Ceritasilat Novel Online

Kitab Pelebur Jiwa 1

Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa Bagian 1


. 203. Kitab Pelebur Jiwa ~ Bag. 1-3
16. Juni 2015 um 07:38
1 ? "Gila! Tempat apa ini"!" maki seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
Pemuda yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti ini mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tempat yang disinggahinya ini terasa demikian sunyi. Seakan-akan tidak ada kehidupan di sana. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya gumpalan kabut putih yang menghampar, bagaikan permadani dari kapas. Membentang luas tak terbatas.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian berjalan mengikuti jalan setapak yang sangat licin. Namun, tiba-tiba saja saat kakinya menginjak benda bulat memanjang tubuhnya tergelincir. Dia terguling-guling, dan langsung melayang-layang masuk ke dalam jurang. Rangga menjerit sekeras-kerasnya, namun gema suaranya lenyap seakan ditelan kehampaan.
Buuuk! "Huuugkh...!"
Pemuda berbaju rompi putih ini terhempas di atas batu-batuan cadas. Belum sempat bangkit berdiri, ribuan kalajengking mendadak menyerangnya. Mati-matian Rangga menyelamatkan diri sambil berusaha menghalau binatang-binatang menjijikkan itu. Kemudian tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, pemuda ini berlari dan terus berlari. Sampai akhirnya terdampar di sebuah tempat yang tak kalah asing.
Tempat yang sekarang ini menebarkan bau busuk, hingga membuat perut pemuda ini mual. Rangga segera memperhatikan suasana sekelilingnya. Sayup-sayup telinganya mendengar suara mencicit yang menyakitkan gendang-gendang telinga. Ketika pemuda berbaju rompi putih ini memandang ke arah cabang-cabang pohon di atasnya, terlihat ribuan pasang mata berwarna merah menyorot ke arahnya.
"Cieeet...!"
Kembali terdengar suara mencicit dan suara kepakan sayap. Tiba-tiba saja dari seluruh penjuru udara, ribuan ekor kelelawar menyerangnya dengan ganas.
Merasa dirinya terancam, Rangga segera melepaskan beberapa pukulan dahsyat ke arah kelelawar-kelelawar itu. Tetapi anehnya, tidak seekor pun yang mati.
"Kelelawar hantu..."!" desis Rangga, bingung sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera berlari kembali. Herannya, kelelawar-kelelawar itu tidak mengejarnya.
Kini Pendekar Rajawali Sakti sampai di sebuah tempat lain yang juga tidak kalah asingnya. Tempat itu juga diwarnai kabut. Hanya suasananya lebih tenang.
"Heh"! Tempat apa lagi ini?"
Rangga terkejut. Karena dia melihat begitu banyak batu nisan di sana. Di luar sepengetahuannya tanah di depannya bergerak-gerak. Sementara batu-batu nisan pun bergetar. Seakan, ada sesuatu yang menggerakkan nisan dari dalam. Lalu....
Brooot...! Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur, ketika dari dalam tanah muncul beberapa pasang tangan berlendir dan menebarkan bau busuk berusaha menggapai ke arahnya.
Kemunculan tangan itu disusul bagian-bagian tubuh lainnya. Dan semua ini terasa begitu mengerikan. Karena, bagian-bagian tubuh itu juga berlendir, berwarna hijau!
Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak. Keadaan mereka yang berbeda-beda membuat pemandangan makin menggidikkan. Dan mereka lebih pantas bila disebut mayat hidup dari dasar neraka!
"Bunuh! Bunuh! Bunuh!" seru salah satu mayat hidup.
"Heaaa...!"
Melihat puluhan mayat hidup itu menyerangnya, Rangga segera menghadapi. Dihalaunya serangan mereka dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib", salah satu jurus yang digunakan untuk menghindari serangan.
"Heh"! Rasanya percuma aku menghadapi mereka. Dan tidak ada salahnya jika aku menghindar saja dulu!" pikir Rangga.
Tidak ada pilihan lain bagi Rangga. Akhirnya dibuka jalan kekerasan untuk dapat keluar dari kepungan. Langsung dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti".
"Hiyaaa...!" .
Rangga segera menerjang beberapa mayat yang berada paling depan. Kedua tangannya yang terkepal berkelebatan menghantam. Tetapi, mayat-mayat itu segera menghindarinya dengan cara melompat ke samping.
Wuuut! Tap! Bahkan dari dalam tanah, muncul berpasang-pasang tangan yang langsung menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Ohhh...!"
Rangga mengeluh tertahan, ketika tangan-tangan berlendir bau busuk ini terus menariknya dengan kekuatan dahsyat.
"Heaaa...!"
Rangga berteriak-teriak sambil meronta.
Pada saat berteriak-teriak seperti itu, tiba-tiba sebuah tangan yang teramat dingin menyentuh bahunya.
*** "Heh..."!"
Rangga tersentak kaget. Begitu matanya membuka ternyata dirinya telah berada di bawah sebatang pohon beringin besar. Yang lebih mengejutkan lagi, tahu-tahu di depannya berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih dan berambut putih. Tubuhnya kerdil. Sinar matanya lembut, seperti menyentuh sanubari! Dan sebenarnya, dia memang tidak pernah lepas dari senyum.
"Siapa kau, Ki?" tanya Rangga.
"He he he...! Aku Ki Renta Alam...!" sahut laki-laki tua berbadan kerdil sambil tertawa-tawa.
"Mengapa aku berada di sini?" tanya Rangga heran sendiri.
"Lho" Kok malah tanya" Itu urusanmu sendiri...," jawab kakek kerdil itu seenaknya.
"Tapi...."
"Tidak perlu kau ceritakan! Aku sudah tahu tentang masalah mimpimu," potong Ki Renta Alam.
Rangga terkejut bukan main mendengar ucapan Ki Renta Alam. Sungguh tidak disangka kalau kakek kerdil ini mempunyai kemampuan yang sangat jarang dimiliki orang lain.
"Lalu bagaimana, Ki?" tanya Rangga bingung.
"Menurut mimpimu, kau akan menghadapi seorang musuh besar yang berkepandaian hebat. Pergilah menuju matahari terbit. Nanti di sana kau akan menemukan petunjuk. Perlu ku ingatkan padamu, kau harus berhati-hati!" pesan Ki Renta Alam.
"Siapa musuh besarku yang kau maksudkan, Ki" Apakah dia punya dendam padaku?" tanya Rangga tertarik.
"Pertanyaanmu banyak sekali" Begini saja biar kujelaskan satu persatu!" ujar Ki Renta Alam. "Sebenarnya musuhmu itu tidak punya dendam denganmu. Hanya saja, dia mempelajari apa yang kau miliki secara diam-diam. Setelah bertahun kemudian, diciptakannya jurus-jurus maut yang dapat menandingi semua kesaktianmu!"
"Dapatkah kau katakan padaku siapa orang itu, Ki?" desak Rangga sudah tidak sabar.
Yang ditanya langsung tersenyum sambil menggaruk rambutnya.
"Dia seorang iblis! Rajanya manusia sesat. Bapak moyangnya angkara murka, dan kakek moyangnya kejahatan! Dia punya dua kepala, empat mata, dan empat tangan. Kakinya hanya dua. Dan kesaktiannya sulit dijajaki," jelas Ki Renta Alam.
"Lalu...?"
"Lalu kau harus mencarinya. Kemudian, kalau perlu basmi sampai ke akar-akarnya!" lanjut kakek berbadan cebol ini tegas.
"Menurutmu, dia punya kepandaian tinggi. Mungkinkah aku dapat menghancurkannya?" tanya Rangga. Entah mengapa, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti merasa seperti orang bodoh dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.
"Ha ha ha...! Kalau bukan dia yang hancur, tentu kau yang mati. Sudah kukatakan, ilmunya sangat tinggi. Tapi jika kau membiarkannya tentu akan banyak korban yang berjatuhan. Padahal, kau yang diinginkannya. Kalau orang-orang mati di tangan musuhmu itu, bukankah kau harus menanggung-dosa mereka?"
Rangga terdiam. Penjelasan Ki Renta Alam memang dapat dimengerti. Namun masih banyak hal yang belum diketahuinya.
"Kalau boleh kutanyakan padamu, apakah iblis itu punya murid atau mungkin utusan?" Tanya Rangga.
"Tentu saja! Namanya Bara Genta. Dan yang paling berbahaya lagi, mempunyai Kitab Pelebur Jiwa!" papar Ki Renta Alam.
"Kitab Pelebur Jiwa?" tanya Rangga.
"Ya.... Kitab itu seperti mempunyai sukma dan raga. Di dalamnya terkandung kekuatan dahsyat. Sehingga bila seseorang menginginkan sesuatu, maka akan segera terkabul."
"Mengapa bisa begitu" Belum pernah aku mendengar ada sebuah kitab yang memiliki kekuatan iblis, dan dapat pergi ke mana-mana!" sergah Rangga tidak percaya.
"Bukan kitabnya yang dapat pergi. Tetapi, kekuatan iblis yang terkandung di dalamnya yang dapat diperintah...!" jelas Ki Renta Alam.
"Jadi...!"
"Kau banyak bertanya seperti nenek pikun," dengus kakek cebol itu. "Sekarang juga, kau kupersilakan pergi melaksanakan tugasmu!" Lalu, Ki Renta Alam berjalan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Baru tiga langkah, tubuhnya sudah menghilang seakan raib ditelan bumi. Diam-diam Rangga terkejut.
"Hm.... Mungkinkah dia sebangsa makhluk halus...?" gumam Rangga.
? *** Sang Maha Tunggal menciptakan di dunia ini serba berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada laki-laki, dan ada pula perempuan. Begitu pula sifat-sifat yang diciptakannya. Ada baik, ada jahat. Ada iri, ada pula pasrah apa adanya. Ada duka, ada pula suka. Demikian pula yang terjadi pada manusia. Munculnya seorang pemuda di dunia persilatan yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, kedengkian dan iri hati telah merasuki jiwa seorang tokoh tua yang selama ini merasa jumawa dengan kepandaiannya. Tokoh-tokoh pada masanya tak ada yang tak pernah mendengar seorang tokoh sesat berjuluk Si Bayang-Bayang.
Entah karena apa, beberapa tahun belakangan ini tokoh itu telah mengasingkan diri. Dan tak ada yang tahu pula kalau dalam pengasingan dirinya, Si Bayang-Bayang justru menciptakan ilmu-ilmu pamungkasnya. Dan itu dimaksudkan untuk menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Kejumawaan Si Bayang-Bayang ternyata telah menyeretnya ke lembah kebencian. Merasa paling tinggi ilmunya, membuatnya ingin melenyapkan saingan satu-satunya dalam rimba persilatan. Pendekar Rajawali Sakti!
Untuk mengasingkan diri Si Bayang-Bayang mengambil tempat di Gua Seribu Malam yang letaknya persis di dasar Laut Utara. Laki-laki berusia sembilan puluh tahun ini berambut putih, memiliki dua kepala dan tangan. Dia memang mempunyai penglihatan tajam. Terbukti, tempat tinggalnya di dalam gua yang senantiasa dalam keadaan gelap dan tanpa penerangan sama sekali. Tak heran kalau gua itu dinamakan Gua Seribu Malam. Dalam kegelapan itu empat pasang mata Si Bayang-Bayang tampak bersinar seperti cahaya. Untuk sepak terjangnya kali ini, Si Bayang-Bayang yang bernama asli Rumbai Mangkulangit tak ingin terjun langsung dalam rimba persilatan. Oleh sebab itu dia lantas mengambil murid dari seorang bekas bajak laut yang diceburkan di Laut Utara. Namanya, Bara Genta.
Bara Genta yang diangkat menjadi murid sekitar enam tahun yang lalu, sekarang telah memiliki kemajuan sangat pesat. Baik dalam hal ilmu kanuragan, pukulan-pukulan sakti, maupun yang menyangkut penggunaan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.
Tampaknya, tokoh yang bergelar Si Bayang-Bayang ini memang sengaja menciptakan jurus-jurus maupun pukulan ampuh untuk memunahkan atau paling tidak, mengimbangi semua kehebatan Pendekar Rajawali Sakti.
Jadi tujuan tokoh itu cukup jelas. Dia sengaja ingin mempunyai seorang murid yang kepandaiannya melebihi Pendekar Rajawali Sakti. Jika muridnya nanti dapat membunuh lawannya, berarti orang yang merajai rimba persilatan bukan lagi dari golongan putih, tapi dari golongan hitam.
Dan Rumbai Mangkulangit percaya penuh kalau impiannya bakal terwujud. Itu karena dia telah menciptakan sebuah kitab yang diberi nama Pelebur Jiwa. Inilah kitab berisi ajaran-ajaran kesaktian tinggi yang diciptakan kakek berkepala dua itu.
Di dalam ruangan gua di bawah dasar Laut Utara yang tidak pernah mengenal siang dan malam, kini guru dan murid itu saling berhadapan-hadapan. Empat pasang mata memandang lurus ke arah pemuda berkulit gelap bernama Bara Genta yang kini duduk bersimpuh di lantai gua yang licin, namun menebarkan bau harum.
"Bara Genta! Sekarang sudah waktunya bagiku untuk menjelaskan kegunaan semua ilmu yang kau miliki. Pertama yang harus kutekankan padamu adalah kau harus membuat kekacauan di rimba persilatan! Kau boleh berbuat apa saja. Termasuk memiliki budak, mempunyai banyak istri, atau mengumpulkan gadis yang kau sukai. Semua harus tunduk pada perintahmu! Mereka yang membangkang adalah musuhmu. Tapi, musuh utamamu hanyalah Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itu, kau harus membunuhnya dengan menghalalkan segala macam cara! Ingat! Surgamu hanya di dunia ini saja. Jadi, selama kau hidup bila kiamat nanti tempatmu yang pasti adalah neraka. Maka ingat-ingatlah. Selama berada di atas dunia, puaskan seluruh kemauanmu. Puaskan nafsumu. Dan, puaskan segala yang kau ingini...!"
"Jadi setelah aku mati nanti, aku tidak punya harapan masuk surga?" potong Bara Genta, bertanya.
"Seperti perjanjian kita dulu, di rimba persilatan kau menciptakan neraka dunia bagi orang-orang. Makanya kutegaskan padamu, kesenanganmu hanya pada saat kau hidup di dunia ini. Yang terpenting, kau tidak melupakan tugas yang harus dikerjakan. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti! Bunuh..., bunuh..., bunuh...!" jelas Rumbai Mangkulangit, memberi perintah.
"Semua yang Guru perintahkan, tidak akan kulupakan. Kalau boleh aku akan segera berangkat, Guru!" sahut Bara Genta, mantap.
"Ha ha ha..,! Rupanya kau tidak sabar menunggu keberangkatanmu. Baiklah! Permintaanmu segera kukabulkan. Satu hal yang kau harus ingat, bila dalam keadaan terdesak, ingatlah pada Kitab Pelebur Jiwa. Begitu kau mengingat dan menyebutkan kemauanmu, maka pertolongan segera datang. Kitab itu ancaman bagi keselamatan orang lain! Tapi, penyelamat bagimu. Nah, sekarang pejamkanlah matamu!" perintah Rumbai Mangkulangit.
Bara Genta segera memejamkan matanya. Mula-mula yang didengarnya adalah suara angin ribut. Tanpa disadari tubuhnya melayang jauh. Kemudian tubuhnya tiba-tiba tercampak di suatu tempat. Sayup-sayup telinganya mendengar perintah agar matanya dibuka.
Bara Genta kemudian membuka matanya. Ternyata, sekarang dia sudah terdampar di pinggir pantai. Untuk pertama kalinya setelah berada di dalam Gua Seribu Malam, Bara Genta dapat menghirup udara segar. Dan pemuda berkulit gelap ini merasa sekaranglah saatnya untuk memulai petualangannya!
*** Ombak saling berkejar-kejaran menuju Pantai Pasir Tambi. Begitu kembali ke tengah laut, yang tertinggal hanyalah buih-buih yang langsung hilang diterpa angin. Irama ombak seperti tak bosan-bosannya menggoyang apa saja yang ada di sekitar pantai. Termasuk sebuah perahu yang tak terlalu besar yang baru saja ditambatkan di dermaga yang dibuat sederhana.
Penduduk Desa Pasir Tambi kenal betul pada laki-laki tua berpakaian serba hitam yang baru saja menambatkan perahunya. Bukan saja dikenal sebagai pelaut, namun laki-laki tua yang sering dipanggil Ki Wanayasa ini juga memiliki sebuah padepokan yang terletak di tengah desa. Padepokan Pasir Tambi.
Murid-murid Ki Wanayasa cukup banyak. Di samping itu, kepandaian laki-laki tua ini cukup tinggi. Maka tak heran bila para perampok enggan singgah di tempat ini. Mereka akan berpikir seribu kali bila harus berhadapan dengan Ki Wanayasa.
"Kakek...! Kek...!"
Sebuah suara merdu, membuat Ki Wanayasa berbalik. Dan dia melihat seorang gadis cantik berlari-lari menghampirinya dengan wajah tegang.
"Ada apa, Cucuku Sitoresmi" Mengapa mesti berteriak-teriak?" tukas Ki Wanayasa ketiga gadis yang ternyata cucunya tiba satu tombak di depannya.
"Kakek lihat! Orang-orang desa berlarian seperti sedang terjadi sesuatu di sana!" tunjuk gadis bernama Sitoresmi, langsung.
Ki Wanayasa cepat menoleh ke arah yang dimaksudkan gadis berwajah cantik dan berpakaian seperti halnya orang persilatan. Apa yang dikatakan cucunya memang benar. Para penduduk tampak berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama anak istrinya.
"Cepat kita ke sana!" ujar laki-laki berbadan tegap ini tanpa sempat membereskan ikan hasil tangkapannya.
Segera cucu dan kakek ini menghampiri salah satu penduduk yang tampak pergi dengan tergesa-gesa.
"Kartaran! Apa yang terjadi?" tanya Ki Wanayasa sambil memegang lengan seorang pemuda yang dalam keadaan ketakutan.
"Ki...! Sebaiknya kau ikut menyelamatkan diri bersama kami. Semua murid Padepokan Pasir Tambi telah tewas. Murid perempuan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda tidak dikenal. Ayo, Ki. Sebelum segala-galanya terlambat!" seru pemuda bernama Kartaran ketakutan.
Padepokan Pasir Tambi adalah padepokan yang telah dibangun Ki Wanayasa selama dua puluh tahun. Itu bukan pekerjaan sembarang. Maka apa yang terjadi di sana menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, tanpa menghiraukan ucapan Kartaran, Ki Wanayasa langsung mengajak cucunya untuk kembali ke padepokan secepat mungkin.
Ki Wanayasa dan Sitoresmi segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk melesat secepatnya. Karena tak begitu jauh, maka dalam waktu tidak lama mereka telah sampai di depan padepokan.
Di halaman padepokan, Ki Wanayasa melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan. Darah menggenang membasahi tempat itu. Beberapa murid perempuan tergeletak, tanpa selembar pakaian pun. Sedangkan tepat pada bagian jantung, terdapat sebuah luka menganga.
Ki Wanayasa menjadi sangat m??? arah. Pipinya menggembung, pertanda darahnya mendidih seperti terbakar. Segera diperiksanya murid-muridnya yang lain. Tetapi, rupanya tidak satu pun dari mereka yang hidup. Kenyataan ini sungguh mengenaskan! Bertahun-tahun Padepokan Pasir Tambi dalam keadaan damai, namun kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah!
*** ? 2 ? Ki Wanayasa geram sekali melihat pemandangan di depan matanya. Entah, iblis biadab mana yang telah melakukan perbuatan sekeji itu. Dia telah bertekad untuk mencari dan membuat perhitungan terhadap orang yang membantai murid-muridnya.
"Auuu... tolooong...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan dari dalam bangunan utama padepokan. Ki Wanayasa dapat menduga pastilah perempuan itu salah satu muridnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya berkelebat ke arah bangunan utama.
Ketika sampai di depan pintu pondok, Ki Wanayasa langsung mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Tapi....
Wuuut...! "Uts...!"
Bruk! Bruk! Tiga sosok tubuh melayang ke arah Ki Wanayasa, langsung menerobos ambang pintu. Ki Wanayasa telah menarik tubuhnya ke samping. Dan di depannya kini tampak tiga sosok tubuh wanita dalam keadaan telanjang bulat yang tak lain murid-murid perempuannya yang telah diperkosa dan dibunuh secara kejam. Hancur lebur macam bubur hati orang tua ini. Gerahamnya bergemeletukan pertanda kemarahannya sudah sampai puncaknya.
Ki Wanayasa baru saja berniat menerjang ke dalam, tapi tahu-tahu sesosok tubuh yang dalam keadaan telanjang kembali meluruk ke arahnya.
Buk! "Hekh...!"
Bukan main kuatnya tenaga dorong yang terkandung dalam luncuran sosok yang telah menjadi mayat itu. Sehingga membuat Ki Wanayasa hampir terjengkang tertimpa mayat murid perempuannya sendiri.
Untuk menjaga kemungkinan, Ki Wanayasa melompat ke halaman. Matanya nyalang, menyorot ke pintu bangunan utama padepokan.
"Setan Keparat! Iblis dari mana berani menghancurkan perguruanku"!" teriak laki-laki tua ini menggeledek.
Dari pintu tampak sesosok tubuh melesat keluar, dan mendarat di halaman padepokan. Kini, tampak jelas satu sosok bertelanjang dada. Seorang pemuda bercelana hitam berdiri tegak dengan sikap menantang. Rambutnya tak terurus seperti rambut orang gila. Tatapan matanya tajam menusuk, seperti mata harimau dalam gelap.
Sitoresmi yang melihat kemunculan pemuda itu langsung melompat menghadang. Namun wajahnya cepat dipalingkan ke arah lain. Rupanya laki-laki berkulit gelap itu lupa mengancingkan celananya. Sehingga barang keramatnya yang bergantungan sempat terlihat oleh gadis ini.
Sementara itu, Ki Wanayasa memperhatikan dengan sorot mata tajam pada pembunuh dan pemerkosa murid-muridnya. Sekilas saja, namun sudah memuakkan hatinya.
"Bangsat keji! Siapa kau"! Dan, apa salah kami, sehingga murid-muridku kau bunuh"!" bentak Ki Wanayasa.
"Ha ha ha...! Aku Bara Genta. Membunuh adalah pekerjaanku! Memperkosa adalah surgaku. Aku hanya ingin membangun sebuah neraka di dunia ini. Hm.... Apakah penjelasanku sudah cukup"!" sahut pemuda itu disertai tawa berkepanjangan.
"Anjing Geladak! Rupanya kau tak lebih dari iblis penghuni api neraka! Kau harus menebus kematian mereka! Hiyaaa...!" teriak Ki Wanayasa geram.
Sekejap saja laki-laki tua itu sudah menerjang Bara Genta. Kakinya meluncur, siap menghantam dada pemuda itu. Namun rupanya Bara Genta sengaja memasang dadanya. Dan begitu kaki Ki Wanayasa mendarat pada sasaran, secepat kilat tangannya terjulur. Tiba-tiba....
Kiah...! "Huaaakh...!"
Kaki laki-laki tua itu berderak retak terkena pukulan Bara Genta, hingga menjerit tertahan. Dalam gebrakan pertama saja, Kedua Padepokan Pasir Tambi yang mempunyai ilmu lumayan ini dapat dijatuhkan. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki Bara Genta.
Melihat kakeknya dapat dijatuhkan, Sitoresmi langsung mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Gadis itu cepat melompat dua tombak, menghadang Bara Genta.
"Hei... bagus! Tampaknya kau sengaja menyerahkan diri padaku. Wajahmu cukup cantik. Hm... nanti kau akan mendapat pelajaran yang menyenangkan. Dan itu tidak akan kau lupakan seumur hidup!" sambut Bara Genta disertai senyum yang lebih mirip seringai. Bola matanya berbinar, mengandung hasrat menggebu.
"Iblis Keparat! Jangan coba-coba padaku. Menyentuh kulitku saja, kau mesti mampus!" desis Sitoresmi, ketus.
"Sitoresmi! Sebaiknya selamatkan dirimu! Iblis itu bukan tandinganmu!" teriak Ki Wanayasa.
Teriakan Ketua Padepokan Pasir Tambi ini tampaknya memang terlambat, karena cucunya telah menyerang dengan jurus-jurus pedang yang cukup hebat.
Bara Genta hanya tertawa panjang.
Wut! Wut! "Haiiit!"
Bara Genta tiba-tiba saja melompat ke samping, kemudian saat pedang di tangan Sitoresmi melesat di samping rusuk, tubuhnya berputar. Sedangkan tangan kanan dan kiri meremas dada dan punggung gadis itu.
"Ouuuw...!"
Sitoresmi hanya sempat menjerit untuk kemudian ambruk tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sebuah ilmu totokan yang langka.
Melihat apa yang dilakukan pemuda itu, sadarlah Ki Wanayasa terhadap apa yang bakal menimpa diri cucunya. Dia tidak mungkin dapat membebaskan Sitoresmi, sebelum membunuh Bara Genta.
? *** Karena merasa tidak punya pilihan lain, Ki Wanayasa bertekad untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Seketika langsung dicabutnya pedang pendek dari punggungnya. Pedang kembar itu kemudian diputarnya sedemikian rupa, menimbulkan suara desir halus. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk cepat.
Set! Set! "Uts...!"
Dengan satu gerakan aneh, Bara Genta berkelit ke samping. Namun pedang lain di tangan Ki Wanayasa menghadangnya. Sehingga, dia terpaksa melompat mundur ke belakang.
"Hadapilah jurus "Pelumpuh Sang Api"! Heaaa...!"
Disertai teriakan keras, Bara Genta mengerahkan jurus "Pelumpuh Sang Api" yang sangat berbahaya. Dengan jurus ini, setiap serangan Ki Wanayasa selalu dipatahkan Bara Genta.
Tidak lama setelah dapat menghalau serangan, Bara Genta menerjang disertai teriakan menggeledek....
"Aji "Pedut Segara"! Hiyaaa...!"
Seketika segulung angin keras disertai kabut tebal menghitam terus meluncur keras ke arah Ki Wanayasa.
Laki-laki tua itu tampaknya merasa kerepotan juga untuk menghindari serangan. Karena kakinya yang retak memang sulit digerakkan. Tidak ada pilihan lain terpaksa tubuhnya dilempar ke samping kiri. Namun pukulan itu dilepaskan secara beruntun. Padahal, saat itu Ki Wanayasa belum sempat bangkit berdiri, ketika serangan Bara Genta kembali melesat. Dan....
Glaaar! "Aaa...!"
Dentuman keras terdengar disertai jerit kematian Ki Wanayasa. Tubuhnya terlempar, dan langsung berubah membiru. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak mengucurkan darah.
"Kakek...!" jerit Sitoresmi, melihat kakeknya terkapar tanpa daya.
Bagaimanapun, dalam keadaan tertotok seperti itu, Sitoresmi tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan keselamatan diri sendiri pun terancam.
Bara Genta tertawa melihat Sitoresmi ketakutan. Dihampirinya gadis itu. Sementara itu, Ki Wanayasa sendiri tewas beberapa saat setelah terkena pukulan dahsyat tadi.
"Keparat kau! Bebaskan aku. Lebih baik kita bertarung sampai mati!" teriak gadis itu kalap. Matanya melotot, menyimpan kebencian.
"Mengapa harus membuang tenaga sia-sia" Bukankah lebih baik tenagamu dipakai untuk bersenang-senang?" sahut Bara Genta, menjijikkan.
Tanpa membebaskan totokan, pemuda berkulit gelap itu kemudian memanggul Sitoresmi di pundaknya. Lalu tubuhnya berkelebat menuju ke suatu tempat yang sunyi.
*** Tidak lama setelah kepergian Bara Genta, tampak berkelebat dua sosok tubuh berpakaian hijau lumut menuju ke Padepokan Pasir Tambi. Melihat pakaian lusuh yang dikenakan, tampaknya kedua pemuda ini datang dari sebuah tempat yang jauh. Sementara tampang mereka tampak seperti orang gendeng. Kucal dan tak terurus.
Kini setelah sampai di halaman padepokan, mereka jadi terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mayat Ki Wanayasa.
"Gusti Allah.... Apa yang telah terjadi di sini, Subali"!" tanya salah satu pemuda sambil memeriksa mayat-mayat satu demi satu.
Mereka segera menutupi tubuh-tubuh telanjang yang tak tentu arah dengan pakaian seadanya.
"Sama seperti kau, Indrajit. Aku juga tidak tahu apa-apa," sahut pemuda yang dipanggil Subali tegang.
"Kita sudah terlambat datang. Harusnya, hal ini tidak terjadi kalau kita tidak saling ngotot di jalanan!" sesal pemuda bernama Indrajit.
"Sekarang apa kau mau menyalahkan aku, Indrajit" Firasatku benar tentang bahaya itu. Tapi, kau tetap ngotot ingin menghubungi padepokan lain dulu. Padahal sesuai mimpiku, aku melihat api di Pantai Laut Utara ini," tukas Subali tidak senang.
"Kau saja yang goblok! Kalau sudah merasa bahwa firasatmu benar, mengapa tidak langsung mengajakku kemari?" sanggah Indrajit tidak puas.
"Sudah! Aku tidak suka mengadu mulut. Ki Wanayasa sudah tidak bisa kita tolong lagi. Sekarang satu-satunya yang dapat dilakukan adalah, mengubur mayat ini. Setelah itu, baru kita hubungi semua orang di dunia persilatan agar mereka bersikap waspada!"
Sekarang Indrajit tidak bisa menolak perintah saudara seperguruannya itu. Mereka langsung membuat kubur untuk Ki Wanayasa dan murid-muridnya.
? *** Setelah selesai menguburkan mayat-mayat, Indrajit dan Subali langsung beristirahat di pendopo depan. Wajah mereka berselimut debu dan tampak lesu.
"Kita tidak tahu, siapa sebenarnya yang telah membunuh Ki Wanayasa dan murid-muridnya. Tindakan pembunuh itu benar-benar biadab! Belum pernah kulihat pembunuhan disertai pemerkosaan yang sedemikian keji! Rasanya kalau aku bisa menangkap pembunuh itu, akan kumakan mulai dari daging, tulang, sampai kotorannya!" dengus Indrajit.
"Dasar orang jorok! Kotoran orang pun mau kau makan. Kalau aku sih, tidak begitu. Jika pembunuh keji itu berhasil kutangkap, maka akan kucopoti tangan dan kakinya. Kemudian giginya. Baru setelah itu, kubetot pedang tumpul yang berada di bawah pusarnya!" gemas Subali meluap-luap.
"Kurasa dia bukan manusia seperti kita. Paling tidak, giginya bertaring. Matanya juling, karena suka makan beling!"
"Kau ini memang gendeng! Dalam keadaan seperti ini, masih juga bercanda. Seharusnya kita cari jalan keluar untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi!" rutuk Subali sewot.
"Ha ha ha...! Apakah kau harus memungkiri kenyataan, bahwa sebenarnya kita Sepasang Pendekar Gendeng?" tukas Indrajit.
Subali hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya.... Kita memang Sepasang Pendekar Gendeng. Lalu menurut otakmu yang gendeng, apa yang harus kita lakukan?" tanya Subali kemudian.
"Seharusnya kita temui orang desa ini dulu. Barangkali, mereka melihat pembunuh itu. Siapa tahu?"
"Tapi aku sudah sangat lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu. Baru nanti kita tanyai mereka!" sergah Subali tidak setuju.
"Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, kau harus mengikuti aku. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak kenapa?" potong Subali.
"Kalau tidak akan kuseret kau!" dengus Indrajit.
Dengan terpaksa akhirnya, Subali mengikuti Indrajit. Dalam perjalanan menuju rumah-rumah yang terdapat di depan, tidak henti-hentinya dua laki-laki berjuluk Sepasang Pendekar Gendeng ini berdebat.
"Coba periksa rumah itu. Barangkali kita bisa bertanya pada orang di dalamnya!" perintah Subali.
"Aku bukan budakmu! Kalau kau mau, sebaiknya kita periksa bersama-sama," tolak Indrajit.
"Sontoloyo! Semestinya sudah kutinggalkan kau sejak tadi!" gerutu Subali.
Tidak lama, mereka mulai memeriksa rumah-rumah yang ada. Tapi semua rumah yang diperiksa dalam keadaan kosong, seperti ditinggalkan pemiliknya secara tergesa-gesa.
"Ke mana mereka?" tanya Indrajit.
"Aku juga tidak tahu, Indrajit. Atau, mungkin mereka mengungsi?" duga Subali seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Kalau begitu, kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa," keluh Indrajit, kecewa. "Tapi..., eh! Itu ada orang lari ke belakang. Kejar dia!"
Sepasang Pendekar Gendeng langsung melakukan pengejaran dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, mereka telah berdiri menghadang sosok yang lari tadi. Ternyata orang yang dikejar adalah seorang laki-laki tua. Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kedatangan Sepasang Pendekar Gendeng.
"Ampun, Tuan! Ampun.... Oh..., jangan bunuh aku. Aku tidak ikut mengungsi, karena tidak kuat berjalan," ratap laki-laki tua itu ketakutan.
Ternyata setelah orang ini diteliti, bagian betisnya terdapat bisul sebesar dada seorang gadis.
"Hei, ada apa dengan kau ini, Ki?" tanya Subali sambil tersenyum-senyum.
"Jangan bunuh aku. Anakku banyak dan masih kecil-kecil. Kalau aku mati, nanti mereka makan apa?"
"Bicaramu ngelantur, Ki. Aku dan kawanku ini hanya ingin tahu, apakah kau melihat siapa yang telah membunuh Ketua Padepokan Pasir Tambi?" ujar Subali.
Barulah laki-laki tua itu menarik napas lega.
"Oh, aku kira Tuan-tuan kawan dari iblis itu. Kalau begitu selamatlah aku," desah laki-laki tua itu.
"Jawab dulu pertanyaan kami, Ki!" desak Subali tidak sabar.
"Orang-orang di sini mengungsi semuanya. Iblis itu mencabuti nyawa orang-orang tidak berdosa seenaknya!" jelas laki-laki tua itu dengan kegeraman yang amat sangat.
"Coba jelaskan ciri-cirinya!" ujar Indrajit.
Dengan tegang laki-laki itu segera menjelaskan ciri-ciri si pembunuh. Bahkan juga diceritakannya kalau cucu Ki Wanayasa telah diculik oleh si pembunuh.
Subali dan Indrajit saling pandang.
"Cara yang paling baik adalah dengan mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Baru setelah itu, kita cari pemuda iblis terkutuk itu," kata Subali.
"Aku hanya menuruti apa yang kau anggap baik saja. Mari kita pergi!" ajak Indrajit.
? *** Bara Genta meletakkan Sitoresmi di atas tumpukan daun-daun kering. Di tengah-tengah hutan belantara yang sepi, jelas membuat gadis berbaju biru semakin ketakutan.
Pemuda berkulit hitam legam ini segera memeriksa keadaan sekeliling tempat itu. Merasa aman, dihampirinya calon korbannya kembali. Dan dia segera berbaring di sebelah gadis itu.
"Jangan macam-macam denganku, Manusia Iblis!" hardik Sitoresmi.
"Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Untuk gadis sepertimu, aku hanya ingin melakukan satu macam saja. Ha ha ha...!" sahut Bara Genta sambil tertawa-tawa. Kemudian tangannya yang kekar itu pun mulai bermain-main di bagian dada Sitoresmi.
"Bedebah! Enyahkan tanganmu, Keparat...!" desis Sitoresmi.
Dalam keadaan tertotok, tentu saja Sitoresmi tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak bisa melakukan apa-apa, ketika tangan Bara Genta menyelinap di balik pakaian dan mulai meremas-remas buah dadanya.
"Keparat! Oh, tolong...!"
"Tidak akan ada orang yang dapat menolongmu. Mengapa kau harus takut" Bukankah aku hanya ingin memberikan kesenangan padamu!" desah Bara Genta, menjijikkan.
Tampaknya, laki-laki bertelanjang dada ini memang sudah tidak sabar lagi dengan apa yang akan dilakukannya. Seketika tangannya cepat bergerak.
Bret! Bret! "Auuu...!"
Sitoresmi menjerit-jerit, manakala pemuda bertelanjang dada ini merobek-robek pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam beberapa kejapan saja, gadis itu sudah dalam keadaan telanjang.
Melihat pemandangan menantang di depannya, gairah manusia berhati iblis ini semakin berkobar-kobar. Dengan penuh nafsu diciuminya Sitoresmi. Tangan kanannya terus bermain di atas dada. Sedangkan tangan kiri meluncur ke bagian perut dan terus ke bawah.
Di sela-sela paha itulah tangan kiri Bara Genta dengan leluasa bermain. Sampai kemudian, segala sesuatunya memang tidak dapat ditunda lagi.
Bara Genta cepat menindih Sitoresmi. Gadis itu berusaha mati-matian menyelamatkan kehormatannya. Namun dalam keadaan tertotok seperti itu, apalah dayanya" Laki-laki itu bagaikan banteng liar yang terus menghempas-hempas di atas tubuhnya. Entah berapa lama keadaan seperti itu berlangsung. Sampai akhirnya, Bara Genta terkapar di samping tubuh Sitoresmi setelah didahului pekik penuh kenikmatan.
"Hmmm.... Ternyata kau masih suci. Untuk itu, kita dapat melanjutkan kesenangan ini nanti malam! Sekarang, kuberi kelonggaran padamu. Kau harus membersihkan diri di sungai itu!" ujar Bara Genta.
Kemudian pemuda berhati iblis ini membebaskan salah satu totokan di dada Sitoresmi dengan cara meremasnya cukup lama. Tetapi di luar dugaan, begitu terbebas gadis yang telah kehilangan kehormatannya ini langsung menyambar pedang yang tergeletak tak jauh darinya. Dia berusaha memasukkan ke dada Bara Genta.
Sayang, rupanya pemuda itu melihat tindakan Sitoresmi.
"Huh! Dikasih susu malah minta racun!" dengus Bara Genta.
Cepat sekali pemuda ini mengibaskan tangannya ke bagian wajah Sitoresmi. Sehingga....
Praaak! "Aaa...!"
Sitoresmi menjerit tertahan. Kepalanya kontan hancur. Isi benaknya berhamburan bercampur darah. Sedangkan sekujur tubuhnya langsung berubah membiru.
"Ha ha ha...! Aku adalah Pembegal Jagad! Tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!" teriak Bara Genta disertai tawa panjang menyeramkan.
? *** ? 3 ? Indrajit dan Subali akhirnya berhasil mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan yang dikenalnya dengan baik. Pagi itu, mereka menyatakan persetujuan untuk bertemu di Gunung Sumbing.
Setelah matahari mulai memancarkan sinarnya di mayapada bagian timur, dari semua penjuru tampak mulai berdatangan orang-orang persilatan beraliran putih.
Yang pertama sampai di tempat itu adalah Sepasang Pendekar Gendeng. Tampaknya, mereka memang tidak ingin para tokoh persilatan menganggap Sepasang Pendekar Gendeng sebagai pihak yang mengundang, tidak dapat menepati waktu.


Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kuharapkan hari ini kita berkumpul semua...."
"Bukankah kita sudah berkumpul?" potong Indrajit.
"Maksudku bukan itu," sergah Subali tidak senang.
"Lalu?"
"Kau ini bagaimana, sih" Orang-orang yang kita undang itu yang kuharapkan kedatangannya. Mengerti"!"
"Itu dia!" seru Indrajit.
Subali segera memandang ke arah utara seperti yang ditunjukkan Indrajit. Saat itu tampak seorang perempuan tua berkulit hitam menuju ke arah mereka. Rambutnya panjang, memakai kerudung putih. Sehingga warna kulit dan kerudungnya sangat bertentangan.
Melihat kehadiran perempuan berkerudung ini, Sepasang Pendekar Gendeng langsung menjura dalam-dalam.
"Selamat datang dalam pertemuan rahasia ini, Nyai Jeliteng!" sambut Subali mewakili kawannya.
"Hik hik hik...! Apakah kalian hanya mengundangku saja" Mana kawan-kawan yang lain?" tanya perempuan bernama Nyai Jeliteng.
"Dewi Kerudung Perak," Indrajit langsung menyebut julukan perempuan tua itu. "Mereka yang lain juga kami undang. Mungkin sekarang sedang dalam perjalanan."
"Aku paling tidak sabar menunggu. Tapi, tidak mengapa. Demi persatuan orang-orang segolongan, kubiarkan pantatku bisulan karena menunggu orang-orang malas itu!
Ucapan Dewi Kerudung Perak membuat Sepasang Pendekar Gendeng tersenyum. Dan belum juga mereka memberi tanggapan, kejap itu juga terdengar suara tawa di kejauhan. Suara tawa itu semakin lama semakin bertambah jelas.
"Pastilah yang datang itu Si Gila Ketawa! Mestinya hari ini aku tidak ketemu orang gila itu!" dengus Nyai Jeliteng, bersungut-sungut.
"Dalam suasana gawat seperti sekarang ini, kami harap Dewi dapat menahan sabar untuk melupakan persoalan pribadi!" ujar Indrajit.
"Kurasa Indrajit betul, Dewi. Kita harus bersatu menghadapi iblis keji. Kalau tidak, maka korban yang berjatuhan akan semakin banyak lagi!" timpal Subali.
"Sudah! Kalian yang muda tidak usah menggurui yang tua. Kalian sendiri sama-sama gendengnya!" dengus Nyai Jeliteng.
Benar saja. Sekejap kemudian, muncul seorang laki-laki gemuk pendek berbaju dari kulit beruang hitam. Di punggungnya tergantung dua buah gelang terbang.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka di tempat ini telah hadir pula si perempuan hitam legam. Kalau tidak ada cahaya matahari, tentu aku tidak dapat melihatmu, Dewi Kerudung Perak"!" leceh sosok gemuk berjuluk Si Gila Ketawa.
Diejek begitu, tentu Nyai Jeliteng tidak senang. Langsung diterjangnya Si Gila Ketawa. Baru tubuhnya melayang, Sepasang Pendekar Gendeng telah menghadang sambil julurkan tangan.
Duuuk! "Heh..."!"
Dewi Kerudung Perak sangat terkejut. Matanya melotot dan memandang penuh teguran pada Sepasang Pendekar Gendeng.
"Huh! Ternyata kalian membelanya?" dengus Dewi Kerudung Perak tidak senang.
"Tolol dipelihara!" rutuk Subali. "Kami tidak membela siapa-siapa! Coba kalian pikir baik-baik. Aku mengundang kalian bukan untuk berkelahi sesama golongan sendiri. Sekarang kita harus bersatu untuk mencari iblis itu. Jika kalian saling bunuh di sini, siapa yang rugi?"
"Kau benar, Subali. Mengapa harus membuang tenaga percuma" Jika kita bertarung sampai menjadi bangkai sekalipun, tidak ada artinya, Nyai Jeliteng. Paling hanya menguntungkan cacing tanah saja! Ha ha ha...!" timpal Si Gila Ketawa sambil terus tertawa.
"Saudara Gila Ketawa! Kuharap Saudara mau menahan tawa sebentar. Tampaknya, kawan-kawan kita yang lain mulai datang!" ujar Subali.
Si Gila Ketawa langsung menutup mulutnya. Mereka terkesiap ketika mendengar suara angin menderu yang begitu keras disertai suara petir sambung-menyambung. Lalu....
"Sahabat sekalian. Aku datang memenuhi undangan!"
Sayup-sayup terdengar suara yang ditujukan pada mereka yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.
"Dewa Petir"!" seru Nyai Jeliteng.
Dari arah selatan lereng gunung, tampak melesat sesosok tubuh berpakaian serba putih. Di lain saat, tampak seorang laki-laki berbadan kurus berambut putih dan berbaju serba putih telah berdiri tegak di depan mereka.
Sepasang Pendekar Gendeng, Dewi Kerudung Perak, dan Si Gila Ketawa langsung menjura dalam-dalam. Memang, Dewa Petir termasuk sesepuh dari tokoh-tokoh rimba persilatan golongan putih.
"Selamat datang dalam pertemuan ini, Ki Suta. Kami mengucapkan terima kasih, karena kau bersedia memenuhi undangan kami," sambut Indrajit mewakili yang lainnya.
"Kalian adalah pendekar bebas dalam arti disukai siapa pun. Kuharap pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, agar kita dapat bersatu menumpas menyebar malapetaka yang akhir-akhir ini semakin merajalela," ujar Ki Suta alias Dewa Petir sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Kehadiranmu mempunyai arti besar bagi kami," timpal Si Gila Ketawa.
"Sudahlah.... Jangan terlalu berlebihan. Kurasa jika sudah tidak ada yang ditunggu, kita bisa memulai pembicaraan!" tegas Ki Suta.
"Masih ada, Ki. Mereka adalah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah," lapor Indrajit.
Ki Suta menarik napas panjang. Sebagai orang yang telah berpengalaman dan sesepuh dalam rimba persilatan, Dewa Petir tahu benar bagaimana watak kedua pendekar yang baru disebutkan Indrajit. Mereka paling sulit diajak bicara baik-baik dan suka melakukan sesuatu sendiri-sendiri. Walau memang harus diakui, kepandaian mereka cukup mengagumkan.
*** "Apakah kau telah menghubungi kedua pendekar itu, Subali?" tanya Dewa Petir.
"Sudah, Ki!" sahut Subali, pelan.
"Lalu, apa jawaban mereka?" tanya Ki Suta lebih lanjut.
"Mereka berjanji akan membantu hingga persoalan yang dihadapi benar-benar tuntas," jelas pemuda itu.
"Kalau itu jawabannya, berarti mereka tidak datang kemari. Yang jelas mereka langsung mencari iblis itu!" sergah Ki Suta.
Dewa Petir akhirnya memutuskan untuk segera memulai memecahkan persoalan yang dihadapi.
"Semua yang hadir di sini," kata Ki Suta memulai. "Aku perlu menjelaskan dari mana asal-usul lawan kita. Aku pernah bermimpi, bertemu lelembut yang bernama Ki Renta Alam. Menurut dia, orang yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu bernama Bara Genta...!"
"Bara Genta?" ulang Si Gila Ketawa, mendesis.
"Ya...! Tentu kau tidak mengenalnya. Karena, aku sendiri juga tidak kenal. Tapi menurut lelembut yang bernama Ki Renta Alam, kehadiran Bara Genta yang paling utama adalah ingin menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti. Ki Renta Alam mengatakan kalau sudah bertemu pendekar itu dan membicarakan segala sesuatunya hingga jelas," papar Dewa Petir.
Sepasang Pendekar Gendeng, Si Gila Ketawa, dan Nyai Jeliteng sama terdiam. Mereka mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki Suta," ucap Si Gila Ketawa. "Kalau tidak salah, pendekar yang dicari Bara Genta adalah pemuda berompi putih bernama Rangga. Dia pendekar pembela kebenaran. Namanya saat ini menjadi buah bibir orang. Dia adalah pendekar golongan lurus. Jika Pendekar Rajawali Sakti sampai memusuhinya, sekarang sudah jelas bahwa Bara Gentalah yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu. Kita harus mencari untuk menghentikannya. "
"Memang itu yang akan kita lakukan. Tetapi persoalan yang paling penting, Bara Genta sebenarnya diutus gurunya agar dunia persilatan dipimpin oleh orang-orang dari golongan sesat!"
"Artinya mereka ingin membuat angkara murka di bumi ini?" tebak Nyai Jeliteng. "Aku pribadi belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Namun sepak terjangnya telah membuatku kagum. Kita harus membantu pemuda itu dalam mengatasi persoalannya!"
"Yang paling penting, Bara Genta memiliki kepandaian setara dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya, kekuatannya bersumber pada Kitab Pelebur Jiwa. Jika kita dapat memusnahkan kitab itu, berarti sudah dapat mengurangi kesaktian Bara Genta," urai Ki Suta.
??????????? "Kitab Pelebur Jiwa" Bagaimana sebuah kitab dapat menimbulkan kekuatan?" tanya Subali heran.
"Menurut Ki Renta Alam, kitab itu dikendalikan kekuatan iblis. Karena iblis sejati yang mengendalikannya, maka kitab itu dapat diperintahkan berbuat apa saja. Termasuk, membantu Bara Genta dalam mencapai maksudnya.
"Kurasa ada rahasia lain yang terkandung dalam kitab itu, Ki," Si Gila Ketawa berpendapat.
"Maksudmu?" tanya Ki Suta.
"Kita tidak tahu asal-usul pemuda itu. Tahu-tahu, dia muncul melakukan pembunuhan besar-besaran. Apakah ada hubungannya dengan Genta si bajak laut itu?" duga Si Gila Ketawa.
"Genta" Maksudmu bekas raja penyamun yang dulu pernah dikalahkan Ki Wanayasa?" tanya Ki Suta.
"Betul!" jawab Si Gila Ketawa.
Semua orang yang berada di situ terdiam. Mereka kembali teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana seorang pemuda berumur lima belas tahun telah menjadi kepala bajak laut.
*** Enam tahun yang silam memang ada seorang bajak laut yang dipimpin pemuda bernama Genta. Dalam usia semuda itu, Genta sudah mampu memimpin anak buahnya dalam melakukan perampokan baik di laut, maupun di desa-desa pinggir pantai. Tindakan mereka cenderung kejam. Mereka bukan hanya menjarah harta benda penduduk saja, melainkan melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak gadis Desa Pasir Tambi.
Karena ganasnya tindakan mereka, maka Ketua Padepokan Pasir Tambi yang bernama Ki Wanayasa dan murid-muridnya melakukan perlawanan. Anggota gerombolan perampok itu tewas semuanya. Sedangkan pimpinannya yang bernama Genta disiksa. Ki Wanayasa kemudian menjatuhkan hukuman berat. Yaitu, dengan membuang pimpinan perampok ini ke laut, setelah kaki serta tangannya diikat.
"Ki Wanayasa telah memeriksa Genta ketika itu. Dan dia dinyatakan mati. Jadi tidak mungkin kalau Genta hidup kembali!" bantah Subali.
"Lalu, apakah ujung nama pemuda iblis itu hanya kebetulan saja?" tanya Nyai Jeliteng.
"Yang satu ini lain. Namanya, Bara Genta. Kurasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Genta si bajak laut. Lagipula, orang yang sudah mati mustahil hidup kembali!" sanggah Indrajit.
"Menurut Ki Renta Alam,. Bara Genta berasal dari dalam Gua Seribu Malam. Gua itu terletak di dasar Laut Utara!" jelas Dewa Petir.
"Sudahlah.... Mungkin semua itu hanya kebetulan saja. Sekarang apa yang akan kita lakukan?" sela Si Gila Ketawa.
"Sekarang kita saling berbagi tugas," ujar Dewa Petir. "Subali, Indrajit, dan Si Gila Ketawa, mencari Pendekar Rajawali Sakti. Jika sudah bertemu, bantulah dia. Sedangkan Dewi Kerudung Perak ikut bersamaku untuk mencari Bara Genta! Mungkin, saat ini Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah sudah melakukan tugasnya. Pesanku, hati-hatilah kalian. Sebab, yang kita hadapi memiliki kepandaian sangat hebat."
"Kami akan selalu mengingat-ingat pesanmu, Ki!" jawab Si Gila Ketawa mewakili kawan-kawannya.
Dewa Petir dan Dewi Kerudung Perak kemudian meninggalkan tempat itu. Tinggallah Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng.
"Kawan-kawan kita sudah berangkat. Apakah kita tetap menunggu di sini sampai ubanan?" celetuk Indrajit.
"Ha ha ha...! Jangan menyindirku Indrajit. Sekarang kita berangkat!" sahut Si Gila Ketawa.
Ketiga pendekar yang sama-sama konyol ini akhirnya menuju ke daerah pinggiran Laut Utara.
*** Satu sosok bayangan putih berkelebat di antara pohon besar yang ada di sekelilingnya di Hutan Wonocolo. Dan tiba-tiba kelebatannya dihentikan ketika melihat seekor serigala hutan berlari ke semak-semak belukar. Sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih ini langsung melirik ke arah datangnya serigala tadi.
Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung ini mengerutkan keningnya, ketika melihat ceceran darah. Dengan cepat melakukan pemeriksaan. Sampai akhirnya ditemukannya mayat seorang gadis tanpa pakaian tergeletak di semak-semak dengan kepala pecah. Bagian kepala yang pecah sudah tidak utuh lagi. Rupanya, serigala tadi telah menggerogoti sebagian kulit dan dagingnya.
"Pembunuh biadab!" desis pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti geram. "Aku yakin pelakunya pastilah orang yang sama."
Entah mengapa, Rangga sekarang merasa hatinya semakin terbebani. Bagaimana tidak" Pembunuh itu menghendaki dirinya. Bukan orang lain. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan serta pelampiasan nafsunya. Mungkin karena kebiasaannya, juga karena sengaja ingin memancing perhatian Pendekar Rajawali Sakti agar terus mencarinya.
"Aku harus menemukan orang itu secepatnya, sebelum segala-galanya terlambat!" pikir Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bangkit berdiri. Namun belum sempat meninggalkan mayat gadis malang itu....
"Pembunuh keji! Dicari-cari, malah membunuh gadis lain di sini!"
Mendadak terdengar bentakan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti yang disusul suara desis angin halus. Sedikit Rangga melirik.
Wuuut! Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar begitu melihat beberapa sinar keperakan meluncur ke arahnya. Seketika tubuhnya mengegos seraya berputar.
Crep! Crep! Benda-benda yang ternyata senjata rahasia berupa paku berwarna perak itu langsung menancap di sebuah pohon besar.
"Mengapa kau menyerangku, Kisanak" Bahkan menuduhku yang bukan-bukan?" tanya Rangga heran, ketika di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Rambutnya panjang dan memakai ikat kepala warna putih ini.
"Bukti sudah di depan mata. Kau telah membunuh gadis itu. Orang pun tidak menyangka kalau kau iblis berhati keji!" dengus laki-laki ini.
Mendapat tuduhan yang tidak beralasan, Rangga tentu tidak tinggal diam.
"Hati-hatilah bicara, Kisanak! Aku sendiri sedang mencari si pembunuh yang telah menebar petaka di mana-mana!" kilah Pendekar Rajawali Sakti.
Rupanya laki-laki berbaju putih ini tetap tidak mempercayai ucapan Rangga.
"Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras, laki-laki ini melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan jurus-jurus dahsyat.
Rangga segera melompat mundur. Namun lawan terus memburunya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" yang ditunjang mengandalkan kelincahan tubuhnya, untuk menghindari serangan. Sedikit pun dia tak ingin membalas serangan.
"Melawan atau tidak melawan, aku tetap akan membunuhmu!" dengus laki-laki berbaju putih ini.
"Tindakanmu yang gegabah hanya akan membuatmu menyesal seumur hidup!" gumam Rangga.
"Persetan! Heaaa...!"
"Hmmm...!" gumam Rangga tidak jelas.
Setelah berlangsung lima belas jurus, laki-laki berbaju putih ini tetap belum dapat mendesak Rangga. Rupanya kenyataan ini telah membuka matanya. Saat itu juga dicabutnya seruling perak yang terselip di pinggang. Senjata itu kemudian diputarnya dengan cepat, menimbulkan suara menderu-deru. Di lain saat, seruling itu meluncur deras ke beberapa bagian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Karena cepatnya gerakan senjata itu, hingga sekilas tampak berubah menjadi banyak.
Melihat kenyataan ini, Rangga harus mengakui kehebatan lawannya. Apalagi seruling itu mengeluarkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Rangga merubah jurusnya menjadi "Sayap Rajawali Membela Mega". Dia melompat ke depan. Tubuhnya berkelebat mendekati, sedangkan tangannya yang terjulur berusaha menerobos pertahanan.
Mendapat serangan dahsyat, laki-laki berbaju putih mengibaskan tangannya. Rangga segera menarik balik tangannya, namun kaki kanan cepat meluncur menghantam pinggang.
Desss! "Higkh...!"
Laki-laki itu kontan terpelanting. Pinggangnya seperti remuk dan terasa panas sekali. Cepat dia bangkit berdiri.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan penuh amarah, laki-laki bersenjata seruling ini kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang paling hebat!
"Kuperingatkan sekali lagi padamu, kau menyerang orang yang salah!" teriak Rangga.
Rupanya laki-laki itu tidak meladeninya. Dia malah mulai melepaskan pukulan mautnya.
"Pukulan "Cucuran Air Mata Dewa"!" teriak laki-laki berbaju putih itu dengan suara keras dengan tangan mengibas ke depan.
Dan sederet sinar merah seperti bara meluncur deras ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti tentu tidak tinggal diam. Sebelum sinar merah itu mengenai sasarannya, kedua tangannya didorong ke depan.
"Aji "Guntur Geni"! Hiyaaa...!"
Glar! Glaaar! "Wuaaagkh...!"
Teriakan keras laki-laki berbaju putih terdengar. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sudut-sudut bibirnya mengucurkan darah. Sedangkan Rangga sendiri hanya bergetar saja.
? *** ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Kitab Pelebur Jiwa
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 203. Kitab Pelebur Jiwa ~ Bag. 4-6
16. Juni 2015 um 07:39
4 ? "Hiaaa...!"
Pertarungan kembali terjadi. Rangga sekali lagi mengegoskan tubuhnya saat sabetan seruling mengancam kepalanya.
Sementara laki-laki berbaju putih sudah memutar tubuhnya. Senjata di tangannya kembali menyodok cepat.
"Hup...!"
Dengan gerakan cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Sambil berjumpalitan beberapa kali, kedua tangannya bergerak cepat ke punggung laki-laki itu. Dan....
Tuk! Tuk! "Aaa...!"
Disertai keluhan tertahan laki-laki itu merasakan anggota tubuhnya bagai sulit digerakkan. Sadarlah dia kalau pemuda berbaju rompi putih itu telah menotoknya.
"Kurang ajar! Bebaskan aku...!" teriak laki-laki itu penuh amarah.
"Kalau aku memang berniat jahat, bukankah kau sudah mati di tanganku" Aku harus membiarkan keadaanmu seperti itu, agar niatku untuk mencari Bara Genta tidak terganggu olehmu!" kata Rangga.
Tanpa berkata-kata lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera pergi begitu saja. Laki-laki ini tentu saja tidak dapat berbuat sesuatu, terkecuali mengumpat di hati. Entah sudah berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Untung saja, tak lama muncul tiga orang laki-laki yang sangat dikenalnya.
"Hei..., kalian! Bebaskan aku!" seru laki-laki ini, tanpa malu-malu.
Ketiga laki-laki yang tidak lain Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila Ketawa segera datang menghampiri. Namun baru beberapa langkah, mereka tertegun.
"Hei..." Mengapa Pendekar Seruling Perak seperti patung begitu?" tanya Subali dengan kening berkerut.
"Tampaknya seseorang telah menotoknya!" dengus Indrajit.
"Ha ha ha...! Kau ini mengapa menjadi patung di tengah hutan begini,? Abiyasa?" tanya Si Gila Ketawa.
"Cepat bebaskan aku! Pemuda berbaju rompi putih itu harus kukejar!" ujar laki-laki berbaju putih yang ternyata Pendekar Seruling Perak dan bernama asli Abiyasa.
"Ada apa rupanya?" tanya Si Gila Ketawa. "Jika jadi pecundang, apa mungkin kau dapat mengalahkannya?"
"Pemuda mana yang kau maksudkan?" tanya Indrajit.
"Pemuda berbaju rompi putih!" jawab Abiyasa, lugas.
Mata mereka bertiga langsung terbelalak. Ciri-ciri yang baru saja disebutkan Abiyasa sama persis dengan yang diceritakan Dewa Petir.
"Kau mengejar orang yang salah, Abiyasa! Orang yang bentrok denganmu pastilah Pendekar Rajawali Sakti yang harus kita bantu!" tegas Si Gila Ketawa.
"Apa" Tapi dia telah membunuh gadis di semak-semak itu!" tangkis Pendekar Seruling Perak.
"Gadis...?"
"Ya.... Kalau tidak percaya, lihatlah...!"
Sepasang Pendekar Gendeng segera melakukan pemeriksaan. Ternyata gadis yang terbunuh tidak lain Sitoresmi, cucu Ketua Padepokan Pasir Tambi. Tentu kedua pendekar ini tahu kalau yang melarikan gadis itu tak lain dari Bara Genta. Jadi, tidak benar Pendekar Rajawali Sakti yang telah membunuhnya. Apalagi, sempat memperkosanya.
Mereka kemudian menghampiri Pendekar Seruling Perak yang baru saja pengaruh totokannya dibebaskan Si Gila Ketawa.
"Bukan Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya. Kami pernah ke Desa Pasir Tambi. Tentu kami tahu, apa yang telah terjadi di sana. Kau telah menyerang orang yang seharusnya kau bela, Abiyasa!" jelas Indrajit.
"Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu!" sahut Abiyasa, merasa menyesal.
"Sudahlah! Mumpung belum jauh, sebaiknya kita kejar Pendekar Rajawali Sakti!" saran Si Gila Ketawa.
"Kita harus menguburkan mayat gadis ini dulu!" bantah Indrajit.
Yang lain tidak bisa membantah. Mereka lantas membuat sebuah kubur di bawah sebatang pohon pinus.
"Sungguh mengenaskan keadaannya. Aku bersumpah jika bertemu Bara Genta, akan kupotong-potong tubuhnya untuk kuumpankan pada buaya-buaya peliharaanku!" dengus Pendekar Seruling Perak.
"Itu tolol namanya! Kalau aku, lebih baik dimakan sendiri," sergah Si Gila Ketawa.
"Kalian ini memang sama-sama edannya! Sudahlah jangan ngoceh terus. Sudah saatnya kita menguburkan mayat gadis ini!" ujar Subali.
Tanpa menghiraukan bau amis yang menebar dari tubuh Sitoresmi, mereka langsung menggotong ke dalam liang kubur. Tidak lama, tugas mereka selesai. Kini mereka melanjutkan perjalanan kembali.
*** Desa Pasir Molek yang sebelumnya sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi dan aman tenteram, kini telah berubah menjadi desa mati. Apalagi bila malam telah datang. Beberapa hari sebelumnya banyak pemuda desa yang dibunuh secara keji. Gadis-gadis desa yang rata-rata berparas cantik hilang begitu saja. Bila keesokan harinya gadis-gadis itu ditemukan, ternyata telah menjadi mayat. Bagian jantung mereka berlubang. Tubuhnya telanjang, berwarna biru.
Kejadian demi kejadian itu tentu membuat penduduk menjadi marah. Dengan dipimpin seorang laki-laki setengah baya yang menjabat Kepala Desa, para penduduk segera melakukan pencarian terhadap pelaku pembunuhan dan pemerkosaan itu. Namun sampai sejauh itu hasilnya tetap sia-sia belaka.
Kejadian ini tentu sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Tak heran kalau malam ini Desa Pasir Molek tampak lengang. Bulan di angkasa sana yang timbul tenggelam tertutup awan menambah suasana terasa mencekam. Tidak satu pintu pun yang terbuka. Tampaknya, para penduduk memang takut pada si pembunuh bila datang lagi. Terlebih-lebih mereka yang mempunyai anak gadis cantik. Tak urung kecemasan itu juga melingkupi hati Kepala Desa Pasir Molek yang juga mempunyai seorang putri yang sudah menjadi gadis cantik. Kepala desa yang dipanggil penduduk dengan nama Ki Jatayu bukannya berdiam diri saja menghadapi masalah ini. Dia pun tiap malam selalu mengadakan perondaan. Namun tetap saja desanya selalu kecolongan.
Kini Ki Jatayu duduk termenung di ruangan tengah. Cahaya lampu minyak yang begitu redup, membuat suasana di sekitarnya tampak samar-samar.
"Ayah belum lagi tidur?"
Ki Jatayu yang sedang melamun tersentak kaget. Kepalanya berpaling ke arah datangnya suara. Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat tahu-tahu telah berdiri di belakangnya.
"Banyak yang Ayah pikirkan beberapa hari ini. Termasuk juga memikirkan dirimu, Anggraini!" jelas laki-laki setengah baya itu.
"Mengapa dengan diriku?" tanya gadis bernama Anggraini.
"Kau tahu, bagaimana nasib gadis-gadis seusiamu di desa ini?" tukas Ki Jatayu, seraya menatap tajam pada anak gadisnya yang semata wayang.
"Ya...!" jawab Anggraini singkat.
"Ayah khawatir, pemuda iblis itu masih berkeliaran di sekitar tempat ini. Dalam keadaan begini, seharusnya kau tetap berada di dalam kamarmu saja!" ujar Ki Jatayu mengingatkan.
"Ayah! Kurasa semua itu tidak ada gunanya. Jika dia datang, tentu semua kamar akan digeledahnya. Mungkin lebih baik jika besok pagi aku mengungsi ke rumah Paman. Tampaknya, Desa Pacitan tidak diganggu pemuda itu."
"Sebuah usul yang sangat bagus. Ayah mendukungmu!" ujar Ki Jatayu langsung setuju.
Kepala desa ini langsung memerintahkan putri tunggalnya untuk berkemas-kemas. Anggraini segera menuju ke kamarnya. Dibenahinya seluruh keperluan yang dibutuhkannya nanti. Dan baru saja Ki Jatayu larut kembali dalam renungannya.... Tok! Tok! Tok!
Ki Jatayu terkesiap ketika tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Wajahnya berubah pucat. Firasatnya mengatakan, yang mengetuk pintu tidak lain dari pemuda iblis yang telah menculik gadis-gadis desa dan membunuhi pemudanya. Maka dengan perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan ke dinding rumahnya. Segera diraihnya tombak bermata ganda yang menjadi penghias ruangan.
Tok! Tok! Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari yang pertama tadi.
"Siapa?" tanya Ki Jatayu, bergetar suaranya.
"Aku...!" sahut suara dari luar.
"Aku siapa?" tanya kepala desa ini tidak sabar.
"Bukalah pintunya. Aku datang dengan maksud baik. Dan aku sudah mendengar apa yang terjadi di sini!" ujar suara dari luar.
Keraguan di hati Ki Jatayu mulai berkurang. Sambil membawa tombak, dihampirinya pintu. Tidak lama, kunci pintu sudah dibukanya.
Begitu pintu terbuka lebar, Kepala Desa Pasir Molek ini tertegun.
*** Di depan pintu tampak berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang sebahu dan memakai baju rompi putih. Pemuda ini tersenyum ramah pada Ki Jatayu.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Kepala Desa Pasir Molek, dengan mata menyelidik penuh kecurigaan.
"Aku Rangga. Aku dalam perjalanan mencari seseorang. Karena kemalaman, aku terpaksa singgah, sekalian mencari keterangan di sini," jelas pemuda yang ternyata Rangga.
"Masuklah!" ujar Ki Jatayu mempersilakan Rangga memasuki rumahnya. Kendati demikian, sikapnya masih terlihat kaku.
Setelah Rangga masuk, kepala desa itu segera mengunci pintu kembali. Ki Jatayu segera mengajak tamunya duduk. Lalu disuruhnya Anggraini untuk mempersiapkan hidangan.
"Siapa sebenarnya orang yang sedang kau cari-cari itu, Rangga?" tanya Ki Jatayu.
"Aku mencari pemuda pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis desa. Aku mendapat keterangan, dia sekarang mengganggu daerah ini," jelas Pendekar Rajawali Sakti tenang.
Ki Jatayu menarik napas lega.
Pembicaraan mereka tertunda, karena ketika itu Anggraini datang membawakan makanan serta kopi panas. Gadis ini sempat melirik Rangga dengan sudut mata. Ternyata, pemuda ini memiliki wajah tampan. Anggraini menduga, tentulah dia seorang pendekar.
Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Anggraini kembali ke belakang. Diam-diam dia ikut mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan pemuda itu.
"Silakan dicicipi, Rangga!"
"Terima kasih," ucap Rangga.
Sambil menikmati hidangan apa adanya, Rangga menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya. Kebalikannya, Kepala Desa Pasir Molek itu juga menceritakan apa yang terjadi di desanya.
"Kalau begitu, aku hampir mendapatkan apa yang kucari. Ketahuilah, Ki. Bara Genta adalah orang yang sangat berbahaya. Aku ingin tahu, apakah malam ini dia akan datang ke desa ini?"
"Itu sulit dipastikan! Tapi menurutku, dia mungkin datang. Sebab sudah hampir sepekan dia menculik gadis-gadis di daerah ini," jelas Ki Jatayu.
Ucapan kepala desa tersebut seakan-akan menjadi sebuah kenyataan. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Ketukan itu kemudian semakin keras.
"Kepala Desa! Buka pintunya. Aku Pembegal Jagad ingin mengambil putrimu yang cantik untuk menemani aku tidur malam ini. Kepala Desa! Cepat bukaaa...!" teriak suara yang mengaku berjuluk Pembegal Jagad.
Kepala desa ini menoleh ke arah Rangga, seakan minta pendapat. Karena Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala, maka Ki Jatayu tetap duduk di tempatnya dengan perasaan tegang.
Sementara itu, Anggraini telah menghampiri ayahnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan! Keringat dingin telah membasahi tubuhnya yang gemetar.
"Bagaimana ini, Ayah?" tanya gadis itu.
Anggraini memandang ke arah Rangga, seakan mengharapkan sebuah perlindungan. Sementara Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya bahu Anggraini.
"Kembalilah ke kamarmu. Jika ada apa-apa di dalam sana, secepatnya kau keluar!" perintah Rangga dengan suara pelan.
Anggraini segera mematuhi saran Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga menghampiri Ki Jatayu.
"Tetaplah di belakang pintu, Ki. Jika aku tidak sanggup menahan orang ini, sebaiknya kau dan putrimu cepat menyingkir!" saran Rangga.
Jika pendekar besar seperti Pendekar Rajawali Sakti sempat bicara seperti itu, tentu disadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-benar tangguh.
"Kepala Desa! Rupanya kau membangkang perintahku. Aku jadi ingin tahu, apakah tubuhmu seatos batu karang!" dengus Pembegal Jagad yang tak lain Bara Genta.
Brak! Brak! Tiba-tiba terdengar suara berderak. Dengan dua kali dorong, daun pintu telah hancur berantakan. Di depan pintu yang hancur kini telah berdiri seorang pemuda berkulit hitam. Badannya tinggi. Rambutnya lurus seperti bulu landak. Yang aneh, tatapan matanya tampak menyala seperti api.
"Hemmm.... Rupanya selain Kepala Desa, ada orang lain di sini. Kau ingin mengandalkan pemuda ini, Kepala Desa?" gumam Bara Genta.
"Tid... tidak...!" sahut Ki Jatayu ketakutan.
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu jika kau menyerahkan putrimu untuk menemaniku malam ini!" desis Bara Genta, tanpa memandang mata sama sekali pada Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti maju selangkah. Tatapan matanya menyorot tajam pada pemuda bertelanjang dada yang berdiri di depan pintu.
"Anak Kepala Desa adalah calon istriku!" kata Rangga berbohong. "Jadi tidak akan kubiarkan walau seekor lalat pun yang menyentuhnya," desis Pendekar Rajawali Sakti tak kalah dingin.
*** Bara Genta menyeringai. Matanya yang kemerah-merahan tampak marah sekali.
"Begitu..." Kalau kubunuh calon suaminya, siapa lagi yang akan menghalanginya?" dengus Pembegal Jagad, dingin. "Tapi... sebentar dulu...! Melihat ciri-cirimu, kau mirip orang yang dikatakan guruku. Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?"
Rangga merasa kedoknya sudah terbuka. Untuk itu, rasanya sudah tidak ada gunanya lagi berbohong.
"Dugaanmu tidak salah!" jawab Rangga tenang.
Bara Genta tiba-tiba tergelak-gelak. Kini dia telah berhadapan dengan orang yang harus dibunuhnya.
"Aku tidak menyangka perjumpaanku denganmu akan berlangsung secepat ini. Pendekar Rajawali Sakti! Aku diutus guruku Si Bayang-Bayang untuk mengirimmu ke neraka. Apakah kau sudah siap mampus...?"
"Kematian adalah sesuatu yang menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bukan kau yang menentukan kematianku!" sahut Rangga, enteng.
"Ha ha ha...! Omong kosong! Aku yang menentukan kematianmu! Kalau tidak percaya! Hiyaaa...!" teriak Bara Genta.
Secepat terbang, pemuda bertelanjang dada ini langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sangat ganas dan mematikan. Dalam gebrakan pertama saja, Rangga sudah mulai merasakan tekanan berat.
Sebagai pendekar yang sudah berpengalaman, Rangga sadar betul kalau serangan Pembegal Jagad bertujuan untuk menghancurkan dirinya. Maka segera tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Karena pertarungan terjadi di dalam rumah, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat bergerak leluasa.
"Hiyaaa...!"
Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arah leher Bara Genta. Namun, Pembegal Jagad cepat menangkisnya. Plak!
"Heh..."!"
Dengan rasa terkejut, kedua orang yang bertarung terdorong mundur. Rangga merasakan tangannya berubah dingin akibat benturan tadi. Sebaliknya Bara Genta hanya bergetar saja. Sekarang sudah jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki masing-masing seimbang.


Pendekar Rajawali Sakti 203 Kitab Pelebur Jiwa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Misteri Penari Ronggeng 2 Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah Nenek Bongkok 1

Cari Blog Ini