Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna Bagian 1
186. Pesangrahan Telaga Warna Bag. 1 - 4
10 avril 2015, 12:59
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: ? Pesangrahan Telaga Warna
? Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Saat ini cuaca cukup baik. Angin bertiup tenang, membawa hawa hangat siang hari. Kawasan Bukit Ungaran tampak ramai oleh para tokoh persilatan yang ingin mendapatkan bunga langkah yang dikenal bernama Bunga Nirwana.
Menurut berita yang terdengar saat ini, barang siapa yang memakan Bunga Nirwana tenaganya akan bertambah puluhan kali lipat. Lagi pula dapat membersihkan darah dan menguatkan tulang, sehingga tidak mudah rapuh. Dengan demikian daya tahan tubuh pun semakin meningkat.
Karena itulah, Pesanggrahan Telaga warna yang terletak di tengah telaga warna, ramai dikunjungi orang persilatan.
Di antara sekian banyak tokoh persilatan, tampak seorang tua. Rambutnya yang putih tergerai, bertebaran ditiup angin. Dia berjalan seenaknya dengan mata memandang ke sana kemari bagaikan tengah mencari sesuatu. Tingkahnya terkesan santai dan seenaknya saja. Sesekali ditenggaknya tuak merah dari guci yang dibawa. Di sampingnya berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan pakaian merah tanpa lengan.
Wajah pemuda itu cukup tampan. Di pinggangnya tergantung clurit berwarna perak. Pemuda itu terus mengikuti ke mana saja orang tua itu pergi.
Saat seperti sekarang ini, ketegangan telah mencapai puncaknya. Sikap tokoh persilatan sepertinya saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Mereka merasa ada yang main kayu dalam persaingan mencari Bunga Nirwana.
"Jalapati terbunuh...! Jalapati terbunuh!"
Mendadak kesunyian siang itu dipecahkan oleh teriakan seorang pemuda berpakaian serba putih.
Mendengar teriakan barusan dengan cepat murid-murid perguruan itu memburu ke tempat yang ditunjuk pemuda tadi. Tampak sosok tubuh rekan mereka telah membujur kaku menjadi mayat. Mereka menjadi berang bukan main.
"Keparat...! Laporkan kejadian ini pada Eyang Tantular! Ini pasti perbuatan murid-murid Ki Ronggojati dari Perguruan Harimau Besi! Kita harus menebus kematian rekan kita dengan darah....'" dEsis salah seorang murid dengan gigi gemeletuk menahan marah.
"Benar..., Balaga! Kita hancurkan mereka yang merasa paling jago dan tidak memandang perguruan kita sama sekali...," timpal murid lain dengan mengepalkan tinju sampai berbunyi berkerotokan.
? *** ? "Aaa...!"
"Aaa...!"
Pada saat yang sama, terdengar pula dua kali teriakan menyayat. Beberapa orang berpakaian serba kuning dengan lambang bergambar seeekor harimau di dada segera memburu ke tempat datangnya teriakan tadi. Begitu mereka tiba, tampak dua sosok mayat telah terbujur kaku. Dekat mayat itu terlihat dua ekor kelabang yang sedang merayap.
"Bangsat...! Ini pasti perbuatan murid-murid Perguruan Gelang Terbang...! Kalau ingin pamer kepandaian, mengapa tidak langsung saja..." Mengapa harus menggunakan cara licik?" desis pemuda bertubuh kekar yang dikenal sebagai murid Perguruan Harimau Besi seraya mencabut pedang dan membunuh kedua binatang beracun itu.
"Kalau begitu, mereka sudah membuka tantangan pada kita...! Menghadapi manusia licik, kita tidak perlu menggunakan perasaan.... Cepat laporkan pada Eyang Ronggojati!" sambut murid lain.
Dua orang murid Perguruan Harimau Besi segera kembali ke perkemahan, untuk melaporkan kejadian ini pada Eyang Guru mereka. Sementara yang lain segera mengurusi dua mayat yang telah membiru.
Tepat ketika kedua mayat itu hendak disemayamkan di kemah, seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dengan pakaian jubah kuning telah muncul bersama dua orang murid yang melaporkan tadi.
Laki-laki tua yang tak lain dari Eyang Ronggojati, Ketua Perguruan Harimau Besi nampak penuh kemurkaan. Itu bisa dilihat dari raut wajahnya yang membesi. Sinar matanya berkilauan dengan kedua tangan terkepal.
Setelah Eyang Ronggojati memberi isyarat pada murid-muridnya, mereka pun berangkat untuk mendatangi perkemahan Perguruan Gelang Terbang. Dengan langkah lebar, Eyang Ronggojati berjalan paling depan.
Belum berapa jauh orang-orang Perguruan Harimau Besi melangkah, telah berpapasan dengan orang-orang Perguruan Gelang Terbang yang memang sedang menuju ke tempat mereka. Berjalan paling depan adalah seorang laki-laki tua berbaju jubah putih. Di belakangnya tampak murid-murid Perguruan Gelang Terbang yang rata-rata sedang menahan marah. Laki-laki tua berjubah putih itu tak lain dari Eyang Tantular.
"Bangsat...! Berani benar mereka mendatangi kita...! Tetapi, kebetulan! Kita tidak perlu susah payah ke tempat mereka!" desis Eyang Tantular.
Eyang Ronggojati yang memimpin Perguruan Harimau Besi memandang Eyang Tantular dengan sorot mata tajam, ketika rombongan masing-masing berhenti pada jarak lima tombak.
Eyang Tantular sendiri yang memimpin Perguruan Gelang Terbang, maju ke muka beberapa langkah dengan senjata siap di tangan. Demikian pula Eyang Ronggojati. Bahkan dia telah meraba gagang pedang yang tergantung di pinggang.
"Hei..., Tantular! Sebagai Ketua Perguruan yang cukup ternama, apakah tidak malu melakukan perbuatan rendah...?" tegur Eyang Ronggojati dengan suara penuh tekanan.
"Apa maksudmu, Ronggojati..."!"
"Jangan pura-pura...!" sentak Eyang Tantular keras menggelegar. "Mengapa kau bunuh muridku dengan binatang beracun..."!"
"Keparat...! Pandai benar kaku memutar balik kenyataan. Kau sendirilah yang membunuh muridku mengyunakan binatang beracun. Huh! Maling teriak maling...," balas Eyang Tantular dengan suara menggelegar.
"Huh...! Di mana pun tidak ada orang yang bersalah mengaku. Kalaupun ada, hanya beberapa gelintir saja.... Yang jelas, bukan kau orangnya...," ejek Eyang Ronggojati melecehkan.
Mendapat jawaban seperti itu Eyang Tantular jadi berang. Cepat bagaikan kilat, tangannya ber-gerak.
Zing! Zing! Beberapa buah gelang dari besi langsung ber-terbangan menimbulkan suara berdesingan ke arah Eyang Ronggojati. Namun dengan cepat pula Ketua Perguman Harimau Besi mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu dengan gerakan tidak kalah cepat, pedangnya diputar bagaikan baling-baling.
? *** ? Trang! Trang! Trang!
Berkali-kali terdengar suara berdenting nyaring ketika senjata gelang terbang milik Eyang Tantular beradu dengan pedang Eyang Ronggojati.
Tap! Eyang Tantular berhasil menangkap kembali gelang terbangnya. Dan dengan memutar tubuh-nya, kembali gelang terbang itu dilepaskan me-nyambar ke arah leher dan perut. Serangan kali ini sangat berbahya dan mematikan.
"Heaaa...!"
Sambil berteriak keras, Eyang Ronggojati me-lenting dan berjumpalitan di udara. Pedangnya langsung menyabet dua senjata maut yang meng-ancam dirinya.
Trang! Trang! Dari gebrakan tadi, jelas kepandaian dua tokoh itu tidak terpaut jauh. Sehingga dalam waktu singkat, sulit untuk mengatakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Melihat Eyang Guru masing-masing sudah saling serang, para murid kedua perguruan itu tidak mau kalah. Serentak mereka saling serang tanpa kenal kasihan lagi. Tidak lama, terdengarlah teriakan-teriakan kematian yang menggiriskan. Bahkan sebentar kemudian, dari kedua perguruan telah jatuh banyak korban. Darah mulai menganak sungai. Hawa kematian mulai menyebar di tempat itu.
Para tokoh persilatan dan murid-murid dari perguruan lain memperhatikan pertarungan dengan wajah menyesalkan. Semuanya tidak mengerti, mengapa kedua perguruan itu harus saling tempur hanya untuk sesuatu yang belum jelas buktinya. Bukankah dengan jalan lain kemunglonan jatuhnya korban bisa dihindari!
Sementara pertarungan semakin lama jadi semakin seru. Tampak Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul dan Wisnupati memperhatikan jalannya pertarungan. Sambil terhuyung-huyung karena kebanyakan minum tuak, malah dihampirinya pertempuran itu.
"He he he...! Kalau ada keramaian ajak-ajak aku, dong.... Mengapa kalian berpesta seenaknya saja..."!" oceh Ki Demong dengan langkah terse-ok-seok.
"Hei..! Kau mau ke mana, Ki...?" tanya Wisnu-pati heran.
"Kau diam saja di pinggir.... Aku hendak ikut main-main sebentar dengan mereka...," jawab Pemabuk Dari Gunung Kidul seenaknya.
