Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna Bagian 2
"Kembalilah kau ke perguruan kalian.... Jangan mencari sesuatu yang belum pasti. Apalagi, sampai mengorbankan banyak jiwa...," ujar Ki Demong, kalem namun berwibawa.
Merasa tak unggulan melawan Pemabuk Dari Gunung Kidul, Ketua Perguruan Kucing Hitam berenang menuju ke tepian kembali, tanpa banyak suara lagi. Sementara murid-muridnya segera mengikuti dari belakang.
? *** ? Di lain tempat Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terus melaju dengan batang pohon yang dinaikinya. Tampaknya perjalanan mereka lebih mulus.
Namun sekitar sepuluh tombak lagi akan mencapai tepian Pesanggrahan Telaga Warna berada, Sebuah perahu tampak meluncur cepat ke arah mereka. Agaknya perahu itu bermaksud menabrak batang pohon untuk menjatuhkan penumpangnya.
Brakkk..! Maksud penumpang perahu yang rata-rata berpakaian serba coklat itu memang berhasil. Tapi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang telah lebih dulu melenting ke udara dan berjumpalitan.
Tap! Tap! Guru dan murid itu berhasil mendarat di ujung perahu dengan mantap. Namun para penumpangnya segera menyerang kalang-kabut disertai makian. Karena perahu yang dinaiki jadi oleng dan berat ke belakang.
Wuttt! Sebuah tombak menusuk ke arah tenggorokan Jaka Tawang. Namun dengan cepat pemuda ini menundukkan kepala, sehingga ujung tombak jadi mengarah Ki Sabda Gendeng yang kebetulan berada di belakangnya.
"Hei...! Jangan mengelak seenaknya, Bocah Gendeng! Hampir saja kepalaku kena tertusuk...," maki Ki Sabda Gendeng sambil menyampok tombak yang hampir memangsanya.
Baru saja kata-katanya selesai, kembali sebuah pedang menusuk perut orang tua urakan itu. Tapi Ki Sabda Gendeng cepat berkelebat dengan gerakan sulit diikuti mata. Bahkan tiba-tiba tangan penyerangnya berhasil ditangkap. ?
Tap! Dengan sekali sentak, Ki Sabda Gendeng berhasil membuat tubuh penyerangnya melayang masuk ke dalam telaga. Kejadian itu terus berlanjut. Dan itu hasil perbuatan Jaka Tawang yang mengikuti tingkah gurunya.
Byurr! Byuuurrr!
"Ha ha ha...!"
Guru dan murid yang sama sablengnya ini tertawa terbahak-bahak. Kemudian mereka berke-lebatan cepat ke sana kemari, menyeburkan para penumpang perahu sampai berkali-kali.
Bahkan kemudian Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meneruskan dengan lemparan biji-biji catur, membuat para penyerang berjatuhan ke dalam air. Hingga tak satu penyerang pun yang masih bertahan di perahu. Mau tak mau, mereka harus meninggalkan perahu dan kembali ke tepi. Mereka tak habis pikir, mengapa dapat dikalahkan begitu mudah"
"He he he...! Tanpa modal, kita telah memiliki sebuah perahu yang cukup baik keadaannya...," kata Ki Sabda Gendeng sambil nyengir.
"Ha ha ha...! Hitung-hitung, dapat hadiah...," sahut Jaka Tawang.
"Hadiah jidatmu! Kita dapat merampok, tahu..."!" tukas Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot.
? *** ? Walaupun banyak yang kembali, tapi banyak pula yang berhasil mencapai ke Pesanggrahan Telaga Warna yang berupa bangunan besar dan megah. Usia bangunan itu sendiri telah ratusan tahun. Kesan angker dan seram seperti melingkupi suasana di tempat ini.
Saat ini di belakang pesanggrahan itu si Lutung Pancasona tengah dikurung oleh sepuluh orang laki-laki berwajah seram yang semuanya berpakaian dari kulit macan.
"Kisanak.... Ada urusan apa datang ke tempat kami..." Kalau penyambutan kami kurang layak, harap dimaafkan...," sindir Ki Samba tenang.
"Kau tidak perlu berpura-pura di hadapan Gerombolan Cakar Macan, Lutung Pancasona.... Orang lain boleh segan padamu. Tapi bagi kami, nama besarmu tak ada artinya...! Lekas serahkan Bunga Nirwana pada kami. Mungkin, kami semua akan mengampuni jiwamu yang tua itu...," gertak laki-laki yang berwajah penuh brewok dengan be-kas luka menyilang dari hidung hingga ke pipi. Agaknya, dialah yang menjadi pemimpin gerombolan ini.
"Kalau soal itu, kami tidak dapat mengabul-kan.... Karena, sesungguhnya Bunga Nirwana be-lum berbunga saat ini. Kami sendiri tidak mengerti, apa sebabnya...," jelas Ki Samba.
"Kalau begitu ajaklah kami ke tempat Bunga Nirwana itu tumbuh, agar tidak penasaran lagi...!" desaknya.
"Kami tidak berkata dusta dan telah berbicara apa adanya. Tapi kalau tempat kami harus diacak-acak untuk apa menghargai kalian..." Pergilah, sebelum aku marah dan menggunakan kekerasan.... Jangan kalian pikir di tempat kami ini dapat dibuat sesukanya...!" ujar Ki Samba dengan suara berat dan dalam, pertanda telah marah.
"Bangsat...! Kau tak memandang Tosa, Pemimpin Gerombolan Cakar Macan! Baiklah bila itu yang kalian kehendaki. Ayo anak-anak, bunuh saja orang tua tidak tahu cari ini...!" perintah Ketua Gerombolan Cakar Macan yang mengaku bernama Tosa.
"Heaaat...!"
Begitu mendapat perintah, sembilan orang anggota gerombolan itu meluruk, menyerang si Lutung Pancasona.
"Chiyaaat!"
Namun Ki Samba alias si Lutung Pancasona mencabut sepasang pedangnya. Langsung dipapaknya serangan itu.
Trang! Trang! Beberapa bentrokan keras terjadi. Ada dua bilah pedang yang terlepas dari genggaman pemi-liknya. Bisa dibayangkan, betapa besar tenaga dalam si Lutung Pancasona. Sebelum mereka sadar, dua bilah pedang pendek yang tajam milik Ki Samba telah berkelebat cepat menemui sasaran.
Bret! Bret! "Wuaaa...!"
Tiga orang anggota Gerombolan Cakar Macan kontan berteriak menyayat, begitu pemt mereka terkoyak dan usus terburai keluar terbabat senjata Ki Samba. Darah segar pun mulai menganak sungai, menebarkan bau anyir dan memualkan.
"Bangsat! Bersiaplah. Hadapi jurus 'Cakar Ma-can'ku...!"
Melihat pengikutnya berjatuhan, Tosa berteriak sambil menerjang dengan jurus-jurus andalannya. Angin pukulan dan cakaran tangannya menimbulkan angin keras dalam jurus 'Cakar Macan' miliknya.
Dalam waktu singkat terjadilah perkelahian sengit dan seru. Kini mereka segera mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi. Sedikit lengah saja, nyawa taruhannya.
Ki Samba tiba-tiba membabatkan pedang pen-deknya ke dada. Namun lincah sekali Tosa berkelit ke samping seraya menangkap pergelangan tangan si Lutung Pancasona yang baru saja membabatkan pedang pendeknya.
Tap! Sayang, justru gerakan itu ternyata hanya tipuan dari Ki Samba. Karena mendadak saja pe-dang pendeknya yang satu lagi berkelebat dari bawah menuju sikut tangan Tosa yang tengah mencengkeram tangan Ki Samba. Dan....
Crasss...! "Aaa...!"
Tangan kiri Tosa kontan tertebas putus sampai sebatas siku. Dia menjerit merasakan sakit bukan main.
Di sini jelas, kepandaian si Lutung Pancasona jauh lebih tinggi daripada ketua gerombolan itu.
Tapi Tosa tidak mau peduli. Setelah menotok beberapa urat agar darahnya berhenti mengalir, dengan nekat dia menerjang. Tangannya yang masih utuh dikibaskan, hendak mencengkeram kepala Ki Samba.
"Ciaaat!"
Namun lincah sekali, si Lutung Pancasona me-runduk ke bawah dengan pedang pendek berke-lebat ke atas. Sehingga....
Crasss...! "Waaa"!"
Kali ini tangan kanan Tosa terbabat putus. Disertai raungan kesakitan, Ketua Gerombolan Cakar Macan itu mundur beberapa langkah. Kala itu, seorang pengikutnya menerjang dari belakang. Namun tanpa terduga, Ki Samba meloncat mundur sambil menusukkan pedang ke belakang.
Blesss...! "Aaa...!"
Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang pendek itu menembus dada penyerangnya yang kontari ambruk di belakang Lutung Pancasona.
Ketika pedang dicabut kembali, pembokong itu jatuh bermandikan darahnya sendiri.
"Lariii...!"
Merasa sudah tak bakal unggul lagi, Tosa berteriak menyuruh anak buahnya melarikan diri. Dia sendiri segera berbalik dan lari dari tempat itu dengan langkah terhuyung-huyung.
Namun, si Lutung Pancasona tidak membi-arkan begitu saja. Cepat dilemparkan salah satu pedang pendeknya.
Zing...!? Creb...! "Aaa...!"
Disertai lengkingan panjang, langkah Tosa tersentak ke depan ketika pedang pendek Ki Samba menancap di punggungnya. Tubuhnya langsung ambruk, tanpa dipedulikan sisa anak buahnya yang terus melarikan diri. Setelah berkelojotan sejenak, dia mati meninggalkan rasa penasaran.
? *** ? Di sisi Pesanggrahan Telaga Warna Rukmini sedang dikeroyok puluhan orang yang juga meng-hendaki Bunga Nirwana. Mereka juga tidak percaya kalau bunga itu belum mekar, dan bermaksud melihatnya sendiri. Tentu saja Bidadari Tongkat Hijau jadi gusar.
"Keparat...! Kalian pikir aku ini apa"! Di tem-patku kalian tidak dapat berbuat semaunya.... Lekas tinggalkan tempat ini. Atau, terpaksa kalian kukirim ke neraka jahanam...!" bentak BidadariTongkat Hijau.
"Ha ha ha...! Boleh saja kau membual. Bagi Jagabaya, Ketua Perguruan Waringin Pitu, peng-huni Pesanggrahan Telaga Warna tidak ada artinya sama sekali...!" ejek laki-laki berkepala botak yang bernama Jagabaya sambil memutar-mutar senjatanya yang berupa gada berduri.
"Hiaaa...!"
Mendapat ejekan Jagabaya yang berkepala botak, Rukmini jadi berang. Dengan tongkatnya, yang berwarna hijau, diterjangnya laki-laki itu dengan tenaga penuh.
Trang! Tapi, gada berduri yang berat milik Jagabaya mampu menangkisnya. Kedua senjata itu sama-sama tertolak balik. Rupanya kedua tokoh ini menggunakan tenaga dalam berimbang.
Begitu tubuh Rukmini terjajar, saat itulah ber-bagai senjata tajam meluruk ke arahnya. Namun dengan jurus-jurus silatnya yang jarang terlihat, Bidadari Tongkat Hijau berhasil membendung serangan. Tongkatnya menderu-deru bagaikan angin topan. Siapa saja yang berusaha mendekat pasti akan terhajar.
"Ciaaat...!"
Memasuki jurus ke sepuluh, Bidadari Tongkat Hijau telah berhasil mendesak Jagabaya. Tetapi karena para pengeroyok semakin banyak, Bidadari Tongkat Hijau jadi kerepotan. Apalagi, mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan bertabiat licik.
Begitu juga keadaan si Lutung Pancasona. Dia saat ini sedang dikeroyok para tokoh aliran hitam berkepandaian tinggi. Mereka tidak malu melakukan keroyokan pada lawan yang dianggap mempunyai kepandaian tinggi.
Bahkan ketiga putri suami istri itu juga mendapat nasib serupa. Hanya saja keadaan mereka bertiga lebih parah lagi. Karena wajah mereka cantik, para pengeroyok jadi semakin kurang ajar dalam melakukan serangan. Bahkan banyak yang melampaui batas dalam mengejek dengan mengumbar kata-kata kotor.
Tetapi sebagai anak-anak pendekar kenamaan, mereka telah ditempa untuk bertindak gagah dan tegar dalam menghadapi segala cobaan. Walaupun tahu keadaan sangat berbahaya, tetapi mereka tetap bertahan dengan segala kemampuan.
Pada saat yang gawat bagi Sri Kundalini, Sri Agni Kumala, Sri Padmi, tahu-tahu muncul laki-laki tua dengan senjata guci dan seorang pemuda bersenjata clurit perak. Dua orang yang tak lain Ki Demong dan Wisnupati membantu gadis-gadis ini menahan serangan orang-orang persilatan golongan hitam. Dengan bantuan guru dan murid itu keadaan jadi berimbang kembali. Bahkan ketiga gadis itu mengamuk dengan pedang di tangan.
"Yeaaat!"
Brebet! "Aaa...!"
Kembali korban jatuh dari tokoh persilatan golongan hitam. Sementara para tokoh sesat di-hadang Ki Demong dengan guci dan semburan tuaknya. Sedangkan Wisnupati juga mengamuk. Clurit peraknya berseliweran mencari mangsa. Tiga orang yang memandang rendah Pemabuk Dari Gunung Kidul menyerang dari belakang. Tetapi.....
Mendadak Ki Demong berbalik, seraya menyemburkan tuaknya.??
"Fruhhh...!"
Wusss! "Waaa...!"
Ketiga orang itu kontan berteriak kesakitan dengan tubuh terbakar. Dengan kalang kabur, mereka berlari ke tepi telaga dan menceburkan diri.
Melihat kejadian itu, Ki Demong dan Wisnupati tertawa terbahak-bahak.
"Kisanak berdua.... Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian...," ucap Sri Kundalini gadis yang tertua.
"Sudahlah. Hajar mereka yang tidak punya malu itu.... Aku dan muridku akan melindungi kalian bertiga...," ujar Ki Demong.
? *** ? 6 ? Ki Samba alias si Lutung Pancasona tengah berhadapan dengan tiga datuk sesat. Dua orang berwajah kembar. Mereka berasal dari Gunung Merapi dan mengaku bernama Kudapaksi dan Kudapaksa. Namun yang paling berbahaya adalah seorang laki-laki tua berhidung bengkok bagaikan paruh burung. Senjatanya tongkat yang berujung seperti burung, lengkap dengan sayap terkembang dan paruh tajam. Dia sebelumnya mengaku bernama Petet Buluk alias si Burung Mayat.
Saat ini Kudapaksi dan Kupaksa tems mendesak si Lutung Pancasona. Golok besar di tangan kedua orang kembar itu berseliweran mencari mangsa. Tetapi sampai sejauh itu, Ki Samba masih dapat bertahan dengan sepasang pedang pendek yang dimainkan sedemikian rupa.
Mendapati serangannya selalu gagal, tentu saja Kudapaksi dan Kudapaksa jadi geram. Dengan golok mereka terus mendesak si Lutung Pancasona. Bila yang satu menyerang kaki, yang seorang lagi menyerang leher. Suatu kerja sama yang sangat baik dan membahayakan. Namun sambil berloncatan, Ki Samba berhasil menjauhi kedua lawannya.
Bahkan dalam keadaan demikian, sepasang pedang di tangannya berusaha membalas serangan pada dua orang kembar itu sekaligus. Namun sebelum niatnya terlaksana, satu sosok bayangan telah melesat dan langsung memapak serangannya.
"Ciaaat...!"
Trang! Trang! Lutung Pancasona merasa tangan yang meme-gang pedang bergetar hebat. Hampir saja kedua pedangnya lepas. Ketika dia berhasil menguasai diri, matanya langsung menatap tajam sosok yang memapak serangannya. Ternyata dia adalah orang tua berhidung bengkok, yang berjuluk si Bumng Mayat yang kembali turun tangan.
Lutung Pancasona segera mengerahkan tenaga dalam sampai puncak kemampuannya. Kemudian dengan jurus andalannya, mulai diserangnya Petet Buluk. Sepasang pedang di tangannya, terus mencecar dan mengurung jalan keluar laki-laki berjuluk si Burung Mayat.
"Haaat!"
Tongkat berkepala burung di tangan Petet Buluk bergerak menyodok dada Ki Samba. Secepat kilat, Lutung Pancasona menyilangkan pedangnya. Namun si Burung Mayat menarik kembali serangannya. Bahkan cepat merubahnya menjadi sodokan ke arah perut.
"Haaat!"?????
Trang! Dengan sekuat tenaga, kedua pedang pendek Lutung Pancasona menggunting tongkat si Burung Mayat. Namun akibatnya, tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah. Pada saat yang sama Kudapaksa dan Kudapaksi berkelebat berbarengan sambil menyabetkan golok dari belakang. Dari....
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Kedua orang kembar itu berhasil melukai punggung Lutung Pancasona. Tapi pada saat itu juga Ki Samba memutar tubuhnya sambil menusukkan pedangnya.
Crasss...! "Aaa...!"
Terdengar teriakan menyayat dari mulut Kudapaksi ketika salah satu pedang pendek Ki Samba menancap di dada hingga tembus ke punggung. Sementara Kudapaksa berhasil melemparkan tubuhnya ke kiri, hingga luput dari serangan mendadak Ki Samba.
Sambil meringis kesakitan karena punggungnya tergores, si Lutung Pancasona mencabut pedangnya yang masih menancap. Tepat ketika pedang pendek itu tercabut, Kudapaksi ambruk dengan darah berhamburan.
Melihat saudara kembarnya tewas, Kudapaksa bergegas bangkit. Lalu disertai amarah memblu-dak, tubuhnya berkelebat, mencecar Lutung Pancasona dengan goloknya.
Bersamaan dengan serangan berbahaya dari Kudapaksa, Petet Buluk meluruk sambil menghantamkan tongkatnya pada kepala Ki Samba. Keadaan si Lutung Pancasona sangat berbahaya. Nyawanya bagai telur di ujung tanduk. Namun....
"Hiaaa...!"
Saat yang menentukan ini, dipecahkan sebuah teriakan menggeledek yang disertai berkelebatnya sesosok bayangan putih. Yang langsung memapak serangan Petet Buluk.
Trang! Pedang milik sosok bayangan putih yang dipa-kai menangkis tongkat berkepala burung milik Petet Buluk kontan patah menjadi tiga bagian. Tetapi paling tidak, kedatangan sosok itu tepat pada waktunya. Si Burung Mayat tersentak mundur. Sedang sosok yang menangkis serangan tetap di tempat. Pedangnya yang patah menjadi tiga bagian dibuangnya.
Ki Samba sendiri begitu berhasil menangkis serangan Kudapaksa, cepat memutar tubuhnya. Pedang di tangannya seketika berkelebat ke leher. Dan....
Wuuut!??? Crasss...!??????
Blug! Kepala Kudapaksa kontan jatuh menggelinding di atas tanah begitu berhasil ditebas Ki Samba. Lalu si Lutung Pancasona segera menatap sosok yang membantunya dan ternyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan sinar mata menyiratkan rasa terima kasih.
Sementara itu Petet Buluk segera menatap tajam pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sak-ti dengan mata mengecil, pertanda tengah marah besar. Tongkat di tangan kanannya bergetar. Tulang belulang ditubuhnya sampai berbunyi berkerotokan.
"Bocah buduk...! Siapakah kau..."! Mengapa ikut campur dalam urusanku...".'" bentak si Bumng Mayat dengan suara serak.
"Aku Rangga, yang tak akan membiarkan orang-orang telengas berkeliaran di sini. Kalian bukan orang sini.... Mengapa hendak menyebar petaka di tempat terpencil yang tidak pernah berurusan dengan dunia luar...?" Rangga balik bertanya penuh perbawa.
"He he he...! Kurasa kau telah tahu.... Untuk apa bertanya dan berpura-pura segala..." Aku sendiri tidak tahu, mengapa kau berada di sini..." Kurasa anak kecil pun tahu, kalau kau mempunyai tujuan sama. Hanya caranya saja yang berbeda...," sindir si Burung Mayat sambil tersenyum.
"Terserah anggapanmu.... Yang jelas, aku tidak akan membiarkan orang licik mengganggu orang yang tidak bersalah.... Apalagi, sampai menimbulkan banjir darah," sahut Pendekar Rajawali Sakti mantap.
"Anak muda..., biarkanlah aku mengusir manusia itu...," ujar Ki Samba.
"Lindungi saja anak gadismu, Ki Samba.... Biar iblis ini aku yang mengurusi," ujar Rangga, tanpa maksud merendahkan Ki Samba.
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih...."
Si Lutung Pancasona seketika berlari cepat guna membantu ketiga anak gadisnya.
? *** ? "Heaaa...!"
Sementara itu, Petet Buluk merasa tidak dipandang sebelah mata menjadi marah. Disertai teriakan nyaring, tongkatnya diputar sedemikian rupa sampai menimbulkan suara mengaung. Dan tiba-tiba dihantamkannya pada pinggang.
Menghadapi serangan dahsyat ini, Rangga meloncat mundur untuk mengatur jarak. Tapi Petet Buluk terus mendesaknya. Tongkatnya kembali diputar bagaikan kitiran. Serangannya mengarah ke atas dan ke bawah. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti harus melenting beberapa kali ke belakang untuk menghindari serangan.
Wuuut! Wuuut! "Uts...!"
Rangga segera mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya terhuyung-huyung ke Sana kemari menghindari serangan beruntun dari tongkat si Burung Mayat. Maka tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Dengan perasaan heran dan terselip rasa kagum, si Burung Mayat terus mencecar dengan tongkat mautnya.
Begitu habis membuat gerakan meliuk, Rangga menjulurkan tangannya dengan tenaga dalam tinggi untuk menggedor dada Petet Buluk.
Namun dengan tangkas, si Burung Mayat meloncat selangkah seraya menahan gedoran Rangga dengan telapak tangannya.
Plak! Bentrokan dua tenaga dalam tinggi terjadi, menimbulkan suara keras. Pendekar Rajawali Sakti merasa tangannya bergetar. Sedangkan Petet Buluk terdorong ke belakang. Terbuktilah kini, tenaga Rangga lebih kuat beberapa tingkat.
Si Burung Mayat langsung mengawasi Pendekar Rajawali Sakti dari kepala sampai kaki.
"Pantas, kau berani banyak tingkah didepanku. Kiranya kau mempunyai sedikit kepandaian...! Tapi hari ini adalah batas ajalmu, Bocah Sombong.... Bersiaplah kau...!" desis Petet Buluk. "Yeaaa...!"
Belum sempat Rangga menjawab, tongkat berkepala burung milik si Burung Mayat telah meluruk menghantam kepala. Cepat Rangga menunduk dengan tangan bergerak cepat mengambil golok yang tergeletak di tanah dan langsung menangkisnya.
Tring...! Dengan hati terkejut si Burung Mayat terjajar ke belakang beberapa langkah. Kini disadari kalau dirinya sedang berhadapan dengan lawan tangguh dan memiliki kepandaian tinggi.
Belum hilang rasa terkejut laki-laki berhidung bengkok itu, Pendekar Rajawali Sakti telah kembali meluruk menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' sambil mengebut-ngebutkan golok.
Melihat serangan dahsyat ini, Petet Buluk cepat memutar tongkatnya seperti baling-baling.
Trang! Trang! Trang!
Bentrokan senjata terdengar berkali-kali. Tubuh Petet Buluk kembali terjajar. Tangannya bergetar dan sampai lecet-lecet saat menangkis serangan Rangga tadi.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat di tanah dengan mantap. Matanya tajam menatap si Burung Mayat.
"Kudengar, kau sering menyebar petaka dalam dunia persilatan yang membuat kaum persilatan resah. Karena itu, terpaksa aku tak bisa membiarkan kaummu berkeliaran," kata Rangga penuh tekanan, sambil membuang golok di tangannya.
Sehabis berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
Menghadapi jurus ampuh ini, si Burung Mayat jadi kelabakan dan terdesak hebat. Apalagi Rangga mengajak bertarung dalam jarak pendek. Sehingga sulit bagi tongkat di tangan si Burung Mayat membendung serangan Pendekar Rajawali Sakti. Pada jarak yang memungkinkan Rangga melepaskan serangan tangan kosong dalam jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Wuuuttt...! Tangan Rangga yang telah merah membara menderu cepat menjarah ke dada. Dengan cepat si Burung Mayat melenting ke atas menghindari serangan. Namun Pendekar Rajawali Sakti terus memburunya setelah mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Kibasan tangan Rangga yang bagai kepakan sayap rajawali meluruk cepat ke perut Petet Buluk.
Desss...! "Aaakh...!"
Si Burung Mayat kontan terlontar deras ke belakang. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk mengejar dengan mengganti jurusnya menjadi 'Rajawali Me-nukik Menyambar Mangsa'. Begitu dekat, dihan-tamnya kepala Petet Buluk dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam amat tinggi. Hingga....
Prakkk...! "Aaa...!"
Begitu menyentuh tanah, kepala si Burung Mayat telah retak dengan darah menggenangi kepalanya. Sebentar tubuhnya meregang nyawa, lalu diam tidak berkutik lagi. Mati!
? *** ? Sementara itu si Bidadari Tongkat Hijau tengah dalam keadaan mengkhawatirkan. Dia dikeroyok sosok ramping berpakaian serba hijau dengan wajah tengkorak, dan dua orang laki-laki bertubuh kerdil yang bersenjatakan rantai berujung bola berduri. Putaran senjata itu menimbulkan angin dan suara yang menyeramkan.
Menghadapi serangan dahsyat yang mematikan, Bidadari Tongkat Hijau menggunakan jurus andalannya. Tongkatnya diputar bergulung-gulung menyerang dan membentuk pertahanan diri. Tapi serangan istri Ki Samba itu selalu berhenti di tengah jalan, karena sosok berwajah tengkorak itu terus mengganggunya. Lemparan binatang beracun sangat mengganggunya.
"Yeaaa...!"
Mendadak kedua orang cebol mengayunkan rantainya, membuat bola berduri itu meluruk deras. Namun dengan tangkas, Bidadari Tongkat Hijau memapak serangan tongkatnya.
Trak! Trak! Pada saat itu pula, sosok berwajah tengkorak yang memang si Manusia Tengkorak meluruk dari belakang dengan satu hantaman kuat. Dan....
Desss...! "Aaakh...!"
Satu pukuan tangan si Manusia Tengkorak menghantam pundak Rukmini hingga terhuyung-huyung ke depan beberapa langkah. Pundaknya yang terkena pukulan langsung hangus mengeluarkan bau sangit.
Baru saja Bidadari Tongkat Hijau berbalik, si Manusia Tengkorak melemparkan beberapa bina-tang berbisa.
Set! Set! Bersamaan dengan itu, sepasang orang cebol kembali mengayunkan rantai bola berdurinya.
Bidadari Tongkat Hijau memang bisa menghindari binatang-binatang beracun itu dengan melompat mundur. Tapi bola berduri dua orang cebol itu terus mengejamya. Sehingga....
Cras! Crass...!
"Aaakh..,!"
Ujung rantai yang merupakan bola berduri itu menghantam kaki dan pinggang Rukmini dengan tepat. Tak ampun lagi, Bidadari Tongkat Hijau terlempar dengan mendapat luka lumayan parah. Darah pun mulai membasahi pakaiannya.
Saat itu pula tiga tokoh hitam itu menerjang dengan serangan-serangan maut. Bidadari Tongkat Hijau jadi nekat, Dengan sekuat tenaga disambutinya serangan itu.
Pada saat yang mengkhawatirkan, berkelebat dua sosok bayangan yang satu memegang tongkat berwarna hitam, Sedangkan yang satu lagi memegang tongkat berwarna merah, Dengan tongkat, kedua sosok ini menahan serangan rantai berduri milik kedua orang cebol.
Trak! Trak! Terhindarlah Rukmini dari kematian, Sementara kedua orang cebol itu terjajar mundur, Sedangkan serangan si Manusia Tengkorak berhasil ditahan tongkat hijau milik istri Ki Samba itu.
"Ah"! Kiranya Sepasang Iblis Cebol berhadapan dengan Sabda Gendeng dan muridnya.... Pantas seranganku dapat ditahan...," kata salah seorang cebol yang bersama cebol satunya memiliki julukan Sepasang Iblis Cebol.
? *** ? "Ha ha ha...! Syukurlah kalau kau sudah tahu.... Aku paling tidak suka ikut campur urusan orang lain. Tetapi, kalau urusannya tidak benar, terpaksa aku harus ikut campur...! Tidak peduli walau harus berkorban nyawa sekalipun...," balas sosok yang baru datang yang ternyata Ki Sabda Gendeng.
"Tua bangka tidak tahu diri...! Mampuslah kau...!" seru salah satu orang cebol dengan wajah merah. Saat itu juga rantainya menderu menerjang kedua guru dan murid ini. Gerakannya diikuti cebol yang satunya.???????
Sambil tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang meladeni kehendak Sepasang Iblis Cebol. Gerakan guru dan murid yang acak-acakan dan lucu ini telah membuat kedua orang cebol itu jadi hilang akal.
Nyatanya memang kepandaian Sepasang Iblis Cebol itu masih di bawah Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang. Lima belas jurus kemudian, guru dan murid itu berhasil mendesak Sepasang Iblis Cebol habis-habisan. Jatuhnya kedua orang cebol ini tinggal menunggu waktu saja.
Benar saja. Ketika kedua orang cebol itu loncat ke atas menghindari sabetan tongkat Ki Sabda Gendeng yang mengarah ke kaki, tiba-tiba tongkat itu bergerak mengejarnya.
Creb! "Wuaaa...!"
Satu dari Sepasang Iblis Cebol berteriak menyayat ketika tongkat Ki Sabda Gendeng berhasil menembus perutnya. Ketika dicabut, darah me-nyembur dari lubang lukanya. Tubuhnya langsung jatuh ke bumi. Dia berkelojotan sejenak, lalu diam untuk selama-lamanya.
"Aaa...!"
Belum juga sekejapan salah satu cebol tewas, cebol yang lain mengalami nasib yang sama. Tongkat Jaka Tawang ternyata berhasil menghujam dadanya hingga tembus ke jantung.
Tamat sudah riwayat Sepasang Iblis Cebol de-ngan membawa dendam yang dalam.
Sementara itu si Manusia' Tengkorak telah melepas selendang hijaunya. Dengan senjata ini dia berusaha mendesak Bidadari Tongkat Hijau.
Bagaikan ular hidup, selendang hijau yang berbau harum ini mendesak Rukmini.
Set! Set! Dalam keadaan terdesak oleh selendang hijau, Bidadari Tongkat Hijau terus disusuli lemparan binatang-binatang beracun si Manusia Tengkorak yang mematikan.
"Hiih...!"
Wuttt...! Tes! Tesss...! Dengan memutar tongkat hijaunya, Rukmini mencoba mematahkan serangan binatang-binatang beracun. Tapi pada saat yang sama selendang hijau si Manusia Tengkorak berkelebat cepat ke arahnya. Dan....
Ctar!??????? "Aaargh...!"
Bidadari Tongkat Hijau kontan berteriak menyayat begitu selendang hijau menghantam dada-nya. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sambil menekap dada. Sedang dari mulutnya memuntahkan darah segar. Napasnya terasa menyesak. Jelas, sabetan itu disertai tenaga dalam tinggi.
Set! Set! Mendapat kesempatan baik, si Manusia Tengkorak kembali melemparkan segenggam binatang beracun. Dalam keadaan demikian. Rukmini tak bisa mengelak lagi. beberapa kelabang dan kalajengking langsung menyengatnya.
"Aaakh...!"
Bidadari Tongkat Hijau mengeluh tertahan. Tubuhnya bergetar hebat. Sebentar saja wajahnya pucat, lalu membiru. Dia berusaha mengerahkan hawa murninya.
"Keparat...! Mari kita mengadu jiwa...!" teriak Bidadari Tongat Hijau seraya mengempos sema-ngatnya. "Hiaaa...!"
Blug! "Hegh...!"??????
Sebelum serangannya sampai, Rukmini telah ambruk ke tanah dengan jiwa melayang. Ki Sabda Gendeng dan muridnya tidak dapat berbuat apa-apa, karena kejadian itu sendiri hanya berlangsung beberapa gebrakan saja.
"Chiaaa...!"
Dengan berteriak murka, Ki Sabda Gendeng menerjang. Jaka Tawang yang sama urakan dengan gurunya tidak mau peduli soal main keroyok atau tidak. Dia pun ikut bantu menyerang.
Menghadapi kedua orang konyol ini, si Manusia Tengkorak tak dapat berkutik. Lemparan binatang berbisanya, disambut lemparan biji-biji catur. Selendang hijaunya dilayani dua tongkat yang mampu bekerja sama baik sekali. Bila yang satu menyerang, yang satunya melindungi.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
info ? 2017 . 186. Pesangrahan Telaga Warna Bag. 7 dan 8 (Selesai)
10. April 2015 um 13:09
7 ? "Haaat"!"
Sambil menggulingkan tubuhnya, tongkat Ki Sabda Gendeng menyerang kaki si Manusia Teng-korak.
"Hup!"
Si Manusia Tengkorak yang bernama asli Rara Wulan berloncatan bagai katak, menyelamatkan kakinya dari kejaran tongkat. Pada saat yang sama, Jaka Tawang membabatkan tongkatnya ke arah pinggang. Namun serangan pemuda itu luput, karena Rara Wulan telah berjumpalitan ke udara.
"Huuup...!"
Ki Sabda Gendeng tak sudi membiarkan lawannya lolos. Tubuhnya langsung melenting sambil menyambarkan tongkatnya.
Bret! Baju hijau si Manusia Tengkorak koyak besar pada bagian dada, tersambar tongkat Ki Sabda Gendeng, Sehingga, sebagian dadanya yang mem-busung indah dan berlapis kulit mulus terlihat.
Dengan terkejut wanita yang memakai topeng tengkorak ini loncat kembali, menjauhi guru dan murid yang terus mendesaknya.
"Setan alas...! Mampuslah kau...!" dengus si Manusia Tengkorak, merasa malu bukan main.
Seketika, si Manusia Tengkorak meluruk sambil mengebutkan selendang hijaunya. Suara ledakan selendang terdengar berkali-kali.
Namun dengan tingkahnya yang tak beraturan, guru dan murid ini berjingkrakan sambil mengitari si Manusia Tengkorak. Lama kelamaan, wanita bertopeng ini jadi kelabakan. Dia benar-benar mati kutu menghadapi kedua orang gendeng ini.
"Ciaaat...!"
Tiba-tiba dengan tak terduga, Ki Sabda Gendeng melenting ke udara. Dan ketika menukik turun, tongkatnya digetarkan keras. Sehingga ujungnya jadi tampak banyak. Dan ini membuat si Manusia Tengkorak bingung. Akibatnya....
Bret! "Aaakh...!"
Topeng penutup wajah yang berbentuk tengkorak kontan koyak dan tanggal dari wajahnya. Maka, tampaklah seraut wajah cantik seorang wanita mengenakan pakaian serba hijau dengan selendang berwarna hijau juga.
Guru dan murid yang tidak menyangka akan hal itu, jadi bengong dan termangu-mangu di tempatnya.
"Sheaaat...!"
Secara tak terduga, wanita cantik bernama Rara Wulan itu melompat, melakukan tendangan kilat. Karena sedang terpaku melihat kejadian tadi, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang jadi terkesiap.
Dan..... Des...! Desss...!
"Aaakh...!"
"Adauuwww...!"
Guru dan murid itu kena tendangan keras, hingga jatuh di atas tanah. Tapi, secepat itu pula mereka bangkit dan menyerang kembali.
Kini kembali terjadi perkelahian sengit. Jurus demi jurus terus dilalui penuh ketegangan.
Pada kesempatan itu, tampak berkelebat sosok dengan sebuah guci tuak. Sambil tertawa-tawa, sosok yang tak lain Ki Demong meneguk tuak merah yang menimbulkan bau harum. Kemudian dengan seenaknya, tuak yang berada di mulut disemburkan pada wanita berpakaian serba hijau.
"Fruuhhh...!"
Semburan tuak yang disertai kobaran api, menerjang Rara Wulan. Sejenak wanita itu terkejut. Namun dia sudah hafal dengan musuh bebuyutannya ini. Maka....
"Tarian Dewi Selendang...!"
Sejenak si Manusia Tengkorak membuat gerakan dengan selendangnya. Rupanya, dia tengah memainkan jurus andalannya yang diberi nama Tarian Dewi Selendang'. Gerakan selendangnya sebentar lemas bagaikan ular, sesaat kemudian kaku bagaikan besi. Lalu, seketika selendangnya berkelebat, mematahkan semburan tuak.
Prat! Prat! "Ha ha ha...! Ayo habiskan semua simpanan yang kau miliki...! Kali ini kau tidak akan kulepaskan lagi...! Sudah cukup kau menipu dan mencelakai aku...!" tantang si Pemabuk Dari Gunung Kidul, mengejek.
Sambil berkata demikian, tubuh Ki Demong melumk dengan guci terus mencecar. Serangannya yang kacau balau bagaikan orang sedang mabuk. Namun sesunguhnya itu adalah serangan maut dari jurus 'Dewa Gila Mabuk Tuak' yang dahsyat.
Melihat Ki Demong turun tangan membantu, Ki Sabda Gendeng jadi berteriak-teriak mencegah-nya.
"Whei..., hei...! Kau tidak boleh ikut campur, Demong.... Lebih baik menonton saja di pinggir-an...," ujar Ki Sabda Gendeng.
"Kau yang harus minggir.... Setan ini punya hutang padaku. Jadi, aku sendirilah yang berhak menagihnya...! Kau dan muridmu menonton saja di pinggiran...," balas Ki Demong sambil menyemburkan tuaknya.
Tetapi, orang tua yang gila catur itu tidak akan mau diatur. Dengan berteriak keras, serangannya malah diperhebat.
Dikeroyok tiga orang yang memiliki kepandaian tinggi. Rara Wulan jadi terdesak hebat. Permainan selendangnya tidak dapat berkembang. Malah semakin lama jangkauan serangannya jadi semakin kecil.
"Yaaat!"
Pada satu kesempatan tongkat Ki Sabda Gendeng dan semburan tuak Ki Demong yang semuanya berisi tenaga dalam tinggi, menghantam selendang hijau si Manusia Tengkorak.??
Brebet! "Bangsat...! Kalian telah merusak selendang-ku...!" dengus Rara Wulan sengit. Saat itu juga ta-ngannya melemparkan segenggam kelabang dan kalajengking beracun.
"Awas, Demong...!" teriak Ki Sabda Gendeng.
"Fruhhh...! Kau tak perlu khawatir.... Binatang beracun ini makananku sejak beberapa waktu berselang...," tukas Ki Demong setelah menyemburkan tuak dari mulutnya.
Binatang-binatang beracun itu berjatuhan dalam keadaan hangus. Tidak sampai di situ saja. Guci tuak si Pemabuk Dari Gunung Kidul tiba-tiba menghantam kaki Rara Wulan.
Diegkh...! "Aaakh...!"
Akibat rasa sakit yang menyengat sampai ke ulu hati, Rara Wulan berjingkrakan sambil mengaduh-aduh.
"He he he...! Ada monyet wanita sedang menari.... Lihat wajahnya.... Lucu sekali...," ejek Ki Sabda Gendeng sambil memegang perutnya.
Diejek seperti itu, Rara Wulan jadi kalap. Dia juga sadar, walaupun ingin lari, jalan keluar telah tertutup. Maka bagaikan seekor harimau yang terpojok, si Manusia Tengkorak ini mengamuk dengan terpincang-pincang. Ditepaskannya satu tendangan lurus ke arah Ki Demong. Namun....
Crab! "Aaakh...!"
Pada saat yang sama Ki Sabda Gendeng meluruk sambil menusukkan tongkatnya ke paha. Kontan Rara Wulan terpekik dengan tubuh berputar. Palam keadaan demikian, mendadak tongkat Jaka Tawang menyambar deras.
Cras...! "Aaakh...!"
Kembali Rara Wulan terpekik, ketika punggungnya tersambar tongkat.
? *** ? Dalam waktu singkat, si Manusia Tengkorak telah mandi darah. Wajahnya berubah pucat. Dan pandangan matanya mulai berkunang-kunang. Namun dengan terhuyung-huyung, Rara Wulan terus berusaha mengajak mati bersama. Hanya saja serangannya tidak berbahaya lagi karena telah banyak darah yang keluar dari luka di sana sini.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan menggelegar, Pemabuk Dari Gunung Kidul meluruk deras disertai hantaman guci tuaknya.
Bug! "Auuu...!"
Sebuah pukulan telak bersarang di punggung Rara Wulan. Tubuhnya kontan bergulingan disertai muntahan darah segar. Belum lagi dia dapat berdiri tegak. Kembali sebuah tendangan berisi tenaga dalam Ki Sabda Gendeng menghujam perut.
Desss...! "Ughhh...!"
Tak dapat ditahan lagi, tubuh Rara Wulan kembali jatuh terjengkang dan langsung pingsan. Ki Demong yang mempunyai dendam, bermaksud menghabisinya. Namun....
"Tahaaan...!"
Pada saat yang berbahaya bagi Rara Wulan, terdengar sebuah teriakan keras menggelegar yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan putih.
Bahkan bayangan itu langsung menangkis guci Ki Demong dengan sentilan jarinya.
Ctrakk! "Aaakkh...!"
Hampir saja guci tuak itu terlepas dari tangan Ki Demong. Sejenak Pemabuk Dari Gunung Kidul terjajar, kemudian matanya menatap sosok yang menahan serangannya. Ternyata sosok itu tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil berdiri, Rangga mengawasi mereka.
"Maaf, Ki. Bukan aku hendak ikut campur tangan.... Wanita ini sudah tak berdaya. Tak layak bagi tokoh ksatria menghabisi musuh tak berdaya. Lagipula, dia punya urusan denganku.... Bahkan kurasa, urusanku dengannya lebih penting daripada urusan kalian...." ucap Rangga, perlahan.
"Wah..., wah...! Biasanya kau selalu benar dan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti! Tetapi kali ini tindakanmu tidak dapat kubenarkan... Apalagi kau bilang urusanmu lebih penting daripada urusan kami berdua. Coba katakan, urusan apa itu...?" tanya W Demong dengan mata mendelik.
Rangga memejamkan matanya. Kepala meng-geleng-geleng. Lalu menarik napas panjang. Tam-paknya Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras.
"Baiklah, karena kalian memaksa terpaksa hal ini harus kujelaskan pada kalian...."
Lemah sekali kata-kata Rangga kali ini. Kemudian diceritakannya segala yang dialaminya dengan wanita bernama Rara Wulan itu. Semua itu disambung dengan hilangnya pedang pusaka miliknya yang terampas oleh wanita cantik ini (Untuk jelasnya baca Pendekar Rajawali Sakti yang berjudul : "Gerger Di Telaga Warna").
Setelah mendengar kisah Rangga, Ki Demong tampak memerah mukanya. Dia tampak menyesali kata-katanya tadi. Sambil menunduk, orang tua pemabukan yang bandel itu meminta maaf pada Rangga.
"Sudahlah, Ki.... Asal kau mau mengerti, aku sudah bersyukur dan berterima kasih padamu."
Setelah selesai menjelaskan semuanya, Rangga menghampiri Rara Wulan yang masih tergeletak tidak sadarkan diri. Segera ditotok dan diurutnya beberapa jalan darah di tubuh wanita itu.
"Ohhh...!"
Selang sesaat, Rara Wulan yang cantik ini membuka matanya disertai desahan halus. Setelah tahu siapa yang berada di sampingnya, dia berusaha bangkit. Tetapi, wanita yang terluka parah ini jatuh kembali.
'Tenanglah, Nisanak.... Aku hanya ingin bertanya sedikit. Setelah itu, aku akan berusaha menolongmu karena kau punya urusan denganku...," ujar Rangga, perlahan.
"Tidak perlu.... Semua akan sia-sia saja...," tolak Rara Wulan.
"Mengapa...?"
"Aku telah mendapat luka dalam parah. Isi perutku serasa hancur semua.... Kurasa, hanya tinggal menunggu waktu saja. Lebih baik bunuh saja aku sekarang.
"Kalau begitu, mengapa kau datang kemari dan menghendaki Bunga Nirwana yang bukan mi-likmu...?" tanya Rangga.
"Kedatanganku kemari demi untukmu, Kisanak...."
"Untukku...?" Rangga balik bertanya dengan perasaan heran.
'Yah...! Aku merasa bersalah karena pedang pusakamu telah dirampas seorang tokoh persilatan dari dataran Cina. Untuk mendapatkannya kembali, aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi lagi.... Tapi, itu tak mungkin! Jalan satu-satunya, aku harus memiliki tenaga dalam yang lebih kuat. Sebab, aku akan menyusulnya ke daratan Cina.... Dan bila kudapat, pedang itu akan kukembalikan padamu. Selama aku memegang pedang itu, sebenarnya aku telah menyadari kalau aku berada di jalan sesat. Bisakah aku bertobat" Hhh.... Korban akibat nafsu serakahku telah cukup banyak. Ini karena aku berguru pada orang yang salah....! Dendamku pada beberapa tokoh persilatan yang telah membunuh kedua orang tuaku, ternyata hanya dendam buta.... Aku rupanya selama ini hanya menjadi boneka Bibi Guruku sendiri, yang ternyata dari golongan sesat. Rupanya yang membunuh kedua orang tuaku adalah Bigi Guruku, dengan memfitnah para tokoh persilatan dari golongan putih. Hal itu kuketahui dari seorang kerabatku yang berjuluk Pendekar Tangan Satu.... Itulah sebabnya, aku berubah pikiran sekarang...."
Sejenak Rara Wulan menghentikan ceritanya. Napasnya makin tersengal. Darah kembali meleleh di sudut bibirnya.
"Karena rasa bersalahku padamu, maka aku bertekad untuk mencari tokoh dari daratan Cina itu dengan terlebih dahulu mencari Bunga Nirwana. Tapi sayang, keinginanku tak terwujud, karena dihadang Pemabuk Dari Gunung Kidul yang memang mempunyai dendam padaku, dibantu kawan-kawannya. Tapi aku ikhlas.... Mereka memang berhak melampiaskan dendam padaku yang telah kotor dan hina dina ini...." Rara Wulan memberi penjelasan secara panjang lebar, napasnya semakin melemah.
"Demi kepentinganku, kau pun telah melakukan pembunuhan kembali.... Itu pun salah," sela Rangga menjadi kasihan melihat wanita itu.
"Ak..., ku..., menger... ti.... Tetapi itu kulakukan karena mereka menghalangi dan menye-rangku. Aku hanya ingin menggembalikan pedang pusaka itu, lain tidak..."
'Yah.... Sudahlah.... Semua telah terjadi. Biar kucoba untuk menyembuhkan lukamu...."
"Tidak perlu.... Itu hanya membuang tenaga saja. Aku puas mati di tangan mereka.... Kakang Rangga, peluklah aku di saat terakhirku ini..... Dan, bolehkah aku memanggilmu 'kakang'...?" tanya Rara Wulan lemah. Sementara napasnya tinggal satu-satu.
Pendekar Rajawali Sakti tahu wanita di hadapannya ini sebentar lagi akan dijemput maut. Ma-ka tanpa pikir panjang lagi, dipeluknya Rara Wulan erat-erat.
"Kakang..!"
Sekali lagi wanita cantik itu memanggil Rangga dengan sebutan kakang, kemudian kepalanya terkulai. Rara Wulan mati dalam pelukan Rangga.
Yang hadir sama menarik napas. Mereka tidak menyangka kalau wanita yang kejam luar biasa itu pada akhirnya dapat insyaf dan menemui ajal dalam pelukan pendekar yang memiliki nama besar.
? *** ? Beberapa tokoh persilatan golongan lurus beramai-ramai terus membantu Ki Samba mengusir orang-orang golongan sesat yang tidak diundang. Dengan kepandaian yang lebih tinggi, mereka berhasil mengusir semua tokoh-tokoh sesat itu. Sebagian tokoh yang penasaran, setelah pertarungan usai dipersilakan untuk melihat Bunga Nirwana yang memang masih kuncup. Karena kecilnya bunga itu, sehingga tak akan terlihat bila tidak diperhatikan dengan seksama, letaknya pun di antara baris-baris rerumputan. Sehingga ketika pertarungan terjadi, tak seorang tokoh peralatan pun yang menyadari kalau bunga itu terletak di halaman pesanggrahan ini, Memang tak ada yang menyangka kalau bunga-bunga itu hanya sebesar bunga pohon putri malu.
Yang jelas manusia boleh berusaha dan me-ngira-ngira. Tetapi, kehendak Yang Maha Kuasa jugalah yang menjadi penentu. Rupanya takdir itu terjadi di Pesanggrahan Telaga Warna ini.
Setelah para tokoh persilatan kembali, tuan rumah menyatakan terima kasih walau bersedih telah kehilangan Bidadari Tongkat Hijau.
Memang tidak ada perjuangan tanpa korban. Setelah merapikan segalanya dan mengebumikan Bidadari Tongkat Hijau, mereka dipersilakan menginap dan beristirahat di Pesanggrahan Telaga Warna.
Selama menginap, tampaknya Jaka Tawang dan Wisnupati sangat akrab dengan Sri Kundalini dan Sri Agni Kumala. Sedangkan Sri Padmi yang masih kecil selalu menggoda mereka, sehingga ke-sedihan sedikit terhapus.
Karena kedua muridnya masih kerasan tinggal di tempat itu, Ki Demong dan Ki Sabda Gendeng tidak dapat pergi. Untung kedua orang tua yang sama-sama gendeng dan urakan tidak bosan. Apalagi mereka selalu bermain catur.
Pendekar Rajawali Sakti yang masih punya urusan mencari pedang pusakanya segera minta diri pada tuan rumah. Kepergiannya segera diantar para pendekar yang ada di tempat itu. Kemudian, dengan menggunakan papan seperti sebelumnya, Rangga melesat ke tengah telaga. Dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
"Mudah-mudahan tokoh dari negeri Cina itu belum kembali ke negerinya. Sehingga, aku tidak dibuat repot karenanya...," gumam Rangga.
*** Setelah sekian hari menempuh perjalanan, Rangga tersentak ketika dua orang berkerudung berjalan tergesa-gesa. Dari arah yang dituju, jelas mereka hendak ke Desa Waru Nunggal. Yang membuat Pendekar Rajawali Sakti memperhatikan mereka adalah, pada punggung salah seorang berkerudung terdapat gagang pedang berkepala burung rajawali!
Karena merasa curiga, Pendekar Rajawali Sakti segera membuntuti kedua orang itu. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai kesempumaan, mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengikuti kedua orang yang dicurigainya tanpa bersuara sedikit pun.
"Kakang Wismoyo. Di depan kita bisa beristirahat dulu sebentar...," usul salah seorang berke-rudung dengan suara perlahan, tapi masih terus berlari.
"Maksudmu di depan mana" Apa di Desa Waru Nunggal...?" tanya orang yang dipanggilWismoyo.
"Jangan, Kang.... Nanti bisa mencurigakan orang yang mengincar kita...," ujar orang yang bernama Panjalu.
"Kalau begitu kita beristirahat di sini saja. Tapi, jangan lama-lama.... Kasihan mereka yang menunggu kita di sana...," kata Wismoyo.
Kedua orang berkerudung itu segera melepaskan lelah sambil makan makanan yang dibawa. Dari tingkah yang sering menghapus keringat pada wajah di balik kerudung, jelas mereka habis melakukan perjalanan jauh dan melelahkan.
"Begitu hari gelap, kita langsung berangkat...," kata Wismoyo.
"Kupikir sebaiknya begitu...," sambut Panjalu.
Baru saja kata-kata Panjalu habis, berkelebat satu bayangan putih di hadapan mereka. Dengan terkejut kedua orang bertopeng ini segera bangkit. Sedang bayangan yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti melangkah tenang.
"Maaf, Kisanak. Bolehkan aku melihat pedang yang berada di punggungmu...?" tanya Rangga tenang sambil memperhatikan pedang di punggung Wismoyo.
"Siapa kau..."! Mengapa ingin melihat pedang ini" Ada urusan apa kau dengan kami...?" tanya Wismoyo menatap penuh curiga.
"Aku tidak bermaksud jahat. Hanya ingin melihat saja. Kalau bukan pedang yang kumaksud, aku akan pergi dan minta maaf...," ujar Rangga.
Walau bagaimana, kedua orang bertopeng itu harus mempertahankan pedangnya. Mereka ber-pendapat, pemuda berbaju rompi putih itu sebenarnya seorang perampok. Dengan cepat mereka bersiap.
"Kau ternyata perampok murahan! Alasan saja ingin melihat pedang ini.... Tapi, jangan harap akan berhasil...," desis Panjalu sambil menghentakkan kedua tangannya melancarkan serangan jarak jauh.
Wuuttt...! Rangga cepat berkelit, dan balik menyerang. Maka perkelahian segera terjadi. Yang membuat Rangga penasaran, mereka berdua menutupi kepala pedang dan menyimpannya di balik baju.
? *** ? 8 ? Perkelahian terus berlangsung seru. Tetapi lima jurus kemudian baru terlihat kalau dua laki-laki, berkerudung itu bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti. Ketika Rangga melancarkan serangan agak keras, mereka jadi terdesak. Dan dengan beberapa kali menggunakan jurus pancingan, Rangga berhasil menjambret kerudung kedua orang itu sampai terlepas dari wajah.
Brebet...! "Waaa...!"
"Aaah...!"
Ketika kerudung terlepas, keduanya berteriak kaget. Begitu juga Rangga sendiri. Sambil mende-sah, Pendekar Rajawali Sakti terjingkat mundur beberapa langkah ke belakang.
Apakah yang terlihat..." Ternyata wajah di balik kerudung itu sangat menyeramkan. Penuh luka membusuk, mengeluarkan nanah! Baunya busuk bukan main.
"Perampok jahat...! Sudah puaskah kau seka-rang..." Kalau mau lihat pedang ini, silakan. Nah, lihatlah...! Aku ingin tahu, apa sih sebenarnya maumu..." Ini pedang pusaka dari perguruan kami yang bernama 'Rajawali Perak'. Kami membawanya, untuk diperlihatkan pada seorang tabib sakti Kwe Ceng Kian dari negeri Cina yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit termasuk penyakit di wajah kami ini! Kawan-kawan kami telah sampai di tempat tabib sakti itu. Tetapi si tabib tidak mau menyembuhkannya tanpa mendapat imbalan pusaka lambang perguruan kami...," jelas Wismoyo, pasrah.
Rangga tersentak mendengar penjelasan Wismoyo. Jangan-jangan... tabib bernama Kwe Ceng Kian adalah seorang tokoh persilatan dari negeri Cina yang dikatakan Rara Wulan sebelum ajal.
"Jadi ketua kalian rela mempersembahkah pusaka lambang perguruannya pada tabib itu...?" cecar Rangga.
Sikap Pendekar Rajawali Sakti tampak serba salah. Dia menyesal dan merasa bersalah, karena ternyata pedang itu bukan pedang pusaka miliknya. Namun paling tidak hatinya merasa gembira, karena mendapat keterangan berharga dari kedua orang berkerudung itu.
"Kami berdua, juga teman-teman di sana mendapat penyakit yang serupa. Kalau terlambat, tentu kami semua akan mati dengan tubuh meleleh bagaikan lilin kena api.... Ketua kami orang paling bijaksana. Dia rela menyerahkan lambang perguruan, asal murid-muridnya dapat hidup. Itulah sebabnya dia sangat kami cintai...," kali ini Panjalu yang menjelaskan.
"Apa yang menyebabkan kalian menderita penyakit ini" Apa karena kehendak alam, atau hasil perbuatan seseorang...?" tanya Rangga.
"Kelihatanya, hasil perbuatan seseorang. Waktu itu, kami bentrok dengan seseorang yang mengenakan topeng. Tetapi kami tidak berhasil membunuhnya. Begitu juga dia. Setelah itu, seorang demi seorang dari pihak kami terjangkit penyakit yang menjijikkan seperti yang kau lihat ini...," jelas Wismoyo sambil menutup wajahnya kembali.
"Maafkanlah kesalahanku. Aku tidak bermaksud mempermalukan kalian. Tetapi, aku telah kehilangan pedang pusaka yang mirip dengan milik perguruan kalian.... Itulah sebabnya, aku memaksa hendak melihat. Kuharap, kalian bisa memakluminya.... Kalau kalian tidak keberatan, bolehkah aku ikut serta menemui tabib sakti dari Cina itu...?" tanya Rangga sambil menatap kedua orang yang mengaku dari Perguruan Rajawali Perak.
"Silakan saja kalau kau mau...," sambut Wismoyo.
Setelah mendapat persetujuan, mereka segera berlari mencari jalan sepi. Mereka tidak menunggu sampai hari gelap, karena khawatir akan terlambat tiba di tempat tujuan.
"Apakah tempat yang dituju sangat jauh?"" tanya Rangga, sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh Wismoyo dan Panjalu yang terasa lambat itu.
"Lumayanlah.... Kurang lebih tiga malam la-gi...," jawab Panjalu.
"Apakah kalian tidak merasa lelah...?" kembali Rangga bertanya.
"Tidak...!"
"Jangan tertalu memaksakan diri. Kalau lelah, biar kita istirahat dulu...," ujar Rangga.
"Kita tunggu saja sampai hari gelap. Baru kita beristirahat di tepi hutan kecil yang ada di muka sana...!" tunjuk Panjalu.
? *** ? Menjelang fajar, Rangga, Wismoyo, dan Panjalu tiba di sebuah dataran tinggi bernama Bukit Pugel. Di tempat itulah Tabib Kwe Ceng Kian tinggal.
"Di mana rumahnya...?" tanya Rangga tidak sabar.
"Di atas itu...," tunjuk Wismoyo.
Kembali mereka bertiga melangkah naik. Bukit Pugel tenyata memiliki pemandangan cukup indah. Terutama, hawanya yang sejuk membuat orang kerasan tinggal di tempat ini.
Beberapa saat kemudian, tampaklah dari keja-uhan sebuah rumah sederhana. Pada halaman muka dan sampingnya terdapat bermacam-macam tumbuhan. Terutama, pohon dan tumbuhan obat-obatan.
Rangga, Wismoyo, dan Panjalu semakin melangkah mendekati rumah itu. Di halaman, terlihat dua orang pelayan tengah memetik daun obat. Melihat kedatangan ketiga orang itu, kedua pelayan ini menghentikan kegiatannya. Agak lama keduanya memperhatikan tamu-tamu yang baru datang ini.
"Selamat siang, Kisanak semua.... Apakah Tabib Kwe Ceng Kian ada di dalam...?" tanya Wis-moyo.
Kedua orang pelayan itu tidak langsung menjawab. Mereka masih menatap tajam dengan sinar mata curiga.
"Apakah Kisanak ini, teman orang-orang yang di dalam...?" tanya salah seorang pemetik bunga obat itu.
"Kalau orang-orang itu mendapat luka busuk dan mengeluarkan nanah, tentu mereka teman-temanku...."
"Apakah Kisanak telah membawa pesanan Tuan Tabib...?" tanya pelayan itu lagi.
"Sudah! Ini ada di dalam baju...," tukas Rangga sambil menunjuk ke balik bajunya.
Ternyata Pedang Rajawali Perak, disimpan Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya mereka bertiga tengah menyusun suatu rencana.
"Kalau begitu, silakan masuk...," kata pelayan yang satunya.
Sambil mengangguk, mereka bertiga masuk ke dalam. Tampak teman mereka yang berjumlah lima orang tengah berbaring lemah. Jelas mereka belum diobati dan masih menunggu pedang pusaka lambang Perguruan Rajawali Perak yang digunakan sebagai imbalan untuk mengobati penyakit.
Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti membatin. Jelas tabib ini dari golongan hitam. Sebab dari tindakan yang diambil, telah menggambarkan hatinya yang tamak. Entah, apa yang tersembunyi di balik semua ini"
"Hei.... Kalian sudah datang rupanya! Mana Pedang Rajawali Perak yang harus kalian bawa...?"
Sebuah pertanyaan terlontar ketika dari balik kamar muncul seorang laki-laki tua dengan rambut digelung ke atas. Tangannya memegang tongkat bambu.
"Hm.... Kaukah tabib yang terkenal dari Cina itu...?" tanya Rangga.
"Ho ho ho...! Aku tidak pernah mengatakan terkenal. Tapi orang lainlah yang telah mengatakan dan telah membuktikan kemampuanku yang tidak ada duanya ini...," tukas Tabib Kwe Ceng Kian sombong.
"Kami sudah datang membawa Pedang Rajawali Perak.... Harap kau cepat menyembuhkan teman-teman kami yang menderita itu...," lanjut Rangga.
"Kau siapa..." Aku baru pernah melihatmu. Lagi pula, tampaknya kau tidak sakit seperti yang lain...," tanya Tabib Kwe Ceng Kian.
"Aku memang tidak sakit. Tentu saja kau tidak kenal aku, karena aku murid baru.... Kedua saudara kami inilah yang sakit...," sahut Rangga sambil menepuk bahu Wismoyo dan Panjalu.
"Serahkan dulu pedang pusaka lambang perguman kalian. Baru mereka aku sembuhkan...," ujar si tabib itu, mendesis.
"Bagaimana bisa begitu" Sebaiknya sembuhkan dulu mereka, baru pedang ini kuserahkan...," tukas Rangga.
"Ha ha ha...! Aku yang harus membuat peraturan, bukan kalian! Lagi pula, kalian dapat berbuat apa di sini..." Tempat ini seluruhnya telah dipenuhi racun. Lekas, serahkan pedang itu kalau masih ingin hidup...!" gertak tabib itu, disertai tawa menggetarkan.
Tiba-tiba Wismoyo dan Panjalu membuka ke-rudung. Maka terlihatlah seraut wajah menjijikkan penuh luka membusuk dan nanah. Dengan pandangan tajam kedua orang itu memperhatikan tabib yang ternyata seorang pemeras licik.
"Sudah kuduga, kau ingin menguasai pusaka-pusaka para perguruan yang ada di tanah Jawa ini. Tapi, kali ini kedokmu terbongkar.... Karena, sebenarnya kami tidak terkena penyakit. Lihatlah ini...," desis Wismoyo dan Panjalu sambil mengupas wajahnya.
Ternyata kedua orang Perguruan Rajawali Perak itu menggunakan topeng yang dibaluri daging-daging busuk. Setelah topeng itu terbuka, wajah mereka tidak ada cacatnya. Mereka cukup tampan dan berusia muda.
"Ho ho ho...! Kalian pikir aku orang bodoh! Lihatlah kelima orang yang disangka saudara seperguruan kalian itu...!" ujar tabib itu sambil menunjuk kelima orang yang tengah membuka kedok samarannya. Ternyata, mereka sehat walafiat. Wajah mereka kuning dengan mata sipit. Jelas, mereka pun dari dataran Cina.
"Keparat...! Kau ke manakan lima saudara kami"!" dengus Panjalu.
"Ho ho ho...! Mereka sudah terlalu lama me-nunggu. Jadi, sudah tidak tertolong lagi. Daripada merepotkan, lebih baik dimusnahkan saja. Sekarang, sudah jelas. Tidak ada jalan lolos bagi kalian. Sebaiknya, serahkan pedang itu...!" ancam Tabib Kwe Ceng Kian.
Sementara itu kedua pelayan yang tadi sedang memetik daun obat sekarang telah berada di tempat ini. Ternyata mata mereka pun sipit pula. Kini mereka bertujuh mengepung dan mengurung Rangga, Wismoyo, dan Panjalu dengan senjata terhunus.
"Apa tujuanmu dengan mengumpulkan senja-ta-senjata pusaka dari tanah Jawa ini?"" tanya Rangga dengan pandangan tajam.
"Karena sebentar lagi kalian akan mati, biarlah kuberitahu. Aku bermaksud mendirikan sebuah perguruan yang tidak tertandingi di negeri asalku. Untuk itu, aku membutuhkan banyak senjata pusaka yang ampuh. Dengan senjata-senjata itu kami dapat mengadakan pemberontakan terhadap kerajaan. Dan aku akan mengangkat diriku sebagai Kaisar. Sebuah cita-cita yang luhur, bukan" Sekarang, aku telah berhasil mengumpulkan pusaka tanah Jawa. Berarti langkahku tinggal sedikit lagi.... Kurasa, cukup sudah penjelasanku ini...."
"Sebuah cita-cita gila. Kau pantas dilenyapkan dari muka bumi ini...!" desis Rangga sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
? *** ? "Ayo, calon pengawalku! Binasakan mereka bertiga. Dan ambil pedang pusakanya...!" perintah Tabib Kwe Ceng Kian.
Setelah mengetahui maksud jahat tabib aneh ini, Rangga memberi isyarat pada Wismoyo dan Panjalu yang sudah marah luar biasa itu.
"Heaat...!"
"Ciaaat!"
Kedua orang Perguruan Rajawali Perak menyerang sekuat tenaga pada Tabib Kwe Ceng Kian. Tetapi, ketujuh pengawal tabib itu segera melindungi dengan jalan menahan semua serangan. Bahkan mereka mengadakan serangan balik.
Perkelahian segera terjadi. Dan dalam ruangan sempit ini, keadaan tidak menguntungkan bagi pihak Rangga.
Diam-diam Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan tenaga dalam yang dipusatkan pada kedua telapak tangannya. Dan....
"Aji Bayu Bajra! Heaaa...!" Disertai teriakan keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya.
Wusss...! Bruakkk...! Ruangan itu seakan dilanda gempa. Dinding dan bagian lain rumah itu hancur berantakan ba-gaikan habis dilanda badai dahsyat. Rangga bersama kedua temannya segera melesat keluar mencari tempat luas.
"Keparat! Mau lari ke mana kau..."!" teriak Tabib Kwe Ceng Kian, seraya mengejar.
"Siapa yang mau lari..." Kau memang bagianku, Tabib Sesat...!" seru Rangga. Begitu mendarat, Rangga langsung menyerang dengan tangan kosong.
Tetapi gerakan tabib itu gesit luar biasa. Ilmu meringankan tubuhnya sangat mengagumkan. Dengan sebuah toya berwarna kebiruan, dia pun mulai menyerang Rangga.
Yang sangat berbahaya adalah keadaan Wismoyo dan Panjalu. Mereka terdesak oleh keroyokan tujuh orang asing itu. Tapi, mereka tetap bertahan mati-matian. Namun naas menimpa mereka. Keduanya jatuh terpeleset. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan.
Cras! Bret! "Waaa..!"
Beberapa luka yang cukup parah tampak ter-toreh di sekujur tubuh mereka. Dengan mati-matian Wismoyo dan Panjalu mencoba bertahan. Tetapi, orang-orang asing ini malah terus menyerang ganas.
Pada saat yang gawat itu, Rangga mendadak berkelebat meninggalkan Tabib Kwe Ceng Kian. Langsung kedua tangannya menghentak.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"
Werrr"! "Wuaaa...!"
Tiga orang terpelanting saat itu juga, terhantam ajian 'Bayu Bajra' yang bagaikan topan dahsyat. Saat itu Wismoyo dan Panjalu melihat si tabib dengan toya birunya. Dan mereka teringat pada orang bertopeng yang telah membuat onar di Perguruan Rajawali Perak. Maka mantaplah hati mereka....
"Kisanak...! Orang itulah yang telah bentrok dan membuat onar di perguruan kami tempo ha-ri...!" teriak Wismoyo.
Mendengar teriakan mereka, cepat Tabib Kwe Ceng Kian menyimpan toya birunya dan menge-luarkan tongkat bambu sebagai gantinya.
Rangga kembali berkelebat dan segera menahan tabib itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Mem-belah Mega'.
Pertarungan sengit kembali terjadi. Ketika ada kesempatan, Rangga menyerang dengan tangan-nya yang membentuk paruh rajawali. Tetapi, tabib itu cepat menangkisnya.
Plak! Trak! Ternyata tangan Rangga pedih bergetar hebat. Rangga heran, dan menduga ada sesuatu dalam batang bambu itu. Segera dikerahkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga kedua tangannya berubah merah membara karena disertai tenaga dalam tinggi.
Namun serangan Rangga yang biasanya selalu berhasil, kali ini luput dari sasaran. Karena Tabib Kwe Ceng Kian memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa.
"Hm.... Hebat juga orang ini. Dan dapat mencuri kelemahan jurusku dalam waktu sesingkat ini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
"Aaa...!"
"Heh"!"
Rangga terkejut begitu mendengar teriakan menyayat. Ketika menoleh dia melihat Panjalu tertusuk pedang sampai tembus ke punggung. Ketika dicabut darah menyembur dari bekas lukanya.
Keempat orang Cina itu, menerjang kembali pada Wismoyo yang sudah kewalahan.
"Aji Bayu Bajra...! Heaaa...!"
Werrr...! Dengan geram Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya mengirimkan aji 'Bayu Bajra'. Angin keras bergulung-gulung kontan menerjang keempat pengeroyok Wismoyo. Tak ampun lagi, mereka berpelantingan dengan tubuh hancur tidak karuan.
Pendekar Rajawali Sakti 186 Pesanggrahan Telaga Warna di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wismono sendiri sampai mendecah kagum melihat kesaktian teman seperjalanannya yang tidak disangka memiliki kepandaian begitu luar biasa. Namun tak lama Wismoyo ambruk terduduk, saking lemas dan banyak mengeluarkan darah.
Sementara melihat kematian anak buahnya Tabib Kwe Ceng Kian jadi ciut nyalinya. Cepat dia berbalik dan mengambil jurus langkah seribu.
Namun Rangga telah membaca niat tabib itu. Cepat tubuhnya berkelebat, menghadang di depannya.
Mau tidak mau tabib itu nekat. Diserangnya Rangga penuh kemarahan.
"Haaat!"
Rangga berkelit-kelit indah, menggunakan gabungan jurus lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan tiba-tiba tangannya terjulur ke wajah, begitu cepat sekali. Dan...
Bret! "Aaakh...!"
Rangga berhasil menyambar wajah tabib itu. Ternyata wajah Tabib Kwe Ceng Kian menggu-nakan topeng karet. Tampak wajahnya yang masih muda dengan mata sipit.
Rangga semakin yakin dengan dugaannya kalau Tabib Kwe Ceng Kian adalah tokoh persilatan dari daratan Cina. Melihat ini, Rangga teringat kata-kata Rara Wulan, tentang orang yang telah mencuri pedang pusaka miliknya.
"Hm.... Kau pasti yang berjuluk si Kuda Terbang. ..!" gumam Rangga penuh tekanan.
"Hei..."! Dari mana kau tahu julukanku" Siapakah kau sebenarnya...?" tanya Tabib Kwe Ceng Kian.
"Aku Rangga.... Aku tahu nama dan julukanmu dari seorang wanita berpakaian serba hijau yang telah kau curi pedang pusakanya...," sahut Rangga, bersiap-siap.
Merasa tidak ada gunanya lari, Kwe Ceng Kian mencabut pedang pusaka miliknya sendiri yang ternyata juga bergagang kepala burung. Lalu dengan sekuat tenaga dan kemampuan, diserangnya Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti kembali mengerahkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti". Sehingga tubuhnya bisa menghindar, sekaligus melepas serangan.
"Hm.... Aku tidak perlu berlama-lama...," pikir Rangga.
'Yeaaa...!"
Saat itu juga, Rangga melesat ke atas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
"Hiaaat..!"
Kwe Ceng Kian tak mau kalah. Pedangnya langsung dikebutkan dengan cepat.
Dalam kemarahannya, Rangga mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Cepat dipapaknya sa-betan pedang itu dengan tangannya.
Tak! Pedang Kwe Ceng Kian kontan putus. Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah merubah jurusnya menjadi 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Tangannya terus berkelebat sambil meluruk deras. Dan....
"Aaa...!"
Telak sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang membentuk paruh menghantam kepala Kwe Ceng Kian hingga pecah. Tokoh persilatan dari Cina itu kontan ambruk, bergelimang darahnya sendiri. Tongkat bambu di tangan kirinya masih tergenggam. Sedang toya biru masih terselip di pinggang.
Rangga menatap Kwe Ceng Kian yang masih kelojotan, lalu menghampirinya. Diambilnya tong-kat bambu itu, dan dihantamnya kuat-kuat.
Prak! Begitu bambu terbelah, tampak Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan ada di dalamnya. Dengan perasaan lega disimpannya pedang itu dan disampirkan pada punggungnya.
? SELESAI ? ? Segera terbit: PENGHUNI KUIL EMAS
? www.duniaabukeisel.blogspot.com
www.jagatsatria.com
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Penggembala Mayat 1 Pendekar Bloon 4 Betina Dari Neraka Jodoh Rajawali 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama