Ceritasilat Novel Online

Iblis Pemenggal Kepala 2

Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala Bagian 2


di tanganmu. Atau, di tangan begundal-begundalmu ini!" sahut Rangga, tak kalah gertak.
"Sombong! Padahal sebentar lagi nyawamu
akan melayang!"
"Hmm.... Mungkin lebih baik menyombongkan
diri, daripada berlutut minta ampun pada kalian!"
"Hm...!"
Orang bertopeng itu mendengus geram.
Tangan kanannya diangkat. Maka saat itu juga
tujuh penunggang kuda di belakangnya bergerak
maju."Heaaa...!"
Masih berada di punggung kuda, orang-orang
berpakaian serba hitam itu serentak menyerang
Rangga. Dua orang bersenjata tambang. Dua lainnya menggunakan pedang, serta seorang menggunakan tombak. Sedangkan sisanya memegang
clurit besar. "Ayo, Dewa Bayu! Perlihatkan ketangkasanmu!"
"Hieee...!"
Kuda berbulu hitam mengkilat itu meringkik
keras. Tubuhnya melonjak-lonjak dengan sepasang mata nyalang memandang orangorang berpakaian
serba hitam. Dengan satu lompatan kencang, dile-watinya kepala salah seorang
yang bersenjata clurit.
"Kuda celaka, mampus kau! Hiih...!" dengus orang itu sambil membabatkan
cluritnya, hendak
menebas dua kaki depan Dewa Bayu.
Sing! Tapi Rangga bergerak tak kalah sigap. Sambil
berpegang pada pelana, Pendekar Rajawali Sakti
melompat dengan kaki terayun ke depan. Lalu....
Desss...! "Aaa...!"
Orang bersenjata clurit itu kontan terlempar
dari kudanya dengan dada ambrol. Begitu jatuh ke tanah dia tak bangun-bangun
lagi. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti telah mengayun tubuhnya, lalu hinggap lagi di punggung
Dewa Bayu. "Bunuh dia!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpin. "Heaaa...!"
Dengan kematian salah seorang, membuat
para pengeroyok menjadi kalap. Seketika semuanya mengeroyok Pendekar Rajawali
Sakti. Baik yang
berada di depan maupun di belakang.
Melihat hal ini Pendekar Rajawali Sakti
merasa tak ada pilihan Iain.
"Hup!"
Rangga melompat setelah menepuk pantat
Dewa Bayu agar segera menyingkir menjauh. Begitu mendarat langsung dibuatnya
kuda-kuda kokoh.
Lalu begitu kedua tangannya menghentak....
"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.
Wesss...! "Aaa...!"
Para pengeroyok yang berada di depan
langsung terhantam angin topan dahsyat yang
meluncur dari tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka berputaran berikut kuda yang tunggangi.
Namun pada saat yang sama, orang-orang
berpakaian serba hitam yang berada di belakang
telah menerjang dengan kudanya sambil mengebutkan senjata masing-masing.
Tak ada waktu lagi buat Pendekar Rajawali
Sakti untuk menghimpun tenaga dalam kembali,
dalam mengerahkan aji 'Bayu Braja'! Para pengeroyok sudah begitu dekat. Maka saat itu juga, tangannya bergerak ke
punggung. Dan....
Sring! Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang
bersinar biru berkilauan tercabut, Rangga langsung mengebutkannya.
Crasss...! "Aaa...!"
Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung
merobek perut dua orang pengeroyok hingga jatuh bergelimang darah. Tapi
bersamaan dengan itu,
orang bertopeng yang menjadi pemimpin telah
meluruk deras. Pendekar Rajawali Sakti memang
sempat menangkap desir halus di belakangnya. Tapi untuk menghindar sudah
terlambat. Dia hanya
sempat mengibaskan tangannya ke belakang. Des!
"Aaakh!"
Rangga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, merasakan hantaman
keras yang seperti meremukkan tulang punggungnya dengan sambaran tangannya yang
tadi mengibas ke belakang.
"Habisi dia!" teriak pemimpin orang bertopeng ini.
*** Rangga mendengus geram. Sambil menahan
rasa sakit dia mengibaskan pedang yang dipadu
dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus
'Rajawali Sakti'.
Tras! Bret! "Aaa...!"
Batang pedang di tangan Pendekar Rajawali
Sakti yang bersinar biru berkilau bergerak secepat kilat mencari mangsa. Dua
orang langsung terjungkal bersimbah darah. Namun, tidak membuat yang lainnya surut Mereka menyerang
semakin ganas. "Hmm!"
"Dia sudah teriuka! Serang terus, dan
pastikan kematiannya!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpian.
"Yeaaa...!"
Dengan segala cara mereka berusaha mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga
juga mengamuk sejadi-jadinya. Sementara pemimpin orang bertopeng sesekali ikut
menyerang, hingga cukup merepotkan Pendekar Rajawali Sakti juga.
Apalagi, orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Akibatnya beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti semakin terdesak.
"Ayo! Terus hajar dia! Bunuh dia cepat..!"
teriak pemimpin orang-orang bertopeng.
"Heaaa...!"
"Keparat!"
Berkali-kali Rangga menggeram sambil menggigit bibir menahan nyeri yang menggigit di punggung. Tapi dia tak mau
menyerah begitu saja, dan tetap mengadakan perlawanan.
"He he he...! Bocah semprul! Untung
kutemukan kau di sini!"
Mendadak terdengar sebuah suara, membuat
Pendekar Rajawali Sakti sedikit melirik.
"Ki Sabda Gendeng...!" seru Pendekar
Rajawali Sakti, begitu melihat laki-laki tua yang memang Ki Sabda Gendeng.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, laki-laki tua gila catur ini langsung terjun dalam
kancah pertarungan.
Tubuhnya berkelebat sambil mengibaskan tongkat
hitamnya. Tak! Tak! "Aaa...!"
Dua orang kontan terpekik ketika tongkat Ki
Sabda Gendeng mendarat di kepala. Mereka
terhuyung-huyung sambil mendekap kepala, lalu
ambruk tak berdaya.
"He he he...! Kau rasakan tongkatku!" ejek Ki Sabda Gendeng sambil terkekeh.
"Setan alas! Heaaa...!"
Orang bertopeng yang menjadi pemimpin
menggeram marah. Dengan serta-merta dia melompat menerjang dengan sebilah pedang.
"Yeaaa...!"
"Ki Sabda Gendeng! Hati-hati dengannya!
Orang itu tak bisa dipandang enteng!" teriak Rangga, mengingatkan sambil terus
meladeni beberapa pengeroyok.
"He he he...! Tenang saja. Apa kau benarbenar menganggap enteng padaku"
" Wut! Baru saja selesai kata-kata laki-laki tua itu,
ujung pedang orang bertopeng yang menjadi
pemimpin menyambar ke leher. "Uts...!"
Ki Sabda Gendeng mengegos ke samping
sambil mundur selangkah. Namun, tendangan orang bertopeng segera menyusuli.
Terpaksa laki-laki tua ini jumpalitan ke belakang.
Baru saja Ki Sabda Gendeng mendarat,
pedang orang bertopeng telah meluruk deras. Saat itu juga tongkat bambunya
dikebutkan ke depan,
menangkis. Trak! Ki Sabda Gendeng terjajar mundur. Belum
juga dia memperbaiki keseimbangan, orang bertopeng telah mengebutkan telapak tangan
kirinya. "Heaaa...!
Ki Sabda Gendeng tercekat Cepat dia
melempar tubuhnya ke samping ketika melihat sinar kuning meluruk ke arahnya.
Blarrr...! Terdengar ledakan, begitu sinar kuning tadi
menghantam tanah, tempat Ki Sabda Gendeng
berdiri. "Gila! Pukulan 'Remuk Garba'..."! Siapa kau sebenarnya" Apakah memang kau
sendiri...," sentak Ki Sabda Gendeng, setelah bangkit berdiri dengan wajah
terkejut. "Banyak omong! Pergilah ke neraka, Setan
Tua!" bentak laki-laki bertopeng yang menjadi pemimpin.
Baru saja orang bertopeng hendak menghentakkan tangannya....
"Tahan...!" "Heh..."!"
Orang bertopeng itu terkejut, mendengar
bentakan nyaring. Ketika menoleh dia tertegun
melihat kehadiran seorang gadis jelita berusia
kurang lebih enam belas tahun dengan pedang
melintang di dada.
"Kalau kau teruskan niatmu, maka aku tak
akan segan-segan memotong lehermu!" lanjut gadis itu, mengancam.
"Hmm! Tinggalkan tempat ini!" Orang bertopeng yang jadi pemimpin tidak banyak bicara.
Diberinya isyarat pada sisa kawan-kawannya. Dan secepatnya, mereka membawa
orang-orang yang
tewas untuk segera meninggalkan tempat itu.
"Kakang Rangga, kau tak apa-apa"!" tanya gadis itu dengan wajah khawatir.
"Putri Mayang.... Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali, sehingga berhasil menakut-nakuti mereka. Aku
tak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, setelah menyarungkan
kembali pedangnya di punggung.
Tapi, Rangga tidak bisa menipu diri, ketika
beberapa tetes darah keluar dari sudut bibirnya.
Padahal, dia telah berusaha untuk menahan.
Namun desakan dari dadanya begitu kuat. Dan
kalau saja tak tertahan, mungkin akan menyembur.
"Kakang Rangga.... Kau..., kau terluka..."!"
tanya putri Gusti Prabu Arya Dwipa.
*** "Aku..., aku tidak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, berbohong.
"Kau terluka. Mari kutolong! Ayo.... Kita
harus buru-buru ke istana!" ajak Putri Mayang, seraya memapah Pendekar Rajawali


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sakti. Tapi Rangga buru-buru mencela tangan gadis
ini. Ditepisnya pelan-pelan tangan itu sambil
berusaha tersenyum.
"Putri, tidak usah repot-repot. Aku mampu
mengurus diriku sendiri...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Tapi kau terluka parah"!" desak gadis itu.
"Ini soal biasa. Dan, bukan sekali ini aku mengalaminya. Tidak usah cemas.
Sebaiknya, kembali ke istana. Nanti orang-orang akan mencari-carimu," sergah Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ayahanda yang menyuruhku untuk menyusulmu...."
"Apa yang beliau inginkan?"
Putri Mayang tidak langsung menjawab.
Matanya melirik sebentar pada Ki Sabda Gendeng
yang tengah mengatur jalan napas.
"Ayahanda meminta maaf atas kejadian
tadi...," desah gadis ini.
"Sampaikan pada ayahandamu. Beliau tidak
bersalah. Aku yang terlalu lancang," kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayahanda hanya terkejut. Beliau tak mengira Kakang Rangga akan berkata seperti
itu...." "Ya, aku bisa memahaminya...."
"Eh! Ng..., kalau boleh kutahu, apa sebenamya persoalan yang tengah Kakang
Rangga alami?"
"Aku tidak mengalami apa-apa. Tapi orang lain yang mengalaminya."
"Apakah tentang pembunuhan beruntun yang
belakangan ini terjadi?"
"Hm.... Rupanya Gusti Prabu Arya Dwipa
telah mengetahuinya pula," gumam Pendekar
Rajawali Sakti.
"Ayahanda mengira persoalan itu sebabnya...,"
desah Putri Mayang.
'Ya. Karena persoalan itu, sebetulnya aku ke
sana.?"Lalukenapatidak dikatakansaja?"
"Aku bermaksud mengatakannya. Tapi, ayahmu keburu kaget..."
"Tapi Kakang Rangga tidak mengatakannya
secara langsung. Melainkan mengagetkan semua
pihak." "Aku ingin mereka mengetahui dari awal,
sebelum terkejut nantinya," kelit Rangga.
"Apakah Kakang Rangga menuduh salah
seorang dari kami pelakunya?"
"Aku belum
punya bukti. Tapi akan kudapatkan buktinya nanti."
"Siapa?" desak Putri Mayang.
"Aku tidak bisa mengatakan," sahut Rangga.
"Jayadilaga?" duga gadis ini.
"Putri, maaf.... Aku tidak bisa mengatakannya."
"Atau barangkali Jayalaksana" Kadang-kadang dia suka bersikap aneh-aneh." Rangga
tersenyum. "Kakang Rangga, katakanlah padaku. Atas
dasar apa kau mencurigai kami?" desak gadis ini semakin penasaran saja.
"Mungkin aku belum bisa mengatakannya....
Tapi, tahukah kau siapa kira-kira mereka tadi?"
"Aku tidak mengenalnya...."
"Putri.... Orang-orang itu memiliki ilmu silat yang
tidak rendah. Demikian hebatnyakah kepandaianmu, sehingga mereka takut begitu
mendengar ancamanmu?"
"Kakang Rangga.... Terus terang..., aku sendiri tak tahu."
"Begitukah?"
"Kau mencurigaiku pula?"
"Tidak. Aku hanya heran. Dan mungkin juga
kagum padamu."
"Aku bersungguh-sungguh,
tidak kenal mereka. Hanya...."
"Hanya apa?"
"Aku pernah memergoki salah seorang yang
baru saja memenggal kepala korbannya. Kukejar dia, ketika coba melarikan diri.
Sambil berlari, dia berusaha menutupi wajah dengan topeng hitam...."
"Sempat melihat wajahnya?"
"Sayang sekali, tidak...," sahut Putri Mayang menggeleng lemah. "Waktu itu dia
membelakangiku.
Dan, sama sekali tak menoleh. Ilmu meringankan
tubuhnya hebat. Karena sebentar saja, aku
kehilangan jejak."
"Hmm...!"
"Tak ada yang kusembunyikan darimu soal ini.
Hanya itu yang kuketahui," lanjut gadis ini coba meyakinkan Rangga.
'Ya.... Aku mengerti, Putri. Sekarang, pulanglah. Katakan pada ayahandamu, aku tidak
marah padanya. Dan, tidak juga bermaksud
memusuhinya. Namun yang benar-benar harus kau
jelaskan adalah sikapku. Siapa pun pembunuh itu, jangan harap akan lepas dari
tanganku!" tegas Rangga.
Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali
Sakti berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
"Hei, Bocah Semprul! Tunggu aku...!" teriak Ki Sabda Gendeng.
*** 6 Gusti Prabu Arya Dwipa mengajak Ki
Sedopati menuju penjara bawah tanah. Begitu
pintu penjara terbuka, di sudut ruangan gelap yang masih dibatasi jeruji besi,
terlihat seorang laki-laki tua duduk tenang dengan kedua kaki tertekuk.
Rambutnya panjang awut-awutan. Bajunya lusuh
dan wamanya pun telah pudar. Sepasang matanya
melirik ke arah jeruji besi yang kokoh, namun
kembali memusatkan perhatian pada seekor tikus
dalam genggaman ta?ngannya.
"He he he...! Hari ini kau tak akan selamat lagi dariku, Binatang Kecil! Kau
menjadi santapanku. Hi hi hi...!"
Tes! Kres! Ki Sedopati yang berdiri di pintu memejamkan
mata, menahan jijik dan mual ketika kepala tikus itu dipotes. Sebelum darahnya
mengucur, kepala tikus berikut tubuhnya telah pindah ke mulut laki-laki tua itu.
Lalu senikmat menyantap makanan lezat
mulutnya menyeringai lebar.
"Hi hi hi...! Siapa lagi yang akan menjadi korban?"
"Swagira! Aku datang menemuimu!" kata Gusti Prabu Arya Dwipa yang berdiri di
belakang Ki Sedopati. Penguasa Kerajaan Swama Pura lalu melangkah mendekati jeruji besi, di sebelah Ki
Sedopati. "He he he...! Aku tak peduli kau datang atau tidak!" sahut laki-laki tua bemama
Swagira. "Swagira! Beriakulah sopan kepada Gusti
Prabu!" bentak Ki Sedopati.
"He he he...! Sedopati! Suaramu tidak lebih keras ketimbang dulu! Apa kau baru
mulai belajar berteriak?" ejek Ki Swagira.
"Keparat!" Ki Sedopati menggeram.
Laki-laki ini bermaksud menghajar Ki Swagira
dengan pukulan jarak jauh, namun keburu dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa.
"He he he...! Hari ini aku lapar. Dan kalian datang ke sini tanpa makanan. Lebih
baik tinggalkan aku sendiri!" ujar Ki Swagira, seenaknya.
"Swagira! Ada yang mesti kutanyakan padamu...."
"Aku bosan dengan pertanyaan! Aku mau
makanan!" sergah Ki Swagira dengan suara menggelegar.
Ki Sedopati makin merah wajahnya. Kembali
tangannya siap menghentak.
"Jangan!" tahan Gusti Prabu Arya Dwipa. "Pe-rintahkan seorang prajurit membawa
makanan pa- danya." "Tapi Gusti...."
"Ki Sedopati! Apakah kau tak sudi menuruti perintahku?"
"Baiklah, Gusti!"
"Sedopati! Jangan lupa, bawakan pula daging-daging tikus kesukaanku!" teriak Ki
Swagira menambahkan sambil cekikikan.
Kalau saja tidak ingat larangan Gusti Prabu
Arya Dwipa, ingin rasanya Ki Sedopati menghantam Ki Swagira sampai mati. Tapi
apa boleh buat" Dia tak bisa berbuat apa-apa, selain melaksanakan
keinginan laki-laki tua aneh itu.
Mereka harus menunggu beberapa saat untuk
menyiapkan hidangan yang diinginkan Ki Swagira.
Beberapa kerat daging segar yang masih berlumuran darah, dan sepuluh ekor tikus besar yang
masih hidup. Semua orang yang ada di ruangan ini sebenarnya jijik melihat selera makan Ki Swagira yang
'keterlaluan'. Bahkan mereka tak berani berada
dekat-dekat Barulah ketika Ki Swagira selesai
bersantap, Gusti Prabu Arya Dwipa, Ki Sedopati, dan beberapa prajurit mulai
mendekat. "Apa yang ingin kau tanyakan?" kata Ki Swagira tanpa menoleh dan sambil menepuknepuk perut."Aku tidak tahu bagaimana caramu keluar.
Tapi, kau telah membuat ulah lagi di luaran,
Swagira!" hiding Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Ulah apa yang kau maksudkan?" tukas Ki Swagira.
"Pembunuhan dengan kepala terpenggal. Itu
adalah ciri khasmu."
'Pembunuhan"
Ha ha ha...! Bagaimana mungkin" Kau menuduhku. Sedangkan aku di sini
dengan penjagaan ketat. Lalu dengan cara
bagaimana aku bisa keluar, kemudian melakukan
pembunuhan" Ha ha ha...! Dasar sinting! Kau benar-benar sinting, Arya Dwipa!"
Kata-kata laki-laki aneh itu benar-benar
keterlaluan. Kalau saja tidak dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa, maka orang-orang
menyertainya segera menghajar Ki Swagira.
Dan Ki Swagira bukannya takut, tapi malah
membuat mereka semakin geram.
"He he he...! Kalian mau berebutan mampus"
Ayo, tidak usah satu-satu. Semuanya saja
sekaligus!"
"Jangan ladeni dia!"
"Gusti Prabu! Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia mesti dihukum mati!" desis Ki Sedopati.
"Gusti Prabu! Hamba pun setuju! Dia benarbenar keterlaluan!" timpal seorang perwira kerajaan.
"Menghukum mati" He he he...! Apa lagi
kesalahanku yang bisa kalian buat" Kalian kira aku takut mati" Ayo, bunuh aku
kalau bisa! Bunuuuh...!"
tantang Ki Swagira.
"Swagira! Aku tidak akan menghukummu
kalau saja kau mau mengatakan, perbuatan siapa ini semua?" desak Gusti Prabu
Arya Dwipa. "Kenapa mesti repot-repot mengurusiku
segala" Kalau mau hukum silakan hukum. Mau
dimatikan, pun tak jadi masalah. Kau punya
kekuasaan, silakan bertindak!"
"Aku berusaha mencari kebenaran!"
"Kebenaran" He he he...! Kebenarankah
namanya jika mengurungku di sini selama lima tahun lebih,
tanpa memberi makanan yang baik" Kebenarankah namanya mengurungku di sini, tanpa diadakan
pengadilan"
Kebenarankah namanya dengan merampas kemerdekaanku"!" oceh Ki


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swagira. "Kau mungkin sinting. Tapi, aku mengurungmu bukan
karena kezaliman. Melainkan
karena kejahatanmu yang kelewat batas! Kau terbukti
membunuh dan memperkosa gadis-gadis dan
memenggal kepalanya. Kejahatan itu amat keji. Kau merampas kemerdekaan mereka!
Kau merampas hidup mereka! Kau iblis terkutuk, Swagira! Kau
lebih kejam dari iblis mana pun...!" bentak Gusti Prabu Arya Dwipa dengan suara
menggelegar. Ki Swagira terhenyak. Sesaat dia memandang
Gusti Prabu Arya Dwipa lekat-lekat. Matanya
melotot, seperti tersihir.
Tapi Gusti Prabu Arya Dwipa tak lama berada
di situ. Setelah memandang tawanannya sekilas,
tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu.
*** Dewa Bayu terus berlari kencang, membawa
Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Sabda Gendeng.
"Jadi orang yang kau curigai itu pejabat
kerajaan"! Hei, jawab pertanyaanku, Bocah Edan!
Kenapa kau diam saja"!" teriak Ki Sabda Gendeng untuk mengalahkan suara deru
angin. Rangga diam membisu menahan rasa sakit di
punggungnya. "Bocah! Kau dengar pertanyaanku atau
ti?dak"!"
"Hup!"
Kuda berbulu hitam mengkilat itu berhenrj
periahan-lahan. Saat itu juga tubuh Rangga terkulai ke bawah. Dari mulutnya
menyembur darah segar.
"Bocah, kau..."! Dasar semprul!" maki Ki Sabda Gendeng.
Buru-buru laki-laki tua ini turun, segera
dipapahnya Rangga turun dan dibawanya ke bawah
se-batang pohon rindang.
"Aku lupa kalau kau terkena pukulan 'Remuk Garba'. Mestinya tulangmu sudah
remuk. Tapi kau punya daya tahan luar biasa, Bocah!"
"Heup...!"
"Bagus! Kosongkan pikiranmu. Dan, lemaskan seluruh tenagamu. Aku akan
menyalurkan hawa
murni untuk menyembuhkan luka dalammu!" ujar Ki Sabda Gendeng seraya menempelkan
kedua telapak tangan ke punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Sobat...."
"Eee, jangan berterima kasih dulu! Kau belum lagi selamat. Bisa saja nanti kau
mampus!" "Lukaku tidak begitu parah. Aku hanya tidak sempat mengobatinya sejak tadi...."
"Sudah, jangan banyak bicara!"
Pukulan 'Remuk Garba' yang menghantam
Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat Dan kalau saja orang yang terkena tidak
memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya akan tewas dalam waktu singkat.
"Hoeeekh...!"
Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah
berwarna hitam beberapa kali. Yang terakhir
terlihat berwama merah segar. Wajahnya pucat,
sorot matanya kelihatan letih.
"Nah, Bocah! Peredaran darahmu mulai
berjalan lancar kembali. Dan dengan sedikit
bersemadi, rasanya kau akan sehat lagi."
Ki Sabda Gendeng menyudahi penyaluran
hawa murninya. Lalu, dia mengambil gumbung
tuaknya. Ditenggak tuaknya beberapa teguk.
"Minum tuak ini. Bagus untuk kesehatanmu!"
kata Ki Sabda Gendeng.
"Terima kasih!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menenggak tuak itu barang beberapa teguk.
Wajahnya seketika merah dan berkerut, merasakan aroma tuak yang amat menyengat.
"Ha ha ha"..!" "Brengsek!" umpat Rangga.
"Tuak ini lima kali lebih keras daripada tuak-tuak lainnya. Kalau tidak
terbiasa, akan merasa kaget.
Tapi, jangan khawatir.... Sebab aliran darahmu akan lancar. Kau bisa
merasakannya sebentar lagi. Nah, sekarang bersemadilah...."
Rangga duduk bersila mengambil sikap semadi.
Jalan napasnya mulai diatur untuk beberapa saat.
Matanya dipejamkan dengan pikiran terpusat pada satu titik.
Sekian lama bersemadi, apa yang dikatakan Ki
Sabda Gendeng memang benar. Tuak yang diminum
Pendekar Rajawali Sakti mulai terasa. Tubuhnya
terasa hangat dan aliran darahnya berjalan lancar.
Dengan begitu penyembuhannya pun berjalan
cepat. "Heup!"
Rangga menghentikan semadinya kemudian
bangkit berdiri. Dihampirinya Ki Sabda Gendeng
yang masih menenggak tuak sambil duduk seenaknya dan bersandar di bawah sebatang
pohon. "Sobat! Aku berhutang budi padamu. Bagaimana aku bisa membalasnya?"
"Cukup satu saja!"
"Apa itu?"
"Jawab pertanyaanku, siapa sebenamya yang
kau curigai sebagai pelaku pembunuhan itu?" tanya Ki Sabda Gendeng menyudutkan.
Rangga terdiam sejurus lamanya. Kelihatan
kalau dia agak berat mengatakannya.
"Sudahlah.
Kalau kau memang tak mempercayaiku lagi, buat apa lagi kita berkawan!"
gerutu Ki Sabda Gendeng, lalu bangkit dari
duduknya. "Sobat! Aku bukannya tidak mempercayaimu.
Hanya saja aku belum punya bukti-bukti yang
kuat...," kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya, aku tahu...."
"Ini baru dugaan, bukan tuduhan."
"Aku tahu!"
"Jangan sampai karena dugaan, lalu akhimya berkembang menjadi tuduhan. Padahal,
bukti belum lagi didapatkan. Ini akan berkembang menjadi fitnah. Dan aku bertanggung
jawab penuh akan hal itu." "Akutahu!"
"Syukurlah kalau kau mengerti...."
"Kau salah. Aku sama sekali tak mengerti!"
"Ki Sabda...."
"Aku tak mengerti kalau kau mengira aku
akan menyebarkan dugaanmu pada orang-orang.
Aku juga tak mengerti, kalau kau menolak niat
baikku untuk mengungkap pembunuhan ini. Aku
memang orang tua sinting!" potong Ki Sabda Gendeng, lang-sung menyerocos.
Rangga tersenyum getir. Baru kali ini
didengarnya orang tua itu bicara agak mendalam
selama di kenalnya.
"Maafkan aku, Sobat...," ucap Rangga.
"Tak apa...," sahut Ki Sabda Gendeng pendek.
"Kau sungguh-sungguh ingin tahu duganku?"
"Kau masih keberatan tentunya?"
"Nyi Sumbi memberi keterangan yang membuatku teringat pada seseorang...," jelas Rangga.
"Seseorang yang berada di kerajaan?" tanya Ki Sabda Gendeng, semakin penasaran.
"Benar."
"Siapa?"
Belum juga Rangga menjawab....
"Tolong...!"
Terdengar suara minta tolong dari tempat
yang tak begitu jauh. Rangga dan Ki Sabda
Gendeng saling berpandangan.
"Kuharap kau mendengar apa yang kudengar...," kata Rangga.
"Semprul! Kau kira aku tuli, he"!" maki laki-laki tua itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi"!" Tanpa membuang waktu lagi mereka segera
berlari menuju jeritan tadi.
*** Seorang gadis menjerit ketakutan sambil melang' ah mundur. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Bola matanya membulat,
menatap pemuda di depannya tak berkedip.
"Kakang Soma! Kau..., kau...."
Gadis itu berkata tergagap saking ketakutannya. "Dia telah mendapat bagiannya. Kini giliran-mu!" desis pemuda yang dipanggil
Soma. "Kau..., tidak kusangka kau sekejam itu. Kau bunuh dia dengan mata tak berkedip.
Kau bukanlah Kakang Soma yang kukenal. Kau iblis terkutuk yang haus darah!"
"Syukurlah
kalau kau mengetahuinya sekarang, Marni..."
"Huh! Kalau kutahu dari dulu, tidak kudengar segala rayuanmu yang busuk!"
"Sudah terlambat, Sayang. Kini tak berguna lagi penyesalanmu. Setelah kita
bersenang-senang, maka nasibmu sama sepertinya."
Gadis bemama Marni memandang sesosok
mayat yang tak jauh dari situ. Seorang gadis dengan leher putus. Tubuhnya polos
tanpa sehelai benang pun.
Tadi ketika sampai di tempat ini, Marni baru
saja menyaksikan Soma selesai menodai gadis yang kini telah menjadi mayat.
Kemudian dengan
telengas, ditebasnya leher gadis itu dengan sisi telapak tangan kanaa Mami,
melihat hal ini menjerit ketakutan. Dan malang..., ternyata pemuda itu
cepat mengetahui persembunyiannya. Yang amat
menyakitkan, ternyata Marni kenal betul dengan
pemuda itu. Maka semakin terperanjat saja ketika semua kebusukan Soma jelas
terlihat di depan
matanya. "Percuma saja kau melarikan diri, Marni. Tak akan ada seorang pun yang bisa
menolongmu dariku...," ancam Soma sambil melangkah mendekati. "Iblis terkutuk! Enyahlah
kau...!" bentak Marni. "Ha ha ha...! Percuma saja, Marni Percuma saja. Lebih
baik kau menyerah dan pasrah pada
kehendakku...!" kata Soma, pongah.
"Busuk! Aku lebih suka mati ketimbang
mengikun kemauanmu yang bejat!"
"Pada akhirnya, toh kau pun akan mampus
juga di tanganku! Jadi buat apa bertahan segala?"
"Jangan coba-coba, Kakang Soma! Aku akan
membenturkan kepalaku ke batu ini!" ancam Marni, sambil bersandar ke batu besar
yang ada di belakangnya.
"Kau hendak membenturkan kepalamu ke
situ" Ayo, lakukanlah! Ingin kulihat dengan mata kepalaku sendiri," ejek
pemuda itu sambil mendekat. "Berhenti! Berhenti kataku! Aku akan bunuh diri sekarang juga!"
'Ha ha ha...! Percuma saja mengancamku,
Marni. Aku sama sekali tidak peduli. Kau mati di tanganku, atau di tangan orang
lain, atau bunuh diri, sama sekali bukan masalah. Yang terpenting, kau mampus.
Ayo, lakukanlah!" balas Soma, kalem tanpa perasaan.
Merasa ancamannya tidak mengena, Marni
jadi kian gementar. Dadanya mengembang penuh
udara panas dibakar amarah dan kesal bercampur
putus asa. Sementara, pemuda itu terus mendekatinya sambil menyeringai lebar.
"Hiih!"
Dibayangi perasaan putus asa dan tekad bulat
untuk tidak mau menuruti keinginan pemuda itu,
Marni nekat menghempaskan kepalanya ke batu
besar di belakangnya.
"Hup!"
Namun sebelum kepala membentur batu,
pemuda itu bergerak cepat menangkap kepala
Marni. Tap! Bahkan tangan Soma cepat bergerak menotok. Tuk! Tuk! "Ohh...!"
Marni kontan terkulai tanpa daya. Badannya
tak bisa digerakkan lagi.
"Ha ha ha...! Kau kira bisa menghalangi
niatku?" oceh Soma.
"Terkutuk! Iblis terkutuk! Lepaskan aku!
Lepaskaaan...!" teriak Marni.
"Lebih baik kau diam saja. Hemat tenagamu
untuk nanti, Sayang!" ujar pemuda itu sambil menyeringai. Dibawanya gadis itu ke
balik rerimbunan semak.


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lepaskan aku! Lepakan! Tolooong...! Lebih baik aku mati daripada kau jamah!
Terkutuk kau, Soma! Kau benar-benar biadab!" teriak Marni.
"Memakilah sepuas hatimu. Tapi, jangan harap aku akan melepaskanmu. Kita akan
bersenang-senang, kemudian setelah itu kau boleh mampus di tanganku," kata Soma.
Ancaman pemuda itu agaknya bukan mainmain. Tawanya pun berubah menjadi seringai tajam.
Raut wajahnya mengerikan. Hela napasnya terasa
kasar. Lalu tiba-tiba....
Bret! Bret! "Aouw...! Soma! Lepaskan aku! Lepaskan!
Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak Marni. "Hm!"
Percuma saja Marni berteriak, karena pemuda
itu seolah-olah tak mendengamya. Dengan penuh
nafsu dicabik-cabiknya semua pakaian gadis itu.
Marni terus berteriak-teriak kalang-kabut Segala makian dan serapah disemburkannya pada
pemuda itu. Namun semuanya tetap tidak menyurutkan langkah Soma.
"Sekarang waktunya berpesta, Sayang..,!"
Suara Soma terdengar mengge ram. Dan
wajahnya menyeringai, seperti seekor serigala
kelaparan. Tapi sebelum dia bergerak hendak
melampiaskan hawa nafsunya...
"Ha ha ha...! Alangkah sedapnya. Seorang
pemuda hendak melepaskan hasrat birahinya. Dan
ketika si gadis menolak, maka tak ada jalan lain daripada
memaksa. Ini betul-betul konyol. Sekaligus, terkutuk!"
"Heh"!"
*** 7 Soma tersentak kaget begitu melihat seorang
laki-laki tua membawa tongkat bambu berwama
hitam dan menggendong bumbung bambu penuh
tuak. "Hem, Orang Tua Busuk! Enyahlah kau dari
mukaku!" bentak Soma geram.
"He he he...! Supaya kau bebas melampiaskan niat bejatmu?" sindir laki-laki tua
yang tak lain Ki Sabda Gendeng.
"Setan! Kubunuh kau, Keparat...!"
"Membunuh itu perkara mudah. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang
terbunuh" saat ini aku enggan mampus. Maka lebih baik kau saja yang mampus!"
Pemuda itu baru saja akan lompat menyerang,
namun.... "Perbuatanmu
sungguh tidak terpuji, Jayadilaga!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Soma
langsung menoleh.
"Hm, Rangga. Rupanya kau pun berada di sini,"
kata Soma yang ternyata adalah Jayadilaga, begitu mengenali siapa yang datang.
"Ya Aku telah di sini sejak tadi.," sahut pemuda yang baru datang. Dia memang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tentu tidak tahu duduk persoalannya,
bukan?" "Mungkin saja. Tapi aku melihat apa yang
hendak kau lakukan terhadap gadis ini."
"Itu tidak seperti yang kau bayangkan. Gadis ini seorang pelacur. Dan aku telah
membayar mahal untuk itu. Tapi, tiba-tiba saja dia menolak dengan satu alasan
tidak jelas. Belakangan baru kutahu kalau dia merencanakan sesuatu. Dia mencuri
uangku, dan bermaksud kabur dengan kekasihnya,"
kelit Jayadilaga berusaha mempengaruhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Dusta! Itu tidak benar. Aku bukan pelacur!
Dan aku tidak pernah mencuri uangnya barang
sekeping pun!" bantah Marni dengan suara lantang.
Lalu dia menoleh ke arah Jayadilaga. "Kakang Soma! Tega betul kau berkata begitu
padaku" Di
mana sifat kesatriamu dengan melemparkan
kesalahan dan bermaksud cuci tangan"!"
"Diam kau, Perempuan rendah! Aku tidak
tergoda oleh perempuan sepertimu!" bentak Soma alias Jayadilaga.
"Kau yang bajingan rendah! Iblis terkutuk!
Kau bunuh gadis itu secara kejam, setelah kau
nodai. Kini hendak kau ulangi pada diriku!" balas Marni.
"Dasar perempuan lacur! Mulutmu berbisa
seperti ular! Pintar membalikkan kenyataan dan
mengarang sandiwara!"
"Hei, Keparat Busuk! Kaulah sebenamya yang tengah
bersandiwara dan memutarbalikkan
kenyataan. Apakah kau tak merasa malu pada
dirimu sendiri"!" hardik Ki Sabda Gendeng, garang.
"Orang tua, jaga mulutmu! Jangan ikut
campur, jika tak tahu urusan orang! Sebaiknya,
enyahlah dari sini sebelum aku naik darah dan
menghukummu!" bentak Jayadilaga.
"Menghukumku" Ha ha ha...! Bocah bau
kencur! Kau kira siapa dirimu bisa menghukumku"
Kakek moyangmu pun tidak berhak melakukannya!"
"Kau tidak tahu! Aku adalah Jayadilaga,
putra Gusti Prabu Arya Dwipa penguasa negeri ini!"
gertak Jayadilaga.
Mestinya Ki Sabda Gendeng terkejut mendengar pemyataan itu. Tapi yang dilakukannya justru tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Putra Sang Gusti Prabu rupanya.
Lalu, apa hebatnya" Dengan membawa-bawa nama
ayahmu hendak kau tangkap aku" Memfitnah aku
sebagai penjahat" Lalu, mengerahkan ribuan
prajurit untuk menangkapku" Lalu, menjatuhkan
hukuman mati" Ha ha ha...! Dasar kunyuk edan!
Aku sama sekali tidak peduli kau anak siapa!
Biar anak jin dari kolong neraka sekalipun, jangan harap bisa menakut-nakuti si
Sabda Gendeng!"
sahut laki-laki tua itu, mantap.
"Huh! Tidak perlu membawa seribu pasukan
untuk meringkusmu! Aku sendiri mampu melakukannya. Bersiaplah!"
Jayadilaga maju mendekatj Ki Sabda Gendeng. Tapi orang tua itu tenang-tenang saja.
Bahkan menenggak tuaknya seperti bdak ada
kejadian apa-apa.
"Huaaa, enaaak...!"
Dengan tenang Ki Sabda Gendeng menyeka
mulut Dan mulutnya cengar-cengir memandang
Jayadilaga. "Bocah! Kalau saja kawanku tidak punya
urusan denganmu, sudah sejak tadi kubeset
mulutmu yang kurang ajar itu!"
"Kau begitu bemafsu hendak menghajar orang tua itu, Jayadilaga. Padahal orang
tuamu seorang yang bijaksana. Apakah kau tidak diajarkan untuk mengekang hawa
nafsumu?" sindir Rangga.
"Sebaiknya
kalian jangan mencampuri urusanku!" dengus pemuda itu.
"Sayang sekali. Semula memang tidak. Namun setelah melihat apa yang kau lakukan,
terpaksa aku harus bertindak," sahut Pendekar Rajawali Sakti tegas.
"Aku menghormatimu sebagai kawan ayahku.
Maka jangan hilangkan rasa hormat itu dengan
campur tanganmu pada urusanku!" desis Jayadilaga.
"Aku tidak bisa surut dari niatku. Oleh
karena itu, lupakan segala rasa hormat itu. Aku tak butuh rasa hormat dari
manusia bejat sepertimu!"
balas Rangga, sengit
"Huh! Kalau begitu, aku tidak sungkansungkan lagi padamu!"
"Kau memang sudah tak sungkan-sungkan lagi padaku, sejak tadi. Apalagi saat
mengenakan topeng." "Apa maksudmu" Jangan berbelit-belit!"
sentak Jayadilaga dengan wajah sedikit kaget.
"Kau bisa saja menutupi wajahmu dengan
topeng. Namun luka yang kubuat, tidak akan bisa disembunyikan begitu saja.
Perhatikan baik-baik leher kirimu. Ada goresan luka kecil bekas sayatan kuku
tanganku," jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Ahhh...!"
Tanpa sadar, Jayadilaga memeriksa luka di
leher kirinya. Luka itu sama sekali tidak berarti, meski mengeluarkan darah
tidak sampai setetes.
Tapi cukup mengejutkan karena sama sekali tidak menghiraukannya. Dalam
dugaannya, luka itu
mungkin tergores ranting atau terkena cakaran
gadis yang tadi dibunuhnya. Tapi siapa sangka kalau luka itu ternyata dibuat
kuku Pendekar Rajawali Sakti tanpa disadari"
"Kini kau tak bisa mungkir lagi, Jayadilaga!"
*** "Keparat!"
Jayadilaga mendengus geram. Dan tiba-tiba
saja tubuhnya meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Sabda Gendeng! Ini urusanku. Biar
kutangani sendiri. Bantulah gadis itu!" seru Rangga seraya melompat ke atas
menghindari serangan.
"Jangan khawatir! Aku tak akan ikutikutan...!" sahut Ki Sabda Gendeng.
"Kau akan mampus di tanganku, Rangga!"
"Tidak usah banyak sesumbar, Jayadilaga.
Buktikan saja kehebatanmu!" balas Pendekar Rajawali Sakti yang sudah murka
melihat sepak terjang Jayadilaga selama ini.
"Huh! Tadi kau dapat kulukai. Dan kini, akan kubunuh kau tanpa seorang pun yang
bisa membantu," dengus Jayadilaga.
"Kesombonganmu boleh juga."
"Heaaa...!"
Kembali Jayadilaga meluruk sambil mengibaskan tangan berisi tenaga dalam tinggi
secara beruntun. Namun Pendekar Rajawali Sakti
yang langsung menggunakan jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' cepat berkelit. Tubuhnya meliukliuk dengan gerakan kaki lincah. "Hup...!"
Mendadak Jayadilaga melejit ke atas. Tubuhnya berputar di atas kepala Pendekar
Rajawali Sakti, siap menghantamkan pukulan.
Rangga cepat merendahkan kuda-kudanya,
lalu melepaskan
tendangan lurus ke atas menghantam ke perut Jayadilaga yang tengah
mengapung. Tentu saja putra Gusti Prabu Arya Dwipa tak
ingin perutnya jadi sasaran. Cepat tangannya yang telah terkepal memapak.
Plak! Tenaga benturan dimanfaatkan Jayadilaga
untuk melenting kembali ke udara. Tepat ketika
Rangga berbalik, Jayadilaga telah kembali meluruk hendak melepaskan hantaman
telapak tangan.
"Uts...!"
Namun dengan sigap Rangga memutar
tubuhnya. Akibatnya tubuh Jayadilaga terus
meluncur ke bawah. Dan....
Blesss...! Pukulan Jayadilaga menghantam tanah sampai
amblas beberapa jengkal.
"Hm, inikah pukulan 'Remuk Garba' yang kau banggakan?" kata Rangga.
"Syukur kau tahu pukulan istimewaku.
Sebentar lagi, pukulanku akan memastikan kematianmu!"
"Aku telah mencicipinya. Dan ternyata, tidak ada apa-apanya. Mungkin tepukan
seorang banci lebih keras daripada itu," ledek Pendekar Rajawali Sakti, memanasi.
"Setan! Rasakan ini...!"
Jayadilaga kembali melepaskan pukulan mautnya. Namun sekali lagi Rangga berhasil
menghindar, dengan meliukkan tubuhnya.
Pukulan itu memang berbeda dari kebanyakan
ilmu pukulan lain. Tidak menimbulkan desir angin.
Kalaupun ada, sangat tipis. Itu pun yang bisa


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkap hanya tokoh berkepandaian tinggi. Dan tiba-tiba saja, pukulan itu bisa
mengenai sasaran.
"Aku tahu, ilmu pukulan ini hanya dimiliki Ki Swagira yang berjuluk Iblis
Pemenggal Kepala. Dari mana kau bisa mendapatkannya" Setahuku si
keparat itu berada dalam penjara bawah tanah di Istana Kerajaan Swama Pura."
"Dia adalah guruku!"
"Hm.... Ternyata bukan hanya kelakuanmu saja yang bejat. Tapi kau pun telah
menikam ayahandamu dari belakang. Beliau telah bersikap adil tidak membunuh Ki Swagira
atas perbuatan-perbuatannya yang keji. Tapi dengan diam-diam, kau malah berguru
padanya," gumam Pendekar Rajawali Sakti."Huh! Itu bukan urusanmu!" sentak
Jaya?dilaga. "Sekarang menjadi urusanku, Jayadilaga!
Kalau saja yang menjadi korban adalah adikmu, aku tentu tidak begitu marah dan
menganggap itu persoalan pribadi. Tapi orang lain yang menjadi korbanmu, maka aku tak akan
tinggal diam," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.
"Banyak omong! Hiih!"
Sambil melompat, Jayadilaga menghentakkan
tangannya melepaskan pukulan 'Remuk Garba'.
Wut! Dengan gesit Rangga melompat ke samping.
Seketika tubuhnya berkelebat. Dengan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangannya bergerak mengibas.
"Yeaaa...!"
Jayadilaga terkejut. Buru-buru ditangkisnya
ketika kepalan kanan Pendekar Rajawali Sakti
ber?gerak mengibas.
Plak! "Uhh...!"
Namun wajah pemuda itu berkerut kesakitan,
merasakan tenaga dalam Rangga yang bukan main
kuatnya. Tulang-belulangnya sampai terasa linu.
Sementara Rangga tidak memberi kesempatan.
Ujung kaki kirinya terns mengincar ke ulu hati.
"Hiih!"
"Uhh...!"
Dengan susah-payah Jayadilaga mencelat ke
belakang. Dan Rangga mengejarnya dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'
tingkat tertinggi.
Jayadilaga terkesiap. Sungguh tak disangka
Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak secepat
itu. Padahal, dia belum lagi bersiap-siap. Maka hela napasnya masih kalang-kabut
akibat benturan tadi.
Meskipun mampu menangkis, namun tenaganya
kurang sempurna. Akibatnya, tulang lengannya
terasa ngilu bukan main.
Satu kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti
berhasil dihindari Jayadilaga. Namun gerakan itu hanya
tipuan. Karena begitu Jayadilaga memiringkan tubuhnya, tangan Pendekar Rajawali
Sakti yang satu lagi sudah menunggu. Hingga....
Duk! "Hekh...!"
Jayadilaga menjerit kesakitan ketika sampokan Rangga mendarat ke ulu hatinya.
Tubuhnya terhu-yung-huyung ke belakang.
"Yeaaa...!"
Rangga benar-benar bertindak tidak kepalang
tanggung. Tubuhnya berputar, dengan kaki kiri
menggedor dada.
Desss...! "Aaakh...!"
Jayadilaga kembali menjerit ketika tendangan
Pendekar Rajawali Sakti telak sekali mendarat di dadanya. Tubuhnya terlempar ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Kau boleh mampus sekarang!" dengus Rangga"Eh, ampun...! Ampun, Rangga. Kau tak boleh membunuhku...!" ratap Jayadilaga
sambil bersujud di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Jayadilaga!
Bangunlah! Dan, tunjukkan ksatriaanmu!"
"Tidak! Aku tak akan bangun sebelum kau
berjanji mengampuniku!"
*** "Pengecut busuk! Tidak malu pada diri
sendiri"! Dengan wanita tak berdaya, kau tega
memperkosa-nya, lalu membunuhnya. Kini dalam
keadaan tidak berdaya kau coba meratap demi
selembar nyawa busukmu!"
"Aku tak peduli apa yang kau katakan. Tapi, kau mesti mengampuniku, Rangga!"
"Hemm...!"
Rangga terdiam. Ditariknya napas panjang.
"Rangga, kumohon ampunilah aku! Ampuni
aku...!" ratap Jayadilaga.
"Kisanak! Kau tak boleh mengampuninya!
Orang ini amat jahat dan pembunuh keji! Dia harus mati untuk menebus dosadosanya!" teriak Marni, kalap.
"Eh, dasar edan! Tadi begitu garang. Dan kini, setelah kena beberapa hajaran,
keok seperti ayam kampung. Huh! Aku tak pernah mengampuni orang
seperti itu. Dalam sekejap, akan kupecahkan batok kepalanya!" timpal Ki Sabda
Gendeng. "Mestinya memang begitu...."
Mendengar kata-kata Rangga itu, Jayadilaga
semakin ketakutan. Dan buru-buru ditubruk kaki
Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga! Kau adalah kawan dekat ayahandaku. Memandang hubungan baik itu,
sudilah kiranya kau mengampuniku. Ampuni aku,
Rangga! Ampuni aku...!" ratap Jayadilaga.
"Apakah kau akan bertobat jika kuampuni?"
"Tentu saja! Tentu! Aku akan bertobat!"
"Sungguhkah?"
"Aku berani bersumpah!"
"Hmm...!"
Rangga berbalik, melangkah membelakangi.
"Aku percaya akan kata-katamu. Karena, kau keluarga terhormat Orang sepertimu
mestinya teguh memegang...!"
Wesss...! Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti terhenti
ketika merasakan desir angin kencang di belakang.
"Rangga, awaaas...!" teriak Ki Sabda Gendeng.
"Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas,
membuat desir angin dari pukulan jarak jauh yang dilepas Jayadilaga hanya
menyambar tempat kosong.
Setelah berputaran dua kali, Rangga meluruk
sambil melepas kibasan tangan dalam jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Sebisanya Jayadilaga
mengegos sambil memapak.
Plak! "Aaakh...!"
Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti
memang berhasil menangkis. Namun akibatnya,
Jayadilaga terjajar mundur dengan tangan terasa sakit bukan main. Bahkan dadanya
mendadak terasa sesak.
Bahkan sempat Jayadilaga mengatur pernapasannya, Pendekar Rajawali Sakti yang masih mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah
Mega' memutar tubuhnya. Kakinya yang berisi
te?naga dalam langsung melepas tendangan berputar ke dada. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Jayadilaga menjerit kesakitan. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Isi dadanya
terasa remuk dan rulang-tulang dadanya terasa
patah. Tubuhnya terjungkal,. jauh ke belakang dan membentur sebatang pohon.
"Jangan coba membokong orang dari belakang jika kau tak tahu kewaspadaannya,
Jayadilaga!"
desis Rangga seraya mendekati pemuda itu.
Jayadilaga beringsut ke belakang dengan
wajah pucat ketakutan. Dia sering mendengar
cerita kalau Pendekar Rajawali Sakti jarang
mengampuni lawan-lawan yang bersifat culas,
dengan membokong dari belakang. Apakah hal itu
akan terjadi padanya" Membayangkan dirinya
terbunuh, adalah suatu hal yang selama ini tidak terpikir dalam benaknya. Maka
pengalaman itu membuat hatinya tergun-cang.
"Oh, tidak! Tidaaak! Kau tak boleh membunuhku! Kau tak boleh membunuhku. Aku
harus tetap hidup! Aku harus tetap hiduuup...!"
teriak Jayadilaga.
"Kau mau tetap hidup, Jayadilaga?" gumam Rangga.
"Iya! Aku mau hidup! Aku harus tetap
hidup...!"
"Baiklah. Kukabulkan keinginanmu itu! Tapi, jawab pertanyaanku!"
"Apa itu...?"
"Mengapa kau menuntut ilmu pada Iblis
Pemenggal Kepala...?"
"Karena..., karena aku ingin menuntut ilmu kedigdayaan tanpa susah-susah. Dengan
hanya memuja iblis sesembahan guruku, aku akan langsung mendapat kesaktian. Dan
sebagai tumbalnya, aku
harus menodai lima puluh gadis dan membuntungi
kepalanya...," papar Jayadilaga.
"Lantas, apa yang kau dapat selama ini?" kejar Rangga.
"Karena baru mendapat tiga puluh lima
tumbal, aku baru dapat sebagian isi kitab yang
diajarkannya...."
"Lalu imbalan apa yang kau berikan pada
Swagira?" "Aku hanya disuruh mengambil Kitab Batara
Karang yang isinya sulit dipelajari. Kitab itu semula disimpan di sebuah gua di
Bukit Sabung. Begitu
sulit kitab itu untuk kupelajari sendiri, sehingga terpaksa
aku meminta Ki Swagira untuk mengajariku...," urai Jayadilaga.
"Hmm.... Siapa pula orang-orang bertopeng
yang menjadi pengikutmu selama ini?" tanya Rangga lagi.
"Mereka bekas anak buah Ki Swagira. Setelah aku mendapat tanda kesetiaan, anak
buah Ki Swa?gira percaya kalau aku muridnya...."
"Baik! Sekarang semuanya sudah cukup jelas."
Begitu kata-katanya habis Pendekar Rajawali
Sakti bergerak cepat. Tangannya meluncur deras ke tubuh Jayadilaga. Lalu....
Tuk! Tuk! "Ohh...!"
Rangga menotok urat gerak pemuda itu
hingga tak berdaya. Namun tindakan Pendekar
Rajawali Sakti membuat Ki Sabda Gendeng ngomelngomel tak karuan.
"Dasar bocah gendeng! Kenapa tidak dibunuh saja dia" Kalau kau tak mampu
membunuhnya, biar aku yang melakukannya!"
"Jangan!" tahan Rangga ketika tongkat Ki Sabda Gendeng siap mengepruk batok
kepala Jayadilaga. "Kenapa"
Apa sekarang harimu lemah mendengar ratapannya?" tukas Ki Sabda Gendeng, tak senang.
"Tidak. Aku punya urusan sendiri dengan
ayahnya." "Urusan apa?"
"Ingin kulihat, apakah Gusti Prabu Arya
Dwipa berani menjatuhkan hukuman mati untuknya!"
"Kalau ternyata ayahnya tidak berani menjatuhkan hukuman mati baginya?" tanya laki-laki tua itu.
"Aku yang akan melakukannya di depan


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayahnya!" desis Rangga.
"Ha ha ha...! Itu bagus, Sobat, Itu baru
sobatku!" Rangga tersenyum, lalu berpaling pada Marni
yang mengenakan pakaian seadanya.
"Nisanak! Maukah kau ikut dengan kami ke
istana kerajaan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk apa?" Marni balik bertanya.
"Menjadi saksi atas kebejatan pangeran
kerajaan ini. Bersediakan kau?"
"Aku mau asal dia dihukum mati nantinya!"
tandas Mami, sambil melirik ke arah Jayadilaga.
"Kita akan lihat, sejauh mana keadilan di
negeri ini diterapkan oleh rajamu."
"Baiklah."
"Kita berangkat sekarang juga!"
Maka dengan membawa tubuh Jayadilaga yang
terluka di punggung kuda, mereka segera meninggalkan tempat itu.
*** 8 Sementara itu di Istana Kerajaan Swarna
Pura terjadi keributan. Tawanan utama yang
bernama Ki Swagira telah menewaskan beberapa
prajurit kerajaan, setelah menjebol pintu penjara.
Suara tawanya lantang dan bergema di seluruh
dinding bangunan istana. Tanah tempatnya ditahan bergetar seperti dilanda gempa.
Dia berhasil keluar dari bawah tanah, tanpa seorang pun yang bisa
mena-hannya! "Ha ha ha...! Hari ini telah sempuma apa yang kumilikl Dan, tak seorang pun bisa
menghalangiku!"
Beberapa prajurit kerajaan yang coba meringkus terpelanting disapu kebutan tangannya.
Beberapa prajurit lain yang datang cepat tersapu angin serangan Ki Swagira.
"Hei, Arya Dwipa! Kuperingatkan padamu,
suruh kecoa-kecoa ini minggir kalau tak mau binasa di tanganku...!" teriak tokoh
sesat ini menggelegar.
Tapi sebagai jawaban, justru mencelat lima
tokoh utama kerajaan di tempat itu. Mereka'
adalah Ki Pranajaya, Ki Lola Abang, Ki Sedopati.
Ki Sanjaya, dan Ki Jayawane.
"Swagira! Kembali ke tempatmu, sebelum kami memaksa!" bentak Ki Sedopati.
"Hua ha ha...! Sedopati! Mulutmu masih juga besar seperti dulu. Harap kau
ketahui, selama lima tahun di penjara bawah tanah sana, aku telah
memperdalam ilmu-ilmuku dengan Kitab Batara
Karang yang berhasil disisipkan ke penjara. Jadi jangan harap kalian bisa
meringkusku. Meski jumlah kalian bertambah sepuluh kali lipat, tidak akan mampu
berbuat apa-apa!"
"Huh, sombong! Rasakan ini!" Ki Sedopati yang memang sudah panas sejak tadi
langsung saja menyerang. Dilepaskannya han-taman tangan beberapa kali disertai mengerahkan tenaga dalam penuh.
"Cari mampus!" dengus Ki Swagira, langsung memapak dengan tangan pula. Plak!
Plak! Serangan-serangan beruntun yang dilakukan
Ki Sedopati dengan mudah ditangkisnya. Seperti
me-nangkis pukulan-pukulan seorang bocah!
"Kalau kau ingin sekali mampus, rasakan ini!"
Dengan tiba-tiba kepalan tangan Ki Swagira
yang berjuluk Iblis Pemenggal Kepala menghantam ke dada. Ki Sedopati berusaha
menangkis. Plak! Desss...! "Aaa...!"
Aneh pukulan itu terus meluncur. Dan
kontan menghantam dada. Laki-laki tua itu menjerit kesakitan. Terdengar tulang
dadanya remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya
terjajar ke belakang langsung terhuyung-huyung.
Dan sebelum sempat tersungkur ke tanah, Ki
Swagira telah mengejar.
"Ini balasan dariku atas penghinaanmu! Hiih!"
Iblis Pemenggal Kepala langsung mengibaskan
telapak tangannya. Tes!
"Ekh...!"
"Heh"!"
Kejadian itu begitu cepat dan mengejutkan
semua pihak yang menyaksikannya. Dengan sisi
telapak tangan, Iblis Pemenggal Kepala menebas
leher Ki Sedopati yang hanya sempat menjerit
tertahan. Saat itu juga kepala pejabat kerajaan ini menggelinding ke tanah
dengan darah menyembur
dari leher. "Biadab!"
'Terkutuk...!"
Sumpah serapah segera keluar dari mulut
tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Namun Ki Swagira
malah terkekeh kegirangan.
"He he he...! Hanya itu yang bisa kalian
lakukan" Menyumpah dan memaki?"
"Bangsat! Kau harus mampu sekarang juga!" Ki Lola Abang menggeram. Dengan
tongkat mautnya
diserangnya Ki Swagira. Dan yang lain pun segera mengikut.
Mereka adalah tokoh utama kerajaan berkepandaian yang rata-rata cukup tinggi. Namun
mereka juga menyadari kalau Iblis Pemenggal
Kepala bukanlah tokoh rendah. Dulu saja mereka
bersu-sah-payah meringkusnya. Itu pun dengan
bantuan Ki Jagat Awang, seorang tokoh tua yang
berilmu tinggi. Tapi, Ki Jagat Awang kini entah berada di mana. Dan kalaupun
ada, rasanya tak
akan sudi membantu karena Gusti Prabu Arya
Dwipa telah menghukum keponakannya, yaitu Kebo
Bangah (Baca Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah :
"Utusan Dari Andalas").
Menghadapi keroyokan empat lawan, serta
puluhan prajurit yang mengurung rapat, sama sekali tidak membuat Ki Swagira
gentar. Dengan berta-ngan kosong dia malah berada di atas angin. Tak!
"Aaakh...!"
Ki Lola Abang mengeluh ketika Iblis
Pemenggal Kepala menepis tongkatnya dengan
tangan. Dan mestinya, tangan Ki Swagira yang
remuk. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Tangan Ki Lola Abang yang terasa
kesemutan. Dan itu
membukti-kan kalau tenaga dalam tawanan ini tak bisa dibuat main-main.
Belum lagi Ki Lola Abang sempat menyadari
selanjutnya, tiba-tiba saja tubuhnya seperti tersedot ketika Iblis Pemenggal Kepala menarik
tongkatnya kuat-kuat. Tak ada jalan lain baginya untuk
selamat selain melepaskan senjata andalannya. Tapi sebelum dilakukan, Ki Swagira
telah menghentakkan tangan kirinya.
Desss...! "Aaakh...!"
Satu hantaman telak menggedor dada,
membuat Ki Lola Abang kontan terpekik.
Tubuhnya terjungkal ke belakang disertai semburan darah segar.
"Heaaa...!"
Ki Sanjaya menggeram. Golok besarnya
langsung menebar leher Iblis Pemenggal Kepala.
Namun dengan tak disangka-sangka, Ki Swagira
mengayunkan tangan.
Tak! Plas! Golok itu terpental dari genggaman Ki
Sanjaya. Bahkan mendadak, sikut Ki Swagira cepat menyodok ke dada.
Krak! "Aaakh...!"
Ki Sanjaya menjerit kesakitan ketika tulang
dadanya terasa patah. Sebelum sempat terhempas
ke belakang, Ki Swagira menghantamkan kepalan
tangan ke jidatnya.
Prak! Kontan Ki Sanjaya terlempar tidak berdaya.
Begitu menyentuh tanah, nyawanya melayang
dengan kepala remuk.
*** "Biadab!" dengus Ki Pranajaya. Saat itu juga, lelaki tua ini menyerang Ki
Swagira. Demikian pula yang dilakukan Ki Jayawane. "Heaaa...!"
Ki Swagira melejit ke atas seringan kapas.
Begitu meluruk, dia langsung balas menyerang.
Pukulan Iblis Pemenggal Kepala membuat
kedua lawannya terkejut dan pontang-panting
menyelamatkan diri. Dan sebelum mereka menjejakkan kaki ke tanah, Ki Swagira telah
berkelebat menyerang Ki Jayawane.
"Ki Jayawane, awaaas...!" teriak Ki Pranajaya memperingatkan.
Ki Pranajaya cepat menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan
jarak jauh untuk melindungi kawannya. Tapi enak sekali Ki Swagira menepis dengan
kibasan telapak tangan kiri, tanpa melepaskan perhatian pada Ki Jayawane.
Sementara pukulan Ki Pranajaya kandas dihempas gelombang angin kencang laksana
badai topan.Kini tak ada seorang pun yang bisa
menyelamatkan Ki Jayawane dari incaran. Meski
telah mengibaskan tombak, namun dengan mudah
Ki Swagira menepisnya. Tombak itu terpental dan telapak tangannya
terkelupas. Ki Jayawane terkesiap, pasrah menerima maut.
"Kau akan menyusul kawan-kawanmu di neraka! Ha ha ha...!"
Sambil berkata demikian, Iblis Pemenggal
Kepala siap menyabetkan tangannya. "Ki Swagira!
Lihat ke sini!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang.
"Hmmhh...!"
Ki Swagira membatalkan serangan. Dan tanpa
menoleh lagi, dilepaskannya pukulan jarak jauh ke belakang.
Deb! "Hem!"
Iblis Pemenggal Kepala menggumam tak jelas
ketika, kali ini pukulan yang dilepaskannya berbalik menghantam meskipun dengan
tenaga lemah. Namun itu telah cukup mengalihkan perhatiannya.
Tanpa mempedulikan Ki Jayawane, Iblis
Pemenggal Kepala berbalik dari mengawasi seorang pemuda tampan berbaju rompi
putih dengan gagang pedang menyembul dari punggungnya. Tidak jauh
darinya, terlihat seorang laki-laki tua menyandang bumbung tuak dan membawa
tongkat bambu hitam.
Juga terdapat seorang gadis desa dan seorang
pemuda yang terkulai tak berdaya di punggung
seekor kuda. Dari mulut dan hidungnya terus
meneteskan darah segar.
"Anakku Jayadilaga...!"
Terdengar teriakan seorang wanita setengah
baya. Diikuti Gusti Prabau Arya Dwipa serta tiga putra-putrinya,
wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri Jayadilaga.
"Tetap di tempat kalian!" bentak Rangga garang, ketika orang-orang itu hendak
mendekati Jayadilaga.
"Rangga! Apa yang terjadi dengan anakku"
Kenapa dia"!" teriak wanita yang tak lain Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa
dengan wajah cemas.
Air mata wanita ini mulai menetes. Dan
perlahan-lahan didekatinya Jayadilaga.
"Jangan coba-coba mendekatinya!" bentak Rangga kembali, membuat langkah
permaisuri surut.
"Aku tidak peduli siapa pun orangnya. Tapi siapa pun yang coba-coba menolongnya,
maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak keras padanya!"
"Rangga..."!" sapa Gusti Prabu Arya Dwipa.
"Hm!"Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri di tempatnya dengan wajah penuh
perbawa. Sama sekali kepalanya tak menoleh ketika Gusti Prabu Arya Dwipa coba menyapa.
"Bocah keparat! Jangan bertingkah di depanku. Kau kira bisa berbuat seenaknya pada
muridku"!" dengus Iblis Pemenggal Kepala.
Ki Swagira mendengus geram. Dan mendadak,
dia lompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Sobat! Jaga tawanan kita! Jangan biarkan
seorang pun menyentuhnya!" desis Rangga pada Ki Sabda Gendeng.
Sebelum orang tua itu sempat menjawab,
Pendekar Rajawali Sakti telah meluncur sambil
berputar seperti gasing. Langsung dipapakinya
serangan Ki Swagira.
Jder! "Uhh...!"


Pendekar Rajawali Sakti 198 Iblis Pemenggal Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat terdengar suara keras ketika kedua
pukulan beradu. Mereka sama-sama mencelat ke
belakang untuk mengatur jarak dan jalan napasnya.
Bahu masing-masing turun naik dengan cepat,
karena merasakan kedahsyatan tenaga dalam satu
sama lain. "Hm.... Hebat juga kau, Bocah! Tapi jangan dikira Iblis Pemenggal Kepala bisa
ditaklukkan!"
desis Ki Swagira.
Ki Swagira itu memandang Rangga tak
berkedip. Lalu, kedua telapak tangannya dirangkapkan, menempel ke dada. Bibimya berkerut menahan geram.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras, Ki Swagira menyorongkan telapak tangannya ke depan. Tidak
terasa ada angin kencang, juga hawa panas
atau.dingin. Tidak juga terdengar suara mendesis atau hingar-bingar. Namun,
Rangga melompat
kalang-kabut menghindari sesuatu yang membuat
sebagian orang-orang di tempat itu kaget.
"Hm.... Percuma saja kau mengumbar pukulan
'Remuk Garba'. Aku sudah mengetahuinya!"
"Keparat! Kau akan mampus dengan pukulanku ini!"
"Jangan terlalu berharap, Kisanak!"
Rangga telah telah memasang kuda-kuda ko .
koh. Dibuatnya beberapa gerakan tangan dengan
tubuh miring ke kiri dan ke kanan. Tepat ketika tubuhnya tegak kembali. Kedua
telapaknya yang
telah bersinar biru berkilau telah menyatu di depan dada."Heaaa...!"
Begitu Ki Swagira melepaskan pukulan
kembali, Rangga telah siap memapaki disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
Disertai teriakan menggelegar, Pendekar
Rajawali Sakti menghentakkan kedua telapak
tangannya. Sinar biru berkilau langsung meluncur ketika aji 'Cakra Buana Sukma'
terlepas. Suaranya mem-bahana laksana semilir puluhan duan kelapa
yang tertiup angin.
Blap! Cahaya biru terang yang melesat ke arah Ki
Swagira seperti membentur sesuatu. Tertahan
sebentar, tapi perlahan-lahan terus maju ke arah Iblis Pemenggal Kepala.
"Keparat! Rupanya kau Pendekar Rajawali
Sakti"!" desis Ki Swagira dengan wajah berkerut.
Perlahan namun pasti, cahaya biru milik
Pendekar Rajawali Sakti terus mendesak ke arah Ki Swagira.
Bahkan perlahan-lahan makin menyelubungi tubuh Iblis Pemenggal Kepala.
*** "Heh"!"
Ki Swagira terkejut. Dan secepat kilat dia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk
menaklukkan sinar biru yang seperti mengekangnya.
Namun semakin dia mengerahkan tenaga dalam
sekuat mungkin, justru kekuatannya
makin tertersedot. "Heaaat...!"
Rangga tak memberi kesempatan. Aji 'Cakra
Buana Sukma' segera dilipatgandakan.
"Kurang ajar, kau bocah! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" teriak Iblis
Pemenggal Kepala kalap, menyadari kekuatannya semakin lama semakin berkurang
saja. "Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan itu Rangga melenting
sambil menarik gagang Pedang Pusaka Rajawali
Sakti di punggung.
Sring! Begitu pedang tercabut, Rangga meluruk
deras. Saat itu juga pedang yang bersinar biru
berkilau berkelebat. Dan....
Crasss...! Tanpa bisa menjerit lagi, kepala Iblis
Pemenggal Kepala menggelinding ditebas pedang
pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Darah
langsung menyembur deras dari leher. Sebentar
tubuhnya limbung.
Tepat ketika Rangga mendarat sambil memasukkan pedang, Ki Swagira ambruk dan tewas
seketika. Suasana di tempat itu seketika sepi.
"Jayadilaga adalah murid Swagira! Dia secara diam-diam menyusupkan Kitab Bantara
Karang ke penjara, lalu ikut mempelajari kitab itu. Dan dialah petaka pembunuhan selama
ini, untuk menuntut
ilmu dari Swagira! Lantas, dia kutangkap ketika tengah melakukan perbuatan
kejinya. Gadis ini
menjadi saksi bahwa aku tak berdusta. Siapa kini yang coba-coba membelanya"!"
teriak Rangga, lantang.
"Anakku pembunuh! Oh, tidak! Tidaaakkk..!"
jerit Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa dengan air mata berlinang. Dan seketika
dia memeluk suaminya. Yang lain terhenyak mendengar berita yang
disampaikan Rangga. Meski mereka semua mengetahui kalau pangeran yang satu itu doyan
perempuan, tapi tidak seorang pun pemah menduga kalau ternyata juga pembunuh
keji. "Gusti Prabu! Kini kau telah tahu duduk
persoalannya. Dan setelah jelas semuanya, maka aku datang kepadamu membawa
bukti-bukti nyata. Kini, apa keputusanmu"!"
"Rangga! Aku tak bisa mempercayai katakatamu begitu saja, sebelum mengadakan pemeriksaan lebih teliti...."
"Jika ternyata putramu bersalah, hukuman
apa yang hendak kau jatuhkan"!"
"Hukuman mati!" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa, berusaha menahan debur di hatinya
yang semakin kencang.
"Ohh..."!"
"Kakang..."!"
Semua orang yang mendengar keputusan
Gusti Prabu Arya Dwipa terkejut Demikian pula
halnya Gusti Permaisuri. Saking hebatnya rasa
terkejut di hati, membuatnya tak sadarkan diri.
Putri Mayang buru-buru memapahnya dan membawanya ke dalam.
Sementara itu suasana di tempat itu masih
terlihat tegang.
"Gusti Prabu! Aku berterima kasih atas
keputusanmu yang bijaksana. Kalau saja tidak
memandangmu, putramu pasti sudah binasa di
tanganku. Kini kuserahkan dia padamu. Dan, harap adakan pengadilan yang setimpal
untuknya. Aku akan mencari orang-orang yang pernah menyaksikan kebejatannya sebagai saksi."
Setelah berkata begitu, Rangga segera
menurunkan Pangeran Jayadilaga dari punggung
Dewa Bayu dan menyerahkannya pada seorang
prajurit. Kemudian, dia sendiri melompat ke
punggung ku-danya. Sedangkan Marni ikut di
belakangnya. "Gusti Prabu, aku mohon diri dulu...!"
"Tunggu!" teriak Gusti Prabu Arya Dwipa menahan.
"Hm...!"
Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti, Ki
Sabda Gendeng, dan Mami menatap, Gusti Prabu
Arya Dwipa tak kuasa berkata sepatah kata pun.
"Gusti Prabu! Kalau kau menganggapku
sebagai musuh, aku menerimanya. Dan kalau tetap menganggapku sahabat, itu yang
terbaik. Tapi, kebenaran mesti ditegakkan meski sepahit apa pun.
Dan aku akan mendengar terus, apa yang akan kau lakukan. Jika ternyata putramu
tak bersalah, kau boleh membebaskannya. Namun jika terbukti
bersalah dan kau menutup-nutupinya, aku akan
datang dan menghukumnya dengan caraku sendiri!"
tandas Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah berkata demikian, Rangga menggebah
kuda. Sementara Ki Sabda Gendeng ikut berkelebat dari tempat ini.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Dhee_mart
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
PENDEKAR RAJAWALI SAKTI
Segera terbit: RATU A LAM BAKA
Misteri Lukisan Tengkorak 8 Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Pendekar Lembah Naga 24

Cari Blog Ini