Melihat ada orang lain memasuki pertarungan seenaknya saja, kedua murid perguruan yang sedang berkelahi langsung menyerang dari kiri dan kanan. Namun dengan memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, serangan dari kedua perguruan itu tak satu pun yang berhasil menyentuh Ki Demong. Bahkan serangan balik Pemabuk Dari Gunung Kidul yang menggunakan guci tuak, telah menghantam dada dan kepala mereka dengan telak. Walaupun tidak mematikan karena tidak disertai tenaga dalam, tetapi serangan itu cukup menyakitkan.
"Fruhhh...!"
Ki Demong yang kini dikeroyok murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Hari-mau Besi, mulai menyemburkan tuak merah yang disertai kobaran api menyambar-nyambar. Sedangkan kaki dan tangannya menyambar ke kiri dan kanan.
Desss...! Desss...!
Rupanya tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul tak lepas dari perhatian kedua pemimpin dari dua perguruan yang sedang berseteru. Mereka segera menghentikan pertarungan. Bahkan Eyang Ronggojati langsung meluruk ke arah Ki Demong.
"Bangsat tua...! Rupanya kau yang telah membinasakan anak muridku...?" hardik Eyang Ronggojati!
Begitu tiba, Eyang Ronggojati menyabetkan pedangnya ke arah leher. Walaupun dalam keada-an setengah mabuk, Ki Demong masih tetap tang-guh. Serangan yang mengarah ke leher ditangkis dengan guci tuak.
Trang! Baru saja Ki Demong menangkis sabetan pedang Eyang Ronggojati, sambaran gelang terbang Eyang Tantular telah meluruk datang. Namun dengan enaknya, pemabuk tua ini melenting indah ke atas, membuat gelang terbang itu hanya menyambar angin.
Walaupun dikeroyok dua, Pemabuk Dari Gunung Kidul tidak mengalami kesulitan. Permainan guci tuaknya sangat aneh dan luar biasa. Bahkan kedua lawannya dibuat bingung dan kelabakan. Apa lagi lelaki pemabuk itu sangat jahil. Bila diserang di depan, tubuhnya menyelinap ke belakang. Dan bila diserang ke belakang, tubuhnya ada di samping. Yang diserangnya juga bagian bawah pusar. Dan terkadang menjentik telinga sampai merah dan berdenging.
Tentu saja perbuatan Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat Eyang Ronggojati dan Eyang Tan-tular jadi semakin berang. Secara membabibuta, mereka menerjang. Puluhan gelang terbang Eyang Tantular meluncur mencari mangsa. Sedangkan pedang Eyang Ronggojati bersiutan mengurung jalan keluar Ki Demong. Sungguh mereka tidak sadar kalau laki-laki tua pemabukan itu sedang mempermainkan mereka. Pemabuk Dari Gunung Kidul sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah antara dua perguruan itu.
"He he he...! Segala ayam kampung mau pamer kepandaian dalam perebutan Bunga Nirwana.... Lebih baik kalian kembali dan jangan mengorbankan jiwa sia-sia...," ejek Ki Demong.
"Keparat...! Walaupun kau memiliki kepandaian tinggi, jangan harap aku takut menghadapi-mu...!" bentak Eyang Ronggojati sambil memu-tar-mutar pedangnya hingga berbunyi berkesiutan.
"Hei, Setan Tua! Aku juga ingin mengadu jiwa denganmu...!" timpal Eyang Tantular sambil menggenggam erat gelang-gelang terbangnya yang bisa meluncur balik, bila tak mengenai sasaran.
? *** ? "Setan kalian semua.,.! Mengapa malah me-ngeroyok Pemabuk Dari Gunung Kidul yang tidak tahu apa-apa..."!" dengus Wisnupati. Tubuhnya langsung meluruk dengan clurit perak dikibas-kibaskan.
"Heaaat!"
Melihat ada yang memasuki kancah pertarungan lagi, para murid dari kedua perguruan langsung bergerak. Mereka mengeroyok Wisnupati beramai-ramai. Wisnupati mengerti, kalau Pemabuk Dari Gunung Kidul bermaksud mencegah kedua perguruan itu dari kematian sia-sia. Karena kalau dibiarkan terus bisa dibayangkan, berapa banyak jiwa yang akan melayang kalau terus saling serang tanpa berhenti. Hal itulah yang menyebabkan si Pemabuk Dari Gunung Kidul ikut terjun dalam pertarungan.
Tetapi tindakan Ki Demong malah membuat-nya dituduh sebagai si penyebar maut dengan bi-natang berbisa. Melihat hal itu, Wisnupati pun ikut terjun dalam pertarungan. Apalagi, melihat Ki Demong dikeroyok beramai-ramai.
Belum beberapa jurus Wisnupati bertarung, berkelebat sesosok tubuh berpakaian hijau dengan wajah tengkorak. Gerakannya bagaikan seekor kucing yang menyelinap ke sana kemari. Bahkan sosok itu berkelebat sambil melempar benda-benda sebesar melinjo ke arah murid-murid kedua perguruan ini. Untung saja, pertarungan Ki Demong melawan Eyang Ronggopati dan Eyang Tantular berjarak cukup jauh.
Dar! Dar! Ternyata benda bulat itu langsung meledak begitu menyentuh tanah. Asap tebal yang berbau harum segera memenuhi tempat perkelahian.
"Ugkh...!"
"Uhhh...!"
Kontan murid-murid Perguruan Gelang Terbang dan Perguruan Harimau Besi jadi terhuyung-huyung. Rupanya asap itu mengandung pembius yang memabukkan.
Sementara, Wisnupati cepat menahan napas-nya. Tubuhnya segera berkelebat cepat, seraya melepas totokan ke arah murid-murid kedua perguruan itu. Tanpa harus membunuh, dia bisa menghentikan pertarungan.
Setelah melakukan serangan gelap, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak menghilang dari pandangan (Untuk mengetahui tentang si Manusia Tengkorak, baca episode : "Geger Di Telaga Warna").
Sedang Ronggojati saat itu sedang menusukkan pedangnya. Namun dengan gerakan luar biasa, Ki Demong mengelak ke samping sambil melepas totokan ke punggung disertai tenaga dalam tinggi.
Tuk! "Uhhh...!"
Eyang Ronggojati melenguh tertahan ketika tubuhnya lemas tak bisa digerakkan lagi. Sehingga pedangnya terlepas dari tangannya. Lalu, dengan konyol Ki Demong bergerak ke belakang, seraya menahan tubuh Eyang Ronggojati. Dan secepat itu pula, tuak merah yang tergolong sangat keras itu diminumkan pada mulut Ketua Padepokan Harimau Besi.
"Uh... hegh"! Glug... ceglugh...!"
Masuknya tuak merah yang keras dengan pak-sa ke perut, sebentar saja telah membuat Eyang Ronggojati mabuk. Begitu Ki Demong melepaskan tubuhnya, Eyang Ronggojati ambruk sambil mengoceh tak karuan.
Melihat tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Eyang Tantular segera melemparkan tujuh buah gelang terbangnya sekaligus. Namun dengan cepat, Pemabuk Dari Gunung Kidul memutar guci tuaknya bagai kincir angin.
Tang! Tang! Seketika gelang terbang milik Eyang Tantular mental tak tentu arah. Bersamaan mentalnya senjata gelang terbang, Ki Demong bergerak cepat menjatuhkan diri. Langsung diserang Eyang Tantular dengan tendangan seperti baling-baling.
Bed! Bed! "Hiaaa...!"
Sambil berteriak keras, Ketua Perguruan Gelang Terbang berjumpalitan ke udara. Tetapi, Ki Demong terus memburunya. Baru saja Eyang Tantular mendarat, sebuah totokan bertenaga dalam tinggi menghantam punggung...
Tuk! Tidak ampun lagi, Ketua Perguruan Gelang Terbang ambruk dan jatuh telentang di tanah. Se-perti Eyang Ronggojati, dia juga dicekoki tuak.
Entah tidak biasa minum atau memang tuak merah itu sangat keras. Eyang Tantular jadi pening dan mabuk.
"Setelah kusadarkan nanti, kuharap kalian pergi.... Tidak ada maksudku mencelakai kalian! Menghadapi aku saja, tidak berdaya. Apalagi terhadap mereka yang memiliki kepandaian tinggi dan berwatak kejam.... Kalau kalian tidak dapat kunasihati, terserah.... Barangkali kalian memang menghendaki banyak jiwa terbunuh secara sia-sia!" ujar si Pemabuk Dari Gunung Kidul secara sembarangan, seolah-olah tidak ditujukan pada kedua ketua perguruan itu.
? *** ? Semakin hari, semakin sedikit orang persilatan yang mengepung Pesanggrahan Telaga Warna. Terutama, setelah Eyang Ronggojati dan Eyang Tantular menuruti kata-kata Pemabuk Dari Gunung Kidul. Mereka yang merasa berkepandaian di bawah kedua ketua perguruan itu mengundurkan diri. Namun tidak sedikit yang merasa jumawa, dan menganggap paling unggul sendiri. Mereka masih merasa enggan meninggalkan tempat itu, karena tergiur pada benda langka yang luar biasa dan hanya muncul seratus lima puluh tahun sekali.
"Shet...! Wisnupati! Tadi kulihat ada bayangan yang sudah kukenal baik.... Tetapi, sekarang tidak tampak lagi...," bisik Ki Demong pada Wisnupati sambil celingukan ke sana kemari bagai anak ayam kehilangan induk.
"Bayangan siapa itu, Ki...?" tanya Wisnupati keheranan, karena tidak melihat apa-apa.
"Bayangan si Manusia Tengkorak! Dialah yang tadi melemparkan bom asap...," sahut Ki Demong.
"Kalau begitu mari kita cari dia.... Siapa tahu masih ada di sekitar sini...!" ajak Wisnupati, penuh semangat.
Lalu dengan cepat pemuda tinggi besar itu berkelebat mencari ke sekitar tempat ini. Dengan kesal, terpaksa orang tua urakan itu ikut mengejar dari belakang.
"Hei..., tunggu dulu! Mau ke mana kau...?" teriak Ki Demong.
"Mencari si Manusia Tengkorak...," sahut Wisnupati sambil terus berlari.
"Berhenti kau, Dungu...! Mana mungkin dia masih di tempat ini. Kalaupun ada, dia sudah pasti telah menanggalkan kedoknya...!"
Mendengar teriakan itu, Wisnupati terpaksa menghentikan larinya. Tubuhnya lantas berbalik, menghampiri Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan...?" tanya Wisnupati.
"Kita diam saja, seolah-olah tidak tahu. Bila dia muncul kembali baru kita gebrak...," jelas Ki Demong.
Selesai berkata demikian, Ki Demong melangkah terhuyung-huyung. Langkahnya berhenti tepat di bawah pohon. Direbahkan tubuhnya di situ. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang keras.
Wisnupati yang menyertai ikut merebahkan diri. Pemuda itu juga tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya. Sesaat kemudian, dia tertidur juga di samping orang tua pemabukan itu.
? *** 2 ? Belum lama Ki Demong dan Wisnupati tertidur, seorang pemuda berpakaian indah dari sutera berwarna ungu tampak mendatangi dengan langkah lebar. Dengan seenaknya, pemuda itu menendang lambung Ki Demong.
Wuttt...! Entah sengaja atau tidak, kaki Pemabuk Dari Gunung Kidul naik ke atas menahan tendangan.
Plak! Kemudian Ki Demong membalikkan tubuhnya dengan mendadak. Bahkan kemudian kaki yang satu lagi menghantam kaki pemuda yang berwajah garang itu.
Dugkh! "Aaakh...!"
Tubuh pemuda yang juga mengenakan bebat kain sarung kotak-kotak seperti catur itu jatuh mencium tanah. Namun dengan cepat dia bangkit kembali disertai wajah berang.
Sementara Pemabuk Dari Gunung Kidul sudah membuka matanya. Sambil mengucak-ngucak, diawasinya pemuda yang tengah melotot dengan mata merah.
"Eh..."! Ada apa ini..." Siapa pula kau ini" Mengapa menatapku seperti itu...?" tanya Ki Demong dengan wajah bodoh.
Mendengar ribut-ribut, Wisnupati terbangun pula dan bangkit seraya hendak mengirimkan sebuah pukulan. Tetapi, tanpa disangka ternyata Ki Demong telah mencegah dengan menotok lambungnya.
Tuk! "Aaakh...!"
Tanpa dapat ditahan lagi, pemuda putra Kepala Desa karang Sekalor itu jatuh kembali tanpa dapat berbuat sesuatu apa pun. Hanya matanya saja mendelik tak suka pada Ki Demong yang tersenyum-senyum mengawasi dengan sikap lucu.
"Kalau tidak salah lihat, kau adalah Ki Demong yang berjuluk Pemabuk Dari Gunung Kidul...?" tegur pemuda yang agaknya berasal dari Pulau Bali itu.
"He he he...! Kalau benar, ada apa dengan na-ma itu...?" Ki Demong malah balik bertanya.
"Kau harus membayar hutang nyawa saudara angkatku yang telah kau binasakan beberapa waktu yang lalu...! Namaku I Wayan Gulem, dari tanah Bali! Bersiaplah kau...!" desis pemuda yang mengaku bernama 1 Wayan Gulem.
"Tunggu dulu...! Ada banyak sekali yang binasa di tanganku. Siapa nama saudara angkatmu itu...?" cegah Ki Demong.
"Namanya, Salya Pati. Dia berjuluk Iblis Peme-tik Bunga...," jawab I Wayan Gulem dengan suara berat.
"Oh...! Kalau dia memang patut mati. Banyak sudah wanita yang jadi korban nafsu bejadnya...!" tukas Ki Demong, tandas.
"Huh...! Boleh jadi orang lain gentar mendengar nama besarmu. Tetapi bagiku, kau sama de-ngan jago kelas kambing.... Lagi pula, jangan sa-makan aku dengan Iblis Pemetik Bunga.... Maka, bersiaplah kalau tidak ingin mati penasaran...!" bentak I Wayan Gulem sambil mencabut keris di punggungnya, dan langsung menusuknya ke leher Ki Demong.
"Sheaaat...!"
"Uts...!"
Trang...! Ujung keris yang mengancam tenggorokan dapat ditahan Ki Demong dengan ayunan guci tuak yang keras, sehingga menimbulkan suara nyaring. Namun serangan I Wayan Gulem tidak berhenti sampai di situ saja. Kerisnya berputar cepat mengarah dada. Sedangkan tangannya yang membentuk cakar, mengancam kepala Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Menghadapi serangan berbahaya itu, Ki Demong terkekeh sambil menenggak tuak merah dari guci. Kemudian, secepat itu pula orang tua pemabukan itu memiringkan tubuhnya. Dan begitu serangan keris lewat di dada, disemburkannya tuak dalam mulut ke arah lengan yang mencengkeram kepala.
"Fruhhh...!"
"Aaakh...!"
Karena tidak menyangka, I Wayan Gulem kena semburan tuak. Sambil berjingkrakan dia melompat mundur. Tangannya kontan terasa sakit, bagaikan ditusuki ratusan jarum.
"Bangsat...! Kubunuh kau setan tua...!" bentak I Wayan Gulem.
Saat itu juga, pemuda dari tanah Bali ini me-lancarkan tendangan beruntun. Namun dengan lincah Ki Demong berkelit-kelit. Melihat serangan-nya gagal, keris di tangan I Wayan Gulem segera meliuk-liuk bagaikan ular, mencari lubang kelemahan pada pertahanan Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Hait!"
Ki Demong langsung melenting ke belakang. Begitu mendarat, kedua tangannya langsung menghentak.
Wesss! Pukulan jarak jauh Pemabuk Dari Gunung Kidul membuat pasir dan dedaunan terangkat naik. Namun, I Wayan Gulem segera menyambuti dengan pukulan jarak jauh pula.
Blarrr...! Keduanya kontan bergetar mundur dengan tangan terasa sakit begitu terjadi benturan tenaga dalam.
Belum juga Ki Demong bersiap, pemuda Bali itu telah meluruk cepat dengan kaki terjulur ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss...! "Hugkh...! Fhruuuh...!"
"Aduuhh...!"
Entah sengaja atau kebetulan, tuak dalam mulut Pemabuk Dari Gunung Kidul kontan tersembur keluar dan mengenai muka I Wayan Gulem. Tentu saja pemuda Bali itu jadi kelabakan, karena ada beberapa tetes tuak yang berhasil masuk mata kanannya. Tanpa malu-malu lagi, I Wayan Gulem mengaduh-aduh kesakitan.
Ki Demong hanya tertawa saja melihat tingkah lawan seperti itu. Namun tiba-tiba....
"Leak Murka...!"
Secara tak terduga I Wayan Gulem berteriak keras sekali dengan lidah terjulur panjang-panjang.
Dan... Bersamaan dengan berakhirnya teriakan, kepala I Wayan Gulem terlepas dari tubuhnya dengan membawa seluruh isi perutnya! Jelas, inilah ilmu 'Leak' yang biasa dimiliki tokoh hitam dari tanah Bali.
Saat itu juga, kepala I Wayan Gulem yang masih meneteskan darah dengan membawa seluruh isi perut itu melayang menerjang Ki Demong dengan ganas.
Sementara, Pemabuk Dari Gunung Kidul masih terpaku tak percaya melihat keanehan itu. Akibatnya, dia jadi lengah. Maka kepala tanpa tubuh yang telah memiliki taring pada mulutnya itu mendadak menempel pada lehemya.
Crab! "Wuaaa...!"
Tentu saja hal itu membuat Pemabuk Dari Gunung Kidul kelabakan. Bagai kilat tangan kirinya menarik rambut di kepala tanpa tubuh yang menempel di lehernya. Kemudian kepala itu dibanting ke atas tanah.
Wuuttt...! Tetapi sebelum menyentuh bumi, kepala itu melayang kembali ke udara. Dengan lidah yang terjulur menjijikkan, kembali kepala itu meluruk ke arah Ki Demong.
Untuk menghindari serangan berbahaya ini, Pemabuk Dari Gunung Kidul kembali menyemburkan tuak merah ke kepala yang menjijikkan dengan tetesan darah dan lidah yang menjulur-julur.
"Fruhhh...!"
Wussst...! Semburan tuak yang disertai nyala api me-nyambut datangnya kepala mengerikan itu. Tetapi dengan cepat kepala itu menghindarinya. Bahkan dengan tak terduga, mulut kepala I Wayan Gulem terbuka semakin lebar. Dan dari mulut itu menyemburkan nyala api yang lebih besar.
Si Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi semakin kalang kabut. Terpaksa dia melenting ke belakang menjauhi lawan. Namun walau ke mana pun dia berlari, kepala yang telah bembah menjadi Leak itu terus mengejar.
Kembali terjadi tontonan menarik. Ki Demong dengan terhuyung-huyung terus dikejar kepala Leak yang membuntuti ke mana saja dia berlari.
? *** ? Para tokoh persilatan yang menyaksikan juga sampai bergidik. Baru sekali ini mereka menyak-sikan ilmu luar biasa yang menakutkan itu. Mereka juga pernah mendengar kehebatan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tetapi, kini mereka melihat laki-laki pemabukan itu tidak berdaya menghadapi ilmu 'Leak Murka' milik I Wayan Gulem. Sedangkan Wisnupati yang sedang tertotok tidak dapat membantu. Hanya matanya saja yang mengawasi dengan hati berdebar-debar keras.
Sementara itu Ki Demong secara tiba-tiba menghentikan larinya seraya mengebutkan guci-nya. Dan....
"Chiaaat...!"
Bletakkk! Guci di tangan Ki Demong bergerak cepat berhasil menghantam kepala hingga tertahan dan terpental balik menghantam pohon. Dengan menimbulkan suara keras, pohon itu roboh.
Tetapi, kepala itu sendiri tidak hancur. Bahkan kembali menerjang lebih dahsyat lagi. Dan Ki Demong pun terpaksa main kejar-kejaran lagi.
"Hust...! Hust..,! Pergi sana.... Ayo pergi...! Jangan mengikuti aku terus! Pergi..., pergi...!" teriak Ki Demong.
Walau Pemabuk Dari Gunung Kidul telah berteriak-teriak, tetap saja Leak itu menerjangnya. Dalam suatu kesempatan, laki-laki tua pemabuk itu berjumpalitan di udara, menghindari serangan ke arah kakinya. Namun tiba-tiba kepala tanpa tubuh itu meluncur ke atas menghantam kepala dengan keras.
Dugkh! "Aaakh...!"
Akibat benturan keras, Ki Demong merasa pening luar biasa. Dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh telentang ke tanah disertai keluhan tertahan. Dan baru saja dia bangkit kembali, kepala itu menggigitnya dengan kuat.
Krep! Dengan kalang kabut, Ki Demong memukuli kepala itu dengan guci dan tangannya.
Dug! Tetapi, kepala itu tidak pernah lepas dan terus menggigit perut Ki Demong. Darah mulai menetes dari perut. Bahkan kepala itu mulai menghisap darah melalui perut Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Setan keparat...! Lepaskan perutku.... Lepas-kan...!" teriak Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil berjingkrakan bagai cacing kepanasan.
Saat itu hilangkah kekonyolan Ki Demong. Keadaannya sangat berbahaya. Bila dibiarkan terus, tentu darahnya akan terhisap habis.
Di saat yang gawat, mendadak berkelebat sesosok bayangan putih yang langsung mendekati tubuh I Wayang Gulem yang tidak berkepala lagi. Tetapi, begitu mendekat, tubuh itu langsung menerjang bayangan putih.
Sosok putih yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti, cepat mengelak ke samping. Tangannya langsung mengibas, melepaskan pukulan ke arah tubuh tanpa kepala.
Plak! "Uts...!"
Suatu keanehan terjadi. Tangan I Wayan Gulem yang tanpa kepala itu mampu bergerak menangkis. Bahkan mampu mengirimkan serangan balasan berupa tendangan berantai yang mematikan.
Dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rang-ga berhasil mengelakkan serangan manusia siluman berwujud Leak itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, sehingga tak satu serangan pun yang bisa mengenainya. Bahkan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan tangannya ke dada, disertai tenaga dalam cukup tinggi.
Desss...! Telak sekali pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada I Wayan Gulem hingga terlempar keras. Tetapi itu ternyata tidak berpengaruh sama sekali bagi tubuh I Wayan Gulem. Bahkan mampu bangkit kembali, seolah-olah tidak terjadi sesuatu apa pun.
"Sheaaa...!"
Tetapi, kesempatan itu tidak disia-siakan Rangga. Cepat diraupnya tanah berpasir. Lalu, tubuhnya meluruk dengan kecepatan kilat, mendekati tubuh tanpa kepala itu.
Werrrt...! Begitu dekat, Rangga membuat lentingan ke atas. Tangannya langsung melemparkan pasir yang tepat masuk ke lubang leher.
Begitu mendarat di tanah, Rangga kebetulan berada tak jauh dari sebuah pohon kering yang bercabang banyak. Segera dipatahkannya cabang pohon yang sebesar tongkat.
Klak! Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti berbalik dan kembali melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk seraya menancapkan batang kayu itu ke rongga leher I Wayan Gulem.
Clep! Ujung kayu itu dibiarkan tersembul pada ujungnya. Akibatnya, tubuh itu bergetar keras dan bergoyang-goyang bagaikan hendak roboh. Beberapa pohon yang tertabrak kontan roboh bagaikan diterjang gajah-gajah liar yang sedang mengamuk.
"Greeengh...!"
Sementara itu kepala yang berada di perut Ki Demong kontan melepaskan gigitannya disertai teriakan keras sampai merontokkan daun-daun kuning di atas pohon. Saat itu juga kepala itu berusaha menempel kembali ke tubuhnya.
"Aaaghrrrh!"
Namun ketika kepala Leak itu menyentuh leher, kembali berteriak dan melepaskan diri kembali. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di leher. Bahkan merasa ada benda kasar yang menghalangi.
"Ilmu setan...," desis Ki Demong sambil memperhatikan semua kejadian dengan seksama.
"Kau baik-baik saja, Ki...?" tanya Rangga, begitu dekat kembali dengan Ki Demong.
"Kalau tidak baik, mana mungkin aku berjum-pa lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...?" sahut Ki Demong sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Sementara itu, I Wayan Gulem yang menggunakan ilmu 'Leak Murka' terus berusaha menempelkan kepalanya kembali pada tubuhnya. Tetapi, semua usaha yang dilakukan sia-sia belaka. Kejadian yang aneh dan cukup menyeramkan berlangsung sampai sepenanakan nasi lamanya. Semakin lama, usaha I Wayan Gulem jadi semakin melemah. Dan beberapa saat kemudian, kepalanya jatuh ke tanah setelah mengeluarkan teriakan mendirikan bulu roma.
"Huh...! Rupanya di situ letak kelemahan ilmu 'Leak Murka'! Untung kau datang tepat pada waktunya, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau tidak, aku sudah kehabisan darah...!" dengus si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Sudahlah.... Cepat tolong Wisnupati., Kasihan dia dari tadi hanya telentang saja bagai bayi...," ujar Rangga, memotong pembicaraan Ki Demong.
"Baiklah....."
? *** ? "Uh..." Ke mana lagi pendekar itu...?" tanya Ki Demong, setelah melepaskan totokan pada tubuh Wisnupati.
"Tadi kulihat dia di situ...," sahut Wisnupati sambil menunjuk ke suatu tempat.
"Dia dapat datang dan pergi sesuka hati. Kita memang bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya...," desah Ki Demong perlahan.
Baru saja Pemabuk Dari Gunung Kidul berkata demikian....
"Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aaa...!"???
"Heh"!"
Tiba-tiba terdengar teriakan saling susul. Ki Demong dan Wisnupati tersentak kaget. Mereka langsung menoleh ke arah sumber suara.
Tampak sesosok tubuh berpakaian serba hijau dengan wajah ditutup topeng berbentuk tengkorak, tengah dikeroyok beberapa orang. Namun gerakan sosok berwajah tengkorak itu sangat cepat dan kejam. Tangannya tampak melemparkan sesuatu yang ternyata kelabang dan kalajengking beracun!
"Hait!"
Cras! Cras! "Aaakh...!
Beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian bebat warna merah itu berhasil menebas putus tubuh binatang beracun itu. Tetapi, banyak juga yang kena sengat. Mereka langsung ambruk dan berkelojotan. Sebentar saja, mereka mati dengan tubuh membiru dan keracunan. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya racun binatang itu.
Ketika beberapa orang menyerbu, sosok yang tak lain si Manusia Tengkorak mengebutkan lengan bajunya. Maka mengepullah serbuk putih yang memabukan.
Wusss...! "Aaakh...!"
Mudah sekali bagi si Manusia Tengkorak melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dikenali berasal dari Perguruan Walet Merah itu. Karena sebagian besar telah terpengaruh oleh serbuk beracun. Yang tampak bertahan hanyalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian jubah merah. Laki-laki yang tak lain Ketua Perguruan Walet Merah itu memutar pedangnya.
Si Manusia Tengkorak tidak kehilangan akal untuk menjatuhkan laki-laki setengah baya itu. Segera dilemparkannya beberapa binatang beracun ke arah Ketua Perguruan Walet merah itu.
Set! Set! Dengan memutar pedang bagaikan baling-baling, laki-laki setengah baya itu berusaha membabati binatang beracun. Bahkan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan pedang menderu-deru mengancam ke seluruh tubuh si Manusia Tengkorak.
Walau mendapat serangan berbahaya, si Manusia Tengkorak yang sebenarnya bernama Rara Wulan itu masih dapat menangkis dengan melecutkan selendang hijau yang sebelumnya melilit pinggang.
Ctar! Ctar! Kedua tokoh yang sama-sama tangguh itu segera saling libat kembali. Hingga pertarungan genap memasuki jurus ke tujuh puluh empat, mendadak berkelebat sesosok tubuh disertai bau tuak menyebar ke sekeliling. Dengan guci tuak di tangan sosok yang tak lain Pemabuk Dari Gunung Kidul segera menghalangi selendang hijau yang digunakan untuk cambuk.
Tanpa terasa, si Manusia Tengkorak telah dikeroyok dua. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut dan terdesak.
"Chiaaa...!"
Sambil berteriak keras, Rara Wulan menye-barkan binatang beracun dan asap beracun yang berbahaya kepada pengeroyoknya.
"Fruhhh...!"
Di sinilah letak keistimewaan Ki Demong. Dengan cepat, disemburkannya tuak yang berada di mulut ke arah binatang berbisa hingga terbakar hangus. Sedangkan Ketua Perguruan Walet Merah menghentakkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi. Sehingga, asap itu jadi buyar dan musnah tertiup angin.
Ki Demong yang sangat membenci si Manusia Tengkorak terus mendesak dengan serangan gen-car dan mematikan. Akibatnya, jadi terdesak hebat.
"Yeaaat!"
"Mampuslah kau, Manusia Licik!" bentak Ki Demong sambil memukulkan guci tuaknya.
Pada saat yang sama, Ketua Perguruan Walet Merah menusukkan pedang ke arah punggung.
"Perkenalkan, Orang Tua. Aku Sangaji, Ketua Perguruan Walet Merah...."
"Kau siapa, Orang Tua..." Mengapa ikut cam-pur dan membantu menempur si Manusia Teng-korak yang keji ini...?" tanya Ketua Perguruan Walet Merah yang ternyata bernama Sangaji, sambil melancarkan serangan ke arah Manusia Tengkorak.
"Siapa yang membantu... " Aku punya dendam yang besar pada si Manusia Tengkorak ini...! Kalau keberatan, kau boleh menepi saja!" sahut si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Apakah tidak malu" Kita kaum lurus kenapa main keroyok terhadap manusia bermuka teng-korak itu...?" tukas Ki Sengaji, penasaran.
"Kenapa harus malu..." Mereka tidak pernah merasa malu walau harus membokong dan mem-bunuh secara licik...!" potong Ki Demong.
Sadarlah Ki Sangaji kalau orang tua pemabukan itu memang susah diurus dan berwatak angin-anginan. Maka didiamkannya saja tindakan Pemabuk Dari Gunung Kidul. Bahkan Ki Sangaji sendiri terus mendesak dengan pedangnya.
Wisnupati yang berangasan tidak dapat tinggal diam. Dengan segera diterjangnya si Manusia Tengkorak dengan clurit peraknya yang berkilatan.
Dikeroyok tiga, tentu saja si Manusia Tengkorak jadi semakin terdesak. Dia hanya dapat bermain mundur dan menahan serangan tanpa dapat mengadakan serangan balasan.
"Hiaaa...!"
Tiba-tiba sambil berteriak keras, si Manusia Tengkorak menyebarkan binatang berbisa dan asap beracun secara habis-habisan. Tetapi, ketiga lawannya segera menutup pernapasan dan loncat menjauhi.
Menggunakan kesempatan baik itu, si Manusia Tengkorak segera berkelebat pergi dari tempat ini. Dalam waktu sekejap saja, tubuhnya hilang, dari pandangan mata.
*** 3 ? Pemabuk Dari Gunung Kidul mengendus-ngendus ketika tercium bau harum daging kelinci bakar yang sedang dibolak-balik di atas api oleh Wisnupati. Bau harum itu cukup menyengat hidung Ki Demong. Sekeika orang tua yang urakan ini segera melompat bangun dari berbaringnya. Hidungnya terus saja kembang-kempis bagaikan kucing mencium ikan asin.
"Uuuhh...! Harumnya bukan main...! Boleh juga, nih...?" kata Ki Demong dengan jakun turun naik.
"Kalau kau mau makan, silakan ambil.... Seorang dapat satu, adil rasanya...," ujar Wisnupati dari balik pohon.
"Kau memang seorang pemuda yang baik, Wisnu. Terima kasih atas pemberianmu ini...," ucap Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil menjulurkan tangan hendak mengambil kelinci bakar yang mengundang selera.
"Tunggu dulu...!" cegah Wisnupati. ?"Kau boleh saja mengambil daging bakar itu. Tapi, harus memenuhi dulu satu syarat yang kuajukan...!"
"Jadi pemberianmu ini dengan pamrih...?" tukas laki-laki tua pemabuk itu dengan mata men-delik.
"Bukannya pamrih.... Dari dulu kau selalu mengulur-ulur waktu kalau aku menginginkan jadi muridmu...," sahut Wisnupati seenaknya.
"Kau selalu ingin jadi muridku saja...! Bodoh-nya kau ini! Aku ini hanya orang pemabukan yang tidak memiliki apa-apa.... Apa yang kau harap dariku...." Ilmu yang kumiliki hanya pas-pasan. Cari guru yang lain saja, supaya kau jadi orang besar kelak...," ujar Pemabuk Dari Gunung Kidul santai.
"Aku tidak perlu guru lain! Yang aku inginkan hanyalah kau...!" jawab Wisnupati membandel.
"Kau tidak menyesal punya guru tukang mabuk seperti aku...?" tanya laki-laki pemabuk sambil memandang tajam.??
"Walaupun aku berangasan dan tidak mau berpikir yang sulit-sulit, untuk soal yang satu ini aku telah berpikir masak-masak...," tegas Wisnupati sambil menekan suaranya.
Si Pemabuk Dari Gunung Kidul mengawasi pemuda tinggi besar itu sambil tersenyum.
"Baiklah.... Sebenarnya baru sekali ini aku mempunyai murid. Aku percaya pada kejujuran dan kesetiaanmu untuk membela kebenaran.... Tapi bila menyimpang dari jalur lurus kelak, kau akan kubakar dengan tuak merahku. Mengerti..."!"
Wisnupati mengangguk. Dia bangkit lalu men-jura memberi hormat.
"Ha ha ha...! Untuk merayakan semua ini, mari kita minum-minum sampai mabuk.... Kita harus merayakan hari yang bersejarah ini dengan semeriah mungkin. Ayo ikut aku...!" ajak Ki Demong.
Mereka pun segera berlari ke desa terdekat, mencari kedai untuk merayakan hari yang tidak akan terlupakan selamanya.
? *** ? Si Pemabuk Dari Gunung Kidul berlari cepat, diikuti Wisnupati dari belakang. Ketika sampai di dataran cukup luas, mereka melihat seorang laki-laki tua berambut putih sampai bahu tengah bermain catur dengan seorang pemuda tampan di bawah pohon. Sesekali orang tua itu membenahi riap-riap rambutnya yang menutupi wajahnya.
"Sialan kau, Jaka Tawang! Jalan ini, mati.... Yang itu, mati juga...," omel laki-laki tua itu.
"Bagaimana, Guru...?" tanya pemuda tampan yang dipanggil Jaka Tawang sambil cengar-cengir mengawasi orang tua yang dipanggil guru di depannya.
"Bagaimana, apanya..."!" semprot laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng sambil mendelikkan matanya (Mengenai kedua tokoh ini, silakan baca Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: "Siluman Tengkorak Gantung")
"Masa Guru tidak tahu..." Kalau tidak ada jalan. lagi, sebaiknya menyerah sajalah...," ujar Jaka Tawang sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tunggu dulu! Aku masih mengusahakan jalan untuk menghindar dari kematian..... Kau diamlah jangan mengganggu jalan otakku. Kalau kau beriak terus, aku tidak mau jalankan biji caturku...," ancam Ki Sabda Gendeng sambil memejamkan matanya.
Setelah ditunggu sampai sekian lama, ternyata Ki Sabda Gendeng tidak bergerak dan tidak jalankan biji catur di hadapannya. Ketika diamati lebih lanjut, ternyata laki-laki tua yang sebenarnya berilmu tinggi itu tertidur sambil duduk.
Jaka Tawang hanya dapat tersenyum nyengir kuda.
"Sampai hari gelap pun tidak akan dia menja-lankan anak caturnya. Dasar orang tua tidak mau kalah.... Ada-ada saja akalnya! Biar kuuji dulu dia...," gumam Jaka Tawang dalam hati.
Sambil menahan napas, tangan pemuda yang sama brengsek dengan gurunya itu berusaha mengambil bumbung tuak yang terbuak dari bambu milik Ki Sabda Gendeng. Tetapi, sebelum tangan itu sampai, tangan Ki Sabda Gendeng telah mencengkeram kuat. Kemudian....
"Cacing kerempeng...! Sudah kuperingatkan berkali-kali, bila ingin sesuatu harus bicara dan lapor dahulu! Mengerti..."! Atau kau ingin kuhajar dengan tongkat bambu ini...?" bentak Ki Sabda Gendeng.
"Kau sendiri tidur. Aku telah menunggumu menjalankan biji catur.... Eh..., yang ditunggu malah enak-enakkan tidur...! Kalau kutinggal pergi mencari minum, kau pasti marah. Minta minum dari tempatmu, tidak boleh.... Habis aku harus bagaimana...?" tukas Jaka Tawang mencoba mengakali gurunya.
Kau mau menipu aku, he..."! Jangan mimpi kau, Bocah sableng!" dengus Ki Sabda Gendeng.
?"Habis aku harus bagaamana..." Guru yang lebih dahulu mengakali aku. Pakai pura-pura tidur lagi?"
"Baiklah aku mau jalan. Awas jangan ganggu aku"!"
Laki-laki tua itu memang sudah seharusnya menyerang dan mati dalam bermain catur. Tetapi, Ki Sabda Gendeng tidak mau menerima hal itu. Pokoknya ia harus menang. Entah harus meng-gunakan cara apa. Namun Ki Sabda Gendeng jadi mati akal. Karena, muridnya mendesak terus dan menyuruhnya jalan.
"Ayo cepat jalan. Masa hanya diawasi terus.... Kapan selesai kalau begini terus...?" desak Jaka Tawang.
"Sabarlah barang sedikit, brengsek...!" gerutu orang tua itu.
Pada saat Sabda Gendeng kehilangan akal, terdengar dua sosok tengah berlari sambil tertawa-tawa. Yang seorang laki-laki tua dengan sebuah guci arak. Di belakangnya, mengikuti seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan senjata clurit perak di pinggang.
Mata Ki Sabda Gendeng terbelalak seakan-akan tidak percaya pada penglihatan sendiri. De-ngan cepat dia bangkit dan melesat. Langsung di-hadangnya lari orang tua yang tak lain Ki Demong bersama muridnya yang bemama Wisnupati.
"Guru...! Mau lari ke mana kau..." Ayo jalan dulu...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.
"Permainan kita tunda dulu...! Aku ada urus-an.... Nanti kita sambung lagi...!" teriak Ki Sabda Gendeng sambil terus berlari.
? *** ? 4 ? "Hoi.... Hoi.... Jangan lari Guru...!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar gurunya.
"Bocah gendeng...! Bereskan saja dulu biji-buji caturnya, lalu susul aku...," teriak Ki Sabda Gendeng, terus saja berlari.
Sambil menggaruk-garuk kepala, terpaksa Jaka Tawang kembali untuk membereskan catur yang ditinggalkan gurunya.
"Hweeei...! Demong...! Berhenti dulu...! Ini aku Sabda Gendeng!" teriak laki-laki tua gila catur itu.
Mendengar teriakan, Ki Demong segera menghentikan larinya dan menoleh. Ketika melihat siapa yang berteriak, cepat bagai kilat tubuhnya melesat dengan kedua tangan terbuka lebar-lebar. Ki Sabda Gendeng juga melakukan gerakan sama.
"Ha ha ha...! Angin apa yang membawamu ke tempat ini, Sabda Gendeng...?" sambut Ki De-mong, gembira.
Karena terlalu gembira kedua tokoh urakan ini berlari bagaikan dikejar setan. Dari kejauhan, keduanya hanya tampak bayangan yang melesat cepat saling menghampiri. Karena terlalu bernafsu, akhirnya....
Bletaks! "Adhauuu...!"
"Hadaaawww...!"
Kedua tokoh yang sama-sama sableng ini kontan tertolak balik karena kepalanya saling bentur dengan keras. Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh duduk dengan kepala berdenyut keras dan mata berkunang-kunang. Hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Dan....
"Dasar Gendeng...! Baru bertemu, sudah mencari ribut...! Kuhajar kau dengan guci tuak ini...!" maki Ki Demong seraya mengebutkan guci tuaknya.
"Kau yang salah, malah aku yang disalahkan.... Dasar pemabuk! Sudah tahu aku ada di depan malah ditabrak kuat-kuat. Brengsek kau!" balas Ki Sabda Gendeng sambil menangkis dengan tongkat yang berwarna hitam legam.
Tang! Kedua tokoh ini saling terjajar mundur, seperti habis terjadi benturan senjata.
"Setan tua! Jaga seranganku ini...!" bentak Ki Sabda Gendeng.
Seketika laki-laki aneh ini menggetarkan ujung tongkat hitamnya, sehingga tampak jadi banyak.
Bahkan mengarah ke seluruh jalan darah Ki Demong.
"Huh...! Aku ingin tahu, sampai di mana ke-majuanmu..." Sombong benar kau...?" desis Ki Demong sambil memutar guci tuaknya bagaikan baling-baling.
Trak! Trak! Bletak...!
Beberapa bentrokan guci dengan tongkat terjadi. Suaranya terdengar keras hingga memekakkan telinga. Tampak kedua orang tua itu sama-sama ngotot dan tak ada yang mau mengalah. Tetapi sampai sejauh itu, mereka berdua tak ada yang terdesak. Tampaknya satu sama lain sudah saling mengenai jurus masing-masing dengan baik.
"Geglug..!"
"Fruuhhh...!"
Semburan tuak yang disertai api panas mem-bara menerjang Ki Sabda Gendeng. Namun dengan sebuah dorongan kedua tangan yang berisi tenaga dalam kuat, semburan api itu dapat dibuat meleset arahnya oleh laki-laki gila catur itu. Bahkan kemudian tongkat hitamnya mendadak membabat kaki Ki Demong.
Wuuutt! Dengan langkah terhuyung-huyung, Pemabuk Dari Gunung Kidul berhasil mengelakkan serangan dahsyat Ki Sabda Gendeng.
Sementara Wisnupati yang melihat gurunya saling hantam, segera mencabut clurit peraknya. Tubuhnya langsung meluruk seraya membabatkari senjatanya pada leher Ki Sabda Gendeng yang membelakanginya.
Wuuuttt! Mendapat serangan mendadak, orang tua sableng ini menundukkan kepala. Dan tiba-tiba bagai kuda kakinya menendang ke belakang. Untung Wisnupati cepat melompat mundur. Kalau tidak, perutnya pasti terhantam tendangan itu.
"Kuya bau...! Tikus cilik ini ikut-ikutan menye-rangku juga! Ingin kupatahkan tangannya barang kali..."!" dengus Ki Sabda Gendeng begitu memutar tubuhnya. Tongkat hitamnya langsung dibabatkan ke arah pinggang.
Mendapat serangan kilat yang tidak terduga, Wisnupati jadi kelabakan. Untung saja Pemabuk Dari Gunung Kidul lebih cepat melenting dan menghadang tongkat hitam itu. Sehingga, Wisnupati terhindar dari malapetaka.
?Tang! "Hiat! Enak saja kau memukul muridku! Lawan sajalah aku yang sama tuanya denganmu...!" hardik Ki Demong seraya menyemburkan tuak merah dari mulutnya.
"He he he...! Boleh saja.... Dasar pemabukan lagaknya bukan main...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil tertawa cengengesan.
"Ho ho ho...! Dari dulu juga kau tidak pernah dapat mengalahkan aku.... Orang gendeng mana mungkin dapat mengalahkan aku...?" balas Ki Demong.
"Ciat...!"
Ketika tongkat hitam menyabet kaki, Ki Demong loncat ke atas bagaikan bola karet, seraya berputaran. Begitu mendarat, dia telah berdiri tepat di belakang Ki Sabda Gendeng. Seketika gucinya bergerak cepat.
Wuuttt..! Ki Sabda Gendeng yang merasa desir angin tajam mengarah ke punggung, berusaha menghin-dar. Tetapi terlambat. Karena....
Begkh...! "Adaaauw...!"
Tubuh Ki Sabda Gendeng terdorong ke depan dua langkah disertai teriakan kesakitan. Sementara Ki Demong terus mengangkat tuak merahnya sambil tertawa-tawa penuh ejekan. Tapi, secara tak terduga Ki Sabda Gendeng menjatuhkan diri. Dalam waktu yang bersamaan, tangannya melemparkan sesuatu.
Ser! Ser! Pletsak..! "Wadauuh...!"
Rupanya, Ki Sabda Gendeng melemparkan biji catur yang tepat mengenai tulang kering Ki Demong. Mau tak mau, Pemabuk Dari Gunung Kidul jadi berjingkrakan sambil mengusap-usap tulang kering yang terasa nyeri bukan main.
"He he he...!"
Ki Sabda Gendeng balik menertawai sampai mengeluarkan air mata.
? *** ? Jaka Tawang yang telah selesai membereskan biji catur jadi tak habis pikir, mengapa gurunya berkelahi dengan orang tua yang dikatakan sebagai teman karibnya tadi. Tetapi, pemuda yang sama gendeng dengan gurunya itu tidak mau pusing. Segera diterjangnya Ki Demong yang sedang meringis-ringis karena tulang keringnya terhantam biji catur.
"Ciaaat!"
Jaka Tawang langsung mengebutkan tongkat merahnya ke arah kaki si Pemabuk Dari Gunung Kidul. Tapi dengan hanya bergerak meliuk-liuk ke sana kemari serangan pemuda itu luput dari sasaran.
"Seribu Tongkat Menggebuk Ular...! Heaaa...!"
Kembali Ki Sabda Gendeng melesat dengan teriakan membahana, ujung tongkat hitam ditangannya tiba-tiba bergetar, sehingga terlihat jadi banyak mengarah ke seluruh jalan darah di tubuh Ki Demong. Itulah jurus andalan Ki Sabda Gendeng yang paling ditakuti. Ke mana saja Pemabuk Dari Gunung Kidul menghindar, ujung tongkat selalu menunggu dengan tusukan maut.
Wisnupati yang menyaksikan gurunya dikeroyok segera ikut masuk ke dalam kancah pertarungan menahan gerakan Jaka Tawang. Clurit peraknya berkesiutan mengancam ke seluruh tubuh pemuda itu.
Tentu saja Jaka Tawang tidak mau jadi korban. Cepat disambutnya serangan itu dengan putaran tongkat merahnya. Kini pertarungan terbagi menjadi dua. Semakin lama jadi semakin seru. Terutama, kedua orang tua yang sama-sama sableng itu.
Sepuluh jurus kemudian, kedua orang tua itu menghentikan gerakan.
"Ha ha ha...! Dari dulu kau tetap saja tidak dapat mengalahkan aku orang tua gendeng...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"He he he...! Setali tiga uang. Bangsa pemabukan, tidak akan pernah dapat melewati aku...," ejek Ki Sabda Gendeng.
Kemudian mereka berdua berjalan menuju ke bawah pohon yang rindang sambil bergandengan tangan. Tidak tampak lagi wajah-wajah seram dari mereka berdua. Keduanya tertawa-tawa ceria. Memang kedua orang tua itu adalah sepasang sahabat, yang telah lama tidak bertemu. Keduanya mempunyai tabiat aneh yang tak mau diatur oleh peraturan mana pun.
Mereka terus tertawa sambil menceritakan pe-ngalaman, dan apa saja telah terjadi selama tidak bertemu. Padahal kedua murid mereka saat itu sedang saling terjang dengan sengit. Kedua pemuda itu tidak ada yang mengalah. Di sini terlihat Wisnupati sangat bernafsu dan terkesan berangasan. Sedangkan Jaka Tawang selalu mengejek, membuat lawannya marah.
"Heyaaat!"
Tang! Tang! Berkali-kali bentrokan keras terjadi. Tapi belum tampak ada yang terdesak. Sampai suatu ketika, benturan dua tangan yang berisi tenaga dalam kuat terjadi.
Blarrr! Gdebuk! Blugk! Kedua pemuda itu tertolak balik ke belakang dan jatuh duduk. Ketika hendak bangkit kembali....
"Berhenti dulu, tolol...!"
Kedua pemuda itu terkejut mendengar ben-takan keras menggelegar. Mereka langsung loncat mundur dengan wajah terheran-heran ketika melihat guru mereka masing-masing duduk berjejer sambil minum tuak dari tempat masing-masing. Cepat mereka menghampiri dengan perasaan tidak mengerti.
"Mengapa Guru menghentikan kami...?" tanya Jaka Tawang.
"Lho..." Kok Guru sudah baikan?" tanya Wisnupati dengan wajah dungu.
"Bodoh.... Ayo kalian saling memberi hormat pada Paman Guru. Kalian ini...," seru si Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kenapa bengong..."! Cepat beri hormat, tolol...!" hardik Ki Sabda Gendeng, melotot.
Wisnupati cepat memberi hormat pada Ki Sabda Gendeng. Sedangkan Jaka Tawang memberi hormat pada Ki Demong. Namun kedua orang tua urakan ini malah tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air matanya. Tentu saja hal ini membuat kedua pemuda ini menggaruk-garuk kepala karena heran. Mereka bingung, tidak habis pikir.
"Hei, Demong! Pemuda tinggi besar inikah yang menjadi murid kesayangan..." Tubuhnya bo-lehlah. Tetapi aku tidak tahu isi dalamnya," kata Ki Sabda Gendeng sambil memperhatikan Wisnupati seakan-akan tengah menaksir ayam yang hendak dibeli.
"Wisnupati baru saja kuterima menjadi murid. Jadi, belum mendapat pelajaran dariku...," jelas si Pemabuk Dari Gunung Kidul, terus terang.
Tak lama kedua pemuda itu sudah saling bersalaman dan tampak akrab. Tak ada lagi tanda-tanda mereka habis berkelahi. Kini keduanya sadar kalau semua itu adalah hasil perbuatan kedua orang tua yang aneh dan tidak pernah bisa diatur.
? *** ? Hari terus bergulir menyeret sang waktu. Di tepi Telaga Warna yang penuh oleh para tokoh persilatan tampak beberapa buah perahu diturunkan ke dalam air. Tapi baru saja perahu-perahu kecil itu menyentuh permukaan air.
"Berhenti...! Jangan lakukan itu...! Air telaga itu masih berbahaya, bagi kalian! Kalau mau besok saja kalian menurunkan perahu, karena besok air itu tidak menghisap darah lagi!"
Terdengar sebuah teriakan yang disusul berla-rinya seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Ternyata dia adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei..." Bagaimana dia bisa tahu rahasia tempat ini..."! Jangan-jangan, dia orang dalam Pe-sanggrahan Telaga Warna.... Awas jangan sampai tertipu...! Lebih baik kita ringkus, dan tanyai dia.... Kalau tidak mau mengaku, bunuh saja!" kata salah seorang tokoh persilatan yang hendak naik perahu, memandang curiga pada Rangga.
"Kalian jangan salah mengerti.... Aku berbuat ini, karena tidak mau melihat korban berjatuhan. Dan ini juga karena kecerobohan kalian sendiri...."
Tapi jawaban yang diterima Rangga malah se-baliknya....
"Jelas dia menghalangi kita.... Mari singkirkan saja...," ajak tokoh persilatan lain. Maka....
"Sheaat"!"
"Yeaaat...!"
Puluhan senjata tajam langsung meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tetapi Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya melenggak-lenggok kian kemari bagai orang mabuk. Namun tak satu serangan pun yang bisa menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak, banyak senjata yang berhasil dirampas dan dilemparkan ke tengah telaga.
Walaupun merasa kesal karena maksud baik-nya malah diterima salah, Rangga berusaha mem-batasi diri untuk tidak membunuh. Dia yakin, mereka salah sangka dan tidak mengerti terhadap keadaan telaga yang mengandung hawa maut itu. Pendekar Rajawali Sakti hanya memukul dan menendang untuk menjatuhkan mereka yang terlalu dekat, dan dapat membahayakan keselamatan dirinya.
"Hiaaat...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terus ber-kelebatan seraya mengibaskan tangan, mencerai-beraikan gerombolan manusia yang mengurung dirinya.
Des...! Desss...!
"Aaakh...!"
Akibatnya, para tokoh persilatan itu berpelan-tingan ke sana kemari bagaikan daun kering dihempas badai. Beberapa tokoh kelas tinggi yang menyaksikan sampai berdecak kagum.
Menggunakan kesempatan baik itu Rangga segera melesat kabur dari tempat itu. Bukannya takut, tetapi untuk menghindari salah sangka.
"Bedebah...! Dia berhasil melarikan diri! Ayo kita terus menuju ke Pesanggrahan Telaga War-na...! Jangan pedulikan segala ocehan pendekar kampungan itu," ajak salah seorang tokoh persilatan membakar semangat yang hampir padam.
Beberapa orang segera berloncatan ke dalam perahu. Segera mereka mendayung ke tengah telaga menuju Pesanggrahan Telaga Warna.
Ternyata, apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti terbukti. Baru saja mereka mencapai pertengahan, gelombang telaga kembali muncul. Suatu keajaiban alam yang tidak dapat dilawan oleh kekuasan manusia. Air telaga yang berwarna merah dan tampak kental telah mengelilingi perahu dan mulai bercipratan, seolah-olah ada makhluk hidup di dalamnya dan berusaha naik ke perahu (Untuk lebih jelas tentang kejadian alam di Telaga Warna, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah: "Geger Di Telaga Warna").
"Hei..."! Apa pula ini...?"
"Entahlah.... Mungkin inilah yang dikatakan pemuda tadi...."
"Putar haluan dan kembali ke tepi.... Cepat!"
Mereka mulai ragu dan memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi, terlambat su-dah. Air telaga mulai memasuki perahu dan mengenai kaki para tokoh persilatan. Karena membaui darah air itu jadi beringas kembali. Perahu-perahu yang lain juga mengalami nasib sama. Mereka akhirnya saling berteriak penuh kengerian. Satu demi satu mereka terseret ke dalam air telaga dan mati mengenaskan.
Bagaimanapun Rangga sudah berusaha mem-peringatkan. Kalau mereka akhirnya binasa, itu adalah kesalahan mereka sendiri. Memang banyak juga yang menurut kata-kata Rangga. Ada juga yang karena takut pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Namun, lain halnya para tokoh ternama yang bertindak tanpa tergesa-gesa. Mereka justru menanti saat yang baik.
Bagaimana Pendekar Rajawali Sakti dapat mengetahui kalau hari ini air telaga masih minta korban lagi... " Sedangkan dia sendiri bukan orang dari Pesanggrahan Telaga Warna. Semua itu karena usaha Rangga yang melakukan tapa, untuk menyatukan alam pikirannya dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Dalam tapanya, Rangga mendapat petunjuk kalau air telaga itu akan minta korban selama tiga minggu. Dan hari ini, adalah hari terakhir. Besok air telaga sudah tidak menunjukkan keberingasannya lagi. Itu pun hanya berlangsung selama tiga minggu pula.
? *** ? Waktu terus merambat dan berputar sesuai kodrat dan kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak terasa hari telah berganti malam, dan malam pun berganti pagi. Pada saat itu, tampak beberapa perahu memasuki telaga. Para tokoh persilatan yang menunggu berloncatan ke dalam perahu masing-masing.
"Ayo kita dayung perahu itu kuat-kuat. Awas jangan sampai didahului yang lain...," ujar seorang tokoh dari dalam perahu.
"Cepat...! Kita harus sampai lebih dahulu...," seru yang lain.
Bagaikan sedang berlomba, beberapa perahu melesat cepat laksana anak panah lepas dari busur. Sedangkan para tokoh ternama dalam satu perahu hanya diisi satu atau dua orang saja. Sebentar saja, Telaga Warna telah ramai dan gaduh oleh teriakan para tokoh persilatan dan murid-murid dari berbagai perguruan.
Sampai di tengah telaga, ternyata memang tidak terjadi sesuatu. Namun yang terjadi malah sebuah persaingan. Dalam pikiran mereka timbul niat untuk menyingkirkan satu sama lain dengan suatu rencana jahat dan licik. Bahkan diam-diam ada yang mengambil sebuah benda bulat dari dalam kantung, langsung melemparkannya ke perahu yang agak jauh.
Ser! Ser! Ser! Blammm...! "Aaa...!"
Dua buah perahu kontan terpecah belah oleh hantaman benda bulat kecil yang ternyata bahan peledak yang cukup dahsyat. Penumpangnya langsung terlempar tanpa bernyawa lagi dalam keadaan sangat menyedihkan. Tubuh mereka hancur berkeping-keping. Air telaga seketika berubah merah.
Wajah para tokoh persilatan kontan berubah bengis dan menyeramkan. Tak ada rasa kasihan lagi di hati orang-orang itu.
Tanpa dapat dicegah lagi, pertempuran terjadi di tengah telaga yang telah banyak meminta korban nyawa.
Sementara itu Ki Demong dan Wisnupati me-nyeberang menggunakan batang pohon. Begitu juga Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang yang juga sudah berada di situ. Jarang ada yang dapat melakukan, seperti yang dilakukan mereka. Sedangkan Rangga sendiri menggunakan dua bilah papan kecil pada telapak kakinya. Tubuhnya meluncur di atas air dengan cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Articles de Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
s ? 2017 . 186. Pesangrahan Telaga Warna Bag. 5 dan 6
10. April 2015 um 13:07
5 ? Tanpa setahu para tokoh persilatan yang tengah berperahu, para penghuni Pesanggrahan Te-laga Warna saat ini telah bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Hari ini mereka tak dapat lagi mengandalkan air telaga di sekitar pesanggrahan. Karena mereka lebih tahu, kalau hari ini air telaga mulai tenang kembali, tidak meminta korban seperti hari-hari kemarin.
Laki-laki tua berpakaian serba kuning yang bernama Samba dan berjuluk si Lutung Pancasona, memandang dengan tatapan tajam. Sepasang pedang pendek tampak tersembul di punggungnya. Rambutnya putih dikuncir ke atas. Kumis dan jenggotnya berwarna putih juga. Sikapnya benar-benar penuh perbawa.
Di sebelah Lutung Pancasona berdiri istrinya yang bernama Rukmini. Senjatanya berupa tongkat berwana hijau. Sehingga, dia dijuluki Bidadari Tongkat Hijau. Rambutnya yang berwarna hitam bercampur putih digelung rapi ke atas. Pada wajahnya masih tersisa kecantikan di waktu muda dulu, Wanita tua ini mengenakan pakaian serba biru.
Sedangkan ketiga anak gadis mereka yang cantik bersiaga di tiga penjuru. Sehingga mereka yang berjumlah lima orang ini bersiaga di lima penjuru. Mereka yakin, kedatangan orang-orang persilatan untuk mengambil Bunga Nirwana yang sangat langka yang terdapat di halaman Pesanggrahan Telaga Warna. Jangankan orang luar, pemiliknya sendiri baru akan melihat kemunculannya saat ini.
Saat itu Ki Demong dan Wisnupati tengah dihadang dan diancam oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dari atas perahu. Melihat lambang di dada yang bergambar seekor kucing dengan mata mencorong tajam, jelas kalau mereka berasal dari Perguruan Kucing Hitam. Tetapi, guru dan murid ini tampak tenang-tenang saja. Bahkan....
"Mau apa kalian semua..." Jangan coba main gila denganku! Menyingkirlah sebelum aku ma-rah...!" ancam Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Ha ha ha...! Lucu sekali orang tua pikun ini.... Dia agaknya belum kenal siapa kita...," ejek salah seorang.
"Tidak perlu banyak cakap...! Singkirkan saja orang tua tahu diri itu...!" seru seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba hitam sambil me-nuding Ki Demong dengan pedangnya.
"Heaaat!"
"Ciaaat!"
Beberapa pemuda berpakaian serba hitam itu langsung melempar tombak ke arah Ki Demong dan Wisnupati yang berada di atas batang pohon. Namun dengan gerakan seadanya, tombak-tombak itu ditangkap dan ditarik guru dan murid itu dengan kekuatan tinggi. Tak ampun lagi, mereka tertarik ke depan. Dan....
"Wuaaa...!"
Byur! Jebyurr! Kontan murid-murid Perguruan Kucing Hitam kelabakan, karena masih takut terhadap peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun tidak terjadi apa-apa, namun yang tidak dapat berenang termegap-megap sambil berteriak minta tolong. Yang dapat bermain di air segera menyeret kawannya ke perahu. Kini mereka tidak berani berlaku sembarangan lagi.
"He he he,..! Ada tikus dapur main di air...! Hi hi hi...! Lucu sekali.,.. Lihat kepalanya basah kuyup...," ejek si Pemabuk Dari Gunung Kidul sambil memegangi perut.
Diejek sedemikian rupa, tentu saja Ketua Perguruan Kucing Hitam jadi berang.
"Serbuuu...!"
Serentak murid-murid perguruan itu menerjang kembali begitu mendapat perintah dari gurunya. Tombak dan pedang langsung berseliweran mengancam Pemabuk Dari Gunung Kidul.
Tetapi dengan sekali meneguk tuak merah....
"Fruuhhh...!"
"Wuayaaa...!"
Secepat kilat murid-murid Perguruan Kucing Hitam menarik kembali serangan. Mereka tidak tahan terhadap semburan tuak yang teramat panas luar biasa. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tangan Ki Demong berhasil merampas sebuah tombak, Lalu, sekuat tenaga ditancapkan di pinggiran perahu.
Crap...!??
Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awasss...! Orang tua gila itu hendak melu-bangi perahu kita...!" teriak Ketua Perguruan Ku-cing Hitam itu, kalap.
Beberapa orang hendak memapak batang tombak. Tapi, gerakan Ki Demong lebih cepat lagi mencabutnya. Maka air telaga mulai memasuki lubang pada lambung perahu dengan deras.
"Heaaa...!"
Ketua Perguruan Kucing Hitam, segera mencabut pedang dan loncat ke batang pohon yang dinaiki Ki Demong dan Wisnupati.
Namun Wisnupati yang berangasan segera menyambuti dengan babatan clurit perak yang ta-jam luar biasa.
Trang! Terjadi benturan membuat mereka terjajar. Akibatnya, batang pohon jadi bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Sementara Ki Demong malah berloncat-loncatan di atas batang pohon bagaikan kera baru mendapat pisang.
"Hoi..., hoi..., hoi.... Kira-kira kalau menggunakan tenaga! Kita bertiga bisa masuk ke dalam air telaga...! Kalau mau mandi, jangan minta ditemani...," seru Ki Demong.
Sambil berkata, Pemabuk Dari Gunung Kidul melancarkan tendangan geledek ke arah kaki. Namun tiba-tiba, tubuh Ketua Perguruan Kucing Hitam melenting ke atas. Sambil berjumpalitan di udara, pedangnya menangkis clurit perak di tangan Wisnupati.
Trang! Gerakan laki-laki setengah baya itu sangat ge-sit. Mirip gerakan seekor kucing, ringan dan tidak menimbulkan suara.
Baru saja terjadi benturan senjata, Pemabuk Dari Gunung Kidul menyemburkan tuaknya lagi.
Mendapat semburan tuak panas, Ketua Perguruan Kucing Hitam yang baru saja mendarat di kayu berjumpalitan dan kembali ke atas perahunya. Tapi, air yang masuk ke dalam perahu sudah terlalu banyak. Maka ketika ditambah seorang lagi, perahu itu jadi miring dan terbalik. Akibatnya, sepuluh orang murid pilihan tercebur ke dalam air.
Byurrr...! Maka ramailah keadaan di tempat itu. Untung saja Ketua Perguruan Kucing Hitam ini sempatloncat kembali ke udara. Sebuah gerakan indah telah dipertunjukkan ketua perguruan yang cukup termashyur ini.
"Shaaat!"
Ketika tubuh laki-laki setengah baya itu melayang di udara, Ki Demong menghentakkan tangan kirinya, melepas sebuah pukulan jarak jauh.
Wusss...! Karena tidak ada jalan lain, terpaksa laki-laki setengah baya itu menyambuti. Tangan kanannya langsung menghentak. Dan....
Blarrr...! Suara bentrokan dua tenaga dalam terdengar memekakkan telinga. Air telaga sampai bercipratan ke empat penjuru. Sementara satu sosok tubuh tampak terlontar, dan tercebur ke dalam telaga.
Byurrr...! Ketika muncul kembali ternyata yang terlontar adalah Ketua Perguruan Kucing Hitam. Tubuhnya basah kuyup, dengan napas turun naik. Mulutnya meringis menahan sakit di dada. Jelas, pertemuan dua tenaga dalam tadi begitu dahsyat.
Hina Kelana 18 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Misteri Lukisan Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama