Ceritasilat Novel Online

Misteri Wanita Bertopeng 2

Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng Bagian 2


"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan. Ta?pi kalau kau coba membujuk ku untuk meminta si Sangkaran, lupakanlah! Aku tidak akan memberikannya padamu!"
"Begitukah" Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti" Dan..., kata Malini kau pernah berjanji untuk meringkus dan menyerahkan si Sangkaran padanya...."
"Malini" Kau kenal dengannya?"
Wajah Rangga berubah mendengar nama itu disebutkan (Soal Malini dapat diikuti dalam episode : "Memburu Rajawali").
"Dia sahabat terbaikku. Dan tahukah kau, bahwa keinginanku menangkap si Sangkaran adalah karena permintaannya. Bukankah tujuanmu pun begitu?"
"Ya, memang...."
"Kalau begitu kau boleh menyerahkan Sang?karan padaku. Dan nanti pasti akan kuberikan pada Malini."
? *** ? Hampir saja Rangga memberikannya. Karena dengan begitu urusannya selesai. Dia bisa melanjutkan petualangannya. Tapi..., Pendekar Rajawali Sakti merasa tak kenal dengan sosok bertopeng ini. Meski mengaku kawan Malini, namun tanpa meli?hat langsung sulit baginya untuk percaya. Lagi bila dia mesti yakin kalau Adipati Sangkaran harus sampai ke tangan Malini.
"Maaf, aku tak bisa menyerahkannya padamu" tandas Rangga.
"Apakah kau tak percaya?" tukas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Kenapa aku mesti percaya padamu" Kenal denganmu saja, belum. Bahkan meski bertemu se?perti ini, toh aku tak tahu wajahmu. Mungkin saja kau kawannya. Tapi soal si Sangkaran ini sangat penting. Karena aku telah berjanji padanya. Dan itu harus sampai ke tangannya."
Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati mengeluarkan suara kecil, bersamaan dengan hela nafasnya.
"Luar biasa! Dalam dunia yang semakin kacau, ternyata masih ada orang-orang yang berjiwa sepertimu!" puji wanita bertopeng itu. "Kuhargai sikapmu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan tentu saja aku tak memaksamu. Aku hanya ingin menawarkan sesuatu. Dan mudah-mudahan, kau tak menolaknya.
"Apa itu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut.
"Mampirlah ke tempat kami," ajak wanita ber?topeng ini.
"Maaf, aku tak punya kepentingan dengan ka?lian. Lagi pula aku mesti buru-buru," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali.... Bukankah kau ingin me?nyerahkan si Sangkaran pada Malini?"
"Hm, ya...."
"Kalau begitu, aku tak salah menawarkan pa?damu. Karena Malini tengah menunggu di tempat kami."
Rangga tersenyum. "Jangan coba mengakaliku...!"
"Kenapa aku mesti mencari penyakit dengan mengakali Pendekar Rajawali Sakti?"
Rangga terdiam. Dahinya agak berkerut. Otaknya berpikir untuk coba mempertimbangkan tawaran Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Baiklah...!" desah Rangga, akhirnya.
"Hm, aku tahu. Kau pasti telah memperhitungkan baik dan buruknya. Tapi, percayalah. Aku sama sekali tak bermaksud buruk padamu," tandas wanita itu.
"Kupegang kata-katamu. Dan bila kau berdusta, jangan harap bisa mendapatkan si Sangkaran, kata Rangga kalem tapi tegas. "Kalau begitu, mari kita berangkat."
"Jalanlah lebih dulu. Biar aku mengikuti dari belakang," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
? *** ? Duhai kekasih hatiku,
kiranya hari ini pertemuan kita
Apakah kau akan pergi meninggalkan diriku kembali"
Padahal sekian lama aku merindukanmu
Maka bila kau hendak pergi,
tak kurelakan aku sendiri lagi
? Lantunan syair terdengar berulang-ulang diiringi gesekan rebab, ketika rombongan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati memasuki Desa Sangit. Orang yang melantunkannya tak lain dari Raja Penyair.
"Kurang ajar!" maki si Capung Hitam ketika melihat sosok Raja Penyair. Hatinya masih panas karena kekesalannya belum terlampiaskan.
"Capung Hitam! Tahan amarah mu. Jangan ladeni dia!" seru Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, mengingatkan.
"Orang ini seperti sengaja mengejek kita! Dia mesti dihajar, biar tahu rasa!"
"Biarkan! Tak perlu diusik."
Geraham si Capung Hitam berkerotokan meski tetap mematuhi apa yang diperintahkan majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Sepasang matanya mendelik dan seperti mau lompat keluar, ketika jarak mereka semakin dekat dengan Raja Penyair.
? Siapakah yang paling malang di dunia ini"
Menanti cinta yang tak terbalas
atau mengejar cinta yang tak ada"
Siapa yang paling dungu di dunia ini"
Yang mengabdi seperti anjing
atau anjing mengabdi seperti manusia"
? "Ketua! Perintahkan padaku untuk menghajar mulutnya yang lancang itu"!" desis si Capung Hi?tam menahan geram.
"Tidak perlu."
Lagi-lagi tubuh laki-laki berjubah hitam ini menggigil menahan geram. Amarah di hati makin menggelegak saja. Seketika kedua tangannya menghentak ke samping.
"Hiih!"
Brakkk! Sebatang pohon sebesar paha laki-laki dewasa yang ada di kiri jalan hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh si Capung Hitam untuk melampiaskan kemarahannya.
? Kata orang keledai yang paling pandir
Memikul beban tanpa mengeluh
Tapi ternyata ada yang paling pandir
Memukul benda yang tak mampu melawan
? Kali ini lengkap sudah kemarahan si Capung Hitam mendengar syair berikutnya yang dilantunkan Raja Penyair. Secepat kilat tubuhnya men?celat dari punggung kuda. Langsung dilepaskannya satu serangan menggeledek.
Siuuut! Raja Penyair cuma sedikit bergeser, maka se?rangan si Capung Hitam mengenai tempat kosong. Namun serangan laki-laki berjubah hitam itu tidak berhenti sampai di situ. Karena sebelah kakinya tiba-tiba menyodok ke perut, setelah berputar.
"Uts!"
Bet! Bet! *** ? Raja Penyair melompat ke atas seraya mengibaskan penggesek rebab ke batok kepala. Namun Capung Hitam menjatuhkan diri. Tubuhnya bergulingan sebentar, lalu melenting ke atas dalam sikap menerkam dengan kedua kaki lebih dulu melayang.
"He he he...! Kenapa kau ini, Kawan" Menyerang tanpa sebab seperti kambing kebakaran jenggot," ejek Raja Penyair sambil menghindar dengan melompat ke kanan.
"Tutup mulutmu!" bentak si Capung Hitam, terus menyerang kembali.
"Ha ha ha...! Kau ini semakin lucu saja. Mulut adalah anugerah Yang Maha Pencipta. Dan dibuat, untuk dibuka agar kita bisa bicara, makan, dan bersyair."
"Penyair Busuk! Aku akan menutup mulutmu yang penuh cacing itu!"
"Kau hendak menutupnya" Hi hi hi...! Sedangkan ibuku sendiri menyuruhku untuk sering-sering membukanya. Kalau tertutup, sulit bagiku untuk bi?cara, makan, dan bersyair."
Jawaban-jawaban Raja Penyair semakin membuat si Capung Hitam tambah geram. Seketika serangannya ditingkatkan. Namun sebegitu jauh, tak satu pun yang membuahkan hasil. Padahal selama ini si Capung Hitam terkenal memiliki gerakan cepat dan ringan. Bahkan tenaga dalam yang dimilikinya pun tak kalah dibanding tokoh-tokoh kosen lainnya.
Namun Raja Penyair ternyata juga bukan tokoh kemarin sore. Tubuhnya mampu berkelit-kelit lincah.
"Setan!"
Si Capung Hitam semakin geram saja dibuatnya. Apalagi ketika Raja Penyair mencelat tinggi ke atas, dan hinggap di salah satu cabang pohon. Lalu kembali tubuhnya mencelat ke cabang pohon lainnya dengan ringan.
"Sobat Capung Hitam! Aku tidak bermusuhan denganmu. Maka jangan buang-buang tenaga un?tuk hal-hal yang tak perlu!"
Selesai berkata begitu, Raja Penyair berkelebat cepat. Dan dalam sekejap bayangannya telah lenyap dari pandangan.
Sementara si Capung Hitam hanya terpaku, menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh Raja Penyair. Dan ini membuatnya makin geram saja.
"Kurang ajar! Hiih!"
Saking geramnya, si Capung Hitam menghentakkan kedua tangannya ke sisi jalan.
Wusss...! Krakkk...!
Sebatang pohon lain kontan ambruk terkena pelampiasan kemarahan si Capung Hitam yang diwujudkan dalam bentuk pukulan jarak jauh.
"Sudahlah.... Tidak usah dipikirkan soal orang aneh itu...," bujuk Pemimpin Pesanggrahan Kem?bang Melati.
"Penyair busuk itu jelas-jelas menyindir kita...!" dengus si Capung Hitam sambil bersungut-sungut.
"Biarkan saja. Toh dia tak mengganggu kita. Ayo, lanjutkan lagi perjalanan!"
Meski masih memendam kejengkelan, si Ca?pung Hitam akhirnya menurut.
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti yang diajak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati telah tiba di pe?sanggrahan itu. Saat ini hari telah sore. Gadis-gadis yang ada dalam pesanggrahan telah bersiap-siap menyambut tamu-tamu dengan segala macam daya pikat. Bau harum wewangian menebar hingga ke?luar pesanggrahan, langsung tercium pemuda berompi putih ini.
Malini berada di tempat ini" Apa yang dikerjakannya" Sepertinya tempat ini tempat berkumpul gadis-gadis nakal...," gumam hati Rangga.
Pertanyaan Rangga agaknya tak perlu dijawab oleh siapa pun. Karena saat tiba di halaman depan, terlihat banyak gadis berkumpul dengan dandanan medok dan senyum genit. Tingkah mereka memberi isyarat apa yang dilakukan di sini.
"Rangga, silakan!" ujar Pemimpin Pesang?grahan Kembang Melati, tiba-tiba telah berada di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tempat apa ini?" tanya Rangga. Sebuah pertanyaan yang agaknya bukan sekadar meminta jawaban, namun ingin menegaskan apakah benar Malini berada di tempat seperti ini.
"Oh, itu! Kau akan mengetahui sendiri. Atau..., mungkin kau tak berkenan?"
"Apakah..., apakah Malini bekerja di sini seperti mereka?" tanya Rangga, ragu.
"Hi hi hi...! Tentu saja tidak. Dia gadis terhormat. Dan aku tak akan membujuknya untuk bekerja seperti mereka. Ayo, silakan masuk! Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama!" ajak Pemimpin Pe?sanggrahan Kembang Melati.
Dengan sedikit termangu, Rangga melangkah. tak ada yang berani menggodanya. Gadis-gadis itu hanya melirik sekilas. Namun karena pemuda tam?pan itu datang bersama pemimpin tempat ini, bu?ru-buru mereka mengalihkan pandang ke tempat lain.
"Tunggulah di sini! Akan kupanggilkan Malini!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati seraya mengajak pemuda itu ke sebuah ruangan.
Rangga mengangguk. Lalu direbahkannya Adi?pati Sangkaran yang masih pingsan ke sebuah bangku panjang. Matanya jelalatan mengawasi seluruh ruangan tempat ini. Ketika masuk, tampak dua pengawal berjaga di depan pintu. Sedang si Capung Hitam dan yang lain menyebar entah ke mana. Mungkin tengah kembali pada pekerjaan semula. Atau..., tengah mengamankan pesanggra?han"
"Hmm!"
Rangga cepat menoleh ketika telinganya men?dengar langkah halus mendekati ruangan ini dari pintu yang lain. Tampak seorang gadis berkulit putih kemerahan dengan sepasang mata bulat indah dan hidung mancung telah hadir di ruangan ini. Rambutnya panjang. Pas betul dengan bentuk tubuhnya yang tinggi dan berisi. Manakala tersenyum, ruangan ini bagaikan terselimuti keceriaan.
"Malini?"
"Kakang Rangga?"
? *** ? 6 ? Suasana jadi hening saat antara Rangga dan Malini tak ada yang bersuara. Gadis itu tersenyum malu dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah dadu. Sedangkan Rangga diam membisu, tak tahu mesti bicara apa.
"Seperti yang pernah kujanjikan, aku membawakannya untukmu...," kata Rangga, memecah keheningan sambil menunjuk Adipati Sangkaran.
"Kakang, aku tak tahu harus berkata apa! Kau..., kau baik sekali padaku," ucap gadis ini.
"Hanya ini yang bisa kulakukan padamu. Dia tak sadarkan diri. Dan terserah padamu, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan padanya."
"Dia akan mendapat hukuman berat!" dengus Malini.
"Mestinya begitu."
"Tapi tidak sekarang...."
"Hmm!"
Gadis itu tersenyum lebar melihat Rangga mengerutkan dahi.
Aku ingin pertemuan kita ini dirayakan meski hanya kecil-kecilan. Terakhir, Kakang cepat sekali berlalu"."
"Ah, ya! Aku sampai lupa. Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Malini menarik napas lalu berpaling. Kemudian bangkit berdiri mendekati pintu. Dipanggilnya se?orang pengawal untuk membawa keluar Ki Sang?karan.
"Tolong perketat penjagaan! Jangan sampai dia lolos!" ujar gadis ini, tegas.
Pengawal itu mengangguk, lalu membawa Adi?pati Sangkaran keluar. Setelah itu, Malini menutup pintu dan kembali duduk di dekat Pendekar Raja?wali Sakti.
"Aku tak betah tinggal bersama Ayah...," desah Malini, lirih.
"Apakah dia galak?" tanya Rangga.
"Tidak."
"Lalu?"
Malini tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Tak apa. Kalau memang berat menceritakannya, kita bisa bercerita hal-hal lain!" kata Rangga sambil tersenyum lebar.
"Tidak. Aku memang ingin menceritakannya. Telah lama kusimpan sendiri. Dan aku berharap suatu saat aku bisa berbagi duka denganmu, Ka?kang. Dan siapa nyana ternyata keinginanku terpenuhi. Maukah Kakang mendengarnya?" kata Ma?lini, sedikit manja.
"Aku suka sekali! Tapi..., rasanya kita berada di tempat yang salah...," sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya memperhatikan keadaan sekeliling ru?angan ini.
"Kenapa" Kakang merasa tidak tenang di sini?"
"Entahlah...."
"Pemilik tempat ini baik. Dan dia kawan karib ku ketika aku masih kecil. Syukur dia mau menampungku di sini...," tutur Malini, menjelaskan tanpa diminta.
"Kau betah di sini?" tanya Rangga.
"Ya, ketimbang bersama ayahku. Yang beliau pikirkan hanya harta dan bagaimana menumpuknya. Aku tetap saja tak merasakan kasih sayang se?orang Ayah. Belakangan, beliau malah tergila-gila dengan wanita. Aku bosan melihatnya. Maka aku memilih kabur," papar Malini, sendu.
"Kabur" Apakah kau punya tujuan?" Rangga tertarik mendengarnya.
Malini menggeleng lemah. "Aku menuruti kemana kakiku melangkah saja. Dan..., pernah terlintas dalam benakku untuk mencarimu, Kakang.... Tapi kurasa kau pasti tak suka kuikuti seperti dulu."
Rangga terdiam. Dia memang tak suka diikuti. Apalagi oleh seorang gadis. Tapi untuk membenarkan kata-kata Malini tentu saja akan menyakiti hati gadis itu.
"Lalu aku bertemu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang bersedia menampungku di sini. Aku menceritakan kesulitanku. Juga, menceritakan tentang keinginanku meringkus si Sangkaran. Dan..., seperti yang Kakang lihat. Dia betul-betul baik dan rela berkorban segalanya untuk memenuhi keinginanku," papar Malini.
"Tanpa pamrih?" tanya Rangga.
Malini tersenyum sambil menggeleng.
Tok! Tok! Tok! Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Gadis itu buru-buru bangkit. Begitu pintu dibuka, tampak seorang gadis berdiri di ambang pintu membawa nampan berisi makanan dan minuman. Lengkap dengan piring serta cangkir.
"Letakkan di meja. Dan kau boleh kembali ke tempat mu!" ujar Malini.
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan tanpa menoleh pada Rangga. Sesudah memberi hormat, buru-buru dia keluar seraya menutup pin?tu.
"Mereka semua menghormatimu. Apa sebenarnya tugasmu di sini?" tanya Rangga ketika gadis itu menghidangkan secawan arak berbau harum padanya.
"Tugasku?" Malini tersenyum. "Aku tak punya tugas apa-apa."
"Hm.... Jarang ada seorang kawan sebaik itu!"
"Ya," sahut Malini mengangguk pasti. Entah dia tahu atau tidak kalau Rangga menyindir.
Malini mengangkat cawan, langsung menyodorkan pada pemuda itu.
"Kakang, silakan!" kata Malini, halus.
"Terima kasih!"
Tanpa menaruh curiga, Rangga menenggak arak. Dan begitu habis, Malini menuangkannya lag!
"Kakang.... Kau boleh menginap di sini kalau suka. Sebentar lagi malam...," kata Malini.
Suaranya terdengar lirih dan berbisik.
"Aku tak bisa, Malini...," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali...," keluh gadis ini dengan wa?jah kecewa
"Paling tidak, aku tak bisa menginap di tempat seperti ini."
"Kalau begitu, mengapa kita tidak cari tempat penginapan yang lain"!"
Rangga tersenyum melihat wajah gadis itu berbinar menawarkan usul.
"Tidak perlu...."
Lagi-lagi Malini cemberut.
"Yaaah, aku memang sudah menduga demikian. Kalau memang tak bisa, tak apa. Tapi pa?ling tidak, Kakang telah menemaniku di sini barang sesaat. Itu pun sudah amat menggembirakanku...," desah Malini.
"Aku harus pergi, Malini...," kata Rangga seraya bangkit. Dan mendadak kepalanya terasa pusing bukan main.
"Begitu cepatkah" Sedangkan arak ini belum lagi habis," cegah Malini halus.
"Tidak Aku tak boleh banyak-banyak minum arak."
Malini menunduk dengan wajah murung. Usahanya untuk menahan pemuda itu kembali menemui jalan buntu.
"Aku pergi sekarang. Sampaikan salamku pada kawanmu...," pamit Rangga sambil meninggalkan ruangan.
? *** ? Dari kejauhan Pendekar Rajawali Sakti menoleh sekali lagi. Tampak Malini belum juga mengangkat kepala di depan bangunan pesanggrahan. Ditariknya napas dan menguatkan tekad. Tidak baik baginya berlama-lama di sini. Berdua dengan se?orang gadis cantik dalam suasana seperti itu, rasanya Rangga tak ingin terburu. Apalagi, sepertinya dia mengetahui hasrat hati gadis itu padanya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sedikit memberi perhatian lagi, maka sama artinya dengan memberi harapan. Padahal itu tak diharapkannya. Ada ba?yangan Pandan Wangi yang cepat menyelinap dan mengingatkannya.
Sejurus kemudian langkah Pendekar Rajawali Sakti kembali terayun tegar semakin jauh mening?galkan pesanggrahan. Sekilas langkahnya hanya satu-satu. Namun kenyataannya tubuhnya begitu cepat berkelebat. Sungguh suatu pameran ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Namun ketika berada cukup jauh dari Desa Sangit, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Tepat di ujung tikungan jalan, telah berdiri lima sosok tubuh berpakaian serba hitam menghadang. Bahkan dua dari mereka sudah meluruk menyerang dengan sabetan pedang.
"Yeaaa...!"
"Sialan!"
Rangga memaki kesal, namun cepat meliuk-liukkan tubuhnya menghindari tebasan pedang. Be?gitu mendapat celah untuk menyerang, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali, dan mendadak kedua kakinya menghajar.
"Hiih!"
Desss...! Desss...!
"Aaakh...!"
Dua orang berbaju serba hitam itu kontan terjungkal ke belakang disertai pekik kesakitan. Tapi bersamaan dengan itu, tiga orang lainnya maju merangsek. Bahkan kemudian belasan orang lagi melompat dari balik semak-semak ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Rangga lompat ke belakang beberapa langkah. Di pasangnya kuda-kuda kokoh, siap mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Namun....
"Ohh...! Ada apa ini" Kenapa kepalaku terasa berdenyut dan pusing sekali"!" keluh Rangga dalam hati. "Apakah Malini yang...."
"Yiaaa...!"
Tengah Pendekar Rajawali Sakti mengalami gejala aneh dalam dirinya serta memikirkan siapa orang yang mempengaruhi daya kerja tubuhnya, para pengeroyok telah menyerang semakin beringas.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti berniat melenting tinggi ke udara. Namun sedikit pun tubuhnya tak mampu bergerak.
"Gila! Tenagaku pun seperti cepat terkuras habis. Celaka! Apa yang telah terjadi padaku" Malinikah yang berbuat. Tapi rasanya...."
Desss! "Aaakh...!"
Kata-kata Rangga terpenggal oleh satu tendangan yang mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjajar ke depan beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan salah seorang lawan untuk melepas hantaman keras dan bertenaga dalam tinggi.
Buk! "Uhh!"
Rangga terhuyung-huyung sambil menekap dadanya
"Ayo, terus! Dia sudah hampir lemah...!" teriak seseorang.
"Lekas...!"
"Yeaaa...!"
Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Keadaan Rangga saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Kepala pusing dan berat, serta pandangan berkunang-kunang. Dan yang lebih mengkhawatirkan, tenaganya pelan-pelan terkuras tanpa bisa dicegah lagi. Namun dalam hati Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau keadaannya disebabkan oleh makanan dan minuman yang disediakan Mali?ni, yang mungkin telah diberi ajian tertentu.
Pada saat itu dua sabetan pedang berkelebat ke arah Rangga. Satu ke leher dan satu lagi ke pinggang. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindar dengan susah payah. Tubuhnya berputar sambil membungkuk, lalu lompat ke belakang. Tapi begitu menjejak tanah....
Dess! Begkh! "Aaakh...!"
Satu tonjokan di dada, dan tendangan geledek ke perut. Membuat pemuda itu kontan terpental beberapa langkah ke belakang dan jatuh berdebuk keras di tanah.
"Ringkus dia...!"
Srap! "Uhh...!"
*** ? Begitu terdengar teriakan, pada kejap itu juga melayang sebuah jala yang membungkus tubuh Pendekar Rajawali Sakti sebelum sempat bangkit berdiri. Percuma saja Rangga berontak karena jala itu terbuat dari oyot-oyot yang amat alot. Apalagi, tenaga dalamnya tak mampu dikerahkan. Maka Pendekar Rajawali Sakti seperti seekor ikan yang tak berdaya dalam jala.
"Ha ha ha...! Ternyata hanya cuma segini kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga kembali berusaha berontak, namun tu?buhnya terasa lemas sekali. Tulang-tulangnya terasa dilolosi, sehingga tak dapat bergerak.
"Ha ha ha...! Atau barangkali kita menangkap Pendekar Rajawali Sakti palsu?" timpal yang lain.
Semua pengeroyok tertawa terbahak-bahak.
Sementara dua orang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengeluarkan tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti dari celah-celah jala, lalu mengikatnya. Bahkan seluruh tubuh Rang?ga pun dibebat seperti seekor binatang buruan.
"Huh! Kalau saja tak ada perintah, akan kugorok lehernya sekarang juga!" dengus salah se?orang.
"Aku juga! Sudah lama sekali aku menunggu saat seperti ini. Kalau sudah mampus, dia tak akan bisa bertingkah lagi!" timpal yang lain.
"Kita bawa dia sekarang!" teriak seseorang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan kawanan ini.
"Huh!"
Dengan kasar kedua orang yang tadi mengikat segera memikul tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti membawa babi hutan hasil buruan. Dari sela-sela jala, dimasukkan sebatang bambu untuk me?mikul.
"Begini sudah lebih baik. Mestinya kita seret dia!" dengus salah seorang pemikul.
"Sudah! Jangan cerewet terus. Kita cuma menjalankan perintah Ketua. Jadi jangan bicara macam-macam!"
Mendengar bentakan, dua orang pemikul diam membisu. Kini mereka melanjutkan perjalanan de?ngan tenang. Namun belum lagi sampai di batas Desa Sangit, mendadak...
"Hm, si Raja Penyair!" dengus pemimpin ka?wanan ini, ketika mendengar suara gesekan rebab. "Kebetulan bertemu di sini!"
"Kita hajar dia?" tanya kawannya. Tak ada jawaban. Masing-masing telah mengepalkan kedua tangan dengan raut wajah terlihat memendam kegeraman.
Dari arah berlawanan tampak pemain rebab yang dimaksud berjalan tenang seperti tak mempedulikan kehadiran mereka. Sosok itu memang Raja Penyair.
"Hei, Raja Penyair! Kebetulan kau berada di sini!" bentak laki-laki bertubuh kekar yang menjadi pemimpin. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Ra?ja Penyair dengan golok besar dan panjang di ta?ngan kanan.
Raja Penyair menghentikan langkahnya. Matanya memandang sekilas. Terlihat bola matanya bergerak-gerak di balik topeng yang dikenakannya. Namun seperti tak peduli, kembali kakinya melangkah sambil menggesek rebananya.
"Kurang ajar! Aku tengah bicara padamu. Dan kau harus mendengar!" bentak laki-laki kekar itu dengan tubuh menggigil menahan geram.
"Aku tak bicara dengan seekor kerbau tolol...!" sahut Raja Penyair seenaknya, dan terus melenggang melewati laki-laki kekar itu.
"Kurang ajar! Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu pada Golok Terbang. Karena, berarti kematian semakin dekat!" dengus laki-laki kekar berjuluk si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya sambil melompat.
"Sekarang aku yang mengatakannya. Dan kau tak akan percaya kalau sebenarnya kematianmu yang begitu dekat!" sahut Raja Penyair tanpa menoleh.
Siut! Sedikit lagi golok akan menebas leher, Raja Pe?nyair membungkuk. Tubuhnya cepat berbalik sam?bil mengibaskan penggesek.
"Oh..."!"
Si Golok Terbang berseru kaget. Gelagapan dia menangkis dengan tangan. Pletak!
"Aaah.. !"
Kontan si Golok Terbang menjerit kesakitan seraya terjajar ke belakang. Pergelangan kakinya nyaris patah dengan rasa sakit tak terkira.
"Itu baru permulaan...!" ejek Raja Penyair ter?senyum.
"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau, Pe?nyair Busuk...!" bentak si Golok Terbang kalap.
Dan dengan serta merta, laki-laki kekar itu melompat kembali. Goloknya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mendesing tajam.


Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Permainan golokmu buruk. Dan kau sama se?kali tak berbakat!" ejek Raja Penyair.
Dengan tenang, Raja Penyair merendahkan tubuhnya. Penggeseknya dikibaskan, menangkis sambaran golok.
Trak! Begitu si Golok Terbang terjajar, ujung peng?gesek Raja Penyair berputaran. Seketika terasa angin kencang bergulung-gulung ke arah pelipis.
"Uhh...!"
Si Golok Terbang terkejut. Gerakannya terhambat. Dan sebelum dia menyadari apa yang ter jadi, satu sabetan mendera punggungnya.
Plar! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan si Golok Terbang yang melengking. Kulit punggungnya robek dan berdarah. Wajahnya semakin geram saja melihat lawan yang tersenyum-senyum.
"Setan!"
Dengan mengumpat geram, si Golok Setan memberi isyarat pada anak buahnya. Belasan orang langsung bergerak serentak setelah mencabut senjata. Sikap mereka siap menyerang.
"He he he...! Hendak mengeroyokku" Kenapa tidak sejak tadi"!" ejek Raja Penyair.
? ? *** ? 7 ? "Jangan pedulikan ocehannya! Bunuh dia...!" bentak si Golok Terbang.
Serentak belasan orang berpakaian serba hitam ini melompat menerjang.
"Heaaat!"
Raja Penyair melompat ke sana kemari sambil menangkis serangan dengan penggesek di tangannya.
Trak! Trak! Begitu lincah dan cepat gerakan Raja Penyair. Bahkan ketika penggesek rebabnya meliuk-liuk mencari sasaran, tak seorang pun yang bisa mencegahnya.
Pletak! "Aaakh...!"
Seorang lawan menjerit kesakitan. Punggung?nya robek seperti yang dialami si Golok Terbang, tersabet penggesek rebab milik Raja Penyair.
"He he he...! Satu! Sekarang jadi dua!" seru Raja Penyair sambil terus berlompat menghindari sambaran tombak sekaligus. Bahkan tiba-tiba saja kedua kakinya bergerak lincah menendang.
Pak! Pak! Pletak! "Aaakh...!"
Tombak di tangan mereka terpental. Dan sebe?lum mereka sempat berbuat sesuatu, tengkuk mere?ka telah tersabet senjata aneh milik Raja Penyair. Kcduanya langsung sempoyongan sambil menjerit kesakitan.
"Salah! Ternyata jadi tiga! He he he...!" se Raja Penyair.
"Setan!"
Si Golok Terbang kesal bukan main melihat ulah Raja Penyair. Namun dia sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi ketika laki-laki bertopeng perempuan itu mulai mengamuk. Hatinya pun kian dikekang ketakutan. Dan dia semakin bertambah gentar saja ketika dalam waktu singkat satu persatu anak buahnya lumpuh tak bangun-bangun lagi.
"He he he...! Sekarang tinggal kau seorang...!" tunjuk Raja Penyair pada si Golok Terbang.
"Huh!"
Meski nyalinya semakin ciut, namun si Golok Terbang masih mampu pasang lagak dengan menunjukkan wajah bengis.
"Pilihlah kematianmu dengan cara bagaima?na!" ledek Raja Penyair.
"Phuih...! Kau kira mudah membunuhku"!"
"He he he...! Membunuh adalah mudah bagi Yang Maha Pencipta, seperti mudahnya menghidupkan yang mati. Aku bukan Maha Pencipta. Na?mun aku sanggup memisahkan leher dari tubuhmu!" sahut Raja Penyair.
"Keparat! Aku pun mampu mengorek jantungmu!" seru si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya.
"Kedengarannya hebat Tapi perlu latihan puluhan tahun untuk mampu melakukannya terhadapku. Dan orang sepertimu, meski berlatih seumur hidup, tak akan mampu melakukannya," sahut Raja Penyair menganggap enteng, langsung melenting ke atas.
Dan kesombongan Raja Penyair ternyata bu?kan omong kosong belaka. Sebab, serangan-serangan maut yang dilancarkan si Golok Terbang sama sekali tak mampu mengenai sasaran. Sebaliknya, dengan sekali serang si Golok Terbang tam?pak kewalahan. Penggesek rebab di tangan Raja Penyair menjadi senjata yang amat ampuh. Beberapa kali terjadi benturan, namun justru wajah si Golok Terbang yang berkerut menahan nyeri di tangan yang menjalar ke seluruh tubuh.
"Sudah cukup! Aku bosan bermain-main denganmu!" seru Raja Penyair.
Begitu habis kata-katanya, tiba-tiba Raja Pe?nyair mengebutkan senjata di tangan. Seketika serangkum angin kencang berputar-putar meluruk ke arah si Golok Terbang.
"Uhh...!"
Demikian kuatnya angin yang ditimbulkan, membuat si Golok Terbang terhuyung-huyung ke belakang. Dan pada saat itu juga Raja Penyair melesat ke arahnya dengan tangan terjulur.
Tuk! "Aaah...!"
Satu totokan halus, mendarat di bawah tengkuk. Disertai keluhan tertahan tubuh si Golok Ter?bang melorot tak berdaya.
"Aku bukan pembunuh. Tapi, tukang membuat syair. Hingga hari ini kupikir belum saatnya membunuh. Atau mungkin juga aku sedang tak ingin. Setelah totokanmu terlepas, kau boleh pergi dengan aman...," kata Raja Penyair tanpa mempedulikan keadaan si Golok Terbang.
Laki-laki bertopeng wajah perempuan ini melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Begitu dekat penggesek rebabnya dikibaskan.
Tras! Dengan sekali tebas, jala yang membungkus tubuh pemuda itu putus. Demikian pula ikatan pada kedua tangan dan kakinya.
Pluk! Kemudian sambil berbalik, Raja Penyair melemparkan sesuatu pada Rangga.
"Minumlah obat itu. Kau telah terkena sesuatu ajian yang berasal dari makanan dan minuman. Obat itu sendiri hanya untuk mengembalikan kekuatan tubuhmu. Untuk menghilangkan pengaruh ajian itu, kau harus bersemadi," ujar Raja Penyair.
"Terima kasih. Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga seraya memungut obat yang diberikan la?ki-laki itu.
"Orang-orang menyebutku sebagai Raja Pe?nyair. Tapi aku sendiri tidak merasa begitu...," sahut Raja Penyair merendah.
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...!" sahut Rangga seraya merangkapkan tangan di depan hidung.
"Tidak perlu! Aku menolongmu karena suatu hari mungkin aku butuh bantuanmu," cegah Raja Penyair.
"Bantuan apa yang bisa kuberikan" Katakanlah!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, setelah menelan obat sebesar kotoran kambing.
'Tidak sekarang. Selesaikan urusanmu lebih dulu. Dan setelah itu, beritahu aku di mana harus mencarimu. Selamat tinggal!"
Setelah berkata begitu Raja Penyair melesat cepat meninggalkan tempat itu
Rangga termangu memandang kepergian Raja Penyair. Dan ketika tubuhnya terasa agak segar, dia berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.
? *** ? "Goblok!"
Wajah si Capung Hitam tampak geram. Hawa amarah membayang jelas ketika suaranya terdengar menggelegar, mengejutkan barisan laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.
"Dengan jumlah yang demikian besar kalian tak mampu meringkusnya"!"
Berdiri paling depan adalah si Golok Terbang. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan mukanya dalam-dalam. Sedikit pun dia tak berani menentang tatapan si Capung Hitam.
"Mestinya kalian tidak bermain-main dulu...!" sambung si Capung Hitam bersungut-sungut. "Se?karang apa yang bisa kalian perbuat" Apa pertanggungjawaban ku terhadap Ketua"!"
"Biarlah akan kami usahakan lagi menangkapnya...," sahut si Golok Terbang, lirih.
"Menangkapnya" Apa kau kira mudah"!" ben?tak laki-laki berjubah hitam itu.
"Kukira dia belum terlalu jauh...," kilah si Go?lok Terbang.
"Kalau kau berpikir begitu, kenapa tidak dikejar"! Malah kemari dan membawa berita buruk!"
Mendengar bentakan itu, nyali si Golok Ter?bang kembali mengkeret. Dan untuk beberapa saat dia tak berani bicara sepatah kata pun.
"Keadaannya sekarang jadi kacau. Kalian gagal. Dan dia malah kabur! Padahal Ketua berharap penuh kalau kalian berhasil meringkusnya."
"Kalau saja si Raja Penyair tidak muncul...."
"Jangan salahkan dia! Salahkan diri kalian sendiri!" tukas si Capung Hitam meradang.
Si Golok Terbang kembali terdiam.
"Kurasa lebih baik kalian melapor sendiri pada Ketua!"
"Tapi..."
"Itu tanggung jawab kalian. Dan mestinya ka?lian sendiri yang harus menanggung akibatnya!" tegas si Capung Hitam.
Si Golok Terbang semakin bergidik saja men?dengar kata-kata si Capung Hitam. Kalau mesti memilih, maka dia akan memilih melapor pada si Ca?pung Hitam seperti yang dilakukannya sekarang ketimbang mesti melapor pada Pimpinan Pesanggrahan Kembang Melati. Karena yang sudah-sudah, siapa yang melapor tentang kegagalan, maka Ketua akan memberi hukuman berat. Sedangkan kepada si Capung Hitam, yang merupakan orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, pa?ling sial dimaki-maki! Asal diam saja, maka makiannya tak lama. Dan sebentar pun reda.
Tapi kali ini beda! Si Capung Hitam kelihatan betul-betul marah. Dan itu dilampiaskannya dengan menyuruh si Golok Terbang melapor sendiri pada Ketua. Itu menandakan kalau si Capung Hitam agaknya takut kena hukuman pula.
"Lekaaas...!" bentak si Capung Hitam.
"Ba..., baiklah...."
Dengan lesu si Golok Terbang menghormat, lantas berbalik. Tapi sebelum melangkah, dia ter-jingkat. Ketika mendongak ke atas, terlihat Pemim?pin Pesanggrahan Kembang Melati telah menghadang!
"Ketua, maafkan! Hamba tak melihat kehadiran Ketua di sini...!" ucap si Golok Terbang ketakutan.
Si Capung Hitam pun berbuat yang sama de?ngan membungkuk hormat.
"Maaf, Ketua. Kami tak mengetahui kehadiran Ketua di sini...."
"Sudahlah. Tak apa...," sahut wanita bertopeng itu.
"Eh, ng.... Kalau boleh tahu, ada keperluan apa Ketua telah berada di sini?" tanya si Capung Hitam, memberanikan diri.
"Aku ingin dengar laporan hasil tugasmu. Ka?rena, yang lain kulihat telah kembali."
"Eh, itu..., itu...."
Si Capung Hitam jadi bingung sendiri. Si Golok Terbang adalah kawannya. Dan untuk mengatakannya langsung, tentu saja agak sungkan meskipun tadi telah mengancam.
"Kenapa, Capung Hitam" Kau kelihatan takut dan sungkan. Ceritakanlah, bagaimana hasil tugas kalian'" tanya Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Suaranya datar. Bahkan bernada halus.
Mendengar itu hati si Capung Hitam sedikit lega. Meskipun, masih was-was.
"Kami..., kami telah gagal, Ketua...."
"Hmmh!"
Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak memberi tanggapan kecuali sepasang matanya yang menatap tajam ke arah mereka berdua.
"Kami mohon maaf, Ketua. Mestinya berhasil. Tapi.., si Raja Penyair telah mengganggu," sambung si Capung Hitam, menjelaskan.
"Apa maksudmu" Si Raja Penyair menggang?gu?"
Si Capung Hitam memberi isyarat agar si Golok Terbang segera bicara.
"Kami telah berhasil meringkusnya, Ketua. Tapi di tengah perjalanan, Raja Penyair muncul dan menghajar kami. Lalu dia membebaskan pemuda itu...," lapor si Golok Terbang.
"Si Raja Penyair biasanya tak akan meng?ganggu kalau tidak diganggu lebih dulu," gumam wanita itu.
"Ketua...!"
"Ya, aku tahu," potong wanita ini. "Kalian ke?sal melihat tingkahnya. Mestinya kalian bisa me?nahan diri, karena tengah menjalankan tugas. Dan mestinya pula, jangan menunda-nunda tugas yang telah kuberikan!"
"Ketua, aku terima salah! Hukumlah aku de?ngan hukuman yang pantas!" seru si Golok Ter?bang seraya berlutut di hadapan Pemimpin Pesang?grahan Kembang Melati.
Tak terdengar jawaban dari wanita yang wajahnya tertutup topeng kain hitam itu. Hanya terdengar hela nafasnya yang panjang.
"Sudahlah. Kali ini kau ku maafkan, Golok Ter?bang...," katanya datar. "Namun sebagai gantinya, kau mesti membawa ke sini seorang jago silat yang sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Katakan padanya, berapa pun bayaran yang diminta, aku menyanggupi!"
"Terima kasih atas ampunan Ketua! Segala titah kujunjung tinggi!" desah si Golok Terbang.
"Pergilah sekarang juga! Dan cepat kembali! Kuberi kau waktu sampai esok pagi!"
"Baik, Ketua...!"
Setelah memberi hormat, si Golok Terbang segera bangkit dan berlalu dari tempat ini, diikuti beberapa orang. Si Capung Hitam sedikit heran melihat kemurahan hati ketuanya kali ini. Biasanya beliau ringan tangan dan suka menghukum. Tapi kali ini si Golok Terbang malah diampuni dan diberi tugas ringan, sebagai gantinya. Namun dia tak berani lagi mengusik soal hukuman atas kegagalan si Golok Terbang dalam menjalankan tugas.
"Ketua, untuk apa mesti menyuruh si Golok Terbang mencari jago silat lain...?" tanya si Capung Hitam hati-hati.
*** ? Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang semula hendak berbalik dan keluar dari ruangan itu, mengurungkan niatnya. Dipandanginya si Ca?pung Hitam sesaat.
"Apakah kau kira mudah mengalahkan Pen?dekar Rajawali Sakti?" tukas wanita bertopeng ini.
"Jika Ketua perintahkan, aku sanggup membawa kepalanya untukmu!"
Perempuan bertopeng itu mengeluarkan suara tawa sengau.
"Capung Hitam! Tidak ku ragukan keahlian mu dalam ilmu silat. Tapi Pendekar Rajawali Sakti bukan orang sembarangan. Dan aku tak mau kehilangan orang kepercayaan ku untuk suatu yang sia-sia."
"Mengapa Ketua memandang tinggi padanya" Kadang nama besar yang kita dengar tidak sebanding dengan kenyataan."
"Benar katamu! Tapi aku bukan sekadar men?dengar. Bahkan telah menyaksikan sendiri kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"
"Ketua. Kau kuanggap memiliki kesaktian di atasku. Apakah..., kau pun gentar terhadapnya?" tanya si Capung Hitam.
Pertanyaan itu sebenarnya sangat lancang. Karena meragukan kemampuan ketuanya sendiri. Tapi dia perlu mengetahui sendiri dari mulut wanita bertopeng ini.
Perempuan bertopeng berambut panjang itu terdiam. Lalu tubuhnya berbalik sambil melangkah pelan.
"Ya! Aku memang segan bertarung dengannya...," sahutnya dengan suara pelan.
Si Capung Hitam termangu. Demikian hebatnyakah Pendekar Rajawali Sakti sampai ketuanya pun segan terhadap pemuda itu" Tapi si Golok Ter?bang mengatakan kalau dia dan kawan-kawannya dengan mudah meringkus pemuda itu"
"Kalaupun si Golok Terbang dan kawan-ka?wannya berhasil meringkus, itu karena dalam mi?numan kuberi ajian khusus yang sebenarnya hanya bertahan dua hari. Tapi mungkin akan cepat hilang jika mengingat tenaga dalamnya hebat. Itulah sebabnya aku perlu jago silat yang bisa mengatasi amukan pemuda itu dalam waktu cepat!" jelas Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati, seperti bisa membaca pikiran si Capung Hitam.
Si Capung Hitam mengangguk mengerti.
"Tapi..., kalau hanya mencari seorang jago silat yang benar-benar hebat, kenapa tidak perintahkan aku saja!" tuntut si Capung Hitam.
Perempuan bertopeng itu berbalik. Sepasang matanya tampak berbinar.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku tahu jago silat yang Ketua maksudkan!"
"Siapa?"
"Guruku sendiri!"
Perempuan bertopeng itu belum memberikan tanggapan untuk beberapa saat.
"Beliau terkenal sebagai jago silat nomor wahid di tanah Jawa ini. Jarang ada yang bisa menandingi kehebatannya! Aku sendiri hanya dapat secuil dari kepandaiannya...," lanjut si Capung Hitam. Pada mulanya nada bicaranya berapi-api. Namun sampai pada kalimat terakhir terdengar lirih. Bahkan cenderung masygul.
"Bagaimana kau bisa memanggilnya ke sini?" tanya wanita bertopeng itu.
"Itu tak jadi soal. Namun yang berat adalah syarat yang mungkin beliau ajukan...," desah si Ca?pung Hitam.
"Apa syaratnya?" tanya wanita itu, jadi tertarik.
"Beliau ingin dilayani seperti layaknya seorang raja...."
"Kalau itu tidak menjadi masalah!"
"Namun tidak sekadar cuma itu, Ketua....!"
"Hmm!"
"Ada syarat yang terberat...," jelas si Capung Hitam dengan suara berat. Dia tak buru-buru melanjutkan kalimat. Dipandanginya pemimpin pe?sanggrahan ini sesaat lamanya.
"Syarat berat apa yang kau maksudkan. Katakanlah!" ujar wanita itu.
"Mungkin ini tak pantas, Ketua...."
"Hmm!"
"Beliau suka perempuan. Dan kalau tahu yang meminta bantuannya adalah seorang perempuan, maka biasanya akan minta dilayani layaknya suami istri. Sekurang-kurangnya selama sebulan. Dan se?tiap hari, tiga kali melayaninya di tempat tidur.
"Kurang ajar...!" sentak Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati dengan mata melotot geram.
"Maafkan hamba, Ketua...!" ucap si Capung Hitam.
"Hhh...!" desah wanita itu.
Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu tak dapat menahan amarahnya. Hela nafasnya terasa berat. Sejenak dipandanginya si Capung Hitam. Namun sesudahnya, dia cepat berbalik dan meninggalkan tempat itu.
"Ketua, maafkan...! Aku tak bermaksud membuatmu marah...!"
Percuma saja si Capung Hitam mengejar, ka?rena dalam sekejap wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Langsung dikuncinya pintu.
Laki-laki berjubah hitam itu cuma bisa mematung di depan pintu. Tapi saat itu juga muncul se?orang anak buahnya dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat seperti mayat dan nafasnya turun naik tak beraturan.
"Ki Anjer, syukur kau ada di sini! Celaka, Ki! Celaka...!" lapor laki-laki berusia dua puluh delapan tahun, menyebut nama asli si Capung Hitam.
"Hei, Badar! Ada apa" Tenanglah, ada apa" Ceritakan pelan-pelan!" ujar si Capung Hitam alias Ki Anjer.
"Seseorang datang dengan tiba-tiba, lalu mengacau!" lapor laki-laki bernama Badar.
"Siapa?"
"Orang asing! Pakaiannya berbeda dengan orang kebanyakan. Dan dia menyebutkan namanya. Kalau tak salah, Banghadur Gupta. Dia ingin bertemu Ketua!"
"Ketua tengah ada persoalan. Beliau tak bisa diganggu. Biar kuhadapi dia!" kata Ki Anjer.
"Tapi, Ki...."
"Kenapa kau ini"!" potong si Capung Hitam. "Tunjukkan padaku, di mana pengacau itu"!"
"Baiklah...."
? *** ? 8 ? Si Capung Hitam tercengang begitu sampai di depan. Beberapa anak buahnya tampak bergelimpangan menjadi mayat. Di dekatnya terdapat bangkai hewan seperti anjing, babi hutan, burung-burung kecil dan ular. Kemudian tidak jauh dari pintu depan terlihat seorang laki-laki kurus bertelanjang dada tengah berdiri tersenyum-senyum. Orang itu memakai sorban putih dan memakai cawat yang terbuat dari selendang putih yang dililit sedemikian rupa. Di sekelilingnya terlihat segala jenis binatang.
"Kurang ajar! Apa yang kau perbuat di sini"!" Hardik si Capung Hitam.
"Monyet busuk! Jangan banyak bicara kau! Panggil ketuamu ke sini!" balas laki-laki bersorban yang mengaku bernama Banghadur Gupta!
"Setan! Setelah apa yang kau perbuat, kau masih pentang bacot di sini! Huh! Nyawamu ada di tanganku, Cacing Busuk!"
Baru saja Ki Anjer selesai membentak, Bang?hadur Gupta telah mengibaskan tangan kanan. Se?ketika serangkum angin kencang menerpa kuat ke arahnya.
"Hup! Kurang ajar!"
Namun orang kepercayaan Pemimpin Pesang?grahan Kembang Melati itu cepat melompat ke atas menghindarinya.
Krakkk! Akibatnya, sebatang pilar yang ada di belakang si Capung Hitam roboh dalam keadaan hancur. Na?mun bahaya lain mengintai Ki Anjer. Dua ekor serigala tiba-tiba menerkam gesit dari dua arah yang berlawanan. Secepatnya Ki Anjer mencelat ke atas. Tubuhnya berputaran di udara. Lalu meluruk sambil menghantam salah satu serigala.
Plak! "Kaing!"
Seekor serigala berhasil ditewaskan. Sementara yang seekor lagi berhasil dihindari si Capung Hitam dengan menjatuhkan diri. Namun begitu Ki Anjer bangkit berdiri, Banghadur Gupta telah mengibas?kan tangannya. Seketika dari telapak tangannya melesat sinar berwarna kuning keemasan.
Jdegg! "Aaakh...!"
Si Capung Hitam terpental beberapa langkah sambil menjerit kesakitan ketika sinar kuning menghantam tubuhnya. Dari mulutnya menyembur da?rah segar. Sebelah tangannya mendekap dada.
"Hi hi hi...! Hanya seginikah kemampuan orang andalanmu, Malini"! Ayo, keluarlah! Jangan sembunyi terus di dalam!" teriak Banghadur Gupta.
"Keparat!"
Si Capung Hitam menggeram, seraya berusaha hendak bangkit. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, dia bermaksud menyerang kembali, namun....
"Tahan!"
Terdengar seruan seseorang dari belakang. Cepat si Capung Hitam berbalik. "Oh, Ketua!"
"Hi hi hi...! Akhirnya kau keluar juga, Anak Bengal!" seru laki-laki ceking dan berkulit hitam itu melihat kemunculan Pemimpin Pesanggrahan Kem?bang Melati.
Perempuan bertopeng itu memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan pada si Capung Hitam.
"Berapa lama waktu yang kau perlukan untuk memanggil gurumu ke sini?" tanya wanita berto?peng hitam yang dipanggil Malini.
"Apa maksud, Ketua"!" tanya Ki Anjer.
"Berapa lama kataku"!"
"Oh! Tapi..., tapi...."
"Jawab, Ki Anjer!"
"Baiklah. Mungkin sekitar sepenanakan na?si...."
"Hmm! Kalau begitu, dia tak jauh dari sini."
"Sebaliknya, Ketua. Aku bahkan tak tahu, seberapa jauh dia dari sini. Tapi aku punya cara untuk menghubunginya agar dia segera ke sini. Dan baginya jarak bukanlah persoalan sulit. Begitu pesanku diterima, maka dalam sekejap dia akan ke sini!" jelas Ki Anjer.
"Kalau begitu, lekas panggil dia!"
'Tapi, Ketua...."
"Aku tak peduli dengan syarat-syarat yang diajukannya! Lekas! Pergilah kau lewat jalan bela?kang, setelah aku berurusan dengan laki-laki kurus ini. Katakan pada gurumu, dia harus menyelamatkanku dari laki-laki kurus ini!" perintah Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Tapi, Ketua...."
Perempuan itu tak menjawab, dan terus melangkah mendekati laki-laki kurus berkulit hitam itu.
"He he he...! Malini! Bagaimanapun kau bersembunyi, mana mungkin bisa lari dariku. Apalagi dengan mengenakan topeng buruk itu! He he he ..!" oceh Banghadur Gupta.
"Ayah! Terimalah sembah hormat anakmu...!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati sambil berlutut di hadapan laki-laki kurus berkulit hitam itu.
"Hi hi hi...! Bagus, bagus! Ini baru namanya anak yang berbakti!" seru Banghadur Gupta. "Tapi bukan berarti aku mengampunimu, Malini!"
Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang memang Malini, menggigil tubuhnya mendengar kata-kata Banghadur Gupta.
"Kau telah lari dariku dengan membawa benda-benda berharga yang selama ini kusimpan bertahun-tahun!" desis Banghadur Gupta.
"Tapi, Ayah.... Bukankah Ayah telah lihat hasilnya" Lihat pesanggrahan ini! Indah, bukan" Ini ku bangun khusus untuk Ayah. Kalau menunggu Ayah berbuat, sampai kapan akan terwujud?" kilah Malini.
"Hi hi hi...! Kau mewarisi kepintaran berkelit dariku rupanya. Tapi jangan kira aku tak mengetahuinya. Kau akan tetap dapat hukuman atas kelancanganmu!" ancam laki-laki kurus, ayahnya Malini.
"Tapi, Ayah...!"
"Nanti malam akan datang ke sini seorang hartawan kaya raya. Kau harus melayaninya selama dua hari dua malam!"
"Ayah..."!"
"Keputusanku tak bisa ditawar-tawar!" tukas Banghadur Gupta. "Perintahkan anak buahmu yang tersisa untuk membereskan bangkai-bangkai ini sekarang juga. Dan, kau! Berdandanlah yang rapi! Buka topeng bulukan yang melekat di mukamu itu!'
Malini tak berani membantah sepatah kata pun titah Banghadur Gupta. Namun untuk bangkit pun, rasanya tak kuat. Rasanya, kekuatannya dihimpit oleh perasaan yang berkecamuk di hati atas perin?tah yang ditimpakan Banghadur Gupta kepadanya. Namun sebelum Malini bersuara, muncul seorang pemuda berompi putih di halaman depan bangunan pesanggrahan.
? *** ? "Banghadur Gupta! Maafkan! Anakmu harus menyelesaikan urusannya padaku!" kata pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei!"
Banghadur Gupta cepat menoleh. Bibirnya langsung tersenyum-senyum ketika mengenali pe?muda itu.
"Kau rupanya, Bocah! He he he...! Dunia ter?nyata hanya sedaun kelor. Dan tak kusangka kita akan bertemu lagi di sini."
"Kakang Rangga...!" desis Malini. Gadis ini baru saja hendak bangkit menghampiri, namun....
"Diam di tempatmu!" bentak Banghadur Gup?ta, nyaring.
Langkah Malini kontan terpaku.
"Ohh...!"
Seperti dilolosi tulang-belulangnya, tubuh Ma?lini ambruk tak berdaya.
"Mentang-mentang ada gendakmu di sini, kau kira bisa berbuat seenaknya"!" dengus Banghadur Gupta.
"Banghadur Gupta! Kau boleh berbuat apa saja terhadapnya. Tapi kuharap, jangan ikut campur da?lam urusan kami!" tangkis Pendekar Rajawali Sakti.
"Hi hi hi...! Kau kira bisa menolongnya dalam cengkeramanku, Bocah" Dia putri ku. Dan kau tak berhak ikut campur! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan jahat padamu!" ancam Banghadur Gupta tertawa mengejek. "Meski rajawali raksasa itu kau perintahkan untuk melawanku, jangan kira kali ini aku tak mampu mempengaruhinya untuk membunuhmu!" (Banghadur Gupta pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: "Memburu Rajawali").
"Aku tak perlu sahabatku untuk menghajarmu! Aku saja sudah cukup!"
"He he he...! Bocah sombong! Dengan mengandalkan apa kau ingin menghadapiku?"
"Aku tak mengandalkan apa-apa...," sahut Rangga datar.
"Jangan sok merendah! Aku punya banyak cara untuk melumpuhkanmu, tahu"! Salah satunya ini!"
Begitu habis kata-katanya, Banghadur Gupta mengibaskan tangan. Maka saat itu juga tiga ekor serigala dan empat ekor elang menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru.
"He he he...! Kalau ini bukan sihir, Bocah! Kau boleh hadapi mereka dulu sebelum aku turun ta?ngan!"
"Hup!"
Rangga mundur dua langkah langsung memasang kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Lalu tiba-tiba....
"Aji 'Bayu Bajra'...!"
Disertai bentakan nyaring Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke segala penjuru. Seketika dari kedua telapaknya melesat angin keras bagai badai topan.
Wuuurr...! "Kaing...!"


Pendekar Rajawali Sakti 210 Misteri Wanita Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin kencang laksana badai topan kontan menyapu binatang-binatang yang hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Binatang-binatang itu beterbangan jauh tak tentu arah.
"Heaaa...!"
Begitu menutup ajiannya, Rangga bertindak ti?dak kepalang tanggung. Seketika tubuhnya ber?kelebat cepat bagai kilat dengan rangkaian jurus-jurus 'Rajawali Sakti' menyerang Banghadur Gupta.
"Hi hi hi".! Dasar bocah dungu! Kau akan mati di tanganku!" leceh laki-laki kurus kering itu.
Plas! Saat itu juga Banghadur Gupta menghilang membuat serangan Rangga hanya menyambar-nyambar angin. Pendekar Rajawali Sakti jadi celingukan ketika terdengar tawa laki-laki kurus itu.
"Hmm!"
Rangga menggumam tak jelas. Dia tak sudi terpancing oleh tipu muslihat lawan. Secepat itu ma?tanya dipejamkan. Kini dia mengandalkan tenaga batin serta pendengarannya.
"Ha ha ha...! Ayo, serang aku lagi! Ayo, serang, Bocah Tolol!" seru Banghadur Gupta yang kasat mata.
"Yeaaa...!"
Rangga bergerak ke kanan, seraya mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian dia melompat tiga langkah ke depan, lalu terus mengejar ke samping kiri empat langkah
Tak terdengar suara tawa Banghadur Gupta yang terdengar malah seruan kaget.
"Sialan!" maki suara tanpa wujud.
"Tak perlu memaki, Orang Asing!"
"Ternyata kehebatanmu boleh juga. Tapi aku punya kejutan untukmu, Bocah Edan!"
Banghadur Gupta yang kembali menampakkan wujud kasarnya, bergerak menjauh. Dan sebelum Rangga sempat menyerang, dia memutar telunjuk kanan beberapa kali.
Wusss...! Terdengar angin halus bertiup pelan. Namun mendadak berubah cepat, menimbulkan suara gemuruh seperti badai topan. Suara pasir bergerak, daun- daun bergemerisik. Dan sesekali diiringi suara guntur.
"Hm.... Apa yang tengah diperbuatnya?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga termangu. Dan sesaat dia tak tahu ha?rus berbuat apa. Pada saat yang sama terdengar suara tawa Banghadur Gupta dari segala penjuru.
"Hi hi hi...! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu untuk menghadapi permainan ini, Bocah Dungu! Ayo, kerahkan seluruh kehebatanmu! Hi hi hi...!"
Rangga jadi ragu sendiri. Apakah semua ini sihir atau kesaktian laki-laki kurus itu.
"Kalau kubuka mataku, jangan-jangan aku akan terus terperangkap ke dalam sihirnya. Tapi kalau tidak kubuka, keadaanku akan semakin payah.... Apa yang mesti kuperbuat?"
Belum lagi Rangga menentukan keputusan, mendadak terasa dua desir angin dari arah depan dan belakang yang bergerak ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas dengan mata masih terpejam. Lalu....
Jdaggg! "Aaakh...!"
Tak disangka-sangka, satu hantaman telak menggedor dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kontan terlempar ke belakang sambil menjerit tertahan. Sebelah tangannya mendekap dada. Meski begitu, dia masih sempat menguasai diri dengan berputaran di udara. Lalu kakinya mendarat empuk di tanah.
"Aku akan patahkan kedua tangan dan kakimu sebagai tanda mata dariku!" teriak Banghadur Gupta.
Rangga bertindak nekat. Sambil membuka ma?ta dan menunduk ke bawah, dia mencabut pedang.
Sring! Begitu pedang tercabut, pada saat itu terdengar suara bergemuruh.
Rangga tersentak kaget demikian pula Bang?hadur Gupta!
"Ha ha ha...! Ada gadis cantik menungguku! Dan aku sudah tak sabar hendak merangkulnya!"
Siuttt! "Oh, Ayaaah...! Kakang Ranggaaa...!"
"Malini..."!"
*** ? Rangga dan Banghadur Gupta sama-sama berseru kaget. Kejadian ini berlangsung demikian cepat. Tadi mereka sempat melihat kelebatan bayangan yang bergerak amat cepat membawa satu sosok tubuh. Bahkan Rangga sendiri melihatnya samar-samar. Kemudian jeritan Malini terdengar. Lalu bayangan itu lenyap bersamanya.
"Iblis terkutuk! Kau kira bisa lari begitu saja dariku"!" teriak Banghadur Gupta, kalap.
Secepatnya, laki-laki tua kurus berkulit hitam itu mengejar dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya.
Semula Rangga ingin ikut mengejar. Tapi se?telah berpikir sesaat, niatnya diurungkan. Pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau telah kembali ke dalam warangkanya.
"Aku tengah terluka. Dan..., tak ada untungnya aku mengejarnya. Buat apa" Menyelamatkannya" Kurasa tak perlu. Karena, toh dia pun bermaksud buruk padaku.... Dan lagi, aku yakin ayahnya bisa menyelamatkannya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Dengan langkah lesu, Rangga meninggalkan tempat itu. Namun....
"Tuan...! Tuan, tunggu.. !"
Rangga berbalik saat mendengar seruan dari belakang. Tampak seorang perempuan muda tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Tuan, tunggu sebentar! Jangan pergi dulu!" cegah perempuan ini.
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Aku..., aku abdi setia Ketua...," sahut perem?puan muda itu dengan napas terengah-engah. "Namaku..., namaku Nganinten."
"Hm. Maksudmu, Malini" Lalu apa maksudmu menghentikan langkahku?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku ingin minta pertolonganmu, Tu?an...."
"Pertolongan apa?"
"Tuan...! Kudengar kau seorang pendekar budiman. Maka kau tentu bersedia menolongku...."
"Pertolongan apa yang bisa kuberikan pada?mu?"
'Tapi, tentu Tuan berjanji melakukannya, bu?kan?"
"Nganinten! Aku tak tahu pertolongan apa yang kau inginkan. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya?"
"Tolonglah Ketua, Tuan...."
"Hmm! Kalau itu tidak bisa!" sahut Rangga tegas.
"Tuan, tolonglah Tuan! Tolonglah dia...!" seru Nganinten seraya menubruk dan memeluk sebelah kaki pemuda itu erat-erat.
"Tolong, Nganinten. Jangan cegah aku. Lepaskanlah kakiku," ujar Rangga halus.
"Aku tak akan melepaskannya sebelum Tuan mengabulkan permintaanku!" tegas Nganinten.
"Aku tak akan menolong orang yang telah mengecewakanku. Bahkan dia bermaksud membunuhku...!"
"Membunuhmu" Tidak! Itu tidak benar! Ketua tidak pernah punya maksud membunuhmu, Tuan!" sanggah Nganinten.
"Apa yang kau tahu soal itu?" sahut Rangga datar. "Beberapa orangnya datang menyergapku, lalu meringkusku setelah majikanmu memberi ajian pelumpuh raga dalam minuman ku!"
"Tuan! Kau salah sangka! Majikanku sama se?kali tak bermaksud membunuhmu!" seru Nganin?ten
"Kalau tidak, tak perlu dia menggunakan cara seperti itu!"
"Dia hanya tak ingin jati dirinya diketahui..., oleh Tuan...!"
"Hmm!"
Rangga berpikir sebentar. Dan Rangga teringat kalau Malini menerangkan bahwa Pemimpin Pe?sanggrahan Kembang Melati adalah kawannya. Padahal, sebenarnya gadis itu sendiri. Dan para penyergap Pendekar Rajawali Sakti dipimpin oleh anak buah pemimpin pesanggrahan itu. Paling tidak agar timbul seolah-olah pemimpin pesanggrahan itu yang bermaksud meringkusnya. Dan saat mereka menyerang, sama sekali tak bermaksud membunuhnya. Apalagi saat mendengar umpatan kekesalan dua orang pengeroyok yang tengah mengikatnya. Mereka begitu geram hendak membunuhnya, namun terhalang oleh perintah majikan Pesang?grahan Kembang Melati. Dan yang belakangan baru diketahui, ternyata Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu adalah Malini sendiri. Tapi apa maksudnya berbuat seperti itu"
"Bagaimana" Tuan tentu mau menolongnya, bukan?" desak Nganinten.
"Siapa sebenarnya orang itu...?" tanya Rangga.
"Aku tak sengaja menguping pembicaraan be?liau dengan Ki Anjer...," jelas Nganinten.
"Ki Anjer?"
"Si Capung Hitam! Ketua telah memperhitungkan kalau Tuan bakal datang dan menghajarnya. Oleh karenanya, dia bersiap-siap. Disuruhnya si Golok Terbang mencari jago silat yang mampu menandingi Tuan. Belakangan si Capung Hitam menawarkan diri dan bermaksud memanggil gurunya. Tapi tabiat gurunya itu aneh. Dan itulah yang aku takutkan. Menurut si Capung Hitam, gurunya gila perempuan!"
Rangga kembali terdiam. Entah apa yang te?ngah dipikirkannya saat ini.
"Aku tak bisa menjanjikan karena aku pun ada urusan lain yang mesti kuselesaikan. Tapi kalau kesempatan itu ada, aku akan berusaha menolongnya..."
Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat ce?pat sekali diikuti pandangan kosong Nganinten.
? ? ? SELESAI ? ? Bagaimana nasib Malini" Siapa sosok bayangan yang membawanya pergi. Mampukah Banghadur Gupta menolong anaknya" Bersediakah Pendekar Rajawali Sakti memenuhi permintaan Nganinten" Untuk jelasnya....
? ? ? Ikutllah kelanjutan kisah Ini dalam episode:
? ? PENDEKAR RAJAWALI SAKTI:
HARPA NERAKA ? ? Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Aura PandRa
? ? https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978
www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 Kilas Balik Merah Salju 3 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 23

Cari Blog Ini