Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Bagian 2
Wuusss! Bersamaan dengan itu, bertiup angin kencang bagai topan yang bergerak cepat, melabrak asap putih yang mengurungnya. Bahkan hebatnya lagi, ruangan ini terasa bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Benda-benda yang berada di ruangan berpindah tempat, terpental, dan pecah karena terjatuh.
"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti!"
Kembali terdengar suara. Dan Rangga pun menghentikan tindakannya. Tidak berapa lama kemudian mendadak ruangan ini menjadi terang menderang, karena jendela-jendela yang mengelilinginya terbuka lebar dari luar. Cahaya obor menyeruak ke dalam. Dan dari beberapa buah pintu, muncul orang-orang bersenjata lengkap.
Pendekar Rajawali Sakti tenang saja. Matanya tertuju ke depan, pada seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya sederhana. Dia didampingi beberapa orang yang agaknya anak buahnya. Orang tua berwajah polos tanpa jenggot dan kumis itu tersenyum ramah seraya melangkah lebar menghampiri.
"Selamat datang di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti!" sambut orang tua ini.
"Terima kasih, Ki Balung Perkasa! Keramah-tamahanmu telah kurasakan dengan baik," sahut Rangga.
Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun Rangga yakin dialah pemilik tempat ini. Dan ternyata benar Ki Balung Perkasa.
"Ha ha ha...! Maafkan penyambutanku yang tidak semestinya. Telah kudengar nama besarmu dari jauh-jauh hari dan menggelitikku untuk membuktikan kebenarannya. Dan permainan kecil tadi telah membuka mataku bahwa apa yang kudengar itu ternyata tidak berlebihan," sahut Ki Balung Perkasa seraya mengajak tamunya keluar melalui salah satu pintu di ruangan ini.
"Apa yang kau dengar, kebanyakan cerita bohong yang ditiupkan orang yang tidak bertanggung jawab, Ki. Aku hanyalah seorang pemuda yang perlu bimbingan dari orang sepertimu, Ki," sahut Rangga merendah.
Ki Balung Perkasa mengekeh pelan. Kini mereka tiba di sebuah ruangan luas, namun sederhana. Di sana telah berkumpul beberapa orang, Bukan enam seperti yang dikatakan orang tadi kepadanya, tapi lebih.
Rangga duduk pada sebuah kursi yang tidak jauh dari Ki Balung Perkasa. Sedang orang tua itu sendiri duduk di sebelah kursi lebar, dan saling berhadap-hadapan dengan tamu-tamunya.
"Para hadirin! Hari ini telah lengkap kedatang-an tamu kita yang terakhir, yaitu Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti!" seru Ki Balung Perkasa, lantang.
Rangga bangkit dari kursinya seraya menjura hormat pada tamu-tamu lain. Mereka pun membalas salam hormatnya.
Kemudian Ki Balung Perkasa sendiri segera memperkenalkan para tokoh persilatan itu satu persatu kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebagian tentu mengerti, mengapa aku meng-undang kalian semua ke tempatku ini. Namun begitu, beberapa lainnya tentu masih diliputi tanda tanya, bukan?" lanjut Ki Balung Perkasa langsung membuka persoalan setelah acara perkenalan selesai.
"Ya, aku juga masih belum mengerti, Ki!" sahut Rangga. "Bisakah kau menjelaskannya?"
"Persoalan ini menyangkut urusan yang bela-kangan ini terjadi. Yaitu pembantaian yang dila-kukan seorang makhluk aneh bernama Gardika," jelas Ki Balung Perkasa.
Orang-orang yeng berada dalam ruangan itu mengangguk-angguk.
"Kerajaan mengutusku untuk membereskan persoalan ini, karena dianggap penting. Sebab da-lam waktu satu purnama, telah terjadi korban lebih dari seratus orang," lanjut orang tua itu.
"Ya! Sebelum tiba di sini, aku bertemu orang-orang yang menjadi korbannya. Apakah kau me-ngetahui, apa maksud Gardika membunuh orang-orang itu, Ki?" tanya seorang gadis muda membawa pedang di punggung.
"Alasannya tak jelas, Sekartaji! Tapi beberapa anak buahku mengatakan bahwa orang ini laksana hewan buas. Dia haus darah dan ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Kesulitanku adalah, Gardika bukan orang sembarangan. Beberapa anak buahku yang kuutus membereskannya, banyak yang mati," lanjut Ki Balung Perkasa, menjelaskan pada gadis bernama Sekartaji.
"Lalu apa yang hendak kau rencanakan me-ngumpulkan kami di sini, Ki?" tanya Rangga.
"Itulah! Pihak kerajaan merasa kewalahan. Bila mengutus para prajurit, dikhawatirkan akan menjadi makanan empuk baginya. Maka itu, aku punya prakarsa mengumpulkan para pendekar agar kiranya sudi membantuku. Dan untuk itu, tentu saja akan ada imbalannya bagi kalian semua," jelas Ki Balung Perkasa.
"Berapa imbalan yang bisa kau berikan kepada kami?" tanya seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan brewok lebat. Dia duduk agak di belakang.
"Apakah dua puluh lima keping emas masih kurang, Aswatama?" Ki Balung Perkasa balik bertanya sambil tersenyum.
"Ha ha ha...! Benarkah" Itu jumlah yang hebat!" sahut laki-laki bertubuh gemuk dengan senjata golok besar yang dipanggil Aswatama.
Aswatama alias si Golok Terbang tertawa ber-gelak mendengar jumlah yang disebutkan. Mungkin jumlah itu dianggapnya kelewat besar untuk tugas yang dianggapnya ringan.
"Jumlah itu kelewat sedikit!"
Terdengar suara yang bernada meremehkan.
"Hm, berapakah jumlah yang pantas untukmu, Ki Sugala?" tanya Ki Balung Perkasa sambil tersenyum.
? *** ? Lelaki dengan dahi lebar dan mata agak sipit yang bernama Ki Sugala tersenyum tengik.
"Dia telah membunuh Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti. Padahal, kita tahu bahwa kedua orang itu bukan tokoh sembarangan. Ini membuktikan kalau Gardika bukan orang sembarangan. Maka tugas ini terasa berat dengan mempertaruhkan nyawa. Aku tidak mau dihargai dua puluh keping emas, karena itu bukan harga yang pantas untuk nyawaku. Untukku, paling tidak seratus keping emas!" lanjut Ki Sugala.
"Ya! Kurasa usul Ki Sugala memang pantas!" sambut seorang wanita tua bertubuh kurus dengan rambut kelabu.
Orang-orang persilatan tahu, siapa wanita itu. Dia adalah tokoh terkenal bernama Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.
"Harga yang disebutkan Ki Balung Perkasa tidak pantas untuk pekerjaan ini. Kita tidak bekerja sukarela. Tapi, menerima upah!" lanjut Nyi Pacet. "Bukan begitu, Ki Dawala?"
Lintah Penghisap Darah menoleh pada laki-bki kumis berhidung panjang.
"Bagaimana, Ki Balung Perkasa" Apakah kau setuju menaikkan imbalan yang kami terima?" desak tokoh yang dipanggil Ki Dawala oleh Nyi Pacet.
Ki Balung Perkasa berpikir sebentar, lalu mengangguk setuju.
"Baiklah.... Aku setuju tiap seorang dari kalian mendapat imbalan seratus keping emas. Berhasil ataupun tidak, kalian akan mendapat imbalan seratus keping emas. Tapi tidak kuberikan sekarang, melainkan nanti setelah pekerjaan ini selesai. Sebagai awalnya, maka kalian kuberi bekal masing-masing tiga keping emas. Bagaimana" Setuju?"
Hampir semua mengangguk mendengar kepu-tusan itu, kecuali Rangga. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, persoalan itu bukan masalah pekerjaan yang perlu imbalan, tapi tanggung jawab seorang pendekar terhadap tindakan kesewenang-wenangan.
"Nah! Kalau begitu kalian boleh mencarinya sekarang juga. Tangkap Gardika hidup atau mati. Dan, bawa ke sini!" lanjut Ki Balung Perkasa.
"Beres, Ki!"
Ki Balung Perkasa bertepuk tangan. Maka dua anak buahnya mendekat seraya membawa sekan-tung uang.
"Siapa saja boleh maju bergiliran untuk menerima bagian bekalnya!" lanjut Ki Balung Perkasa.
Maka satu persatu para tokoh persilatan itu maju ke depan. Setelah mengambil bekal, mereka segera berlalu diantar para pengawal Ki Balung Perkasa.
Melihat itu Rangga tenang-tenang saja. Dia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan setelah semuanya selesai mendapat bagiannya.
"Kenapa kau tenang-tenang saja, Pendekar Rajawali Sakti" Apakah tidak ingin mengambil bagianmu?" tanya Ki Balung Perkasa, heran.
"Kedatanganku ke sini adalah memenuhi un-danganmu. Dan itu bukan berarti aku mesti memenuhi permintaanmu. Apalagi, sampai mematuhi perintahmu," sahut Rangga datar.
"Maafkan kalau kau merasa tersinggung karena kejadian ini, Rangga...," ucap Ki Balung Perkasa, jadi tidak enak sendiri.
"Tidak mengapa. Aku belum mengenalmu lebih jauh. Dan juga tidak tahu, siapa kau sebenarnya sampai mendapat kepercayaan dari kerajaan sehingga mengurusi soal ini?"
"Aku penasihat Kerajaan Girilayu ini. Juga pe-nasihat pribadi Gusti Prabu Arga Sena. Beliau sendiri yang memberi mandat kepadaku untuk menyelesaikan persoalan ini. Aku punya surat perintah untuk itu," jelas Ki Balung Perkasa.
"O, begitu" Baiklah. Kalau begitu, aku mohon pamit dulu, Ki."
"Tunggu dulu, Rangga! Apakah kau bersedia membantuku?" cegah Ki Balung Perkasa.
"Bantuan apa yang bisa kuberikan?" tanya Rangga sambil melangkah menuju ke depan.
"Menumpas Gardika," sahut Ki Balung Perkasa, terus membuntuti.
Rangga tersenyum.
"Itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, Ki. Perbuatannya tidak bisa dimaafkan," kata Rangga.
"Ah! Terima kasih, Rangga! Aku amat meng-hargai bantuanmu ini."
"Tidak usah terlalu berlebihan, Ki. Aku mengerjakannya karena sukarela. Bukan ingin imbalan darimu."
"Kau memang pendekar sejati, Pendekar Rajawali Sakti!" puji Ki Balung Perkasa.
"Jangan kelewatan memujiku, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Kalau begitu aku pamit dulu, " sahut Rangga setelah melihat kudanya dibawa ke halaman depan pintu keluar ruangan yang dimasuki tadi.
"Aku tidak bermaksud memuji, tapi kenyataan!"
Rangga hanya tersenyum lalu melompat ke punggung kudanya. Dan setelah memberi salam hormat dia bergegas menggebah kudanya.
"Heaaa...!"
Setelah melewati rumah itu, Rangga tidak berhenti lagi. Dia terus memacu kudanya untuk segera keluar dari desa ini secepatnya.
? *** ? Baru saja melewati batas desa, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melambatkan laju kuda. Bahkan pada jarak tertentu, berhenti sama sekali ketika beberapa orang menghadang jalannya.
"Berhentilah sebentar, Pendekar Rajawali Sakti!" seru perempuan tua bertubuh ramping yang membawa cambuk di tangan kanan.
"Nyi Pacet" Ada apa gerangan?" tanya Rangga heran.
Rangga juga memandang yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditemuinya di tempat Ki Balung Perkasa, yakni Ki Sugala, Ki Aswatama, Ki Dawala yang bertampang lucu dengan hidungnya yang panjang, dan Nyi Pacet sendiri.
"Berapa Ki Balung Perkasa memberimu?" tanya wanita tua itu, curiga.
Rangga tersenyum. Dan dia mulai mengerti, apa keinginan mereka yang sebenamya mencegat-nya di sini.
"Kalau itu yang kau tanyakan, maka biar kukatakan sejujurnya bahwa aku tidak menerima uang sekeping pun!" sahut Rangga seadanya.
"Dusta! Jangan membohongi kami!" tukas Nyi Pacet sambil berkacak pinggang dan menuding garang.
"Apa maksudmu, Nyi Pacet" Kau bertanya, lalu kujawab dengan jujur. Dan tahu-tahu, see-naknya saja menuduhku berdusta!" sahut Pendekar Rajawali Sakti mulai tak senang.
"Ki Balung Perkasa menyambutmu dengan baik. Sementara kami tidak. Dia juga menyuruhmu antri paling akhir, dan menyuruh kami lebih dulu keluar. Itu tidak adil! Kau pasti mendapat bagian yang lebih dibanding kami!" tuduh Nyi Pacet, keterlaluan.
? *** ? 6 ? "Tuduhan itu tidak beralasan. Kalian boleh tanyakan sendiri pada beliau!" sahut Rangga.
"Mana mungkin dia mau jujur! Kalian telah bersekongkol!" tuding Ki Aswatama.
"Terserah, apa pendapat kalian. Tapi jangan kira aku menerima tugas yang diberikannya. Ki Balung Perkasa tidak punya hak memerintahku meski dengan imbalan! Bukan sombong. Uang seratus keping emas bisa kudapatkan dengan mudah. Bahkan, lebih dari itu. Jadi buat apa mesti kemaruk segala"!"
"Huh, dasar sombong!" dengus Ki Sugala.
"Mulutmu kelewat besar, Anak Muda! Mungkin selama ini kelakuanmu pun sama!" timpal orang yang bernama Dawala.
"Sudah lama aku mendengar namanya yang melejit sampai ke mana-mana. Sehingga, kau jadi besar kepala! Kali ini mumpung ada kesempatan, ingin kubuktikan apakah kehebatanmu sama dengan yang dihebohkan orang!" ujar Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.
"Nyi Pacet! Tidak usah memperbesar persoalan kecil. Aku tidak merasa diriku hebat. Itu hanya kabar bohong. Dan orang setuamu kenapa percaya tentang kabar bohong?" tukas Rangga.
"Phuih! Kau coba mengelabuiku" Ayo, cabut pedangmu! Ingin kulihat, sampai di mana keam-puhan pedangmu!" bentak Lintah Penghisap Darah.
"Jangan memaksaku, Nyi Pacet..."
"Anak muda! Jangan berlagak di depan kami! Kalau kau takut dikeroyok, maka kami akan me-nonton pertarungan kalian saja!" teriak Ki Aswatama.
"Ya! Perlihatkan pada kami, kalau kau memang seorang pendekar besar!" timpal Ki Sugala.
"Atau barangkali semua itu hanya omong kosong" Karena, sesungguhnya dia hanya seorang badut!" ejek Dawala.
Mendengar ejekan itu rasanya merah juga te-linga Pendekar Rajawali Sakti. Dipandangnya Lintah Penghisap Darah dengan tajam.
"Kau yang menginginkannya, maka silakanmulai!" sahut Rangga dingin.
Lintah Penghisap Darah langsung melompat menyerang ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja turun dari kuda. Ujung cambuknya melesat bagai kilat menyambar ke dada.
"Hup!"??????????????
Ctar...! Pendekar Rajawali Sakti keburu melejit ke atas, sebelum ujung cambuk melukainya. Tubuhnya bergulung di udara, lalu meluruk mendekati dengan tendangan kilat.
"Hiyaaa...!"
"Uhhh...!"
Nyi Pacet terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Terpaksa wanita itu melompat ke samping sambil menunduk.
"Hiih!"
Begitu menjejak tanah, Rangga terus mengejar. Kepalan tangan kanannya meluncur deras ke muka.
Sebisanya Lintah Penghisap Darah menangkis dengan telapak kiri.
Plak! Tapi, ujung kaki kiri Rangga telah menyusuli dengan sodokan ke dada.
Wut! "Setan!"
Sambil memaki geram, Nyi Pacet terpaksa mencelat ke belakang. Bahkan cambuknya belum lagi sempat dihempaskan. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengejar lewat tendangan beruntun yang harus ditangkis dengan kalang kabut.
Memang bukan hanya wanita tua itu yang sudah jatuh nyalinya melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan kuda-kudanya juga mulai goyah. Dan ketika pemuda itu melakukan gerak tipu dengan menyodorkan kepalan kiri, Nyi Pacet cepat menangkis.
Plak! Namun secepat itu pula Rangga berputar ke kiri. Sementara kaki kanannya menyapu pinggang dengan gerakan indah dan cepat. Sehingga....
Desss...! "Aaakh...!"
Nyi Pacet mengeluh kesakitan, ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di pinggangnya.
"Kurang ajar!" maid Lintah Penghisap Darahgeram, berusaha tegak berdiri dengan mantap.
Sorot mata perempuan tua ini tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti penuh kebencian.
"Kurasa urusan ini disudahi saja," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi begitu Rangga hendak berbalik menghampiri ?kudanya....
"Berhenti kau, Bocah!" bentak Lintah Penghisap Darah, garang.
"Ada apa lagi, Nyi Pacet?" tanya Rangga sambil berbalik dengan malas-malasan.
"Apa kau kira begitu mudah menyelesaikan-nya begitu saja" Aku belum kalah, Bocah!" dengus Nyi Pacet.
"Lalu, apa lagi maumu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Kau belum merasakan jurus-jurusku yang lain! Bersiaplah menerima jurus 'Lintah Mengerubung Kerbau'!"
Setelah berkata begitu, Nyi Pacet bersiap menyerang dengan menggunakan jurus andalannya. "Yeaaa...!"
Cambuk perempuan ini mulai berputar-putar. Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya siapmenyusul bila serangannya gagal.
"Hup!"
Ctar! ? *** ? Begitu bergerak, cambuk Lintah Penghisap Darah langsung mengincar pada jalan kematian di tubuh Rangga. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya. Kali ini, agaknya perempuan tua itu hendak menggunakan siasat penyerangan jarak jauh untuk merepotkan lawan.
"Hup! Heaaa...!"
Tapi Rangga akhirnya tidak mau berlama-lama. Langsung dikerahkannya gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Jurus yang mengutamakan kecepatan bergerak dan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi ini memiliki keampuhan untuk mengecoh.
"He, kurang ajar!"
Ctar! Ctarrr...!
Nyi Pacet menggeram kesal. Cambuknya bergerak ke segala arah, namun tak mampu mengim-bangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan akhirnya, hanya sia-sia saja yang didapatkan.
"Hiih!"
Sebaliknya serangan balik Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dengan satu gerakan mengagumkan, Rangga meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya cepat.
Desss...! "Aaakh...!"
Nyi Pacet memekik kesakitan begitu dadanya terhantam kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terjungkal ke belakang tanpa mampu bangkit disertai muntahan darah.
"Di antara kita tak ada saling permusuhan, maka jangan kelewat memaksaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti kesal, seraya meninggalkan Nyi Pacet yang terengah-engah duduk di tanah.
Tapi belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang langsung berdiri menghadang. Bentuk tubuhnya benar-benar mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Dewa Bayu sempat terkejut dan meringkik.
"Hieee...!"
"He, apa ini"!"
"Astaga! Itu Gardika!" desis Ki Sugala, yang pernah mendengar ciri-ciri sosok yang menghadang Rangga.
"Ya! Itu Gardika...!" timpal Ki Dawala.
Sementara Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia tegak berdiri menga-wasi makhluk di depannya, seorang pemuda bermuka dua. Hidungnya besar dengan sepasang taring di sudut bibirnya. Kakinya empat dan tangannya pun empat.
"Kepung dia...!" bentak Ki Aswatama, mengagetkan Rangga yang masih terkesima melihat orang yang belakangan menghebohkan semua kalangan.
Ki Sugala dan Ki Dawala serentak melompat mengepungnya. Sementara dengan tertatih-tatih Nyi Pacet ikut pula menghampiri.
"Untuk sementara lupakan dulu persoalan kita, Anak Muda! Persoalan sebenarnya telah berada di depan mata. Ini yang lebih utama!" seru Ki Aswatama. "Kita mesti saling bantu-membantu!"
Pemuda itu tidak menjawab. Matanya masih memandang tajam kepada Gardika yang berwujud aneh di depannya.
"Jadi, kaukah yang bernama Gardika?" Tanya Rangga dingin.
"Ya! Kudengar ribut-ribut di sini. Maka aku datang untuk melihatnya. Lalu, kulihat kalian bertarung. Dan itu semakin menggembirakanku," sahut Gardika polos tanpa beban.
"Huh! Kami tidak bermaksud membuatmu senang!" dengus Nyi Pacet.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, maka biarkan aku yang mencari kesenangan dengan bertarung melawan kalian!" sahut Gardika cepat. "Pertarungan. seru sampai kalian mampus!"
"Iblis keparat!" umpat Ki Sugala.
"Ha ha ha...! Kenapa tidak kau saja yang lebih dulu maju?"
"Takut apa aku denganmu"!" dengus Ki Sugala.
Sring! Secepat itu juga Ki Sugala mencabut pe-dangnya. Dan dengan waktu yang hampir bersamaan, Ki Aswatama pun mencabut sepasang golok besarnya. Sementara, Nyi Pacet telah siap dengan cambuk. Dan Ki Dawala dengan tongkatnya.
"Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu seperti mereka?" tanya Gardika, pada PendekarRajawali Sakti.
"Nanti akan kuperhitungkan, apakah senjataku perlu untuk dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.
"Ha ha ha...! Sayang sekali! Padahal aku lebih suka bertarung denganmu. Kulihat, kau hebat ketika bertarung dengan nenek peot itu!"
"Akan kita lihat, apakah keinginanmu ter-penuhi," sambung Rangga, kalem.
"Anak muda! Kenapa banyak mulut segala"! Sebaiknya kita serang saja dia sekarang!" teriak Ki Sugala.
"Ya, silakan dimulai. Biar aku mendapat giliran belakangan saja," jawab Rangga enteng.
"Huh!"
Ki Sugala mendengus geram. Dia memang tidak begitu suka pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka begitu mendengar jawabannya," hatinya semakin sebal saja melihat tampang pemuda itu. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan untuk menumpahkan kekesalannya, dia sudah langsung menyerang Gardika.
"Yeaaa...!"
Gardika hanya bergeser ke samping. Tiba-tiba satu tangannya menangkap batang pedang Ki Sugala. Lalu, dibetotnya keras.
"Hiih!"??????
"Ohh...!"
Karuan saja, Ki Sugala jadi gelagapan. Buru-buru pedangnya dilepas kalau tak ingin kepalan Gardika menghancurkan batok kepalanya.
"Yeaaa...!"
Namun sebelum Gardika kembali menyerang, Ki Aswatama dan Ki Dawala telah ikut menyerang dengan gencar mengancam ke segala arah. Dan....
Ctar! Cambuk Nyi Pacet mulai ikut merepotkan Gardika. Tapi, pemuda berwajah mengerikan itu bukannya kerepotan. Bahkan ketawa kegirangan.
"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja" Dengan begini terasa lebih seru dan hebat!" teriak Gardika, sombong.
"Huh! Kalau sudah mampus, baru terasa lebih hebat lagi!" dengus Ki Aswatama.
"Ha ha ha...! Orang-orang seperti kalian tidak membuatku gentar. Tapi, malah menggelikan!" ejek Gardika.
"Kurang ajar!"
Ki Aswatama menggeram. Golok besarnya bergerak semakin cepat, menyambar-nyambar ke mana saja makhluk aneh ini bergerak.
Tapi, Gardika memang tidak kerepotan. Bahkan sesekali terlihat dia berusaha menangkap senjata.
Kini justru Ki Aswatama yang terpaksa menghindar, karena tahu kalau goloknya tidak mampu melukai Gardika. Dan sekali-sekali laki-laki bertubuh gemuk itu terpaksa melompat mundur, ketika pedang Ki Sugala yang berhasil dirampas mulai mengancam keselamatannya.
"Kraaagkh!"
? *** ? Gardika menggeram tatkala tongkat Ki Dawala mengincarnya dari belakang. Pedang di salah satu tangannya berkelebat menangkis, sekaligus mematahkan senjata laki-laki berhidung panjang itu. Tubuhnya bergerak cepat mengirimkan tendangan kilat. Sama sekali tidak dipedulikannya cambuk Nyi Pacet yang mengancam.
Des! "Aaa...!"??????
Ki Dawala terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan beberapa tulang rusuk patah akibat tendangan Gardika. Sementara cambuk Nyi Pacet sama sekali tidak berarti di tubuhnya.
"Yeaaa...!"
Saat itu juga, Ki Aswatama menyerbu dari samping dengan bemafsu.
Trang! Wut! Dengan cepat Gardika mengibaskan pedang, membabat satu golok yang dipegang Ki Aswatama hingga terpental. Namun tanpa menghiraukan telapak tangannya yang lecet akibat benturan tadi, Ki Aswatama memutar golok yang satu lagi. Kembali dicobanya menebas leher Gardika.
Gardika cepat menekuk pedangnya untuk menangkis serangan.
Trang! Lalu secepat kilat senjata di tangan makhluk aneh ini bergerak memapas pangkal tangan kiri Ki Aswatama.
Crasss! Karuan saja laki-laki gemuk dengan wajah dipenuhi brewok itu menjerit kesakitan. Dan sebelum dia menguasai diri, perutnya telah mendapat tendangan kuat dari Gardika hingga membuatnya jungkir balik muntah darah.
"Sekarang giliranmu, Tua Bangka Peot!" desis Gardika,
Meski Nyi Pacet kelihatan garang, tapi melihat sepak terjang makhluk aneh itu mau tak mau jadi takut juga, Sesekali matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti sambil mengutuk habis-habisan, Pemuda itu terlihat tenang-tenang saja menonton pertarungan, Dan celakanya, Gardika malah belum mau mengusiknya!
"Ayo, cepat! Kenapa diam saja" Apa kau takut mati"!" teriak Gardika mengejek.
"Bangsat! Kau kira aku takut denganmu, he"! Rasakan seranganku!" dengus Lintah Penghisap Darah,
Perempuan tua itu langsung mencelat menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga dan ke-cepatan yang dikuasainya. Namun dengan empat tangan serta empat kaki yang bergerak selaras, Gardika agaknya sulit ditanggulangi.
Plak! Plak! Gardika menyarnbut serangan Nyi Pacet dengan enteng. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya mengibaskan pedang.
Nyi Pacet terkejut. Terpaksa dia mencelat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu, Gardika justru mengejamya dengan cepat seraya mengirim tendangan beruntun.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Lintah Penghisap Darah memekik kesakitan ketika tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dari mulutnya muncrat darah segar. Tulang dadanya patah. Dan sesaat dia hanya menggelepar-gelepar, lalu diam tak berkutik. Entah hidup atau mati.
"Ha ha ha...! Mereka sudah beres, kini giliranmu!" tunjuk Gardika pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak...! Apa sebenarnya yang kau cari dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa?" tanya Rangga.
"Eh, apa ini" Kenapa malah kau mengajak bercakap-cakap" Aku tidak butuh itu! Ayo, seranglah aku seperti yang mereka lakukan!"
Rangga tersenyum.
"Kelakuanmu sungguh kejam. Tapi semua orang punya alasan untuk melakukan itu. Sayang alasan yang kau miliki kelihatan sederhana. Hanya untuk memuaskan hawa nafsumu belaka. Bahkan hewan buas sekalipun hanya membunuh bila lapar atau terganggu. Tapi kau lebih kotor dari hewan buas mana pun!" desis Rangga.
"Kurang ajar! Tidak usah banyak bicara! Ayo, cabut pedangmu!"
"Karena kau bersenjata, maka biarlah kupinjam senjata kawanku ini!" sahut Rangga seraya meminjam gglok besar di tangan Ki Aswatama yang saat itu masih meringis menahan rasa sakit hebat.
"Huh! Dengan senjata apa pun, kau boleh menghadapiku!"
"Silakan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya tegak berdiri ntienantang.
"Yeaaa"!"
Gardika bergerak cepat, menerkam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan golok besar di tangannya.???? ?
Tak! Trang! "Uhh!"
Gardika yang merasa kulitnya tidak mempansenjata tajam, tidak begitu menghiraukan tebasan golok. Padahal saat itu Rangga bukannya tidak mengetahui kalau Gardika kebal senjata tajam. Tapi meski sekebal apa pun, toh dia pasti akan merasa sakit kalau benda tajam itu membentur tubuhnya dengan keras. Dan itu yang dilakukannya saat ini.
Takkk..! Mata golok itu menghantam pergelangan tangan Gardika. Namun makhluk aneh ini masih sempat mengibaskan pedang. Rangga cepat menangkisnya.
Trang! Terasa pedang di tangan Gardika bergetar ketika merasakan tenaga dahsyat membenturnya. Dan belum juga makhluk aneh itu berbuat sesuatu, Rangga telah melepaskan tendangan keras.
Buk! "Uhh"!"
Seketika makhluk aneh itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dua tangannya memegangi dadanya yang terhantam tendangan Rangga.
? *** ? 7 ? Gardika memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata tajam, geram bercampur heran. Dalam waktu singkat dia berhasil dihajar. Dan kalau saja pemuda itu terus mengejarnya, dia akan sedikit kerepotan. Tapi, pemuda itu tegak berdiri mengatur jarak sambil mengawasinya.
Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masih ingin dilanjutkan?" tantang Rangga, dingin.
"Hm.... Kau memang lebih hebat dibanding mereka. Tapi itu hanya permulaan. Selanjutnya kau akan kubuat tidak berkutik!" dengus Gardika.
"Kenapa banyak omong?"
"Hup!"
Bukan main panasnya Gardika melihat pemuda berbaju rompi putih ini mulai bertingkah. Maka secepat kilat dia kembali menyerang. Pedang di tangannya berkelebat menyambar-nyambar. Dan bersamaan dengan itu, tiga tangannya yang lain serta keempat kakinya silih berganti ikut menyerang.
"Hiyaaa...'"
Rangga meningkatkan kecepatannya ketika menggunakan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' untuk mengimbangi serangan. Goloknya berkali-kali menangkis kelebatan pedang yang di pegang Gardika.
Trang! Trang! Buk...!??????????
"Aaakh...!"
Beberapa kali senjata mereka saling berbenturan. Dan beberapa kali pula Rangga berhasil menyarangkan goloknya. Gardika mengeluh ter-tahan. Tulangnya terasa ngilu meski kulitnya tidak terluka.
Memang, seperti itu yang diinginkan Rangga. Membuat lawan kesakitan serta penasaran. Kalau sudah mengamuk hebat, maka saat itu dia akan semakin mempermainkannya.
'Yeaaa...!"
Dengan membentak garang, Gardika kembali menerjang. Namun, Rangga telah siap menyambut. Golok di tangannya berkelebat secepat kilat menerobos pertahanan, membabat leher, lalu pindah ke pangkal lengan.
Trang! Ketika baru saja terjadi benturan senjata, Gardika segera jumpalitan. Dicobanya menghajar Pendekar Rajawali Sakti lewat dua telapak kakinya.
"Hup!"
Tapi Rangga cepat melejit gesit. Goloknya cepat menikam ke jantung Gardika. Terpaksa makhluk aneh ini bergulir ke kiri. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengayunkan sebelah kakinya menghantam pinggang.
Duk! "Aaakh...!"
Tendangan yang dilepaskan Rangga keras bukan main laksana hantaman bandul besi yang be-ratnya puluhan kati. Gardika menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar ke samping.
"Hiyaaa!"
Rangga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung tubuhnya berkelebat mengejar. Goloknya dikebutkan ke leher, namun masih sempat ditangkis Gardika.
"Hiih...!"?????
"Hup...!"
Bahkan dengan gemas, Gardika menyodok perut Rangga lewat tendangan beruntun. Namun, Pendekar Rajawali Sakti keburu mencelat ke atas, sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.
"Hiih!"
Golok Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebat menyambar leher. Namun Gardika cepat berbalik seraya menyabetkan pedangnya untuk menangkis.
Trang! Golok Rangga terus menekan. Dan bersamaan dengan itu, kedua kakinya menyodok ke dada, membuat Gardika kerepotan. Cepat makhluk aneh ini mencelat ke samping.
Rangga segera mengikuti sambil memutar tubuh. Kedua kakinya bergerak cepat silih berganti. Dan tiba-tiba kakinya menyusup ke bawah secara tak terduga. Lalu....
Duk! Des! "Aaakh...!"
Kembali Gardika menjerit kesakitan ketika tendangan beruntun Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada dan perut. Tubuhnya kontan bergulingan beberapa langkah. Dan ketika berusaha bangkit, tendangan Rangga kembali bersarang di kepalanya.
"Bangsat!" desis Gardika geram seraya membabatkan pedang.
Dalam keadaan kepala agak pusing seperti sekarang, maka babatan makhluk aneh ini tidak terarah. Sehingga, Rangga mampu menghindarinya dengan berkelit ke samping dan kembali menyarangkan pukulan.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Gardika terlempar ke belakang, sampai ter-jerembab ke belakang. Namun daya tahan tubuh-nya amat mengagumkan. Meski terhuyung-huyung, Gardika cepat bangkit dan siap menyerang kembali.
"Hm.... Hebat juga daya tahan tubuhmu!" puji Rangga.
"Huh!"
Gardika tidak meladeninya. Hatinya penuh amarah. Hanya satu keinginan yang ada di kepalanya. Membunuh pemuda itu secepatnya! Maka tanpa ayal lagi dia langsung meluruk sambil melepas pukulan jarak jauh.
"Mampus kau! Yeaaa...!"
"Uts!"
Jderrr! ? *** ? Pukulan maut milik Gardika ternyata berupa sebongkah pusaran angin yang bergerak cepat. Rangga terkejut. Meski hanya bentuk angin, tapi kalau sampai menghantam tubuh bisa dibuat remuk. Terbukti sebatang kayu tumbang dihantam pukulan itu ketika Rangga lompat menghindarinya.
"Yeaaa...!"
Melihat pukulan pertamanya gagal, Gardika semakin penasaran. Kembali dihantamnya Pen-dekar Rajawali Sakti dengan pukulan jarak jauh.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti segera menjatuhkan diri, sehingga pukulan jarak jauh itu lewat dua jengkal di atas punggungnya, menerabas apa saja yang dilewati. Bahkan punggungnya terasa seperti membentur benda yang cukup keras, meski cuma kebagian desir anginnya saja.
"Hm.... Membahayakan...!" gumam Pendekar Rajawali Sakti, begitu bangkit berdiri.
"Yeaaa...!"
Gardika kembali meluruk, terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebelum sampai, Rangga telah melesat dengan merunduk ke bawah. Langsung ditikamnya perut makhluk aneh itu dengan golok sekuat tenaga, ?
Buk...! "Aaakh...!"
Meski tidak mampu menembus kulit tubuhnya, tapi Gardika merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya mental dan terhuyung-huyung ke belakang. Lalu secepat itu pula Rangga melempar goloknya, Dan seketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut.
Sring! Begitu pedang yang bersinar biru berkilau itu tercabut, Rangga kembali meluruk deras.
"Hiyaaa...!"
Kemudian secepat kilat pedang itu berkelebat memapak kedua kald Gardika.
"Aaakh...!"
Gardika terpekik kesakitan. Kedua kakinya kontan putus dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kendati demikian dia masih mampu berdiri di atas dua kakinya yang lain.
Rangga sendiri tak memberi ampun lagi. Tubuhnya kembali berkelebat sambil menusukkan pedangnya ke perut Gardika.
Crab! "Aaakh...!"
Kembali makhluk itu memekik kesakitan. Pedang Rangga menembus perut sampai ke bagian belakang. Darah hitam memancur dari luka serta perut Gardika. Dua pasang matanya membelalak seperti hendak keluar dari sarangnya.
"Nenek, tolong aku...! Tolong akuuu...!" teriak Gardika sambil berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Hhh...!"
Rangga menghela napas pendek seraya me-nyarungkan pedangnya. Dia kelihatan tidak berrniat untuk mengejar
"Kenapa kau tidak menghabisinya sekaligus, Anak Muda?" tanya Ki Aswatama yang keadaannya kini agak membaik.
"Dia akan mati tidak lama lagi...," sahut Rangga, yakin.
"Gerakannya masih gesit. Rasanya dia akan bisa hidup seribu tahun lagi."
Rangga tersenyum.
"Kekuatannya hanya karena dia memiliki ilmu kebal. Tapi, tidak lama. Karena beberapa saat kemudian, dia akan kehabisan darah lalu tak ber-daya. Lagi pula ada yang lebih penting," jelas Rangga.
"Apa itu?"
"Tidakkah kau dengar kata-katanya yang terakhir" Dia memanggil seseorang."
"Ya, neneknya. Tapi, apa anehnya" Mungkin dia teringat pada neneknya yang sangat menya-yanginya."
"Tidak! Neneknya yang telah meracuni pikiran-nya."
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Naluri."
"Cuma naluri?" tanya Ki Aswatama, seperti menganggap enteng.
"Naluri yang didasarkan pengalaman, Ki. Nah! Uruslah yang lain. Aku pergi dulu!"
"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau"!" teriak Ki Aswatama, ketika melihat pemuda itu menghampiri kudanya.
"Membasmi pohon harus sampai ke akar-akar-nya," sahut Rangga tenang, seraya melompat ke punggung kudanya.
"Apa maksudmu?"
"Akan kuikuti dia dan kutemukan neneknya itu. Bila perlu, neneknya mesti bertanggung jawab atas perbuatannya."
Setelah berkata begitu, Rangga cepat menggebah Dewa Bayu meninggalkan Ki Aswatama yang masih bengong memandangnya.
? *** ? Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Keadaan Gardika memang amat gawat. Darahnya terus mengucur terus sepanjang jalan. Apalagi karena mengerahkan tenaga kelewat banyak untuk berlari kencang. Sepanjang jalan, dia terus berteriak-teriak memanggil neneknya.
"Nenek, tolong aku! Tolong aku...!"
Tanpa diketahuinya, pada jarak tertentu, Pendekar Rajawali Sakti mengikuti ke mana saja makhluk aneh itu melangkah.
"Hm.... Sungguh hebat daya tahannya!" puji pemuda itu setengah bergumam.
Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang beralasan. Sebab telah sampai sepe-nanakan nasi, Gardika belum juga roboh. Padahal, darahnya terus menetes. Kedua wajahnya mulai pucat seperti mayat. Tubuhnya menggigil menahan rasa sakit hebat.
Setelah beberapa waktu kemudian, Gardika tiba di pinggiran Hutan Kemojang. Desa Klawing di pinggir hutan yang juga pernah diobrak-abriknya kini sepi seperti perkampungan mati. Rumah-rumah hangus masih terlihat seperti beberapa waktu yang lalu.
Mendadak langkah Gardika tercekat, ketika seorang laki-laki tua berdiri tegak menghadang. Wajah suram dan rambutnya acak-acakan diikat sehelai kain lusuh. Pakaiannya sederhana seperti layaknya penduduk desa. Usianya sekitar empat puluh tujuh tahun.
"Si..., siapa kau"!" bentak Gardika dengan suara gemetar.
Laki-laki itu tidak menjawab. Matanya memandang Gardika dengan perasaan sayang serta cemas melihat luka di perut dan dua kaki yang buntung.
"Siapa kau"!" bentak Gardika lagi.
"Kau mungkin tidak akan mengenaliku. Tapi, aku adalah ayahmu, Nak...," sahut laki-laki itu dengan suara lirih. Dia tak lain dari Katmani.
Memang setelah tujuh belas tahun menderita karena berbuat salah dengan tak mengakui Gardika sebagai anak, Katmani jadi tertekan batinnya. Namun dia berusaha menahan rasa ragu-ragunya. Apalagi ketika menyadari kalau anaknya kini diburu-buru orang-orang persilatan. Seorang anak yang sebenarnya tak berdosa, namun karena didikan tokoh sesat, anak itu berubah berjiwa iblis.
"Ayah" Aku tidak kenal ayahku!" tolak Gardika, tegas.
"Tentu saja! Sebab sejak orok kau telah diambil dukun keparat itu!" dalih Katmani.
"Hei" Jangan sembarangan kau bicara! Siapa yang kau maksudkan sebagai dukun keparat itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan Nyai Warengket"!"
"Kurang ajar! Lancang betul kau menghina nenekku!"
Dengan mendengus geram Gardika coba melompat menyerang laki-laki yang sebenarnya ayahnya. Namun langkahnya tersendat oleh rasa sakit. Tubuh Gardika membungkuk menahan rasa sakit hebat.
"Percayalah, Nak! Kau anakku! Namaku Katmani dan ibumu Lastri. Kalau kau tak percaya, tanyakan kepada dukun keparat itu! Dia menculikmu ketika kau baru saja dilahirkan!" seru laki-laki itu seraya mendekat dua langkah.
Gardika kembali memandang laki-laki itu sambil berusaha tegak.
"Be..., benarkah...?" tanya Gardika lirih.
"Tentu saja! Kau lahir dalam keadaan seperti ini, karena kutukan dari Nyai Warengket. Dan waktu itu, semua terkejut. Termasuk aku. Lalu Nyi Warengket tiba-tiba muncul kembali dan membawamu. pergi. Kami tak kuasa menolongmu, karena perempuan tua itu berilmu tinggi," jelas Katmani.
Gardika terdiam. Dipandanginya laki-laki itu di depannya. Wajah mereka sama sekali tak mirip. Namun laki-laki itu bicara dengan sungguh-sungguh.
'Ya, Nak. Kau anakku...," lirih suara Katmani.
"Lalu, ke mana ibuku?" tanya Gardika.
"Dia telah pergi mendahului kita beberapa tahun lalu...."
"Pergi" Apa maksudmu pergi mendahului kita?"
"Beliau terus teringat padamu, sampai-sampai lupa mengurus dirinya. Akhirnya dia digerogoti penyakit dan meninggal dunia..." jelas Katmani.
"Meninggal dunia?" gumam Gardika.
Kata yang sama artinya dengan mati, tewas, atau mampus itu tidak asing di telinga Gardika. Bahkan telah menjadi santapannya sehari-hari seperti barang mainan. Tapi tidak untuk kali ini. Seolah-olah kata itu mengandung arti yang menu-suk hati. Ibunya mati karena memikirkannya"
"Kenapa kau tidak membawanya untuk men-cariku?" tanya Gardika.
"Berarti kau menginginkan kematian kami di-percepat," kilah Katmani.
"Apa maksudnya?"
"Mana mungkin Nyai Warengket mau menyerahkan kau kepadaku. Sekali sesuatu berada di tangannya, maka orang lain tidak akan bisa merampasnya."
"Lalu apa yang kau kerjakan di sini?"
"Menunggu tentunya...."
"Menungguku...?" tanya Gardika.
Wajah makhluk aneh ini berkerut menahan rasa sakit hebat. Dan kedua kakinya yang tersisa rasanya tidak kuat lagi memikul beban tubuhnya.
"Ohh...!"
"Kau tidak apa-apa, Anakku"!" tanya Katmani cemas, seraya menghampirinya.
"Aku..., aku! Ah! Rasanya hidupku tidak akan lama lagi. Ayah...," desah Gardika, mulai memanggil ayah pada Katmani.
"Kuatkan dirimu, Nak. Kau akan selamat!"
"Tidak! Aku terlalu banyak membuat kem-suhan dan kerusakan di mana-mana. Orang-orang tentu senang kalau aku mati?"
Katmani tertunduk. Sementara ini, dia tak tahu apa yang akan dilakukannya.
'Ya..., kedatanganku ke sini pun karena itu. Kudengar orang yang membuat rusuh dan korban di mana-mana itu mempunyai bentuk tubuh seperti anakku. Maka kuputuskan untuk menunggu di desa kelahiranmu ini."
"Jadi di desa ini aku dilahirkan?" tanya Gardika semakin lemah.
Katmani mengangguk.
"Ah! Mereka orang-orang yang tak bersalah tentu tidak akan mengampuni dosa-dosaku di akherat sana...," gumam Gardika pahit.
"Setiap manusia yang bertobat, niscaya akan diampuni dosanya bila bersungguh-sungguh."
Gardika mengeluh pendek mendengar nasihat ayahnya.
"Dosa-dosaku kelewat banyak...," desah Gardika lirih.
"Kau harus tabah, Anakku."
Pada saat itu Gardika merasakan seseorang tegak berdiri di dekat mereka. Dia berusaha me-noleh. Dan wajahnya tampak gembira ketika melihat siapa yang muncul.
"Nenek...!" seru Gardika seraya berusaha bangkit menghampiri.
Sebaliknya, timbul kebencian Katmani ketika melihat siapa yang muncul. Dialah perempuan yang selama ini dianggap telah menghancurkan keutuhan keluarganya.
"Perempuan terkutuk! Kau telah memperalat anakku demi memuaskan nafsu angkara murka-mu!" desis Katmani geram.
Perempuan tua yang baru muncul itu memang Nyai Warengket. Matanya memandang tajam pada laki-laki di dekatnya sambil menyungging senyum sinis.
"He he he...! Katmani! Ternyata kau masih bercokol di muka bumi ini. Mestinya kau telah mampus. Tapi, biarlah hari ini kau kukirim ke neraka!"
? *** ? 8 ? "Nenek, tahan!" seru Gardika, ketika melihat Nyai Warengket siap turun tangan menghabisi Katmani.
"Apa maumu"!" dengus perempuan itu.
"Benarkah ceritanya itu...?" tuntut Gardika dengan suara semakin lirih.
"Cerita busuk apa yang kau dengar darinya"!" bentak Nyai Warengket.
"Perempuan keparat! Berterus teranglah kepadanya!" bentak Katmani. "Kau telah menculiknya dari kami ketika dia masih bayi!"
"Huh! Siapa kau" Lancang betul mengarang cerita palsu itu"!"
"Dukun keparat!' Kalau kepada orang lain kau bisa mungkir, tapi tidak kepadaku! Dia anakku. Katakan padanya!" sahut Katmani dengan suara tetap garang.
Untuk sesaat Nyai Warengket tidak menjawab. Melainkan memandang laki-laki itu denga sinar mata penuh kebencian.
"Nenek! Benarkah kata-katanya?" tanya Gardika, semakin lemah.
"Apa untungmu mengakuinya sebagai ayahmu kalau ternyata dulu dia sempat mengingkarimu?" tanya perempuan tua itu, dingin.
"Apa maksudmu" Oh! Berarti benar aku anaknya?" tanya Gardika, bingung.
"Kau memang benar anaknya. Tapi, tanyakan pula padanya kalau dia mengingkarimu ketika melihat keadaanmu seperti ini!" tuding Nyai Warengket.
Katmani tidak berani menjawab ketika melihat Gardika memandangnya penuh rasa ingin tahu.
"Benarkah semua itu. Ayah?" tuntut Gardika.
"Memang, pada mulanya aku belum bisa menerima keadaanmu karena amat mengagetkan. Tapi belakangan aku sadar walau bagaimanapun wujudmu, kau adalah anakku. Dan itu akibat kutukan Nyai Warengket itu sendiri. Tapi sebelum segala sesuatunya beres, perempuan tua ini telah menculikmu...," sahut Katmani lirih, setelah menghela napas sesak.
Mendengar itu, Gardika mengeluh panjang. Dan rasa sakit yang dideritanya semakin menghentak-hentak, mengejutkan Nyai Warengket yang belum sempat memeriksa lukanya.
"Astaga! Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, Gardika"!" sentak perempuan tua itu.
"Ohh.... Itu tidak perlu, Nek..," tolak Gardika.
"Katakan padaku, siapa yang telah berbuat begini kepadamu"! Orang itu harus menerima pembalasan dariku!" dengus Nyai Warengket.
"Sudahlah, Nek. Dosaku memang telah kelewat banyak. Dan sudah sepatutnya aku mendapat ganjaran...."
"Tidak! Aku tidak akan tenang sebelum orang itu mendapat balasan setimpal dariku. Katakan padaku, siapa dia"!"
"Ohh...!"
Gardika mengeluh pendek. Dan wajahnya yang pucat pasi seperti mayat berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Gardika! Siapa yang melakukan ini padamu"! Ayo, katakan! Siapa"!" desak perempuan tua ini sambil mengguncang-guncang cucu angkatnya yang tengah sekarat.
"Jangan kau ganggu lagi! Dia tengah sekarat!" teriak Katmani mencegah perbuatan Nyai Warengket.
Dengan geram Nyai Warengket mengayunkan, tangan menampar laki-laki itu. Plak!
"Aaakh...!"
Katmani kontan bergulingan sambil mengeluh kesakitan menerima tamparan yang keras bukan main.
"Jangan ikut campur urusanku. Atau, kepala-mu akan kupecahkan"!" ancam nenek ini.
Mendengar ancaman itu mengkeret juga nyali Katmani. Dia diam memperhatikan mereka berdua. Juga, tidak berani mencegah lagi ketika Nyai Warengket mendesak Gardika.
"Ayo katakan padaku, siapa yang telah membuatmu jadi begini"! Katakan, Gardika! Ayo, kata-kan! Biar kubalaskan dendammu!"
"Tidak perlu. Nek..."
"Terkutuk kau! Tidak kuanggap kau sebagai cucu dan muridku, jika tidak mengatakan siapa yang telah membuatmu jadi begini!" ancam Nyai Warengket.
Selain takut, Gardika juga sayang pada perempuan tua ini. Karena dia tahu perempuan tua itulah orang yang telah membesarkannya dan sekaligus gurunya. Maka ancamannya untuk tidak diakui sebagai cucu dan murid, sempat menggugah hatinya.
"Ayo, katakan! Siapa dia"!" bentak Nyai Warengket lagi.
"Dia..., seorang pemuda yang mengenakan rompi putih...," jelas Gardika terbata-bata.
"Apa"! Pendekar terkutuk itu"!" semprot Nyai Warengket dengan mata melotot lebar.????
"Dia hebat sekali. Nek..."
"Keparat! Di mana dia sekarang"!"
"Kutemui dia di Desa Bamban, Nek..."
"Pendekar Rajawali Sakti! Tunggulah pem-balasanku. Kau akan menerima kematianmu!" de-ngus Nyai Warengket sambil mengepalkan buku-buku jarinya.
"Kurasa kau tak perlu repot-repot mencarinya. Dia telah berada di sini Nyai Warengket!"
"Hei"!"
? *** ? Perempuan tua ini cepat berpaling. Dan dia melihat sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang tersandang di punggung.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Rupanya aku tidak susah-susah lagi mencarimu di sini, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Nyai Warengket.
"Begitu juga aku! Kaulah biang kerusuhan di balik semua ini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat!"
Nyai Warengket membentak marah. Dan bersamaan dengan itu, tongkatnya menyapu deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!"
Rangga mencelat ke atas, tapi tongkat perempuan tua itu terus mengejarnya. Bahkan ketika pemuda itu mencelat ke belakang, ujung tongkat terus mengikuti dan mengancam keselamatannya.
"Kupecahan kepalamu, Bocah!"
"Jangan takabur. Nek!"
"Yeaaa...!"
Nyai Warengket tidak mempedulikan ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus mengebutkan tongkat hingga bergulung-gulung menimbulkan pusaran angin kencang. Dan di lain saat, tiba-tiba saja tongkat itu menghujam secepat kilat ke perut dan dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga pun tidak mau dijadikan sasaran empuk senjata perempuan tua ini. Tubuhnya bergerak cepat dengan mengerahkan segenap kelincahan dalam jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Bet! Wut!????? "Yeaaa...!"
Meski tongkat di tangan Nyai Warengket bergerak secepat kilat, namun Pendekar Rajawali Sakti pun tidak kalah gesit menghindar. Bahkan sekali waktu tiba-tiba menyerang dengan, cara tak terduga. Hal itu membuat perempuan tua itu gemas bukan main.
"Terimalah jurus 'Angin Puyuh Mengamuk' mi-likku. Yeaaa...!"
Karena jengkel, Nyai Warengket sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus andalannya. Seketika kedua tangannya menghentak.
Wusss...! "Aaah...!"
Rangga mengeluh tertahan. Meski pukulan itu tidak mengenainya, tapi desir anginnya saja cukup membuat tubuhnya bergeser ke belakang. Pemuda itu jungkir balik beberapa kali, lalu mencelat ke samping menjauhi.
"Mampus kau!"
Nyai Warengket menggeram. Lalu tubuhnya meluruk sambil menyapukan tongkatnya. Namun Rangga yang berdiri tegak telah mengangkat tangannya ke arah pedang. Lalu....
Sring! "Kita lihat, apakah tongkat bututmu itu mampu mengalahkan pedangku ini!" desis Rangga ketika telah mencabut pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung dipapakinya serangan tongkat itu.
"Hei"!"
Nyai Warengket sedikit terkejut melihat pamor pedang yang bercahaya biru. Tenaga dalamnya segera dikerahkan sepenuhnya dan dialirkan ke tongkatnya.
Tak! "Uhhh...!"
Nyai Warengket terbelalak kaget. Serangannya seperti membentur benda kuat lagi tajam. Tongkatnya berderak patah, meski tidak langsung putus. Dan bersamaan dengan itu, pedang Rangga terus meluncur deras menyambar leher.
Masih untung perempuan tua itu mampu ber-gerak cepat ke belakang. Namun angin sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tajam terasa mengiris-iris kulit tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Rangga membentak keras. Dan tubuhnya terns meluruk mengejar.
"Bajingan terkutuk! Pedang bocah itu ternyata tidak bisa dibuat main-main!" dengus perempuan tua itu.
Bet! "Siluman Membakar Diri...! Hihhh...!"
Dalam keadaan terdesak begitu, Nyai Wareng-ket mengeluarkan pukulan terampuhnya. Kedua tangannya cepat menghentak.
Wusss...! Seketika dari kedua telapaknya mencelat cahaya kuning kemerahan laksana kilatan petir me-nyambar Pendekar Rajawali Sakti.
Bruesss...! "Uh, sial!" umpat Rangga seraya menjatuhkan diri dan bergulingan ketika pukulan Nyai Warengket nyaris menyapu tubuhnya.
Akibat yang ditimbulkan pukulan itu luar biasa hebat. Sinar kuning kemerahan itu menerabas apa saja yang menghalanginya. Hangus terbakar dan ambruk seketika.
"Yeaaa...!"
Kembali Nyai Warengket membentak keras seraya melancarkan pukulan mautnya.
Siuuut! Bruesss! "Hm.... Tidak bisa didiamkan!" gumam Pendekar Rajawali Sakti ketika hampir saja sinar kuning kemerahan itu meremukkan tubuhnya.
Tubuh Rangga bergulingan beberapa kali, ke-mudian mencelat ke atas dengan telapak tangan kiri mengusap batang pedang.
Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeaaa...!"
Pada saat yang sama Nyai Warengket melihat kesempatan baik. Segera digunakannya sebaik-baiknya. Dalam keadaan mengapung begitu, akan sulit bagi lawan untuk menghindar dari hajarannya. Maka dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut untuk yang ketiga kalinya.
Wusss...! Tapi pada saat itu pula justru Rangga tengah mempersiapkan diri untuk membalas serangan. Maka begitu melihat Nyai Warengket telah melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti segera memasukkan pedangnya ke warangka. Sementara, kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau sebesar kepala bayi. Lalu.....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan' dengan tenaga dalam amat tinggi.
Siuttt! Jderrr...! Kedua pukulan bertenaga dalam tinggi itu saling beradu, menimbulkan ledakan keras menggelegar. Bunga api dan asap hitam tampak menyembul di tengah, tepat terjadinya benturan.
Wusss...! Namun, cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti terus menerobos. Bahkan....
Blarrr...! "Aaa...!"
Tubuh Nyai Warengket kontan terpental, tatkala cahaya biru itu menggulung dirinya. Terdengar pekikan panjang yang keluar dari mulutnya. Beberapa buah pohon yang dilanda tubuhnya hancur berantakan, dan hangus terbakar terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara Nyai Warengket diam tak berkutik ketika tubuhnya membentur pohon yang terakhir. Tamat sudah riwayatnya.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas panjang sambil tetap memandang tubuh perempuan tua itu yang telah gosong. Lalu perlahan-lahan perhatiannya dialihkan pada Gardika yang tengah dipangku Katmani.
? *** ? Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti tak tahu harus berkata apa. Laki-laki di depannya itu adalah ayah Gardika, orang yang tewas karena perbuatannya. Apa yang bisa dilakukannya selain berdiri mematung memandangi ayah dan anak itu"
"Maaf.... Kau mungkin tidak suka melihat-ku...."
Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.
"Hatiku tidak seperti yang kau duga, AnakMuda. Aku telah menerima semua ini dengan lapang dada...," desah Katmani lirih.
Rangga terdiam sejenak.
"Ini telah menjadi takdirku yang tidak bisa dielakkan. Meski aku sedih, karena kematian anak-ku yang sejak bayi, ?" sekali ini lagi kutemui. Tapi, aku tidak menyalahkanmu...," lanjut Katmani lesu.
"Telah banyak korban yang ditimbulkannya. Dia haus darah...," ucap Rangga hati-hati.
Katmani mengangguk.
"Sebelum ajalnya dia akui hal itu...."
"Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengam-puni segala kesalahannya...."
"Terima kasih, Anak Muda."
Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Dia telah tiada. Maukah kau kalau aku mem-bantumu menguburkannya?" kata Rangga mena-warkan diri.
"Terimakasih.... Biar kulakukan sendiri," sahut Katmani.
"Akan kau bawa ke mana?" tanya Rangga.
"Akan kumakamkan di samping makam ibunya...," sahut Katmani getir.
"Di mana makam ibunya" Di desa ini juga?" Katmani mengangguk.
Rangga menghela napas sesak, dan belum be-ranjak dari tempatnya.
"Aku tahu perasaanmu, Anak Muda. Tapi tidak usah merasa bersalah. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ikhlas menerima semua ini?"
"Ya, aku mengerti. Tapi, izinkan aku melihat upacara? pemakamannya...."
"Aku tidak menguburkan anakku dengan upacara segala...."
Rangga terdiam.
"Dan kalau kau tidak keberatan, bisakah kau meninggalkan kami berdua di sini?" usir Katmani, halus.
Rangga kembali tak menjawab. Kepalanya me-noleh ke samping, melihat kuda hitam yang berjalan pelan mendekati. Kemudian dengan langkah berat dihampirinya Dewa Bayu.
"Kisanak...," panggil Pendekar Rajawali Sakti setelah melompat ke punggung kuda.
Dan Katmani menoleh.
"Bagaimanapun bencinya kau padaku, aku ingin agar kau sudi memaafkanku. Kubunuh dia bukan karena imbalan atau dendam pribadi. Karena jika tidak begitu, ketenangan orang banyak akan terancam olehnya," jelas Rangga, seperti kurang yakin dengan keikhlasan Katmani.
"Aku mengerti..."
"Terima kasih. Aku pergi dulu!"
Setelah berkata begitu, Rangga memutar kudanya, berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Ketika jaraknya cukup jauh, kudanya digebah dengan kencang.
"Heaaa...!"
Dalam waktu singkat Pendekar Rajawali Sakti telah hilang dari pandangan. Padahal saat itu Katmani masih memandang bayangannya yang telah menghilang dengan tatapan kosong dan wajah hampa.
? SELESAI ? Segera menyusul serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya :
KEMBANG LEMBAH DARAH
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pedang Hati Suci 2 Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Prahara Di Gunung Kematian 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama