tersenyum
kecil. Sepertinya dia tidak percaya dengan kata-kata yang di depannya tadi.
"Kau ingin mencegahku...?" tanya Dewi Tangan Darah meremehkan kemampuan pemuda
itu. "Aku bersungguh-sungguh!" Rangga berusaha meyakinkan.
"Nah! Kalau demikian, cobalah...!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Tangan Darah
mencelat menyerang Ki Gandarwita yang sejak tadi berdiri mematung mendengarkan
percakapan. "Hiyaaat!"
Wuuut! Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melejit memapak serangan Dewi Tangan
Darah dengan telapak kirinya. Sementara tangan kanannya menepis tangan kiri wanita itu.
Plak! Plak! Dewi Tangan Darah melompat ke belakang.
Demikian juga Rangga. Wanita itu memandang
Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tak percaya.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Ayu Puspita Sari heran.
Kecepatan gerak serta tenaga dalam pemuda ini
hebat bukan main. Sungguh jauh dari bayangan Dewi Tangan Darah semula. Tentu
saja itu membuatnya
terkejut bukan main.
"Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali
Sakti...," sahut pemuda itu, datar tanpa menyom-bongkan diri.
"Hm, pantas! Agaknya selama ini kau berpura-pura bodoh di depanku, he"!" dengus
Dewi Tangan Darah.
Agaknya bukan hanya wanita itu yang terkejut mendengar penjelasan Rangga yang
menyebutkan julukannya. Tapi, juga Ki Gandarwita. Dalam pikiran orang tua itu timbul
pertanyaan, kenapa Pendekar Rajawali Sakti bisa berkenalan dengan Dewi Tangan
Darah" Hubungan apa yang telah terjadi antara
mereka selama ini"
*** Rangga tersenyum kecil.
"Aku tidak pernah membohongi siapa pun. Kalau aku berpura-pura bodoh, itu adalah
hal yang sebenarnya."
"Hm.... Jadi kau berkeras hendak mencegahku...?"
tanya Dewi Tangan Darah dengan suara ditekan.
Rangga mengangguk tegas.
Dewi Tangan Darah mendengus dingin.
"Kau boleh langkahi mayatku, baru bisa mencegah niatku!"
Rangga hanya terdiam sambil memandang dengan
wajah kasihan. Hal inilah yang tidak diinginkannya.
Wanita itu bisa saja menyadari kesalahannya selama ini, dan tidak mengulangi
lagi. Tapi, Ayu Puspita Sari memang keras kepala. Dan Rangga tidak bisa
menasihatinya lagi. Keputusan wanita itu tampaknya telah bulat.
Sementara angin bertiup lembut, menerbangkan
dedaunan debu-debu, dan mengibar-ngibarkan
rambut mereka. Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi
Tangan Darah saling berhadapan satu sama lain pada jarak tujuh langkah, Dewi
Tangan Darah mendengus pelan, lalu memutar kebutannya beberapa kali.
Dan.... "Yeaaat...!"
"Hiyaaat...!"
Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian tinggi
berteriak nyaring dan saling melompat bersamaan.
Satu tendangan keras yang bertenaga dalam kuat
menghantam ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga cepat mengegoskan, lalu menepisnya
dengan tangan kiri.
Plak! Plak! Senjata kebutan Dewi Tangan Darah menyusul
menghantam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Namun tubuh pemuda itu telah mencelat ke
belakang. Dewi Tangan Darah terus mengejarnya
sambil melepaskan jarum-jarum beracunnya.
Set! Set! "Hei" Uhhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti'yang saat ini memainkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib, jadi terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan diri
sambil bergulingan untuk menghindari serangan. Namun, Dewi Tangan Darah
tidak membiarkannya begitu saja. Seusai melepaskan senjata rahasia, pukulan
mautnya terus menghantam seperti tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada
Rangga untuk bernapas.
Malah pada satu kesempatan, satu pukulan maut
mendarat di sisi Pendekar Rajawali Sakti.
Prasss...! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan.
Tubuhnya terasa perih, meski pukulan Dewi Tangan Darah luput dari sasaran. Namun
jaraknya hanya sedikit sekali. Bahkan tanah tempat dia tadi
bergulingan terbelah seperti dihantam ledakan keras.
"Ayo, keluarkan semua kemampuanmu! Tunjukkan kehebatanmu di hadapanku! Huh!
Hanya segitukah
kemampuan Pendekar Rajawali Sakti"! Ayo, lawan
aku! Apakah kebisaanmu hanya menghindar seperti
seorang pengecut"!" teriak Dewi Tangan Darah seperti orang kalap. Dan dia terus
menghamburkan pukulan-pukulan maut serta serangan-serangan
menggila. "Heaaat!"
Sambil berteriak nyaring Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Lalu tubuhnya
membuat beberapa
gerakan dengan kaki merentang. Sementara kedua
tangannya merapat di depan dada. Begitu tubuhnya tegak kembali, terlihat
semburat cahaya biru di
antara kedua telapak tangannya yang tetap merapat di depan dada.
Rangga tahu kalau Dewi Tangan Darah sudah
hendak melepaskan aji pamungkasnya. Maka dia tak mau tanggung-tanggung lagi
segera disiapkannya aji
'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir.
"Bagus! Nah, mampuslah kau Hiaaat...!" teriak Dewi Tangan Darah langsung
melepaskan aji pamungkas
yang bernama 'Racun Ular'. Seketika dari telapak tangan Dewi Tangan Darah
meluruk sinar merah ke
arah Pendeka Rajawali Sakti. Melihat hal ini, Rangga tidak tinggal diam.
Seketika kedua tangannya
dihentakkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Dua cahaya yang meluruk cepat dari dua aji
kesaktian tampaknya akan beradu di tengah-tengah.
Dan... Jederrr...! "Aaakh...!"
"Uhhh...!"
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan
mereka beradu di tengah. Asap hitam mengepul ke
udara dan bumi seperti berguncang. Bahkan Ki
Gandarwita yang masih menonton pertarungan
terpental beberapa langkah. Sedangkan ketiga
muridnya yang tersisa, langsung tergeletak tidak sadarkan diri. Bukan saja
ledakan keras yang seperti memecahkan gendang telinga yang membuat mereka
demikian. Tapi, juga karena angin kencang laksana badai topan, berhawa panas
yang amat menyengat
akibat beradunya kedua pukulan tadi.
Dewi Tangan Darah memekik setinggi langit. Tubuhnya langsung hancur berantakan
dalam keadaan gosong. Sementara seberkas sinar biru, yang
menyelimuti tubuhnya tadi telah sirna perlahan-lahan.
Bau sangit seperti daging terbakar, samar-samar
tercium. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sempat
mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Dan dia segera bersandar pada sebatang pohon. Napasnya megap-megap
tidak karuan, dan
tubuhnya masih bergetar hebat.
"Hm.... Tenaga dalamnya sungguh luar biasa...,"
gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan. Lalu Rangga segera membuat sikap bersemadi.
Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti bersemadi,
untuk menghilangkan guncangan pada dadanya. Baru setelah itu, matanya terbuka.
Dan dia segera bangkit berdiri. Segera dihampirinya kepingan mayat Ayu
Puspita Sari. "Maafkan aku, Ayu. Aku tidak bermaksud begini.
Tapi, kau terlalu memaksa...," gumam Rangga lirih.
Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti mematung
dengan wajah berduka. Bagaimanapun, dia patut
merasa iba setelah mengetahui perihnya kehidupan wanita ini.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Tidak seharusnya kau merasa bersalah. Orang itu
sudah sepatutnya
menerima ganjaran atas apa yang dilakukannya
selama ini...," sahut satu suara.
Rangga melihat Ki Gandarwita menghampiri sambil
tersenyum kecil. Entah kenapa, hatinya amat muak melihat sikap orang tua itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke punggung
kudanya. "Eh! Mau ke mana kau, Kisanak..."!"
Pendekar Rajawali Sakti menoleh sejenak.
"Kisanak, kematian Dewi Tangan Darah mungkin menyenangkanmu. Tapi bukan berarti
dia merusak segalanya. Justru orang-orang sepertimulah yang
menebar benih bencana!"
Ki Gandarwita terdiam dan mematung sambil
memandangi kepergian pemuda itu. Mungkin laki-laki tua itu tidak percaya dengan
kata-kata tadi. Atau juga merenunginya. Sementara dalam beberapa saat saja,
Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangan-nya!
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Senja Jatuh Di Pajajaran 13 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama