Ceritasilat Novel Online

Gerombolan Samurai Hitam 1

Pendekar Rajawali Sakti 202 Gerombolan Samurai Hitam Bagian 1


" 202. Gerombolan Samurai Hitam Bag. 1 - 4
June 6, 2015 at 10:40am
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Gerombolan Samurai Hitam
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 Hujan semalaman bagaikan diguyur dari langit, membasahi mayapada. Membasahi pula Hutan Karimun, meninggalkan titik-titik air di daun-daun pepohonan. Tanah sekitar hutan yang tak begitu lebat ini jadi becek. Di depan halaman beberapa bangunan, tampak kubangan-kubangan kecil.
Pagi baru saja menjamah bumi. Matahari ramah pada setiap makhluk di bawahnya, menghangatkan lima orang berpakaian serba hitam yang tengah berjaga-jaga di sebuah rumah yang hanya satu-satunya di tengah Hutan Karimun ini. Dari dalamnya terdengar suara beberapa orang tengah berbincang-bincang..
"Apakah selamanya kita akan tinggal di tempat ini, Kak Kenzo Matsuta...?" tanya laki-laki bermata sipit. Wajahnya cukup tampan, dengan kumis tipis menghias di atas bibirnya. Rambutnya panjang dikuncir kuda. Pakaiannya berwarna hitam berlengan lebar, tanpa kancing. Sebuah ikat pinggang dari kain berwarna hitam menjadi pengikat pakaiannya yang tanpa kancing. Sedangkan celananya juga lebar berwarna hitam.
"Tentu saja tidak, Genkuro. Memangnya kenapa...?" jawab laki-laki bermata sipit yang dipanggil Kenzo Matsuta. Ciri ciri pakaiannya sama dengan laki-laki bernama Genkuro. Hanya saja, badan Kenzo Matsuta lebih kekar, membayangkan kekuatannya. Wajahnya pun tak ditumbuhi bulu selembar pun.
"Tidak apa-apa.... Apakah kita tidak ingin mempunyai harta yang lebih banyak lagi..." Dan, apakah akan terus membujang begini...?" kembali Genkuro bertanya.
"Tentu tidak. Aku juga mengerti hati kalian. Kalau ingin wanita, boleh saja pergi ke desa terdekat. Tetapi, jangan sampai terlalu menyolok. Sebab hal itu akan merepotkan sebelum waktunya. Ingatlah! Jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pendekar tanah Jawa sebelum kedudukan kita kuat...," papar Kenzo Matsuta. "Menurutmu bagaimana, Kenzi?"
Kenzo Matsuta menatap laki-laki bermata sipit lainnya yang juga berpakaian sama. Hanya saja wajahnya penuh ditumbuhi brewok.
"Aku sependapat denganmu, Kak Kenzo! Ingat! Kita adalah pelarian dari Nippon, yang telah gagal melakukan pemberontakan terhadap kaisar. Aku khawatir, para pendekar tanah Jawa yang mengetahui kehadiran kita, menceritakan kehadiran kita pada para pedagang dari negeri kita sendiri. Selanjutnya, para pedagang akan menceritakan kehadiran kita di sini pada kaisar," dukung laki-laki yang dipanggil Kenzi.
"Ya, selama ini kita memang baru mempunyai pengikut lima orang dari tanah Jawa ini. Kedudukan kita belum kuat. Kalaupun sudah kuat, rasanya aku enggan meninggalkan tanah Jawa. Karena kulihat, di tanah ini pun kita bisa menancapkan kuku kekuasaan...," sahut Kenzo Matsuta, tegas.
Memang, mereka bertiga adalah tiga bersaudara dari negeri Matahari Terbit yang melarikan diri dari kejaran para samurai, setelah gagal memberontak. Dan begitu tiba di tanah Jawa, Kenzo Matsuta yang merupakan paling tua dan diangkat sebagai pemimpin, berubah pikiran. Dia bertekad tak ingin kembali ke tanah kelahirannya. Pertimbangannya, kalaupun mereka tidak kembali, jelas akan diburu kaum samurai.
Suasana jadi hening ketika tak ada yang bersuara.
"Adik-adikku, aku tak melarang kalian mencari gadis-gadis desa. Pergilah. Hanya yang perku kalian ingat, bertindaklah hati-hati...," ujar Kenzo Matsuta, memecah keheningan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Nippon.
"Baiklah kalau begitu. Esok malam aku akan keluar. Kepalaku sudah pening...," sahut Kenzi Matsuta sambil tersenyum.
? *** Malam menjelang tiba. Binatang-binatang malam mengerik saling bersahutan. Lolongan anjing hutan di kejauhan menambah suasana malam menjadi kian mencekam. Ditambah lagi cuaca yang kurang bagus. Angin dingin dan kilat sesekali menerangi langit gelap.
Pada saat yang seperti itu, dua sosok bayangan serba hitam berkelebat menuju Desa Walatika. Gerakan kedua bayangan itu gesit bagaikan setan yang tengah mencari mangsa. Tak lama, hujan mulai turun bagaikan dicurahkan dari langit. Cahaya kilat dan bunyi guntur terlihat saling susul, membuat suasana semakin mencekam.
Tiba di Desa Walatika, keadaan sudah tampak sepi dan mati. Tak seorang penduduk pun yang terlihat keluar rumah dalam suasana yang seperti ini. Di tepi desa terdapat sebuah rumah sederhana.
Ke sanalah kedua bayangan itu menuju.
Tok! Tok! Tok! Terdengar suara pintu diketuk berkali-kali.... Kemudian terdengar suara langkah terseret di balik pintu. Namun, pintu belum juga terbuka.
"Siapa di luar...?" tanya suara dari dalam rumah.
"Kami...," jawab salah satu bayangan hitam, dengan logat yang asing di telinga.
"Iya, tapi siapa...?" kembali terdengar suara dari dalam.
"Kami pengembara yang kehujanan dan kemalaman. Bolehkah kami menumpang istirahat barang semalaman...?" pinta kedua sosok bayangan itu.
Kiet...! Kreettt...!
Terdengar suara pintu dibuka dari dalam. Tak lama muncul seraut wajah tua. Dengan pandangan penuh curiga, diawasinya kedua orang berpakaian serba hitam dengan wajah sangat asing di matanya. Dengan cepat pintu itu hendak ditutupnya kembali. Tetapi, sebuah tangan bertenaga dalam kuat menahannya dari luar. Sehingga, pintu tetap terbuka tak dapat ditutup kembali.
"Sabar dulu, Kisanak! Mengapa kau bersikap demikian terhadap kami..." Kami berdua hanya numpang berteduh saja...?" tukas salah satu orang asing yang bermata sipit dengan rambut dikuncir ekor kuda.
"Kalia ini siapa..." Aku baru kali ini melihat kalian...?" tanya laki-laki tua pemilik rumah.
"Kau terlalu cerewet, Ki...," desis orang asing satunya yang berwajah brewok.
Seketika, tangan laki-laki sipit penuh brewok itu berkelebat.
Tuk! Tuk! "Aaakh...!"
Dua buah totokan di iga, membuat orang tua itu jatuh tanpa dapat bersuara dan berkutik lagi.
"Kakang...!"
Melihat kejadian itu, seorang perempuan tua segera menubruk laki-laki tua yang tak lain suaminya sambil memaki.
Kedua orang asing tersebut mengawasi dengan wajah mengerut. Tampaknya mereka mulai kesal dan tidak sabar. Salah seorang langsung mengarahkan ujung jarinya ke tubuh perempuan itu.
Tuk! "Oh...!"
Perempuan tua itu jatuh menyusul suaminya ketika punggungnya tertotok. Dia pun tidak dapat bangkit kembali. Apalagi bersuara.
"Ayah...!"
"Ibu...!"
Dua gadis yang tak lain anak kedua orang tua itu langsung menghambur. Mereka memeluki orangtuanya sambil menangis tersedu-sedu.
"Setan keparat! Kau apakan kedua orangtuaku..."!" dengus salah seorang gadis, mendadak timbul keberaniannya.
Sambil tertawa-tawa, kedua orang asing bermata sipit yang ternyata Kenzi Matsuta dan Genkuro Matsuta menyergap dan menarik tangan kedua gadis itu. Mereka lantas menyeret-nyeret ke dalam kamar. Karena terus memberontak, kedua gadis itu ditotok hingga tak berdaya.
"Tolong.... Ouwww...!" gadis-gadis itu terus berteriak keras.
? *** ? "Heh"!"
Suara minta tolong membuat dua peronda yang kebetulan melintas menjadi tersentak. Setelah berpandangan sejenak, keduanya berlari menuju sumber suara.
"Jelas asalnya dari rumah Ki Wangsa! Cepat, Gempol!" tunjuk peronda yang bertubuh kurus.
"Sabar, Kuwu! Kau tahu, tubuhku terlalu gemuk, " sahut peronda yang bertubuh gemuk. Namanya Gempol.
"Heh"!"
Kedua peronda itu makin terkejut tatkala melihat dua orang tua yang tergeletak tanpa dapat bergerak lagi di depan pintu.
"Ada apa, Wangsa" Apa yang telah terjadi di sini...?" tanya peronda yang bernama Kuwu.
Tak ada jawaban dari dua orang tua bernama Ki dan Nyi Wangsa itu. Namun....
"Auuw...! Jangan, aduh tolong..., toloong...!"
"Heh"!"
Kuwu dan Gempol tercekat, mendengar suara perempuan dari dalam kamar rumah ini. Kedua peronda itu segera berkelebat masuk ke dalam. Tapi, keduanya berhenti dan sejenak terpaku melihat pemandangan tak senonoh sedang terjadi di dalam. Begitu tersadar, kedua peronda ini segera bertindak.
"Keparat! Kalian benar-benar biadab! Rasakanlah ini...!" Kuwu maju lebih dulu sambil menyerang dengan golok.
Kenzi Matsuta yang diserang tetap asyik dengan kegiatannya. Tapi, begitu serangan dekat tubuhnya bergulir ke samping. Akibatnya.... Cras...!
"Aaa...!"
Gadis yang diperkosa Kenzi Matsuta memekik panjang, ketika golok Kuwu malah salah sasaran, menghujam dadanya. Sejenak gadis itu melejang-lejang, lalu tewas berlumur darah.
"Oh..."!"
Kuwu terpekik, tak menyangka goloknya malah menebas gadis yang hendak ditolong. Tapi sebelum keterkejutannya lenyap, Kenzi Matsusta telah melepaskan satu kibasan tangan bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Prak! "Aaa...!"
Laki-laki kurus itu kontan terjengkang sambil memegangi kepalanya yang pecah. Darah nampak merembes dari sela-sela jarinya. Kuwu menggelepar sebentar, lalu diam tak berkutik lagi.
Sementara itu, Gempol yang menyerang Genkuro Matsuta tinggal menunggu nasib saja. Satu hantaman telak telah mematahkan lehernya.
Dan tanpa rasa kasihan sedikit pun, Genkuro Matsuta menghantam dada Gempol yang masih terhuyung-huyung.
Des...! Brukk...! Tanpa bersuara lagi, tubuh Gempol ambruk dengan nyawa melayang.
"Huh...! Mengganggu saja...!" desah Genkuro Matsuta.
"Bagaimana dengan satu gadis ini...?" tanya Kenzi Matsuta.
Sebaiknya kita habisi saja. Kalau tidak, dia dapat menyebarkan berita ke mana-mana," usul Genkuro Matsuta.
"Hm...! Baiklah...!" sambut Kenzi Matsuta. Kemudian, diambilnya senjata salah satu peronda dan ditebaskan pada satu gadis sisanya.
Crasss! Wanita yang sudah pingsan ini binasa bersimbah darahnya sendiri.
Kedua orang asing ini lantas melangkah keluar kamar. Ketika golok peronda itu dihantamkan pada Ki dan Nyi Wangsa.
? *** ? 2 Matahari bersinar cukup terik. Cahayanya yang panas terasa menyengat kulit. Dan itu dialami oleh seorang gadis cantik berpakaian serba merah yang berjalan sendirian di sebuah lembah kecil. Rambutnya panjang dikuncir ekor kuda. Di pinggangnya terselip seruling terbuat dari emas. Wajah cantik itu bersemu merah, dengan beberapa tetes peluh menetes dari pipinya yang halus.
Sambil menghembuskan napas, gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyapu keringat dengan ujung lengan baju. Tapi, semua itu tidak mengurangi kecantikan alaminya. Bahkan wajahnya tampak semakin bersemu merah. Ketika melihat sebuah batu besar di bawah sebuah pohon rindang, dia segera menghampiri. Dihenyakkan pantatnya yang padat untuk melepaskan lelah. Dari balik baju dikeluarkannya sebuah kipas berwarna merah. Langsung dikebut-kebutkan pada tubuhnya untuk mendapatkan angin sejuk.
Baru beberapa kejap gadis ini beristirahat, dari samping kanannya yang banyak ditumbuhi semak, berlompatan tiga orang berpakaian serba hitam. Seluruh wajahnya tertutup kain hitam, hanya pada bagian matanya saja yang terbuka. Pancaran mata mereka tampak sangat tajam.
Sementara gadis berbaju serba merah tampak tenang saja, seperti tak menghiraukan. Padahal, ketiga orang berpakaian serba hitam semakin liar memandangi, seperti hendak menelanjangi.
Bahkan acuh tak acuh, gadis cantik itu terus berkipas-kipas santai. Sikapnya yang kenes, membuat ketiga orang bertopeng hitam itu jadi semakin berani. Dengan kekurangajarannya, salah seorang mencoba meraba pipi.
Gadis itu sepertinya tak mempedulikan. Tapi, begitu tangan itu hampir menyentuh, kipasnya dikebutkan.
Wees! Beed! "Aiiit...!"
Untung orang bertopeng memiliki gerakan gesit. Dengan cepat tubuhnya dibuang ke belakang, seraya berjumpalitan beberapa kali. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah, gadis berbaju merah telah berkelebat. Dengan kipasnya yang telah menguncup, ditotoknya laki-laki bertopeng itu.
Tuk! "Eekh!"
Sebuah totokan keras menghantam punggung laki-laki itu. Tak ampun lagi, tubuhnya roboh tak dapat bergerak lagi. Kejadian itu berlangsung sangat cepat Sehingga, kedua orang temannya tak sempat berbuat sesuatu untuk menolong.
Sementara itu gadis berbaju merah sudah berkelebat kembali dan duduk di tempat semula. Seolah, tak pemah terjadi sesuatu apa-apa.
"Huh...! Rupanya di tempat ini banyak lalat yang menjijikkan. Hm.... Kalau tak mau menyingkir, biar kuhajar lagi!" dengus gadis ini.
Sambil duduk, gadis itu terus berkipas-kipas. Gerakannya membuat anak rambutnya berterbangan. Mulutnya menampakkan senyum manis. Tingkahnya membuat kedua orang bertopeng jadi gemas bercampur geram.
"Gadis keparat...! Tingkahmu akan membuatmu menyesal seumur hidup...," ancam salah seorang seraya mencabut samurai dari punggung.
Ucapan laki-laki itu disusul serangan samurai ke arah perut Tapi, dengan sekali kebut memakai kipas, gadis ini berhasil membuat penyerang berangasan itu terdorong balik ke belakang.
Mengetahui tenaga dalam gadis itu begitu kuat, kedua orang bertopeng menerjang serentak dengan samurai tajam luar biasa. Tetapi begitu serangan sampai, yang diserang sudah berkelebat cepat bukan main. Ketika mereka tengah kebingungan mencari....
"Hi hi hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik dari atas pohon. Begitu kedua orang bertopeng menengadah, ternyata gadis cantik berpakaian serba merah itu tengah duduk santai pada salah satu cabang pohon sambil mengayun-ayunkan kaki. Tentu saja kedua orang bertopeng jadi bertambah geram.
"Heiiit!"
"Sheaaat!"
Kembali kedua orang bertopeng ini melesat ke atas pohon sambil melancarkan serangan dahsyat. Suara sabetan samurai di tangan mereka terdengar mengaung menyakitkan telinga.
Sambil tersenyum gadis itu mengebutkan kipasnya ke arah kedua orang bertopeng. Seketika, meluruk angin keras menyongsong kedua orang bertopeng.
Wuuut! "Aaakh...!"
Bagaikan terdorong tenaga raksasa yang tak terlihat, kembali kedua orang bertopeng terbanting ke tanah. Batu kecil dan pasir berterbangan ke mana-mana. Tapi sambil meringis menahan sakit, keduanya segera bangkit
Dengan perasaan heran, mereka memandangi gadis cantik yang masih duduk menjuntai di atas pohon. Tampak gadis berbaju merah itu mengeluarkan seruling emas dari balik ikat pinggangnya. Kemudian, ditiupnya dengan irama mendayu-dayu.
Merasa diremehkan sedemikian rupa, amarah kedua orang bertopeng itu semakin meluap ke ubun-ubun. Seketika mereka mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, siap melompat melancarkan serangan maut. Tetapi, sebelum maksudnya tercapai....
"Ohh..."!"
Tiba-tiba pikiran mereka jadi kacau. Mereka berhenti bergerak, dan mendengarkan irama seruling yang mengganggu pikiran itu.
Aneh! Mendadak saja, entah bagaimana mereka kini jadi teringat akan peristiwa masa lalu yang sangat menyedihkan. Bahkan mereka mulai menangis tersedu-sedu. Sementara yang tertotok juga ikut menangis, walau tak dapat bergerak. Semakin lama keadaan mereka jadi semakin mengenaskan. Sambil menangis, mereka bergulingan dan memukul-mukul kepala sendiri.
Wanita cantik berpakaian serba merah tertawa mengikik. Sambil menyimpan seruling emasnya, tubuhnya berkelebat pergi. Sebentar saja, dia telah lenyap dari pandangan. Kini yang tertinggal hanyalah ketiga orang bertopeng yang masih menangis tersedu-sedu.
? *** ? Pada saat yang gawat bagi ketiga orang bertopeng, melesat dua sosok bayangan hitam. Kedua sosok ini langsung menghentikan lesatannya. Begitu berhenti tampak jelas, yang seorang berwajah brewok Sedang yang seorang lagi berkumis tipis. Dengan keheranan mereka mengawasi kelakuan ketiga orang bertopeng itu.
"Kenapa mereka, Kak Kenzi?" tanya yang laki-laki berpakaian hitam yang ternyata bermata sipit dan berkumis tipis.
"Hm.... Agaknya tiga anak buah kita ini baru saja mendapat lawan tangguh. Mereka pasti terkena semacam ajian yang dapat membangkitkan kesedihan. Aku pernah mendengar kalau di tanah Jawa ini banyak ajian yang aneh-aneh...," sahut laki-laki satunya, yang berwajah brewok.
Mereka itu tak lain dari Kenzi Matsuta dan Genkuro Matsuta. Kedua tokoh dari negeri Matahari Terbit ini bermaksud menyusul ketiga anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari beberapa gadis cantik. Karena ditunggu-tunggu tak muncul juga, mereka jadi tak sabar. Ketika menyusul, ternyata ketiga anak buah mereka dalam keadaan penuh keanehan. Menangis sambil berguling dan memukul kepala sendiri.
"Bagaimana kita menyadarkan mereka, Kak Kenzi?" tanya Genkuro Matsuta.
"Aku pernah belajar sedikit tentang cara memunahkan ajian seperti ini. Coba ikuti aku," ujar Kenzi Matsuta, "Pasang kuda-kuda rendah...."
Genkuro Matsuta membuat kuda-kuda rendah seperti kakaknya.
"Kumpulkan tenaga dalam di dada, sambil tarik napas dalam-dalam...," lanjut Kenzi Matsuta, "Tahan napas sejenak, dan lihat jariku. Bila sudah pada hitungan jari ketiga, beteriaklah sekerah-kerasnya. Siap?"
Genkuro Matsuta mengangguk, lalu bersiap-siap.
"Ya!"
Kedua orang asing ini mulai mengumpulkan tenaga dalam di dada. Mereka menarik napas, dan menahannya sebentar. Sementara, Genkuro Matsuta memperhatikan jari kakaknya yang teracung ke atas. Tepat ketika jari ketiga telah teracung....
"Heaaa...!"
Terdengar teriakan mengguntur dari mulut Kenzi Matsuta dan Genkuro Matsuta. Dari teriakan itu, tercipta semacam gelombang yang langsung menusuk telinga ketiga orang bertopeng yang masih bertingkah aneh
Sesaat kemudian, bagai disentak dari mimpi panjang, ketiga orang itu sadar dari pengaruh irama seruling yang memabukkan. Napas mereka tersengal bagaikan habis berlari jauh.
"Apa yang telah terjadi pada kalian...?" tanya Genkuro Matsuta, setelah menguasai keadaan tubuhnya sendiri sehabis mengerahkan tenaga dalam tinggi.
"Kami bertarung dengan gadis cantik berpakaian serba merah...," jelas salah seorang.
"Wanita cantik..." Apa kau tidak salah lihat..."!" tukas Kenzi Matsuta terkejut.
Dengan singkat, ketiga orang bertopeng menceritakan apa yang terjadi. Mendengar itu, kedua tokoh dari Nippon ini tampak merenung dan menarik napas panjang.
"Sudahlah.... Lain kali, kalian harus berhati-hati. Tanah Jawa ini masih asing. Dan kita belum dapat mengukur secara pasti, sampai di mana kemampuan para tokoh di sini. Sekarang, mari kita kembali...," ajak Genkuro Matsuta.
? *** ? Malam mulai merayap sang Dewi Malam telah sejak tadi menunaikan tugasnya. Di tengah Desa Walatika, keadaan justru bertolak belakang. Selain lebih ramai, di desa ini tersedia beberapa kedai makan dan beberapa penginapan.
Obor dari minyak jarak terpasang di setiap sudut kedai dan penginapan. Karena malam sudah benar-benar larut, tak ada seorang pun keluar dari penginapan. Kecuali, tiga sosok bayangan yang mengendap-endap di atas atap, menuju sebuah kamar bagian atas penginapan ini.
Ringan gerakan mereka tanpa menimbulkan suara yang berarti, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang lumayan. Ketiga bayangan itu kini telah berada di depan jendela kamar yang jadi sasaran. Perlahan-lahan, mereka mulai mendongkel. Namun baru saja pintu jendela terbuka ...
"Heh"!"
Ketiga sosok ini tersentak seraya menghentikan
tindakannya ketika terdengar suara seruling yang mendayu-dayu. Dan entah apa yang membuatnya demikian, mendadak saja mereka berjingkrak-jingkrak. Kalau tadi berada di depan jendela, kini berada di atas atap. Kalau tadi suara seruling mendayu-dayu, kini menghentak-hentak.
Mendengar suara ribut-ribut di atas genteng, penghuni kamar yang tadi hendak dijadikan sasaran mendorong jendela kamarnya. Tampaklah seraut wajah tampan dengan rambut panjang sebahu. Bajunya rompi putih. Pada punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung. Siapa lagi sosok ini kalau bukan Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
Tadi pun, ketika ketiga sosok yang kini menari-nari telah mendongkel kamarnya, Rangga sudah siap membekuk. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi kecele, ketika ketiga orang itu malah menari-nari di atas atap diiringi suara seruling.
Namun pemuda tampan berbaju rompi putih ini merasa heran. Karena ketiga orang itu menari dengan senjata tajam di tangan. Ketika diperhatikan seksama, ternyata mereka berusaha menahan agar tidak terseret dalam alunan seruling, yang membuat lupa diri. Tapi, irama seruling itu terlalu kuat bagi mereka.
Beberapa saat kembali berlalu, agaknya mereka bertiga sudah tidak sanggup bertahan lagi.
"Aaakh...!"
Dengan mengeluarkan teriakan tertahan dan suara berisik, ketiga orang itu jatuh dari atas genteng dalam keadaan tak sadarkan diri.
Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti yang setajam mata burung hantu sempat melihat berkelebatnya sesosok bayangan merah di ujung genteng sebelah sana. Cepat dikejarnya bayangan tersebut. Seketika tubuhnya melesat bagai kilat.
"Berhenti...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, keras.
"Hi hi hi...! Kejarlah kalau mampu, Kisanak...," jawab bayangan merah yang berlari bagaikan terbang, dari satu rumah ke rumah yang lain.
"Hm.... Kiranya dia seorang gadis. Hebat sekali tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya...," gumam Rangga dalam hati. Karena penasaran, Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar.
Kejar mengejar di malam gelap berlangsung sengit. Akhirnya, mereka menuju keluar Desa Walatika. Tapi, belum ada tanda kalau gadis itu akan berhenti. Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera menambah tenaganya. Maka tubuhnya melesat laksana anak panah lepas dari busur. Semakin lama, jarak mereka jadi semakin dekat. Akhirnya, dengan beberapa kali lentingan, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghadang gadis itu.
"Tunggu dulu, Nisanak.... Berhentilah sebentar...!" ujar Rangga.
"Mengapa kau menghentikan lariku...?" tanya wanita itu menghentikan larinya. Dia kagum, karena larinya dapat dikejar.
"Jangan berprasangka buruk, Nisanak.... Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi...," kilah Rangga.
"Aku salah. Seharusnya, aku tak perlu menolongmu...," sergah gadis itu.
"Memangnya kenapa...?" tanya Rangga.
"Dengan kepandaianmu, perbuatanku tadi sebenarnya tak ada gunanya...."
"Wah, jangan begitu.... Kalau tak ada dirimu, ketiga orang tadi pasti sudah membunuhku.... Untung kau menolong tepat pada waktunya...," kembali Rangga bicara bernada merendah.
"Kau terlalu merendah, Kisanak! Kalau tak kutolong pun, mereka pasti mendapat pelajaran darimu.... Kalau boleh tahu, siapakah namamu?" tanya gadis cantik ini.
"Namaku Rangga. Kau sendiri siapa..." Kalau melihat kepandaianmu yang luar biasa, aku yakin kau adalah salah satu tokoh dunia persilatan...."
"Hm.... Jadi, namamu Rangga...?" gumam gadis ini, seperti mencoba mengingat-ingat. Ya, aku ingat. Kini aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar termasyhur. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti! Oh, alangkah terhormatnya aku bertemu denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Oh, ya. Namaku Ratna Jenar. Dan, orang persilatan menyebutku Peri Baju Merah...."
? *** ? "Ah, jangan terlalu menyanjung begitu, Ratna. Nanti kepalaku bisa pecah. Kiranya kau sendiri pun seorang pendekar wanita yang sedang naik daun.... Kalau boleh kutahu, ke manakah tujuanmu, Ratna...?" tanya Rangga.
"Aku tidak pernah tahu, ke mana kaki ini hendak melangkah. Tapi sudah sejak lama aku ingin berjumpa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...."
"Uts! Tolong panggil aku Rangga saja. Tak usah banyak peristiadatan denganku. Oh, ya ada apa kau ingin bertemu denganku, Ratna?" tanya Pendekar Rajawali Sakti heran.
"Nama besarmu telah lama kudengar. Dan melihat ciri-cirimu, aku yakin kau adalah pendekar besar yang selama ini kutunggu-tunggu, Rangga. Aku ingin belajar beberapa jurus darimu. Paling tidak untuk menambah pengetahuan dalam berpetualangku...."
"Nah, nah.... Sekarang kau terlalu merendah. Dengan kepandaianmu, rasanya, kau akan kesulitan untuk mendapatkan lawan dalam dunia persilatan ini...."
"Kuharap kau jangan mengecewakan harapanku. Apalabila menolak, berarti kau tak mau bersahabat denganku...," kata Ratna Jenar, sedikit mendesis.
"Bukan begitu maksudku. Aku hanya takut nanti akan salah tangan...," kilah Rangga.
"Jadi kau menganggap kepandaianmu terlalu tinggi, dan tidak memandang sebelah mata padaku...?" tukas Ratna Jenar dengan nada tinggi. Sementara keningnya mulai berkerut pertanda hatinya mulai kesal.
"Maafkan aku, Ratna.... Bukan begitu maksudku. Aku hanya khawatir bila terjadi salah tangan, akan merusak perkenalan kita...," Rangga coba memberi penjelasan.
Wajah gadis cantik itu tampak bersemu merah.
Kata merusak perkenalan kita telah membuat hatinya berdebar keras.
"Kau jangan bicara ngawur! Sudah lama pertemuan ini kuidam-idamkan. Kalau mengaku bersahabat, jagalah serangan ini...! Soal terluka atau tidak, itu hal biasa. Kuharap kau bersungguh-sungguh. Kalau tidak, kau akan menyesal sendiri...! Awas serangan...!" seru Ratna Jenar.
Begitu ucapannya selesai, tangan gadis ini bergerak bagaikan kilat menotok pada beberapa jalan darah di tubuh Rangga. Gerakannya begitu cepat. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke belakang.
Tapi, serangan Ratna Jenar tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan gerakan sulit diikuti mata, pukulan dan tendangan beruntun dari gadis itu datang saling susul.
"Haiiit..!"
Cepat Rangga mengeluarkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Tubuhnya bagaikan orang mabuk, terhuyung ke sana kemari. Sebentar bagaikan mau jatuh, sebentar kemudian berjongkok dan melompat-lompat Tapi semua serangan Ratna Jenar tak ada yang mengenai sasaran. Gadis cantik itu jadi penasaran. Serangannya pun dipergencar.
"Ciaaat!"
"Yeaaat!"
Plak! Plak! Benturan telapak tangan mengandung tenaga dalam terdengar nyata. Keduanya tergetar dan tertolak balik ke belakang. Masing-masing merasakan tangan mereka bergetar dan kesemutan.
Rangga sendiri merasa heran, gadis semuda ini memiliki tenaga dalam dan ilmu olah kanuragan yang sulit dicari tandingannya.
"Kau hebat Pendekar Rajawali Sakti.... Aku tahu kau belum mengerahkan tenaga sepenuhnya. Tapi tanganku seperti kesemutan. Kini aku akan mencoba dengan memakai senjata...," desis Ratna Jenar sambil mengeluarkan kipas merah dan seruling emasnya.
"Hei...! Sudahlah.... Kurasa sudah cukup...!" ujar Rangga sambil melompat mundur beberapa langkah.
Tapi, gadis cantik yang menggiurkan ini tidak meladeni. Bagai kilat, kipasnya dikebutkan. Serangkum angin dingin yang kuat meluruk ke arah Rangga.
Begitu Pendekar Rajawali Sakti mengelak, seruling di tangan Ratna Jenar meluncur ke arah kedua matanya. Berkat jurus "Sembilan Langkah Ajaib"nya, Rangga masih dapat mengelakkan serangan dengan mengegos ke samping. Tapi, kembali kipas merah dikebutkan ke arahnya. Kali ini, serangkum angin panas menerjang ke arah Rangga.
"Hup...!"
Terpaksa Rangga berjumpalitan di udara untuk mematahkan serangan. Begitu kakinya menyentuh tanah, telinganya mendengar suara seruling yang ditiup dengan irama syahdu dan mendayu-dayu. Mendadak Pendekar Rajawali Sakti merasakan tubuhnya tak mau digerakkan lagi. Mendadak pula, perasaan sedih merasuki dirinya. Dalam pikirannya, terbayang semua kenangan yang tidak mengenakan. Perlahan-lahan kepalanya jadi menunduk menyiratkan kesedihan.
"Heaaa...!"
Ketika pikiran sadarnya melintas, cepat Pendekar Rajawali Sakti memekik dahsyat. Begitu kerasnya, membuat Ratna Jenar sampai tersentak ke belakang. Cepat dirubahnya irama seruling dengan irama yang menyentak-nyentak.
Secara tak sadar, Rangga jadi bersilat sendiri. Dan kadang-kadang menari-nari sampai tertawa-tawa. Ketika irama serulingnya berubah, Rangga terpaku di tempatnya tak dapat bergerak lagi. Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalamnya. Maka, sekarang berlangsung adu tenaga dalam dahsyat.
Pendekar Rajawali Sakti secara tiba-tiba merasakan dadanya nyesak. Napasnya terasa tak lancar. Hawa murninya tak dapat disalurkan dengan baik. Dan darahnya terasa bergolak hebat. Tanpa dapat ditahan lagi, beberapa tetes darah segera meleleh dari sudut bibirnya.
Sementara Ratna Jenar tampak terkejut melihat keadaan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat tiupan serulingnya dihentikan. Dengan segera dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti. Dengan suara gugup, diurutnya beberapa jalan darah di tubuh Rangga. Tampak napas pemuda itu agak sedikit tenang dan mereda.
Setelah menarik napas panjang beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti duduk, di tanah sambil menyalurkan hawa murninya dengan sikap bersemadi.
? *** ? "Terima kasih atas bantuanmu tadi, Ratna...," ucap Rangga, begitu membuka matanya setelah bersemadi.
"Sudahlah.... Kau sedang kurang sehat, Kisanak..." Luka dalam yang kau derita cukup parah...," kata Ratna Jenar gugup.
"Benar.... aku sebenarnya memang tengah menderita luka dalam. Dua purnama yang lalu, aku bertarung dengan Dwi Gata Bayu. Dalam pertarungan itu aku menderita luka dalam yang lumayan. Dan kini aku sedang mencari seorang tabib pandai yang dapat menyembuhkan lukaku.... Barangkali kau mengetahui tabib pandai, tolong beritahu padaku di mana tempatnya...," sahut Rangga, perlahan (Untuk mengetahui lebih jelas Rangga dengan Dwi Gata Bayu baca episode : "Pedang Kilat Buana").
"Maafkanlah aku yang telah memaksamu. Sungguh aku tidak tahu kalau kau sedang mendapat luka dalam separah ini...," ucap Ratna Jenar penuh penyesalan.
"Sudahlah tak apa-apa. Kalau kau tak tahu, aku hendak minta diri untuk meneruskan perjalananku...," ucap Rangga perlahan.
"Tunggu dulu! Di Desa Langsep, kudengar ada seorang tabib sakti yang mengasingkan diri. Beliau sahabat dekat guruku. Biar kuantar kau ke sana. Siapa tahu kau berjodoh dan dapat disembuhkan di sana...," cegah Ratna Jenar.
"Apakah tidak merepotkanmu, Ratna...?" tanya Rangga.
"Sudahlah.... Tak perlu banyak beradatan lagi. Kita sesama manusia, kalau tidak mau katakan saja tidak mau...!" desak Ratna Jenar.
"Baiklah. Aku menurut padamu...."
"Nah! Begitu baru sikap laki-laki sejati...."
? *** ? 3 "Ketua...! Ketua...!"
Salah seorang anak buah tiga orang asing dari Nippon di tengah Hutan Karimun berlari-lari menghampiri Kenzo Matsuta yang tengah duduk di beranda rumah.
"Ada apa, Purbaya?" tanya Kenzo Matsuta dengan kening berkerut.
"Ketua...! Hamba tadi baru saja pulang menyatroni Desa Walatika. Namun ketika hamba memotong jalan lewat tenggara, hamba menemukan sebuah sumur yang mencurigakan," lapor pengikut orang asing yang bernama Purbaya.
"Mencurigakan" Apa maksudmu, Purbaya?"
"Begini, Ketua. Hamba sebagai penduduk asli daerah ini, pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut yang sudah berlalu sejak nenek moyang hamba dulu...."
Purbaya menghentikan ceritanya, untuk melihat tanggapan ketuanya.
"Teruskan," ujar Kenzo Matsuta.
"Menurut cerita, konon dulu ada seorang tokoh sakti dari golongan hitam yang mendiami Hutan Karimun, dia mempunyai sebuah patung berkekuatan iblis. Setelah tokoh hitam itu tewas, patung itu kembali ke asalnya secara gaib. Nah bila, Ketua bisa mengambil patung itu, kekuatan kita bisa bertambah, Ketua!" papar Furbaya. "Dan sampai saat ini belum ada tokoh-tokoh persilatan yang berusaha mencari karena tak tahu letaknya...."
"Hm.... Boleh juga ceritamu. Tapi, apa bisa kupercaya?"
"Begini saja, Ketua. Kalau nanti di sumur itu kita tidak menemukan apa-apa, kepala hamba bersedia dipenggal!" tandas Purbaya, mantap.
"Oh, ya. Bagaimana kau bisa menemukan sumur itu?" tanya Kenzo Matsuta, memancing.
"Hamba tadi sepulang dari Desa Walatika, melihat dua kelinci. Niat hamba kelinci itu bisa dijadikan makan malam nanti. Tapi ketika hamba lempar dengan pisau, kelinci itu berhasil menghindar dan kabur. Ketika hamba mengejar-ngejar, hamba terperosok di depan sebuah semak. Dan ketika hamba sibak, ternyata di depan hamba terdapat sumur tua...."


Pendekar Rajawali Sakti 202 Gerombolan Samurai Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

? *** ? Kenzo Matsuta dan dua anak buahnya telah tiba di sumur tua, sebelah tenggara markas mereka. Tak begitu dalam sumur itu, hanya sekitar dua setengah tombak saja. Dan mereka cukup meloncat Namun ketika di dalam, ternyata di dasar sumur terdapat lorong mirip gua. Jalan ke dalam gua dalam sumur itu sangat licin dan penuh lumut. Dengan hati-hati, mereka masuk ke dalam. Sementara Kenzo Matsutri telah mengeluarkan samurai kecilnya untuk menjaga sesuatu hal yang tidak diinginkan. Semakin ke dalam, gua itu semakin luas dan bersih. Tetapi, perasaan seram mulai menyusup ke dalam diri masing-masing. Akhirnya, mereka sampai pada sebuah ruangan yang benar-benar menyeramkan!
Tanpa terasa, tubuh mereka jadi gemetar. Keringat dingin mulai mengucur deras, hati mereka pun jadi berdebar-debar tak karuan. Cepat Kenzo Matsuta mengatur pernapasan sambil memusatkan perhatian. Setelah dapat menguasai diri, diperhatikannya ruangan gua ini.
"Ah...! Tempat apa ini..." Mengapa begitu menyeramkan"!" desah Kenzo Matsuta dalam hati.
"Ketua...! Coba lihat pada batu besar yang seperti meja itu...!" seru Purbaya.
Cepat Kenzo Matsuta menoleh ke arah yang ditunjuk anak buahnya. Ternyata, di situ terdapat sebuah patung berbentuk sangat menyeramkan. Kepala patung mirip kepala kelelawar dengan kedua telinga runcing, kedua mata melotot keluar. Hidungnya besar. Gigi taringnya mencuat keluar. Patung itu menggambarkan makhluk yang sedang merentangkan busur panah lengkap dengan anak panahnya yang tajam. Segera tokoh dari Nippon ini menghampiri dan memeriksanya.
"Ceritamu benar, Purbaya! Kau patut mendapat hadiah dariku...," kata Kenzo Matsuta, menatap pada Purbaya.
"Hamba hanya mengabdi pada Ketua. Jadi, apa yang hamba dapat hanyalah untuk Ketua," sahut Purbaya.
"Sebuah patung yang sangat indah buatannya. Tentu benda ini sangat berharga. Biar kuambil saja patung ini...," gumam Kenzo Matsuta kembali memperhatikan patung itu.
Tapi, tanpa sengaja tangan laki-laki sipit ini tergores ujung taring pada mulut patung itu. Darah tampak menetes pada gigi-gigi patung itu. Entah bagaimana, keanehan pun segera terjadi. Mata patung itu tampak berkedip dan bergerak memutar ke kiri dan ke kanan. Mulutnya tampak menyeringai dan berdecap menyeramkan. Yang lebih aneh lagi....
Set! Anak panah itu tiba-tiba terlepas dari busurnya dan melesat. Berputar-putar sejenak, kemudian meluncur ke arah Purbaya.
"Awaaas, Purbaya...!" seru Kenzo Matsuta.
Dengan gerakan cepat Purbaya mencabut pedangnya, langsung berusaha membabat anak panah yang mengancam leher.
Kembali keanehan terjadi. Bagaikan dikendalikan tenaga gaib dan kekuatan setan, anak panah itu meliuk-liuk menghindari serangan Purbaya. Lalu dengan kecepatan luar biasa, meluncur terus dan tepat menancap di leher.
Crab! "Aaakh...!"
Dengan suara tertahan, murid Kenzo Matsuta itu ambruk dengan leher tertancap panah. Setelah berkelojotan sejenak, dia diam untuk selamanya.
Lagi-lagi keanehan terjadi. Seluruh kulit Purbaya semakin lama memutih, seolah darahnya tersedot habis oleh anak panah yang memancar di lehernya. Setelah tak ada darah lagi, anak panah itu melesat secara mundur, dan kembali kepada patung. Lalu berbentuk seperti sediakala, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kenzo Matsuta sampai tak berkedip menyaksikan semua itu.
"Ini.... Benar-benar tempat sarang iblis...!" desis Kenzo Matsuta dengan tubuh gemetar.
"Ketua! Mari kita tinggalkan tempat ini, sebelum kita terbantai habis...!" ajak anak buah laki-laki bermata sipit itu ketakutan.
Tapi, belum sempat mereka bergerak....
"Hua ha ha...! Hai orang asing. Aku tahu, kau pasti seorang pelarian dari negeri Matahari Terbit Kau terpilih menjadi orangku.... Kau akan kaya dan menjadi orang tak tertandingi.... Kau akan kujadikan manusia sakti, asal mau menuruti segala perintahku. Apa kau sanggup...?"
Mendadak terdengar suara parau tanpa wujud. Suaranya menggema mendirikan bulu roma.
"Siapakah kau..." Cepat tampakan dirimu...!" seru Kenzo Matsuta dengan suara keras.
"Kau belum saatnya berjumpa denganku. Bila kau ingin membinasakan seseorang, goreskan lengan atau tubuhmu yang lain pada taring patung yang kau pegang. Maka, kau akan melihat seperti apa yang terjadi belum lama berselang. Orang yang kau benci akan mati tertembus anak panah. Dan darahnya akan kering terhisap.... Ha ha ha.... Aku akan selalu berada dalam patung itu. Sekarang, pulanglah kau...!"
Kenzo Matsuta tahu, pasti suara itu adalah arwah tokoh hitam yang diceritakan Purbaya. Tapi, siapa namanya" Namun laki-laki ini tak ingin terlalu jauh memikirkan. Yang jelas, kini perasaannya tenang. Tak ada yang ditakuti lagi. Patung dalam genggamannya ternyata luar biasa. Siapa lagi yang dapat mengalahkannya.
? *** ? Seorang laki-laki tua berambut putih sebahu dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala hitam, beijalan gontai di tempat yang cukup ramai. Kumis dan jenggotnya yang berwarna putih berkibaran tertiup angin. Sambil berjalan sesekali ditenggak tuak merah dari gucinya. Sedangkan mulutnya tak henti-hentinya mendendangkan lagu dengan syair seenaknya sendiri.
"Tukang kentut mati berdiri.... Kenyang perut senanglah hati."
Laki-laki tua aneh ini menghampiri seorang laki-laki tua berambut putih sepunggung. Pakaiannya serba putih dengan ikat pinggang kotak-kotak. Dia tengah tidur mendengkur di bawah sebuah pohon rindang. Wajahnya licin tanpa ditumbuhi bulu sehelai pun. Di punggungnya tersampir sebuah bumbung bambu tempat tuak. Sedang di tangannya tergenggam sebatang tongkat bambu hitam berkilat.
"Namanya saja Sabda Gendeng! Ya, orangnya pasti juga gendeng! Tidur di mana pun jadilah...! Disuruh menunggu, malah enak-enakan tidur...."
Laki-laki tua berpakaian serba hitam ini menggeleng-geleng.
"Hei, bangun...! Aku disuruh mencari makanan, eh, kau malah tidur mendengkur seperti kerbau.... Ayo bangun, bangun...!" seru laki-laki tua berpakaian serba hitam, seraya duduk di samping laki-laki tua berpakaian putih yang dipanggil Sabda Gendeng.
Dengan malas malasan, laki-laki tua yang memang Ki Sabda Gendeng mengeliat bangun.
"Mana makanan yang kau bawa, Demong"! Mana...?" tanya Ki Sabda Gendeng.
"Ingatanmu hanya makanan saja! Tuh, aku bawakan kesukaanmu. Ikan lele panggang dan ayam bakar...," gerutu laki-laki tua berpakaian hitam yang ternyata Ki Demong.
Tanpa banyak pikir lagi mereka segera mengantar makanan. Mulut mereka tak henti-hentinya mengunyah. Hingga tanpa memakan waktu lama, makanan tersebut habis tak bersisa.
"Sekarang perut kita telah kenyang. Kini kita tinggal main catur...," tantang Ki Sabda Gendeng, yang memang gila catur.
"Malas aku melawanmu! Kalau ada taruhannya, aku mau...," tolak Ki Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Lagakmu macam yang paling jago saja! Kau mau bertaruh apa denganku..." Coba kau katakan...?" rutuk Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya.
"He he he...! Bagaimana kalau yang kalah, menggendong yang menang keliling desa membayari makan sampai kenyang. Setuju..."!"
Ki Sabda Gendeng mengangguk tanda setuju. Kemudian ikat pinggangnya dibuka dan dibeberkan di atas tanah. Kali ini, Ki Sabda Gendeng memang tak membawa papan caturnya. Biar lebih ringkas, dia coba membawa sehelai kain kotak-kotak hitam dan putih. Selain bisa digunakan sebagai ikat pinggang, juga bisa digunakan untuk papan catur. Dasar gila catur!
Kini mereka telah terlibat dalam suasana tenang dan sepi. Hanya sesekali terdengar napas keras.
Dan, terlihat salah seorang menggaruk-garuk kepala. Lalu, terdengar suara menggerutu berkepanjangan.
"He he he...! Bagaimana, Demong" Apa kau menyerah...?" tanya Ki Sabda Gendeng.
"Huh...! Siapa yang menyerah"! Lihat aku jalankan perwira ini...!"
Secara tak terduga, Ki Demong menjalankan perwira sebelah kanan dan langsung mengancam menteri dan raja. Langkah itu tidak disangka sama sekali oleh Ki Sabda Gendeng. Dia langsung kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Sialan...! Mengapa aku lalai dengan perwira yang di kanan" Tapi aku belum kalah dan tak mungkin kalah darimu, Demong...," tangkis Ki Sabda Gendeng sambil mengomel terus tak ada hentinya.
"Ayo jalan.... Jangan menggerutu terus...."
"Sabarlah.... Aku sedang berpikir, jangan diganggu terus.... Kalau kau recoki terus, aku berhenti nih...!" tukas Ki Sabda Gendeng.
"Sesukamulah. Aku mau minum tuak dulu...," Ki Demong sambil menenggak tuak merah dari gucinya.
Hembusan angin yang berhembus lembut telah membuat mata Ki Demong berkejap-kejap dan semakin menyipit. Tak lama antaranya, Pemabuk Dari Gunung Kidul telah tertidur pulas. Sedangkan Ki Sabda Gendeng tampak masih berpikir keras, untuk mencari jalan keluar.
Walau telah berpikir sekuat tenaga dan kemampuan, tetap saja tak ada jalan keluarnya. Akhirnya, dia habis akal. Tubuhnya pun disandarkan pada batang pohon sambil berusaha memecahkan rajanya yang terjepit. Sesekali direguknya tuak dari bumbung bambu miliknya. Lambat laun, dia merasa ngantuk. Matanya sulit dibuka kembali. Tak lama, dia pun tertidur pulas. Dengkurnya yang keras saling bersahutan dengan Ki Demong.
Penduduk yang kebetulan lewat, memandang dengan senyum pada kedua orang tua urakan yang tertidur itu. Mereka berpikir, tentu kedua tua bangka ini telah pikun.
Ketika Ki Demong terbangun dari tidurnya, dilihatnya Ki Sabda Gendeng masih tertidur pulas.
"Hoi, bangun...! Bagaimana ini" Bukannya mencari jalan keluar, malahan enak-enakan tidur...! Ayo bangun kau...!" seru Ki Demong. .
Sambil menggeliat malas malasan, Ki Sabda Gendeng berbalik ke arah lain dan tidur kembali. Tentu saja Ki Demong jadi kesal. Cepat matanya mencari ke sana kemari ke atas dan ke bawah. Lalu tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas pohon dan tangannya mengambil sesuatu. Sekejapan saja dia telah berada di tempatnya semula.
Sambil menahan tawa, Pemabuk Dari Gunung Kidul menaruh benda yang baru diambil tadi di perut Ki Sabda Gendeng. Ternyata benda itu adalah sehelai daun bergulung yang dijadikan sarang semut merah.
Ketika semut-semut merah mulai menggerayangi, Ki Sabda Gendeng jadi kelabakan dan berjingkrakan bagai kera menari.
"Whiiih.... Aaah.... Hadhuh, apa ini..." Wuaaa...!. Sialan semut-semut ini! Tapi, bagaimana bisa jatuh ke atas perutku..." Ini pasti perbuatan busuk si Demong...!" maki Ki Sabda Gendeng.
"Hei, Manusia Pemabukan! Di mana kau..."! Awas kalau ketemu akan kuhajar kau sampai mampus...!" teriak Ki Sabda Gendeng, seraya berlari ke arah sungai.
Di kejauhan, tampak Pemabuk Dari Gunung Kidul tengah menenggak tuak merah sambil tertawa-tawa.
? *** ? Para penduduk Desa Langsep tahu, rumah yang halamannya dikelilingi tumbuhan obat tak lain lagi adalah rumah seorang tabib yang terkenal. Namanya, Ki Pungut. Telah lama laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu mengasingkan diri di desa ini. Semua penduduk pun tahu kalau tabib itu sering menolong sesamanya tanpa pamrih.
Maka tak heran ketika tiga orang asing bertanya pada penduduk, langsung dapat menemukan rumah Ki Pungut. Ketiga orang berpakaian serba hitam berjalan sambil membawa sebuah bungkusan Kini mereka telah tiba di depan rumah Ki Pungut.
Tok! Tok! Tok! Pintu rumah Ki Pungut diketuk.
"Siapa di luar..." Masuk sajalah. Pintu tidak dikunci...," sahut sebuah suara dari dalam.
Krieeett...! Dengan memperdengarkan suara berderit pintu terbuka.
"Selamat jumpa, Orang Tua. Maaf, kami mengganggu ketenangan di tempat ini...," ucap salah satu orang asing yang ternyata bermata sipit. Dia tak lain Kenzo Matsuta.
Seraut wajah tua dengan kumis dan jenggot putih tipis menjuntai di dagu ini tersenyum. Wajah tua itu tampak bersemu merah, pertanda sehat dan hidup tanpa beban pikiran.
"Oh, tidak apa-apa.... Mengapa tidak langsung masuk..." Hm.... Apa keperluan Kisanak, barangkali aku dapat membantu...?" tanya laki-laki tua yang tak lain Ki Pungut.
"Benar! Kami sangat membutuhkan bantuanmu, Orang Tua...," sahut Kenzo Matsuta. Sementara di sebelahnya dua laki-laki lain yang ternyata Kenzi Matsuta dan Genkuro Matsuta hanya mengangguk-angguk.
"Katakan saja terus terang. Kalau dapat, tentu aku akan membantu walau aku yakin Kisanak bukan penduduk tanah Jawa ini...," ujar Ki Pungut, ramah. Laki-laki tua ini bisa menebak, lantaran mendengar logat bahasa yang dipakai Kenzo Matsuta.
"Itu membuktikan kalau kau berjiwa besar, Orang Tua. Itulah sebabnya, aku memberanikan diri datang ke tempat ini...," selak Kenzo Matsuta.
"Tak perlu berbelit-belit, Kisanak. Katakan saja terus terang, apa keperluan kalian...?"
"Baiklah.... Aku telah beberapa kali menguji ilmu ketabiban yang kau miliki. Secara diam-diam, aku mengirimkan orang terluka kemari. Dan dengan mudah, kau dapat menyembuhkannya. Saat ini, aku mempunyai sebuah gerombolan yang bernama Samurai Hitam. Jumlah anggota kami sudah cukup banyak. Maka kami bermaksud mengajakmu untuk bergabung. Kujamin, kau akan hidup senang dan banyak harta. Tapi, kau tak boleh mengobati orang luar, kecuali anggota kita sendiri.... Kau boleh saja tetap tinggal di tempat ini, tapi hanya boleh mengobati orang yang membawa surat dengan tanda "Samurai Hitam". Soal imbalan, kujamin tidak mengecewakanmu. Bagaimana" Apa kau setuju...?" tawar Kenzo Matsuta.
"Aku telah puluhan tahun mengasingkan diri di tempat ini. Tak pemah aku memikirkan soal urusan dunia dan harta. Siapa saja yang memerlukan bantuanku, pasti akan kubantu. Tak pemah aku memikirkan soal imbalan. Aku ingin hidup bebas, tak mau terikat gerombolan apa pun. Jadi aku terpaksa tak dapat menuruti kehendak kalian.... Banyak tabib pandai di tanah Jawa ini. Dan kalian dapat mencari yang lain...," tolak Ki Pungut tenang dan halus.
"Orang tua! Apakah penolakan ini telah kau pikirkan masak-masak..."! Jangan sampai kau menyesal nantinya...," sentak Kenzo Matsuta sambil mengerutkan keningnya.
"Kau bicara baik-baik pun aku tak sudi. Apalagi kasar seperti ini.... Kalian pergilah. Aku banyak pekerjaan! Apa pun yang terjadi, aku tetap menolak...!" tandas Ki Pungut, dengan nada sedikit keras.
"Sudahlah! Tidak perlu banyak bicara.... Kalau orang tua ini tak mau, biar kulenyapkan dia...!" desis Genkuro Matsuta.
Genkuro Matsuta langsung meluruk mengirimkan tendangan keras ke arah pinggang. Namun dengan lincah orang tua itu berjumpalitan menjauhkan diri. Tapi, serangan Genkuro Matsuta tidak berhenti sampai di situ. Beberapa pukulan berantai langsung mengancam keselamatan Ki Pungut.
"Haiit!"
Walaupun kepandaian khususnya sebagai tabib, tetapi Ki Pungut juga menguasai ilmu olah kanuragan cukup tinggi. Sehingga, tidak mudah bagi Genkuro Matsuta untuk menjatuhkannya secepat itu.
Dengan geram Genkuro Matsuta menerang Ki Pungut, melancarkan sebuah pukulan keras. Merasa tak ada jalan untuk mengelak, Ki Pungut menahan serangan Genkuro Matsuta dengan tangannya.
Plak! "Aaargkh...!"
Tabib itu terlempar dan jatuh disertai muntahan darah dari sudut bibirnya. Namun laki-laki tua ini segera berusaha bangkit. Dan baru saja dia hendak menyerang.
Set! Set! Beberapa buah senjata rahasia berbentuk bintang lima yang runcing pada ujungnya, mendadak meluncur dengan kecepatan kilat. Karena perhatian Ki Pungut tertuju pada Genkuro Matsuta, akibatnya....
Crap! Crap! "Aaa...!"
Senjata-senjata rahasia itu menancap pada tempat-tempat yang berbahaya di tubuh Ki Pungut hingga terpekik dan ambruk. Ternyata, pelemparnya adalah Kenzo Matsuta. Setelah berkelojotan sesaat, Ki Pungut menghembuskan napasnya yang terakhir, berkubang darahnya sendiri.
? *** ? 4 "Celaka...! Ki Pungut telah tewas. Entah siapa yang telah melakukan perbuatan ini..." Padahal dia tak pemah mencari musuh. Sungguh biadab orang yang melakukan perbuatan ini! Tapi kalau melihat keadaannya, perbuatan ini belum lama terjadi. Darahnya masih terasa hangat...!" sentak Ratna Jenar, ketika baru saja memasuki rumah Ki Pungut dan kembali menemui Rangga di luar.
Rangga cepat menerobos ke dalam. Segera diperiksanya mayat Ki Pungut. Dicabutnya senjata-senjata rahasia berbentuk bintang yang menancap di tubuh Ki Pungut.
"Bagaimana ini..." Berarti kau gagal untuk mendapatkan obat dari Ki Pungut, Rangga" Berarti kau akan...?" tanya Ratna Jenar, yang ikut masuk ke rumah ini lagi. Kata-katanya terpenggal begitu saja. Dia memandang lesu ke arah Rangga.
"Berarti aku akan menemui kematian, begitu..." Kau tak perlu khawatir, Ratna. Segalanya telah diatur Hyang Widhi.... Kalau memang itu kehendaknya, kita dapat berbuat apa..."! Sudahlah.... Soal diriku tak perlu dirisaukan. Sekarang yang penting menguburkan Ki Pungut sebagaimana mestinya...," ujar Rangga, tenang.
Pendekar Rajawali Sakti segera membopong mayat Ki Pungut, langsung menuju belakang rumahnya. Ratna Jenar mengikuti dari belakang. Setelah mengerahkan mayat laki-laki tua itu pada Ratna Jenar, Rangga segera membuat kuda-kuda. Tiba-tiba tangannya menghentak ke depan. Dan....
Blarrr...! Disertai ledakan keras, tercipta sebuah lubang cukup dalam. Pas untuk sebuah makam. Ratna Jenar lantas meletakkan mayat di dalam lubang. Dan bersama Rangga, dia menguruk kembali lubang itu.
Setelah memberi penghormatan yang terakhir, kedua anak muda ini masuk ke dalam rumah. Mereka segera mencari petunjuk dari kitab ataupun tulisan mengenai pengobatan. Tetapi yang dicari tak ada. Dan dengan daun obat yang banyak terdapat di tempat Ki Pungut, Rangga meracik membuat obat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
? *** Pendekar Rajawali Sakti tinggal di tempat Ki Pungut selama sepekan. Selama berada di tempat itu, Ratna Jenar melayani dan merawatnya dengan telaten. Rupanya, secara diam-diam, gadis cantik ini telah jatuh hati pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti bukannya tidak tahu masalahnya, justru hal inilah yang dikawatirkan. Dia takut gadis itu akan kecewa dan berbalik membencinya, setelah tahu kalau ada Pandan Wangi di sisinya.
Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan, Pendekar Rajawali Sakti pergi secara diam-diam ketika Ratna Jenar tertidur. Tubuhnya berkelebat cepat, saat hari menjelang pagi. Ketika telah cukup jauh dari rumah Ki Pungut, Pendekar Rajawali Sakti berjalan biasa.
Walau kelihatannya gembira, di benak Rangga berkecamuk berbagai pertanyaan....
"Siapa orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap Ki Pungut yang tidak punya musuh itu...?"
Persoalan yang kelihatan sepele ternyata tidak semudah itu untuk mendapatkan jawabannya. Rangga terus mencari tahu, siapa pelaku pembunuhan itu. Kini, Pendekar Rajawali Sakti telah pasrah. Apa pun yang akan terjadi pada dirinya, dia akan menerima dengan dada lapang.
Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat tinggi. Kendati dia masih terluka dalam, namun semua itu tak dipikirkannya, justru yang jadi beban pikirannya saat ini adalah kejadian-kejadian yang menimpa dunia persilatan.
Sebelumnya waktu berjalan bersama Ratna Jenar, Rangga telah mendengar beberapa kejadian mengenaskan. Dia mendengar, banyak penduduk tewas dengan tubuh mengering kehabisan darah setelah tertancap panah.
Rangga juga mendengar adanya gerombolan yang dipimpin tiga orang asing dari negeri Matahari Terbit. Konon, gerombolan itulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan. Bahkan tak hanya itu yang dilakukan gerombolan ini. Mereka juga melakukan perampokan dan pemerkosaan. Inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tak ingin mementingkan dirinya sendiri. Dia lebih mementingkan keselamatan penduduk yang tak berdosa.
Tepat ketika memasuki Desa Walatika, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan lesatannya. Kali ini dia kembali menemukan banyak penduduk terbantai dalam keadaan mengenaskan saling tumpang tindih tak tentu arah.
"Hmm.... Mungkinkah ini perbuatan gerombolan yang akhir-akhir ini sering jadi buah bibir...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Tak ada waktu buat Rangga untuk menguburkan mayat-mayat itu. Dia kembali berlalu dengan wajah diliputi kegeraman dan kesedihan.
"Oh.... Mengapa kebiadaban tak pernah menghilang dari muka bumi ini...?" desah Rangga, perlahan.
Ketika melewati tempat yang banyak ditumbuhi pohon besar, telinga Pendekar Rajawali Sakti yang terlatih mendengar banyak langkah lunak mengikuti dari jarak tertentu. Kalau mau, dapat saja Rangga berkelebat kembali meninggalkan mereka. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti justru ingin mengetahui, siapa dan apa mau mereka mengikutinya sejak tadi.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti melangkah perlahan-lahan dengan sikap tenang. Dan baru saja melewati sebuah tikungan, tujuh orang berloncatan, langsung menghadang di tengah jalan. Rata-rata mereka memiliki gerakan gesit dengan senjata golok.
"Berhenti...!"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Matanya tajam beredar ke sekeliling.
"Siapakah kalian, Kisanak semua" Ada keperluan apa sampai menghadang perjalananku..."!" tanya Rangga, kalem.
"Keperluanku hendak mengajakmu bergabung dengan kami dalam Gerombolan Samurai Hitam...," jelas seorang yang bertubuh tinggi besar. Agaknya, dia menjadi pemimpin. "Karena kami tahu, kau pasti seorang pendekar."
"Gerombolan Samurai Hitam..." Gerombolan apa itu" Dan, siapa yang menjadi pemimpinnya..."!" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Gerombolan kami dipimpin tiga orang dari ngeri Matahari Terbit. Menurutlah, Kisanak. Kau di sana nanti akan mendapat kemulyaan dan harta berlimpah. Bahkan pula akan memperoleh tambahan didikan dalam ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Kurasa hanya orang bodohlah yang tidak mau hidup enak, dan disegani dalam dunia persilatan...," tandas laki-laki tinggi besar ini.
"Hm.... Jadi pemimpin kalian tiga orang dari negeri Matahari Terbit. Ada urusan apa mereka datang ke tanah Jawa ini" Lagi pula, mengapa harus mereka yang menjadi pemimpin gerombolan di sini..."!" Rangga balik bertanya.
"Kau terlalu banyak bicara, Kisanak...! Kalau tak mau, kau akan menyesal seumur hidup. Karena tak ada orang yang berbahagia setelah menjadi mayat di tangan Rekso Menggolo!" ancam laki-laki tinggi besar bernama Rekso Menggolo.
Mendengar ancaman ini, Rangga tersenyum kecut.
"Lebih baik kalian yang menghindari orang-orang itu. Dan terus terang, aku sendiri menolak masuk gerombolan kalian.... Kalau mau main kekerasan itu artinya kalian memaksaku...," sahut Rangga, kalem.
"Bangsat! Kalau begitu mampuslah kau...!"
Disertai teriakan keras, Rekso Menggolo mengirimkan sebuah sabetan dengan sisi telapak tangan pada leher Rangga. Namun hanya menunduk sedikit, serangan itu lewat, beberapa jari di atas kepala Rangga. Bahkan sekali menggerakkan tangan, Rangga berhasil mencengkeram tangan Rekso Menggolo kuat-kuat. Begitu tangan itu disentakkan, Rangga mengaet kaki laki-laki tinggi besar itu.
Tak! Bruk! Tak ampun lagi, Rekso Menggolo jatuh mencium tanah.
Melihat pemimpinnya dapat dijatuhkan begitu saja, yang lain segera ikut menyerang. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat dengan tangan melepaskan serangan balasan. Ternyata para pengeroyoknya hanya memiliki kepandaian biasa saja. Tak heran bila dalam waktu singkat, ketujuh penyerang dapat dibuat terjungkal.
Blug! Blug! Mereka berjatuhan dalam keadaan tertotok dan tak dapat bergerak lagi. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mendekati Rekso Menggolo. Dengan kakinya, ditekannya leher laki-laki tinggi besar itu.
"Jawablah pertanyaanku! Apakah semua pembunuhan yang mengerikan dengan tubuh kering tak berdarah itu hasil perbuatan para pemimpin kalian..."!"
"Aku tidak tahu! Sungguh aku tak tahu.... Walau kau bunuh aku sekalipun, tetap aku tidak tahu...!" tandas Rekso Menggolo, gemetar.
"Baiklah kalau kalian ingin mati.... Rasakanlah ini...!" ujar Rangga sambil menekan kakinya disertai tenaga dalam ke dada Rekso Menggolo.
"Aaakh...! Wuaaaeee.... Ampuuunn...! Aduuuhh sakiiitt.... Baiklah, akan kukatakan.... Lepaskanlah tekanan kakimu. Sakhiiitt...!" teriak Rekso Menggolo, terdengar sangat menderita dan memilukan.
Mendengar rintihan itu cepat Rangga mengendorkan tekanan kakinya yang menimbulkan rasa sakit tak terhingga.
"Nah, katakanlah.... Benarkah segala yang kutanyakan tadi..."!" tanya Rangga, halus. .
"Ya, benar.... Semua korban itu hasil kerja ketiga laki-laki asing itu. Tapi, aku tak tahu dengan cara apa mereka melakukan semua itu...?" jelas laki-laki tinggi besar dengan napas memburu.
"Benar kau tak tahu...?" desak Rangga dengan wajah mengeras.
"Aku berkata sejujurnya. Kali ini, walau kau siksa, aku tak dapat berbicara lain...."
"Baiklah kalau begitu. Sebentar lagi totokan kalian akan terbebas dengan sendirinya.... aku pergi dulu...!" kata Rangga.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat meninggalkan para pengeroyoknya. Sebentar saja, tubuhnya telah menghilang dari pandangan mata.
*** ? Rekso Menggolo dan kawan-kawannya mulai dapat bangkit, karena totokan pada tubuh mereka telah terlepas. Namun, para anak buah Rekso Menggolo malah memandang dengan sinar mata tak suka. Kemudian....
"Ada apa..." Kenapa memandangku dengan cara itu..."!" tanya Rekso Menggolo.
"Mengapa mengatakan rahasia pemimpin kita pada orang luar..." Bukankah hal itu dapat mencelakakan diri kita sendiri..."!" tanya salah seorang.
Rekso Menggolo tersentak mundur dengan wajah pucat.
"Membahayakan kita sendiri" Apa maksudmu..."!" tukas Rekso Menggolo dengan nada tersendat.
"Kalau Ketua tahu, tentu kita yang akan dibunuh semua tanpa kecuali...!"
"Ketua tak akan Jahu kalau bukan kita sendiri yang mengatakannya...!" desis laki-laki tinggi besar ini sambil menyabetkan senjatanya.
Wuutt...! Crasss...! "Aaa...!"
Karena tak menyangka, orang yang berbicara tadi terbabat perutnya sampai ususnya terburai keluar.
"Kau.... Kau benar-benar biadab, Rekso! Keparat..! Aaakh..!"
Orang itu tidak dapat meneruskan kata-katanya lagi, karena jiwanya keburu meninggalkan raga.
"Nah! Yang berpihak padanya, silakan memisahkan diri!" kata Rekso Menggolo sambil memandangi sisa anak buahnya.
Ternyata ada tiga orang yang memisahkan diri. Sedangkan yang dua orang lagi berpihak pada Rekso Menggolo. Kedua kelompok yang terpecah dua ini saling berpandangan tajam. Lalu tanpa diberi aba-aba lagi, mereka saling terjang dengan sengit.
"Haiiit!"
"Sheaaat!"
Trang! Tring! Beradunya senjata tajam terdengar nyata. Sepuluh jurus kemudian, tiga orang yang membangkang telah terdesak hebat Lalu....
Cras! Cras! "Aaa...!"
Beberapa jurus berikutnya, tiga orang itu binasa berserakan di tanah berkubang darahnya sendiri. Sementara Rekso Menggolo dan kedua anak buahnya mengawasi dengan pandangan puas.
"Mari kita tinggalkan mereka...," ajak Rekso Menggolo sambil melangkah pergi.
Kedua anak buah laki-laki tinggi besar itu segera mengikuti dari belakang. Tetapi secara tak terduga, Rekso Menggolo berbalik seraya membabatkan goloknya.
Cras! Crasss! "Wuaaakh...!"
Dengan menekap perut masing-masing, kedua laki-laki itu menatap Rekso Menggolo dengan sinar mata marah dan kebencian luar biasa. Dan tiba-tiba mereka berusaha menerjang dengan sisa tenaga yang terakhir. Tetapi, sebelum maksud mereka tercapai, kedua laki-laki itu telah ambruk tanpa bernyawa lagi.
Sambil tertawa terbahak-bahak, Rekso Menggolo berlalu dari tempat itu.
? *** ? Rekso Menggolo langsung menghadap Ketua Gerombolan Samurai Hitam. Diceritakannya segala apa yang dialami. Namun dengan wajah tetap dingin, Kenzo Matsuta yang memimpin gerombolan ini mendengarkan semua penuturan anak buahnya.
"Kalau mereka binasa semua, mengapa kau sendiri berhasil kembali ke tempat ini..."!" Tanya Kenzo Matsuta.
"Aku berusaha menyelamatkan diri agar dapat melaporkan kepada Ketua...."
"Bagus! Bagaimana ciri-ciri pendekar itu...?" tanya Kenzo Matsuta lagi.
Rekso Menggolo menceritakan kembali ciri-ciri pemuda berbaju rompi putih yang berhasil menaklukkan mereka.
Laskar Dewa 2 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Sepasang Mambang Lembah Maut 2

Cari Blog Ini