Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana Bagian 2
"Suiiittt...!"
Tampak sosok itu memang sedang memberi isyarat pada seseorang. Setelah menunggu sekian waktu lama, terlihat sebuah bayangan serba ungu bergerak mendekati.
"Aku telah melakukan tugas yang telah kau berikan padaku dengan baik. Kuharap jika kau berhasil menemukan harta karun di Gua Selarong, selain hadiah yang kau janjikan, aku juga menginginkan sebagian harta itu untuk membangun sebuah singgasana di daerah tanah kelahiranku...!"
"Kerjasamamu memang kunilai cukup baik. Tetapi aku perlu memeriksa, apakah Mayang Sari membawa Gelang Kencana sebagaimana yang telah kupesankan padanya," sahut orang berbaju serba ungu yang memakai topeng warna kelabu ini.
Hanya dengan beberapa kali lompatan saja, orang bertopeng itu telah sampai di depan laki-laki berpakaian serba hitam. Ditelitinya Mayang Sari yang dalam keadaan tertotok dan terbujur kaku di atas rerumputan. Nyatanya, istri Ki Janaloka ini sedikit pun tidak memperlihatkan ketakutannya. Sehingga, membuat orang berbaju hitam agak terheran-heran.
Beberapa saat kemudian, orang bertopeng dan berpakaian serba ungu itu memeriksa beberapa bagian tubuh Mayang Sari. Tak lama ditemukannya sebuah bungkusan kecil dari kain berwarna merah darah.
"Kurasa memang itulah Gelang Kencana. Aku sendiri seumur hidup belum pernah melihatnya. Coba buka!" pinta laki-laki berbaju hitam.
"Keinginanmu sama dengan keinginanku. Sekarang, perhatikanlah baik-baik. Karena, hanya sekali saja aku memperlihatkan Gelang Kencana padamu!" ujar laki-laki bertopeng.
Dengan sangat hati-hati, laki-laki bertopeng mulai membuka bungkusan kain merah darah. Seketika terlihatlah sebuah benda sebesar kelingking berwarna merah darah. Pada salah satu ujung gelang berbentuk kepala ular sendok. Sedangkan pada bagian ujung lainnya berbentuk ekor, namun bergerigi seperti kunci.
"Hm.... Sungguh menakjubkan Gelang Kencana ini. Lihatlah! Cahaya yang terpancar dari dalamnya tidak pernah padam," ujar laki-laki bertopeng.
"Sebuah keajaiban dunia yang tidak pernah kulihat sebelumnya," desah yang berbaju hitam menimpali.
Bibir di balik topeng tersenyum dingin. Tiba-tiba saja, tangannya digerakkan ke arah laki-laki di depannya.
"Bunuh si baju hitam!" perintah orang bertopeng, berteriak.
Laksana kilat Gelang Kencana yang semula hanya melingkar sebagaimana gelang pada umumnya, melesat ke arah laki-laki berbaju hitam. Tidak dapat dihindari lagi, ujung gelang yang berbentuk kepala ular menghujam di leher.
Crep! "Aaa...!"
Laki-laki berbaju hitam menjerit keras. Sekujur tubuhnya langsung berwarna merah seperti bara api, lalu jatuh tersungkur. Hanya dalam waktu singkat terjadi keanehan yang sedemikian mengerikan. Tubuh yang telah terkapar itu langsung membengkak. Sekujur kulitnya pecah, mengeluarkan cairan berwarna merah menebar bau busuk. Di dalam cairan keluar pula makhluk-makhluk kecil seperti ulat berwarna merah. Ulat-ulat itu langsung menyantap daging-daging korbannya yang telah membusuk dalam waktu singkat!
"Kembali padaku, Gelang Kencana!" perintah laki-laki bertopeng.
Saat itu juga, gelang ajaib yang dapat hidup dengan sendirinya hanya dengan sebuah perintah itu kembali pada tangan laki-laki bertopeng. Sejenak dipandangnya gelang itu, lalu dipondongnya Mayang Sari.
"Kau telah begitu banyak mengetahui rencanaku, Sobat. Hanya aku dan Mayang Sari saja yang patut menikmati semua harta benda yang tersimpan di Gua Selarong."
Untuk yang terakhir kalinya, orang bertopeng itu memandang ke arah mayat korbannya yang hampir habis digerogoti ulat merah yang jumlahnya mencapai ribuan. Kemudian dengan tenang kakinya melangkah pergi sambil memanggul Mayang Sari.
*** Acara penguburan jenazah Ki Janaloka dan Panaran berlangsung cukup hikmat dan sangat sederhana di samping padepokan. Ki Belong dan Sura Pati juga tampak hadir di situ. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya memperhatikan acara pemakaman dari jarak cukup jauh. Kiranya dia merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diingini.
Kekhawatirannya ternyata cukup beralasan. Karena saat sedang berlangsungnya acara pemakaman, tampak lima orang laki-laki bersenjata golok besar menyerbu ke padepokan. Kedatangan mereka ternyata hanya sempat dilihat Rangga.
Dan tanpa memberitahukan pada yang lain-lainnya, Pendekar Rajawali Sakti langsung datang menghampiri. Melihat penampilan mereka, jelas kelima laki-laki ini bermaksud tidak baik. Dan Rangga telah bertekad untuk bersikap tegas.
"Ada yang bisa kubantu, Kisanak semua?" tegur Rangga, membuat kelima laki-laki ini menoleh ke arah Rangga yang telah berdiri sejauh dua tombak.
"Kami Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak, sengaja datang jauh-jauh ke sini ingin bertemu Ketua Padepokan Banteng Ireng!" salah seorang yang berbadan gemuk memperkenalkan diri.
"Kebetulan orang yang ingin kalian kunjungi telah mangkat. Harap tinggalkan tempat ini, karena, kami semua sedang berduka cita!" jelas Rangga, singkat dan tegas.
"Kau siapa?" tanya laki-laki berbadan jangkung dan bermuka kuning.
"Aku orang yang mewakili tuan rumah untuk bicara pada siapa pun yang datang kemari," jawab Pendekar Rajawali Sakti.
"Huh! Kiranya kau sok lebih dari tikus busuk!" sela yang berbadan gemuk terbungkus baju merah. Sikapnya meremehkan sekali.
Kemudian laki-laki gemuk ini berbisik pada kawannya. Entah, apa yang dibicarakan.
"Kami akan pergi dari sini, asal wakil pimpinan Padepokan Banteng Ireng bersedia memberi Gelang Kencana pada kami!" tandas laki-laki yang berbadan gemuk dengan mata tajam menghujam ke bola mata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum mendengarnya. Dari julukan saja. Rangga sudah memaklumi kalau kelima laki-laki bertampang kasar itu bukan orang baik-baik. Dan dia merasa tidak perlu memberi hati lagi.
"Permintaan kalian terlalu berat, Kisanak. Lagi pula, apa yang kalian inginkan telah dilarikan seseorang. Mustahil kami dapat memberikannya!" sahut Rangga tegas, seraya memberi alasan kuat.
"Kurang ajar! Kau jangan coba-coba mengelabui kami, Anak Muda! Kau pikir kami dapat diakali?" dengus yang berbadan kurus seperti orang cacingan.
"Aku bicara yang sebenarnya. Kalau kalian tidak suka, terserah...!" sahut Rangga dingin.
"Rupanya kau belum tahu siapa kami, Bocah Ingusan! Kalau apa yang kami minta tidak diberikan, maka kematianmu sudah di ambang mata! Saudara-saudaraku! Bunuh dia...!" tegas laki-laki gemuk berbaju merah.
Rupanya laki-laki gemuk berkumis serta berjenggot tebal ini merupakan pimpinan dari Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak.
"Hiyaaa!"
Wuuut! Tanpa membuang waktu lagi, keempat anggota Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak secara serentak menyerang Rangga. Tubuh mereka meluruk deras dengan tangan terpentang lebar, meluncur ke bagian empat jalan darah di tubuh Rangga.
Sebagai orang yang telah berpengalaman, tentu Pendekar Rajawali Sakti menyadari betapa berbahayanya serangan mereka. Sehingga, dia harus bersikap waspada dan mengerahkan kemampuannya.
Rangga merundukkan tubuhnya sambil berputar, tangannya berkelebat menangkis serangan. Duk! Duk!
"Heh..."!"
Keempat pengeroyok terdorong mundur. Tangan mereka yang membentur tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung bengkak membiru. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri sempat jatuh terduduk.
"Hiyaaa...!" teriak salah seorang pengeroyok.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, keempatnya kembali melancarkan serangan, mempergunakan jurus "Langkah-Langkah Para Iblis". Sebuah jurus yang mengandalkan kelincahan kaki disertai tenaga dalam penuh.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras itu disertai melesatnya empat sosok tubuh ke arah Rangga. Pemuda berbaju rompi putih ini sejenak memperhatikan serangan yang menimbulkan sambaran angin cukup keras. Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi dipergunakannya jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Tubuhnya langsung meliuk-liuk seperti orang mabuk, yang ditunjang kelincahan kaki. Sehingga tak satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.
"Hup!"
Tanpa terduga-duga. Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara. Begitu tubuhnya meluncur deras ke bawah, kakinya bergerak melakukan tendangan menggeledek dalam jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa".
Wuut! Des! Prak! Dua sosok tubuh kontan terlempar dengan kepala hancur bermandikan darah. Mereka langsung tewas seketika tanpa mampu mengeluarkan jeritan lagi.
*** Apa yang terjadi pada kedua orang kawannya tentu membuat laki-laki gemuk berbaju merah yang jadi pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak terkejut bukan main. Padahal, mereka bukan orang yang berkepandaian rendah. Jadi sangat sulit dipercaya kalau hanya dalam beberapa gebrakan saja, saudara-saudaranya sudah ada yang tewas secara mengenaskan!
Tentu, pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak tidak dapat tinggal diam. Dengan cepat segera golok besar yang tergantung di pinggangnya dicabut.
"Anak muda! Kau telah membunuh orang-orang saudaraku. Maka, jangan harap dapat lolos dari tanganku!" bentak pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak.
"Jangan terlalu yakin dengan kemampuan diri sendiri. Sadarlah, selagi aku masih memberi ampun," ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Kurang ajar! Hiyaaa...!" teriak laki-laki gemuk itu.
Serangan itu diikuti dua orang lainnya. Dan dengan senjata terhunus pula, mereka menyerang Rangga.
Sambaran senjata yang besar dan cukup berat itu menimbulkan suara menderu-deru. Hebatnya walaupun golok tampak berat, namun ketiga orang itu dengan mudah memutar-mutarnya. Mereka terus mencecar, ke mana pun Rangga mencoba menghindarinya.
"Gila betul! Serangan golok mereka begitu kompak. Aku tidak mungkin terus menerus menguras tenaga!" desah Pendekar Rajawali Sakti.
Wuuut...! Pemuda berbaju rompi putih baru saja bermaksud mempergunakan jurus lainnya, namun golok di tangan laki-laki gemuk berbaju merah menyambar ke bagian bahu.
"Uts...!"
Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya seraya memiringkan badan ke kiri. Maka, tebasan golok hanya menyambar angin. Tetapi di luar dugaan, kaki laki-laki gemuk itu terangkat menghantam dadanya. Serangan beruntun uang disertai tipuan ini tentu saja tidak sempat dielakkan Rangga. Maka....
Buk! "Hugkh...!"
Rangga kontan terlempar dan jatuh terguling-guling. Melihat pemuda itu dapat dirobohkan, maka dua orang lain segera ikut menyerang bersama-sama.
Hujan golok tidak dapat dicegah lagi. Rangga yang bagian dadanya terhantam tendangan, terpaksa bangkit berdiri secepatnya. Dengan mengandalkan kelincahan kaki dan tubuhnya yang terus meliuk-liuk, serangan ketiga lawannya dapat dielakkan.
Pimpinan Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak ini menjadi gusar. Secara tiba-tiba, dia melompat ke udara. Sementara, dua orang saudaranya terus mendesak dari bawah. Setelah berputar-putaran di udara, laki-laki gemuk itu melesat sambil mengibaskan golok ke bagian kepala.
Mendapat tekanan dari dua arah yang berbeda, tentu saja Rangga benar-benar kerepotan. Serangan mereka sekarang lebih berbahaya lagi, dibanding sebelumnya.
"Heaaa...!"
Disertai teriakan menggeledek, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke tiga arah dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Aji "Bayu Bajra"...!"
Kejap itu juga meluncur tiga gulung angin kencang laksana topan ke arah lawan-lawannya.
Wuuuss...! "Huaagkh...!"
Tiga anggota Lima Iblis Dari Bukit Tengkorak terpental disertai jeritan keras saat serangan angin topan dahsyat menyapu deras tubuh mereka. Dan keras sekali tubuh mereka mencium tanah. Yang paling parah menerima akibat serangan Pendekar Rajawali Sakti adalah laki-laki gemuk berbaju merah. Karena pada saat yang sama tubuhnya mengambang di udara, sehingga tidak ada kekuatan baginya untuk bertahan.
Sambil memuntahkan darah kental, ketiga laki-laki bertampang kasar ini mencoba bangkit berdiri. Wajah mereka tampak berubah pucat. Memang, apa yang telah dilakukan Rangga benar-benar telah membuka mata. Sehingga para tokoh hitam ini merasa perlu untuk mengerahkan seluruh kemampuan.
Jeb! Jeb! Secara kompak sambil memegang golok di tangan kiri, ketiga tokoh ini memutar tangan kanan. Setelah tangan yang terkepal itu memancarkan cahaya berwarna kuning, mereka segera bergerak menerjang ke depan.
"Hiyaaa...!" teriak ketiga orang itu seraya mengerahkan pukulan jurus "Lima Iblis Menerkam Bulan" secara serentak.
Dan begitu tangan-tangan yang terkepal mengembang dengan sendirinya, tiga leret sinar kuning keemasan meluncur deras menerjang Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap juga melihat serangan dari tiga jurusan. Dua buah sinar berhasil dihindari dengan meliukkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Namun saat hendak menghindari sinar ketiga dengan menjatuhkan diri....
Glarrr! "Aaa...!"
Jeritan kesakitan merobek angkasa setelah terdengarnya suara ledakan tadi. Tidak dapat dihindari lagi Rangga jatuh terguling-guling setelah bahunya tersambar sinar kuning yang menerobos pertahanannya. Jika saja tadi tidak sempat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya, niscaya Rangga sudah tewas saat itu juga.
Walaupun begitu, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat memungkiri kalau saat ini menderita luka dalam yang tidak ringan. Segera dihimpunnya hawa murni dari pusat di perutnya untuk memulihkan luka yang diderita.
Sementara, tiga manusia telengas yang rupanya sudah kesetanan itu tidak memberi kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk hidup lebih lama.
"Bunuh...!" teriak laki-laki gemuk.
Serentak mereka mengayunkan senjata, dan secara bersamaan menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menyadari akan bahaya besar yang mengancam. Padahal saat itu, dia belum siap bergerak untuk menghindar.
Ketika mata golok tiga lawannya hanya tinggal beberapa jengkal lagi menebas tiga bagian tubuhnya, pada saat itu pula Rangga menggapai gagang pedang yang tergantung di punggung.
Sring! Seketika sinar biru berkilauan berkelebat ke tiga arah, membuat ketiga manusia telengas terkejut.
Tras! Tras! Tras!
Tring! Tring! Ketiga manusia telengas itu terdorong mundur di saat sinar biru yang ternyata sinar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu menghantam golok hingga berpatahan. Rasa nyeri kontan menjalari tangan mereka. Namun mereka ini sudah tidak menghiraukannya.
Di saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri tegak dengan tatapan mata teramat dingin menggetarkan.
"Kalian memang orang-orang yang tidak pantas diberi hidup lebih lama lagi!" desis Rangga. "Heaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Dibarengi jeritan melengking tinggi, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar sambil mengelebatkan pedangnya secara melingkar.
Cras! Cras! "Aaagkh...!"
Jeritan itu disertai tergelimpangnya dua sosok tubuh yang tak sempat menghindari lagi. Kepala mereka kontan terpisah dari badan. Darah menyembur dari bagian leher yang sudah tidak berkepala.
Melihat kematian saudaranya yang sedemikian mengerikan, laki-laki gemuk berbaju merah yang tadi sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuhnya jadi gentar. Tanpa membuang-buang waktu dia segera bangkit dan bermaksud melarikan diri. Namun apa yang akan dilakukannya sempat dilihat Rangga.
"Tidak ada tempat yang aman bagi pengecut sepertimu!" geram Rangga, seraya memungut golok yang sudah buntung milik lawannya. "Hiiih...!"
Secepat angin Pendekar Rajawali Sakti melompat golok buntung itu ke arah laki-laki gemuk yang sudah beberapa tombak berlari. Dan....
Jeb! "Aaa...!"
Golok buntung itu menancap di punggung laki-laki gemuk. Disertai jeritan keras, tubuhnya tersungkur dan tidak mampu bangkit untuk selama-lamanya.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Saat badannya berbalik, tidak jauh di depannya tampak Ki Belong, Sura Pati, beserta murid-murid Padepokan Banteng Ireng. Mereka semua memandangnya dengan penuh rasa kagum.
*** 6 Sudah dua hari Rangga berada di Padepokan Banteng Ireng. Dan selama ini rasanya Rangga tidak mungkin menunggu lebih lama lagi. Bagaimanapun, saat ini orang yang telah meracuni Ki Janaloka telah berada di lain tempat. Dan bisa jadi, dia telah berhasil mencuri Gelang Kencana. Sementara orang-orang rimba persilatan yang menginginkan Gelang Kencana pasti akan datang lagi menyatroni Padepokan Banteng Ireng!
Sore harinya Rangga menjumpai Ki Belong yang pada saat itu tengah duduk melamun seorang diri di pendopo depan. Memang patut diakui, sejak meninggalnya Ketua Padepokan Banteng Ireng, murid-murid seperti lesu darah. Mereka kehilangan gairah untuk melakukan kegiatan sehari-hati. Hanya Sura Pati saja yang tampak sibuk melakukan berbagai kegiatan yang dianggap cukup perlu.
Ki Belong tampak terkejut melihat kehadiran Rangga. Namun sebentar kemudian, dia sudah dapat bersikap seperti biasanya.
"Duduklah kemari, Rangga! Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu," ujar Ki Belong, lembut.
"Tentang apa, Paman?" tanya Rangga sambil menghempaskan punggungnya di atas balai-balai.
"Mereka yang mati jelas tidak akan pernah kembali. Seperti kakangku dan juga Panaran. Di luar semua itu, sampai sekarang ini aku dan beberapa murid telah memeriksa seluruh bangunan padepokan. Dan ternyata, Gelang Kencana tidak ditemukan. Jadi makin nyata kalau gelang itu telah benar-benar hilang, seperti dugaanmu. Sementara, kita juga belum menemukan siapa yang telah mengambil Gelang Kencana, juga yang meracuni Kakang Janaloka. Satu hal yang kutakutkan, seperti yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Jika sampai terjatuh ke tangan orang yang salah, gelang itu hanya menimbulkan petaka saja! Hhh.... Sayang, aku tidak tahu di mana Kakang Janaloka menyimpannya," desah Ki Belong.
"Kukira apa yang Paman katakan memang benar. Aku ingin tahu, benarkah selain mengandung berbagai macam kemukjizatan Gelang Kencana juga merupakan kunci untuk membuka pintu batu Gua Selarong?" tanya Rangga, ingin tahu.
Ki Belong tersentak mendengar pertanyaan Rangga. Dia heran, dari mana pemuda berompi putih itu mengetahui rahasia lain yang terkandung dalam Gelang Kencana.
"Tentang pertanyaanmu, dari siapa kau mendengarnya?" tukas Ki Belong.
"Aku pernah bertemu manusia siluman kerdil yang bernama Katakini. Anehnya, katanya dia dengar dari seseorang kalau aku membawa Gelang Kencana. Padahal, baru sekali ini aku datang kemari. Keyakinanku mengatakan, di padepokan ini telah terjadi komplotan untuk mendapatkan barang tersebut!" jawab Rangga, terus terang.
Ki Belong menghembuskan napas dalam-dalam.
"Yang dikatakan siluman kerdil itu memang benar. Tokoh itu dulu memang pernah menginginkan gelang itu juga. Gelang Kencana merupakan kunci pembuka pintu batu Gua Selarong. Hanya yang membahayakan, gelang itu dapat hidup hanya dengan perintah si pemegangnya. Dia dapat diperintahkan membunuh siapa saja," jelas Ki Belong khawatir.
"Sebenarnya bagaimana wujud gelang itu, Paman?" tanya Rangga takjub.
"Bentuknya tak beda dengan gelang permata. Besarnya tidak lebih dari kelingking. Hanya pada bagian salah satu ujungnya berbentuk kepala ular. Dan pada ujung lain berbentuk ekor ular dan bergerigi. Bagian ekornya itulah yang merupakan kunci pintu batu Gua Selarong," papar Ki Belong.
Rangga dapat mengerti, bagaimana bentuk benda itu walaupun samar-samar. Yang membuatnya heran, mengapa Kanigara tidak kembali ke padepokan sampai saat ini"
"Paman.... Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mencari orang yang telah melarikan Gelang Kencana itu," kata Rangga.
"Pernyataanmu itu sudah kutunggu-tunggu sejak tadi. Kuharap kau juga mau mencari istri almarhum kakangku yang telah dilarikan sosok berpakaian hitam malam itu. Kurasa, jika dapat menemukannya dalam keadaan hidup, kau dapat bertanya pada Mayang Sari apakah tahu tentang gelang tersebut."
"Aku akan berusaha semampuku, Paman," janji Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan hendak melangkah meninggalkan Ki Belong. Tetapi sebelum bergerak Sura Pati terlihat sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Apa pun yang terjadi, aku harus ikut denganmu, Rangga!" pinta Sura Pati. Kepalanya menoleh pada Ki Belong, seakan minta persetujuan.
"Kalau memang sudah keinginanmu begitu, aku tidak bisa melarangmu. Sura Pati!" ucap Ki Belong, seakan mengerti arti tatapan itu.
"Tetapi..., bagaimana dengan padepokan ini?" tukas Rangga. "Jika orang-orang rimba persilatan datang ke sini, siapa yang akan membantu Paman?"
Ki Belong tersenyum, seakan memaklumi kekhawatiran Rangga.
"Aku tahu. Kau tidak perlu cemas, Rangga. Kalau terjadi apa-apa, tentu bersama murid-murid yang lain aku dapat mengusir mereka!" tegas laki-laki tua berbadan bungkuk ini penuh keyakinan.
Rangga merasa tidak punya alasan lain untuk menolak keinginan Sura Pati. Sehingga terpaksa kepalanya mengangguk setuju.
"Rangga! Jika kau ingin mempergunakan kuda, di belakang sana ada beberapa ekor kuda pilihan yang dapat dipergunakan," saran Ki Belong dengan ramah.
"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Paman. Tapi kurasa lebih baik kami berjalan kaki saja," ucap Rangga.
*** "Niat kita tinggal selangkah lagi, Mayang Sari." Kata-kata itu meluncur dari mulut seorang laki-laki berbaju serba ungu di dalam Gua Selarong. Sambil berkata demikian, dia mencopot topeng di wajahnya. Kini tampaklah wajahnya yang tampan. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Badannya tegap dengan dada bidang.
Duduk di samping laki-laki itu adalah seorang perempuan muda berwajah cantik yang dipanggil Mayang Sari. Begitu cantik dan mudanya, sehingga orang tidak menyangka kalau perempuan itu adalah seorang janda.
Perempuan yang memang Mayang Sari ini memandang dengan penuh rasa takjub ke arah tumpukan peti batu berisi harta karun yang tidak ternilai harganya.
"Kakang Kanigara, kita dapat membangun apa saja dengan harta sebanyak ini," kata Mayang Sari pada laki-laki tampan yang memang Kanigara.
Mayang Sari langsung memeluk kekasih gelapnya.
"Lima tahun kita menjalin hubungan tanpa diketahui siapa pun, terkecuali Buntaran yang telah kubunuh, dan juga Panaran sang juru masak sial itu. Dan kita berhasil meracuni Guru kita yang juga suamimu. Lalu setelah menguasai Gelang Kencana dan harta karun yang terdapat di dalam gua ini, kita bukan saja menjadi orang yang paling kaya di bumi, tapi juga akan menjadi raja diraja rimba persilatan. Ha ha ha...!" kata Kanigara.
Kiranya berkat Gelang Kencana, kedua manusia berlainan jenis yang telah dirasuki iblis itu telah berhasil memasuki Gua Selarong. Dan kini mereka dapat menemukan harta karun yang tak ternilai itu. Bahkan di samping itu pula, mereka dapat mengendalikan Gelang Kencana untuk membunuh orang-orang yang dianggap menjadi lawan mereka.
"Ah..., Kakang. Rencana yang tersusun selama ini ternyata memang tidak sia-sia. Aku selalu merindukan saat-saat bersamamu selama-lamanya. Dan sekarang, kita tidak mungkin terpisahkan lagi, bukan?" desah Mayang Sari.
"Tentu saja, Sayang.... Tidak seorang pun yang dapat memisahkan kita. Tahukah kau, bahwa aku selalu ingin bercinta denganmu sepanjang siang dan malam?" kata Kanigara.
Mayang Sari menganggukkan kepalanya. Bibirnya yang merah mengembangkan senyum. Sedangkan tangannya dengan cekatan meraba-raba dada Kanigara yang bidang.
Sebentar saja janda Ki Janaloka yang memang telah menjalin cinta gelap dengan Kanigara yang masih terhitung murid kedua di Padepokan Banteng Ireng ini kembali lupa daratan. Dipeluknya laki-laki itu.
Mendapat rangsangan menggoda kejantanannya, Kanigara tak membuang-buang waktu lagi. Saat itu juga dibalasnya pelukan Mayang Sari. Bibirnya langsung memagut bibir tipis wanita itu.
Mayang Sari merintih-rintih dalam pagutan Kanigara. Bahkan pagutan laki-laki itu kian menjalar ke leher. Sementara tangan kekarnya mulai nakal, menjalari bukit kembar yang kenyal menggairahkan milik Mayang Sari.
"Oooh..., Kakang Kanigara. Berilah aku kehangatan. Bawalah aku ke surgamu.... Ayolah, Kakang.... Aku sudah tidak sabar lagi...!" desah Mayang Sari diiringi geliatan tubuhnya yang berirama membangkitkan gairah Kanigara yang terus terpacu bagai kuda liar.
Kanigara memang sadar betul dengan kelemahan perempuan yang berada dalam pelukannya. Mayang Sari memang mempunyai gairah yang besar. Dan selama suaminya sakit, gairah itu seperti terpendam, namun siap meledak sewaktu-waktu. Dan itu benar-benar dibuktikan Kanigara.
Sementara, Kanigara sendiri juga pandai memanfaatkan kesempatan ini. Sehingga, dia memperoleh keuntungan yang sangat banyak. Kesenangan duniawi, dan juga keinginannya mendapatkan Gelang Kencana.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kanigara segera melakukan apa yang diinginkan Mayang Sari. Dan apa yang terjadi selanjutnya hanya dinding gua saja yang menjadi saksi bisu.
*** Sementara itu di luar gua, tampak sebelas laki-laki berpakaian serba biru dan berkepala gundul telah berdiri mengepung.
Melihat penampilan, mereka tentu akan disangka sebagai para pendeta yang berasal dari sebuah kuil.
"Kelihatannya di dalam gua ada orang, Guru!" lapor seorang laki-laki gundul pada kakek botak beralis putih dan berjenggot hitam.
Kening kakek itu tampak bertaut.
"Berarti ada yang telah berhasil memasuki gua itu. Sungguh malang nasibnya. Dia yang berhasil membuka kunci gua, kita yang akan menggotong harta karun ke Pasuruan! Sebaiknya kita bergerak lebih mendekat lagi," perintah kakek botak pada sepuluh orang-orang gundul yang menjadi anak buahnya.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, sepuluh anak buah kakek itu segera bergerak mendekati sasaran.
"Kepada semua orang yang berada di dalam gua harap tunjukkan diri dan menyerahlah kepada kami!" teriak salah seorang, begitu telah benar-benar dekat dengan mulut gua.
Kanigara dan Mayang Sari yang baru saja selesai mengumbar birahi jelas menjadi terkejut. Mereka segera menyambar pakaian masing-masing.
"Ada orang yang datang kemari, Kakang!" dengus Mayang Sari sambil mengenakan pakaiannya. Suaranya menyiratkan ketidaksenangan, karena keasyikannya terganggu.
"Hanya orang-orang yang sudah bosan hidup saja berani datang ke sini. Persiapkan segala sesuatunya. Mari kita hadapi bersama-sama!" sahut Kanigara yang telah selesai berpakaian, tidak kalah gusarnya.
Dan dengan sekali lompat, sepasang insan ini sudah sampai di depan mulut gua. Dan Kanigara kontan terkejut juga, karena yang datang adalah sebelas laki-laki berkepala gundul.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka tamu-tamuku adalah para keledai gundul. Jika kalian ingin minta sedekah, tentu aku akan memberi. Tetapi jika ingin mencari perkara, maka aku bersedia mengirim kalian ke neraka!" dengus Kanigara dingin.
Sebagai pimpinan dan telah berumur cukup lanjut pula, kakek berkepala botak tentu saja merasa tersinggung. Namun siapa pun pemuda itu, dia sadar betul pasti punya hubungan dengan Padepokan Banteng Ireng.
"Bicaramu kelewat takabur, Anak Muda. Kau saat ini tengah berhadapan dengan Perkumpulan Pandir Kawula. Dan aku, Ki Rayud, yang menjadi pimpinannya. Kami datang jauh-jauh dari ujung timur tanah Jawa bukan untuk minta sedekah. Kami ingin mengambil seluruh harta karun yang berada di dalam Gua Selarong!" sahut kakek botak bernama Ki Rayud tanpa malu-malu. Rupanya Perkumpulan Pandir Kawula yang dipimpinnya tak lebih dari perkumpulan sesat yang tamak dengan harta.
"Ha ha ha...! Semula aku menyangka kalian adalah pendeta yang minta derma. Tidak tahunya, perampok yang minta harta Sungguh busuk hati kalian! Dan jangan pula kalian bermimpi mendapatkan harta di dalam gua ini, Kisanak!" tegas Kanigara.
"Huh...! Kau juga lebih busuk dari kami. Apa dikira setelah melihat tampang kalian, kami tidak tahu bahwa kalianlah yang telah meracuni Guru kalian sendiri. Bercinta dengan istri muda si Janaloka, kemudian melarikan Gelang Kencana ke sini?" ejek Ketua Perkumpulan Pandir Kawula sambil melirik Mayang Sari.
Kanigara pura-pura terkejut mendengar ucapan kakek berkepala gundul itu. Dia memang sudah menyangka, kabar yang disebar si Bayangan Hitam alias Buntaran telah sampai di kalangan persilatan. Tentu saja dengan maksud, agar tokoh-tokoh sesat menyerang Padepokan Banteng Ireng.
"Semua yang kulakukan bukan urusanmu! Cepat menyingkir dari sini sebelum hilang kesabaranku!" bentak Kanigara.
Seakan tidak menghiraukan ucapan laki-laki itu, Ki Rayud tertawa-tawa. Malah beberapa orang pengikutnya kemudian ikut tertawa pula.
Merasa diremehkan. Kanigara semakin naik pitam. Segera diberinya isyarat pada Mayang Sari yang wajahnya telah berubah merah karena malu untuk menyingkir.
Perempuan ini langsung mematuhi perintah kekasih gelapnya. Setelah Mayang Sari menyingkir, Kanigara tampak lebih bebas menentukan sikapnya.
*** Dengan sikap tenang, Kanigara mendekati Ki Rayud. Sementara kakek berpakaian selempang biru itu tetap berdiri di tempatnya dengan sikap waspada.
"Nafsumu memang kelewat besar untuk mendapatkan harta itu. Hanya aku khawatir, apa yang menjadi keinginanmu tinggal angan-angan saja, Kisanak!" desis Kanigara disertai senyum mengejek.
Kata-kata laki-laki berbaju ungu ini hanya memancing kemarahan pemimpin Pandir Kawula. Terbukti sebentar kemudian dia telah memberi isyarat pada semua anak buahnya untuk menyerang.
"Huh...! Tidak kusangka, orang sepertimu bisanya cuma main keroyok saja. Sungguh sangat memalukan...!"
"Bangsat! Hiyaaa...!" teriak laki-laki anggota Perkumpulan Pandir Kawula yang berperut gendut sambil mengayunkan senjatanya yang berupa kapak.
Serangan kapak besar itu tidak dapat dianggap main-main. Karena selain senjata itu memiliki ketajaman pada kedua sisinya, juga disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Dengan mempergunakan jurus-jurus warisan Padepokan Banteng Ireng, Kanigara mencoba menghindari serangan. Kepandaian laki-laki ini memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga gerakannya bagaikan burung walet yang menyambar-nyambar.
Gerakan tubuh Kanigara yang seperti ini, membuat serangan kapak itu luput. Tetapi dari arah belakang menyusul pula serangan lain. Sehingga laki-laki murid Padepokan Banteng Ireng itu cepat merendahkan tubuhnya seraya berputar. Dan tiba-tiba kakinya melepas tendangan ke belakang.
Duk! "Hugkh...!"
Salah seorang anggota Perkumpulan Pandir Kawula terpental. Perutnya hancur terkena tendangan Kanigara. Dia roboh sambil muntahkan darah kental.
Dengan tewasnya salah satu anggota Perkumpulan Pandir Kawula, bukan berarti serangan yang lain-lain semakin mengendor. Malah sekarang semakin bertambah hebat saja.
Senjata-senjata kapak kembali menghujani Kanigara. Dan murid Padepokan Banteng Ireng itu terpaksa menguras seluruh kemampuan yang dimiliki. Sambil terus bergerak menghindar, pedang tipis yang selalu melingkar di pinggang dicabutnya.
Wuuut! Wuuuttt...!
Trang! Trang! Pedang tipis Kanigara berputar secepat kilat, langsung memapak hujan kapak yang menderu ke arahnya. Sekujur tubuh Kanigara sampai bergetar. Tetapi pada saat yang sama dilepaskannya tendangan berantai.
Des! Des...! Lawan-lawan yang terdekat dengan Kanigara terjungkal terkena tendangan. Namun laki-laki yang berperut gendut masih sempat menghindar. Bahkan kemudian melakukan serangan balik dengan sambaran kapaknya.
Kanigara tidak menyangka secepat itu datangnya serangan. Maka, badannya hanya sempat dimiringkan sedikit ke kiri. Dalam kesempatan itu, senjata kapak terus meluncur deras ke bagian punggung. Sehingga....
Bret! "Wuaaakh...!"
Disertai keluhan tertahan, Kanigara melompat mundur. Punggungnya robek, mengucurkan darah. Sementara Mayang Sari jadi khawatir melihat keselamatan kekasih gelapnya.
"Hik hik hik...! Kau segera akan melihat, siapa lebih dulu berangkat ke neraka, Pemuda Sialan!" teriak Ki Rayud.
"Phuih...! Kau boleh tertawa atas luka yang kuderita. Tetapi sebentar lagi, segera kau rasakan betapa pedihnya siksa yang akan kuberikan pada kalian!" desis Kanigara, membuang ludah dengan geram.
Sambil terus melompat mundur menghindari tebasan mata kapak lawan-lawannya, Kanigara tiba-tiba saja mengambil bungkusan kain merah dari balik pakaian. Seketika dikeluarkannya sebuah benda berbentuk gelang berwarna merah muda. Dan begitu terkena cahaya matahari, sehingga warna merah muda berubah menjadi merah darah, gelang berbentuk ular itu mulai menggeliat. Hidup! Dan, memang itulah yang terjadi kemudian.
Ki Rayud yang sempat melihat kejadian ganjil itu kontan terjingkat mundur.
"Gelang Kencana, gelang iblis!" desis Ki Rayud.
Kanigara tersenyum seperti setan. Matanya mendelik dipenuhi nafsu membunuh.
"Bunuh mereka!" perintah Kanigara lantang.
Wuuut! Seperti kilatan petir, gelang ajaib yang telah hidup itu melesat ke arah para anak buah Ki Rayud. Kepalanya yang berbentuk kepala ular merah mematuk leher mereka satu persatu.
Ctet! Ctet...! "Aaa...!"
Beberapa anak buah Ki Rayud bergeletakan roboh dengan sebuah luka di leher. Dan belum juga sempat bangkit, pedang milik Kanigara membelah kepala mereka.
Sebenarnya walau Kanigara tidak campur tangan, akibat gigitan Gelang Kencana sudah membuat mereka tewas. Sebab racun yang terkandung di dalamnya cukup ganas dan mematikan.
Seperti kejadian-kejadian terdahulu, begitu nyawa melayang, maka tubuh mereka langsung menggelembung. Di dalam perut orang-orang yang sudah tewas, seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak.
Dalam waktu tidak lama, perut mereka pecah mengeluarkan cairan berwarna merah bercampur ulat-ulat kecil sebesar cacing yang langsung menyerbu daging mayat-mayat yang sudah mulai membusuk.
Sembilan orang kini tewas secara sia-sia dalam keadaan sangat mengerikan. Sementara Gelang Kencana terus berputar-putar di udara.
"Bunuh orang tua gundul itu!" teriak Kanigara.
Cuiiit! Kali ini gelang ajaib itu berbalik menyerang Ki Rayud. Sementara Ketua Perkumpulan Pandir Kawula ini terpaksa memutar senjatanya sambil melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Gelang Kencana.
Namun seakan mengerti dengan bahaya yang mengancam, dengan gesit ular jelmaan Gelang Kencana menghindar dan meliuk-liuk. Seterusnya, menghujam dada Ki Rayud.
Blesss! "Hekh...!"
Ki Rayud menjerit dengan mata melotot. Tubuhnya mengejang, kemudian menggelepar. Setelah berkelojotan sebentar, tubuhnya diam selama-lamanya. Seperti kejadian tadi, mayat Ki Rayud menggelembung dan pecah mengeluarkan darah beserta ulat-ulat kecil. Seketika binatang-binatang menjijikkan itu menggerogoti jasadnya.
Ular jejadian kembali ke wujudnya semula. Kanigara tersenyum dingin melihat kematian menggiriskan lawan-lawannya. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa, dia masuk ke dalam gua menjumpai kekasih gelapnya yang telah menunggu dengan perasaan cemas.
*** ? ? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Petaka Gelang Kencana
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 "
Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
195. Petaka Gelang Kencana Bag. 7-8 (selesai)
2 ?"" 2015 ". " 1:19
7 Sudah berhari-hari Ki Belong tidak dapat berpikir jernih. Terlalu banyak persoalan membuatnya sering murung. Apalagi dia juga merasa khawatir pada Rangga dan Sura Pati yang kemungkinan tidak dapat menghadapi pencuri Gelang Kencana, mengingat betapa hebatnya kekuatan yang terkandung di dalamnya.
Ki Belong tentu tidak berlebih-lebihan, mengingat dia sendiri pernah melihat kehebatan Gelang Kencana beberapa puluh tahun yang lalu. Walau memang patut diakui, Pendekar Rajawali Sakti memang pemuda yang memiliki kepandaian sulit diukur.
Di samping itu, sampai kini pun Ki Belong sering bertanya-tanya, benarkah Kanigara telah mencuri Gelang Kencana" Menurut kabar yang tersebar di luar, serta dugaan Rangga, memang Kanigara yang melakukannya. Kendati demikian laki-laki tua bungkuk ini merasa ragu juga. Sebab sebelum Kanigara meninggalkan padepokan, sikapnya terlihat wajar-wajar saja"
Sedang Ki Belong termenung seorang diri, tiba-tiba dikejutkan oleh desah napas seseorang disertai terciumnya bau busuk yang sangat menyengat.
Seketika Ki Belong yang tengah duduk di beranda bangunan pendopo menoleh ke arah datangnya bau busuk. Dan dia terperangah karena entah sejak kapan tidak jauh di sampingnya telah berdiri seorang laki-laki berpakaian hitam bertampang buruk yang menderita luka-luka sudah membusuk. Anehnya, tidak seorang murid padepokan pun yang mengetahui kehadirannya!
Bahkan bila orang berwajah rusak itu mau, mungkin sejak tadi Ki Belong sudah tewas di tangannya. Kedatangannya memang seperti angin. Maka bisa diduga kalau kepandaiannya sangat tinggi. Herannya, Ki Belong seperti pernah mengenali orang itu.
"Paman! Lupakah Paman pada manusia malang sepertiku?" tanya laki-laki bermuka buruk ini. Suaranya serak, seperti ada sesuatu yang menyumbar tenggorokannya.
Ki Belong terperangah! Sungguh tidak disangka laki-laki bermuka mengerikan itu memanggilnya Paman!
"Kau siapa" Wajahmu seperti pernah kukenal?" tanya Ki Belong, bergetar suaranya.
"Lima tahun yang lalu setelah ibuku meninggal, ayah tega mengusirku karena berselisih pendapat. Aku tak setuju ayahku menikahi muridnya sendiri...!" tutur laki-laki berwajah mengerikan itu.
"Pari Kesit"!" seru Ki Belong, menebak.
Tanpa mempedulikan keadaan laki-laki bermuka rusak yang menimbulkan bau busuk itu, Ki Belong langsung menubruk dan memeluknya. Laki-laki ini menangis seperti anak kecil di bawah kaki Pari Kesit.
"Berdirilah, Paman. Aku memang Pari Kesit keponakanmu!" ujar laki-laki berwajah buruk bernama Pari Kesit sambil menarik tangan Ki Belong, sehingga mereka saling berhadap-hadapan.
"Tetapi...!"
Ki Belong tidak mampu melanjutkan ucapannya.
"Aku dibuang ke Lembah Wulung waktu itu. Yaitu sebuah lembah yang memiliki keganasan alam paling ganas di dunia ini. Aku terpaksa berjuang melawan keganasan alam untuk mempertahankan hidupku. Inilah jadinya Paman. Bukan saja Ayah membenciku, tapi juga seluruh dunia memusuhiku," lanjut Pari Kesit pahit, suaranya satu-satu dan dingin sekali.
"Ayahmu telah meninggal, Nak. Dia pasti menyesali kesalahannya," desah Ki Belong dengan tubuh terguncang menahan rasa haru.
Laki-laki tua ini tidak pernah menyangka keponakannya mengalami penderitaan yang begitu pahit. Padahal kesalahan Pari Kesit hanya karena memergoki ayahnya yang menjalin cinta dengan Mayang Sari, muridnya sendiri. Lantas, Pari Kesit juga menentang ayahnya yang ingin menikahi wanita itu.
Bukan hanya Pari Kesit saja yang menderita. Tetapi, ibunya juga tewas secara mengenaskan karena menentang keinginan suaminya untuk beristri dua. Jadi kalau dihitung-hitung, sebenarnya pantas jika Pari Kesit mendendam pada ayahnya.
"Aku telah mengetahuinya melalui mata batinku, Paman. Untuk itulah aku datang ke sini."
"Lalu apa yang ingin kau lakukan" Bukankah ayahmu telah begitu banyak menyakiti hatimu, Nak?" tukas Ki Belong.
"Memang. Seburuk apa pun, dia tetap ayahku. Orang yang telah membuatku hadir di dunia yang tidak ramah ini. Aku ingin melihat kuburnya. Dan aku juga ingin menanyakan beberapa hal pada Paman," jelas Pari Kesit. Nada suaranya begitu dalam, pertanda berusaha menekan gejolak amarahnya.
"Apakah kau ingin bertanya tentang Gelang Kencana?" tanya Ki Belong.
Pari Kesit menggelengkan kepala.
"Mengenai Gelang Kencana, aku sudah tahu siapa yang telah mengambilnya," tutur Pari Kesit tenang.
Seakan tidak percaya, sepasang mata tua Ki Belong membulat lebar. Walaupun dia tahu siapa yang mencuri Gelang Kencana berdasarkan kabar yang tersiar dan dugaan Pendekar Rajawali Sakti, tapi rasa penasaran tetap menuntut keingintahuannya. Paling tidak, untuk meyakinkan tuduhan itu.
"Menurutmu. Siapa, Nak?" tanya Ki Belong.
"Menurut mata batinku, Mayang Sari telah bekerjasama dengan Kanigara dalam pencurian Gelang Kencana. Perlu Paman ketahui, kedua manusia keparat itu telah menjalin hubungan gelap dan bercinta secara sembunyi-sembunyi. Dan atas perintah Kanigara, Mayang Sari tega meracuni Ayah. Tetapi, Ayah tidak pernah mencurigainya. Sampai pada akhir kematiannya, Gelang Kencana diserahkan pada Mayang Sari. Sekarang mereka telah bersatu dan hidup di dalam Gua Selarong!"
Ki Belong menjadi kagum mendengar penjelasan Pari Kesit yang pas dengan dugaan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh tidak disangka keponakannya memiliki kepandaian yang sedemikian mengagumkan. Dan mustahil Pari Kesit mendengar berita itu dari dunia persilatan, karena pemuda itu memang tinggal di tempat yang tak mungkin dikunjungi manusia!
*** Entah bagaimana caranya Pari Kesit mempelajari ilmu yang sangat langka itu. Yang jelas, sekarang duduk persoalannya semakin jelas.
"Pari Kesit.... Sebenarnya aku juga mencurigai Panaran dan Buntaran. Dapatkah kau jelaskan masalah ini?" tanya Ki Belong, semakin penasaran.
"Panaran memang terlibat terutama atas kematian Ayah. Dialah juru masak yang membubuhkan racun, di samping Mayang Sari sendiri. Hanya karena dia telah mengancam Kanigara dengan akan melaporkan semua ini, maka Kanigara terpaksa membunuhnya. Buntaran juga punya andil atas kematian Ayah. Buntaran lantas menyebar berita tentang Gelang Kencana pada beberapa tokoh persilatan. Ada yang dikirimi surat dari daun lontar, juga ada yang lewat mulut. Dalam menyebarkan berita. Buntaran selalu memakai julukan si Bayangan Hitam. Dan dia pula yang menyebar tentang hubungan gelap Kanigara dengan Mayang Sari...."
Ki Belong tersentak. Dia jadi teringat dengan salah satu mayat Tiga Pendekar Cambuk Maut yang membawa sebuah daun lontar, yang berisi ajakan merebut Gelang Kencana saat si pemegang sedang sekarat.
"Hm.... Jadi si Bayangan Hitam tak lain Buntaran," gumam Ki Belong.
"Benar. Selanjutnya si Bayangan Hitam ditugasi menculik Mayang Sari. Sebenarnya penculikan itu hanya siasat saja, agar Kanigara bisa membawa Mayang Sari tanpa dicurigai.... Tapi selanjutnya, malah Buntaran sendiri yang dibunuh Kanigara...."
"Keparat benar si Kanigara!"
"Semua tindakannya hanya dilandasi nafsu serakah saja, Paman. Karena dia pun sebenarnya ingin menguasai dunia persilatan dengan menyebar berita tentang Gelang Kencana. Dengan demikian orang-orang persilatan akan saling berlomba mendapatkannya, tanpa mempedulikan pertumpahan darah. Baru bila tinggal beberapa tokoh saja, dia berniat menghancurkannya dengan Gelang Kencana yang sudah dicurinya...."
"Benar-benar biadab, Kanigara. Sungguh tak kusangka ayahmu telah membesarkan serigala-serigala berhati busuk!"
"Tidak ada gunanya Paman berkeluh kesah. Segala-galanya sudah terjadi. Secara tidak sadar, Ayah memang menghendaki kejadian seperti ini, Paman," ujar pemuda itu, tetap datar suaranya.
"Mengapa kau tidak datang kemari sebelum segala-galanya terlambat?" tanya Ki Belong menyesalkan.
"Dulu Ayah melarangku kembali ke padepokan ini dengan alasan apa pun. Apakah aku harus melanggar pantangan" Dan lagi, sekarang Ayah telah tewas. Juga, ada bahaya mengancam di padepokan ini...."
"Ya, ayahmu memang bukan dewa. Dia manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan," desah Ki Belong.
"Aku selalu memegang teguh janji seseorang dan menjaga lidahku agar tidak berkata salah, Paman."
"Kalau begitu, kau ingin kembali ke Lembah Wulung?" tebak Ki Belong tampak tidak setuju.
Pan Kesit tidak langsung menjawab. Tatapan matanya menerawang ke halaman samping tempat kubur ayah dan ibunya. Sebagai anak, entah mengapa dia tidak dapat membenci ayahnya, walaupun dulu selalu disakiti.
"Mungkin setelah ke sini aku akan menghentikan sepak terjang Kanigara dan membuat perhitungan dengannya," tandas Pari Kesit kemudian.
Ki Belong tidak langsung menyetujui. Jauh di lubuk hatinya keselamatan keponakannya yang cuma satu-satunya ini dikhawatirkannya betul. Setelah mereka terpisah sekian tahun lamanya, Ki Belong merasa tidak ingin terpisah lagi untuk selama-lamanya. Bagaimanapun, Pari Kesit seorang pemuda yang sangat lugu dan berpegang pada janjinya.
"Mengapa Paman hanya diam saja?" tanya Pari Kesit.
"Diamku bukan karena tidak menyetujui rencanamu. Masalah Kanigara dan Mayang Sari sudah ada yang mengurusnya. Yaitu, Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati," jelas Ki Belong.
"Kuakui kehebatan pemuda itu. Dia pendekar besar. Tetapi pantaskah aku hanya menjadi penonton" Padahal penyebab dari semua bencana ini berasal dari keluarga kita?" tukas Pari Kesit.
"Baiklah.... Aku tak menghalangi rencanamu. Sekarang aku mohon, istirahatlah kau dulu. Mandi dan ganti pakaianmu. Setelah itu, kita makan bersama-sama. Besok, pagi-pagi sekali kau boleh memulai apa yang menjadi rencanamu. Tapi, ingat. Jangan lupa menengok makam kedua orangtuamu...."
"Terima kasih, Paman," ucap Pari Kesit.
"Satu lagi pesanku, setelah rencanamu selesai, kembalilah ke padepokan ini. Sebab, hanya kaulah satu-satunya pengganti ayahmu," ingat Ki Belong.
"Pesan Paman akan kuperhatikan," sahut Pari Kesit, mantap.
Kemudian mereka segera memasuki ruang utama Padepokan Banteng Ireng. Ki Belong terus merangkul bahu Pari Kesit, seakan tak ingin melepaskannya.
*** Setelah melakukan perjalanan hampir seharian penuh, Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati tiba di pinggir sebuah lembah. Buat Pendekar Rajawali Sakti mungkin bukan masalah untuk melanjutkan perjalanan. Memang jalan yang akan ditempuh semakin sulit. Namun Rangga juga mempertimbangkan Sura Pati. Di samping terlihat lelah, ilmu meringankan tubuh laki-laki itu masih jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti mulai mencari tempat bermalam yang paling cocok. Tak lama ditemukannya sebuah pohon yang cukup rindang dan bercabang banyak.
"Rasanya malam ini hujan akan turun, Rangga. Entah mengapa, perasaanku lagi kurang enak," gumam Sura Pati, pelan.
"Hilangkanlah segala perasaan was-was yang menghantui dirimu, Sura Pati. Kau perlu istirahat cukup. Dengan adanya Gelang Kencana di tangan adik seperguruanmu, kita tidak boleh menganggap remeh. Kepandaiannya boleh rendah darimu. Tetapi, kita harus bersikap waspada," ujar Rangga, tegas.
"Aku tahu. Entahlah..., aku heran mengapa berubah menjadi begini pengecut. Apa kau tidak mengendus bau sesuatu, Rangga?" desah Sura Pati.
"Maksudmu?"
"Bau bangkai."
Rangga mengangguk. Kepalanya langsung menoleh saat mendengar suara burung hantu tidak jauh dari pohon. Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut ketika melihat benda-benda putih berkilat, seperti tengkorak manusia.
"Ada apa, Rangga?" tanya Sura Pati dengan suara tertahan.
"Sebaiknya kita periksa tempat itu!" ajak Rangga sambil menarik tangan Sura Pati.
Tanpa membantah lagi, pemuda bertubuh jangkung itu langsung bergerak mengikuti. Tidak lama mereka sampai di depan seonggok tulang-belulang.
Sura Pati sempat terperangah ketika melihat sebuah benda berkilat-kilat tergeletak tidak jauh dari tulang-belulang yang berserakan.
"Ada apa, Sura Pati?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.
"Melihat kalung yang tergeletak, rasanya walaupun hanya menemukan tengkoraknya saja, aku dapat mengenalinya," jelas Sura Pati pelan sekali.
"Siapa rupanya?" desis Rangga.
"Ini pasti tulang-belulang Buntaran. Aku kenal betul dengan kalung miliknya."
"Dia dibunuh juga Berarti, Buntaran sebenarnya tahu mengenai gelang itu. Atau mungkin juga, tahu siapa yang meracuni gurumu," duga Rangga tenang.
"Menurutmu siapa?" tanya Sura Pati penasaran.
"Seperti dugaanku semula aku berani menjamin, pastilah perbuatan Kanigara. Dia berpura-pura pergi melacak orang yang telah meracuni gurumu, sebenarnya hanya tipu muslihat saja yang dia pakai."
"Bangsat betul dia!" geram Sura Pati.
"Sudahlah. Tidak perlu marah-marah. Sebaiknya kita menyingkir dari sini. Aku yakin, kau tidak dapat tidur setelah melihat mayat Buntaran," ujar Rangga, langsung diikuti anggukan kepala Sura Pati.
*** Pagi-pagi Pendekar Rajawali Sakti dan Sura Pati meneruskan perjalanan menuju ke Gua Selarong. Namun di tengah perjalanan, mereka dihadang dua orang laki-laki. Yang satu berbadan tinggi, dan yang satunya lagi berbadan pendek.
"Siapa kalian..." Dan mengapa menghadang kami" Menyingkirlah.... Kami tergesa-gesa...," Kata Sura Pati.
"Aku si Cindek. Dan saudaraku ini si Duwur. Kami hanya menjalankan perintah atasan kami!" jawab laki-laki yang berbadan gemuk pendek.
"Apa hubungannya dengan kami"!" serobot Rangga, dengan suara keras.
"Ho ho ho...! Hubungannya jelas ada. Bukankah kalian ingin pergi ke Gua Selarong?" tebak si Duwur.
"Kalau benar?" tukas Sura Pati, menantang.
"Gua Selarong milik majikan kami. Di sana akan dibangun sebuah kerajaan yang paling besar di dunia. Sedangkan tugas kami adalah mencegah siapa saja yang coba-coba datang ke sana!" tegas si Duwur.
"Kurang ajar!" geram Sura Pati. "Aku tahu, majikan kalian pasti Kanigara. Sekarang, menyingkirlah dari hadapan kami kalau tidak ingin mampus secara sia-sia!"
"Huh...! Terhadap pemuda ingusan seperti kalian, siapa takut"!" dengus si Cindek meremehkan.
Setelah selesai dengan ucapannya, kedua laki-laki yang memiliki tinggi badan tidak seimbang ini menarik jubah yang tersampir di bagian bahu. Saat itu juga jubah mereka langsung dikebutkan ke arah Rangga dan Sura Pati.
Wusss! Seketika meluncur angin keras menyambar ke arah Rangga dan Sura Pati. Sambaran angin keras menebar hawa panas itu disertai melesatnya benda-benda halus berwarna putih mengkilat.
"Cepat menghindar, Sura Pati! Mereka mempergunakan jarum-jarum beracun!" teriak Pendekar Rajawali Sakti memberi peringatan.
Keduanya segera melenting ke udara. Sambil berputaran di udara, baik Sura Pati maupun Rangga mengibaskan kedua tangan ke arah serangan.
Wuuus...! Segulung angin kencang menderu dahsyat, mematahkan serangan si Cindek dan si Duwur.
Glarrr! "Heh..."!"
Terjadi benturan tenaga dalam yang menimbulkan ledakan keras. Si Cindek dan si Duwur terkejut sekali. Mereka terhuyung ke belakang. Bahkan jarum-jarum beracun yang melesat dari jubah mereka runtuh, menimbulkan suara bergemerincing. Melihat serangan pertama dapat dipatahkan, maka kedua laki-laki aneh ini segera melakukan serangan susulan.
*** Namun Sura Pati tampaknya sudah tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Apalagi si Cindek dan si Duwur mengaku sebagai kaki tangan dari orang yang sangat dibencinya. Maka pedangnya segera diloloskan.
Kini perkelahian terbagi dua. Si Cindek berhadapan dengan Sura Pati, sedangkan si Duwur berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaa...!"
"Ciaaat...!"
Si Cindek kembali mengebutkan jubahnya, tampak jarum-jarum beracunnya tersimpan. Untuk yang kedua kalinya, angin keras disertai meluncurnya jarum-jarum beracun menderu ke arah Sura Pati. Namun hanya memutar pedangnya yang membentuk perisai diri, murid tertua Padepokan Banteng Ireng itu bisa mematahkannya.
Senjata-senjata rahasia itu berpelantingan ke empat penjuru arah. Di luar dugaan, si Cindek melepaskan tendangan kilat ke arah Sura Pati.
"Hih!"
Pemuda itu mencoba menangkis dengan mempergunakan pedang. Tetapi si Cindek cepat sekali menarik balik kakinya. Begitu sambaran pedang lewat, si Cindek berputar seraya mengibaskan tangan ke bagian dada. Tidak terelakkan lagi....
Buk! "Hugkh...!"
Sura Pati jatuh terjengkang disertai keluhan pendek. Sedemikian kerasnya pukulan barusan, sehingga membuatnya meneteskan darah dari sudut-sudut bibirnya.
Secepatnya Sura Pati bangkit berdiri. Sambil menggeram penuh kemarahan, pedangnya diputar sedemikian cepat. Langsung dipergunakannya jurus "Amukan Banteng Ketaton", sebuah jurus pedang yang cukup berbahaya!
Wuuut! "Uts...!"
Si Cindek langsung berjumpalitan ke belakang, ketika mulai merasakan adanya sebuah dorongan cukup keras dari pedang pemuda itu. Jubah di tangannya dikibaskan berulang-ulang. Akan tetapi, gerakannya seakan tertahan serangan senjata Sura Pati.
Wuut! Malah pedang di tangan Sura Pati meluncur deras ke bagian leher. Melihat bahaya datang, si Cindek terpaksa mempergunakan jubah hitamnya untuk menangkis.
Bret! "Heh..."!"
Jubah itu kontan terputus menjadi dua bagian. Si Cindek terkesiap melihat bayangan ini. Sementara, serangan Sura Pati semakin menghebat saja.
Kini tanpa jubah di tangan, si Cindek semakin terdesak saja.
Pada satu kesempatan si Cindek menghentakkan kedua tangannya. Namun pada waktu bersamaan pula, Sura Pati telah melenting tinggi. Beberapa kali tubuhnya berputaran, lalu meluruk deras dengan tusukan pedang. Dan....
Jleb! "Aaa...!"
Disertai jeritan keras darah menyembur dari luka di dada si Cindek. Laki-laki pendek ini terjengkang dengan mata melotot. Nyawanya lepas kejap itu juga.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti tanpa mengalami kesulitan berarti terus mendesak si Duwur.
Tiba-tiba secepat kilat tubuh Rangga melenting ke atas. Saat tubuhnya meluncur ke bawah, dikerahkannya jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa" dengan kaki mengibas cepat. Si Duwur berusaha merundukkan kepala, namun gerakannya terlambat. Dan....
Prak! "Aaa...!"
Kepala si Duwur pecah berantakan, sehingga darah bercampur otak berhamburan ke mana-mana. Tubuhnya oleng ke kiri dan oleng ke kanan sampai akhirnya jatuh terguling tanpa pernah bangkit kembali.
"Heh"! Ternyata kau lebih cepat dariku, Sura Pati!" puji Rangga sambil menggelengkan kepala.
"Bukan masalah cepat atau lambat. Aku heran, mengapa Kanigara dalam waktu singkat telah dapat mengumpulkan tukang pukulnya?" desah Sura Pati terheran-heran.
Rangga tersenyum. Ditepuk-tepuknya bahu Sura Pati.
"Siapa pun akan tergiur jika harta benda sudah bicara. Sudahlah.... Jangan pikirkan yang tidak perlu. Kurasa, tidak lama lagi kita segera sampai ke tempat tujuan. Waspadalah! Mungkin, bukan kedua tukang pukul ini saja yang akan menghadang. Siapa tahu, Kanigara telah berhasil mengumpulkan selusin tukang pukul berkepandaian tinggi," kejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Mudah-mudahan saja tukang pukulnya hanya mempunyai ilmu olah kanuragan seperti si Cindek dan si Duwur ini," ujar Sura Pati penuh harap.
"Mudah-mudahan saja!"
*** 8 Begitu tiba di Gua Selarong, Pari Kesit langsung melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke dinding gua. Sehingga membuat gua itu bergetar seperti diguncang gempa, menimbulkan suara gemuruh.
Tidak lama dari dalam gua melesat keluar dua sosok tubuh. Yang satunya adalah seorang laki-laki tampan berbaju ungu. Sedangkan yang satunya lagi, wanita cantik berpakaian biru muda. Mereka tidak lain Kanigara dan Mayang Sari.
"Huh! Rupanya orang berbau busuk dan bermuka buruk ini yang telah mengganggu ketenangan kita, Kekasihku!" dengus Kanigara setelah melihat kehadiran Pari Kesit.
"Sungguh memalukan! Betapa rendahnya dirimu, Mayang Sari! Tidak kusangka kau bersedia diperistri Janaloka semata-mata hanya karena ingin mendapatkan Gelang Kencana! Kau perempuan jalang terkutuk yang patut dicincang sampai mati!" bentak Pari Kesit sambil menuding Mayang Sari.
Perempuan cantik itu terkesiap. Bahkan tanpa sadar melompat mundur, dan berlindung di belakang kekasihnya. Sementara bagai tersengat kalajengking wajah Kanigara berubah merah padam.
"Tidak ada hujan tidak ada angin kau datang mencaci maki. Ucapanmu sebusuk tubuhmu! Siapa kau, heh..."!" bentak Kanigara.
"Kau juga murid terkutuk," tuding Pari Kesit berteriak. Sama sekali tidak dihiraukan ucapan Kanigara. "Kau membuat siasat yang sangat keji! Kauracuni gurumu sendiri. Kautiduri istrinya seperti binatang. Huh.... Betapa hinanya dirimu!"
"Bicaramu kacau. Coba jelaskan, siapa kau" Dan mau apa datang ke sini"!" bentak Kanigara.
"Aku Pari Kesit...!"
Belum sempat pemuda berbaju hitam ini melanjutkan ucapannya, Kanigara dan Mayang Sari sudah tertawa-tawa seperti orang kurang waras.
"Oho...! Rupanya kau Pari Kesit si anak malang. Perlu kau ketahui, sejak ayahmu sakit-sakitan, kami telah menjalin hubungan cinta. Dasar si tua bangka Janaloka saja yang tidak tahu diri. Dia memang pantas mati secara sia-sia!" ejek Kanigara.
"Lihatlah manusia buruk rupa. Tidakkah kau tahu, bahwa kami merupakan pasangan abadi?" timpal Mayang Sari.
"Benar! Kalian memang pasangan iblis yang pantas dikirim ke neraka! Sekarang kuminta padamu untuk mengembalikan Gelang Kencana pada pewaris Padepokan Banteng Ireng yang sah!" perintah Pari Kesit.
"Tidak kusangka, manusia busuk sepertimu masih berkeinginan memiliki Gelang Kencana. Cobalah berkaca di air sana, apakah kau pantas memilikinya?" ejek Kanigara.
"Aku tidak berniat memiliki apa pun. Jika Gelang Kencana tetap berada di tanganmu, hanya akan menimbulkan bencana saja...!" tukas Pari Kesit.
Bagi Kanigara maupun Mayang Sari yang telah mendapatkan banyak keuntungan dari Gelang Kencana, mana sudi dan peduli dengan peringatan Pari Kesit. Mereka telah bertekad untuk mempertahankannya dari gangguan siapa pun.
"Kau boleh mimpi untuk merebut gelang ini. Tapi jangan harap akan mendapatkannya!" tegas Kanigara.
Pertanyaan ini tentu membuat Pari Kesit kehilangan kesabarannya. Mungkin sudah ketentuan takdir baginya kalau harus bertarung dengan Kanigara ada yang tewas.
"Kanigara!" desis Pari Kesit, begitu dingin. Sehingga, membuat tengkuk yang mendengarnya meremang berdiri.
"Ada apa lagi manusia busuk?" tanya Kanigara, mencemooh.
"Tanpa Gelang Kencana, kau bukanlah apa-apa. Jika kau mau menyerah padaku, aku berjanji untuk membiarkan kalian tetap hidup. Tetapi kalau kau tetap membangkang, di antara kita harus ada yang mati di sini!" tegas Pari Kesit.
*** Kata-kata yang diucapkan Pari Kesit membuat Kanigara tertawa-tawa. Padahal jika mau menyadari, Pari Kesit telah memberikan banyak keringanan padanya. Siapa pun tahu, Pari Kesit adalah pemuda jujur yang suka memegang janji, dan karena iblis memang telah mengotori jiwa Kanigara dan Mayang Sari, ajakan itu tidak ubahnya seperti lolongan anjing di tengah malam yang kemudian berlalu begitu saja di sisi telinga Kanigara.
"Ayah dan ibumu telah binasa. Kuharap, kau segera mampus di tanganku agar dunia yang indah ini tidak kotor karena tampangmu begitu jelek...!" desis Kanigara.
Apa yang dikatakan laki-laki tampan itu memupus habis kesabaran Pari Kesit. Tampaknya, memang tidak ada pilihan lain lagi selain mengambil tindakan tegas terhadap kedua manusia sesat itu.
Laksana kilat Pari Kesit menghentakkan tinju mengancam Kanigara. Dan pemuda berbaju ungu murid Ki Janaloka semula menganggap remeh serangan jarak jauhnya. Tetapi setelah dilihat sinar redup melesat dari tangan Pari Kesit, cepat didorongnya Mayang Sari untuk menyingkir. Sedangkan dia sendiri berjumpalitan ke udara untuk menghindar.
Blarrr! Serangan jarak jauh Pari Kesit tidak mengenai sasaran. Dentum keras terdengar. Dan pintu batu gua pun runtuh. Untung Mayang Sari tadi sudah keluar meninggalkan gua. Kalau tidak, pasti terkubur hidup-hidup.
"Kurang ajar! Kau telah merusak tempat tinggalku!" teriak Kanigara.
Tidak mau kalah, pemuda berpakaian ungu ini juga melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tetapi Pari Kesit hanya menggeram.
"Pukulan "Pembelah Jagat?" Huh! Pukulan "Halimun Senja" tidak mungkin dapat dibendung jika mengandalkan pukulan itu!" dengus Pari Kesit. Tapi mana mau Kanigara percaya dengan ucapan Pari Kesit yang dianggapnya anak kemarin sore. Apalagi sudah melihat sendiri kehebatan pukulan miliknya. Maka tangannya pun dikibaskan berulang-ulang.
Seleret sinar kuning disertai menebarnya hawa panas meluncur deras ke arah Pari Kesit. Sedikit pun pemuda berwajah buruk ini tidak bergeser dari tempatnya. Begitu gelombang pukulan tinggal empat batang tombak lagi, tangannya didorongkan ke depan.
Kembali sinar redup melesat dari kepalan tangan Pari Kesit. Udara yang telah berubah panas semakin bertambah panas. Sampai akhirnya....
Glar! Glarrr! "Hah..."!"
Terjadi ledakan dahsyat. Tampak Kanigara terguling-guling. Sudut-sudut bibirnya meneteskan darah. Sedangkan Pari Kesit hanya tergetar saja, pertanda tenaga dalamnya berada beberapa tingkat lebih tinggi.
Melihat kenyataan ini Mayang Sari yang juga tidak tinggal diam. Langsung pedang tipis yang terselip di pinggangnya dicabut.
"Manusia busuk! Mampus sajalah kau menyusul orangtuamu! Hiyaaa...!"
Disertai teriakan keras, Mayang Sari meluruk. Pedang di tangannya bergerak liar, menusuk ke bagian pinggang, dada, dan juga mata.
Pari Kesit sadar betul kalau wanita itu mempergunakan jurus "Tarian Ular Emas". Dan dia sudah memahami betul dasar-dasar jurus yang dipergunakan Mayang Sari. Sehingga dengan mudahnya serangan senjata itu dihindarinya.
Set! Set! "Uts!"
Walaupun hanya tinggal setengah jengkal pedang Mayang Sari merobek perut, Pari Kesit yang masih dapat berkelit. Bahkan badannya kemudian berputar. Dan tiba-tiba tangannya meluncur ke bagian pinggang. Tidak ampun lagi....
Des! "Wuaaakh...!"
Mayang Sari kontan mengeluh tertahan, lalu jatuh terpelanting dengan senjata masih tetap tergenggam di tangannya. Secepat kilat wanita itu bangkit berdiri dan bersiap-siap melakukan serangan.
Pada saat yang sama tanpa diketahui Pari Kesit, dari samping Kanigara melepaskan Gelang Kencana yang telah berubah warna merah darah....
"Bunuh manusia jelek itu, Gelang Kencana...!"
Ssstt...! Seperti sambaran kilat, Gelang Kencana yang telah berubah menjadi hidup melesat ke arah Pari Kesit. Wujudnya yang berbentuk ular merah darah sebesar kelingking meliuk-liuk ke arah sasaran.
Inilah sebuah bahaya besar yang harus dihindari pemuda berbaju hitam. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuhnya melompat ke sana kemari sambil meliuk-liuk mengelakkan pagutan ular merah darah.
Gerakan-gerakan Pari Kesit yang sedemikian aneh, membuat ular penjelmaan Gelang Kencana kehilangan sasaran. Pada saat yang bersamaan, Sura Pati muncul tepat di belakang Pari Kesit. Pemuda yang baru datang bersama Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap melihat luncuran ular yang melenceng ke arahnya. Untuk menghindar, sudah tidak punya waktu lagi. Maka terpaksa tangannya mengibas.
Wuuut! Segulung angin menderu dan menghadang serangan ular merah. Tetapi, pukulan Sura Pati seakan tidak berarti. Karena, ular merah darah itu ternyata mampu menembus gelombang angin pukulannya. Dan...
Crep! "Aaa...!"
Ular berwarna merah darah kontan menghujam leher Sura Pati. Pemuda malang itu menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar. Sedangkan ular penjelmaan Gelang Kencana kembali berbalik ke arah pemiliknya.
Tap! "Cukup dulu, Gelang Kencana. Rupanya kita kedatangan tamu baru!" ujar Kanigara sambil menimang-nimang Gelang Kencana yang melingkar di atas telapak tangannya.
"Sura Pati!" teriak Rangga sambil memeriksa Sura Pati.
Namun pemuda itu telah tewas dengan sekujur tubuh berubah merah. Karena Pari Kesit kenal baik dengan Sura Pati, maka dia pun segera datang menghampiri.
"Aku Pari Kesit. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, sebagaimana yang diceritakan pamanku Ki Belong!" jelas pemuda berpakaian hitam memperkenalkan diri.
"Tampaknya, kedatangan kami hampir terlambat. Sebaiknya, kita hadapi kedua iblis itu bersama-sama!" tegas Rangga.
"Kanigara tidak begitu berbahaya. Gelang Kencana itulah yang perlu diatasi. Jika kau punya senjata, sebaiknya pergunakan senjatamu!" saran Pari Kesit, berbisik.
Dalam kesempatan itu, Kanigara yang semakin percaya diri ini segera menghampiri Rangga dan Pari Kesit. Senyumnya mengembang menunjukkan keangkuhannya.
"Rupanya kau juga ingin mampus hingga telah berani datang ke sini!" dengus Kanigara, dingin.
Rangga dan Pari Kesit serentak berdiri. Pendekar Rajawali Sakti memandang Kanigara dengan sinar mata dingin menusuk.
"Kesalahanmu sudah melebihi takaran. Sekarang, aku harus menghentikanmu!" desis Rangga.
Selesai dengan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti menerjang Kanigara. Langsung dikerahkannya jurus-jurus simpanan dari rangkaian jurus "Rajawali Sakti".
*** Sementara Pari Kesit juga tidak tinggal diam.
Segera diserangnya Mayang Sari. Tentu saja perempuan itu terkesiap, sebab sudah merasakan kehebatan lawannya. Dengan cepat pedangnya diputar untuk menghalau serangan.
Pedang Mayang Sari meluncur deras, menerobos pertahanan Pari Kesit. Tetapi, putra Ki Janaloka itu dengan sigap segera mempergunakan jurus menghindarinya yang aneh. Gerakan tubuhnya tampak tidak beraturan saja. Walaupun begitu tak satu serangan yang mengenai sasaran.
Di lain waktu Pari Kesit membalas serangan dengan kekuatan berlipat ganda.
Sementara itu, Kanigara tampaknya sudah tidak memberi angin pada Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak mungkin dapat bertahan jika hanya mengandalkan kemampuannya saja. Menghadapi Pari Kesit saja, kepandaiannya kalah jauh. Apalagi sekarang harus menghadapi serangan dahsyat pemuda berbaju rompi putih ini.
"Gelang Kencana pelindungku! Bunuh kedua musuh itu...!" teriak Kanigara dengan suara keras menggelegar.
Sebagaimana yang terjadi pertama tadi, maka gelang yang melingkar di atas telapak tangan Kanigara kembali menggeliat dan hidup. Warnanya yang merah muda berubah menjadi merah darah. Seketika secara gaib berubahlah gelang itu menjadi ular, dan langsung meluncur deras menyerang Rangga.
Melihat serangan Gelang Kencana yang telah berubah menjadi ular berwarna merah darah. Rangga langsung teringat ajian yang pernah diberikan Satria Naga Emas, yang hidup sezaman dengan gurunya. Pendekar Rajawali. Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mulai merapalnya.
Aneh bin ajaib....
Tepat ketika ular jejadian itu sejengkal lagi menghujam leher Rangga, mendadak terjatuh dan berubah menjadi Gelang Kencana kembali.
Pluk! Blasshhh...! Begitu menyentuh tanah, secara aneh pula gelang itu meletup kecil, lalu berubah menjadi abu.
Kanigara terkejut sekali melihat kenyataan ini. Dia menggeram marah, lalu mencabut pedang tipisnya. Seketika diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan gencar.
Melihat pedang lawannya meluncur deras ke bagian dada, Rangga berkelit ke samping. Secepat itu dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti, dan secepat itu pula dikibaskan menyamping. Dan....
Crasss! "Aaa...!"
Kanigara kontan melolong panjang saat sinar biru berkilauan yang memancar dari pedang Rangga menembus dadanya. Tubuh pemuda itu langsung roboh, dan nyawanya melayang saat itu juga.
Melihat kematian kekasihnya, Mayang Sari yang sudah dalam keadaan terdesak hanya menjerit. Sementara, serangan Pari Kesit semakin bertambah menghebat. Karena perhatiannya terbagi-bagi, wanita itu jadi lepas kendali. Kesempatan itu tidak disia-siakan Pari Kesit.
Ketika Mayang Sari melompat mundur, Pari Kesit menerjang ke depan. Seketika tangan pemuda berwajah buruk itu terjulur, menghantam dada Mayang Sari dengan keras.
Prak! "Huaagkh...!"
Perempuan itu kontan tersungkur roboh dengan tulang dada hancur. Mulutnya mengucurkan darah segar. Tubuhnya berkelojotan sekejap, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.
Pari Kesit memperhatikan mayat wanita itu sambil menghela napas panjang.
"Gelang Kencana hancur. Tetapi, tidak mengapa. Aku mewakili Padepokan Banteng Ireng, kuucapkan terima kasih atas bantuanmu!" ucap Pari Kesit, agak keras.
Ucapan pemuda berwajah buruk ini tidak terjawab. Karena, ternyata Pendekar Rajawali Sakti telah pergi di luar sepengetahuannya. Kepala Pari Kesit menggeleng.
"Hm.... Di atas langit ternyata masih ada langit!" gumam Pari Kesit sambil menghampiri mayat Sura Pati.
Matahari sudah condong di ufuk barat, saat Pari Kesit meninggalkan Gua Selarong. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ada orang lain yang telah membantunya.
? ? SELESAI ? Segera terbit: PENDETA MURTAD ? ? Petaka Gelang Kencana
? Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti 195 Petaka Gelang Kencana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
? 2017 Pengawal Pilihan 1 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Tusuk Kondai Pusaka 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama