Ceritasilat Novel Online

Pendeta Murtad 2

Pendekar Rajawali Sakti 196 Pendeta Murtad Bagian 2


Semakin lama pertarungan jadi semakin berat sebelah. Walau berusaha semampu mungkin, tetap saja kedua kakek sableng ini terdesak. Bahkan, sebuah tendangan keras dan telak telah menghantam punggung Ki Demong. Lalu, disusul terpukulnya perut Ki Sabda Gendeng. Keduanya terpelanting, namun cepat bangkit kembali dengan mulut meringis menahan sakit.
"Chiaaat!"
Desss...! Desss...!
Kembali kedua laki-laki tua ini terkena pukulan keras dari dua laki-laki yang dikenal berjuluk si Cadar Merah dan si Cadar Biru. Sehingga, kedua tubuh tua itu tersungkur kembali mencium lantai.
Pada saat yang sama, Duri Bunga Beracun di tangan Dewi Kencana Wungu berhamburan ke arah Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng yang masih tergolek di lantai. Dan di luar dugaan, keduanya melenting ke atas dengan gerakan udang. Tubuh mereka berjumpalitan tujuh kali ke udara.
Pyarrr...! "Aaakh...!"
Tidak ampun lagi seorang pengepungnya berteriak menyayat terkena Duri Bunga Beracun yang salah sasaran.
Orang itu kontan berteriak sambil menggaruk-garuk seluruh tubuhnya yang terasa gatal. Dia sudah tidak peduli lagi pada ketua dan atasannya. Bisa dibayangkan, betapa jahatnya racun ini.
Begitu mendarat Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng, sampai bergidik ngeri melihat kejadian itu. Keduanya tak menyangka Duri Bunga Beracun begitu jahat. Namun sebelum hilang keterkejutan mereka, serangkum angin berbau harum tiba-tiba meluruk. Secara bersamaan kedua laki-laki tua sableng ini menghentakkan kedua tangan, menangkis. Dan....
Blarrr! "Hoaakh!"
?"Aaagkh...!"
Tak dapat tertahan lagi, tubuh Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng terlempar disertai muntahan darah. Kedua tokoh itu tidak dapat bangkit kembali. Mereka hanya dapat telentang tanpa dapat bergerak.
"He he he...! Demong! Tidak sangka pada hari ini kita akan mati bersama-sama...," ujar Ki Sabda Gendeng.
"Ho ho ho...! Asyik sekali, Sabda Gendeng! Kita dapat mati bersama.... Mereka, belum tentu dapat seperti kita...," sahut Ki Demong sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
Begitu habis berkata, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng jatuh pingsan. Melihat hal ini si Cadar Merah telah mengayunkan senjatanya.
Agaknya, kedua tokoh konyol ini akan menemui ajal secara mengenaskan.
Wesss...! Namun, pada saat yang gawat berkelebat sebuah bayangan putih yang kecepatannya bagaikan kilat.
"Awaaas...!"
Kedua orang bercadar itu sampai berteriak saking terkejut, seraya membuang diri ke lantai. Sementara bayangan itu terus melesat, setelah menyambar tubuh Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng.
Melihat itu, si Pendeta Murtad segera menghentakkan tangannya ke arah bayangan itu.
Wusss...! Namun, bayangan putih itu telah lebih cepat keluar dari balairung ini, dan terus melesat keluar membawa Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng.
Si Pendeta Murtad dan anak buahnya berusaha mengejar. Namun, mereka telah kehilangan jejak. Bayangan itu sudah tak tampak lagi, lenyap di antara pepohonan lebat.
"Gila...! Ilmu meringankan tubuhnya tinggi sekali. Siapakah bayangan itu...?" gumam Sampuraga dalam hati.
Tokoh lain pun hanya dapat mengawasi, tanpa dapat berbuat sesuatu si Pendeta Murtad memberi perintah agar lebih berhati-hati. Karena dengan lolosnya mereka, berarti ancaman besar tengah menanti!
? *** Gerakan bayangan yang membawa lari Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng memang cepat bukan main. Kedua kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Sehingga dalam waktu sepenanakan nasi saja, dia telah jauh dari tempat tinggal Sampuraga.
Pada sebuah gua yang cukup luas dan jarang didatangi manusia, sosok bayangan putih itu berhenti. Kini baru jelas, siapa sosok itu. Ternyata, dia adalah seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebuah pedang bergagang kepala burung rajawali tampak bersandar di punggung.
Pemuda tampan ini segera memasuki gua. Kemudian kedua orang tua ini diturunkan, langsung dijejali obat pulung pada mulut Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng.
Beberapa saat kemudian kedua tokoh tua itu mulai sadar dari pingsannya. Kendati demikian, di perut masing-masing seperti ada sesuatu yang bergolak, berputar-putar. Lalu....
"Hoeeekh...!"
Hampir berbarengan, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng membuang muntah darahnya yang berwarna kehitaman ke samping sambil berbaring. Kini wajah mereka mulai cerah sedikit demi sedikit.
Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih ini segera membalikkan tubuh kedua orang tua ini. Setelah menyingkap baju mereka, pemuda ini segera menempelkan kedua telapak tangannya ke masing-masing punggung yang telah keriput itu. Tampaknya dia tengah menyalurkan hawa murni.
Setelah merasa cukup, pemuda ini membalikkan kembali tubuh Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng yang telah membuka matanya. Dan saat itulah mereka pulih, tahu kalau yang menolong dari kematian adalah....
"Rangga....! Rupanya kau yang menyelamatkan kami. Terima kasih... terima kasih...," ucap Ki Sabda Gendeng.
"Aku juga berterima kasih padamu, Rangga. Kalau tidak kau tolong, aku pasti telah jadi makanan cacing tanah.... Tetapi, bagaimana caranya kau menolong kami"! Padahal pada saat itu, semua pentolan tokoh sesat tengah berkumpul.... Aku merasakan sendiri, kalau mereka semua memiliki ilmu olah kanuragan tinggi..."!" tanya Ki Demong sambil menatap heran Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan memandangku terlalu tinggi, Ki.... Mereka saja yang lengah, sehingga aku berhasil menyelinap masuk dan dapat menolong tepat pada waktunya...," ujar Rangga merendah.
"He he he...! Terserah kaulah. Sekarang yang penting perut sangat lapar.... Dapatkah kau membawakan aku makanan...?" tanya Ki Demong sambil menenggak tuak merah dari guci yang selalu dibawanya.
Pendekar Rajawali Sakti mengangguk sambil tersenyum. Dia cukup maklum melihat tingkah laku kedua orang tua yang sableng ini.
? *** Setelah selesai menyantap daging kelinci panggang dan berunding, Rangga mohon diri. Dan tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat pergi. Sementara kedua tokoh tua itu sama menggelengkan kepala. Mereka merasa tidak ada apa-apanya bila dibandingkan pendekar dari Karang Setra ini.
"Demong! Pemuda itu hebat sekali...," kata Ki Sabda Gendeng.
"Tentu saja! Tidak seperti kau! Dari dulu, tetap saja gendeng...."
"Apa bedanya" Kau pun selalu mabuk-mabukan saja! Dasar tidak punya masa depan...," balas Ki Sabda Gendeng, melotot.
"Wah...! Kau menantangku...?" tanya Ki Demong.
"Boleh saja!" jawab Ki Sabda Gendeng.
Keduanya segera berdiri sambil bersiap hendak saling terjang. Namun baru saja hendak bergerak, di luar gua terdengar suara orang yang tengah bercakap-cakap.
Dengan cepat, keduanya bergerak mengintip keluar. Dan wajah mereka segera berubah merah, menahan amarah. Ternyata yang muncul adalah si Cadar Merah dan si Cadar Biru.
Tanpa kenal takut Pemabuk Dari Gunung Kidul dan Ki Sabda Gendeng keluar dari gua.
"Hei! Kalian mencari kami, ya...!" seru Pemabuk Dari Gunung Kidul, sambil melangkah mendekati bersama Ki Sabda Gendeng.
Si Cadar Merah dan si Cadar Biru langsung menoleh. Dan mendadak, mereka memberi isyarat dengan tepukan.
Plok! Plok! Saat itu juga, dari balik semak-semak berlompatan beberapa orang, langsung mengurung kedua orang tua ini.
Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng terperangah, karena, tak menyangka kedua orang bercadar itu ternyata ditemani sepuluh orang bertampang bengis.
"Mana orang yang menolong kalian"! Kebetulan sekali, kalian menghampiri kami. Mau cari mati, ya"! Dasar kalian ditakdirkan untuk mati di tangan kami...! Bersiaplah kalian...!" seru si Cadar Merah.
"Ho ho ho...! Kalian tak perlu takut pada orang yang menolongku. Dia tidak ada di sini.... Manusia brengsek! Ayo kita tentukan, siapa yang bertahan hidup...?" tantang Ki Demong, setengah mengejek.
"Bedebah! Siapa yang takut pada orang itu..."! Suruh kemari, biar kuhabisi sekalian...!" bentak si Cadar Merah sambil mencabut senjatanya. Seketika diterjangnya Ki Demong. Sedangkan si Cadar Biru menyerang Ki Sabda Gendeng.
"Sheaaat!"
Trang! Trang! Benturan senjata tak dapat dihindari lagi. Suaranya" keras memekakkan telinga. Bahkan menimbulkan pijaran api. Sementara Ki Sabda Gendeng dan Ki Demong mengamuk sejadi-jadinya.
Pertarungan berlangsung seru dan menegangkan. Ki Demong dengan semburan tuak merah yang disertai semburan api cukup merepotkan si Cadar Merah. Sementara tongkat Ki Sabda Gendeng juga membuat sibuk si Cadar Biru. Ujung tongkat yang bergetar keras, merubahnya menjadi puluhan jumlahnya.
Namun, dua laki-laki bercadar itu juga bukan orang lemah. Dengan pedang mereka mengadakan serangan balasan yang bertubi-tubi, sambil mengatur pertahanan kokoh. Sehingga untuk sementara, sulit bagi kedua belah pihak untuk saling cepat menjatuhkan.
"Pruhhh...!"
Pada satu kesempatan Pemabuk Dari Gunung Kidul meluruk maju, setelah menyemburkan tuak merahnya. Dengan gerakan cepat, si Cadar Merah berhasil menghindari mencondongkan tubuhnya ke belakang. Maka semburan itu lewat di atas wajahnya. Tetapi pada saat yang sama Ki Demong lewat di atasnya sambil menjambret cadar merah orang itu.
Bret! "Keparat!" dengus si Cadar Merah.
Sambil menyabetkan pedang, si Cadar Merah memalingkan mukanya. Maka, tampaklah seraut wajah yang menyeramkan. Mata kirinya bolong tanpa biji. Bibir atas dan bawahnya terbuka tanpa daging, sehingga tampak sangat menyeramkan. Ki Demong sendiri sampai melompat mundur, begitu mendarat di tanah.
"Kalau tidak salah, kau Kebo Lanang. Dan temanmu itu Rangkawi. Kalian jelas bekas tangan kanan Sampuraga pada sepuluh tahun yang lalu..."!" seru Ki Demong sambil menunjuk pada si Cadar Biru yang sedang bertarung dengan Ki Sabda Gendeng.
"Huh...! Bagus kalau kau sudah tahu. Jadi, sekarang kau tidak akan mati penasaran lagi.... Mampuslah kau...!" seru si Cadar Merah yang ternyata bernama Kebo Lanang sambil menerjang kembali.
"Yeaaat!"
"Pruhhh...!"
Ki Demong terus menenggak dan menyemburkan tuak merahnya. Tapi Kebo Lanang menyambuti dengan mendorongkan kedua tangan disertai tenaga dalam tinggi Sehingga, semburan disertai api meleset arahnya.
Kumis dan janggut Ki Demong sampai berkibaran terserempet angin pukulan dahsyat dari si Cadar Merah. Sementara keadaan Ki Sabda Gendeng sama saja dengan sahabatnya. Dan dia juga mendapat lawan tangguh yang memiliki kepandaian tidak jauh darinya.
Melihat kedua manusia bercadar itu sulit memperoleh kemenangan, kesepuluh orang pengikutnya meluruk ke arah Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng. Maka kini perkelahian tak seimbang segera terjadi.
"Chiaaat!"
Trang! Cring! Berkali-kali tongkat Ki Sabda Gendeng dan guci tuak Ki Demong, berhasil menghalau serangan. Tapi, serangan kesepuluh orang itu tidak berhenti sampai di situ. Bagaikan ombak di lautan serangan mereka terus mengalun bertubi-tubi ke arah kedua orang tua urakan itu.
"Shaaat...!"
Seorang penyerang, membacok dari belakang. Namun Ki Sabda Gendeng cepat melangkah ke samping. Seketika tangan kirinya menangkap pergelangan tangan lawan. Sedang tangan kanan menusukkan tongkat hitamnya ke belakang. Gerakannya cepat bukan main. Sehingga....
Blesss! "Hegkh...!"
Tongkat hitam Ki Sabda Gendeng tepat menancap di dada orang itu sampai tembus di punggung. Ketika dicabut, dia jatuh dengan darah menyembur dari lubang bekas lukanya. Orang itu mati dalam kubangan darahnya sendiri.
Sementara seorang pengeroyok yang terpaku melihat hal itu jadi lengah. Dan tahu-tahu....
Bret! "Aaakh...!
Orang ini kontan ambruk tersabet tongkat. Perutnya robek dengan usus terburai keluar dari kulit perut.
"Bangsat...!"
Rangkawi alias si Cadar Biru segera memutar pedangnya dengan cepat. Langsung diterjangnya Ki Sabda Gendeng. Dengan demikian kembali orang tua itu dikeroyok empat.
Untuk menghadapi mereka, Ki Sabda Gendeng harus mengganti jurusnya. Disertai pengerahan tenaga tinggi, ujung tongkatnya segera berubah jadi puluhan. Menghadapi jurus itu, para pengeroyok jadi kebingungan. Akibatnya....
Jres! Cres! Crep!
"Wuaaa...!"
Tiga teriakan terdengar saling susul, disusul ambruknya tiga sosok tubuh berlumur darah dengan tenggorokan, ulu hati, dan perut seolah robek. Sedangkan Rangkawi berhasil menyelamatkan diri. Kalau kurang cepat niscaya tenggorokannya berlubang tertusuk tongkat.
Tetapi, tanpa terduga Rangkawi memutar tubuhnya. Kakinya cepat menyapu kaki Ki Sabda Gendeng.
Buk! "Ukh...!"
Ki Sabda Gendeng jatuh ke tanah. Pantatnya yang membentur batu terasa nyeri. Sambil mengelus-ngelus pantatnya orang tua ini meloncat bangun.
"Setan keparat! Kuhajar kau nanti...!" hardik laki-laki tua yang doyan main catur ini geram.
Namun, Rangkawi tidak mau memberi kesempatan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, tubuhnya terus meluruk sambil menyabetkan pedang.
Bret! ?"Aaakh!"
Ki Sabda Gendeng terserempet pedang pada pundaknya. Dengan memaki kalang kabut, dia balik menyerang.
Sementara itu Ki Demong sedang diserang tiga orang bawahan si Cadar Merah. Mendapat serangan seperti ini Pemabuk Dari Gunung Kidul malah menenggak tuak merahnya banyak-banyak. Lalu dengan gerakan terhuyung-huyung tubuhnya menyelinap ke sana kemari di antara hujan senjata. "Aiiit...!"
Anehnya, semua serangan pengeroyok tidak ada yang mengenai sasaran. Bahkan tiba-tiba Ki Demong menyemburkan tuak dari mulutnya dengan gerakan cepat sekali.
"Pruhhh...!"
"Wuaaa...!"
Tiga pengeroyok kontan menjerit dengan tubuh terbakar. Mereka jatuh bergulingan, lalu diam untuk selamanya.
Dua orang lagi segera menerjang Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan tenaga dalam penuh. Sambil menggeliatkan tubuh bagaikan orang bermalasan, Ki Demong menghindari. Dan begitu serangan itu lewat, guci tuaknya berkelebat cepat menghantam kepala mereka.
Prok! Prok! Kontan kepala kedua orang itu pecah. Isinya berantakan keluar. Mereka ambruk, tak bangun-bangun lagi.
Kini pertarungan berlangsung satu lawan satu. Kebo Lanang yang wajahnya rusak menakutkan tampak berkerut-kerut menahan amarah meluap. Sehingga makin seram saja dilihatnya.
"He he he...! Waduh..., waduh...! Mukamu jadi mirip setan sungguhan, Kebo Lanang...," ledek Ki Demong sambil meminum tuaknya.
Dengan tenaga dalam penuh, si Cadar Merah menerjang. Tetapi baru bergerak beberapa tindak, dia telah disambut semburan tuak Ki Demong. Terpaksa Kebo Lanang membuang diri ke samping seraya mengirimkan tusukan ke lambung.
"Uts!"
Dengan langkah limbung bagaikan orang mabuk, tubuh Pemabuk Dari Gunung Kidul meliuk-liuk ke sana kemari. Maka, serangan itu lewat begitu saja.
"Sheap!"?????????
Bahkan tiba-tiba, Ki Demong mengebutkan gucinya dengan gerakan begitu cepat. Dan....
Bugk! Krek! "Aaakh...!"
Pundak Kebo Lanang patah terhajar guci tuak. Sambil memekik kesakitan, dia mundur beberapa langkah.
Sementara itu Ki Sabda Gendeng terus memainkan jurus tongkat yang menjadi andalannya. Sehingga, Rangkawi terpaksa bermain mundur dan bertahan saja.
"Hiih!"
Tiba-tiba, tongkat Ki Sabda Gendeng menusuk perut. Namun serangan itu dapat dihindari si Cadar Biru dengan jalan berjumpalitan di udara. Dan memang itu yang diharapkan, mendadak tongkat itu bergerak ke atas. Lalu....
Bret! "Hakh...!"
Cadar berwarna biru kontan terlepas dari wajah Rangkawi. Dan, tampaklah seraut wajah yang tak kalah menyeramkan dari Kebo Lanang. Hidungnya grumpung. Mata kirinya berlubang besar tanpa biji mata. Mulutnya tidak bergigi sebuah pun.
Merasa tidak unggulan menghadapi kedua orang tua urakan ini. Kedua orang bercadar ini saling memberi tanda. Tiba-tiba mereka berbalik, langsung melarikan diri.
Tentu saja Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng tidak mau kehilangan buruannya. Dengan gerak cepat mereka mengejar.
? *** ? 6 ? Setelah sekian lama mengejar namun tak ada hasil, Ki Sabda Gendeng dan Ki Demong menghentikan larinya. Dua sosok manusia bercadar telah lenyap entah ke mana.
Dan baru saja kedua orang tua sableng ini hendak berbalik....
"Heh"!"
"Tunggu dulu! Apa kau mendengar suara pertarungan?" tanya Ki Demong sambil menajamkan pendengarannya.
"He... eeh, iya! Mari kita lihat. Cepat! Suaranya seperti kedua manusia telengas yang kita kejar tadi...!" sahut Ki Sabda Gendeng.
Saat itu juga kedua orang tua urakan ini berkelebat ke arah datangnya suara pertarungan yang tak begitu jauh. Sebentar saja, mereka telah tiba di pinggiran kancah pertarungan. Ternyata, yang sedang mengadu jiwa adalah benar-benar dua manusia bercadar! Sementara yang menjadi lawan mereka adalah dua laki-laki setengah baya dan seorang pemuda tampan berbaju merah. Mereka tak lain dari, Mundinglaya, Balad Kabrang, dan Mudrika.
Wuuus! Mundinglaya lancarkan serangan dengan menghentakkan tangan kanannya. Sementara Kebo Lanang segera mengangkat tangan kirinya. Tak terelakkan lagi....
Blarrr...! Dan tenaga dalam tinggi bertemu. Dan Kebo Lanang tampak terjajar lima langkah ke belakang. Mulutnya mengeluarkan darah, pertanda mendapat luka dalam. Ketika menyemburkan nafasnya yang menyesakkan dada, darah segar ikut terlontar dari mulutnya. Berdirinya mulai limbung dan terhuyung-huyung.
Melihat kesempatan baik, Mudrika cepat memasang pedangnya di depan dada. Lalu disertai teriakan menggeledek ujung pedangnya meluncur ke tenggorokan. Orang bercadar merah ini bermaksud menghindar. Tapi dari belakang, telapak tangan Balad Kabrang tahu-tahu telah mendorong punggungnya dengan keras. Akibatnya....
Blesss! "Aaagkh...!"
Tak terhindari lagi, pedang Mudrika menembus tenggorokan si Cadar Merah. Ketika pedang dicabut, tubuhnya jatuh berkubang darahnya sendiri.
Melihat si Cadar Biru yang masih bertahan, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng segera ikut maju....
"Hei...! Ajak aku kalau ada hiburan! Kalian tinggal terima enaknya saja.... Curang...," gerutu Ki Sabda Gendeng sambil menyabetkan tongkatnya ke arah kaki Rangkawi.
"Wheii...! Jangan mau menang sendiri, Sabda Gendeng! Dia ini bagianku.... Kalian semua minggirlah...!" ujar Ki Demong, seraya menyemburkan tuak merahnya.
"He he he...! Enak saja kalau bicara! Kami bertiga yang menemukan kedua orang ini.... Jadi, kamilah yang berhak menentukan hukuman untuk mereka...!" sergah Mundinglaya sambil membabatkan pedangnya ke leher si Cadar Biru.
Sementara itu menghadapi keroyokan orang-orang tangguh seperti mereka itu, Rangkawi hanya dapat menangkis dan main mundur saja. Tapi, hal itu tidak bertahan lama. Karena tiba-tiba pedang Mudrika yang datang bagaikan air hujan, menerjang ke arah lehernya. Dan....
Crasss! "Aaakh...!"
Si Cadar Biru memekik ketika pedang Mudrika membabat lehernya hingga hampir buntung. Darah langsung merembes dari lukanya. Sejenak dia sempoyongan, lalu ambruk tak berkutik lagi.
? *** "Hi hi hi...! Enak saja kalian membunuh teman-temanku. Hadapi dulu Dewi Kencana Wungu, baru boleh berbuat sekehendak hati...."
Sebuah suara merdu menyentak kesadaran semua para tokoh persilatan yang baru saja membantai dua manusia bercadar.
Begitu semua berpaling, tampak seorang wanita cantik berpakaian tembus pandang. Mereka tahu, pasti wanita ini adalah salah seorang anak buah Sampuraga. Memang, dia tak lain dari Dewi Kencana Wungu.
"Heaaat...!"
Tanpa basa-basi lagi, Balad Kabrang menerjang. Tapi dengan memasang tubuhnya yang molek dan sintal, Dewi Kencana Wungu berhasil membatalkan serangan Balad Kabrang. Serangan itu ditarik kembali. Sementara pandangan Balad Kabrang jadi melotot lebar melihat lekuk-lekuk tubuh yang begitu indah. Dia jadi terkesima. Dan itu harus dibayar mahal. Karena tiba-tiba Dewi Kencana Wungu menghentakkan kedua tangannya.
"Yeaaa!"
Blugk! "Aaakh...!"
Akibat kesalahan itu, sebuah pukulan keras menghantam dada Balad Kabrang. Tanpa mampu ditahan lagi, laki-laki setengah baya ini jatuh telentang. Ketika bangkit kembali, Dewi Kencana Wungu telah mengebutkan tangannya, melepas Duri Bunga Beracun yang langsung meluruk cepat.
Pyurrr...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi, Balad Kabrang jatuh bergulingan sambil menggaruk-garuk ke sana kemari. Rasa gatal dan perih tak terhingga menyerang tubuhnya. Rasanya bagaikan ditusuki ribuan jarum dan digigiti semut merah. Tak pelak lagi tubuhnya hancur tercakar oleh garukan tangannya sendiri.
"Aaakh.... Aadhuuuh...! Sheeeht.... Hsseeeh..., gatal..., adhuuuh..., gataaal...! Toolooong..., gataaal...!" teriak Balad Kabrang sambil terus menggaruki seluruh tubuhnya.
Merasa tidak sampai hati melihat penderitaan Balad Kabrang yang diyakini tidak akan tertolong lagi, Mundinglaya bergerak maju seraya memejamkan matanya.
"Maaf, Balad Kabrang. Kalau kudiamkan, justru penderitaanmu makin menggiriskan hatiku.... Jadi...,"
Crap! Begitu habis kata-katanya, Mundinglaya menusukkan pedangnya sampai menembus ke punggung. Balad Kabrang mengeluh tertahan sambil menatap redup kawannya.
"Tolong balaskan sakit hatiku ini...," desah Balad Kabrang, lalu terkulai lemah dengan hembusan napas yang terakhir.
"Bangsat!"
Dengan kemarahan meluap Mundinglaya langsung menerjang Dewi Kencana Wungu sekuat tenaga. Suara semburan pedangnya terdengar menusuk telinga. Serangannya bahkan diikuti serangan Mudrika. Maka Dewi Kencana Wungu pun terjepit di antara dua serangan dahsyat. Tapi dengan senjata pedang bercabangnya, wanita cantik itu berhasil mematahkannya.
Ketika Mundinglaya dan Mudrika baru dua jurus berlaga....
Wesss...! Mendadak dari sisi kiri berdesir angin keras. Maka dengan sebisanya, mereka menyelamatkan diri masing-masing dengan jalan melompat ke belakang sambil bersalto. Begitu mendarat, mereka langsung melihat satu sosok laki-laki bermata sipit.
Ternyata serangan itu memang berasal dari Awyang Hok. Dengan ilmu pedangnya, laki-laki Cina ini bergerak menusuk. Gerakannya sulit diduga, karena masih terasa asing bagi mata para tokoh persilatan tanah Jawa.
"Hiaaat!"
Trang! Tring! Beberapa bentrokan senjata terjadi menimbulkan suara keras dan pijaran bunga api. Dan ini ternyata membuat tangan Mundinglaya dan Mudrika tergetar. Mereka sama-sama menyadari kalau tenaga dalam laki-laki asing itu, tidak dapat dianggap ringan.
Pada saat yang sama, Dewi Kencana Wungu ikut membantu serangan. Maka keadaan Mundinglaya dan Mudrika pun jadi terdesak. Terutama, menghadapi serangan Dewi Kencana Wungu. Karena sambil menyerang, wanita ini sering memperlihatkan bagian tubuhnya yang terlarang. Tentu saja hal ini membuat lawan-lawannya tidak dapat memusatkan perhatian secara penuh pada pertarungan.
Dan baru beberapa jurus pertarungan berlangsung....
"Keparat...! Wanita jalang! Terimalah kematianmu. Pruhhh...!" bentak Ki Demong sambil menyemburkan tuak merahnya.
Cepat Dewi Kencana Wungu bergerak ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya, membuat semburan tuak jadi menyerong ke samping. Berbarengan dengan serangan itu, kakinya menendang ke arah kepala Ki Demong. Dengan sendirinya, kain tipis yang dikenakan terkuak lebar. Akibatnya mata orang tua urakan itu jadi melotot. Biji matanya nyaris loncat keluar.
"Sialan, Wanita Busuk...! Mengapa main-main dengan barang pusaka..." Sekali lagi, kusembur punyamu itu dengan tuakku...!" dengus Ki Demong sambil membuang diri ke belakang.
"Hi hi hi...! Dasar orang tua celamitan! Salah sendiri, mengapa matamu melihat ke arah sini..." Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar orang tua peyot tidak tahu malu...!" ledek Dewi Kencana Wungu seenaknya.
"Huh...! Mengapa jadi ngobrol tidak karuan..." Sini, biar aku yang memberesi wanita jalang itu...!" hardik Ki Sabda Gendeng, sambil menyabetkan tongkatnya.
"Hast!"
Serangan Ki Sabda Gendeng disambut Dewi Kencana Wungu lewat lemparan Duri Bunga Beracun. Terpaksa serangannya dibatalkan. Dan dengan berjumpalitan ke belakang, orang tua ini melemparkan biji catur ke arah Awyang Hok.
Set! Set! Tokoh dari daratan Cina ini segera memutar pedangnya bagai kitiran. Maka gulungan pedang itu berhasil menahan biji-biji catur Ki Sabda Gendeng.
Pertempuran jadi bertambah sengit. Mudrika yang masih muda tidak tahan menghadapi serangan Dewi Kencana Wungu. Bukan saja wanita ini berkepandaian tinggi. Dengan gerakan merangsang yang banyak mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya, membuat Mudrika dalam waktu singkat saja jadi pontang-panting.
"Bedebah...! Wanita iblis! Aku akan mengadu jiwa denganmu...," teriak Mudrika berusaha mengusir rangsangan birahinya yang mendadak menggeliat. Seketika pemuda ini menusukkan pedangnya ke arah perut.
"Haes!"
Dewi Kencana Wungu cepat mengegos ke samping. Tubuhnya seketika berputar seraya melepas tendangan setengah lingkaran. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Perut Mudrika mendapat tendangan telak. Tubuhnya terjajar ke belakang tiga langkah. Pemuda itu menekap perutnya yang terasa sakit bagai diaduk-aduk.
Pyur! Saat itulah Duri Bunga Beracun milik Dewi Kencana Wungu meluruk ke arah pemuda itu. Untung saja ada Ki Demong selalu waspada.
"Pruhhh...!"
Dengan semburan tuak merah, Pemabuk Dari Gunung Kidul berhasil memunahkan terjangan Duri Bunga Beracun.
*** ? "Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa menggelegar, membuat masing-masing pihak menghentikan pertarungan.
"Heh..."! Tawa siapa itu. Suaranya bagaikan iblis..!" seru Mundinglaya sambil menekap telinganya dan disertai pengerahan tenaga dalam untuk membendung tawa yang juga berisi tenaga dalam.
"Hoi...! Keluarlah kau...! Jangan jadi pengecut!" teriak Mudrika.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus...! Ternyata kalian semua pendekar hebat! Baik, aku akan keluar...."
Belum juga gema suara itu lenyap, mendadak meluncur satu sosok bayangan kuning dari atas sebuah pohon.
"Hup!"
Ringan sekali bayangan kuning itu mendarat.
Kini tampak jelas, siapa yang muncul. Di tengah kancah pertarungan tadi berciri sesosok tubuh tinggi besar berkepala botak. Pakaiannya serba kuning. Di lehernya tergantung tasbih besar terbuat dari emas juga. Penampilan yang seperti itu, membuat tubuhnya bersinar kuning.
Memang yang muncul adalah Sampuraga. Laki-laki ini berdandan sebagai seorang pendeta, dan mengaku dirinya sebagai Sang Pendeta.
"Hormat kami pada Sang Pendeta...."
Para anak buah Sampuraga langsung menjura memberi hormat.
"Ammitabhaaa...! Syukurlah kalian masih selamat. Biar mereka kuberi pelajaran sedikit...," ucap Sampuraga sambil tersenyum.
"Hei...! Kau yang dulu dikeroyok beramai-ramai dan diusir dari tanah Jawa ini, mestinya bisa membuka hati kecilmu! Apalagi, kau telah mengaku dirimu sebagai Sang Pendeta" Apakah kau sudah cuci tangan dari segala perbuatanmu yang buruk di masa lampau..." Tapi, yang terlihat kini, kau malah semakin busuk dan kejam luar biasa...!" desis Ki Sabda Gendeng.
"Ammitabhaaa.... Mungkin kalian mendengar dari sumber yang membenci diriku. Sehingga, mereka menjelek-jelekkan segala yang kulakukan. Hal itu sudah wajar bukan...?" jawab si Pendeta Murtad, enteng.
"Huh! Kali ini dosamu tidak terampunkan lagi, Keparat! Segala bajingan besar mengaku dirinya Sang Pendeta. Kau benar-benar manusia terkutuk, Sampuraga...!" dengus Ki Demong.
"Hua ha ha...! Hebat kau, Demong. Tapi di mataku, kau tak lebih seekor tikus yang ketakutan melihat kucing!" ejek Sang Pendeta.
"Keparat! Sejak dulu aku belum pernah takut pada orang. Kecuali, yang mempunyai kepala tiga dan bertangan enam. Kalau itu, barangkali aku agak ngeri...!" tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil menenggak tuak merahnya dari guci.
"Glug! Glug! Ceglug!" "Pruhhh...!"
Seketika Ki Demong menyemburkan tuaknya. Sambaran tuak yang disertai nyala api mengancam Sang Pendeta.
"Uts!"
Tapi sekali mengibaskan lengan baju Sampuraga, membuat serangan itu melenceng ke samping.
Bahkan sekali dorong dengan telapak tangan terbuka, tubuh Ki Demong terjajar mundur empat langkah ke belakang.
"Gila...! Tenaga dalam yang dipergunakannya hebat luar biasa!" rutuk Ki Demong dalam hati.
"Ha ha ha...! Ki Demong! Aku ingin membuktikan kata-katamu kalau kau takut pada orang berkepala tiga dan bertangan enam..., lihat...!" kata Sang Pendeta dengan suara besar.
Ketika Ki Demong memperhatikan, tubuh Sampuraga telah terselubung asap. Ketika perlahan-lahan asap menghilang, tahu-tahu tubuh Sang Pendeta berubah jadi besar. Kepalanya telah bertambah tiga. Sedangkan tangannya menjadi enam.
"Ha ha ha...!"
Sang Pendeta yang kini bertubuh mengerikan, tertawa terbahak-bahak sampai daun-daun kering berjatuhan dari tangkainya.
"Hah..." Ilmu iblis...!" seru Ki Demong.
"Gila...! Dia kini telah menguasai ilmu sihir jahat...!" desah Ki Sabda Gendeng terkejut.
Wuuut...! Sang Pendeta tertawa-tawa sambil mengebutkan lengan bajunya pada kedua tokoh tua yang urakan ini. Cepat Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng mendorongkan telapak tangannya ke depan.
Blammm! Dua tenaga dalam tinggi beradu di udara. Ki Sabda Gendeng dan Ki Demong terjajar mundur tiga langkah. Tangan mereka terasa kaku dan tidak dapat digerakkan lagi.
Namun dengan penasaran mereka menerjang kembali. Kali ini, mereka menggunakan tenaga dalam penuh. Tetapi....
"Hua ha ha...! Balik...!" teriak Sang Pendeta dengan suara berpengaruh.


Pendekar Rajawali Sakti 196 Pendeta Murtad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Bagaikan didorong tenaga raksasa, kedua orang tua urakan itu tertolak balik sebelum menyentuh lawannya. Bagaikan nangka busuk, mereka jatuh telentang.
Mundinglaya dan Mudrika tak mau ketinggalan. Mereka segera mati-matian. Tetapi tangan Sampuraga yang berjumlah enam telah bergerak bagaikan setan.
Tap! Tap! Pedang Mundinglaya dan Mudrika entah bagaikan dapat ditangkap dan dirampas Sampuraga. Lalu dengan sekali tekuk pedang-pedang dipatahkan jadi dua. Bahkan mendadak, dua tangan Sampuraga berkelebat mengancam.
"Uts...!"
Cepat keduanya menggulingkan diri, menjauhi Sang Pendeta. Tetapi baru saja bangkit, Awyang Hok telah melesat dengan sambaran pedang. Kembali Mundinglaya dan Mudrika bergulingan, bergabung dengan Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng.
Setelah saling memberi isyarat, mereka berempat menerjang ke arah Sang Pendeta secara serempak dengan serangan dahsyat bukan main. Angin pukulan gabungan ini menimbulkan suara bergemuruh. Bahkan batu kecil serta dedaunan terangkat naik ke udara.
Wuuuus...! Werrr...! Batu pasir dan dedaunan yang terangkat naik kini berputar-putar, lalu tiba-tiba meluruk ke arah Sang Pendeta.
Sambil tetap tertawa, Sampuraga yang telah berubah wujud ini mementang kedua kakinya sampai melesak ke tanah. Dan seketika keenam tangannya mendorong ke depan.
"Heaaa...!"
Wuuut! Serangkum angin keras berhawa panas dari tangan-tangan Sampuraga menyambar ke arah pusaran batu dan dedaunan.
Blammm! Terdengar ledakan keras yang disusul terciptanya satu asap tebal yang menghalangi pandangan.
Wesssht! Ketika asap itu lenyap, keempat pengeroyok Sampuraga sudah tidak tampak lagi di tempat itu.
"Sialan! Awas, kalian! Bila bertemu lagi, jangan harap dapat meloloskan diri!" maki Sang Pendeta geram bukan main.
? *** ? 7 ? Hari ini matahari bersinar sangat terik. Namun keadaan itu tak membuat empat orang yang tengah berlari menghentikan langkah. Peluh mereka telah membanjir di sekujur tubuh. Mereka tampak tidak ada tanda-tanda hendak menyerah.
"Ki Demong! Bagaimana di depan sana kita beristirahat sejenak untuk melepaskan lelah...?" tanya salah satu laki-laki tua yang berlari.
Mereka memang Ki Demong, Ki Sabda Gendeng, dan Mundinglaya, dan Murdika yang baru saja terbebas dari ancaman maut yang ditebarkan Sampuraga.
"Baiklah.... Aku juga sudah lelah.... Kasihan Mudrika dan Mundinglaya...," jawab Ki Demong sambil mempercepat larinya.
Sesampai di tempat yang banyak ditumbuhi pohon besar dan berdaun lebat, mereka berhenti dan beristirahat sambil melepas lelah. Mungkin karena terlalu lelah, Mudrika dan Mundinglaya tertidur di bawah pohon.
"Mereka tak akan mengejar sampai kemari. Kini, apa yang akan kita lakukan...?" tanya Ki Demong.
"Saat ini kita belum tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kita tunggu beberapa waktu lagi.... Siapa tahu, kita mendapat akal dan jalan keluarnya...," sahut Ki Sabda Gendeng sambil minum tuak dari bumbung bambu yang selalu tersampir di pundaknya.
"He he he...! Buat apa kita susah-susah. Kau benar, Sobat.... Mari kutantang kau main catur...," kata Ki Demong.
"Berani kau menantang aku main catur..." Mari buktikan, siapa yang lebih unggul di antara kita...?" tukas Ki Sabda Gendeng sambil mengeluarkan permainan caturnya dari balik baju.
Sebentar saja, kedua orang yang sama bodohnya dalam hal main catur ini sudah terlibat permainan ulet. Keduanya sama-sama diam tak ada yang bersuara, seolah-olah tengah menghadapi persoalan pelik dan tak terpecahkan. Untuk menjalankan sebuah bidak saja, memerlukan waktu lama!
Di tengah keheningan itu, tak ada yang menyadari kalau pemuda berbaju rompi putih dengan rambut panjang telah berdiri di tempat ini. Pada punggungnya tersampir sebilah pedang berhulu kepala burung rajawali. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti"
"Hm.... Kalian sudah meninggalkan kewaspadaan rupanya. Sampai-sampai kehadiranku tak ditanggapi," tegur Pendekar Rajawali Sakti.
"Hua ha ha...! Rangga...! Kebetulan kau datang! Kami semua sedang mendapat kesulitan," sambut Ki Demong sambil melompat bangun, setelah menoleh ke arah Rangga.
"Apa yang telah terjadi terhadap kalian...?" Rangga balik bertanya.
Dengan singkat tetapi jelas, Ki Demong menceritakan segala yang terjadi beberapa waktu berselang. Dan Mundinglaya serta Mudrika yang sudah terbangun ketika mendengar tawa Ki Demong membenarkan cerita itu. Bagi Mudrika, dia pernah mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti. Maka dipandanginya Rangga dengan perasaan kagum.
"Aku juga sering mendengar tentang kekejaman mereka. Tapi, aku tak mengira kalau yang menamakan dirinya Sang Pendeta memiliki kepandaian setinggi itu.... Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu ketua Pesanggrahan Pondok Ungu. Mereka bermaksud membantu kita dalam menghadapi Sang Pendeta...," jelas Rangga.
"Siapakah nama besar...?" potong Mundinglaya.
"Dia keponakan muridku. Namanya, Bima Sena dan istrinya yang tidak dapat bicara. Puspita Dewi namanya...," jelas Ki Demong, mewakili Rangga menjawab pertanyaan itu.
"Oh..."! Kiranya kau berasal dari Padepokan Pondok Ungu," seru Mundinglaya dan Mudrika hampir bersamaan.
"Syukurlah kalau mereka mau membantu. Murid-murid padepokan itu cukup banyak dan terlatih. Kedudukan kita akan bertambah kuat," sambut Ki Sabda Gendeng sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.
"Benar! Di samping itu, masih banyak pendekar yang bersedia membantu kita. Oh, iya! Masih ada dua padepokan silat yang dulu terlibat dengan Sampuraga. Dan mereka bersedia bergabung dengan kita. Tapi, kita harus ingat...! Jangan sampai mengorbankan mereka yang berkepandaian tidak memadai. Pertempuran kali ini sangat berbahaya dan pasti memakan banyak korban...," papar Pendekar Rajawali Sakti.
"Lalu, apa rencanamu. Rangga...?" tanya Ki Sabda Gendeng.
"Kudengar, mereka akan mengadakan gerakan pada hari kelima, setelah purnama mendatang.... Jumlah mereka cukup lumayan. Apalagi, mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan terlatih baik. Jadi kita menggempur, karena mereka berniat berontak pada Kerajaan Lemah Abang. Ditambah, sepak terjang mereka yang sangat meresahkan masyarakat. Di samping itu bila mereka dibiarkan, darah akan selalu mengalir dari orang-orang lemah yang tidak bersalah...," jelas Rangga kembali.
"Lalu kapan kita harus bergerak...?" tanya Mudrika, tidak sabar.
"Para pendekar yang lain bergerak sehari, sebelum mereka turun gunung.... Kita semua berkumpul di Gunung Saka dalam sikap mengurung. Kemudian, bergerak serentak tatkala melihat tanda panah api melesat ke udara.... Saat itulah kita tidak perlu sungkan dan banyak pikir lagi. Pokoknya, yang tidak memakai tanda kain merah di tangan babat saja...! Bukannya kejam, tapi demi mengurangi bencana dalam dunia persilatan...," kembali Pendekar Rajawali Sakti membeberkan rencananya.
"Jadi sebagai tanda kalau mereka teman kita adalah, kain merah yang diikat pada pergelangan tangan...?" tanya Mudrika kembali.
"Benar...!" jawab Rangga, tegas.
Rupanya, selama ini Pendekar Rajawali Sakti bergerak secara diam-diam menghubungi beberapa padepokan silat. Rangga memang mendengar kalau kekuatan Sampuraga terdiri dari para tokoh hitam. Makanya, Rangga juga tak ingin menghubungi pihak Kerajaan Lemah Abang. Karena baginya akan menambah korban saja.
Pendekar Rajawali Sakti lantas memutuskan untuk menghubungi para tokoh persilatan, sekalian mengatur siasat. Dan kemudian semua rencana itu dipaparkan pada Ki Demong, Ki Sabda Gendeng, Mundinglaya, dan Murdika.
? *** Saat ini Gunung Saka telah dikelilingi para tokoh persilatan di tempat-tempat tersembunyi. Di antara mereka juga terdapat Ki Sabda Gendeng dan kawan-kawannya. Mereka bergerombol di suatu tempat.
Mereka semua adalah para tokoh persilatan yang tidak suka terhadap sepak terjang Sampuraga. Mereka berkumpul, menanti tanda panah api dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Keseluruhan memakai ikat kain merah pada pergelangan tangan agar tidak salah serang.
Sementara di puncak sana, terjadi kesibukan untuk mengadakan persiapan pemberontakan bila saatnya diperlukan nanti. Dewi Kencana Wungu dan Awyang Hok tampak sibuk pula mengatur siasat yang akan dipakai dalam pemberontakan nanti.
Di saat semuanya sibuk, Sampuraga mengajak Dewi Kencana Wungu meninggalkan tempat pertemuan. Mereka langsung menuju kamar yang tak jauh dari tempat ini. Setelah kamar terkunci, mereka segera menuju tempat tidur yang besar dan empuk itu. Selanjutnya hanya seekor cecak yang tahu apa yang dilakukan dua insan berlainan jenis yang ada hanya suara tertawa cekikikan dan dengus napas memburu.
Pada ruangan lain terdengar suara tangis dan makian. Semua suara itu berasal dari wanita yang dikurung dalam kamar. Mereka diculik dari beberapa desa dengan maksud sebagai puas nafsu sebelum hari pemberontak tiba. Si Pendeta Murtad ingin para anak buahnya jadi bersemangat, tatkala melakukan pemberontak nanti.
*** Puncak Gunung Saka terselimut gelap malam. Rayapan kabut membawa hawa dingin, memaksa siapa saja yang berada di luar harus memeluk tangannya sendiri. Namun, suasana itu tidak berlaku bagi satu sosok tubuh yang mengendap-endap memasuki bangunan tempat tinggal Sampuraga, tanpa seorang pun yang mengetahui. Jelas, sosok ini memiliki kepandaian tinggi.
"Hup...!"
Ringan sekali gerakan sosok itu saat tubuhnya melayang, dan hinggap di atas bangunan.
Dengan berjingkat-jingkat, sosok ini segera mencari kamar Sampuraga. Setelah diketemukan, dibukanya sebuah genting. Langsung diawasinya suasana dalam ruangan kamar ini. Tampak Sang Pendeta tengah tertidur pulas, suara dengkurnya terdengar nyata.
Dengan perlahan dan gerakan halus, sosok itu mengeluarkan beberapa benda kecil yang bergerak-gerak dari balik bajunya. Lalu, dilemparkannya ke arah Sang Pendeta.
Wer! Siet! Benda-benda kecil yang tak lain binatang berbisa itu cepat meluncur ke bawah, ke arah sasaran yang dituju.
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Sampuraga bisa menangkap desir halus yang meluncur ke arahnya. Maka seketika dengan telapak tangan terbuka dipapaknya binatang-binatang berbisa itu.
"Shaaat!"
Bres! Binatang-binatang berbisa itu kontan berjatuhan dalam keadaan hangus. Bahkan kemudian, dengan gerakan cepat tangannya menghentak kembali ke arah sosok tadi berada.
Bruagk! "Ah...!"
Atap genteng kontan hancur berantakan. Selang beberapa kejap, dari atas melayang satu sosok tubuh dengan gerakan seringan kapas. Dan dengan mulus, dalam kamar Sang Pendeta telah mendarat satu sosok laki-laki berbadan cebol. Pakaiannya panjang berwarna hitam. Wajahnya bulat dengan hidung bulat seperti tomat.
"Boleh juga kau dapat menyelinap masuk kemari. Tapi, siapakah kau ini...?" tanya Sampuraga sambil menatap tajam.
"Aku Tabib Beracun. Segala rencana dan perbuatan busukmu telah kuketahui.... Hari ini terimalah kebinasaanmu...!" desis laki-laki cebol berjuluk Tabib Beracun.
"Heh..."! Bukankah kau dari aliran sesat?" tukas Sampuraga, agak heran juga ada tokoh sesat malah menentang tokoh sesat pula.
"Terserah orang mau menilai aku dari golongan apa. Dan aku juga tidak mau peduli dengan segala tindak tanduk orang lain.... tapi terhadap kau yang seperti iblis, aku tak dapat tinggal diam...!" desis Tabib Beracun.
"Hua ha ha...! Apa dipikir kau sudah hebat" Hm.... Sekarang, terimalah ini. Heaaa...!" kata Sampuraga, seraya menghentakkan tangannya.
Sebuah serangan berupa terjangan angin dahsyat meluruk ke arah Tabib Beracun. Tapi dengan gerakan memutar, dia berhasil menghindarinya. Bahkan tiba-tiba tubuhnya meluruk, seraya melepas hantaman.
Bugk! Blugk! "Hekh!"
Serangan tak terduga itu memang mengenai sasaran. Tapi ketika Tabib Beracun hendak menarik telapak tangannya, ternyata sudah melekat erat tak dapat dilepaskan kembali. Wajah laki-laki cebol ini jadi berubah pucat. Dengan sekuat tenaga kedua tangannya berusaha dilepaskan dari tubuh si Pendeta Murtad. Tetapi, tangannya seolah telah bersatu dengan tubuh Sampuraga. Malah kepalanya sampai mengeluarkan asap putih, karena terlalu deras mengerahkan tenaga dalam.
"Hekh...! Eeekh...!"
Tabib Beracun tetap berusaha sekuat tenaga. Dari sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah. Semakin lama, darah yang keluar semakin banyak. Dirasakannya satu sedotan kuat pada telapak tangannya dan dia tak kuasa lagi untuk dilepaskan.
"Hua ha ha...! Segala tikus dapur sok mau jadi pahlawan! Lebih baik kau jadi raja cacing saja di tanah...," ejek Sang Pendeta.
"Hoekh...!"
Ketika Tabib Beracun hendak menjawab, darah tumpah dari mulutnya.
Sambil tertawa-tawa, Sang Pendeta Sampuraga membuka tangannya kiri dan kanan. Kemudian dipukulkan pada pelipis kiri dan kanan Tabib Beracun.
Prak! "Aaa...!"
Kepala Tabib Beracun pecah seketika. Darah merah bercampur putih muncrat menjadi satu. Ketika jatuh ke tanah, laki-laki cebol ini telah dalam keadaan binasa.
? *** ? 8 ? Malam ini, adalah malam ketiga bagi para tokoh persilatan menanti datangnya aba-aba panah api, untuk menyerang tempat tinggal Sampuraga! Dan tepat malam ini, di tempat itu terdengar gaduh sekali. Beberapa kali terdengar teriakan minta tolong dari wanita-wanita yang diculik anak buah si Pendeta Murtad. Ini berarti, para penghuni rumah itu tengah bersuka ria sambil menikmati perempuan-perempuan hasil culikan.
Tentu saja keadaan ini membuat geram para tokoh persilatan yang mengepung. Mereka hendak bergerak, tapi teringat pesan Pendekar Rajawali Sakti yang menekankan agar mereka jangan bergerak dulu sebelum ada tanda.
"Huh! Kalian ciumlah! Bau tuak sudah merebah kemari.... Berarti mereka telah mulai mengadakan acara gila-gilaan. Lantas, mengapa tanda panah api belum dilepaskan...?" tanya Mundinglaya tak sabar.
"Tunggu dan sabar. Mungkin Pendekar Rajawali Sakti mempunyai perhitungan lain dan sedang menunggu saat yang tepat...," tukas Ki Demong.
Tapi, tampak Mudrika telah mencabut pedangnya. Rupanya, pemuda yang mempunyai dendam sedalam lautan ini tak sabar lagi menunggu panah api diluncurkan. Matanya selalu mengawasi ke atas, untuk melihat panah api.
"Huh...! Mengapa lama sekali...," desah tokoh lain, mulai tak sabar.
Di saat ketegangan mulai memuncak, terdengarlah desis keras diiringi nyala api yang meluncur ke angkasa malam. Panah api itu bersinar terang sejenak, kemudian lenyap kembali. Begitu melihat tanda itu, para pengepung mulai meluruk ke atas.
"Serang...!"
"Bunuh...! Hancurkan pemberontak hina...!"
"Ayo majuuu.... Serbuuu...!"
Bagaikan air bah, mereka menyerbu bangunan tempat tinggal Sang Pendeta disertai teriakan merobek angkasa. Berbagai senjata tajam tampak berkeredep di malam itu. Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng mendahului membuka jalan. Yang menghalangi, disembur tuak dan ditusuk tongkat. Mudrika memutar pedangnya secepat baling-baling. Maka korban pun mulai berjatuhan.
"Wuayaaa...!"
"Aaa...!"
Karena sedang terlena dan sibuk berbuat mesum, para anak buah Sampuraga tak dapat bersiaga. Sehingga mudah saja nyawa mereka dihabisi. Pintu yang terkunci didobrak sampai berantakan. Ada juga yang berhasil meraih senjata, walaupun belum berpakaian. Tapi, mereka malah menjadi korban kemarahan para tokoh persilatan yang memang telah muak terhadap Sang Pendeta.
Dengan sekali sabet, pedang Mudrika berhasil membantai para anak buah Sang Pendeta yang kebanyakan tengah sibuk mencari pakaian. Sehingga, mereka menjadi korban dengan mudah.
Apalagi Ki Demong. Dengan nakal dia menyemburkan tuak berapi pada barang kebanggaan laki-laki milik orang-orang itu. Kontan mereka kelabakan karena barang berharganya terbakar.
"Aduuuh..., duhhh...! Panas, ampun mati aku...!"
Pada saat itu masuk pula ke ruangan Sampuraga pendekar yang dikenal bernama Bima Sena dan Puspita Dewi. Mereka berasal dari Padepokan Pondok Ungu (Untuk mengetahui nama Bima Sena dan Puspita Dewi baca: "Satria Pondok Ungu").
Begitu berjumpa musuh mereka segera membunuhi gerombolan ini. Gerakan mereka disusul munculnya para pendekar dari golongan putih, yang rata-rata berkepandaian tinggi. Tentu saja hal itu telah membuat anak buah si Pendeta Murtad bertambah kalang kabut.
"Tolooong...! Ampuunnn! Jangan bunuh kami.... Wuaakh...!" teriak para pengikut si Pendeta Murtad saling sambung menyambung.
Darah telah menganak sungai di ruangan itu. Potongan tangan dan kaki berserakan tak teratur, membuat mual perut. Hanya satu dua orang yang berhasil merapikan pakaian dan meraih senjatanya. Tapi, semua itu sia-sia belaka. Karena jumlah penyerbu cukup banyak. Lagi pula, mereka dalam keadaan mabuk dan lemas.
"Ciaaat!"
"Heaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Kembali beberapa tubuh berjatuhan dalam keadaan binasa. Awyang Hok mulai keluar dengan perasaan heran. Keadaannya juga dalam keadaan mabuk. Dan kemunculannya disambut Ki Demong.
Dalam keadaan demikian, kemampuan tokoh dari Cina ini tidak berkembang. Tak heran kalau dalam waktu singkat dia telah terdesak hebat, oleh serangan Ki Demong.
Sementara para pendekar yang memang telah membenci, ikut membantu Ki Demong tanpa kenal ampun. Akhirnya, tanpa dapat ditahan lagi tubuh Awyang Hok habis dihujani senjata tajam. Dia binasa dalam keadaan tak berbentuk lagi!
Namun yang membuat para tokoh persilatan rikuh adalah para wanita yang berteriak-teriak sambil berlarian, tanpa memakai pakaian sehelai benang pun. Dan Puspita Dewi mendapat tugas untuk memimpin mereka keluar, lalu mencari pakaian seadanya.
Dalam keadaan yang hiruk pikuk dari dalam berkelebat satu sosok bayangan kuning. Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, bayangan kuning itu telah meluruk ke arah Mundinglaya dengan serangan berbahaya.
Untung saja, laki-laki itu dapat menyadari. Langsung ditangkisnya serangan itu.
Blarrr! Dua tenaga dalam dahsyat bertemu. Akibatnya Mundinglaya terjajar beberapa tindak dengan kaki tampak gemetar. Lalu dia jatuh duduk dengan darah meleleh dari sudut bibir. Sebelum sempat berbuat sesuatu, kaki bayangan kuning itu telah menendang kepala Mundinglaya.
Prak! "Aaakh...!"
Dengan teriakan menyayat Mundinglaya roboh. Kepalanya retak mengeluarkan darah. Dia binasa di saat itu juga.
"Sampuraga...!" teriak beberapa tokoh persilatan, begitu mengenali bayangan kuning yang membantai Mundinglaya.
"Hua ha ha...! Bangsat kecil! Kalian berani masuk ke sarang macan, berarti sudah bersiap tidak kembali lagi...!" desis sosok yang memang Sang Pendeta.
"Bagus! Akhirnya kau muncul Sampuraga! Kami telah bertekad untuk melenyapkanmu dari permukaan bumi ini...!" seru para pendekar, serentak.
Kemudian secara beramai-ramai mereka mengeroyok Sang Pendeta. Agaknya mereka telah lupa pesan Pendekar Rajawali Sakti, kalau Sampuraga adalah bagiannya.
Walau dikeroyok beramai-ramai dengan berbagai senjata, tampaknya Sang Pendeta tak gentar. Bahkan tiba-tiba tubuhnya mengeluarkan asap tebal. Asap itu terus membubung tinggi, lalu perlahan-lahan menghilang. Namun bersamaan itu sosok Sang Pendeta telah berubah menjadi makhluk raksasa yang besar. Makhluk itu langsung membantingi para pengeroyok satu persatu.
Bagaikan daun kering dan layangan putus, tubuh mereka terpelanting dan terseret-seret sampai binasa. Darah berhamburan memenuhi ruangan. Yang membandel, mati dengan kepala pecah. Atau, kaki dan tangan terlepas dari tubuh. Sungguh suatu ilmu sesat yang dahsyat!
*** ? Sementara itu Bima Sena dari Padepokan Pondok Ungu maju menerjang Dewi Kencana Wungu. Ilmu-ilmu tingkat tinggi telah dikerahkan, namun belum juga mampu menyudahi wanita telengas itu.
Dewi Kencana Wungu terus melempar Duri Bunga Beracun yang sangat beracun. Namun Bima Sena menghindarinya dengan melenting ke belakang. Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng beserta Mudrika tak ingin berpangku tangan lebih lama. Maka mereka segera mengeroyok wanita jalang yang sangat berbahaya itu. Belum lagi keroyokan dari para pendekar yang rata-rata berkepandaian tangguh.
"Chiaaat...!"
Mendapat serangan dari segala arah, membuat Dewi Kencana Wungu kebingungan sendiri. Yang lebih sialnya, setiap sambaran Duri Bunga Beracunnya berhasil dipatahkan semburan Ki Demong.
Dan ketika wanita itu hendak menebar senjata rahasianya kembali, Ki Demong telah meluruk cepat sambil menyabetkan guci tuaknya. "Hiih...!"
Dengan sebisanya, Dewi Kencana Wungu mengegos ke kiri Namun pada saat yang sama Ki Sabda Gendeng telah menyambutnya dengan tongkat. Dan....
Diegkh...! "Aaakh...!"
Dewi Kencana Wungu terjajar beberapa langkah disertai keluhan tertahan. Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa, dari belakang Bima Sena meluruk maju dengan tendangan menggeledek.
Dugkh! "Ohhh...!"
Wanita ini terdorong ke muka dengan tubuh sedikit merunduk, kesempatan ini tidak disia-siakan salah seorang tokoh persilatan. Seketika pedangnya berkelebat. Lalu....
Crasss...! "Aaa...!"
Diiringi terdengar jeritan menyayat, tubuh Dewi Kencana Wungu ambruk dengan kepala terpisah, ketika pedang itu menyambar lehernya. Sebentar Dewi Kencana Wungu meregang nyawa, lalu diam tak bergerak lagi.
*** "Kisanak semua, minggirlah...! Biar Sang Pendeta bagianku!" teriak Pendekar Rajawali Sakti yang kini telah berdiri di tengah kancah pertarungan.
Sebelum Pendekar Rajawali Sakti sempat menyerang, raksasa jelmaan itu mencengkeram dengan tangannya yang berbentuk cakar. Namun dengan kelincahan dan jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Rangga bisa menghindar. Tubuhnya meliuk-liuk bagai hendak jatuh.
"Ciaaat!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti berkelebat. Lalu dengan sisi telapak tangan, disabetnya tangan raksasa itu.
Tak! Rangga terpaksa meringis sendiri karena tangannya terasa sakit sekali. Pendekar Rajawali Sakti segera mengatur kuda-kudanya, siap mengerahkan jurus-jurus gabungan dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti".
"Heaaa...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, seraya meluruk dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Setelah berputaran beberapa kali, dihantamnya kepala raksasa itu dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Iblis".
Diegkh! Blash! "Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget, ketika tubuh raksasa itu tahu-tahu lenyap menjadi asap kembali. Keanehan terjadi. Kini yang berdiri di depan Rangga adalah Sampuraga yang mengaku sebagai Sang Pendeta.
"Heaaat!"
Begitu kembali ke aslinya. Sampuraga meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang masih terkesiap. Karena semula sosok raksasa ini adalah wujud sebenarnya dari Sampuraga.
Desss...! "Aaakh...!"
Tak ampun lagi Pendekar Rajawali Sakti terjajar ke belakang, terhantam pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Darah tampak menetes dari sudut bibirnya. Namun, secepat itu pula Rangga bangkit, bersiap kembali.
"Keparat! Hmm.... Dari pedang yang tersandang, tentu kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti...," desis Sampuraga seraya menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hentikan sepak terjangmu, Kisanak! Masih ada waktu untuk bertobat," ujar Pendekar Rajawali Sakti, tenang penuh perbawa.
"Bangsat! Bocah kemarin sore berani berkhotbah di depanku"!" bentak Sampuraga, untuk menutupi kegentarannya melihat tatapan Pendekar Rajawali Sakti yang dingin menggetarkan.
"Kalau begitu, jangan salahkan aku bila bertindak keras padamu. Kau sudah kuperingatkan. Dan itu cukup sekali saja, bagi orang sepertimu...!" desis Rangga.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau memang batu sandunganku yang paling besar. Tapi bukan berarti aku gentar. Tak ada yang dapat menandingiku setelah aku berguru di tanah Tiongkok...!"
"Terserah kau berguru di mana. Itu bukan urusanku. Yang menjadi urusanku adalah, melenyapkan orang telengas sepertimu...!"
"Keparat busuk! Terima seranganku.... Heaaa...!"
Begitu habis kata-katanya, si Pendeta Murtad mengebutkan tasbih emasnya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka saat itu juga, melesat sinar kuning keemasan mengancam keselamatan Rangga.
"Uts.... Terpaksa...!"
Rangga cepat melenting ke atas sambil menggosok kedua telapak tangannya, hingga mengeluarkan sinar biru berkilauan sebesar kepala bayi yang menyelubungi pergelangan tangan. Tepat ketika sinar kuning telah melintas, kedua kakinya mendarat di tanah dalam keadaan kuda-kuda kokoh.
"Rasakan seranganku ini...!"
Di tengah kemarahan yang membludak, Sang Pendeta mengerahkan tenaga dalamnya yang paling tinggi saat menyabetkan tasbih emasnya.
Wuuusss...! Seketika sinar keemasan berkilau ini melesat. Pada saat yang sama Rangga yang telah bersiap, menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Aji "Cakra Buana Sukma"...! Heaaa...!"
Wuuuttt...! Sinar biru berkilau meluncur, memapak sinar kuning keemasan. Dan....
Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat disertai pijaran bunga api ke segala arah. Tak lama, sinar kuning keemasan itu terpecah pula ke segala arah. Sementara, sinar biru berkilau milik Rangga terus menerobos. Dan...
Jderrr...! "Aaa...!"
Ajian "Cakra Buana Sukma" yang disertai tenaga dalam tingkat tinggi menghantam Sang Pendeta hingga hancur tak berbentuk lagi. Tamat sudah riwayat Sampuraga.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti jatuh terduduk. Tampak peluh telah membasahi wajahnya. Nafasnya memburu, dengan dada berdebar kencang.
"Hentikan pertarungan.... Sang Pendeta telah tewas...!" teriak Ki Demong.
Seketika, anak buah Sampuraga yang tersisa langsung menjatuhkan senjata. Dan mereka segera diringkus tokoh-tokoh persilatan yang mengenakan pita merah di lengan.
Sedangkan beberapa tokoh lain segera memapah Pendekar Rajawali Sakti untuk dibawa ke dalam. Karena tadi Rangga bilang kalau dia ingin bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Hanya karena tenaganya telah terkuras seluruhnya, untuk berdiri saja rasanya tak mampu....
? SELESAI ? ? Tukang Scan: Clickers
Tukang Edit: Aura PandRa
Tukang E-Book: Abu Keisel
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Si Pisau Terbang Pulang 1 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 7

Cari Blog Ini